BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Peningkatan Indeks Daya Saing Pariwisata Indonesia Tahun

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Peningkatan Indeks Daya Saing Pariwisata Indonesia Tahun"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Memperhatikan pada data laporan terakhir The Travel and Tourism Competitiveness Index yang dilansir World Economic Forum (WEF) tahun 2013, Indonesia berada di peringkat 70 dunia dari 140 negara yang terdata, Indonesia mampu naik empat peringkat setelah sebelumnya berada di peringkat 74 pada tahun Setiap tahun terjadi kenaikan pada indeks daya saing pariwisata Indonesia, sudah semestinya kemampuan bersaing di industri hospitality ini dipertahankan bahkan ditingkatkan dengan diwujudkan dalam bentuk manajemen destinasi yang semakin berdaya saing sebagaimana terlihat pada Gambar Sumber: World Economic Forum, 2014 Gambar 1.1. Peningkatan Indeks Daya Saing Pariwisata Indonesia Tahun Dilihat dari sisi jumlah kunjungan wisatawan pun, selalu terjadi peningkatan kuantitas kunjungan ke Indonesia. Hal ini akan berkaitan dengan komparasi daya dukung fisik destinasi/kawasan wisata dengan kuantitas wisatawan yang berada di dalamnya yang menuntut adanya penataan ruang wisata yang kondusif dan proporsional. Berdasarkan data Ditjen Imigrasi dan BPS yang diolah kembali oleh Pusdatin Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 1

2 2 (Kemenparekraf) per periode tahun 2014, disebutkan bahwa kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) naik 12,34% yakni sebanyak wisman pada periode tahun 2013 naik menjadi wisman pada periode tahun Peningkatan tersebut terjadi hampir di semua pintu masuk terutama di Bandara Ngurah Rai, Kualanamu, Batam, serta Husein Sastranegara di Bandung yang peningkatannya masing-masing diatas 20%. Data lengkap kunjungan wisman melalui pintu masuk dapat dilihat dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara Dilihat dari Pintu Masuk Wisatawan ke Indonesia Tahun Pintu Masuk Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Ngurah Rai Soekarno-Hatta Batam Tanjung Uban Kualanamu Juanda Husein Sastranegara Balai Karimun Tanjung Pinang Tanjung Priok Adi Sucipto Minangkabau Entikong Adi Sumarmo Sultan Syarif Kasim Sepinggan Sam Ratulangi Lombok Makassar Lainnya Jumlah Sumber: Pusdatin Kemenparekraf dan BPS, 2015 Bukan hanya wisman, perkembangan perjalanan wisatawan nusantara (wisnus) juga memiliki pengaruh besar terhadap pendapatan Indonesia dari sektor pariwisata. Salah satu buktinya, ketika terjadi ledakan bom Bali tahun 2002, saat itu Bali banyak ditinggalkan oleh wisman sehingga berpengaruh terhadap

3 3 pendapatan ekonomi daerah dari sektor pariwisata. Namun justru penurunan kunjungan wisman yang drastis tertutupi oleh kunjungan wisnus yang tetap stabil, bahkan dikabarkan meningkat. Perkembangan jumlah perjalanan wisnus terus mengalami peningkatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pusdatin Kemenparekraf dan BPS mencatat trend posistif arus peningkatan perjalanan wisnus. Perkembangan jumlah perjalanan wisnus tersebut secara grafik dapat dilihat pada Gambar Sumber: Pusdatin Kemenparekraf dan BPS, 2014 Gambar 1.2. Perkembangan Jumlah Perjalanan Wisatawan Nusantara Tahun Perkembangan jumlah perjalanan wisnus tidak terlepas dari trend berwisata masyarakat Indonesia di berbagai daerah yang terus meningkat, salah satunya di Kabupaten Garut. Kunjungan wisatawan ke kota yang terkenal dengan dodol-nya ini mengalami peningkatan dalam kurun lima tahun terakhir sejak 2010 hingga data terakhir yang dipublikasikan tahun 2014 oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Garut seperti terlihat dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2. Pertumbuhan Kunjungan Wisatawan Mancanegara danwisatawan Nusantara ke Obyek Wisata di Kabupaten Garut Tahun Tahun Wisatawan Mancaegara

