Arang Kaya Manfaat Ramah Lingkungan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Arang Kaya Manfaat Ramah Lingkungan"

Transkripsi

1 Arang Kaya Manfaat Ramah Lingkungan Oleh : Endang Dwi Hastuti Siwi Tri Utami Arang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari hari. Arang merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari teknologi arang terpadu yang ramah lingkungan. Arang memiliki banyak manfaat, tidak hanya dijadikan bahan bakar saja tapi juga dapat diaplikasikan dalam berbagi bidang pertanian dan peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah mensosialisasikan teknologi ini sejak tahun 2000 an, pada berbagai instansi terkait, maupun kelompok kelompok masyarakat. Beberapa penyuluh kehutanan telah sukses mengaplikasikan teknologi ini. Arang Terpadu, Teknologi Terapan Ramah Lingkungan Arang terpadu merupakan teknologi yang dalam proses dan aplikasinya dilakukan secara terpadu. Arang terpadu adalah teknologi terapan yang ramah lingkungan, karena memanfaatkan berbagai jenis limbah biomassa serta menerapkan teknologi yang rendah emisi.teknologi arang terpadu selain menghasilkan arang juga arang kompos dan asap cair. Arang dapat diolah lebih lanjut menjadi briket arang untuk energi Gambar 1 juga dapat diolah lebih lanjut menjadi arang aktif. Gambar 1. Berbagai bentuk briket arang untuk energi alternatif. 1

2 Briket Arang memiliki beberapa kelebihan antara lain : Bersih dan tidak berdebu; Mengeluarkan sedikit asap; Abu sisa pembakaran kecil; Menghasilkan kalor panas yang tinggi dan konstan; Menyala terus tanpa dikipas; Ramah lingkungan; serta tersedianya bahan baku yang melimpah. Beberapa penelitian tentang teknologi arang terpadu pernah dilakukan dengan mengunakan : 1 drum bekas yang tutup/sungkupnya disambung dengan bambu sepanjang 4 meter yang berfungsi sebagai pendingin alami Gambar 2, yang disebut dengan cara konvensional atau tradisional. Tungku kubah yang terbuat dari batu bata, dilengkapi unit pendingin, Tungku baja dan tungku sakuraba, masing masing dilengkapi dengan unit pendingin air. Tungku arang terpadu 3 in 1 terbuat yang dari bahan stainless stell dengan dual pendingin yang bagian dalam dilapisi dengan bata Gambar 3. Penggunaan tungku drum yang diberi sungkup bambu lebih sesuai bagi masyarakat karena p teknologi ini lebih murah dan mudah diaplikasikan. Namun dari beberapa penelitian penggunaan tungku ini masih ada kelemahanya itu kualitas asap cair yang dihasilkan masih terlihat kotor dan berwarna hitam, sehingga harus dilakukan penyulingan. (foto: gusmailina) Gambar 2.Tungku konvensional/tradisional dengan pendingin bambu, dalam lingkaran putih terdapat botol penampung asap cair 2

3 A B (foto: gusmailina) Gambar 3.Tungku 3 in 1 (A); Tungku 2 drum dengan pendingin stainless steel (B) (sumber foto: gusmailina) Gambar 4.Tungku kubah kapasitas 3 m 3 untuk produksi arang dan asap cair Asap yang terbentuk dalam proses pembuatan arang, akan mengalami perubahan bentuk menjadi cairan apabila terjadi proses pendinginan. Cairan ini disebut asap cair atau cuka kayu wood vinegar. Arang Sebagai Pembangun Kesuburan Tanah PKT Arang atau Biochar merupakan hasil dari pembakaran tidak sempurna sehingga menyisakan unsur hara yang menyuburkan lahan. Jika pembakaran berlangsung sempurna, arang berubah menjadi abu dan melepas karbon. Arang bukan pupuk tetapi arang dapat membangun kualitas dan kondisi tanah baik secara fisik, kimia dan biologi tanah. Arang memiliki pori pada permukaannya sehingga jika digunakan sebagai campuran media tanam dapat memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Arang dapat menyerap dan menyimpan air dan hara, kemudian air dan hara tersebut akan dikeluarkan kembali sesuai kebutuhan. Selain itu arang dapat meningkatkan ph tanah. Kondisi ini bagus untuk perkembangan mikroba tanah yang berfungsi dalam penyediaan unsur hara dalam tanah untuk diserap tanaman. Oleh sebab itu arang disebut sebagai pembangun kesuburan tanah. 3

4 Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan arang pada media tumbuh dapat mempercepat pertumbuhan tanaman di persemaian maupun di lahan. Arang Meningkatkan ph dan Aktivitas Mikrorganisme Tanah Arang bersifat alkali dengan ph diatas 8, sehingga arang digunakan sebagai pengganti kapur atau dolomit yang harganya lebih mahal. Arang dapat memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi tanah sehingga apabila tanaman diberi arang maka pertumbuhan akan meningkat, antara lain tinggi, diameter dan produksi. Pemberian arang pada tanah dapat meningkatkan ph dan aktivitas mikroorganisme tanah. Arang juga dapat meningkatkan kelembaban dan kesuburan tanah dan dapat bertahan ribuan tahun dalam tanah. Arang juga baik sebagai campuran pakan, maupun untuk meningkatkan higienis, kebersihan dan kesehatan kandang ternak. Arang digunakan sebagai pelapis alas kandang untuk mengurangi bau, selalu hangat dan menyerap berbagai penyakit yang akan menyerang ternak, sehingga ternak menjadi sehat dan lingkungan terjaga kebersihannya. Pertumbuhan dan produktivitas buahnya akan selalu membutuhkan pupuk sebagai nutrisi dalam jumlah tertentu sehingga ketersediaan pupuk yang memadai harus terjamin. Namun penyediaan pupuk dengan jumlah yang memadai memerlukan biaya yang besar. Disamping itu, pupuk pada umumnya akan banyak tercuci/leaching ratarata 50% sehingga menimbulkan banyak pemborosan yang merugikan. Aplikasi arang adalah salah satu solusi dengan memanfaatkan limbah biomasa sebagai bahan baku arang, murah dan mudah didapat. Hasil suatu riset menunjukkan bahwa keberadaan arang di dalam tanah tidak akan terpengaruh selama 130 tahun lamanya. Aplikasi Arang Sudah Ratusan Tahun Para ilmuwan dunia menemukan unsur arang dalam kandungan tanah hitam di lembah Amazon yang disebut Terra Preta. Diperkirakan merupakan hasil pengelolaan bangsa Amerindian sejak 500 tahun hingga tahun silam. Selanjutnya, arang juga terdapat buku kuno di Jepang dengan istilah pupuk api fire manure sebagai penyubur pertanian pada tahun Demikian pula di China, tradisi menyuburkan lahan sudah sejak lama dikembangkan melalui pembakaran biomassa. Sejak 1915 penelitian ilmiah peran arang terhadap pertumbuhan bibit padi sudah dikembangkan. 4

5 Ramah Lingkungan Arang bersifat karbon negatif sehingga telah menjadi tumpuan keberlanjutan sistem usaha tani dan sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim global di negara maju dan berkembang seperti Indonesia. Selain dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman, penggunaan arang juga dapat mengurangi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian. Di Indonesia, pemanfaatan arang dalam skala luas merupakan hal yang relatif baru. Masih perlu penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya arang untuk keberlanjutan usaha pertanian dalam arti luas. Membuat Arang Secara Sederhana Pembuatan arang secara sederhana sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Cara ini sederhana, mudah dan murah, menggunakan drum bekas minyak tanah atau oli dengan kapasitas 200 liter. Bahan baku yang digunakan adalah berbagai jenis limbah biomassa antara lain tempurung kelapa, tempurung kemiri, limbah kulit, ranting atau sebetan. Proses pembuatan arang secara sederhana adalah sebagai berikut : Bahan baku dimasukkan kedalam drum, Dibakar dengan pancingan di bagian bawah drum yang telahdilubangi. Jika bahan baku sudah mulai terbakar, yang ditandai dengan kepulan asap tebal, drum ditutup dengan penutup, Pasang bambu sepanjang 4 meter yang berfungsi sebagai pendingin alami jika pengarangan dilakukan secara konvensional. Arang terbukti memiliki banyak manfaat dan menjadi solusi berbagai permasalahan terkait dengan peningkatan kualitas kesuburan lahan dan pencemaran lingkungan. Cara pembuatan arang juga sangat sederhana dan bahan bakunya banyak tersedia di sekitar masyarakat, serta tidak membutuhkan modal yang besar. Oleh karenanya, arang diharapkan dapat menjadi salah satu komoditas ramah lingkungan yang bermanfaat dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Informasi ini perlu disebarluaskan dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman dan kesadarannya terhadap pengelolaan lingkungan yang 5

6 baik dan berguna, serta menumbuhkan lapangan pekerjaan dan menambah pendapatan keluarga yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan keluarga. *) Dirangkum dari Materi Pertemuan Forum Komunikasi Peneliti, Widyaiswara, Penyuluh dan Guru SKMA tanggal 21 Juli 2016, berjudul Teknologi Arang Terpadu oleh Gusmailina, Gustan Pari, Sri Komarayati & Djeni Hendra 6

7 Keterampilan Yang Dibutuhkan Pemimpin Untuk Menghadapai Perubahan Oleh : Junaidin, S.Hut, MA. Widyaiswara Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar Abstrack Middle level managers have several characteristics which differ from top level managers such as limited power resource such as communication, network and authority to determine the way of the organizational work. In order to deal with new objections and tasks in public organization, there are four skills of middle level managers which important to deal with this issue: give clear instruction and command, resolve conflicts between the subordinates, encourage employers to improve their skills and set transparent reward and punishment system. Keyword: middle level manager, new tasks, instruction, motivation, reward 1. Pendahuluan Perubahan zaman merupakan suatu keniscayaan yang harus dihadapi oleh setiap organisasi. Sebagai organisasi yang relatif baru, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dibentuk dari peleburan dua Kementerian yakni Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dihadapkan pada persoalan perubahan tugas dan fokus prioritas. Walaupun telah dilakukan reorganisasi dalam rangka mengatasi perubahan tujuan organisasi, salah satu persoalan penting yang perlu mendapat perhatian adalah mengoptimalkan kemampuan kepemimpinan untuk bekerja dengan tujuan dan fokus prioritas yang baru. Dengan dilakukannya reorganisasi KLHK berimplikasi pada terbentuknya organisasiorganisasi baru hasil peleburan dari unit-unit kerja dari dua kementerian. Sebagai akibatnya, unit-unit kerja tersebut akan memiliki tugas dan tanggung jawab baru, sebagai contoh Direkotrat Jenderal Perubahan Iklim yang merupakan hasil peleburan antara Badan Penanggulangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan (BPREDD+) Kementerian Kehutanan dengan Dewan Nasional Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup. 1

8 Untuk dapat menjawab tantangan tugas dan fokus prioritas yang baru kemampuan pimpinan sangat dibutuhkan terutama untuk menterjemahkan tujuan dan sasaran organisasi dari level makro ke tingkat operasional. Pada tingkat makro tujuan dan sasaran organisasi masih dalam bentuk yang sangat umum, oleh karena itu dibutuhkan penjabaran ke level operasional yang lebih mudah diimplementasikan (Rainey, 2010). Dalam hal ini, peran pimpinan level mengengah menjadi penting untuk mengartikulasikan tujuan makro organisasi ke dalam langkahlangkah operasional praktis (Wooldridge, Schmid, & Floyd, 2008). Tulisan ini bertujuan untuk membahas keterampilan-keterampilan apa saja yang dibutuhkan oleh pimpinan level menengah untuk menghadapi tugas dan prioritas baru dari unit kerjanya. Untuk mencapai tujuan penulisan, rumusan masalah dari tulisan ini diformulasikan sebagai berikut keterampilan apa yang dibutuhkan oleh manejer level menengah di KLHK untuk dapat mengantisipasi tujuan dan prioritas baru di unit kerjanya?. Untuk memudahkan pembaca memahami tulisan ini, bagian-bagian tulisan akan disusun secara sistematis. Setelah bagian pendahuluan akan dilanjutkan dengan kajian pustaka tentang peran pemimpin untuk menghadapi tantangan baru dan peran pimpinan level menengah dalam organisasi pemerintah. Setelah itu, karakkteristik-karakteristik pimpinan level menengah dalam menghadapi tugas dan prioritas baru akan dijabarkan. 2. Kepemimpinan untuk menghadapai tantangan baru Pemimpin (leader) merupakan istilah dengan banyak pengertian. Pemimpin didefenisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mendorong dan menggerakan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu (Rainey, 2010). Alban-Metcalfe et al., (2007) mendefenisikan seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki kualitas untuk mengarahkan, memotivasi dan menggerakan pengikutnya untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Beinecke (2009), untuk menghadapi situasi yang serba tidak pasti, seorang pemimpin tidak saja harus mempersiapkan dirinya untuk beradaptasi dengan kondisi yang penuh ketidakpastian namun juga harus meningkatkan kapasitasnya untuk memotivasi bawahannya untuk beradptasi terhadap situasi yang dinamis. Terdapat lima kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin pada organisasi publik untuk dapat menghadapi yang dinamis yaitu (1) kemampuan intrapersonal, seperti kemampuan mengelola kecerdasan emosional dan spiritual, daya tahan dan etika (2) kemampuan interpersonal, seperti keterampilan komunikasi, manajemen 2

