BAB II KAJIAN TEORI. dkk. 2012: 107). Belajar merupakan suatu proses berpikir yang saling

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN TEORI. dkk. 2012: 107). Belajar merupakan suatu proses berpikir yang saling"

Transkripsi

1 A. Pembelajaran Matematika BAB II KAJIAN TEORI Belajar adalah proses memperoleh pengetahuan melalui informasi dengan melihat suatu struktur secara keseluruhan lalu menyederhanakan struktur pengetahuan tersebut agar lebih mudah dipahami (Sugihartono, dkk. 2012: 107). Belajar merupakan suatu proses berpikir yang saling berhubungan. Pada matematika proses belajar dapat terjadi apabila seseorang menemukan suatu konsep baru, lalu dapat menghubungkan keterkaitan konsep baru tersebut dengan konsep yang dimiliki sebelumnya. Pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal (Erman Suherman, 2003: 8). Hamzah B. Uno (2011: 144) berpendapat bahwa pembelajaran adalah suatu aktivitas untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan kurikulum. Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan kurikulum. Sementara itu, matematika adalah suatu ilmu pengetahuan yang terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berkaitan dengan ide, proses, dan penalaran (Ruseffendi ET dalam Erman Suherman, 2003: 16). Matematika merupakan suatu ilmu yang memiliki peranan penting dalam memajukan kemampuan berpikir logis seseorang (Herman Hudojo, 1988: 57). Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran 8

2 matematika adalah suatu upaya yang dilakukan terhadap kondisi lingkungan belajar agar tujuan pembelajaran matematika tercapai dan terjadi perubahan kebiasaan serta pola pikir siswa yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Pada pembelajaran matematika, terdapat beberapa pendekatan, metode, model, maupun strategi pembelajaran. Namun demikian, tidak ada cara belajar yang paling benar dan cara mengajar yang paling baik (Nisbet, dalam Erman Suherman, 2003: 70). Maka dari itu, guru perlu mengadopsi beberapa pendekatan yang karakteristiknya berbeda untuk belajar, karena kemampuan intelektual, sikap dan kepribadian setiap siswa pun berbedabeda. B. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Anak usia 12 tahun dianggap telah berada pada tahap operasi formal, namun kenyataanya mereka masih perlu bekerja melalui tahap operasi konkrit untuk beberapa konsep baru yang dikenalkan (Herman Hudojo, 1988: 56). Hal seperti ini terjadi pada siswa kelas VII SMP yang rata-rata siswanya berusia 12 tahun. Oleh karena itu diperlukan suatu pembelajaran yang dapat menjembatani mereka dari proses berpikir konkret menuju berpikir formal. Salah satu alternatif pembelajaran yang mendukung hal ini adalah pendekatan Realistic Mathematics Education (RME). RME adalah suatu pendekatan matematika yang dikembangkan di Belanda. Pengembangan pendekatan ini dilandasi oleh pernyataan Freudenthal yang menyatakan bahwa matematika merupakan suatu bentuk 9

3 aktivitas manusia (Ariyadi Wijaya, 2012: 20). Penggunaan kata realistik menunjukkan adanya suatu koneksi matematika dengan dunia nyata dan lebih ditekankan pada penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imagineable) oleh siswa (Van den Heuvel-Panhuizan dalam Ariyadi Wijaya, 2012: 20). Penggunaan konteks yang merupakan bagian dari aktivitas manusia ataupun situasi yang bisa dibayangkan siswa dapat membantu siswa dalam menghubungkan pengetahuan yang telah mereka miliki dengan konsep matematika yang akan dikenalkan. Hubungan inilah yang dimaksud dapat menjembatani siswa dari proses berpikir konkret menuju proses berpikir formal sekaligus membantu siswa agar pembelajaran yang mereka terima lebih bermakna. Freudenthal berpendapat bahwa matematika harus dihubungkan pada reality, dekat dengan dunia anak dan relevan dengan nilai sosial yang ada di masyarakat (Sue Hough dan Steve Gough, 2007: 34). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa matematika bukanlah suatu produk jadi yang langsung disajikan kepada siswa, melainkan sebagai suatu aktivitas untuk siswa. RME membimbing siswa untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika yang pernah ditemukan oleh para ahli matematika zaman dahulu, bahkan memungkinkan siswa untuk menemukan konsep yang belum pernah ditemukan sama sekali (Erman Suherman, 2003: 150). Melalui pembelajaran RME siswa dapat berkesempatan untuk menemukan kembali konsep yang akan mereka pelajari dan aktif mengkonstruk pengetahuannya sendiri. 10

4 Treffers (Ariyadi Wijaya, 2012: 21) merumuskan lima karakteristik RME, yaitu sebagai berikut: 1. Penggunaan konteks Pembelajaran matematika diawali dengan menggunakan konteks. Konteks yang digunakan dapat berupa masalah dunia nyata, permainan, penggunaan alat peraga, dan berbagai situasi yang dapat dibayangkan (imaginable). Penggunaan konteks dalam RME bertujuan agar siswa dapat terlibat aktif untuk untuk mengeksplorasi suatu permasalahan. 2. Penggunaan model untuk matematisasi progresif Model digunakan untuk melakukan matematisasi secara progresif. Fungsinya adalah untuk menjembatani siswa dari proses berpikir konkrit menuju tingkat berpikir formal. 3. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa Pada pendekatan RME siswa ditantang untuk bekerja aktif, karena harus mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Hasil konstruksi siswa selanjutnya digunakan sebagai landasan pengembangan konsep matematika. Kemudian mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan berbagai strategi pemecahan masalah. 4. Interaktivitas Pada pendekatan RME terjadi interaksi antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa. Proses belajar siswa akan menjadi lebih bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan 11

