HUKUM INTERNASIONAL TANGGUNG JAWAB NEGARA ATAS PELANGGARAN HUKUM DIPLOMATIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUKUM INTERNASIONAL TANGGUNG JAWAB NEGARA ATAS PELANGGARAN HUKUM DIPLOMATIK"

Transkripsi

1 HUKUM INTERNASIONAL TANGGUNG JAWAB NEGARA ATAS PELANGGARAN HUKUM DIPLOMATIK (Kasus Penyadapan Australia terhadap Indonesia ) Dosen : Bpk. Drs. Teddy Nurcahyawan, SH, MA Disusun Oleh : Ellen Vembrey Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta 2014

2 ABSTRAK Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional. Hubungan internasional sangat diperlukan oleh suatu negara dalam rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Dalam hal ini, Negara-negara menjalin dan mengembangkan hubungan dengan negara lain diwujudkan dengan pertukaran misi diplomatik yang didasarkan atas prinsip persamaan hak serta perdamaian antar negara. Namun, dalam penerapannya masih banyak ditemukan bentuk-bentuk pelanggaran yang dapat merugikan negara lain. Pelanggaran terhadap hukum diplomatik dalam perkembangannya semakin sering terjadi, dikarenakan berbagai kepentingan-kepentingan suatu negara, hal yang sama terjadi terhadap insiden penyadapan telepon genggam milik Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Ani Yudhoyono, dan 9 pejabat tinggi negara lainnya yang dilakukan oleh Australia. Untuk itu makalah ini akan membahas bagaimana tanggung jawab suatu negara terhadap pelanggaran hukum diplomatik, dalam hal ini adalah penyadapan oleh Australia terhadap Indonesia.

3 A. LATAR BELAKANG Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan hukum internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional, baik dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Sebagai konsekuensinya maka negaralah yang paling banyak memiliki, memikul dan memegang kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional dibanding dengan subjek hukum intenasional lainnya. Kualifikasi suatu Negara agar dapat diakui sebagai negara yang berdaulat dan diakui menjadi subjek hukum internasional mengacu pada Pasal 1 Konvensi Montevideo ( Pan American ) tentang hak dan kewajiban negara (The Convention on Rights and Duties of State) tahun 1933 yang berbunyi: The state as a person of international law should progress the following qualification : (a) a permanent population;(b) defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter the relations with other states. Kualifikasi keempat dalam pasal tersebut secara konvensional disebut kemampuan untuk membangun dan berkomunikasi dalam hubungan internasional (ability to establish and to communicate in international relation). 1 Berdasarkan hal tersebut maka, hubungan internasional sangat diperlukan oleh suatu negara dalam rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Interaksi tersebut harus dibangun dan dibina berdasarkan prinsip persamaan hak-hak menentukan nasib sendiri dengan tidak mencampuri dalam negeri suatu negara/ intervensi, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB, yaitu : Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaa atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak untuk menentukan nasib 1 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Komtemporer, Refika Aditama, Bandung 2006, hlm 10

4 sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain untuk memperteguh perdamaian universal. Dalam melakukan hubungan tersebut, setiap negara melakukan interaksi dengan melakukan penerimaan atau pengakuan eksistensinya sebagai negara oleh masyarakat internasional itu sendiri. Awalnya pelaksanaan dalam hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara dimana prinsip kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktikpraktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima secara umum sebagai hukum oleh masyarakat internasional. Hukum diplomatik adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar negara dengan didasarkan atas permufakatan (consensus) bersama yang kemudian dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi kodifikasi kebiasaan internasional. 2 Suatu negara dalam melakukan penyelenggaraan hubungan tersebut memerlukan suatu alat untuk menjalin hubungan dengan negara lainnya yang nantinya berfungsi sebagai penghubung kepentingan antar negara yang diwakili dengan negara penerimanya. Alat penghubung tersebut diwujudkan dengan cara membuka hubungan diplomatik dan menempatkan perwakilan (Duta) diplomatik negara pengirim (sending state) pada negara penerima (receiving state). 3 2 Sumaryo Suryokusumo, Teori dan Kasus Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung, 2005, hlm 5 3 Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm 38.