9 konflik dan negosiasi (3) kemampuan transaksional, seperti keterampilan manajemen sumber daya manusia (4) kemampuan transformasional, seperti keterampilan mengarahkan, menangani situasi kompleks dan pengaturan tujuan organisasi, dan, (5) pengetahuan terhadap kebijakan dan program organisasi. 3. Peran manajer level menengah dalam organisasi pemerintah Pimpinan pada level menengah memiliki peran yang berbeda dengan pimpinan pada level atas karena pimpinan level menengah memiliki keterbatasan sumberdaya kekuasaan, jaringan komunikasi dan otoritas untuk menentukan jalannya organisasi (Gatenby, Rees, Truss, Alfes, & Soane, 2014). Namun, secara umum, pimpinan level menengah berfungsi untuk menterjemahkan strategi dari pimpinan diatasnya kedalam langkah-langkah operasional yang dapat berupa (1) merumuskan taktik dan mengelola anggaran untuk pencapaian tujuan, (2) mengevaluasi kinerja bawahannya, dan (3) melakukan revisi tindakan ketika hasil kegiatan berada dibawah target yang diharapkan (Floyd & Wooldridge, 1994). Lassen, Waehrens, & Boer (2009) menjabarkan peran penting pimpinan level menegah dalam hirarki organisasi publik yakni untuk menyeimbangkan rencana dan kegiatan organisasi, melakukan integrasi teknologi, dan melakukan pembahasan gagasan-gagasan baru untuk diimplementasikan dalam kegiatan organisasi. Dalam organisasi publik, pimpinan level menengah berperan penting untuk meningkatkan kinerja organisasi pada tingkat pekerjaan operasional dan pelaksanaan kegiatan teknis (Floyd & Wooldridge, 1997). Dalam konteks pemerintahan lokal, pimpinan level menengah memberikan efek yang signifikan untuk menjaga keberlanjutan pelaksanaan programprogram karena pimpinan level menengah memilik keterampilan teknis khusus sehingga mereka dapat lebih mudah untuk berinteraksi dan berfokus untuk berhubungan dengan masyarakat (Wang, Van Wart, & Lebredo, 2014). 4. Kepemimpinan level menengah dan tantangan perubahan Dalam kasus Kementerian LHK peran pemimpin level menengah berperan penting untuk menyelaraskan tujuan, strategi dan kebijakan baru dari organisasi diatasnya dan menterjemahkan dalam kegiatan-kegiatan operasional dan teknis. Selain itu, para manejer level menengah harus mengusahakan agar pelaksanaan kegiatan-kegiatan operasional teknis tersebut terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan karakteristik kepemimpinan yang mengkombinasikan antara 3

10 gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Seorang pemimpin yang bertipe transaksional adalah seseorang yang kuat dalam perencanaan dan manajemen organisasi, efisiensi kerja, kompetensi kerja dan sistematisasi pekerjaan. Sementara itu, pemimpin dengan tipe transformasional adalah pemimpin yang berfokus pada kekuatan membangun hubungan personal, kerjasama, komunikasi, kerativitas, motivasi bawahan dan menjunjung tinggi kejujuran, integritas dan rendah hati (Beinecke, 2009). Oleh karena itu, terdapat empat keterampilan pemimpin level menengah untuk menghadapi tantangan perubahan yaitu: (1) keterampilan untuk memberikan perintah dan intruksi yang jelas, (2) keterampilan membuat sistem penghargaan dan hukuman yang transparan (3) keterampilan manajemen konflik, dan (4) keterampilan memotivasi bawahannya untuk meningkatkan kapasitas bawahannya. Keterampilan yang dibutuhkan pemimpin level menengah digambarkan pada tabel 1. Tabel 1. Tabel keterampilan pimpinan level menengah untuk menghadapi tantangan baru Gaya kepemimpinan Kepemimpinan transaksional Keterampilan Pemimpin level menengah Memberikan perintah dan intruksi yang jelas Membuat sistem penghargaan dan hukuman yang transparan Tujuan Menghindari kesalah pahaman Meningkatkan efisiensi kerja Menjaga kinerja bawahan Kepemimpinan transformasioanl Manajemen konflik Motivasi bawahan Menghindari perpecahan bawahan Membangun komitmen Meningkatkan sikap kerja positif bawahan Pertama, pemimpin level menengah harus dapat memberikan perintah dan instruksi yang jelas pada bawahannya mengenai pekerjaan yang ditugaskan kepadanya (Heifetz & Laurie, 1997). Kejelasan dalam memberikan perintah dan instruksi sangat dibutuhkan ketika bawahan harus melakukan pekerjaan yang baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Disaat pekerja 4

11 memiliki keterbatasan informasi mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan, seorang pemimpin harus dapat mengarahkan bawahannya sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan bawahannya (Bens, 2006). Kedua, pimpinan level menengah harus memiliki keterampilan untuk membuat sistem pengahrgaan dan hukuman yang transparan. Pada organisasi level menengah yang berurusan dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis, keterampilan pemimpin untuk mengkompromikan pengakuan dan sanksi bagi bawahan merupakan kemampuan penting untuk meningkatkan kinerja bawahan. Dengan memberikan apresiasi kepada pekerja atas pencapaian yang dilakukannya akan meningkatkan kepercayaan diri pekerja untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Sementara itu, dengan memberikan teguran dan hukuman bagi bawahan yang menyalahi aturan akan mengirimkan pesan pada pekerja lain bahwa tidak ada toleransi bagi yang menyalahi aturan dalam jalannya organisasi (Hornsby, Kuratko, & Zahra, 2002). Ketiga, keterampilan untuk melakukan manajemen konflik merupakan kemampuan yang penting untuk dimiliki pimpinan level menengah untuk menghadapi tantangan baru. Ketika organisasi publik memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dari sebelumnya, akan ada masalah yang hadir diantara para pekerja. Beberapa pekerja yang sudah nyaman dengan kondisi pekerjaan yang lama akan menjadi resisten untuk mengubah rutinitasnya mengikuti irama kerja yang baru. Sementara itu, organisasi dengan tugas dan fungsi yang baru akan memunculkan pekerja yang akan melihat tugas dan fungsi yang baru ini sebagai peluang untuk menunjukan kemampuan mereka. Perbedaan persepsi diantara para bawahan ini jika tidak dimediasi dengan baik akan menimbulkan konflik kepentingan diantara mereka. Oleh karena itu, pimpinan pada organisasi dengan tugas dan fungsi yang baru harus memilik keterampilan manajemen konflik yang tidak hanya penting untuk memediasi kepentingan para pekerja namun juga penting untuk membangun mental pembelajaran kelompok (Heifetz & Laurie, 1997). Keempat, keterampilan memberikan motivasi kepada bawahan untuk meningkatkan kemampuan teknisnya juga merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki pimpinan organisasi level menengah di KLHK untuk menghadapi prioritas pekerjaan baru. Ketika atasan memberikan motivasi kepada bawahan akan meningkatkan keterampilan kerjanan akan menumbuhkan sikap kerja positif seperti kepuasan kerja dan komitmen dalam pekerjaan (Goleman, 2004). Selain itu, dengan memberikan motivasi kepada bawahan akan membuat para 5

12 bawahan lebih terangsang secara intelektual untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dengan pendekatan yang berbeda (Bass, Waldman, Avolio, & Bebb, 1987). Oleh karena itu, ketika pimpinan memberikan motivasi kepada bawahan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknisnya akan memudahkan organisasi menghadapi tantangan baru. 5. Kesimpulan Untuk menghadapi tugas dan fungsi yang baru, pimpinan level menengah pada KLHK memainkan peran penting untuk menterjemahkan tujuan, strategi dan kebijakan KLHK kedalam kegiatan-kegiatan operasional. Agar dapat menghadapi tantangan tugas dan fungsi yang baru, seorang pemimpin level menengah setidaknya harus memiliki empat keterampilan penting yaitu keterampilan untuk memberikan perintah dan instruksi yang jelas, keterampilan untuk membuat sistem penghargaan dan hukuman yang transparan, keterampilan manajemen konflik dan keterampilan memberikan motivasi kepada bawahan untuk meningkatkan keterampilan kerjanya. 6. Rekomendasi Sebagai tindak lajut tulisan ini, diperlukan kajian empirik untuk membuktikan pengaruh gaya kepemimpinan pada organisasi level menengah di KLHK terhadap kinerja organisasi dan kepuasan pekerja. Daftar Pustaka Alban-Metcalfe, J., Samele, C., Bradley, M., Mariathasan, J., Alban-Metcalfe, J., Camara, J., Straw, R. (2007). The impact of leadership factors in implementing change in complex health and social care environments: NHS Plan clinical priority for mental health crises resolution teams. Bass, B. M., Waldman, D. A., Avolio, B. J., & Bebb, M. (1987). Transformational Leadership and the Falling Dominoes Effect. Group & Organization Management, 12(1), Beinecke, R. H. (2009). Introduction: Leadership for Wicked Problems. Innovation Journal, 14(1), Retrieved from Bens, I. (2006). Facilitating to lead!: Leadership strategies for a networked world. John Wiley & Sons. Floyd, S. W., & Wooldridge, B. (1994). Dinosaurs or dynamos? Recognizing middle management s strategic role. Academy of Management Executive, 8(4),

13 Floyd, S. W., & Wooldridge, B. (1997). Middle Management Strategic Influence and Organizational Performance. Journal of Management Studies, 34(May), Gatenby, M., Rees, C., Truss, K., Alfes, K., & Soane, E. (2014). Managing change, or changing managers? the role of middle managers in UK public service reform. Public Management Review, 17(8), Goleman, D. (2004). What makes a leader? Harvard Business Review, 82(1), Heifetz, R. A., & Laurie, D. L. (1997). The work of leadership. Harvard Business Review, 75, Hornsby, J. S., Kuratko, D. F., & Zahra, S. A. (2002). Middle managers perception of the internal environment for corporate entrepreneurship: assessing a measurement scale. Journal of Business Venturing, 17(3), Lassen, A. H., Waehrens, B. V., & Boer, H. (2009). Re-orienting the Corporate Entrepreneurial Journey: Exploring the Role of Middle Management. Creativity and Innovation Management, 18(1), Rainey, H. (2010). Understanding and Managing Public Organizations (4th ed.). San Fransisco: Jossey-Bass. Retrieved from Wang, X., Van Wart, M., & Lebredo, N. (2014). Sustainability Leadership in a Local Government Context. Public Performance & Management Review, 37(3), Wooldridge, B., Schmid, T., & Floyd, S. W. (2008). The Middle Management Perspective on Strategy Process: Contributions, Synthesis, and Future Research. Journal of Management (Vol. 34). SAGE Publications. 7

14 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi) Oleh: Sri Harteti 1 dan Kusumoantono 2 1 Widyaiswara Pusat Diklat SDM LHK 2 Widyaiswara Balai Diklat LHK Bogor Abstract Indonesia has a high level of biodiversity. But now, the degradation of biodiversity in Indonesia keeps happening. Because of that, many plants and wild animals extinct, one of them is Balinese Starling bird (Leucopsarrotschildi). The government already made some policies to solve the population degradation of wild animals, one of it is Policy of Forestry Minister P.19/Menhut-II/2005 I about the Captive Breeding of Plant and Wild Animals. This policy is already done by CV. SA Citeureup BF since December, The purpose of this study is to analyze the policy s implementation of Balinese Starling at CV. SA Citeureup BF. This study was done at February, The data s collection method is through observation, interview, and literature review. Data s analysis is done by policy s analysis and descriptive analysis. This study showed that CV. SA Citeureup BF already did captive breeding activity in a controlled environment. The origins of these birds are legal and there are 19 couples of them. The bird s marking activity was done through ring s placementand documented through sertificates. This captive breeding activity is done by proffesionals. The restocking of Balinese Starling to West Bali National Park was done and it is in line with government s policy P.19/Menhut-II/2005 about the Captive Breeding of Plants and Wild Animals. Key words: policy s implementation, captive breeding. Balinese Starling bird I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun saat ini, penurunan keanekaragaman hayati terus terjadi di Indonesia. Akibatnya banyak tumbuhan dan satwa liar yang punah. Oleh karena itu perlu upaya berbagai pihak untuk melestarikan tumbuhan dan satwa liar yang hampir punah tersebut. Salah satu jenis satwa liar yang hampir punah adalah burung jalak Bali (Leucopsar rotschildi). Penyebab utama terancamnya keberadaan burung ini adalah kerusakan hutan yang merupakan habitatnya dan meningkatnya intensitas perburuan terhadap burung tersebut. Menurut Kemenhut (2008), jalak Bali merupakan satwa endemik Bali (khususnya daerah bagian barat-utara) dan memiliki sebaran terbatas dengan jumlah populasi alami yang sangat kecil. Habitat mengalami penyusutan drastis baik kualitas maupun kuantitas. Ancaman utama terhadap populasi berasal dari perburuan. Jalak Bali dimasukkan kedalam kategori Kritis oleh

15 International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan terdaftar dalam Apendiks I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Beberapa kebijakan telah dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi penurunan populasi burung jalak Bali. Kebijakan tersebut diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional , dan Rencana Induk (Grand Design) Pelestarian Curik Bali di Taman Nasional Bali Barat Salah satu kebijakan yang telah diimplementasikan adalah penangkaran jalak Bali. Penangkaran jalak Bali telah dilakukan oleh CV. SA Citeureup BF. CV. SA Citeureup BF sejak bulan Desember 2012 telah melakukan kegiatan penangkaran tersebut. Lokasi penangkaran berada di Bogor, Jawa Barat. Penangkaran tersebut bertujuan untuk meningkatkan ekonomi dan ikut serta dalam kegiatan konservasi. Untuk menilai implementasi penangkaran yang dilakukan CV. SA Citeureup BF, perlu dikaji kesesuaian implementasi kebijakan penangkaran yang dilakukan tersebut dengan peraturan perundangan terkait. B. Rumusan Masalah Penangkaran jalak Bali harus dilakukan secara profesional yaitu dengan manajemen yang baik, penguasaan teknik penangkaran yang tepat dan kesediaan sarana dan prasarana yang memadai sehingga mencapai target yang diinginkan yaitu peningkatan populasi. Untuk mendapatkan informasi menyeluruh tentang implementasi penangkaran burung jalak Bali di CV. SA Citeureup BF, perlu dikaji bagaimana kebijakan penangkaran jalak Bali diimplementasikan. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah: Bagaimana kebijakan penangkaran jalak Bali diimplementasikan? C. Tujuan Kajian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan penangkaran jalak Bali di CV. SA Citeureup BF.