5 gagasan mereka. Pemanfaatan interaktivitas berguna untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara bersamaan. 5. Keterkaitan Konsep-konsep matematika dikenalkan kepada siswa secara utuh, tidak tepisah-pisah. Hal ini karena semua konsep dalam matematika memiliki keterkaitan. Pada karakteristik matematisasi progresif, pengembangan model terdiri dari empat tingkatan, yaitu situasional, referensial, general, dan formal (Gravemeijer dalam Ariyadi Wijaya, 2012: 47). Pada tingkat situasional siswa masih berhadapan dengan masalah ataupun konteks yang digunakan dalam pembelajaran. Masalah atau konteks yang digunakan adalah sesuatu yang relevan dengan konsep yang akan dikenalkan. Selanjutnya pada tingkat referensial siswa membuat suatu gambaran yang merujuk pada konteks atau masalah yang digunakan. Pada tingkat general siswa sudah bekerja dengan model yang telah dibuat berdasarkan konteks, kemudian berusaha untuk mencari penyelesaian dari konteks atau masalah tersebut. Pada tingkatan terakhir yaitu tingkat formal, siswa sudah bekerja dengan simbol-simbol matematika kemudian merumuskan konsep matematika yang dibangun. Tinjauan matematisasi progresif dalam materi himpunan dapat dicontohkan melalui gambar iceberg sebagai berikut: 12

6 Gambar 1 Tinjauan Ice Berg pada Irisan Himpunan Kuiper dan Knuver (Erman Suherman, 2003: 143) menyimpulkan beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan di beberapa negara, menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan realistik sekurang-kurangnya dapat: 1. Membuat matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak. 2. Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa. 3. Menekankan pembelajaran matematika pada Learning by doing. 13

7 4. Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku. 5. Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika. C. Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif atau Cooperative Learning mencakup suatu kelompok kecil yang bekerja dalam sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya (Erman Suherman, 2003: 260). Melalui kelompok kecil tersebut siswa dapat berinteraksi dengan teman sebayanya. Kondisi seperti ini memacu mereka untuk saling membantu dalam memahami permasalahan yang disajikan. Siswa yang merasa belum mampu akan termotivasi oleh siswa lainnya untuk ikut menyelesaikan suatu permasalahan. Akibatnya, pembelajaran kooperatif lebih berpengaruh pada prestasi matematika dibandingkan dengan pembelajaran tradisional dan pembelajaran ini telah terbukti dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa (Gulfer Capara dan Kamuran Tarimb, 2015: 556; Erman Suherman, 2003: 259). Adanya kegiatan diskusi kelompok akan menguntungkan baik bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi maupun bagi siswa dengan kemampuan rendah. Siswa berkemampuan tinggi akan meningkatkan kemampuan akademiknya karena mempunyai kesempatan untuk memberi pelayanan sebagai tutor, sedangkan siswa berkemampuan rendah akan mendapatkan pengetahuan dari siswa yang berkemampuan tinggi. Agar 14

8 hal ini terjadi, maka pembagian kelompok harus heterogen baik dari kemampuannya maupun karakteristik lainnya (Erman Suherman, 2003: 261). Ukuran kelompok yang ideal untuk pembelajaran kooperatif adalah sekitar tiga sampai lima orang. Anggota kelompok yang tidak terlalu besar akan membuat seluruh anggota dapat berpartisipasi aktif berdiskusi dan mengemukakan pendapat. D. Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sering digunakan adalah Teams Games Tournament (TGT). Pembelajaran yang dikembangkan oleh De Vires ve Slavin (Mansur dan Emine, 2008: 27) ini membagi siswa menjadi kelompok-kelompok yang heterogen secara seimbang sesuai dengan kemampuan dan jenis kelamin mereka. Tujuan dari pembentukan kelompok heterogen adalah untuk membentuk kelompok dengan siswa dari berbagai tingkat keberhasilan, minat, kemampuan dan sebagainya. Namun, masing-masing perwakilan kelompok dengan kapasitas yang sama dapat bersaing satu sama lain dalam turnamen. Target masing-masing kelompok adalah sukses di turnamen. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa dapat belajar untuk menumbuhkan tanggung jawab dan keterlibatan belajar. Hal ini karena masing-masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab agar kelompoknya sukses di turnamen. Komponen-komponen TGT yang 15

9 diungkapkan Robert E. Slavin (2008: 163) meliputi presentasi kelas, tim, game, turnamen, dan rekognisi tim. 1. Presentasi Kelas Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung dengan ceramah atau diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas, siswa harus memperhatikan dan memahami materi yang diberikan guru. Hal ini akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja tim dan pada saat game, kerena poin game akan menentukan poin kelompok. 2. Pembentukan Tim Tim biasanya terdiri dari empat atau lima orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari kinerja akademik, jenis kelamin, ras, dan etnis. Fungsi tim adalah untuk lebih memahami materi bersama teman satu tim atau lebih khusus untuk mempersiapkan anggota tim agar saling berdiskusi, tukar menukar ide pengalaman untuk memecahkan msalah. Diharapkan setiap anggota tim melakukan yang terbaik untuk timnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan akademik dan menumbuhkan pentingnya kerjasama di antara siswa. 3. Game Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari presentasi kelas dan belajar tim. Game tersebut dimainkan di atas 16

10 meja yang terdiri dari perwakilan siswa dari kelompok yang berbeda namun memiliki kemampuan yang setara. 4. Turnamen Turnamen biasanya dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap akhir unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan tim sudah mengerjakan lembar kegiatan secara kelompok. Turnamen ini juga dapat digunakan sebagai review materi pelajaran. Dalam turnamen, guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen, setiap meja terdiri dari perwakilan tiap tim dengan kemampuan yang homogen. Dalam turnamen ini, kemungkinan siswa yang memiliki kemampuan akademik sedang dan rendah dapat menjadi siswa yang mendapatkan poin tertinggi dalam kelompok turnamennya. Poin perolehan setiap siswa pada kelompok turnamen akan diakumulasikan dalam poin tim. 5. Rekognisi Tim Rekognisi tim adalah pemberian penghargaan kepada kelompok yang memiliki poin tertinggi dalam turnamen. Dalam pembelajaran kooperatif penghargaan diberikan kepada kelompok bukan individu, sehingga keberhasilan kelompok ditentukan oleh keberhasilan setiap individunya. Pelaksanaan game dan turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut: 1. Guru menempatkan siswa pada meja turnamen (setiap meja terdiri dari 4 orang siswa dan kemampuan setara). Setiap meja terdapat 1 set kartu bernomor. 17