4 4 Nusantara Jumlah Sumber: Disbudpar Kabupaten Garut, 2015 Berbicara pariwisata Garut memang sudah semakin menarik rasa kepenasaran para pelaku perjalanan wisata. Kabupaten yang baru saja menanggalkan statusnya sebagai daerah tertinggal berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Nomor 141 Tahun 2014 tentang Penetapan Kabupaten Daerah Tertinggal yang Terentaskan Tahun 2014 yang juga sekaligus menyandang status baru sebagai daerah berpotensi maju ini memang memiliki potensi besar untuk menjadi daerah maju, terutama pada sektor pariwisata. Salah satu daya tarik wisata alam di Kabupaten Garut adalah Situ Bagendit. Situ Bagendit ditetapkan menjadi kawasan lindung melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Lindung, pada Pasal 6 Gubernur menetapkan kawasan lindung Daerah berdasarkan pola ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, yang di dalamnya ditetapkan bahwa Situ Bagendit sebagai kawasan perlindungan setempat di Kabupaten Garut. Perda tersebut kemudian direspon dalam Perda Kabupaten Garut Nomor 29 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut Tahun pada Pasal 26 mengenai rencana pola ruang wilayah kawasan lindung dengan menjadikan Situ Bagendit sebagai kawasan perlindungan setempat di Kecamatan Banyuresmi. Situ Bagendit menjadi salah satu daya tarik wisata alam di Kabupaten Garut. Kawasan dengan total luas 124 ha ini cukup ramai dikunjungi terutama oleh wisatawan lokal Garut dan sekitarnya pada hari-hari libur. Hingga data terakhir yang dirilis Disbudpar Kabupaten Garut tahun 2014, kunjungan wisatawan ke Situ Bagendit masih pluktuatif. Kendati demikian, setiap tahunnya hampir mencapai 300 ribu wisatawan sebagaimana tersaji dalam data Tabel 1.3. Tabel 1.3. Rekapitulasi Jumlah Kunjungan Wisman dan Wisnus ke Situ Bagendit Tahun

5 5 Wisatawan Tahun Mancanegara Nusantara Jumlah Sumber: Disbudpar Kabupaten Garut, 2015 Status kepemilikan Situ Bagendit berada pada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat di bawah kewenangan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA). Namun berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2006 tentang Irigasi, kini Situ Bagendit juga berada pada wilayah pantauan Pemerintah Pusat dengan kewenangan operasional oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) koridor Cimanuk-Cisanggarung. Sebagai lembaga yang berwenang terhadap wilayah Situ Bagendit, Dinas PSDA belum menanggalkan sepenuhnya tanggung jawab terhadap Situ Bagendit, proses transisi pembagian kewenangan masih dikoordinasikan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Jawa Barat (Wawancara: Yadi, 2015; Kepala Seksi Operasi dan Pengolahan Data Dinas PSDA Jawa Barat). Sebagai kawasan lindung yang dimanfaatkan menjadi kawasan wisata, Situ Bagendit harus mampu mempertahankan dan mengakomodasi hal-hal yang menjadi kriteria sebagai kawasan lindung. Dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan serta nilai sejarah dan budaya bangsa, guna kepentingan pembangunan yang berkelanjutan. Selanjutnya dalam Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 72 diuraikan pula mengenai pemanfaatan dan pemeliharaan di kawasan lindung bahwa: 1. Pemanfaatan sumberdaya kawasan lindung dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan dan pemungutan sumberdaya kawasan lindung secara berlebihan.

6 6 2. Di dalam hutan lindung hanya diperbolehkan melakukan kegiatan jasa lingkungan dan pengambilan hasil hutan non kayu. 3. Di dalam kawasan lindung selain kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan kegiatan budidaya yang tidak mengganggu fungsi lindung dan tidak mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan serta ekosistem alami yang ada. 4. Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup, disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. 5. Kegiatan budidaya yang dilakukan di kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung, harus dilakukan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi dan civil teknis. 6. Apabila menurut kajian lingkungan kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) mengganggu fungsi lindung, maka fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap. Dalam PP Nomor 26 tahun 2008 disebutkan bahwa yang menjadi kriteria kawasan lindung di sekitar danau atau waduk adalah: 1. Daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi, atau 2. Daratan sepanjang tepian danau atau waduk yang lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau waduk. Target pengelolaan kawasan lindung sebagaimana tertuang dalam Perda Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung adalah: 1. Pelaksanaan pencapaian target kawasan lindung ditujukan untuk mempertahankan, mengembalikan dan meningkatkan luasan kawasan lindung. 2. Pelaksanaan pencapaian target kawasan lindung meliputi: a. Pemanfaatan dan pemeliharaan kawasan lindung. b. Rehabilitasi dan konservasi kawasan lindung. c. Pemulihan kawasan lindung. 3. Pencapaian target sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh masing-masing instansi sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.

7 7 Berkenaan dengan pemanfaatan kawasan Situ Bagendit sebagai kawasan yang menyuguhkan wisata alam, Pendit (2003) menyebutkan bahwa wisata alam merupakan wisata yang banyak dikaitkan dengan kegemaran akan keindahan alam. Sedangkan dalam PP Nomor 36 Tahun 2010 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Berdasarkan rujukan definisi tersebut, jelas ditekankan bahwa Situ Bagendit sebagai kawasan wisata alam seyogyanya mengandung unsur dan dapat mempertahankan keindahan alam yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Unsur itulah yang kini dirasa hilang dari salah satu primadona wisata tirta di Kabupaten Garut ini. Unsur keindahan Situ Bagendit yang hilang terletak di obyek situ itu sendiri sebagai daya tarik utamanya, serta di kawasan sekitar situ (sempadan) Situ Bagendit. Dalam Perda Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2013 dan juga redaksi yang sama dalam Perda Kabupaten Garut Nomor 29 tahun 2011, dijelaskan bahwa kawasan sekitar danau/situ adalah kawasan tertentu di sekeliling danau dan situ yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi waduk, danau dan situ. Dari total luas Situ Bagendit 124 ha, hanya terairi sekitar 87,57 ha saja, kawasan situ ini menyempit setelah mengalami penyurutan yang diperparah dengan pendangkalan. Setidaknya terdapat beberapa titik permasalahan yang berkaitan dengan fisik kawasan Situ Bagendit, yaitu: 1. Permasalahan pada badan air Situ Bagendit. 2. Permasalahan pemanfaatan ruang sempadan Situ Bagendit. 3. Penggunaan beberapa hektar kawasan menjadi lahan pertanian sawah. 4. Berbatasan dengan kepadatan pemukiman penduduk. 5. Akomodasi fungsi lindung kawasan yang tidak optimal. Permasalahan pada badan air Situ Bagendit merupakan salah satu titik permasalahan utama yang mempengaruhi terhadap daya tarik wisata ini. Hampir sebagian badan air Situ Bagendit tertutupi vegetasi eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan teratai air (Nymphaea). Kondisi ini mempersempit ruang aktivitas

8 8 wisata tirta di kawasan ini, seperti ber-rakit ataupun bersepeda air. Selain itu, kondisi ini juga akan memberikan dampak terhadap ekosistem air yang ada di bawahnya. Sedangkan permasalahan yang muncul pada area sempadan situ adalah berdirinya warung-warung semi permanen yang memadati ruang sempadan (sempadan timur) Situ Bagendit secara tidak beraturan. Warung-warung semi permanen ini dibangun oleh penduduk sekitar kawasan yang hendak mengambil peluang ekonomi sejak kawasan ini diproyeksikan menjadi kawasan wisata. Namun ternyata persebaran yang tidak terkontrol menyebabkan ruang pemanfaatan dalam kawasan menjadi tidak kondusif. Sementara pada bagian sempadan lain tidak terakomodasi fungsinya sebagai bagian yang harus dilindungi sebagai kawasan lindung. Hal ini terjadi salah satunya karena pengambilalihan beberapa hektar lahan kawasan oleh penduduk sekitar menjadi lahan pertanian sawah, sehingga yang fungsinya sebagai lahan perlindungan dengan potensi optimalisasi menjadi ruang terbuka hijau (RTH) menjadi terhambat (Disbudpar Kabupaten Garut, 2014). Pengembangan ruang wisata di kawasan Situ Bagendit juga pada realitas pelaksanaannya akan cukup sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan kawasan ini berbatasan langsung dengan kepadatan pemukiman penduduk di sekitarnya. Hanya tersedia jarak 50 m saja lebar lahan sempadan dari titik pasang tertinggi Situ Bagendit untuk pengembangan ruang wisata. Sehingga pengembangan ruang wisata di kawasan ini hanya dapat dilakukan dengan upaya optimalisasi lahan proporsional kawasan yang mendukung serta tidak mengganggu bentang alam kawasan Situ Bagendit. Permasalahan paling penting daripada kawasan Situ Bagendit ini adalah hilangnya fungsi lindung yang ditopang kawasan ini sesuai ketetapan Gubernur Jawa Barat dalam Perda No. 1 Tahun Arahan pemanfaatan lahan pada kawasan lindung sesuai dengan perda tersebut salah satunya adalah pemanfaatan RTH. Kondisi eksisting menunjukkan fungsi lindung yang tidak optimal diupayakan oleh pihak-pihak terkait untuk memaksimalkan fungsi tersebut. Optimalisasi fungsi lindung dengan pengembangan RTH selain untuk menjaga

9 9 kelestarian alam, juga dapat menjadi salah satu daya tarik wisata tambahan dari pada kawasan ini. Gambaran beberapa permasalahan di atas merupakan komplikasi yang muncul akibat dari dua fungsi operasionalisasi kawasan Situ Bagendit sebagai kawasan lindung yang dimanfaatkan pula sebagai kawasan wisata, yang pada akhirnya menimbulkan kontradiksi visi dan operasi antara visi fungsi sebagai kawasan lindung dengan fungsi sebagai kawasan wisata. Sebagai kawasan wisata, tentu pihak yang berada di ranah pengelolaan urusan pariwisata, dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Garut mendorong kawasan untuk mampu memberikan pendapatan sebesar-besarnya dari sisi ekonomi. Sedangkan lain halnya dengan Dinas PSDA yang diberikan tanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya air dan kawasan di sekitarnya. Maka dari itu, untuk mengembalikan kondusifitas kawasan Situ Bagendit, menjaga keindahan alam sebagaimana tertuang dalam amanat definisi baik menurut literatur maupun regulasi, perlu disusun dan dirumuskan konsep penataan ruang kawasan yang tepat, ramah lingkungan, serta mengakomodasi peraturanperaturan yang mengatur fungsi Situ Bagendit sebagai kawasan perlindungan setempat agar berfungsi sebagaimana mestinya, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata yang berkelanjutan. Oleh karena permasalahan tersebut, konsep penataan ruang selain untuk menata ruang dan memfasilitasi aktivitas wisata di dalam kawasan Situ Bagendit, tentu yang paling utama adalah untuk mengatur zona dan ruang wisata serta memberi solusi jalan tengah agar kegiatan wisata di zona pemanfaatan dapat berjalan secara kondusif dengan nilai-nilai dan aspek Situ Bagendit sebagai kawasan lindung dapat terakomodasi secara utuh. Dengan demikian, operasionalisasi kawasan wisata alam di Situ Bagendit dapat ditopang dengan konsep tata ruang yang mengakomodasi fungsi lindung sebagai perhatian utama. Menyusun konsep penataan ruang tentunya harus sesuai dengan fungsi peruntukkan daripada kawasan itu sendiri. Sebagaimana fungsi Situ Bagendit sebagai kawasan perlindungan setempat, maka konsep penataan ruang Situ Bagendit sebagai kawasan wisata alam harus memenuhi, mematuhi dan mengakomodasi peraturan-peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan dan

10 10 pengelolaan kawasan lindung. Sehingga penyusunan konsep ini harus betul-betul memperhatikan dan mengakomodasi peraturan terkait demi kelestarian kondisi dan bentang alam Situ Bagendit. Berkenaan dengan tata ruang tentu erat kaitannya dengan konsep zonasi. Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah memberikan arahan secara umum mengenai zonasi untuk kawasan lindung yang dimanfaatkan untuk kawasan wisata alam. Pada Pasal 68 disebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang untuk wisata alam harus tanpa merubah bentang alam dari kawasan itu sendiri. Artinya tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan Situ Bagendit sesuai dengan aslinya. Konsep penataan ruang kawasan Situ Bagendit diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan solusi yang tepat dengan memberikan jalan tengah penyelenggaraan kawasan ini untuk menciptakan kondusifitas pemanfaatan pada area fisik kawasan. Uraian tersebutlah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat permasalahan penataan ruang di Situ Bagendit ini di dalam sebuah karya ilmiah skripsi dengan judul: Konsep Penataan Ruang Situ Bagendit sebagai Kawasan Wisata Alam dengan Fungsi Lindung di Kabupaten Garut. B. Identifikasi Masalah Penelitian Situ Bagendit memerlukan penataan ruang fisik yang sesuai, khususnya penataan untuk pengembangan ruang wisata kawasan, namun konsep penataan yang akan tetap mampu mengakomodasi fungsi lindung kawasan Situ Bagendit. Teridentifikasi beberapa titik permasalahan yang berkaitan dengan fisik kawasan Situ Bagendit sehingga memerlukan penataan ruang secara fisik, yaitu: 1. Permasalahan pada badan air Situ Bagendit. 2. Permasalahan pemanfaatan ruang sempadan Situ Bagendit. 3. Penggunaan beberapa hektar kawasan menjadi lahan pertanian sawah. 4. Berbatasan dengan kepadatan pemukiman penduduk. 5. Akomodasi fungsi lindung kawasan yang tidak optimal. Gambaran beberapa permasalahan di atas merupakan komplikasi yang muncul akibat dari dua fungsi operasionalisasi kawasan Situ Bagendit sebagai

11 11 kawasan lindung yang dimanfaatkan pula sebagai kawasan wisata, yang pada akhirnya menimbulkan kontradiksi visi dan operasi antara visi fungsi sebagai kawasan lindung dengan fungsi sebagai kawasan wisata. Sebagai kawasan wisata, tentu pihak yang berada di ranah pengelolaan urusan pariwisata, dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Garut mendorong kawasan untuk mampu memberikan pendapatan sebesar-besarnya dari sisi ekonomi. Sedangkan lain halnya dengan Dinas PSDA yang diberikan tanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya air dan kawasan di sekitarnya. Maka dari itu, konsep penataan ruang wisata Situ Bagendit dengan memperhatikan fungsi lindung kawasan diharapkan dapat menjadi solusi jalan tengah diantara operasionalisasi kawasan lindung Situ Bagendit yang dimanfaatkan pula sebagai kawasan wisata. C. Pembatasan Masalah Penelitian Berdasarkan hasil pra penelitian yang penulis lakukan, permasalahan penataan ruang yang terjadi di kawasan Situ Bagendit merupakan permasalahan pada ranah faktor fisik, terutama pada aspek penggunaan lahan kawasan. Maka dari itu, penulis membatasi pembahasan masalah penelitian ini pada ranah faktorfaktor fisik yang mempengaruhi. Dimana penulis membahas titik-titik permasalahan kawasan ditinjau dari tiga aspek dalam faktor fisik kawasan Situ Bagendit, yaitu topografi, hidrografi, serta penggunaan lahan kawasan Situ Bagendit. Hingga perumusan konsep penataan ruang pada penelitian ini didasarkan kepada konsep kesesuaian lahan yang juga ditinjau dari ketiga faktor fisik tersebut dikombinasi dengan arahan regulasi yang terkait. D. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan pada uraian latar belakang dan identifikasi masalah, penulis merinci fokus permasalahan dalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana kondisi fisik kawasan lindung Situ Bagendit? 2. Bagaimana potensi dan kendala penataan ruang wisata Situ Bagendit sebagai kawasan wisata alam dengan fungsi lindung di Kabupaten Garut?

12 12 3. Bagaimana konsep penataan ruang Situ Bagendit sebagai kawasan wisata alam dengan fungsi lindung di Kabupaten Garut? E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini sesuai dengan pertanyaan penelitian pada rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi kondisi fisik kawasan lindung Situ Bagendit. 2. Menganalisis potensi dan kendala penataan ruang wisata Situ Bagendit sebagai kawasan wisata alam dengan fungsi lindung di Kabupaten Garut. 3. Merumuskan konsep penataan ruang Situ Bagendit sebagai kawasan wisata alam dengan fungsi lindung di Kabupaten Garut. F. Manfaat Penelitian Berdasarkan beberapa tujuan penelitian yang telah diuraikan, penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pengetahuan serta manfaat yang aplikatif baik secara akademis maupun praktis. 1. Manfaat Akademis Hasil Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi dan informasi bagi akademisi dan atau peneliti lain yang juga hendak mengkaji permasalahan lebih mendalam pada kawasan wisata alam Situ Bagendit, khususnya pada aspek penataan ruang kawasan. Menjadi sumber perbandingan/ komparasi dalam menyusun konsep penataan ruang dan pengembangan kawasan wisata alam Situ Bagendit yang semakin baik. 2. Manfaat Praktis Penulis mengangkat permasalahan ini dengan harapan dapat memberikan sumbangsih untuk mengembangkan pariwisata Garut yang lebih baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih bermanfaat lagi jika dapat dijadikan sebuah masukan dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan Situ Bagendit. Oleh karena itu, manfaat praktis yang kiranya dapat menjadi masukan dari penelitian Konsep Tata Ruang Situ Bagendit sebagai Kawasan Wisata Alam dengan Fungsi Lindung di Kabupaten Garut ini adalah sebagai berikut.

13 13 a. Bagi Pemerintah Pusat dan juga Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini adalah Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, karena dapat mengupayakan aplikasi konsep pengembangan penataan ruang kawasan dengan fungsi lindung sesuai dengan status kawasan Situ Bagendit sebagai kawasan lindung. b. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut yang mengelola urusan kepariwisataan kawasan Situ Bagendit, karena dapat mengupayakan aplikasi rumusan konsep pengembangan penataan ruang kawasan wisata alam yang proporsional dengan fungsi lindung kawasan. c. Memberikan konsep penataan ruang Situ Bagendit sebagai kawasan wisata alam dengan fungsi lindung di Kabupaten Garut, sehingga diharapkan dapat menjadikan Situ Bagendit sebagai kawasan wisata alam yang berkelanjutan di Kabupaten Garut. d. Mendorong terciptanya kawasan wisata alam tirta unggulan di Kabupaten Garut dengan memperhatikan aspek-aspek perlindungan kawasan. e. Mendukung konsep kelestarian sumber daya alam dan perlindungan vegetasi di kawasan Situ Bagendit, serta potensi membuat program wisata pendidikan alam di kawasan. f. Tersedianya fasilitas, sarana dan prasarana pariwisata alam yang unggul dengan memenuhi standar terkait sesuai dengan pola ruang kawasan untuk meningkatkan kenyamanan, keamanan wisatawan di dalam kawasan. G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi dengan judul Konsep Tata Ruang Situ Bagendit sebagai Kawasan Wisata Alam dengan Fungsi Lindung di Kabupaten Garut ini terdiri atas lima bab dengan uraian konten secara singkat sebagai berikut. Bab I Pendahuluan, memuat hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian ini, identifikasi masalah utama yang muncul, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini, serta sistematika dari penulisan peneltian ini sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah UPI tahun 2014.

14 14 Bab II Kajian Pustaka, berisi teori-teori dari referensi ilmiah yang relevan dengan penelitian ini, referensi buku teks, kajian penelitian, jurnal, hingga kebijakan-kebijakan hukum pemerintahan terutama yang terkait tata ruang dan penyelenggaraan kepariwisataan, serta disajikan pula kerangka pemikiran penelitian yang akan memberikan informasi alur pikir penelitian yang dilakukan. Bab III Metode Penelitian, akan memuat uraian metode dan desain penelitian untuk menjawab semua pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, mulai dari pendekatan yang digunakan, instrumen penelitian di lapangan, teknik pengumpulan data di lapangan, hingga analisis data yang akan menjawab rumusan masalah penelitian dan atau temuan dari penelitian ini. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi pokok utama dari penelitian, menyajikan hasil penelitian di lapangan dengan menggunakan metode yang telah ditentukan, serta mengolah dan membahas data hasil penelitian menjadi sebuah temuan yang menjawab seluruh pertanyaan penelitian yang dirumuskan. Pada bab ini juga sudah didapatkan hasil dan tujuan penelitian yang ditargetkan di awal. Bab V Kesimpulan dan Saran, memuat kesimpulan akhir penelitian yang telah dilakukan dengan temuan-temuan yang telah didapatkan. Kemudian dari temuan tersebut selanjutnya diuraikan saran dan atau rekomendasi kepada pihak-pihak terkait dengan ranah dan objek penelitian yang dilakukan dengan harapan dapat dilakukan langkah dan atau tindakan responsif pemilik kewenangan terhadap penyelesaian permasalahan yang berkembang.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai pemilik kewenangan terhadap lahan kawasan Situ Bagendit di bawah pengelolaan Dinas PSDA cukup kesulitan menjalankan fungsi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL OKTOBER 2013

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL OKTOBER 2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 87/12/Th. XVI, 2 Desember PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL OKTOBER A. PERKEMBANGAN PARIWISATA JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA OKTOBER MENCAPAI 719,9 RIBU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor strategis dalam pengembangan perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor strategis dalam pengembangan perekonomian Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu sektor strategis dalam pengembangan perekonomian Indonesia adalah sektor pariwisata. Selain sebagai salah satu sumber penerimaan devisa, sektor ini juga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL DESEMBER 2010

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL DESEMBER 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 08/02/Th. XIV, 1 Februari 2011 PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL DESEMBER A. PERKEMBANGAN PARIWISATA WISMAN DESEMBER MENCAPAI 644,2 RIBU ORANG, NAIK 3,01 PERSEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEM ERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KONSEP PENATAAN RUANG SITU BAGENDIT SEBAGAI KAWASAN WISATA ALAM DENGAN FUNGSI LINDUNG DI KABUPATEN GARUT

KONSEP PENATAAN RUANG SITU BAGENDIT SEBAGAI KAWASAN WISATA ALAM DENGAN FUNGSI LINDUNG DI KABUPATEN GARUT KONSEP PENATAAN RUANG SITU BAGENDIT SEBAGAI KAWASAN WISATA ALAM DENGAN FUNGSI LINDUNG DI KABUPATEN GARUT Darsiharjo (1), Fitri Rahmafitria (2), Dede Rusliansyah (3) Program Studi Manajemen Resort & Leisure

Lebih terperinci

Lampiran 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia Menurut Pintu Masuk

Lampiran 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia Menurut Pintu Masuk 96 Lampiran 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia Menurut Pintu Masuk Pintu Masuk Wisatawan Mancanegara (U=Udara, L=Laut, D=Darat) 2010 2011 Pertumbuhan (%) 1 Ngurah Rai, Bali (U) 2.546.023

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

2016 PENGARUH KUALITAS PRODUK DAN HARGA TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN DI CHE.CO CAFÉ AND RESTO JATINANGOR

2016 PENGARUH KUALITAS PRODUK DAN HARGA TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN DI CHE.CO CAFÉ AND RESTO JATINANGOR BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Industri pariwisata merupakan sebuah fenomena industri yang sedang dikembangkan untuk meningkatkan keadaan ekonomi sebagian besar negara di dunia.dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan sebagai destinasi wisata nasional dalam Masterplan Kementerian

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan sebagai destinasi wisata nasional dalam Masterplan Kementerian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu Provinsi yang memiliki banyak potensi wisata. Kepariwisataan di Nusa Tenggara Timur sudah ditetapkan sebagai destinasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL PENINGKATAN DAYA SAING PARIWISATA Kedeputian Ekonomi BAPPENAS Disampaikan dalam Pra Musrenbangnas Jakarta, 16-24 April

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam pembangunan perekonomian nasional maupun daerah. Seperti yang dituangkan dalam konsep Masterplan Percepatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberdayakan sebagai Daerah Tujuan Wisata. Menurut World Tourism. Tabel 1.1 Data Kunjungan Wisatawan Ke Asia Pasifik

BAB I PENDAHULUAN. diberdayakan sebagai Daerah Tujuan Wisata. Menurut World Tourism. Tabel 1.1 Data Kunjungan Wisatawan Ke Asia Pasifik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Kepulauan Nusantara dengan sebutan untaian zamrud di khatulistiwa, penuh dengan keindahan alam beserta flora dan faunanya, kaya dengan aneka ragam budaya,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pariwisata sebagai suatu aspek pembangunan telah menjadi perhatian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pariwisata sebagai suatu aspek pembangunan telah menjadi perhatian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata sebagai suatu aspek pembangunan telah menjadi perhatian berbagai kalangan, khususnya bagi daerah-daerah tertentu yang secara alamiah tidak mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan perekonomian Indonesia yang semakin membaik ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi salah satunya didorong oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012).

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012). 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak di daerah tropis yang memiliki karakteristik kekayaan hayati yang khas dan tidak dimiliki oleh daerah lain di dunia. Keanekaragaman jenis flora dan

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL BULAN MEI 2004

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL BULAN MEI 2004 PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL BULAN MEI 2004 PARIWISATA No. 38 / VII / 1 Juli 2004 Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia melalui 13 pintu masuk pada bulan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas berwisata atau biasa disebut traveling tidak hanya dilakukan oleh para pecinta alam saja, namun mulai meluas dikalangan masyarakat. Ketika musim liburan,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. Visa. Kunjungan. Kedatangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. Visa. Kunjungan. Kedatangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA No.38, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. Visa. Kunjungan. Kedatangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-02.GR.01.06 TAHUN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam kurun waktu yang sangat panjang perhatian pembangunan pertanian

I. PENDAHULUAN. Dalam kurun waktu yang sangat panjang perhatian pembangunan pertanian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kurun waktu yang sangat panjang perhatian pembangunan pertanian terfokus kepada peningkatan produksi, terutama pada peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL NOVEMBER 2009

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL NOVEMBER 2009 BADAN PUSAT STATISTIK No. 03/01/Th. XIII, 4 Januari 2010 PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL NOVEMBER A. PERKEMBANGAN PARIWISATA Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. UMUM. Sejalan...

I. UMUM. Sejalan... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM I. UMUM Kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian yang akan dilakukan, rumusan masalah yang menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. penelitian yang akan dilakukan, rumusan masalah yang menjadi topik 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini diuraikan mengenai latar belakang kegiatan penelitian yang akan dilakukan, rumusan masalah yang menjadi topik pembahasan yang akan diteliti, serta tujuan dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada masa sekarang kepariwisataan menjadi topik utama di seluruh dunia. Isu-isu mengenai pariwisata sedang banyak dibicarakan oleh masyarakat luas baik di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

persaingan tidak lagi lokal namun sudah menglobal.

persaingan tidak lagi lokal namun sudah menglobal. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Perkembangan ekonomi Indonesia dewasa ini menunjukan semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia. Hal ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem perekonomian

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM Nomor : P. 01/IV- SET/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM Nomor : P. 01/IV- SET/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM Nomor : P. 01/IV- SET/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM, RENCANA KARYA LIMA TAHUN DAN RENCANA KARYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau mencapai pulau yang terdiri dari lima kepulauan besar dan 30

I. PENDAHULUAN. pulau mencapai pulau yang terdiri dari lima kepulauan besar dan 30 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang melimpah dengan jumlah total pulau mencapai 17.508 pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu alternatif pembangunan, terutama bagi negara atau daerah yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. satu alternatif pembangunan, terutama bagi negara atau daerah yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata dinilai banyak pihak memiliki banyak arti penting sebagai salah satu alternatif pembangunan, terutama bagi negara atau daerah yang memiliki keterbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri Pariwisata merupakan salah satu sektor jasa yang menjadi unggulan di tiap-tiap wilayah di dunia. Industri Pariwisata, dewasa ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 Tentang : Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman Wisata Alam Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 18 TAHUN

Lebih terperinci

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI REMBANG Penekanan Desain Waterfront

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI REMBANG Penekanan Desain Waterfront LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI REMBANG Penekanan Desain Waterfront Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting, dimana dalam perekonomian suatu Negara, apabila dikembangkan secara terencana dan terpadu, peran pariwisata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 18 Tahun 1994

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 18 Tahun 1994 PERATURAN PEMERINTAH Nomor 18 Tahun 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL,TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012) 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata adalah salah satu sektor penting yang bisa menunjang pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, mendorong pemerataan pembangunan nasional dan mempercepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadi agenda utama pemerintah Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadi agenda utama pemerintah Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pariwisata adalah suatu fenomena yang kompleks karena banyak faktor yang berinteraksi, didukung berbagai fasilitas serta layanan yang melibatkan seluruh lapisan

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan bagi negara melalui pendapatan devisa negara. Semakin banyak

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan bagi negara melalui pendapatan devisa negara. Semakin banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang menyumbangkan pendapatan bagi negara melalui pendapatan devisa negara. Semakin banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN I.. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki perhatian cukup tinggi terhadap pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan menetapkan kebijakan pengelolaannya harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan pembangunan di Bali sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan pembangunan di Bali sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata internasional yang sangat terkenal di dunia. Sektor kepariwisataan telah menjadi motor penggerak perekonomian dan pembangunan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata merupakan salah satu tujuan favorit bagi wisatawan. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata merupakan salah satu tujuan favorit bagi wisatawan. Untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kekayaan potensi pariwisata merupakan salah satu tujuan favorit bagi wisatawan. Untuk meningkatkan kunjungan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG RINGKASAN RENJA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KOTA TANGERANG TAHUN 2017 Rencana Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang Tahun 2017 yang selanjutnya disebut Renja Disbudpar adalah dokumen

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

2016 STRATEGI PENGEMBANGAN DESA MEKARJAYA MENJADI DESA WISATA DI KABUPATEN GARUT

2016 STRATEGI PENGEMBANGAN DESA MEKARJAYA MENJADI DESA WISATA DI KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat. Bukan sebuah nama asing yang baru didengar di kalangan masyarakat luar yang terkenal dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk Indonesia sebagai sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan ekonomi. Bahkan tidak berlebihan,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL AGUSTUS 2007

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL AGUSTUS 2007 BADAN PUSAT STATISTIK No. 52/10/Th. X, 1 Oktober 2007 PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL AGUSTUS 2007 A. PERKEMBANGAN PARIWISATA Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KEPUTUSAN BUPATI NOMOR 16 TAHUN 2002 T E N T A N G PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan devisa, membuka lapangan kerja sekaligus kesempatan berusaha. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN

PENJELASAN A T A S PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 72 PENJELASAN A T A S PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2011-2031 I. UMUM. Latar belakang disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bali, merupakan barometer perkembangan pariwisata nasional. Pulau

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bali, merupakan barometer perkembangan pariwisata nasional. Pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali, merupakan barometer perkembangan pariwisata nasional. Pulau ini tidak hanya terkenal di dalam negeri tetapi juga di mancanegara. Sektor pariwisata menjadi

Lebih terperinci

2016 PENGARUH CULTURAL VALUE PADA DAYA TARIK WISATA PURA TANAH LOT BALI TERHADAP KEPUTUSAN BERKUNJUNG

2016 PENGARUH CULTURAL VALUE PADA DAYA TARIK WISATA PURA TANAH LOT BALI TERHADAP KEPUTUSAN BERKUNJUNG 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan Pariwisata dunia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh UNWTO, World Tourism barometer pada tahun 2014 bahwa wilayah Asia Pasifik merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

2016 PENGARUH MOTIVASI WISATAWAN LOKALTERHADAP KEPUTUSAN BERKUNJUNG KE TAMAN KOTA DI KOTA TANGERANG SELATAN

2016 PENGARUH MOTIVASI WISATAWAN LOKALTERHADAP KEPUTUSAN BERKUNJUNG KE TAMAN KOTA DI KOTA TANGERANG SELATAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sektor pariwisata saat ini telah menjadi sektor industri yang sangat besar di dunia. Pertumbuhuan pariwisata saat ini merupakan bentuk nyata dari perjalanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, No.1054, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. KPP APEC. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KARTU PERJALANAN PEBISNIS

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENINGKATAN DAYA SAING PARIWISATA

PENINGKATAN DAYA SAING PARIWISATA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL PENINGKATAN DAYA SAING PARIWISATA Kedeputian Ekonomi BAPPENAS Disampaikan dalam Multilateral Meeting Rakorbangpus Jakarta,

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan

Lebih terperinci

tersendiri sebagai destinasi wisata unggulan. Pariwisata di Bali memiliki berbagai

tersendiri sebagai destinasi wisata unggulan. Pariwisata di Bali memiliki berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia, telah menjadi daya tarik tersendiri sebagai destinasi wisata unggulan. Pariwisata di Bali memiliki berbagai keunggulan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan Desa Tanjung Binga merupakan salah satu kawasan yang berada di zona pusat pengembangan pariwisata di Belitung yaitu terletak di Kecamatan Sijuk kawasan pesisir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan tersebar dari pulau Sumatera sampai ke ujung timur

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Terbuka Hijau atau RTH merupakan salah satu komponen penting perkotaan. Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka

Lebih terperinci