16 II. METODOLOGI KAJIAN Kajian ini dilakukan di CV. SA Citeureup BF yang berada di Bogor, Jawa Barat. Kajian ini dilaksanakan pada bulan Februari Alat yang digunakan dalam kajian ini adalah alat tulis, meteran, perekam suara, dan kamera. Instrumen yang digunakan dalam kajian ini adalah panduan wawancara. Jenis data yang dikumpulkan dalam kajian berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi. Wawancara menggunakan panduan wawancara dengan unit sampel yaitu direktur, komisaris, dan karyawan CV. SA Citeureup BF dan petugas Balai Besar Konservasi SumberDaya Alam Jawa Barat. Jumlah responden sebanyak 8 orang. Kegiatan observasi dilakukan terhadap aktivitas penangkaran jalak Bali yang dilakukan penangkar. Selain itu dilakukan pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka. Pustaka dikumpulkan melalui Laporan Rencana Kerja Tahun 2017, laporan bulanan dan peraturan perundangan terkait penangkaran tumbuhan dan satwa liar. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen peraturan perundangundangan. Teknik analisis data dilakukan melalui analisis peraturan dan analisis deskriptif. Analisis peraturan perundang-undangan dilakukan terhadap P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. III. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN JALAK BALI Implementasi kebijakan penangkaran Jalak Bali dianalisis dengan peraturan perundangan yaitu P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Hasil analisis peraturan diuraikan di bawah ini: A. Bentuk Penangkaran Kegiatan penangkaran yang dilakukan CV. SA Citeureup BF adalah pengembangbiakan satwa. Hal ini sesuai dengan pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 bahwa pengembangbiakan satwa adalah kegiatan penangkaran berupa perbanyak individu melalui cara reproduksi kawin maupun tidak kawin dalam lingkungan buatan dan atau semi alami serta terkontrol dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Menurut pasal 4 bahwa penangkaran tumbuhan dan satwa liar berbentuk: pengembangbiakan satwa, pembesaran satwa dan perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang terkontrol. Adapun pengembangbiakan satwa terdiri dari: pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol (captive breeding) dan pengembangan populasi berbasis alam (wild based population management). Berdasarkan pasal 4 tersebut

17 maka bentuk penangkaran burung jalak Bali yang dilakukan CV. SA Citeureup BF adalah pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol (captive breeding). Pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol merupakan kegiatan memperbanyak individu anakan melalui cara-cara reproduksi dari spesimen induk baik kawin (sexual) maupun tidak kawin (asexual) di dalam lingkungan terkontrol. Lingkungan terkontrol merupakan lingkungan buatan di luar habitat alaminya, yang dikelola untuk tujuan memproduksi jenis-jenis satwa tertentu dengan membuat batas-batas yang jelas untuk mencegah keluar masuknya satwa, telur atau gamet, baik berupa kandang, kolam dan sangkar maupun lingkungan semi alam. Lingkungan terkontrol berupa kandang, kolam dan sangkar. Syarat lingkungan terkontrol untuk pengembangbiakan satwa adalah: 1) Adanya fasilitas yang berbeda untuk penempatan induk dan keturunannya serta penempatan spesimen yang sakit. CV. SA Citeureup BF memiliki 4 jenis kandang yaitu kandang inkubator, kandang pembesaran, kandang peraga dan kandang kawin. Namun untuk burung yang sakit belum disediakan kandang khusus. Perlakuan untuk burung yang sakit adalah dilakukan perawatan makan, minum, obat dan vitamin. Empat jenis kandang yang dimiliki CV. SA Citeureup BF adalah: a. Anak burung jalak Bali (piyik) yang berumur 7-30 hari ditempatkan di kandang inkubator yang berukuran panjang 50 cm, lebar 90 cm dan tinggi 67 cm (Gambar 1). Suhu pada inkubator berkisar antara o C. Tujuan penempatan piyik pada kandang inkubator adalah membesarkan piyik agar bulu badannya tumbuh rapat sehingga mampu hidup di luar kandang inkubator. Gambar 1. Kandang inkubator b. Anak burung jalak Bali yang berumur 1-2 bulan ditempatkan di kandang pembesaran yang tidak permanen (Gambar 2). Fungsi kandang pembesaran adalah untuk melatih anak burung agar bisa makan sendiri dan badannya lebih kuat.

18 Gambar 2. Kandang pembesaran c. Anak burung jalak Bali yang berumur lebih dari 2 bulan ditempatkan di kandang peraga (Gambar 3). Kandang ini berukuran panjang 2.5 m, lebar1,7 m dan tinggi 2.5 m. Kandang ini berfungsi untuk membesarkan burung agar siap dijual dan dijadikan induk. Gambar 3. Kandang peraga d. Induk burung jalak Bali yang berumur 2 tahun ditempatkan di kandang kawin yang dibangun permanen dengan ukuran panjang 3 m, lebar 1 meter dan tinggi 3 meter (Gambar 4). Fungsi kandang tersebut adalah tempat berkembang biak. Jumlah kandang yang tersedia sebanyak 28 unit yang diisi satu pasang burung jalak Bali per kandang.

19 Gambar 4. Kandang kawin 2) Adanya pembuangan limbah, fasilitas kesehatan, perlindungan dari predator dan penyediaan pakan. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan penangkaran jalak Bali di CV. SA Citeureup BF adalah kotoran burung dan sisa pakan. Limbah ini dikumpulkan dan dibuang ke dalam lubang untuk dijadikan pupuk. Fasilitas kesehatan yang disediakan adalah obat-obatan dan vitamin (Gambar 5). Gambar 5. Obat-obatan dan vitamin untuk burung jalak Bali Menurut Mas ud (2010) bahwa, faktor penting lain yang harus diperhatikan adalah makanan, karena makanan merupakan unsur penting bahkan sebagai faktor pembatas bagi usaha penangkaran. Jenis-jenis makanan burung jalak Bali adalah pisang kepok, pepaya, pur, dan jangkrik (Gambar 6). Untuk induk burung jalak Bali di kandang kawin diberikan 1 buah pisang kepok dan 1 potong pepaya, serta ekor jangkrik setiap hari. Sesuai dengan pernyataan Dimitra dkk (2013), Pakan nabati yang diberikan yaitu pisang atau pepaya diberikan setiap hari pada pagi hari setelah kandang dibersihkan.

20 Untuk piyik diberikan pur yang dicampur dengan air panas. Pemberian makanan kepada piyik dilakukan dengan menyedokkan makanan tersebut ke mulutnya. Gambar 6. Pakan burung jalak Bali 3) Memberikan kenyamanan, keamanan dan kebersihan lingkungan sesuai dengan kebutuhan spesimen yang ditangkarkan. Kegiatan membersihkan kandang di. SA Citeureup BF dilakukan setiap hari mulai jam WIB. Kandang kawin disemprot 1 bulan 1 kali dengan obat agar kandang dalam kondisi steril. Tempat minum dan mandi burung jalak Bali yang terbuat dari keramik dilakukan pergantian air setiap pagi hari. B. Pengadaan dan Legalitas Asal Induk Asal usul induk burung Jalak Bali CV. SA Citeureup BF adalah pembelian sah dari hasil penangkaran jalak Bali. Jumlah induk awalnya adalah 19 pasang jalak Bali. Dengan demikian asal usul induk burung Jalak Bali CV. SA Citeureup BF sudah sesuai dengan pasal 6 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005. Bunyi peraturan tersebut yaitu induk satwa untuk keperluan pengembangbiakan dapat diperoleh dari: penangkapan satwa

21 dari habitat alam; sumber-sumber lain yang sah seperti: hasil penangkaran, luar negeri, rampasan, penyerahan dari masyarakat, temuan, lembaga konservasi. C. Pelaksanaan Pengembangbiakan Pasal 16 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan untuk menjaga kemurnian jenis satwa, pengembangbiakan satwa dilakukan dengan jumlah paling sedikit dua pasang atau bagi jenisjenis satwa yang poligamus minimal dua ekor jantan. Hal ini sudah dipenuhi oleh CV. SA Citeureup BF yaitu jumlah induk burung yang digunakan CV. SA Citeureup BF adalah 19 (Sembilan belas) pasang burung jalak Bali. D. Penandaan dan Sertifikasi Penandaan pada hasil penangkaran merupakan pemberian tanda bersifat permanen pada bagian tumbuhan dan satwa dengan menggunakan teknik tagging/banding, cap (marking), transponder, pemotongan bagian tubuh, tattoo dan label yang mempunyai kode berupa nomor, huruf atau gabungan nomor dan huruf. Tujuan penandaan adalah untuk membedakan antara induk dengan induk lainnya, antara induk dengan anakan dan antara anakan dengan anakan lainnya serta antara spesimen hasil penangkaran dengan spesimen dari alam. Pasal 59 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan tanda untuk jenis-jenis burung hidup berbentuk cincin tertutup. Penandaan dengan cincin ini telah dilakukan oleh CV. SA Citeureup BF. Pemberian tanda ini merupakan kartu identitas bagi status satwa yang dikoleksi. Mengingat pentingnya kepastian status hukum Tumbuhan Satwa Liar, maka kegiatan penandaan menjadi salah satu prioritas bagi Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang di wilayahnya terdapat individu, lembaga konservasi, penangkar, dan pusat penyelamatan satwa (PPS) yang mengoleksi satwa liar. CV. SA Citeureup BF melakukan pemasangan cincin pada piyik berumur 7 hari yang dipasang pada kaki kanannya. Sertifikasi hasil penangkaran dilaksanakan oleh unit penangkaran dan disahkan oleh Kepala BKSDA. Kegiatan sertifikasi hasil penangkaran adalah: pemeriksaan asal usul, pemeriksaan identitas individu spesimen dan pendokumentasian dalam sertifikat. CV. SA Citeureup BF telah mendokumentasikan kegiatan tersebut dalam bentuk sertifikat (Gambar 7)

22 Gambar 7. Sertifikat burung jalak Bali E. Standar Kualifikasi Penangkaran Standar kualifikasi penangkaran merupakan standar bagi hasil penangkaran yang dinyatakan telah layak untuk dijual. Menurut pasal 64 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, standar kualifikasi penangkaran ditetapkan berdasarkan pertimbangan: a. Batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran Jenis burung yang ditangkarkan CV. SA Citeureup BF adalah jalak Bali yang merupakan jenis satwa yang dilindungi. Berdasarkan data pada tahun 2015 bahwa CV. SA Citeureup BF telah memiliki induk jantan 25 ekor dan induk betina 26 ekor. Pada tahun 2016 produksi jalak Bali adalah F3 sebanyak 39 ekor, F4 sebanyak 50 ekor dan F5 sebanyak 66 ekor (CV. SA Citeureup BF, 2017). Kondisi tersebut menunjukkan kemampuan reproduksi atau pembiakan jalak Bali di penangkaran terus terjadi setiap tahun. b. Profesionalisme kegiatan penangkaran Struktur organisasi CV. SA Citeureup BF yaitu tenaga ahli 1 orang, perawat satwa/keeper 2 orang dan tenaga administrasi 1 orang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa CV. SA Citeureup BF telah mempunyai tenaga ahli yang berpengalaman. Berdasarkan observasi di penangkaran, maka sarana prasarana yang tersedia kandang inkubator, kawin/perkembangbiakan, pembesaran dan pemeliharaan. Legalitas asal induk sudah terpenuhi yaitu berasal dari hasil penangkaran yang telah memiliki izin. Kegiatan penandaan dilakukan dengan pemasangan cincin dan pemberian sertifikat.