11 2. Masing-masing siswa dalam sebuah meja turnamen mengambil sebuah kartu. 3. Siswa dengan nomor kartu tertinggi berperan sebagai pembaca pertama, sebelah kiri adalah penantang pertama, sebelah kirinya lagi adalah penantang kedua dan sebelah kanan pembaca adalah penantang ketiga. 4. Pembaca mengocok kartu dan mengambil sebuah kartu paling atas, kemudian membaca dengan keras pertanyaan yang sesuai dengan nomor pada kartu tersebut dan mencoba menjawabnya. 5. Jika penantang 1, penantang 2, dan penantang 3 memiliki jawaban berbeda, mereka dapat mengajukan jawaban secara bergantian. 6. Apabila setiap siswa telah menjawab, menantang, atau pas, penantang ketiga mencocokkan dengan lembar jawaban tersebut dengan keras. 7. Pemain yang memberikan jawaban benar menyimpan kartu tersebut. Apabila ada penantang memberikan suatu jawaban salah, ia harus mengembalikan kartu yang dimenangkan sebelumnya (bila ada) ke tumpukan kartu. Apabila tidak ada satu pun jawaban yang benar, kartu tersebut dikembalikan ke tumpukan. 8. Putaran berikutnya, segala sesuatunya bergerak ke kiri, yaitu penantang pertama menjadi pembaca, penantang kedua menjadi penantang pertama, penantang ketiga menjadi penantang kedua, dan pembaca menjadi penantang ketiga. 18

12 9. Ketika permainan tersebut selesai, para pemain menghitung banyak kartu yang mereka menangkan. Banyak kartu yang mereka dapatkan akan menentukan besar poin yang diperoleh. Berikut adalah beberapa kelebihan dan kekurangan pembelajaran dalam setting TGT menurut Slavin (2010: 142) : 1. Kelebihan a. Siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir, bekerja sama dalam kelompok dan dapat berperan sebagai tutor sebaya. b. Terjadinya interaksi antarsiswa dalam kelompok dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpendapat. c. Siswa dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, kejujuran, dan kerja sama. d. Adanya games atau turnamen dapat membuat suasana kelas lebih menyenangkan. e. Siswa dapat termotivasi untuk belajar lebih giat karena setiap siswa bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dalam turnamen. 2. Kekurangan a. Sejumlah siswa mengalami kesulitan karena belum terbiasa mendapatkan perlakuan seperti ini. b. Pada permulaan guru akan mengalami kesulitan dalam pengelolaan kelas. c. Membutuhkan waktu yang relatif lama. 19

13 E. Pembelajaran Ekspositori Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1994: 36) menyatakan bahwa hakikat mengajar pada pendekatan ekspositori adalah penyampaian ilmu pengetahuan dari guru kepada objek belajar yaitu peserta didik yang dipandang sebagai penerima apa yang sampaikan guru. Guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dengan metode ceramah. Pembelajaran dengan metode seperti ini tergolong kepada belajar menerima. Pembelajaran menerima dapat menjadi pembelajaran bermakna atau tidak bermakna. Jika guru dapat membantu siswa untuk mengaitkan konsep baru dengan konsep-konsep yang telah dimiliki siswa sebelumnya, maka pembelajaran ini akan menjadi bermakna. Hal ini sesuai dengan pernyataan David P. Ausubel (Eman Suherman, 2003:203) yang mengatakan bahwa pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang efektif dan efisien agar terjadi sebuah pembelajaran bermakna. Ekspositori menghendaki peserta didik dapat memahami dan mengingat informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkapkannya kembali melalui respon yang ia berikan pada saat guru memberikan pertanyaan (Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi,1994: 36). Pada pembelajaran dengan pendekatan ekspositori, siswa tidak hanya pasif mendengarkan penjelasan guru, namun mereka juga berkesempatan untuk bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru. Siswa dapat mengerjakan soal secara 20

14 mandiri, berdiskusi dengan temannya atau mengerjakannya di depan kelas jika diminta guru. F. Kemampuan Pemecahan Masalah Menurut Polya (Herman Hudojo, 2003: 87) pemecahan masalah adalah suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari sebuah kesulitan namun penyelesaian tersebut tidak bisa dicapai secara langsung. Suatu soal pemecahan masalah tidak bisa dikatakan sebagai soal pemecahan masalah jika diberikan kepada siswa kemudian siswa tersebut secara langsung dapat mengetahui bagaimana cara menyelesaikannya dengan benar (Erman Suherman, 2003: 92). Masalah bagi seorang siswa, belum tentu masalah bagi siswa lain. Oleh karenanya, guru harus benar-benar memperhatikan soal pemecahan masalah yang akan disajikan kepada siswa. Dengan demikian perlu dilakukan pembedaan antara soal rutin dan soal tidak rutin. Soal rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama atau mirip dengan hal yang baru dipelajari, sedangkan untuk soal tidak rutin diperlukan pemikiran yang lebih mendalam agar dapat mencapai prosedur yang benar (Erman Suherman, 2003: 93). Menurut Polya (Erman Suherman, 2003: 91) untuk menyelesaikan soal penyelesaian masalah terdapat empat langkah, yaitu 1. Memahami masalah Agar dapat menyelesaikan masalah dengan benar, maka siswa perlu untuk memahami masalah yang diberikan terlebih dahulu. 21

15 2. Merencanakan penyelesaian Setelah memahami masalah, siswa harus menyusun rencana penyelesaian masalah. Fase ini tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Semakin banyak pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah. Rencana penyelesaian masalah dapat dibuat baik secara tertulis maupun tidak. 3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana Siswa melakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang telah dibuat. 4. Mengecek kembali semua langkah yang telah dikerjakan Dengan melakukan pengecekan kembali, siswa dapat mengoreksi kemungkinan kesalahan yang ia buat, sehingga siswa mendapat jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan. Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud pada penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematika. Departemen Pendidikan Oregon dan Illinois State Board of Education (Sugiman dan Yahya. S, 2010: 44) menyatakan bahwa cara mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa SMP dapat dilakukan dengan memberikan soal uraian untuk diselesaikan secara tuntas. Aspek-aspek yang dinilai meliputi: (1) pengetahuan matematika yang terdiri dari pengetahuan konseptual dan prosedural; (2) pengetahuan strategi pemecahan masalah; (3) komunikasi; dan (4) akurasi. Pemecahan masalah harus ditekankan pada 22

