BAHAN AJAR TEKNIS CUKAI PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN SPESIALISASI KEPABEANAN DAN CUKAI SURONO OLEH:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAHAN AJAR TEKNIS CUKAI PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN SPESIALISASI KEPABEANAN DAN CUKAI SURONO OLEH:"

Transkripsi

1 BAHAN AJAR TEKNIS CUKAI PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN SPESIALISASI KEPABEANAN DAN CUKAI OLEH: SURONO SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TAHUN 2013

2 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia ilmu bagi umat manusia yang senantiasa berpikir. Karunia utama yang penulis rasakan saat ini adalah diberikannya kesempatan untuk memberikan sumbang pemikiran dalam bentuk bahan ajar yang ditujukan bagi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, khususnya Program Diploma I Spesialisasi Bea dan Cukai untuk mata pelajaran Teknis Cukai. Bahan Ajar ini disusun untuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Program Diploma I Bea dan Cukai untuk mata diklat teknis cukai yang berisi pengetahuan teknis untuk melaksanakan kegiatan di bidang cukai. Untuk penulisan ini penulis mengambil referensi utama dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang RI nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai dan juga peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Selain hal tersebut, penulis juga mengambil referensi tambahan dari buku-buku terkait dan juga artikel-artikel on-line dengan tujuan agar penyajian modul ini dapat lebih menarik dan up to date. Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa, tulisan ini masih jauh dari tingkat sempurna. Untuk itu diharapkan kritik dan masukannya untuk pengembangan dan penyempurnaan ke depan. Terakhir, semoga Bahan Ajar singkat ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa STAN pada umumnya dan bagi siapa saja yang tertarik membacanya. Jakarta, Agustus 2013 Surono hal i

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR TABEL viii PENDAHULUAN 1 BAB 1 PERIZINAN DI BIDANG CUKAI 5 A. Ketentuan Umum Penerbitan Izin NPPBKC 5 1. Kewajiban Memiliki Izin NPPBKC 5 2. Kegiatan di Bidang Cukai 7 3. Pemegang Izin dan Masa Berlakunya NPPBKC 9 4. Pengecualian Kewajiban Memiliki Izin NPPBKC 10 B. Tatacara Pengajuan Izin NPPBKC 12 BAB Alur Proses Perizinan NPPBKC 2. Persyaratan Pemberian Izin NPPBKC Etil Alkohol 3. Persyaratan Pemberian Izin NPPBKC MMEA 4. Persyaratan Pemberian Izin NPPBKC Hasil Tembakau 5. Penomoran NPPBKC Hal. C.. Pembekuan, Pencabutan dan Perubahan NPPBKC Pembekuan NPPBKC Pencabutan NPPBKC Perubahan NPPBKC 34 TATACARA PENETAPAN TARIF CUKAI, PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI 38 A. Tarif Cukai dan Harga Dasar BKC Tarif Cukai Harga Dasar BKC 42 B. Tatacara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau Jenis Hasil tembakau Golongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau Batasan HJE Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau 53 C. Tatacara Penetapan Tarif Cukai MMEA dan Etil Alkohol Tarif Cukai MMEA dan Etil alkohol Mekanisme Penetapan Tarif Cukai MMEA hal ii

4 D. Tatacara Penyediaan Pita Cukai Hasil Tembakau Proses Pemungutan Cukai Hasil Tembakau 2. Pengenalan Pita Cukai 3. Lokasi Penyediaan Pita Cukai 4. Mekanisme Penyediaan Pita Cukai E. Tatacara Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau Mekanisme Pemesanan CK-1 77 BAB 3 FASILITAS DAN KEMUDAHAN PEMBAYARAN CUKAI 82 A. Fasilitas Tidak Dipungut Cukai Gambaran Umum 2. Jenis-jenis Fasilitas Tidak Dipungut Cukai B Fasilitias Pembebasan Cukai Gambaran Umum 2. Jenis-jenis Fasilitas Pembebasan Cukai C Penundaan Pembayaran Cukai Gambaran Umum 2. Ketentuan Penundaan Cukai D. Pembayaran Berkala Gambaran Umum 2. Ketentuan Pembayaran Berkala BAB 4 TATACARA PELUNASAN DAN PENAGIHAN CUKAI 115 A. Tatacara Pelunasan Cukai Konsep Pelunasan Cukai 2. Pelunasan Cukai dengan Cara Pembayaran 3. Pelunasan Cukai dengan Cara Pelekatan Pita Cukai 4. Pembubuhan Tanda Pelunasan Cukai Lainnya B. Penghitungan Pungutan Cukai Penghitungan Cukai Etil Alkohol Penghitungan Cukai MMEA Penghitungan Cukai Hasil Tembakau 125 C. Tatacara Penagihan dan Pengangsuran Cukai Penagihan Cukai 2. Pengangsuran 3. Masa Daluwarsa Tagihan Cukai BAB 5 PENCATATAN, PEMBUKUAN, DAN PENCACAHAN BKC 135 A. Pencatatan dan Pembukuan BKC Kewajiban Pembukuan Kewajiban Pencatatan 139 B. Pencatatan dan Pelaporan dalam Rangka Pengawasan BKC yang Masih Terhutang Cukai Pemberitahuan BKC yang Selesai Dibuat Pemberitahuan Rencana Produksi PBCK Laporan Penggunaan dan Persediaan BKC yang Mendapat Fasilitas Cukai 150 hal iii

5 4. Pencatatan oleh Pejabat Bea dan Cukai 155 C. Pencacahan BKC Konsep Pencacahan Waktu Pelaksanaan Pencacahan Penyelesaian Hasil Temuan Pencacahan 160 BAB 6 MUTASI BKC 167 A. Jenis Kegiatan Mutasi BKC Konsep Mutasi BKC Penimbunan BKC Pemasukan dan Pengeluaran BKC Pengangkutan BKC 172 B. Dokumen Mutasi BKC Dokumen Pemberitahuan Pemasukan dan Pengeluaran Dokumen Pelindung Pengangkutan 178 C. Tatalaksana Mutasi BKC Pengeluaran BKC dari Pabrik dengan Pelunasan Pengeluaran BKC dari Pabrik dengan Tujuan Diekspor Pengeluaran BKC sebagai Bahan Bakar dengan Tujuan ke Pabrik BKC Lain 184 BAB 7 TATACARA PEMUSNAHAN DAN PENGOLAHAN KEMBALI BKC 189 A. Gambaran Umum Konsep Pemusnahan dan Pengolahan Kembali Struktur Pengembalian Cukai atas BKC yang Diolah Kembali atau Dimusnahkan Cara Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC 191 B. Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC yang Pelunasannya dengan Pelekatan Pita Cukai Subyek yang Berhak Mendapat Pengembalian Cukai Ketentuan dan Persyaratan Mekanisme Pengolahan Kembali atau Pemusnahan 193 C. Pengolahan Kembali atau Pemusnahan BKC yang Pelunasannya dengan Pembayaran Subyek yang Berhak Mendapat Pengembalian Cukai Ketentuan dan Persyaratan Mekanisme Pengolahan Kembali atau Pemusnahan 204 BAB 8 KEWENANGAN PEJABAT BEA DAN CUKAI 208 A. Gambaran Umum 208 B. Kewenangan Umum Pengertian dan Jenis Kewenangan Umum Kewenangan dan Penindakan terhadap BKC atau Barang Lain yang Terkait dengan BKC Kewenangan Pejabat Bea dan Cukai untuk Tidak 219 hal iv

6 Melayani Pemesanan Pita Cukai 4. Kewenangan Audit di Bidang Cukai Penyerahan Perkara atas Dugaan Pelanggaran Cukai dari Instansi Penegak Hukum Lain 222 C. Kewenangan Khusus Kewenangan Khusus Direktur Jenderal Kewenangan Khusus Penyidik di Bidang Cukai 224 BAB 9 KEBERATAN DAN BANDING DI BIDANG CUKAI 231 A. Keberatan di Bidang Cukai Gambaran Umum Konsep Keberatan di Bidang Cukai Pejabat yang Berwenang Memutuskan Keberatan Persyaratan Administrasi dan Jaminan dalam Pengajuan Keberatan Persyaratan Administrasi Mekanisme Pengajuan Keberatan 235 B. Pengajuan Banding Konsep Banding di Bidang Cukai Persyaratan Administrasi Banding Mekanisme Pengajuan Banding Jenis Putusan Pengadilan Pajak atas Perkara Banding 238 C. Pengajuan Gugatan Konsep Gugatan di Bidang Cukai Mekanisme Pengajuan Gugatan 240 PENUTUP 245 GLOSARIUM 246 DAFTAR PUSTAKA 248 BIODATA PENULIS 250 hal v

7 DAFTAR GAMBAR Nomor Judul Gambar Hal. 1.1 Alur Proses Pemberian Izin NPPBKC Contoh Permohonan PMCK Contoh NPPBKC Hasil Tembakau Kalkulasi HJE Hasil Tembakau Alur Proses Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau atas Merek-Merek Baru Mekanisme Penetapan Tarif Cukai MMEA Contoh Permohonan Penetapan Tarif Cukai MMEA Alur Proses Pemungutan Cukai Hasil Tembakau Contoh P3C Pengajuan Awal Alur Proses Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau Contoh Pengajuan CK Contoh PBCK Skema Permohonan Pembebasan atas Etil alkohol untuk Pembuatan BHA Catatan Sediaan Hasil Tembakau (CSCK-1) Catatan Sediaan Retur Hasil Tembakau (CSCK-2) Catatan Sediaan Pita Cukai (CSCK-3) Contoh Halaman Pertama CK-4A Contoh CK-4B Contoh CK-4C Laporan Penggunaan LACK Laporan LACK Laporan Pengangkutan BKC Tertentu Contoh Buku Rekening BKC (BRCK-1) Contoh Buku Rekening Kredit (BRCK-3) Dokumen Cukai PMBKC Lembar Lanjutan PMBKC Dokumen CK Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC dengan Dokumen PMBKC Pelunasan hal vi

8 Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC dengan Dokumen PMBKC Pelunasan Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC sebagai Bahan Baku untuk Pembuatan BKC Lainnya Struktur Tatalaksana Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC Flowchart Prosedur Pengolahan Kembali/Pemusnahan BKC yang Masih Berada di Dalam Pabrik Prosedur Pengolahan Kembali /Pemusnahan BKC yang Berasal dari Peredaran Bebas Prosedur Pemusnahan BKC di Tempat Pemusnahan di Luar Pabrik hal vii

9 DAFTAR TABEL Nomor Judul Tabel Penggolongan dan Batasan Produksi Hasil Tembakau Tarif Cukai dan Batasan Minimal HJE Hasil Tembakau Dalam Negeri Tarif Cukai dan Batasan Minimal HJE Hasil Tembakau yang Diimpor Tarif Cukai MMEA dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol Halaman hal viii

10 PENDAHULUAN Mata pelajaran Teknis Cukai merupakan salah satu mata pelajaran utama atau yang lebih dikenal dengan istilah mata kuliah keahlian berkarya (MKB) dalam kurikulum Program Diploma I Kepabeanan dan Cukai Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Mata pelajaran ini memberikan pengetahuan dan ketrampilan teknis dasar di bidang cukai bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Berdasarkan kurikulum diklat disebutkan bahwa mata pelajaran teknis cukai I merupakan salah satu mata pelajaran pokok dengan alokasi waktu sebanyak 3 (tiga) SKS. Materi yang disampaikan dalam mata diklat Teknis Cukai adalah pengetahuan umum mengenai konsep cukai dan aplikasinya serta panduan umum yang bersifat operasional mengenai pelaksanaan Undangundang Cukai sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan juga petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan oleh DJBC. Kami berusaha agar materi yang disampaikan dalam Bahan Ajar ini tidak membuat mahasiswa menjadi jenuh. Oleh karenanya layout dan variasi penulisan yang kami tampilkan, baik dalam bentuk tabel atau gambar mudahmudahan dapat membuat Mahasiswa nyaman. Secara umum materi pelajaran yang disampaikan dalam Bahan ajar Teknis Cukai ini terdiri dari 9 (sembilan) Bab, yang disusun secara sequential. Artinya bahwa penyampaian tiap-tiap bab disusun secara berurutan yang disesuaikan dengan urutan kegiatan yang sesungguhnya terjadi di bidang pelayanan cukai. Secara ringkas dapat kami sebutkan urutan waktu penyampaian materi Kegiatan Belajar Teknis Cukai, sebagai berikut : hal 1

11 1) Perizinan di Bidang Cukai Pokok bahasan pada bab 1 ini akan mencakup penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perizinan di bidang cukai. Untuk lebih fokus, uraian penjelasan akan dibagi berdasarkan kategori ketentuan umum dan ketentuan khusus perizinan cukai. 2) Penetapan Tarif dan Harga Dasar Barang Kena Cukai (BKC), Penyediaan dan Pemesanan Pita Cukai Pokok bahasan pada bab 2 ini akan mencakup mekanisme penetapan tarif cukai yang di dalamnya juga akan mencakup Harga Jual Eceran BKC. Kemudian dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai mekanisme penyediaan dan pemesanan pita cukai. 3) Fasilitas dan Kemudahan Cukai Pokok bahasan bab 3 ini akan mencakup penjelasan mengenai fasilitas pembebasan dan fasilitas tidak dipungut cukai. Kemudian akan dijelaskan pula kemudahan-kemudahan berkaitan dengan mekanisme pembayaran cukai. 4) Pelunasan dan Penagihan Cukai Pokok bahasan bab 4 ini akan mencakup penjelasan mengenai mekanisme pelunasan cukai terhadap masing-masing BKC. Metode penyampaian materi akan lebih banyak ditekankan pada simulasi cara menghitung pungutan cukai baik terhadap BKC produksi dalam negeri maupun produk BKC impor. 5) Pencatatan, Pembukuan dan Pencacahan BKC Pokok Bahasan yang disampaikan berisi materi teknis operasional terkait dengan kegiatan pencatatan, pembukuan dan pencacahan BKC. Materi belajar akan difokuskan pada tata cara pengelolaan administrasi pencatatan dan pelaporan oleh pengusaha pabrik BKC tertentu dan bendahara Bea dan Cukai. 6) Mutasi BKC Pokok bahasan pada bab 6 ini akan mencakup penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme pemasukan, penimbunan, pengeluaran, pengangkutan dan perdagangan BKC. Uraian penjelasan akan mencakup hal 2

12 alur proses mutasi BKC dan pengenalan terhadap dokumen pelindung mutasi BKC. 7) Pemusnahan dan Pengolahan Kembali BKC Pokok bahasan pada bab 7 ini akan mencakup teknis operasional di bidang cukai yang terkait dengan kategori pengembalian cukai, khususnya karena alasan pemusnahan dan pengolahan kembali. Topik Pemusnahan dan pengembalian cukai di materi Bab 7 ini merupakan hanya sebagian saja dari keseluruhan topik pengembalian di bidang cukai. 8) Kewenangan Pejabat Bea dan cukai Pokok bahasan pada bab 8 ini akan berisi penjelasan mengenai kewenangan umum dan kewenangan khusus di bidang cukai. 9) Keberatan dan Banding di Bidang Cukai Pokok bahasan bab 9 ini akan mencakup penjelasan mengenai mekanisme keberatan, mekanisme banding dan mekanisme gugatan di bidang cukai. Tujuan Pembelajaran Umum Standar kompetensi yang ingin dicapai terhadap Mahasiswa yang mempelajari modul ini adalah agar siswa mampu menjelaskan ketentuan teknis operasional di bidang Cukai Tujuan Pembelajaran Khusus Kompetensi dasar yang diharapkan setelah mempelajari modul ini adalah agar peserta mampu menjelaskan ketentuan teknis operasional cukai yang berkaitan dengan : 1) Perizinan di Bidang Cukai 2) Penetapan Tarif dan Harga Dasar BKC, serta Penyediaan dan pemesanan Pita Cukai 3) Fasilitas Cukai dan Kemudahan Pembayaran Cukai 4) Pelunasan dan Penagihan Cukai 5) Pencatatan, pembukuan dan pencacahan di bidang cukai 6) Mutasi BKC hal 3

13 7) Pemusnahan dan pengolahan kembali BKC 8) Kewenangan pejabat di bidang cukai 9) Keberatan dan banding di bidang cukai Akhirnya kami berharap agar Bahan Ajar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan wawasan yang tepat mengenai tatacara teknis operasional di bidang cukai kepada Mahasiswa STAN. Untuk selanjutnya kami akan berusaha agar bahan ajar ini akan terus di-update sesuai dengan perkembangan terbaru tatalaksana teknis operasional di bidang cukai. The magic word: Sukses terdiri dari 1% bakat dan 99% keringat" hal 4

14 BAB PERIZINAN DI BIDANG CUKAI 1 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tatalaksana perizinan di bidang cukai A. Ketentuan Umum Penerbitan Izin NPPBKC 1. Kewajiban Memiliki Izin NPPBKC Setiap orang yang menjalankan kegiatan di bidang cukai wajib memiliki izin dari otoritas pemerintah. Hal ini secara tegas diatur di dalam ketentuan pasal 14 Undang-undang Cukai. 1 Ketentuan perizinan dalam pasal 14 tersebut juga menegaskan posisi Menteri Keuangan sebagai pihak yang berhak mengeluarkan izin, meskipun dalam pelaksanaan operasionalnya wewenang tersebut didelegasikan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai c.q. Kepala Kantor Bea dan Cukai. Sifat pungutan cukai yang merupakan pajak tidak langsung memberikan ruang bagi pemerintah untuk melakukan penarikan cukai pada sektor hulu (produsen BKC). Hal ini akan lebih mudah dilakukan daripada proses pemungutannya dilakukan pada tingkat hilir (konsumen langsung). Untuk memudahkan kontrol terhadap pengusaha BKC maka pemerintah mewajibkan pengusaha untuk memiliki izin di bidang cukai. Adanya kewajiban untuk memiliki 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 hal 5

15 izin di bidang cukai Perizinan terhadap pengusaha BKC dikeluarkan dalam bentuk Nomor Pokok Pengusaha BKC (NPPBKC). Sebagai pelaksanaan ketentuan perizinan di bidang cukai tersebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha BKC. Kemudian untuk pengaturan teknis tatacara penerbitan NPPBKC, Menteri Keuangan telah menerbitkan tiga peraturan teknis yang memberikan panduan bagi aparatur DJBC dalam melaksanakan ketentuan perizinan di bidang cukai. Ketiga peraturan teknis tersebut adalah : a) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 jo. PMK 191/PMK.04/2010 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabuan NPPBKC untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau ; b) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabuan NPPBKC untuk Pengusaha Pabrik, Importir, Penyalur dan Pengusaha tempat Penjalan Eceran MMEA ; c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabuan NPPBKC untuk Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir dan Pengusaha Tempat Penjualan Eceran Etil Alkohol. NPPBKC yang diberikan Menteri sama sekali tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi izin-izin dari instansi terkait lainnya berdasarkan lingkup tugas, fungsi dan wewenangnya masing-masing, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh, untuk izin NPPBKC sebagai Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran MMEA maka Pengusaha diwajibkan pula untuk memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan dan juga rekomendasi dari Kepolisian setempat. hal 6

16 2. Kegiatan di Bidang Cukai Izin di bidang cukai wajib dimiliki oleh setiap orang yang menjalankan kegiatan di bidang cukai. Pengertian orang dalam ketentuan tersebut mencakup subyek orang pribadi atau subyek badan hukum. Adapun pengertian kegiatan di bidang cukai adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi : a. Memproduksi (membuat) BKC Pengertian memproduksi BKC adalah kegiatan menghasilkan BKC di Indonesia. Konteks tempat dalam pengertian ini harus dimaknai secara cermat, karena makna di Indonesia memiliki pengertian yang berbeda dengan makna di daerah pabean. Perbedaan konsep ini terutama akan menjadi masalah yang cukup pelik ketika dihadapkan pada konsep free trade zone (FTZ). Proses produksi BKC hanya dapat dilakukan di dalam pabrik. Pengertian Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang dipergunakan untuk menghasilkan BKC dan/atau untuk mengemas BKC dalam kemasan untuk penjualan eceran. Pihak yang mengusahakan pabrik BKC disebut sebagai Pengusaha Pabrik. Pihak pengusaha pabrik inilah yang wajib memiliki izin NPPBKC sebelum melakukan kegiatan memproduksi BKC. b. Menyimpan Etil Alkohol dalam Tempat Penyimpanan (TP) Etil Alkohol Pengertian tempat penyimpanan mencakup tempat, bangunan, dan/atau lapangan yang bukan merupakan bagian dari Pabrik, yang dipergunakan untuk menyimpan BKC berupa etil alkohol yang masih terutang cukai dengan tujuan untuk disalurkan, dijual atau diekspor. Kegiatan TP etil alkohol merupakan mata rantai distribusi dalam perdagangan etil alkohol. Keberadaan TP etil alkohol dibutuhkan untuk mendukung pabrik etil alkohol yang jumlahnya cukup terbatas. Pihak yang mengusahakan tempat penyimpanan disebut sebagai Pengusaha Tempat Penyimpanan. Pihak inilah yang wajib memiliki izin NPPBKC sebelum melakukan kegiatan menyimpan BKC etil alkohol. hal 7

17 c. Melakukan kegiatan impor BKC Pengertian impor BKC adalah memasukkan BKC ke dalam daerah pabean Indonesia. Tatalaksana kegiatan impor BKC secara umum diatur dalam ketentuan tatalaksana kepabeanan. Undang-undang cukai hanya mengatur penetapan suyek dan obyek berkaitan dengan kegiatan impor BKC. Pihak yang memasukkan BKC ke dalam daerah pabean Indonesia disebut sebagai importir. Importir berkewajiban memiliki NPPBKC sebelum melakukan kegiatannya. Dalam aturan pelaksanaannya, khusus terhadap BKC MMEA hanya dimungkinkan importasinya oleh importir yang ditunjuk oleh Menteri Perdagangangan. Hingga saat ini (Oktober 2010) telah ditunjuk 8 importir yang dapat melakukan importasi MMEA, yaitu : - PT. Sarinah - PT. Jaddi International - PT. Indowines - PT. Mitra Indo Maju - PT. Muliatama Mitra Sejahtera - PT. Aska Indoco - PT. Boga Citra Nusapratama - PT. Pantja Artha Niaga Importasi MMEA yang dilakukan oleh importir yang ditnjuk hanya boleh dilakukan di pelabuhan-pelabuhan yang ditunjuk dengan jumlah kuota yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. d. Melakukan kegiatan penyaluran BKC Kegiatan penyaluran BKC adalah kegiatan menyalurkan atau menjual BKC yang sudah dilunasi yang semata-mata ditujukan bukan kepada konsumen akhir. Berdasarakan aturan Undang-undang cukai dan PP Nomor 72 tahun 2008, kegiatan cukai sebagai penyalur MMEA dan etil alkohol diwajibkan untuk memiliki NPPBKC. Dalam pelaksanaannya sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.04/2008 dan PMK Nomor 202/PMK.04/2008, kewajiban untuk memiliki NPPBKC terhadap kegiatan usaha sebagai penyalur hanya diatur terhadap BKC berupa MMEA saja. hal 8

18 Konsep penyalur BKC pada dasarnya hampir mirip dengan konsep tempat penyimpanan etil alkohol. Hanya saja tempat penyimpanan etil alkohol mendapat pengecualian dalam hal status BKC yang disimpan di dalamnya, yaitu masih terutang cukai. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan, mengapa kegiatan penyaluran etil alkohol belum diatur secara tegas dalam peraturan operasional oleh Menteri Keuangan. Pihak yang melakukan kegiatan penyaluran BKC disebut sebagai Penyalur. Pihak inilah yang wajib memiliki izin NPPBKC sebelum melakukan kegiatan menyalurkan BKC. e. Melakukan kegiatan penjualan eceran BKC Pengertian TPE adalah tempat untuk menjual secara eceran BJKC berupa MMEA atau Etil Alkohol kepada konsumen akhir. Pihak yang mengusahakan tempat penjualan eceran BKC disebut sebagai Pengusaha TPE. Pihak inilah yang wajib memiliki izin NPPBKC sebelum melakukan kegiatan menjual secara eceran BKC. Kewajiban memiliki NPPBKC diwajibkan khusus terhadap BKC berupa etil alkohol dan MMEA. Hal ini dengan pertimbangan bahwa karakteristik BKC tersebut memiliki tingkat kerawanan yang tinggi dalam peredarannya di masyarakat. 3. Pemegang Izin dan Masa Berlakunya NPPBKC Izin NPPBKC sebagai Pengusaha di bidang Cukai diberikan kepada : a) Orang (baik sebagai pribadi atau badan hukum) yang berkedudukan di Indonesia; b) Orang (baik sebagai pribadi atau badan hukum) yang secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia. Dalam hal pemegang izin NPPBKC adalah orang pribadi, apabila yang bersangkutan meninggal dunia, maka izin NPPBKC dapat dipergunakan selama dua belas bulan sejak tanggal meninggalnya yang bersangkutan oleh ahli waris atau yang dikuasakan dan setelah lewat jangka waktu tersebut izin wajib diperbaharui. Masa berlakunya pemberian izin NPPBKC terhadap pengusaha pabrik dan importir BKC adalah selama yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan hal 9

19 usahanya. Pengertiannya adalah bahwa Orang yang mendapat penunjukkan sebagai pemegang NPPBKC baik mewakili kepentingan pribadinya (sebagai pengusaha perorangan) ataupun mewakili kepentingan suatu Badan Usaha harus bertindak sebagai subyek yang wajib bertanggung jawab penuh terhadap kegiatan di bidang cukai. Apabila yang bersangkutan tidak lagi menjalankan kegiatan usaha di bidang cukai tersebut, maka izin NPPBKC yang dipegangnya tersebut menjadi batal. Berkaitan dengan posisi pemegang NPPBKC di suatu Badan Usaha yang telah dipindahtangankan, maka pemilik baru harus segera mengajukan permohonan perubahan NPPBKC dengan melampirkan bukti-bukti pemindahtanganan tersebut. Bukti-bukti yang wajib dilampirkan antara lain adalah: salinan akte notaris, perdsetujuan akta perubahan Anggaran Dasar perusahaan dan sebagainya. Masa berlakunya pemberian izin NPPBKC terhadap Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Penyalur dan Tempat Penjualan Eceran adalah selama lima tahun, dan setiap kali dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Adapun maksud dari pembatasan jangka waktu hanya selama lima tahun ini didasarkan atas pertimbangan bahwa karakteristik BKC etil alkohol dan MMEA tersebut mudah menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan menimbulkan kerawanan sosial, sehingga pengawasan terhadap peredaran dan penggunaannya perlu lebih diperketat. 4. Pengecualian Kewajiban Memiliki Izin NPPBKC Terhadap orang tertentu yang memproduksi BKC ataupun melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan BKC, dikecualikan dari kewajiban memiliki NPPBKC. Hal ini berkaitan dengan pemberian fasilitas di bidang cukai sebagaimana diatur dalam pasal 8 dan pasal 9 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 jo. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan juga mempertimbangkan efektifitas pengawasan. Adapun subyek yang dikecualikan dari kewajiban untuk memiliki NPPBKC adalah sebagai berikut : hal 10

20 1) Orang yang membuat tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila : - Dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau; - Pada pengemas atau tembakau irisnya tidak dibubuhi atau dilekati atau dicantumkan cap, merek dagang, etiket, atau sejenis dengan itu. 2) Orang yang membuat minuman mengandung etil alkohol yang diperoleh dari hasil peragian atau penyulingan, apabila : - Dibuat oleh rakyat Indonesia; - Pembuatannya dilakukan secara sederhana; - Produksi tidak melebihi 25 (dua puluh lima) liter setiap hari; - Tidak dikemas dalam kemasan penjualan eceran. 3) Orang yang mengimpor BKC yang mendapat fasilitas pembebasan cukai : - Untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan - Untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; - Untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada Badan atau Organisasi Internasional di Indonesia; - Yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau kiriman dari Luar Negeri, dalam jumlah tertentu; - Untuk tujuan sosial. 4) Pengusaha Tempat Penjualan Eceran etil alkohol yang jumlah penjualannya dalam sehari maksimal 30 (tiga puluh) liter 5) Pengusaha Tempat Penjualan Eceran MMEA dengan kadar paling tinggi 5% (lima persen). hal 11

21 B. Tatacara Pengajuan Izin NPPBKC 1. Alur Proses Perizinan NPPBKC Untuk mendapatkan izin NPPBKC sebagai Pengusaha BKC maka Pengusaha wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Cukai, pemberian izin NPPBKC merupakan wewenang yang dimiliki oleh Menteri Keuangan, akan tetapi dalam pelaksanaan operasionalnya wewenang ini telah didelegasikan hingga pada level Kepala Kantor Bea dan Cukai. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memberi kemudahan kepada para pengusaha yang ingin mendapatkan izin kegiatan di bidang cukai. Proses pengajuan izin NPPBKC secara umum dilaksanakan dalam dua tahapan. Tahapan pertama adalah tahap permohonan pemeriksaan lokasi, yaitu permintaan untuk dilakukannya pemeriksaan lokasi atas bangunan atau tempat usaha yang akan dijadikan lokasi kegiatan di bidang cukai. Tahapan ini bertujuan untuk menyaring permohonan NPPBKC yang betul-betul layak untuk diproses lebih lanjut. Berdasarkan aturan PP nomor 72 tahun 2008 ketentuan persyaratan fisik lokasi subyek NPPBKC semakin diperketat. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang secara bertahap akan semakin membatasi jumlah produsen BKC. Output dari proses tahap pertama ini adalah Berita Acara Pemeriksaan Lokasi. Tahapan kedua dalam proses perizinan NPPBKC adalah pengajuan permohonan izin NPPBKC dengan menggunakan format dokumen PMCK-6. Pengajuan PMCK-6 harus dilampiri dengan dokumen perizinan dari instansi terkait. Izin NPPBKC yang dikeluarkan oleh NPPBKC merupakan izin terakhir yang harus dipenuhi oleh pengusaha yang akan melakukan kegiatan cukai. Secara umum proses pemberian izin NPPBKC kepada subyek NPPBKC dapat kami jelaskan dalam gambar 1.1 berikut. Mekanisme pengajuan NPPBKC ini kami rangkum dari tiga Peraturan Menteri Keuangan yang berkaitan dengan NPPBKC yang telah disebutkan sebelumnya. hal 12

22 Gambar 1.1 Alur Proses Pemberian Izin NPPBKC Penjelasan : a) Tahap pertama pengajuan NPPBKC diawali dengan permohonan pemeriksaan lokasi yang dimintakan izin. Permohonan pemeriksaan lokasi atas bangunan atau tempat usaha minimal harus dilampiri dengan : - Salinan atau fotocopi izin usaha; - Gambar denah lokasi bangunan atau tempat usaha; - Salinan atau fotocopi izin mendirikan bangunan (IMB); - Salinan atau fotocopi izin berdasarkan Undang-undang Mengenai Gangguan b) Atas permohonan yang diajukan tersebut, Kantor Pelayanan Bea dan Cukai akan melakukan wawancara terhadap pemohon. Tujuan wawancara adalah untuk memeriksa kebenaran data pemohon selaku penanggung jawab dan juga kebenaran mengenai data-data yang dilampirkan. Hasil wawancara akan dituangkan dalam suatu Berita Acara Wawancara. hal 13

23 c) Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lokasi terhadap bangunan atau tempat usaha yang dimintakan izin NPPBKC. Proses pemeriksaan lokasi ini harus dilaksanakan paling lambat dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima. Hasil pemeriksaan lokasi akan dituangkan dalam suatu berita acara pemeriksaan lokasi (BAP) yang ditandatangani oleh Pemeriksa dan Pengusaha yang bersangkutan. d) Berita Acara Pemeriksaan Lokasi dan Gambar Denah lokasi harus memuat secara rinci : - persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk bagian dari bangunana atau tempat usaha yang dimohonkan izinnya ; - batas-batas bangunan atau tempat usaha yang dimohonkan izinnya; - luas bangunan atau Tempat Usaha yang dimohonkan izin NPPBKC. e) Berita Acara Pemeriksaan Lokasi yang menyatakan Lokasi yang bersangkutan Layak untuk diberikan izin NPPBKC, digunakan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh NPPBKC. Berita Acara tersebut hanya dapat digunakan dalam jangka waktu paling lamabat tiga bulan sejak tanggal BAP ditandatangani. f) Tahapan Kedua dalam alur proses pemberian izin NPPBKC adalah pengajuan permohonan izin NPPBKC dalam suatu format permohonan standar (PMCK 6) dengan disertai lampiran perizinan dari instansi terkait dan data identitas diri pemohon. Lampiran persyaratan izin dari instansi terkait untuk masing-masing jenis kegiatan di bidang cukai tidaklah sama. Khusus untuk persyaratan izin terhadap kegiatan dibidang cukai MMEA dan Etil Alkohol agak lebih ketat dibandingkan dengan persyaratan izin untuk kegiatan cukai hasil tembakau. g) Kepala Kantor atas nama Menteri Keuangan harus memutuskan disetujui atau ditolaknya permohonan PMCK.6 dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap. h) Dalam hal permohonan disetujui maka akan diterbitkan Keputusan Pemberian NPPBKC, namun bila permohonan ditolak maka diterbitkan surat penolakan yang memberikan penjelasan mengenai alasan penolakan. Salah satu dasar pertimbangan penolakan oleh Kepala Kantor adalah apabila hal 14

24 nama pabrik, tempat penyimpanan, importir, penyalur atau TPE yang diajukan memiiliki kesamaan nama, baik tulisan maupun pengucapannya dengan nama subyek cukai sejenis lainnya yang telah mendapatkan NPPBKC lebih dahulu. Gambar 1.2 Contoh Permohonan PMCK-6 hal 15

25 hal 16

26 2. Persyaratan Pemberian izin NPPBKC Etil Alkohol a. Kewajiban dan Persyaratan Lokasi Bangunan atau Tempat Usaha Sebelum mengajukan proses permohonan izin NPPBKC, pengusaha wajib memenuhi persyaratan fisik lokasi yang dimintakan izin. Berikut ini akan kami jelaskan beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi dalam proses pemberian izin dalam kegiatan cukai berkaitan dengan BKC etil alkohol. Kewajiban bagi Pabrik Etil Alkohol : a) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempattempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin; b) Tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal; c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang lokasinya dalam kawasan industri; d) Memiliki luas bangunan minimal (lima ribu) meter persegi; e) Memiliki ruang laboratorium dan peralatannya; f) Memiliki bangunan, ruangan dan tempat yang dipakai untuk membuat etil alkohol; g) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah lainnya untuk menyimpan bahan baku atau bahan penolong; h) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah lainnya untuk menyimpan hasil akhir yang bukan BKC (dalam hal pabrik dengan proses produksi terpadu); i) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah lainnya untuk menampung etil alkohol yang telah dirusak sehingga tidak baik untuk diminum (spiritus bakar); j) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah lainnya untuk menampung produk sampingan; k) Memiliki peralatan pemadam kebakaran yang memadai; l) Memiliki ruangan yang memadai bagi pejabat bea dan cukai dalam melakukan pekerjaan atau pengawasan; dan hal 17

27 m) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok, dengan ketinggian minimal 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat. Kewajiban bagi Tempat Penyimpanan etil alkohol : a) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan,halaman, atau tempattempat lain yang bukan bagian tempat penyimpanan yang dimintakan izin; b) Dilarang berhubungan langsung dengan rumah tinggal; c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang lokasinya dalam kawasan industri; d) Memiliki tempat penimbunan permanen berupa tangki dengan kapasitas keseluruhan minimal (dua ratus ribu) liter etil alkohol, dilengkapi dengan fasilitas penunjang berupa pompa, alat ukur volume dan suhu, dan tabel volume yang disahkan oleh Dinas Meteorologi; e) Memiliki luas lokasi minimal (lima ribu) meter persegi; f) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok, dengan ketinggian minimal 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat. g) Memiliki ruang laboratorium dan peralatannya; h) Memiliki aset milik sendiri untuk menjalankan usaha tempat penyimpanan yang meliputi gudang dan tangki tempat penimbunan etil alkohol yang masih terutang cukai; i) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah lainnya untuk menampung etil alkohol yang telah dicampur; j) Memiliki peralatan pemadam kebakaran yang memadai; k) Memiliki ruangan yang memadai bagi pejabat bea dan cukai dalam melakukan pekerjaan atau pengawasan. Ketentuan persyaratan fisik pendirian Tempat Penyimpanan sebagaimana dimaksud diatas berlaku juga bagi persyaratan pendirian Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran dan Tempat Penyimpanan Khusus Tujuan Ekspor. hal 18

28 Kewajiban bagi Tempat Usaha Importir : a) Tidak menggunakan tempat penimbunan etil alkohol yang berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat lain yang bukan bagian tempat usaha importir yang dimintakan izin; b) Memiliki jarak lebih dari 100 (seratus) meter dengan tempat ibadah umum, sekolah atau rumah sakit; c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang berada di kawasan perdagangan; d) Memiliki persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk bagian dari tempat usaha importir; e) Memiliki bangunan,ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun etil alkohol yang diimpor; dan f) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok dengan ketinggian paling rendah 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat. Kewajiban bagi Tempat Penjualan Eceran : a) Dilarang berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempattempat lain yang bukan bagian dari TPE yang dimintakan izin, kecuali yang berada di kawasan industri atau kawasan perdagangan; b) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang berada di kawasan perdagangan; c) Memiliki bangunan, ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun etil alkohol. b. Persyaratan Administrasi Untuk mendapatkan NPPBKC terhadap kegiatan yang berkaitan dengan BKC etil alkohol maka pengusaha harus memenuhi persyaratan administrasi sebagai berikut: hal 19

29 Untuk Pabrik Etil Alkohol dan Tempat Penyimpanan Etil Alkohol, persyaratan administrasi yang wajib dilengkapi adalah : a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat; b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah setempat; c) Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan; d) Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan; e) Khusus untuk Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, dilengkapi dengan izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Kesehatan; f) Khusus untuk Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, dilengkapi dengan izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Tenaga Kerja; g) Nomor Pokok Wajib Pajak ; h) Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia, apabila pemohon merupakan orang pribadi; i) Kartu Tanda Pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi; j) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; dan k) Surat Pernyataan di atas materei yang cukup akan menyelenggarakan pembukuan perusahaan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku dan menyimpan dokumen, buku, dan laporan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya. l) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. Untuk persyaratan administrasi terhadap Importir etil alkohol yang mengajukan permohonan NPPBKC: a) Izin sebagai importir dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan; b) Nomor Pokok Wajib Pajak ; c) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; dan hal 20

30 d) Nomor Identitas Kepabeanan e) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Bea dan Cukai setempat. Persyaratan administrasi terhadap Pengusaha Tempat Penjualan eceran etil alkohol yang mengajukan permohonan NPPBKC: a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat; b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah setempat; c) Izin usaha perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan; d) Izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang tenaga kerja; e) Nomor Pokok Wajib Pajak; f) Surat Keterangan Catatan kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia, apabila pemohon merupakan orang pribadi; g) Kartu tanda pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi; h) Akta pendirian usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum. i) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. j) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan, maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun. 3. Persyaratan Pemberian izin NPPBKC MMEA a. Kewajiban dan Persyaratan Lokasi Bangunan atau Tempat Usaha Berkaitan dengan pemberian izin NPPBKC terhadap Pengusaha yang melakukan kegiatan cukai MMEA diatur hal-hal yang bersifat khusus terhadap proses pemberian izin NPPBKC untuk jenis BKC berupa MMEA. Berikut ini akan kami jelaskan beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi dalam proses pemberian izin dalam kegiatan cukai MMEA. hal 21

31 Kewajiban yang harus dipenuhi terhadap Pabrik MMEA : a) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempattempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin; b) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum; c) Memiliki luas bangunan minimal 300 (tiga ratus) meter persegi; d) Memiliki persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk bagian dari pabrik; e) Memiliki bangunan, ruangan dan tempat yang dipakai untuk membuat MMEA; f) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, dan tangki atau wadah lainnya untuk menimbun MMEA yang selesai dibuat; g) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, dan tangki atau wadah lainnya untuk menimbun MMEA yang cukainya sudah dibayar atau dilunasi; h) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, dan tangki atau wadah lainnya untuk menimbun MMEA yang selesai dibuat; i) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah lainnya untuk menyimpan bahan baku atau bahan penolong; j) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah lainnya yang digunakan untuk kegiatan produksi dan penimbunan bahan baku atau bahan penolong; k) Memiliki ruangan yang memadai bagi pejabat bea dan cukai dalam melakukan pekerjaan atau pengawasan; dan l) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok, dengan ketinggian minimal 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat. Kewajiban bagi Tempat Usaha Importir MMEA : a) Tidak menggunakan tempat penimbunan etil alkohol yang berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat lain yang bukan bagian tempat usaha importir yang dimintakan izin; b) Memiliki jarak lebih dari 100 (seratus) meter dengan tempat ibadah umum, sekolah atau rumah sakit; hal 22

32 c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang berada di kawasan perdagangan; d) Memiliki persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk bagian dari tempat usaha importir; e) Memiliki bangunan,ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun MMEA yang diimpor; dan f) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok dengan ketinggian paling rendah 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat. Kewajiban bagi Tempat Usaha Penyalur MMEA : a) Dilarang menggunakan tempat penimbunan MMEA yang berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat lain yang bukan bagian tempat usaha importir yang dimintakan izin; b) Memiliki jarak lebih dari 100 (seratus) meter dengan tempat ibadah umum, sekolah atau rumah sakit; c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang berada di kawasan perdagangan; d) Memiliki luas bangunan minimal 100 (seratus) meter persegi; e) Memiliki persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk bagian dari tempat usaha penyalur; f) Memiliki bangunan, ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun MMEA; dan; g) Memiliki peralatan pemadam kebakaran yang memadai; h) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok dengan ketinggian paling rendah 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat. hal 23

33 Kewajiban bagi Pengusaha TPE MMEA : a) Dilarang berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempattempat lain yang bukan bagian dari TPE yang dimintakan izin, kecuali yang berada dikawasan industri atau kawasan perdagangan; b) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang berada di kawasan perdagangan; c) Memiliki jarak lebih dari 100 (seratus) meter dengan tempat ibadah umum, sekolah dan rumah sakit, kecuali tempat ibadah umum yang disediakan oleh pengusaha hotel, restoran, atau tempat hiburan ; d) Memiliki persil, bangunan,ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk bagian dari TPE; e) Memiliki persil, bangunan,ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun MMEA. b. Persyaratan Administrasi Untuk mendapatkan NPPBKC terhadap kegiatan yang berkaitan dengan BKC MMEA maka pengusaha harus memenuhi persyaratan administrasi sebagai berikut: Pengusaha Pabrik MMEA harus memiliki izin-izin dari instansi terkait, yaitu: a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat; b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah setempat; c) Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan; d) Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan; e) izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Kesehatan; f) izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Tenaga Kerja; hal 24

34 g) Nomor Pokok Wajib Pajak ; h) Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia, apabila pemohon merupakan orang pribadi; i) Kartu Tanda Pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi; j) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; dan k) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. l) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan, maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun. Bagi Importir MMEA yang mengajukan permohonan NPPBKC, maka harus melengkapi perizinan dari instansi terkait, sebagai berikut : a) Izin sebagai importir dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan. Dalam hal ini, penunjukan sebagai importir MMEA bersifat terbatas, artinya bahwa hanya importir terdaftar (IT) tertentu saja yang mendapat izin khusus dari Menteri Perdagangan yang boleh mengimpor MMEA. Untuk saat ini, hanya PT. Sarinah yang mendapat izin khusus untuk mengimpor MMEA; b) Nomor Pokok Wajib Pajak ; c) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; dan d) Nomor Identitas Kepabeanan; e) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. Bagi Pengusaha Penyalur MMEA yang mengajukan permohonan NPPBKC, maka harus melengkapi perizinan dari instansi terkait, sebagai berikut : a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat; b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah; c) Izin usaha perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan. Dalam hal ini ada dua izin yang harus dimiliki, yaitu Surat izin usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUPMB); hal 25

35 d) Izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang tenaga kerja; e) Nomor Pokok Wajib Pajak; f) Surat Keterangan Catatan kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia, apabila pemohon merupakan orang pribadi; g) Kartu tanda pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi; h) Akta pendirian usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum. i) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. j) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan, maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun. Bagi Pengusaha Tempat Penjualan Eceran MMEA yang mengajukan permohonan NPPBKC, maka harus melengkapi perizinan dari instansi terkait, sebagai berikut : a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat; b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah setempat; c) Izin usaha perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan. Dalam hal ini ada dua izin yang harus dimiliki, yaitu Surat izin usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUPMB); d) Izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang tenaga kerja; e) Nomor Pokok Wajib Pajak; f) Surat Keterangan Catatan kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia, apabila pemohon merupakan orang pribadi; g) Kartu tanda pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi; h) Akta pendirian usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum. i) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. hal 26

36 j) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan, maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun. 4. Persyaratan Pemberian izin NPPBKC Hasil Tembakau a. Kewajiban dan Persyaratan Lokasi Bangunan atau Tempat Usaha Berkaitan dengan pemberian izin NPPBKC terhadap pengusaha yang melakukan kegiatan cukai Hasil Tembakau diatur hal-hal yang bersifat khusus terhadap proses pemberian izin NPPBKC. Berikut ini akan kami jelaskan beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi dalam proses pemberian izin dalam kegiatan cukai Hasil Tembakau. Kewajiban bagi pabrik Hasil Tembakau a) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempattempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin; b) Tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum; d) Memiliki luas bangunan minimal 200 (dua ratus) meter persegi Kewajiban bagi Tempat Usaha Importir Hasil Tembakau a) Tidak menggunakan tempat penimbunan hasil tembakau yang berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat lain yang bukan bagian tempat usaha importir yang dimintakan izin; b) Tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal; c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum. b. Persyaratan Administrasi Untuk mendapatkan NPPBKC terhadap kegiatan yang berkaitan dengan BKC Hasil Tembakau maka pengusaha minimal harus memenuhi persyaratan administrasi sebagai berikut: Pabrik Hasil Tembakau, harus memenuhi persyarataan administrasi : a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat; hal 27

37 b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah setempat; c) Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan; d) Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan; e) izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Tenaga Kerja; f) Nomor Pokok Wajib Pajak ; g) Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia, apabila pemohon merupakan orang pribadi; h) Kartu Tanda Pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi; i) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; j) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat; k) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan, maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun; l) Surat pernyataan bermaterei cukup bahwa pemohon tidak berkeberatan untuk dibekukan atau dicabut NPPBKC yang telah diberikan dalam hal nama pabrik yang bersangkutan memiliki kesamaan nama, baik tulisan maupun pengucapannya dengan nama pabrik lain yang telah mendapat NPPBKC. Importir Hasil Tembakau yang mengajukan permohonan NPPBKC harus memenuhi persyaratan administrasi : a) Izin sebagai importir dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan; b) Nomor Pokok Wajib Pajak ; c) Akta Pendirian Usaha; d) Nomor Identitas Kepabeanan (NIK) hal 28

38 e) Surat penunjukan sebagai agen penjualan dari produsen hasil tembakau yang diimpor; f) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Bea dan Cukai. 5. Penomoran NPPBKC Untuk memberikan keseragaman dalam hal identifikasi data pemegang NPPBKC maka penomoran NPPBKC ditetapkan secara standar dengan mengacu kepada ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : SE- 03/BC/2009. Adapun sistem penomoran yang harus digunakan dalam pemberian izin NPPBKC adalah sebagai berikut : a) Sistem Penomoran NPPBKC terdiri dari 10 (sepuluh) digit, dengan rincian : - 4 (empat) digit pertama merupakan kode Kantor penerbit NPPBKC. Tabel kode Kantor penerbit NPPBKC dapat anda lihat dalam Lampiran SE-03/BC/ (satu) digit kelima merupakan kode jenis usaha, dengan rincian bahwa kode angka 1 untuk pabrik, angka 2 untuk importir, angka 3 untuk Tempat Penyimpanan, angka 4 untuk Tempat Penjualan Eceran, dan angka 5 untuk Penyalur. - 1 (satu) digit keenam merupakan kode jenis BKC, dengan rincian bahwa kode angka 1 untuk jenis BKC etil alkohol, angka 2 untuk jenis BKC MMEA, dan angka 4 untuk jenis BKC hasil tembakau. - 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor urut NPPBKC sesuai dengan nomor urut pemberian di masing-masing Kantor Bea dan Cukai. b) Dalam rangka tertib administrasi dan menghindari duplikasi, pemberian nomor urut NPPBKC baru maupun pembaharuan, untuk 4 (empat) digit keempat dimulai dengan angka 1001 (seribu satu). c) Contoh Penomoran NPPBKC : Pengusaha Pabrik MMEA PT. A (pabrik baru) berada di wilayah pengawasan KPPBC Tipe Madya Cukai Malang mengajukan permohonan NPPBKC. Setelah dilakukan proses penelitian administratif dan pemeriksaan lokasi sesuai ketentuan yang berlaku, kedapatan Pabrik hal 29

39 MMEA PT. A telah memenuhi persyaratan dan layak diberikan NPPBKC. Maka terhadap Pabrik MMEA PT. A diberikan NPPBKC dengan nomor , artinya bahwa : - Angka 0706 adalah kode Kantor Penerbit NPPBKC untuk KPPBC Tipe Madya Cukai Malang - Angka 1 adalah kode untuk pabrik BKC - Angka 2 adalah kode untuk MMEA - Angka 1001 adalah nomor urut yang diberikan untuk pabrik MMEA PT A (urutan ke-1 atas NPPBKC yang diterbitkan oleh KPPBC Tipe Madya Cukai Malang) TPE MMEA PT. B (TPE lama) telah mempunyai NPPBKC dengan nomor berada di wilayah pengawasan KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus. Sesuai ketentuan, maka NPPBKC wajib diperbaharui oleh pemegang NPPBKC dengan mengajukan permohonan dan wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sesuai PMK Nomor 201/PMK.04/2008. Setelah dilakukan proses penelitian administratif dan pemeriksaan lokasi sesuai ketentuan yang berlaku kedapatan TPE MMEA PT. B telah memenuhi persyaratan dan layak diberikan NPPBKC. Berdasarkan catatan pada KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus, diketahui bahwa KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus belum pernah menerbitkan NPPBKC TPE MMEA. Maka terhadap TPE MMEA PT. B diberikan NPPBKC dengan nomor , artinya bahwa : - Angka 0603 adalah kode Kantor penerbit NPPBKC untuk KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus - Angka 4 adalah kode untuk TPE - Angka 2 adalah kode untuk MMEA - Angka 1001 adalah nomor urut yang diberikan untuk TPE MMEA PT. B hal 30

40 Gambar 1.3 Contoh NPPBKC Hasil Tembakau hal 31

41 C. Pembekuan, Pencabutan, dan Perubahan NPPBKC 1. Pembekuan NPPBKC Yang dimaksud dengan pembekuan izin adalah tidak diperbolehkannya Pengusaha yang memiliki NPPBC untuk melakukan kegiatan usaha di bidang cukai sampai dengan diterbitkannya keputusan pemberlakuan kembali atau pencabutan izin, tanpa mengurangi kewajiban yang harus diselesaikan kepada negara. Izin NPPBKC bagi Pengusaha BKC dapat dibekukan, dalam hal : a) adanya bukti permulaan yang cukup bahwa pemegang izin NPPBKC melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai, antara lain : - Laporan Kejadian - Berita Acara Wawancara - Laporan Hasil Penyelidikan - Keterangan saksi ahli - Barang bukti Bukti permulaan yang cukup dalam pengertian disini adalah suatu kondisi yang memungkinkan penyidik bea cukai untuk mulai melakukan kegiatan penyidikan pidana cukai. Kegiatan penyidikan bea cukai diawali dengan dikeluarkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum. b) adanya bukti yang cukup sehingga persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi, yaitu : - Pemegang izin NPPBKC tidak lagi mewakili kepentingan Badan Hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia - Persyaratan fisik lokasi bangunan atau tempat usaha tidak lagi dipenuhi - Persyaratan administrasi pemberian izin NPPBKC tidak lagi dipenuhi - Adanya kesamaan nama perusahaan dengan nama pabrik, importir, penyalur, atau TPE lainnya yang telah mendapatkan NPPBKC c) pemegang izin berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan utangnya. Kondisi ini terjadi ketika perusahaan pemegang NPPBKC digugat hal 32

42 pailit namun belum mendapatkan keputusan Hakim yang bersifat tetap. Selama belum ada keputusan yang bersifat final, maka status NPPBKC yang bersangkutan hanya dibekukan saja. 2. Pencabutan NPPBKC Pengertian pencabutan izin NPPBKC adalah bahwa Izin kegiatan di bidang Cukai yang dimiliki Pengusaha BKC tidak lagi berlaku baik karena kemauan sendiri ataupun dicabut oleh otoritas yang sah. Izin NPPBKC dapat dicabut, dalam hal : a) atas permohonan pemegang izin yang bersangkutan ; b) tidak dilakukan kegiatan selama satu tahun ; c) persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi ; d) pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia ; e) pemegang izin dinyatakan pailit ; f) tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ; g) pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar ketentuan undangundang cukai ; h) pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30 ; atau i) Izin NPPBKC dipindahtangankan, dikuasakan, dan/atau dikerjasamakan dengan orang/pihak lain tanpa persetujuan Menteri. Dalam hal izin NPPBKC dicabut maka terhadap BKC yang belum dilunasi cukainya yang masih berada di dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan harus dilunasi cukainya dan dikeluarkan dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat keputusan pencabutan izin. Dalam hal ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka BKC yang bersangkutan dimusnahkan atau diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan. BKC yang telah dilunasi cukainya dan berada di tempat usaha importir, penyalur, dan pengusaha tempat penjualan eceran, yang izinnya telah dicabut, harus dipindahkan ke tempat usaha importir BKC, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran lainnya atau dimusnahkan. hal 33

43 3. Perubahan NPPBKC Perubahan nama perusahaan, kepemilikan perusahaan, lokasi/bangunan/tempat usaha yang tercantum dalam NPPBKC, hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan. Untuk hal tersebut, Subyek pemegang NPPBKC yang akan melakukan perubahan nama perusahaan, kepemilikan perusahaan, lokasi/bangunan Pabrik atau Tempat Penyimpanan, harus mengajukan permohonan perubahan NPPBKC kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala Kantor Pelayanan dilampiri dengan bukti dokumen perubahan terdiri dari : a. Untuk perubahan nama Perusahaan : 1) akta notaris; 2) persetujuan akta perubahan anggaran dasar perusahaan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum, khusus bagi pengusaha yang berstatus badan hukum; 3) perubahan Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan; 4) perubahan Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan; dan 5) perubahan Nomor Pokok Wajib Pajak. b. Untuk perubahan kepemilikan Perusahaan : 1) akta notaris; 2) persetujuan akta perubahan anggaran dasar perusahaan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum, khusus bagi pengusaha yang berstatus badan hukum; 3) perubahan Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan; dan 4) perubahan Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan. c. Untuk perubahan lokasi/bangunan Pabrik atau Tempat Penyimpanan 1) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah daerah setempat; hal 34

44 2) Izin berdasarkan Undang-Undang Gangguan dari pernerintah daerah setempat; 3) perubahan Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pcrindustrian dan/atau perdagangan; 4) perubahan Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan; dan 5) perubahan Nomor Pokok Wajib Pajak. Dalam hal permohonan diterima secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak permohonan diterima, menetapkan Keputusan Perubahan NPPBKC dengan menggunakan format standar. Dalam hal permohonan diterima secara tidak lengkap atau tidak benar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. Apabila dalam jangka waktu tersebut, Pemohon tidak melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya mengeluarkan surat pemberitahuan penolakan yang memuat alasan penolakan. Keputusan perubahan NPPBKC atau surat pemberitahuan penolakan disampaikan kepada pemilik NPPBKC bersangkutan dan salinannya disampaikan kepada Direktur Cukai dan Kepala Kantor Wilayah. hal 35

45 RANGKUMAN : 1) Pemberian NPPBKC kepada para Pengusaha yang bergerak di bidang cukai merupakan salah satu mekanisme pengawasan yang diterapkan oleh DJBC dalam rangka untuk pengamanan penerimaan negara dan pengendalian/pengawasan BKC 2) Subyek yang wajib memiliki NPPBKC adalah : Pengusaha Pabrik BKC, Pengusaha tempat Penyimpanan etil alkohol, Penyalur MMEA dan etil alkohol, Importir BKC, Pengusaha TPE MMEA dan Etil alkohol; 3) Pada prinsipnya izin NPPBKC dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, namun dalam praktek operasionanalnya izin tersebut didelegasikan kewenangannya kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat; 4) Jangka waktu berlakunya izin NPPBKC adalah: khusus izin NPPBKC bagi Pengusaha Pabrik Importir BKC adalah selama pengusaha yang bersangkutan menjalankan kegiatan usahanya. Untuk izin NPPBKC bagi pengusaha tempat penyimpanan, penyalur atau pengusaha Tempat penjualan Eceran adalah selama lima tahun; 5) Izin NPPBKC dapat dibekukan dalam hal: a) adanya bukti permulaan yang cukup bahwa pemegang izin NPPBKC melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai; b) adanya bukti yang cukup sehingga persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi; c) pemegang izin berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan utangnya 6) Izin NPPBKC terhadap Pengusaha BKC dapat dicabut, dalam hal : a) atas permohonan pemegang izin yang bersangkutan ; b) tidak dilakukan kegiatan selama satu tahun ; c) persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi ; d) pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia ; e) pemegang izin dinyatakan pailit ; f) tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ; g) pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar ketentuan UU Cukai h) pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30; hal 36

46 Latihan LATIHAN : : Agar Anda dapat lebih memahami materi bahasan pada Bab 1, coba kerjakan latihan-latihan berikut ini. 1) Jelaskan siapa saja yang wajib memiliki izin NPPBKC dan juga yang dikecualikan untuk memiliki izin NPPBKC? 2) Jelaskan persyaratan fisik minimal yang berkaitan dengan luas lokasi tempat usaha yang harus dimiliki oleh pengusaha dalam melakukan kegiatan di bidang cukai? 3) Jelaskan mekanisme pemberian izin NPPBKC? 4) Jelaskan pengertian pembekuan dan pencabutan NPPBKC? 5) Jelaskan mekanisme perubahan NPPBKC? hal 37

47 BAB TATACARA PENETAPAN TARIF CUKAI PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA 2 CUKAI Tujuan Pembelajaran Khusus : Setelah mengikuti pembelajaran ini Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tatacara penetapan tarif dan harga dasar BKC, penyediaan dan pemesanan pita cukai A. Tarif Cukai dan Harga Dasar BKC 1. Tarif Cukai Pada Bab 2 ini kita akan mendalami materi bahasan mengenai tata cara penetapan tarif dan harga dasar BKC, penyediaan dan pemesanan pita cukai. Sebelum kita masuk pada pembahasan mengenai hal tersebut, ada baiknya kami mereview kembali pengetahuan mengenai konsep tarif cukai sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Cukai. Pemahaman yang tepat mengenai konsep tarif cukai, akan memudahkan anda dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan penetapan tarif cukai di tempat kerja masing-masing. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 5 Undang-undang Cukai diatur mengenai tarif cukai sebagai berikut : 1) BKC berupa hasil tembakau, dikenakan cukai berdasarkan tarif paling tinggi a) Untuk yang dibuat di Indonesia : 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik(hjp) ; atau hal 38

48 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran (HJE). b) Untuk yang diimpor : 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk ; atau 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah HJE. 2) BKC lainnya dikenakan cukai berdasarkan tarif paling tinggi : a) Untuk yang dibuat di Indonesia : 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik ; atau 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah HJE. b) Untuk yang diimpor : 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk ; atau 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah HJE. Ketentuan pasal 5 Undang-undang Cukai tersebut sekaligus memberikan pedoman mengenai sistem tarif cukai yang dapat diberlakukan terhadap BKC Undang-undang cukai memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menerapkan alternatif sistem tarif cukai sebagai berikut : a. Tarif cukai advalorum atau persentase Dalam sistem tarif advalorum, pungutan cukai dihitung berdasarkan besaran persentase tertentu yang dikalikan dengan harga dasar tertentu. Cukai = Tarif % x Harga Dasar hal 39

49 Keuntungan dalam sistem tarif advalorum adalah mudah dalam mengikuti perkembangan harga pasar. Hal ini karena komponen tarif cukai bersifat variabel terhadap harga jual BKC. Sebagai contoh, apabila pengusaha dikenakan tarif cukai advalorum sebesar 30% dari HJE (misal Rp ,-) maka pungutan cukai akan mudah ditentukan yaitu sebesar Rp.3.000,-. Ketika kebijakan HJE dinaikkan oleh Pemerintah menjadi sebesar Rp ,- maka dengan sendirinya beban cukai dapat diestimasikan meningkat secara variabel menjadi Rp ,-. Dari sisi pemahaman maupun cara perhitungan cukainya, maka sistem tarif cukai advalorum juga lebih simpel dan mudah. Kerugian atau lebih tepatnya kesulitan yang dihadapi pemerintah terhadap penerapan sistem tarif cukai advalorum adalah dalam hal pengawasan di lapangan. Penjelasannya adalah sebagai berikut : - Dengan penerapan sistem tarif cukai advalorum, kebijakan pemerintah cenderung menggunakan instrumen HJE sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan cukai setiap tahunnya atau untuk maksud pembatasanpembatasan tertentu. - Kenyataan riil yang ada di pasar menunjukkan bahwa HJE yang ditetapkan pemerintah (official price) selalu lebih tinggi dibandingkan dengan harga transaksi di tingkat konsumen (demand price). Hal ini terjadi karena adanya mekanisme pasar yang terbentuk terhadap konsumsi BKC tersebut. - Adanya disparitas harga yang cukup tinggi antara HJE penetapan pemerintah (official price) dengan harga transaksi pasar (demand price) membuat produsen rokok membayar cukai lebih besar dari yang seharusnya. Dampaknya adalah timbulnya upaya-upaya penghindaran cukai dalam berbagai bentuk, antara lain: penggunaan pita cukai palsu, rokok tanpa pita cukai (rokok polos), penggunaan pita cukai yang bukan haknya, dan lain sebagainya. Pemerintah khususnya DJBC dengan jumlah sumber daya yang terbatas akan kesulitan leakukan pengawasan terhadap peredaran rokok-rokok ilegal di seluruh Indonesia. hal 40

50 b. Tarif Cukai Spesifik Dalam sistem tarif cukai spesifik, pungutan cukai dihitung dengan cara mengalikan antara Tarif cukai dalam satuan Rupiah dengan jumlah satuan spesifik tertentu, misalnya : jumlah dalam liter, jumlah dalam batang, dan sebagainya. Cukai = Tarif Rp x Jumlah Satuan Spesifik (liter atau batang) Sistem tarif cukai spesifik sudah lebih dahulu diterapkan terhadap BKC berupa etil alkohol dan MMEA sejak awal pemberlakukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dan bahkan sejak masa penerapan Ordonansi Cukai Bir dan Cukai Alkohol Sulingan. Sejak penerapan Peraturan Menteri Keuangan nomor 203/PMK.04/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau pada tanggal 1 Februari 2009, pemungutan cukai hasil tembakau secara resmi menggunakan sistem tarif spesifik. Keuntungan dan kerugian sistem tarif spesifik ini merupakan kebalikan dari sistem tarif advalorum. Dari sisi keuntungan, sistem tarif spesifik relatif akan memudahkan aparatur DJBC dalam pengawasan terhadap peredaran BKC di pasaran. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sistem tarif advalorum cenderung membuat disparitas harga jual BKC menjadi semakin besar. Hal ini tidak terjadi pada sistem tarif spesifik, oleh karena kebijakan kenaikan cukai cenderung menggunakan instrumen tarif. Komponen harga tidak lagi bersifat variabel terhadap pungutan cukai. Diharapkan dengan pemberlakukan sistem tarif spesifik akan mengurangi disparitas harga antara official price dengan demand price. Kerugian yang dihadapi dalam penerapan sistem tarif spesifik lebih kepada sifat tarif spesifik yang tidak dapat mengikuti perkembangan harga pasar. Ekstremnya dapat dikatakan bahwa berapapun peningkatan harga yang terjadi di hal 41

51 pasar tidak akan mempengaruhi besarnya pungutan cukai. Hal inilah yang terjadi pada BKC berupa etil alkohol dan MMEA. Khusus untuk Hasil Tembakau pemerintah pada dasarnya tidak menerapkan sistem tarif spesifik murni, karena masih menggunakan variabel lain yaitu: batasan golongan berdasarkan jumlah produksi dan batasan HJE dalam strata tertentu. Kita akan membahas lebih lanjut hal ini pada bagian berikutnya. c. Tarif Cukai Gabungan Ketentuan Pasal 5 Undang-undang Cukai membolehkan Pemerintah untuk mengubah tarif advalorum atau tarif spesifik menjadi tarif gabungan. Kita tidak akan membahas kerugian atau kelebihan sistem tarif gabungan ini, karena pada prakteknya sistem tarif gabungan bukanlah suatu pilihan tarif yang permanen. Sistem tarif gabungan biasanya hanya digunakan pada masa transisi ketika pemerintah hendak mengalihkan suatu sistem tarif advalorum menjadi sistem tarif spesifik atau sebaliknya. Tujuannya adalah agar tidak menimbulkan gejolak berlebihan dan sekaligus sebagai transisi terhadap proses pengalihan tarif baru. Cukai = (Tarif % x Harga Dasar) + (Tarif Rp x Jumlah Satuan tertentu) 2. Harga Dasar BKC Istilah harga dasar dalam konsep pemungutan cukai muncul bersama-sama dengan ketentuan tarif cukai dalam Pasal 5 Undang-undang Cukai. Selanjutnya di dalam pasal 6 Undang-undang Cukai, ketentuan mengenai harga dasar dipertegas kembali sebagaimana bunyi pasal berikut : a) Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas BKC yang dibuat di Indonesia adalah harga jual pabrik atau HJE. b) Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas BKC yang diimpor adalah nilai pabean ditambah bea masuk atau HJE. hal 42

52 Berdasarkan ketentuan pasal 5 dan pasal 6 Undang-undang Cukai dapat disimpulkan bahwa harga dasar yang dapat digunakan dalam rangka penghitungan sistem tarif cukai advalorum adalah : a. HJE Pengertiannya adalah harga yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai dasar penghitungan besarnya tarif cukai. Oleh karena penetapan HJE Hasil tembakau dilakukan oleh Pemerintah, maka Mark (2003) mengistilahkan HJE tersebut sebagai official price. Akan tetapi ketika Dalam konteks sistem pemungutan cukai MMEA istilah HJE cenderung lebih mengarah kepada Harga Pemberitahuan. b. Harga Jual Pabrik Pengertiannya adalah harga penyerahan pabrik kepada penyalur atau konsumen yang didalamnya belum termasuk cukai. Bila kita meninjau definisi yang diberikan dalam penjelasan pasal 6 ayat (1) Undang-undang Cukai dapat disebutkan bahwa istilah harga jual pabrik similar dengan istilah harga pokok penjualan (HPP). Dalam konsep akuntansi, harga pokok penjualan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang yang dijual atau harga perolehan dari barang yang dijual. Ada dua manfaat dari HPP, yaitu: a) sebagai patokan untuk menentukan harga jual, dan b) untuk mengetahui laba yang diinginkan perusahaan. Untuk lebih jelasnya, anda dapat membandingkan komponen harga jual pabrik dan HJE dalam dokumen CK-21A berikut ini. Dokumen CK-21A merupakan dokumen mengenai kalkulasi HJE yang wajib diberitahukan oleh Pengusaha Hasil Tembakau pada saat mengajukan permohonan penetapan tarif dan HJE hasil tembakau atas merek-merek baru yang akan dipasarkan. hal 43

53 Gambar 2.1 Kalkulasi HJE Hasil Tembakau Poin 1 sampai dengan poin ke-17 merupakan perhitungan untuk memperoleh harga jual pabrik, sedangkan komponen untuk menghitung HJE, masih harus ditambah dengan poin ke-18 sampai ke-22. hal 44

54 c. Nilai Pabean + Bea Masuk Harga dasar yang dapat digunakan Pemerintah sebagai patokan dalam rangka penghitungan tarif cukai khususnya tarif cukai atas BKC yang diimpor adalah nilai pabean + Bea Masuk. Istilah nilai pabean dan bea masuk adalah istilah yang diatur di dalam Undang-undang Kepabeanan. Sebagai tambahan penjelasan, untuk penentuan harga dasar dalam penghitungan nilai cukai atas BKC yang diimpor maka Pemerintah lebih memilih untuk menggunakan patokan harga dasar berupa HJE yang ditetapkan oleh pemerintah. B. Tatacara Penetapan Tarif Cukai Hasil tembakau Untuk menindaklanjuti ketentuan mengenai tarif cukai sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 ayat (5) Undang-undang Cukai, pemerintah mengeluarkan peraturan operasional dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan 1. Untuk saat ini (Nopember 2010), Peraturan Menteri Keuangan yang paling update yang mengatur mengenai tatacara penetapan tarif cukai hasil tembakau adalah Peraturan menteri Keuangan nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kebijakan pemerintah yang mengalihkan sistem tarif cukai advalorum menjadi sistem tarif cukai spesifik membuat fokus kebijakan pemerintah lebih mengarah kepada pengaturan terhadap besaran tarif cukai dibandingkan dengan HJE. Dalam sistem penetapan tarif cukai spesifik pada BKC hasil tembakau, pada dasarnya pemerintah tidak menetapkan sistem tarif spesifik murni sebagaimana halnya pada etil alkohol maupun MMEA. Untuk sistem tarif cukai hasil tembakau setidaknya ada empat besaran pokok yang mempengaruhi nilai cukai hasil tembakau, yaitu : 1) Jenis hasil tembakau; 2) Golongan Produsen yang ditentukan berdasarkan jumlah produksi hasil tembakau selama satu tahun takwim; 3) Batasan HJE, artinya adalah batas HJE minimum yang boleh diajukan Pengusaha dalam rangka penetapan Tarif cukai; dan hal 45

55 4) Tarif cukai spesifik dalam nilai satuan Rupiah. 1. Jenis Hasil Tembakau Kebijakan pemerintah yang mengakomodasikan berbagai jenis hasil tembakau yang ada di pasaran ke dalam struktur tarif cukai yang berbeda-beda membuat sistem pemungutan cukai hasil tembakau di Indonesia agak sedikit komplek dan rumit. Kebijakan penjenisan hasil tembakau ini sudah ada sejak pemberlakuan Ordonansi Cukai Hasil Tembakau oleh Pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan Tabsacccijns Ordonnantie, Stbl Nomor 517. Kategori hasil tembakau yang diakomodasikan dalam PMK nomor 179/PMK.011/2012 terdiri atas 9 jenis produk. Masing-masing jenis hasil tembakau tersebut memiliki struktur tarif cukai yang berbeda-beda. Penjelasan terhadap jenis hasil tembakau dapat kami sampaikan sebagai berikut: a) Sigaret Kretek Mesin (SKM); adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin. b) Sigaret Putih Mesin (SPM), adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin. hal 46

56 c) Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. d) Sigaret Putih Tangan (SPT) adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. e) Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF); adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. f) Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF); adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak atau kemenyan yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. g) Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM) adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. h) Cerutu (CRT); adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan hal 47

57 pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. i) Rokok Daun atau Klobot (KLB); adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. j) Tembakau Iris (TIS); adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. k) Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL); adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut dalam angka 1 sampai dengan angka 8 yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. 2. Golongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau Dalam struktur tarif cukai hasil tembakau, golongan pengusaha pabrik merupakan salah satu variabel yang menentukan besarnya nilai cukai. Penggolongan pabrikan hasil tembakau dikelompokkan berdasarkan masingmasing jenis dan jumlah produksi hasil tembakau untuk setiap satu tahun takwim. Pengertiannya adalah apabila seorang Pengusaha memproduksi dua jenis hasil tembakau (misal: SKM dan SPM), maka kemungkinan Pabrikan tersebut untuk menempati golongan yang berbeda, dapat saja terjadi ( Jenis SKM sebagai Golongan I dan jenis SPM sebagai Golongan II). Secara umum penggolongan hanya dibedakan berdasarkan dua kelompok saja yaitu Golongan I dan Golongan II, namun khusus untuk jenis SKT/SPT penggolongan dibedakan menjadi tiga golongan. Untuk jenis SKT, kebijakan yang diambil pemerintah adalah tetap memberikan insentif terhadap sektor industri yang padat karya (labour intensive), walaupun secara gradual Pemerintah mulai melaksanakan kebijakan yang mengarah kepada pengurangan jumlah konsumsi hasil tembakau. Kebijakan tersebut tertuang di dalam Roadmap hal 48

58 Kebijakan Industri Hasil Tembakau. Penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau dapat anda lihat pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Penggolongan dan Batasan Produksi Hasil Tembakau No. URUT JENIS HASIL TEMBAKAU GOLONGAN PENGUSAHA PABRIK 1. SKM I 2. SPM I 3. SKT atau SPT I II II II BATASAN PRODUKSI (per tahun takwin) Lebih dari 2 milyar batang Tidak Lebih dari 2 milyar batang Lebih dari 2 milyar batang Tidak Lebih dari 2 milyar batang Lebih dari 2 milyar batang Lebih dari 400 jt batang, tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang 4. SKTF atau SPTF I III II Tidak lebih dari 400 jt batang Lebih dari 2 milyar batang Tidak Lebih dari 2 milyar batang 5. TIS Tanpa Gol. Tanpa Batasan Jumlah Produksi 6. KLM atau KLB Tanpa Gol. Tanpa Batasan Jumlah Produksi 7. CRT Tanpa Gol. Tanpa Batasan Jumlah Produksi 8. HPTL Tanpa Gol. Tanpa Batasan Jumlah Produksi Sumber : PMK Nomor 179/PMK.011/2012 Apabila jumlah produksi suatu pabrikan hasil tembakau telah melampaui batasan jumlah produksi untuk golongan diatasnya, maka pengusaha yang bersangkutan wajib mengajukan penyesuian kenaikan golongan. Pengajuan ini tetap harus dilakukan oleh yang bersangkutan meskipun belum genap satu tahun takwim atau masih dalam periode satu tahun takwim berjalan. Penyesuaian tarif cukai atas kenaikan golongan ini akan mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan hal 49

59 sejak tanggal keputusan mengenai penyesuaian golongan Pengusaha Pabrik hasil tembakau, dan tidak melebihi tahun takwim berjalan. Contoh : 1) Pabrik A, produksi pabrik berdasarkan dokumen pemesanan pita cukai (CK-1) telah melampaui Batasan Jumlah Produksi Pabrik yang bersangkutan pada tanggal 25 April 2012, maka kepala Kantor: menetapkan Keputusan Penyesuaian Golongan Pengusaha Pabrik hasil tembakau pada tanggal 25 April 2012 dan keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 25 April 2012; dan menetapkan Keputusan Penyesuaian Tarif Cukai Hasil Tembakau pada tanggal 25 April 2012 dan keputusan ini mulai diberlakukan mulai tanggal 25 Oktober ) Pabrik B, produksi pabrik berdasarkan dokumen pemesanan pita cukai (CK-1) melampaui Batasan Jumlah Produksi Pabrik yang bersangkutan pada tanggal 25 September 2012, maka kepala Kantor: menetapkan Keputusan Penyesuaian Golongan Pengusaha Pabrik hasil tembakau pada tanggal 25 September 2012 dan keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 25 September 2012; dan menetapkan Keputusan Penyesuaian Tarif Cukai Hasil Tembakau pada tanggal 25 September 2012 dan keputusan ini mulai diberlakukan mulai tanggal 31 Desember Dalam hal hasil produksi selama satu tahun takwim ternyata kurang dari batasan jumlah produksi pabrik yang berlaku bagi golongan yang telah ditetapkan, maka Pengusaha Pabrik hasil tembakau yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan untuk penurunan golongan. Permohonan penurunan golongan diajukan paling lambat pada bulan Januari tahun takwim berikutnya sebelum dokumen pemesanan pita cukai pertama kali diakjukan. Atas permohonan tersebut, Kepala kantor wajib menetapkan keputusan menerima atau menolak permohonan dalam jangka waktu maksimal 10 (sepuluh) hari terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. Keputusan hal 50

60 untuk menerima permohonan penurunan golongan hanya diberikan untuk satu tingkat lebih rendah dari golongan pengusaha pabrik sebelumnya. 3. Batasan HJE Meskipun tidak lagi menjadi fokus utama kebijakan di bidang cukai hasil tembakau, instrumen HJE tetap menjadi salah komponen yang cukup menentukan dalam pengambilan kebijakan mengenai tarif cukai hasil tembakau. Batasan HJE minimal yang boleh diajukan oleh setiap pengajuan penetapan tarif cukai hasil tembakau tetap harus memenuhi batasan HJE yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam lampiran I PMK Nomor 179/PMK.011/2012 (lihat Tabel 2.2) Untuk penetapan tarif cukai atas pengajuan merek-merek baru produk hasil tembakau maupun untuk penetapan kembali atas merek yang sudah ada sebelumnya, maka penentuan batasan HJE yang bersangkutan harus mengacu kepada : 1) HJE yang tercantum dalam penetapan tarif cukai yang masih berlaku berdasarkan struktur tarif yang lama ; 2) HJE yang diberitahukan oleh Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau, khusus untuk pengajuan merek baru 3) HJE yang telah mengalami kenaikan HJE yang menjadi dasar acuan sebagaimana tersebut diatas, harus dalam kelipatan Rp. 25,00. HJE per batang atau gram untuk setiap jenis hasil tembakau untuk tujuan ekspor harus ditetapkan sama dengan HJE per batang atau gram untuk setiap jenis hasil tembakau dari jenis dan merek hasil tembakau yang sama yang ditujukan untuk pemasaran di dalam negeri. Penetapan HJE atas produk hasil tembakau yang diekspor tetap diperlukan untuk pencatatan administrasi, meskipun untuk produk hasil tembakau yang diekspor tidak perlu dilekati dengan pita cukai dan juga mendapat fasilitas tidak dipungut cukai. Pengusaha pabrik atau importir hasil tembakau tidak dapat menurunkan HJE yang masih berlaku atas merek hasil tembaklau yang dimilikinya. Ketentuan hal 51

61 mengenai HJE atas merek-merek baru yang boleh diajukan oleh Pengusaha Pabrik atau Importir adalah tidak boleh lebih rendah dari HJE yang masih berlaku atas merek hasil tembakau yang dimilikinya dalam satuan batang atau gram untuk jenis hasil tembakau yang sama. Pengertian ini dapat kami perjelas dengan contoh-contoh kasus sebagai berikut : 1) Pabrik PR GG merupakan pabrik yang sudah lama berdiri, termasuk Pengusaha Pabrik jenis SKM golongan I, mengajukan penetapan tarif cukai atas merek C dengan HJE diberitahukan adalah Rp isi 12 batang. Untuk pengajuan tersebut yang bersangkutan melampirkan merekmerek lama yang masih berlaku yang dimilikinya, sebagai berikut : - Merek A, SKM, 16 batang HJE Rp ,- tarif Rp.325,- - Merek B, SKM, 20 batang, HJE Rp ,- tarif Rp.325,- Pertanyaannya tentu saja adalah, apakah pengajuan terhadap merk C dapat diterima oleh KPPBC setempat. Untuk menentukan hal ini, kita harus meneliti terlebih dahulu HJE yang diajukan. - HJE sebesar Rp ,- bila dibagi 12 batang hasilnya adalah Rp. 670,83 - Untuk HJE atas merek A : Rp ,- dibagi 16 hasilnya adalah Rp. 665,63 - Untuk HJE atas merek B : Rp ,- dibagi 20 hasilnya adalah Rp. 668,75 Oleh karena HJE atas merek C telah melebihi batas minimal HJE terendah yang dimilikinya (merek A), maka pengajuan HJE atas merek C dapat disetujui oleh KPPBC setempat. Selanjutnya perhitungan penetapan tarif cukai atas merek C dapat merujuk pada ketentuan Lampiran I PMK nomor 190/PMK.011/2010, yaitu berada dalam batasan HJE per batang atau gram golongan I layer 1 dengan rentang HJE lebih dari Rp 660 per batang, maka penetapan tarif cukainya adalah Rp 325 per batang. 2) Pabrik XYZ merupakan pabrik yang sudah lama berdiri, termasuk Pengusaha Pabrik jenis SPM golongan II, mengajukan penetapan tarif cukai atas merek C dengan HJE diberitahukan adalah Rp isi 20 hal 52

62 batang. Untuk pengajuan tersebut yang bersangkutan melampirkan merekmerek lama yang masih berlaku yang dimilikinya, sebagai berikut : - Merek A, SPM, 20 batang HJE Rp ,- tarif Rp.215,- - Merek B, SPM, 20 batang, HJE Rp ,- tarif Rp.215,- Apakah pengajuan terhadap merk C dapat diterima oleh KPPBC setempat? Untuk menentukan hal ini, kita harus meneliti terlebih dahulu HJE yang diajukan. - HJE Merek C sebesar Rp ,- bila dibagi dengan isi 20 batang hasilnya adalah Rp. 300,00 - Untuk HJE atas merek A : Rp.6.025,- dibagi 20 hasilnya adalah Rp. 301,25 - Untuk HJE atas merek B : Rp ,- dibagi 20 hasilnya adalah Rp. 310,00 Oleh karena HJE atas merek C masih dibawah batas minimal HJE terendah yang dimilikinya (merek A), maka pengajuan HJE atas merek C harus ditolak oleh KPPBC setempat. HJE minimal yang boleh diajukan atas merek C adalah Rp ,- dengan penetapan tarif cukai Rp. 215 per batang. 4. Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau Instrumen terakhir yang paling menentukan besarnya nilai cukai adalah instrumen tarif spesifik itu sendiri. Dengan penerapan sistem tarif spesifik, maka kebijakan pemerintah akan lebih dikonsentrasikan pada penentuan besaran tarif cukai hasil tembakau yang ideal. Pengertian ideal disini adalah pemerintah harus mengharmonisasikan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan cukai hasil tembakau, antara lain: kepentingan penerimaan negara, kebijakan pembatasan konsumsi, insentif terhadap industri hasil tembakau yang berorientasi labor intensive, dan lain-lain. Hal inilah yang membuat struktur tarif cukai hasil tembakau menjadi tidak sederhana dan bersifat komplek. Struktur tarif cukai hasil tembakau hasil produksi dalam negeri dapat anda lihat pada tabel 2.2. Struktur tarif cukai tersebut dikutip dari PMK nomor hal 53

63 179/PMK.011/2012. Adapun penetapan tarif cukai hasil tembakau oleh pengusaha, harus memperhatikan komponen sebagai berikut : 1) Jenis hasil tembakau; 2) Golongan pengusaha Pabrik; 3) Batasan HJE per batang atau gram. Tarif cukai hasil tembakau untuk masing-masing Pengusaha Pabrik atau Importir ditetapkan oleh kepala Kantor dengan menerbitkan keputusan mengenai tarif cukai hasil tembakau. Tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan menggunakan jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau. Mekanisme pengajuan penetapan tarif cukai dapat kami jelaskan dalam gambar 2.2 berikut. Gambar 2.2 Alur Proses Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau atas Merek-Merek Baru hal 54

64 Penjelasan : 1) Pengusaha BKC sebelum memasarkan hasil produksinya ke pasar, baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional (ekspor), wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Kepala KPPBC setempat untuk penetapan HJE dan tarif cukai atas produk hasil tembakau tersebut; 2) Disamping surat permohonan maka lampiran yang harus diikutsertakan dalam proses pengajuan penetapan tarif cukai hasil tembakau tersebut antara lain adalah: contoh etiket atau kemasan, daftar merek-merek hasil tembakau yang dimiliki dan masih berlaku (jika ada), dan surat pernyataan diatas materei bahwa merek atau desain kemasan yang dimohonkan tidak memiliki kesamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek atau desain yang telah dimiliki atau dipergunakan oleh pabrik atau importir lainnya. 3) KPPBC akan melakukan penelitian terhadap permohonan yang diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh ) hari sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Fokus penelitian yang dilakukan pihak KPPBC antara lain adalah: persyaratan administrasi, Batasan minimal HJE yang boleh diajukan, dan penetapan tarif sesuai struktur tarif dalam PMK nomor 179/PMK.011/2012 4) Dalam hal berdasarkan penelitian oleh Kepala Kantor a) permohonan disetujui atau dikabulkan, kepala Kantor menerbitkan keputusan penetapan tarif cukai hasil tembakau; b) permohonan ditolak, kepala Kantor menerbitkan surat penolakan dengan disertai alasan penolakan. Dalam hal batas waktu maksimal telah dilewati, namun keputusan belum juga dikeluarkan oleh KPPBC, maka pengajuan penetapan tarif cukai hasil tembakau tersebut dianggap disetujui 5) Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penetapan, Kepala Kantor wajib mengirimkan lembar tembusan keputusan penetapan hasil tembakau disertai berkas lampiran kepada Kepala Kantor Wilayah dan Direktur Cukai. hal 55

65 Keputusan tentang Penetapan HJE yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai dinyatakan tidak berlaku, apabila selama lebih dari enam bulan berturut-turut Pengusaha Pabrik atau Importir yang bersangkutan : 1) tidak pernah merealisasikan pemesanan pita cukainya dengan menggunakan dokumen pemesanan pita cukai; atau 2) tidak pernah merealisasikan ekspor hasil tembakaunya dengan menggunakan Dokumen pemberitahuan pengeluaran BKC yang belum dilunasinya dari pabrik hasil tembakau untuk tujuan ekspor Untuk dapat menggunakan kembali HJE atas merek hasil tembakau yang dinyatakan tidak berlaku, Pengusaha Pabrik atau Importir harus mengajukan kembali Permohonan Penetapan HJE sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Dalam hal penetapan kembali, maka tarif cukai atas merek tersebut tidak boleh lebih rendah dari yang pernah berlaku dan HJE-nya minimal sama dengan HJE yang pernah berlaku. Dalam rangka kegiatan pengawasan terhadap peredaran BKC hasil tembakau si pasaran, maka unit-unit Pengawasan yang ada di Kantor-kantor Bea dan Cukai wajib melakukan kegiatan pemantauan terutama terhadap harga transaksi pasar. Apabila dalam kegiatan pemantauan ditemukan disparitas harga yang sudah cukup besar antara HJE penetapan pemerintah dengan harga transaksi pasar, maka harus diambil tindakan-tindakan sebagai berikut : 1) Dalam hal harga transaksi pasar atas suatu merek hasil tembakau telah melampaui batasan HJE per batang atau gram diatasnya, maka pengusaha pabrik atau importir wajib mengajukan penyesuaian tarif cukai. Contoh : Merek A, SKM, Gol.I, 16 batang, HJE penetapan adalah Rp ,- dengan tarif cukai Rp. 355 per batang. Pemantauan HJE oleh pejabat bea dan cukai dalam suatu wilayah dan dalam periode pemantauan tertentu menunjukkan bahwa harga transaksi pasar untuk merek A tersebut sudah mencapai Rp ,-. Dalam kondisi perbedaan harga ini Direktur Cukai atas nama Direktur Jenderal akan segera memberitahukan kepada Pengusaha yang bersangkutan untuk segera mengajukan penyesuaian tarif cukai. Hal ini dikarenakan HJE merek A sebesar Rp ,- per kemasan atau Rp. hal 56

66 665,63 per batang telah melampaui batasan layer ke-2 Golongan I untuk produk SKM. Atas merek A tersebut wajib disesuaikan tarif cukai dan HJE nya menjadi Rp , - (layer 1) dengan tarif cukai spesifik sebesar Rp. 375,- per batang. 2) Dalam hal harga transaksi pasar atas suatu merek yang penetapan tarif cukainya berada pada posisi batasan HJE per batang atau gram tertinggi (layer 1) untuk masing-masing golongan pengusaha pabrik hasil tembakau, dan telah melampaui 5% (lima persen) dari HJE yang berlaku atas harga yang tercantum dalam pita cukai maka pengusaha pabrik atau importir hasil tembakau wajib mengajukan permohonan penyesuaian kenaikan HJE sebagai dasar perhitungan PPN Hasil Tembakau. Dalam hal ini tarif cukai untuk merek hasil tembakau tersebut tidak akan mengalami kenaikan karena sudah pada level tertinggi di golongannya masing-masing. Contoh : Merek B, SKM, Gol.I, 16 batang, HJE penetapan adalah Rp ,- dengan tarif cukai Rp. 375 per batang. Pemantauan HJE oleh pejabat bea dan cukai dalam periode pemantauan tertentu menunjukkan bahwa harga transaksi pasar untuk merek A tersebut sudah mencapai Rp ,-. (sudah melebihi 5%). Untuk kasus yang seperti ini, maka Direktur Cukai atas nama Direktur Jenderal akan segera memberitahukan kepada Pengusaha yang bersangkutan untuk segera mengajukan penyesuaian HJE saja. Hal ini dikarenakan HJE merek B sebesar Rp ,- per kemasan atau Rp. 712,5 per batang telah melampaui 5% dari HJE penetapannya. hal 57

67 No. Urut Gol. Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau SKM SPM Jenis SKT atau SPT 4. SKTF atau SPTF Tabel 2.2 Tarif Cukai dan Batasan Minimal HJE HT Dalam Negeri Golongan Batasan HJE per batang atau gram Tarif Cukai per batang I Lebih dari Rp.669 Rp.375 Paling rendah Rp.631 sampai dengan Rp.669 Rp.355 II Lebih dari Rp.549 Rp.285 Paling rendah Rp.440 s.d. Rp.549 Rp.245 I Paling rendah Rp.680 Rp.380 II Lebih dari Rp.444 Rp.245 Paling rendah Rp.345 s.d. Rp.444 Rp.195 I Lebih dari Rp.749 Rp.275 Lebih dari Rp.550 sampai dengan Rp.749 Rp.205 II Lebih dari Rp.379 Rp.130 Lebih dari Rp.349 sampai dengan Rp.379 Paling rendah Rp.336 s.d. Rp.349 Rp.110 Rp.110 III Paling rendah Rp.250 Rp.80 I Lebih dari Rp.669 Rp.375 Paling rendah Rp.631 s.d. Rp.669 Rp.355 II Lebih dari Rp.549 Rp.285 Paling rendah Rp.440 sampai dengan Rp.549 Rp TIS Tanpa Gol. Lebih dari Rp.260 Rp.25 Lebih dari Rp.160 sampai dengan Rp.260 Paling rendah Rp.50 s.d. Rp.160 Rp KLB Tanpa Gol. Lebih dari Rp.260 Rp.25 Lebih dari Rp.180 sampai dengan Rp.260 Rp.5 Rp KLM Tanpa Gol. Paling rendah Rp.180 Rp CRT Tanpa Gol. Lebih dari Rp Rp Lebih dari Rp s.d. Rp Lebih dari Rp s.d. Rp Lebih dari Rp.5000 s.d Paling Rendah Rp.450 s.d. Rp.5000 Rp Rp Rp Rp HPTL Tanpa Gol. Paling rendah Rp.275 Rp.100 hal 58

68 Tabel 2.3 Tarif Cukai dan Batasan Minimal HJE HT yang Diimpor No. Urut Jenis HT Batasan HJE terendah per batang atau gram Tarif Cukai per batang atau gram 1. SKM Rp 670 Rp SPM Rp 680 Rp SKT atau SPT Rp 750 Rp SKTF atau SPTF Rp 670 Rp TIS Rp 261 Rp KLB Rp 261 Rp KLM Rp 180 Rp CRT Rp Rp HPTL Rp. 275 Rp 100 hal 59

69 C. Tatacara Penetapan Tarif Cukai MMEA dan Etil Alkohol 1. Tarif Cukai MMEA dan Etil Alkohol Mekanisme penetapan tarif cukai MMEA dan etil alkohol jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan mekanisme penetapan tarif cukai hasil tembakau. Instrumen yang berpengaruh terhadap pungutan cukai MMEA lebih sedikit, mudah dipahami dan bahkan untuk pungutan cukai etil alkohol berlaku tarif yang bersifat flat dalam satuan rupiah tertentu. Adanya perbedaan kebijakan pemerintah yang cukup ekstrim antara sistem tarif cukai hasil tembakau dengan sistem tarif cukai lainnya (MMEA dan Etil Alkohol) menurut hemat kami antara lain didorong oleh karena kondisi dan pemahaman sebagai berikut : a) Tingkat konsumsi hasil tembakau di Indonesia cukup tinggi membuat potensi penerimaan cukai yang diperoleh cukup signifikan dalam rangka menambah penerimaan sektor pajak. Oleh karenanya kebijakan cukai hasil tembakau sering kali harus disesuaikan dengan kebutuhan APBN. b) Karakteristik BKC hasil tembakau yang secara historis telah membedabedakan jenis hasil tembakau dan golongan pengusaha pabrik membuat pemerintah berupaya untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan yang berbeda tersebut c) Karakteristik pemungutan cukai atas BKC selain hasil tembakau pada dasarnya lebih mengarah kepada karakteristik dasar sebagai barang yang peredarannya perlu diawasi dan juga karena sifat pemakaiannya yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Stuktur tarif cukai dibuat lebih sederhana dan cenderung cukup tinggi dengan tujuan agar pembatasan tersebut dapat dicapai. a. Tarif Cukai Etil alkohol Dasar pemungutan cukai etil alkohol adalah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 2. Kebijakan yang diterapkan pemerintah hal 60

70 terhadap tarif cukai etil alkohol tersebut terlihat sangat minimalis dan cenderung bersifat tetap selama kurun waktu yang cukup lama. Berdasarkan catatan kami, dapat disebutkan bahwa sejak pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, tarif cukai etil alkohol hanya dua kali saja mengalami peninjauan. Semula tarif cukai etil alkohol ditetapkan secara flat Rp ,- per liter sesuai Keputusan Menteri Keuangan nomor 230/KMK.05/1996. Kemudian dilakukan peninjauan berdasarkan PMK nomor 89/PMK.04/2006 sehingga tarif cukai etil alkohol saat ini menjadi Rp ,- per liter dan bersifat flat. Terakhir, tarif cukai etil alkohol mengalami penyesuaian kembali dengan pemberlakuan PMK nomor 62/PMK.04/2010 sehingga tarif cukai etil alkhol saat ini adalah Rp ,- per liter tanpa membedakan kadar alkohol yang terkandung di dalamnya dan juga tidak dibedakan antara etil alkohol yang dibuat di dalam negeri atau yang berasal dari impor. b. Tarif Cukai MMEA Apabila kita meninjau kebijakan tarif yang diterapkan terhadap cukai MMEA, maka akan terlihat pula bahwa tarif cukai spesifik yang ditetapkan atas MMEA cenderung bersifat stabil. Berdasarkan pengamatan kami, tarif cukai MMEA sejak awal pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai pada tahun 1996, tercatat hanya mengalami lima kali perubahan saja, yaitu : 1) Tarif cukai MMEA berdasarkan Kep. Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.05/1996; 2) Tarif cukai MMEA berdasarkan Kep. Menteri Keuangan Nomor 546/KMK.04/2000; 3) Tarif cukai MMEA berdasarkan Kep. Menteri Keuangan Nomor 125/KMK.04/2002; 4) Tarif cukai MMEA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/KMK.04/2006; dan 5) Tarif cukai MMEA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.011/2010. hal 61

71 Dalam sistem tarif cukai spesifik atas pemungutan cukai MMEA maka pungutan cukai ditentukan berdasarkan komponen-komponen sebagai berikut 3 : 1) Golongan MMEA, yang dibedakan berdasarkan kadar alkohol masingmasing MMEA 2) Jumlah dalam satuan liter 3) Tarif cukai spesifik dalam satuan rupiah Struktur tarif cukai MMEA dan Konsentrat yang mengandung etil alkohol yang berlaku saat ini adalah sesuai yang ditetapkan dalam PMK nomor 62/PMK.011/2010 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2010, sebagaimana terlihat pada Tabel dibawah ini. Istilah konsentrat dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengacu pada pengertian pekatan dalam konsentrasi yang tinggi (istilah awamnya adalah biang ) yang mengandung etil alkohol dengan konsentrasi kadar etil alkohol yang sangat tinggi. Tabel 2.4 Tarif Cukai MMEA dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol GOLONGAN PENGUSAHA KADAR (%) TARIF CUKAI DALAM NEGERI Rp/ltr IMPOR Rp/ltr A. s/d , ,- B > 5 s/d , ,- C > , ,- KONSENTRAT MENGANDUNG EA*) , ,- hal 62

72 2. Mekanisme Penetapan Tarif Cukai MMEA Dalam rangka melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap peredaran MMEA sebagaimana tujuan dasar yang ingin dicapai terhadap pemungutan cukai MMEA, maka Pemerintah memandang perlu untuk mencatat setiap jenis MMEA yang beredar di masyarakat. Untuk melaksanakan hal tersebut telah diterbitkan peraturan pelaksanaan dari PMK nomor 62/PMK.011/2010 kedalam suatu petunjuk pelaksanaan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor P-22/BC/2010 tentang tatacara pemungutan cukai etil alkohol, MMEA dan konsentrat mengandung etil alkohol. Dengan dikeluarkannya aturan mengenai mekanisme penetapan tarif cukai MMEA, setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh, yaitu: 1) Kantor Bea dan Cukai akan mengetahui produk-produk MMEA saja yang beredar di pasar secara legal, artinya produk yang diberitahukan HJE nya kepada Kantor Bea Cukai setempat. Apabila di pasaran diketahui adanya produk MMEA yang tidak tercatat pemberitahuan HJEnya, maka sudah dapat dipastikan produk MMEA tersebut adalah produk ilegal. 2) Kantor Bea dan Cukai dapat memiliki data pembanding mengenai jenis, merek dan kadar MMEA untuk setiap produk MMEA yang diajukan pemberitahuan HJEnya, sehingga pada saat pencacahan atau pemantauan di lapangan ditemukan adanya MMEA yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diajukan maka hal ini dapat ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku. Pengusaha Pabrik atau Importir MMEA sebelum memproduksi atau mengimpor setiap jenis MMEA, harus mendapatkan penetapan tarif cukai dari Kepala Kantor Bea dan Cukai. Penetapan tarif cukai MMEA dilakukan berdasarkan kadar etil alkohol yang terkandung di dalamnya. Secara umum mekanisme penetapan tarif cukai MMEA tidak jauh berbeda dengan mekanisme penetapan tarif cukai hasil tembakau. Titik perbedaan utamanya terletak pada jangka waktu penyelesaian penetapan tarif. Khusus penetapan tarif cukai MMEA wajib dilaksanakan dalam jangka waktu maksimal 5 hari kerja. Gambaran hal 63

73 sederhana mekanisme penetapan tarif cukai MMEA dapat anda lihat pada flowchart pada gambar 2.3 berikut. Gambar 2.3 Mekanisme Penetapan Tarif Cukai MMEA Penjelasan : 1) Pengusaha yang akan memproduksi/mengimpor MMEA wajib mengajukan permohonan penetapan tarif cukai MMEA dengan mengisi formulir permohonan sesuai contoh pada gambar 3.4. Persyaratan administrasi yang harus dilengkapi oleh pengusaha pabrik untuk kategori MMEA produksi dalam negeri adalah : a) contoh label/etiket; b) contoh barang, kecuali untuk produk yang pernah diajukan; c) fotokopi hasil uji kadar alkohol yang dilakukan oleh instansi/lembaga pemerintah yang berwenang; d) fotokopi sertifikat telah terdaftar sebagai produk yang layak dikonsumsi dari instansi/lembaga yang mengawasi peredaran makanan/minuman; e) Perhitungan HJE hal 64

74 Persyaratan administrasi yang harus dilengkapi oleh Importir yang mengajukan permohonan penetapan tarif cukai terhadap MMEA eks impor, adalah sebagai berikut : a) daftar rincian yang memuat jenis dan negara asal MMEA yang akan diimpor; b) label/etiket/brosur yang memberikan informasi tentang bentuk kemasan penjualan eceran dan kadar etil alkohol; c) fotokopi sertifikat telah terdaftar sebagai produk yang layak dikonsumsi dari instansi/lembaga yang mengawasi peredaran makanan/minuman; d) Perhitungan HJE. 2) Atas permohonan tersebut, Kepala Kantor harus membuat keputusan untuk menolak dengan menyebutkan alasan penolakan atau menerbitkan keputusan penetapan tarif cukai MMEA, dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja. Dalam hal jangka waktu 5 (hari) belum juga mendapatkan keputusan maka permohonan dianggap disetujui. 3) Dalam hal terdapat keragu-raguan atas kadar etil alkohol yang terkandung dalam MMEA yang diajukan penetapan tarif cukainya, Kepala Kantor dapat melakukan pengujian ulang ke laboratorium atas biaya Pengusaha Pabrik atau Importir yang bersangkutan. Jangka waktu pengujian ulang kadar etil alkohol tersebut tidak dihitung sebagai bagian jangka waktu penerbitan selama 5 (hari). 4) Bentuk persetujuan dan penetapan tarif cukai atas MMEA dituangkan dalam surat keputusan penetapan tarif cukai MMEA. 5) Keputusan penetapan tarif cukai MMEA diserahkan kepada yang bersangkutan dan salinan keputusan wajib disampaikan kepada Direktur Cukai serta Kepala Kantor Wilayah setempat. 6) Dalam hal terdapat perubahan jenis, merek, jenis kemasan, isi kemasan, kadar, dan desain label/etiket yang telah ditetapkan sebelumnya, terhadap MMEA produksi dalam negeri, Pengusaha Pabrik mengajukan permohonan penetapan tarif cukai yang baru kepada Kepala Kantor. 7) Dalam hal terdapat perubahan perhitungan HJE yang telah ditetapkan sebelumnya, terhadap MMEA produksi dalam negeri, Pengusaha Pabrik hal 65

75 cukup menyampaikan perhitungan HJE yang sudah disesuaikan kepada Kepala Kantor. Gambar 2.4 Contoh Permohonan Penetapan Tarif Cukai MMEA Sumber : KPM Cukai Kediri hal 66

76 D. Tatacara Penyediaan Pita Cukai Hasil Tembakau Pemungutan cukai hasil tembakau oleh pemerintah dalam proses pelaksanaannya tidaklah sederhana. Hal ini terkait dengan sistem pelunasan cukai hasil tembakau yang menggunakan pita cukai sebagai tanda pelunasannya. Oleh karena itu pengusaha yang akan memproduksi hasil tembakau wajib mendapatkan terlebih dahulu pita-pita cukainya dari Kantor Bea dan Cukai setempat. 1. Proses Pemungutan Cukai Hasil Tembakau Sebelum kita membahas materi penyediaan pita cukai hasil tembakau, ada baiknya kita meninjau terlebih dahulu gambaran umum mekanisme pemungutan cukai hasil tembakau. Proses ini diawali mulai dari penetapan tarif cukai hingga diterimanya pita cukai oleh pengusaha untuk dilekati pada hasil tembakau. Pemahaman yang komprehensif mengenai sistem pemungutan cukai hasil tembakau akan membantu anda memahami materi pelajaran ini dengan efektif. Dalam sistem pemungutan cukai hasil tembakau, sebagai tanda pelunasan cukai maka BKC hasil tembakau wajib dilekati dengan pita cukai. Oleh karena itu, setiap pengusaha yang akan memproduksi hasil tembakau untuk penjualan eceran harus memperoleh pita cukai terlebih dahulu dari DJBC. Untuk mendapatkan pita-pita cukai tersebut setidaknya ada tiga tahapan yang harus dilalui oleh pengusaha pabrik atau importir sebelum pita cukai hasil tembakau diterimanya. Ketiga tahapan tersebut adalah : a) Pengajuan penetapan Tarif dan HJE hasil tembakau; b) Permohonan Penyedian Pita Cukai (P3C); dan c) Permohonan pemesanan pita cukai dengan dokumen CK-1. Alur proses penyediaan dan pemesanan pita cukai hasil tembakau, kami tampilkan dalam suatu flowchart sederhana sesuai Gambar 4.1 berikut ini. hal 67

77 Gambar 2.5 Alur Proses Pemungutan Cukai Hasil Tembakau Penjelasan : 1) Pengusaha yang akan memproduksi atau menjual hasil tembakau untuk penjualan eceran, wajib mengajukan produk hasil tembakau yang akan diproduksi kepada KPPBC setempat untuk mendapatkan penetapan tarif cukai hasil tembakau; 2) Apabila permohonan telah memenuhi kelayakan, Kepala KPPBC akan menerbitkan keputusan penetapan tarif cukai atas merek-merek hasil tembakau; 3) Sebelum memproduksi merek hasil tembakau yang telah ditetapkan tarif cukainya, pengusaha wajib mengajukan permohonan penyediaan pita cukai melalui KPPBC setempat. Proses ini diperlukan, oleh karena pita cukai untuk masing-masing pengusaha akan berbeda-beda tergantung penetapan tarif dan HJE-nya. Bahkan untuk pengusaha golongan II jenis produk SKM, SPM dan SKTF serta pengusaha golongan III jenis produk hal 68

78 SKT pita cukai dicetak dengan kode personalisasi untuk masing-masing pabrik. 4) Atas permohonan penyediaan pita cukai (P3C) akan dilakukan penelitian sesuai mekanisme yang berlaku, dan akan diteruskan kepada Direktorat Cukai KPDJBC baik menggunakan Sistem Aplikasi Cukai maupun secara manual menggunakan saluran komunikasi yang tersedia. 5) Data pemesanan pita cukai oleh masing-masing pengusaha akan dicatat dan akan dibuatkan Order Bea dan Cukai (OBC) kepada perusahaan percetakan yang ditunjuk (PERURI). 6) Pita cukai yang selesai dicetak akan didistribusikan melalui gudang pita cukai KPDJBC. Dalam hal ini persediaan pita cukai dapat disimpan di Gudang Pita Cukai KPDJBC atau di masing-masing KPPBC, hal ini diatur dalam mekanisme standar. 7) Apabila pita cukai untuk seorang pengusaha pabrik disediakan di KPPBC, maka persediaan pita cukai akan dikirim kepada Bendaharawan KPPBC. 8) Pengusaha yang pita cukainya telah tersedia baik di KPPBC atau di Kantor Pusat wajib mengajukan pemesanan pita cukai dengan menggunakan dokumen pemesanan CK-1. 9) Apabila proses administrasi CK-1 telah diselesaikan, pita cukai diserahkan kepada pengusaha untuk dilekatkan pada BKC yang akan diproduksi untuk penjualan eceran. 2. Pengenalan Pita Cukai Dalam mekanisme pelunasan cukai, BKC yang hingga saat ini menggunakan model pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai adalah hasil tembakau dan MMEA. Masing-masing pita cukai sebagai tanda pelunasan cukai tersebut dibedakan bentuk dan spesifikasinya. Pita cukai yang diperuntukan sebagai tanda pelunasan cukai hasil tembakau berbentuk lembaran dalam tiga seri, yaitu seri I, seri II dan seri III. Perbedaan utama dari masing-masing seri pita cukai adalah terletak pada jumlah keping pita cukai tiap lembar dan ukuran masing-masing pita cukai, yaitu : 1) Seri I berjumlah 120 keping per lembar, ukuran 0,8 x 11,4 cm; hal 69

79 2) Seri II berjumlah 56 keping per lembar, ukuran 1,3 cm x 17,5 cm; 3) Seri III berjumlah 150 keping per lembar, ukuran 1,9 cm x 4,5 cm. Adanya perbedaan ukuran ini dimaksudkan agar pita cukai yang digunakan dapat sesuai atau seimbang dengan ukuran kemasan hasil tembakau yang digunakan oleh setiap produk hasil tembakau. Sebagai contoh, untuk kemasan SPM 20 batang (ukuran standar), maka produsen lebih cocok menggunakan pita cukai seri I atau seri III. Pilihan terhadap seri pita cukai mana yang akan digunakan oleh Pengusaha diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha yang bersangkutan. Pita cukai yang diperuntukan sebagai tanda pelunasan cukai MMEA baik yang diperuntukkan bagi MMEA impor maupun MMEA dalam negeri berbentuk lembaran dalam satu seri. Setiap lembar pita cukai masing-masing terdiri dari 60 keping pita cukai dengan ukuran per kepingnya adalah : 1,5 cm x 7 cm. Setiap keping pita cukai MMEA terdapat foil hologram berukuran 0,6 cm X 1,9 cm yang sekurang-kurangnya memuat teks BC dan teks RI. Secara umum desain pita cukai baik untuk pita cukai hasil tembakau dan MMEA antara lain adalah sebagai berikut: 1) Pada setiap keping pita cukai terdapat foil hologram dengan ukuran tertentu; 2) Desain pita cukai memuat lambang negara Republik Indonesia; 3) Memuat lambang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 4) Memuat tarif cukai 5) Memuat angka tahun anggaran; 6) Memuat HJE; 7) Adanya teks REPUBLIK atau INDONESIA 8) Jumlah isi kemasan; 9) Jenis Hasil tembakau; 10) Kode personalisasi, khusus pita cukai yang diperuntukan bagi pabrik hasil tembakau tertentu (Golongan II : jenis produk SKM, SPM, SFTF dan SPTF, Golongan II dan III : jenis produk SKT dan SPT) hal 70

80 Setiap tahunnya desain dan warna pita cukai selalu dilakukan peninjauan dan pergantian, terutama terhadap warna dasar pita cukai. Tujuannya adalah untuk menjaga agar pita cukai tidak dipalsukan. Untuk pita cukai hasil tembakau tahun edar 2013 telah ditetapkan cetakan dasar masing-masing warna sebagai berikut : 1) Warna ungu dominan dikombinasi warna merah, digunakan untuk hasil tembakau dari jenis SKM, SPM, SKT, SKTF, SPT, dan SPTF yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan I; 2) Warna coklat dominan dikombinasi warna hijau, digunakan untuk hasil tembakau dari jenis SKM, SPM, SKT, SKTF, SPT, dan SPTF yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan II; 3) Warna hijau dominan dikombinasi warna jingga, digunakan untuk hasil tembakau dari jenis SKT dan SPT yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan III; 4) Warna biru dominan dikombinasi warna jingga digunakan untuk hasil tembakau dari jenis Tembakau Iris (TIS), Rokok Daun atau Klobot (KLB), Sigaret Kelembak Menyan (KLM), Cerutu (CRT), dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL); dan 5) Warna merah dominan dikombinasi warna ungu, digunakan untuk hasil tembakau yang diimpor untuk dipakai di dalam daerah pabean. Untuk desain dan warna pita cukai MMEA edisi tahun 2013 juga mengalami perubahan. Komposisi warna pita cukai MMEA edisi tahun 2013 menjadi sebagai berikut: 1) Warna merah dominan dikombinasi warna ungu, digunakan untuk MMEA Golongan B dengan kadar etil alkohol di atas 5% sampai dengan 20% 2) Warna biru dominan dikombinasi warna jingga, digunakan untuk MMEA Golongan C dengan kadar etil alkohol di atas 20% 3) Warna coklat dominan dikombinasi warna hijau, digunakan untuk MMEA Golongan A (kadar etil alkohol maksimal 5%) yang diimpor untuk dipakai di dalam daerah pabean 4) Warna ungu dominan dikombinasi warna merah, digunakan untuk MMEA hal 71

81 Golongan B (kadar etil alkohol lebih dari 5% sampai 20%) yang diimpor untuk dipakai di dalam daerah pabean 5) Warna hijau dominan dikombinasi warna jingga, digunakan untuk MMEA Golongan C (kadar etil alkohol di atas 20%) yang diimpor untuk dipakai di dalam daerah pabean 3. Lokasi Penyediaan Pita Cukai Lokasi penyediaan pita cukai hasil tembakau untuk pengusaha pabrik hasil tembakau ditentukan di dua tempat, yaitu : a) Pabrik dengan total produksi semua jenis hasil tembakau dalam 1 tahun takwim sebelumnya sampai dengan (seratus juta) batang dan/atau gram, pita cukainya disediakan di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai. b) Pabrik dengan total produksi semua jenis hasil tembakau dalam 1 tahun takwim sebelumnya lebih dari ( seratus juta ) batang dan/atau gram, pita cukainya disediakan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. c) Khusus pita cukai hasil tembakau untuk Importir disediakan di Kantor Pusat DJBC. Dalam hal-hal tertentu pita cukai hasil tembakau pada butir a diatas, atas permohonan pengusaha yang bersangkutan dapat disediakan di Kantor Pusat DJBC. 4. Mekanisme Penyediaan Pita Cukai Dalam bahan ajar ini, penjelasan kami mengenai mekanisme penyediaan pita cukai akan lebih difokuskan pada BKC hasil tembakau. Hal ini mengingat alokasi waktu penyampaian materi yang terbatas. Untuk mekanisme penyediaan pita cukai MMEA pada dasarnya tidak terlalu berbeda. Penjelasannya dapat Anda dapatkan pada saat kuliah tatap muka nantinya. Adapun petunjuk pelaksanaan penyediaan dan pemesanan pita cukai hasil tembakau diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor P- hal 72

82 16/BC/2008 jo. P-29/BC/2009 yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 108/PMK.04/2008 jo. PMK nomor 09/PMK.04/2009 tentang Pelunasan Cukai. Beberapa poin penting dalam Juklak penyediaan dan pemesanan pita cukai (P3C) tersebut akan kami ringkaskan dalam penjabaran pada sub pokok bahasan ini. a. P3C Pengajuan Awal Untuk penyediaan pita cuka hasil tembakau, pengusaha wajib mengajukan permohonan penyediaan pita cukai P3C kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai. Permohonan penyediaan pita cukai setiap bulannya dapat dilaksanakan mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 untuk kebutuhan 1 bulan berikutnya. Pengajuan rutin P3C setiap awal bulan ini disebut sebagai P3C pengajuan awal. Contoh formulir P3C pengajuan awal dapat anda lihat pada Gambar 2.5 Dikecualikan dari batas waktu P3C pengajuan awal (tanggal 10 setiap bulannya), dapat diberikan dalam hal : a) Pengusaha baru mendapatkan NPPBKC ; b) Pengusaha mengalami kenaikkan golongan ; c) Pengusaha yang NPPBKC-nya diaktifkan kembali setelah pembekuannya dicabut ; d) Untuk kebutuhan pita cukai bulan Januari ; atau e) Terdapat kebijakan di bidang tarif cukai atau HJE. P3C pengajuan awal hanya dapat diakukan 1 kali dalam 1 periode persediaan untuk setiap jenis pita cukai. Jumlah pita cukai yang dapat diajukan oleh pengusaha pada P3C pengajuan awal untuk setiap jenis pita cukai : a) Paling banyak 100 % dari rata-rata perbulan jumlah pita cukai yang dipesan dengan CK-1 dalam kurun waktu tiga bulan terakhir sebelum P3C pengajuan awal, dengan memperhatikan batasan produksi golongan pengusaha pabrik. Contoh : Data CK-1 atas PT XX pada bulan Maret = 500 lbr, April = lbr, dan Mei=600 lbr, Juli = belum ada (bulan Juli baru sampai tanggal 10). Maka pengajuan P3C PT XX untuk kebutuhan bulan Agustus 2009 adalah : P3C = 100% X 1/3 (Realisasi CK-1 Maret+April+Mei) hal 73

83 = 100% X 1/3 ( ) = 700 lembar b) Dalam hal data rata-rata perbulan jumlah yang dipesan dengan CK-1 dalam kurun waktu tiga bulan terakhir sebelum P3C pengajuan awal untuk jenis pita cukai yang diajukan tidak tersedia, jumlah pita cukai yang dapat diajukan sesuai kebutuhan perbulan dengan memperhatikan batasan produksi golongan pengusaha pabrik. Contoh. PT. AA adalah Produsen SPM Golongan II, belum pernah mengajukan CK-1 atas merek yang telah mendapat penetapan tarif cukainya. Maka untuk pengajuan awal yang bersangkutan dapat mengajukan P3C sesuai kebutuhan awalnya dan tidak boleh melewati batasan maksimal di Golongan II, yaitu untuk kebutuhan 2 milyar batang dibagi 12 bulan atau sekitar 166,67 juta batang. Gambar 2.6 Contoh P3C Pengajuan Awal Sumber : KPM Cukai Kediri hal 74

84 b. P3C Pengajuan Tambahan Dalam hal pita cukai yang disediakan berdasarkan P3C pengajuan awal tidak mencukupi, maka pengusaha dapat mengajukan P3C pengajuan tambahan. Pengajuan P3C tambahan dilakukan paling lambat pada tanggal 20 pada bulan pengajuan CK-1. Jenis pita cukai yang diajukan pada P3C tambahan harus sama dengan jenis pita cukai yang sudah diajukan pada P3C pengajuan awal untuk periode yang sama. P3C pengajuan tambahan hanya dapat dilakukan 1 kali dalam periode persediaan untuk setiap jenis pita cukai. Jumlah pita cukai yang diajukan oleh pengusaha dalam P3C pengajuan tambahan paling banyak 50 % untuk setiap jenis pita cukai dari P3C pengajuan awal yang telah diajukan. Periode pengajuannya juga harus dalam periode yang sama dengan periode P3C pengajuan awal dan harus memperhatikan batasan produksi golongan pengusaha pabrik. Contoh : Pengajuan P3C untuk kebutuhan bulan Juli 2013 P3C = 50 % X 1/3 (Realisasi CK-1 Maret+April+Mei) = 50 % X 1/3 ( ) = 50 % X 190 = 95 lembar, dibulatkan menjadi 90 lembar Pembulatan jumlah pita cukai yang diajukan dengan P3C dilakukan dengan cara membulatkan jumlah ke bawah dan harus dalam kelipatan 10 (sepuluh) lembar. Dalam hal jumlah pita cukai yang dapat diajukan dengan P3C kurang dari 10 lembar, maka jumlah pengajuan pita cukai dalam P3C adalah 10 lembar. c. P3C pengajuan tambahan izin Direktur Jenderal Apabila kebutuhan pita cukai berdasarkan batas pengajuan P3C awal dan tambahan ternyata dirasakan masih kurang maka Pengusaha dapat mengajukan P3C pengajuan tambahan izin Direktur Jenderal. Pengertiannya bahwa P3C dapat diajukan dengan jumlah yang melebihi batas ketentuan P3C awal dan tambahan. Pengajuan ini ditujukan kepada Direktur Jenderal melalui Kantor Bea dan Cukai setempat. Permohonan P3C izin Direktur Jenderal harus diserta alasan yang jelas sesuai kondisi perusahaan yang sebenarnya sehingga membutuhkan pita cukai dalam jumlah yang tidak biasanya. hal 75

85 Harus diingat bahwa P3C pengajuan tambahan izin Direktur Jenderal hanya dapat diajukan setelah pengajuan P3C pengajuan tambahan. Jangka waktu penyampaiannya, paling lambat sampai dengan tanggal 25 pada bulan pengajuan CK-1. Jenis pita cukai yang diajukan pada P3C tambahan izin DJBC, harus sama dengan jenis pita cukai yang sudah diajukan pada P3C pengajuan awal dan P3C pengajuan tambahan untuk periode yang sama. P3C pengajuan tambahan izin DJBC hanya dapat dilakukan 1 kali dalam periode persediaan untuk setiap jenis pita cukai. Kepala Kantor melakukan penelitian atas P3C pengajuan tambahan izin Direktur Jenderal beserta surat yang menyebutkan alasan pengajuan dengan memeriksa sekurang-kurangnya : a) Eksistensi perusahaan terkait persyaratan perizinan yang meliputi: denah pabrik hasil tembakau dann alamat lokasi; b) Kapasitas produksi, jumlah alat produksi dan jumlah karyawan; dan c) Pembukuan/pencatatan serta pelaporan produksi hasil tembakau sesuai ketentuan. Pengecualian dari kegiatan penelitian diberikan kepada pengusaha yang beresiko rendah berdasarkan profil pengusaha. Atas kegiatan pemeriksaan tersebut Kepala Kantor membuat Laporan Hasil Pemeriksaan. Apabila hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa P3C pengajuan tambahan izin Direktur Jenderal layak untuk diteruskan, Kepala Kantor segera meneruskan berkas tersebut ke Kantor Pusat DJBC dengan disertai Surat Rekomendasi, yang sekurang-kurangnya berisi : Hasil penelitian atau pemeriksaan terhadap berkas dokumen P3CT izin Direktur Jenderal; Sisa persediaan pita cukai yang belum direalisasikan dengan CK-1, dalam hal penyediaan pita cukainya di KPPBC; Data rata-rata perbulan CK-1 dalam 6 bulan terakhir untuk setiap jenis pita cukai; dan Pendapat Kepala Kantor. hal 76

86 Atas P3C pengajuan tambahan izin DJBC dan Surat Rekomendasi Kepala Kantor, Direktur Jenderal dapat mengabulkan seluruhnya atau sebagaian dan juga dapat menolak permohonan. Pengajuan P3C dari Kantor Bea dan Cukai kepada Kantor Pusat DJBC bagi Kantor-Kantor yang telah menerapkan Sistem Aplikasi Cukai (SAC), dilakukan secara elektronik melalui Sistem Aplikasi Cukai Sentralisasi. Untuk Kantor yang tidak menerapkan Sistem Aplikasi Cukai Sentralisasi, Kepala Kantor menyampaikan P3C pengajuan dan P3C pengajuan tambahan ke Kantor Pusat DJBC paling lambat pada hari kerja berikutnya dengan cara dikirim melalui faksimili atau media komunikasi lainnya. E. Tata Cara Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau 1. Mekanisme Pemesanan CK-1 Pengusaha yang telah mengajukan P3C dan telah mendapatkan konfirmasi bahwa pita cukainya telah selesai dicetak, dapat mengajukan CK-1 kepada Kepala Kantor untuk mendapatkan pita cukai. Jumlah pita cukai yang dapat dipesan dengan CK-1 harus disesuaikan dengan jumlah persediaan pita cukai yang ada di Kantor Bea dan Cukai atau Kantor Pusat DJBC. Pemesanaan pita cukai dengan CK-1 hanya dapat diajukan oleh pengusaha dalam hal : NPPBKC yang bersangkutan tidak dalam keadaan dibekukan ; Tidak memiliki utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, dan/atau sanksi admnistrasi berupa denda yang belum dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo ; Telah melunasi biaya pengganti penyediaan pita cukai dalam waktu yang ditetapkan. Secara umum alur proses pemesanan CK-1 digambarkan dalam skema sederhana sesuai Gambar 2.7 berikut. Alur proses yang digambarkan disini adalah mekanisme penyampaian CK-1 secara elektronik melalui Sistem Aplikasi hal 77

87 Cukai tersentralisasi sesuai panduan yang diberikan dalam Peraturan Direktur Jenderal nomor P-29/BC/2009. Khusus Kantor-kantor pelayanan yang belum menggunakan SAC, maka apabila pita cukai penyediaannya di Kantor Pusat DJBC, setelah proses administrasi selesai di KPPBC, lembar ketiga CK-1 diserahkan kepada pengusaha untuk mengurus pengambilan pita cukainya di Kantor Pusat DJBC. Gambar 2.7 Alur Proses Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau hal 78

88 Gambar 2.8 Contoh Pengajuan CK-1 sumber: KPBC Madya Malang hal 79

89 RANGKUMAN : 1) Dalam sistem tarif cukai hasil tembakau setidaknya ada empat besaran pokok yang mempengaruhi nilai cukai hasil tembakau, yaitu : a) jenis hasil tembakau b) Golongan Produsen yang ditentukan berdasarkan jumlah produksi hasil tembakau selama satu tahun takwim; c) Batasan HJE, artinya adalah batas HJE minimum yang boleh diajukan Pengusaha dalam rangka penetapan Tarif cukai; dan d) Tarif cukai spesifik dalam nilai satuan Rupiah 2) Pengusaha Pabrik atau Importir MMEA wajib memberitahukan HJE dari minuman mengandung etil alkohol yang diproduksi atau diimpor untuk setiap jenis dan merek minuman mengandung etil alkohol kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi. 3) Dalam sistem pemungutan cuka hasil tembakau yang pelunasannya dilakukan dengan pelatan pita cukai, ada tahapan yang harus dilalui pengusaha atau importir BKC sebelum memperoleh pita cukai yaitu : a) Pengajuan penetapan Tarif dan HJE hasil tembakau; b) Permohonan Penyedian Pita Cukai (P3C); dan c) Permohonan pemesanan pita cukai dengan dokumen CK-1 4) Pita cukai yang diperuntukan sebagai tanda pelunasan cukai hasil tembakau berbentuk lembaran dalam tiga seri, yaitu seri I, seri II dan seri III. Ukuran masing-masing pita cukai, yaitu : a) Seri I berjumlah 120 keping per lembar dengan ukuran 0,8 x 11,4 cm; b) Seri II berjumlah 56 keping per lembar dengan ukuran 1,3 cm x 17,5 cm; c) Seri III berjumlah 150 keping per lembar dengan ukuran 1,9 cm x 4,5 cm. hal 80

90 LATIHAN : 1) Jelaskan bagaimana implementasi sistem tarif cukai sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (3) Undang-undang Cukai terhadap ketiga BKC yang menjadi obyek pungutan cukai! 2) Jelaskan instrumen apa saja yang berpengaruh terhadap pungutan cukai hasil tembakau! 3) Jelaskan mekanisme pengajuan penetapan tarif cukai hasil tembakau atas merek-merek baru yang dimiliki pengusaha pabrik! 4) Jelaskan mekanisme penyediaan pita cukai hasil tembakau! 5) Dimana pita cukai disediakan dan bagaimana mekanisme pemesanannya! hal 81

91 BAB FASILITAS DAN KEMUDAHAN PEMBAYARAN CUKAI 3 Tujuan Pembelajaran Khusus : Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan mekanisme pemberian fasilitas dan kemudahan di bidang cukai A. Fasilitas Tidak Dipungut Cukai 1. Gambaran Umum Pengertian tidak dipungut cukai secara harfiah adalah adanya pengecualian dari kewajiban pemungutan cukai terhadap obyek dan/atau subyek cukai tertentu. Dalam pengertian yang lebih tegas konsep tidak pungut cukai mengandung pengertian bahwa obyek cukai dikecualikan dari kategori BKC atau subyek cukai bukan termasuk sebagai subyek yang harus menanggung beban cukai dengan alasan penghindaran cukai berganda, azas domisili dalam pungutan cukai dan juga akibat adanya kemusnahan atau kerusakan BKC. Bila kita meninjau cukai dari sudut pandang azas perpajakan, pada dasarnya cukai adalah pajak atas barang (pajak obyektif) yang pelaksanaannya berlaku azas domisili. Sumitro (1977) menjelaskan pengertian azas domisili sebagai suatu azas pemungutan pajak yang digantungkan atas domisili (tempat kediaman) wajib pajak di suatu negara. Pemberlakuan pungutan Cukai sesuai yang diamanahkan dalam Undang-undang Cukai hanya berlaku di wilayah hukum Indonesia. Orang yang berkedudukan sebagai wajib cukai atas suatu pungutan cukai adalah orang yang berdomisili di Indonesia. Hal ini diikuti dengan kewajiban untuk memiliki izin NPPBKC. hal 82

92 Dengan demikian, ketika suatu produk BKC yang berasal dari luar negeri kemudian diangkut terus ke luar negeri atau produk BKC dalam negeri yang diekspor, maka sudah selayaknya mendapatkan pengecualian dari pemungutan cukai. Hal ini dengan mempertimbangkan bahwa obyek dan subyek cukai tersebut tidak memenuhi azas domisili. 2. Jenis-Jenis Fasilitas Tidak Dipungut Cukai Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal 8 Undang-undang Cukai, pemerintah telah menerbitkan peraturan Menteri Keuangan yang berkaitan dengan fasilitas tidak dipungut cukai. Jenis-jenis fasilitas tidak dipungut cukai yang diatur dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Cukai adalah sebagai berikut : a. Tembakau Iris tradisional Kami menggunakan istilah tembakau iris tradisional dengan melihat pada karakateristik tembakau iris sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan tidak dipungut cukai dan juga untuk maksud memudahkan penyebutan. Lebih lengkapnya dapat dijelaskan bahwa tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan ecaran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila : a) dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau, seperti : saus, aroma, dan air gula; b) pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merk dagang, etiket atau yang sejenis itu. b. MMEA tradisional Cukai tidak dipungut atas MMEA yang diperoleh dari hasil peragian atau penyulingan, apabila : a) dibuat oleh rakyat Indonesia; hal 83

93 b) Pembuatannya dilakukan secara secara sederhana, dengan menggunakan peralatan sederhana yang lazim digunakan oleh rakyat Indonesia dan produksinya tidak melebihi 25 (dua puluh lima ) liter per hari; c) semata-mata untuk mata pencaharian; d) tidak dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran. Pada dasarnya pengecualian pungutan cukai terhadap tembakau iris tradisional maupun MMEA tradisional adalah untuk memberikan keringanan kepada masyarakat di beberapa daerah yang secara historis telah memanfaatkan kedua produk tersebut sebagai sumber mata pencahariannya. Contoh: - Di beberapa daerah di Jawa sudah menjadi kelaziman bagi masyarakat pribumi untuk menjual tembakau iris secara sederhana dan dalam jumlah yang terbatas dalam suatu kemasan tradisionil semacam: besek dari kulit bambu, daun jati, dan sebagainya. - Masyarakat Bali telah mengenal arak sebagai minuman tradisional yang biasa dikonsumsi dalam upacara-upacara adat. - Masyarakat di beberapa daerah di Jawa Timur atau di daerah Sumatera utara biasa mengkonsumsi minuman tuak yang beralkohol cukup tinggi yang diproduksi secara sederhana. c. BKC yang diangkut terus dan diangkut lanjut Cukai tidak dipungut atas BKC yang berasal dari luar negeri apabila diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar Daerah Pabean. Konsep barang yang diangkut terus dalam pengertian ini sama halnya dengan konsep diangkut terus dalam pengertian Undang-undang kepabeanan. Konsep pengenaan cukai dan bea masuk pada dasarnya menerapkan azas domisili, sehingga hal ini mengandung konsekuensi bahwa terhadap subyek pajak atas barang yang diangkut terus adalah bukan subyek pajak dalam negeri dan tidak dapat dikenakan pungutan bea masuk atau cukai. Akan tetapi, Selama obyek cukai berada di wilayah Indonesia, kewajiban membayar cukai masih melekat sampai dapat dibuktikan bahwa BKC tersebut benar-benar telah diangkut terus dengan menggunakan dokumen kepabeanan (BC1.2). hal 84

94 d. BKC yang diekspor. Cukai tidak dipungut atas ekspor BKC yang belum dilunasi cukainya yang berasal dari pabrik atau tempat penyimpanan. Sebelum pelaksanaan ekspor BKC tersebut, atas pengeluaran BKC dari pabrik/tempat penyimpanan wajib dilindungi dokumen PMBKC (CK-5). Selanjutnya untuk mengekspor barang yang bersangkutan, pengusaha tetap mengajukan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang sesuai mekanisme aturan kepabeanan. Dalam hal ekspor BKC merupakan barang yang telah dilunasi cukainya yang berasal dari peredaran bebas, maka fasilitas tidak dipungut cukai tetap diperlakukan (dilakukan pengembalian cukai) sepanjang eksportir adalah pengusaha pabrik yang memiliki NPPBKC. e. BKC yang dimasukkan kedalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan Cukai tidak dipungut atas BKC yang berasal dari Pabrik atau yang berasal dari Impor apabila dimasukkan ke dalam Pabrik/tempat penyimpanan lainnya. Sebelum pemasukan BKC ke dalam Pabrik/Tempat penyimpanan lainnya, Pengusaha Pabrik, Importir BKC, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan harus memberitahukan kepada kepala Kantor yang mengawasi dengan menggunakan formulir PMBKC. Umumnya kegiatan pemindahan BKC antar pabrik dan/atau tempat penyimpanan adalah untuk penambahan persedian yang ada, namun dalam kasus-kasus tertentu dapat saja berupa pemindahan BKC sebagai akibat pencabutan izin NPPBKC terhadap suatu pabrik atau tempat penyimpanan. f. BKC yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang yang hasil akhirnya merupakan BKC Cukai tidak dipungut atas BKC yang berasal dari Pabrik atau yang berasal dari Impor apabila dimasukkan ke dalam Pabrik lainnya untuk digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan BKC. Konsep pengecualian cukai dalam kondisi ini lebih dititikberatkan kepada kebijakan pemerintah untuk menghindari penerapan cukai berganda. hal 85

95 Pengusaha Pabrik yang akan menghasilkan barang hasil akhir yang merupakan BKC dengan menggunakan bahan baku atau bahan penolong, harus menyampaikan rencana produksinya kepada DirekturJenderal melalui kepala Kantor dan kepala Kantor Wilayah yang mengawasinya, dengan menggunakan formulir PBCK-1. Sebelum pengeluaran BKC dari Pabrik, Tempat Penyimpanan, atau Kawasan Pabean dengan tujuan untuk dimasukkan ke dalam Pabrik, Pengusaha harus memberitahukan kepada kepala Kantor yang mengawasi dengan menggunakan formulir pemberitahuan mutasi BKC. hal 86

96 Gambar 3.1 Contoh PBCK-1 sumber: KPM Cukai Kediri hal 87

97 g. BKC yang telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai. Untuk BKC yang telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik atau tempat penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai, diatur sebagai berikut : a) harus memberitahukan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi dengan menyebutkan sebab-sebab kemusnahan atau kerusakan barang; b) dilakukan pemeriksaan fisik atas BKC tersebut yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BACK-1) ; c) BACK-1 digunakan sebagai dasar pencatatan dalam Buku Rekening BKC dan Buku Persediaan BKC ; d) BKC yang rusak dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea Cukai. Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir atau setiap orang yang melanggar ketentuan tentang tidak dipungutnya cukai dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Sepuluh kali Nilai Cukai dan paling sedikit Dua kali Nilai Cukai yang seharusnya dibayar. Yang dimaksud dengan pelanggaran disini adalah bila BKC didapati menyimpang dari tujuan pemberian fasilitas. Contoh: misalnya BKC yang diekspor tidak dapat dibuktikan bahwa BKC yang bersangkutan telah benar-benar diekspor. B. Fasilitas Pembebasan Cukai 1. Gambaran Umum Pengertian pembebasan cukai adalah suatu bentuk fasilitas yang diberikan kepada Pengusaha Pabrik, Pengusaha tempat penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuaran, atau Importir untuk tidak membayar cukai yang terutang 4. Bila kita melihat dari sisi subyek dan obyek cukai maka secara prinsip konsep pembebasan cukai berbeda dengan konsep hal 88

98 tidak dipungut cukai. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa tidak pungut cukai mengandung pengertian bahwa obyek cukai dikecualikan dari kategori BKC atau subyek cukai bukan termasuk sebagai subyek yang harus menanggung beban cukai dengan alasan penghindaran cukai berganda, azas domisili dalam pungutan cukai dan juga akibat adanya kemusnahan atau kerusakan BKC. Dalam konsep pembebasan cukai, obyek cukai pada dasarnya adalah BKC yang terutang cukai, hanya saja karena adanya kebijakan-kebijakan tertentu dari pemerintah maka subyek cukai dapat dikecualikan dari kewajiban membayar cukai yang terutang. Salah satu dasar pertimbangan pemberian fasilitas pembebasan cukai adalah adanya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, serta Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Bila kita melihat karakteristik BKC khususnya BKC berupa etil alkohol, maka penggunaan BKC tersebut tidak semata-mata untuk memproduksi MMEA. Cukup banyak industri-industri manufacturing seperti: farmasi, kosmetik, bahan bangunan, Bio etanol dan lain sebagainya yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penmolong untuk memproduksi barang-barang non BKC. 2. Jenis-Jenis Fasilitas Pembebasan Cukai a. Bahan Baku/Bahan Penolong Pembuatan Barang Hasil Akhir Bukan BKC Pembebasan cukai dapat diberikan atas etil alkohol yang berasal dari Pabrik, Tempat Penyimpanan, Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran, atau Asal Impor, yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan Barang Hasil Akhir (BHA). Termasuk dalam pengertian pembuatan Barang Hasil Akhir sebagaimana dimaksud diatas, adalah pembuatan yang dilakukan melalui proses produksi terpadu. hal 89

99 Proses Produksi Terpadu Istilah proses produksi terpadu adalah suatu rangkaian proses produksi yang dilakukan di pabrik etil alkohol, mulai dari pembuatan etil alkohol sebagai bahan baku sampai dengan pembuatan barang hasil akhir yang bukan BKC. Etil alkohol sebagai barang hasil akhir yang dibuat melalui proses produksi terpadu dapat diberikan pembebasan cukai. Untuk dapat memperoleh pembebasan cukai atas etil alkohol dimaksud, Pengusaha Pabrik yang melakukan Proses Produksi Terpadu mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan dengan menggunakan contoh format PMCK 1. Contoh : - Pabrik Etil Alkohol yang juga memproduksi Produk farmasi - Pabrik Etil Alkohol yang juga memproduksi produk sanitari Proses Produksi Non Terpadu Untuk memperoleh pembebasan cukai etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir non terpadu, Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran, atau Importir, mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan dengan menggunakan contoh format PMCK-2 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini. Secara umum skema sederhana proses pengajuan pembebasan atas penggunaan etil alkohol untuk pembuatan barang hasil akhir digambarkan dalam gambar 3.2 berikut ini. Beberapa contoh, industri yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku ata bahan penolong, antara lain: - Pabrik Farmasi - Pabrik Bio Etanol - Pabrik cat dan Bahan Bangunan - Pabrik Kosmetika - dll hal 90

100 Gambar 3.2 Skema Permohonan Pembebasan atas Etil Alkohol untuk Pembuatan BHA Penjelasan: 1) Pengusaha Pabrik mengajukan permohonan pembebasan etil alkohol yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk pembuatan BHA menggunakan format PMCK-1 (untuk proses produksi terpadu) atau PMCK-2 (non terpadu). Permohonan sebagaimana dimaksud diatas, diajukan berdasarkan pesanan produsen Barang Hasil Akhir, dan pemohon harus mencantumkan rincian jumlah etil alkohol yang dimintakan pembebasan cukai serta rincian jumlah dan jenis Barang Hasil Akhir yang akan diproduksi.dalam hal permohonan tersebut diajukan oleh Importir, harus dicantumkan pelabuhan pemasukan etil alkohol, dan dalam hal permohonan diterima secara lengkap dan benar. 2) Kepala KPPBC akan melakukan penelitian administrasi dan untuk permohonan pertama kali wajib dilakukan pemeriksaan fisik lokasi tempat yang akan dipakai menimbun etil alkohol di lokasi pabrikan BHA. hal 91

101 3) Apabila permohonan telah lengkap dan layak diterima, Kepala Kantor membuat rekomendasi mengenai permohonan yang diajukan. 4) Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar, menetapkan keputusan atas permohonan yang diajukan sebagaimana dimaksud diatas dan kepada pengusaha Barang Hasil Akhir bersangkutan diberikan NPP. Produsen yang memperoleh pembebasan cukai etil alkohol untuk digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan Barang Hasil Akhir sebagaimana dimaksud diatas, wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan paling lama tanggal 10 pada bulan berikutnya berdasarkan catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, yang memuat : a. jumlah etil alkohol yang memperoleh pembebasan cukai yang diterima; b. jumlah etil alkohol yang digunakan; c. sisa etil alkohol yang belum digunakan yang masih ada dalam perusahaan pada akhir bulan; dan d. jenis dan jumlah Barang Hasil Akhir yang menggunakan etil alkohol yang diproduksi selama satu bulan, dengan menggunakan contoh format LACK-4. b. Untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Pembebasan cukai atas etil alkohol yang digunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dengan kadar paling rendah 85 % (delapan puluh lima persen). Selanjutnya untuk memperoleh pembebasan cukai sebagaimana dimaksud, Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran, atau Importir mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan dengan menggunakan contoh format PMCK-3. hal 92

102 Permohonan diajukan berdasarkan pesanan lembaga/badan resmi pemerintah yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan mencantumkan rincian jumlah etil alkohol yang dimintakan pembebasan cukai dan tujuan pemakaiannya. Dalam hal permohonan diterima secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar, menetapkan keputusan atas permohonan yang diajukan, dan kepada lembaga atau badan bersangkutan diberikan NPP. Kepala lembaga atau badan sebagai lembaga/badan penerima pembebasan cukai, wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan yang mengawasinya, paling lama tanggal 10 pada bulan berikutnya, yang memuat : a) Jumlah etil alkohol yang memperoleh pembebasan cukai yang diterima; b) Jumlah etil alkohol yang digunakan; dan c) Jumlah etil alkohol yang belum digunakan yang masih ada pada akhir bulan, dengan menggunakan contoh format LACK-5. c. Untuk Keperluan Perwakilan Asing dan Tenaga Ahli Bangsa Asing Untuk Keperluan Perwakilan negara Asing Pembebasan cukai dapat diberikan atas minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik. Dalam hal ini jumlah BKC yang dapat dibebaskan pada prinsipnya tidak dibatasi secara khusus, namun tetap berpedoman kepada asas timbal balik. BKC yang diberikan pembebasan cukai dapat diperoleh dari Toko Bebas Bea atau diimpor langsung sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan yang berlaku. Untuk memperoleh pembebasan cukai sebagaimana diatas, yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal dengan diketahui oleh Departemen Luar Negeri. hal 93

103 Untuk keperluan Tenaga ahli Bangsa asing Pembebasan cukai dapat diberikan atas minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada badan atau organisasi internasional di Indonesia. Untuk memperoleh pembebasan cukai sebagaimana dimaksud diatas, tenaga ahli yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal dengan diketahui oleh Sekretariat Negara. Jumlah BKC yang dapat diberi pembebasan cukai kepada tenaga ahli bangsa asing, paling tinggi : a) Minuman yang mengandung etil alkohol: 10 (sepuluh) liter setiap orang dewasa setiap bulan b) Hasil tembakau berupa: sigaret maksimal 300 (tiga ratus) batang ; atau Cerutu maksimal 100 (seratus) batang; atau Tembakau iris/hasil tembakau lainnya: maksimal 500 (lima ratus) gram; untuk setiap orang dewasa setiap bulan atau dalam hal lebih dari satu jenis hasil tembakau, setara dengan perbandingan jumlah setiap jenis hasil tembakau tersebut. BKC yang diberikan pembebasan cukai untuk keperluan keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada badan atau organisasi internasional di Indonesia, hanya dapat diperoleh pada Toko Bebas Bea sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan yang berlaku. d. Barang Bawaan Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, atau Kiriman dari Luar Negeri Pembebasan cukai dapat diberikan atas minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau kiriman dari luar negeri. Jumlah BKC yang mendapatkan pembebasan cukai adalah dalam jumlah setingi-tingginya sebagai berikut: 1) untuk penumpang yang datang dari luar negeri, paling tinggi: - MMEA maksimal : 1 (satu) liter setiap orang dewasa. hal 94

104 - Hasil tembakau : Sigaret: 200 (dua ratus) batang ; atau Cerutu: 25 (dua puluh lima) batang ; atau Tembakau iris/hasil tembakau lainnya : 100 (seratus) gram untuk setiap orang dewasa atau dalam hal lebih dari satu jenis hasil tembakau, setara dengan perbandingan jumlah setiap jenis hasil tembakau tersebut. 2) untuk awak sarana pengangkut, paling tinggi : - MMEA maksimal : 350 (tiga ratus lima puluh) mililiter setiap orang dewasa. - Hasil tembakau : Sigaret: 40 (empat puluh) batang ; atau Cerutu: 10 (sepuluh) batang ; atau Tembakau iris/hasil tembakau lainnya : 40 (empat puluh) gram untuk setiap orang dewasa atau dalam hal lebih dari satu jenis hasil tembakau, setara dengan perbandingan jumlah setiap jenis hasil tembakau tersebut. 3) Untuk barang kiriman dari luar negeri paling tinggi : - MMEA : 350 (tiga ratus lima puluh) mili liter untuk setiap alamat penerima kiriman - Hasil tembakau: sigaret maksimal 40 empat puluh) batang ; atau Cerutu: 10 (sepuluh) batang ; atau Tembakau iris/hasil tembakau lainnya : 40 (empat puluh) gram untuk setiap alamat penerima kiriman atau dalam hal lebih dari satu jenis hasil tembakau, setara dengan perbandingan jumlah setiap jenis hasil tembakau tersebut. Dalam hal jumlah BKC yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau kiriman dari luar negeri melebihi jumlah yang ditetapkan sebagaimana diatas, atas kelebihannya wajib dimusnahkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. e. Untuk Tujuan Sosial Pembebasan cukai untuk tujuan sosial, dapat diberikan atas etil alkohol dengan kadar paling rendah 85 % (delapan puluh lima persen) yang digunakan untuk tujuan sosial. Yang dimaksud dengan tujuan sosial adalah untuk keperluan rumah sakit. Untuk memperoleh pembebasan sebagaimana dimaksud diatas, Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat hal 95

105 Penyimpanan khusus pencampuran, atau Importir mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan, dengan menggunakan contoh format PMCK-3. Permohonan sebagaimana dimaksud diatas, diajukan berdasarkan pesanan rumah sakit dengan mencantumkan rincian jumlah etil alkohol yang dimintakan pembebasan cukai dan tujuan pemakaiannya. Jika permohonan diterima secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar, menetapkan keputusan atas permohonan yang diajukan, dan kepada rumah sakit bersangkutan diberikan NPP. Keputusan pembebasan ataupun penolakan disampaikan kepada pemohon dan salinannya disampaikan kepada kepala/pimpinan rumah sakit bersangkutan, Kepala Kantor Wilayah dan Direktur Cukai. Kepala/pimpinan rumah sakit wajib menyampaikan laporan bulanan penerimaan dan penggunaan etil alkohol kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan, paling lambat tanggal 10 pada bulan berikutnya, yang memuat : a) Jumlah etil alkohol yang memperoleh pembebasan cukai yang diterima; b) Jumlah etil alkohol yang digunakan; dan c) Jumlah etil alkohol yang belum digunakan yang masih ada pada akhir bulan, dengan menggunakan contoh format LACK-6. f. BKC Yang Dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat Pembebasan cukai dapat diberikan atas BKC yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat. Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan atau Pengusaha Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran, sebelum mengeluarkan BKC dari Pabrik, Tempat Penyimpanan atau Tempat Penyimpanan khusus pencampuran untuk dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat, wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan dengan menggunakan contoh format PMBKC. Dalam hal BKC yang akan dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat berasal dari hal 96

106 Kawasan Pabean, pelaksanaannya mengikuti tata laksana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Kepabeanan. Selanjutnya BKC yang memperoleh pembebasan cukai sebagaimana dimaksud diatas, digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong pada pembuatan BKC yang dijual atau diserahkan di dalam negeri, maka terhadap BKC dimaksud wajib dilunasi cukainya. Dalam hal BKC yang berasal dari Tempat Penimbunan Berikat yang dimasukkan ke Toko Bebas Bea, dijual kepada pembeli yang berhak sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan yang berlaku. g. Etil Alkohol Yang Didenaturasi Menjadi Spiritus Bakar Ketentuan Pembebasan Pembebasan cukai dapat diberikan atas etil alkohol yang dirusak/didenaturasi menjadi spiritus bakar sehingga tidak baik untuk diminum. Perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar hanya diizinkan kepada Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran dan dilakukan di tempat tertentu di Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan diawasi Pejabat Bea dan Cukai. Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran, sebelum melakukan perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan up. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat dengan menggunakan contoh format PMCK-4. Khusus untuk permohonan pertama kali, sebelum pengajuan PMCK-4, pengusaha pabrik terlebih dahulu wajib untuk mengajukan permohonan pemeriksaan lokasi bangunan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat. Direktur Jenderal u.b. Direktur Cukai atas nama Menteri Keuangan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap, harus menetapkan keputusan mengabulkan atau menolak permohonan. hal 97

107 Izin pembebasan cukai terhadap etil alkohol untuk didenaturasi menjadi spiritus bakar berlaku dalam periode 12 bulan dan tidak dapat dipindahtangankan. Atas pelaksanaan perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar dibuatkan Berita Acara Perusakan Etil Alkohol dengan menggunakan contoh format BACK- 6. Etil alkohol yang telah dirusak menjadi spiritus bakar harus dikeluarkan dari Pabrik paling lambat 8 (delapan) hari setelah pelaksanaan perusakan dan etil alkohol yang telah dirusak menjadi spiritus bakar harus dikeluarkan dari Tempat Penyimpanan, Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran paling lambat 1 (satu) hari setelah pelaksanaan perusakan. Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran wajib menyampaikan laporan bulanan tentang jumlah etil alkohol yang dirusak menjadi spiritus bakar dan jumlah spiritus bakar yang dihasilkan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan, paling lambat pada tanggal 10 pada bulan berikutnya dengan menggunakan contoh format LACK-7. Dalam hal etil alkohol yang telah dirusak menjadi spiritus bakar disuling ulang (redestilasi) atau dipisahkan bahan perusaknya, baik seluruhnya maupun sebagian, dianggap sebagai BKC yang wajib dilunasi cukainya. Tatacara Perusakan Etil Alkohol menjadi Spiritus Bakar Tata cara perusakan Etil Alkohol menjadi spiritus bakar diatur sebagai berikut : - Perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar (brand spiritus) dilakukan di Pabrik Etil Alkohol - Atas kegiatan perusakan Etil Alkohol menjadi spiritus bakar tersebut dilakukan pemeriksaan dan pengawasan oleh pejabat bea dan cukai. - Perusakan Etil Alkohol dilakukan dengan cara mencampur Etil Alkohol dengan bahan perusak dengan rumus Pencampuran: hal 98

108 Perbandingan 80 liter Etil Alkohol dengan kadar 50 % dicampur 1,4 liter bahan pencampur. Bahan perusakan dimaksud butir 3 diatas, diperoleh dari pencampuran bahan-bahan dengan perbandingan : a) 400 liter metanol tidak berwarna dicampur dengan 96 gram bahan warna biru kering ( methylen blue) atau bahan warna violet ( methylen violet) ; b) 400 liter hasil pencampuran tersebut, dicampur dengan 160 liter kerosen (minyak tanah) sehingga menjadi 560 liter bahan pencampur. Contoh : PT PS sebagai pabrik etil alkohol mengajukan permohonan PMCK-6 untuk pembuatan brand spiritus. Jumlah etil alkohol yang diajukan pembebasan adalah 1000 liter kadar 90%. Hitung jumlah bahan pencampur, jumlah spiritus bakar yang duhasilkan dan bahan-bahan pencampur yang dibutuhkan. Jawab : - Jumlah Bahan Pencampur - Jumlah Spiritus Bakar : Liter + 31, 5 Liter = 1.031,5 Liter - Komposisi bahan pencampur : Jumlah Methanol Jumlah Kerosin Jumlah Bahan Pewarna : hal 99

109 h. Untuk Konsumsi Penumpang Atau Awak Sarana Pengangkut Pembebasan Cukai dapat diberikan atas minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau yang berasal dari Pabrik atau yang diimpor untuk dikonsumsi oleh penumpang atau awak sarana pengangkut yang berangkat langsung ke luar Daerah Pabean melalui darat, laut, atau udara. Untuk memperoleh pembebasan cukai sebagaimana dimaksud diatas, Pengusaha Pabrik atau Importir mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan dengan menggunakan contoh format PMCK-5. Permohonan pembebasan cukai, diajukan berdasarkan pesanan pengusaha pengangkutan atau pengusaha jasa boga (catering) yang ditunjuk oleh pengusaha pengangkutan dengan mencantumkan rincian jumlah minuman mengandung etil alkohol dan/atau hasil tembakau yang dimintakan pembebasan cukai. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud diajukan oleh Importir, harus dicantumkan pelabuhan pemasukan minuman mengandung etil alkohol dan/atau hasil tembakau. Jika permohonan diterima secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari, sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar, menetapkan keputusan atas permohonan yang diajukan tersebut, dan kepada pengusaha pengangkutan atau pengusaha jasa boga (catering) diberikan NPP. Keputusan sebagaimana dimaksud diatas, disampaikan kepada pemohon dan salinannya disampaikan kepada pengusaha pengangkutan atau pengusaha jasa boga (catering) yang ditunjuk oleh pengusaha pengangkutan, Kepala Kantor Wilayah dan Direktur Cukai. Pengusaha Pabrik atau Importir sebelum mengeluarkan minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau dari Pabrik atau Kawasan Pabean, wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan yang membawahi dengan menggunakan contoh format PMBKC. Atas penggunaan fasilitas pembebasan tersebut, pengusaha pengangkutan atau pengusaha jasa boga, wajib menyampaikan laporan bulanan hal 100

110 tentang realisasi penerimaan dan penggunaan BKC kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan, paling lambat pada tanggal 10 pada bulan berikutnya, yang memuat : a) Jumlah MMEA dan hasil tembakau yang memperoleh pembebasan cukai yang diterima ; b) Jumlah MMEA dan hasil tembakau yang digunakan; c) Jumlah MMEA dan hasil tembakau yang belum digunakan yang masih ada pada akhir bulan, dengan menggunakan contoh format LACK-8. C. Penundaan Pembayaran Cukai 1. Gambaran Umum Istilah Penundaan yang dimaksudkan dalam konteks materi belajar ini adalah suatu bentuk kemudahan pembayaran berupa penangguhan pembayaran cukai selama jangka waktu tertentu (antara satu hingga tiga bulan) tanpa dikenakan bunga yang diberikan kepada Pengusaha Pabrik atau Importir BKC. Penundaan dapat diberikan kepada pengusaha pabrik atau importir atas pemesanan pita cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai. Filosofi dasar pemberian penundaan pembayaran adalah untuk memberikan keringanan finansil kepada Pengusaha Pabrik atau importir atas pemesanan pita cukai yang harus dipesan terlebih dahulu sebelum produknya siap untuk dijual. Logika berfikirnya dapat kami jelaskan berikut ini : Ketentuan dasar cukai mengatur bahwa saat pelunasan cukai (paling lambat) adalah ketika produk BKC dikeluarkan dari pabrik atau tempat penimbunan sementara (khusus BKC impor). Atas BKC yang pelunasannya dengan cara pelekatan pita cukai maka sebelum BKC diproduksi, Pengusaha Pabrik terlebih dahulu harus memiliki pita cukai dengan cara mengikuti mekanisme yang berlaku (P3C dan pengajuan CK-1). Untuk menjaga agar kelangsungan produksi tetap hal 101

111 berlangsung, Pengusaha wajib memiliki persediaan pita cukai dalam jumlah yang cukup. Hal iini tentu saja akan membuat cost tersendiri bagi pengusaha pabrik apabila pemesanan pita cukai dilakukan secara tunai. Berdasar filosofi inilah dapat kita ambil kesimpulan bahwa penundaan pembayaran adalah sangat wajar diberikan kepada pengusaha atau reksan. Perlu anda ingat bahwa pemesanan pita cukai dengan pengajuan dokumen CK-1 yang dibayar secara tunai bukanlah suatu bentuk pelunasan cukai. Pelunasan cukai atas BKC hasil tembakau dan MMEA tertentu terjadi pada saat pita cukai dilekatkan pada kemasan penjualan eceran. Ketentuan mengenai penundaan pembayaran cukai diatur dalam pasal 7A ayat (2) Undang-undang Cukai, dan sebagai aturan pelaksanaannya telah diterbitkan dalam suatu Peraturan menteri Keuangan. 2. Ketentuan Penundaan Cukai a. Batasan Nilai Penundaan Perhitungan besarnya nilai cukai yang dapat diberikan penundaan: a) untuk pengusaha pabrik, sebanyak 2 (dua) kali dari nilai cukai rata rata per bulan yang paling tinggi, yang dihitung dari pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir atau dalam waktu 3 (tiga) bulan terakhir; b) untuk importir, sebanyak 1 (satu) kali dari nilai cukai rata rata per bulan yang paling tinggi, yang dihitung dari pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir atau dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir. c) bagi pengusaha pabrik yang telah mengekspor hasil tembakau melebihi yang dijual di dalam negeri, diberikan penundaan sebanyak 3 (tiga) kali dari nilai cukai rata-rata perbulan yang paling tinggi, yang dihitung dari pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir atau dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir d) Nilai cukai yang dapat diberikan penundaan sebagaimana dimaksud pada poin (a) dan (b) dapat ditambah paling banyak 50% (lima puluh persen) dari hasil perhitungan dengan mempertimbangkan kinerja keuangan perusahaan. hal 102

112 e) Dalam hal terjadi perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai HJE dan/atau tarif cukai yang mengakibatkan kenaikan nilai cukai yang wajib dibayar, pengusaha pabrik dan importir dapat mengajukan permohonan penyesuaian nilai cukai yang diberikan penundaan. b. Jangka Waktu Penundaan Penundaan pembayaran cukai diberikan dalam jangka waktu: a) 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai, untuk pengusaha pabrik; atau b) 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai, untuk importir. c) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penundaan adalah bagi pengusaha pabrik yang telah mengekspor hasil tembakau melebihi yang dijual di dalam negeri sebelum tahun anggaran berjalan yang dihitung berdasarkan dokumen pemesanan pita cukai, dapat diberikan penundaan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari. Apabila tanggal jatuh tempo bertepatan dengan hari libur, hari yang diliburkan, atau bukan hari kerja perbankan yang mengakibatkan pembayaran tidak dapat dilakukan, pembayaran cukai yang terutang wajib dilakukan pada hari kerja sebelum jatuh tempo. Penetapan jangka waktu penundaan bila dibandingkan dengan jangka waktu yang tersebut dalam pasal 7A ayat (2) Undang-undang Cukai, maka akan terdapat sedikit perbedaan. Jangka waktu penundaan berdasarkan Undangundang Cukai dinyatakan dalam satuan hari bukan dalam satuan bulan. Dalam praktek yang terjadi di lapangan, batasan waktu dengan menggunakan satuan hari sering menimbulkan selisih paham atau perbedaan persepsi mengenai tanggal jatuh tempo penundaan. Oleh karenanya aturan PMK nomor 69/PMK.04/2009 menggunakan satuan bulan sebagai dasar penentuan jangka waktu penundaan pembayaran. Hal ini bertujuan untuk memudahkan tugas pejabat Bea dan Cukai yang menangani kegiatan pemberian kemudahan pembayaran. hal 103

113 Contoh : PT. XY pabrik HT dalam negeri mengajukan CK-1 pada tanggal 04 Februari 2010 dengan penundaan pembayaran, maka jatuh tempo CK-1 yang bersangkutan adalah tanggal 04 April c. Kewajiban Jaminan dan Persyaratan Penundaan Untuk pemesanan pita cukai dengan mendapatkan penundaan maka pengusaha pabrik atau importir wajib mempertaruhkan jaminan. Ketentuan jaminan yang harus dipertaruhkan adalah sebagai berikut: a) Terhadap pengusaha pabrik wajib menyerahkan jaminan berupa jaminan bank, jaminan dari perusahaan asuransi, atau jaminan perusahaan; atau b) Terhadap importir wajib menyerahkan jaminan bank. Untuk mendapatkan penundaan dengan jaminan perusahaan, pengusaha pabrik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) merupakan pengusaha berisiko rendah berdasarkan profil pengusaha pabrik; b) merupakan Pengusaha Kena Pajak; c) tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di bidang cukai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir; d) tidak mempunyai tunggakan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga di bidang cukai, kecuali sedang diajukan keberatan; e) tidak sedang melakukan pengangsuran pembayaran atas surat tagihan; f) memiliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan opini wajar tanpa pengecualian selama 2 (dua) tahun terakhir; g) memiliki kinerja keuangan yang baik. Untuk mendapatkan penundaan dengan jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi, pengusaha pabrik harus memenuhi persyaratan : 1) merupakan Pengusaha Kena Pajak; 2) tidak pernah melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir; hal 104

114 3) tidak mempunyai tunggakan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga di bidang cukai, kecuali sedang diajukan keberatan; 4) dalam hal pengusaha pabrik mendapatkan pemberian pengangsuran, jumlah angsurannya sudah mencapai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih dari total tagihan; 5) memiliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan opini wajar tanpa pengecualian selama 1 (satu) tahun terakhir; 6) memiliki kinerja keuangan yang baik. Untuk mendapatkan penundaan dengan jaminan bank, importir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) merupakan Pengusaha Kena Pajak; 2) tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di bidang kepabeanan dan cukai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir; 3) tidak mempunyai tunggakan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga di bidang cukai, kecuali sedang diajukan keberatan; 4) memiliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan opini wajar tanpa pengecualian selama 2 (dua) tahun terakhir; 5) memiliki kinerja keuangan yang baik. d. Pejabat yang Berwenang Memberikan Penundaan Penetapan terhadap permohonan penundaan yang diajukan oleh pengusaha pabrik atau importir dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1) untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai sampai dengan Rp ,00 (lima milyar rupiah) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan. 2) untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai sampai dengan Rp ,00 (lima puluh milyar rupiah) ditetapkan oleh Kepala Kantor hal 105

115 Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Madya atas nama Menteri Keuangan. 3) untuk permohonan penundaan melalui Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan. 4) penundaan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan, dengan ketentuan sebagai berikut: a) untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai lebih dari Rp ,00 (lima milyar rupiah) bagi pengusaha pabrik atau importir yang berada pada pengawasan kantor sebagaimana dimaksud pada poin (1). b) untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai lebih dari Rp ,00 (lima puluh milyar rupiah) bagi pengusaha pabrik atau importir yang berada pada pengawasan kantor Bea Cukai tipe madya. e. Pembekuan dan Pencabutan Penundaan Cukai Kemudahan penundaan cukai yang diberikan kepada pengusaha dapat dibekukan selama 6 (enam) bulan, dalam hal : 1) pelanggaran perdagangan BKC berupa pemberian hadiah uang, barang atau yang semacam itu, baik dikemas menjadi satu maupun tidak menjadi satu dengan BKC; 2) pengusaha pabrik atau importir diduga melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai; 3) pengusaha pabrik atau importir melakukan pelanggaran administrasi di bidang cukai; 4) pengusaha pabrik atau importir tidak menyelesaikan kewajiban pembayaran cukai sampai jatuh tempo penundaan; atau 5) hasil pemeriksaan sediaan pita cukai atau hasil audit yang dilakukan pejabat bea dan cukai, kedapatan selisih kurang atau lebih yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dari jumlah pita cukai yang seharusnya ada sesuai buku atau catatan sediaan pita cukai. hal 106

116 6) pengusaha pabrik yang mendapatkan penundaan dengan jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi atau importir yang mendapatkan penundaan dengan jaminan bank, sedang melakukan pengangsuran pembayaran atas surat tagihan kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah tagihan. Pengusaha pabrik atau importir yang dibekukan keputusan pemberian penundaannya, tidak dapat mengajukan permohonan penundaan baru selama masa pembekuan. Pembekuan keputusan pemberian penundaan dilakukan oleh kepala kantor dengan menerbitkan surat pemberitahuan disertai alasan pembekuan. Keputusan pemberian penundaan yang telah dibekukan dapat diberlakukan kembali, apabila: 1) jangka waktu 6 (enam) bulan telah dilewati; 2) pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai; 3) pengusaha pabrik atau importir telah melakukan pemenuhan kewajiban yang ada akibat pelanggaran di bidang cukai dan/atau telah membayar sanksi administrasi berupa denda; 4) pengusaha pabrik atau importir telah membayar utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya dan sanksi administrasi berupa denda; atau 5) pengusaha pabrik yang melakukan pengangsuran pembayaran cukai, telah melakukan pengangsuran pembayaran atas surat tagihan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih dari jumlah tagihan. Keputusan pemberian penundaan dicabut dalam hal: 1) atas permohonan pengusaha pabrik atau importir yang bersangkutan; 2) NPPBKC pengusaha pabrik atau importir yang bersangkutan dicabut; 3) persyaratan mendapatkan penundaan tidak lagi dipenuhi; 4) jangka waktu 6 (enam) bulan telah dilewati namun pengusaha pabrik atau importir tidak menyelesaikan kewajiban di bidang cukai; 5) pengusaha pabrik atau importir belum menyelesaikan utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sampai jatuh tempo; dan/atau hal 107

117 6) pengusaha pabrik atau importir dijatuhi sanksi pidana di bidang cukai yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengusaha pabrik atau importir yang dicabut keputusan pemberian penundaannya, dapat mengajukan kembali permohonan penundaan setelah 6 (enam) bulan sejak tanggal pencabutan. D. Pembayaran Berkala 1. Gambaran Umum Pengertian pembayaran berkala adalah pemberian kemudahan pembayaran berupa penangguhan pembayaran hutang-hutang cukai yang timbul atas pengeluaran BKC dari pabrik, dan wajib dilunasi paling lambat pada setiap tanggal 5 bulan berikutnya, tanpa dikenai bunga. Dalam hal jatuh tempo pembayaran berkala jatuh pada hari libur, hari diliburkan, atau bukan hari kerja dari Bank Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Pos Persepsi, yang mengakibatkan pembayaran tidak dapat dilakukan, maka pembayaran cukai yang terutang wajib dilakukan pada hari kerja sebelum jatuh tempo. Pembayaran berkala merupakan salah satu bentuk kemudahan pembayaran yang diberikan oleh pemerintah kepada industri BKC yang berskala besar dan memiliki reputasi yang baik. Referensi ketentuan mengenai tatacara pembayaran berkala diatur dengan Peraturan Menteri. Pembayaran secara berkala dapat diberikan kepada pengusaha pabrik yang melaksanakan pelunasan cukainya dengan cara pembayaran, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di bidang cukai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir; 2) memiliki volume produksi BKC dalam negeri paling sedikit 10 (sepuluh) juta liter pertahun; 3) tidak mempunyai utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga di bidang cukai kecuali sedang diajukan keberatan; hal 108

118 4) dalam hal pengusaha pabrik mendapatkan pemberian pengangsuran, jumlah angsurannya sudah mencapai 75% atau lebih dari total tagihan; 5) memenuhi kewajiban perpajakan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir dengan baik; 6) memiliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan opini wajar tanpa pengecualian dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir; 7) menerapkan teknologi berupa sistem komputer yang dapat memonitor setiap saat proses produksi dan pengeluaran BKC. 2. Ketentuan Pembayaran Berkala Kewajiban Jaminan dan Persyaratan Permohonan Untuk dapat mengeluarkan BKC dengan pembayaran secara berkala, pengusaha pabrik harus menyerahkan jaminan kepada kepala kantor. Jenis jaminan yang dapat diserahkan dalam rangka pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud, berupa: Jaminan bank atau Jaminan dari perusahaan asuransi. Atas jaminan yang diserahkan dalam rangka pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud pada kepala kantor menerbitkan Bukti Penerimaan Jaminan (BPJ). Dalam rangka mengajukan permohonan untuk dapat melakukan pembayaran cukai secara berkala, pengusaha pabrik harus terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala kantor untuk dilakukan pemeriksaan sistem komputer sebagai salah satu syarat diberikannya pembayaran berkala. Atas pemeriksaan tersebut, pejabat bea dan cukai membuat Berita Acara Pemeriksaan yang berisi hasil pemeriksaan fisik dengan menggunakan contoh format standar dengan disertai tata letak (lay out) dan bagan alur sistem monitoring proses produksi dan pengeluaran BKC. Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala kantor untuk hal 109

119 memperoleh pembayaran cukai secara berkala. Permohonan tersebut harus dilampiri dengan : 1) Laporan keuangan perusahaan selama 2 (dua) tahun terakhir berturut-turut yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan opini wajar tanpa pengecualian; 2) Rekapitulasi produksi setiap bulan dan rekapitulasi pembayaran cukai setiap bulan, dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir; dan 3) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir. Atas permohonan pebayaran berkala, kepala kantor atas nama Menteri Keuangan menyetujui atau menolak permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengajuan permohonan diterima secara lengkap. Keputusan pemberian pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud berlaku paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan keputusan pemberian pembayaran secara berkala. Sanksi atas Wanprestasi Dalam hal pengusaha pabrik yang mendapatkan persetujuan pembayaran secara berkala tidak menyelesaikan pembayaran cukai sampai dengan jatuh tempo pembayaran secara berkala, berlaku ketentuan sebagai berikut : 1) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai cukai yang terutang; dan 2) jaminan yang diserahkan pengusaha pabrik dicairkan. Apabila sampai dengan jatuh tempo pembayaran, pengusaha pabrik tidak menyelesaikan kewajibannya, bank penjamin atau surety harus melakukan pencairan jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak jatuh tempo pembayaran secara berkala. Pencairan jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi dilakukan dengan menggunakan Surat Pencairan Jaminan (SPJ) sesuai dengan format standar. hal 110

120 Bank penjamin atau surety harus mencairkan jaminan sebesar nilai cukai yang terutang dan memberitahukan pencairan tersebut kepada kepala kantor. Dalam hal bank penjamin atau surety tidak melakukan pencairan jaminan berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) jaminan baru yang diterbitkan oleh bank penjamin atau surety yang bersangkutan tidak dilayani sampai dengan kewajiban pencairan jaminan dipenuhi; dan 2) terhadap cukai yang terutang dilakukan penagihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembekuan dan Pencabutan Keputusan pemberian pembayaran secara berkala dapat dibekukan selama 6 (enam) bulan sejak ditemukan pelanggaran apabila pengusaha pabrik melakukan pelanggaran di bidang cukai. Keputusan pemberian pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud dibekukan dalam hal pengusaha pabrik yang mendapatkan pembayaran secara berkala sedang melakukan pengangsuran pembayaran atas surat tagihan kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah tagihan. Surat tagihan tersebut berasal dari tagihan selain utang cukai yang tidak diselesaikan pembayaran cukainya pada saat jatuh tempo pembayaran secara berkala. Pengusaha pabrik yang keputusan pemberian pembayaran secara berkalanya dibekukan, tidak dapat mengajukan permohonan pembayaran secara berkala baru selama masa pembekuan. Pembekuan keputusan pemberian pembayaran secara berkala dilakukan oleh kepala kantor dengan menerbitkan surat pemberitahuan disertai alasan pembekuan. Pemberlakuan kembali keputusan pemberian pembayaran secara berkala yang telah dibekukan dapat dilakukan dengan ketentuan: 1) apabila telah melewati jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dibekukan sementara; atau 2) pengusaha pabrik telah melakukan pengangsuran pembayaran atas surat tagihan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih dari jumlah tagihan. hal 111

121 Pemberlakuan kembali keputusan pemberian pembayaran secara berkala dilakukan oleh kepala kantor dengan menerbitkan surat pemberitahuan disertai alasan pemberlakuan kembali. Keputusan pemberian pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat dicabut dalam hal: 1) atas permohonan pengusaha pabrik yang bersangkutan; 2) NPPBKC pengusaha pabrik yang bersangkutan dicabut; 3) persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 ayat (4) tidak lagi dipenuhi; 4) pengusaha pabrik tidak melakukan pembayaran cukai sampai dengan jatuh tempo pembayaran secara berkala; 5) pengusaha pabrik belum menyelesaikan utang cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda sampai jatuh tempo; dan/atau 6) pengusaha pabrik dijatuhi sanksi pidana di bidang cukai yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengusaha pabrik yang dicabut keputusan pemberian pembayaran secara berkala, dapat mengajukan permohonan untuk pemberian pembayaran secara berkala kembali, setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pencabutan. Cukai yang terutang atas pengeluaran BKC sebagai akibat dari pencabutan keputusan pemberian pembayaran secara berkala, wajib dilunasi dengan cara tunai. hal 112

122 RANGKUMAN : 1) Konsep tidak pungut cukai mengandung pengertian bahwa obyek cukai dikecualikan dari kategori BKC atau subyek cukai bukan termasuk sebagai subyek yang harus menanggung beban cukai, dengan alasan penghindaran cukai berganda, azas domisili dalam pungutan cukai dan juga akibat adanya kemusnahan atau kerusakan BKC. 2) Jenis-jenis fasilitas tidak dipungut cukai yang diatur dalam Undang-undang Cukai adalah: a) Tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan ecaran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan; b) MMEA tradisionil yang diperoleh dari hasil peragian atau penyulingan oleh masyarakat pribumi, dibuat secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran; c) BKC yang diangkut terus dan diangkut lanjut; d) BKC yang diekspor; e) BKC yang dimasukkan kedalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan; f) BKC yang telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai. 3) Pembebasan cukai adalah suatu bentuk fasilitas yang diberikan kepada Pengusaha Pabrik, Pengusaha tempat penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, atau Importir untuk tidak membayar cukai yang terutang. 4) Jenis-jenis fasilitas pembebasan cukai adalah: a) BKC yang digunakan sebagi bahan baku/bahan penolong pembuatan barang hasil akhir bukan BKC; b) BKC yang digunakan untuk untuk keperluan penelitian dan pengembangan Ilmu pengetahuan; c) BKC yang digunakan untuk keperluan perwakilan asing dan tenaga ahli bangsa asing; hal 113

123 d) BKC sebagai barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, atau kiriman dari luar negeri; e) BKC yang digunakan untuk Tujuan Sosial f) BKC yang dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat g) Etil Alkohol Yang Didenaturasi Menjadi Spiritus Bakar h) BKC yang digunakan untuk konsumsi penumpang atau awak sarana pengangkut 5) Pembayaran berkala merupakan bentuk kemudahan pembayaran yang diberikan kepada subyek cukai yang cara pelunasannya dengan pembayaran. Bentuknya adalah penangguhan pembayaran tanpa dikenakan bunga atas kewajiban pembayaran cukai, dan wajib diselesaikan paling lambat tanggl 5 bulan berikutnya. 6) Penundaan pembayaran merupakan bentuk kemudahan pembayaran yang diberikan kepada subyek cukai yang cara pelunasannya dengan pelekatan pita cukai. Bentuknya adalah penangguhan pembayaran tanpa dikenakan bunga atas kewajiban pembayaran cukai, dan wajib diselesaikan paling lambat antara 1(satu) sampai 3(tiga) bulan LATIHAN : 1) Apa yang dimaksud dengan Fasilitas Tidak Dipungut Cukai dan apa persyaratan yang harus dipenuhi, jelaskan!. 2) Apa yang dimaksud dengan Fasilitas Pembebasan Cukai dan apa persyaratan yang harus dipenuhi, jelaskan! 3) Jelaskan perbedaan antara fasilitas pembebasan dengan fasilitas tidak dipungut cukai! 4) Jelaskan Mengapa terhadap Pabrik Hasil tembakau perlu diberikan kemudahan pembayaran berupa penundaan cukai! 5) Terhadap BKC yang dibawa Penumpang, dalam jumlah tertentu diberikan pembebasan cukai. Jelaskan apa yang harus dilakukan petugas Bea dan Cukai, ketika penumpang membawa BKC dalam jumlah yang lebih dan yang bersangkutan siap membayar pungutan pajak berapapun mahalnya! hal 114

124 BAB TATA CARA PELUNASAN DAN PENAGIHAN CUKAI 4 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan Tata cara pelunasan dan penagihan Cukai A. Tatacara Pelunasan Cukai 1. Konsep Pelunasan Cukai Pokok bahasan yang akan disampaikan dalam Bab 4 ini adalah mengenai tata cara pelunasan cukai, penghitungan pungutan cukai dan penagihan pungutan cukai. Sebelum kita masuk pada pokok bahasan ada baiknya kita mereview kembali konsep dasar berkaitan dengan pelunasan cukai, tentunya dengan sudut pandang yang lebih operasional. Artinya bahwa, pelajaran mengenai konsep-konsep dasar tentang pelunasan cukai yang anda peroleh dalam materi belajar Undang-undang Cukai akan kita tinjau dari sudut pelaksanaan operasionalnya. a. Saat Terutang Cukai Konsep yang paling mendasar yang harus diketahui berkaitan dengan pelunasan cukai adalah pemahaman mengenai saat terutang cukai (tatbestand). Dalam pasal 3 ayat (1) Undang-undang Cukai dinyatakan bahwa : a) BKC yang dibuat di Indonesia terutang cukai pada saat selesai dibuat menjadi BKC ; hal 115

125 b) BKC yang berasal dari impor terutang cukai pada saat pemasukannya ke dalam Daerah Pebean Indonesia. Pengertian yang dapat kita pahami untuk point (1) dari bunyi pasal tersebut adalah konsep waktu mengenai saat timbulnya hutang cukai atas BKC yang dibuat di Indonesia. Untuk BKC yang dibuat di Indonesia, terutang cukai pada saat selesai dibuat. Istilah selesai dibuat dalam penjelasan pasal ditafsirkan sebagai saat proses pembuatan BKC itu selesai dengan tujuan untuk dipakai. Bila pengertian tersebut kita kaitkan dengan masing-masimg BKC maka kita dapat memahami istilah selesai dibuat tersebut sebagai berikut : a) Pengertian selesai dibuat untuk BKC etil alkohol adalah saat proses produksi telah menghasilkan etil alkohol (C2H5OH) atau dalam konsep sederhananya adalah saat etil alkohol tersebut menetes dari tangki-tangki produksi untuk ditempatkan kedalam wadah penampungan atau tangki penyimpanan barang jadi. b) Pengertian selesai dibuat untuk produk BKC MMEA adalah pada saat MMEA tersebut keluar dari keran-keran produksi untuk ditempatkan ke dalam wadah penampungan atau langsung ke dalam kemasan penjualan eceran. c) Pengertian selesai dibuat untuk produk hasil tembakau adalah pada saat proses produksi hasil tembakau telah menghasilkan produk hasil tembakau yang siap untuk dikonsumsi. Sebagai contoh: untuk sigaret, saat selesai dibuat adalah saat proses pelintingan dan pemotongan telah selesai sehingga sigaret tersebut sudah berbentuk batang demi batang. Beberapa pendapat mengatakan saat selesai dibuat ini adalah saat BKC dikemas untuk penjualan eceran. Dalam hal BKC yang telah selesai dibuat yang masih berada di dalam pabrik ternyata telah dikonsumsi sebelum dikeluarkan dari pabrik, maka terhadap BKC tersebut dianggap telah dikeluarkan. Oleh karenanya, Pengusaha Pabrik wajib melunasi hutang cukai yang timbul atas BKC yang selesai dibuat tersebut. Dalam hal ini, petugas Bea dan cukai berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap BKC yang sudah berstatus terutang cukai. Bentuk pengawasan yang hal 116

126 paling sederhana adalah dengan mewajibkan pengusaha pabrik untuk melaporkan jumlah produksi BKC yang dihasilkan setiap harinya dengan menggunakan dokumen CK-4. Untuk pengertian pada poin (2) dari pasal 3 ayat (1) diatas mengenai istilah saat terutang cukai terhadap BKC impor, pengertiannya sama dengan halhal yang dijelaskan dalam Undang-undang Kepabeanan. Saya yakin anda semua sudah mempelajari konsep dasar ini pada mata pelajaran Undangundang Kepabeanan. b. Saat Pelunasan Cukai Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai mengatur ketentuan mengenai saat pelunasan cukai, yaitu : a) Untuk BKC yang dibuat di Indonesia, pelunasan cukainya dilakukan pada saat pengeluaran BKC dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan. b) Untuk BKC yang di impor, pelunasan cukainya dilakukan pada saat BKC tersebut dikeluarkan dari Kawasan Pabean atas impor untuk dipakai. Pasal 7 ayat (1) dan (2) ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih diikuti dengan ayat (3) yang mengatur mengenai cara pelunasan cukai. Pelunasan cukai atas kedua BKC diatas dilaksanakan dengan cara : a) pembayaran b) pelekatan pita cukai c) pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya. Pada dasarnya titik perikatan pembayaran cukai antara subyek cukai dengan pemerintah sesuai dengan bunyai pasal 7 ayat (1) dan (2) tersebut adalah pada saat dikeluarkan dari pabrik atau saat dikeluarkan dari kawasan pabean. Hal ini mengandung pengertian bahwa, pengusaha harus memastikan bahwa seluruh BKC yang akan dikeluarkan dari pabrik untuk dikonsumsi atau didistribusikan maka BKC tersebut harus telah dilunasi cukainya. Ketika pejabat Bea dan Cukai menemukan adanya pengeluaran BKC tanpa dokumen yang jelas hal 117

127 yang ternyata belum dilunasi cukainya, maka tindakan tersebut dianggap suatu pelanggaran (baik pelanggaran sesuai pasal 52 atau pasal 25 ayat 4). Berkaitan dengan konsep cara pelunasan, hal ini mengandung pengertian bahwa sebelum BKC dikeluarkan dari pabrik atau kawasan pabean, maka terhadap BKC tersebut wajib dipenuhi kewajiban pembayaran cukainya baik dengan cara pembayaran, pelekatan pita cukai atau dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya (hal ini tergantung mekanisme yang diatur pemerintah). Sebagai contoh, untuk produk hasil tembakau yang pelunasannya dilakukan dengan cara pelekatan pita cukai. Dalam hal ini, cukai dianggap telah dilunasi pada saat pita cukai dilekati pada kemasan penjualan eceran yang bersangkutan. 2. Pelunasan Cukai dengan Cara Pembayaran Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan nomor 108/PMK.04/2008 tentang Pelunasan Cukai sebagaimana telah diubah terkhir dengan PMK nomor 159/PMK.04/2009, pelunasan cukai dengan cara pembayaran dilakukan atas BKC berupa : a) MMEA yang dibuat di Indonesia dengan kadar etil alkohol sampai dengan 5% (lima persen); dan b) Etil alkohol. Pelunasan cukai dengan cara pembayaran, dilakukan dengan membayar cukai sebelum BKC bersangkutan dikeluarkan dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan. Pembayaran cukai MMEA dalam negeri yang kadar etil alkoholnya tidak lebih dari 5% atau etil alkohol yang dibuat di Indonesia dilakukan secara tunai dan dilaksanakan melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos Persepsi. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran tunai adalah Pengusaha Pabrik yang mendapat kemudahan pembayaran secara berkala. Khusus untuk pembayaran cukai etil alkohol yang berasal dari impor harus dilakukan melalui Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi. hal 118

128 3. Pelunasan Cukai dengan Cara Pelekatan Pita Cukai a. BKC yang Pelunasannya dengan Cara Pelekatan Pita Cukai Pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai dilakukan atas BKC berupa : a) Hasil Tembakau (baik yang dibuat di Indonesia atau yang diimpor); b) MMEA yang diimpor untuk dipakai di dalam Daerah Pabean Indonesia. c) MMEA yang dibuat di Indonesia dengan kadar etil alkohol lebih dari 5% (lima persen). Pelekatan pita cukai oleh Pengusaha Pabrik dilakukan dengan cara melekatkan pita cukai yang seharusnya dan dilekatkan sesuai ketentuan yang berlaku di bidang cukai, sebelum hasil tembakau atau MMEA dikeluarkan dari pabrik. Pelekatan pita cukai oleh importer dilakukan dengan melekatkan pita cukai yang seharusnya dilekatkan sesuai ketentuan yang berlaku di bidang cukai, sebelum diterbitkannya Surat Perintah Pengeluaran Barang. Lokasi Pelekatan Pita Cukai Proses pelekatan pita cukai baik dalam rangka pelunasan BKC dalam negeri atau BKC eks. Impor, harus dilakukan di dalam suatu tempat yang mendapat pengawasan Bea dan Cukai. Lokasi pelekatan pita cukai dapat dilaksanakan di tempat-tempat sebagai berikut : a) Untuk pelekatan pita cukai hasil tembakau dan MMEA yang dibuat di dalam negeri harus dilakukan di dalam pabrik yang bersangkutan; b) Untuk hasil tembakau dan MMEA asal impor, dapat dilakukan di negara asal barang, di tempat penimbunan sementara, dan/atau di tempat penimbunan berikat; Ketentuan Pelekatan Pita Cukai Pita cukai yang dilekatkan pada kemasan penjualan eceran MMEA yang berasal dari impor dan yang dibuat di Indonesia dengan kadar alkohol lebih dari 5%, harus memenuhi ketentuan : a) sesuai dengan Tarif Cukai dan Kadar etil alkohol pada isi kemasan ; hal 119

129 b) merupakan hak Importir BKC atau Pengusaha Pabrik yang bersangkutan dan sesuai dengan peruntukannya ; c) utuh, tidak rusak, dan/atau bukan bekas pakai ; d) tidak lebih dari satu keping ; dan e) dilekatkan pada kemasan yang tertutup dan menutup tempat pembuka kemasan yang tersedia sehigga pita cukai akan rusak apabila tutup kemasan dibuka ; f) harus menggunakan bahan perekat yang kuat sehingga tidak mudah dilepaskan dari kemasan, dalam keadaan utuh; g) dilekatkan tidak melebihi batas waktu pelekatan pita cukai yang ditetapkan. Pita cukai yang dilekatkan pada kemasan penjualan eceran hasil tembakau baik yang berasal dari impor atau yang dibuat di Indonesia, harus memenuhi ketentuan : a) sesuai dengan Tarif Cukai dan Kadar etil alkohol pada isi kemasan ; b) merupakan hak pengusaha pabrik atau Importir BKC yang bersangkutan dan sesuai dengan peruntukannya ; c) utuh, tidak rusak, dan/atau bukan bekas pakai ; d) tidak lebih dari satu keping ; dan e) dilekatkan pada kemasan yang tertutup dan menutup tempat pembuka kemasan yang tersedia; f) harus menggunakan bahan perekat yang kuat sehingga tidak mudah dilepaskan dari kemasan, dalam keadaan utuh; g) dilekatkan tidak melebihi batas waktu pelekatan pita cukai yang ditetapkan. Dalam hal pita cukai yang dilekatkan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, cukainya dianggap tidak dilunasi. Disamping hal tersebut, pelekatan pita cukai oleh Pengusaha Pabrik atau importir juga harus memenuhi ketentuan waktu pelekatan, sebagai berikut: a) dalam hal pergantian tahun anggaran dan/atau desain : pelekatan pita cukai harus dilakukan paling lambat tanggal 1 (satu) bulan berikutnya setelah pergantian tahun anggaran dan/atau desain yang baru; b) dalam hal terdapat perubahan kebijakan di bidang tarif dan/atau HJE (HJE), atas pita cukai yang dipesan sebelum berlakunya perubahan, hal 120

130 pelekatan pita cukai harus harus dilakukan paling lambat tanggal 1 (satu) bulan berikutnya setelah diberlakukan perubahan. c) dalam hal pelekatan pita cukai dilakukan di luar negeri, importasi paling lambat dilakukan pada tanggal 1 (satu) bulan berikutnya setelah pergantian tahun anggaran dan/atau desain yang baru, yang dibuktikan dengan tanggal manifest kedatangan sarana pengangkut (inward manifest BC 1.1). 4. Pembubuhan Tanda Pelunasan Cukai Lainnya Cara pelunasan yang ketiga yang diatur di dalam ketentuan Pasal 7 Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 Jo. Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007, adalah mekanisme pelunasan cukai dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya. Mekanisme pelunasan dengan pembubuhan tanda pelunasan cukai pada dasarnya adalah mekanisme pelunasan alternatif yang disediakan Undang-undang dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi pelunasan ke depannya. Untuk sekarang ini, teknologi sekuriti telah lazim menggunakan barcode dan hologram sebagai media pengaman untuk suatu produk agar tidak mudah dipalsukan. Ke depan, dapat saja pemerintah mengambil kebijakan untuk menggunakan sistem pelunasan cukai menggunakan barcode atau hologram. Pelunasan cukai dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya, dilakukan sebelum BKC tersebut dikeluarkan dari Pabrik, Tempat Penimbunan Sementara (TPS), Tempat Penimbunan Berikat (TPB), atau di Tempat pembuatan BKC di luar negeri. Hal-hal yang menyangkut lokasi pembubuhan tanda pelunasan cukai maupun ketentuan yang harus dipenuhi dalam hal pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya, pada dasarnya hampir sama dengan mekanisme pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai. B. Penghitungan Pungutan Cukai Sebagai calon pelaksana pemeriksa di unit-unit Kepabeanan dan Cukai sudah selayaknya anda memiliki pengetahuan yang cukup mengenai cara hal 121

131 penghitungan cukai. Konsep penghitungan cukai sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Akan tetapi pengalaman membuktikan bahwa apabila anda tidak pernah mempraktekkan proses penelitian cukai ini, anda akan mengalami kesulitan apabila ditempatkan di unit-unit pelayanan cukai. Untuk itu, mari kita bahas materi ini dengan sungguh-sungguh dan silahkan mencoba mengerjakan soalsoal latihan yang disediakan pada akhir Bab 5 ini. 1. Penghitungan Cukai Etil Alkohol Sebagaimana telah kita pelajari pada bab sebelumnya bahwa sistem pemungutan cukai etil alkohol menggunakan sistem tarif cukai spesifik murni. Pengertiannya bahwa cukai dipungut berdasarkan jumlah satuan spesifik tertentu tanpa membedakan kadar etil alkohol yang terkandung di dalamnya dan juga tanpa membedakan apakah etil alkohol tersebut diperoleh dari impor atau diproduksi di dalam negeri. Dengan kata lain tarif cukai etil alkohol bersifat flat. Cara pelunasan etil alkohol dilaksanakan dengan pembayaran tunai atau berkala sebelum BKC yang bersangkutan dikeluarkan dari pabrik. Dalam menghitung pungutan cukai etil alkohol, variabel yang terlibat di dalamnya sangat sederhana, yaitu : 1) Jumlah dalam satuan liter 2) Tarif cukai sepesifik, yaitu Rp ,- per liter Rumus penghitungan cukai etil alkohol : Contoh Penghitungan: 1) Pabrik etil alkohol PS di Medan mengajukan permohonan pengeluaran BKC dengan pelunasan cukai (dokumen CK-5) kepada KPPBC medan, dengan rincian: - 20 drum 200 liter, etil alkohol kadar 96%. hal 122

132 Pertanyaan, Berapa nilai cukai yang harus dibayar Pengusaha? Jawab : Pungutan Cukai yang harus dilunasi = 20 x 200 ltr x Rp ,- = Rp ,- 2) Importir ACW mengimpor BKC berupa etil alkohol dari luar negeri dengan rincian data sebagai berikut : - Jumlah etil alkohol yang diimpor sebanyak liter - Harga barang tersebut sesuai invoice adalah C& F USD 0.5 per liter - Biaya insurance yang dikeluarkan importir adalah USD 1, NDPBM diasumsikan Rp per 1 USD - Pos Tarif dan pembebanan sesuai HS adalah : Pos Tarif : (BM 30%, PPN 10%, PPh. Psl. 22 2,5%) Pertanyaan : Hitung pungutan yang harus dilunasi Importir sebelum barangnya dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean. Jawab : - Pungutan Cukai = liter x Rp ,- = Rp ,- - Nilai Pabean = CIF x NDPBM = USD ( x 0,5) + 1,000 = USD 8, x Rp ,- = Rp ,- - Bea Masuk = 30 % x Rp ,- = Rp ,- - Nilai Impor = Nilai Pabean + BM + Cukai Rp , ,- + Rp ,- = Rp ,- - PPN impor = 10% x Rp ,- = Rp ,- - PPh. Psl 22 = 2,5% x Rp ,- = Rp ,- - Total Pungutan : BM + Cukai + PPN + PPh. Psl 22 : Rp ,- + Rp , ,- + Rp ,- = Rp ,- 2. Penghitungan Cukai MMEA Berdasarkan PMK nomor 159/PMK.04/2009 mekanisme pelunasan cukai untuk BKC MMEA mengalami perubahan yang cukup mendasar. Terhadap hal 123

133 MMEA yang diimpor dan MMEA produksi dalam negeri dengan kadar lebih dari 5%, cara pelunasan cukainya dilakukan dengan pelekatan pita cukai. Untuk MMEA produksi dalam negeri yang kadarnya kurang dari 5%, cara pelunasannya tetap dengan cara pembayaran. Berbeda dengan cara penghitungan cukai etil alkohol, dalam menghitung pungutan cukai MMEA, variabel yang menentukan besarnya nilai cukai lebih banyak, yaitu : a) Jumlah barang dalam satuan liter b) Tarif cukai spesifik sesuai golongan c) Golongan MMEA yang dibedakan berdasarkan kadar etil alkohol yang terkandung di dalamnya. Rumus penghitungan cukai MMEA : Contoh Penghitungan pungutan cukai MMEA : 1) Pabrik MB sebagai produsen bir merek BB (isi per botol 330 ml) dengan kadar alkohol 3%, mengajukan permohonan pengeluaran BKC dengan pelunasan cukai (CK-5) sebanyak krat 12 botol. HJE per Rp 8.900,- Pertanyaan, berapa cukai yang harus dilunasi sebelum pengeluaran dari Pabrik? Jawab : Tarif cukai untuk MMEA kadar 3% (Golongan A) ; Rp ,- / liter Pungutan Cukai = x 12 x 0,33 x Rp ,- = Rp ,- 2) Produsen MMEA PT IS telah mengajukan dokumen penyediaan pita cukai MMEA (P3C) untuk kebutuhan bulan Februari 2010 sebanyak lembar pita cukai Gol B. Pada tanggal 8 Februari 2010, Pengusaha hal 124

134 tersebut mengajukan CK-1A dengan total rincian pengajuan, sebagai berikut : No. Merk Kemasan Isi Gol. Tarif Lembar 1. CLB Vodka Botol Kaca 250 ml B CLB Whisky Botol Kaca 620 ml B 100 Pertanyaan : Berapa nilai cukai yang harus dibayar untuk pemesanan CK1A tersebut? Jawab : Pertama kali yang harus diingat bahwa pita cukai MMEA diterbitkan dalam satu seri saja, dengan jumlah keping pita cukai per lembarnya sebanyak 60 keping. Perhitungan cukai untuk merk CLB Vodka : Jumlah Liter = jumlah lembar PC x 60 x 0,25 liter = 300 x 60 x 0,250 = liter Cukai = Jumlah liter x tarif cukai spesifik Gol B = x Rp ,- = Rp ,- Perhitungan cukai untuk merk CLB Whisky : Jumlah liter = 100 x 60 x 0,620 = liter Cukai = x Rp = Rp ,- 3. Penghitungan Cukai Hasil Tembakau Sejak diberlakukannya PMK nomor 203/PMK.04/2008 sistem pemungutan cukai hasil tembakau telah beralih dari sistem tarif cukai advalarom dan/atau gabungan menjadi sistem tarif cukai spesifik. Fokus kebijakan berkaitan dengan cukai hasil tembakau cukai saat ini tidak lagi mengarah kepada kebijakan atas HJE hasil tembakau, namun lebih mengarah kepada kebijakan yang berkaitan dengan besaran tarif cukai spesifik. Meskipun demikian variabel HJE hasil tembakau tetap berpengaruh kepada besarnya nilai cukai yang harus dilunasi oleh pengusaha, oleh karena penentuan strata penetapan tarif cukai spesifik dibedakan pula berdasar batasan HJE atas hasil tembakau. hal 125

135 Berkaitan dengan cara pelunasan cukai hasil tembakau yang dilakukan dengan cara pelekatan pita cukai, maka komponen-komponen data yang disebutkan dalam permohonan CK-1 menjadi referensi dalam penghitungan pungutan cukai. Komponen-komponen data yang disebutkan dalam CK-1 antara lain: 1) Seri pita cukai; untuk pita cukai hasil tembakau dibedakan menjadi tiga seri: seri I = 120 keping per lembar, seri II =56 keping per lembar dan seri III = 150 keping per lembar; 2) Isi per bungkus; penghitungan cukai hasil tembakau menggunakan satuan per batang, sehingga jumlah batang dalam satu bungkus harus diketahui; 3) HJE; komponen ini menentukan tingkat tarif spesifik yang harus dikenakan (apakah berada di layer 1, layer 2 atau layer 3) dan juga komponen yang harus diperhatikan dalam penghitungan PPN hasil tembakau; 4) Jumlah lembar; pengertiannya adalah jumlah lembar pita cukai yang dipesan Hal lain yang harus diperhatikan dalam perhitungan cukai hasil tembakau adalah kewajiban pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) hasil tembakau. Ketentuan mengenai PPN hasil tembakau secara khusus diatur di dalam PMK nomor 406/KMK.04/2000, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut: 1) PPN atas hasil tembakau dipungut oleh pabrikan hasil tembakau buatan dalam negeri dan disetor pada Bank Persepsi bersamaan dengan saat pembelian pita cukai dengan pembayaran tunai atau saat pelunasan hutang cukai tembakau atas pita cukai yang telah dipesan. 2) PPN yang dikenakan atas penyerahan hasil tembakau buatan dalam negeri atau atas impor hasil tembakau buatan luar negeri dihitung dengan menerapkan tarif efektif dikalikan dengan HJE. Besarnya tarif efektif sebagaimana dimaksud ditetapkan sebesar 8,4%. 3) Terhadap hasil tembakau impor maka PPN yang dipungut adalah PPN Dalam Negeri dan PPN impor. Dalam hal ini, penghitungan jumlah PPN Dalam Negeri yang harus disetor yaitu sebesar tarif efektif x HJE dikurangi Pajak Pertambahan Nilai Impor. hal 126

136 4) HJE hasil tembakau yang diberikan secara cumacuma kepada karyawan Pabrik adalah 50% dari HJE hasil tembakau untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum; 5) HJE hasil tembakau yang diberikan secara cumacuma kepada pihak ketiga adalah sebesar 75% dari HJE hasil tembakau untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum; Rumus penghitungan : Tarif Cukai Spesifik : Sesuai struktur tarif yang ditetapkan Menkeu. Jumlah Batang : Jumlah Lembar x Jumlah Keping Seri x Isi per kemasan HJE total : HJE per kemasan x Jumlah lembar PC x Jumlah Keping Seri Contoh Perhitungan: 1) Produsen SKM PT LM telah mengajukan dokumen penyediaan pita cukai (P3C) Hasil Tembakau untuk kebutuhan bulan Februari Pada tanggal 4 Februari 2013, Pengusaha tersebut mengajukan CK-1 dengan total rincian pengajuan, sebagai berikut : No Gol Seri Pita Cukai Jumlah (Lbr) Merek Isi/Bks HJE/ Bungkus hal 127

137 1. II SERI III A 12 Btg Rp ,- 2. II SERI I 500 B 20 Btg Rp.9.000,- Sebagai tambahan informasi, bahwa Tarif cukai berdasarkan PMK No.179/PMK.011/2012 yang telah ditetapkan terhadap produk Hasil tembakau, yaitu: a. Merk A, Tarif cukai spesifik adalah Rp. 285/btg b. Merk B, Tarif cukai spesifik adalah Rp. 245/btg c. Tarif PPN HT adalah 8,4% Berdasarkan data-data tersebut, Hitung : A. Total Nilai cukai yang terhutang! B. Total PPN Hasil Tembakau yang terhutang! Jawab : Perhitungan Cukai dan PPN untuk merk A Jumlah batang = lbr x 12 x 150 keping = batang Cukai terhutang = Rp. 285 x = Rp ,- PPN terhutang = 8,4% x Rp x lbr x 150 = Rp ,- Perhitungan Cukai dan PPN untuk merk B Jumlah batang = 500 lbr x 20 x 120 keping = batang Cukai terhutang = Rp. 245 x = Rp ,- PPN terhutang = 8,4% x Rp x 500 lbr x 120 = Rp ,- Total Cukai terhutang : Rp Rp = Rp ,- Total PPN terhutang : Rp = Rp ,- C. Tatacara Penagihan dan Pengangsuran Cukai 1. Penagihan Cukai Berdasarkan ketentuan pasal 10 Undang-undang Cukai diatur kewajiban DJBC untuk melakukan penagihan terhadap utang-utang cukai, yaitu : hal 128

138 a) Utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya; b) Kekurangan cukai; dan/atau c) Sanksi Administrasi berupa Denda. Pengertian utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya mengacu kepada kemudahan pembayaran yang diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha di bidang cukai, baik dalam bentuk pembayaran berkala maupun penundaan pembayaran. Timbulnya utang cukai merupakan suatu konsekuensi logis terhadap kemudahan pembayaran yang diberikan, baik karena unsur kelalaian administrasi, kesulitan keuangan, dan lain sebagainya. Sebagai penjelasan awal mengenai istilah kemudahan pembayaran dapat kami sebutkan sebagai berikut : (akan dipelajari lebih lanjut pada Bab 6) a) Pembayaran berkala; merupakan bentuk kemudahan pembayaran yang diberikan kepada subyek cukai yang cara pelunasannya dengan pembayaran. Bentuknya adalah penangguhan pembayaran tanpa dikenakan bunga atas kewajiban pembayaran cukai, dan wajib diselesaikan paling lambat tanggl 5 bulan berikutnya. b) Penundaan pembayaran; merupakan bentuk kemudahan pembayaran yang diberikan kepada subyek cukai yang cara pelunasannya dengan pelekatan pita cukai. Bentuknya adalah penangguhan pembayaran tanpa dikenakan bunga atas kewajiban pembayaran cukai, dan wajib diselesaikan paling lambat antara 1(satu) sampai 3(tiga) bulan, tergantung kategori subyek cukaiutang cukai akibat kemudahan yang diberikan dalam bentuk kemudahan penundaan pembayaran cukai. Yang dimaksud dengan kekurangan cukai, adalah kewajiban cukai yang timbul sebagai akibat adanya temuan dalam penelitian dokumen, dan hasil pengecekan lainnya, antara lain: a) Kekurangan cukai akibat kesalahan perhitungan dalam dokumen pemberitahuan atau pemesanan pita cukai ; dan b) Kekurangan cukai akibat hasil pencacahan fisik terhadap BKC berupa etil alkohol dan MMEA Berkaitan dengan kekurangan cukai sebagai akibat pengenaan sanksi administrasi berupa denda maksudnya adalah sanksi yang dikenakan kepada hal 129

139 Pengusaha BKC sebagai akibat tindakan pelanggaran, baik pelanggaran administrasi dan/atau pelanggaran pidana yang dilakukan Pengusaha tersebut. Kewajiban membayar utang cukai, kekurangan cukai dan sanksi administrasi denda wajib diselesaikan pembayarannya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan. Apabila pembayaran atas tagihan tersebut melebihi jangka waktu 30 hari, maka si pengusaha akan dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari nilai utang cukai atau kekurangan cukai, atau sanksi administrasi denda yang tidak terbayar. Mekanisme penagihan selanjutnya terhadap kewajiban-kewajiban cukai yang tidak diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari akan dilakukan oleh Seksi Perbendaharaan dengan berpedoman kepada Undang-undang nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2000, tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 2. Pengangsuran Berkaitan dengan penagihan utang cukai yang tidak dilunasi pada waktunya, kekurangan cukai; dan/atau sanksi administrasi berupa denda, lebih lanjut Menteri Keuangan mengatur secara teknis penyelesaian dengan cara pengangsuran. Beberapa poin pokok dalam aturan PMK Nomor 116/PMK.04/2008 dapat kami jelaskan sebagai berikut : 1) Yang dimaksud dengan Pengangsuran adalah pemberian kemudahan kepada pengusaha pabrik dalam melakukan pembayaran tagihan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda dengan cara beberapa kali pembayaran secara teratur sampai batas waktu yang ditetapkan. 2) Pengangsuran diberikan kepada pengusaha pabrik yang mengalami kesulitan keuangan atau dalam keadaan kahar (force majeur), yang mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban terhadap utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda di bidang cukai ; hal 130

140 3) Pengangsuran bagi pengusaha pabrik yang mengalami kesulitan keuangan sebagaimana dimaksud diatas, diberikan apabila pengusaha pabrik tersebut tidak mempunyai kewajiban pengangsuran sebelumnya yang tidak dibayar sesuai jumlah dan waktu yang telah ditetapkan. 4) Pengangsuran bagi pengusaha pabrik yang mengalami keadaan kahar (force majeur) sebagaimana dimaksud pada butir 2, diberikan apabila : telah terbukti terjadi kahar (force majeur) berdasarkan surat keterangan dari instansi terkait; dan telah dibuatkan berita acara pemeriksaan lapangan oleh Pegawai Bea dan Cukai. 5) Pengangsuran diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana tercantum dalam surat tagihan. Atas pengangsuran tersebut, pengusaha dikenai bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan, bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh, terhitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana tercantum dalam surat tagihan. 6) Untuk mendapatkan pengangsuran, pengusaha pabrik harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal melalui kepala kantor yang menerbitkan surat tagihan, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak tanggal diterima surat tagihan. Permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 6 harus dilampiri dengan : a) laporan keuangan tahun terakhir atau surat keterangan dari instansi terkait tentang terjadinya kahar (force majeur); dan b) menyerahkan jaminan sebesar 25 % (dua puluh lima persen) dari tagihan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda ditambah dengan bunga. c) Jaminan sebagaimana dimaksud pada butir 7 huruf b berupa jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi. 7) Atas permohonan sebagaimana dimaksud diatas, Direktur Jenderal menetapkan keputusan menerima atau menolak permohonan yang hal 131

141 bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada butir 8, Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, permohonan dianggap dikabulkan. 8) Keputusan pemberian pengangsuran dinyatakan tidak berlaku apabila: a) NPPBKC dicabut; b) pengusaha pabrik yang bersangkutan tidak membayar angsuran sesuai jumlah dan waktu yang telah ditetapkan; atau c) seluruh tagihan telah dibayar. Dalam hal keputusan pemberian pengangsuran dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada poin a dan b, jaminan dicairkan dan dilakukan penagihan aktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal keputusan pemberian pengangsuran dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada poin c, jaminan dikembalikan kepada pengusaha pabrik. 3. Masa Daluwarsa Tagihan Cukai Berdasarkan ketentuan pasal 13 Undang-undang Cukai diatur bahwa: hak menagih utang berdasarkan undang-undang Cukai menjadi kedaluwarsa setelah sepuluh tahun sejak timbulnya hutang pajak. Artinya bahwa apabila DJBC tidak dapat menemukan adanya bukti-bukti mengenai kekurangan pembayaran cukai selama kurun waktu sepuluh tahun, maka hak penagihan terhadap utang cukai yang timbul setelah jangka waktu 10 tahun tersebut menjadi kadaluwarsa. Jangka waktu sepuluh tahun tidak dapat diperhitungkan sebagai kadaluwarsa dalam hal adanya pengakuan hutang dari pihak wajib cukai. hal 132

142 RANGKUMAN : 1) Sistem pelunasan cukai yang diatur dalam ketentuan Undang-undang cukai terdiri atas tiga cara yaitu: a) Sistem pembayaran b) Sistem pelekatan pita cukai c) Sistem pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya 2) BKC yang cara pelunasannya dengan cara pembayaran adalah : a) etil alkohol produksi dalam negeri; b) etil alkohol yang diimpor; dan c) MMEA produksi dalam negeri dengan kadar tidak lebih dari 5% 3) BKC yang cara pelunasannya dilakukan dengan pelekatan pita cukai adalah: a) Hasil tembakau produksi dalam negeri b) Hasil tembakau yang diimpor; dan c) MMEA produksi dalam negeri dengan kadar lebih dari 5% d) MMEA yang diimpor 4) Rumus Penghitungan cukai MMEA : 5) Rumus penghitungan cukai hasil tembakau dan PPN hasil tembakau: Tarif Cukai Spesifik : Sesuai PMK No. 181/PMK.011/2009 Jumlah Batang : Jumlah Lembar x Jumlah Keping Seri x Isi per kemasan hal 133

143 HJE total : HJE per kemasan x Jumlah lembar PC x Jumlah Keping Seri LATIHAN : 1) Jelaskan metode pelunasan yang diatur dalam Undang-undang cukai! 2) Jelaskan konsep terutang cukai dan saat pelunasan cukai! 3) Jelaskan penerapan sistem pelunasan cukai dengan cara pembayaran! 4) Menurut pandangan anda mana yang lebih efektif, sistem pelunasan cukai dengan pembayaran atau pelekatan pita cukai! Jelaskan. 5) Pabrik etil alkohol PS di Medan mengajukan permohonan pengeluaran BKC dengan pelunasan cukai kepada KPPBC medan, dengan rincian: 450 drum 200 liter, etil alkohol kadar 95%. Pertanyaan: Berapa nilai cukai yang harus dibayar Pengusaha sebelum BKC dikeluarkan dari Pabrik? hal 134

144 BAB PENCATATAN, PEMBUKUAN, DAN PENCACAHAN BKC 5 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang pencatatan, pembukuan dan pencacahan BKC (BKC) A. Pencatatan dan Pembukuan BKC 1. Kewajiban Pembukuan Dalam rangka meningkatkan pengawasan atas produksi, peredaran dan pemakaian atas BKC, maka terhadap para pengusaha BKC dan Pejabat Bea dan Cukai diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16, 16A, 16B, 17, 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Cukai mengenai penyelenggaraan buku, catatan dan dokumen di bidang cukai. Kewajiban penyelenggaraan pembukuan yang dimaksudkan dalam ketentuan Undang-undang Cukai pada dasarnya membedakan istilah pembukuan dengan istilah pencatatan. Kita akan membahasnya lebih detail dalam sub pokok bahasan ini. a. Konsep Pembukuan di Bidang Cukai Konsep Pembukuan di bidang cukai adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang, modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan. Pembukuan hal 135

145 yang diselenggarakan oleh pengusaha harus berdasarkan sistem yang lazim digunakan di Indonesia yaitu berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Pengertian buku berdasarkan referensi aturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 109/PMK.04/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembukuan adalah ledger yang merupakan kumpulan catatan hasil klasifikasi transaksi keuangan sebagai dasar pembuatan laporan keuangan. Dalam pelaksanaan sistem pembukuan cukai, maka format buku, catatan, dokumen dan laporan keuangan internal perusahaan dapat disusun sendiri sesuai SAK. Pengertian catatan dalam konsep pembukuan adalah jurnal yang merupakan kumpulan data dan/atau informasi yang bersumber dari dokumen, yang dibuat secara teratur dan sistematis, baik yang tertulis di atas kertas atau sarana lain yang terekam dalam bentuk apa pun yang dapat dibaca. Kemudian pengertian dokumen adalah media yang berisi data dan/atau keterangan yang dibuat dan/atau diterima oleh orang dalam rangkapelaksanaan kegiatannya, baik yang tertulis di atas kertas atau sarana lain yang terekam dalam bentuk apapun yang dapat dilihat dan dibaca. b. Subyek Cukai yang Wajib Pembukuan Berdasarkan ketentuan teknis di bidang pembukuan cukai, diatur kriteria subyek cukai yang wajib menyelenggarakan pembukuan, yaitu: 1) Pengusaha Pabrik BKC Pengusaha pabrik yang dimaksudkan disini adalah pengusaha pabrik yang berstatus sebagai pemegang NPPBKC dan merupakan pengusaha kena pajak (PKP). Batasan status PKP mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, bahwa batasan peredaran bruto usaha wajib pajak yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah lebih besar dari Rp 600 juta, atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak selama satu tahun buku. 2) Pengusaha Tempat Penyimpanan Pengusaha tempat penyimpanan etil alkohol yang berstatus sebagai pemegang NPPBKC, tidak dibedakan berdasarkan status PKP-nya. hal 136

146 3) Importir BKC Importir BKC yang berstatus sebagai pemegang NPPBKC, tidak dibedakan berdasarkan status PKP-nya. 4) Penyalur BKC tertentu Penyalur yang wajib pembukuan adalah penyalur yang berstatus sebagai pemegang NPPBKC dan merupakan pengusaha kena pajak (PKP). Pengusaha pabrik non PKP dikecualikan dari kewajiban pembukuan. c. Pedoman Penyelenggaraan Pembukuan Sebagai tindak lanjut ketentuan pasal 16 ayat (1) Undang-undang Cukai mengenai pembukuan, pemerintah telah menerbitkan PMK nomor 109/PMK.04/2008. Beberapa hal pokok yang diatur secara khusus dalam peraturan tersebut antara lain: 1) Pelaksanaan pembukuan dapat diselenggarakan secara tertulis maupun dalam bentuk data elektronik 2) Pembukuan atas kegiatan usaha di bidang cukai wajib diselenggarakan dengan baik yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, biaya, dan arus keluar masuknya BKC. 3) Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, mata uang rupiah, serta bahasa Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa lain yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. 4) Terhadap sediaan barang harus dilakukan penatausahaan dengan baik, paling sedikit memuat jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan dan pengeluaran barang; 5) Terhadap subyek cukai yang memperoleh dan/atau menggunakan fasilitas cukai, diwajibkan melakukan penatausahaan sediaan barang sehingga dapat diketahui jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan dan pengeluaran sediaan barang yang berkaitan dengan fasilitas cukai yang diperoleh dan/atau digunakan; 6) Subyek cukai yang menyelenggarakan pembukuan, wajib melakukan penyusunan dan penyajian laporan keuangan dengan berdasarkan pada hal 137

147 prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Penyusunan laporan keuangan wajib disajikan paling sedikit setahun sekali. 7) Buku, catatan, dokumen dan surat dalam bentuk data elektronik yang disusun dalam rangka penyelenggaraan pembukuan wajib dijaga atau dijamin keandalan sistem pengolahan datanya supaya dapat dibuka, dibaca, atau diambil kembali setiap waktu. 8) Asli dari laporan keuangan, buku, catatan, dokumen, dan surat dapat dialihkan ke dalam bentuk data elektronik. Namun demikian, bukti asli tersebut yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu, wajib tetap disimpan. 9) Setiap pengalihan laporan keuangan, buku, catatan, dokumen, dan surat wajib dilegalisasi oleh pimpinan atau orang yang ditunjuk di lingkungan badan hukum yang bersangkutan, dengan dibuatkan berita acara. Berita acara sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat: keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya legalisasi; keterangan bahwa pengalihan laporan keuangan, buku, catatan, dokumen, dan surat yang dibuat di atas kertas ke dalam disket, compact disk, tape backup, hard disk atau media lainnya telah dilakukan sesuai dengan aslinya; tanda tangan dan nama jelas orang bersangkutan. 10) Laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain yang terekam dalam bentuk apapun yang dapat dilihat dan dibaca, wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia, termasuk tempat-tempat lain yang khusus diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan laporan keuangan, buku, catatan, dokumen, dan surat. 11) Terhadap pengusaha yang kategorinya wajib pembukuan namun tidak menyelenggarakan pembukuan dimaksud, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp ,- (lima puluh juta rupiah). hal 138

148 2. Kewajiban Pencatatan a. Konsep Pencatatan Pengertian pencatatan di bidang cukai adalah suatu proses pengumpulan dan penulisan data secara teratur tentang pemasukan, produksi, dan pengeluaran BKC, dan penerimaan, pemakaian, dan pengembalian pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya. Sistem pencatatan merupakan bentuk yang lebih sederhana dibandingkan dengan sistem pembukuan. Khusus untuk pencatatan, pengusaha yang diwajibkan menyelenggarakan pencatatan harus menggunakan pedoman pencatatan sebagaimana diatur di dalam PMK nomor 110/PMK.04/2008 tentang Kewajiban Pencatatan Bagi Pengusaha pabrik Skala Kecil, Penyalur Skala Kecil yang Wajib Memiliki Izin, dan Pengusaha Tempat Penjualan Eceran yang Wajib Memiliki Izin. Dalam pelaksanaan sistem pencatatan cukai, maka format buku catataan, disediakan oleh DJBC. Kewajiban pencatatan lebih ditujukan kepada pengusaha yang tergolong pengusaha kecil yang masih perlu diberikan pembinaan terhadap administrasi BKC-nya. Pencatatan wajib dibuat secara lengkap yang mencerminkan: 1) pemasukan, produksi, dan pengeluaran BKC yang sebenarnya, untuk Pengusaha Pabrik skala kecil; atau 2) pemasukan dan pengeluaran BKC yang sebenarnya, untuk penyalur dan pengusaha tempat penjualan eceran etil alkohol atau MMEA skala kecil yang wajib memiliki NPPBKC. b. Subyek Cukai Yang Wajib Melakukan Pencatatan Subyek cukai yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan namun wajib menyelenggarakan pencatatan adalah: 1) Pengusaha Pabrik BKC skala kecil Kategori Pengusaha berskala kecil mengacu kepada ketentuan perpajakan, yaitu orang pribadi yang tidak dikukuhkan sebagai PKP. 2) Penyalur etil alkohol atau MMEA berskala kecil, yang wajib memiliki NPPBKC hal 139

149 Sama halnya dengan konsep pabrik berskala kecil, maka pengertian penyalur berskala kecil juga mengacu pada status perusahaan yang bukan PKP. 3) Pengusaha Tempat Penjualan Eceran etil alkohol atau MMEA, yang wajib memiliki NPPBKC. Khusus terhadap pengusaha tempat penjualan eceran baik etil alkohol maupun MMEA hanya diwajibkan untuk menyelenggarakan pencatatan di bidang cukai, tidak dibedakan berdasarkan status PKP-nya. c. Pedoman Penyelenggaraan Pencatatan Beberapa pedoman penyelenggaraan pencatatan sebagaimana diatur dalam PMK nomor 110/PMK.04/2008, antara lain: Khusus terhadap pengusaha pabrik BKC skala kecil yang pelunasannya dengan pelekatan pita cukai, berlaku ketentuan kewajiban pembuatan pencatatan secara lengkap yang mencerminkan penerimaan, pemakaian dan pengembalian pita cukai yang sebenarnya. Pengadaan Buku catatan sediaan dilakukan sendiri oleh Pengusaha yang bersangkutan, namun sebelum digunakan buku tersebut harus mendapat pengesahan dan ditandatangani terlebih dahulu oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat atau pejabat yang ditunjuknya. Berkaitan dengan penyelenggaraan pencatatan, pengusaha yang menyelenggarakan pencatatan tersebut wajib menyimpan buku catatan sediaan yang dimilikinya selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia. d. Buku Catatatan di Bidang Cukai Pencatatan yang diselenggarakan oleh pengusaha skala kecil mengacu pada contoh format yang telah ditentukan oleh DJBC. Buku-buku catatan yang wajib diselenggarakan mencakup kegiatan pencatatan sediaan BKC dan catatan sediaan pita cukai. Beberapa buku catataan yang wajib diselenggarakan antara lain mencakup: hal 140

150 1) Buku CSCK-1 CSCK-1 (Gambar I.1) adalah buku catatan sediaan hasil tembakau untuk mencatat seluruh produksi hasil tembakau yang dihasilkan oleh pabrik hasil tembakau. Buku CSCK-1 ini akan menjadi dasar bagi pabrikan hasil tembakau skala kecil untuk melaporkan produksi harian kepada Kantor Bea dan Cukai dengan menggunakan dokumen pemberitahuan BKC selesai dibuat (CK-4C). Gambar 5.1 Catatan Sediaan Hasil tembakau (CSCK-1) 2) Buku CSCK-2 CSCK-2 (Gambar 5.1) adalah buku catatan sediaan hasil tembakau untuk mencatat hasil tembakau yang dikembalikan dari peredaran dan produk rusak yang telah dilekati pita cukai. Pencatatan terhadap hasil tembakau yang telah dilekati pita cukai tersebut bertujuan untuk membedakan dengan sediaan hasil tembakau yang baru diproduksi dan belum dilekati pita cukainya, di dalam pabrik. hal 141

151 Gambar 5.2 Catatan Sediaan Retur Hasil Tembakau CSCK-2 3) Buku CSCK-3 CSCK-3 (Gambar 5.2) adalah buku catatan sediaan pita cukai yang digunakan untuk mencatat persediaan pita cukai yang telah diterima pengusaha pabrik atas pemesanan pita cukainya. Pencatatan terhadap persediaan pita cukai penting kegunaannya terutama pada saat pengusaha pabrik akan mengembalikan pita cukai yang tidak habis digunakan. Salah satu persyaratan pengembalian pita cukai adalah kewajiban untuk melampirkan matriks asal pemesanan pita cukai (CK-1). hal 142

152 Gambar 5.3 Catatan Sediaan Pita Cukai (CSCK-3) 4) Buku CSCK-4 CSCK-4, adalah buku catatan sediaan etil alkohol yang berada di dalam pabrik etil alkohol atau tempat penyimpanan etil alkohol. Buku ini digunakan untuk mencatat produksi etil alkohol yang dihasilkan oleh pengusaha pabrik skala kecil, pemasukan etil alkohol dari pabrik etil alkohol lain atau dari proses impor. Bagi pengusaha tempat penyimpanan, CSCK-4 ini digunakan untuk mencatat sediaan etil alkohol yang dimasukan ke dalam tempat penyimpanan. 5) Buku CSCK-5 (Gambar I.4) CSCK-5 adalah buku catatan sediaan MMEA hasil produksi pabrikan berskala kecil. Buku CSCK-5 ini akan menjadi dasar bagi pabrikan MMEA skala kecil untuk melaporkan produksi harian kepada Kantor Bea dan Cukai dengan menggunakan dokumen pemberitahuan BKC selesai dibuat (CK-4B). hal 143

153 6) Buku CSCK-6, CSCK-6 (Gambar I.5) adalah catatan sediaan minuman mengandung etil alkohol yang dikembalikan dari peredaran, dalam rangka proses pemusnahan atau pengolahan kembali di dalam pabrik. 7) Buku CSCK-7 CSCK-7 (Gambar I.6) adalah catatan sediaan BKC untuk memonitor pergerakan BKC yang belum dilunasi cukainya yang ditimbun di dalam Pabrik BKC skala kecil untuk dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk pembuatan BKC lainnya. Pengusaha pabrik skala kecil wajib menempatkan sedemikian rupa BKC dan hasil produksinya di dalam tempat atau ruangan terpisah. Tujuan pemisahan tersebut adalah agar dapat diketahui jenis dan jumlah BKC yang belum dilunasi cukainya yang dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong. Atas pengelolaan Buku catatan sediaan CSCK-7, pengusaha wajib membuat laporan bulanan penggunaan atau persediaan dengan format LACK-1. B. Pencatatan dan Pelaporan dalam Rangka Pengawasan BKC yang Masih Terhutang Cukai Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan oleh subyek cukai pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan pengawasan terhadap BKC, baik yang masih terhutang cukai maupun yang sudah dilunasi cukainya. Khusus terhadap BKC yang masih terhutang di dalam pabrik atau tempat penyimpanan BKC, Undang-undang Cukai mewajibkan Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan secara aktif. Bentuk pengawasan yang dilakukan adalah dengan penyelenggaraan Buku Rekening BKC dan Buku Rekening Kredit BKC. Disamping hal tersebut, terhadap pengusaha pabrik dan tempat penyimpanan BKC diwajibkan untuk menyampaikan laporan BKC yang selesai dibuat dalam periode tertentu. hal 144

154 1. Pemberitahuan BKC yang Selesai Dibuat Disamping kewajiban pembukuan atau pencatatan, seluruh pengusaha pabrik diwajibkan untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor bea dan Cukai setempat mengenai BKC yang selesai dibuat. Pengusaha pabrik yang dimaksud adalah: 1) pengusaha pabrik etil alkohol; 2) pengusaha pabrik minuman yang mengandung etil alkohol; atau 3) pengusaha pabrik hasil tembakau. Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat, disusun sesuai format yang disediakan untuk masing-masing pabrik BKC. Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat untuk Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, dibuat setiap hari dengan menggunakan dokumen Pemberitahuan Etil Alkohol Yang Selesai Dibuat (CK-4A). CK-4A (Gambar I.7) tersebut wajib diserahkan oleh pengusaha pabrik etil alkohol kepada kepala kantor yang mengawasi pada hari kerja berikutnya dan dapat disampaikan dalam bentuk data elektronik. Dokumen CK-4A tersusun dalam 2 halaman, halaman 1 berisi pemberitahuan produksi dan halaman 2 berisi rincian jumlah produksi. Format lengkap CK-4A terlihat pada gambar berikut ini. hal 145

155 Gambar 5.4 Contoh Halaman Pertama CK-4A hal 146

156 Halaman kedua CK-4A Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat untuk Pengusaha Pabrik MMEA, dibuat setiap hari dan disampaikan paling lambat keesokan harinya. Format pemberiktahuan menggunakan dokumen Pemberitahuan Etil Alkohol Yang Selesai Dibuat (CK-4B). Dokumen CK-4B tersusun dalam 2 halaman, halaman pertama berisi pemberitahuan produksi dan halaman kedua berisi rincian jumlah produksi. Sama halnya dengan CK-4A, maka format CK-4B ini dapat dibuat dalam format dokumen elektronik. Berikut contoh halaman kedua dokumen CK- 4B. hal 147

157 Gambar 5.5 Contoh CK-4B Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat untuk Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau dibuat setiap 14 harian, dengan menggunakan dokumen Pemberitahuan Hasil Tembakau Yang Selesai Dibuat (CK-4C). Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud, wajib diserahkan oleh pengusaha pabrik hasil tembakau kepada kepala kantor yang mengawasi pada: a) paling lambat tanggal 3 untuk periode pembuatan BKC hasil tembakau dari tanggal 15 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; dan b) setiap tanggal 17 untuk periode pembuatan BKC hasil tembakau dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 14 pada bulan yang sama. c) Dalam hal tanggal 1 dan tanggal 15 merupakan hari libur, kewajiban penyerahan sebagaimana dimaksud, dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dokumen CK-4C (Gambar I.9) tersusun dalam 2 halaman, halaman pertama berisi pemberitahuan produksi dan halaman kedua berisi rincian jumlah produksi. Susunan komponen rincian jumlah produksi, sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini. hal 148

158 Gambar 5.6 Contoh CK-4C 2. Pemberitahuan Rencana Produksi PBCK-1 Dokumen PBCK-1 merupakan pemberitahuan rencana produksi BKC yang menggunakan BKC lainnya sebagai bahan baku atau bahan penolong dengan fasilitas tidak dipungut cukai. Pengusaha pabrik yang akan menghasilkan barang hasil akhir berupa BKC dengan menggunakan bahan baku berpa BKC lainnya maka harus melaporkan rencana produksinya dengan menggunakan dokumen PBCK-1. Dokumen PBCK-1 wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui Kepala Kantor pelayanan dan Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai sebelum dimulainya kegiatan produksi tiap awal tahun. Rencana produksi dibuat untuk periode kegiatan selama satu tahun ke depan. hal 149

159 3. Laporan Penggunaan dan Persediaan BKC yang Mendapat fasilitas Cukai Pengusaha yang mendapatkan skema fasilitas cukai maupun sebagai pengguna BKC dengan fasilitas cukai diwajibkan untuk melaporkan penggunaan dan persediaan BKC-nya kepada Direktur Jenderal melalui Kantor Bea dan Cukai. Disamping itu, Kepala Kantor Bea dan Cukai juga memiliki kewajiban untuk melaporkan terhadap BKC yang mendapat fasilitas pembebasan cukai ini kepada Direktur Jenderal. Bentuk-bentuk laporan tersebut antara lain sebagai berikut. a. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-1 Dokumen LACK-1 (Gambar I.10) merupakan Laporan Penggunaan dan Persediaan BKC sebagai Bahan Baku atau Bahan Penolong dengan fasilitas tidak dipungut cukai. Pengusaha pabrik BKC yang menggunakan bahan baku atau bahan penolong berupa BKC lainnya diwajibkan untuk mengelola dan menempatkan sedemikian rupa sehingga dapat diketahui jenis dan jumlah BKC yang belum dilunasi cukainya. Pengelolaan BKC yang digunakan sebagai bahan baku dilakukan dengan menyelenggarakan pencatatan atas pemasukan, penimbunan, dan pemakaian BKC tersebut baik dengan format CSCK-7 (bagi pengusaha kecil) maupun format internal masing-masing pabrik. Contoh Pabrikan tersebut, antara lain: Pabrik MMEA yang menggunakan bahan baku etil alkohol, Pabrik SKM/SPM yang menggunakan bahan baku tembakau iris. Bentuk dan format dokumen pelaporan atas penggunaan atau persediaan BKC yang digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong adalah sesuai dengan dokumen LACK-1. Pengusaha pabrik wajib menyerahkan laporan LACK-1 kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui Kepala Kantor yang mengawasi pabrik. LACK-1 disampaikan dalam jangka waktu paling lama pada hari kesepuluh bulan berikutnya. hal 150

160 Gambar 5.7 Laporan Penggunaan LACK-1 b. Laporan Penjualan/Penyerahan LACK-2 Dokumen LACK-2 merupakan Laporan Penjualan atau Penyerahan BKC sebagai Bahan Baku atau Bahan Penolong dengan Fasilitas Tidak Dipungut Cukai. Pengusaha yang diwajibkan untuk melaporkan LACK-2 ini adalah Pengusaha pabrik BKC yang melakukan penjualan atau penyerahan BKC untuk digunakan oleh Pabrik BKC lainnya. Contoh: Pabrik etil alkohol PT X memasok bahan baku untuk membuat MMEA kepada Pabrik BKC MMEA. Dalam hal ini, Pengusaha pabrik PT X wajib melaporkan kegiatan tersebut kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui Kepala Kantor paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. c. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-3 Dokumen LACK-3 merupakan Laporan Penggunaan etil alkohol dengan fasilitas pembebasan cukai melalui proses produksi terpadu. Laporan ini dibuat oleh Pengusaha Pabrik non BKC yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan hal 151

161 baku atau bahan penolong untuk proses produksi non BKC yang dilakukan secara terpadu. Pengertian terpadu adalah proses produksi yang dilakukan secara terintegrasi dalam suatu lokasi yang sama atau berdampingan. Contoh: Pabrik etil alkohol yang didirikan khusus untuk dipakai dalam pabrik farmasi. d. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-4 Dokumen LACK-4 merupakan Laporan Penggunaan etil alkohol dengan fasilitas pembebasan cukai yang tidak melalui proses produksi terpadu. Laporan ini dibuat oleh Pengusaha Pabrik non BKC yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi non BKC yang dilakukan secara terpisah. Artinya bahwa kedudukan pabrik etil alkohol terpisah dengan lokasi pabrik non BKC yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penolong tersebut. e. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-5 Dokumen LACK-3 merupakan Laporan Penggunaan etil alkohol dengan fasilitas pembebasan cukai yang digunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Laporan ini dibuat oleh Kepala Lembaga atau institusi tertentu yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan untuk penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan. f. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-6 Dokumen LACK-6 merupakan Laporan Penggunaan etil alkohol dengan fasilitas pembebasan cukai yang digunakan untuk rumah sakit yang bertujuan sosial. Laporan ini harus dibuat oleh Kepala Rumah sakit tertentu yang menggunakan etil alkohol untuk keperluan sosial di Rumah sakit. g. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-7 Dokumen LACK-7 merupakan laporan bulanan tentang perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar (brand spiritus) dan pengeluarannya. Laporan ini harus disampaikan oleh Kepala Kantor yang mengawasi pabrik/tempat penyimpanan yang melakukan proses denaturasi etil alkohol menjadi spiritus hal 152

162 bakar kepada Direktur Cukai. dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya. h. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-8 Dokumen LACK-8 merupakan Laporan realisasi penerimaan dan pengeluaran BKC yang ditujukan untuk konsumsi penumpang atau awak sarana pengangkut. Laporan ini dibuat oleh pengusaha jasa boga atau pengusaha pengangkutan yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai atas BKC yang ditujukan untuk konsumsi penumpang atau awak sarana pengangkut yang berangkat langsung ke luar daerah pabean. i. Laporan Penjualan/Penyerahan LACK-9 Dokumen LACK-9 merupakan Laporan Penjualan atau Penyerahan BKC dengan Fasilitas pembebasan Cukai. Pengusaha yang diwajibkan untuk melaporkan kegiatan dengan dokumen LACK-9 ini adalah Pengusaha pabrik BKC yang melakukan penjualan atau penyerahan BKC untuk digunakan oleh subyek penerima fasilitas pembebasan cukai. Dalam hal ini, Pengusaha pabrik BKC wajib melaporkan kegiatan tersebut kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui Kepala Kantor paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. j. Laporan Penjualan/Penyerahan LACK-10 Kepala Kantor Pelayanan wajib menyampaikan laporan bulanan tentang pengeluaran dan pencampuran etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan Barang Hasil Akhir yang bukan merupakan BKC kepada Direktur Cukai dan Kepala Kantor Wilayah paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya. Penyampaian laporan ini menggunakan format LACK-10, sebagaimana gambar 5.8. hal 153

163 Gambar 5.8 Laporan LACK-10 hal 154

164 k. Laporan Pengangkutan BKC Tertentu Atas pengangkutan BKC tertentu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya wajib dilindungi dokumen CK-6. Subyek cukai yang wajib memberitahukan kegiatan pengangkutan atas BKC tertentu tersebut adalah Pengusaha Penyalur dan Pengusaha TPE. Penggunaan dokumen CK-6 oleh pengusaha tersebut wajib dilaporkan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat setiap bulan dalam jangka waktu paling lama hari kesepuluh bulan berikutnya. Pelaporan atas kegiatan pengangkutan BKC tertentu menggunakan format formulir laporan pengangkutan etil alkohol/mmea yang sudah dilunasi cukainya di peredaran bebas (Gambar 5.9) Gambar 5.9 Laporan Pengangkutan BKC Tertentu 4. Pencatatan oleh Pejabat Bea dan Cukai Selain kewajiban pembukuan atau pencatatan oleh pihak subyek cukai, kepada Pejabat Bea dan Cukai yang mengawasi subyek cukai juga diwajibkan menyelenggarakan buku catatan. Penyelenggaraan pencatatan oleh pejabat bea dan cukai mencakup dua jenis buku yaitu buku rekening BKC dan buku rekening hal 155

165 kredit. Pedoman penyelenggaraan buku rekening BKC dan buku rekening kredit diatur dalam peraturan Menteri keuangan. Penyelenggaraan buku rekening BKC (BRCK) oleh Pejabat Bea dan Cukai dilakukan dengan ketentuan: 1) buku rekening BKC untuk etil alkohol yang masih terutang cukai dan masih berada di pabrik diselenggarakan untuk setiap pengusaha pabrik etil alkohol sesuai format BRCK-1 (Gambar I.13); 2) buku rekening BKC untuk etil alkohol yang masih terutang cukai dan masih berada di tempat penyimpanan diselenggarakan untuk setiap pengusaha tempat penyimpanan sesuai format BRCK-1; atau 3) buku rekening BKC untuk MMEA yang masih terutang cukai dan masih berada di pabrik diselenggarakan untuk setiap pengusaha pabrik MMEA sesuai format BRCK-2. Berkaitan dengan pencatatan dalam Buku Rekening Kredit Pejabat bea dan cukai wajib menyelenggarakan buku tersebut terhadap: 1) buku rekening kredit untuk setiap pengusaha pabrik yang mendapatkan kemudahan pembayaran berkala dan penundaan pembayaran cukai sesuai format BRCK-3; atau 2) buku rekening kredit untuk setiap importir BKC yang mendapatkan penundaan pembayaran cukai sesuai format BRCK-3 (Gambar I.13). Dalam penyelenggaraan buku rekening BKC dan buku rekening kredit beberapa pedoman yang harus anda laksanakan, antara lain sebagai berikut: Buku rekening kredit (BRCK-3) digunakan untuk mencatat jumlah cukai yang diberikan penundaan pembayaran atau mendapat kemudahan pembayaran secara berkala serta penyelesaiannya. Buku Rekening BKC (BRCK-1 dan BRCK-2) digunakan untuk mencatat jumlah BKC berupa etil alkohol atau minuman yang mengandung etil alkohol yang dibuat, dimasukkan, dikeluarkan, potongan, kekurangan, dan kelebihan hasil pencacahan, yang masih terutang cukai dan berada di Pabrik atau Tempat Penyimpanan. hal 156

166 Buku Rekening kredit dan Buku Rekening BKC harus diselenggarakan secara terpisah untuk masing-masing subyek cukai yang diawasi oleh Pejabat Bea dan Cukai. Contoh: KPPBC Medan membawahi empat Pabrikan Rokok yang mendapat penundaan pembayaran dan tiga pabrikan etil alkohol. Maka penyelenggaraan Buku Rekening Kredit akan terdiri dari: BRCK-3 untuk empat pabrikan rokok, sedangkan penyelenggaraan Buku rekening BKC untuk pabrikan etil alkohol juga ada tiga. Buku rekening BKC ditutup dalam kondisi-kondisi sebagai berikut: a) setiap akhir tahun kalender ; hal ini berkaitan dengan akhir tahun buku atau akhir tahun anggaran dari pihak pemerintah. b) setelah dilakukan pencacahan ; Pencacahan diselenggarakan secara reguler pada setiap awal bulan dan/atau pada waktu-waktu tertentu secara insidentil. c) atas permintaan Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan. Penutupan buku rekening BKC, dilakukan dengan cara membuat garis horisontal dengan tinta merah dan ditandatangani oleh Pejabat Bea dan Cukai. Penutupan buku rekening BKC tersebut harus diberitahukan kepada Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang bersangkutan dengan Surat Pemberitahuan Penutupan Buku Rekening BKC. Penyelenggaraan buku rekening BKC dan buku rekening kredit dapat dilakukan dengan media elektronik. hal 157

167 Gambar 5.10 Contoh Buku Rekening BKC (BRCK-1) Gambar 5.11 Contoh Buku Rekening Kredit (BRCK-3) hal 158

168 C. Pencacahan BKC DJBC sebagai institusi pemerintah yang berkepentingan dalam hal pengawasan terhadap kegiatan di bidang cukai senantiasa harus melakukan upaya-upaya pengawasan baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat refresif. Kegiatan pengawasan yang bersifat preventif secara aktif dilaksanakan baik secara reguler maupun insidentil oleh Kantor Bea dan Cukai. Salah satu bentuk pengawasan secara aktif dilakukan dengan pencacahan yang dilaksanakan terhadap pabrik dan tempat penyimpanan etil alkohol dan pabrik MMEA. Kegiatan pencacahan tersebut secara khusus diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 23 Undang-undang Cukai. Pelaksanaan lebih lanjut mengenai kegiatan pencacahan diatur dalam PMK nomor 115/PMK.04/2008 tentang Pencacahan dan Potongan Atas Etil Alkohol dan MMEA. 1. Konsep Pencacahan Berdasarkan Undang-undang Cukai, pengertian Pencacahan adalah kegiatan untuk mengetahui jumlah, jenis, mutu, dan keadaan BKC. Kegiatan pencacahan dilakukan terhadap BKC tertentu berupa : a. Etil Alkohol yang masih terutang cukai yang berada di dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan; dan/atau b. Minuman Mengandung Etil Alkohol yang masih terutang cukai yang berada di dalam pabrik. Kegiatan pencacahan dilaksanakan dalam rangka pengawasan secara aktif untuk menghindari kemungkinan terjadinya manipulasi atau pelarian cukai. Dalam kegiatan pencacahan Pejabat bea dan cukai yang melakukan pencacahan harus berdasarkan surat tugas dari kepala kantor yang mengawasi pabrik atau tempat penyimpanan dengan disaksikan oleh pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan. Atas kegiatan pencacahan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai, pengusaha pabrik atau tempat penyimpanan wajib menunjukkan semua etil alkohol atau MMEA yang berada di dalam pabrik atau tempat penyimpanan serta menyediakan tenaga dan peralatan untuk keperluan pencacahan. Hasil hal 159

169 pencacahan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai dibuatkan berita acara hasil pencacahan (BACK-5) dan ditandatangani oleh pejabat bea dan cukai serta pengusaha yang bersangkutan. Dalam hal pengusaha yang bersangkutan menolak dan berkeberatan atas hasil pencacahan, maka Berita Acara tersebut cukup ditandatangani sepihak. Pengusaha selanjutnya dapat menempuh mekanisme keberatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 2. Waktu Pelaksanaan Pencacahan Kegiatan Pencacahan terhadap etil alkohol dan MMEA yang masih terutang cukai dilakukan pada: a. setiap awal bulan untuk periode satu bulan sebelumnya; b. setiap saat atas permintaan pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan; c. setiap saat apabila ada dugaan kuat terjadinya pelanggaran atas ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Cukai; atau d. sebelum dan sesudah pemuatan ke kapal untuk tujuan ekspor. 3. Penyelesaian Hasil Temuan Pencacahan Terhadap kegiatan pencacahan yang dilakukan oleh pejabat Bea dan Cukai setidaknya akan menghasilkan salah satu temuan sebagai berikut: a. Jumlah fisik hasil pencacahan menunjukkan adanya kekurangan dibanding jumlah yang tercantum dalam buku Rekening BKC. b. Jumlah fisik hasil pencacahan menunjukkan adanya kelebihan dibanding jumlah yang tercantum dalam buku rekening BKC. c. Jumlah fisik hasil pencacahan, kedapatan sama dibandingkan dengan jumlah yang tercantum dalam buku rekening BKC. Dalam hal terjadi selisih kurang Dalam hal jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud diatas kedapatan lebih kecil daripada jumlah yang tercantum dalam buku rekening BKC, maka terhadap: hal 160

170 Pengusaha pabrik MMEA, akan dikenakan tagihan cukai atas jumlah kekurangan cukai yang terjadi. Untuk hal tersebut Kepala Kantor akan menerbitkan penetapan dalam bentuk surat tagihan cukai (STCK). Pengusaha Pabrik atau Tempat Penyimpanan etil alkohol, akan dikenakan tagihan cukai atas kekurangan yang terjadi. Perhitungan atas kekurangan jumlah etil alkohol yang ada terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan potongan yang dapat diberikan. Pengertian potongan adalah keringanan yang diberikan kepada pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan atas kekurangan BKC yang didapat pada waktu pencacahan. Potongan hanya diberikan khusus untuk selisih kurang yang terjadi pada BKC berupa etil alkohol. Dasar pemikiran pemberian potongan adalah pertimbangan bahwa kekurangan yang terjadi pada etil alkohol dapat terjadi karena sebab-sebab alamiah seperti penguapan atau penyusutan. Dalam PMK nomor 115/PMK.04/2008 diatur bahwa besarnya potongan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: untuk pengusaha pabrik etil alkohol, diberikan potongan sebesar: - 0,5 % (setengah persen) setiap bulan dari jumlah etil alkohol yang ada pada waktu pencacahan terakhir; dan - 0,5 % (setengah persen) dari jumlah etil alkohol yang dibuat dan dimasukkan sejak pencacahan terakhir; untuk pengusaha tempat penyimpanan diberikan potongan sebesar: - 0,5 % (setengah persen) setiap bulan dari jumlah etil alkohol yang ada pada waktu pencacahan terakhir; - 0,5 % (setengah persen) dari jumlah etil alkohol yang dimasukkan sejak pencacahan terakhir; dan - 1 % (satu persen) dari jumlah selisih antara jumlah etil alkohol hasil pencacahan sebelum pemuatan ke kapal dan sesudah pemuatan ke kapal. Dalam menghitung besarnya potongan sebagaimana dimaksud di atas, jumlah hari dalam 1 (satu) bulan dihitung sebagai 30 (tiga puluh) hari. hal 161

171 Apabila kekurangan yang terjadi melebihi batas kelonggaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Cukai, maka terhadap kekurangan yang terjadi akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda, paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai cukai yang kedapatan kurang atau lebih. Adapun batas kelonggaran yang diberikan terhadap kasus selisih kurang dalam pencacahan adalah sebesar tiga kali potongan yang diberikan. Contoh Kasus: Pada tanggal 01 Februari 2013 Pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC Medan melakukan pencacahan terhadap pabrikan etil alkohol PT PS yang berlokasi di Tanjung Morawa. Dari hasil pencacahan tersebut dan juga data yang tercantum dalam BRCK-1 yang bersangkutan didapati hal-hal sebagai berikut: Pencacahan terakhir terhadap PT PS dilakukan pada tanggal 02 Januari 2013, dengan jumlah saldo sebanyak liter Produksi Pabrik sampai dengan saat pencacahan liter Pengeluaran liter Pemasukan (retur) dari Tempat Penyimpanan liter Saldo menurut Buku BRCK liter Hasil pencacahan pejabat Bea dan Cukai liter Selisih kurang sebelum potongan liter Potongan: 0,5% x ( ) liter Kekurangan (akan ditagih cukai dengan STCK) 8.800` liter Apakah dalam kasus kekurangan ini akan dikenakan sanksi administrasi denda? Kita lihat perhitungan batas kelonggarannya sebagai berikut: Batas kelonggaran: 3 x potongan = 3 x liter = liter Oleh karena jumlah kekurangan setelah potongan (8.800 liter) lebih besar daripada batas kelonggaran (3.600) liter, maka terhadap PT. PS akan dikenakan sanksi administrasi denda. hal 162

172 Dalam hal terjadi selisih lebih Dalam hal jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud diatas kedapatan lebih besar daripada jumlah yang tercantum dalam buku rekening BKC, maka terhadap Pabrik atau Tempat penyimpanan etil alkohol tidak diberikan potongan. Selisih lebih tersebut akan dimasukkan pada kolom debet Buku Rekening BKC yang bersangkutan dan diperhitungkan dalam saldo hasil pencacahan. Atas jumlah selisih lebih tersebut tidak akan ditagihkan cukainya, oleh karena BKC yang kedapatan lebih masih berada di dalam Pabrik yang bersangkutan. Apabila jumlah selisih lebih tersebut melebihi batas kelonggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang Cukai, maka terhadap Pengusaha yang bersangkutan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda, paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai cukai yang kedapatan kurang atau lebih. Adapun batas kelonggaran yang diberikan terhadap kasus selisih lebih dalam pencacahan adalah maksimal satu persen dari jumlah barang yang seharusnya ada menurut Buku rekening BKC. Contoh Kasus: Pada tanggal 01 Maret 2013 Pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC Medan melakukan pencacahan terhadap pabrikan etil alkohol PT MA yang berlokasi di Deli Serdang. Dari hasil pencacahan tersebut dan juga data yang tercantum dalam BRCK-1 yang bersangkutan didapati hal-hal sebagai berikut: Pencacahan terakhir terhadap PT PS dilakukan pada tanggal 02 Februari 2013, dengan jumlah saldo sebanyak liter Produksi Pabrik sampai dengan saat pencacahan liter Pengeluaran liter Saldo menurut Buku BRCK liter Hasil pencacahan pejabat Bea dan Cukai liter Selisih lebih liter Potongan: tidak diberikan - liter Kelebihan sebesar liter akan ditambahkan pada saldo buku sehingga saldo buku untuk penutupan BRCK-1 menjadi: liter hal 163

173 Dalam kasus kelebihan BKC ini kita analisa terlebih dahulu, apakah melebihi batas kelonggarannya atau tidak: Batas kelonggaran: 1 % x Saldo yang seharusnya ada = 1% x liter = 450 liter Oleh karena jumlah kelebihan BKC (2.000 liter) lebih besar daripada batas kelonggaran (450 liter), maka terhadap PT. MA akan dikenakan sanksi administrasi denda. Dalam hal hasil pencacahan sesuai dengan saldo BRCK Dalam hal jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud diatas kedapatan sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam buku rekening BKC, maka terhadap Pabrik atau Tempat penyimpanan etil alkohol tidak diberikan potongan. Hasil pencacahan yang sesuai tersebut akan menjadi dasar bagi penutupan Buku Rekening BKC yang dikelola Kepala Seksi Perbendaharaan. Hasil Selisih lebih tersebut akan dimasukkan pada kolom debet Buku Rekening BKC yang bersangkutan dan diperhitungkan dalam saldo hasil pencacahan. Atas jumlah selisih lebih tersebut tidak akan ditagihkan cukainya, oleh karena BKC yang kedapatan lebih masih berada di dalam Pabrik yang bersangkutan. hal 164

174 RANGKUMAN : Sebagai rangkuman atas kegiatan belajar Bab 1 ini, dapat kami sampaikan sebagai berikut: 1) Konsep Pembukuan di bidang cukai adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang, modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan. 2) Pembukuan wajib diselenggarakan oleh Pengusaha Pabrik, Tempat penyimpanan, importir BKC atau penyalur yang memiliki izin NPPBKC. 3) Konsep pencatatan di bidang cukai adalah suatu proses pengumpulan dan penulisan data secara teratur tentang pemasukan, produksi, dan pengeluaran BKC, dan penerimaan, pemakaian, dan pengembalian pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya. 4) Subyek cukai yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan namun wajib menyelenggarakan pencatatan adalah: a. Pengusaha Pabrik BKC skala kecil; b. Penyalur etil alkohol atau MMEA berskala kecil, yang wajib memiliki NPPBKC; c. Pengusaha Tempat Penjualan Eceran etil alkohol atau MMEA, yang wajib memiliki NPPBKC. 5) Bentuk buku catatan yang disediakan oleh DJBC untuk digunakan pengusaha pabrik skala kecil antara lain:csck-1, CSCK-2 dan CSCK-3 bagi pabrik hasil tembakau; CSCK-4 bagi pabrik etil alkohol; CSCK-5 dan CSCK- 6 bagi pabrik MMEA; dan CSCK-7 bagi pabrik BKC pengguna fasilitas tidak dipungut cukai. 6) Disamping kewajiban pembukuan atau pencatatan, pengusaha pabrik diwajibkan untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat. hal 165

175 7) Untuk melakukan pengawasan secara aktif, pejabat Bea dan Cukai wajib melaksanakan kegiatan pencacahan baiak secara reguler maupun insidentil. Pengertian Pencacahan adalah kegiatan untuk mengetahui jumlah, jenis, mutu, dan keadaan BKC. Pencacahan dilakukan terhadap: a. Etil Alkohol yang masih terutang cukai yang berada di dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan; dan/atau b. MMEA yang masih terutang cukai yang berada di dalam pabrik. LATIHAN : Untuk menguji pemahaman anda terhadap materi kegiatan belajar 5, silahkan kerjakan soal-soal latihan berikut. 1) Jelaskan perbedaan konsep pembukuan dan pencatatan! 2) Terhadap pengusaha skala kecil hanya diwajibkan pencatatan, jelaskan pengertian dan kategori pengusaha apa saja yang termasuk skala kecil! 3) Jelaskan pencatatan yang wajib diselenggarakan oleh pejabat bea dan cukai berkaitan dengan BKC yang diawasi! 4) Dalam rangka pengawasan secara aktif, Pejabat Bea dan Cukai melakukan kegiatan pencacahan. Jelaskan konsep dan prosedur pencacahan! 5) Jelaskan tindakan apa saja yang mungkin dilakukan sehubungan dengan hasil temuan pencacahan! hal 166

176 BAB MUTASI BKC 6 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan mekanisme pemasukan, penimbunan, pengeluaran, pengangkutan dan perdagangan BKC A. Jenis Kegiatan Mutasi BKC 1. Konsep Mutasi BKC Ketentuan Undang-undang Cukai sesuai karakteristik dasar pengenaannya antara lain ditujukan untuk tujuan pembatasan yaitu pengendalian konsumsi, pengawasan peredaran, dan juga untuk maksud mengurangi dampak negatif. Adanya sifat dan karakteristik yang khusus tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan atas kegiatan penimbunan, pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan BKC terutama terhadap BKC berupa etil alkohol dan MMEA. Kedua jenis BKC tersebut secara spesifik memiliki tingkat kerawanan sosial yang jauh lebih tinggi dibanding BKC hasil tembakau. Amanat Undang-undang cukai yang terkait dengan pengendalian konsumsi dan pengawasan peredaran BKC tertentu diimplementasikan oleh Menteri Keuangan dalam PMK nomor 235/PMK.04/2009 tentang Penimbunan, Pemasukan, Pengeluaran dan Pengangkutan BKC. Aturan operasional PMK ini mengatur kewajiban penggunaan dokumen pemberitahuan mutasi BKC dan dokumen pelindung pengangkutan BKC terhadap kegiatan penimbunan, pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan BKC tertentu. hal 167

177 Pengertian mutasi BKC adalah setiap kegiatan penimbunan, pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan BKC baik yang digunakan sebagai bahan baku untuk produk lain maupun sebagai barang jadi yang siap untuk dikonsumsi yang masih terutang cukai dan juga pengangkutan BKC tertentu yang telah dilunasi cukainya di peredaran bebas. Terhadap setiap pergerakan BKC yang masih terhutang cukai dan juga BKC tertentu (etil alkohol dan MMEA) wajib dilindungi dokumen. Hal tersebut diatur di dalam ketentuan Undang-undang Cukai khususnya di Pasal 25 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) dan (2). Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Cukai, atas kegiatan pemasukan atau pengeluaran BKC ke atau dari pabrik atau tempat penyimpanan wajib diberitahukan kepada Kepala kantor dan dilindungi dengan dokumen cukai. Demikian pula ketentuan pasal 27 ayat (1) dan (2) Undangundang Cukai yang mengharuskan adanya dokumen pelindung terhadap pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya, termasuk BKC tertentu yang sudah dilunasi cukainya. Pengaturan lebih lanjut mengenai mutasi BKC diatur lebih lanjut dalam peraturan Menteri Keuangan terkait. 2. Penimbunan BKC Pengertian kegiatan penimbunan dalam konteks mutasi BKC adalah kegiatan menimbun BKC yang belum dilunasi cukainya, baik yang berasal dari impor maupun yang dibuat di dalam negeri di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) atau Tempat Penimbunan Berikat (TPB). Atas kegiatan penimbunan BKC yang berasal dari proses impor, maka mekanisme yang haru dipenuhi adalah sesuai dengan yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan di bidang Kepabeanan. Terhadap kegiatan penimbunan BKC yang berasal dari dalam negeri, wajib dilindungi dengan dokumen cukai. Disamping pengertian penimbunan di TPS atau TPB, istilah penimbunan BKC juga dapat diartikan sebagai penimbunan BKC yang belum dilunasi cukainya di dalam pabrik BKC lainnya dan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong. Atas BKC yang ditimbun di dalam pabrik yang dimiliki oleh Pengusaha Pabrik skala kecil, memiliki kewajiban: hal 168

178 1) menyelenggarakan pencatatan atas pemasukan, penimbunan, dan pemakaian BKC pada catatan sediaan; 2) menempatkan sedemikian rupa BKC dan hasil produksinya di dalam tempat atau ruangan sehingga dapat diketahui jenis dan jumlah BKC yang belum dilunasi cukainya yang dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong; 3) membuat laporan penggunaan/persediaan BKC setiap bulan dengan menggunakan formulir laporan penggunaan/persediaan BKC; dan 4) menyerahkan laporan sebagaimana dimaksud pada poin (3) kepada Direktur Jenderal melalui kepala Kantor yang mengawasi Pabrik dalam jangka waktu paling lama pada hari kesepuluh bulan berikutnya. Terhadap BKC yang ditimbun di dalam Pabrik BKC milik Pengusaha Pabrik yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, mempunyai kewajiban: 1) menyelenggarakan pencatatan atas pemasukan, penimbunan, dan pemakaian BKC tersebut sesuai dengan ketentuan pembukuan di bidang cukai; 2) menempatkan sedemikian rupa BKC tersebut dan hasil produksinya di dalam tempat atau ruangan sehingga dapat diketahui jenis dan jumlah BKC yang belum dilunasi cukainya yang dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong; 3) membuat laporan penggunaan/persediaan BKC setiap bulan dengan menggunakan formulir laporan penggunaan/persediaan BKC; dan 4) menyerahkan laporan sebagaimana dimaksud pada poin (3) kepada Direktur Jenderal melalui kepala Kantor yang mengawasi Pabrik dalam jangka waktu paling lama pada hari kesepuluh bulan berikutnya. 3. Pemasukan dan Pengeluaran BKC Secara umum pengertian kegiatan pemasukan dan pengeluaran BKC adalah pemasukan atau pengeluaran ke dan dari pabrik/tempat penyimpan atas BKC yang cukainya belum dilunasi. Atas kegiatan tersebut pejabat bea dan cukai dapat melakukan pengawasan langsung terhadap pemasukan dan pengeluaran BKC, terutama dalam hal: hal 169

179 1) pemasukan dan pengeluaran BKC berupa etil alkohol ke atau dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan; 2) pemasukan dan pengeluaran BKC berupa MMEA dengan kadar berapapun ke atau dari Pabrik yang produksi minuman mengandung etil alkoholnya dalam satu tahun melebihi (lima puluh ribu) liter; dan/atau 3) terdapat dugaan bahwa Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan akan atau telah melakukan penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Istilah pengawasan langsung dalam kegiatan pemasukan dan pengeluaran adalah menempatkan petugas bea dan cukai di lokasi pabrik atau tempat penyimpanan yang menjadi obyek pengawasan. Pengawasan terhadap pemasukan dan pengeluaran BKC dilakukan berdasarkan perintah kepala Kantor yang mengawasi Pabrik atau Tempat Penyimpanan. Dalam hal pemasukan atau pengeluaran BKC dilakukan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai, yang menjadi dasar untuk membukukan dalam Buku Rekening BKC adalah yang didapati oleh pejabat bea dan cukai yang bersangkutan. Secara khusus kriteria pemasukan dan pengeluaran BKC mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Pemasukan atau Pengeluaran BKC dengan fasilitas tidak dipungut cukai: 1) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan tujuan untuk dimasukkan ke Pabrik atau Tempat Penyimpanan lainnya dengan fasilitas tidak dipungut cukai; 2) pemasukan BKC yang belum dilunasi cukainya ke Pabrik atau Tempat Penyimpanan yang berasal dari Kawasan Pabean, Tempat Penimbunan Sementara, atau Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas tidak dipungut cukai; 3) pemasukan dan pengeluaran BKC berupa hasil tembakau yang belum dilunasi cukainya dari tempat pembuatan di luar Pabrik ke dalam Pabrik dan sebaliknya; 4) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan tujuan untuk diekspor dengan fasilitas tidak dipungut cukai. hal 170

180 b. Pemasukan atau Pengeluaran BKC dengan fasilitas pembebasan cukai: 1) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan ke Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas pembebasan cukai; 2) pengeluaran etil alkohol yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan BKC; 3) pengeluaran etil alkohol yang belum dilunasi cukainya dari Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas pembebasan cukai untuk digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan BKC; 4) pengeluaran etil alkohol yang telah dirusak sehingga tidak baik untuk diminum dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan; 5) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; 6) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; 7) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk tujuan sosial; 8) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk dikonsumsi oleh penumpang dan awak sarana pengangkut yang berangkat langsung ke luar Daerah Pabean; 9) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Kawasan Pabean, Tempat Penimbunan Sementara, atau Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas pembebasan cukai untuk keperluan perwakilan negara hal 171

181 asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; 10) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Kawasan Pabean, Tempat Penimbunan Sementara, atau Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas pembebasan cukai untuk dikonsumsi oleh penumpang dan awak sarana pengangkut yang berangkat langsung ke luar Daerah Pabean. c. Pemasukan atau Pengeluaran BKC yang sudah dilunasi cukainya : 1) pemasukan BKC yang sudah dilunasi cukainya ke Pabrik dengan tujuan untuk dimusnahkan atau diolah kembali; 2) pemasukan BKC yang sudah dilunasi cukainya ke tempat lain di luar Pabrik dengan tujuan untuk dimusnahkan untuk mendapatkan pengembalian cukai; 3) pengeluaran BKC berupa etil alkohol atau minuman mengandung etil alkohol, yang sudah dilunasi cukainya baik dengan cara pembayaran maupun dengan cara pelekatan pita cukai, dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan; 4) pengeluaran BKC berupa etil alkohol atau minuman mengandung etil alkohol, yang sudah dilunasi cukainya baik dengan cara pembayaran maupun dengan cara pelekatan pita cukai, dari Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat. 4. Pengangkutan BKC Pengertian pengangkutan adalah perpindahan dengan menggunakan sarana pengangkut atas BKC yang masih terutang cukai atau yang cukainya telah dilunasi dari suatu tempat ke tempat lainnya yang melewati peredaran bebas. Pada prinsipnya pengangkutan BKC harus sudah selesai dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam dokumen pelindung pengangkutan. Dalam hal terdapat hambatan yang menyebabkan pengangkutan BKC tidak selesai dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Dokumen Cukai, pengusaha yang bersangkutan dapat meminta perpanjangan hal 172

182 jangka waktu kepada Kepala Kantor Bea dan cukai setempat, sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. Pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya, baik dalam keadaan telah dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran maupun dalam keadaan curah atau dikemas dalam kemasan bukan untuk penjualan eceran, wajib dilindungi dengan Dokumen Cukai. Dikecualikan dari kewajiban dilindungi dengan dokumen cukai, yaitu terhadap pengangkutan BKC berupa: 1) tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu; dan 2) minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran. Pengangkutan BKC yang sudah dilunasi cukainya, dari suatu tempat ke tempat lainnya dalam peredaran bebas, yang terdiri dari: 1) etil alkohol dalam jumlah lebih dari 6 (enam) liter; atau 2) MMEA dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) dalam jumlah lebih dari 6 (enam) liter, wajib dilindungi dengan dokumen Cukai. Pengangkutan BKC tersebut wajib dilaporkan kepada kepala Kantor yang mengawasi penyalur atau tempat penjualan eceran, setiap bulan dalam jangka waktu paling lama pada hari kesepuluh bulan berikutnya dengan menggunakan formulir laporan pengangkutan etil alkohol/mmea yang sudah dilunasi cukainya di peredaran bebas. hal 173

183 B. Dokumen Mutasi BKC 1. Dokumen Pemberitahuan Pemasukan dan Pengeluaran Ketentuan pasal 25 ayat (1) Undang-undang Cukai mengatur mengenai kewajiban penggunaan dokumen cukai sebagai berikut: Pemasukan atau Pengeluaran BKC ke atau dari pabrik atau tempat penyimpanan wajib diberitahukan kepada Kepala kantor dan dilindungi dokumen cukai. Sebagai tindak lanjut atas kewajiban penggunaan dokumen cukai tersebut, sejak pemberlakuan Undang-undang Cukai pada tahun 1996, DJBC telah menyusun berbagai bentuk dan format dokumen cukai sebagai dokumen pelindung pemasukan atau pengeluaran. Beberapa diantaranya, yang mungkin pernah anda kenal antara lain: 1) Dokumen CK-5: Pemberitahuan pengeluaran dan pemasukan BKC yang belum dilunasi cukainya dari pabrik atau tempat penyimpanan ke pabrik atau tempat penyimpanan lainnya; 2) Dokumen CK-7: Pemberitahuan Pemasukan Hasil Tembakau yang belum dilunasi cukainya dari tempat pembuatan di luar pabrik ke dalam pabrik dan sebaliknya; 3) Dokumen CK-8: Pemberitahuan pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari pabrik atau tempat penyimpanan untuk tujuan ekspor 4) Dokumen CK-10: Pemberitahuan pengeluaran etil alkohol yang belum dilunasi cukainya dari pabrik atau tempat penyimpanan untuk bahan baku atau bahan penolong. Penggunaan dokumen cukai yang sangat bervariasi membuat kesan bahwa sistem administrasi di bidang cukai sangat kompleks dan tidak sederhana. Berdasarkan aturan terdahulu, yaitu KMK nomor 247/KMK.05/1996 tentang Penimbunan, Pemasukan, Pengeluaran, Pengangkutan dan Perdagangan BKC, setidaknya terdapat 20 jenis dokumen cukai yang digunakan sebagai dokumen pesanan pita cukai, dokumen pemasukan dan pengeluaran, dokumen penimbunan dan dokumen pengangkutan. Hal ini masih ditambah lagi dengan penggunaan dokumen pelaporan yang jumlahnya sekitar 9 jenis (LACK-1 sampai dengan LACK-9). Sejalan dengan perkembangan pelaksanaan di lapangan, hal 174

184 tuntutan untuk menyederhanakan sistem administrasi di bidang cukai semakin menguat. Pemberlakuan Undang-undang nomor 39 tahun 2007 sebagai perubahan atas undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai telah mendorong pemerintah untuk menciptakan sistem administrasi cukai yang lebih sederhana. Sebagai bentuk implementasinya adalah penerbitan PMK nomor 235/PMK.04/2009 yang menyederhanakan dokumen penimbunan, pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan serta dokumen pelaporan. Bentuk dan format baru dokumen pelindung pemasukan dan pengeluaran sesuai dengan PMK nomor 235/PMK.04/2009 mengakomodasi hampir seluruh kegiatan pemasukan dan pengeluaran di bidang cukai. Format baru dokumen pemasukan dan pengeluaran sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan tersebut menggunakan format Pemberitahuan Mutasi BKC (PMBKC) atau CK-5. Bentuk format baru PMBKC dapat anda lihat dalam gambar 6.1 dan 6.2 berikut ini. hal 175

185 Gambar 6.1 Dokumen Cukai PMBKC hal 176

186 Gambar 6.2 Lembar Lanjutan PMBKC hal 177

187 Format PMBKC (CK-5) digunakan untuk hampir seluruh kegiatan pemasukan atau pengeluaran BKC baik yang cukainya telah dilunasi maupun yang masih terutang cukai. Dapat dikatakan bahwa PMBKC merupakan single document bagi kegiatan cukai yang cukup kompleks tersebut. Beberapa kategori kegiatan mutasi BKC yang dilindungi dengan dokumen CK-5, anatara lain: 1) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan tujuan untuk dimasukkan ke Pabrik atau Tempat Penyimpanan lainnya dengan fasilitas tidak dipungut cukai; 2) pemasukan BKC yang belum dilunasi cukainya ke Pabrik atau Tempat Penyimpanan yang berasal dari Kawasan Pabean, Tempat Penimbunan Sementara, atau Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas tidak dipungut cukai; 3) pemasukan dan pengeluaran BKC berupa hasil tembakau yang belum dilunasi cukainya dari tempat pembuatan di luar Pabrik ke dalam Pabrik dan sebaliknya; 4) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan tujuan untuk diekspor dengan fasilitas tidak dipungut cukai; 5) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan ke Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas pembebasan cukai; 6) pengeluaran etil alkohol yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan BKC; 2. Dokumen Pelindung Pengangkutan Ketentuan pasal 27 ayat (1) Undang-undang Cukai mengatur mengenai kewajiban penggunaan dokumen pengangkutan BKC sebagai berikut: Pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya harus dilindungi dengan dokumen cukai. Kemudian pasal 27 ayat (2) juga mengatur dokumen hal 178

188 pengangkutan sebagai berikut: Pengangkutan BKC tertentu, walaupun sudah dilunasi cukainya, harus dilindungi dengan dokumen cukai. Sesuai dengan pengertian pengangkutan yang telah dijelaskan sebelumnya, pergerakan BKC yang belum dilunasi cukainya di peredaran bebas harus dilindungin dengan dokumen cukai untuk menjamin hak-hak negara yang berkaitan dengan pungutan cukainya. Istilah BKC tertentu dalam konteks pasal 27 ayat (2) di atas mengacu kepada BKC berupa etil alkohol dan MMEA dalam jumlah dan kadar yang ditetapkan. Dokumen pelindung pengangkutan yang digunakan terhadap pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya baik telah dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran maupun dalam keadaan curah atau dikemas tidak untuk penjualan eceran tetap menggunakan dokumen pemasukan dan pengeluaran sesuai format PMBKC (CK-5). Contoh: PT. GM sebagai pabrik hasil tembakau jenis SKT membeli bahan baku pembuatan hasil tembakau berupa tembakau iris yang dikemas dalam bentuk bundel/bal dari suatu tempat di luar pabrik, maka atas pengangkutan dan pemasukan BKC tersebut ke dalam pabrik wajib dilindungi dokumen cukai PMBKC. Pabrik etil alkohol PT XY memasok etil alkohol untuk kebutuhan pabrik MMEA PT ZZ, maka atas pengeluaran, pengangkutan dan pemasukan BKC berupa etil alkohol tersebut ke dalam pabrik ZZ wajib dilindungi dengan dokumen PMBKC. Pabrik farmasi PT KF mendapat fasilitas pembebasan atas etil alkohol yang digunakannya. BKC etil alkohol tersebut diperoleh dari proses impor melalui importir pemmegang NPPBKC PT. GX. Atas pengeluaran dan pengangkutan BKC etil alkohol dari Tempat penimbunan Sementara wajib dilindungi dokumen PMBKC. Dokumen pelindung pengangkutan yang digunakan terhadap pengangkutan BKC tertentu yang sudah dilunasi di peredaran bebas dilindungi hal 179

189 dokumen CK-6. Kategori BKC tertentu yang wajib dilindungi dokumen CK-6 adalah sebagai berikut: etil alkohol dalam jumlah lebih dari 6 (enam) liter; dan minuman mengandung etil alkohol dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) dalam jumlah lebih dari 6 (enam) liter, wajib dilindungi dengan Dokumen Cukai. Format dokumen CK-6 sebagai pelindung BKC tertentu di peredaran bebas dapat dilihat dalam Gambar 6.3 berikut ini. Gambar 6.3 Dokumen CK-6 hal 180

190 C. Tata Laksana Mutasi BKC Alur kegiatan mutasi BKC sangat beragam dan masing-masing memiliki spesifikasi yang berbeda, walaupun dokumen yang digunakan sama. Pada sub bagian ini penulis hanya akan menjelaskan beberapa alur kegiatan mutasi BKC yang dilakukan dalam praktek kegiatan sehari-hari. Format alur kegiatan yang digunakan disini mengacu kepada standar operasional prosedur yang telah dipraktekkan di beberapa Kantor madya Cukai. 1. Pengeluaran BKC dari Pabrik dengan Pelunasan Untuk kegiatan mutasi berupa pengeluaran BKC dari pabrik dengan pelunasan cukai (Gambar II.4), maka pengusaha pabrik menyerahkan PMBKC kepada KPPBC dengan dilampiri bukti pembayaran dari Bank Persepsi berupa SSPCP yg telah mendapatkan nomor transaksi pembayaran negara (NTPN). Pengusaha menyerahkan dokumen PMBKC pelunasan lembar ke-1, 3, 4, 5 yang telah didaftarkan kepada Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC). Kepala Seksi PKC menerima, meneliti, mendisposisi PMBKC (CK-5) pelunasan kepada Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai untuk diproses lebih lanjut. Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai menerima, meneliti dan menunjuk pelaksana pemeriksa untuk melakukan pengawasan terhadap jumlah dan jenis barang yang diberitahukan. Pelaksana pada Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai membuat konsep surat tugas untuk melakukan pengawasan terhadap jumlah dan jenis barang yang diberitahukan. Kemudian, Kasubsi Hanggar menerima, meneliti dan memaraf konsep surat tugas dan menyampaikan kepada Kepala Seksi PKC. Kepala Seksi PKC menerima, meneliti, dan menandatangani surat tugas. Pelaksana pemeriksa yang ditunjuk menerima surat tugas dari Kepala Seksi PKC, dan segera melakukan tugas pengawasan atas pengeluaran BKC yang bersangkutan: melakukan pengawasan terhadap jumlah dan jenis barang yang dikeluarkan; membuat catatan pemeriksaan dan pengeluaran pada halaman ke-2 pada lembar 1, 3, 4, dan 5 PMBKC dan menyerahkan kepada Pengusaha; mencatat dokumen PMBKC ke dalam buku pengawasan. hal 181

191 Gambar 6.4 Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC dengan Dokumen PMBKC Pelunasan PENGUSAHA KEPALA SEKSI PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI KASUBSI HANGGAR PABEAN DAN CUKAI PELAKSANA PADA SEKSI PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI PELAKSANA PEMERIKSA eneliti n D eneliti n emaraf Konsep Surat Tugas Konsep Surat Tugas Sumber: Bag. OTL DJBC hal 182

192 2. Pengeluaran BKC dari Pabrik dengan Tujuan Diekspor Alur proses kegiatan mutasi berupa pengeluaran BKC dari pabrik dengan tujuan diekspor, dapat dilihat dalam flowchart berikut (Gambar II.5). Gambar 6.5 Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC dengan Dokumen PMBKC Pelunasan PENGUSAHA KEPALA SEKSI PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI KASUBSI HANGGAR PABEAN DAN CUKAI PELAKSANA PADA SEKSI PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI PELAKSANA PEMERIKSA BENDAHARAWAN meneliti dan memaraf meneliti dan memaraf Konsep Surat Tugas Konsep Surat Tugas Sumber: Bag. OTL DJBC hal 183

193 Sesuai flowchart pada gambar 6.5, pengusaha pabrik menyerahkan PMBKC tujuan ekspor (dalam rangkap 5) yang telah didaftarkan kepada Kepala Seksi PKC. Kepala Seksi PKC menerima, meneliti, mendisposisi PMBKC CK-5 Pelunasan kepada Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai untuk diproses lebih lanjut. Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai menerima, meneliti dan menunjuk pelaksana pemeriksa untuk melakukan pengawasan stuffing BKC yang diberitahukan. Pelaksana pada Seksi PKC membuat konsep surat tugas untuk melakukan pengawasan stuffing BKC. Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai menerima, meneliti dan memaraf konsep surat tugas. Kepala Seksi PKC menerima, meneliti, dan menandatangani surat tugas. Pelaksana Pemeriksa yang ditunjuk menerima surat tugas dan melakukan pengawasan stuffing BKC yang diberitahukan. Selanjutnya membuat Berita Acara (BA) penyegelan dan memberikan catatan pengawasan pada PMBKC, untuk selanjutnya disampaikan kepada Kepala Seksi PKC. Kepala Seksi PKC menerima BA Penyegelan dan PMBKC yang sudah diberi catatan pengawasan kemudian mendisposisikan untuk disampaikan kepada Bendaharawan. Pelaksana pada Seksi PKC BA Penyegelan dan PMBKC sesuai peruntukan: lembar ke-1 untuk pelindung pengeluaran dan pengangkutan BKC lembar ke-2 untuk Bendaharawan lembar ke-3 untuk Pengusaha Pabrik atau Tempat Penyimpanan Asal 3. Pengeluaran BKC Sebagai Bahan Baku dengan Tujuan ke Pabrik BKC Lain Alur proses kegiatan mutasi berupa pengeluaran BKC dari pabrik dengan tujuan ke pabrik BKC lainnya, sebagai bahan baku pembuatan BKC lainnya, dapat dilihat dalam flowchart berikut (Gambar II.6). Dalam hal ini pengusaha Pabrik BKC tujuan telah mengajukan permohonan PBCK-1 kepada Kantor Bea dan Cukai setempat. hal 184

194 Gambar 6.6 Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC sebagai Bahan Baku untuk Pembuatan BKC Lainnya PENGUSAHA KEPALA KPPBC KEPALA SEKSI PKC KASUBSI HANGGAR PABEAN DAN CUKAI PELAKSANA PEMERIKSA KEPALA SEKSI PERBEND. KPPBC TUJUAN Sumber: Bag. OTL DJBC hal 185

195 Sesuai dengan flowchart pada Gambar II.6, pengusaha mengajukan rencana pengeluaran BKC dilengkapi dengan PMBKC rangkap 5 kepada Kepala Kantor. Kepala Kantor menerima PMBKC (CK.5) dan mendisposisi kepada Kepala Seksi PKC. Kepala Seksi PKC menerima dan mendisposisi kepada Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai. Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai menerima dan mendisposisi kepada Pelaksana Pemeriksa pada seksi PKC. Berkas akan diteliti dan juga kelengkapan PMBKC-nya. Apabila pengisian PMBKC dianggap belum lengkap maupun terdapat persyaratan yang belum dilampirkan, berkas dokumen akan dikembalikan kepada pengusaha untuk diperbaiki. Dalam hal sudah lengkap, Pelaksana Pemeriksa menyampaikan dokumen kepada Kasubsi Hangar Pabean dan Cukai. Kasubsi Hangar Pabean dan Cukai melakukan penelitian dan dalam hal sudah benar membukukan dan menomori PMBKC. Kasi PKC menerima dan menandatangani dokumen PMBKC (CK.5) dan mendisposisi kepada Kasubsi Hanggar untuk penyelesaian lebih lanjut. Berkas dokumen PMBKC selanjutnya akan didistribusikan oleh Pelaksana Pemeriksa, sesuai peruntukan dan melakukan pengawasan pengeluaran BKC. Lembar peruntukan PMBKC adalah sebagai berikut: lbr ke-1 kepada pengusaha untuk pelindung BKC lbr ke-2 kepada bendaharawan asal lbr ke-3 kepada pengusaha lbr ke-4 kepada penerima BKC lbr ke-5 kepada bendaharawan tujuan Pelaksana Pemeriksa pada Seksi KPC selanjutnya akan membuat konsep Surat Tugas pengawasan pengeluaran, dan menyampaikannya kepada Kasubsi Hanggar. Kasubsi Hanggar menerima konsep dan memaraf, selanjutnya disampaikan kepada Kepala Seksi KPC. Kepala Seksi menerima dan menandatangani surat tugas a.n. Kepala Kantor. Berdasarkan surat tugas, Pelaksana Pemeriksa yang ditunjuk akan menerima ST dan melaksanakan pengawasan pengeluaran. Selanjutnya pemeriksa menerima PMBKC lbr ke-1 hal 186

196 dari pengusaha, menuangkan hasil pemeriksaan pada dokumen PMBKC dan melakukan penyegelan serta membuat BA Penyegelan. Kemudian PMBKC lembar ke-1 dijadikan dokumen pelindung BKC. Pengusaha Asal mengirimkan BKC dengan dilindungi dokumen PMBKC ke tempat tujuan. Pemasukan BKC ke Pabrik/TP tujuan diawasi oleh pelaksana pemeriksa dari KPPBC tujuan. Selanjutnya PMBKC yang sudah diberikan catatan pemasukan dikirim kepada KPPBC asal. Kepala Seksi Perbendaharaan KPPBC asal menerima PMBKC lembar ke-1 dari kantor tujuan, dan merekonsiliasi dengan PMBKC lembar ke-2. RANGKUMAN : Sebagai rangkuman materi Bab 6, dapat disampaikan sebagai berikut: Pengertian mutasi BKC adalah setiap kegiatan penimbunan, pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan BKC baik yang digunakan sebagai bahan baku untuk produk lain maupun sebagai barang jadi yang siap untuk dikonsumsi yang masih terutang cukai dan juga pengangkutan BKC tertentu yang telah dilunasi cukainya di peredaran bebas. Pengertian kegiatan penimbunan dalam konteks mutasi BKC adalah kegiatan menimbun BKC yang belum dilunasi cukainya, baik yang berasal dari impor maupun yang dibuat di dalam negeri di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) atau Tempat Penimbunan Berikat (TPB). Pengertian kegiatan pemasukan dan pengeluaran BKC adalah pemasukan atau pengeluaran ke dan dari Pabrik/Tempat Penyimpan atas BKC yang cukainya belum dilunasi. Pengertian pengangkutan adalah perpindahan dengan menggunakan sarana pengangkut atas BKC yang masih terutang cukai atau yang cukainya telah dilunasi dari suatu tempat ke tempat lainnya yang melewati peredaran bebas. Format baru dokumen pelindung pemasukan dan pengeluaran sesuai dengan PMK nomor 235/PMK.04/2009 adalah format PMBKC atau CK-5. Bentuk dan format baru dokumen CK-5 tersebut telah mengakomodasi hampir seluruh hal 187

197 kegiatan pemasukan dan pengeluaran di bidang cukai. Dokumen pelindung pengangkutan yang digunakan terhadap pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya baik telah dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran maupun dalam keadaan curah atau dikemas tidak untuk penjualan eceran tetap menggunakan dokumen pemasukan dan pengeluaran sesuai format PMBKC (CK-5). Dokumen pelindung pengangkutan yang digunakan terhadap pengangkutan BKC tertentu yang sudah dilunasi di peredaran bebas dilindungi dokumen CK-6. LATIHAN : Untuk menguji pemahaman anda dalam materi bab 2, silahkan anda kerjakan soal-soal latihan berikut: 1) Jelaskan pengertian mutasi BKC dan untuk apa DJBC mengawasi pergerakan BKC! 2) Jelaskan apa yang melatarbelakangi penggunaan dokumen CK-5 format baru oleh DJBC! 3) Jelaskan kegunaan dokumen PMBKC! 4) Jelaskan konsep dokumen pemasukan/pengeluaran dan dokumen pengangkutan! 5) Mengapa dalam pergerakan BKC etil alkohol dan MMEA tertentu wajib dilindungi dengan dokumen CK-6? Jelaskan! hal 188

198 BAB TATACARA PEMUSNAHAN DAN PENGOLAHAN KEMBALI BKC 7 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti pembelajaran ini Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan mekanisme pemusnahan dan pengolahan kembali BKC A. Gambaran Umum 1. Konsep Pemusnahan dan Pengolahan Kembali Pengertian pengolahan kembali BKC adalah kegiatan menarik kembali BKC yang sudah dilunasi cukainya dari peredaran bebas ke dalam pabrik untuk dilakukan pengolahan kembali. Umumnya produk BKC yang dapat diolah kembali adalah produk-produk yang belum mengalami kadaluwarsa, namun karena adanya cacat produksi mengharuskan BKC tersebut ditarik dari peredaran bebas. Pengertian pemusnahan BKC adalah kegiatan penarikan BKC yang sudah dilunasi cukainya dari peredararan bebas untuk dilakukan pemusnahan di dalam pabrik atau di tempat-tempat lainnya dibawah pengawasan DJBC. Pengolahan kembali atau pemusnahan BKC yang dilakukan oleh pengusaha Pabrik bertujuan untuk pengembalian cukai, sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 huruf (c) Undang-undang Cukai. Selanjutnya Pasal tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Keuangan dengan PMK nomor 113/PMK.04/2008 tentang Pengembalian Cukai dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda. hal 189

199 Mengacu pada ketentuan pasal 12 Undang-undang Cukai, pengembalian cukai yang telah dibayar diberikan dalam hal: 1) terdapat kelebihan pembayaran karena kesalahan penghitungan; 2) BKC diekspor; 3) BKC yang mendapat pembebasan cukai 4) BKC yang dibuat di Indonesia diolah kembali di pabrik atau dimusnahkan; 5) pita cukai dikembalikan karena rusak atau tidak terpakai 6) terdapat kelebihan pembayaran sebagai akibat putusan Pengadilan Pajak. Sebagai acuan petunjuk teknis pengembalian cukai, khususnya mengenai pemusnahan dan pengolahan kembali, DJBC telah mengeluarkan Peraturan Dirjend P-19/BC/2008 tentang Pengembalian Cukai atas BKC yang Diolah Kembali atau Dimusnahkan yang diperbaharui dengan P-03/BC/2010. Topik bahasan inilah yang akan dijabarkan secara mendalam dalam kegiatan belajar Bab 3 ini. 2. Struktur Pengembalian Cukai atas BKC yang Diolah Kembali atau Dimusnahkan Dalam ketentuan tatalaksana pengembalian cukai atas BKC yang diolah kembali atau dimusnahkan sebagaimana diatur dalam P-19/BC/2008 jo. P- 03/BC/2010, dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: 1) tatalaksana pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang pelunasannya dengan cara pelekatan pita cukai 2) tatalaksana pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang pelunasannya dengan cara pembayaran Untuk memudahkan pemahaman anda maka dalam pembahasan kegiatan belajar selanjutnya akan kami bedakan menurut dua kategori tersebut. Gambaran singkat peta konsep tatalaksana pengembalian atas BKC diolah kembali dan dimusnahkan dapat dilihat dalam Gambar III.1 berikut. hal 190

200 Gambar 7.1 Struktur Tatalaksana Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC 3. Cara Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC Kegiatan pengolahan kembali BKC baik yang berasal dari peredaran bebas maupun yang masih berada di dalam pabrik dilakukan dengan cara: BKC dipindahkan ke dalam kemasan penjualan eceran yang baru atau diproduksi ulang untuk menjadi BKC baru. BKC diproduksi ulang untuk menjadi BKC baru. Untuk kegiatan pemusnahan BKC baik yang dilakukan di dalam pabrik maupun di luar pabrik, maka pemusnahan dilakukan dengan cara: Membakar habis BKC; Menghancurkan BKC dengan menggunakan mesin atau alat penghancur; Memasukkan BKC ke dalam lubang galian yang telah diberi air kemudian ditimbun dengan tanah. B. Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC yang Pelunasannya dengan Pelekatan Pita Cukai 1. Subyek yang Berhak Mendapat Pengembalian Cukai Pengembalian cukai atas kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan BKC yang dibuat di Indonesia yang pelunasannya dengan cara pelekatan pita cukai hanya diberikan kepada Pengusaha Pabrik. BKC yang dapat ditarik dari peredaran bebas untuk diolah kembali atau dimusnahkan dengan mendapat pengembalian pita cukai hanya diizinkan apabila pemesanan pita cukainya hal 191

201 dilakukan pada tahun anggaran berjalan atau pada satu tahun anggaran sebelumnya. 2. Ketentuan dan Persyaratan Sebelum melakukan kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan, pengusaha pabrik harus mendapatkan persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai setempat. Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan pengolahan kembali atau pemusnahan BKC adalah sebagai berikut: 1) Kepala KPPBC Tipe A1 ke bawah yang mengawasi pabrik, dalam hal nilai cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp ,- (seratus juta rupiah); 2) Kepala KPPPBC Tipe Madya, dalam hal nilai cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp ,- (lima ratus juta rupiah) 3) Kepala Kantor wilayah atau Kepala KPU Bea dan Cukai dalam hal nilai cukai melebihi batasan poin 1) dan 2) diatas. Pemusnahan atau pengolahan kembali atas BKC yang telah dilunasi cukainya hanya dapat dilakukan oleh Pengusaha Pabrik dan pelaksanaannya dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai setempat. Untuk melaksanakan tugas pengawasan tersebut, Kepala Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi pabrik membentuk Tim Pengawas yang beranggotakan Pejabat Bea dan Cukai dari Kantor setempat. Khusus permohonan pengolahan kembali atau pemusnahan yang nilainya melebihi Rp ,- Tim Pengawas beranggotakan pejabat dari Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang telah dilekati pita cukainya yang masih berada di dalam pabrik hanya dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu bulan. Apabila pengusaha pabrik bermaksud melakukan kegiatan pemusnahan atau pengolahan lebih dari dua kali dalam satu bulan, maka yang bersangkutan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Wilayah. hal 192

202 Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang telah dilekati pita cukainya yang berasal dari peredaran bebas hanya dapat dilakukan paling banyak 4 (empat) kali dalam satu tahun anggaran. Apabila pengusaha pabrik bermaksud melakukan kegiatan pemusnahan atau pengolahan lebih dari empat kali dalam satu tahun anggaran, maka yang bersangkutan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Wilayah. Atas pengolahan kembali di pabrik atau pemusnahan BKC dengan mendapat pengembalian cukai, maka terhadap pita cukai yang dirusak akan dikenakan biaya pengganti penyediaan pita cukai sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu: Rp. 25,- per keping untuk pita cukai hasil tembakau seri I Rp. 40,- per keping untuk pita cukai hasil tembakau Seri II Rp. 25,- per keping untuk pita cukai hasil tembakau Seri III Rp. 300,- per keping untuk pita cukai MMEA Pengembalian cukai atas pengolahan kembali atau pemusnahan BKC terlebih dahulu diperhitungkan dengan utang cukai. Dalam hal pengusaha pabrik tidak memiliki utang cukai, pengembalian cukai atas permintaannya, dapat: diperhitungkan untuk pemesanan pita cukai berikutnya, untuk BKC yang pelunasannya cukainya dengan cara pelekatan pita cukai. dikembalikan kepada pengusaha pabrik sesuai ketentuan yang berlaku. 3. Mekanisme Pengolahan Kembali atau Pemusnahan a. BKC yang masih berada di dalam Pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan di dalam pabrik Proses permohonan pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang masih berada di dalam pabrik pada dasarnya terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu: 1) Tahapan pengajuan PBCK-7 hingga diterbitkannya Berita Acara Pemeriksaan BKC (dengan dokumen BACK-1) 2) Tahapan pengolahan Kembali atau Pemusnahan (pengajuan PBCK-3) Pada tahapan pertama, dimulai dengan pengajuan berkas permohonan PBCK-7 untuk dilakukan pemeriksaan terhadap BKC yang akan hal 193

203 dimusnahkan/diolah kembali. Atas pengajuan PBCK-7 ini Kepala Kantor akan mendisposikan kepada seksi kepabeanan dan cukai untuk dilakukan penelitian. Apabila permohonan layak untuk diteruskan, maka Kepala Kantor akan menugaskan pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap BKC yang dimohonkan pengolahan kembali atau pemusnahan. Output terakhir dari kegiatan tahap pertama ini adalah diterbitkannya Berita Acara Pemeriksaan BKC oleh pejabat pemeriksa (BACK-1). Atas BKC yang telah selesai diperiksa dilakukan pengamanan dengan cara penyegelan. Gambar 7.2 Flowchart Prosedur Pengolahan Kembali/Pemusnahan BKC yang Masih Berada di Dalam Pabrik hal 194

204 Selanjutnya tahapan ke-2 dari proses permohonan pengolahan kembali atau pemusnahan BKC adalah dengan mengajukan berkas PBCK-3 yang telah dilampiri dengan copy PBCK-7 dan berita acara pemeriksaan atas BKC tersebut. Kantor Bea dan Cukai melakukan penelitian dan pengadministrasian berkas dokumen PBCK-3. Dalam hal nilai pengajuan pengembalian masih dalam lingkup kewenangan Kepala Kantor, maka Kepala Kantor akan mengeluarkan surat persetujuan pengolahan kembali atau pemusnahan dan membentuk Tim Pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan pengolahan kembali atau pemusnahan. Anggota Tim Pengawas paling sedikit terdiri dari 3 orang Pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC. Tembusan Surat Persetujuan dan Pembentukan Tim Pengawas disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah. Dalam hal nilai cukai yang diajukan pengembalian berada pada kewenangan Kepala Kantor wilayah maka Kepala Kantor membuat surat rekomendasi dan mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah. Surat hal 195

205 persetujuan pengolahan kembali atau pemusnahan diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah dan juga pembentukan Tim Pengawas yang terdiri dari paling banyak dua orang pejabat Kanwil dan paling sedikit tiga orang pejabat dari KPPBC. Tim Pengawas melakukan kegiatan pengawasan atas pelaksanaan pengolahan kembali atau pemusnahan. Sebelum pengolahan kembali atau pemusnahan dilakukan terlebih dahulu dilakukan pengecekan sebagai berikut: mencocokkan jumlah, jenis, merek, tanda atau nomor pengenal koli serta jenis segel atau tanda pengaman sebagaimana yang tertera pada BACK-1. memeriksa keutuhan segel atau tanda pengaman BKC yang akan diolah kembali atau dimusnahkan. dalam hal segel kedapatan utuh, melakukan pemeriksaan secara acak, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari jumlah BKC yang akan diolah kembali atau dimusnahkan dan paling sedikit 2 koli. Dalam hal kedapatan rusak atau dalam hal hasil pemeriksaan awal kedapatan tidak sesuai, melakukan pemeriksaan 100% (seratus persen) terhadap BKC yang bersangkutan. Sebagai output kegiatan pengawasan yang dilakukan maka Tim Pengawas membuat Berita Acara Pemusnahan atau Pengolahan Kembali BKC (BACK-3). BACK-3 yang diterbitkan Tim Pengawas akan menjadi dasar diterbitkannya dokumen Tanda Bukti Perusakan Pita Cukai (CK-2) oleh kepala Kantor. b. BKC yang berasal dari peredaran bebas yang akan diolah kembali atau dimusnahkan di pabrik Pengajuan CK-5 paling lambat tanggal 1 bulan keempat sejak batas waktu pelekatan sesuai ketentuan yang berlaku. Pemasukan kembali BKC dari peredaran bebas ke dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal CK-5. Apabila jangka waktu 30 hari tersebut tersebut tidak dipenuhi, atas pengolahan kembali BKC atau pemusnahan tidak diberikan pengembalian cukai. Apabila tanggal pemasukan jatuh pada hari libur atau yang diliburkan, maka hal 196

206 pemasukan dilakukan pada hari kerja terakhir sebelum hari libur atau yang diliburkan. Untuk pemasukan ke pabrik, pengusaha Pabrik harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor. Pemberitahuan wajib disampaikan sebelum pemasukan BKC yang telah dilunasi cukainya dari peredaran bebas ke dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan dengan menggunakan pemberitahuan mutasi BKC (CK-5). Proses permohonan pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang berasal dari peredaran bebas pada dasarnya terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu: 1) Tahapan pemasukan BKC ke dalam Pabrik (CK-5) 2) Tahapan pengolahan Kembali atau Pemusnahan (pengajuan PBCK-3) Pada tahapan pertama, dimulai dengan pengajuan berkas permohonan CK-5 dalam rangka pemasukan BKC yang akan diolah kembali atau dimusnahkan oleh Pengusaha Pabrik atau kuasanya. Proses ini dapat saja melibatkan dua KPPBC yang berbeda. Pengajuan permohonan penarikan BKC ke pabrik dengan dokumen CK-5 dapat diajukan kepada KPPBC yang terdekat dengan lokasi BKC yang akan ditarik. Sebagai contoh: Distributor PT. Djarum di wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya dapat saja mengajukan CK-5 kepada KPPBC Medan dalam rangka penarikan BKC ke pabrik yang ada di Jawa tengah. Dalam hal ini PT. Djarum wajib memberikan kuasa kepada Distributornya untuk bertindak atas nama PT.Djarum. Harus diingat bahwa subyek yang berhak memperoleh pengembalian cukai hanyalah pengusaha pabrik. Atas pengajuan CK-5 ini Kepala Kantor akan mendisposikan kepada seksi kepabeanan dan cukai untuk dilakukan penelitian. Apabila permohonan layak untuk diteruskan, maka Kepala Kantor akan menugaskan pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap BKC yang dimohonkan pengolahan kembali atau pemusnahan. Output terakhir dari kegiatan tahap pertama ini adalah diterbitkannya Berita Acara Pemeriksaan BKC oleh pejabat pemeriksa (BACK-1). Atas BKC yang telah selesai diperiksa dilakukan pengamanan dengan cara penyegelan. BKC selanjutnya akan dikirim ke Pabrik asal dengan hal 197

207 dilindungi CK-5 tembusan. Pengiriman BKC ke pabrik asal selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal pemberitahuan CK-5. Selanjutnya, Kepala Kantor tempat pemeriksaan BKC menyampaikan pemberitahuan CK-5 kepada Kepala Kantor pengawasan Pabrik. Proses pemasukan BKC ke dalam pabrik dilakukan pengawasan oleh pejabat pemeriksa. Untuk itu, Kepala Kantor pengawasan pabrik menugaskan pemeriksa untuk melaksanakan pengawasan terhadap pemasukan BKC ke dalam Pabrik. Sampai disini tahap pertama kegiatan selesai. Kemudian dapat dilanjutkan pada tahap kegiatan berikutnya, yaitu permohonan pengolahan kembali atau pemusnahan BKC dengan pengajuan PBCK-3. Tahapan kedua dari mekanisme permohonan pengolahan kembali atau pemusnahan ini kurang lebih sama dengan tahapan yang kami jelaskan untuk proses pengolahan kembali atau pemusnahan atas BKC yang masih berada di dalam pabrik. Titik perbedaannya hanya terletak pada dokumen lampiran PBCK- 3 yang harus disertakan, yaitu CK-5 tembusan dan BACK-1. Flowchart sederhana untuk kedua tahapan tersebut dapat dilihat dalam gambar 7.3. Gambar 7.3 Prosedur Pengolahan Kembali/Pemusnahan BKC yang Berasal dari Peredaran Bebas hal 198

208 c. BKC yang berasal dari peredaran bebas yang akan dimusnahkan di Luar Pabrik Apabila kegiatan pemusnahan BKC akan dilakukan di luar pabrik, maka Pengusaha Pabrik dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Kantor setempat. Pemusnahan BKC yang dilakukan di luar pabrik hanya diberikan untuk BKC dengan nilai cukai sampai dengan Rp ,- (seratus juta rupiah). Atas permohonan tertulis pengusaha pabrik, Kepala Kantor memberikan putusannya. Kegiatan pemusnahan BKC di luar pabrik hanya dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu tahun anggaran. Dalam hal pemusnahan BKC dilakukan di beberapa tempat pemusnahan secara bersamaan, maka kegiatan tersebut dihitung sama dengan satu kali pemberian persetujuan pemusnahan di luar pabrik. Untuk pemusnahan BKC di Tempat Pemusnahan di luar pabrik, pengusaha Pabrik atau kuasanya harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pengawasan Tempat Pemusnahan sebelum pemasukan BKC yang telah dilunasi cukainya dari peredaran bebas ke Tempat Pemusnahan. hal 199

209 Pemberitahuan pemusnahan ini diajukan dengan menggunakan pemberitahuan mutasi BKC (CK-5). Proses permohonan pemusnahan BKC di luar pabrik pada dasarnya juga terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu: 1) Tahapan pemasukan BKC ke dalam Tempat Pemusnahan (CK-5) 2) Tahapan pengolahan Kembali atau Pemusnahan (pengajuan PBCK-3) Flowchart sederhana pada gambar III.4 berikut akan memberikan gambaran singkat mengenai alur proses permohonan pemusnahan BKC yang berasal dari peredaran bebas untuk dilakukan pemusnahannya di luar pabrik. Gambar 7.4 Prosedur Pemusnahan BKC di Tempat Pemusnahan di Luar Pabrik hal 200

210 Tahapan pertama dimulai dengan pengajuan berkas permohonan CK-5 dalam rangka pemasukan BKC yang akan dimusnahkan oleh Pengusaha Pabrik atau kuasanya. Proses ini dapat saja melibatkan dua KPPBC yang berbeda. Pengajuan permohonan penarikan BKC ke Tempat Pemusnahan di Luar Pabrik dapat diajukan kepada KPPBC yang terdekat dengan lokasi Tempat Pemusnahan. Atas pengajuan CK-5 ini Kepala Kantor akan mendisposisikan kepada Seksi Kepabeanan dan Cukai/Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai/Sub seksi Perbendaharaan dan Pelayanan untuk dilakukan penelitian. Apabila permohonan layak untuk diteruskan, maka Kepala Kantor akan menugaskan pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap BKC yang dimohonkan pemusnahan di Tempat Pemusnahan di Luar pabrik. Output terakhir dari kegiatan tahap pertama ini adalah diterbitkannya Berita Acara Pemeriksaan BKC oleh pejabat pemeriksa (BACK-1). Atas BKC yang telah selesai diperiksa dilakukan pengamanan dengan cara penyegelan. BKC selanjutnya akan ditimbun di Tempat Pemusnahan sambil menunggu persetujuan pemusnahan dari Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi Tempat Pemusnahan. hal 201

211 Selanjutnya, Kepala Kantor tempat pemeriksaan BKC menyampaikan pemberitahuan CK-5 kepada Kepala Kantor pengawasan Pabrik. Sampai disini tahap pertama kegiatan selesai. Kegiatan berikutnya dapat dilanjutkan pada tahap kedua, yaitu permohonan pengolahan kembali atau pemusnahan BKC dengan pengajuan PBCK-3. Selanjutnya tahapan ke-2 dari proses permohonan pemusnahan BKC di Luar Pabrik adalah dengan mengajukan berkas PBCK-3 rangkap 5, yang telah dilampiri dengan copy CK-5 dan berita acara pemeriksaan BACK-1. Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi Tempat Pemusnahan melakukan penelitian dan pengadministrasian berkas dokumen PBCK-3. Kepala Kantor menerbitkan persetujuan pemusnahan dan membentuk Tim Pengawas yang beranggotakan minimal 3 orang pejabat di lingkungan KPPBC setempat. Tembusan Surat Persetujuan dan Pembentukan Tim Pengawas disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor yang mengawasi pabrik. Tim Pengawas melakukan kegiatan pengawasan atas pelaksanaan pengolahan kembali atau pemusnahan. Sebelum pengolahan kembali atau pemusnahan dilakukan pengecekan terlebih dahulu, sebagai berikut: 1) mencocokkan jumlah, jenis, merek, tanda atau nomor pengenal koli serta jenis segel atau tanda pengaman sebagaimana yang tertera pada BACK-1. 2) memeriksa keutuhan segel atau tanda pengaman BKC yang akan diolah kembali atau dimusnahkan. 3) dalam hal segel sebagaimana huruf c kedapatan utuh, melakukan pemeriksaan secara acak, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari jumlah BKC yang akan diolah kembali atau dimusnahkan dan paling sedikit 2 koli. Dalam hal kedapatan rusak atau dalam hal hasil pemeriksaan awal kedapatan tidak sesuai, melakukan pemeriksaan 100% (seratus persen) terhadap BKC yang bersangkutan. Sebagai output kegiatan pengawasan yang dilakukan maka Tim Pengawas membuat Berita Acara Pemusnahan atau Pengolahan Kembali BKC (BACK-3). Selanjutnya berkas berupa PBCK-3 lembar asli dan lembar tembusan, pemberitahuan mutasi BKC (CK-5) lembar asli, BACK-1 lembar asli beserta hal 202

212 BACK-3 lembar asli dan lembar tembusan dikirimkan kepada Kepala Kantor yang mengawasi pabrik. Berkas BACK-3 dan lampirannya tersebut akan menjadi dasar diterbitkannya dokumen Tanda Bukti Perusakan Pita Cukai (CK-2) oleh Kepala Kantor yang mengawasi pabrik. C. Pengolahan Kembali atau Pemusnahan BKC yang Pelunasannya dengan Pembayaran 1. Subyek yang Berhak Mendapat Pengembalian Cukai Pengembalian cukai atas kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan BKC yang dibuat di Indonesia yang pelunasannya dengan cara pembayaran hanya diberikan kepada Pengusaha Pabrik. Pembatasan subyek yang berhak untuk mendapatkan pengembalian cukai terbatas hanya kepada pengusaha pabrik adalah untuk mencegah penyalahgunaan pengembalian cukai oleh pihak yang tidak berhak. Disamping hal tersebut kedudukan pengusaha pabrik adalah sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap hutang cukai. Dengan demikian ketentuan pengembalian cukai tidak dapat diberikan kepada Pengusaha Penyalur atau Tempat penjualan Eceran apabila BKC yang dijualnya disita oleh instansi terkait dan dimusnahkan di luar ketentuan Undang-undang Cukai. 2. Ketentuan dan Persyaratan Sebelum melakukan kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan pengusaha pabrik harus mendapatkan persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai setempat. Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan pengolahan kembali atau pemusnahan adalah: 1) Kepala KPPBC Tipe A1 ke bawah yang mengawasi pabrik, dalam hal nilai cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp ,- (seratus juta rupiah); 2) Kepala KPPPBC Tipe Madya, dalam hal nilai cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp ,- (lima ratus juta rupiah). 3) Kepala Kantor wilayah atau Kepala KPU Bea dan Cukai dalam hal nilai cukai melebihi batasan poin 1) dan 2) diatas. hal 203

213 Pemusnahan atau pengolahan kembali atas BKC yang telah dilunasi cukainya hanya dapat dilakukan oleh Pengusaha Pabrik dan pelaksanaannya dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai setempat. Untuk melaksanakan tugas pengawasan tersebut, Kepala Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi pabrik membentuk Tim Pengawas yang beranggotakan Pejabat Bea dan Cukai dari Kantor setempat. Khusus permohonan pengolahan kembali atau pemusnahan yang nilainya melebihi Rp ,- Tim Pengawas beranggotakan pejabat dari Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang dimasukkan ke dalam pabrik yang berasal dari peredaran bebas dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu tahun anggaran. Apabila pengusaha pabrik bermaksud melakukan kegiatan pemusnahan atau pengolahan lebih dari dua kali, maka yang bersangkutan harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah. Pengembalian cukai atas pengolahan kembali atau pemusnahan BKC terlebih dahulu diperhitungkan dengan utang cukai. Dalam hal pengusaha pabrik tidak memiliki utang cukai, pengembalian cukai atas permintaannya dikembalikan kepada pengusaha pabrik sesuai ketentuan yang berlaku. 3. Mekanisme Pengolahan Kembali atau Pemusnahan Pengusaha Pabrik harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor sebelum pemasukan BKC yang telah dilunasi cukainya dari peredaran bebas ke dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan dengan menggunakan CK-5. Pemasukan kembali BKC tersebut dari peredaran bebas ke dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal CK-5. Apabila jangka waktu 30 hari tersebut tersebut tidak dipenuhi, atas pengolahan kembali BKC atau pemusnahan tidak diberikan pengembalian cukai. Apabila tanggal pemasukan jatuh pada hari libur atau yang diliburkan, maka pemasukan dilakukan pada hari kerja terakhir sebelum hari libur atau yang diliburkan. hal 204

214 Apabila kegiatan pemusnahan BKC akan dilakukan di luar pabrik, maka Pengusaha Pabrik dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Kantor setempat. Pemusnahan BKC yang dilakukan di luar pabrik hanya diberikan untuk BKC dengan nilai cukai sampai dengan Rp ,- (seratus juta rupiah). Atas permohonan tertulis pengusaha pabrik, Kepala Kantor memberikan putusannya. Kegiatan pemusnahan BKC di luar pabrik hanya dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu tahun anggaran. Dalam hal pemusnahan BKC dilakukan di beberapa tempat pemusnahan secara bersamaan, maka kegiatan tersebut dihitung sama dengan satu kali pemberian persetujuan pemusnahan di luar pabrik. Alur proses permohonan pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang pelunasannya dengan cara pembayaran pada dasarnya sama saja dengan flowchart sederhana yang kami gambarkan dalam Gambar 7.2 dan 7.4 sebelumnya. RANGKUMAN : Sebagai rangkuman materi kegiatan belajar Bab 7 dapat disampaikan sebagai berikut: Pengertian pengolahan kembali BKC adalah kegiatan menarik kembali BKC yang sudah dilunasi cukainya dari peredaran bebas ke dalam pabrik untuk dilakukan pengolahan kembali. Pengertian pemusnahan BKC adalah kegiatan penarikan BKC yang sudah dilunasi cukainya dari peredararan bebas untuk dilakukan pemusnahan di dalam pabrik atau di tempat-tempat lainnya dibawah pengawasan DJBC. Pengolahan kembali atau pemusnahan BKC yang dilakukan oleh pengusaha Pabrik bertujuan untuk pengembalian cukai. Pengembalian cukai atas kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan BKC yang dibuat di Indonesia yang pelunasannya dengan cara pembayaran hanya diberikan kepada Pengusaha Pabrik. Pengertian kegiatan pemasukan dan pengeluaran BKC adalah pemasukan atau pengeluaran ke dan dari Pabrik/Tempat Penyimpan atas BKC yang hal 205

215 cukainya belum dilunasi. Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang cara pelunasannya dengan pembayaran, yang dimasukkan ke dalam pabrik dan berasal dari peredaran bebas dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu tahun anggaran. Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang telah dilekati pita cukainya yang masih berada di dalam pabrik, hanya dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu bulan. Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang telah dilekati pita cukainya yang berasal dari peredaran bebas hanya dapat dilakukan paling banyak 4 (empat) kali dalam satu tahun anggaran. Pemusnahan BKC yang berasal dari peredaran bebas untuk dilakukan pemusnahan di luar pabrik hanya diberikan untuk permohonan dengan nilai cukai maksimal Rp 100 juta. Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan pengolahan kembali atau pemusnahan adalah sebagai berikut: Kepala KPPBC Tipe A1 ke bawah yang mengawasi pabrik, dalam hal nilai cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp ,- (seratus juta rupiah); Kepala KPPPBC Tipe Madya, dalam hal nilai cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp ,- (lima ratus juta rupiah). Kepala Kantor wilayah atau Kepala KPU Bea dan Cukai dalam hal nilai cukai melebihi batasan poin a dan b diatas. Terhadap permohonan pengembalian cukai atas pengolahan kembali dan pemusnahan BKC akan dikenakan pungutan berupa biaya pengganti pencetakan pita cukai (khusus BKC yang cara pelunasannya dengan pelakatan pita cukai) hal 206

216 LATIHAN : Untuk menguji pemahaman anda dalam materi kegiatan belajar Bab 7, silahkan anda kerjakan soal-soal latihan berikut: 1) Jelaskan konsep pengolahan kembali dan pemusnahan, dan jelaskan mengapa atas kegiatan tersebut diberikan pengembalian cukai! 2) Seorang distributor MMEA mengumpulkan produk-produk yang sudah kadaluwarsa di pasar untuk dikembalikan ke pabrik pembuatnya. Jelaskan apakah kegiatan tersebut dapat diberikan pengembalian cukai! 3) Jelaskan mekanisme pemusnahan BKC hasil tembakau yang akan dilakukan di luar pabrik yang dapat diberikan pengembalian cukai! 4) Jelaskan batasan kewenangan pejabat Kepala kantor terkait dengan pemberian persetujuan pemusnahan atau pengolahan kembali! 5) Jelaskan batasan dan persyaratan pengajuan permohonan pengolahan kembali dan pemusnahan, untuk masing-masing kategori BKC! hal 207

217 BAB KEWENANGAN PEJABAT BEA DAN CUKAI 8 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang kewenangan pejabat Bea dan dan Cukai A. Gambaran Umum Ketentuan umum di bidang cukai sebagaimana diatur dalam Undang-undang Cukai membawa konsekuensi adanya hak dan kewajiban bagi wajib cukai dan juga pihak pemungut cukai (fiskus). Hak yang dimiliki oleh wajib cukai antara lain: hak mendapatkan fasilitas dan kemudahan di bidang cukai, hak mengajukan keberatan, banding dan gugatan atas putusan pejabat Bea dan cukai, hak mendapatkan pelayanan yang baik dalam prosedur tata laksana di bidang cukai, dan sebagainya. Disisi lain, wajib cukai diwajibkan untuk memenuhi segala ketentuan yang diatur dalam Undang-undang cukai, antara lain: perizinan di bidang cukai, mengajukan pemberitahuan kegiatan di bidang cukai, membuat laporan-laporan di bidang cukai, membuat pembukuan atau pencatatan, melunasi pungutan cukai, memenuhi ketentuan larangan, dan sebagainya. Dari sisi fiskus, kewajiban yang harus dipenuhi oleh DJBC erat kaitannya dengan tugas pengawasan dan pelayanan terhadap subyek cukai. Dalam rangka pelayanan di bidang cukai, DJBC berkewajiban memberikan pelayanan yang baik, memberikan fasilitas dan kemudahan di bidang cukai sesuai ketentuan, memungut cukai dan penerimaan terkait cukai lannya, dan sebagainya. Dalam hal 208

218 rangka pengawasan dibidang cukai, DJBC berkewajiban melakukan pengawasan terhadap kegiatan mutasi BKC, pencacahan BKC tertentu, dan sebagainya. Disamping kewajiban tersebut, pejabat Bea dan Cukai diberikan hak oleh Undang-undang Cukai untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam Undang-undang cukai. Hak yang diberikan kepada pejabat Bea dan Cukai terwujud dalam bentuk kewenangan pengawasan terhadap BKC dan barang lain yang terkait dengannya, maupun para pengusaha atau orang yang terlibat didalam ketentuan Undang-undang Cukai. Jenis kewenangan pejabat Bea dan Cukai dalam melaksanakan Undangundang Cukai pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Kewenangan umum atau kewenangan administrasi Referensi aturan yang menjadi dasar pelaksanaan kewenangan umum pejabat Bea dan Cukai diatur dalam pasal 33 s.d. pasal 40 Undang-undang Cukai. Yang termasuk kriteria kewenangan umum ini antara lain: penindakan di bidang cukai; pemblokiran pemesanan pita cukai; meminta bantuan aparat Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia dan instansi lainnya; audit di bidang cukai, dan sebagainya. 2) Kewenangan khusus atau kewenangan yuridis Referensi aturan yang menjadi dasar pelaksanaan kewenangan khusus antara lain: pasal 40A Undang-undang Cukai yang mengatur mengenai kewenangan khusus Direktur Jenderal Bea dan Cukai, pasal 63 dan 64 Undang-undang Cukai mengenai penyidikan di bidang cukai. B. Kewenangan Umum 1. Pengertian dan Jenis Kewenangan Umum Secara definisi pengertian kewenangan umum adalah kewenangan pejabat Bea dan Cukai untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka penegakan aturan di bidang Cukai. Tindakan yang dilakukan tersebut dapat terkait dengan BKC, barang lain yang terkait dengan BKC, sarana pengangkut, bangunan atau tempat lain, pembukuan atau pencatatan pengusaha BKC, maupun pelayanan pemesanan pita cukai. Istilah kewenangan umum ini menurut hal 209

219 referensi Undang-undang Cukai dapat juga dimaknai sebagai kewenangan administratif di bidang cukai. Sifat kewenangan umum ini dapat melekat kepada siapa saja pejabat Bea dan Cukai yang sedang menjalankan tugas. Untuk melaksanakan kewenangan yang bersifat umum, seorang pejabat Bea dan Cukai harus berdasarkan Surat Perintah Penindakan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kepala Kantor atau Pejabat yang ditunjuk untuk menangani pengawasan. Surat Perintah Penindakan paling sedikit memuat: Nama pejabat Bea dan Cukai yang diperintahkan; Alasan dan tujuan penindakan; Jangka waktu berlakunya surat perintah penindakan; Kewajiban membuat laporan hasil penindakan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, Surat Perintah Penindakan tidak diperlukan antara lain dalam hal: 1) Pengejaran terus menerus atas orang atau pengangkut, dan/atau sarana pengangkut yang patut diduga melanggaran peraturan perundang-undangan cukai. 2) Pengawasan secara tetap atau berkala, terhadap pabrik, tempat penyimpanan dan/atau tempat lain yang didalamnya terdapat BKC. 3) Audit cukai, kecuali audit investigasi dugaan adanya tindak pidana. 4) Terdapat kekhawatiran pelaku pelanggaran akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, melakukan penindakan terhadap: Orang atau pengangkut, dan/atau sarana pengangkut; atau Pabrik, Tempat Penyimpanan, dan/atau tempat lain yang didalamnya. Jenis-jenis Kewenangan Umum Berdasarkan ketentuan pasal 33 s.d. 40 Undang-undang Cukai, kewenangan umum dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: 1) Kewenangan untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC berupa tindakan: penghentian, pemeriksaan, penegahan dan penyegelan; hal 210

220 2) Kewenangan untuk mengambil tindakan berupa tidak melayani pemesanan pita cukai (CK-1/CK-1A) atau tanda pelunasan cukai lainnya; 3) Kewenangan untuk menegah BKC, barang lain yang terkait dengan BKC dan juga sarana pengakut yang terkait dengan BKC; 4) Kewenganan pemeriksaan terhadap pabrik, tempat penyimpanan, tempattempat lainnya dan bangunan; 5) Kewenangan audit di bidang cukai terhadap pengusaha BKC dan pengusaha penerima fasilitas cukai; 6) Kewenangan untuk melakukan penyegelan yang diperlukan terhadap bagian-bagian dari pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir, tempat usaha penyalur, tempat penjualan eceran, tempat lain, atau sarana pengangkut yang didalamnya terdapat BKC. 2. Kewenangan Penindakan tehadap BKC atau Barang Lain yang Terkait dengan BKC Dalam lingkup kewenangan administratif, pejabat Bea dan Cukai berhak untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan terhadap BKC atau barang lain yang terkait dengan BKC, dalam rangka penegakan aturan di bidang cukai. Bentuk-bentuk tindakan yang diperlukan tersebut berupa: penghentian, pemeriksaan, penegahan dan penyegalan terhadap BKC atau barang lain yang terkait dengan BKC. Bahkan, apabila diperlukan dapat saja pejabat Bea dan Cukai melakukan tindakan penegahan dan penyegelan terhadap sarana pengangkutnya. Sebelum diuraikan lebih jauh mengenai kewenangan penindakan di bidang cukai ini, ada baiknya penulis jelaskan terlebih dahulu pengertian barang lain yang terkait dengan BKC. Istilah tersebut merujuk kepada pengertian bahwa barang-barang yang bukan merupakan BKC akan tetapi masih memiliki keterkaitan erat dengan dugaan tindak pelanggaran di bidang cukai. Sebagai contoh: pita cukai yang diindikasikan palsu, mesin pembuat pita cukai palsu, dsb. Harus dipahami bahwa kewenangan penindakan di bidang cukai bersifat selektif dan harus benar-benar didasarkan atas informasi dan/atau fakta yang akurat. Untuk keperluan penindakan tersebut, pejabat Bea dan Cukai dapat hal 211

221 dilengkapi dengan senjata api serta dapat meminta bantuan Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia dan instansi terkait lainnya. Segera setelah melakukan penindakan cukai, pejabat yang ditunjuk melakukan penindakan wajib melaporkan secara tertulis kepada DirekturJenderal atau pejabat yang ditunjuk, dalam waktu paling lama 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam dengan membawa orang, pengangkut, dan/atau sarana pengangkut bersama barang bukti pelanggaran ke Kantor DJBC. Apabila barang bukti tidak memungkinkan untuk dibawa, maka terhadap barang bukti tersebut dapat dilakukan penyegelan untuk pengamanannya. Dalam kegiatan penindakan cukai terhadap BKC atau barang lain yang dibawa oleh sarana pengangkut maka tindakan penghentian, pemeriksaan, penegahan hingga penyegelan, merupakan tindakan yang berkesinambungan dan tidak boleh terputus. Setelah melakukan tindakan penghentian, maka pejabat Bea dan Cukai harus segera melanjutkan dengan tindakan pemeriksaan terhadap BKC atau barang lain yang dibawa oleh sarana pengangkut tersebut. Kemudian harus segera diputuskan, apakah akan dilakukan penegahan atau tidak terhadap BKC/barang lain/sarana pengangkut tersebut. Penghentian Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk menghentikan BKC dan sarana pengangkut dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada dalam sarana pengangkut. Tindakan penghentian harus dilakukan secara selektif berdasarkan adanya informasi adanya dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan dibidang cukai. Istilah sarana pengangkut yang dimaksud adalah; 1) Alat yang digunakan untuk mengangkut BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC didarat, diair, atau dudara; dan 2) Orang pribadi yang mengangkut/membawa BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC. Penghentian terhadap sarana pengangkut dilakukan dengan menggunakan isyarat kepada pengangkut berupa; isyarat tangan, bunyi, lampu, radio dan hal 212

222 isyarat lainnya yang lazim digunakan. Atas perintah penghentian terhadap orang dan/atau pengangkut tersebut, maka yang bersangkutan wajib berhenti dan bagi yang menggunakan sarana pengangkut wajib menghentikan sarana pengangkutnya atau menghentikan kegiatan mengangkutnya. Kemudian pengangkut diminta untuk menunjukkan dokumen cukai dan/atau pelengkap cukai yang diwajibkan. Disisi lain Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan kegiatan ini wajib menunjukkan Surat Perintah Penindakan dan juga identitas yang jelas sebagai pejabat Bea dan Cukai. Tindakan selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan terhadap BKC atau barang lain atau sarana pengangkut yang dihentikan. Pemeriksaan Kewenangan pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan pada dasarnya ditujukan untuk membuat terang dan jelas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Ruang lingkup kewenangan pemeriksaan tidak hanya dilakukan dalam lingkup pemeriksaan BKC yang diangkut dengan sarana pengangkut, akan tetapi juga pemeriksaan terhadap pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir, penyalur, tempat penjualan eceran dan temapat-tempat lain yang terkait dengan dugaan pelanggaran. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan informasi adanya dugaan pelanggaran di bidang cukai atau dalam rangka pelaksanaan tugas rutin berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Sebelum pemeriksaan, pejabat Bea dan Cukai wajib menunjukkan Surat Perintah Penindakan kepada pengusaha pabrik, tempat penyimpanan atau orang yang menguasai tempat lain yang digunakan untuk menyimpan BKC atau barang lain yang terkait BKC yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan. Berkaitan dengan pemeriksaan BKC/barang lain/sarana pengangkut, pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap: 1) Sarana pengangkut, BKC, dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada disarana pengangkut. hal 213

223 2) BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada disarana pengangkut. 3) Memerintahkan kepada pengangkut untuk membuka pengemas BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC. 4) Meminta keterangan baik kepada pengusaha pabrik maupun karyawan perusahaan atau orang yang menguasai sarana pengangkut, BKC atau barang lain yang terkait. Dalam hal perintah Pejabat Bea dan Cukai tidak dipenuhi, pejabat Bea dan Cukai dapat membuka sendiri: 1) Sarana pengangkut yang digunakan mengangkut BKC yang dipakai di darat, di udara maupun yang dipakai di air dan orang pribadi yang membawa BKC atau barang lain yang terkait. 2) Pengemas BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC. Atas pemeriksaan dimaksud dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Khusus terhadap sarana pengangkut yang telah disegel oleh Dinas Pos atau Penegak hukum lain, maka pemeriksaan tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pejabat Bea dan Cukai. Pemeriksaan hanya dapat dilakukan pembukaan segel dan diperiksa bersama-sama dengan dinas pos atau penegak hukum lain yang menyegel BKC/Tempat tersebut. Untuk melakukan pemeriksaan sarana pengangkut, sebaiknya dilakukan pemeriksaan di lokasi kejadian, namun tetap memperhatikan kepentingan umum lain. Sebagai contoh: jangan memeriksa ditengah jalan karena dapat mengganggu kelancaran lalu lintas, jangan memeriksa di tengah keramaian karena dapat mengundang massa yang tidak paham dengan tugas DJBC. Apabila tidak dapat diperiksa ditempat, maka sebaiknya dibawa ke Kantor atau tempat lain yang layak guna memudahkan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan terhadap BKC/barang lain/sarana pengangkut dapat berupa alternatif sebagai berikut: 1) Dalam hal hasil pemeriksaan tidak menunjukkan adanya pelanggaran, terhadap sarana pengangkut berikut BKC dan/atau barang lain yang terkait hal 214

224 dengan BKC yang berada di sarana pengangkut diizinkan untuk meneruskan perjalanan. 2) Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan adanya pelanggaran di bidang cukai, Pejabat Bea dan Cukai berwenang menegah sarana pengangkut, BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada di sarana pengangkut. 3) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap sarana pengangkut menunjukkan adanya dugaan pelanggaran tindak pidana di bidang cukai, sarana pengangkut berikut BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang dibawa, diserahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil DJBC. Atas hasil pemeriksaan tersebut, kepada Pengangkut diberikan berita acara pemeriksaan. Apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran ketentuan perundang-undangan cukai, maka pejabat Bea dan Cukai menegah sarana pengangkut, BKC dan/atau barang lain yang terkait. Berkaitan dengan kewenangan pemeriksaan bangunan, Pejabat Bea dan Cukai diberikan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap: 1) Pabrik, Tempat Penyimpanan atau tempat lain yang digunakan untuk menyimpan BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang belum dilunasi cukainya atau yang mendapat pembebasan cukai ; 2) Bangunan atau tempat lain yang berhubungan dengan pabrik, tempat penyimpanan atau tempat lainnya, BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan tempat-tempat yang diperiksa tersebut; 3) Meminta catatan sediaan barang, dokumen cukai dan dokumen pelengkap cukai yang wajib diselenggarakan menurut undang-undang cukai. 4) Meminta keterangan yang diperlukan baik kepada pengusaha pabrik maupun karyawan, atau orang menguasai pabrik, tempat penyimpanan dan tempat lain yang terkait dengan BKC. Kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha pabrik, tempat penyimpanan atau tempat lain terkait dengan pemeriksaan, wajib menunjukan; 1) Tempat- tempat yang menjadi bagian dari bangunan yang diperiksa 2) BKC atau barang lain yang terkait. hal 215

225 Dalam hal pengusaha atau orang mengusai pabrik, tempat penyimpanan, bangunan atau tempat lain tidak bersedia atau menghalangi pemeriksaan, maka pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk membuka dan melakukan pemeriksaan sendiri. Pemeriksaan sendiri tersebut haruslah disaksikan oleh pengusaha atau orang yang menguasai, atau ketua RT/RW, atau aparatur dilingkungan sekitar pabrik, tempat penyimpanan, bangunan atau tempat lain yang dilakukan pemeriksaan. Apabila didapati adanya pelanggaran dibidang cukai dan lokasi pabrik dan BKC tidak mungkin dilakukan pengawasan terus-menerus oleh pejabat Bea dan Cukai, maka dapat dilakukan penyegelan atas bangunan atau tempat-tempat atau bagian-bagian lain yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan. Penegahan Pejabat Bea dan Cukai berwenang menegah BKC/barang lain maupun sarana pengangkut yang terkait dengan pelanggaran di bidang cukai. Berdasarkan konsep aturan Undang-undang Cukai, penegahan didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk: 1) menunda pengeluaran, pemuatan, atau pengangkutan terhadap BKC dan/atau barang lainnya yang terkait dengan BKC; dan/atau 2) mencegah keberangkatan sarana pengangkut. Dalam menjalankan penindakan di bidang cukai, pejabat Bea dan Cukai memiliki kewenangan untuk menegah: 1) Sarana pengangkut, BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada dalam sarana pengangkut; atau 2) BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada di pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha penyalur, TPE dan tempat-tempat bedasarkan dugaan adanya pelanggaran atau adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dibidang cukai. Kegiatan penegahan bertujuan untuk mengambil tindakan penyelesaian atas pelangggaran yang dibuat. Jangka waktu yang diperkenankan untuk melakukan penegahan adalah selama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal hal 216

226 penegahan. Kemudian, penyelesaian atas tindakan penegahan dapat dilakukan dengan cara-cara antara lain: 1) Menerbitkan STCK.1 penagihan dan pengenaan denda. 2) Menyerahkan kepada PPNS jika diduga merupakan tindak pidana cukai 3) Menyerahkan kepada penyidik umum jika hal tersebut adalah tindak pidana selain tindak pidana cukai; 4) Melepaskan sarana pengangkut/bkc atau barang lain jika dalam penegahan dan pemeriksaan tidak ditemukan adanya pelanggaran. Penyegelan Penyegelan adalah tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman. Hal ini dilakukan untuk menjamin pengawasan yang lebih baik dalam rangka pengamanan keuangan negara. Kewenangan penyegelan dapat dilaksanakan terhadap obyek-obyek sebagai berikut: 1) Bagian-bagian dari pabrik atau tempat penyimpanan; 2) Tempat lain yang didalamnya terdapat BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC 3) Bagian tempat usaha importir BKC, tempat usaha penyalur dan/atau TPE 4) Sarana pengangkut yang didalamnya terdapat BKC dan/atau barang lain yang terkait BKC; 5) BKC dan/atau barang lain yang terkait; 6) Bangunan atau ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan lainnya, sediaan barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting, serta melakukan pemeriksaan ditempat tersebut. hal 217

227 Pada dasarnya tindakan penyegelan merupakan tindakan alternatif apabila dipandang diperlukan. Alasan-alasan yang dapat menjadi dasar dilakukan tindakan penyegelan adalah: Berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran saat pemeriksaan sarana pengangkut, BKC dan/atau barang lain yang terkait; Berdasarkan hasil pemeriksaan adanya pelanggaran saat pemeriksaan di pabrik, bangunan atau tempat, BKC dan/atau barang lain yang terkait; Untuk menjamin laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen lain yang berkaitan dengan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan dibidang cukai dan barang yang penting agar tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak dipindahkan sampai dengan pemeriksaan dan/atau tindakan dilanjutkan; Tidak dimungkinkan untuk dilakukan pengawasan terus menerus oleh pejabat Bea dan Cukai; Diperlukan pengamanan atas BKC yang belum dilunasi cukainya, yang belum dipungut cukainya, dan/atau yang mendapat pembebasan cukai; atau Adanya dugaan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan dibidang cukai. Untuk setiap tindakan penyegelan yang dilakukan oleh pejabat Bea dan Cukai wajib dibuatkan Berita Acara Penyegelan yang ditandatangani oleh Pejabat Bea dan Cukai dan pengusaha/pengangkut, atau pihak yang menguasai bangunan, sarana pengangkut, BKC atau barang lainnya yang terkait dengan BKC, pada saat dilakukan penyegelan. Berita acara penyegelan paling sedikit memuat: Nomor dan jenis kunci, segel atau tanda pengaman; Waktu penyegelan atau pelekatan tanda pengaman; Jumlah dan objek yang dilakukan penyegelan; Alasan penyegelan, segel atau tanda pengaman; dan Nama,NIP, dan tanda tangan pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penyegelan kunci, segel atau tanda pengaman. Terhadap obyek BKC, sarana pengangkut dan bangunan yang disegel, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: hal 218

228 Kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang tidak boleh dibuka, dilepas, dirusak, atau dilakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga kunci, segel, atau tanda pengaman tidak berfungsi sebagaimana mestinya, tanpa izin Pejabat Bea dan Cukai Atas bangunan, bagian dari bangunan, atau tempat lain yang disegel, tidak boleh dimasuki, melakukan kegiatan di dalamnya, atau memindahkan barang-barang yang ada di dalamnya. Setiap tindakan yang menyangkut pembukaan segel atau memasuki bangunan secara tidak sah, dapat dinyatakan sebagai tindakan perusakan segel; Orang yang memiliki atau yang menguasai objek penyegelan bertanggung jawab atas keutuhan kunci, segel, atau tanda pengaman lain sampai dengan berakhirnya penyegelan. Tindakan pembukaan segel karena telah berakhirnya tindakan pengamanan terhadap obyek penyegelan dilakukan dengan membuat Berita Acara Pembukaan Segel. Berita Acara tersebut harus ditandatangani oleh pejabat Bea dan Cukai dan pihak yang menguasai obyek penyegelan. 3. Kewenangan Pejabat Bea dan Cukai untuk Tidak Melayani Pemesanan Pita Cukai Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Cukai, pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan tindakan berupa tidak melayani pemesanan pita cukai yang diajukan oleh pengusaha pabrik atau importir. Tindakan ini merupakan bentuk sanksi pemblokiran sementara terhadap pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan di bidang cukai sebagaimana mestinya. Untuk melakukan tindakan ini, maka seyogyanya pejabat Bea dan Cukai yang mengambil tindakan harus mendapatkan Surat Perintah Penindakan dari Kepala Kantor Bea dan Cukai. Beberapa kategori pelanggaran yang menjadi dasar tindakan pemblokiran atas pengajuan dokumen pemesanan pita cukai adalah: hal 219

229 pengusaha pabrik atau importir BKC diduga melakukan pelanggaran pidana. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya surat bukti penindakan atau adanya rekomendasi dari unit penindakan atau penyidikan DJBC; pengusaha pabrik atau importir yang mendapat penundaan pembayaran cukai yang mempertaruhkan jaminan, tidak menyelesaikan pembayaran cukai sampai dengan jatuh tempo; pengusaha pabrik atau importir BKC tidak menyelesaikan utang cukai, kekurangan cukai dan sanksi administrasi berupa denda sampai dengan jatuh tempo pembayaran; pengusaha pabrik atau importir BKC tidak membayar biaya pengganti pencetakan pita cukai dalam jangka waktu yang ditentukan (paling lama 30 hari sejak diterima surat tagihan). Tindakan pemblokiran terhadap dokumen pemesanan pita cukai akan berakhir dan pemesanan pita cukai dapat dilayani kembali oleh Pejabat Bea dan Cukai, apabila: pengusaha pabrik atau importir BKC tidak terbukti melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai; pengusaha pabrik yang mendapat penundaan pembayaran cukai dengan menyerahkan jaminan perusahaan, telah membayar utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya dan sanksi administrasi berupa denda atau telah mendapat persetujuan pengangsuran; pengusaha pabrik atau importir BKC telah menyelesaikan utang cukai, kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda sampai dengan jatuh tempo pembayaran serta kewajiban bunga yang timbul; atau pengusaha pabrik atau importir BKC telah membayar biaya pengganti pencetakan pita cukai. Perlu diingat bahwa setiap kegiatan penindakan yang dilakukan oleh pejabat Bea dan Cukai wajib dibuatkan surat bukti penindakan (SBP). Dikecualikan dari kewajiban penyerahan SBP adalah kegiatan penindakan dalam rangka audit di bidang cukai. hal 220

230 4. Kewenangan Audit di Bidang Cukai Berdasarkan ketentuan pasal 39 Undang-undang Cukai Pejabat Bea dan Cukai diberikan kewenangan untuk melakukan audit terhadap pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir BKC, penyalur dan pengguna BKC yang mendapatkan fasilitas pembebasan. Tujuan audit di bidang cukai adalah untuk menguji tingkat kepatuhan pengusaha BKC atau pengusaha yang mendapat fasilitas cukai, dalam pelaksanaan pemenuhan ketentuan dalam undang-undang cukai dan peraturan pelaksanannya. Ketentuan operasional mengenai audit di bidang cukai diatur dalam PMK nomor 91/PMK.04/2008 tentang Audit Cukai. Definisi audit cukai menurut PMK tersebut adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan, laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai. Pelaksanaan audit di bidang cukai dilaksanakan oleh Tim Audit yang terdiri dari: Pengawas Mutu audit (PMA), Pengendali teknis Audit (PTA), Ketua Auditor dan anggota minimal sebanyak satu Auditor. Jenis audit di bidang cukai dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) Audit umum, yaitu audit yang memiliki ruang lingkup menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban cukai. 2) Audit khusus, yaitu audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan tertentu terhadap pemenuhan kewajiban tertentu. 3) Audit Investigasi, yaitu audit yang dilakukan untuk menyelidiki dugaan tindak pidana dibidang cukai. Dalam melaksanakan Audit, Tim Audit yang mendapatkan surat tugas ataupun surat perintah dari Direktur Jenderal atau Kepala Kantor, diberikan wewenang berdasarkan Undang-undang Cukai, untuk : meminta laporan keuangan; buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan hal 221

231 usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai; meminta keterangan lisan dan/atau tertulis kepada pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir BKC, penyalur, pengguna BKC yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai, dan/atau pihak lain yang terkait; memasuki bangunan atau ruangan tempat untuk menyimpan. laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, sediaan barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting, serta melakukan pemeriksaan di tempat tersebut; melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap bangunan atau ruangan penyimpanan. 5. Penyerahan Perkara atas Dugaan Pelanggaran Cukai dari Instansi Penegak Hukum Lain Dalam hal penegakan aturan cukai, Undang-undang Cukai merupakan Undang-undang yang memiliki kedudukan sebagai lex specialist terhadap Undang-undang lainnya. Dalam prinsip ilmur hukum berlaku prinsip lex spesialis derogat lex generalis, yang artinya bahwa ketentuan khusus dapat menyampingkan ketentuan dalam UU yang bersifat umum. Konsekuensi prinsip dasar ini adalah dimungkinkan adanya penyerahan perkara di bidang cukai oleh penegak hukum lain kepada DJBC. Dalam penyerahan perkara tersebut, berikut: hendanya dilakukan sesuai ketentuan sebagai 1) Penindakan tersebut karena tertangkap tangan oleh penegak hukum lainnya; 2) Telah dilakukan penelitian/penyelidikan awal oleh penegak hukum tersebut mengenai kesalahan, telah memiliki bukti permulaan yang cukup, dan orang yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut; hal 222

232 3) Paling sedikit dilengkapi dengan laporan kejadian/laporan polisi, pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan awal yang dituangkan dalam berita acara, dan kesimpulan pemeriksaan. Atas penyerahan perkara kepada DJBC tersebut, pejabat Bea dan Cukai yang menerima berkas penyerahan tersebut melakukan penelitian. Hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Apabila tidak ditemukan adanya dugaan pelanggaran pidana, maka pejabat Bea dan Cukai menyampaikan surat pemberitahuan mengenai penolakan kepada penegak hukum lain yang melakukan penindakan dibidang cukai serta alasan penolakan. Tembusan surat penolakan disampaikan kepada Direktur Jenderal sebagai laporan. Apabila ditemukan adanya dugaan pelanggaran, pejabat Bea dan Cukai menindak lanjuti dengan menerima penyerahan dugaan pelanggaran yang yang ditemukan penegak hukum lain disertai barang hasil penindakan, alat bukti terkait dan orang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. Terhadap penyerahan berkas perkara di bidang cukai harus dibuatkan berita acara serah terima. C. Kewenangan Khusus Istilah kewenangan khusus pada dasarnya merupakan analogi dari konsep kewenangan umum yang diatur dalam Undang-undang Cukai. Pengertian kewenangan khusus adalah kewenangan yang bersifat khusus yang hanya dapat dijalankan oleh pejabat Bea dan Cukai tertentu. Dalam ketentuan Undangundang cukai, bentuk kewenangan khusus ini dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: kewenangan khusus Direktur Jenderal dan kewenangan penyidikan yang hanya dapat dijalankan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Bea dan Cukai. hal 223

233 1. Kewenangan Khusus Direktur Jenderal Ketentuan pasal 40A Undang-undang Cukai memberikan kewenangan khusus kepada Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan yang bersangkutan. Bentuk kewenangan khusus Direktur Jenderal, adalah: a. Membetulkan surat tagihan atau surat keputusan keberatan, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan undang-undang; atau b. Mengurangi atau menghapus sanksi adminstrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi adminstrasi karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya. Pengertian membetulkan dalam kewenangan khusus tersebut dapat berarti menambah, mengurangi atau menghapus sesuai dengan sifat kesalahan dan kekeliruan yang dibuat. Secara jabatan, Direktur Jendral memiliki kewenangan untuk membetulkan atau membatalkan surat tagihan yang tidak benar. Sebagai contoh: penerbitan surat tagihan yang tidak memenuhi persyaratan formal, meskipun persyaratan materialnya telah dipenuhi. Hal ini dilaksanakan untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sehingga apabila terdapat kekeliruan manusiawi dalam suatu penetapan perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. 2. Kewenangan Khusus Penyidikan di Bidang Cukai Kewenangan khusus lainnya yang diatur oleh Undang-undang Cukai kepada pejabat Bea dan Cukai diatur dalam pasal 63 mengenai kewenangan penyidikan. Penyidikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan penindakan maupun penyelidikan di bidang cukai, yang terkait dengan dugaan pelanggaran pidana di bidang cukai. Istilah kewenangan khusus penyidikan ini dapat juga dimaknai sebagai kewenangan yuridis. Untuk menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) maka pejabat Bea dan Cukai harus memenuhi syarat telah mengikuti pendidikan PPNS dan lulus serta mempunyai sertifikat/tanda lulus pada Diklat PPNS tersebut. Diklat PPNS diselenggarakan oleh unsur pembina penyidik yaitu Kepolisian RI. Untuk hal 224

234 menjalankan kewenangan penyidikan, seorang pejabat Bea dan Cukai terlebih dahulu harus diangkat sebagai penyidik berdasarkan Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. PPNS Bea dan Cukai karena kewajibannya berwenang; 1) menerima laporan atau keterangan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 3) melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana dibidang cukai (penangkapan dan penahanan dilakukan terutama dalam keadaan tertangkap tangan); 4) memotret dan/atau merekam melalui media audio visual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat diajukan bukti adanya tindak pidana dibidang cukai; 5) memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut undangundang ini dan pembukuan lainnya; 6) mengambil sidik jari orang; 7) menggeledah rumah tinggal, pakaian dan badan; 8) menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat didalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana dibidang cukai; 9) menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang cukai; 10) memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dipakai sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana dibidang cukai; 11) mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 12) menyuruh berhenti seorang tersangka pelaku tindak pidana dibidang cukai serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 13) menghentikan penyidikan; 14) melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang cukai menurut hukum yang bertanggung jawab. hal 225

235 Pada dasarnya penyidik dianggap mulai melakukan penyidikan, jika dalam kegiatan yang dilakukan telah menggunakan tindakan upaya paksa dari penyidik, seperti pemanggilan Untuk Keadilan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya. Untuk memulai proses penyidikan, penyidik seyogyanya telah memiliki minimal dua alat bukti yang sah. Penyidik Bea dan cukai memberitahukan dimulainya penyidikan langsung kepada penuntut umum (jaksa) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Proses penyidikan (SPDP). Penyampaian SPDP ini harus dilampiri dengan laporan kejadian, resume berita acara pemeriksaan saksi, tersangka, berita acara penggeledahan, dan sebagainya. Secara umum, kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana dibidang cukai tidak memiliki perbedaan dengan yang diterapkan dalam penyidikan kepabeanan. Kategori kegiatan-kegiatan pokok penyidikan dapat digolongkan menjadi Penindakan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara. a. Penindakan Penindakan adalah tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Harus dipahami bahwa istilah penindakan dalam kerangka kegiatan penyidikan merupakan sesuatu yang berbeda dengan istilah penindakan dalam menjalankan kewenagan umum. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam kegiatan penindakan penyidikan adalah sebagai berikut; 1) Pemanggilan tersangka dan saksi; Pejabat Bea dan Cukai yang berwenang mengeluarkan surat panggilan adalah penyidik, oleh sebab itu surat panggilan ditanda tangani oleh penyidik dan diketahui oleh Kepala Kantor. Dalam hal Kepala Kantor adalah juga adalah seorang penyidik, maka surat panggilan ditanda tangani oleh Kepala Kantor. 2) Penangkapan/Penahanan; Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana yang didasarkan bukti permulaan dan pantas diduga sebagai hal 226

236 pelaku tindak pidana atau tidak memenuhi panggilan secara syah dua kali berturut-turut. Penangkapan dapat dilakukan paling lama satu hari. Segera setelah penangkapan agar diadakan pemeriksaan untuk memperoleh hasil apakah penangkapan tersebut akan dilanjutkan dengan penahanan atau tidak. Penahanan dilakukan karena adanya dugaan kuat atau kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Perintah penahanan oleh penyidik hanya paling lama 20 hari, tetapi apabila diperlukan dapat diperpanjang paling lama 40 hari. 3) Penggeledahan Pelaksanaan penggeledaan harus dilakukan berdasarkan surat Perintah Penggeledahan yang didasari; Laporan kejadian, hasil pemeriksaan tersangka dan/atau saksi dan pengembangan hasil pemeriksaan tersangka atau saksi. Penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan setelah izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan terdesak. Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penggeledahan rumah disamping izin Ketua Pengadilan dan surat perintah penggeledahan juga harus disaksikan oleh aparat pemerintah setempat bersama 2 orang saksi dari lingkungan yang bersangkutan bila penghuni tidak menyetujui. 4) Penyitaaan Penyitaan dilakkan dengan surat perintah penyitaan dan telah mendapat izin khusus dari ketua pengadilan negeri. Dalam keadaan sangat perlu dan memerlukan tindakan segera, penyitaan dapat dilakukan tanpa izin dari ketua pengadilan negeri tetapi terbatas pada benda-benda bergerak dan sesudahnya segera melaporkan kepada Ketua pengadilan negeri setempat. b. Pemeriksaan Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, keidentikkan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau saperanan seseorang maupun barang bukti didalam tindak pidana tersebut menjadi jelas. Berdasarkan aturan KUHAP, yang berwenang melakukan hal 227

237 pemeriksaan adalah penyidik. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap tersangka dan saksi-saksi/ahli. c. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara Langkah terakhir dari kegiatan penyidikan adalah penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Pemberkasan merupakan kegiatan untuk memberkas isi berkas perkara dengan susunan dan syarat-syarat pengikatan serta penyegelan yang berlaku. Penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara berikut tanggung jawab tersangka dan barang buktinya kepada penuntut umum. Apabila dalam waktu 14 hari sejak berkas perkara diterima oleh penuntut umum, berkas perkara tidak dikembalikan kepada PPNS Bea dan cukai, maka penyidikan dianggap selesai (P-21). Akan tetapi, jika berkas dikembalikan oleh penuntut umum sebelum melampaui 14 hari, penuntut umum memberi petunjuk jelas yang memuat hal-hal yang harus dilengkapi, diistilahkan dengan P-19. hal 228

238 RANGKUMAN : Jenis kewenangan pejabat Bea dan Cukai dalam melaksanakan Undangundang Cukai pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) kewenangan umum disebut juga kewenangan administrasi 2) kewengan khusus atau kewenangan yuridis Kewenangan umum adalah kewenangan pejabat Bea dan Cukai untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka penegakan aturan di bidang Cukai. Sifat kewenangan umum ini dapat melekat kepada siapa saja pejabat Bea dan Cukai yang sedang menjalankan tugas. Jenis-jenis kewenangan umum yang diatur oleh Undang-undang Cukai, antara lain: 1) Kewenangan untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC berupa tindakan: penghentian, pemeriksaan, penegahan dan penyegelan; 2) Kewenangan untuk mengambil tindakan berupa tidak melayani pemesanan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya; 3) Kewenangan untuk menegah BKC, barang lain yang terkait dengan BKC dan juga sarana pengakut yang terkait dengan BKC. 4) Kewenganan pemeriksaan terhadap pabrik, tempat penyimpanan, tempat-tempat lainnya dan bangunan 5) Kewenangan audit di bidang cukai terhadap pengusaha BKC dan pengusaha penerima fasilitas cukai. 6) Kewenangan untuk melakukan penyegelan yang diperlukan terhadap bagian-bagian dari pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir, tempat usaha penyalur, tempat penjualan eceran, tempat lain, atau sarana pengangkut yang didalamnya terdapat BKC. Kewenangan khusus adalah kewenangan yang hanya dapat dijalankan oleh pejabat Bea dan Cukai tertentu. Kewenangan khusus hanya dapat dijalankan oleh Direktur Jenderal Bea dan cukai dan pejabat Bea dan Cukai tertentu yang diangkat sebagai PPNS Bea dan Cukai Jenis kewenangan khusus yang diatur dalam Undang-undang Cukai adalah: a) Kewenangan khusus Direktur Jenderal Bea dan cukai yang berkaitan hal 229

239 dengan pembetulan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atau surat keputusan keberatan; b) Kewenangan khusus pejabat Bea dan cukai yang diangkat sebagai PPNS Bea dan Cukai, untuk melaksanakan kewenagan penyidikan. LATIHAN : 1) Sebelum hasil tembakau diproduksi dan dijual secara eceran, pengusaha pabrik harus memiliki persediaan pita cukai terlebih dahulu. Jelaskan secara singkat dan gunakan flowchart sederhana bagaimana prosesnya pita cukai dapat sampai ke tempat pengusaha pabrik! 2) Mengapa pita cukai untuk hasil tembakau disediakan dalam tuga seri yang berbeda? Jelaskan alasannya menurut anda! 3) Jelaskan upaya-upaya pemerintah terhadap pencegahan atau manipulasi pungutan cukai atas BKC yang seharusnya dipungut! 4) Jelaskan mekanisme penyediaan pita cukai hasil tembakau! 5) Apa konsekuensi yang harus ditanggung pengusaha, apabila pita cukai yang telah dimohonkan penyediaannya ternyata tidak seluruhnya diajukan CK-1 atau CK-1A? Jelaskan! hal 230

240 BAB KEBERATAN DAN BANDING DI BIDANG CUKAI 9 Tujuan Pembelajaran Khusus : Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan mekanisme keberatan, banding dan gugatan di bidang cukai A. Keberatan di Bidang cukai 1. Gambaran Umum Salah satu prinsip yang dianut di dalam Undangundang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1995 tentang Cukai adalah prinsip keadilan dalam keseimbangan yang mengandung makna bahwa kewajiban cukai hanya dibebankan kepada orangorang yang memang seharusnya diwajibkan untuk itu dan semua pihak yang terkait diperlakukan dengan cara yang sama dalam hal dan kondisi yang sama pula. Apabila wajib cukai merasa tidak diperlakukan secara adil maka yang bersangkutan dapat menempuh cara-cara yang dapat memberikan rasa keadilan tersebut. Dalam hal ini Undang-undang Cukai telah memberikan sarana tersebut dalam bentuk mekanisme keberatan kepada DJBC serta pengajuan banding dan gugatan kepada Lembaga Pengadilan yang bersifat independen. Ketentuan yang mengatur mengenai Keberatan, Banding dan Gugatan adalah Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun Sebagai tindak lanjut di tingkat pelaksanaan, pemerintah telah menerbitkan PMK nomor 114/PMK.04/2008 tentang Keberatan di Bidang Cukai. Petunjuk teknis hal 231

241 pelaksanaan keberatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Nomor P-28/BC/2009 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan di Bidang Cukai sebagaimana telah diubah dengan P-36/BC Konsep Keberatan di Bidang Cukai Pengertian keberatan dalam konteks Undang-undang Cukai adalah subyek cukai tidak bisa menyetujui atau tidak bisa menerima sanksi atau keputusan yang ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai berkaitan dengan kepentingannya. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 41 ayat (2) disebutkan bahwa : Undang-undang Cukai Orang yang berkeberatan atas penetapan pejabat bea dan cukai dalam penegakan Undang-undang Cukai, yang mengakibatkan kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda, dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan dengan menyerahkan jaminan sebesar kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. Obyek yang dapat diajukan keberatan adalah penetapan pejabat Bea dan Cukai yang meliputi: 1) penetapan yang mengakibatkan kekurangan cukai; dan/atau 2) penetapan yang mengakibatkan pengenaan sanksi administrasi denda. Pengertian penetapan sebagaimana dimaksud adalah penetapan atas surat tagihan cukai (STCK-1) yang menjadi dasar bagi wajib cukai untuk melakukan pembayaran atas kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda. 3. Pejabat yang Berwenang Memutuskan Keberatan Berdasarkan ketentuan pelaksanaan keberatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, kewenangan memutuskan perkara keberatan di bidang cukai yang dimiliki Direktur Jenderal didelegasikan kepada: 1) Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC) untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan pejabat bea dan cukai yang disebabkan adanya Laporan Hasil Audit; hal 232

242 2) Kepala Kantor Wilayah untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan pejabat bea dan cukai selain yang disebabkan adanya Laporan Hasil Audit; 3) Kepala Kantor Pelayanan Utama (Kepala KPU) Bea dan Cukai untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan pejabat bea dan cukai di KPU selain yang disebabkan adanya Laporan Hasil Audit; dan 4) Kepala KPPBC untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani keputusan penolakan keberatan, dalam hal pengajuan keberatan melewati jangka waktu yang ditetapkan. 4. Persyaratan Administrasi dan Jaminan dalam Pengajuan Keberatan Persyaratan Administrasi Dalam pengajuan permohonan keberatan hal yang pertama yang harus dilakukan oleh pengusaha adalah memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjend. Kelengkapan syarat administrasi ini sangat menentukan diterima atau tidaknya permohonan keberatan yang bersangkutan. Adapun persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam pengajuan permohonan ditetapkan adalah: 1) Menggunakan formulir yang ditetapkan dan dapat diperoleh di Kantor Pengawasan dan Pelayanan maupun di KPU Bea dan Cukai setempat. 2) Melampirkan bukti penyerahan jaminan berupa jaminan tunai, jaminan bank dan jaminan dari perusahaan asuransi sebesar tagihan yang harus dibayar. 3) Melampirkan foto copy surat tagihan STCK-1. 4) Jangka waktunya masih dalam waktu paling lama 30 hari sejak diterimanya STCK-1. Jika waktu ini dilampaui, maka yang bersangkutan gugur haknya untuk mengajukan keberatan dan penetapan pejabat Bea dan Cukai dianggap diterima. Jika hari ke 30 tersebut jatuh pada hari libur atau yang hal 233

243 diliburkan atau bukan hari kerja, batas akhir pengajuan permohonan adalah pada hari kerja sebelum liburan. 5) Permohonan keberatan harus memuat alasan dan bukti yang jelas mengenai: Jenis keberatan misalnya keberatan terhadap kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda; Argumentasi atau alasan pengajuan keberatan; dan Data dan/atau bukti lain yang mendukung pengajuan keberatan. 6) Dalam hal keberatan berkaitan dengan lebih dari satu jenis penetapan, maka berkas lampiran permohonan dibuat dan dilengkapi untuk masing-masing jenis penetapan tersebut dan masing-masing diajukan dalam satu permohonan keberatan. Persyaratan jaminan Orang yang mengajukan keberatan dibidang cukai diwajibkan menyerahkan jaminan kepada bendahara penerima di kantor Bea dan Cukai. Besarnya jaminan yang wajib diserahkan adalah sebesar kekurangan cukai dan/atau denda yang ditetapkan. Penyerahan jaminan oleh yang mengajukan keberatan diberi bukti penerimaan jaminan (BPJ) oleh bendahara penerima. Jenis jaminan yang dapat diserahkan dalam rangka penjaminan di bidang cukai, mencakup: 1) Jaminan Bank; 2) Jaminan Perusahaan asuransi (excise bond); dan 3) Jaminan Perusahaan (Corporate guarantee). Jaminan bank adalah garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank, yang mewajibkan pihak bank membayar kepada pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi). Excise bond adalah sertifikat jaminan yang diterbitkan oleh surety (penjamin) yang memberikan jaminan pembayaran kewajiban cukai kepada obligee (penerima jaminan) dalam hal principal (pihak terjamin) gagal memenuhi pembayaran kewajiban cukai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jaminan perusahaan adalah surat pernyataan tertulis dari pengusaha yang berisi hal 234

244 kesanggupan untuk membayar seluruh utang cukainya kepada Direktur Jenderal atau pejabat bea dan cukai yang ditunjuk sehubungan dengan penundaan dalam jangka waktu yang ditentukan dengan menjaminkan seluruh aset perusahaannya. 5. Mekanisme Pengajuan Keberatan Pengajuan keberatan atas putusan di bidang cukai diajukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan. Dalam hal selama kurun waktu 30 hari tidak ada pengajuan keberatan, maka hak untuk mengajukan keberatan setelah jangka waktu tersebut menjadi gugur dan penetapan pejabat bea dan cukai dianggap telah disetujui. Kepala Kantor Bea dan Cukai yang menerima berkas permohonan keberatan dari pengusaha pabrik wajib meneliti : a. pemenuhan persyaratan pengajuan keberatan (adanya bukti penyerahan jaminan sebesar tagihan, fotokopi surat tagihan); b. Pemenuhan jangka waktu pengajuan keberatan Dalam hal persyaratan telah dipenuhi, maka berkas permohonan diteruskan kepada Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuknya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak berkas diterima secara lengkap. Dirjend Bea dan Cukai atau pejabat yang mendapat peimpahan wewenang harus memberikan keputusannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal berkas keberatan diterima secara lengkap dan benar. Sebelum keputusan diterbitkan, pihak yang mengajukan keberatan dapat menyampaikan alasan, penjelasan tambahan, atau bukti pendukung lain secara tertulis kepada Direktur Jenderal. Sebaliknya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai. apabila diperlukan, dapat meminta bukti dan/atau data lain yang diperlukan untuk memutuskan keberatan kepada pihak yang mengajukan keberatan atau pihak yang terkait. Dalam hal data yang diperlukan tidak lengkap, DIrektur Jenderal memberikan keputusan berdasarkan data yang telah ada. Keputusan atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, atau menolak. Apabila sampai batas waktu 60 (enam puluh) hari hal 235

245 Direktur Jenderal Bea dan Cukai tidak menerbitkan keputusan, keberatan dianggap diterima dan jaminan dicairkan. Pihak yang mengajukan keberatan dapat menanyakan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai apabila sampai dengan 70 (tujuh puluh) dari sejak batas keberatan diterima secara lengkap dan benar oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai, keputusan atas keberatan belum diterima. Atas pertanyaan tersebut Direktur Jenderal wajib menyampaikan penjelasan secara tertulis tentang penyelesaian keberatan yang bersangkutan. Dalam hal keberatan atas keputusan di bidang cukai dikabulkan, maka jaminan wajib dikembalikan kepada yang bersangkutan. Apabila keputusan atas keberatan dinyatakan ditolak, maka jaminan yang dipertaruhkan akan dicairkan untuk membayar cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. B. Pengajuan Banding 1. Konsep Banding di Bidang Cukai Berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pengertian banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Keputusan pejabat yang dapat diajukan banding adalah sengketa pajak yang timbul dalam bidang perpajakan, yang terjadi antara wajib pajak atau penaggung pajak dengan pejabat pajak (fiskus). Berdasarkan Undang-undang Cukai, orang yang berkeberatan terhadap putusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang menolak keberatan, dapat mengajukan banding ke pengadilan pajak dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penetapan atau putusan. Pasal 43A Undang-undang Cukai mengatur jenis putusan yang dapat diajukan banding ke pengadilan pajak, yaitu keputusan Direktur jenderal bea dan Cukai atas keberatan yang berkaitan dengan penetapan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda. hal 236

246 2. Persyaratan Administrasi Banding Keputusan pejabat Bea dan Cukai yang menolak keberatan yang diajukan pemohon dapat diajukan upaya hukum lanjutan berupa banding ke pengadilan pajak. Untuk mengajukan banding maka pemohon harus memenuhi persyaratan administrasi yang ditentukan. Kelengkapan syarat administrasi ini sangat menentukan diterima atau tidaknya permohonan banding yang bersangkutan. Adapun persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam pengajuan permohonan banding, antara lain: 1) Jangka waktu masih dalam 60 hari sejak putusan keberatan yang ditetapkan oleh Dirjend Bea dan Cukai saat pengajuan banding. 2) Melunasi pajak 50% dari yang disengketakan. 3) Permohonan banding diajukan dalam bahasa Indonesia. 4) Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding. 5) Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding. 3. Mekanisme Pengajuan Banding Berdasar ketentuan Undang-undang Pengadilan pajak, secara umum upaya banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundangundangan perpajakan. Khusus terhadap upaya banding di bidang cukai, jangka waktu pengajuannya paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau keputusan. Akan tetapi, jangka waktu sebagaimana dimaksud tidak mengikat apabila keterlambatan pengajuan disebabkan karena keadaan di luar kekuasaan pemohon. Upaya banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding. Berkaitan dengan upaya banding yang berkaitan dengan besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). Hal ini sesuai dengan azas presumptio justal causa, atau istilah lainnya Vermoden van rechtmatig heid yang artinya bahwa penetapan pejabat pajak selalu dianggap benar sebelum hal 237

247 ditentukan lain oleh atasan pejabat yang bersangkutan atau pengadilan. Ketentuan ini agak berbeda dengan ketentuan jaminan yang wajib dipersyaratkan dalam mekanisme keberatan di bidang cukai yang mewajibkan untuk menjamin tagihan cukai dan/atau sanksi denda sebesar 100%. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu pengajuan banding. Selama proses banding diajukan, pemohon dapat mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Atas pencabutan banding maka perkara tersebut dihapuskan dari daftar sengketa, dengan ketentuan: 1) dikeluarkan penetapan Ketua Pengadilan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan; 2) dikeluarkan putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding. 3) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud tidak dapat diajukan kembali. 4. Jenis Putusan Pengadilan Pajak atas Perkara Banding Hasil putusan hakim Pengadilan pajak terhadap perkara banding dapat berupa: 1) Menolak banding 2) Mengabulkan sebagian 3) Mengabulkan seluruhnya 4) Menambah pajak yang harus dibayar 5) Tidak dapat diterima (tidak tergolong sengketa pajak) Putusan pengadilan pajak atas perkara banding bersifat final dan tetap, artinya bahwa putusan tersebut konsekuensinya langsung dapat dieksekusi. Sifat pengadilannya adalah pengadilan pertama dan terakhir, artinya tidak ada kasasi dalam pengadilan pajak. hal 238

248 Dalam undang-undang pengadilan pajak, pemohon keadilan tidak diberikan kesempatan untuk mengajukan kasasi. Dasar pertimbangannya adalah untuk menjamin kepastian keuangan negara yang setiap tahunnya ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Apabila sengketa pajak dikasas, maka hal ini akan memakan waktu lama, sehingga tidak ada kepastian penerimaan negara dalam satu tahun anggaran tersebut. Walaupun demikian, bagi pencari keadilan dibidang perpajakan masih mempunyai hak atau kesempatan untuk menempuh jalur peninjauan kembali (PK) dengan syarat ditemukan adanya bukti baru yang bersifat menentukan. C. Pengajuan Gugatan 1. Konsep Gugatan di Bidang Cukai Pengertian gugatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan gugatan, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakaan yang berlaku. Pasal 43B Undang-undang Cukai mengatur jenis putusan yang dapat diajukan gugatan adalah keputusan pencabutan izin NPPBKC bukan atas kemauan sendiri. Lebih lanjut dapat dirincikan jenis keputusan pencabutan izin NPPBKC yang dapat dilakukan sepihak, yaitu: 1) Pencabutan izin NPPBKC akibat persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi. 2) Pencabutan izin NPPBKC pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia. 3) Pencabutan izin NPPBKC pemegang izin dinyatakan pailit. 4) Pencabutan izin NPPBKC tidak lagi dipenuhi oleh karena pemegang NPPBKC meninggal dunia. 5) Pencabutan izin NPPBKC pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar ketentuan Undang-undang Cukai. 6) Pencabutan izin NPPBKC pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30. hal 239

249 7) Pencabutan izin NPPBKC 8) Izin NPPBKC dipindahtangankan, dikuasakan, dan/atau dikerjasamakan dengan orang/pihak lain tanpa persetujuan Menteri. Bila kita membandingkan konsep banding dan gugatan sebagaimana penjelasan diatas dapat kita jelaskan perbedaan banding dan gugatan sebagai berikut: - konsep banding merupakan mekanisme lanjutan dari proses keberatan di tingkat institusi pemungut pajak. Konsep banding berkaitan dengan penetapan Bea dan Cukai yang mengakibatkan kekurangan cukai dan/atau sanksi denda. - Konsep gugatan bukan merupakan proses lanjutan dari proses keberatan. - Gugatan diajukan oleh subyek pajak atas penetapan pajak yang tidak berakibat pada kekurangan cukai dan/atau sanksi denda. Atas penetapan pejabat bea dan cukai yang dapat digugat, tidak perlu melewati mekanisme keberatan terlebih dahulu, tapi dapat langsung diajukan kepada pengadilan pajak. 2. Mekanisme Pengajuan Gugatan Gugatan diajukan secara tertulis oleh pemohon dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasanalasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain yang berkaitan dengan pelaksanaan penagihan pajak adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat. Jangka waktu tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Dalam hal keadaan diluar kekuasaan penggugat hal 240

250 tersebut, perpanjangan jangka waktu adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat. Terhadap upaya Gugatan yang diajukan pemohon dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Gugatan yang dicabut sebagaimana dimaksud dihapus dari daftar sengketa dengan : 1) penetapan Ketua pengadilan pajak, dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang; 2) putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah sidang atas persetujuan tergugat. Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidak dapat diajukan kembali. Upaya Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau kewajiban perpajakan. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan Pajak sebagaimana ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan Pajak yang digugat itu dilaksanakan. hal 241

251 RANGKUMAN : Ketentuan Undang-undang Cukai memiliki prinsip keadilan dalam keseimbangan. Salah satu wujud pelaksanaan prinsip ini adalah diakomodasikannya ketentuan keberatan, banding dan gugatan. Orang yang berkeberatan atas penetapan pejabat bea dan cukai dalam penegakan Undang-undang Cukai, yang mengakibatkan kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda, dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan dengan menyerahkan jaminan sebesar kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. Pejabat yang berwenang memutuskan keberatan di bidang cukai adalah Dirjend Bea dan Cukai yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada: 1) Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC) untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan pejabat bea dan cukai yang disebabkan adanya Laporan Hasil Audit; 2) Kepala Kantor Wilayah untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan pejabat bea dan cukai selain yang disebabkan adanya Laporan Hasil Audit; 3) Kepala Kantor Pelayanan Utama (Kepala KPU) Bea dan Cukai untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan pejabat bea dan cukai di KPU selain yang disebabkan adanya Laporan Hasil Audit; dan 4) Kepala KPPBC untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat hal 242

252 dan menandatangani keputusan penolakan keberatan, dalam hal pengajuan keberatan melewati jangka waktu yang ditetapkan. Keputusan atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, atau menolak. Apabila keputusan atas keberatan dinyatakan ditolak, maka jaminan yang dipertaruhkan akan dicairkan untuk membayar cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakaan yang berlaku. Berdasarkan Undang-undang Cukai, orang yang berkeberatan terhadap putusan Dirjend Bea dan Cukai yang menolak keberatan, dapat mengajukan banding ke pengadilan pajak dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penetapan atau putusan. Hasil putusan hakim Pengadilan pajak terhadap perkara banding dapat berupa: a) Menolak banding b) Mengabulkan sebagian c) Mengabulkan seluruhnya d) Menambah pajak yang harus dibayar e) Tidak dapat diterima (tidak tergolong sengketa pajak) Pengertian gugatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan gugatan, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakaan yang berlaku. Undang-undang Cukai mengatur jenis putusan yang dapat diajukan gugatan adalah keputusan pencabutan izin NPPBKC bukan atas kemauan sendiri. hal 243

253 LATIHAN : 1) Apa yang dimaksud dengan keberatan di bidang cukai, Jelaskan! 2) Apa perbedaan antara keberatan di bidang cukai dengan keberatan di bidang kepabeanan? jelaskan! 3) Jelaskan konsep banding berdasarkan Undang-undang Peradilan Pajak! Apa yang berbeda dengan Undang-undang Cukai? Jelaskan! 4) Jelaskan perbedaan banding dengan gugatan! 5) Jelaskan mekanisme pengajuan keberatan dan banding di bidang cukai! Harta akan membawa manusia pada kenikmatan dunia. Tapi...ilmu yang bermanfaat akan membawa manusia pada kenikmatan yang abadi hal 244

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.337, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Nomor Pokok Pengusaha. Cukai. Pengusaha. Importir. Penjualan Etil Alkohol. Pencabutan. Pembekuan. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN A. Sistem Pengawasan Barang Kena Cukai Pengawasan Barang Kena Cukai sangat penting dilakukan agar dapat memberikan penerimaan pada negara. Banyak kasus penyelundupan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 18/BC/2017 TENTANG DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 18/BC/2017 TENTANG DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 18/BC/2017 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 36 Peraturan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

235/PMK.04/2009 PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI

235/PMK.04/2009 PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI 235/PMK.04/2009 PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI Contributed by Administrator Wednesday, 30 December 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 53/BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 53/BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 53/BC/2011 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755]

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] 15. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6),

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1921, 2014. KEMENKEU. Barang. Cukai. Pengangkutan. Pengeluaran. Pemasukan. Penimbunan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG PENIMBUNAN,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.530, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Barang Kena Cukai. Penibunan. Kawasan Pabean. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.530, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Barang Kena Cukai. Penibunan. Kawasan Pabean. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.530, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Barang Kena Cukai. Penibunan. Kawasan Pabean. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 235/PMK.04/2009 TENTANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 47/PMK.04/2007 TENTANG PEMBEBASAN CUKAI MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 47/PMK.04/2007 TENTANG PEMBEBASAN CUKAI MENTERI KEUANGAN, MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 47/PMK.04/2007 TENTANG PEMBEBASAN CUKAI Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan

Lebih terperinci

*35150 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 5 TAHUN 1997 (5/1997) TENTANG PENGAWASAN BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*35150 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 5 TAHUN 1997 (5/1997) TENTANG PENGAWASAN BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 5/1997, PENGAWASAN BARANG KENA CUKAI *35150 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 5 TAHUN 1997 (5/1997) TENTANG PENGAWASAN BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-11/BC/2007 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-11/BC/2007 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-11/BC/2007 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN, PERUBAHAN, DAN PENCABUTAN NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 237/PMK.04/2009 TENTANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 237/PMK.04/2009 TENTANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 237/PMK.04/2009 TENTANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (4)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PENGAWASAN BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PENGAWASAN BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PENGAWASAN BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pengamanan keuangan negara, dipandang perlu

Lebih terperinci

NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/PMK.04/2013 TENTANG TOKO BEBAS BEA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/PMK.04/2013 TENTANG TOKO BEBAS BEA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/PMK.04/2013 TENTANG TOKO BEBAS BEA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1996 TENTANG IZIN PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1996 TENTANG IZIN PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1996 TENTANG IZIN PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (8) Undang-undang Nomor 11

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 11/1995, CUKAI *9122 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 11 TAHUN 1995 (11/1995) Tanggal: Sumber: Tentang: 30 Desember 1995 (JAKARTA) LN No.76;

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG NOMOR P- 39/BC/2009

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG NOMOR P- 39/BC/2009 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 39/BC/2009 TENTANG PELEKATAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU DAN MINUMAN MENGANDUNG

Lebih terperinci

SALINAN NOMOR TENTANG. Nomor. Berikat, Berikat, Menteri. Keuangan. Bebas Bea; Mengingat Tata Cara. Perpajakan. Republik. Tahun. (Lembaran.

SALINAN NOMOR TENTANG. Nomor. Berikat, Berikat, Menteri. Keuangan. Bebas Bea; Mengingat Tata Cara. Perpajakan. Republik. Tahun. (Lembaran. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/PMK. 04/ /2013 TENTANG TOKO BEBAS BEA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1996 TENTANG IZIN PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1996 TENTANG IZIN PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1996 TENTANG IZIN PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (8) Undang-undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 42 /BC/2010

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 42 /BC/2010 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 42 /BC/2010 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI MINUMAN MENGANDUNG ETIL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 146/PMK.04/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 146/PMK.04/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 146/PMK.04/2010 TENTANG TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KENA CUKAI KE DAN DARI KAWASAN YANG TELAH DITUNJUK SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS

Lebih terperinci

P - 39/BC/2009 PELEKATAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU DAN MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL

P - 39/BC/2009 PELEKATAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU DAN MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL P - 39/BC/2009 PELEKATAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU DAN MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL Contributed by Administrator Wednesday, 04 November 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 146/PMK.04/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 146/PMK.04/2010 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 146/PMK.04/2010 TENTANG TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KENA CUKAI KE DAN DARI KAWASAN YANG TELAH DITUNJUK SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 49 /BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 49 /BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 49 /BC/2011 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INQONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 /PMK.04/2017 TENT ANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI

MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INQONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 /PMK.04/2017 TENT ANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INQONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 /PMK.04/2017 TENT ANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTER! KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613]

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613] UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 50 Barangsiapa tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 1, menjalankan usaha Pabrik,

Lebih terperinci

2012, No NAMA, JENIS, DAN KODE DOKUMEN CUKAI. Daftar Dokumen Jenis Nomor Kode. Nama. Nomor

2012, No NAMA, JENIS, DAN KODE DOKUMEN CUKAI. Daftar Dokumen Jenis Nomor Kode. Nama. Nomor 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 140/PMK.04/2012 TENTANG DOKUMEN CUKAI DAN/ATAU DOKUMEN PELENGKAP CUKAI NAMA, JENIS, DAN KODE DOKUMEN CUKAI Nomor I II III IV Daftar Dokumen

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGANN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN DOKUMEN. Keuangan. Lembaran. Indonesia TENTANG. 2. Dokumen

MENTERI KEUANGANN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN DOKUMEN. Keuangan. Lembaran. Indonesia TENTANG. 2. Dokumen MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0/PMK.0/0 TENTANG DOKUMEN CUKAI DAN/ATAU DOKUMEN PELENGKAP CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAA ESA MENTERI

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. Mengingat : 1. bahwa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.04/2008 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.04/2008 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.04/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENCATATAN BAGI PENGUSAHA PABRIK SKALA KECIL, PENYALUR SKALA KECIL YANG WAJIB MEMILIKI IZIN, DAN PENGUSAHA TEMPAT PENJUALAN ECERAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN SALINAN 113/PMK.04/2008, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143/PMK.04/2011 TENTANG GUDANG BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143/PMK.04/2011 TENTANG GUDANG BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143/PMK.04/2011 TENTANG GUDANG BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-81/BC/2011

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-81/BC/2011 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-81/BC/2011 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128/KMK.05/2000 TENTANG TOKO BEBAS BEA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128/KMK.05/2000 TENTANG TOKO BEBAS BEA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128/KMK.05/2000 TENTANG TOKO BEBAS BEA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4), Pasal 10A

Lebih terperinci

IMPORTASI BARANG KENA CUKAI

IMPORTASI BARANG KENA CUKAI IMPORTASI BARANG KENA CUKAI L/O/G/O KPU TIPE A TANJUNG PRIOK JAKARTA, 21 FEBRUARI 2012 PERLAKUAN IMPOR BARANG KENA CUKAI DILUNASI KAWASAN PABEAN TIDAK DIPUNGUT CUKAI PEMBEBASAN CUKAI PELUNASAN BARANG KENA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-15/BC/2008 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-15/BC/2008 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-15/BC/2008 TENTANG PENGEMBALIAN CUKAI ATAS PITA CUKAI YANG RUSAK ATAU TIDAK DIPAKAI

Lebih terperinci

2014, No Mengingat : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.04/2010 tentang Tata Cara Pembebasan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

2014, No Mengingat : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.04/2010 tentang Tata Cara Pembebasan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun No.237, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pembahasan Cukai. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PMK.04/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PMK.04/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PMK.04/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PMK.04/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 109/PMK.04/2010 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P 14/BC/2006 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P 14/BC/2006 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P 14/BC/2006 TENTANG PENGEMBALIAN CUKAI ATAS PITA CUKAI YANG RUSAK ATAU

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN NOMOR P-17/BC/2006 TENTANG PEMBERITAHUAN HARGA JUAL ECERAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 01 /BC/2014 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 01 /BC/2014 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 01 /BC/2014 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN CUKAI ETIL ALKOHOL, MINUMAN YANG MENGANDUNG ETIL ALKOHOL, DAN KONSENTRAT

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR SE - 09/BC/2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR SE - 09/BC/2017 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR SE - 09/BC/2017 TENTANG PELAYANAN PITA CUKAI TERKAIT PERGANTIAN TAHUN ANGGARAN 2017 KE TAHUN ANGGARAN 2018 DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, A. Umum Dalam

Lebih terperinci

PER - 7/BC/2011 TATA CARA PEMUNGUTAN CUKAI ETIL ALKOHOL, MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL, DAN KONSEN

PER - 7/BC/2011 TATA CARA PEMUNGUTAN CUKAI ETIL ALKOHOL, MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL, DAN KONSEN PER - 7/BC/2011 TATA CARA PEMUNGUTAN CUKAI ETIL ALKOHOL, MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL, DAN KONSEN Contributed by Administrator Friday, 25 February 2011 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negar

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 966, 2014 KEMENKEU. Bea Keluar. Pemungutan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.04/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/PMK. 011/2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/PMK. 011/2012 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/PMK. 011/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 176/PMK. 011/2009 TENTANG PEMBEBASAN

Lebih terperinci

SE â 4/BC/2011 PENGAWASAN MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL TRADISIONAL SEBAGAI BARANG KENA CUKAI YANG

SE â 4/BC/2011 PENGAWASAN MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL TRADISIONAL SEBAGAI BARANG KENA CUKAI YANG SE â 4/BC/2011 PENGAWASAN MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL TRADISIONAL SEBAGAI BARANG KENA CUKAI YANG Contributed by Administrator Thursday, 24 March 2011 Pusat Peraturan Pajak Online 24 Maret 2011 SURAT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 17/KMK

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 17/KMK KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 17/KMK.04/2003 TANGGAL 8 JANUARI 2003 TENTANG PEMUNGUTAN CUKAI ATAS BARANG KENA CUKAI YANG BERASAL DARI LUAR NEGERI YANG DIMASUKKAN KE KAWASAN BERIKAT DI DAERAH INDUSTRI

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70 / PMK.04 / 2009 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70 / PMK.04 / 2009 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70 / PMK.04 / 2009 TENTANG PEMBAYARAN CUKAI SECARA BERKALA UNTUK PENGUSAHA PABRIK YANG MELAKSANAKAN PELUNASAN DENGAN CARA PEMBAYARAN MENTERI KEUANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 2009 CUKAI. Sanksi. Denda. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR - 57 /BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR - 57 /BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR - 57 /BC/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 16 /BC/2008 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 16 /BC/2008 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 16 /BC/2008 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU DIREKTUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI UNTUK PENGUSAHA PABRIK ATAU IMPORTIR BARANG KENA CUKAI YANG MELAKSANAKAN PELUNASAN DENGAN CARA PELEKATAN PITA CUKAI MENTERI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-24/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK SERTA PENYELESAIAN KEWAJIBAN PABEAN

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR - 57 /BC/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang

Lebih terperinci

, No.2069 Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Ta

, No.2069 Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Ta No. 2069, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pusat Logistik Berikat. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 271/PMK.06/2015 TENTANG PUSAT LOGISTIK BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -35/BC/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -35/BC/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -35/BC/2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-57/BC/2011

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 3 /BC/2010 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 3 /BC/2010 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 3 /BC/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN NOMOR KEUANGAN. ketentuan. Menteri. cukai; mengenai. b. bahwa. beberapa. Pasal. Peraturan. Keuangan. Cara. Tata 263); CUKAI.

SALINAN PERATURAN NOMOR KEUANGAN. ketentuan. Menteri. cukai; mengenai. b. bahwa. beberapa. Pasal. Peraturan. Keuangan. Cara. Tata 263); CUKAI. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLI K INDONESIA NOMOR 40/PMK.04/ 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 109/PMK.04/2010 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 57/BC/2012

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 57/BC/2012 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 57/BC/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 214/PMK.04/2008 TENTANG PEMUNGUTAN BEA KELUAR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 214/PMK.04/2008 TENTANG PEMUNGUTAN BEA KELUAR SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 214/PMK.04/2008 TENTANG PEMUNGUTAN BEA KELUAR MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (5), Pasal 14, dan Pasal 18 Peraturan

Lebih terperinci

TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN CUKAI DAN/ATAU DENDA ADMINISTRASI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN CUKAI DAN/ATAU DENDA ADMINISTRASI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PMK.04/2006 Menimbang : TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN CUKAI DAN/ATAU DENDA ADMINISTRASI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.04/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.04/2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 146/PMK.04/2014 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 214/PMK.04/2008 TENTANG PEMUNGUTAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 50/BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 50/BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 50/BC/2011 TENTANG GUDANG BERIKAT DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KMK.05/1997 TENTANG TATALAKSANA KEPABEANAN DI BIDANG IMPOR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 20092008 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-26/BC/2009 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-26/BC/2009 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-26/BC/2009 TENTANG TATA CARA PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.213, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pabean. Kawasan. Penimbunan Sementara. Tempat. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PMK.04/2015 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Yth. 1. Kepala Kantor Wilayah DJBC; 2. Kepala Kantor Pelayanan Utama; dan 3. Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 13/PMK.04/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 13/PMK.04/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 13/PMK.04/2006 TENTANG PENYELESAIAN TERHADAP BARANG YANG DINYATAKAN TIDAK DIKUASAI, BARANG YANG DIKUASAI NEGARA, DAN BARANG YANG MENJADI MILIK NEGARA MENTERI KEUANGAN,

Lebih terperinci

NOMOR 115/PMK.04/2008 TENTANG PENCACAHAN DAN POTONGAN ATAS ETIL ALKOHOL DAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ETIL ALKOHOL MENTERI KEUANGAN,

NOMOR 115/PMK.04/2008 TENTANG PENCACAHAN DAN POTONGAN ATAS ETIL ALKOHOL DAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ETIL ALKOHOL MENTERI KEUANGAN, SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 115/PMK.04/2008 TENTANG PENCACAHAN DAN POTONGAN ATAS ETIL ALKOHOL DAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ETIL ALKOHOL MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 20092008 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DIREKTORAT FASILITAS KEPABEANAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DIREKTORAT FASILITAS KEPABEANAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DIREKTORAT FASILITAS KEPABEANAN GEDUNG UTAMA LANTAI 3, JALAN JEND A YANI JAKARTA 13230 KOTAK POS 108 JAKARTA 10002 TELEPON : (021)

Lebih terperinci

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 399KMK.01/1996 TENTANG GUDANG BERIKAT MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 399KMK.01/1996 TENTANG GUDANG BERIKAT MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 399KMK.01/1996 TENTANG GUDANG BERIKAT MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 10

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.387, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 159/PMK.04/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 108/PMK.04/2008

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-23/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI SERTA PENYELESAIAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-27/BC/2009 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-27/BC/2009 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-27/BC/2009 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PEMBAYARAN SECARA BERKALA Menimbang DIREKTUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA TATA LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN YANG

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P- 20 /BC/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENETAPAN KAWASAN PABEAN DAN

Lebih terperinci

BUKTI PENERIMAAN JAMINAN (BPJ) NOMOR :...(3)

BUKTI PENERIMAAN JAMINAN (BPJ) NOMOR :...(3) LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2009 TENTANG PEMBAYARAN CUKAI SECARA BERKALA UNTUK PENGUSAHA PABRIK YANG MELAKSANAKAN PELUNASAN DENGAN CARA PEMBAYARAN MENTERI KEUANGAN Departemen

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 53/M-DAG/PER/12/2010??/M-DAG/PER/6/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 53/M-DAG/PER/12/2010??/M-DAG/PER/6/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 53/M-DAG/PER/12/2010??/M-DAG/PER/6/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 43/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG KETENTUAN PENGADAAN,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.539, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pembebasan Bea Masuk. Impor Mesin. Pengembangan Industri. Penanaman Modal. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 142/PMK.04/2011 TENTANG IMPOR SEMENTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 142/PMK.04/2011 TENTANG IMPOR SEMENTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 142/PMK.04/2011 TENTANG IMPOR SEMENTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Sejarah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Sejarah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean B Yogyakarta Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009

Lebih terperinci