23 c. Tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan Berdasarkan tingkat kelangkaan maka status perlindungan adalah burung dilindungi yang merupakan satwa endemik di Pulau Bali. Populasi di alam menunjukkan penurunan. Keadaan populasi di penangkaran pada bulan Desember tahun 2016 adalah F3 sebanyak 73 ekor, F4 sebanyak 107 ekor dan F5 sebanyak 130 ekor F. Pengembalian ke Habitat Alam (Restocking) dan Status Purna Penangkaran Pasal 71 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan setiap penangkar yang melakukan penangkaran wajib melakukan pengembalian ke habitat alamnya spesimen tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran dari jenis yang dilindungi yang telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran sedikitnya 10% dari hasil penangkaran. Pengembalian tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran dilakukan bila: nilai genetik tinggi, mendekati induk, bibit atau benihnya; populasi di alam rendah; bebas penyakit; tidak cacat fisik; mampu bertahan di alam; habitat pelepasan merupakan daerah penyebaran; habitat pelepasan secara teknis mampu mengakomodasi kehidupan satwa; memperhatikan perilaku satwa. Saat ini hasil penangkaran Jalak Bali CV. SA Citeureup BF telah dimanfaatkan untuk restocking atau pengembalian ke habitat alaminya yaitu Taman Nasional Bali Barat. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Hasil kajian ini menunjukkan bahwa CV. SA Citeureup BF telah melaksanakan kegiatan penangkaran burung jalak Bali yang sesuai dengan peraturan perundangan yaitu P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Bentuk penangkaran yang dilakukan adalah pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol (captive breeding). Asal usul induk burung jalak Bali legal dari hasil penangkaran dengan jumlah induk 19 pasang burung. Kegiatan penandaan melalui pemasangan cincin pada piyik telah dilakukan dan didokumentasikan melalui sertifikat. Jumlah populasi burung jalak Bali yang ditangkarkan mengalami peningkatan. Kegiatan penangkaran dilakukan oleh tenaga ahli yang profesional. Kegiatan pengembalian ke habitat alam (restocking) telah dilakukan ke Taman Nasional Bali Barat.

24 B. Rekomendasi Rekomendasi dari hasil kajian ini adalah: 1. Perlu menyediakan kandang khusus untuk burung jalak Bali yang sakit. 2. Perlu upaya pendataan populasi burung jalak Bali yang lebih detil yaitu laju kematian, daya tetas telur dan perkembangbiakan induk sehingga bisa ditentukan tingkat keberhasilan penangkaran secara detil. DAFTAR PUSTAKA CV. SA Citeureup BF Rencana Kerja Tahunan (RKT) Tahun 2017 Penangkaran Burung Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi) yang Dilindungi UU Generasi F2 dan Seterusnya Milik CV. SA Citeureup BF. CV. SA Citeureup BF. Bogor. Dimitra A., Mustofa I., Kusnoto, Legowo,D., Kusumawati D., Setiawan B Studi Perilaku Pasangan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) pada Kandang Breeding di Kebun Binatang Surabaya. Veterinaria Medika. 6(1): Kementerian Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Kementerian Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional Kementerian Kehutanan. Jakarta. Kementerian Kehutanan Rencana Induk (Grand Design) Pelestarian Curik Bali di Taman Nasional Bali Barat Taman Nasional Bali Barat, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan. Jembrana. Mas ud B Teknik Menangkarkan Burung Jalak di Rumah. IPB Press. Bogor.

25 Jadi PARALEGAL? Penyuluh Kehutanan juga bisa... Oleh : Yumi Angelia Saat ini paralegal sedang menjadi tren pembicaraan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pembicaraan tentang paralegal seringkali dikaitkan dengan program Perhutanan Sosial. Apa sebenarnya palalegal dan peranannya dalam Perhutanan Sosial? Mengapa akhirakhir ini begitu sering dibicarakan? Siapa saja yang dapat menjadi paralegal? Target program nasional Perhutanan Sosial 12,7 juta hektar yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi menjadi PR berat bagi Kementerian Lingkunan Hidup dan Kehutanan. Sampai dengan tahun 2017, dalam kurun waktu dua tahun pencapaian target tersebut baru 4% ( hektar Kompas, Oktober 2017). Sedangkan proses pemetaan batas kawasan secara partisipatif telah mencapai 68,20% menurut Koordinator Jaringan Pemetaan Partisipatif tetapi masih menyisakan konflik. Berbagai kendala dan permasalahan dikemukakan, di antaranya masih lemahnya pendampingan di tingkat tapak. Untuk meningkatkan pendampingan masyarakat dalam Perhutanan Sosial termasuk di antaranya pencegahan dan pendampingan pasca konflik di masyarakat sangat diperlukan peran paralegal. Paralegal adalah seorang yang bukan advokat namun memiliki pengetahuan di bidang hukum, dengan pengawasan advokat atau organisasi bantuan hukum berperan membantu masyarakat pencari keadilan. Paralegal dapat bekerja sendiri di dalam komunitasnya atau bekerja untuk organisasi bantuan hukum atau firma hukum.

26 Peran Paralegal Fungsi dan peran paralegal antara lain: (a) memberikan bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan, (b) melakukan penguatan organisasi masyarakat, (c) melakukan investigasi/ monitoring terhadap suatu kasus, (d) melakukan pendokumentasian hukum (kronologi suatu kasus), (e) pengumpulan bukti-bukti dan pencatatan sejarah kasus, dan (f) melakukan pelaporan-pelaporan. Dikaitkan dengan konflik tenurial yang sering ditemui dalam program Perhutanan Sosial, peran paralegal antara lain: (a) mendidik dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hakhaknya; (b) memberikan informasi hukum yang dapat melindungi mereka; (c) memberikan informasi mengenai skema Perhutanan Sosial yang dapat menjadi salah satu solusi untuk konflik tenurial; (d) memberikan penjelasan bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam program Perhutanan Sosial untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Siapa yang dapat menjadi paralegal dan apa syaratnya? Untuk menjadi paralegal, syarat paling utama adalah mengikuti pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan keparalegalan. Setiap paralegal harus memegang kode etik, antara lain: (a) menjunjung tinggi nilai keadilan, kebenaran dan hak-hak asasi manusia; (b) memiliki rasa percaya diri dan keberanian untuk menegakkan keadilan dengan berbagai resiko; dan (c) tidak menyalahgunakan peranannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Siapa saja dapat menjadi paralegal, tidak harus seorang sarjana hukum atau mengenyam pendidikan hukum di perguruan tinggi. Misalnya pemimpin komunitas, ketua adat, pemuka agama, tokoh pemuda, mahasiswa, guru, penyuluh dan lainnya asalkan telah memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dasar keparalegalan. Penyuluh sangat potensial menjadi paralegal Program Perhutanan Sosial tidak pernah lepas dari permasalahan konflik tenurial. Menurut data dari Direktorat Penanganan Konflik dan Hutan Adat, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan jumlah pengaduan konflik tenurial kawasan hutan dan hutan adat sampai dengan Mei 2017 sebanyak 220 kasus. Ini baru jumlah yang dilaporkan, masih banyak yang tidak dilaporkan. Konflik tenurial hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Dalam melaksanakan tugas pendampingan masyarakat di tingkat tapak, Penyuluh Kehutanan seringkali menemui permasalahan konflik tenurial di tengahtengah masyarakat. Namun karena

27 ketidakpahamannya seringkali Penyuluh mengambil sikap menghindar dan bukan mencari solusi. Penyuluh Kehutanan di seluruh Indonesia saat ini berjumah orang yang tersebar ke 34 provinsi, UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta di Pusat Penyuluhan. Penyuluh Kehutanan selama ini hidup bersama dan mendampingi masyarakat sehingga tidak menemui kesulitan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Penyuluh Kehutanan Prov. Kalimantan Barat sedang melakukan peran paralegal: berdialog dengan KTH tentang permasalahan konflik tenurial Memperhatikan peran paralegal dalam masyarakat sebagaimana diuraikan di atas, beberapa peran paralegal sama dengan tugas pokok Penyuluh Kehutanan yang selama ini telah dilakukan. Penyuluh kehutanan memiliki tugas untuk membentuk dan membina organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) di tingkat tapak. Dengan demikian penyuluh kehutanan sudah memiliki modal untuk berperan sebagai paralegal yaitu mengorganisasikan masyarakat. Bagaimana Penyuluh Kehutanan dapat menjadi paralegal? Pertama-tama Penyuluh Kehutanan perlu memiliki sertifikat paralegal sebagai bukti penguasaan pengetahuan dan ketrampilan mengenai keparalegalan. Memang belum banyak pelatihan paralegal diadakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat ini Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang memfasilitasi kegiatan pelatihan paralegal. Kedua Penyuluh Kehutanan perlu meningkatkan pemahaman mengenai : (a) kasus hukum perdata/pidana, (b) alur dan proses pemeriksaan hukum, (c) kedudukan hak dan kewajiban terkait pemeriksaan hukum; dan (d) asas hukum yang berlaku baik proses hukum skema litigasi (melalui peradilan) maupun non litigasi. Penyuluh Kehutanan harus memahami dan menguasai peraturan perundangan terkait permasalahan yang dihadapi masyarakat. Terkait program Perhutanan Sosial, khususnya penanganan konflik tenurial dan hutan adat, Penyuluh Kehutanan wajib memahami: (1) Undang- Undang No.7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, (2) Peraturan MenLHK No. P.32/Menhut-Setjen/2015 tentang Hutan Hak; (3) Peraturan MenLHK No. 84/Menlhk-Setjen/2015 tentang Penanganan Konflik Tenurial di Kawasan Hutan; (4) Peraturan MenLHK No. 83/Menlhk-Setjen/2016 tentang

28 Perhutanan Sosial; (5) Peraturan Dirjen PSKL Nomor : P.1/PSKL/Set/Kum.1/2/2016 tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak; (6) Peraturan Dirjen PSKL Nomor : P.4/PSKL/SET/PSL.1/4/2016 tentang Mediasi Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan; dan (7) Peraturan Dirjen PSKL Nomor : P.6/PSKL/Set/Kum.1/5/2016 tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial dan Hutan Adat. Ketika akan memilih penyelesaian kasus dengan litigasi, perlu diketahui skema litigasi kasus perdata berbeda dengan pidana. Kasus perdata dimulai dengan pendaftaran, pengajuan gugatan, pemeriksaan dan tawaran perdamaian (mediasi), persidangan dan eksekusi. Sedangkan kasus pidana dimulai dengan pelaporan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi putusan pengadilan. Penyuluh kehutanan seringkali memilih skema non litigasi, yaitu penyelesaian dengan cara kekeluargaan, negosiasi, mediasi dan arbitrasi. Ketiga menjalin hubungan kerja dengan organisasi dan kelompok lain untuk mendapatkan dukungan terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Penyuluh Kehutanan umumnya sudah memiliki jaringan kerja yang cukup luas di masyarakat. Jejaring kerja ini perlu terus dipelihara bahkan diperluas sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan konflikkonflik di masyarakat. Penyuluh Kehutanan Prov. Sulawesi Utara bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mendampingi masyarakat pengurusan ijin HKm sebagai salah satu solusi konflik tenurial. Keempat Penyuluh kehutanan dapat mewakili, mendampingi dan atau memberikan bantuan hukum pada masyarakat dalam penyelesaian kasus di hadapan pemerintah, pengadilan atau forum pengadilan lainnya. Penyuluh kehutanan dapat membantu masyarakat membuat surat laporan kasus/masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang didampinginya. Tidak ada format baku untuk surat laporan tersebut, tetapi minima harus memuat: (1) nama Pelapor; (2) Jabatan; (3) Waktu kejadian; (4) tempat kejadian; (5) akibat yang ditimbulkan; dan (6) langkah yang diambil. Dengan kata lain, inti laporan memuat 5W 1 H (Who, What, When, Where, Why dan How). Who: siapa pelaku dan siapa yang mengalami kejadian. What : apa yang terjadi secara detail dalam kejadian tersebut. When : kapan waktu terjadinya kejadian. Where: dimana lokai terjadinya kejadian. Why:

29 kenapa kejadian tersebut terjadi. How: bagaimana kejadian tersebut bisa terjadi. Kelima penyuluh kehutanan dapat membimbing, memberi nasehat hukum dan melakukan mediasi dalam perselisihan yang terjadi di antara anggota masyarakat. Permasalahan Percepatan pencapaian target Perhutanan Sosial tidak dapat mengesampingkan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM). Peningkatan jumah personil dan kompetensi pendamping di tingkat tapak perlu mendapat perhatian. Keragaman permasalahan di tingkat tapak membutuhkan tenaga pendamping yang handal. Penambahan tenaga pendamping dengan meningkatkan keterlibatan penyuluh kehutanan dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) perlu mendapat prioritas. Demikian juga pengadaan tenaga paralegal dari tokoh agama, tokoh masya- masyarakat, generasi muda di masyarakat dapat menjadi solusi bagi pencegahan dan penanganan konflik dalam kegiatan Perhutanan Sosial. Perekrutan tenaga pendamping dan tenaga paralegal serta penyelenggaraan pelatihan untuk peningkatan kompetensi SDM dimaksud perlu mendapat alokasi anggaran yang cukup. Hal ini menjadi salah satu titik lemah dalam kegiatan Perhutanan Sosial. Menitikberatkan LSM sebagai pendamping dan paralegal semata akan sulit mengejar ketinggalan pencapaian target untuk 2 tahun ke depan. Sudah saatnya semua unit kerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersatu saling bahu membahu mendukung pencapaian target program nasional. Slogan Forum Perhutanan Sosial Nusantara Sudah saatnya untuk Rakyat membutuhkan kepedulian dan komitmen bersama seluruh unsur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mewujudkannya. Pelatihan paralegal tanggal September 2017 bagi 40 orang Penyuluh Kehutanan di Pusat dan Provinsi difasilitasi Direktorat Penangan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Ditjen PSKL bekerja sama dengan Conflict Resolution Unit (CRU) dan World Resources Institute (WRI).

