KLIPING JURNAL PROTOZOA AIR SEBAGAI INDIKATOR LINGKUNGAN. Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Avertebrata Air DISUSUN OLEH :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KLIPING JURNAL PROTOZOA AIR SEBAGAI INDIKATOR LINGKUNGAN. Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Avertebrata Air DISUSUN OLEH :"

Transkripsi

1 KLIPING JURNAL PROTOZOA AIR SEBAGAI INDIKATOR LINGKUNGAN Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Avertebrata Air DISUSUN OLEH : PEFI FIRMAN NURLAILUDIN ( ) RIANDI SAPUTRO ( ) FIQI MUHAMMAD SEPTIAN ( ) KELAS : FPIK I A FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2011

2 DAFTAR ISI Resume Jurnal 1 1. Luli Gustiantini dan Ediar Usman : Distribusi Foraminifera Bentik Sebagai Indikator Kondisi Lingkungan di Perairan Sekitar Pulau Batam Riau Kepulauan Suhartati M. Natsir dan Rubiman : Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura Suhartati M. Natsir : Kelimpahan Foraminifera Resen Pada Sedimen Permukaan di Teluk Ambon Effendi Parlindungan Sagala : Potensi Komunitas Plankton dalam Mendukung Kehidupan Komunitas Nekton di Perairan Rawa Gambut, Lebak Jungkal di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Propinsi Sumatera Selatan Ainin Niswati, Dermiyati, dan Mas Achmad Syamsul Arif : Perubahan Populasi Protozoa dan Alga Dominan pada Air Genangan Tanah Padi Sawah yang Diberi Bokashi Berkelanjutan Rosmimik Emerde Palar : Peranan Mikroba dan Protozoa Dalam Penanggulangan Limbah Cair Industri Kertas.. 44 Daftar Pustaka... 51

3 RESUME JURNAL Protozoa termasuk golongan protista eukariotik yang berada dalam keadaan sel tunggal dan berkoloni. Protozoa hidup bebas tergantung adanya air, pada bahan organik yang membusuk, dalam tanah dan pasir, hidupnya dipengaruhi kelembaban, suhu, cahaya, nutrien dan kondisi fisik dan kimia. Pertumbuhanannya dapat bertahan dalam air pada suhu 56 0 C, tetapi suhu optimumnya adalah antara 36 s/d 40 0 C, keasaman berkisar antara ph 6.0 dan ph 8.0. Protozoa memiliki 4 kelas yang dibedakan berdasarkan alat geraknya, yaitu Rhizopoda, Flagellata (Mastigophora), Ciliata (Ciliophora), dan Apicomplexa (Sporozoa). Dalam Kliping Jurnal Protozoa Air Sebagai Indikator Lingkungan, dibahas beberapa protozoa air sebagai indikator lingkungan antara lain : 1. Kandungan Foraminifera (Kelas Rhizopoda) di dalam sedimen permukaan perairan sekitar Pulau Batam Kepulauan Riau sangat berlimpah dan beraneka ragam. Kumpulan Foraminifera yang ditemukan menunjukkan kondisi lingkungan laut dangkal dengan energi arus relatif tinggi, dengan material sedimen yang kasar sampai lumpuran. 2. Chlorophyceae, Diatomae (Bacillariophyceae) dan Flagellata merupakan takson yang dominan yang dijumpai pada ekosistem perairan Danau Lebak Jungkal. Dengan demikian spesies-spesies yang termasuk ketiga taksa tersebut merupakan yang paling adaptif dan dapat dikembangkan untuk pakan alami dalam budidaya ikan di wilayah Danau Lebak Jungkal. 3. Protozoa dan alga yang mendominasi pada air genangan tanah sawah pada penelitian ini adalah dari genus Euglena, Pleodorina, Volvox, dan Diatom. Pemberian bokashi terus menerus selama 4 tahun meningkatkan secara siginifikan jumlah populasi protozoa dan algae secara keseluruhan, tetapi hanya alga genus Volvox yang jumlahnya secara signifikan dipengaruhi oleh pemberian bokashi terus menerus. 4. Protozoa aerob yang berfungsi mendegradasi limbah mentah yang ada dalam tangki dan menghasilkan produk samping berupa amoniak, methan, hidrogen sulfida. Protozoa yang digunakan adalah kelas Ciliata yaitu Metapus sp, Saprodinium sp, Epulxis sp. Dari pembahasan sekilas di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat protozoa yang dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan antara lain Foraminifera (kelas Rhizopoda), Metapus sp, Saprodinium sp, Epulxis sp (kelas Ciliata). Dengan demikian protozoa dapat bermanfaat bagi manusia salah satunya adalah untuk menentukan indikator suatu lingkungan yang mana apakah lingkungan tersebut baik atau buruk bagi kelangsungan hidup manusia.

4 DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN DI PERAIRAN SEKITAR PULAU BATAM RIAU KEPULAUAN Oleh : Luli Gustiantini dan Ediar Usman Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Jl. Dr. Junjunan No. 236 Bandung SARI Hasil analisis foraminifera bentik dari 42 percontoh sedimen dasar laut yang diambil dari Perairan Batam menunjukkan kelimpahan yang sangat tinggi, terdiri dari 123 spesies, yang terbagi menjadi 72 spesies dari Grup Rotaliina, 28 spesies Miliolina, dan 23 spesies Textulariina. Berdasarkan analisis cluster, lokasi penelitian terbagi menjadi 5 cluster, yang masing-masing didominasi oleh Asterorotalia trispinosa, Pseudorotalia annectens, Amphistegina radiata, Quinqueloculina cf. Q. philippinensis, dan Operculina ammonoides. Kelima spesies tersebut merupakan penciri lingkungan laut dangkal, sedimen kasar, dan berasosiasi dengan lingkungan berenergi tinggi dan terumbu karang. Penyebaran foraminifera bentik di lokasi penelitian dipengaruhi oleh pola arus, distribusi sedimen, dan terumbu karang. Ada perbedaan distribusi foraminifera bentik yang cukup signifikan antara wilayah sebelah barat dengan di sebelah utara dan timur penelitian. Ketiga area tersebut memiliki pola arus, tingkat energi dan distribusi sedimen yang cukup berbeda. Wilayah Perairan Batam dinilai masih memiliki kondisi lingkungan yang bagus, dilihat dari kelimpahan foraminifera bentik, serta dari nilai tingginya index diversitas yaitu >3. Kata kunci : foraminifera bentik; analisis cluster; indikator lingkungan; Perairan Batam - Riau ABSTRACT Analysis of benthic foraminifera from 42 seafloor sediment samples from Batam Waters, shows very high abundance, consists of 123 species, which are 72 species belong to Rotaliina, 28 species of Miliolina, and 23 species of Textulariina. Based on cluster analysis, the study area is divided into 5 groups, each cluster is dominated by Asterorotalia trispinosa, Pseudorotalia annectens, Amphistegina radiata, Quinqueloculina cf. Q. philippinensis, and Operculina ammonoides. These five species of benthic foraminifera are indicators for shallow marine water environment, with coarse sediment fraction and associated with high energy environment and coral reef. The benthic foraminiferal distribution is influenced by current pattern, sediment distribution, and coral reef. There is a significant difference between benthic foraminiferal distribution in the western part with the northern and the eastern parts. These three parts of the study area have different current pattern, energy, and sediment distribution. Batam Waters is assumed still in good environment, derived from both high abundance of benthic foraminifera and the high value of diversity index (>3). Key words : benthic foraminifera; cluster analysis; environmental indicator; Batam Waters JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April

5 PENDAHULUAN Perairan di sebelah utara P. Batam merupakan bagian dari jalur lalu lintas internasional, dan merupakan batas antara Indonesia Malaysia, dan Indonesia Singapura. Perairan ini mempunyai karakteristik arus yang relatif kuat, bergerak pada umumnya dari baratlaut ke tenggara sejajar dengan arah perairan Selat Malaka. Kedalaman rata-rata daerah penelitian m, sedangkan kedalaman maksimal 65m terdapat di bagian tengah penelitian (Usman, drr., 2005). Seiring dengan perkembangan pembangunan, Perairan Batam sebagai kawasan pesisir akan menjadi tujuan pengembangan sarana teknologi pelayaran, pelabuhan, industri, pemukiman, dan perikanan. Akibatnya akan timbul permasalahan baru antara lain persoalan pencemaran lingkungan, abrasi pantai, banjir, erosi permukaan tanah, amblasan, kelangkaan air bersih, dll. (Usman, drr., 2005). Sehingga perlu adanya monitoring terhadap berbagai perubahan lingkungan yang terjadi. Oleh karena itu selain bertujuan untuk mengetahui kandungan dan penyebaran foraminifera bentik di lokasi penelitian dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya, penelitian ini juga dimaksudkan sebagai monitoring terhadap kondisi lingkungan perairan sekitar Pulau Batam. Foraminifera merupakan salah satu partikel dalam sedimen dasar laut yang keberadaannya dapat menunjukkan lingkungan tempat dia hidup. Cara hidupnya adalah menempelkan diri pada sedimen, batuan, tumbuh-tumbuhan laut dan karang yang berada di dasar perairan. Akibatnya foraminifera bentik sangat sensitif terhadap berbagai perubahan lingkungan seperti temperatur, salinitas, cahaya, kedalaman, kandungan oksigen, dll. (Boltovskoy dan Wright, 1976), sehingga merupakan indikator lingkungan yang sangat potensial. Daerah penelitian adalah perairan Pulau Batam dan sekitarnya, yang terletak pada koordinat BT BT, LU LU (Gambar 1), termasuk ke dalam lembar peta no Sedimen dasar laut Perairan Batam didominasi oleh pasir kuarsa dan campuran kerikil, serta cangkang dan batulempung kaolin, terutama di bagian timur daerah pemetaan. Sementara di bagian barat lebih didominasi oleh sedimen fraksi yang lebih halus dan tebal (Usman, drr., 2005). METODE PENELITIAN Pelaksanaan survei lapangan dilakukan oleh Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) pada 1 Juni s/d 5 Juli 2005, menggunakan kapal Geomarin I. Dalam kegiatan tersebut telah dikoleksi sebanyak 80 per contoh sedimen dasar laut dengan alat grab sampler, lalu dipilih sebanyak 42 sampel yang dianggap mewakili daerah penelitian. Selanjutnya 300 individu diambil dari percontoh hasil cucian masing-masing dari contoh fraksi ukuran terbesar, bila masih kurang diambil dari fraksi yang lebih kecil. Cangkang foraminifera tersebut akan dideterminasi mengacu pada Barker (1960), Albani & Yassini (1993), Loeblich&Tappan (1994), dan Yassini & Jones (1995). Tahap selanjutnya adalah analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui kelimpahan dan keanekaragamannya, serta pengelompokkan berdasarkan metode cluster. Untuk pengelompokkan ini, dipilih 19 spesies yang paling melimpah di lokasi penelitian, dan kemudian diproses dalam program komputer STATISTICA : cluster analysis, yang telah banyak dilakukan antara lain oleh Jorissen (1986), dan Yassini & Jones (1991). Pengelompokkan dilakukan berdasarkan kemiripan pola sebaran masing-masing spesies. Untuk menghitung tingkat keanekaragaman, digunakan rumus Shannon- Weaver yang dikembangkan dalam program komputer oleh Bakus (1990), yaitu: H = - Σ p i log p i Keterangan : p i = n i / N Σ = jumlah ni = jumlah individu dari setiap spesies pada tiap contoh (I 1, I 2,..., i n ) N = jumlah total individu HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Foraminifera bentik ditemukan cukup melimpah, terdiri dari 123 spesies, terbagi menjadi 72 dari grup Rotaliina, 28 spesies dari 44 JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April 2008

6 Gambar 1. Lokasi penelitian dan batimetrinya (Modifikasi dari Usman, drr., 2005) JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April

7 Gambar 2. Foraminifera bentik yang dominan di lokasi penelitian (cluster 1: 1. Asterorotalia trispinosa, 2. Textularia agglutinans, 3. Textularia cf. T. semialata, 4. Textularia conica; Cluster 2 : 5-7. Pseudorotalia annectens, 8, 9. Eponides cibrorepondus, 10, 11. Pseudorotalia conoides, 12, 13. Pseudorotalia sp. 2; Cluster 3: 14. Amphistegina radiata, 15. Elphidium cf. E. discoidalis multiloculum; Cluster 4 : 16. Quinqueloculina cf. Q. philippinensis, 17. Heterolepa subhaidingeri; 18, 19. Asterorotalia inflata, 20. Spiroloculina subimpresa; Cluster 5 : 21. Operculina ammonoides, 22. Agglutinella agglutinans, 23. Siphotextularia sp.3, 24. Siphotextularia sp. 2, 25. Ammobaculites agglutinans grup Miliolina, dan 23 spesies dari grup Textulariina. Komposisi ini sangat ideal bagi lingkungan laut dangkal/zona paparan (Boltovskoy & Wright, 1976), di mana jenis Rotaliina lebih dominan dibandingkan dengan jenis lainnya. Berdasarkan analisis cluster, yang dilakukan terhadap 19 jenis foraminifera paling dominan (Gambar 2), lokasi penelitian terbagi menjadi 5 cluster, di mana tiap cluster dicirikan oleh beberapa spesies yang pola penyebarannya hampir sama. Cluster 1 dicirikan oleh spesies Asterorotalia trispinosa yang paling dominan, Textularia agglutinans, Textularia cf. T.semialata, dan Textularia conica, yang menunjukkan karakteristik lingkungan perairan terbuka dengan arus menengah - kuat, serta sedimen penyusun lumpuran dan pasir (Boltovskoy & Wright, 1976; Yassini & Jones, 1995, dan Rositasari & Rahayuningsih, 2000). Sedangkan keberadaan spesies Textularia conica menunjukkan energi tingkat menengah (Biswas, 1976). Penyebarannya terutama pada area di sebelah baratlaut (lokasi 49), serta di sebelah timurlaut penelitian sekitar lokasi 21 dan 81 (Gambar 3). Cluster 2 dicirikan oleh Pseudorotalia annectens, Eponides cibrorepondus, Pseudorotalia conoides, dan Pseudorotalia sp.2, yang menunjukkan lingkungan perairan dangkal, terbuka, dengan tingkat energi menengah, serta sedimen pasir lebih halus (Biswas, 1976). Penyebarannya terutama di sebelah utara P. Bintan (Gambar 4). 46 JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April 2008

8 Gambar 3. Distribusi Cluster 1 Gambar 4. Distribusi Cluster 2 JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April

9 Tabel 1. Nilai indeks diversitas foraminifera bentik Jumlah spesies nilai indeks diversitas No contoh sedimen Jumlah spesies No contoh sedimen nilai indeks diversitas Cluster 3 dicirikan oleh Amphistegina radiata dan Elphidium cf. E. discoidalis multiloculum, menunjukkan kondisi lingkungan perairan dangkal dengan energi arus yang relatif tinggi. Seperti diketahui, pada Perairan Batam, terutama di sekitar Pulau Batam dan Bintan, terdapat populasi terumbu karang, yang biasanya berasosiasi dengan kondisi turbulen dan temperatur hangat (Boltovskoy & Wright, 1976). Jenis-jenis foraminifera yang biasanya berasosiasi dengan terumbu karang antara lain Amphistegina, Calcarina, serta Elphidium. Keterkaitan dengan terumbu karang inilah yang mempengaruhi penyebaran cluster 3, sehingga cenderung memiliki konsentrasi yang tinggi di sekitar Pulau Bintan, yaitu lokasi 4, 5, dan 7 (Gambar 5). Cluster 4 dicirikan oleh Quinqueloculina cf. Q. philippinensis, Heterolepa subhaidingeri, Asterorotalia inflata, dan Spiroloculina subimpresa. Penyebarannya terutama di bagian timurlaut penelitian, yaitu di sekitar lokasi no 24, 28, 32, dan 33 (Gambar 6). Spesies Quinqueloculina cf. Q. philippinensis yang sangat dominan menunjukkan (indikator) kondisi lingkungan laut terbuka, dangkal, dengan komposisi sedimen pasir halus sampai lempung, dan fragmen cangkang (Biswas, 1976). Foraminifera yang ditemukan pada cluster 5 dicirikan oleh Operculina ammonoides, Agglutinella agglutinans, Siphotextularia sp. 3, Siphotextularia sp. 2, dan Ammobaculites agglutinans. Penyebarannya adalah di sebelah timur daerah penelitian, terutama di wilayah paling timurlaut, yaitu di sekitar lokasi 28, 30, 31, 38, dan 39 (Gambar 7). Dominasi dari Operculina ammonoides menunjukkan kondisi lingkungan laut dangkal terbuka, turbidit, terumbu karang, dan sedimen pasir yang lebih halus, sampai lumpur dengan fragmen cangkang dan kaya akan zat organik (Biswas, 1976; Murray, 1991; dan Yassini & Jones, 1991). Berdasarkan distribusi kelima cluster tersebut, hanya cluster 1 yang penyebarannya mendominasi daerah bagian barat. Wilayah bagian barat ini memiliki karakteristik sedimen fraksi kasar, kecuali pada beberapa lokasi memiliki kandungan sedimen lumpur. Daerah ini didominasi oleh Asterorotalia trispinosa, yaitu jenis foraminifera bentik yang mampu bertahan 48 JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April 2008

10 Gambar 5. Distribusi Cluster 3 Gambar 6. Distribusi Cluster 4 JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April

11 Gambar 7. Distribusi Cluster 5 Gambar 8. Kumpulan cangkang pecah dari lokasi 49 di sebelah barat penelitian (1. Asterorotalia trispinosa (lebih dominan); 2. Operculina; 3. Pseudorotalia) 50 JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April 2008

12 pada lingkungan dengan kondisi arus relatif kuat, terutama sangat berlimpah pada lokasi 49, yang mencapai 211 individu, atau 72,01 % dari seluruh individu yang ada. Lokasi ini merupakan lokasi paling ujung baratlaut, di mana seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa arus berarah baratlaut-tenggara, sehingga diasumsikan daerah ini memiliki arus yang sangat kuat. Asterorotalia trispinosa yang ditemukan menunjukkan variasi dari bentuk dan jumlah duri, gejala tersebut disebut ekofenotip, yaitu variasi morfologi cangkang sebagai salah satu cara beradaptasi terhadap lingkungan. Gejala ini berasosiasi dengan lingkungan daerah pesisir, dan lingkungan dengan variabel tinggi (Walton & Sloan, dalam Rositasari, 1997). Tingginya energi arus di bagian barat ini (lokasi 49) juga terlihat dari ditemukannya cangkang-cangkang foraminifera dalam kondisi pecah (tidak utuh), terutama jenis Asterorotalia, Pseudorotalia, dan Operculina (Gambar 8). Kondisi ini menunjukkan adanya transportasi cangkang akibat pergerakan arus. Sementara 4 cluster lainnya lebih terkonsentrasi di bagian utara sampai timur laut lokasi penelitian. Daerah ini dicirikan dengan kandungan sedimen yang relatif lebih halus dengan energi arus yang relatif lebih rendah. Pada daerah bagian utara dan sebelah timur penelitian ini, keberadaan terumbu karang juga sangat berperan terhadap distribusi foraminifera, terutama karena habitatnya selalu berasosiasi dengan kondisi yang cukup mendapat sinar matahari, yang berarti kandungan oksigen yang mencukupi, serta pasokan nutrisi yang tinggi, maka kondisi ini sangat menguntungkan bagi populasi foraminifera, sehingga daerah ini cenderung lebih berlimpah dan beraneka ragam dibanding dengan bagian barat. Nilai indeks diversitas lokasi penelitian relatif tinggi (> 3), dengan nilai rata-rata 3,72 (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa wilayah Perairan Pulau Batam dan sekitarnya masih memiliki kondisi lingkungan yang masih bagus dan cocok bagi perkembangan fauna (Darsono, 1996). KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kandungan foraminifera di dalam sedimen permukaan perairan sekitar P Batam Kepulauan Riau sangat berlimpah dan beraneka ragam. Kumpulan foraminifera yang ditemukan menunjukkan kondisi lingkungan laut dangkal dengan energi arus relatif tinggi, dengan material sedimen yang kasar sampai lumpuran. Ada perbedaan nyata antara penyebaran foraminifera di sebelah barat dengan di sebelah utara dan timur penelitian, menunjukkan adanya pengaruh dari faktor arus, jenis sedimen, dan terumbu karang yang terkonsentrasi di sekitar P. Batam dan P. Bintan. Karena memiliki kelimpahan foraminifera bentik tinggi (nilai indeks diversitas > 3), Perairan di sekitar P. Batam dan P. Bintan ini dianggap masih bagus dan cocok untuk pertumbuhan mikrofauna. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterima kasih kepada rekan-rekan PPPGL yang merupakan anggota tim penelitian di Perairan Batam Riau Kepulauan (LP 1017), K. T. Dewi, A. Fauzi, dan Y. Permanawati atas dukungan, bantuan, dan diskusi selama proses penyusunan makalah ini. ACUAN Albani, A.D., & Yassini, I Taxonomy and distribution of the Family Elphididae (foraminiferida) from shallow Australian Waters, Centre for Marine Science, University of New South Wales, Australia. 51h. Bakus, G.J Quantitative ecology and marine biology, A.A. Balkema, Rotterdam. 157h. Barker, W. R., Taxonomic notes, soxy of economic paleontologists and mineralogist, Shelf Development Company, Houston, Texas, 238h. Biswas, B., Bathymetry of Holocene foraminifera and Quaternary sea level changes on the Sunda Shelf. Dalam : Journal of Foraminiferal Research, v. 6 (2) : Boltovskoy, E., & Wright, R., Recent foraminifera, Dr. W. Junk Publishers, The Netherlands, 414h. JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April

13 Darsono, P Analisis Infaunal benthos untuk pemantauan pencemaran, studi kasus di Fiji. Oseana. Vol. 21(2) : Loeblich, JR., A.R., & Tappan, H Foraminifera of the Sahul Shelf and Timor Sea, Cushman Foundation Special Publication no.31. Dalam: Stephen J. Culvier (Edt). Cushman Foundation for Foraminiferal Research, Cambridge, U.S.A. 661h. Murray, J.W Ecology and distribution of benthic foraminifera. Dalam : Biology of foraminifera, J.J. Lee & O.R. Anderson (Editor), Academic Press, United Kingdom : Rositasari, R Variasi morfologi pada marga Ammonia. Dalam : Oseana. Majalah Ilmiah Semi Populer. Badan Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Volume XXII, no.3 : Rositasari, R., dan Rahayuningsih, S. K., Foraminifera bentik. Dalam Foraminifera sebagai bioindikator pencemaran, hasil studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia : Usman, E., Setyanto, A., Gustiantini, L., Permanawati, Y., Aryawan, I. K. G., Laputua, G., Novi., Subarsah, Sahudin, dan Hartono, Pemetaan geologi dan potensi energi dan sumber daya mineral bersistem (LP 1017) Batam Riau Kepulauan. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung, Laporan Intern, Tidak diterbitkan. 120h. Yassini, I. dan Jones, B.G Foraminiferida and Ostracoda from estuarine and shelf environments on The South Eastern Coast of Australia, University press., Wollonggong, 270h. 52 JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 1, April 2008

14 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal , Desember 2010 DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN THE ARAFURA SEA Suhartati M. Natsir dan Rubiman Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI ABSTRACT Arafura Sea consists of shallow waters and located in the Southern of Papua to the north coast of Australia. The waters is vegetated by shallow-water ecosytems such as mangrove, seagrass bed, and coral reefs. The Arafura continental shelf is predominated by sediment from late Paleozoic, Mesozoic to Cenozoic and underlain by granitic basement. Foraminifera is a single cell microorgainsm, has pseudopodia with high level of diversity. Foraminifera dwells in every level of sea depth, from estuary to the deep sea. However, a certain species commonly dwells in the specific profundity. The aim of the study was to recognize the distribution of benthic foraminifera in the waters of Arafura Sea and it relation with the environmental characteristics. As many as 11 sediment samples was collected in May 2010 from the water of Arafura Sea using a box core with capcity of 0,3 m 3. Laboratory analyses on the colleted samples were performed to determine the type of sediments and identify the benthic foraminifera, and to determine the abundance of each samples. The number of species found from the collected sediments were 37 species consisting of 29 genera of which most of them were member of Suborder Rotaliina and many of them belong to Suborder Miliolina and Textulariina. The most common species of the sampling sites were Ammonia beccarii and Pseudorotalia schroeteriana. The Arafura Sea commonly recognized as shallow waters, open seas, with current speed of midium to high. The predominant sediment type of the waters is sandy mud and little of clay. Keywords: distribution, benthic foraminifera, sediment and Arafura ABSTRAK Laut Arafura merupakan perairan dangkal yang terletak di wilayah Papua bagian Selatan sampai bagian utara pantai Australia. Ekosistem yang terdapat pada perairan tersebut merupakan ekosistem penciri perairan dangkal seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Sedimen yang mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawah. Foraminifera merupakan mikroorganisme bersel tunggal dan berkaki semu yang mempunyai keragaman sangat tinggi. Habitat foraminifera terdiri dari semua kedalaman laut dari tepi pantai sampai pada laut dalam. Secara umum, suatu spesies bentik hidup pada kedalaman tertentu. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi foraminifera bentik yang terdapat pada sedimen di perairan Laut Arafura dan kaitannya dengan karakteristik perairan tersebut. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei 2010 di Peraiaran Laut Arafura. Sebanyak 11 sampel sedimen diambil dari dasar perairan menggunakan box core. Kemudian sampel yang diperoleh dianalisis jenis sedimennya dan kandungan foraminifera bentik didalamnya. Jumlah spesies yang ditemukan mencapai 37 spesies yang termasuk dalam 29 genus yang sebagian besar merupakan anggota dari subordo Rotaliina dan beberapa spesies merupakan anggota Miliolina dan Textulariina. Spesies yang ditemukan merata hampir di semua stasiun adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana. Karakeristik sebagian besar perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi arus menengah sampai kuat. Jenis sedimen yang mendominasi perairan Laut Arafura adalah Lumpur pasiran dengan sedikit lempung. Kata Kunci: distribusi, foraminifera bentik, Sedimen, Arafura Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan 74 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

15 Natsir dan Rubiman I. PENDAHULUAN Laut Arafura merupakan perairan yang meliputi landas kontinen Arafura Sahul dan terletak di wilayah Papua bagian Selatan sampai perbatasan Benua Australia. Batas bagian Utara perairan tersebut merupakan Laut Seram dan Pulau Irian Jaya (Papua), sedangkan Pantai Utara Australia dari Semenanjung York sampai Semenanjung Don merupakan batas di bagian Selatan. Di bagian Barat, perairan tersebut dibatasi oleh Laut Banda dan Laut Timor yang melewati Kepulauan Aru dan Tanimbar. Sedangkan di bagian Timur terdapat Pulau Dolak dan Semenajung Don yang membatasi perairan tersebut. Brdasarkan tingkat kedalamannya, Laut Arafura termasuk perairan dangkal dengan kisaran kedalaman antara m. Ekosistem yang terdapat pada perairan tersebut merupakan ekosistem penciri perairan dangkal seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang (Wagey dan Arifin, 2008). Menurut Katili (1986), sedimen yang mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawah. Foraminifera merupakan mikroorganisme bersel tunggal dan berkaki semu yang mempunyai keragaman sangat tinggi dan menempati hampir 2,5% dari seluruh hewan yang dikenal sejak zaman kambrium hingga resen. Sebanyak spesies berupa fosil dan spesies foraminifera resen ditemukan di seluruh lauatan (Boltovskoy and Wright, 1976). Menurut Murray (1973), distribusi dan kelimpahan spesies mendapat perhatian yang cukup besar, baik spesies yang masih hidup maupun yang sudah mati. Foraminifera merupakan kelompok hewan yang sebagian besar hidup di laut. Program pemantauan lingkungan perairan dapat dilakukan berdasarkan distribusi foraminifera karena beberapa keunggulannya antara lain ukurannya yang relatif kecil, hidup pada lingkungan tertentu, jumlahnya melimpah, mudah dikoleksi, ekonomis dan secara signifikan dapat diolah secara statistik. Habitat foraminifera terdiri dari semua kedalaman laut dari tepi pantai sampai pada laut dalam. Secara umum, suatu spesies bentik hidup pada kedalaman tertentu. Kedalaman merupakan faktor ekologi yang mempengaruhi distribusinya (Boltovskoy and Wright, 1976). Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi foraminifera bentik yang terdapat pada sedimen di perairan Laut Arafura dan kaitannya dengan karakteristik perairan tersebut. II. METODE PENELITIAN Secara umum, metode yang digunakan dalam penelitian dilapangan adalah metode survey, sedangkan observasi dan analisis dilakukan di dalam laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei 2010 di Laut Arafura dari bagian tenggara Kepulauan Tanimbar ke arah bagian selatan dan timur Kepulauan Aru sampai sekitar Pulau Dolak dan Pulau Irian Jaya (Papua) (Gambar 1). Sedimen dasar laut diambil dengan menggunakan box core yang berkapasitas 0,3 m 3 untuk memperoleh sampel foraminifera bentik dari 11 lokasi yang telah ditentukan. Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label untuk dianalisa lebih lanjut di laboratorium. Proses preparasi, observasi dan analisis terhadap sampel dilakukan di laboratorium Geologi Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember

16 Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di perairan Laut Arafura Sampel yang diperoleh merupakan material dari dasar laut secara keseluruhan yang meliputi material sedimen, serasah dan organisme termasuk foraminifera bentik. Tahap preparasi diperlukan untuk memisahkan foraminifera bentik yang terdapat pada sampel tersebut dari bahan-bahan dan organisme lain sehingga dapat diidentifikasi dengan mudah. Preparasi sampel dilakukan dengan beberapa tahap, antara lain pencucian sampel, picking, deskripsi dan identifikasi serta sticking dan dokumentasi. Pencucian sampel dilakukan dengan menggunakan air mengalir diatas saringan dengan diameter berturut-turut 1.0, 0.5, 0.250, 0.125, mm. Setelah pencucian, sampel tersebut dikeringkan menggunakan oven pada suhu 30 C sampai kering (selama ± 30 menit). Sampel yang telah kering dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label untuk analisis lebih lanjut. Setelah pencucian dan pengeringan, saringan harus direndam dalam larutan methiline blue untuk mencegah kontaminasi oleh sampel berikutnya dan dicuci. Tahap selanjutnya adalah picking yang dilakukan dengan menyebarkan sampel yang telah dicuci pada extraction tray dibawah mikroskop secara merata. Foraminifera yang terdapat dalam sampel tersebut diambil dan disimpan pada foraminiferal slide. Kemudian dilakukan proses deskripsi dan identifikasi terhadap spesimen yang didapatkan. Spesimen yang telah dipisahkan diklasifikasikan berdasarkan morfologinya seperti bentuk cangkang, bentuk kamar, formasi kamar, jumlah kamar, ornamentasi cangkang, kemiringan apertura, posisi apertura dan kamar tambahan. Sedangkan proses identifikasi dilakukan berdasarkan berbagai referensi tentang foraminifera bentik. Tahap selanjutnya merupakan kajian sistemik dan analisis kuantitatif 76

17 Natsir dan Rubiman untuk mendapatkan data kelimpahan. Proses sticking dan dokumentasi dilakukan dengan meletakkan spesimen yang terpilih pada foraminiferal slide dengan posisi tampak apertura, tampak dorsal, tampak ventral dan tampak samping yang kemudian didokumentasikan dibawah mikroskop. Pengelompokan kelimpahan foraminifera bentik yang ditemukan berdasarkan jumlah spesimen yang ditemukan. kelimpahan foraminifera bentik dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu tinggi (melimpah), sedang dan rendah (jarang). Spesies yang tergolong dalam kelimpahan tinggi merupakan spesies yang ditemukan sebanyak lebih dari 50 spesimen, sedangkan kelimpahan sedang dan rendah masing-masing diwakili oleh jumlah spsies yang ditemukan sebanyak spesimen dan kurang dari 11 spesimen. Penentuan jenis sedimen dari sampel yang diambil dilakukan dengan analisis granulometri menggunakan ayakan berukuran 0,063 4 mm. Pengelompokan butir sedimen dilakukan berdasarkan skala Wenworth (1922) dan penamaannya berdasarkan klasifikasi Shepard (1960). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Laut Arafura terletak di wilayah Papua bagian Selatan sampai perbatasan Benua Australia. Menurut Wagey dan Arifin (2008), perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal dengan kisaran kedalaman antara m dengan Ekosistem yang terdapat pada perairan tersebut merupakan ekosistem penciri perairan dangkal seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Namun, pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perairan yang mempunyai kedalaman lebih dari 300 m. Stasiun 13 yang terletak di bagian Selatan Kepulauan Tanimbar tercatat mempunyai kedalaman yang mencapai 341 m. Lokasi tersebut diduga merupakan titik pertemuan antara Busur Banda dan lempeng Benua Australia seperti yang dinyatakan oleh Katili (1986) bahwa terdapat lengkungan kebawah pada sedimen di perairan Arafura yang berbatasan dengan Busur Banda. Pola tektonik dari deformasi tersebut terjadi karena dorongan Busur Banda ke arah Benua Australia dan semakin meningkat ke arah Utara. Sedangkan kedalaman di stasiun lainnya tercatat tidak lebih dari 60 m dan perairan paling dangkal ditemukan di dekat Pulau Dolak (stasiun 14). Secara keseluruhan, hasil analisis terhadap sampel sedimen yang diperoleh dari 10 lokasi di perairan Laut Arafura diperoleh foraminifera bentik resen sebanyak 1593 individu. Jumlah tersebut terdiri dari 37 spesies yang termasuk dalam 29 genus (Tabel 1). Sebagian besar spesies yang ditemukan merupakan anggota dari subordo Rotaliina, namun juga ditemukan beberapa spesies yang merupakan anggota Milioliina dan Textulariina. Kelimpahan dan jenis foraminifera bentik yang ditemukan pada masing-masing stasiun berbeda-beda seiring dengan komposisi atau jenis sedimennya. Setiap stasiun mempunyai komposisi kelimpahan foraminifera bentik yang berbeda. Jumlah foraminifera terbanyak diperoleh dari stasiun 22 dengan kedalaman 38 m yang terletak di sebelah tenggara Kepulauan Aru. Sedimen yang mendominasi stasiun tersebut adalah jenis lumpur pasiran dan sedikit lempung (Tabel 2). Spesies yang ditemukan melimpah pada stasiun tersebut adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana yang masing-masing mencapai 111 dan 64 individu (Tabel 1). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember

18 Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura Tabel 1. Jumlah foraminifera bentik yang ditemukan pada sampel yang berasal dari perairan Laut Arafura Foraminifera Benthic Sampel Ammonia beccarii (Linnaeus) Amphistegina lessonii Anomalina rostrata (Bradyi) Asterorotalia trispinosa Astocolus reniformis (d'orbigny) Bolivina earlandi (Parr) Bolivina spathulata (Williamson) Bolivina subspinecens (Cushman) Cancris oblongus (Cushman) Cibicides berthelotianus (d'orbigny) Cibicides molis Discorbinella biconcavus (Parker & Jones) Elphidium craticulatum Elphidium crispum Eponides berthelotianus (d'orbigny) Fissurina exsculpra (Brady) Guttulina dawsoni (Chusman and Ozawa) Gyroidina neosoldanii Hoglundina elegans (d'orbigny) Lagena gracillisima (Sguenza) Nonion sp Oolina apiculata (Reuss) Operculina ammonoides Planispinoides bucculantus (Brady) Planorbulina sp. (d'orbigny) Pseudopolymorphina ligua (Rosmer) Pseudorotalia schroeteriana Quinqueloculina cultrate Quinqueloculina granulocostata Quinqueloculina parkery Quinqueloculina seminulum Quinqueloculina sp Rosalina sp Spiroloculina communis Textularia pseudogramen Triloculina tricarinata Young miliolidae

19 Natsir dan Rubiman Tabel 2. Kedalaman dan jenis sedimen pada masing-masing stasiun pengambilan sampel di perairan Laut Arafura Stasiun Kedalaman (m) Jenis sedimen Lempung Lempung lumpur pasiran - pasir sedang lanau lempung Lumpur - pasir sedang lempung Lumpur pasiran lempung Lumpur pasiran lempung Lumpur pasiran Lumpur pasiran lempung Lumpur pasiran Lempung Pasir (sedang-kasar) lumpuran Boltovskoy and Wright (1976) menyatakan bahwa Asterorotalia trispinosa dan Ammonia beccarii banyak dijumpai pada sedimen pasir dan lumpur pasiran. Namun A. Trispinosa hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Spesies yang ditemukan dengan tingkat kelimpahan sedang pada stasiun tersebut adalah Cancris oblongus, Cibicides molis dan dua spesies dari genus Elphidium. Spesies yang terdapat melimpah dan sedang tersebut merupakan anggota dari Subordo Rotaliina. Selain itu, pada stasiun 22 juga ditemukan beberapa spesies yang termasuk dalam Subordo Miliolina, namun dalam jumlah yang sedikit atau termasuk dalam kelimpahan rendah. Spesies-spesies tersebut diwakili oleh merupakan anggota dari genus Quinqueloculina yang diwakili oleh Quinqueloculina sp., Q. granulocostata, Q. parkery dan Q. seminulum. Spesiesspesies yang bercangkang hialin tersebut masing-masing ditemukan tidak lebih dari 10 individu. Spesies yang bersimbiosis dengan terumbu karang, berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Hallock et al. (2003) hanya ditemukan pada stasiun 23 dengan jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa perairan tersebut bukan termasuk lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang. Spesies tersebut adalah Amphistegina lessonii yang ditemukan dengan kondisi cangkang yang sudah rusak. Demikian pula dengan beberapa spesies yang ditemukan pada stasiun 17 dan 19 juga ditemukan dengan kondisi cangkang yang rusak. Hal tersebut dapat dimungkinkan akibat hempasan arus sehingga dapat menghancurkan cangkang foraminifera bentik yang terdapat di perairan tersebut. Beberapa spesies yang ditemukan di lokasi ini merupakan penciri perairan dangkal dan terbuka dengan kecepatan arus menengah sampai tinggi. Menurut Gustiantini dan Usman (2008), beberapa spesies dari genus Elphidium merupakan penciri perairan dangkal dengan energi arus yang relatif tinggi. Sedangkan spesies dari genus Quinqueloculina merupakan penghuni lingkungan perairan terbuka dengan kecepatan arus sedang sampai tinggi, serta sedimen lumpur dan pasir (Boltovskoy and Wright, 1976; Yassini and Jones, 1995; dan Rositasari dan Rahayuningsih, 2000). Suhartati (1994 dan 2010) juga menemukan Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember

20 Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura Quinqueloculina melimpah di Pulau Pari dan Pulau Belanda, Kepulauan Seribu pada kedalaman m, sedangkan Barker (1960) menemukannya di bagian selatan Papua pada kedalaman 37 m. Graham dan Milante (1959) menemukan spesies-spesies tersebut sangat melimpah pada beberapa stasiun di Teluk Puerto Galera, Philipina dan termasuk spesies kosmopolitan. Spesies yang ditemukan hampir di seluruh stasiun adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana. A. beccarii ditemukan sangat melimpah pada semua stasiun kecuali stasiun 13 dengan kedalaman yang mencapai 341 m. Menurut Hallock et. al. (2003), A. beccarii tergolong dalam spesies yang oportunis sehingga dapat ditemukan di berbagai lokasi yang berbeda. Walaupun demikian, terdapat spesies oportunis lain yang ditemukan dalam jumlah melimpah dan dominan pada stasiun 13, yaitu dari genus Bolivina. Genus tersebut didominasi oleh spesies Bolivina erlandi yang ditemukan mencapai 82 individu, sedangkan B. spathulata dan B. subspinecens masing hanya mencapai 26 dan 12 individu. Sebagai spesies penciri perairan dangkal, P. schroeteriana juga ditemukan hampir di semua stasiun kecuali stasiun 13 dan 15. Spesies tersebut ditemukan dengan kelimpahan rendah sampai tinggi. Menurut Biswas (1976), P. schroeteriana merupakan penciri perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi arus menengah dengan sedimen pasir halus. Oleh karena itu karakeristik sebagian besar perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi arus menengah sampai kuat karena juga ditemukan Elphidium sebagai penciri perairan berarus kuat. Selain itu, spesies dari genus Elphidium juga termasuk dalam genus oportunis sesuai dengan pernyataan Hallock et al. (2003), terbukti dengan ditemukannya spesies tersebut pada 6 stasiun dari 11 stasiun yang diteliti. Namun, genus yang diwakili oleh E. craticulatum dan E. crispum tersebut hanya ditemukan dengan kelimpahan rendah sampai sedang (tidak lebih dari 50 individu). Spesies-spesies tersebut ditemukan pada stasiun yang memiliki kisaran kedalaman antara m. Hal ini sesuai dengan hasil peneletian yang dilakukan oleh Murray (1973) dan Boltovskoy dan Wright (1976) yang menyatakan bahwa E. craticulatum dan E. crispum memiliki penyebaran yang luas dari daerah pantai hingga neritik tengah. Menurut Katili (1986), sedimen yang mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawahnya. Hasil analisis sedimen yang diperoleh pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sedimen di perairan Laut Arafura adalah lumpur pasiran. Sedimen berupa lempung ditemukan disekitar Kepulauan Tanimbar dengan kedalaman 341 m (stasiun 13) dan di sekitar Pulau Dolak (stasiun 14). Sedangkan sedimen pasir sedang sampai kasar yang bercampur dengan fragmen karang dan moluska ditemukan pada stasiun 23 yang terletak di bagian selatan Kepulauan Aru (Tabel 2 dan 3). Jenis spesies yang ditemukan pada stasiun tersebut sebanyak 13 spesies. Jumlah tersebut relatif lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya, namun kelimpahan masing-masing spesies tergolong sangat rendah. Kelimpahan tertinggi hanya mencapai 14 individu, yaitu pada spesies Ammonia beccarii. Secara keseluruhan jumlah foraminifera bentik yang ditemukan di stasiun 23 hanya mencapai 48 individu. 80

21 Natsir dan Rubiman Selain foraminifera bentik, juga ditemukan foraminifera planktonik yang menyebar hampir di semua stasiun kecuali stasiun 16, 17 dan 22. Begitu pula dengan fragmen moluska yang juga terdapat di hampir semua stasiun (Tabel 3). Hal ini diduga karena karakteristik perairan Laut Rafura yang terbuka dengan arus yang relatif kuat memungkinkan distribusi foraminifera planktonik dan fragmen moluska tersebut ke beberapa staiun disekitarnya, termasuk perairan dalam (stasiun 23). IV. KESIMPULAN Jumlah spesies yang ditemukan di perairan Laut Arafura dari sekitar Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru hingga Pulau Dolak adalah 37 spesies yang termasuk dalam 29 genus. Sebagian besar spesies yang ditemukan merupakan anggota dari subordo Rotaliina dan beberapa spesies yang merupakan anggota Milioliina dan Textulariina. Spesies yang ditemukan merata hampir di semua stasiun adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana. Berdasarkan distribusi foraminifera bentik yang ditemukan, karakeristik sebagian besar perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi arus menengah sampai kuat. Selain P. schroeteriana, juga ditemukan spesies penciri lainnya seperti dari genus Elphidium dan Quinqueloculina. Selain itu, pada perairan terbuka tersebut juga ditemukan foraminifera planktonik yang dtersebar merata hampir di setiap stasiun. Jenis sedimen yang mendominasi perairan Laut Arafura adalah Lumpur pasiran dengan sedikit lempung. Jumlah individu terbanyak diperoleh dari stasiun dengan sedimen lumpur pasiran, sedangkan jumlah spesies terbanyak diperoleh dari sedimen pasir lumpuran dengan butiran pasir sedang sampai kasar. Tabel 3. Organisme selain foraminifera bentik yang ditemukan dari sampel yang berasal dari perairan Laut Arafura Keterangan Stasiun Foraminifera planktonik Moluska Bryozoa Gastropoda Ostracoda Fragmen karang Fragmen moluska - - Keterangan: = terdapat dalam jumlah banyak; = terdapat dalam jumlah sedang; = terdapat dalam jumlah sedikit; = tidak ada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember

22 Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura DAFTAR PUSTAKA Barker, R.W Taxonomic Notes. Society of Economic Paleontologist and Mineralogist. Special Publication No. 9. Tulsa. Oklahoma, USA. 238 pp. Boltovskoy, E. and R. Wright Recent Foraminifera. Dr. W. June, B. V. Publisher, The Haque, Netherland. Graham, J.J. and Militante Recent Foraminifera from The Puerto Galera Area Northern Mindoro, Philippines. Stanford University, California. Hallock, P., B.H. Lidz, E.M. Cockey- Burkhard, and K.B. Donnelly Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: the FORAM Index. Environmental Monitoring and Assessment, 81(1-3): Katili, J.A Geology and hydrocarbon potential of the Arafura Sea. In: Future Petroleum Provinces of the World. AAPG Memoir 40, M.T. Halbouty (editor) Murray, J. W Distribution and Ecology of Living Foraminifera. The John Hopkins Press. Baltimore. Rositasari R. dan S. K. Rahayuningsih Foraminifera Bentik: Dalam Foraminifera sebagai bioindikator pencemaran, hasil studi di perairan estuarin Sungai Dadap, Tangerang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: Shepard, F. P. 1954, Nomenclature based on sand-silt-clay ratios: Journal of Sedimentari Petrology, 24: Suhartati, M.N Benthic Foraminifera In The Seagrass Beds of Pari Island, Seribu Islands, Jakarta. Proceedings. Third ASEAN- Australia Symposium on Living Coastal Resources. Volume 2: Research Papers. Chulalongkorn University Bangkok, Thailand. 323p Sebaran Foraminifera Bentik di Pulau Belanda, Kepulauan Seribu pada Musim Barat. Ilmu Kelautan, Edisi khusus, 2: Wagey, T., Arifin, Z Marine Biodiversity Review of The Arafura and Timor Seas. Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Indonesian Institute of Sciences, United Nation Development Program, and Cencus of Marine Life. Jakarta. 136 pp. Wentworth, C. K. 1922, A scale of grade and class term for clastic sediment. Jour. Geol. 30: Yassini, I. and B.G. Jones Foraminiferida and Ostracoda from estuarne and shelf environments on The South Eastern Coast of Australia. University press., Wollonggong. 270 pp. 82

23 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 9-18, Juni 2010 KELIMPAHAN FORAMINIFERA RESEN PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI TELUK AMBON THE ABUNDANCE OF RECENT FORAMINIFERA IN SURFACE SEDIMENT OF AMBON BAY Suhartati M. Natsir Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakarta, Indonesia (14430) ABSTRACT Foraminifera are generally live in sea water with various sizes. These organisms consist of planktonic and benthic foraminifera. Geological activity on plutonic and volcanic with vomiting magma is transpiring on, and then affects sedimentation and foraminiferal abundance of Ambon Bay. The study was determined to study the abundance and distribution of foraminifera based on the sediment characteristic of Ambon Bay. Sample collected in 2007 of Ambon Bay showed that only 29 samples of 50 samples containing foraminifera. The collected sediments have 86 species of foraminifera, consisting 61 species of benthic foraminifera and 25 species of planktonic foraminifera. The dominant benthic foraminifera in the surface sediment of Ambon bay were Amphistegina lessonii, Ammonia beccarii, Elphidium craticulatum, Operculina ammonoides and Quinqueloculina parkery. The planktonic foraminifera that were frequently collected from the bay were Globorotalia tumida, Globoquadrina pseudofoliata, Globigerinoides pseudofoliata, Globigerinoides cyclostomus dan Pulleniatina finalis. Generally, the species dwelled as abundant on substrate sand, whereas the areas within substrate mud have no foraminifera lie on them. Keywords: Foraminifera, Abundance, Sediment, Ambon Bay ABSTRAK Mayoritas anggota foraminifera hidup pada lingkungan laut dan mempunyai ukuran yang beragam. Menurut habitatnya, foraminifera dibagi menjadi foraminifera planktonik dan foraminifera bentik. Sedimen permukaan Teluk Ambon merupakan salah satu lokasi ditemukannya foramifera bentik maupun planktonik. Teluk Ambon bagian dalam memiliki bentuk membulat. Kegiatan geologi berupa plutonik dan vulkanik yang diikuti oleh naiknya magma granetik pada fase pengangkatan geoantiklin di teluk tersebut masih aktif sehingga dapat mempengaruhi pembentukan sedimen serta kondisi foraminifera di Teluk Ambon. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji kelimpahan dan penyebaran foraminifera berdasarkan karakteristik sedimen permukaan di perairan Teluk. Hasil identifikasi dari 50 sampel sedimen yang diambil dari Teluk ambon pada tahun 2007 menunjukkan bahwa hanya terdapat 29 sampel yang mengandung foraminifera. Foraminifera yang ditemukan pada sedimen permukaan di Teluk Ambon mencapai 86 spesies yang terdiri dari 61 spesies foraminifera bentik dan 25 spesies foraminifera planktonik. Spesies foraminifera bentik yang mendominasi sedimen permukaan perairan Teluk Ambon adalah Amphistegina lessonii, Ammonia beccarii, Elphidium craticulatum, Operculina ammonoides dan Quinqueloculina parkery. Foraminifera planktonik yang sering dijumpai adalah Globorotalia tumida, Globoquadrina pseudofoliata, Globigerinoides pseudofoliata, Globigerinoides cyclostomus dan Pulleniatina finalis. Pada umumnya spesies tersebut ditemukan melimpah pada sedimen pasir, sedangkan pada sedimen lumpur tidak ditemukan baik foraminifera bentik maupun planktonik. Kata kunci: Foraminifera, kelimpahan, Sedimen, Teluk Ambon Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 9

24 Kelimpahan Foraminifera Resen pada Sedimen Permukaan... I. PENDAHULUAN Foraminifera termasuk dalam Filum Protozoa yang mulai berkembang pada jaman Kambrium sampai Resen. Mayoritas anggotanya hidup pada lingkungan laut dan mempunyai ukuran yang beragam mulai dari 3 μm sampai 3 mm (Haq and Boersma, 1983). Menurut habitatnya, foraminifera dibagi menjadi foraminifera planktonik dan foraminifera bentik. Foraminifera merupakan organisme bersel tunggal yang mempunyai kemampuan membentuk cangkang dari zat-zat yang berasal dari dirinya sendiri atau dari benda asing di sekelilingnya. Dinding cangkang tersebut mempunyai komponen dan struktur yang bervariasi. Sedimen permukaan Teluk Ambon merupakan lokasi ditemukannya foramifera bentik maupun planktonik. Kondisi sedimen ini sangat dipengaruhi oleh mineral penyusun dan sifat fisiknya. Menurut Ongkosongo et al. (1978), mineral kuarsa dan fragmen batuan beku mendominasi Teluk Ambon merupakan pembatas populasi foraminifera, yang ditunjukkan dari seringnya sampel sedimen tidak mengandung foraminifera. Teluk Ambon terletak pada busur Banda dalam sistem Banda dan terletak pada koordinat geografi BT dan LS LS. Menurut Van Bemelen (1949 ) dan Dwiyanto et al. (1988), stratigrafi yang melatarbelakangi Teluk Ambon adalah batuan sedimen berumur Trias Atas sampai Ultra Basa. Kegiatan geologi selanjutnya adalah plutonik dan vulkanik yang diikuti oleh naiknya magma granetik pada fase pengangkatan geoantiklin (Lubis et al., 1988). Kegiatan-kegiatan geologi ini masih aktif sehingga dapat berpengaruh terhadap pembentukan sedimen serta kondisi foraminifera di Teluk Ambon. Pada umumnya foraminifera hidup pada dasar perairan dengan substrat pasir. Boltovskoy and Wright (1976), Dewi (1984) dan Dewi (2010) menyatakan bahwa beberapa spesies foraminifera bentik banyak dijumpai pada sedimen pasir dan lumpur pasiran. Begitu pula hasil studi yang dilakukan oleh Renema (2008) yang menemukan beberapa spesies yang melimpah pada substrat karang bercampur pasir di Kepulauan Seribu. Menurut King (1974), pembentukan sedimen pada perairan tertutup sangat dipengaruhi oleh daratan yang berdekatan, seperti halnya Teluk Ambon yang di apit oleh daratan Laihitu dan Laitimur. Proses pencucian yang ditimbulkan oleh energi gelombang dan arus serta tekanan aliran muara sungai menyebabkan agregat sedimen dari darat dapat diuraikan menjadi partikel sedimen berbagai ukuran. Dinyatakan oleh Davies (1980), bahwa energi kinetik di setiap tempat berbeda-beda sehingga ukuran partikel sedimen bervariasi sesuai dengan besar energi kinetik yang terjadi. Berdasarkan variasi sedimen tersebut, diduga mengakibatkan adanya perbedaan jenis foraminifera yang terdapat di daerah tersebut. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui jenis foraminifera berdasarkan perbedaan jenis sedimen permukaan yang terdapat di suatau perairan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji kelimpahan dan penyebaran foraminifera berdasarkan karakteristik sedimen permukaan di perairan Teluk. II. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di perairan Teluk Ambon pada tahun 2007 dengan lokasi pengambilan sampel sebanyak 50 stasiun (Gambar 1). Sampel sedimen diambil dengan menggunakan Van Veen Grab dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Penentuan jenis sedimen dari 10

25 Natsir sampel yang diambil dilakukan dengan analisis granulometri menggunakan ayakan berukuran 0,063 4 mm. Pengelompokan butir sedimen dilakukan berdasarkan skala Wenworth (1922) dan penamaannya berdasarkan klasifikasi Shepard (1960) Preparasi sampel untuk identifikasi foraminifera dilakukan dengan beberapa tahap, antara lain pencucian, picking, deskripsi dan identifikasi serta sticking dan dokumentasi. Sebelumnya, masingmasing sampel ditimbang sebanyak 50 gram, ditambahkan 10% formaldehide, dibiarkan selama 24 jam dan disaring. Hasil saringan tersebut direndam dengan rose bengal 50% selama 24 jam, dan dicuci lagi dengan air bersih. Pencucian sampel dilakukan dengan air mengalir diatas saringan dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 30 C selama 2 jam. Setelah pencucian dan pengeringan, saringan harus direndam dalam larutan methylene blue untuk mencegah kontaminasi oleh sampel berikutnya dan dicuci. Tahap selanjutnya adalah picking yang dilakukan dengan menyebarkan 25 gram sampel yang telah kering pada extraction tray dibawah mikroskop secara merata. Foraminifera yang terdapat dalam sampel tersebut diambil dan disimpan pada foraminiferal slide. Kemudian dilakukan proses deskripsi dan identifikasi terhadap spesimen yang didapatkan. Spesimen yang telah dipisahkan diklasifikasikan berdasarkan morfologinya seperti bentuk cangkang, bentuk kamar, formasi kamar, jumlah kamar, ornamentasi cangkang, kemiringan apertura, posisi apertura dan kamar tambahan. Sedangkan proses identifikasi dilakukan berdasarkan berbagai referensi tentang foraminifera. Tahap selanjutnya merupakan kajian sistemik dan analisis kuantitatif untuk mendapatkan data kelimpahan. Foraminifera bentik yang ditemukan diklasifikasikan dalam foraminifera bentik dan foraminifera planktonik. Proses sticking dan dokumentasi dilakukan dengan meletakkan spesimen yang terpilih pada foraminiferal slide dengan posisi tampak apertura, tampak dorsal, tampak ventral dan tampak samping yang kemudian didokumentasikan dibawah mikroskop. Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di Teluk Ambon 11

26 Kelimpahan Foraminifera Resen pada Sedimen Permukaan... III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi dari 50 sampel sedimen yang diambil menunjukkan bahwa hanya terdapat 29 sampel yang mengandung foraminifera. Hal ini menunjukkan kemungkinan faktor ekologis yang menyebabkan 21 lokasi lainnya tidak menunjang kehidupan foraminifera terutama jenis substrat yang lebih didominasi oleh lumpur. Boltovskoy and Wright (1976) dan Dewi (1984) menyatakan bahwa Asterorotalia trispinosa dan Ammonia beccarii banyak dijumpai pada sedimen pasir dan lumpur pasiran dengan turbiditas yang rendah. Turbiditas dapat mempengaruhi penetrasi cahaya matahari di perairan, sehingga akan mempengaruhi fotosintesis. Akibatnya jumlah oksigen akan berkurang pada turbiditas tinggi. Secara umum di perairan dengan turbitas tinggi, popolasi foraminifera bentik akan berkurang. Berdasarkan jenisnya, foraminifera yang terdapat di Teluk Ambon cukup heterogen, yaitu terdapat 86 spesies. Secara keseluruhan, foraminifera bentik yang ditemukan pada stasiun pengamatan mencapai 61 spesies. Jumlah tersebut relatif lebih banyak dibandingkan dengan foraminifera planktonik yang hanya mencapai 25 spesies (Tabel 1). Hal ini berkaitan dengan sampel yang diambil, yaitu sedimen permukaan sebagai habitat yang sesuai untuk kehidupan foraminifera bentik. Secara tekstural, sedimen permukaan yang terdapat di perairan Teluk Ambon terdiri dari 7 jenis, yaitu lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, pasir krakalan, krakal pasiran dan krakal (Tabel 2). Keberadaan foraminifera bentik mendominasi setiap stasiun yang mengandung foraminifera. Bahkan pada beberapa stasiun sama sekali tidak ditemukan foraminifera planktonik, yaitu stasiun 8, 22, 25, 35, 36, 39, 45 serta 46. Secara umum, foraminifera bentik lebih banyak dijumpai pada sedimen yang didominasi oleh pasir. Foraminifera bentik ditemukan melimpah pada stasiun 4, yaitu sebanyak 129 individu. Begitu pula dengan kelimpahannya di stasiun 2, 18, 38 dan 43 yang masing-masing mencapai 113, 9l, 88 dan 83 individu (Gambar 2). Hasil analisis yang didapatkan di Teluk Ambon menunjukkan bahwa foraminifera pada umumnya ditemukan pada sedimen pasir dengan ukuran partikel 60,063 0,500 mm. Jumlah spesies semakin banyak pada daerahdaerah yang semakin dalam dan pada sedimen yang memiliki kadar pasir yang cukup tinggi. Hal ini sama dengan yang ditemukan oleh Mintoba (1970) di Teluk Miyogi, Jepang dan Susmiati (1981) di Teluk Jakarta. Suhartati (1994) menyatakan bahwa Ammonia beccarii ditemukan dalam jumlah yang melimpah di Delta Mahakam dan Citarum pada kedalaman antara 1,5 10 m yang didominasi oleh sedimen pasir dan lumpur. Banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan foraminifera, terutama foraminifera bentik yang hidup di dasar laut. Uchio (1966) dalam penelitiannya di San Diego, California, menyatakan bahwa tipe sedimen menentukan populasi foraminifera. Boltovskoy and Wright (1976), Dewi (1984) menyatakan bahwa foraminifera bentik banyak dijumpai pada sedimen pasir dan lumpur pasiran terutama dari spesies Asterorotalia trispinosa dan Ammonia beccarii. Beberapa spesies foraminifera bentik yang ditemukan hampir di semua lokasi adalah Amphistegina lessonii, Ammonia beccarii, Elphidium craticulatum, Operculina ammonoides dan Quinqueloculina parkery. Kelima spesies tersebut ditemukan mendo-minasi hampir di semua lokasi yang ditemukan foraminifera. 12

27 Natsir Tabel 1. Spesies foraminifera yang ditemukan di Teluk Ambon No Spesies No Spesies a. Foraminifera Bentik 1. Ammonia beccarii 32. Nodosari sp. 2. Ammonia umbonata 33. Nonion depressulum 3. Amphistegina lessonii 34. Operculina ammonoides 4. Amphistegina quoyii 35. Peneroplis pertusus 5. Anomalinella rostata 36. Peneroplis planatus 6. Baculogypsina sphaerulata 37. Piliolina papelliformis 7. Bolivina earlandi 38. Planorbulina larvata 8. Bolivina schwagerina 39. Pleurostomella sp. 9. Calcarina calcar 40. Pseudomassilina macilenta 10. Cancris oblongus 41. Pseudorotalia schroeteriana 11. Cibicides praecinctus 42. Pyrgo depressa 12. Discorbina mira 43. Pyrulina angusta 13. Discorbina sp. 44. Quinqueloculina auberiana 14. Elphidium advenum 45. Quinqueloculina granulocostata 15. Elphidium craticulatum 46. Quinqueloculina lamarckiana 16. Elphidium crispum 47. Quinqueloculina parkery 17. Elphidium macellum 48. Quinqueloculina pulchella 18. Eponide umbonatus 49. Quinqueloculina seminula 19. Eponides repandus 50. Quinqueloculina seminulum 20. Heterostegina depressa 51. Quinqueloculina sp. 21. Hoglundina elegans 52. Quinqueloculina tropicalis 22. Lecticulina cultrate 53. Reusella simlex 23. Lecticulina elegans 54. Reusella sp. 24. Lecticulina sp. 55. Siphogenerina alveolifrmis 25. Loxostomum amygdalaeformis 56. Siphogenerina raphanus 26. Marginophora vertebralis 57. Spiroloculina angulata 27. Massilina crenata 58. Spiroloculina communis 28. Massilina milleti 59. Spiroloculina sp. 29. Miliolinella oblonga 60. Textularia agglutinans 30. Miliolinella sublineata 61. Triloculina tricarinata 31. Neocorbina terquemi b. Foraminifera Planktonik 1. Globigerina bulloides 14. Globorotalia seiglei 2. Globigerina falconensis 15. Globorotalia trucatulinoides 3. Globigerinella callida 16. Globorotalia tumida 4. Globigerinoides conglobatus 17. Globorotalia ungulata 5. Globigerinoides cyclostomus 18. Neogloboquadrina blowi 6. Globigerinoides fistulosus 19. Neogloboquadrina humerosa 7. Globigerinoides ruber 20. Orbulina universa 8. Globigerinoides sacculifer 21. Pulleniatina finalis 9. Globoquadrina pseudofoliata 22. Pulleniatina obliqueloculata 10. Globorotalia bermudezi 23. Pulleniatina praecursor 11. Globorotalia menardii 24. Pulleniatina primalis 12. Globorotalia pseudopumilio 25. Spheroidinella dehiscens 13. Globorotalia puncticulata 13

28 Kelimpahan Foraminifera Resen pada Sedimen Permukaan... Gambar 2. Kelimpahan foraminifera pada sedimen permukaan di Teluk Ambon Hasil analisis yang didapatkan di Teluk Ambon menunjukkan bahwa foraminifera pada umumnya ditemukan pada sedimen pasir dengan ukuran partikel 60,063 0,500 mm. Jumlah spesies semakin banyak pada daerahdaerah yang semakin dalam dan pada sedimen yang memiliki kadar pasir yang cukup tinggi. Hal ini sama dengan yang ditemukan oleh Mintoba (1970) di Teluk Miyogi, Jepang dan Susmiati (1981) di Teluk Jakarta. Suhartati (1994) menyatakan bahwa Ammonia beccarii ditemukan dalam jumlah yang melimpah di Delta Mahakam dan Citarum pada kedalaman antara 1,5 10 m yang didominasi oleh sedimen pasir dan lumpur. Banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan foraminifera, terutama foraminifera bentik yang hidup di dasar laut. Uchio (1966) dalam penelitiannya di San Diego, California, menyatakan bahwa tipe sedimen menentukan populasi foraminifera. Boltovskoy and Wright (1976), Dewi (1984) menyatakan bahwa foraminifera bentik banyak dijumpai pada sedimen pasir dan lumpur pasiran terutama dari spesies Asterorotalia trispinosa dan Ammonia beccarii. Beberapa spesies foraminifera bentik yang ditemukan hampir di semua lokasi adalah Amphistegina lessonii, Ammonia beccarii, Elphidium craticulatum, Operculina ammonoides dan Quinqueloculina parkery. Kelima spesies tersebut ditemukan mendominasi hampir di semua lokasi yang ditemukan foraminifera. Kelimpahan foraminifera bentik yang ditemukan di Teluk ambon tidak selalu diikuti oleh kelimpahan spesies. Jumlah spesies foraminifera bentik pada stasiun yang mempunyai kelimpahan tertinggi (stasiun 4) mencapai 20 spesies, sedangkan pada stasiun 21 memiliki jumlah spesies yang lebih banyak, yaitu 23 spesies (Gambar 3). Foraminifera planktonik yang sering dijumpai adalah Globorotalia tumida, Globoquadrina pseudofoliata, Globigerinoides pseudofoliata, Globigerinoides cyclostomus dan Pulleniatina finalis. 14 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.2, No.1, Juni 2010

29 Natsir Gambar 3. Kelimpahan spesies pada sedimen permukaan di Teluk Ambon Pada perairan dangkal, seperti pada Stasiun 22, dijumpai spesies penciri laut dangkal seperti Ammonia beccarii, Quinqueloculina, Elphidium dan Amphistegina. Hallock dalam Buzas and Gupta (1982) menyatakan bahwa beberapa spesies dari genus Amphistegina hidup, tumbuh dan bereproduksi dengan baik pada perairan dangkal (kurang dari 3 meter) dengan intensitas cahaya yang tinggi. Albani (1979) menyatakan bahwa spesies dari Subordo Milioliina (Spiroloculina communis, Quinqueloculina granulocostata, Q. parkery) merupakan spesies perairan dangkal. Pada lokasilokasi yang lebih dalam, yaitu Stasiun l8 (15 m), ditemukan 5 spesies foraminifera planktonik dan 9 spesies foraminifera bentik yang semuanya berasal dari laut dangkal. Pada kedalaman lebih dari 35 m banyak dijumpai foraminifera planktonik, bahkan terkadang baik jumlah spesies maupun individu lebih banyak ditemukan daripada jenis foraminifera bentik. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh arus dari Laut Banda cukup besar terhadap Teluk Ambon sehingga dapat membawa foraminifera bentik menyebar ke daerah lain. Lapisan lumpur hanya didapatkan pada bagian dalam teluk yaitu pada stasiun 44 dan 47 (kedalaman m) dengan kadar lumpur 75% sampai 90%. Menurut Suwartana (1986), Teluk Ambon bagian dalam memiliki bentuk membulat. Morfologi seperti ini dapat berpengaruh terhadap kondisi daerah tersebut. Massa air yang berasal dari Teluk Ambon bagian luar akan menyebar ke segala penjuru teluk dalam dan semakin jauh ke tengah energi yang ditimbulkan semakin melemah. Gelombang yang ditimbulkan oleh angin jarang terjadi di tempat ini, kecuali di musim timur dengan frekuensi rendah. Kondisi oseanografi semacam ini mengakibatkan daerah Teluk Ambon bagian dalam relatif tenang sehingga mudah terjadi proses sedimentasi (Stoddart and Steers, 1977; Kennet, l982). Hal ini berkaitan dengan kelimpahan foraminifera yang terdapat pada perairan bagian dalam teluk. Ratarata kelimpahan foraminifera maupun jumlah spesies yang ditemukan pada bagian dalam teluk relatif lebih rendah dibandingkan pada bagian luar teluk. Kondisi substrat dasar yang didominasi oleh lumpur tersebut kurang sesuai untuk kehidupan foraminifera. 15

30 Kelimpahan Foraminifera Resen pada Sedimen Permukaan... Kebanyakan foraminifera hidup dan tumbuh secara optimal pada daerah yang memiliki sedimen dasar pasir maupun lumpur pasiran Boltovskoy and Wright (1976). Renema (2008) menemukan dua spesies dari marga Amphistegina di lereng terumbu (reef slope) pada pecahan karang (rubble) atau pecahan karang bercampur pasir bersama-sama dengan beberapa spesies dari marga Calcarina di Kepulauan Seribu. Beberapa spesies Calcarina yang ditemukan melimpah di paparan terumbu (reef flat) dan puncak terumbu (reef crest), atau yang berasosiasi dengan alga dan makroalga seperti Sargassum, Galaxaura dan Chelidiopsis. Sifat fisik sedimen di Teluk Ambon berkaitan dengan keberadaan foraminifera yang umunnya menempati sedimen yang memiliki kandungan pasir, sedangkan pada sedimen lumpur dan lanau tidak ditemukan foraminifera. Pada tempattempat tertentu, seperti stasiun 4 dan 2 terjadi akumulasi sedimen pasir dan di sini paling banyak ditemukan foraminifera. Namun, pada stasiun 6, 10, dan 11 sama sekali tidak dijumpai foraminifera, Pada lokasi ini mungkin foraminifera mengalami pencucian dan bergerak ke lokasi lain. Tabel 2. Jenis sedimen permukaan di Teluk Ambon Stasiun Sedimen Stasiun Sedimen 1 Pasir 26 Krakal pasiran 2 Pasir 27 Krakal 3 Pasir 28 Pasir 4 Pasir 29 Pasir lumpuran 5 Pasir lumpuran 30 Pasir lumpuran 6 Pasir krakalan 31 Pasir lumpuran 7 Pasir krakalan 32 Pasir lumpuran 8 Pasir lumpuran 33 Pasir 9 Krakal 34 Pasir 10 Krakal pasiran 35 Pasir 11 Krakal pasiran 36 Pasir 12 Pasir krakalan 37 Pasir 13 Pasir lumpuran 38 Pasir 14 Pasir lumpuran 39 Lumpur pasiran 15 Krakal pasiran 40 Lumpur 16 Pasir 41 Pasir 17 Pasir krakalan 42 Pasir 18 Pasir krakalan 43 Pasir 19 Pasir krakalan 44 Lumpur 20 Pasir krakalan 45 Pasir 21 Pasir krakalan 46 Pasir 22 Pasir krakalan 47 Lumpur 23 Lumpur pasiran 48 Lumpur pasiran 24 Pasir krakalan 49 Pasir 25 Krakal 50 Pasir 16 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.2, No.1, Juni 2010

31 Natsir IV. KESIMPULAN Foraminifera yang ditemukan pada sedimen permukaan di Teluk Ambon mencapai 86 spesies yang terdiri dari 61 spesies foraminifera bentik dan 25 spesies foraminifera planktonik. Spesies foraminifera bentik yang ditemukan hampir di semua lokasi adalah Amphistegina lessonii, Ammonia beccarii, Elphidium craticulatum, Operculina ammonoides dan Quinqueloculina parkery. Kelima spesies tersebut ditemukan mendominasi hampir di semua sedimen permukaan perairan Teluk Ambon. Foraminifera planktonik yang sering dijumpai adalah Globorotalia tumida, Globoquadrina pseudofoliata, Globigerinoides pseudofoliata, Globigerinoides cyclostomus dan Pulleniatina finalis. Foraminifera pada umumnya ditemukan melimpah pada daerah yang memiliki sedimen pasir, sedangkan pada sedimen lumpur sama sekali tidak ditemukan baik foraminifera bentik maupun planktonik. DAFTAR PUSTAKA Albani, R. D Recent Shallow Water Foraminifera From New South Wales. AMS Handbook No. 3. The Australian Marine Assosiation, Australia. Van Bemelen, R.W The gology of Indonesia, V.IA, Government Printing Office, The Hague: 640 p. Boltovskoy, E. and R. Wright Recent Foraminifera. Dr. W. June, B. V. Publisher, The Haque, Netherland. Buzas, M. A. and B. K. Gupta Foraminifera. Notes for a Short Course. University of Tennessee. Department of Geological Science, Louisiana. Davies, J.L Geographical variation in coastal development. Lowe & Brydone Printers limited. Thetford, Nortfolk. 212p. Dewis, K.T., Suhartati, M.N. dan Y. Siswantoro Mikrofauna (Foraminifera) Terumbu Karang Sebagai Indikator Perairan Sekitar Pulau-Pulau Kecil. Ilmu Kelautan, Edisi khusus, 1: Dewi, T Ecology of Recent Benthic Foraminifera from the North Java Central Zones. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Dwiyanto, B., T.A. Soeprapto, dan M. Hanafi Laporan geology dan fisika kelautan di perairan Teluk Ambon, Maluku. Dep. Pertambangan dan Energi, PPGL, Bandung. 155hal. Haq, B.U. and Boersma Introduction to Marine Micropaleontology. Elsevier Biomedical. New York, Amsterdam, Oxford. Hedley, R.H and C.G. Adams. Kennet, J.P Marine geology. Prentice Hal, Inc. Englewood Cliffs, 822p. King, C.A.M Techniques to marine geology. Edward Arnold (Publishers) Ltd. 41 London, 309p. Lubis, S., M. Widjajanegara, Wahyudi, I Wayan Lugra, dan A. Wahib Laporan penyelidikan geofisika marine di Teluk Ambon Maluku. Dep. Pertambangan dan Energi, PPGL, Bandung: 62hal. Mintoba, Y Distribution of recent shallow water Foraminifera in Matshima Bay, Miyogi Prefecture, Northeast Japan: Tohuku Univ, Sci. Rep., 2nd Ser. (Geol), 42(1):

32 Kelimpahan Foraminifera Resen pada Sedimen Permukaan... Ongkosongo, O.S.R., Soemoenar, dan Susmiati Foraminifera resen dari daerah kehidupan hutan bakau di Teluk Ambon. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta, Renema, W., Habitat Selective Factors fluencing In the Distribution of Larger Benthic Foraminiferal Assemblages Over the Kepulauan Seribu. Marine Micropaleontology, 68: Shepard, F.E Nomenclature Based on Sand-Silt-Clay Ratios. Journ. Sed. Petrology, 24: Stoddart, D.R. dan J.A. Streers The natural and origin of coral reef islands. Dalam Biology and Geology of Coral Reef' (O. Ajones dan R. Endean, eds). Academic Press, New York, San Francisco, London: Susmiati Ekologi foraminifera bentonik resen di Teluk Jakarta. Skripsi Sarjana. Fak. Teknik, Jur. Geologi UGM, Yogyakarta. Suhartati The Distribution of Benthic Foraminifera in Citarum and Mahakam Delta, Indonesia. Symposium on Living Coastal Resources, Chulalongkorn University Bangkok, Thailand. Suwartana, A Analisa parameter morfometri perairan Teluk Ambon bagian dalam. Oseanologi di Indonesia, 2l: Uchio, T Ecology of living benthonic fomraminifera from the San Diego, California area. Cushman foundation for Foraminifera Research, Special Publication No.5. Wenworth, C.K A Scale of grade class term for clastic sediments. Journ. Geology, 30: E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.2, No.1, Juni 2010

33 Jurnal Penelitian Sains Edisi Khusus Desember 2009 (D) 09:12-11 Potensi Komunitas Plankton dalam Mendukung Kehidupan Komunitas Nekton di Perairan Rawa Gambut, Lebak Jungkal di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Propinsi Sumatera Selatan Effendi Parlindungan Sagala Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia Intisari: Analisis plankton telah dilakukan di laboratorium terhadap contoh air yang diambil dari perairan Danau Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan jenis-jenis plankton, September, Dari pengamatan tersebut diperoleh 38 spesies plankton yang terbagi menjadi 26 jenis termasuk fitoplankton dan 12 spesies zooplankton. Secara keseluruhan termasuk ke dalam 7 kategori taksonomi (Cyanophyceae, Chlorophyceae, Desmidiaceae, Diatomae/Bacillariophyceae, Flagellata, Rhizopoda dan Rotifera). Kelimpahan komunitas plankton berkisar dari 49 individu/liter (Lebak Bahanan) hingga 79 individu/liter (Lebak Betung). Dari hasil studi yang dilakukan ternyata, keanekaragaman yang tertinggi adalah fitoplankton dari kelompok takson Chlorophyceae, yaitu terdiri dari 11 spesies dengan penyebaran 2 spesies yang hanya dijumpai di Lebak Bahanan dan 6 spesies hanya terdapat di Lebak Betung serta 3 spesies dijumpai pada Lebak Bahanan dan Lebak Betung. Keanekaragaman tertinggi kedua adalah fitoplankton dari kelompok takson Diatomae atau Bacillariophyceae, yaitu terdiri dari sekitar 10 spesies dengan penyebaran 1 spesies yang hanya dijumpai di Lebak Bahanan dan 2 spesies yang hanya dijumpai di Lebak Betung serta 7 spesies dijumpai pada Lebadan Bahanan dan Lebak Betung. Dengan demikian, ganggang hijau (Chlorophyceae) dan ganggang kersik (Diatomae) ini berperanan penting dalam menopang produktivitas primer ekosistem di perairan Danau Lebak Jungkal. Potensi komunitas plankton diperlihatkan taksa Chlorophyceae, Diatomae dan Flagellata. Berdasarkan data yang diperoleh, maka perairan Danau Lebak Jungkal yang diambil pada September, 2009 adalah tergolong perairan dengan kesuburan rendah. Kondisi ini ditandai tidak hanya kelimpahan plankton yang rendah tetapi juga dari beberapa parameter fisika kimia yang juga tidak menguntungkan. Kandungan C-organik yang tinggi (505,6 mg/l), kandungan fosfat yang rendah (0,38 mg/l) dan juga kandungan NH4 yang rendah (3,15 mg/l) juga rendah akan menghambat pertumbuhan phytoplankton dan pada gilirannya zooplankton. Kata kunci: Potensi, Komposisi, kelimpahan, plankton, phytoplankton, zooplankton, takson, taksa Abstract: Analysis plankton had be done in laboratorium for water sample from Danau Lebak Jungkal waters, subregion Pampangan, Region Ogan Komering Ilir to know the composition and abundance of plankton species, September, From the observation can find 38 species plankton consists 26 species phytoplankton and 12 species zooplankton. All of plankton consists of 7 category taxonomy (Cyanophyceae, Chlorophyceae, Desmidiaceae, Diatomae/Bacillariophyceae, Flagellata, Rhizopoda dan Rotifera). The abundance of plankton in Danau Lebak Jungkal waters was 49 inviduals/liter (Lebak Bahanan) upto 79 inviduals/liter (Lebak Betung). Base to results of studies, in fact that highest diversity was phytoplankton from Chlorophyceae, namely 11 species with 2 species only in Lebak Bahanan and 6 spesies only in Lebak Betung and 3 species only in Lebak Bahanan and Lebak Betung. And the second highest diversity was phytoplankton from Diatomae (Bacillariophyceae), namely 10 species with 1 species only in Lebak Bahanan and 2 spesies only in Lebak Betung and 7 species only in Lebak Bahanan and Lebak Betung. And than, the green algae (Chlorophyceae) and diatoms algae (Bacillariophyceae) are very importance to support the primary productivity in ecosystem of Danau Lebak Jungkal waters. The potency of plankton community showed by Chlorophyceae, Diatomae and Flagellata. From results of these research, can be said that Danau Lebak Jungkal waters at September 2009 was oligotrophic waters or the low fertility. This condition showed by low plankton populations and the low of organic matters (505,6 mg/l), phosphates (0,38 mg/l) and NH4 (3,15 mg/l) also so low and all of these can to limite the growth of phytoplankton and than to stop zooplankton. Keywords: Composition, abundance, plankton, phytoplankton, zooplankton, category, taxonomy. Desember 2009 c 2010 FMIPA Universitas Sriwijaya

34 E.P. Sagala/Potensi Komunitas Plankton... JPS Edisi Khusus (D) 09: PENDAHULUAN P erairan rawa gambut Lebak Jungkal merupakan bagian dari perairan rawa lebak yang terletak pada wilayah pantai timur Pulau Sumatera di Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan. Danau Lebak Jungkal cukup luas, diperkirakan ratusan hektar. Dengan luasan seperti itu, potensi perikanan rawa lebak di perairan ini menjadi cukup penting. Hal ini terlihat dari banyaknya nelayan yang mencari ikan di areal Danau Lebak Jungkal tersebut. Danau Lebak Jungkal ini memiliki kedalaman air sekitar 2-3 meter di waktu kemarau dan mencapai 4-5 meter pada musim hujan. Pada waktu kemarau panjang seperti terjadi tahun 1997, danau rawa gambut ini sebagian besar mengalami kekeringan, sehingga berpotensi terjadinya kebakaran. Bila dilihat dari sisa vegetasi strata pohon yang masih ada, maka wilayah Danau Lebak Jungkal ini diperkirakan sebelumnya merupakan hutan rawa yang didominasi berbagai jenis vegetasi rawa seperti gelam rawa, kayu gabus, perepat darat, serdang, palas, pandan rawa dan sebagainya. Namun kondisi saat ini, hutan rawa seperti disebutkan di atas hampir tidak dijumpai lagi dan diganti dengan vegetasi herba rawa. Vegetasi herba rawa ini didominasi oleh rumput kumpai (Panicum stagininum, Panicum colonum dan Panicum reptans). Vegetasi lainnya yang tidak dominan adalah: eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata), telipuk (Nymphoides indica), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air (Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang (Hydrilla verticillata). Dari segi ekologi, hutan rawa gambut Danau Lebak Jungkal ini telah membentuk kondisi alami sesuai dengan kemampuan ekologis habitat yang ada, yaitu vegetasi herba dari jenis kumpai sebagaimana disebutkan beserta seluruh perakarannya, sehingga membentuk microhabitat. Kondisi vegetasi kumpai itu merupakan microhabitat penting untuk pembiakan berbagai jenis nekton (ikan-ikan) yang beradaptasi di rawa lebak. Ikan-ikan yang beradaptasi di rawa lebak adalah ikanikan yang memiliki warna kulit atau sisik yang hitam atau gelap, sehingga dikenal dengan nama black fishes atau ikan-ikan hitam. Hal ini disebabkan kondisi air memang hitam karena pengaruh tanah gambut serta permukaan air yang sebagian besar tertutup vegetasi, sehingga sinar matahari tidak menembus hingga ke dasar perairan. Dari segi perikanan perairan Danau Lebak Jungkal ini sangat penting, karena sistem perakaran rumput kumpai yang mengantung atau terapung serta produksi bahan organik yang dihasilkannya sangat mendukung kestabilan sifat fisik-kimia kualitas air untuk menopang sebagian fase daur hidup berbagai jenis ikan rawa lebak. Kemerosotan fungsi ekologis hutan rawa karena pada musim kemarau berpeluang terbakar, akan berdampak penurunan produksi perikanan tangkap di rawa gambut, bukan saja di lokasi tersebut tetapi juga memungkinkan ke lokasi lainnya. Hal ini berdasarkan sifat ekologi rawa lebak yang merupakan bagian dari ekosistem air tawar, antara lain berfungsi menyediakan nutrisi untuk organisme akuatik, terutaka kelompok nekton (ikan-ikan). Nutrisi yang tersedia dalam badan air tersebut sangat menentukan produksi primer dalam badan air, dalam hal ini adalah komunitas plankton. Hal ini dipertegas oleh Barnes dan Mann [1] yang menyatakan bahwa produksi primer pada bagian tepi ekosistem akuatik dalam hal ini mikrohabitat rumput kumpai adalah tergolong tinggi dan sering sangat tinggi yang biasanya berupa algae planktonik. Dengan kondisi seperti itu, daur hidup ikan-ikan yang dimulai dengan larva ikan akan menggantungkan hidupnya dari pakan alami yang ada berupa komunitas plankton yang ada. Sebagaimana ditegaskan oleh Effendie [2] bahwa pergerakan migrasi atau ruaya ikan ke daerah pemijahan mengandung tujuan penyesuaian dan peyakinan tempat yang paling menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva. Demikian hal nya ikan-ikan yang beruaya dari sungai-sungai ke daerah rawa lebak atau rawa gambut adalah bertujuan untuk mendapatkan tempat spesifik yang aman dan mampu memberiken nutrisi dan kebutuhan ekologis lainnya untuk perkembangan telur dan larvanya. Kesuburan suatu perairan antara lain dapat dilihat dari keberadaan organisme planktonnya, karena plankton dalam suatu perairan dapat menggambarkan tingkat produktivitas perairan tersebut [3]. Dalam sistem trofik ekosistem perairan, termasuk ekosistem rawa gambut, organisme plankton sangat berperan sebagai produsen dan berada pada tingkat dasar, yaitu menentukan keberadaan organisme pada jenjang berikutnya berupa berbagai jenis ikan-ikan. Oleh karena itu, keberadaan plankton di suatu perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikanikan di perairan tersebut, terutam bagi ikan-ikan pemakan plankton atau ikan-ikan yang berada pada taraf perkembangan awal. Kerusakan vegetasi yang terjadi pada daerah areal rawa gambut di sekitar Danau Lebak Jungkal diperkirakan akan mengganggu kehidupan berbagai jenis plankton. Mengingat pentingnya diketahui potensi dan peranan plankton sebagai jasad alami dan produsen ekosistem akuatik, maka perlu dilakukan penelitian tentang komposisi dan kelimpahan plankton di perairan Danau Lebak Jungkal, di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan. Hal ini dilakukan, karena merupakan langkah penting untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan komunitas plankton sebagai indikator

35 E.P. Sagala/Potensi Komunitas Plankton... JPS Edisi Khusus (D) 09:12-11 kesuburan terhadap potensi perikananan dan sebagai dasar untuk meningkatkan keberhasilan usaha konservasi perikanan di perairan rawa gambut. 2 BAHAN DAN METODE Pengambilan contoh plankton dilakukan pada bulan September, Lokasi atau stasiun pengambilan contoh ditentukan secara purposive pada 2 stasiun pengamatan yaitu: 1) Lebak Bahanan dan 2) Lebak Betung, keduanya dalam wilayah Danau Lebak Jungkal. Pengumpulan organisme plankton dilakukan dengan cara menyaring air contoh sebanyak 50 liter ke dalam net plankton nomor 25 yang ditampung dalam botol flakon bervolume 25 ml., selanjutnya diawetkan dengan larutan formalin 4%. Analisis plankton dilakukan di laboratorium Ekologi Jurusan Biologi F. MIPA UNSRI dengan menggunakan buku petunjuk APHA [4] ; Mizuno [5] ; Edmondson [6] ; Needham and Needham [7] dan Pennak [8]. Kelimpahan plankton diukur secara lintasan berdasarkan metode Sedwick Rafter Counting Cell [4] yaitu: No./ml = C 1000mm3 L D W S dengan C, L, D, W, dan S berturut-turut adalah jumlah organisme yang dihitung, panjang setiap lintasan (50 mm), kedalaman Sedwick-Rafter (1mm), lebar lintasan (1 mm), dan jumlah lintasan yang dihitung (4 lintas). Untuk mengukur indeks keanekaragaman digunakan indeks: Shannon - Wiener: H = P i ln P i dengan P i = n i /N, n i = nilai penting setiap spesies, dan N = total nilai penting; sedangkan untuk mengukur indeks kemerataan digunakan rumus: E = H log S dengan E = Indeks kemerataan, H = Indeks Keanekaragaman, dan S = Jumlah spesies. Untuk data pendukung dilakukan pula pengukuran kualitas air yang terdiri dari ph, oksigen terlarut (DO), kedalaman, kecerahan, temperatur, kandungan lumpur, zat padat terlarut, zat padat tersuspensi, kandungan fosfat (PO4) dan kandungan NH4. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil tabulasi data pengamatan mikroskopis komposisi plankton di perairan perairan rawa gambut di Lebak Bahanan dan Lebak Betung perairan Danau Lebak Jungkal disajikan pada Tabel 1. Dari hasil tersebut didapatkan 38 spesies plankton dari 7 kategori takson (Cyanophyceae, Chlorophyceae, Desmidiaceae, Bacillariophyceae, Flagellata, Rhizopoda dan Rotifera). Hasil analisis plankton menunjukkan bahwa kelimpahan plankton berkisar dari 49 individu/liter (Lebak Bahanan) hingga 79 individu/liter (Lebak Betung). Rendahnya kelimpahan plankton pada kedua lokasi di Danau Lebak Jungkal tersebut sangat berkaitan dengan rendahnya kandungan oksigen terlarut (3,70 mg/l) dan rendahnya kesuburan perairan yang ditunjukkan oleh kandungan NH4 sebesar 3,15 mg/l dan kandungan fosfat (PO 4 ) sebesar 0,38 mg/l. Meskipun kelimpahan plankton tergolong rendah, namun secara ekologis kondisi ekosistem tergolong masih baik. Hal ini ditunjukkan dengan cukup tingginya nilai indeks keanekaragaman plankton yang berkisar 3,02 (Lebak Betung) hingga 3,06 (Lebak Bahanan). Dengan demikian rata-rata indeks keanekaragaman plankton di Danau Lebak Jungkal pada penelitian ini > 3, 00 bermakna bahwa kondisi komunitas plankton adalah sangat stabil atau sangat mantap. Menurut Dresscher dan Mark [9] bahwa indeks keanekaragaman > 2, 0 menunjukkan kondisi perairan tidak tercemar. Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi komunitas plankton pada Danau Lebak Jungkal tergolong masih alami (tidak tercemar). Potensi Fitoplankton di Danau Lebak Jungkal sangat ditentukan oleh komposisi dari masing-masing taksa Fitoplanktonnya. Taksa fitoplankton yang teramati seperti terlihat dalam Tabel 1 meliputi taksa Cyanophyceae, Chlorophyceae, Desmidiaceae dan Diatomae. Cyanophyceae merupakan kelompok ganggang biru yang sangat berperan dalam memfiksasi nitrogen udara yang bersentuhan dalam air, sehingga menambah penyediaan nitrogen dalam air dalam bentuk NH4 [10]. Taksa Cyanophyceae terdiri dari 4 spesies (Lyngbya birgei, Lyngbya limnetica, Nodularia spumigena dan Oscillatoria splendida) yang penyebarannya tidak merata untuk tiga spesies dan dengan penyebaran merata untuk 1 spesies. Taksa Chlorophyceae terdiri dari 11 spesies, dimana hanya 3 spesies yang penyebarannya merata (Chaetophora elegans, Chlorella vulgaris dan Scenedesmus bijuga) dan 8 spesies dengan penyebaran tidak merata, yaitu 2 spesies hanya pada Lebak Bahanan (Chladophora glomerata dan Scenedesmus ellipsoideus) dan 6 spesies hanya ada pada Lebak Betung (Ankistrodesmus spiralis, Chaetophora incrassata, Chlorella ellipsoidea, Oedogonium varians, Quadrigula chodatii dan Quadrigula recustris).taksa Desmidiaceae terdiri hanya 1 spesies (Pleurotaenium trabecula) dengan penyebaran tidak merata, yakni hanya terdapat pada Lebak Bahanan, Jungkal. Taksa Diatomae terdiri dari 10 spesies dan diantaranya ada 7 spesies yang penyebarannya merata (Asterionella gracillima, Diatoma elongatum, Diatoma vulgare, Eunotia arcus, Eunotia gracilis, Eunotia lunaris dan Nitzschia linearis). Potensi Zooplankton di Lebak Jungkal sangat ditentukan oleh komposisi taksa zooplanktonya. Taksa

36 E.P. Sagala/Potensi Komunitas Plankton... JPS Edisi Khusus (D) 09:12-11 Zooplankton yang teramati terdiri dari 3 taksa yaitu Flagellata, Rhizopoda dan Rotifera. Dari 10 spesies yang terdapat pada Flagellata, ternyata hanya ada 4 spesies (Carteria crucifera, Carteria globosa, Chlamydomonas cingulata dan Trachelomonas curta). yang penyebarannya merata pada Danau Lebak Jungkal, sementara 3 spesies (Lepocinclis ovum, Trachelomonas abrupta dan Trachelomonas cervicula) hanya terdapat pada Lebak Bahanan dan juga 3 spesies hanya terdapat pada Lebak Betung. Berdasarkan hasil analisis plankton yang telah dilakukan seperti disajikan pada Tabel 1 berikut ini, maka dapat dinyatakan bahwa peranan komunitas plankton di Lebak Jungkal didominasi oleh Fitoplankton sebagai produsen primer dari taksa Chlorophyceae dan Diatomae. Produsen primer sebagaimana disebutkan di atas sangat berperan dalam menjamin pakan alami bagi konsumen primer berupa larva ikanikan dan zooplankton lainnya yang hidup di ekosistem perairan Danau Lebak Jungkal. Berikut ini pada Tabel 1 disajikan hasil analisis plankton pada dua lokasi di Danau Lebak Jungkal, yaitu: Lebak bahanan (P1) dan Lebak Betung (P2). Berdasarkan hasil rangking prosentase individual pada masing-masing takson, seperti disajikan pada Tabel 2 berikut ini, ternyata potensi plankton pada Lebak Bahanan didominasi oleh Diatomae (34,69%), Flagellata (34,69%) dan Chlorophyceae (18,37%). Sementara potensi plankton pada Lebak Betung didominasi oleh Chlorophyceae (39,24%), Diatomae (27,84%) dan Flagellata (25,32%). Dengan demikian pada Danau Lebak Jungkal, potensi komunitas plankton diperlihatkan oleh taksa: Chlorophyceae, Diatomae dan Flagellata. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas plankton dalam upaya meningkatkan produksi perikanan di Danau Lebak Jungkal, maka perlu dilakukan studi untuk meningkatkan kelimpahan ketiga taksa: Chlorophyceae, Diatomae dan Flagellata sebagai mana disebutkan di atas. Untuk meningkatkan budidaya ikan rawa lebak yang adaptif pada kondisi ekosistem rawa gambut Danau Lebak Jungkal, maka upaya pengkayaan plankton dapat dikembangkan dari jenisjenis plankton seperti yang disajikan pada Tabel 1 di atas. Bila dilihat dari Pada Tabel 3 berikut, terlihat bahwa ph air Danau Lebak Jungkal sebesar 6,66, menunjukkan kondisi ph mendekati normal (mendekati nilai 7,00). Kondisi cukup mendukung kehidupan komunitas plankton yang ada dalam badan air. Kandungan oksigen terlarut (DO, Dissolved Oxygen) sebesar 3,70 adalah tergolong rendah, dimana batas baku mutu lingkungan (BML) sebesar 3,00. kandungan oksigen yang rendah ini berkaitan dengan laju konsumsi oksigen yang rendah oleh banyaknya komunitas biota air yang mengkonsumsinya. Sementara itu, sumber oksigen terlarut dalam badan air Danau Lebak Jungkal terutama dari hasil fotosintesis fitoplankton yang ada dalam badan air. Tingkat kecerahan air yang diukur dengan lempeng seki (Secchi Disk) memperlihatkan tingkat kecerahan yang rendah yaitu sekitar 30 cm, menunjukkan zona fotosintesis yang tipis, sehingga produksi oksigen dalam badan air menjadi rendah. 4 KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil studi yang dilakukan di perairan Danau Lebak Jungkal, September, 2009, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dapat ditemukan 38 spesies plankton dari 7 kategori takson (Cyanophyceae, Chlorophyceae, Desmidiaceae, Bacillariophyceae, Flagellata, Rhizopoda dan Rotifera). 2. Berdasarkan kandungan fosfat (PO 4 ) sekitar 0,38 mg/l dan kandungan NH4 sekitar 3,15 mg/l, maka perairan studi Danau Lebak Jungkal adalah tergolong perairan yang kurang sumbur yang didukung dengan kepadatan plankton rendah hingga sedang (49-79 individu/liter air atau individu/m 3 air). 3. Chlorophyceae, Diatomae (Bacillariophyceae) dan Flagellata merupakan takson yang dominan yang dijumpai pada ekosistem perairan Danau Lebak Jungkal. Dengan demikian spesies-spesies yang termasuk ketiga taksa tersebut merupakan yang paling adaptif dan dapat dikembangkan untuk pakan alami dalam budidaya ikan di wilayah Danau Lebak Jungkal. Berdasarkan hasil pembahasan dan studi yang dilakukan ini, maka disarankan: 1. Perlu dikaji bagaimana sistem pengembangan dan peningkatan kelimpahan komunitas plankton di Danau Lebak Jungkal untuk memacu produksi optimal perikanan rawa lebak gambut. 2. Perlu dilakukan aplikasi pengembangan perikanan rawa lebak dengan pengembangan kultur plankton dari jenis-jenis yang diidentifikasi dalam penelitian ini

37 E.P. Sagala/Potensi Komunitas Plankton... JPS Edisi Khusus (D) 09:12-11 Tabel 1: Komposisi dan kelimpahan plankton di perairan Danau Lebak Jungkal, Kabupaten OKI, September, Jml Indv/ltr Jml Indv/ltr No Nama Kelompok dan Spesies P1 P2 No Nama Kelompok dan Spesies P1 P2 I. PHYTOPLANKTON: II. ZOOPLANKTON: A. Cyanophyceae: A. Flagellata: 1. Lyngbya birgei Anisonema ovale Lyngbya limnetica 2-2. Carteria crucifera Nodularia spumigena Carteria globosa Oscillatoria splendida Chlamydomonas cingulata 3 1 B. Chlorophyceae: 5. Lepocinclis ovum 2-1. Ankistrodesmus spiralis Trachelomonas abrupta 3-2. Chaetophopra elegans Trachelomonas cervicula 1-3. Chaetophora incrassata Trachelomonas curta Chlorella ellipsoidea Trachelomonas oblonga Chlorella vulgaris Trachelomonas volvocina Chladophora glomerata 1 - B. Rhizopoda: 7. Oedogonium varians Astramoeba radiosa 1-8. Quadrigula chodatii - 1 C. Rotifera: 9. Quadrigula recustris Philodina roseola Scenedesmus bijuga Populasi plankton per liter: Scenedesmus ellipsoideus 2-3. Populasi phytoplankton per liter: C. Desmidiaceae: 4. Populasi zooplankton per liter: Pleurotaenium trabecula 2-5. Keanekaan spesies plankton: D. Diatomae: 6. Keanekaan spesies fitoplankton: Asterionella gracillima Keanekaan spesies zooplankton: Diatoma elongatum Indeks Kemerataan (Shannon): E 2,22 2,09 3. Diatoma vulgare Indeks Keanekaragaman Plankton (H): 3,06 3,02 4. Eunotia arcus Eunotia gracilis Eunotia lunaris Navicula hasta Navicula minima Navicula spicula Nitzschia linearis 1 1 Tabel 2: Proporsi masing-masing kategori takson di perairan Danau Lebak Jungkal, September, 2009 Proporsi (%) Individu No Katagori Takson pada Dua Stasiun Pengamatan Lebak Bahanan Lebak Betung 1. Cyanophyceae 6,12 6,33 2. Chlorophyceae 18,37 39,24 3. Desmidiaceae 4, Diatomae/Bacillariophyceae 34,69 27,84 5. Flagellata 34,69 25,32 6. Rhizopoda 2, Rotifera 0 1,27 Jumlah 100,00 100,

38 E.P. Sagala/Potensi Komunitas Plankton... JPS Edisi Khusus (D) 09:12-11 Tabel 3: Kisaran parameter kualitas perairan Lebak Jungkal, September No Parameter Hasil Pengukuran 1. ph 6,66 2. Oksigen terlarut (DO) 3,70 3. Kedalaman (m) Kecerahan (cm) Temperatur ( C) TSS (mg/l) 14,6 7. NH4 (mg/l) 3,15 8. PO 4 (mg/l) 0,38 9. C- Organik 505,6 10. Besi (Fe) terlarut (mg/l) Sulfat (mg/l) DAFTAR PUSTAKA [1] Barnes, R.S.K. and K.H. Mann, 1980, Fundamentals of Aquatic Ecosystems, Blackwell Scientific Publications, Oxford London Edinburgh Boston Melbourne, 229 p. [2] Effendi, H.M.I., 2002, Biologi Perikanan, Yayasan Pustaka Nusantara, 163 hal. [3] Sachlan, M., 1980, Planktonologi, Fakultas Peternakan dan Perikanan, UNDIP Semarang, 103 hal. [4] APHA, 1980, Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater, 15 th Ed., APHA Inc., New York, 1134 p. [5] Mizuno, T., 1979, Illustrations of The Freshwater Plankton of Japan, Hoikusha Publishing Co., Ltd., 353 p. [6] Edmondson, W.T., 1959, Fresh-Water Biology, University of Washington, Seattle, Printed in the University States of America, 1248 p. [7] Needham, J.G. and D.R. Needham, 1963, A guide to study of freshwater biology, 15 th Ed., Holden Day Inc., San Fransisco, 108 p. [8] Pennak, R.W., 1978, Freshwater invertebrates of the united states, Jhon Wiley and Sons, New York, 803 p. [9] Dresscher, T.G.N. and H. van der Mark, 1976, A Simplified method for the assessment of quality of fresh & Slightly Brakish Water, Hydrobiologia, Vol. 48, 3, pp [10] Marschner, 1986, Mineral Nutrition of Higher Plants, Academic Press, Harcourt Brace Javanovic, Publishers, London