16 struktur kognitif yang dimiliki siswa, karena bila tidak siswa hanya memiliki kemungkinan kecil untuk dapat menyelesaikan masalah yang diberikan (Herman Sudojo, 2003: 87). G. Partisipasi Siswa Partisipasi adalah aktivitas pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan. Dick dan Carey (Abdul Gafur, 2012: 76) mengemukakan bahwa proses belajar akan lebih berhasil bila siswa berpartisipasi secara aktif dengan melakukan praktik dan latihan langsung yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, partisipasi siswa diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Abdul Gafur (2012: 20) yang menyatakan bahwa jika siswa aktif berpartisipasi dan interaktif, maka hasil belajar akan meningkat. Peraturan pemerintah no 41 (2007: 8) tentang Standar Proses menyebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan pembelajaran merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dilakukan secara interaktif dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Agar tujuan pembelajaran tercapai maka guru harus meningkatkan kesempatan siswa untuk terlibat dalam pembelajaran. Siswa yang aktif melibatkan diri dalam menemukan suatu konsep dasar juga akan lebih paham, ingat lebih lama dan akan mampu menggunakan konsep tersebut dalam konteks yang lain (Herman Hudojo, 2003: 85). Abdul Gafur (2012: 20) berpendapat bahwa partisipasi siswa dapat berupa aktivitas mental yang meliputi memikirkan jawaban, merenungkan, 23

17 dan membayangkan. Knowles yang dikutip oleh Mulyasa (2006: 241) juga menyatakan bahwa salah satu indikator partisipasi adalah adanya keterlibatan emosional. Keterlibatan emosional adalah kesediaan siswa untuk memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan, seperti adanya kesediaan siswa dalam mengerjakan soal di papan tulis, mengerjakan tugas, dan mencatat. Bentuk lain dari partisipasi siswa juga dapat dilihat dari keaktifan diskusi yang meliputi aktivitas bertanya, menjawab pertanyaan, mendengar pendapat teman dan lain sebagainya. H. Keefektifan Pembelajaran Efektivitas adalah usaha agar dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya, atau berusaha melalui aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non-fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif Supardi (2013: 163). Supardi juga menyatakan bahwa efektivitas merupakan derajat kesesuaian antara tujuan dan hasil yang dicapai. Hamzah B. Uno (2007: 156) juga berpendapat bahwa aspek keefektifan pengajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian siswa pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran adalah suatu ukuran dari usaha yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Pembelajaran dikatakan efektif jika pembelajaran yang sebelumnya direncanakan dapat terlaksana sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai. 24

18 I. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian oleh Adi Rahman yang berjudul Keefektifan Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia Ditinjau dari Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Karakter Siswa SMP pada tahun Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika (KPMM) siswa PMRI lebih tinggi daripada peningkatan KPPM siswa dengan pendekatan ekspositori (PE). Artinya pembelajaran dengan pendekatan PMRI mampu meningkatkan KPMM siswa lebih baik daripada PE. Ditemukan pula bahwa pembelajaran dengan pendekatan PMRI lebih efetif dibandingkan dengan PE. 2. Penelitian oleh Rochmatun Chasanah tahun 2007 megenai upaya meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT siswa kelas VII B di SMP N 1 Grabag. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil observasi, rata-rata keaktifan siswa pada siklus I sebesar 73,31% dengan kriteria tinggi dan rata-rata keaktifan pada siklus II sebesar 78,72% dengan kriteria tinggi. Berdasarkan hasil angket, rata-rata keaktifan siswa pada siklus I sebesar 79,96% dengan kriteria tinggi, sedangkan pada siklus II sebesar 89,61% dengan kriteria sangat tinggi. 25

19 3. Penelitian oleh Fifi Yuniarti tahun 2013 mengenai upaya meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa kelas VII pada konsep himpunan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) di SMP Negeri 4 Kalasan Sleman Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika menggunakan pendekatan RME dapat meningkatkan keaktifan siswa dilihat dari persentase hasil observasi keaktifan siswa meingkat dari skilus I 59,88% ke siklus II 78,32%. Sedangkan berdasarkan angket keaktifan siswa meningkat dari siklus I 70,20% ke siklus II 74,24%. J. Kerangka Berpikir Kemampuan pemecahan masalah menjadi hal penting di abad 21. Oleh karena itu, pembelajaran matematika sebaiknya bertujuan agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah. Salah satu pembelajaran yang dapat mendukung siswa agar dapat memiliki kemampuan pemecahan masalah adalah pembelajaran bermakna. Melalui pembelajaran bermakna siswa dapat mengetahui penerapan dari konsep-konsep matematika yang telah mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dengan pendekatan ekspositori adalah salah satu pembelajaran yang membantu menciptakan pembelajaran bermakna bagi siswa. Guru menyampaikan bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan atau ceramah. Cara yang demikian menuntut siswa untuk berpikir pada tahap operasional. Padahal, siswa kelas VII masih memerlukan suatu yang dapat 26

20 menjembatani siswa untuk berpikir dari tahap operasi konkret menuju tahap operasi formal. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menjembatani siswa untuk belajar dari tahap operasi konkret menuju tahap operasi formal. Terdapat lima karakteristik dalam menyusun bahan ajar berbasis RME yaitu, penggunaan konteks sebagai titik awal pembelajaran, pengembangan model matematika oleh siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Penggunaan konteks pada awal pembelajaran dapat membuat pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Selain itu, Hadi (Sugiman dan Yahya S.K, 2010: 43) menyatakan bahwa pengembangan model matematika dalam pendekatan RME terkait erat dengan prosedur penyelesaian soal yang berbentuk pemecahan masalah. Selain itu, modal utama pemecahan masalah adalah ketika siswa berada dalam kelompok (Erman Suherman, 2001: 87). Ketika berada dalam kelompok, ketertarikan siswa akan meningkat untuk menghadapi tantangan dan tumbuh kemauan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu pembelajaran yang menuntut siswa untuk berdiskusi dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa. Sementara itu pembelajaran dikatakan efektif apabila tujuan pembelajaran yang direncanakan sebelumnya dapat tercapai, sedangkan partisipasi adalah salah satu faktor penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT 27