30 Penerapan Payment for Environmental Service (PES) di Indonesia Oleh Anna Indria Witasari Widyaiswara Pusat Diklat SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Abstract Payment for environment services (PES) is a scheme to provide incentive to manage and to protect environment in order to maintain environmental function, to sell carbon credit, to maintain biodiversity and water service at a national as well as at an international level, and other functions. PES is market-based. Despite the positive outcomes of the implementation of PES scheme in several countries including in Indonesia such as increased forest cover recovery and water conservation, there are also several things need to be taken into account during the implementation. They include: inconsistent and overlapped policies, insecure property rights, non voluntary participation, and issue of sustainability. Key words: PES, environmental service, incentive, voluntary participation. Pendahuluan Ekosistem adalah kombinasi interaksi antara: komponen biologi seperti hewan, tanaman, mikroorganisme, dan sebagainya dengan komponen fisik seperti air, udara, tanah dan sebagainya (Herbert, Vonada, Jenkins, & Bayon, 2010). Ekosistem menyediakan berbagai manfaat yang meliputi: keaneka ragaman hayati, sumber daya air, mengatur iklim mikro, mengendalikan penyakit, dan lain sebagainya. Karena perannya yang sangat penting untuk mendukung seluruh kehidupan, maka ekosistem harus tetap dipertahankan kualitasnya. Ke semua manfaat tersebut disebut: jasa lingkungan. Herbert, Vonada, Jenkins, & Bayon, (2010) mendefinisikan jasa lingkungan sebagai berbagai kondisi dan proses dimana ekosistem alam dan spesies yang merupakan bagian dari ekosistem mempertahankan dan memenuhi kehidupan manusia. Atau dengan kata lain, manfaat yang diperoleh manusia dari ekosistem. Manfaat lingkungan yang merupakan manfaat tidak langsung dari hutan antara lain: jasa karbon, transportasi air, konservasi air, perlindungan tanah bagian atas (topsoil), dan perlindungan terhadap banjir. Manfaat tidak langsung tersebut lebih tinggi nilainya daripada 1

31 nilai ekonomi hutan seperti: hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (Prasetyo, Soewarno, Purwanto, & Hakim, 2009). Terkait manfaat lingkungan dari keberadaan hutan di Indonesia, manfaat lingkungan tersebut tidak terbatas pada tingkat nasional saja, namun juga pada tingkat internasional. Terutama fungsi hutan sebagai penyedia karbon. Namun, sejalan dengan perkembangan waktu, hutan alam di Indonesia semakin mengalami kerusakan. Kebakaran hutan yang terjadi beberapa tahun belakangan juga semakin memperburuk kondisi hutan di Indonesia. Pada tahun 2015, hutan yang terbakar adalah seluas ,44 hektar (Anonim, 2016) Demikian pula, kerusakan hutan akibat pembalakan liar. Dengan rusaknya hutan maka manfaat yang dapat diperoleh akan semakin berkurang, baik manfaat langsung seperti hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu. Upaya yang dilakukan guna merehabilitasi hutan dan mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan antara lain dengan menerapkan skema pembayaran untuk jasa lingkungan (Payment for Environmental Services). Payment for environment services (PES) adalah suatu skema untuk menyediakan insentif baik dalam bentuk uang atau bukan uang bagi pengelola lahan untuk mengelola dan melindungi lingkungan guna mempertahankan fungsi ekosistem yaitu berupa supply karbon, keaneka ragaman hayati dan jasa air di tingkat nasional dan internasional, keindahan alam, perlindungan daerah aliran sungai, dan sebagainya. Skema PES berbasis mekanisme pasar dan bersifat sukarela dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan (Herbert, Vonada, Jenkins, & Bayon, 2010; Montagnini & Finney, 2011). Seperti halnya di negara-negara lain, skema PES juga semakin populer di Indonesia guna mengatasi masalah lingkungan. Dengan kata lain skema PES digunakan untuk melindungi lingkungan. Pemerintah setempat dan masyarakat tertarik dengan skema PES karena: kegagalan penerapan kebijakan yang sifatnya perintah dan mengendalikan dari Pemerintah Pusat. Dengan desentralisasi yang membuat pemerintah setempat memiliki wewenang mengatur daerahnya sendiri, maka skema PES dianggap suatu alternatif untuk mengelola sumber daya alam. Selain itu, pada skema PES masyarakat diikutsertakan dalam pelaksanaannya (Fauzi & Anna, 2013). Walau konsep PES semakin populer diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia guna melindungi lingkungan, perlu diidentifikasi isu yang ada di tingkat lapangan berdasarkan penerapan PES yang telah dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia. Hal ini bertujuan agar penerapan PES dapat mencapai sasaran sesuai yang diharapkan. 2

32 Lokasi Penerapan PES di Indonesia Konsep PES pertama kali diperkenalkan pada tahun 2002 di Indonesia dengan beberapa lokasi proyek percontohan seperti di Cidanau (propinsi Banten), Brantas (propinsi Jawa Timur), dan Lombok Barat (propinsi Nusa Tenggara Barat). Selanjutnya, proyek-proyek percontohan juga dilaksanakan di Sumber Jaya (propinsi Lampung), Kuningan-Cirebon (propinsi Jawa Barat), Sungai Wain (propinsi Kalimantan Timur), dan sebagainya (Fauzi and Anna, 2013). Beberapa lokasi diinisiasi oleh The World Agroforestry Centre (ICRAF) melalui program Rewarding Upland Poor for Environmental Services (RUPES) (Amalia & Syahril, 2016). Sebagian besar skema PES dilaksanakan di areal pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai yang melibatkan berbagai sektor dan berbagai tingkat pengelolaan (Fauzi & Anna, 2013). Dalam pelaksanaan skema PES di Indonesia, dapat terjadi beberapa instansi terlibat ataupun hanya antara penyedia (seller) dan pengguna (buyer). Pada lokasi PES di Cidanau Banten sebagai contoh, ada beberapa instansi yang berkerjasama (Amalia & Syahril, 2016) yang disebut Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC). Instansi-instansi tersebut adalah: Krakatau Tirta Industri (KTI), Kementerian Pekerjaan Umum, Kelompok Tani Hutan (KTH), LSM Rekonvasi Bhumi, PDAM, dan PLN (Amalia and Syahril, 2016). Selain itu Skema PES di Gunung Rinjani Lombok yang melibatkan: LP3ES yang dilanjutkan WWF dan KONSEPSI (LSM), masyarakat di hulu sungai, masyarakat kota Mataram, PDAM, dan Dinas Kehutanan (Amalia & Syahril, 2016; Fauzi & Anna, 2013; Prasetyo, Soewarno, Purwanto, & Hakim, 2009). Sementara itu, yang langsung antara penyedia dan pengguna PES antara lain: skema PES di Sumber Jaya Lampung antara Pembangkit Listrik Tenaga Air Way Besai dan masyarakat yang tinggal di hulu sungai (Fauzi & Anna, 2013). Isu-isu Pelaksanaan PES di Tingkat Tapak Sejak PES diinisiasi di Indonesia tahun 2002 antara lain oleh the World Agroforestry Centre (ICRAF) melalui program Rewarding Upland Poor for Environmental Services (RUPES) hingga 2016, beberapa hal yang ditemukan di tingkat tapak adalah: 1. Peraturan dan Fiskal Menurut Fauzi & Anna (2013), berdasarkan riset yang dilakukan di dua lokasi pelaksanaan PES yaitu: di Sumber Jaya Lampung dan Gunung Rinjani Lombok, masalah yang dominan adalah: peraturan dan fiskal selain hak kepemilikan (property right). Skema PES pada umumnya dilaksanakan di areal hutan negara. Terutama di hutan lindung dan 3

33 konservasi, masalah klasik yang dihadapi adalah adanya peraturan yang tumpang tindih dan kadang bertentangan satu sama lain. Peraturan-peraturan tersebut dikeluarkan oleh berbagai instansi. Peraturan-peraturan tersebut adalah: Undang-undang No. 5/1960 tentang Undangundang Pokok Agraria, Undang-undang No.41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 26/2007 tentang Tata Ruang, Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, Undang-undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, Undangundang No. 32/2004 tentang Otonomi Wilayah., Undang-undang No. 4/2009 tentang Batubara dan Tambang, Undang-undang No. 17/2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara, Undang-undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah, Undang-undang No. 20/1997 tentang Penghasilan Bukan Pajak, Undang-undang No. 33/2004 tentang Keseimbangan Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Undang-undang No. 9/1985 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Peraturan Pemerintah No. 34/2002 tentang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah No. 3/2008 tentang Pemerintahan Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 10/2010 tentang Perubahan Penggunaan Lahan di Areal Hutan, Peraturan Pemerintah No. 42/2009 tentang Pembiayaan Hutan, Peraturan Pemerintah No. 22/1997 tentang Penghasilan Bukan Pajak (Fauzi & Anna, 2013). Beberapa peraturan tersebut dalam pelaksanaannya kadang kala saling bertentangan. Sebagai contoh: untuk pelaksanaan skema PES yang tidak melibatkan pemerintah, pembayaran antara penjual dan pembeli dapat dilakukan langsung tanpa perlunya dasar aturan. Namun, bila skema PES tersebut semi publik (melibatkan pemerintah) maka akan ada masalah fiskal. Peraturan No. 28/2009, No. 17/2003, dan No. 20/1997 tidak mengakui adanya pendapatan dari jasa lingkungan. Dengan demikian pendapatan dari PES dianggap pendapatan lain. Akibatnya, pendapatan yang diperoleh dari PES disimpan pada Dinas Kehutanan dan dapat digunakan untuk kepentingan lain selain jasa lingkungan (Fauzi & Anna, 2013). Maka, dana tersebut dapat tidak mencapai sasarannya yaitu untuk keperluan jasa lingkungan. Peraturan lainnya terkait dengan biaya penggunaan air. Undang-undang No. 28/2009 mengijinkan pengenaan biaya air baik di permukaan atau di dalam tanah. Namun, Peraturan Pemerintah No. 34/2002 menyatakan bahwa pemanfaatan air merupakan bentuk jasa lingkungan. Sehingga air yang berada di areal hutan merupakan pendapatan kehutanan. Undang-undang No. 7 tahun 2004 yang menyatakan bahwa air untuk kebutuhan dasar dan pertanian tidak dikenakan biaya. Akibatnya, sangat sulit untuk menetapkan pembayaran untuk penggunaaan air (Fauzi & Anna, 2013). Demikian juga peraturan-peratuan lain yang saling 4

34 tumpang tindih dan bertentangan. Karenanya, hal ini menyulitkan pelaksanaan PES dan pelaksanaan PES tidak mecapai tujuannya secara optimal. Terkait peraturan yang saling bertentangan atau tumpang tindih seperti yang dikemukan oleh Fauzi & Anna (2013), pada kenyataannya hal tersebut tidak hanya terjadi pada pelaksanaan program PES saja. Namun juga program-program lainnya. Sebagai contoh: pada program Rehabilitasi Lahan yang dilaksanakan pada tahun 2000 awal (Witasari, 2010) dimana baik Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki kebijakan yang berbeda-beda mengenai rehabilitasi hutan Negara. Sehingga petani yang berpartisipasi dalam program Rehabilitasi Lahan tidak mendapatkan kepastian hukum. Masalah ketidak konsistenan peraturan serta tumpang tindihnya peraturan merupakan masalah klasik yang selalu muncul dalam pelaksanaan suatu program. Hal ini mengakibatkan program-program pemerintah tidak dapat mencapai tujuan secara optimal. Terutama terkait dengan masyarakat karena kebijakan yang tidak konsisten dan tumpang tindah mengurangi kepercayaan masyarakat (Witasari, 2010). 2. Status Kepemilikan Lahan Lahan hutan di Indonesia sebagian besar berada dalam otoritas negara. Luas hutan negara adalah sebagai berikut: luas daratan hutan: , 71 hektar. Daerah Aliran Sungai dari hulu ke hilir dalam pelaksanaan program PES sebagian besar adalah areal hutan negara. Konsekuensi dari status kepemilikan yang merupakan hutan negara adalah dapat berakibat pada ketidakpastian yang dirasakan oleh masyarakat yang berpartisipasi dalam program tersebut. Hal ini terjadi juga pada program-program lainnya, walaupun program tersebut tidak selalu bermitra dengan negara (Witasari, 2010). Kepemilikan dan pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat akan meningkatkan jaminan pengelolaan hutan jangka panjang yang berkesinambungan karena masyarakat mendapatkan jaminan akses terhadap sumber daya hutan (Patunru & Haryoko, 2015). Hal ini dikarenakan adanya keyakinan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara penjaminan hak kepemilikan, pertumbuhan ekonomi lokal dan perlindungan lingkungan dengan asumsi: pelaku ekonomi mencari keuntungan dan kesejahteraan pribadi serta jaminan hak kepemilikan membuat masyarakat berorientasi pada keuntungan jangka panjang yang berasal dari sumber daya alam. Hal serupa dikemukakan oleh Fauzi & Anna (2013) berdasarkan studi yang dilakukan di Sumberjaya Lampung bahwa pola kepemilikan menentukan perilaku. Karena kerumitan kepemilikan lahan dan sistim pengelolaan lahan, terjadi ketidakpastian dalam skema PES. Pada kasus di Sumberjaya Lampung, program Hutan Kemasyarakatan dalam pelaksanaan PES dilaksanakan sebagai 5

35 alternatif dimana masyarakat tidak memiliki status hak milik pada hutan negara (Fauzi & Anna, 2013). 3. PES tidak bersifat sukarela (voluntary) Secara teori seperti yang diungkapkan oleh Wunder (2008; halaman 280), PES bersifat sukarela (voluntary). Namun pada prakteknya di Indonesia, PES dapat dikatakan bersifat mandatatory. Terutama terhadap pembeli (buyer) (Amalia & Syahril, 2016; Prasetyo, Soewarno, Purwanto, & Hakim, 2009). Sebagai contoh: pelaksanaan PES di Lombok dan Hutan Lindung Sungai Wain di Kalimantan berdasarkan studi yang dilakukan oleh Prasetyo, Soewarno, Purwanto, & Hakim (2009). Di Lombok, Daerah Aliran Sungai (DAS) Rinjani sangat penting peranannya sebagai penyedia jasa air bagi masyarakat disekitarnya. Suply air berkurang akibat perubahan lahan menjadi areal pertanian, degradasi hutan, dan kegiatan wisata. Untuk mengatasi hal tersebut, maka WWF Indonesia bersama NGO setempat yaitu: KONSEPSI serta pemerintah daerah menerapkan skema PES. Masyarakat pengguna PDAM yang berasal dari sumber air dari Gunung Rinjani diwajibkan membayar biaya konservasi sumber air sebesar Rp ,- tiap bulan. Walaupun proses tersebut didahului dialog dengan masyarakat, namun masyarakat pengguna diwajibkan membayar untuk air yang digunakan dari mata air tersebut. Demikian juga yang terjadi di Hutan Lindung Sungai Wain Kalimantan. PERTAMINA, yang tergantung pada pasokan air dari hutan lindung tersebut diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi guna pengelolaan hutan lindung. Dalam kedua kasus diatas, pengguna juga telah teridentifikasi dengan jelas (Prasetyo, Soewarno, Purwanto, & Hakim, 2009). Oleh karenanya, konsep sukarela untuk berpartisipasi tidak ditemukan dalam pelaksanaan skema PES di kedua lokasi tersebut dan juga beberapa tempat lain (lihat: Amalia & Syahril, 2016). Dengan demikian, untuk kondisi di Indonesia, PES yang sifatnya sukarela (voluntary) seperti yang dinyatakan Wunder (2008) dapat dikatakan hampir tidak dapat terpenuhi (Amalia & Syahril, 2016). Namun, untuk Indonesia pada saat ini untuk skema PES yang bersifat mandatory adalah relevan untuk diterapkan dengan mengingat latar belakang sosial, budaya dan faktor-faktor lainnya. 4. Keberlanjutan Pertanyaan lain mengenai pelaksanaan skema PES yang dilakukan di Indonesia adalah: isu keberlanjutan. Keberlanjutan merupakan salah satu kriteria PES (additionality) yang tidak 6

36 termasuk dalam salah satu kriteria Wunder (2008). Namun, keberlanjutan perlu dipertimbangkan dalam pelaksanan PES di Indonesia. Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan skema PES di suatu lokasi. Salah satunya adalah komitmen baik dari pihak penyedia ataupun pengguna jasa. Komitmen dari pihak penyedia jasa adalah secara terus menerus melakukan pengelolaan lahan yang baik sehingga jasa lingkungan dapat diperoleh oleh pengguna jasa (Amalia & Syahril, 2016). Selain itu, komitmen pengguna jasa lingkungan dalam memberikan reward berdasarkan kesepakatan juga sangat menentukan keberhasilan skema PES di lokasi tersebut. Kondisi-kondisi tersebut diatas perlu menjadi bahan pemikiran untuk upaya tindak lanjut agar penerapan skema PES di masa yang akan datang dapat mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Kondisi tersebut terutama terkait kebijakan yang tidak konsisten, tumpang tindih dan seringkali bertentangan satu sama lain. Karena isu kebijakan pada umumnya teridentifikasi sebagai faktor penyebab yang dominan sehingga program tidak dapat dilaksanakan secara optimal (Fauzi & Anna, 2013; Witasari, 2010). Selain itu, koordinasi antar instansi sangat dibutuhkan terkait kebijakan. Kesimpulan Pelaksanaan skema PES di Indonesia telah dilakukan di beberapa lokasi. Pada umumnya skema PES tersebut adalah berupa pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan penerapan PES tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicatat, yaitu: peraturan dan fiskal; status kepemilikan lahan; PES tidak bersifat sukarela (voluntary); dan keberlanjutan. Terkait dengan peraturan dan fiskal, masalah umum yang diidentifikasi di lapangan adalah: adanya peraturan yang tumpang tindih dan tidak konsisten. Terkait status kepemilikan lahan, umumnya lokasi pelaksanaan PES adalah lahan negara. Hal ini menimbulkan ketidak pastian bagi masyarakat. Maka, disiasati dengan pemberian hak kelola seperti halnya di Lampung. Sementara itu, pelaksanaan PES yang tidak bersifat sukarela disebabkan karena pengguna telah teridentifikasi dengan jelas. Selain itu, pengguna juga diwajibkan untuk membayar kompensasi bagi penyedia jasa lingkungan. Selanjutnya, isu keberlanjutan terutama ditentukan oleh komitmen baik penyedia maupun pengguna lingkungan. 7

37 Saran Agar penerapan skema PES dapat mencapai tujuan yang optimal, kondisi-kondisi tersebut harus ditindak lanjuti untuk perbaikan terutama kebijakan yang tidak konsisten dan sering kali tumpang tindih serta bertentangan satu dengan yang lain. Koordinasi antar instansi diperlukan untuk mengurangi terjadinya kebijakan yang tumpang tindih dan seringkali bertentangan satu dengan yang lain. Penerapan PES di Indonesia yang sifatnya mandatory terutama bagi pengguna jasa lingkungan untuk saat ini sesuai dengan kondisi di Indonesia. Oleh karenanya, hal tersebut sebaiknya dilanjutkan agar tujuan konservasi dan kesejahteraan masyarakat di hulu tercapai. DAFTAR PUSTAKA Amalia, M., & Syahril, S. (2016). Overview of the Payment for the Environmental Services Implementation in Indonesia. Worldfish. Anonim. (2016). Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) per Provinsi di Indonesia Tahun Retrieved from Anonim. (2017). Badan Pusat Statistik. Retrieved September 6, 2017, from Dirhantoro, T. (2016, Maret 10). Pemerintah Tak Konsisten Benahi Tata Kelola Hutan. Retrieved Agustus 21, 2017, from Fauzi, A., & Anna, Z. (2013). The complexity of the institution of payment for environmental services: a case study of two Indonesian PES Scheme. Ecosystem Services, 6, Herbert, T., Vonada, R., Jenkins, M., & Bayon, R. (2010). Environmental funfs and payments for ecosystem services. Montagnini, F., & Finney, C. (2011). Payments for environmental services in Latin America as a tool for restoration and rural development. AMBIO, 40, Patunru, A. A., & Haryoko, A. (2015). CIPS Policy Recommendations No. 2: June 2015: Kepemilikan dan Pengelolaan Hutan di Indonesia. Centre for Indonesian Policy Studies. Prasetyo, F. A., Soewarno, A., Purwanto, & Hakim, R. (2009). Making policies work payment for environmental services (PES): an evaluation of the experience for formulating conservation policies in districts of Indonesia. Journal of Sustainable Forestry, 28, Witasari, A. I. (2010). Changing practices: negotiation, identity and social capital in protected area management Lampung, Indonesia. University of Melbourne. Australia. PhD Thesis. Tidak dipublikasikan. Wunder, S. (2008). Payments for environmental services and the poor: concepts and preliminary evidence. Environment and Development Economics, 13, doi:doi: /s x

38 PEMANFAATAN TANAMAN LERAK SEBAGAI ZAT ADIKTIF PADA SABUN Oleh : Slamet Supriyadi I. PENDAHULUAN Tanaman lerak (Sapindus rarak DC) merupakan tanaman industri yang berasal dari Asia Tenggara yang dapat tumbuh dengan baik pada hampir semua jenis tanah dan keadaan iklim. Sebaranya meliputi India dan Sri Lanka di area barat, China dan Taiwan di utara dan Indonesia di selatan. Nama spesies diambil dari nama Malaysia yaitu rerak atau rerek. Di Indonesia tanaman ini mempunyai nama yang berbeda pada setiap daerah, seperti di Palembang disebut lamuran, di Jawa lerak/klerek dan di Jawa Barat sering disebut rerek. Lerak atau Klerek termasuk dalam famili Sapindaceae, tumbuh dengan baik pada di Pulau Jawa sebagai tanaman liar, dengan tinggi mencapai 42 m dan berdiameter batang 1 m. Kayunya ringan dan biasa digunakan sebagai papan cor, batang korek api dan kerajinan dari kayu. Kulit batang dapat digunakan sebagai pembersih rambut, buahnya yang bulat dapat dimanfaatkan sebagai pengganti sabun untuk mencuci berbagai macam kain, biasa digunakan dalam industri batik. Taksonomi tanaman lerak yaitu: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledons Sub kelas : Rosidae Bangsa : Sapindales Suku : Sapindaceae Marga : Sapindus Jenis : Sapindus mukorossi Tanaman lerak memiliki bentuk daun bulat telur/oval, perbungaan majemuk, malai, terdapat di ujung batang warna putih kekuningan. Bentuk buah seperti kelereng jika sudah tua atau masak, berwarna coklat kehitaman, permukaan buah licin atau mengkilat, bijinya bundar berwarna hitam. Daging buah sedikit berlendir dan aromanya wangi. Kandungan kimiawi tanaman lerak antara lain sebagai berikut : daging buah mengandung triterpen, alkaloid, steroid, antrakinon, tanin, fenol, flavonoid, dan minyak atsiri. Selain itu kulit buah, biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan flavonoid, sedangkan kulit buah juga mengandung alkaloida dan polifenol. Kulit batang dan daun tanaman lerak mengandung tanin. Senyawa aktif yang telah diketahui dari buah lerak adalah senyawa senyawa dari golongan saponin dan sesquiterpen.

39 Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1996). Saponin banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok, akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah. Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut sebagai Sapotoksin. Sapotoksin pada biji lerak berpotensi sebagai insektisida, mengurangi jerawat dan kudis. II. Pemanfaatan Tanaman Lerak Sebagai Sabun Sabun adalah garam logam alkali yang berfungsi sebagai pencuci dan pengemulsi, dengan dua komponen utama yaitu asam lemak (rantai karbon C16 ) dan sodium (Na) atau potassium (K). Sabun dibuat dengan mereaksikan kalium (K) atau natrium (Na) dengan asam lemak, baik minyak nabati atau lemak hewani melalui proses saponifikasi dan netralisasi minyak. Saponifikasi adalah proses pembuatan sabun melalui reaksi hidrolisis lemak/minyak dengan menggunakan basa kuat seperti Natrium Hidroksida (NaOH) atau Kalium Hidroksida (KOH) sebagai alkali. Sedangkan, Netralisasi ialah proses pemisahan asam lemak bebas (ALB) dari minyak atau lemak, menggunakan basa kuat (NAOH atau KOH). Sabun yang dibuat dengan alkali NaOH menghasilkan sabun keras (hard soap), sedangkan alkali KOH menghasilkan sabun lunak (soft soap). Kemampuan sabun menurunkan tegangan permukaan air, memungkinkan air membasahi bahan yang dicuci dengan lebih efektif. Kotoran dan lemak yang menempel di badan dan pakaian tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan air biasa. Sabun mempunyai dua bagian, yaitu bagian yang menyerap air dan bagian yang menyerap lemak. Dengan menggunakan bantuan sabun, air dapat masuk ke dalam lemak kotoran. Akibatnya, lemak kotoran yang semula tidak dapat bercampur dengan air kini dapat bercampur dengan air, sehingga menjadi mudah dibersihkan. Sabun merupakan pembersih yang sangat baik karena kemampuannya bertindak sebagai agen pengemulsi. Sabun memiliki gugus non polar (gugus R) yang dapat mengikat kotoran, dan

40 gugus COONa yang dapat mengikat air. Kotoran tidak dapat lepas karena terikat pada sabun dan sabun terikat pada air. Sabun merupakan iritan lemah. Penggunaan yang lama dan berulang akan menyebabkan iritasi dan beberapa efek samping pada kulit, yaitu pembengkakan dan pengeringan kulit, denaturasi protein dan ionisasi, antimikrobial, antiperspiral, dan lain sebagainya. ph yang terlalu tinggi disinyalir sebagai salah satu penyebab daya iritasi sabun pada kulit. Sehingga komposisi alkali dan minyak yang sesuai, yang sesuai (ideal) harus dikontrol dengan cermat. Pada kemasan sabun harus dicantuman masa kadaluarsa sabun. Penggunaan sabun yang telah kadaluarsa meningkatkan resiko iritasi kulit. A. Proses Pembuatan Sabun Sabun dapat dibuat melalui dua proses, yaitu: 1. Saponifikasi Saponifikasi melibatkan hidrolisis ikatan ester gliserida yang menghasilkan pembebesan asam lemak dalam bentuk garam dan gliserol. Garam dari asam lemak berantai panjang adalah sabun (Stephen, 2004). Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut: 2. Netralisasi Netralisasi adalah proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (Ketaren, 2008).

41 Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut: Lemak dan minyak adalah sama-sama memiliki senyawa ester non-polar, yaitu sama-sama tidak larut di dalam air. Lemak dan minyak mempunyai dua jenis ikatan, yaitu ikatan jenuh dan ikatan tak jenuh dengan atom karbon Secara umum, reaksi antara kaustik dengan gliserol dapat membentuk sabun melalui reaksi saponifikasi. Perbedaan kadar asam lemak dalam minyak atau lemeak menyebabkan sabun yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda. Minyak dengan kandungan asam lemak rantai pendek dan ikatan tak jenuh akan menghasilkan sabun cair. Sedangkan rantai panjang dan jenuh menghasilkan sabun yang tak larut pada suhu kamar. Sabun mandi merupakan senyawa natrium atau kalium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa, dengan atau penambahan lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit (SNI, 1994). Dalam pembuatan sabun, lemak dipanasi dalam ketel besi yang besar dengan larutan natrium hidroksida dalam air, sampai lemak itu terhidrolisis sempurna. Pereaksi semacam itu sering disebut penyabunan (latin, sapo adalah sabun), karena reaksi itu telah digunakan sejak zaman Romawi kuno untuk mengubah lemak dan minyak menjadi sabun. Persamaan untuk reaksi itu adalah: (RCO2)3C3H3 + 3NaOH 3RCO2Na + C3H5(OH)3 Jika lemak/minyak dihidrolisis, akan terbentuk gliserol dan asam lemak yang dengan adanya Na(NaOH) akan terbentuk sabun karena sabun merupakan garam Na atau K dari asam lemak. Sabun Na dan K larut dalam air, sedangkan Ca dan Mg tidak larut. Sabun Na (sabun keras) digunakan untuk mencuci dan sabun K (sabun lunak) digunakan untuk sabun mandi.

42 B. Khasiat Sabun Lerak Senyawa saponin dalam sabun lerak bermanfaat untuk mengobati berbagai penyakit, antara lain sebagai berikut : a. Obat Skabies Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Penyakit ini disebut juga the itch, seven year itch, Norwegian itch, gudikan, gatal agogo, budukan atau penyakit ampere Skabies disebabkan oleh tungau kecil berkaki delapan, dan didapatkan melalui kontak fisik yang erat dengan orang lain yang menderita penyakit ini. Tungau skabies (Sarcoptes scabiei) berbentuk oval, dengan ukuran 0,4 x 0,3 mm pada jantan dan 0,2 x 0,15 pada betina. Gejala utama skabies adalah gatal, yang secara khas terjadi di malam hari. Terdapat dua tipe utama lesi kulit pada skabies, yaitu terowongan dan ruam. Terowongan terutama ditemukan pada tangan dan kaki, khususnya bagian samping jari tangan dan kaki, sela- sela jari, pergelangan tangan dan punggung kaki. Masing- masing terowongan panjangnya beberapa millimeter hingga beberapa centimeter, biasanya berliku- liku dan ada vesikel pada salah satu ujung yang berdekatan dengan tungau yang sedang menggali terowongan, seringkali disertai eritema ringan. Racun dalam saponin yang disebut Sapotoksin yang terdapat dalam tumbuhan lerak berfungsi sebagai insektisida berperan aktif dalam menekan laju pertumbuhan dan perkembangan tungau Sarcoptes scabiei. Sehingga dapat digunakan sebagai obat sakit Skabies. b. Obat Jerawat Jerawat, atau acne vulgaris, adalah suatu kondisi kulit yang terjadi saat folikel rambut tersumbat dengan kulit mati dan minyak yang mengakibatkan peradangan. Kelenjar penghasil minyak di bawah kulit disebut dengan kelenjar sebasea dan lubang pada kulit disebut dengan pori pori. Folikel rambut menghubungkan pori pori dengan kelenjar sebasea. Jerawat dapat berupa bintil merah ringan hingga jerawat kistik yang nyeri. Jerawat biasanya terdapat pada wajah, pundak, punggung, dan dada. Senyawa Saponin, Alkaloid, Ateroid, dan Triterpen berfungsi sebagai antijamur, antiseptik, antioksidan dan antivirus yang sangat bermanfaat untuk wajah berjerawat. Senyawasenyawa tersebut dapat mempercepat proses penyembuhan jerawat dan mencegah infeksi lanjutan jerawat.

43 III. BUDIDAYA TANAMAN LERAK 1) Potensi Tanaman Lerak Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik dengan kelembaban tinggi, berdrainase baik, subur dan mengandung banyak humus. Lerak tumbuh pada ketinggian di bawah m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik pada daerah berbukit dataran rendah dengan ketinggian m di atas permukaan laut, curah hujan rata-rata mm/tahun. Lerak termasuk dalam kelas Dicotyledone, berakar tunggang dengan perakaran yang kompak sehingga dapat digunakan sebagai pengendali erosi dan penahan angin. Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5 15 tahun, dan musim berbuah pada awal musim hujan (November-Januari) yang menghasilkan buah sebanyak biji/pohon. Setiap satu kg biji lerak diperkirakan berjumlah 350 biji. Biji lerak kering dapat disimpan selama satu tahun. Rata-rata setiap pohon menghasilkan kg. Jika harga setiap kilogram buah lerak berkisar antara Rp Rp maka nilai ekonomis buah setiap pohon lerak adalah Rp Rp Beberapa daerah penghasil lerak terbesar di Indonesia adalah Kediri, Banten, dan Madura. Setiap bulan Kediri mampu mengirim tiga ton (hasil produksi hutan-hutan setempat) ke berbagai industri. Kediri bahkan sanggup memasok enam ton lagi setiap bulan. Lerak atau juga dikenal sebagai rerek (Jawa Barat) atau lamuran (Palembang) adalah tumbuhan yang dikenal karena kegunaan bijinya yang dipakai sebagai deterjen tradisional. Tanaman lerak tersebar di berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tanaman ini belum dibudidayakan secara luas dan masih terbatas sebagai tanaman sampingan. 2) Budidaya Budidaya tanaman lerak dapat dilakukan secara generatif dengan biji. Buah lerak tersusun dalam tandan dengan jumlah 8 12 buah, berbentuk bulat dengan ukuran 2 cm, berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam. Biji yang akan digunakan untuk perbanyakan harus sudah cukup tua dan sehat. Biji disimpan di tempat teduh dan dibasahi secara teratur sebelum disemaikan, kemudian biji disemaikan hingga menjadi benih dan dapat dipindah

44 ke lapangan pada umur 3 bulan. Perbanyakan secara generatif dengan biji. Buah lerak tersusun dalam tandan dengan jumlah 8-12 biji, berbentuk bulat dengan ukuran 2,0 cm, berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam. Biji yang akan digunakan untuk perbanyakan harus sudah cukup tua dan sehat. Biji disimpan di tempat teduh dan dibasahi secara teratur sebelum disemaikan, kemudian biji disemaikan hingga menjadi benih. 3) Bercocok tanam Jarak tanam untuk tanaman lerak, adalah 6 x 6 m, 8 x 8 m atau 10 x 10 m. Benih berasal dari biji, dan dapat dipindah ke lapangan pada umur 3 bulan dengan tinggi cm dengan cara membuka tanaman dari polibeg dan dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan ukuran 40 x 40 x 40 cm. Pupuk kandang yang diberikan sebanyak 5 kg/lubang tanam. Cara pemeliharaan tanaman lerak tidak memerlukan penanganan khusus. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan sampai tanaman berumur 2 tahun. Panen buah Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5-10 tahun,musim berbuah setiap tahunnya yaitu pada setiap awal musim hujan bulan Nopember-Januari. Bentuk buah lerak bulat kelereng, berukuran diameter 2 cm, berkulit tipis dengan permukaan licin, tangkai pendek. Buah masak ditandai dengan warna hijau tua sampai cokelat. Panen buah dilakukan dengan memotong tangkai buah yang telah matang dengan galah bambu yang diberi pisau atau dibiarkan jatuh. Buah yang telah dipetik dikeringkan dengan cara dijemur sehingga kulit biji berkerut keriput. IV. PENUTUP Tanaman lerak memiliki manfaat yang cukup potensial untik dikembangkan, menjadi tanaman industry skala bisnis dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Lerak mempunyai manfaat yang cukup potensial sebagai bahan pengganti sabun dan atau bahan adiktif pada sabun. Kandungan senyawa kimia yang berfungsi sebagai insektisida dan nematisida serta antiseptik pada pengobatan kudis, dan jerawat, diharapkan dapat menarik minat investasi corporate atau perusahaan sabun serius mengembangkan riset pada tanaman lerak. Selain itu tanaman Lerak dapat dikembangkan sebagai tanaman konservasi dan penghijauan. Tanaman lerak dapat ditanam sebagai tanaman peneduh di tepi jalan, dan tanaman pekarangan. DAFTAR PUSTAKA : Iskandar, Rifki Prospek Lerak Tanaman Industri Pengganti Sabun. Jakarta: Pustaka Baru Press Gunawan, Dadit dan Sri Mulyani Ilmu obat Alam (Farmakognosi) Jilid I. Jakarta : Penebar Swadaya

45 Fatmawati, Lerak Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak DC) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi. Surabaya : Balai Pelestarian Budaya Jawa Timur. Hart, H. dan L. Craine Kimia Organik. Edisi II. Penerbit Erlangga. Jakarta Widowati, L Sapindus rarak DC. In: Lemmens RHMJ. Bunyapraphastsara, N. (Eds). Plant Resources of South-East Asia. Medicinal and Poisonous Plants. Prosea Foundation. Bogor. Sungkar S Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Boediardja S Skabies pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

46 I Wayan Sudarma : Bekerja dan Berdarma Oleh : Ryke L.S. Siswari Seperti juga di daerah lain, jumlah penyuluh Kehutanan PNS di Kabupaten Karangasem masih jauh dari mencukupi. Untuk 8 kecamatan yang meliputi 78 kelurahan, Kabupaten Karangasem hanya memiliki 17 orang penyuluh kehutanan PNS. Para penyuluh tersebut berada pada KPH Bali Timur yang meliputi Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Bangli. Dengan kondisi yang demikian, kehadiran penyuluh kehutanan swadaya masyarakat atau PKSM sebagai mitra penyuluh kehutanan PNS menjadi sangat penting. PKSM dapat membantu mengisi kekosongan yang tidak bisa dijangkau oleh PK PNS bahkan kadang-kadang malah menjadi andalan dalam kegiatan penyuluhan. Salah satu PKSM yang sangat aktif di Kabupaten Krangasem adalah I Wayan Sudarma. Kiprahnya dalam penyuluhan dan pembangunan kehutanan secara umum mengantarkannya sebagai PKSM terbaik II nasional pada Lomba Wana Lestari tahun Dari Kaki Gunung Agung Yang Sejuk dan Berkabut Wayan, begitu ia biasa dipanggil, lahir dan besar di Desa Menanga, Rendang, Karangasem. Desa yang terletak di kaki Gunung Agung ini sebenarnya merupakan tanah perbukitan yang subur. Namun sangat banyak lahan terlantar dan terbengkalai yang tidak dimanfaatkan. Masyarakat hanya mengandalkan hidup dari padi gogo yang ditanam di ladang dan di panen satu kali setahun. Wayan sering berpikir untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong tersebut guna menambah penghasilan keluarganya. Namun sebagai anak petani yang serba kekurangan dan hanya menamatkan pendidikan tingkat SLTP, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana memulainya. Sempat menjadi supir mobil jenazah dan bergabung dengan kelompok peternak ayam ternyata tidak memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya.

