BAB VII PENUTUP. indikator policy output dapat disimpulkan bahwa Implementasi Jaminan

Transkripsi

1 BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Temuan penelitian tentang hasil implementasi kebijakan dilihat dari indikator policy output dapat disimpulkan bahwa Implementasi Jaminan Kesehatan Khusus di DIY belum berjalan optimal karena dari enam indikator policy output, masih terdapat empat indikator yang belum optimal. Kesimpulan ini didasarkan pada perbandingan lurus dimana semakin banyak faktor yang efektif maka semakin efektif pula implementasi kebijakan, begitupun sebaliknya. Selain itu, jika kita melihat dari indikator policy outcome, yang tercapai hanyalah initial outcome/dampak langsung saja. Sementara untuk dampak menengah dan dampak jangka panjang belum tercapai. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut baru efektif dua tahun berjalan. Jika kita beralih pada faktor penyebab belum efektifnya kebijakan terutama apabila dikaitkan dengan persoalan akses yang belum efektif, maka terdapat beberapa temuan baru yang menarik dilapangan. Pertama dari sisi koordinasi, Pemerintah belum sampai pada ranah memahami fungsi instansi lain yang berhubungan dengan fungsinya. Sebagai contoh jika pasien jamkesus ke Puskesmas lalu dirujuk ke Rumah Sakit maka pihak Puskesmas belum dapat bertanggungjawab membantu hingga urusan di Rumah Sakit selesai. Hal ini menunjukkan bahwasanya satu fungsi Pemerintah hanya dapat mengelola satu fungsi Pemerintahan. 134

2 Kedua dari sisi kapasitas organisasi, pendekatan Whole of Government menuntut satu instansi pemerintah didorong untuk dapat mengelola berbagai fungsi pemerintah dalam situasi yang berbeda secara efisien dan efektif (Dwiyanto A, 2015 : 14). Namun jika melihat realita dilapangan terutama kaitannya dengan kapasitas SDM dalam hal ini dokter umum khususnya belum mampu melakukan pemeriksaan medis dasar yang berkaitan dengan spesialistik sehingga dalam hal ini dokter dituntut untuk mengetahui fungsi lain yang berkaitan dengan fungsinya. Selain itu belum semua dokter menguasai bahasa isyarat juga merupakan kendala di lapangan. Disisi lain dalam kaitannya dengan sharing data dan informasi yang masih terjadi dilapangan adalah fragmentasi kepemilikan data dimana satu institusi hanya memiliki satu data yang menjadi tugas dan tanggungjawab institusi tersebut. Ditambah lagi dengan belum adanya mekanisme share budget yang membuat pelayanan yang bergantung dari APBD DIY. Ketiga, temuan baru lainnya adalah dari sisi fleksibilitas pelayanan, pendekatan Whole of Government menuntut adanya pemerintah yang terkoneksi dan bertindak satu kesatuan (Dwiyanto A, 2015 : 15), a kan tetapi jika kita lihat lagi di lapangan, permasalahan utama yang ada adalah belum terintegrasinya antar kebijakan sehingga yang terjadi adalah kebijakan yang berdiri sendiri-sendiri yang berdampak jika difabel memiliki jaminan kesehatan lain seperti jamkesda, jamkesos ataupun JKN perlu adanya rekomendasi tambahan untuk mendapatkan jamkesus. 135

3 Gambar 7.1 Relasi antara Kinerja, Hambatan Implementasi dan WoG Sumber : Diolah Peneliti Gambar diatas adalah refleksi/kesimpulan dari tesis ini yang mana persoalan teknokratis administratif dan problem integrasi aktor dan kebijakan sebagai akar masalah mengapa implementasi kebijakan jaminan kesehatan khusus belum efektif. Temuan ini sekaligus memberikan kontribusi teoritis dalam studi kebijakan dimana kegagalan kebijakan bukan hanya persoalan top-down saja yaitu persoalan komunikasi, kurangnya SDM & finansial, komitmen pelaksana, akan tetapi kegagalan kebijakan dapat kita baca dari kacamata WoG yaitu dikarenakan persoalan teknokratis administratif dimana belum adanya kartu tunggal untuk mengakses jamkesus yang mengharuskan difabel membawa banyak persyaratan penunjang seperti KK, KTP dll, ditambah lagi dengan adanya problem integrasi aktor dan kebijakan yang menyebabkan pelayanan yang dilakukan belum dapat berjalan satu pintu. 136

4 7.2 Rekomendasi Kebijakan Agar implementasi kebijakan jamkesus dapat berjalan efektif di masa yang akan datang, maka ada beberapa hal yang harus diperbaiki untuk menyiasati kelemahan-kelemahan yang ada. Peneliti mengajukan beberapa saran yang akan disebutkan dibawah ini Modifikasi Kebijakan Modifikasi kebijakan dalam hal ini adalah merevisi kebijakan yang ada secara continue dimana kebijakan satu sama lain harus saling berkaitan. Dalam hal ini perlunya revisi Pergub 51 tahun 2013 tentang jamkesus beserta turunannya dan juga Pergub No 73 tahun 2014 tentang Jamkesta. Kedua kebijakan ini harus saling berkaitan satu sama lain sehingga terciptanya integrasi kebijakan. Integrasi kebijakan memungkinkan terciptanya integrasi pelayanan sehingga masyarakat difabel dengan jaminan kesehatan apapun yang dimilikinya dapat mengakses jamkesus tanpa adanya hambatan Reformasi Struktur Birokrasi Reformasi struktur birokrasi dalam hal ini adalah mempersingkat jenjang ataupun struktur pelayanan yang dilakukan guna memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat difabel. Reformasi struktur dalam hal ini bukan berarti pada pengurangan aktor akan tetapi memangkas struktur pelayanan sehingga pelayanan jamkesus itu sendiri menjadi aksesibel. Misalnya dalam pelayanan alat bantu kesehatan penempatan tenaga fisioterapi dan ortotik prostetik di Puskesmas ataupun penyediaan alat bantu di Rumah Sakit dapat memangkas jenjang 137

5 pelayanan sehingga masyarakat difabel tidak harus ke mitra alat bantu untuk mendapat alat bantu kesehatan. Disisi lain perlunya penggunaan TIK dalam administrasi jamkesus sehingga memudahkan pelayanan yang ada. Selama ini yang terjadi adalah antrian yang sangat panjang sehingga waktu tempuh pelayanan pun menjadi sangat lama. Untuk itu perlunya pengaplikasian TIK dalam pelayanan jamkesus Penguatan Kapasitas SDM Penguatan kapasitas SDM dalam hal ini adalah pemberian training/pelatihan khususnya kepada dokter umum seperti pelatihan Rehab Medis dasar guna menunjang pelayanan. Dalam hal ini dokter umum harus mampu mengidentifikasi jenis kedifabelan agar memudahkan pelayanan ke tingkat selanjutnya. Selain itu perlunya pelatihan bahasa isyarat tidak hanya kepada dokter saja akan tetapi petugas kesehatan baik yang berada di Puskesmas maupun Rumah Sakit. Hal ini dapat memudahkan pelayanan khususnya untuk difabel penderita tuna rungu. 138