INTEGRASI PENDIDIKAN PROFETIK (Mengurai Tradisi dan Implemintasi Dalam Sistem Pendidikan Indonesia)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INTEGRASI PENDIDIKAN PROFETIK (Mengurai Tradisi dan Implemintasi Dalam Sistem Pendidikan Indonesia)"

Transkripsi

1 1 INTEGRASI PENDIDIKAN PROFETIK (Mengurai Tradisi dan Implemintasi Dalam Sistem Pendidikan Indonesia) Moh. Ikmal (Dosen Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan STKIP PGRI Sumenep) Abstract The education world nowadays is the level diametrically contradictory. On the one hand must play its role as guardian and preserver of values and moral teachings, on the other hand the education is required produce individuals who excel in science and technology. The education world as the main locomotive of forming the character and personal identity of the nation (nation and character building) is in counterproductive paradox, namely teaches moral values, but sometimes do violation of values and moral teachings. Materialization and politicization of education is a phenomenon of the paradox. Unclear ideological education makes him himself tossed around, and tends to lose confidence in the power of him. To remain take role actively in forming national identity and as an agent of change, education must go out from the shackles of the paradox, build self-confidence and discover appropriate paradigm. Prophetic education is offered as an educational paradigm that is able to synthesize the desire of modern education system and the education system which desire preservation of moral values Keyword: Prophetic Education, Prophetic Education Implementation A. Pendahuluan Pendidikan di Indonesia yang sudah berjalan sekian puluh tahun sejak kemerdekaannya, disadari atau tidak pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada dimensi kognitif yang hanya mencetak manusiamanusia cerdas, terampil, dan mahir dalam bidangnya. Prestasi ini ternyata tidak membawa perubahan yang sangat signifikan pada kualitas generasi bangsa yang terpuruk terutama menyangkut persoalan moralitas dan integritas kepribadian sebagai bangsa timur yang beradab. Inilah kiranya yang memunculkan sekaligus memperkuat persepsi negatif ditengah masyarakat bahwa pendidikan hanya meresproduksi dan mempertahankan sistem kekuasaan yang berlangsung melalui kurikulum yang sengaja mengarahkan manusia menjadi mesin industri kapitalisme. Pendidikan Indonesia hanya mampu melahirkan manusia (outcomes) yang berkepribadian pecah (split personality) dan integritas yang terbelah (split integrity). Tidak mengherankan apabila jika telah terjadi krisis kejujuran, manipulasi, korupsi, serakah, kolusi, nepotisme, kerusuhan antar etnis, pembunuhan dan sederetan peristiwa lainnya selalu mewarnai berita di negara ini. Pelaksanakan UN pada 2012 dan tahun-tahun sebelumnya adalah fakta terjadinya aksi kecurangan yang dilakukan oleh siswa hampir setiap tahunnya. gejala ini terus terjadi dan mengakar tidak hanya pada level sekolah dasar bahkan pada level perguruan tinggipun masih ditemukan. Bahkan, para elite politik juga tidak sepi dari berbagai sorotan negatif akibat budaya korupsi, dan krisis identitas lainnya sebagai wakil rakyat. Tidak kurang dari 17 Gubernur menjadi tersangka korupsi. Lebih dari 150 orang bupati dan wali kota, terkena kasus yang sama, yaitu menggelapkan uang negara. Belum lagi mantan menteri, jaksa, hakim, pimpinan BUMN, dan bahkan juga unsur KPK sendiri, ternyata masuk BUI. Seolah-olah tidak ada yang tersisa, bertahan disebut jujur dan memiliki integritas yang memadai. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tauladan, selalu menjaga prinsip-prinsip moral, ternyata juga tidak sepi dari sorotan negatif. Terungkapnya ijazah palsu, proses pendidikan Volume 4, Nomor 1, Januari 2013

2 2 INTEGRASI PENDIDIKAN PROFETIK yang dijalankan apa adanya, kenaikan jabatan akademik yang tidak semestinya, bahkan terdengar ada plagiasi karya ilmiah yang dilakukan oleh seorang Doktor dan bahkan juga Guru Besar. Fenomena tersebut merupakan bentuk kegagalan sistem pendidikan yang dalam mengimplementasikan sisi afektif dan psikomotorik sebagai kesatuan dari proses pendidikan. Krisis identitas mewarnai individuindividu yang terlahir dari dunia pendidikan dan cenderung tidak percaya diri untuk menjadi dirinya sendiri. Masifikasi gelombang modernitas telah membawa siapapun termasuk dunia pendidikan untuk hanyut mengikuti mainstream pemikiran modernitas dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan alasan tidak ingin teralienasi dan dikatakan alergi terhadap modernitas. Dalam kondisi seperti ini hegemoni konsep-konsep pendidikan ala barat sulit bisa dihindari, cenderung mencibirkan konsep-konsep serta kearifan lokal yang ada yang sejatinya syarat dengan nilai-nilai moral. Ini merupakan indikasi bahwa pendidikan di Indonesia telah mengkhianati amanat dan pesan sucinya karena gagal memelihara nilai-nilai yang mengakar pada masyarakat. Sektor pendidikan yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dan membentuk jati diri bangsa justru mengalami krisis internal dan kehilangan orientasi. Konsep yang jelas dan konsisten dalam implementasinya selalu gagal menemukan totalitasnya. Refleksi kritis dan evaluasi komprehensif tidak memadai dilakukan. Perubahan politik di negara ini selalu mengorbankan konsep dan sistem pendidikan sehingga kesinambungan programprogram pendidikan tidak pernah berjalan mulus. Ironisnya setiap pergantian menteri selalu melahirkan kebijakan-kebijakan baru yang sesungguhnya tidak memiliki dasar filosofis yang memadai. Pendidikan terkesan menjadi alat perjuangan politik kaum elitis dan dimanfaatkan sebagai sarana mempertahankan kelas tertentu. Belum lagi saat ini berkembang wacana kebijakan dua jalur pendidikan (double degree) yang terkesan sangat esensialistik dan dikawatirkan akan mengakibatkan segregasi sosial yang menimbulkan pro dan kontra. Orang tidak lagi memiliki kesempatan menikmati pendidikan berkualitas karena ada dalam kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan telah mengkhianati misi utamanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa membeda-bedakan status sosial. Namun realitasnya pendidikan saat ini lebih sibuk melayani golongan sosial tertentu dan menjadi pelayan setia pada kapitalisme. Komersialisasi pendidikan berbasis waralaba sudah mulai menggejala dan menggeser ideologi pendidikan mengarah kepada ideologi materialisme kapitalis. Kurikulum pun disusun dan diorientasikan untuk mampu mendapatkan pekerjaan dibungkus dengan baju modernitas. Konsekuensinya untuk menikmatinya diperlukan biaya yang besar. Padahal teori modern mengatakan pendidikan adalah investasi dan secara ekonomi sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya. Dengan demikian untuk merealisasikan manusia yang seutuhnya dan tidak memarjinalkan akan sulit dicapai karena prinsip ekonomi tidak mengenal istilah spiritual, moralitas dan kebersamaan. Nilainilai moral diajarkan sebatas teori belaka dan tidak pernah dibuktikan dalam praktik kehidupan. Dalam konteks pendidikan, praktik-praktik kapitalisme dan pelanggaran moral ironisnya juga dilakukan oleh sebagian insan dan institusi penyelenggara pendidikan dengan menjadikan kewenangannya untuk menaikan pendapatan. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan selalu diukur dari megahnya gedung, mahalnya biaya, banyaknya peminat dan seberapa banyak alumninya yang menjadi pejabat. Materialisasi pendidikan inilah yang menjadi landasan awal terjadinya materialisasi dalam semua aspek kehidupan. Jati diri sebagai bangsa yang suka bergotong royong, saling tolong menolong dan kekeluargaan menjadi terkoyak karena semua pola hubungan serba diukur dengan materi. Lalu bagaimana Jurnal Pelopor Pendidikan

3 Moh. Ikmal 3 jika pendidikan nasional sebagai lokomotif utamanya tidak memiliki jati diri dan sarat dengan orang-orang yang mengalami krisis jati diri? Jati diri bangsa macam apa yang diharapkan mendapatkan kontribusi dari dunia pendidikan? Proyeksi masa depan manusia adalah kehendak untuk memperoleh kepastian dan realitas hidup yang lebih baik. Bagaikan dua sisi mata uang di satu pihak ingin memperoleh kepastian hidup yang lebih baik, namun di satu sisi perkembangan global justru menggiring manusia ke medan alienasi dari kesejatian diri dan lingkungannya. Menurut Seyyed Hossein Nasr (1975) manusia modern cenderung mengalami pemisahan kepribadian dan integritas. Secara positif perkembangan global mampu menciptakan budaya dunia yang mekanistis dan efisien yang juga sekaligus tidak menghargai norma dan nilai karena secara ekonomis tidak menguntungkan. Perubahan masyarakat terjadi sangat signifikan baik dari aspek ideologi, ekonomi, politik, maupun moralitas. Dari aspek ideologi bergeser dari spiritualisme-religius menjadi materialisme-kapitalisme, segi ekonomi bergeser dari keperluan memenuhi kebutuhan hidup keluarga menjadi keserakahan dan nafsu menguasai sumber daya ekonomi, dari aspek politik bergeser dari fungsinya sebagai sarana mengembangkan ajaran dan moralitas menjadi sarana untuk menguasai masyarakat dan dari segi moralitas pandangan terhadap konsep moralitas masyarakat sudah mulai berubah. (Muhammad A.R., 2003:17). Pada level internasional, hubungan antar negara berada pada posisi tawar menawar, saling bergantung, upaya saling menyeimbangkan kepentingan, usaha mencapai keunggulan kompetitif, tanpa batas geografis dan diwarnai persaingan dalam penguasaan teknologi. Kondisi ini yang kemudian memaksa setiap negara untuk mengerahkan segala potensi dan sumber daya manusia yang dimiliki untuk menjadi pemain-pemain unggul, mampu bersaing dan mengambil peran di arena global. Pendidikan adalah jalur vital dan strategis yang selalu dipilih untuk penyiapan sumber daya manusia. Keberhasilan pendidikan dalam menelurkan individu-individu kompetitif dalam percaturan global ternyata memiliki konsekuensi yang harus dibayar mahal oleh Bangsa Indonesia. Pribadi-pribadi yang miskin spiritual, materialistis, individualistik, hasrat berlebihan berkuasa, keinginan mencari kenikmatan dengan posisi uang dan kerja, perasaan hidup tanpa makna, apatis, bosan dan disorientasi merupakan beberapa fenomena yang banyak dijumpai. Sebagian masyarakat cenderung mengabaikan nilainilai agama dan ajaran-ajaran moral, namun di satu sisi masih ada kelompok masyarakat yang ingin mempertahankan nilai-nilai agama dan ajaran-ajaran moral. Pertemuan dua kutub inilah yang sering menimbulkan berbagai benturan kepentingan sampai terjadinya konfrontasi fisik seperti kerusuhan antar etnis dan berbagai kasus yang menjadi ancaman disintegrasi nasional. Kondisi ini kemudian menjalar menjadi ketidakpastian arah, setiap kelompok masyarakat memaksakan kepentingannya. Masing-masing selalu menonjolkan perbedaan bukan menciptakan perbedaan sebagai alat pemersatu bangsa, akibatnya sebagai satu bangsa terancam kehilangan identitas kebangsaannya. Karakter dan jati diri sebagai bangsa yang suka menolong, bekerja sama, ramah, mengedepankan musyawarah tidak lagi tercermin dalam setiap tindakan. Muaranya pada krisis multidimensi yang semakin menggerogoti jati diri bangsa dan orientasi kebangsaan yang semakin tidak menentu. Dunia pendidikan dituntut perannya untuk kembali menjernihkan arah perjalanan bangsa. Realitasnya jelas dunia pendidikan akan berada pada posisi kondisi dilematiskontradiktif karena tuntutan modernitas sekaligus sebagai tuntutan peran penjaga nilai-nilai moral. Sementara dunia pendidikan berada dalam paradoks, di satu sisi ingin menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai moral, namun pada sisi lain justru perilaku Volume 4, Nomor 1, Januari 2013

4 4 INTEGRASI PENDIDIKAN PROFETIK sebagian institusi pendidikan malah mencerminkan praktek-praktek pendidikan yang menyimpang dari nilai moral, visi dan misi utamanya. Sejak lama pendidikan selalu berhadapan dengan dua tipologi yang diametral. Apa yang harus dilakukan oleh pendidikan agar konsisten kepada misi utamanya? Melalui tulisan inilah penulis berusaha menuangkan gagasan rekonstruktif di tengah dinamika persoalan yang mencengkeram dunia pendidikan. Berbagai kebijakan pun juga bermuculan sebagai bentuk respon pemerintah atas sistem pendidikan semisal integrasi pendidikan karakter dalam setiap kurikulum. Namun terlepas dari itu semua, krisis identitas masih saja menghinggapi dunia pendidikan. Kajian-kajian terhadap dunia pendidikan dari perspektif sosiologis telah memunculkan wacana pendidikan karakter melalui pendekatan profetik yang berusaha mempertemukan dua kutub paradigma sistem pendidikan yang bersifat dikotomis antara sistem pendidikan ala barat dan sistem pendidikan ala timur yang mampu mengembangkan inner dynamic dan kompetitif. Inilah sebenarnya gagasan alternatif yang mungkin layak untuk dipertimbangkan bersama bagi para pemangku kepentingan. B. Pendidikan Profetik Sebagai Warisan Kenabian. Kata profetik berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan, mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Menurut Ali Syari ati para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan. Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu dalam rumusan Kunto seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada (Kuntowijoyo, 2001: 357). Kunto mengatakan: saya kira keduanya tidak realistik dan akan membuat jiwa terbelah antara idealitas dan realitas, terutama bagi mereka yang belajar ilmu sosial barat. Bagaimana nasib ilmu yang belum di Islamkan? Bagaimana nasib Islam tanpa Ilmu?. Dengan ungkapan seperti ini, Kuntowijoyo tidak bermaksud menolak Islamisasi ilmu, tapi selain membedakan antara ilmu sosal profetik dengan islamisasi ilmu itu sendiri, juga bermaksud menghindarkan pandangan yang bersifat dikotomis dalam melihat ilmu-ilmu Islam dan bukan Islam. Secara normatifkonseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo didasarkan pada Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan/dilahirkan ditengahtengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah. Terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yaitu; 1) Amar Ma ruf ( humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. 2) Nahi Munkar ( liberasi) mengandung pengertian pembebasan. 3) Tu minuna Bilah ( transendensi), dimensi keimanan manusia. Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep; Pertama, konsep tentang umat terbaik ( The Chosen People), yang menjelaskan bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat Jurnal Pelopor Pendidikan

5 Moh. Ikmal 5 tersebut. Umat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena umat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan berfastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah yang dapat di artikan sebagai sikap bekerja keras dan berfastabiqul khairat ditengah-tengah umat manusia (ukhrijat Linnas) yang terwujud dalam sikap partisipatif umat islam dalam percaturan sejarah. Oleh karenanya pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan an sich tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat, terutama umat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama ah, umat, kelompok/ paguyuban). Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya. Konseptualisasi pilar-pilar ilmu sosial profetik pada dasarnya berangkat dari paradigma pendidikan yang berusaha melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang konsen terhadap nilai-nilai moral dan religius dengan sistem pendidikan modern yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dualisme sistem pendidikan yang dikotomis yang dalam konteks Indonesia merupakan dua sisi diametrikal antara pendidikan ala barat yang dinasionalisasi dan pendidikan ala timur yang sudah secara historis telah ada sejak nenek moyang. Pendidikan profetik dapat dikembangkan dalam tiga dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi (Moh. Sofan, 2004:131). Cita-cita etik dan profetik inilah yang seharusnya diderivasikan dari nilai-nilai yang mengakar pada budaya, ajaran agama dan nilai-nilai moral bangsa sehingga pencapaian cita cita pendidikan tidak mengorbankan jati diri bangsa. Artinya sistem pendidikan harus memberikan pemahaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi tugas pendidikan untuk melakukan reorientasi konsep-konsep normatif agar dapat dipahami secara empiris (Kuntowijoyo dalam Muh Sofan, 2004:135). Pendidikan diorientasikan untuk memfasilitasi terbentuknya kesadaran ilmiah dalam memformulasikan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Pendekatan deduktif-induktif idealnya diterapkan dalam pembelajaran pengetahuan umum dan pendidikan moral. Pada saat ini diperlukan obyektifikasi dan konseptualisasi agar tingkat kesadaran teologis-normatif menjadi bermakna dan kontekstual. Konseptualisasi dalam bahasa ilmu yang obyektif inilah yang tidak diintegrasikan dalam sistem pendidikan nasional. Akibatnya seluruh konsep pendidikan yang bersumber dari eksternal (di luar dimensi budaya dan nilai-nilai lokal) tidak diadopsi melalui proses dialog atau pencernaan secara tuntas. Hal inilah yang membuat pendidikan menjadi terombang ambing dalam mensikapi arus perubahan sosial yang masif. Akibatnya institusi pendidikan dan individu di dalamnya yang diharapkan menjadi lokomotif pembentukan jati diri bangsa kehilangan kendali dan mengalami disorientasi. Karena itu misi praktis bagi pendidikan saat ini adalah membebaskan dirinya sendiri dan selanjutnya membebaskan manusia dari kungkungan bermacam aliran dan filsafat yang memposisikan manusia sebagai makhluk yang tidak otonom dalam berpikir dan tidak memiliki hak kemerdekaan. Menurut Paulo Freire bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dan pendidikan adalah proses membangkitkan kesadaran kritis. Namun sekali lagi syarat utama pendidikan sendiri terlebih dahulu harus membebaskan diri dari pasungan dan Volume 4, Nomor 1, Januari 2013

6 6 INTEGRASI PENDIDIKAN PROFETIK dominasi kepentingan kapitalisme dan politisasi pendidikan. Sikap tidak percaya diri juga termanifestasikan dalam pengelolaan sistem pendidikan. Penanganan pendidikan di Indonesia diposisikan bukan sebagai prioritas utama sejak 40 tahun silam. Hal ini berimplikasi pada sistem manajerial yang tidak profesional, dilaksanakan secara amatiran, berdasarkan common sense, spekulasi, miskonsepsi, bahkan tahayul dan mitos (Munandir dalam Imam Tolkhah, 2003:17). Rangkaian inovasi termasuk perubahan sistem yang diujicobakan melalui pelbagai model kurikulum belum pernah dievaluasi mendalam untuk dicari akar permasalahannya secara mendasar. Bahkan pertanggungjawaban atas hasil evaluasi kepada publik tidak pernah dilaksanakan secara memadai. Nampaknya pendidikan lebih percaya dan menyukai konsep-konsep sebagai epigon dari barat yang belum tentu sesuai dengan situasi-kondisi masyarakat. Ajaran lokal yang sarat dengan nilai moral seringkali dianggap kuno dan tidak sesuai dengan jamannya karena teropong modernitas telah menjebak membentuk pemikiran bahwa sesuatu yang modern diposisikan sebagai sesuatu yang lebih baik. Pendidikan agaknya sedang menderita sakit leher karena keengganan untuk kembali menengok ajaran moral dan nilai-nilai lokal untuk diintegrasikan dalam praktek pendidikan. Atau materialisasi pendidikan melalui budaya konsumerisme juga sudah meracuni dunia pendidikan. Bongkar pasang kurikulum mulai dari konsep CBSA, MBS ( School Based Management), Manajemen Berbasis Masyarakat (Community Based Management), Life Skill sampai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mungkin ada dan terus dilakukan. Proses tambal sulam dan uji coba (triar error) merupakan indikator sederhana bahwa dunia pendidikan telah kehilangan identitas dan rasa percaya dirinya bahwa wilayah garapannya demikian strategis dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa. C. Pendidikan Islam Sebagai Gerakan Pembebasan Dalam sejarah manusia, peradaban umat manusia senantiasa diwarnai oleh perjuangan antar kelas. Hal ini juga terjadi pada Nabi Ibrahim yang melawan Raja Namrud yang kejam, Nabi Musa melawan Fir aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan. Oleh karenanya menurut Ali Syari ati para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan. Ragam bentuk pembebasan menusia tersebut tentu tidak terlepas dari peran penting proses pendidikan yang terus mewarisi setiap zamannya. Tidak terkecuali dengan islam, kejayaan Islam sejak abad ke-6 hingga keruntuhannya tidak bisa dilepaskan dari faktor kemajuan dari berbagai aspek, baik bidang pendidikan, militer, kesusasteraan dan sebagainya. Pada aspek pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk mem-bentengi diri dari ekses negatif globalisasi pada konteks dewasa ini. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi (Syafi i Ma arif). Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum ( sekuler), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral. Pendidikan Islam yang masih cenderung bersifat dikotomis selama ini terpisah secara diametral yakni; pertama, pendidikan yang hanya menekankan dimensi transendensi tanpa memberi ruang gerak pada aspek humanisasi dan liberasi. Kedua, hanya menekankan dimensi humanisasi dan liberasi Jurnal Pelopor Pendidikan

7 Moh. Ikmal 7 dengan mengabaikan aspek transendensi. Pada dasarnya tujuan umum pendidikan Islam, menurut Prof. M. Athiyah Al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan umum yang asasi. Diantaranya yaitu; Pertama. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Pendidikan Islam menaruh penuh untuk perhatian kehidupan tersebut, sebab memang itulah tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan. Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Islam memandang, manusia sempurna tidak akan tercapai kecuali memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama, atau mempunyai kepedulian (concern) pada aspek spiritual, akhlak dan pada segisegi kemanfaatan. Keempat, menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu sekedar ilmu. Kelima, menyiapkan pelajar dari segi profesional. Sebagai kekuatan pembebas, Pendidikan islam berusaha untuk membangun social capacity yang mengandung makna bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang sering kali mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal, pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau berlandasan moraltransendensi. Jika kegagalan pendidikan dalam rangka memaksimalkan peran profetiknya karena tidak dapat menempatkan manusia sebagai subjek pendidikan dalam setting teologisfilosofis. Jadi bukan sebagai objek pendidikan, yang menurut Paulo Freire dikatakan sebagai konsep bank. Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan manusia ( Humanisasi), berijtihad/pembebasan ( liberasi), dan keimanan manusia ( transendensi). Sebagai pendidikan yang bersifat utuh dan komprehensif, maka pendekatan profetik dilakukan secara utuh pula, yaitu selain mengembangkan nalar juga mengembangkan potensi hati dilakukan dengan cara banyak berdzikir, atau ingat Allah, melakukan kegiatan ritual, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. D. Gambaran Implementatif Pendidikan Profetik Aspek penting dari proses implementasi pendidikan profetik adalah; pertama, mengubah mindset bagi semua pihak. Kepala sekolah dan guru harus mampu menjadi pelaksana pendidikan yang sebenarnya, sebagaimana para nabi atau rasul menjalankan tugas-tugasnya. Mereka harus sadar bahwa tatkala dirinya sebagai seorang guru atau pendidik, maka perannya tidak ubahnya sebagaimana seorang rasul, yaitu sebagai uswah hasanah tatkala sedang di mana saja. Agar tugas-tugas itu bisa ditunaikan secara maksimal, maka kepala sekolah dan guru seharusnya diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang dipandang benar dan luhur. Kedua, pendekatan legal formal yang memuat standart nilai-nilai dan diakui bersama sebagai kekuatan pengikat, serta penanaman nilai yang terintegrasi dalam setiap kurikulum. Dengan demikian pendidikan senantiasa dijalankan atas dasar tuntutan nurani para pengelola pendidikan dan memperhatikan nilai moralitasnya. Volume 4, Nomor 1, Januari 2013

8 8 INTEGRASI PENDIDIKAN PROFETIK Pendidikan harus dimaknai sebagai totalitas usaha dan tindakan yang harus diubah orientasinya untuk memberi kesempatan anak didik berkembang serasi dalam tiga ranah kecakapan. Pendidikan tidak boleh steril terhadap realitas sosial dan modernitas yang konsen dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Namun apapun solusi yang ditawarkan syarat utama pendidikan harus melakukan penjernihan terhadap dirinya sendiri, yaitu; 1. Pendidikan dan institusinya harus bebas dari kepentingan politik. Proses pembelajaran harus dibebaskan dari doktrin legal formal yang mengarahkan kepada keberpihakan parsial termasuk keberpihakan berpihak pada kapitalisme. Proses pembelajaran dijauhkan dari proses reproduksi dan dekontruksi ideologi-ideologi kelas sosial tertentu untuk melanggengkan kekuasaan dengan memaksakan nilai-nilai kependidikan versi mereka. Pendidik-an harus memiliki identitas dirinya sebagai totalitas usaha untuk membebaskan dan mencerahkan. Proses pembelajaran diarahkan pada terciptanya transformasi dan edukasi sosial secara komprehensif. 2. Pendidikan tidak boleh terjebak kepada usaha-usaha materialisasi pendidikan, pemerintah segera merealisasikan 20 % APBN (komitmen pemerintah baru pada tahun 2009) untuk anggaran pendidikan karena pendidikan merupakan hak dasar yang utamanya menjadi tanggung jawab negara. 3. Pendidikan diarahkan dalam menanamkan integritas etik dan akhlak dan mengembalikan makna pendidikan bukan sekedar pengajaran dan makna mendidik bukan sekedar mengajar. Pendidikan moral dan budi pekerti kembali dihidupkan, tingkah laku dan sikap diposisikan sebagai salah satu aspek penting evaluasi secara menyeluruh. 4. Mengembangkan metode-metode pendidikan yang mengedepankan keteladanan dan memberikan kesempatan peserta didik untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang diajarkan. 5. Hilangkan dikotomi antara pembelajaran nilai-nilai dengan ilmu pengetahuan umum. Pendidikan harus mensintesakan antara sistem pendidikan berbasis berbasis nilai-nilai yang mengakar pada budaya bangsa dan agama dengan sistem pendidikan modern yang mengedepankan nilainilai humanity, equity dan demokrasi Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya terletak pada tanggung jawab guru agama atau guru budi pekerti, melainkan merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah ataupun masyarakat. Sebagai konsekuensinya, integrasi pendidikan profetik akan tercermin dalam semua mata pelajaran. Mata pelajaran, seperti biologi, kimia, fisika, matematika, sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain, muaranya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan eksistensi dirinya, Tuhan, dan makna atau arti kehidupannya secara keseluruhan. Dengan begitu maka diharapkan akan tumbuh keimanan yang selanjutnya membuahkan amal shaleh, dan akhlakul karimah atau karakter yang unggul. E. Penutup Kemerdekaan Indonesia yang sudah genap berusia ke-67 tahun ternyata hanya merupakan bentuk kemerdekaan yang semu dan bersifat prosedural semata. Rekam jejak sistem pendidikan indonesia tidak pernah lepas dari upaya penjajahan gaya baru yang melibatkan elit kekuasaan politik yang ada. Upaya tersebut sangat terlihat bagaimana peran asing melakukan manuver politik dan berusaha menekan pemerintah untuk segara melakukan liberalisasi dalam segala bidang termasuk dalam sektor pendidikan. Melalui proses penandatanganan General Agreement on Trades in Services oleh negara anggota WTO Jurnal Pelopor Pendidikan

9 Mph. Ikmal 9 (World Trade Organization), kemudian disepakati 12 sektor jasa untuk di liberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. Dengan adanya liberalisasi sektor jasa tersebut, termasuk sektor pendidikan tinggi arus globalisasi, menjadi tidak terperikan untuk ditolak. Indonesia mesti menerima proses internasionalisasi pendidikan tinggi (World Class University), yang berarti membuka ruang-ruang kerjasama dengan pihak luar dalam konteks pengembangan pendidikan tinggi. Melalui UU BHP yang kemudian dibatalkan oleh MK pada tahun 2010 adalah bukti nyata upaya legalisasi liberalisasi pendidikan melalui berbagai produk kebijakannya. Doktrin modernitas dan tuntutan globalisasi menjadi pilar penopang kebijakan-kebijakan kapitalis yang hanya berpihak kepada kelas-kelas sosial tertentu. Orientasi sistem pendidikan tidak lagi menjadi kekuatan pembebas dan penyatu manusia dari berbagai bentuk penindasan melainkan ia menjadi bom waktu kehancuran generasi bangsa dibawak ketiak kapitalisme. Pasungan kehendak penguasa menjadikan pendidikan sebagai pelestari ideologi pembangunan yang tidak lain merupakan bentuk isolasi akademik karena tidak dioerientasikan sebagai usaha membebaskan masyarakat dari ketertindasan. Kecerdasan, kemahiran dan keahlian yang diperoleh dari bangku pendidikan belum bisa mendorong tumbuhnya rasa percaya diri dan menjadi kekuatan dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa. Membangun rasa percaya diri pendidikan harus dimulai dari timbulnya rasa percaya diri yang kuat dunia pendidikan sendiri akan kemampuannya dalam menjaga nilai-nilai moral sepanjang tidak bertentangan dengan moral masyarakat dan nilai-nilai agama. Pendidikan dan beragam institusinya sendiri harus menentukan keputusan moral dan menunjukkan perilaku moral mencerminkan nilai-nilai agama, moral dan ajaran-ajaran lokal.[] Daftar Pustaka: Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Mizan, Bandung, Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik (Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, IRCiSoD, Yogyakarta, Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, Muhammad A.R, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, Prismasophie, Yogyakarta, Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Tribun News, RUU PT Bentuk Liberalisasi Gaya Baru, 2012, di akses dari pada tanggal 04/ 04/2012. Volume 4, Nomor 1, Januari 2013

10 10 INTEGRASI PENDIDIKAN PROFETIK Konseptualisasi pilar-pilar ilmu sosial profetik pada dasarnya berangkat dari paradigma pendidikan yang berusaha melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang konsen terhadap nilai-nilai moral dan religius dengan sistem pendidikan modern yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan Jurnal Pelopor Pendidikan

GRAND DESIGN KETUA UMUM IMM KOMISARIAT FIK UMS TRANFORMASI GERAKAN PROFETIK

GRAND DESIGN KETUA UMUM IMM KOMISARIAT FIK UMS TRANFORMASI GERAKAN PROFETIK A. LATAR BELAKANG Prolog GRAND DESIGN KETUA UMUM IMM KOMISARIAT FIK UMS 2014-2015 TRANFORMASI GERAKAN PROFETIK Sebagai hadiah, malaikat menanyakan apakah aku ingin berjalan diatas mega? dan aku menolak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkarakter dalam mengisi kemerdekaan. Namun, memunculkan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. berkarakter dalam mengisi kemerdekaan. Namun, memunculkan jiwa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan untuk lepas dari tangan penjajah negara asing sudah selesai sekarang bagaimana membangun negara dengan melahirkan generasi-generasi berkarakter dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas,

BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, 78 BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, baik yang tampak ataupun tidak tampak. Manusia pun mau tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional harus mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi berbagi tuntutan peran yang multidimensional.

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan 1. Secara Umum Konsep pendidikan yang Islami menurut Mohammad Natsir menjelaskan bahwa asas pendidikan Islam adalah tauhid. Ajaran tauhid manifestasinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. PERMASALAHAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. PERMASALAHAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan Pendidikan merupakan suatu hal yang mendasar dalam kehidupan manusia karena pendidikan dan kehidupan manusia selalu berjalan bersama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang

Lebih terperinci

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK Untuk lebih mendalami hakekat pendidikan politik, berikut ini disajikan lagi beberapa pendapat ahli mengenai pendidikan politik. Alfian (1986) menyatakan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan akan berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sikap, perilaku, intelektual serta karakter manusia. Menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sikap, perilaku, intelektual serta karakter manusia. Menurut Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Tujuan utama pendidikan yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan tujuan tersebut

Lebih terperinci

KONSEP PENDIDIKAN. Imam Gunawan

KONSEP PENDIDIKAN. Imam Gunawan KONSEP PENDIDIKAN Imam Gunawan KONSEP MENDIDIK Mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan, dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan umum dan khusus, implikasi, dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI: KAJIAN TEORITIS PRAKTIS

PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI: KAJIAN TEORITIS PRAKTIS PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI: KAJIAN TEORITIS PRAKTIS Konstantinus Dua Dhiu, 2) Nikodemus Bate Program Studi Pendidikan Guru PAUD, STKIP Citra Bakti, NTT 2) Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6 SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA Week 6 Agama Islam menganggap etika sebagai cabang dari Iman, dan ini muncul dari pandangan dunia islam sebagai cara hidup manusia. Istilah etika yang paling

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh pelbagai faktor, dan salah satu yang paling menentukan ialah pendidikan. Kualitas pendidikan sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR PENDIDIKAN KARAKTER DALAM DIMENSI PROSES BELAJAR DAN PEMBELAJARAN (Dapat Dijadikan Bahan Perbandingan dalam Mengembangkan Proses Belajar dan Pembelajaran pada Lembaga Diklat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memudarnya sikap saling menghormati, tanggung jawab,

BAB I PENDAHULUAN. dengan memudarnya sikap saling menghormati, tanggung jawab, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merosotnya moralitas bangsa terlihat dalam kehidupan masyarakat dengan memudarnya sikap saling menghormati, tanggung jawab, kesetiakawanan sosial (solidaritas),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Astrid Sutrianing Tria, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Astrid Sutrianing Tria, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia akan menjadi negara yang tentram apabila sumber daya manusianya memiliki budi pekerti yang baik. Budi pekerti yang baik dapat diupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas kepribadian serta kesadaran sebagai warga negara yang baik.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas kepribadian serta kesadaran sebagai warga negara yang baik. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan di bidang pendidikan yang dialami bangsa Indonesia pada saat ini adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pembentukan watak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD Negeri Wirosari sekolah yang unggul, kreatif, inovatif, kompetitif dan religius. Sedangkan misinya

Lebih terperinci

om KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.

om KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. www.kangmartho.c om KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. (PKn) Pengertian Mata PelajaranPendidikan Kewarganegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mubarak Ahmad, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mubarak Ahmad, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan selama ini dipercaya sebagai salah satu aspek yang menjembatani manusia dengan cita-cita yang diharapkannya. Karena berhubungan dengan harapan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini proses pembelajaran hendaknya menerapkan nilai-nilai karakter.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini proses pembelajaran hendaknya menerapkan nilai-nilai karakter. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini proses pembelajaran hendaknya menerapkan nilai-nilai karakter. Hal tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan

Lebih terperinci

Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2015

Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2015 Menengok Pudarnya Pesona Academic Honesty Oleh : Usep Taryana Mengawali penulisan kali ini mengenai pendidikan dan problematikanya yang begitu rumit untuk dicerna, ada baiknya kita mengingat kembali ungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintahannya juga mengalami banyak kemajuan. Salah satunya mengenai. demokrasi yang menjadi idaman dari masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. pemerintahannya juga mengalami banyak kemajuan. Salah satunya mengenai. demokrasi yang menjadi idaman dari masyarakat Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Negara Indonesia bukan hanya dari aspek perekonomian maupun sosial budayanya saja melainkan dari aspek politik dan pemerintahannya juga mengalami banyak kemajuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-nilai moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan sumber daya manusia yang dapat diandalkan. Pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan sumber daya manusia yang dapat diandalkan. Pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai negara berkembang dalam pembangunannya membutuhkan sumber daya manusia yang dapat diandalkan. Pembangunan manusia Indonesia yang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa untuk memahami nilai-nilai warga negara yang baik. Sehingga siswa

BAB I PENDAHULUAN. siswa untuk memahami nilai-nilai warga negara yang baik. Sehingga siswa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk karakter individu yang bertanggung jawab, demokratis, serta berakhlak mulia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nasionalisme melahirkan sebuah kesadaran melalui anak-anak bangsa. penindasan, eksploitasi dan dominasi.

BAB I PENDAHULUAN. Nasionalisme melahirkan sebuah kesadaran melalui anak-anak bangsa. penindasan, eksploitasi dan dominasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah tiga institusi pilar Globalisasi.(Amin Rais, 2008: i)

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah tiga institusi pilar Globalisasi.(Amin Rais, 2008: i) 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam 30 tahun terakhir, dunia menyaksikan bangkitnya Imperialisme ekonomi yang dilancarkan Negara-negara Barat, Negara-negara eks kolonialis, lewat apa yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai orang tua kadang merasa jengkel dan kesal dengan sebuah kenakalan anak. Tetapi sebenarnya kenakalan anak itu suatu proses menuju pendewasaan dimana anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia seutuhnya yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat dan bagi negaranya. Hal ini selaras dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Di samping

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Di samping BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, dunia pendidikan menghadapi berbagai masalah yang sangat kompleks yang perlu mendapatkan perhatian bersama. Fenomena merosotnya karakter kebangsaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi penerus bangsa yang tumbuh dan berkembang untuk melanjutkan perjuangan cita-cita bangsa. Remaja merupakan aset bangsa yang harus dijaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini berada dalam genggaman anak bangsa Indonesia sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. ini berada dalam genggaman anak bangsa Indonesia sendiri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa depan bangsa Indonesia ditentukan oleh para generasi muda bangsa ini. Karena generasi muda Indonesia merupakan faktor penting yang sangat diandalkan oleh Bangsa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan. mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan. mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain pemerintah, guru, sarana prasarana, dan peserta didik itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. antara lain pemerintah, guru, sarana prasarana, dan peserta didik itu sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah tumpuan sebuah bangsa menuju persaingan global. Di dalam pendidikan banyak aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain, antara lain pemerintah,

Lebih terperinci

MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Program Studi MANAJEMENT MODUL 1 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN SUMBER : BUKU ETIKA BERWARGANEGARA,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 400 A. Kesimpulan BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada Bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik kepemimpinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan akhlak mulia adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 20

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan akhlak mulia adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 20 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembinaan akhlak mulia adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 ayat 1. Pasal tersebut menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pada Modul ini kita akan mempelajari tentang arti penting serta manfaat pendidikan kewarganegaraan sebagai mata kuliah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agama. Hal tersebut sangat berkaitan dengan jiwa Nasionalisme bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. agama. Hal tersebut sangat berkaitan dengan jiwa Nasionalisme bangsa Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, suku, ras dan agama. Hal tersebut sangat berkaitan dengan jiwa Nasionalisme bangsa Indonesia. Berbagai

Lebih terperinci

BAB I. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 pasal 3. 2

BAB I. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 pasal 3. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah culture transition (transisi kebudayaan) yang bersifat dinamis kearah suatu perubahan secara continue (berkelanjutan), maka pendidikan dianggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk. menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk. menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan

Lebih terperinci

Revolusi Paradigma Pendidikan Monday, 31 August :21

Revolusi Paradigma Pendidikan Monday, 31 August :21 Kemanakah arah pendidikan nasional kita? Tidak jelas yang dituju. Centang perenang kebijakan pendidikan baik karena aktor maupun sistemnya membuat arah pendidikan nasional tidak pernah jelas yang mau dicapai.

Lebih terperinci

MENGEMBANGKAN DESA KEBANGSAAN UNTUK MEMENANGKAN MASA DEPAN INDONESIA Oleh: Jabrohim Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta A.

MENGEMBANGKAN DESA KEBANGSAAN UNTUK MEMENANGKAN MASA DEPAN INDONESIA Oleh: Jabrohim Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta A. MENGEMBANGKAN DESA KEBANGSAAN UNTUK MEMENANGKAN MASA DEPAN INDONESIA Oleh: Jabrohim Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta jabrohim_uade@yahoo.com A. Pengantar Islam mengandung nilai-nilai kemajuan untuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang 220 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa krisis spiritual manusia modern dalam perspektif filsafat Perennial Huston Smith dapat dilihat dalam tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh berbagai krisis yang melanda, maka tantangan dalam

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh berbagai krisis yang melanda, maka tantangan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN Pada saat bangsa Indonesia menghadapi permasalahan komplek yang disebabkan oleh berbagai krisis yang melanda, maka tantangan dalam menghadapi era globalisasi yang bercirikan keterbukaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik,

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik, melatih dan mengembangkan kemampuan siswa guna mencapai tujuan pendidikan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Fokus Penelitian, Penegasan Istilah. A. Latar Belakang Di era globalisasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus 195 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai bagian akhir tesis ini, peneliti memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, oleh sebab itu hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL KE PUI AN PERSATUAN UMAT ISLAM SEBAGAI UPAYA MENANAMKAN KESADARAN SEJARAH

2015 PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL KE PUI AN PERSATUAN UMAT ISLAM SEBAGAI UPAYA MENANAMKAN KESADARAN SEJARAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah SMA Prakarya merupakan salah satu lembaga pendidikan PUI di Kabupaten Majalengka, yang berbasiskan Islam maka secara otomatis mengakomodir adanya pembelajaran

Lebih terperinci

REVITALISASI IDEOLOGI MUHAMMADIYAH

REVITALISASI IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pengantar Diskusi REVITALISASI IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Oleh: Muhammad Purwana PENGERTIAN 1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa, dan negara. Pasal 4 menjelaskan pula bahwa. warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa, dan negara. Pasal 4 menjelaskan pula bahwa. warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling memerlukan adanya bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia dituntut untuk saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm Fathul Mu in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan

BAB I PENDAHULUAN. Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm Fathul Mu in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan. Sebagai sebuah proses, ada dua asumsi yang berbeda mengenai pendidikan dalam kehidupan manusia. Pertama, ia bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari tiga definisi yaitu secara luas, sempit dan umum.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari tiga definisi yaitu secara luas, sempit dan umum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan terdiri dari tiga definisi yaitu secara luas, sempit dan umum. Definisi pendidikan secara luas (hidup) adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA (2 SKS)

PENDIDIKAN PANCASILA (2 SKS) PENDIDIKAN PANCASILA (2 SKS) Semester Gasal 2012/2013 suranto@uny.ac.id 1 A. Pendahuluan Selama ini pendidikan cenderung diartikan aktivitas mempersiapkan anak-anak dan pemuda untuk memasuki kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami pergeseran yang signifikan dalam berbagai bidang (sosial, budaya, agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi).

BAB I PENDAHULUAN. mengalami pergeseran yang signifikan dalam berbagai bidang (sosial, budaya, agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di abad milenium seperti sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, hal ini ditandai dengan peradapan manusia yang telah mengalami pergeseran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang dikenal dan diakui

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kepemimpinan adalah bagian dari kehidupan manusia, dan haruslah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kepemimpinan adalah bagian dari kehidupan manusia, dan haruslah 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Masalah Kepemimpinan adalah bagian dari kehidupan manusia, dan haruslah dipupuk sejak dini sehingga generasi penerus bangsa mampu menjadi pemimpin berdedikasi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan kewarganegaraan (PKn) menjadi bagian penting dalam suatu pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari keberadaan pendidikan

Lebih terperinci

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D)

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D) 29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D) A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara

Lebih terperinci

PERATURAN KELUARGA BESAR MAHASISWA FAKULTAS NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG GARIS-GARIS BESAR HALUAN KERJA KELUARGA BESAR MAHASISWA

PERATURAN KELUARGA BESAR MAHASISWA FAKULTAS NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG GARIS-GARIS BESAR HALUAN KERJA KELUARGA BESAR MAHASISWA PERATURAN KELUARGA BESAR MAHASISWA FAKULTAS NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG GARIS-GARIS BESAR HALUAN KERJA KELUARGA BESAR MAHASISWA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar dalam sikap dan perilaku seharihari.

BAB I PENDAHULUAN. luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar dalam sikap dan perilaku seharihari. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan di tengahtengah masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi. Sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia berhak menentukan nasib bangsanya sendiri, hal ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan. Pembangunan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Gerakan modernisasi yang meliputi segenap aspek kehidupan manusia menimbulkan terjadinya pergeseran pada pola interaksi antar manusia dan berubahnya nilai-nilai

Lebih terperinci

13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.

13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. (PKn) Pengertian Mata PelajaranPendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan UU Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar manusia menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi perannya dimasa yang akan datang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa Indonesia memang sangat majemuk. Oleh karena itu lahir sumpah pemuda, dan semboyan bhineka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan sebagai proses

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan sebagai proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar mengoptimalkan bakat dan potensi anak untuk memperoleh keunggulan dalam hidupnya. Unggul dalam bidang intelektual, memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa tergantung pada kemajuan sumber daya manusianya.

I. PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa tergantung pada kemajuan sumber daya manusianya. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu bangsa tergantung pada kemajuan sumber daya manusianya. Jadi bukan ditentukan oleh canggihnya peralatan atau megahnya gedung, juga tidak tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. emosional, sosial dan spiritual, sesuai dengan tahap perkembangan serta

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. emosional, sosial dan spiritual, sesuai dengan tahap perkembangan serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia yang beradab setidak-tidaknya memiliki common sense tentang pendidikan bahwa pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Guru merupakan pihak yang bersinggungan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Guru merupakan pihak yang bersinggungan langsung dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Guru merupakan pihak yang bersinggungan langsung dengan peserta didik maka ia dituntut untuk memiliki kecakapan holistik dan profesionalisme yang tinggi. Kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kemajuan iptek ini tidak lepas dari perubahan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kemajuan iptek ini tidak lepas dari perubahan yang ada dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada peradaban modern yang makin berkembang pesat sekarang ini, negara kita mengalami persaingan yang luar biasa dalam berbagai kehidupan. Dalam persaingan tersebut

Lebih terperinci

NO URUT. 16. Sumber : = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

NO URUT. 16. Sumber :  = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = NO URUT. 16 Visi Partai adalah bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur Proklamasi 17 Agustus 1945, diperlukan kualitas manusia Indonesia yang patriotik, yaitu warga bangsa yang cerdas, sehat,cakap,tangguh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah BAB I PENDAHULUAN Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah yang meliputi: 1) Bagaimana efektivitas kebijakan pendidikan Budi Pekerti pada komunitas Homeschooling sekolah Dolan

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP Praktek Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam di SMA Negeri 1 Matauli Pandan mampu membangun interaksi komunikasi

BAB VI PENUTUP Praktek Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam di SMA Negeri 1 Matauli Pandan mampu membangun interaksi komunikasi 316 BAB VI PENUTUP Praktek Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam di SMA Negeri 1 Matauli Pandan mampu membangun interaksi komunikasi antara guru dan siswa. Guru selalu mengedepankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan BAB I PENDAHULUAN Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan Masalah, D. Tujuan Penelitian, E. Manfaat Penelitian, F. Penegasan Istilah A. Latar Belakang Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lama dicanangkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

BAB I PENDAHULUAN. lama dicanangkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbaikan mutu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia telah lama dicanangkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Untuk itu diperlukan langkah-langkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekolah dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,

BAB I PENDAHULUAN. sekolah dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pendidikan national bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Merujuk dari tujuan Sisdiknas tersebut maka tujuan pendidikan sekolah dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistematis untuk mewujudkan suatu proses pembelajaran agar siswa aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistematis untuk mewujudkan suatu proses pembelajaran agar siswa aktif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan berencana yang dimiliki semua masyarakat sebagai siswa di dalam dunia pendidikan yang tersusun secara sistematis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah generasi penerus yang menentukan nasib bangsa di masa depan.

BAB I PENDAHULUAN. adalah generasi penerus yang menentukan nasib bangsa di masa depan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar untuk menjadi sebuah bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Hal itu didukung oleh sejumlah fakta

Lebih terperinci