47 Beruntung Wayan luwes dalam bergaul dan aktif dalam kegiatan masyarakat di desanya. Hal ini mengantarnya berkenalan dengan penyuluh pertanian yang kemudian mengajarkannya untuk bertani sayuran. Dari pertemanan dengan penyuluh pertanian ini kemudian ia bertemu dengan Made Suastana, seorang penyuluh kehutanan. Made Suastanalah yang mengajarinya bahwa untuk bisa berhasil dalam bertani diperlukan air dan kondisi lingkungan yang terjaga kelestariannya. Bersama-sama mereka mulai mengajak masyarakat desa Menanga untuk tidak sekedar bertanam sayuran tapi juga melakukan konservasi tanah melalui penanaman pohon, penanaman bambu dan enau pada tebing-tebing serta pembuatan terasering. Sejak saat itulah sebenarnya Wayan sudah melakukan kegiatannya sebagai PKSM. Wayan juga mulai membentuk kelompok tani dengan kegiatan bertani sayuran serta mengembangkan hutan rakyat dengan tanaman albizia dan kajimas. Kelompok Taninya sempat memperoleh dana Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada Pada tahun itu juga, Made yang melihat potensi dan kesungguhan Wayan dalam mengembangkan kelompok dan kegiatan fisik di desa Menanga, merekomendasikannya sebagai peserta yang mewakili Kabupaten Karangasem untuk mengikuti pelatihan budidaya lebah madu Apis cerana di Soe, NTT. Maju Bersama Madu Selesai pelatihan, Wayan mulai mengembangkan budidaya lebah madu di kelompoknya. Sayangnya kelompok tidak terlalu antusias melaksanakannya. Pada saat yang sama juga terjadi konflik yang menyebabkan perpecahan dalam kelompok. Wayan bertekad untuk memulai kelompok baru yang harus lebih sukses dari kelompok sebelumnya. Dari sinilah terbentuk Kelompok Tani Hutan Satya Loka Parama Sidhi yang diketuainya. Ia ingin kelompok ini nantinya tidak hanya bertani sayuran, membangun dan mengembangkan hutan rakyat tetapi juga memiliki usaha lain untuk meningkatkan kesejahterannya.

48 Budidaya lebah Trigona oleh Kelompok Tani Hutan Binaan I Wayan Sudarma (dokumentasi pribadi) Wayanpun memulainya dengan diri sendiri. Selain membudidayakan Apis cerana, ia menemukan bahwa di Menanga juga terdapat lebah dari jenis Trigona yang hasil madunya dikenal dengan madu kala. Madu kala ini banyak dicari pembeli dan belum ada yang membudidayakannya. Harga madu kala juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan madu Apis cerana. Wayan mencoba-coba sendiri membudidayakan lebah trigona ini berbekal ilmu yang pernah diperoleh digabungkan dengan pengalaman dan upaya mencari informasi dari berbagai pihak. Ketekunannya membuahkan hasil. Dengan harga jual yang mencapai Rp Rp rupiah per botol berukuran 350 ml, anggota kelompok dan masyarakat mulai mengikuti langkahnya. Saat ini KTH Satya Loka Parama Sidhi telah memiliki 1200 stup lebah Trigona. Bila digabungkan dengan milik kelompok lain dan masyarakat sekitar yang dibina Wayan, jumlah stup lebah Trigona telah mencapai lebih dari 5000 dengan produksi lebih dari 200 botol per tahun. Untuk kestabilan harga, pemasaran madu Trigona Desa Menanga dilakukan melalui KTH Satya Loka Purnama Sidhi. Dari setiap botol yang terjual, kelompok memperoleh keuntungan Rp Keberhasilan Wayan membudidayakan lebah trigona mengantarnya memperoleh penghargaan Sipakara Nugaraha 2014 dari Bappeda Bali untuk Kreativitas dan

49 Inovasi Tehnologi Masyarakat dalam Penyepihan Lebah Trigona. Saat ini Wayan juga merupakan instruktur tetap untuk pelatihan-pelatihan bididaya lebah trigona yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Hutan Rakyat Berkembang, Rejekipun Datang Selain madu, KTH Satya Loka Purnama Sidhi tetap mengembangkan hutan rakyat. Saat ini hutan rakyat di Menanga telah mencapai 233 ha dari jenis albiziaa, kajimas, mahoni, gmelina dan jabon. Kelompok maupun masyarakat binaan Wayan telah memiliki pasar tetap yaitu industri pengolahan kayu di Jawa yang membeli langsung di lokasi. Hutan Rakyat di Desa Menanga (dokumentasi : I Wayan Sudarma) Di bawah tegakan juga dikembangan tanaman kunyit dan jahe, yang oleh Kelompok Wanita Tani binaan diolah menjadi minuman kesehatan dan dipasarkan dalam kemasan botol. Selain kunyit dan jahe, kelompok mengembangkan tanaman nilam yang mencapai luasan 10 ha. Pada 2012 kelompok memperoleh bantuan mesin penyulingan nilam dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karangasem. Saat ini kelompok rata-rata memproduksi kg minyak nilam yang di suplai ke industri kosmetik di Bangli secara rutin. Harga minyak nilam mencapai Rp per kg. Berkembangnya hutan rakyat dan berbagai ussaha semakin memantapkan kelompok ini dan mengundang datangnya berbagai fasilitasi. Diantaraya adalah bantuan

50 ternak sapi. Dari peternakan sapi, Wayan beserta kelompoknya mengolah limbah peternakannya menjadi pupuk organik. Usaha pupuk ini berkembang dengan pesat hingga akhirnya menampung juga limbah peternakan masyarakat sekitar sebagai bahan baku. KTH Satya Loka Parama Sidhi bahkan dipercaya untuk mensuplai kebutuhan pupuk bersubsidi bagi Provinsi Bali dengan omzet 350 ton per tahun. Harga jual pupuk untuk pemerintah provinsi mencapai Rp 1000/kg, sedangkan bila dijual kepada rekanan harganya mencapai Rp 1.200/kg Wayan juga melihat bahwa desa Menanga memiliki potensi untuk budidaya bunga Marigold di pekarangan masyarakat. Kebutuhan Marigold sebagai bagian dari perangkat upacara di Bali memang sangat tinggi. Saat ini Desa Menanga mampu memproduksi lebih dari 50 ton bunga Marigold per bulan dengan harga sekitar Rp per kg. Bunga tersebut diproduksi untuk memenuhi kebutuhan kabupaten Karangasem, Klungkung dan Kota Denpasar. Bekerja dan Berdarma Bekerja dan berdarma menjadi motto Wayan dalam menjalani kehidupan. Bekerja adalah kewajiban yang harus dilakukan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Di saat yang bersamaan Wayan juga ingin selalu bisa berdarma atau memberikan kebaikan dan manfaat bagi sesama. Sebagai PKSM, Wayan telah melakukan keduanya. Ia berharap dan terus berusaha untuk dapat melaksanakan motto kehidupannya tersebut. Itu sebabnya Wayan tidak sebatas berkarya pada kegiatan fisik saja. Ia membantu menumbuhkan dan membina kelompok-kelompok tani di Menanga dengan kegiatan serupa serta mengkader masyaraat untuk menularkan ilmu melalui penyuluhan sebagaimana yang dilakukannya. Saat ini Wayan membina 5 Kelompok Tani Hutan dan 1 Kelompok Tani Wanita, serta menumbuhkan 5 PKSM lain di Kecamatan Rendang. Budidaya bunga marigold di pekarangan (dokumentasi :I Wayan Sudarma)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi) IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi) Oleh: Sri Harteti 1 dan Kusumoantono 2 1 Widyaiswara Pusat Diklat SDM LHK 2 Widyaiswara Balai Diklat LHK Bogor Abstract Indonesia

Lebih terperinci

Arang Kaya Manfaat Ramah Lingkungan

Arang Kaya Manfaat Ramah Lingkungan Arang Kaya Manfaat Ramah Lingkungan Oleh : Endang Dwi Hastuti Siwi Tri Utami Arang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari hari. Arang merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari teknologi arang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR UNTUK LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1347, 2014 KEMENHUT. Satwa Buru. Musim Berburu. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/Menhut-II/2014 TENTANG PENETAPAN MUSIM

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG Menimbang : MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2017 KEMEN-LHK. Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran. Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) PENGANTAR Saat ini terdapat 2 (dua) versi RUU Perubahan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN Dasar Hukum Lingkungan Hidup UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 18/2008: Pengelolaan Sampah PP turunannnya Kehutanan UU No. 41/1999: Kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) Page 1 of 6 Penjelasan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom BERITA NEGARA No.289 2016 KEMEN-LHK. Konsevasi. Amorphophallus. Rencana Aksi. Tahun 2015-2025. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.72/MENLHK-SETJEN/2015 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 7 TAHUN 1999 (7/1999) Tanggal : 27 Januari 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2005 TENTANG PENANGKARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2005 TENTANG PENANGKARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2005 TENTANG PENANGKARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 telah diatur

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN No. 1185, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun 2016-2026. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa jenis tumbuhan dan satwa liar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERTUKARAN JENIS TUMBUHAN ATAU SATWA LIAR DILINDUNGI DENGAN LEMBAGA KONSERVASI DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1349, 2014 KEMENHUT. Hasil Berburu. Memiliki. Izin. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.71/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu No.642, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1999 (8/1999) Tanggal: 27 JANUARI 1999 (JAKARTA) Tentang: PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa liar merupakan bagian dari

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKHNOLOGI PEMBUATAN BIOARANG DENGAN MEMANFAATKAN LIMBAH KOTORAN TERNAK DI PETERNAKAN SAPI POTONG ZELTI FARM LUBUK MINTURUN KODYA PADANG

PENERAPAN TEKHNOLOGI PEMBUATAN BIOARANG DENGAN MEMANFAATKAN LIMBAH KOTORAN TERNAK DI PETERNAKAN SAPI POTONG ZELTI FARM LUBUK MINTURUN KODYA PADANG PENERAPAN TEKHNOLOGI PEMBUATAN BIOARANG DENGAN MEMANFAATKAN LIMBAH KOTORAN TERNAK DI PETERNAKAN SAPI POTONG ZELTI FARM LUBUK MINTURUN KODYA PADANG Ellyza Nurdin, Salam N.Aritonang, Elly Roza Fak. Peternakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua setelah Columbia

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua setelah Columbia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 126,8 juta hektar yang merupakan kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Zaire, mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 9PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.99/MENLHK/SETJEN/SET.1/12/2016 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2017

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1938, 2017 KEMEN-LHK. Penugasan bidang LHK kepada 33 Gubernur. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.66/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya ikan sebagai bagian

Lebih terperinci

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT PEMBAHASAN ROAD MAP PUSAT KAJIAN ANOA DAN PEMBENTUKAN FORUM PEMERHATI ANOA Manado,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 4.1 Sejarah dan perkembangan Perusahaan Daerah Taman Satwa Pada awalnya Kebun Binatang Surabaya berdiri pada tanggal 31 Agustus 1916 (berdasarkan Surat Keputusan Gubernur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 13 TAHUN 1994 (13/1994) Tanggal : 16 APRIL 1994 (JAKARTA) Sumber : LN 1994/19; TLN NO. 3544

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI D

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI D BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI D PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 166 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI SERTA URAIAN TUGAS JABATAN PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indon

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indon No.760, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KLH. Standar dan Sertifikasi Kompetensi Teknis. ASN. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK HAYATI

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK HAYATI PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 123/Kpts-II/2001

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 123/Kpts-II/2001 Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 123/Kpts-II/2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN, bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.754, 2014 KEMENHUT. Tarif. Kegiatan Tertentu. Tata Cara. Persyaratan. Pembangunan PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.38/Menhut-II/2014 TENTANG TATA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.56/Menlhk/Kum.1/2016 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI MACAN TUTUL JAWA (PANTHERA PARDUS MELAS) TAHUN 2016 2026 DENGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang : a. bahwa Lingkungan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

Mengintip Peraturan tentang Perhutanan Sosial, Dimana Peran Penyuluh Kehutanan? oleh : Endang Dwi Hastuti*

Mengintip Peraturan tentang Perhutanan Sosial, Dimana Peran Penyuluh Kehutanan? oleh : Endang Dwi Hastuti* Mengintip Peraturan tentang Perhutanan Sosial, Dimana Peran Penyuluh Kehutanan? oleh : Endang Dwi Hastuti* Perhutanan sosial merupakan kebijakan strategis dalam upaya mengurangi kemiskinan, pengangguran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER DAYA IKAN DAN LARANGAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN ALAT SETRUM, TUBA DAN BAHAN KIMIA

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I No.165, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK.Kawasan Hutan. Konflik Tenurial. Penanganan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/2015 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG STANDAR DAN SERTIFIKASI KOMPETENSI TEKNIS APARATUR SIPIL NEGARA PENYELENGGARA URUSAN PEMERINTAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun internasional harus bekerja secara kompetitif dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMBAWA NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN SUMBAWA.

PERATURAN BUPATI SUMBAWA NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN SUMBAWA. PERATURAN BUPATI SUMBAWA NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN SUMBAWA. BUPATI SUMBAWA Menimbang : Mengingat : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.44/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN UNIT PERCONTOHAN PENYULUHAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.44/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN UNIT PERCONTOHAN PENYULUHAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.44/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN UNIT PERCONTOHAN PENYULUHAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci