BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori"

Transkripsi

1 digilib.uns.ac.id 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Tanggung Jawab Hukum a. Pengertian Tanggung Jawab Hukum Menurut Kamus Bahasa Indonesia tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu. Tanggung jawab merupakan sesuatu yang menjadi kewajiban atau keharusan untuk dilaksanakan. Apabila terjadi sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib menanggung segala sesuatu. Terdapat 2 (dua) istilah dalam Kamus Hukum yang menunjuk pada pertanggungjawaban, yakni liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas, yang didalamnya antara lain mengandung makna bahwa, liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Disamping itu, liability juga merupakan kondisi tunduk pada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban, kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang. Sementara itu, Responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkan (Ridwan HR, 2006: ).

2 digilib.uns.ac.id 17 Tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dilakukan sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat buruknya perbuatannya itu dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan. b. Pengertian Tanggung Jawab Menurut Hukum Keperdataan Seseorang jika dirugikan karena perbuatan orang lain, sedangkan diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang-undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu (AZ Nasution, 2002: 77). Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Menurut pendapat Munir Fuady ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, sebagai berikut (Munir Fuady, 2002:3) : 1) perbuatan melawan hukum karena kesengajaan; 2) perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian); 3) perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Menurut pendapat Munir Fuady Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut (Munir Fuady, 2002:3) : 1) tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata yaitu tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian commit itu, to mengganti user kerugian tersebut;

3 digilib.uns.ac.id 18 2) tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUH Perdata yaitu setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya; 3) tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUH Perdata yang disebutkan sebagai berikut : a) seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barangbarang yang berada dibawah pengawasannya; b) orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan tehadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua dan wali; c) majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya; d) guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka; e) tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir jika orang tua, wali, guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.

4 digilib.uns.ac.id 19 Selain dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum, KUH Perdata melahirkan tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wanprestasi. Diawali dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan atas dasar itu dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi. Sementara tangung jawab hukum perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan adanya hubungan hukum, hak dan kewajiban yang bersumber pada hukum (Baiq Setiani, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7, 2016:8). c. Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Prinsipprinsip tersebut terdiri dari (Shidarta, 2006: 75-78) : 1) prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (Fault Liability atau Liability Based On Fault) Prinsip ini sudah cukup lama berlaku baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata, dalam sistem hukum perdata ada prinsip perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1365, yang lazim dikenal dengan perbuatan melewan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu : a) adanya perbuatan; b) adanya unsur kesalahan; c) adanya kerugian commit yang to user diderita;

5 digilib.uns.ac.id 20 d) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Tanggung jawab seperti ini kemudian diperluas dengan vicarious liability, yakni tanggung jawab majikan pemimpin perusahaan terhadap pegawainya atau orang tua terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2) prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption Of Liability Principle) yakni tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada tergugat. Pembuktian kesalahan tersebut ada pada pihak pengangkut yang digugat. Penumpang berarti tidak dapat sewenang-wenang mengajukan gugatan. 3) prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab (Presumption Of Nonliability Principle) Prinsip ini menggariskan bahwa tergugat tidak selamanya bertanggung jawab. Apabila melihat pasal 24 ayat (2) UUPK, penjual yang menjual lagi produknya kepada penjual lainnya dibebaskan dari tanggung jawab jika penjual lainnya tersebut melakukan perubahan atas produk tersebut. 4) prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability) Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip pertama. Dengan prinsip ini tergugat harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya. 5) prinsip tanggung jawab terbatas (Limitation Of Liability) Prinsip ini menguntungkan para pelaku usaha karena mencantumkan klausula eksonerasi yang diartikan sebagai klausula pengecualian atau tanggung jawab dalam perjanjian standart yang dibuatnya.

6 digilib.uns.ac.id 21 d. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pengangkutan akan menimbulkan tangung jawab bagi pelaku usaha. Tanggung jawab pengangkut diatur dalam Pasal 140 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan disebutkan bahwa : 1) badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan; 2) badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati; 3) perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap penumpang dan/atau pengirim kargo diatur dalam Pasal 147 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa : 1) pengangkut bertangung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara. 2) tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi pada penumpang berupa: a) mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan, dan/atau b) memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan. Bentuk tanggung jawab pelaku usaha tersebut bertujuan untuk melindungi hak penumpang yang menggunakan jasa pengangkutan udara. Perlindungan hak Penumpang mengenai kerugian yang diderita akibat keterlambatan commit dalam to pengangkutan user udara tanggung jawab