5 Perwakilan diplomatik adalah merupakan wakil resmi dari negara asalnya, perwakilan diplomatik disuatu negara ini dikepalai oleh seorang duta dari suatu negara yang diangkat melalui surat pengangkatan atau surat kepercayaan (letter of credentials). Para diplomat dalam menjalankan dalam menjalankan tugas nya memiliki kekebalan. kekebalan yang dimaksud adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat diganggu gugat yaitu tidak dapat ditangkap atau ditahan, perlakukan dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badanya, kebebasanya atau martabatnya. Hak-hak istimewa dan kekebalan yang telah ditentukan dalam Konvensi Wina 1961 pada kenyataanya masih di langgar oleh negara pengirim. Dalam kasus insiden penyadapan perwakilan diplomatik yang terjadi adalah kasus penyadapan yang dilakukan kedutaan besar Australia di Jakarta pada tahun 2013 ini. Kasus penyadapan itu diketahui setelah adanya informasi mengenai dugaan penyadapan oleh kedutaan besar AS dan Australia di jakarta, terungkapnya dari dokumen yang di bocorkan mantan pegawai Badan Keamanan Nasional AS ( NSA ), Edward Snowden yang kini berada di Rusia. Snowden membocorkan adanya fasilitas penyadapan AS di 90 titik yang tersebar diseluruh dunia. Berdasarkan temuan mereka, penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon. Directorate Signal Defense (DSD) australia dikabarkan telah menyadap pembicaraan telepon Presiden SBY dengan lingkaran terdekatnya. Dari dokumen bocoran snowden yang dimuat harian The Guardian itu terugkap bahwa sejumalah nama yang disadap memang memilki posisi penting. Berdasarkan kasus tersebut, dan pentingnya mengetahui bagaimana tanggung jawab Australia sebagai negara berdaulat yang melakukan penyadapan terhadap negara berdaulat lain yaitu dalam hal ini Indonesia, maka penulis menyusun makalah ini dengan judul TANGGUNG JAWAB ATAS PELANGGARAN HUKUM DIPLOMATIK (Kasus Penyadapan Australia terhadap Indonesia ).

6 B. RUMUSAN MASALAH Bagaimanakah tanggung jawab negara Australia setelah penyadapan yang dilakukannya terhadap Indonesia? C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (I.R.A.C) 1. ISSUES Kasus insiden penyadapan yang dilakukan kedutaan besar Australia di Jakarta pada tahun 2013 diketahui setelah adanya informasi mengenai dugaan penyadapan oleh kedutaan besar AS dan Australia di jakarta, terungkapnya dari dokumen yang di bocorkan mantan pegawai Badan Keamanan Nasional AS ( NSA ), Edward Snowden yang kini berada di Rusia. Snowden membocorkan adanya fasilitas penyadapan AS di 90 titik yang tersebar diseluruh dunia. Berdasarkan temuan mereka, penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon. Directorate Signal Defense (DSD) australia dikabarkan telah menyadap pembicaraan telepon Presiden SBY dengan lingkaran terdekatnya. Dari dokumen bocoran snowden yang dimuat harian The Guardian itu terugkap bahwa sejumlah nama yang disadap memang memilki posisi penting. Lantas, terhadap penyadapan yang telah melanggar hukum Internasional, dalam hal ini hukum diplomatik antara Indonesia dan Australia tsb, bagaimanakah pertanggung jawaban yang harus diberikan Australia terhadap Indonesia? 2. RULES Pasal 41 Ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik Without prejudice to their privileges and immunities, it is the duty of all persons enjoying such privileges and immunities to respect the laws and regulation of the

7 receiving State. They also have a duty not to interfece in the internal affairs of the State. (Dalam Terjemahan): Tanpa merugikan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum mereka itu, adalah menjadi kewajiban semua orang yang menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan hukum itu untuk menghormati hukum dan peraturan Negara penerima. Mereka juga berkewajiban tidak mencampuri masalah dalam negeri Negara penerima tersebut Pasal 2 Ayat (7) Piagam PBB yang isinya tentang prinsip non-intervensi urusan dalam negeri suatu negara (The Principle of non-interference in the internal affairs of state) Resolusi PBB nomor 2625 tahun 1970: Considering that the progressive development and codification of the following principles: (3) The duty not to intervene in matters within the domestic jurisdiction of any State, in accordance with the Charter: Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara orang lain. (4) The duty of States to co-operate with one another in accordance with the Charter: Negara-negara berkewajiban untuk menjalin kerja sama dengan negara lain berdasarkan pada piagam PBB. (5) The principle of equal rights and self-determination of peoples: Asas persamaan hak dan penentuan nasib sendiri. (6) The principle of sovereign equality of States: Asas persamaan kedaulatan negara. (7) The principle that States shall fulfil in good faith the obligations assumed by them in accordance with the

8 Charter: Setiap negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajiban. 3. APPLICATION a) Hukum Diplomatik Pengertian Hukum Diplomatik masih belum banyak diungkapkan. Para sarjana hukum internasional masih belum banyak menuliskan secara khusus, karena pada hakikatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional publik yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti kebiasaan-kebiasaan internasional, dan konvensi-konvensi internasional ( baik multilateral maupun bilateral ) yang ada. Pada abad ke-16 masalah pengiriman duta-duta diatur menurut hukum kebiasaan, kemudian diperjelas pada abad ke -19 dimana pengaturran hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai di bicarakan pada Kongres Wina 1815 yang diubah dan disempurnakan oleh Protocol Aiz-La-Chapelle 1818, kemudian pada tahun 1927 LBB melakukan kodifikasi sesungguhnya. Namun hasilnya ditolak oleh dewan LBB dengan alasan belum waktunya untuk membahas mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup komplek. Pada tahun 1954, komisi baru mulai membahas masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum akhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi 1450 (XVI) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi internasional guna membahas seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Konferensi tersebut dinamakan The United Nation Conference on Diplomatic Intercourse an Immunities. Mengadakan sidangnya di Wina pada

9 tahun Konferensi mengasilkan instrumeninstrumen,yaitu : 1.Vienna Convention on Diplomatic Relation 2.Optional Protocol Concerning Acquistion of Nationality 3.Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Dispute b) TEORI TANGGUNG JAWAB NEGARA Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara, yaitu Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability ataustrict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untrahazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (nama resmi konvensi ini adalah Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya. Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa

10 tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu. c) Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Terhadap Hukum Diplomatik Dalam membahas masalah tanggung jawab negara (state responsibility) maka akan terkait dengan masalah kedaulatan negara (state sovereignty), kewenangan untuk menerapkan hukum atau kewenangan untuk mengadili dengan menggunakan hukum nasionalnya (state jurisdiction) serta pengertian negara itu sendiri. Tanggung jawab negara mengandung pengertian bahwa adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena kesalahan atau kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran kewajiban internasional. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib memperbaiki pelanggaran hak itu. Dengan kata lain, negara yang melanggar kewajiban internasional tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Komisi Hukum Internasional berusaha untuk membuat rumusan rancangan pasal-pasal mengenai tanggung jawab negara (Draft Articles on State Responsibility). Dimana pasal 1 menerangkan bahwa setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan tanggung jawab. Sementara dalam pasal 3 Rancangan pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara dinyatakan bahwa

11 suatu perbuatan yang tidak sah secara internasional timbul jika : Perbuatan tersebut terdiri dari suatu tindakan atau kelalaian suatu negara menurut hukum internasional ; dan Perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional. Walaupun rancangan pasal-pasal mengenai tanggung jawab negara tersebut belum dapat dikatakan sebagai sumber hukum, tetapi dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan dari prinsip-prinsip dasar yang ada. M. N. Shaw mengemukakan bahwa yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab (negara) ini bergantung kepada faktor-faktor dasar sebagai berikut : 4 1) Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu; 2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara; 3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian. Semua negara bertanggung jawab sama di bawah hukum internasional atas tindakan ilegal mereka. Suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai dasar menghindari suatu kewajiban internasional. Antara hukum 4 MN Shaw dalam buku International Law

12 internasional dan hukum nasional terdapat perbedaan khusus yang terkait dengan dua hal, yaitu : 1) Pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa kaidah tindakan oleh suatu negara dapat menimbulkan tanggung jawab. Pelanggaran atau kelalaian harus merupakan suatu pelanggaran atau kelalaian yang memenuhi beberapa kaidah hukum internasional. Seperti yang dikemukakan oleh Komisi Hukum Internasional, adanya fakta bahwa suatu tindakan yang dapat dikarakterisasikan sebagai kesalahan yang sifatnya internasional tidak dapat dipengaruhi oleh karakterisasi yang sama sebagai tindakan yang sama menurut hukum nasional. 2) Kewenangan atau kompetensi badan negara yang melakukan kesalahan. Pada umumnya tidak terbuka kesempatan bagi suatu negara untuk membela diri dari klaim yang menyatakan bahwa badan negara tertentu yang benar-benar melakukan tindakan kesalahan tersebut telah melebihi lingkup kewenangannya menurut hukum nasionalnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menggormati hak-hak negara lain (Huala Adolf:196:176). Sedangkan menurut J. G. Starke, kaidah-kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan-keadaan dimana, dan prinsip-

13 prinsip dengan mana, negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya (J.G.Starke:1997:319). Tanggung Jawab Negara dan Teori Kesalahan Dikatakan bahwa suatu negara tidak bertanggung jawab kepada negara lain atas tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh agen-agennya kecuali tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara sengaja dan bertujuan buruk atau dengan kelalaian yang pantas di cela. Fault dapat diartikan sebagai suatu kesalahan dimana suatu perbuatan dikatakan mengandung unsur fault apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja untuk beritikad buruk atau dengan kata lain yang tidak dapat dibenarkan. Teori dan praktek hukum internasional dewasa ini tidak mensyaratkan adanya fault atau perbuatan aparatur negara yang bertentangan dengan hukum internasional dan dapat menimbulkan pertanggungjawaban negara. Dalam hal ini negara bertanggung jawab tanpa adanya keharusan pihak yang menuntut tanggung jawab itu untuk membuktikan adanya suatu kesalahan pada negara tersebut. Dalam hal kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap Indonesia adalah merupakan pelanggaran serius hubungan diplomatik.

14 Penyadapan yang telah dilakukan untuk mendapatkan informasi secara illegal oleh pemerintah Australia dengan cara melakukan penyadapan Telepon Genggam Presiden dan beberapa orang penting di Indonesia jelas merupakan suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan di dalam hukum internasional. Penyadapan tersebut melanggar Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, sebab konvensi tersebut menegaskan bahwa duta besar yang ditempatkan disuatu negara harus menghormati hukum dan peraturan Negara penerima dan mereka juga berkewajiban tidak mencampuri masalah dalam negeri Negara penerima tersebut. sehingga jelas bahwa konvensi tersebut melarang segala tindakan yang mengganggu negara penerima karena bukan hanya merupakan pelanggaran kerahasiaan, atau pelanggaran keamanan tapi juga pelanggaran serius norma dan etika hubungan diplomatik.dengan adanya bukti bahwa Australia telah menyadap telepon genggam milik Presiden dan beberapa orang penting di Indonesia, terbukti pula bahwa Australia dan Duta besarnya di Indonesia tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai negara pengirim, dan sebagai perwakilan negara. Karena melanggar ketentuan yang tercantum dalam pasal 27 (1) dan 3 ayat 1 (d) konvensi wina 1961, yang menegaskan bahwa dalam menyampaikan laporan mengenai keadaan dan perkembangan di negara penerima kepada

15 negaranya harus benar-benar dilakukan dengan cara-cara sah. Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Terhadap Hukum Diplomatik. Di dalam perkembangannya tindak kejahatan khususnya terhadap hubungan diplomatik sangatlah mengganggu dan membahayakan fungsi dari tujuan diplomasi itu sendiri. Dalam menghadapi perkembangan yang membahayakan tersebut pada tahun 1980, PBB telah mengadakan pembahasan masalah tersebut secara intensif dan akhirnya dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBB dimana resolusi tersebut berisikan mendesak kepada seluruh anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan prinsipprinsip dan aturan hukum internasional yang mengatur tentang hubungan diplomatik. Disamping itu, Majelis Umum PBB juga mendesak kepada semua negara anggota khususnya untuk mengambil langkah-langkah seperlunya agar dapat menjamin secara efektif perlindungan, pengamanan dan keselamatan para pejabat diplomatik termasuk perwakilannya masing-masing di wilayah jurisdiksi mereka sesuai dengan kewajiban-kewajiban internasional Yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah tidak ada negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hakhak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak-hak negara lain wajib untuk memperbaiki sekaligus mempertanggungjawabkan pelanggaran hak tersebut. Jika merujuk pada pasal 1 ketentuan-ketentuan tentang tanggung jawab negara, yang kini telah menjadi hukum

16 kebiasaan internasional dapat dikatakan bahwa tindakan pemerintah Myanmar merupakan sebagai kesalahan secara internasional yang melahirkan pertanggung jawababan negara. Sebagai akibat dari tindakan tersebut pemerintah Indonesia mengalami kerugian berupa tersebarnya informasi-informasi yang sifatnya rahasia sehingga hal ini mengganggu pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik. Terjadinya kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia telah merugikan Indonesia dalam hal tersebarnya informasi milik seorang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara dan pemerintahan Republik Indonesia dan juga 9 Menteri serta Ibu Negara yang tentunya bersifat rahasia dan pribadi. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan Indonesia dilihat dari sudut pandang hukum diplomatik antara lain: 1) Mengirim nota diplomatik yang berisikan strong protes yang isinya mengecam aksi Amerika dan Australia tersebut dan meminta maaf kepada Indonesia. 2) Persona non-grata, hal dimungkinkan dilaksanakan Indonesia dimana Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik. 3) Pejabat diplomatik dari Australia juga dapat dipulangkan ke negaranya karena Indonesia menolak mengakui sebagai pejabat Perwakilan Australia untuk Indonesia. 4) Cara lain adalah menepuh cara penyelesaian melalui negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good office atau jasa-jasa baik.

17 Hal ini dilakukan agar kedua negara sama-sama terjalin hubungan yang erat dan meniadakan hal-hal yang bersifat menghambat hubungan diplomatik yang selanjutnya menghasilkan suatu kesepakatan antara kedua belah pihak Tanggungjawab Australia muncul diakibatkan oleh pelanggaran atas perjanjian internasional dalam hal ini perjanjian hubungan diplomatik, tepatnya penyadapan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia dan Ani Yudhoyono serta 9 Menteri lainnya yang memiliki informasi sebagai negara penerima. Australia telah memenuhi karakteristik yang dinyatakan oleh M. N. Shaw tentang tanggung jawab negara yang memenuhi unsur-unsur dasar sebagai berikut : 1) Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu; Dalam hal ini kewajiban Indonesia adalah memberikan kekebalan dan hak istimewa terhadap diplomasi Australia di Indonesia maka, Australia dan Perwakilannya juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi pasal 41 Konvensi Wina 1961 yang memuat ketentuan untuk menghormati negara Indonesia sebagai negara penerima. 2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara; Australia telah melanggar kewajiban Hukum Internasional, dalam hal ini adalah hukum diplomatik, dimana Australia telah menyadap telepon genggam Susilo Bambang Yudhoyono

18 sebagai Presiden Indonesia dan Ani Yudhoyono serta 9 Menteri lainnya tanpa melalui cara yang sah. 3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian. Dalam hal ini Indonesia sangat dirugikan, karena tersebarnya informasi yang dimiliki oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia, Ani Yudhoyono dan 9 Menteri lainnya adalah informasi-informasi yang berkaitan dengan rahasia kenegaraan. Penyelesaian Sengketa Atas Kasus Penyadapan Australia terhadap Indonesia. Karena Australia tidak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai negara pengirim sesuai ketentuan pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina, maka Australia dapat dimintai pertanggung jawabannya sebagai negara berdaulat. Sejauh ini penyelesaian sengketa yang di lakukan Indonesia guna meminta pertanggung jawaban Australia adalah secara politis yaitu sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa pasal 2 ayat (3) dan pasal 33 dimana lebih mengutamakan penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang ditujukan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi yang telah dicita-citakan oleh setiap bangsa.

19 Bentuk nyata permintaan tanggung jawab Indonesia adalah dengan: 5 Meminta pemerintah Australia untuk mengklarifikasi dan meminta maaf terhadap Indonesia, Selain itu: Sejumlah agenda kerjasama antara Indonesia dan Australia akan di review kembali, dan penghentian sementara beberapa kerjasama yang sudah ada, seperti erjasama yang disebut pertukaran informasi dan pertukaran intelijen di antara kedua negara dan latihan bersama antara tentara Indonesia dan Australia di angkatan darat, laut dan udara. Indonesia meminta pembuatan semacam protokol atau code of conduct atau guiding principles untuk kerjasama di berbagai bidang. Terutama di bidang latihan militer bersama, kerjasama dalam hadapi ancaman people smuggling, dan pertukaran intelijen dan informasi Dari beberapa hal tersebut diatas, ternyata Pemerintah Australia tidak merespon tentang permintaan maaf yang diminta oleh Indonesia hal ini dapat dilihat dari surat balasan Perdana Menteri Australia, Tonny Abbot terkait 3 hal penting yaitu: 6 keinginan pihak pemerintah Australia untuk melanjutkan hubungan bilateral dengan pemerintah Indonesia, komitmen pemerintah Australia untuk melakukan hal yang tidak menggangu Indonesia, dan penataan kembali kerjasama bilateral, termasuk 5 goresanpenahukum.blogspot.com/2013/11/, diakses pada 22 November diakses pada 22 November 2014

20 pertukaran intelijen dengan protokol dan kode etik yang jelas dengan Indonesia. Akan tetapi dengan adanya kesepakatan Indonesia dan Australia untuk memulai kembali kerjasama intleijen dan militer yang akan dituangkan dalam dokumen Joint Understanding of a Code of Conduct (JUCC) sebagai bentuk pemulihan kerjasama. 7 Seolah-olah tidak mempertegas keinginan Indonesia untuk mendapatkan permintaan maaf yang jelas dari Pemerintah Australia. Padahal disisi lain, hal ini dapat diperjuangkan sama seperti yang dilakukan oleh kanselir Jerman, Angela Marker yang mendapat permintaan maaf dari Barack Obama, Amerika Serikat ketika Intelijen Amerika Serikat ketahuan melakukan penyadapan telephone Angela Marker CONCLUSION 1. Bahwa Dalam aksi penyadapan yang telah dilakukan pihak Australia terhadap Indonesia yaitu kepada kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta 9 Menteri dan juga Ibu Negara Indonesia telah melanggar ketentuan Diplomatik yang diatur dalam pasal 3 ayat 1, pasal 27 ayat 1 dan pasal 41 ayat 1 & 3 Konvensi WINA Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan adalah berupa penyalahgunaan gedung diplomatik, intervensi/ikut campur urusan Negara lain serta dengan sengaja mengambil 7 diakses pada 22 November laskarmerahputih.hol.es/ diakses pada 23 November 2014