21 siswa dapat aktif berdiskusi dengan teman sekelompoknya. Selain itu, siswa juga dapat memberi tanggapan terhadap pendapat temannya lalu bertanya kepada teman ataupun guru jika ada materi yang belum dipahami. Dengan adanya turnamen pada langkah pembelajaran TGT, masing-masing siswa bertanggung jawab dengan kemenangan kelompoknya. Hal ini akan memotivasi siswa untuk belajar lebih baik karena harus mempertahankan timnya, sehingga masing-masing memiliki partisipasi untuk kelompoknya. Selain itu, interaktivitas pada pendekatan RME juga menjadi faktor yang dapat menigkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran, karena pada interaktivitas terjadi interaksi baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa. Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dipadukan dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) diperkirakan lebih efektif jika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan partisipasi dibandingkan dengan pendekatan ekspositori. Melalui diskusi kelompok siswa yang berkemampuan tinggi dapat membantu temannya yang kurang mampu dalam memahami suatu konsep. 28

22 Pendekatan Espositori Pendekatan RME Guru memberikan informasi secara langsung Siswa diberi kesempatan bertanya Kemampuan Pemecahan Masalah Penggunaan konteks Penggunaan model oleh siswa Siswa mengkonstruksi Interaktivitas Keterkaitan Siswa membuat catatan Siswa mengerjakan soal-soal latihan Partisipasi Siswa TGT Belajar secara kooperatif Masing-masing siswa memiliki tanggung jawab dalam games dan tournament Siswa berdiskusi dalam kelompok Gambar 2 Perbandingan Pembelajaran RME dalam Setting TGT dengan Pembelajaran Ekspositori terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Partisipasi Siswa K. Hipotesis 1. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam setting pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII. 2. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam setting pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) efektif ditinjau dari partisipasi siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII. 29

23 3. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII. 4. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran ekspositori efektif ditinjau dari partisipasi siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII. 5. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam setting pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII. 6. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam setting pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori ditinjau dari partisipasi siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII. 30

Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta 2)3)

Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta 2)3) Keefektifan Pendekatan Pendidikan (Ernawati) 1 KEEFEKTIFAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) DALAM SETTING PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) DITINJAU DARI KEMAMPUAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Realistic Mathematics Education Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran dalam pendidikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Sehubungan dengan keberhasilan belajar, Slameto (1991: 62) berpendapat. bahwa ada 2 faktor yang mempengaruhi belajar siswa.

BAB II KAJIAN TEORI. Sehubungan dengan keberhasilan belajar, Slameto (1991: 62) berpendapat. bahwa ada 2 faktor yang mempengaruhi belajar siswa. BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori 1. Pengertian Belajar Belajar adalah suatu proses yang ditandai adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukan

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEAM GAMES TOURNAMENT UNTUK MENINGKATKAN TINGKAT PEMAHAMAN SISWA DALAM PELAJARAN EKONOMI SMA PADA ERA MEA

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEAM GAMES TOURNAMENT UNTUK MENINGKATKAN TINGKAT PEMAHAMAN SISWA DALAM PELAJARAN EKONOMI SMA PADA ERA MEA PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEAM GAMES TOURNAMENT UNTUK MENINGKATKAN TINGKAT PEMAHAMAN SISWA DALAM PELAJARAN EKONOMI SMA PADA ERA MEA Widyo Pramono Universitas Negeri Surabaya widyo@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa dapat belajar lebih santai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Menurut Nurhadi (2004: 112), pembelajaran kooperatif adalah pendekatan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Menurut Nurhadi (2004: 112), pembelajaran kooperatif adalah pendekatan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Menurut Nurhadi (2004: 112), pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournament (TGT)

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournament (TGT) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournament (TGT) Pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament (TGT), pada mulanya dikembangkan oleh David De Vries

Lebih terperinci

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK SEBAGAI PENDEKATAN BELAJAR MATEMATIKA

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK SEBAGAI PENDEKATAN BELAJAR MATEMATIKA Pendidikan Matematika Realistik... PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK SEBAGAI PENDEKATAN BELAJAR MATEMATIKA Siti Maslihah Abstrak Matematika sering dianggap sebagai salah satu pelajaran yang sulit bagi siswa.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) tanggung jawab, kejujuran, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) tanggung jawab, kejujuran, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KAJIAN TEORI 2.1.1. Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) Belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa dapat belajar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. satunya model pembelajaran kooperatif. Secara bahasa kooperatif berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. satunya model pembelajaran kooperatif. Secara bahasa kooperatif berasal dari 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran Kooperatif Pada masa sekarang banyak model pembelajaran yang sering digunakan, salah satunya model pembelajaran kooperatif. Secara bahasa kooperatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri,

BAB I PENDAHULUAN. dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha untuk mempersiapkan ataupun memperbaiki

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha untuk mempersiapkan ataupun memperbaiki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha untuk mempersiapkan ataupun memperbaiki kualitas manusia agar mampu menghadapi tantangan hidup yang terjadi sesuai dengan perubahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik agar peserta didik mendapatkan pengalaman belajar dari kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik agar peserta didik mendapatkan pengalaman belajar dari kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran merupakan proses interaksi yang terjadi antara guru dengan peserta didik agar peserta didik mendapatkan pengalaman belajar dari kegiatan tersebut. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan secara formal, tepat dan akurat sehingga tidak memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan secara formal, tepat dan akurat sehingga tidak memungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah bahasa universal untuk menyajikan gagasan atau pengetahuan secara formal, tepat dan akurat sehingga tidak memungkinkan terjadinya multitafsir

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang tinggi dalam proses belajar, tidak sekedar aktivitas fisik semata. Siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang tinggi dalam proses belajar, tidak sekedar aktivitas fisik semata. Siswa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori Belajar aktif, ditunjukkan dengan adanya keterlibatan intelektual dan emosional yang tinggi dalam proses belajar, tidak sekedar aktivitas fisik semata. Siswa diberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa. Siswa yang belajar akan mengalami perubahan baik dalam pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. siswa. Siswa yang belajar akan mengalami perubahan baik dalam pengetahuan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan terutama

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kemampuan Komunikasi Matematika 2.1.1.1 Kemampuan Kemampuan secara umum diasumsikan sebagai kesanggupan untuk melakukan atau menggerakkan segala potensi yang

Lebih terperinci

2016 PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR

2016 PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Matematika merupakan salah satu dari mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa sekolah dasar. Mata Pelajaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia, karena

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia, karena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia, karena pendidikan dapat mengembangkan potensi diri seseorang untuk mencapai kesejahteraan hidupnya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Menurut NCTM (2000) pemecahan masalah adalah suatu penyelesaian yang belum diketahui sebelumnya dengan cara penugasan sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase. operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase. operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa Sekolah Dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Kooperatif Menurut E. Slavin (2008), pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam suatu kelas dijadikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Model Pembelajaran TGT Ismail (2002:12) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran mengutamakan adanya kerja sama, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berat. Salah satu tantangannya adalah menghadapi persaingan ekonomi global.

BAB I PENDAHULUAN. berat. Salah satu tantangannya adalah menghadapi persaingan ekonomi global. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era globalisasi ini, tantangan yang dihadapi generasi muda semakin berat. Salah satu tantangannya adalah menghadapi persaingan ekonomi global. Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi yang dapat diajarkan kepada peserta didik melalui pembelajaran matematika disebut komunikasi matematis. Komunikasi dalam matematika memang memiliki

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. hasil belajar. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku

LANDASAN TEORI. hasil belajar. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku LANDASAN TEORI A. Hasil Belajar Bahasa Indonesia 1. Definisi Hasil belajar Belajar dan mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur, yaitu: tujuan pengajaran (instruksional), pengalaman (proses)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pendidikan adalah sistem yang digunakan untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pendidikan adalah sistem yang digunakan untuk mengembangkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem pendidikan adalah sistem yang digunakan untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

Lebih terperinci

Kata kunci: Aktivitas, Hasil belajar Matematika, dan Kooperatif Tipe Team Game Tournament (TGT) PENDAHULUAN

Kata kunci: Aktivitas, Hasil belajar Matematika, dan Kooperatif Tipe Team Game Tournament (TGT) PENDAHULUAN ABSTRAK RINAWAHYUNI. Upaya Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Matematika Siswa Melalui Team Game Tournament (TGT) Pada siswa kelas VIII Putri SMP IT SyuhadaTahun ajaran 2014/2015. Skripsi. Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nurul Qomar, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nurul Qomar, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 (BSNP, 2006:140), salah satu tujuan umum mempelajari matematika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (class action research). Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan suatu penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sasarannya. Sutikno

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sasarannya. Sutikno II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti dapat membawa hasil atau berdaya guna (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Efektivitas dapat dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA. Aktivitas mengikuti proses pembelajaran meliputi mendengarkan

KAJIAN PUSTAKA. Aktivitas mengikuti proses pembelajaran meliputi mendengarkan 7 B A B II KAJIAN PUSTAKA A. Aktivitas Belajar Aktivitas mengikuti proses pembelajaran meliputi mendengarkan keterangan guru, berpikir, berpendapat, berbuat, bertanya, dan berbagai aktifitas baik fisik

Lebih terperinci

MAKALAH SIMPOSIUM GURU 2015

MAKALAH SIMPOSIUM GURU 2015 MAKALAH SIMPOSIUM GURU 2015 UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN SISWA KELAS XI.IA-3 SMA N 9 SEMARANG PADA PEMBELAJARAN KIMIA MELALUI TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) DENGAN MEDIA NUMBER CARD Oleh : Wiwik Indah Kusumaningrum,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Matematika Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir pada semua bidang ilmu pengetahuan. Menurut Suherman (2003:15), matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah kunci utama kemajuan bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan kehidupan masyarakat dalam suatu negara sangat dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan kehidupan masyarakat dalam suatu negara sangat dipengaruhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan kehidupan masyarakat dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh dunia pendidikan. Pendidikan merupakan kebutuhan yang wajib diterima bagi setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses pendidikan pada umumnya yang bertujuan membawa anak didik atau

BAB I PENDAHULUAN. proses pendidikan pada umumnya yang bertujuan membawa anak didik atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan kegiatan utama dalam proses pendidikan pada umumnya yang bertujuan membawa anak didik atau siswa menuju pada keadaan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pembelajaran Matematika Menurut isjoni (2010:11), pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subjek dengan lingkungannya dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subjek dengan lingkungannya dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar Belajar adalah suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi antara subjek dengan lingkungannya dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengatahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam usaha menguasai dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi (IPTEK) diperlukan amber daya manusia yang berkemampuan tinggi. Wadah kegiatan untuk

Lebih terperinci

Meina Noriyana Guru SMPN 3 Paringin, Kabupaten Tabalong

Meina Noriyana Guru SMPN 3 Paringin, Kabupaten Tabalong QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.4, No.1, April 2013, hlm. 79-84 79 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

Lebih terperinci

2016 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT DALAM PEMBELAJARAN PERMAINAN BOLA BESAR TERHADAP KERJASAMA SISWA

2016 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT DALAM PEMBELAJARAN PERMAINAN BOLA BESAR TERHADAP KERJASAMA SISWA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal yang penting bagi setiap bangsa yang sedang membangun. Dalam kedudukannya pada kerangka pembangunan nasional, pendidikan bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menghadapi tantangan era globalisasi saat ini diperlukan sumber daya manusia yang handal yang memiliki pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif, dan kemauan kerjasama

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa melakukan aktivitas. Pengajaran yang

KAJIAN PUSTAKA. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa melakukan aktivitas. Pengajaran yang II. KAJIAN PUSTAKA A. Aktivitas Belajar Dalam kegiatan belajar mengajar siswa melakukan aktivitas. Pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas

Lebih terperinci

Surakarta, Indonesia ABSTRAK

Surakarta, Indonesia ABSTRAK Jurnal Pendidikan Kimia (JPK), Vol. 3 No. 2 Tahun 2014 Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret ISSN 2337-9995 jpk.pkimiauns@ymail.com EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa dari siswa tingkat sekolah dasar, menengah hingga mahasiswa perguruan tinggi. Pada tiap tahapan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori. 1. Aktivitas Belajar. Anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori. 1. Aktivitas Belajar. Anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Aktivitas Belajar Anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan itu" (Piaget dalam

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN TGT PADA STANDAR KOMPETENSI PERBAIKAN SISTEM PENGAPIAN SISWA KELAS XI TKR 3 SMK NEGERI 6 PURWOREJO TAHUN AJARAN

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN TGT PADA STANDAR KOMPETENSI PERBAIKAN SISTEM PENGAPIAN SISWA KELAS XI TKR 3 SMK NEGERI 6 PURWOREJO TAHUN AJARAN IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN TGT PADA STANDAR KOMPETENSI PERBAIKAN SISTEM PENGAPIAN SISWA KELAS XI TKR 3 SMK NEGERI 6 PURWOREJO TAHUN AJARAN 2012/2013 Achmad Hasbi Ash Shiddiq. Program studi pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan pengalamannya kepada siswa pada setiap mata pelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan pengalamannya kepada siswa pada setiap mata pelajaran. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang SMK Negeri 1 Salatiga merupakan salah satu sekolah kejuruan di Salatiga yang mempunyai banyak prestasi. Prestasi siswa tentu tidak mungkin diperoleh begitu saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. yang terjadi baik fisik manpun non fisik, merupakan suatu aktifitas.

BAB II KAJIAN TEORI. yang terjadi baik fisik manpun non fisik, merupakan suatu aktifitas. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Hakekat Aktifitas Belajar 2.1.1 Pengertian Aktifitas Aktivitass pada prinsipnya ialah semua kegiatan siswa yang dilakukan demi mencapai tujuan. Menurut Anton M. Mulyono (2005: 56),

Lebih terperinci

INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN PMRI. Makalah dipresentasikan pada. Pelatihan PMRI untuk Guru-Guru SD di Kecamatan Depok dalam rangka

INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN PMRI. Makalah dipresentasikan pada. Pelatihan PMRI untuk Guru-Guru SD di Kecamatan Depok dalam rangka INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN PMRI Makalah dipresentasikan pada Pelatihan PMRI untuk Guru-Guru SD di Kecamatan Depok dalam rangka Pengabdian Pada Masyarakat Pada tanggal 14 15 Agustus 2009 di FMIPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir

Lebih terperinci

Peningkatan Hasil Belajar, Pembelajaran Kooperatif, Team Assisted Individualization

Peningkatan Hasil Belajar, Pembelajaran Kooperatif, Team Assisted Individualization Abstrak. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Pengembangan Bahan Ajar a. Bahan ajar Menurut Depdiknas (2006: 4) bahan ajar merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis yang memungkinkan siswa

Lebih terperinci

Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika

Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika Posted by Abdussakir on April 14, 2009 A. Pandangan Konstruktivis mengenai Cooperative Learning Sebagian besar pembelajaran matematika tradisional berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Suprijono, (2012:46) model pembelajaran yaitu pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting di dalam interaksi belajar. aktivitas tersebut. Beberapa diantaranya ialah:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting di dalam interaksi belajar. aktivitas tersebut. Beberapa diantaranya ialah: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Aktivitas Belajar Belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diajarkan di sekolah dasar. Dalam mengajarkan mata pelajaran Ilmu

BAB I PENDAHULUAN. yang diajarkan di sekolah dasar. Dalam mengajarkan mata pelajaran Ilmu BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar. Dalam mengajarkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumber daya manusia yang mempunyai pemikiran kritis, kreatif, logis, dan sistematis serta mempunyai kemampuan bekerjasama secara efektif sangat diperlukan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari alam dengan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari alam dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari alam dengan segala isinya termasuk gejala-gejala alam yang ada. Ruang lingkup pembelajarannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkat kemajuan suatu negara dapat dilihat dari kualitas pendidikannya. Pendidikan yang berkualitas akan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri.

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri. BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme Teori konstruktivisme dalam belajar adalah peserta didik agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus

Lebih terperinci

Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 4, No. 1, April 2017, Hal ISSN : Copyright 2017 by LPPM UPI YPTK Padang

Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 4, No. 1, April 2017, Hal ISSN : Copyright 2017 by LPPM UPI YPTK Padang PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAMES TOURNAMENT TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMPN DI KECAMATAN LUBUK BEGALUNG PADANG Dewi Devita Universitas

Lebih terperinci

Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Sebuah Cara Mengenal Matematika Secara Nyata

Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Sebuah Cara Mengenal Matematika Secara Nyata Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Sebuah Cara Mengenal Matematika Secara Nyata oleh : Wahyudi (Dosen S1 PGSD Universitas Kristen Satya Wacana) A. PENDAHULUAN Salah satu karakteristik matematika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. ada umpan balik dari siswa tersebut. Sedangkan komunikasi dua arah, ialah

BAB II KAJIAN TEORI. ada umpan balik dari siswa tersebut. Sedangkan komunikasi dua arah, ialah BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Teoretis 1. Kemampuan Komunikasi Matematika Ditinjau dari makna secara globalnya, komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. V SDN 02 Jatiharjo, Jatipuro, Karanganyar. 1. Nilai ulangan Formatif banyak yang kurang memenuhi KKM.

BAB I PENDAHULUAN. V SDN 02 Jatiharjo, Jatipuro, Karanganyar. 1. Nilai ulangan Formatif banyak yang kurang memenuhi KKM. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengalaman peneliti dalam melaksanakan pembelajaran IPS saat ini tidak menggunakan model pembelajaran yang tepat dan hanya dengan anak di suruh membaca buku

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lemah menjadi kuat, dari tidak bisa menjadi bisa. Seperti diakatakan oleh Slameto

II. TINJAUAN PUSTAKA. lemah menjadi kuat, dari tidak bisa menjadi bisa. Seperti diakatakan oleh Slameto II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakekat Belajar Matematika Belajar merupakan proses berpikir seseorang dalam rangka menuju kesuksesan hidup, perubahan aspek kehidupan dari taraf tidak mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Matematika merupakan salah satu bidang studi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran 1. Pengertian Model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan salah satu faktor penting dalam pembelajaran yang digunakan oleh guru demi tercapainya keberhasilan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Kajian Teori 2.1.1 Mata Pelajaran Matematika di SD 2.1.1.1 Hakikat Matematika Permendiknas nomor 22 tahun 2006 mengemukakan: Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Biologi

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Biologi PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS VII A POKOK BAHASAN EKOSISTEM SMP MUHAMMADIYAH 7

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang umumnya dihadapi oleh guru adalah bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang umumnya dihadapi oleh guru adalah bagaimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan yang umumnya dihadapi oleh guru adalah bagaimana mengemas proses pembelajaran agar dapat memberikan pengalaman yang bermakna bagi murid. Pembelajaran yang

Lebih terperinci

mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Bahasa Indonesia

mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Bahasa Indonesia A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Bahasa Indonesia merupakan salah satu ilmu yang

Lebih terperinci

PENINGKATAN MINAT DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT PADA SISWA KELAS V SDN 07 SUMBERPUCUNG MALANG

PENINGKATAN MINAT DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT PADA SISWA KELAS V SDN 07 SUMBERPUCUNG MALANG JURNAL ILMIAH MATEMATIKA DAN PEMBELAJARANNYA Volume 1 Nomor 1 (2015) ISSN: 2460-3481 PENINGKATAN MINAT DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT PADA SISWA KELAS V SDN 07 SUMBERPUCUNG

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA MELALUI PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) KELAS VIII SMP NEGERI 1 BILUHU

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA MELALUI PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) KELAS VIII SMP NEGERI 1 BILUHU MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA MELALUI PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) KELAS VIII SMP NEGERI 1 BILUHU Nur Ain Hasan, Abas Kaluku, Perry Zakaria JURUSAN PENDIDIKSN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses aktualisasi peserta didik melalui berbagai

I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses aktualisasi peserta didik melalui berbagai I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan proses aktualisasi peserta didik melalui berbagai pengalaman belajar. Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan pokok dalam seluruh proses pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Nasional :

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Nasional : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah proses belajar yang tiada henti di dalam kehidupan manusia, karena pendidikan mempunyai peranan penting bagi kelangsungan hidup manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesan itu sendiri yang biasanya berupa materi pelajaran. Kadang-kadang

BAB I PENDAHULUAN. pesan itu sendiri yang biasanya berupa materi pelajaran. Kadang-kadang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi. Dalam suatu proses komunikasi selalu melibatkan tiga komponen pokok, yaitu komponen pengirim pesan (guru), komponen

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. penelitian. Kajian teori ini membuat tentang motivasi belajar, model pembelajaran

BAB II KAJIAN TEORI. penelitian. Kajian teori ini membuat tentang motivasi belajar, model pembelajaran BAB II KAJIAN TEORI A. Kerangka Teoretis Pembahasan dalam kajian teori ini mencakup teori yang mendukung variabel penelitian. Kajian teori ini membuat tentang motivasi belajar, model pembelajaran kooperatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran matematika tidak hanya mengharuskan siswa sekedar mengerti materi yang dipelajari saat itu, tapi juga belajar dengan pemahaman dan aktif membangun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk. pengertian yang benar tentang suatu rancangan atau ide abstrak.

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk. pengertian yang benar tentang suatu rancangan atau ide abstrak. 11 BAB II KAJIAN TEORI A. Kerangka Teoretis 1. Pemahaman Konsep Matematika Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, paham berarti mengerti dengan tepat, sedangkan konsep berarti suatu rancangan. Dalam matematika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memasuki abad ke 21 persaingan dan tantangan di semua aspek kehidupan semakin besar. Teknologi yang semakin maju dan pasar bebas yang semakin pesat berkembang mendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pada masa kini diseluruh dunia telah timbul pemikiran baru terhadap status pendidikan. Pendidikan diterima dan dihayati sebagai kekayaan yang sangat berharga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah menurut Abdullah dalam J. Tombokan Runtukahu (2000: 307).

BAB I PENDAHULUAN. masalah menurut Abdullah dalam J. Tombokan Runtukahu (2000: 307). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matematika merupakan ilmu yang menjadi dasar dari semua ilmu yang dipelajari di sekolah regular. Oleh sebab itu pelajaran ini diajarkan pada jenjang pendidikan dasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Cooperative Learning

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Cooperative Learning 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Model Cooperative Learning 2.1.1 Pengertian Model Cooperative Learning Cooperative learning dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan nama pembelajaran kooperatif. Cooperative

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1.Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Untuk membangkitkan minat siswa terhadap mata pelajaran Matematika yang akan diajarkan, sebagai langkah awal pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kerjasama a. Definisi Kerjasama Kerjasama adalah sebuah sikap mau melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama tanpa melihat latar belakang orang yang diajak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Kooperatif Menurut Nurulhyati dalam Rusman (2012:203) pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam

Lebih terperinci

UNION: Jurnal Pendidikan Matematika Vol 2 No 1, Maret 2014

UNION: Jurnal Pendidikan Matematika Vol 2 No 1, Maret 2014 UNION: Jurnal Pendidikan Matematika Vol 2 No 1, Maret 2014 UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENTS (TGT) PADA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kearah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2004:37) belajar merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kearah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2004:37) belajar merupakan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Makna Belajar Belajar merupakan proses perkembangan yang dialami oleh siswa menuju kearah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2004:37) belajar merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki zaman modern seperti sekarang ini, manusia dihadapkan pada berbagai tantangan yang ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Aktivitas Belajar Siswa Menurut Sardiman (2011), pada prinsipnya belajar adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2016

SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2016 SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2016 Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematis Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Dengan Teknik Kancing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 (Depdiknas, 2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional:

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 (Depdiknas, 2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arti pendidikan pada lingkup nasional tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 (Depdiknas, 2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional: Pendidikan adalah usaha sadar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS. A. Kemampuan Komunikasi Matematis, Pembelajaran Matematika. Realistik, Pembelajaran Ekspositori, dan Sikap.

BAB II KAJIAN TEORETIS. A. Kemampuan Komunikasi Matematis, Pembelajaran Matematika. Realistik, Pembelajaran Ekspositori, dan Sikap. 10 BAB II KAJIAN TEORETIS A. Kemampuan Komunikasi Matematis, Pembelajaran Matematika Realistik, Pembelajaran Ekspositori, dan Sikap. 1. Kemampuan Komunikasi Matematis Menurut Baird (dalam Cahyati : 2009),

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pembelajaran Matematika Realistik a. Pengertian matematika realistik Pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah sebuah pendekatan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Realistic Mathematics Education (RME) yang di Indonesia dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Lebih terperinci