7 digilib.uns.ac.id 22 pelaku usaha tersebut dengan memberikan kompensasi kepada penumpang. 2. Tinjauan tentang Pengangkutan a. Pengertian Pengangkutan Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad pengangkutan merupakan rangkaian kegiatan pemindahan penumpang atau barang dari satu tempat pemuatan (embarkasi) ke tempat tujuan (debarkasi) sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran barang muatan. Peristiwa memindahkan itu meliputi 3 (tiga) kegiatan yang disebut pengangkutan dalam arti luas yaitu (Abdulkadir Muhammad, 2013:42) : 1) memuat penumpang atau barang ke dalam alat pengangkut; 2) membawa penumpang atau barang ke tempat tujuan; dan 3) menurunkan penumpang atau membongkar barang ditempat tujuan. Pengangkutan juga dapat dirumuskan dalam arti sempit, dikatakan dalam arti sempit karena hanya meliputi kegiatan membawa penumpang atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandara tempat pemberangkatan ke stasiun/terminal/pelabuhan/bandara tujuan. Untuk menentukan pengangkut itu dalam arti luas atau sempit bergantung pada perjanjian pengangkut yang dibuat oleh pihak-pihak, bahkan kebiasan masyarakat. Menurut pendapat M.N. Nasution pengangkutan didefinisikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal menuju tempat tujuannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses pengangkutan tersebut merupakan gerakan dari tempat asal, dimana kegiatan angkutan itu dimulai, ke tempat tujuan dan kemana kegiatan pengangkutan diakhiri (M.N. Nasution, 2007: 3). Menurut pendapat Lestari Ningrum pengangkutan niaga adalah rangkaian kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat commit pemuatan to user ke tempat tujuan sebagai tempat

8 digilib.uns.ac.id 23 penurunan penumpang atau pembongkaran barang. Rangkaian kegiatan pemindahan tersebut sebagai berikut (Lestari Ningrum, 2004: 134) : 1) dalam arti luas, terdiri dari : a) memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat pengangkut; b) membawa penumpang dan/atau barang ke tempat tujuan; c) menurunkan penumpang atau membongkar barang-barang di tempat tujuan. 2) dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandar udara tempat tujuan. Menurut pendapat HMN. Purwosutjipto pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan (HMN. Purwosutjipto, 2003: 2). Menurut pendapat Soegijatna Tjakranegara pengertian pengangkutan adalah memindahkan barang atau commodity of goods dan penumpang dari suatu tempat ketempat lain, sehingga pengangkut menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-barang (Soegijatna Tjakranegara, 1995: 1). b. Asas-Asas Hukum Pengangkutan Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad dalam hukum pengangkutan terdapat asas-asas hukum yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata, asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkut yang berlaku dan berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkut, dan pihak

9 digilib.uns.ac.id 24 pemerintah. Asas-asas yang bersifat publik biasanya terdapat di dalam penjelasan Undang-Undang yang mengatur tentang pengangkutan, sedangkan asas-asas yang bersifat perdata merupakan landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengirim barang (Abdulkadir Muhammad, 2013:17). Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad Asas-asas hukum perdata adalah landasan Undang-Undang yang lebih mengutamakan kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan, yang dirumuskan dengan kata-kata: perjanjian (kesepakatan), koordinatif, campuran, retensi, dan pembuktian dengan dokumen serta dijelaskan sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2013:14) : 1) asas perjanjian Asas ini mengandung makna bahwa setiap pengangkutan diadakan dengan perjanjian antara pihak perusahaan pengangkutan dan penumpang atau pemilik barang. Tiket/karcis penumpang dan dokumen pengangkutan merupakan tanda bukti telah terjadi perjanjian antara pihak-pihak. Perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi dan mengikat harus dibuktikan dengan atau didukung oleh dokumen pengangkutan. 2) asas koordinatif Asas ini mengandung makna bahwa pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain. walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang atau pemilik barang, pengangkut bukan bawahan penumpang atau pemilik barang. Asas ini menunjukan bahwa

10 digilib.uns.ac.id 25 pengangkut adalah perjanjian pemberian kuasa (agency agreement). 3) asas campuran Asas ini mengandung makna bahwa pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari penumpang atau pemilik barang kepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan. 4) asas retensi Asas ini mengandung makna bahwa pengangkut tidak menggunakan hak retensi (hak menahan barang). Pengguna hak retensi bertentangan dengan tujuan dan fungsi pengangkutan. Pengangkut hanya mempunyai kewajiban menyimpan barang atas biaya pemiliknya. 5) asas pembuktiaan dengan dokumen Asas ini mengandung makna bahwa setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen pengangkutan. Tidak ada dokumen pengangkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika ada kebiasaan yang sudah berlaku secara umum. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad asas-asas hukum pengangkutan bersifat publik terdiri dari beberapa asas sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2013: 12) : 1) asas manfaat Penerbangan harus dapat memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan perikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara; 2) asas usaha bersama commit dan kekeluargaan to user

11 digilib.uns.ac.id 26 penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan; 3) asas adil dan merata penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat; 4) asas keseimbangan penerbangan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara saran dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional; 5) asas kepentingan umum Penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas; 6) asas keterpaduan penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar transportasi; 7) asas kesadaran hukum mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan penerbangan; 8) asas percaya pada diri sendiri penerbangan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa; 9) asas keselamatan commit penumpang to user

12 digilib.uns.ac.id 27 setiap penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan. a. Pengertian Pengangkutan Udara Definisi pengangkutan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pada Pasal 1 angka 26 yaitu pengangkutan adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undangundang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad Pengangkut pada pengangkutan udara adalah perusahaan pengangkutan udara yang mendapat izin operasi dari pemerintah menggunakan pesawat sipil dengan memungut bayaran (Abdulkadir Muhammad, 2013: 69). Adapun yang dimaksud dengan angkutan udara Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara yaitu setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandara udara ke bandara udara lain atau beberapa bandara udara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, menjelaskan bahwa angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Pengertian angkutan udara niaga dijelaskan pada Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yaitu angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

13 digilib.uns.ac.id 28 Pengangkutan sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 521 berbunyi barang siapa yang baik dengan suatu carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, baik dengan persetujuan lain mengikat dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang), seluruhnya atau sebagian melalui lautan. b. Hak Pengangkut Berdasarkan ketentuan Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) 1939 ditentukan hak pengangkut, yaitu sebagai berikut : 1) Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap pengangkut berhak untuk meminta kepada pengirim untuk membuat dan memberikan surat yang dinamakan surat muatan udara. 2) Pasal 9 menyebutkan bahwa bila ada beberapa barang, pengangkut berhak meminta kepada pengirim untuk membuat beberapa surat muatan udara. Menurut pendapat HMN. Purwosutjipto hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengangkut sebagai berikut (HMN. Purwosutjipto, 2003: 34) : 1) pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan; 2) pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang yang akan diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD; 3) penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut barang yang disertakan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan ketentuan Pasal 478 ayat (1) KUHD. c. Kewajiban Pengangkut Menurut pendapat Lestari Ningrum terdapat beberapa kewajiban pokok pengangkut udara yaitu sebagai berikut (Lestari Ningrum, 2004: 151) :

14 digilib.uns.ac.id 29 1) mengangkut penumpang dan/atau barang serta menerbitkan dokumen angkutan sebagai imbalan haknya memperoleh pembayaran biaya angkutan; 2) mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan pesawat udara; 3) dapat menjual kiriman yang telah disimpan (bukan karena sitaan) yang karena sifat dari barang tersebut mudah busuk, yang lebih dari 12 (dua belas) jam setelah pemberitahuan tidak diambil oleh penerima kiriman barang; 4) bertanggung jawab atas kematian atau lukanya penumpang yang diangkut, musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut, keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut. Menurut pendapat HMN. Purwosutjipto menerangkan bahwa kewajiban-kewajiban dari pihak pengangkut, sebagai berikut (HMN. Purwosutjipto, 2003:33-34) : 1) menyediakan alat pengangkut yang akan digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan; 2) menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/atau barang yang diangkutnya. Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang (penumpang) dan/atau barang yang akan diangkut, maka sejak saat itulah pihak pengangkut mulai bertanggung jawab (Pasal 1235 KUH Perdata); 3) kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD yang meliputi : a) mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutnya; b) mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan;

15 digilib.uns.ac.id 30 c) memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang diangkut. 4) menyerahkan muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Berdasarkan ketentuan Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) 1939 ditegaskan kewajiban pengangkut pada transportasi udara sebagai berikut : 1) Pasal 8 ayat (3), pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera setelah barang-barang diterimanya; 2) Pasal 16 ayat (2), bila barang sudah tiba di pelabuhan udara tujuan, pengangkut berkewajiban untuk memberitahu kepada penerima barang, kecuali bila ada perjanjian sebaliknya; 3) Pasal 17 ayat (1), bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk menerima barang-barang atau untuk membayar apa yang harus dibayarnya, atau bila barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di tempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak; 4) Pasal 17 ayat (2), pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan, juga kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram atau telepon, atas beban yang berhak tentang penyimpanan itu dan sebab-sebabnya. 3. Tinjauan tentang Penumpang a. Pengertian Penumpang Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut atau semua orang/badan hukum pengguna jasa angkutan, baik angkutan darat, laut dan kereta api, terdapat beberapa ciri penumpang sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2013: 51) : 1) orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pengangkutan; 2) membayar biaya angkutan; 3) pemegang dokumen commit angkutan. to user

16 digilib.uns.ac.id 31 b. Hak Penumpang Seorang penumpang dalam perjanjian angkutan udara mempunyai hak untuk diangkut ke tempat tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk atau dimaksud dalam perjanjian angkutan udara yang bersangkutan (Abdulkadir Muhammad, 2013:51). Disamping itu penumpang juga berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya suatu keterlambatan yang tidak sesuai dengan jadwal penerbangan, selain itu hak-hak penumpang lainnya adalah menerima dokumen yang menyatakannya sebagai penumpang, mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan keselamatan selama dalam proses pengangkutan. c. Kewajiban Penumpang Kewajiban utama penumpang adalah mematuhi seluruh aturan penerbangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menjelaskan bahwa setiap orang didalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan: 1) perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan; 2) pelanggaran tata tertib dalam penerbangan; 3) pengembalian atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan; 4) perbuatan asusila; 5) perbuatan yang mengganggu kententraman; atau 6) pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan. Dokumen-dokumen penerbangan tertulis kewajiban untuk datang check in paling lambat satu jam sebelum keberangkatan, selain itu terdapat syarat dan ketentuan antara lain tentang tiket yang hanya boleh dipergunakan sesuai nama yang tertera di tiket, penumpang wajib menyerahkan nomor commit bagasi to user ketika akan mengambil bagasi, serta

17 digilib.uns.ac.id 32 larangan membawa barang atau benda yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan ( diakses pada tanggal 16 April 2016, pukul WIB). 4. Tinjauan tentang Keterlambatan Penerbangan a. Pengertian Keterlambatan Penerbangan Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia, keterlambatan penerbangan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan, atau kedatangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dijelaskan bahwa keterlambatan terdiri dari : 1) keterlambatan penerbangan (flight delayed); 2) tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passanger); dan 3) pembatalan penerbangan (concelation of flight). Berdasarkan ketentuan Pasal 1239 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaian dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Pengertian keterlambatan penerbangan tersebut adalah keterlambatan penerbangan, tidak terangkutnya penumpang dan pembatalan penerbangan. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad keterlambatan merupakan hambatan pengangkutan udara. Waktu keberangkatan sering tertunda bahkan pembatalan tanpa alasan yang logis dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, hal ini menunjukan kurang siapnya

18 digilib.uns.ac.id 33 pengangkut udara dalam penyelenggaraan pengangkutan udara (Abdulkadir Muhammad, 2013: 196). 5. Tinjauan tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Menurut pendapat Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Peristiwa ini timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis (Subekti, 2002: 1). Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata diperlukan empat syarat, yaitu: 1) sepakat mereka yang mengikatkan diri (Toestemming). Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak. Unsur kesepakatan yaitu: a) offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan. b) acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran. Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Menurut pendapat Handri Raharjo dalam ilmu hukum, kecakapan dibedakan menjadi (Handri Raharjo, 2009:47-57) :

19 digilib.uns.ac.id 34 a) kecakapan tindakan pribadi orang perseorangan (Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, pada prinsipnya semua orang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. b) kecakapan dalam hubungan dengan pemberian kuasa untuk dapat melakukan tindakan hukum, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa harus sama-sama cakap. c) kecakapan dalam hubungannya dengan sifat perwalian dan perwakilan. Dalam hal perwalian harus memperhatikan kewenangan bertindak yang diberikan oleh hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) suatu hal tertentu Mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata dijelaskan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Sedangkan pada Pasal 1333 KUH Perdata yaitu suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurangkurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. 4) suatu sebab yang halal Isi dari perjanjian tidak dilarang oleh Undang-Undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1335 dijelaskan bahwa sutau persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. b. Perjanjian Pengangkutan Udara

20 digilib.uns.ac.id 35 Menurut pendapat Lestari Ningrum Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan sebagian dari suatu perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara (Lestari Ningrum, 2004: 168). Pengertian perjanjian pengangkutan menurut pendapat Abdulkadir Muhammad adalah persetujuan dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan, tetapi didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjan sudah terjadi dan mengikat (Abdulkadir Muhammad, 2013: 41). Menurut pendapat R. Subekti perjanjian pengangkutan yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak meyanggupi untuk dengan aman membawa orang/barang dari satu tempat ke tempat lain, sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar ongkosnya (R. Subekti, 2002:69). Menurut Pendapat Siti Nurbaiti suatu perjanjian pengangkutan pada dasarnya merupakan suatu perjanjian biasa, yang dengan sendirinya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk suatu perjanjian pada umumnya, yaitu tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam Buku ke III KUH Perdata tentang Perikatan, selama tidak ada pengaturan khusus tentang perjanjian pengangkutan dalam peraturan perundang-undangan di bidang angkutan (Siti Nurbaiti, 2009:13). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menjelaskan bahwa perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang commit dan/atau to user pengirim kargo untuk mengangkut

21 digilib.uns.ac.id 36 penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain. c. Pihak-Pihak dalam Pengangkutan Udara Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad pihak-pihak dalam pengangkutan adalah para subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, terdiri atas (Abdulkadir Muhammad, 2013:59) : 1) pihak pengangkut; 2) pihak penumpang; 3) pihak pegirim; dan 4) pihak penerima kiriman. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengangkutan sebagai perusahaan penunjang pengangkutan. Mereka itu adalah : 1) perusahaan ekspedisi muatan; 2) perusahaan agen perjalanan; 3) perusahaan agen pelayaran; dan 4) perusahaan muatan bongkar. Pihak pengangkut pada hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum, atau perseorangan. Pihak penumpang selalu berstatus perseorangan, sedangkan pihak penerima kiriman dapat berstatus perseorangan atau perusahaan. Pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan pengangkutan selalu berstatus perusahaan badan hukum atau persekutuan bukan badan hukum (Abdulkadir Muhammad, 2013:53). Menurut pendapat HMN. Purwosutjipto pihak-pihak dalam pengangkutan yaitu pengangkut dan pengirim. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Lawan commit dari pihak to user pengangkut adalah pengirim yaitu

22 digilib.uns.ac.id 37 pihak yang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan, dimaksudkan juga ia memberikan muatan (HMN. Purwosutjipto, 2003:4). Pihak-pihak yang telah diuraikan diatas merupakan pihak-pihak yang secara langsung terkait pada perjanjian pengangkutan. Disamping pihak yang terkait langsung, ada juga mereka yang secara tidak langsung terikat pada perjanjian pengangkutan niaga karena bukan pihak melainkan bertindak atas nama atau untuk kepentingan pihak lain, seperti ekspeditur, agen perjalanan, pengusaha bongkar muat, pengusaha perdagangan, atau karena dia memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan niaga seperti penerima (Abdulkadir Muhammad, 2013:54). 6. Tinjauan tentang Wanprestasi a. Pengertian Wanprestasi Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad wanprestasi yaitu tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Kewajiban tidak dapat dipenuhi oleh salah satu pihak karena kemungkinan alasan, yaitu (Abdulkadir Muhammad, 2010: 241) : 1) kesalahan debitor, baik kesengajaan maupun kelalaian; dan 2) keadaan memaksa (force majeure). Menurut pendapat Setiono, wanprestasi berarti ketiadaan suatu prestasi dan prestasi berarti suatu hal yang harus dilaksankan sebagai isi dari suatu perikatan. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi yang buruk. Wanprestasi dapat berwujud empat macam (Setiono,2012:13) : 1) pihak debitur sama sekali tidak melakukan prestasi; 2) pihak debitur terlambat melakukan prestasi; 3) pihak debitur salah atau keliru melakukan prestasi; atau 4) pihak debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

23 digilib.uns.ac.id 38 Menurut pendapat Mariam Darus B, bentuk wanprestasi itu hanya ada tiga macam, yaitu (Mariam Darus B, 2015:18) : 1) debitur sama sekali tidak memenuhi perjanjian. Hal ini jelas debitur tidak mau melaksanakan prestasi perikatan yang telah disanggupinya untuk dilaksanakan. Debitur secara tegas menolak melakukan untuk melakukan prestasi yang telah diperjanjikannya kepada kreditur, dalam keadaan ini pihak kreditur dapat menuntut ganti rugi. 2) debitur terlambat memenuhi perjanjian. Keadaan ini kreditur belum mengetahui secara pasti dari debitur, karena pada umumnya dalam suatu perjanjiaan para pihak tidak menentukan jangka waktu prestasi perlu diberikan jangka waktu untuk memastikan pelaksanaan prestasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan somasi yang menentukan kapan prestasi harus dilaksanakan, akan tetapi jika debitur tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka ia dapat dinyatakan lalai, dimana pihak kreitur dapat meminta ganti rugi. 3) debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perjanjian. Keadaan ini sama dengan debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali, oleh karena itu tidak perlu dilakukan somasi. b. Akibat Hukum Wanprestasi Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad akibat yang dilakukan salah satu pihak tidak memenuhi prestasi, antara lain : (Abdulkadir Muhammad, 2010: ) 1) debitor wajib membayar ganti kerugian (Pasal 1243 KUH perdata); 2) apabila perikatan tersebut timbal balik, maka pemutusan melalui pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata); 3) apabila perikatan tersebut untuk memberikan sesuatu, maka resiko akan beralih commit (Pasal to 1237 user ayat (2) KUH Perdata);

24 digilib.uns.ac.id 39 4) debitor wajib membayar biaya perkara jika dimuka pengadilan dinyatakan bersalah. Kewajiban membayar ganti rugi tersebut timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitor dinyatakan lalai dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menyatakan penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan 7. Tinjauan tentang Ganti Rugi a. Pengertian Ganti Rugi Ganti rugi adalah cara pemenuhan atau kompensasi oleh pengadilan yang diberikan kepada satu pihak yang menderita kerugian oleh pihak lain yang melakukan kelalaian atau kesalahan sehingga menyebabkan kerugian ( diakses pada tanggal 05 April 2016, pukul WIB). Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad bahwa Pasal 1234 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1248 KUH Perdata merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan Undang- Undang terhadap pengangkut dari perbuatan sewenang-wenang pihak penumpang sebagai akibat wanprestasi (Abdulkadir Muhammad, 2013: 41). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 18 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menjelaskan bahwa ganti rugi adalah uang yang dibayarkan atau sebagai pengganti atas suatu kerugian. Berdasarkan ketentuan tersebut penumpang berhak mendapatkan ganti rugi akibat kesalahan yang dilakukan oleh pengangkut. b. Unsur-Unsur Ganti Rugi

25 digilib.uns.ac.id 40 Berdasarkan ketentuan Pasal 1246 KUH Perdata menyebutkan bahwa biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi pengecualian dan perubahan. Menurut Pendapat Abdulkadir Muhammad dari Pasal 1246 KUH Perdata tersebut dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2010: 41) : 1) ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan; 2) kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah yang sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan,. 3) bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya. Menurut pendapat Satrio melihat bahwa unsur-unsur ganti rugi terdiri atas (J.Satrio, 1999: 147) : 1) sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya, untuk mudahnya dapat kita sebut prestasi pokok perikatannya, yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan; 2) sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya, seperti kalau ada prestasi yang tidak sebagaimana mestinya, tetapi kreditur mau menerimanya dengan disertai penggantian kerugian, sudah tentu dengan didahului proses atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi; 3) sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur karena keterlambatan prestasi dari kreditur, jadi suatu ganti rugi yang dituntut oleh kreditur disamping kewajiban perikatannya; 4) keduanya sekaligus, jadi dituntut baik penggantian kewajiban prestasi pokok perikatan commit to maupun user ganti rugi keterlambatan.

26 digilib.uns.ac.id 41 B. Kerangka Pemikiran Perusahaan Pengangkutan Udara Penumpang Perjanjian Penerbangan Hak Penumpang Keterlambatan Jadwal Penerbangan Faktor Cuaca Teknis Operasional Kerusakan Pada Pesawat Efisiensi Perusahaan Overmacht (Keadaan Memaksa) Wanprestasi Tanggung Jawab Perusahaan Pengangkutan Udara Ganti Rugi Gambar 1. Kerangka Pemikiran

27 digilib.uns.ac.id 42 Keterangan: Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berfikir dalam menggambarkan, menelaah, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan hukum tentang pertanggung jawaban pihak pengangkutan udara terhadap penumpang jika mengalami keterlambatan jadwal penerbangan. Hubungan hukum antara pihak penumpang dengan perusahaan pengangkutan udara terjadi pada saat penumpang membeli tiket sebagai pemenuhan kewajiban untuk membayar biaya penggunaan jasa penerbangan dan penumpang berhak mendapatkan hak nya untuk diantar sampai ke tujuan dengan selamat dan tepat waktu. Perjanjian penerbangan ini memuat hak-hak dan kewajiban antara perusahaan pengangkutan udara dan penumpang. Perusahaan memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan penerbangan sesuai dengan perjanjian jadwal keberangktan yang tertera pada tiket tersebut. Pada saat waktu penerbangan tiba terjadi keterlambatan penerbangan dimana hak penumpang tidak dapat dipenuhi. Faktor terjadinya keterlambatan penerbangan dapat disebabkan karena faktor cuaca dan teknis operasional dalam hal ini maskapai penerbangan dibebaskan dari tanggung jawab karena di anggap batal yang disebut degan overmacht atau kejadian diluar kehendak para pihak. Beda halnya apabila keterlambatan penerbangan terjadi karena faktor kerusakan pada pesawat dan alasan efisiensi perusahaan maka dapat menimbulkan wanprestasi atau melanggar perjanjian antara pihak penumpang. Dengan tidak dipenuhinya kewajiban dari pihak maskapai penerbangan, sebagai wujud pelaksanaan perlindungan terhadap penumpang, perusahaan pengangkutan udara harus memenuhi tanggung jawab atas keterlambatan jadwal penerbangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Selain tanggung jawab perusahaan pengangkutan udara juga harus memberikan ganti rugi kepada pihak penumpang yang telah dirugikan akibat dari keterlambatan penerbangan commit tersebut. to user

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian a. Pengertian Umum Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Ekspedisi Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. A. Pengertian Pengangkutan Dan Hukum Pengangkutan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. A. Pengertian Pengangkutan Dan Hukum Pengangkutan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengertian Pengangkutan Dan Hukum Pengangkutan 1. Pengertian Pengangkutan Beberapa ahli, memberikan pengertian mengenai pengangkutan di antaranya: a. Menurut

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN digilib.uns.ac.id 43 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tanggung Jawab Keperdataan atas Keterlambatan Jadwal Penerbangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pengangkutan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Tanggung Jawab Tanggung jawab pelaku usaha atas produk barang yang merugikan konsumen merupakan perihal yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan karena wilayahnya meliputi ribuan pulau. Kondisi geografis wilayah nusantara tersebut menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG 1.1 Hukum Pengangkutan 2.1.1 Pengertian Pengangkutan Dalam dunia perniagaan masalah pengangkutan memegang peranan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN DI DARAT

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN DI DARAT BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN DI DARAT A. Pengirim Barang dan Hubungannya dengan Pengguna Jasa. Pengangkutan merupakan salah satu hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan 1. Dasar Hukum Pengangkutan Pengangkutan kereta api pada dasarnya merupakan perjanjian sehingga berlaku Pasal 1235, 1338 KUH Perdata di mana PT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya salah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengertian dan Fungsi Pengangkutan Istilah pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transportasi merupakan salah satu jenis kegiatan pengangkutan. Dalam. membawa atau mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dalam kamus

BAB I PENDAHULUAN. transportasi merupakan salah satu jenis kegiatan pengangkutan. Dalam. membawa atau mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dalam kamus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang hampir setiap orang menggunakan alat transportasi untuk mereka bepergian, pada dasarnya penggunaan alat transportasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

Privat Law Vol. V No. 1 Januari-Juni

Privat Law Vol. V No. 1 Januari-Juni TANGGUNG JAWAB KEPERDATAAN DALAM PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN UDARA ATAS KETERLAMBATAN JADWAL PENERBANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN Shinta Nuraini Snuraini@rocketmail.com

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi Perkeretaapian UU No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 157 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang 16 BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang 1. Sejarah Pengangkutan Barang Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan kegiatan pendukung bagi aktivitas masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan geografis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jasa pengiriman paket dewasa ini sudah menjadi salah satu kebutuhan hidup. Jasa pengiriman paket dibutuhkan oleh perusahaan, distributor, toko, para wiraswastawan,

Lebih terperinci

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia pembangunan meningkat setiap harinya, masyarakat pun menganggap kebutuhan yang ada baik diri maupun hubungan dengan orang lain tidak dapat dihindarkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan dan kesatuan serta mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Dari kedua hal tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN 2.1. Pengangkut 2.1.1. Pengertian pengangkut. Orang yang melakukan pengangkutan disebut pengangkut. Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkut

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa pengaruh cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, saat ini hampir setiap orang dalam satu ruang lingkup keluarga memiliki

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA Suprapti 1) 1) Program Studi Manajemen Transportasi Udara, STTKD Yogyakarta SUPRAPTI071962@yahoo.co.id Abstrak Pada era

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN LAUT DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN LAUT DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN LAUT DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT 2.1 Pengangkutan Laut 2.1.1 Pengertian Pengangkutan Laut Pengangkutan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

Dokumen Perjanjian Asuransi

Dokumen Perjanjian Asuransi 1 Dokumen Perjanjian Asuransi Pada prinsipnya setiap perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam perjanjian asuransi perlu dilandasi dokumen perjanjian. Dari dokumen tersebut akan dapat diketahui berbagai

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Syarat-syarat dan Prosedur Pengiriman Barang di Aditama Surya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Syarat-syarat dan Prosedur Pengiriman Barang di Aditama Surya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Syarat-syarat dan Prosedur Pengiriman Barang di Aditama Surya Express 1. Syarat Sahnya Perjanjian Pengiriman Barang di Aditama Surya Express Perjanjian dapat dikatakan

Lebih terperinci

HUKUM PENGANGKUTAN LAUT DI INDONESIA

HUKUM PENGANGKUTAN LAUT DI INDONESIA HUKUM PENGANGKUTAN LAUT DI INDONESIA Pengangkutan Transportasi yang semakin maju dan lancarnya pengangkutan, sudah pasti akan menunjang pelaksanaan pembangunan yaitu berupa penyebaran kebutuhan pembangunan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3610) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3)

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3) TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENUMPANG MASKAPAI GARUDA INDONESIA YANG MENGALAMI KETERLAMBATAN PENERBANGAN DI BANDARA UDARA INTERNASIONAL ADI SOEMARMO SOLO Sri Sutarwati 1), Hardiyana

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT AKIBAT KETERLAMBATAN PENGIRIMAN BARANG. Suwardi, SH., MH. 1

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT AKIBAT KETERLAMBATAN PENGIRIMAN BARANG. Suwardi, SH., MH. 1 TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT AKIBAT KETERLAMBATAN PENGIRIMAN BARANG Suwardi, SH., MH. 1 ABSTRAK Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan barang yang diangkutnya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Hubungan hukum antara pihak maskapai penerbangan dengan konsumen. berdasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.

BAB V PENUTUP. 1. Hubungan hukum antara pihak maskapai penerbangan dengan konsumen. berdasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan penulis tentang permasalahan mengenai maskapai penerbangan, penulis memberikan kesimpulan atas identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Hubungan hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perjanjian

TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perjanjian 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alat penghubung pengangkutan antar daerah, untuk pengangkutan orang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alat penghubung pengangkutan antar daerah, untuk pengangkutan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sarana transportasi massal saat ini menjadi sangat penting karena letak Indonesia yang begitu luas serta dikelilingi lautan. Transportasi tersebut akan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita sadari atau tidak, perjanjian sering kita lakukan dalam kehidupan seharihari. Baik perjanjian dalam bentuk sederhana atau kompleks, lisan atau tulisan, dalam jangka

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlaku pada manusia tetapi juga pada benda atau barang. Perpindahan barang

I. PENDAHULUAN. berlaku pada manusia tetapi juga pada benda atau barang. Perpindahan barang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia saat ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa dampak cukup pesat bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501 BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501 2.1. Dasar Hukum Pengangkutan Udara Pengangkutan berasal dari kata angkut, seperti yang dijelaskan oleh Abdulkadir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini didasari beberapa faktor

BAB I PENDAHULUAN. sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini didasari beberapa faktor BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan daratan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta berupa perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sungai,

Lebih terperinci

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI ELECTRONIC BILL PRESENTMENT AND PAYMENT DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Perlindungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENGIRIMAN BARANG MENURUT KUH PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENGIRIMAN BARANG MENURUT KUH PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENGIRIMAN BARANG MENURUT KUH PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Syarat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH] BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dunia dan kerjasama di bidang perdagangan dan jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin banyak mengikatkan

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKUTAN PENUMPANG MELALUI PENGANGKUTAN UDARA

BAB II PENGANGKUTAN PENUMPANG MELALUI PENGANGKUTAN UDARA BAB II PENGANGKUTAN PENUMPANG MELALUI PENGANGKUTAN UDARA A. Pengangkutan dan Pengaturan Hukumnya Kata pengangkutan sering diganti dengan kata transportasi pada kegiatan sehari-hari. Pengangkutan lebih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan ketepatan, maka jasa angkutan udara sangatlah tepat karena ia merupakan salah satu transportasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat transportasi untuk mempermudah mobilisasi. Dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat transportasi untuk mempermudah mobilisasi. Dari berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini masyarakat memiliki mobilitas yang tinggi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Untuk mendukung mobilitas tersebut dibutuhkan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG PADA PT. KERTA GAYA PUSAKA (KGP) DAN AKIBAT HUKUMNYA JIKA TERJADI WANPRESTASI MOH ANWAR Fakultas Hukum, Universitas Wiraraja Sumenep Mohanwar752@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Asuransi Kerugian Dalam perkembangan dunia usaha tidak seorang pun yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang secara tepat, setiap ramalan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang secara geografis merupakan negara kepulauan dan secara ekonomi merupakan negara berkembang sangat membutuhkan jasa pengangkutan untuk menghubungkan

Lebih terperinci

Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. Oktober 2011

Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. Oktober 2011 Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA Oktober 2011 1 LATAR BELAKANG Memberikan pemahaman kepada penyedia dan pengguna jasa angkutan udara tentang arti sebuah tiket, surat muatan udara dan claim

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Asuransi 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut

Lebih terperinci

TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING

TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING Dhevy Nayasari Sastradinata *) *) Dosen Fakultas hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK Iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang transportasi dalam penyediaan sarana transportasi. Pemerintah juga melakukan. peningkatan pembangunan di bidang perhubungan.

BAB I PENDAHULUAN. bidang transportasi dalam penyediaan sarana transportasi. Pemerintah juga melakukan. peningkatan pembangunan di bidang perhubungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan pasca reformasi dewasa ini telah menunjukkan perkembangan pembangunan di segala bidang, bentuk perkembangan pembangunan itu salah satunya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri

BAB I PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hakhak, dan kedaulatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI 2.1 Asas Subrogasi 2.1.1 Pengertian asas subrogasi Subrogasi ini terkandung dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Harus diakui bahwa globalisasi merupakan gejala yang dampaknya

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Harus diakui bahwa globalisasi merupakan gejala yang dampaknya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Harus diakui

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN. merupakan salah satu kunci perkembangan pembangunan dan masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN. merupakan salah satu kunci perkembangan pembangunan dan masyarakat. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Tinjauan Umum Hukum Pengangkutan Udara 1. Pengertian Hukum Pengangkutan Udara Kemajuan pengangkutan adalah sebagai akibat kebutuhan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.118, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Penyelenggaraan. Pengusahaan. Angkutan Multimoda. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 8 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan. A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan. A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum Pengangkutan merupakan bidang yang sangat vital dalam

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masyarakat sangat bergantung dengan angkutan umum sebagai tranportasi penunjang

I. PENDAHULUAN. Masyarakat sangat bergantung dengan angkutan umum sebagai tranportasi penunjang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB MASKAPAI TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III TANGGUNG JAWAB MASKAPAI TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III TANGGUNG JAWAB MASKAPAI TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Tanggung Jawab Pengangkut Atas Keterlambatan Penerbangan 1. Perspektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tahun ke tahun terus berupaya untuk melaksanakan peningkatan pembangunan di berbagai

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT PERJANJIAN KREDIT Yang bertanda tangan di bawah ini : I. ------------------------------------- dalam hal ini bertindak dalam kedudukan selaku ( ------ jabatan ------- ) dari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN MULTIMODA. pengangkutan barang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan lebih efektif dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN MULTIMODA. pengangkutan barang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan lebih efektif dan 30 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN MULTIMODA 2.1. Pengertian Angkutan Multimoda Dengan dikenalnya sistem baru dalam pengangkutan sebagai bagian dari perekonomian saat ini yaitu pengangkutan multimoda

Lebih terperinci

BAB II PENYELENGGARAAN JASA ANGKUTAN UMUM PADA PENGANGKUTAN DARAT

BAB II PENYELENGGARAAN JASA ANGKUTAN UMUM PADA PENGANGKUTAN DARAT BAB II PENYELENGGARAAN JASA ANGKUTAN UMUM PADA PENGANGKUTAN DARAT A. Perjanjian Pengangkutan Dalam Penyelenggaraan pengangkutan sangat diperlukan adanya suatu Perjanjian, dimana perjanjian merupakansumber

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Perdagangan bebas berakibat meluasnya peredaran barang dan/ jasa yang dapat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN.  hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia dalam era globalisasi ini semakin menuntut tiap negara untuk meningkatkan kualitas keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka agar

Lebih terperinci