39 J. Tanah Trop., Vol. 13, No.3, 2008: Perubahan Populasi Protozoa dan Alga Dominan pada Air Genangan Tanah Padi Sawah yang Diberi Bokashi Berkelanjutan Ainin Niswati, Dermiyati, dan Mas Achmad Syamsul Arif 1 Makalah diterima 26 Juni 2008 /disetujui 12 September 2008 ABSTRACT Changes of the Dominant Population of Protozoa and Algae Inhabited the Floodwater of Paddy Fields Subjected by Continued Bokashi Applications (A. Niswati, Dermiyati, and M.A.S. Arif): Protozoa and alga play important roles in biogeochemical nutrient cycles in freshwater environment, especially in the paddy fields. The changes from the conventional technologies to organic technologies will change the communities structures of organisms lived in the paddy fields environment. The fields experiment was conducted to study the population dynamic of protozoa and algae dominant inhabited in the floodwater of the paddy fields subjected by continues bokashi application. The results showed that protozoa and algae inhabited in the paddy fields in present study were dominated by Euglena, Pleodorina, Volvox, and Diatom. The continued application of bokashi for 4 years significantly increased the total population of protozoa and algae, however, the significantly effect was obtained in the population of Volvox only. The population of protozoa and algae were affected by the time of flooding of paddy fields where it increases exponentially at the 20 and 30 days after flooding and stable after that, ecxept for Euglena where it increases sligthly by flooding time. Keywords: Bokashi, days after flooding, paddy fields. population of protozoa and algae PENDAHULUAN Lahan padi sawah merupakan tanah tergenang buatan manusia yang bersifat unik dan berbeda dengan lahan basah alami. Penggenangan hanya dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan keperluan dengan tinggi genangan sekitar 5-10 cm. Kedangkalan genangan air tersebut menyebabkan keadaan air sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari, angin, suhu udara, dan curah hujan (Bambaradeniya dan Amarasinghe, 2004) yang akan mempengaruhi juga organisme yang hidup di dalamnya. Di Indonesia, agroekosistem padi sawah dikelola dengan berbagai cara, antara lain dengan cara konvensional dan organik. Pengelolaan secara konvensional dilakukan dengan mengaplikasikan berbagai macam bahan kimia pertanian seperti pupuk dan pestisida kimia. Akhir-akhir ini pengelolaan secara organik atau semi organik terus disosialisasikan ke masyarakat tani. Beberapa kelompok tani di Indonesia telah mulai melaksanakannya. Per ubahan dari pertanian konvensional ke organik tersebut akan mempengaruhi lingkungan biotik pertanaman padi sawah. Biodiversitas ekosistem padi sawah tersebut berubah karena masukan yang diberikan berbeda dengan sebelumnya. Tetapi sejauh mana perubahan tersebut perlu diklarifikasi lebih lanjut. Seperti dilaporkan oleh banyak peneliti bahwa pada air genangan tanah padi sawah dihuni oleh berbagai populasi organisme yang saling berinteraksi satu sama lain membentuk suatu rantai dan jaringjaring makanan yang khas (Kuwabara, 1999; Roger et al., 1993; Ali, 1990). Pengaruh langsung dan tidak langsung dari salah satu organisme air dapat mempengaruhi struktur komunitas organisme dalam lingkungan tanah sawah yang antara lain terdiri dari protozoa, alga, larva serangga, moluska, oligocaheta, nematoda, dan mikrokrustacea (Mogi, 1993; Adrian dan Schneider-Olt, 1999). Selain berinteraksi antara sesama organisme, populasi mereka juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti penggunaan pupuk kimia dan organik, pestisida, penggenangan, pengelolaan air, varietas tanaman, lama penggenangan dan sebagainya (Simpson et al., 1994; Ferrari et al., 1991). 1 Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandarlampung niswati@unila.ac.id J. Tanah Trop., Vol. 13, No. 3, 2008: ISSN X 225

40 A. Niswati et al.: Protozoa dan Alga pada Padi Sawah yang Diaplikasi Bokashi Di antara berbagai organisme yang mendiami air genangan tanah sawah adalah protozoa dan alga. Mereka berperanan penting dalam siklus unsur hara di lingkungan air tawar, khususnya pada pertanaman padi sawah. Beberapa alga pada genangan tanah sawah dilaporkan dapat memfiksasi nitrogen (Grant et al., 1983 a ) yang kuantitasnya sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme lain yang mendiami air genangan tanah sawah tersebut (Kivi et al., 1996; Grant et al., 1983 b ). Selain itu secara langsung protozoa dan alga juga sebagai penyumbang biomassa tanah pada pertanaman padi sawah. Peranan penting lain dari protozoa and algae adalah sebagai bioindikator perubahan lingkungan (Dawah, 2006). Oleh karena itu perubahan dan dinamika populasi alga dan protozoa dominan yang menghuni padi sawah kemungkinan akan terpengaruh oleh aplikasi bokashi yang diberikan terus menerus. Alga hijau biru mempunyai arti penting dalam mempertahankan kesuburan tanah sawah karena fungsinya dalam fiksasi nitrogen (Banerjee, 1991). Aplikasi bahan organik ke tanah akan merubah lingkungan tanah sedemikian sehingga sumber bahan organik bagi bakteri, fungi, dan organisme lainnya akan berubah. Keberadaan alga di dalam tanah akan menyetabilkan dan memperbaiki sifat-sifat fisika tanah dengan mengagregasi partikel-partikel dan menambahkan bahan organik. Beberapa alga beradaptasi pada tanah lembab, bahkan permukaan batuan, alga tersebut mendegradasi mineral yang belum terhancurkan sehingga menjadikan produkproduk dekomposisinya tersedia untuk membangun dan memperkaya tanah (Pelczar dan Chan, 1986). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan populasi protozoa dan alga dominan yang mendiami air genangan tanah sawah akibat pemberian pupuk bokashi berkelanjutan selama pertanaman padi sawah. 226 BAHAN DAN METODE Desain Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini dilakukan di lahan padi sawah di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Tanggamus yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei Pengamatan jumlah dan keanekaragaman protozoa dan alga dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian dilakukan dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu tanpa aplikasi bokashi kontrol (B 0 ), aplikasi bokashi selama 2 tahun (B 1 ), dan aplikasi bokashi selama 4 tahun (B 2 ). Data dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan nilai tengah diuji dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Keanekaragaman protozoa dan alga dinyatakan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (Krebs, 1985). Pelaksanaan Penelitian Pengambilan contoh air genangan dilakukan pada lahan pertanaman padi sawah yang menerapkan sistem pertanian organik selama 5 tahun dimulai dari tahun Petani yang termasuk dalam kelompok pertanian organik, memberikan input kompos bokashi sebanyak 4 ton/ha sebagai pengganti pupuk anorganik serta tanpa menggunakan pestisida sintesis. Bokashi dibuat dengan memfermentasikan jerami padi, kotoran ternak dan mikroorganisme lokal yang berasal dari fermentasi buah-buahan matang yang dihancurkan, air kelapa, dan gula merah. Titik contoh air ditentukan secara acak pada lahan sawah dengan masing-masing perlakuan pada setiap ulangan sehingga didapat 12 titik pengamatan. Pada masing-masing titik diambil contoh air dengan menggunakan gayung sebanyak 250 ml dan dimasukkan ke dalam botol plastik. Pengambilan sampel dilakukan setiap 10 hari selama pertanaman padi sawah. Sebelum pengambilan sampel terlebih dahulu dilakukan pengukuran ketinggian muka air genangan sawah dengan menggunakan penggaris panjang. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam termos es yang telah diberi es batu hingga pengamatan dilakukan. Penyimpanan dalam termos es bertujuan untuk menghambat berkembangbiaknya protozoa dan alga serta menghambat aktivitas protozoa dan alga selama dalam perjalanan dari lapangan ke laboratorium lebih kurang 1,5 jam. Pengamatan Pengamatan protozoa dan alga pada setiap sampel dilakukan dengan mengambil sebanyak ml sampel air dituangkan ke dalam cawan petri lalu diamati dengan menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran x, kemudian digambar, difoto dan jumlah protozoa dan alga dihitung. Hal ini dilakukan hingga seluruh sampel air habis. Protozoa dan alga hasil tangkapan diidentifikasi jenisnya. Protozoa yang berhasil dilihat dihitung jumlahnya kemudian diidentifikasi secara manual,

41 Kepadatan Populasi Protozoa dan Alga (Propagul dm -1 air) J. Tanah Trop., Vol. 13, No.3, 2008: dengan melihat flagel serta bentuk tubuh protozoa dan alga. Jumlah protozoa dan alga yang didapat dikonversi ke dalam jumlah protozoa dan alga genangan air per dm 3. Variabel pendukung yang diamati adalah ph air, C-organik tanah, dan ketinggian genangan air. HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan Populasi Protozoa dan Alga Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat 2 genus protozoa dan 2 genus alga dominan yang dapat diamati pada lahan sawah yang diberi bokashi berkelanjutan (Gambar 1) yang lebih tinggi jumlahnya dibandingkan dengan tanah sawah yang tidak diberi bokashi. Dua genus protozoa tersebut yaitu Euglena sp., Pleodorina sp., dan 2 genus alga adalah Volvox sp., dan Diatom (Gambar 1). Fluktuasi protozoa dan alga Fluktuasi jumlah protozoa dan alga total pada tanah yang tidak diberi bokashi pada waktu 10 hst sampai 80 hst lebih rendah dibandingkan dengan jumlah protozoa pada tanah yang diberi bokashi selama 2 tahun dan 4 tahun berturut-turut. Hasil Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 % menunjukkan bahwa total protozoa dan alga pada air genangan padi sawah tertinggi diperoleh pada perlakuan aplikasi bokashi berkelanjutan selama 4 tahun (Tabel 1). Populasi protozoa dan alga mulai meningkat tajam sejak 30 hst dan cenderung stabil jumlahnya sampai akhir masa panen. Hal ini disebabkan karena penambahan kompos (bokashi) berkelanjutan ke dalam tanah, akan meningkatkan populasi bakteri dan fungi dalam tanah (Labidi et al., 2007) yang menjadi sumber makanan bagi protozoa. Euglena sp. P leo dorin a s p kontrol 2 tahun 4 tahun ko ntro l 2 tahun 4 ta hun Vo lvo x sp. Diatom kontrol 2 tahun 4 tahun kontrol 2 tahun 4 tahun Lama aplikasi bokashi Gambar 1. Kepadatan Populasi protozoa dan alga dominan yang terdapat di air genangan padi sawah yang diberi bokashi berkelanjutan. Bar menunjukkan standar eror (P = 0,95 %). 227

42 A. Niswati et al.: Protozoa dan Alga pada Padi Sawah yang Diaplikasi Bokashi Kepadatan populasi protozoa dan alga (propagul dm -1 ) kontrol 2 tahun 4 tahun Waktu (hari setelah tanam) Gambar 2. Fluktuasi populasi protozoa dan alga dalam air genangan padi sawah selama pertanaman padi yang diberi bokashi berkelanjutan. Tabel 1. Pengaruh pemberian bokashi berkelanjutan terhadap kepadatan populasi protozoa dan alga air genangan padi sawah. Lama aplikasi bokashi BNJ 5% = 90 Kepadatan populasi protozoa dan alga (propagul dm -3 ) Kontrol ± 40,92 a 2 tahun ± 76,35 b 4 tahun ± 27,78 c Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. Di samping itu pemberian kompos ke dalam tanah akan menambah biomassa C, N, P dan S (Perucci, 1990) yang diperlukan oleh protozoa dan alga. Penambahan bokashi akan digunakan protozoa dan alga sebagai sumber makanan selain bakteri dan fungi. Semakin banyak bokashi yang diberikan ke dalam tanah maka semakin banyak pula aktivitas biota tanah. Dengan demikian semakin banyak pula protozoa dan alga yang akan hidup. Hal ini diduga disebabkan oleh mulai termineralisasinya nitrogen dan hara lain sehingga dapat digunaan oleh mereka. Selain sifat kimia tanah yang diperbaiki (Zhang et al., 2006) oleh pemberian kompos ke tanah, sifat fisik tanah juga menjadi lebih baik. Penurunan jumlah populasi protozoa dan alga terjadi pada 30 dan 60 hari setelah tanam, disebabkan dilakukannya manajemen pengelolaan padi sawah organik oleh para petani yaitu dengan melakukan penyiangan gulma, pergiliran air irigasi, dan pengeringan air genangan padi sawah. 228 Perubahan Kepadatan Populasi Masing-masing Protozoa Populasi Euglena sp. Secara deskriptif, jumlah Euglena sp. di genangan air padi sawah pada perlakuan kontrol lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberi bokashi berkelanjutan (Gambar 3) seiring dengan pertumbuhan padi jumlah Euglena sp. yang diberi pupuk bokashi berkelanjutan meningkat sampai 80 hst. Namun secara statistika lama aplikasi bokashi tidak mempengaruhi populasi Euglena sp. Populasi Pleodorina sp. Secara deskriptif, jumlah populasi Pleodorina sp. di air genangan padi sawah pada kontrol atau pertanian padi sawah secara konvensional memiliki jumlah lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberi bokashi Kepadatan populasi Euglena sp. (propagul dm -1 ) kontrol 2 tahun 4 tahun Waktu (hari setelah tanam) Gambar 3. Fluktuasi populasi Euglena sp. dalam air genangan padi sawah selama pertanaman padi sawah yang diberi bokashi berkelanjutan.

43 J. Tanah Trop., Vol. 13, No.3, 2008: Kepadatan populasi Pleidorina sp. ( p r o p a g u l d m -1 ) kontrol 2 tahun 4 tahun Kepadatan populasi Volvox sp. (propagul dm -1 ) kontrol 2 tahun 4 tahun Waktu (hari setelah tanam) Waktu (hari setelah tanam) Gambar 4. Fluktuasi populasi Pleidorina sp. dalam air genangan padi sawah selama pertanaman padi sawah yang diberi bokashi berkelanjutan. Gambar 5. Fluktuasi populasi Volvox sp. dalam air genangan padi sawah selama pertanaman padi sawah yang diberi bokashi berkelanjutan. berkelanjutan (Gambar 4) selain itu seiring dengan waktu pertumbuhan tanaman padi jumlah Pleodorina sp. meningkat tajam sejak 20 hst dan kemudian stabil sejak 40 hst. Namun secara statistika lama aplikasi bokashi tidak mempengaruhi populasi Pleodorina sp. Pada penelitian ini diperoleh bahwa protozoa dominan yang mendiami air genangan tanah sawah adalah dua protozoa seperti disebutkan di atas. Sampai saat ini alasan mengapa didominasi oleh kedua organisme tersebut belum dapat dijelaskan pada studi saat ini. Perubahan Kepadatan Populasi Masing-masing Alga Populasi Volvox sp. Secara deskriptif, jumlah populasi Volvox sp. yang menghuni genangan air padi sawah pada perlakuan kontrol lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberi bokashi berkelanjutan (Gambar 5). Populasi volvox sp. meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman padi kecuali pada 30 hst, yang disebabkan dilakukannya manajemen pengelolaan padi sawah organik oleh para petani yaitu dengan melakukan penyiangan gulma, dan pergiliran air irigasi. Hasil Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 % menunjukkan bahwa total Volvox sp. air genangan padi sawah tertinggi diperoleh pada perlakuan aplikasi bokashi berkelanjutan selama 4 tahun (Tabel 2). Populasi Diatom. Secara deskriptif, kepadatan populasi Diatom di air genangan padi sawah pada perlakuan kontrol lebih rendah dibandingkan dengan Tabel 2. Pengaruh pemberian bokashi berkelanjutan terhadap kepadatan populasi Volvox sp. pada air genangan padi sawah. Lama aplikasi bokashi Kepadatan populasi Volvox sp. (propagul dm -3 ) Kontrol 734 ± 43,02a 2 tahun 814 ± 55,95b 4 tahun 896 ± 50,17c BNJ 5% = 80 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. perlakuan yang diberi bokashi berkelanjutan (Gambar 6). Populasi Diatom menurun pada perlakuan aplikasi bokashi selama 2 tahun pada 70 hst yang disebabkan dilakukannya pengeringan air genangan padi sawah. Populasi Diatom ternyata juga banyak ditemui pada sawah-sawah di Australia (Grant et al., 2006). Peningkatan jumlah alga pada padi sawah kemungkinan akan mempengaruhi ketersediaan nitrogen bagi tanaman padi, namun hal ini perlu studi lebih lanjut. Roger et al. (1987) melaporkan bahwa alga hijau biru sangat berpotensi untuk dijadikan inokulum penambatan nitrogen secara biologi pada pertanaman padi sawah. Kepadatan Populasi Protozoa dan Alga lainnya Secara deskriptif, protozoa dan alga lainnya (antara lain: Chlococcum, Archipora, Bdelloida, Spirogyra, Ploimida) di air genangan padi sawah pada pertanaman konvensional (kontrol) memiliki jumlah 229

44 A. Niswati et al.: Protozoa dan Alga pada Padi Sawah yang Diaplikasi Bokashi Kepadatan populasi Diatom (propagul dm -1 ) Waktu (hari setelah tanam) populasi yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan bokashi berkelanjutan (Gambar 7). Populasi protozoa dan alga lainnya meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman padi meskipun kepadatan populasinya lebih rendah dibandingkan dengan protozoa dan alga dominan. Indeks Keanekaragaman Protozoa dan Alga kontrol 2 tahun 4 tahun Gambar 6. Fluktuasi populasi Diatom dalam air genangan padi sawah selama pertanaman padi sawah yang diberi bokashi berkelanjutan. Kepadatan populasi protozoa dan alga lainnya (propagul dm -1 ) Waktu (hari setelah tanam) kontrol 2 tahun 4 tahun Gambar 7. Fluktuasi populasi protozoa dan alga lainnya dalam air genangan padi sawah selama pertanaman padi sawah yang diberi bokashi berkelanjutan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian bokashi berkelanjutan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap indeks keanekaragaman populasi protozoa dan alga air genangan padi sawah. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman protozoa dan alga air genangan padi sawah, memiliki nilai ratarata indeks keanekaragaman sebesar 3,93 untuk lahan kontrol, 3,95 untuk lahan yang diaplikasi bokashi selama 2 tahun, dan 3,89 untuk lahan yang diaplikasi bokashi selama 4 tahun. Hal ini diduga sebabkan aplikasi bokashi mempengaruhi keselur uhan organisme yang mendiami air genangan tanah sawah sehingga rantai dan jaring-jaring makanan belum terganggu. Protozoa dan algae pada ekosistem air dimangsa oleh makrozooplankton seperti Cladocera, dan Copepoda (Yoshida et al., 2001). KESIMPULAN Protozoa dan alga yang mendominasi pada air genangan tanah sawah pada penelitian ini adalah dari genus Euglena, Pleodorina, Volvox, dan Diatom. Pemberian bokashi terus menerus selama 4 tahun meningkatkan secara siginifikan jumlah populasi protozoa dan algae secara keseluruhan, tetapi hanya alga genus Volvox yang jumlahnya secara signifikan dipengaruhi oleh pemberian bokashi terus menerus. Populasi protozoa dan alga dipengaruhi oleh waktu penggenangan tanah sawah, dimana populasinya cenderung meningkat sejak 20 sampai 30 hari setelah penggenangan dan kemudian stabil sampai akhir penggenangan, kecuali protozoa genus Euglena yang populasinya terus meningkat sampai akhir penggenangan. Indeks keanekaragaman spesies protozoa dan algae tidak dipengaruhi oleh aplikasi bokashi secara berkelanjutan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih Bapak Widodo, Kepala Kelompok Tani Organik Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Tanggamus yang telah menyediakan lahan sawahnya untuk penelitian ini dan kepada Saudara Akbar Hariyadi, S.P. yang telah membantu pengambilan sampel di lapangan dan enumerasi di laboratorium. DAFTAR PUSTAKA Adrian, R and B. Schneider-Olt Top-down effects of crustacean zooplankton on pelagic microorganisms in a mesotrophic lake. J. Plankton Res. 21: Ali, A.B Seasonal dynamics of microcrustacean and rotifer communities in Malaysian rice fields used for rice-fish farming. Hydrobiologia 206: Bambaradeniya, C.N.B and P. Amarasinghe Biodiversity Associated with the Rice Field Agro- Ecosystem in Asian Countries: A Brief Review. 230

45 J. Tanah Trop., Vol. 13, No.3, 2008: Working Paper 63. International Water Management Institute, Srilanka, 24 pp. Banerjee, M Blue green algal ecology of paddy fields. Bionatures 11: Dawah, A.M.A Influence of saturn herbicide on a natural phytoplankton community of rice fields. Egypt J. Agric. Res., 84: Ferrari, I., A. Bachiorri, F.G. Margaritora, and V. Rossi Succession of cladocerans in a northern Italian ricefield. Hydrobiologia 225: Grant, A.J., M. Pavlova, L. Wilkinson-White, A. Haythornthwaite, I. Grant, D. Ko, B. Sutton, and R. Hinde Ecology and biology of nuisance algae in rice fields. A report for the Rural Industries Research and Development Corporation. University of Sydney, NSW: 38 p. Grant, I.F., A.C. Tirol, T. Aziz, and I. Watanabe a. Regulation of invertebrate grazers as a means to enhance biomass and nitrogen fixation of Chyanophyceace in wetland rice field. Soil Sci. Soc. Am. J. 47: Grant, I.F., E.A. Egan, and M. Alexander b. Measurement of rates of grazing of the ostracod Cyprinotus carolinensis on blue green algae. Hydrobiologia 106: Kivi, K., H. Kuosa, and S. Tanskanen An experimental study on the role of crustacean and microzooplankton grazers in the planktonic food web. Marine Ecol. Prog. Ser. 136: Krebs, J.K Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.Third Edition Harper & Row, Publisher. New York. Pp Kuwabara, R Dynamic of water quality and planktonic community in a paddy of northeastern Hokkaido along with the growth of rice plant. Proc. of Int. Seminar on Development of Agribusiness and its Impact on Agricultural Production in Southeast Asia November 1998, Tokyo, p Labidi, S., H. Nasr, M. Zouaghi, and H. Wallander Effects of compost addition on extra-radical growth of arbuscular mycorrhizal fungi in Acacia tortilis ssp. raddiana savanna in a pre-saharan area. Appl. Soil Ecol Mogi, M Effect of intermittent irrigation on mosquitoes (Diptera: Culicidae) and larviviorous predators in rice fields. J. Med. Entomol. 30: Pelczar Jr., M.J. dan E.C.S. Chan Dasar-dasar mikrobiologi. Penerjemah: R.S. Hadioetomo, T. Imas, S.S. Tjitrosomo, dan S.L. Angka. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 443 hlm. Perucci, P., Effect of the addition of municipal soildwaste compost on microbial biomass and enzyme activities in soil. Biol. Fertil. Soils 10: Roger, P.A., S. Santiago-Ardales, and I. Watanabe The abundance of heterocystous blue-green algae in rice soils and inocula used for application in rice fields. Biol. Fertil. Soils 5: Roger, P.A., W.J. Zimmerman and T.A. Lumpkin Microbiological management of wetland rice fields. In F.B. Metting Jr. ed. Soil Microbial Ecology, Applications in Agricultural and Environmental Management. pp Mercell Dekker, Inc. Simpson, I.C., P.A. Roger, R. Oficial, and I.F. Grant Effects of nitrogen fertilizer and pesticide management of floodwater ecology in a wetland tice field II. Dynamics of microcrustaceans and dipteran larvae. Biol. Fertil. Soils. 17: Yoshida, T., T.B Gurung, M. Kagami and J. Urabe Contrasting effects of a cladoceran (Daphnia galeata) and a calanoid copepod (Eodiaptomus japonicus) on algal and microbial plankton in a Japanese lake, Lake Biwa. Oecologia 129: Zhang, M., D. Heaney, B. Henriquez, E. Solberg, and E. Bittner A four year study on influence of biosolids/msw cocompost application in less productive soils in Alberta: nutrient dynamics. Compost Sci. Util. 14:

46 PERANAN MIKROBA DAN PROTOZOA DALAM PENANGGULANGAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KERTAS Latar Belakang Dra. Rosmimik Emerde Palar, M.Si. Kertas merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan. Disadari atau tidak, permintaan kertas dari tahun ketahun terus meningkat. Seiring dengan hal tsb dibutuhkan bahan baku pembuatan pulp,khususnya kayu sebagai sumber selulosa. Pulp merupakan bahan berbentuk serat hasil pengolahan bahan berlignoselulosa dengan proses mekanis. Umumnya bahan baku yang digunakan untuk hal ini adalah kayu dari jenis Acacia sp, kayu ini termasuk pohon berbuah polong, keras, yang tumbuh cepat dan menghasilkan kayu padat bewarna coklat muda sampai coklat tua. Tanaman acacia sp ini mengandung selulosa tinggi, lignin, abu sedang, serta kadar pentosa yang rendah, keadaan demikian diharapkan dapat menghasilkan pulp dengan rendemen yang cukup tinggi dan berkualitas baik. Kesulitan utama dalam analisis kayu secara umum bukanlah karena jumlah komponen kayu yang kadang-kadang sangat berbeda komposisi dan sifat-sifatnya, melain karena eratnya asosiasi ultra struktur dan kimia yang ada diantara makromolekul dinding sel. Pembuatan pulp secara kimia mekanis merupakan gabungan antara perlakuan kimia dan mekanis. Perlakuan kimi merupakan tahap penambahan bahan kimia pemasak pulp, sebelum pulp diberikan perlakuan mekanis. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah natrium karbonat, sulfit, atau sulfat, bisulfit pada air pengasahan untuk penghematan energi dan menaikan derajad putih pulp yang dihasilkan.selain pereaksi tsb pereaksi lain jang digunkan yaitu Na 2 SO 3, Na 2 S, NaHCO 3, Na 2 SO 4. Bahan bahan ini berfungsi sebagai larutan penyanggah untuk mencegah terjadinya korosi dan hidrolisis jang berkelanjutan dari Na 2 SO 3, sehingga kandungan selulosa tetap tinggi. Warna pulp terutama disebabkan oleh adanya lignin dan zat ekstrak serta perubahan-perubahan kimia yang terjadi pada zat-zat tersebut. Pemutih merupakan proses penghilangan lignin dan bahan-bahan lain dari serat untuk meningkatkan kecerahan warna pulp. Limbah dari pulp memberikan warna gelap dan keruh yang mengakibatkan air buangannya sangat mencemari perairan dilingkungan pabrik,sehingga mengakibatkan syarat COD dan BOD yang ditetapkan oleh AMDAL tidak terpenuhi. Untukmengatasi haltsb diatas maka limbah tersebut harus kita perlakukan secara biologi jangan secara kimia karena cara kimia tetap

47 meninggalkan residu terhadap lingkungan. Cara biologi yang paling tepat adalah dengan memanfaatkan jasa Mikroba dan Protozoa. MIKROBA Mikroba milik CV.MARROS LESTARI Segala jasad hidup yang berukuran kecil disebut mikroba / mikroorganisme / jasad renik. Disebut jasad renik karena ukurannya yang kecil (kurang dari 0,1 mm), sehingga sukar dilihat dengan mata biasa, umumnya hanya dapat dilihat dengan alat pembesar atau mikroskop, ada mikroba yang berukuran besar sehingga dapat dilihat tanpa alat pembesar, pengaturan kehidupannya yang lebih sederhana dibandingkan dengan jasad tingkat tinggi. Mikroba di alam secara umum berperanan sebagai produsen, konsumen, maupun redusen. a) Jasad Produsen Menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan energi sinar matahari. Mikroba yang berperanan sebagai produsen adalah algae dan bakteri fotosintetik. b) Jasad Konsumen Menggunakan bahan organik yang dihasilkan oleh produsen. Contoh: protozoa c) Jasad Redusen Menguraikan bahan organik dan sisa-sisa jasad hidup yang mati menjadi unsur-unsur kimia (mineralisasi bahan organik), sehingga di alam terjadi siklus unsur-unsur kimia. Contoh: bakteri dan jamur (fungi). Mikroba-mikroba ini sangat bermanfaat untuk pertanian, dan juga pengolahan limbah, terutama yang mengandung bahan organik.

48 PROTOZOA Protozoa : Spirostomu ambiguum Protozoa termasuk golongan protista eukariotik yang berada dalam keadaan sel tunggal dan berkoloni. Protozoa hidup bebas tergantung adanya air, pada bahan organik yang membusuk, dalam tanah dan pasir, hidupnya dipengaruhi kelembaban, suhu, cahaya, nutrien dan kondisi fisik dan kimia. Pertumbuhanannya dapat bertahan dalam air pada suhu 56 0 C, tetapi suhu optimumnya adalah antara 36 s/d 40 0 C,keasaman berkisar antara ph 6.0 dan ph 8.0. Protozoa ini mempunyai banyak jenis, bentuk, ukuran dan kebanyakkan mikroskopis, tetapi ada beberapa yang bisa dilihat dengan mata seperti Klas Ciliata tepatnya Stentor polimorfis ukuran 1 2 mm, Spirostomu ambiguum dapat berkembang sampai dengan 3 mm. Reproduksinya dengan cara sexual dengan cara konjugasi dan singami, dan asexual dengan cara binari yaitu proses pembelah, budding yaitu bagian dari induk yang berdifrensiasi dan berkembang menjadi individu baru, exogeneas budding dimana tunas amuba yang muda dari induk lepas sendiri membentuk individu yang baru. Protozoa digunakan sebagai indikator kualitas air, materi limbah mentah dapat dikatagorikan kedalam tiga golongan. 1. Kotoran cara domestik 2. Limbah industri senyawa pengdegradasi senyawa kimia anorganik. 3. Stromwater yang mengandung polutan ( air mengalir yang membawa kotoran permukaan

DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN DI PERAIRAN SEKITAR PULAU BATAM RIAU KEPULAUAN

DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN DI PERAIRAN SEKITAR PULAU BATAM RIAU KEPULAUAN DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN DI PERAIRAN SEKITAR PULAU BATAM RIAU KEPULAUAN Oleh : Luli Gustiantini dan Ediar Usman Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN THE ARAFURA SEA

DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN THE ARAFURA SEA Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 74-82, Desember 2010 DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN THE ARAFURA SEA

Lebih terperinci

BIOFASIES BERDASARKAN FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PADA CORE JPA DI PERAIRAN JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH

BIOFASIES BERDASARKAN FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PADA CORE JPA DI PERAIRAN JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH BIOFASIES BERDASARKAN FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PADA CORE JPA 07-04 DI PERAIRAN JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH Erika Silviani 1*, Lia Jurnaliah 1, Winantris 1 1 Fakultas Teknik Geologi Universitas

Lebih terperinci

Tekstur Sedimen, Kelimpahan dan Keanekaragaman Foraminifera Bentik di Perairan Teluk Jakarta

Tekstur Sedimen, Kelimpahan dan Keanekaragaman Foraminifera Bentik di Perairan Teluk Jakarta Tekstur Sedimen, Kelimpahan dan Keanekaragaman Foraminifera Bentik di Perairan Teluk Jakarta Isnaniawardhani, V 1, Nurruhwati, I 2, dan Bengen, D.G 3 1 Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA PADA SEDIMEN PERMUKAAN DAN KORELASINYA TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN LEPAS PANTAI BALIKPAPAN, SELAT MAKASSAR

STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA PADA SEDIMEN PERMUKAAN DAN KORELASINYA TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN LEPAS PANTAI BALIKPAPAN, SELAT MAKASSAR Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 2, Hlm. 671-680, Desember 2015 STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA PADA SEDIMEN PERMUKAAN DAN KORELASINYA TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN LEPAS PANTAI

Lebih terperinci

KERAGAMAN FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PADA CORE-01 DI PERAIRAN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH

KERAGAMAN FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PADA CORE-01 DI PERAIRAN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH KERAGAMAN FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PADA CORE-01 DI PERAIRAN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH Siti Mulia Nurul Aswad 1), Lia Jurnaliah 2), Winantris 2) 1 Mahasiswa Prog. Sarjana S1, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU KOTOK BESAR DAN PULAU NIRWANA, KEPULAUAN SERIBU.

FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU KOTOK BESAR DAN PULAU NIRWANA, KEPULAUAN SERIBU. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 181-192 ISSN 0125 9830 FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU KOTOK BESAR DAN PULAU NIRWANA, KEPULAUAN

Lebih terperinci

FORAMINIFERA DI PERAIRAN SEKITAR BAKAUHENI, LAMPUNG (SELAT SUNDA BAGIAN UTARA)

FORAMINIFERA DI PERAIRAN SEKITAR BAKAUHENI, LAMPUNG (SELAT SUNDA BAGIAN UTARA) FORAMINIFERA DI PERAIRAN SEKITAR BAKAUHENI, LAMPUNG (SELAT SUNDA BAGIAN UTARA) Oleh: L. Gustiantini, K.T. Dewi dan E. Usman Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Jl. Dr. Junjunan 236 Bandung-40174

Lebih terperinci

VARIASI KOMPOSISI DINDING CANGKANG FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PERAIRAN SEMARANG (LEMBAR 1409), JAWA TENGAH

VARIASI KOMPOSISI DINDING CANGKANG FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PERAIRAN SEMARANG (LEMBAR 1409), JAWA TENGAH VARIASI KOMPOSISI DINDING FORAMINIFERA BENTONIK KECIL RESEN PERAIRAN SEMARANG (LEMBAR 1409), JAWA TENGAH Lia Jurnaliah Laboratorium Paleontologi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ABSTRACT

Lebih terperinci

KELIMPAHAN FORAMINIFERA RESEN PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI TELUK AMBON THE ABUNDANCE OF RECENT FORAMINIFERA IN SURFACE SEDIMENT OF AMBON BAY

KELIMPAHAN FORAMINIFERA RESEN PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI TELUK AMBON THE ABUNDANCE OF RECENT FORAMINIFERA IN SURFACE SEDIMENT OF AMBON BAY E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 9-18, Juni 2010 KELIMPAHAN FORAMINIFERA RESEN PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI TELUK AMBON THE ABUNDANCE OF RECENT FORAMINIFERA IN SURFACE SEDIMENT

Lebih terperinci

SEBARAN SPASIAL FORAMINIFERA DALAM KAITANNYA DENGAN KEDALAMAN LAUT DAN JENIS SEDIMEN DI TELUK BONE, SULAWESI SELATAN

SEBARAN SPASIAL FORAMINIFERA DALAM KAITANNYA DENGAN KEDALAMAN LAUT DAN JENIS SEDIMEN DI TELUK BONE, SULAWESI SELATAN SEBARAN SPASIAL FORAMINIFERA DALAM KAITANNYA DENGAN KEDALAMAN LAUT DAN JENIS SEDIMEN DI TELUK BONE, SULAWESI SELATAN SPATIAL DISTRIBUTION OF FORAMINERAS IN RELATION WITH THE WATER DEPTH AND SEDIMENT TYPES

Lebih terperinci

PENENTUAN SPESIES FORAMINIFERA BENTONIK KECIL DOMINAN PADA PERAIRAN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

PENENTUAN SPESIES FORAMINIFERA BENTONIK KECIL DOMINAN PADA PERAIRAN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH PENENTUAN SPESIES FORAMINIFERA BENTONIK KECIL DOMINAN PADA PERAIRAN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH Rina Nurani 1), Lia Jurnaliah 2), Winantris 2) 1 Mahasiswa Prog. Sarjana S1, Fakultas Teknik Geologi,

Lebih terperinci

MEIOFAUNA (FORAMINIFERA) DALAM SEDIMEN DAN KETERKAITANNYA DENGAN PANTAI PASIR PUTIH SENGGIGI SERTA KONDISI PERAIRAN LOMBOK BARAT

MEIOFAUNA (FORAMINIFERA) DALAM SEDIMEN DAN KETERKAITANNYA DENGAN PANTAI PASIR PUTIH SENGGIGI SERTA KONDISI PERAIRAN LOMBOK BARAT Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Hlm. 47-54, Juni 2012 MEIOFAUNA (FORAMINIFERA) DALAM SEDIMEN DAN KETERKAITANNYA DENGAN PANTAI PASIR PUTIH SENGGIGI SERTA KONDISI PERAIRAN LOMBOK

Lebih terperinci

Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Perairan Lombok (Suatu Tinjauan di Daerah Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan)

Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Perairan Lombok (Suatu Tinjauan di Daerah Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan) Natsir, Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Perairan Lombok: 95-102 95 Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Perairan Lombok (Suatu Tinjauan di Daerah Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan) Suhartati

Lebih terperinci

FORAMINIFERA DI TELUK SEPI BLONGAS, LOMBOK SELATAN, NUSA TENGGARA BARAT DAN KAITANNYA DENGAN FAKTOR LINGKUNGAN

FORAMINIFERA DI TELUK SEPI BLONGAS, LOMBOK SELATAN, NUSA TENGGARA BARAT DAN KAITANNYA DENGAN FAKTOR LINGKUNGAN Foraminifera di Teluk Sepi Blongas, Lombok Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Kaitannya dengan Faktor Lingkungan (L. Auliaherliaty, et al) FORAMINIFERA DI TELUK SEPI BLONGAS, LOMBOK SELATAN, NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

Oleh. Luli Gustiani dan Delyuzar Ilahude. Puslitbang Geologi Kelautan, Jl. Dr. Junjunan No. 236 Bandung. Diterima : Disetujui :

Oleh. Luli Gustiani dan Delyuzar Ilahude. Puslitbang Geologi Kelautan, Jl. Dr. Junjunan No. 236 Bandung. Diterima : Disetujui : FORAMINIFERA BENTIK DALAM SEDIMEN SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU CEMARA BESAR DAN CEMARA KECIL KEPULAUAN KARIMUNJAWA JAWA TENGAH Oleh Luli Gustiani dan Delyuzar Ilahude

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa sampel

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa sampel III. METODE KERJA Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa sampel sedimen hasil cucian yang telah tersedia di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) dan siap

Lebih terperinci

KOMUNITAS FORAMINIFERA BENTIK DI PERAIRAN KEPULAUAN NATUNA BENTHIC FORAMINIFERAL ASSEMBLAGES IN NATUNA ISLANDS

KOMUNITAS FORAMINIFERA BENTIK DI PERAIRAN KEPULAUAN NATUNA BENTHIC FORAMINIFERAL ASSEMBLAGES IN NATUNA ISLANDS Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal. 21-31, Desember 2011 KOMUNITAS FORAMINIFERA BENTIK DI PERAIRAN KEPULAUAN NATUNA BENTHIC FORAMINIFERAL ASSEMBLAGES IN NATUNA ISLANDS Suhartati

Lebih terperinci

Kelimpahan Foraminifera Bentik Pada Sedimen Di Perairan Pantai Lamreh, Aceh Besar

Kelimpahan Foraminifera Bentik Pada Sedimen Di Perairan Pantai Lamreh, Aceh Besar Kelimpahan Foraminifera Bentik Pada Sedimen Di Perairan Pantai Lamreh, Aceh Besar Benthic Foraminifera Abundance In The Sediments Of Lamreh Coastal Waters, Aceh Besar Jaza Anil Husna, Chitra Octavina,

Lebih terperinci

KELIMPAHAN FORAMINIFERA BENTIK RESEN PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI PERAIRAN TELUK JAKARTA. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21 UBR 40600, Jawa Barat

KELIMPAHAN FORAMINIFERA BENTIK RESEN PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI PERAIRAN TELUK JAKARTA. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21 UBR 40600, Jawa Barat Jurnal Akuatika Vol. III No. 1/ Maret 2012 (11-18) ISSN 0853-2523 KELIMPAHAN FORAMINIFERA BENTIK RESEN PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI PERAIRAN TELUK JAKARTA Isni Nurruhwati 1, Richardus Kaswadji 2, Dietriech

Lebih terperinci

KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU

KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU 1) oleh: Devy Yolanda Putri 1), Rifardi 2) Alumni Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru 2) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

Benthic Foraminifera Distribution in the Sediment of Western Part of the Horizontal Section In Rupat Strait. By:

Benthic Foraminifera Distribution in the Sediment of Western Part of the Horizontal Section In Rupat Strait. By: Benthic Foraminifera Distribution in the Sediment of Western Part of the Horizontal Section In Rupat Strait By: Rosshalia 1), Rifardi 2), Zulkifli 3) Abstract This research was conducted in May 2014 in

Lebih terperinci

DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK DI PERAIRAN ACEH THE DISTRIBUTION OF BENTHIC FORAMINIFERA IN ACEH WATERS

DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK DI PERAIRAN ACEH THE DISTRIBUTION OF BENTHIC FORAMINIFERA IN ACEH WATERS DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK DI PERAIRAN ACEH THE DISTRIBUTION OF BENTHIC FORAMINIFERA IN ACEH WATERS Nazar Nurdin dan Imelda R. Silalahi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Jl. Dr. Junjunan

Lebih terperinci

FORAMINIFERA BENTIK TERKAIT DENGAN KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN SEKITAR PULAU DAMAR, KEPULAUAN SERIBU

FORAMINIFERA BENTIK TERKAIT DENGAN KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN SEKITAR PULAU DAMAR, KEPULAUAN SERIBU FORAMINIFERA BENTIK TERKAIT DENGAN KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN SEKITAR PULAU DAMAR, KEPULAUAN SERIBU BENTHIC FORAMINIFERA RELATED TO MARINE ENVIRONMENTAL SURROUNDING DAMAR ISLAND, SERIBU ISLANDS Suhartati

Lebih terperinci

Isni Nurruhwati, Richardus Kaswadji, Dietriech G. Bengen, dan Vijaya Isnaniawardhani

Isni Nurruhwati, Richardus Kaswadji, Dietriech G. Bengen, dan Vijaya Isnaniawardhani Isni Nurruhwati, Richardus Kaswadji, Dietriech G. Bengen, dan Vijaya Isnaniawardhani KELOMPOK FORAMINIFERA BENTIK RESEN BERDASARKAN KOMPOSISI DINDING CANGKANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA Isni Nurruhwati

Lebih terperinci

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA Oleh : Eko Minarto* 1) Heron Surbakti 2) Elizabeth Vorandra 3) Tjiong Giok Pin 4) Muzilman Musli 5) Eka

Lebih terperinci

KONDISI PERAIRAN TERUMBU KARANG DENGAN FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI BIOINDIKATOR BERDASARKAN FORAM Index DI KEPULAUAN BANGGAI, PROVINSI SULAWESI TENGAH

KONDISI PERAIRAN TERUMBU KARANG DENGAN FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI BIOINDIKATOR BERDASARKAN FORAM Index DI KEPULAUAN BANGGAI, PROVINSI SULAWESI TENGAH Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 2, Hlm. 335-345, Desember 2012 KONDISI PERAIRAN TERUMBU KARANG DENGAN FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI BIOINDIKATOR BERDASARKAN FORAM Index DI KEPULAUAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

FORAMINIFERA BENTONIK KAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI WILAYAH BARAT DAYA PULAU MOROTAI, MALUKU UTARA

FORAMINIFERA BENTONIK KAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI WILAYAH BARAT DAYA PULAU MOROTAI, MALUKU UTARA FORAMINIFERA BENTONIK KAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI WILAYAH BARAT DAYA PULAU MOROTAI, MALUKU UTARA BENTHONIC FORAMINIFERA RELATED TO THE WATER QUALITY OFF SOUTHWESTERN PART OF MOROTAI ISLAND, NORTH

Lebih terperinci

Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at ISSN : X

Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at  ISSN : X ISSN : 2337-621X Kelimpahan Foraminifera Bentik Pada Sedimen Permukaan Perairan Dangkal Pantai Timur Semenanjung Ujung Kulon, Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Banten R. Puspasari 1, Marsoedi 2, A. Sartimbul

Lebih terperinci

PALEOEKOLOGI SATUAN BATULEMPUNG FORMASI JATILUHUR DAERAH CILEUNGSI, KECAMATAN CILEUNGSI, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

PALEOEKOLOGI SATUAN BATULEMPUNG FORMASI JATILUHUR DAERAH CILEUNGSI, KECAMATAN CILEUNGSI, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT Bulletin of Scientific Contribution. Vol. 4, No., 1, Januari 2006 :78-87 PALEOEKOLOGI SATUAN BATULEMPUNG FORMASI JATILUHUR DAERAH CILEUNGSI, KECAMATAN CILEUNGSI, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT Lia Jurnaliah

Lebih terperinci

Komposisi Jenis Foraminifera dan Kemunculan Cangkang Abnormal. Lingkungan Tercemar

Komposisi Jenis Foraminifera dan Kemunculan Cangkang Abnormal. Lingkungan Tercemar ISSN 853-7291 Komposisi Jenis Foraminifera dan Kemunculan Cangkang Abnormal pada Ammonia beccarii di Teluk Jakarta Sebagai Indikator Lingkungan Tercemar Ricky Rositasari Bidang Dinamika Laut, Pusat penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

SUSPENSI DAN ENDAPAN SEDIMEN DI PERAIRAN LAUT JAWA

SUSPENSI DAN ENDAPAN SEDIMEN DI PERAIRAN LAUT JAWA 34 SUSPENSI DAN ENDAPAN SEDIMEN DI PERAIRAN LAUT JAWA Helfinalis Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta 14430, Indonesia E-mail: helfi55@yahoo.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

*Korespondensi: Kata kunci : Biofasies, Foraminifera, Formasi Kerek, Perubahan Lingkungan Pengendapan.

*Korespondensi: Kata kunci : Biofasies, Foraminifera, Formasi Kerek, Perubahan Lingkungan Pengendapan. PERUBAHAN LINGKUNGAN KALA MIOSEN AKHIR BERDASARKAN FORAMINIFERA BENTONIK KECIL PADA LINTASAN KALI JURANGRIANGA JAWA TENGAH Widiya Putri 1*, Lia Jurnaliah 1, Winantris 1 1 Fakultas Teknik Geologi Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan

Lebih terperinci

SEBARAN BENTIK FORAMINIFERA PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI PERAIRAN SELAT BENGKALIS. Abstract

SEBARAN BENTIK FORAMINIFERA PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI PERAIRAN SELAT BENGKALIS. Abstract SEBARAN BENTIK FORAMINIFERA PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI PERAIRAN SELAT BENGKALIS By Meikel Argus 1, Rifardi 2, Musrifin Ghalib 2 1 Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru 28293 2 Dosen Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

Bulletin of Scientific Contribution, Volume 15, Nomor 1, April 2017 : 45 52

Bulletin of Scientific Contribution, Volume 15, Nomor 1, April 2017 : 45 52 PERUBAHAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN PADA KALA MIOSEN AKHIR-PLIOSEN AWAL BERDASARKAN KUMPULAN FORAMINIFERA BENTONIK KECIL PADA LINTASAN KALI JRAGUNG, KABUPATEN DEMAK, JAWA TENGAH Lia Jurnaliah*, Ildrem Syafri**,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU. oleh: Hardi Sandro Situmeang 1) dan Rifardi 2) Abstrak

ANALISIS KUALITAS SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU. oleh: Hardi Sandro Situmeang 1) dan Rifardi 2) Abstrak ANALISIS KUALITAS SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU oleh: Hardi Sandro Situmeang 1) dan Rifardi 2) 1) Alumni Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru 2) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

KANDUNGAN TOTAL SUSPENDED SOLID DAN SEDIMEN DI DASAR DI PERAIRAN PANIMBANG

KANDUNGAN TOTAL SUSPENDED SOLID DAN SEDIMEN DI DASAR DI PERAIRAN PANIMBANG 45 KANDUNGAN TOTAL SUSPENDED SOLID DAN SEDIMEN DI DASAR DI PERAIRAN PANIMBANG Helfinalis Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta 14430, Indonesia E-mail: helfi55@yahoo.com

Lebih terperinci

KELIMPAHAN FORAMINIFERA BENTIK BERDASARKAN KOMPOSISI DINDING CANGKANG DI PERAIRAN PULAU TEGAL, KABUPATEN PESAWARAN, PROVINSI LAMPUNG

KELIMPAHAN FORAMINIFERA BENTIK BERDASARKAN KOMPOSISI DINDING CANGKANG DI PERAIRAN PULAU TEGAL, KABUPATEN PESAWARAN, PROVINSI LAMPUNG Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. VIII No. /Juni 07 (-8) KELIMPAHAN FORAMINIFERA BENTIK BERDASARKAN KOMPOSISI DINDING CANGKANG DI PERAIRAN PULAU TEGAL, KABUPATEN PESAWARAN, PROVINSI LAMPUNG Nindita Oriana,

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Foraminifera Bentik di Teluk Bayur Padang, Sumatra Barat. Benthic foraminifera in Teluk Bayur Padang, Sumatra Barat

Jenis-Jenis Foraminifera Bentik di Teluk Bayur Padang, Sumatra Barat. Benthic foraminifera in Teluk Bayur Padang, Sumatra Barat 118 Jenis-Jenis Foraminifera entik di Teluk ayur Padang, Sumatra arat enthic foraminifera in Teluk ayur Padang, Sumatra arat Radilla Silmiah 1), Jabang Nurdin 2)*) dan Siti Salmah 1) 1) Laboratorium Taksonomi

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Pelaksaan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober 2012. Lokasi penelitian berada di perairan Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan

Lebih terperinci

STUDI SEBARAN SEDIMEN BERDASARKAN TEKSTUR SEDIMEN DI PERAIRAN SAYUNG, DEMAK

STUDI SEBARAN SEDIMEN BERDASARKAN TEKSTUR SEDIMEN DI PERAIRAN SAYUNG, DEMAK JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 3, Tahun 2015, Halaman 608-613 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI SEBARAN SEDIMEN BERDASARKAN TEKSTUR SEDIMEN DI PERAIRAN SAYUNG, DEMAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

Fisheries and Marine Science Faculty Riau University ABSTRACT. 1). Students of the Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Riau

Fisheries and Marine Science Faculty Riau University ABSTRACT. 1). Students of the Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Riau ANALYSIS ORGANIC MATERIALS AND COMMUNITY STRUCTURE IN THE MANGROVE SWAMP OF MAKROZOOBENTHOS IN ROKAN HILIR REGENCY by Melia Azian 1 ), Irvina Nurrachmi 2 ), Syahril Nedi 3 ) Fisheries and Marine Science

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI Oleh: ABDULLAH AFIF 26020110110031 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTONIK RESEN DI PERAIRAN SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR

DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTONIK RESEN DI PERAIRAN SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTONIK RESEN DI PERAIRAN SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR Rahmi Susti 1*, Abdurrokhim 1, Lia Jurnaliah 1, Purna Sulastya Putra 2, Septriono Hari Nugroho 3 1 Fakultas Teknik Geologi Universitas

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

STUDI SEBARAN SEDIMEN DASAR DAN KONDISI ARUS DI PERAIRAN KELING, KABUPATEN JEPARA

STUDI SEBARAN SEDIMEN DASAR DAN KONDISI ARUS DI PERAIRAN KELING, KABUPATEN JEPARA JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 4, Tahun 2014, Halaman 683 689 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI SEBARAN SEDIMEN DASAR DAN KONDISI ARUS DI PERAIRAN KELING, KABUPATEN JEPARA

Lebih terperinci

SEDIMENT STRATIGRAPHY IN DUMAI WATERS RIAU PROVINCE. Ramot S Hutasoit 1), Rifardi 2) and Musrifin Ghalib 2)

SEDIMENT STRATIGRAPHY IN DUMAI WATERS RIAU PROVINCE. Ramot S Hutasoit 1), Rifardi 2) and Musrifin Ghalib 2) SEDIMENT STRATIGRAPHY IN DUMAI WATERS RIAU PROVINCE By Ramot S Hutasoit 1), Rifardi 2) and Musrifin Ghalib 2) hutasoitramot@ymail.com Abstract This study was conducted in February 2016 in Dumai Waters,

Lebih terperinci

KAJIAN SEBARAN UKURAN BUTIR SEDIMEN DI PERAIRAN GRESIK, JAWA TIMUR

KAJIAN SEBARAN UKURAN BUTIR SEDIMEN DI PERAIRAN GRESIK, JAWA TIMUR JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 4, Tahun 2014, Halaman 596 600 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KAJIAN SEBARAN UKURAN BUTIR SEDIMEN DI PERAIRAN GRESIK, JAWA TIMUR Esa Fajar

Lebih terperinci

Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung, Kabupaten Demak

Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung, Kabupaten Demak JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 167-172 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2

I. PENDAHULUAN km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2 keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

PROSES SEDIMENTASI SUNGAI KALIJAGA, DAN SUNGAI SUKALILA PERAIRAN CIREBON

PROSES SEDIMENTASI SUNGAI KALIJAGA, DAN SUNGAI SUKALILA PERAIRAN CIREBON PROSES SEDIMENTASI SUNGAI KALIJAGA, DAN SUNGAI SUKALILA PERAIRAN CIREBON Oleh : D. Setiady 1), dan A. Faturachman 1) 1) Puslitbang Geologi Kelautan, Jl. Dr. Junjunan No.236, Bandung S A R I Berdasarkan

Lebih terperinci

Kandungan Unsur Tanah Jarang Sedimen Permukaan Dasar Laut di Perairan Kampar, Propinsi Riau. Abstract

Kandungan Unsur Tanah Jarang Sedimen Permukaan Dasar Laut di Perairan Kampar, Propinsi Riau. Abstract Kandungan Unsur Tanah Jarang Sedimen Permukaan Dasar Laut di Perairan Kampar, Propinsi Riau D. Setiady, A. Sianipar, R. Rahardiawan, Y. Adam dan Sunartono Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN IV.1. Metode Analisis Pada penelitian kali ini data yang digunakan berupa data batuan inti Sumur RST-1887, Sumur RST-3686, dan Sumur RST-3697. Sumur

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUNG

KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUNG KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUNG Sri Handayani dan Imran SL Tobing Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta ABSTRACT A study of phytoplankton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

STRATIGRAFI SEDIMEN PERAIRAN SELAT RUPAT BAGIAN TIMUR. Oleh Visius Uracha Sisochi Wau 1 dan Rifardi 2

STRATIGRAFI SEDIMEN PERAIRAN SELAT RUPAT BAGIAN TIMUR. Oleh Visius Uracha Sisochi Wau 1 dan Rifardi 2 JURNAL PERIKANANAN DAN KELAUTAN ISSN 0853-7607 STRATIGRAFI SEDIMEN PERAIRAN SELAT RUPAT BAGIAN TIMUR (Stratigraphy of sediment in eastern of Rupat Strait ) Oleh Visius Uracha Sisochi Wau 1 dan Rifardi

Lebih terperinci

STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL

STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 277-283 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SUSPENSI DAN SEDIMEN DI TELUK JAKARTA DAN PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

DISTRIBUSI SUSPENSI DAN SEDIMEN DI TELUK JAKARTA DAN PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VII (2): 128-134 ISSN: 0853-6384 128 Full Paper DISTRIBUSI SUSPENSI DAN SEDIMEN DI TELUK DAN PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU DISTRIBUTION OF TOTAL SUSPENDED SOLID AND SEDIMEN

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc Oleh Satria Yudha Asmara Perdana 1105 100 047 Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bawean memiliki atraksi pariwisata pantai yang cukup menawan, dan sumber

Lebih terperinci

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities. Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities Dedy Muharwin Lubis, Nur El Fajri 2, Eni Sumiarsih 2 Email : dedymuh_lubis@yahoo.com This study was

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 771-776 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI SEBARAN MATERIAL PADATAN TERSUSPENSI DI PERAIRAN SEBELAH BARAT TELUK JAKARTA

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN ANALYSIS OF SEA WATER QUALITY IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT

ANALISIS KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN ANALYSIS OF SEA WATER QUALITY IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):9-16 ANALISIS KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN ANALYSIS OF SEA WATER QUALITY IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT Arsyat Sutarso Lumban Gaol 1),

Lebih terperinci

SEDIMENT COMPOSITION AS VERTICAL IN DUMAI COASTAL WATERS. Abstract

SEDIMENT COMPOSITION AS VERTICAL IN DUMAI COASTAL WATERS. Abstract 434 SEDIMENT COMPOSITION AS VERTICAL IN DUMAI COASTAL WATERS by NUNUNG FIDIATUR R 1, RIFARDI 2, AND EDWARD RUFLI 2 1 Student of Fisheries and Marine Science Faculty Riau University, Pekanbaru 2 Lecturer

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

FASIES BATUGAMPING FORMASI KALIBENG BERDASARKAN KUMPULAN FOSIL FORAMINIFERA BESAR

FASIES BATUGAMPING FORMASI KALIBENG BERDASARKAN KUMPULAN FOSIL FORAMINIFERA BESAR FASIES BATUGAMPING FORMASI KALIBENG BERDASARKAN KUMPULAN FOSIL FORAMINIFERA BESAR Siska Febyani 1, Lili Fauzielly 1, Lia Jurnaliah 1 Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran, Bandung 45363, Indonesia

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

HIDROSFER V. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER V. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER V Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami rawa, fungsi, manfaat, dan pengelolaannya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

REKAM INTI SEDIMEN GUNA PREDIKSI PERUBAHAN LINGKUNGAN DI DELTA KALIGARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

REKAM INTI SEDIMEN GUNA PREDIKSI PERUBAHAN LINGKUNGAN DI DELTA KALIGARANG, PROVINSI JAWA TENGAH REKAM INTI SEDIMEN GUNA PREDIKSI PERUBAHAN LINGKUNGAN DI DELTA KALIGARANG, PROVINSI JAWA TENGAH Karina Melias Astriandhita 1, Winantris 2, Budi Muljana 2, Purna Sulastya Putra 3, Praptisih 3 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

SEDIMENT CHARACTERISTIC AND DISTRIBUTION PATTERN OF WESTERN COAST OF RUPAT STRAIT. By:

SEDIMENT CHARACTERISTIC AND DISTRIBUTION PATTERN OF WESTERN COAST OF RUPAT STRAIT. By: SEDIMENT CHARACTERISTIC AND DISTRIBUTION PATTERN OF WESTERN COAST OF RUPAT STRAIT By: Afrizam 1), Rifardi 2), and Irvina Nurrachmi 2) Afrizam.tok@gmail.com Abstract This research was conducted in May 2014

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Identifikasi Keanekaragaman Molusca Di Pantai Bama

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Identifikasi Keanekaragaman Molusca Di Pantai Bama Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Identifikasi Keanekaragaman Molusca Di Pantai Bama BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi Taman Nasional Baluran tidak hanya

Lebih terperinci

Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh

Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh Study of sediment distribution based on grains size in Kuala Gigieng Estuary, Aceh Besar District,

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA Lapangan ini berada beberapa kilometer ke arah pantai utara Madura dan merupakan bagian dari North Madura Platform yang membentuk paparan karbonat selama

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

The preliminary study on the sediment size in Laut Tawar Lake, Takengon, Aceh Tengah District, Province of Aceh

The preliminary study on the sediment size in Laut Tawar Lake, Takengon, Aceh Tengah District, Province of Aceh Studi pendahuluan klasifikasi ukuran butir sedimen di Danau Laut Tawar, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh The preliminary study on the sediment size in Laut Tawar Lake, Takengon, Aceh Tengah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KOMUNITAS FORAMINIFERA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA THE CHARACTERISTICS OF FORAMINIFERAL COMMUNITY IN JAKARTA BAY

KARAKTERISTIK KOMUNITAS FORAMINIFERA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA THE CHARACTERISTICS OF FORAMINIFERAL COMMUNITY IN JAKARTA BAY Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal. 100-111, Desember 2011 KARAKTERISTIK KOMUNITAS FORAMINIFERA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA THE CHARACTERISTICS OF FORAMINIFERAL COMMUNITY IN JAKARTA

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA Nurida siregar*), Suwondo, Elya Febrita, Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan

Lebih terperinci

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Volume 9, Nomor 2, Oktober 2013 ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN USAHA MINA PEDESAAN PERIKANAN BUDIDAYA DI KECAMATAN KEI KECIL KABUPATEN MALUKU TENGGARA KONSENTRASI

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG Yulius, G. Kusumah & H.L. Salim Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati BRKP-DKP Jl. Pasir Putih I Ancol Timur-Jakarta

Lebih terperinci

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005).

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki diversitas mikroorganisme dengan potensi yang tinggi namun belum semua potensi tersebut terungkap. Baru

Lebih terperinci