21 informasi Negara lain baik yang bersifat rahasia atau bukan rahasia tanpa ijin/ cara yang sah. 2. Australia telah terbukti harus meminta maaf sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kesalahan yang dilakukannya, yang telah memenuhi karakteristik/ unsur-unsur yang timbul dari tanggung jawab negara, yaitu: a. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu; Dalam hal ini kewajiban Indonesia adalah memberikan kekebalan dan hak istimewa terhadap diplomasi Australia di Indonesia maka, Australia dan Perwakilannya juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi pasal 41 Konvensi Wina 1961 yang memuat ketentuan untuk menghormati negara Indonesia sebagai negara penerima. b. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara; Australia telah melanggar kewajiban Hukum Internasional, dalam hal ini adalah hukum diplomatik, dimana Australia telah menyadap telepon genggam Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia dan Ani Yudhoyono serta 9 Menteri lainnya tanpa melalui cara yang sah. c. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian. Dalam hal ini Indonesia sangat dirugikan, karena tersebarnya informasi yang dimiliki oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia, Ani Yudhoyono dan 9 Menteri lainnya adalah

22 informasi-informasi yang berkaitan dengan rahasia kenegaraan. 3. Indonesia kurang tegas dalam meminta permintaan maaf dari pemerintahan Australia sebagai konsekuensi logis dari tanggung jawab suatu negara, yaitu Australia berdasarkan Teori Kesalahan (Fault Theory). 4. Langkah yang diambil inonesia terhadap kasus ini lebih fokus terhadap pembentukkan protocol dan kode etik atau Joint Understanding of a Code of Conduct (JUCC) untuk menjamin tidak terulangnya tindakan merugikan yang dilakukan salah satu negara,khusunya seperti penyadapan yang dilakukan oleh Australia.

23 DAFTAR PUSTAKA Literatur Buku: Konvensi Wina 1961 Hubungan diplomatik; Starke,J.G. Pengantar Hukum Internasional I, Cetakan ke-10, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010); Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1990 MN Shaw, International Law; Internet:

Skripsi PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA ATAS PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL

Skripsi PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA ATAS PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL Skripsi PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA ATAS PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENYADAPAN KBRI DI MYANMAR TAHUN 2004) Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Sebagai entitas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen menempati wilayah tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. Keadulatan ini berupa kekuasaan yang dimiliki

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang lingkupnya, hukum dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA Oleh I. Gst Ngr Hady Purnama Putera Ida Bagus Putu Sutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu negara tidak pernah dapat berdiri sendiri dan menjadi mandiri secara penuh tanpa sama sekali berhubungan dengan negara lain. Negaranegara di dunia perlu melakukan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: State, Diplomatic Relation, Vienna Convention 1961, United Nation

ABSTRACT. Keywords: State, Diplomatic Relation, Vienna Convention 1961, United Nation TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KERUSAKAN GEDUNG PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH KONFLIK (STUDI KASUS KERUSAKAN GEDUNG DIPLOMATIK REPUBLIK INDONESIA DI YAMAN) Oleh: I Gusti Ngurah Artayadi Putu Tuni Cakabawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2 PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA 1961 1 Oleh : Windy Lasut 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya pelanggaran yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1982 TENTANG MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK BESERTA PROTOKOL OPSIONALNYA MENGENAI HAL MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN (VIENNA CONVENTION ON DIPLOMATIC RELATIONS ON DIPLOMATIC RELATIONS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan subjek utama hukum internasional, hukum internasional mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum internasional

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30.

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30. 39 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun 1961 mengatur secara umum tentang perlindungan Misi Diplomatik baik dalam wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1982 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI WINA MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK BESERTA PROTOKOL OPSIONALNYA MENGENAI HAL MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN (VIENNA CONVENTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, pembentukan dan implementasi kebijakan luar negeri. Diplomasi adalah instrumen negara melalui

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER A. Sejarah Hukum Diplomatik Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDONESIA DALAM KASUS PENYADAPAN OLEH AUSTRALIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDONESIA DALAM KASUS PENYADAPAN OLEH AUSTRALIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDONESIA DALAM KASUS PENYADAPAN OLEH AUSTRALIA Oleh : Venditha Velicia I Gede Pasek Eka Wisanjaya I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 1 S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL : WAJIB STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 B. DESKRIPSI

Lebih terperinci

Keterangan Pers Presiden RI Terkait Surat Balasan PM. Australia, 26 Nov 2013, di Kantor Presiden Selasa, 26 November 2013

Keterangan Pers Presiden RI Terkait Surat Balasan PM. Australia, 26 Nov 2013, di Kantor Presiden Selasa, 26 November 2013 Keterangan Pers Presiden RI Terkait Surat Balasan PM. Australia, 26 Nov 2013, di Kantor Presiden Selasa, 26 November 2013 KETERANGAN PERS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA RAPAT TERBATAS TERKAIT SURAT

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan. negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum

BAB I PENDAHULUAN. berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan. negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teori yang menyatakan negara adalah subyek hukum internasional karena hanya negara yang punya hak dan kewajiban yang diatur hukum internasional kata Kelsen.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara negara satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara, hal ini

Lebih terperinci

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG Oleh : Airlangga Wisnu Darma Putra Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara

ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara LAMPIRAN ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang merupakan jurisdiksi diplomatik bagi Perwakilan diplomatik sesuatu negara pengirim yang ditetapkan menurut prinsip-prinsip

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT)

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) Oleh: Ida Primayanthi Kadek Sarna Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar baik

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Unviversitas Andalas. Oleh. Irna Rahmana Putri

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Unviversitas Andalas. Oleh. Irna Rahmana Putri TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA KONSUL MALAYSIA DI PEKANBARU BERDASARKAN KONVENSI WINA TAHUN 1963 TENTANG HUBUNGAN KONSULER SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 5 UNSUR-UNSUR NEGARA

MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 5 UNSUR-UNSUR NEGARA MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 5 UNSUR-UNSUR NEGARA Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa banyak sekali definisi dari negara, setiap pakar memberikan masing-masing definisinya. Akan tetapi dari sekian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Politik luar negeri ditujukan untuk memajukan dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Politik luar negeri ditujukan untuk memajukan dan melindungi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik luar negeri ditujukan untuk memajukan dan melindungi kepentingan negara. Fungsi utama diplomasi adalah melindungi dan memajukan kepentingan nasional.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN.

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN. KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN Oleh Dani Adi Wicaksana Ida Bagus Wyasa Putra Made Maharta Yasa Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penjelasan umum Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai hubungan Diplomatik beserta protokol

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus tenggelamnya kapal penangkap ikan Oryong 501 milik Korea Selatan pada Desember tahun 2014 lalu, menambah tragedi terjadinya musibah buruk yang menimpa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional 28 BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam realita, hubungan-hubungan internasional yang dilakukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang merupakan bagian dari komunitas dunia. Salah satu organisasi komunitas dunia tersebut adalah Perserikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX By Malahayati, SH, LLM 1 TOPIK PRINSIP UMUM JENIS SENGKETA BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA PENYELESAIAN POLITIK PENYELESAIAN

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha No.1775, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DJSN. Kode Etik. Majelis Kehormatan. PERATURAN DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG KODE ETIK DAN MAJELIS KEHORMATAN DEWAN JAMINAN SOSIAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

BAB II KONSEP KEDUDUKAN DAN HAK-HAK HUKUM WARGA NEGARA ASING DALAM NEGARA BERDAULAT

BAB II KONSEP KEDUDUKAN DAN HAK-HAK HUKUM WARGA NEGARA ASING DALAM NEGARA BERDAULAT 23 BAB II KONSEP KEDUDUKAN DAN HAK-HAK HUKUM WARGA NEGARA ASING DALAM NEGARA BERDAULAT 2.1 Konsep Negara Berdaulat Asal kata kedaulatan dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah souvereignity yang berasal

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci