BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Obat tradisional telah berkembang secara luas di banyak negara dan semakin populer. Di berbagai negara, obat tradisional bahkan telah dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan strata pertama. Negara-negara maju yang sistem pelayanan kesehatannya didominasi pengobatan konvensional pun kini menerima pengobatan tradisional, walaupun mereka menyebutnya dengan pengobatan komplementer/alternatif (complementary and alternative medicine), misalnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Di Asia, negara yang banyak menggunakan obat tradisional adalah Cina, Korea, India, dan termasuk Indonesia. Di Indonesia, penggunaan obat tradisional merupakan warisan nenek moyang dan merupakan bagian dari budaya bangsa, telah dimanfaatkan masyarakat sejak berabadabad yang lalu dan secara luas disebut jamu. Indonesia terdiri dari berbagai suku, dan menurut Badan Pusat Statistik jumlah suku di Indonesia adalah yang tersebar di 33 provinsi. Keragaman tanaman obat dan obat tradisional di berbagai provinsi dan penggunaannya oleh berbagai suku menunjukkan kekayaan sumber obat dan pengobatan tradisional. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa 59,12 % penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan karena sakit. Dari penduduk yang pernah mengkonsumsi jamu, sebanyak 95,6% menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Dari hasil Riskesdas tahun 2010 juga menunjukkan bahwa 55,3% masyarakat mengkomsumsi jamu dalam bentuk cairan (infusum/decoct), sementara sisanya dalam bentuk serbuk, rajangan, dan hanya 11,6% dalam bentuk pil/kapsul/tablet. 1 Hasil Riskesdas ini menunjukkan bahwa jamu sebagai bagian dari pengobatan tradisional, telah diterima oleh masyarakat Indonesia dan sampai saat ini masih diakui keberadaannya. Hasil inventarisasi dokter praktik herbal se Jawa Bali tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 159 orang dokter yang tercatat sebagai anggota perhimpunan seminat 1

2 pengobatan tradisional. Sebanyak 76,9 % melakukan praktik jamu, dan sebagaian besar juga melakukan cara pengobatan tradisional lainnya terutama akupunktur. 2 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Strategi Pengembangan Pelayanan Kesehatan Tradisional (WHO Traditional Medicine Strategy ), telah memberikan pedoman umum yang dapat dipakai oleh negara anggota dalam mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional (traditional medicine) dan komplementer/alternatif. WHO merekomendasikan 4 (empat) strategi dalam mengembangkan pengobatan tradisional, yakni (a) mengembangkan kerangka regulasi dan kebijakan nasional tentang pengobatan tradisional, (b) mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional menjadi bermutu, aman, dan berkhasiat, (c) menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang bermutu, aman, dan berkhasiat, dan (d) menjamin penggunaan rasional terhadap pengobatan tradisional. 3 Hasil inventarisasi penelitian tanaman obat dan obat tradisional di perguruan tinggi di seluruh Indonesia, sebagian besar merupakan hasil uji pre-klinik. Sementara uji klinik memiliki porsi yang sangat kecil. Bukti ilmiah mengenai mutu, keamanan dan kemanfaatan jamu masih sangat diperlukan, karena hal ini merupakan salah satu persyaratan agar jamu dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah menetapkan bahwa pengobatan tradisional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan dari 17 intervensi kesehatan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut. 4 Penggunaan obat tradisional tidak hanya dilakukan melalui pengobatan sendiri/pengobatan rumah tangga dan pengobat tradisional (Battra), tetapi juga melalui pengobatan medis oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat) di praktik pribadi, Puskesmas, atau rumah sakit. Penyelenggaraan pengobatan tradisional oleh Battra diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 sedangkan penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1109/MENKES/Per/IX/2007. Tenaga pengobatan komplementer alternatif terdiri dari dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan terstruktur dalam bidang pengobatan komplementer-alternatif, termasuk pengobatan dengan jamu. Meskipun pengobatan tradisional, termasuk jamu, sudah banyak digunakan oleh tenaga kesehatan profesional maupun Battra, namun banyak tenaga profesional 2

3 kesehatan yang menyangsikan terhadap keamanan dan kemanfaatan pengobatan jamu dalam pelayanan kesehatan formal. Hal ini bisa dimengerti, karena sesuai dengan Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter/dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memenuhi standar pelayanan medis 5, yang pada prinsipnya harus memenuhi kaidah praktik kedokteran berbasis bukti (evidence based medicine). Di pihak lain, bukti-bukti ilmiah tentang mutu, keamanan dan kemanfaatan (jamu) dinilai belum adekuat untuk dapat dipraktikkan pada pelayanan kesehatan formal. Dengan kata lain, pengobatan jamu masih memerlukan bukti ilmiah yang cukup untuk dapat digunakan oleh tenaga kesehatan profesional. Dalam rangka menyediakan bukti ilmiah terkait keamanan dan kemanfaatan jamu, maka Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. 6 Salah satu tujuannya adalah memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu secara empirik melalui penelitian berbasis pelayanan yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini klinik pelayanan jamu/dokter praktik jamu. Untuk menjalankan Saintifikasi Jamu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010, maka telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/Menkes/SK/IX/2010 tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, yang salah satu tugasnya adalah menyusun pedoman penelitian jamu. Saintifikasi Jamu adalah upaya terobosan dalam rangka integrasi jamu kedalam pelayanan kesehatan formal, yakni dengan mengumpulkan bukti ilmiah keamanan dan kemanfaatan jamu melalui penelitian berbasis pelayanan. Dengan adanya bukti ilmiah maka jamu dapat digunakan oleh masyarakat secara aman dan bermanfaat. Selanjutnya industri dapat mengembangkan jamu tersebut sebagai sediaan berorientasi produk (product oriented) dengan mengikuti kaidah yang telah ditentukan. Karena pentingnya bukti ilmiah terkait keamanan dan kemanfaaan jamu dalam rangka integrasi jamu ke dalam pelayanan kesehatan formal, maka penelitian dan pengembangan (jamu) adalah sangat penting. Harus disadari bahwa jamu selalu terkait dengan budaya dan kepercayaan masyarakat. Pengobatan jamu bersifat holistik (lebih kepada healing dari pada curing), terapi biasanya bersifat simultan (body, mind, and spirit), hubungan pengobat dan pasien sangat inten dan bersifat individual. 7 3

4 Berangkat dari hal-hal yang spesifik pada pengobatan jamu tersebut, maka diperlukan pedoman penelitian yang spesifik untuk jamu, khususnya terkait keamanan dan kemanfaatan jamu. Pedoman ini dapat digunakan oleh semua pihak untuk evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu. Hasil penelitian Saintifikasi Jamu merupakan jamu saintifik yang dapat digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan formal (Puskesmas, klinik dan rumah sakit), serta dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menangani masalah kesehatan di tingkat komunitas (self-care dan pertolongan pertama). Pada dasarnya, produk akhir dari kegiatan Saintifikasi Jamu adalah jamu saintifik yang bersifat jamu generik yang dapat digunakan di pelayanan kesehatan maupun di masyarakat (komunitas). Tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan ke jalur industri dengan mengikuti aturan yang berlaku di Badan POM. Disamping itu, jamu saintifik dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi produk paten Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penyusunan pedoman ini adalah untuk memberikan panduan pelaksanaan studi klinik jamu untuk evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu, bagi kepentingan kesehatan masyarakat, melalui program Saintifikasi Jamu. Tujuan khusus 1. Memberi pedoman penelitian dalam rangka Saintifikasi Jamu, khususnya terkait evaluasi keamanan dan kemanfaatan 2. Meningkatkan mutu penelitian jamu, dengan metodologi dan dan desain yang tepat terkait uji kemanfaatan dan keamanan jamu 3. Memberikan acuan bagi seluruh pelaku penelitian Saintifikasi Jamu, dalam rangka memudahkan penyusunan protokol penelitian jamu 4. Sebagai alat komunikasi kepada berbagai pihak untuk menyamakan persepsi tentang metodologi penelitian Saintifikasi Jamu 1.3. Pengertian Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau campuran dari 4

5 bahan tersebut, yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang peracikan, pencampuran dan atau pengolahannya dalam bentuk rajangan, serbuk, perasan, rebusan, pilis atau tapel atau parem. Jamu dapat digunakan untuk diminum atau melumurkannya pada bagian tubuh. Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah (evidence based) tentang keamanan dan kemanfaatan jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Penelitian keamanan dan kemanfaatan jamu adalah suatu kegiatan penelitian yang runut dimulai dari uji mutu jamu, uji pre-klinik meliputi uji farmakologi dan uji toksisitas, hingga studi klinik jamu fase 3. Untuk formula turun-temurun, studi klinik bisa langsung ke fase 2 dan fase 3, sedangkan untuk formula baru harus runut mulai uji pre-klinik, studi klinik fase 1, studi klinik fase 2, dan studi klinik fase 3. Studi klinik jamu adalah penelitian jamu dengan mengikutsertakan subyek manusia dengan mengukur efek dari intervensi/terapi terhadap parameter klinik dan peningkatan kualitas hidup melalui baik diukur secara obyektif maupun subyektif. Jamu saintifik adalah jamu bentuk tunggal atau ramuan yang telah mendapatkan bukti ilmiah dari penelitian berbasis pelayanan. Penelitian berbasis pelayanan adalah pelaksanaan penelitian yang terintegrasi di fasilitas pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu. Komnas Saintifikasi Jamu adalah organisasi lintas disiplin ilmu dan lembaga riset sebagai pelaksana pembinaan dan peningkatan Saintifikasi Jamu dalam penelitian berbasis pelayanan, dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1334/Menkes/SK/IX/2010 tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Diklat Saintifikasi Jamu 50 jam adalah pendidikan dan pelatihan bagi dokter dan dokter spesialis yang berminat melakukan penelitian berbasis pelayanan, untuk 5

6 mendapat sertifikat dokter Saintifikasi Jamu dari organisiasi profesi dokter/ dokter spesialis. Sertifikat Kompetensi adalah sertifikat yang menyatakan kemampuan seseorang meliputi pengetahuan, keterampilan dan perilaku minimal yang harus dikuasai individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi setelah melalui proses pendidikan dan dinyatakan lulus dalam ujian kompetensi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dokter Saintifikasi Jamu (SJ) adalah dokter atau dokter spesialis yang telah memiliki sertifikat kompetensi untuk melakukan praktik kedokteran dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan menggunakan jamu dalam program Saintifikasi Jamu. 6

7 BAB II TUJUAN PROGRAM SAINTIFKASI JAMU DAN TUGAS KOMISI NASIONAL SAINTIFIKASI JAMU Dalam rangka melaksanakan tujuan program Saintifikasi Jamu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010, maka telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/MENKES/SK/IX/2010 tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Pada dasarnya tugas dari Komisi Nasional Saintifikasi Jamu adalah sebagai pelaksana (eksekutor) program Saintifikasi Jamu Tujuan program Saintifikasi Jamu Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian berbasis Pelayanan Kesehatan, tujuan program Saintifikasi Jamu adalah 6 : 1. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan 2. Mengembangkan jejaring penelitian jamu berbasis pelayanan dengan asosiasi profesi pelayanan kesehatan (Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia) 3. Meningkatkan penelitian dan pengembangan jamu untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang keamanan dan kemanfaatan jamu 4. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan 2.2. Fungsi Komisi Nasional Saintifikasi Jamu Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/MENKES/SK/IX/2010 tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, fungsi Komisi Nasional Saintifikasi Jamu adalah 8 : 1. Membina pelaksanaan Saintifikasi Jamu. 2. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu. 3. Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan Saintifikasi Jamu (metodologi penelitian jamu). 7

8 4. Mengusulkan kepada Kepala Badan Litbangkes mengenai bahan jamu, khususnya segi budi daya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan yang layak digunakan untuk penelitian. 5. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang pengadaan jamu. 6. Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek penelitiannya. 7. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifikasi jamu. 8. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik, hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang memerlukannya. 9. Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen, penentuan dan pelaksanaan silabus dan kurikulum serta sertifikasi kompetensi (Diklat Dokter Saintifikasi Jamu). 10. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian pelayanan termasuk perpindahan metode /upaya antara kuratif dan non kuratif hasil penelitian pelayanan praktik/ klinik jamu (termasuk melakukan kajian systematic review). 11. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan rujukan pelayanan jamu kepada Menteri Kesehatan melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 12. Membina Komisi Daerah Saintifikasi Jamu di Provinsi atau Kabupaten/Kota. 13. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program Saintifikasi Jamu kepada Menteri Kesehatan. Mencermati tujuan Program Saintifikasi Jamu dan tugas Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, maka salah satu tugas yang amat penting adalah menyusun pedoman nasional terkait dengan metodologi Saintifikasi Jamu. Berkaitan dengan hal tersebut maka dipandang perlu untuk menyusun Pedoman Metodologi Saintifikasi Jamu Untuk Evaluasi Keamanan dan Kemanfaatan Jamu. 8

9 BAB III PERTIMBANGAN DALAM EVALUASI KEAMANAN DAN KEMANFAATAN JAMU Dalam menetapkan metodologi penelitian yang sesuai untuk jamu, diperlukan berbagai pertimbangan karena karakteristik jamu yang berbeda dengan obat modern. Pertimbangan yang dikemukakan dalam bab ini berdasar pada beberapa pertanyaan berikut: a. Apakah pengembangan jamu saintifik dalam program Saintifikasi Jamu harus mengikuti tahapan pengembangan obat baru? b. Apakah mengevaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu berbeda dengan mengevaluasi keamanan dan kemanfaatan obat? c. Kalau harus dibedakan, dimensi apa yang harus dibedakan? (tahapan, desain penelitian, outome variables) d. Apakah uji klinik jamu untuk keperluan industri (dengan maksud didaftarkan ke Badan POM) harus dibedakan dengan uji klinik jamu untuk keperluan komunitas? Sebagaimana dimaklumi dalam pengembangan obat baru (obat modern) akan selalu diawali dengan (a) penelitian pre-klinik, (b) uji klinik fase 1, (c) uji klinik fase 2, (d) uji klinik fase 3, dan barulah obat dapat diajukan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk mendapat persetujuan agar dapat dipasarkan di Indonesia. Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga menyembuhkan penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya komplikasi dan kecacatan. Dalam prinsip dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat klinik obat yang diberikan harus melebihi risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat menilai secara obyektif keamanan dan kemanfaatan jamu diperlukan pengetahuan mengenai metodologi uji klinik, yaitu suatu perangkat metodologi ilmiah untuk menilai kemanfaatan klinik suatu obat atau perlakuan (intervensi) terapetik tertentu, dengan memperhatikan efek samping yang tidak dikehendaki (adverse effect) baik individual maupun populasi. Penilaian manfaat klinik (clinical efficacy) suatu obat tidak dapat didasarkan hanya pada pengalaman secara individual, baik oleh pemakai obat (prescriber) atau pasien saja. 9

10 Hal ini oleh karena dalam menginterpretasi pengalaman-pengalaman tersebut, masingmasing akan dipengaruhi oleh pre-condontion (bias) akan kemanfaatan obat yang dimaksud. Dalam praktik kedokteran konvensional, manfaat klinik suatu obat atau pengobatan harus dapat dibuktikan secara ilmiah dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hingga saat ini uji klinik telah diterima secara luas sebagai satusatunya metode yang efektif untuk menilai keamanan dan kemanfaatan suatu obat, tindakan pengobatan, atau strategi terapetik tertentu dalam klinik. UJI KLINIK FASE 1 UJI KLINIK FASE 2 UJI KLINIK FASE 3 PERSETUJUAN EDAR REVIEW BADAN POM PENYERAHAN DOKUMEN PENGAJUAN PERSETUJUAN UJI KLINIK OBAT BARU KEPADA BADAN POM UJI PRE-KLINIK KEPUTUSAN PENGEMBANGAN PENEMUAN SENYAWA BARU Gambar 1 Urutan penelitian pengembangan obat baru (Diadaptasi dari Schacter, 2006) 9 Tahapan pengembangan obat baru dimulai dari penemuan senyawa aktif (discovery) sampai dengan persetujuan ijin pemasaran dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Untuk dapat masuk uji klinik fase 1 (First in Human/ FIH), proses dimulai dari penemuan senyawa aktif sampai mendapat informasi lengkap secara preklinik, baik itu menyangkut profil farmakokinetik, farmakodinamik, toksisitas akut, toksisitas sub-kronik, toksisitas kronik, teratogenisitas, mutagenisitas, dan lain-lain, untuk dapat diajukan sebagai Investigational New Drug (IND) kepada Badan POM. Proses selanjutnya, IND dikaji keamaman dan kemanfaatannya, masuk ke dalam uji klinik fase 1, fase 2, dan fase 3, untuk selanjutnya dimintakan persetujuan ijin edar kepada Badan POM. Keseluruhan proses pengembangan obat baru ini umumnya memerlukan waktu antara tahun. 10

11 Uji pre-klinik Uji pre-klinik untuk obat atau suatu uji yang dilakukan secara in-vitro dan in-vivo pada hewan percobaan. Kebanyakan uji pre-klinik melibatkan skrining menggunakan software melalui pendekatan structure activity relationship (in-silico). Uji pre-klinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keamanan dan khasiat bahan uji sebelum diuji-cobakan pada manusia. Uji keamanan, yang biasa disebut uji toksisitas, meliputi toksisitas akut, toksisitas sub-kronis dan toksisitas khusus. Uji khasiat, yang meliputi uji farmakodinamik dan farmakokinetik digunakan untuk mengetahui mekanisme kerja. Uji klinik fase 1 Uji awal pada subyek manusia untuk mengetahui profil farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi) serta farmakodinamik. Pada uji klinik fase 1 akan diketahui profil keamanan pertama obat tersebut pada manusia, berkaitan dengan dosis dan memperoleh bukti awal efikasi obat dan regimen terapi. Umumnya menyertakan subyek sehat dalam jumlah terbatas namun mengikutsertakan pasien. dalam keadaan tertentu dapat Uji klinik fase 2 Uji klinik fase 2 merupakan uji klinik terkendali, dilakukan pada sejumlah subyek yang terbatas (kurang lebih 100 orang). Uji klinik fase 2 dimaksudkan untuk evaluasi lebih lanjut terhadap efikasi suatu obat pada indikasi tertentu yang sedang diteliti dan mengidentifikasi adanya risiko efek samping jangka pendek. Pemilihan subyek dilakukan terhadap pasien dengan kriteria inklusi dan eksklusi ketat, hanya menderita penyakit yang sedang diteliti. Uji klinik fase 2 dirancang sedemikian rupa sehingga semua faktor pengganggu (confounding factors) dapat dikendalikan. Uji klinik fase 3 Uji klinik fase 3 merupakan uji yang diperluas, menyertakan ratusan pasien dan dirancang sesuai kondisi pelayanan pengobatan yang sesungguhnya. Suatu uji terkendali, acak tersamar ganda (double blind randomized-controlled clinical trial). Namun dapat juga berupa uji klinik tanpa kontrol setelah suatu obat memiliki bukti awal efikasi. Uji klinik fase 3 ditujukan untuk memperoleh konfirmasi lebih lanjut atas efikasi suatu obat 11

12 baru dan keseluruhan hubungan manfaat-risiko. Uji klinik fase 3 menyertakan pasien dengan kriteria yang sesuai dengan kondisi seperti yang terdapat pada populasi, karena itu dapat memberikan indikasi dasar yang cukup bagi dokter untuk menggunakan obat baru ini. Uji klinik fase 4 (Post Marketing Surveillance) Merupakan uji pasca pemasaran untuk mendapatkan semua informasi tentang risiko/efek samping dan indikasi yang belum dapat terdeteksi pada uji klinik fase 1 sampai 3. Dari penjelasan diatas, kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah penelitian untuk evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu harus mengikuti tahapan penemuan obat baru? Masalah pokok yang dihadapi jamu adalah ketersediaan bukti ilmiah terpercaya. Di kalangan profesional kesehatan dan industri sampai saat ini, uji klinik merupakan baku emas (gold standard) yang dapat memberikan bukti terpercaya untuk obat yang akan dikonsumsi manusia. Sementara itu memang ada beberapa perbedaan mendasar antara entitas jamu dan obat (Lihat Tabel 1), sehingga perlu ada pertimbangan lain dalam meneliti kemanfaatan dan keamanan jamu. Tabel 1 Perbedaan karakteristik obat dan jamu yang harus diperhatikan dalam melakukan studi klinik jamu Karakteristik Obat Jamu Perlindungan pengetahuan Formula Pengujian Dosis Akses terhadap pengembangan obat tertutup, dilindungi paten Sudah ditetapkan terlebih dahulu dan sudah diuji Uji klinik yang kokoh atas keamanan dan pemanfaatan Dosis tetap, terukur secara akurat Akses terhadap pengembangan jamu terbuka, dapat diakses oleh setiap orang, merupakan kearifan lokal Formula tergantung dari kondisi setempat Pengujian secara klinik belum banyak dilakukan sebagian besar uji preklinik Dosis tidak tetap, dihitung secara kasar, zat aktif sangat bervariasi Regulasi Sangat ketat Tidak terlalu ketat 12

13 Melihat perbedaan karakteristik obat dan jamu sebagaimana Tabel 1, maka uji klinik untuk evaluasi kemanfaatan dan keamanan obat modern (yang dianggap sebagai baku emas) harus dimodifikasi sesuai dengan karakteristik jamu, yang sifatnya adalah tradisional, akses publik bersifat terbuka, kearifan lokal, dan sebagainya. Jamu telah digunakan turun-temurun selama berabad-abad oleh nenek moyang bangsa Indonesia, untuk meningkatkan kesehatan dan menjaga kebugaran. Pengalaman menggunakan jamu oleh nenek moyang dapat memberi bukti keamanan dan kemanfaatan jamu secara empirik. Bukti empirik memang bukan bukti ilmiah, namun upaya untuk meningkatkan bukti empirik menjadi bukti ilmiah merupakan terobosan berharga. Selama empat dekade terakhir ini konfirmasi keamanan dan kemanfaatan empirik dilakukan melalui uji pre-klinik pada hewan coba. Konfirmasi ini sudah dianggap terobosan sehingga jamu yang memiliki data pre-klinik dapat didaftarkan dan diberi ijin edar sebagai obat herbal terstandar (OHT) dan digunakan oleh masyarakat. Namun, persoalan lebih lanjut adalah seberapa jauh konfirmasi pre-klinik ini dapat dipercaya oleh kalangan profesional yang beranggapan bahwa human is the final test tube. Obat untuk manusia memang harus berdasarkan uji pada manusia. Uji klinik pada manusia harus mengikuti kaidah Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practices (GCP). Prinsip GCP pada dasarnya adalah kokoh secara ilmiah dan etika penelitian kesehatan. Secara etika, uji klinik harus menghargai martabat subyek penelitian, adanya kemanfaatan dan sekecil mungkin risiko, serta menerapkan azas keadilan tanpa diskrimasi terhadap semua subyek penelitian. Dengan mempertimbangkan karakteristik pengobatan jamu yang berbeda dengan obat modern dan di pihak lain uji klinik harus memenuhi prinsip-prinsip GCP, maka dipandang perlu untuk memodifikasi uji klinik obat modern, bila diterapkan pada uji klinik jamu. Hal yang mendasari pertama, karena kandungan senyawa dalam jamu sangat kompleks sehingga menyebabkan kesulitan menjelaskan mekanisme kerja dan profil farmakokinetik. Kedua, secara empirik keamanan penggunaan jamu pada manusia sudah teruji secara turun-temurun, tetapi secara ilmiah belum diakui. Dilain pihak bukti ilmiah dituntut oleh tenaga kesehatan profesional. Ketiga, produk akhir program Saintifikasi Jamu adalah jamu saintifik yang bersifat jamu generik, yang dapat dipakai oleh masyarakat luas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka uji klinik kemanfaatan dan 13

14 keamanan jamu pada Program Saintifikasi Jamu ini kita sebut sebagai: STUDI KLINIK JAMU. Studi klinik jamu adalah pembuktian ilmiah tentang keamanan dan kemanfaatan jamu berdasarkan bukti empirik yang sudah ada di masyarakat. Sementara, uji klinik jamu untuk mengarah pada produk pabrikan (produk fitofarmaka) tetap disebut UJI KLINIK, dan harus sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Lewith, Jonas, dan Walach (2005) 10 membedakan antara metodologi penelitian untuk evaluasi efikasi (effects testing) dan pola pemanfaatan di masyarakat (use testing), sebagaimana terlihat di Gambar 2. Gambar 2 Pola metodologi penelitian obat tradisional, terkait pengujian efek (effects testing) dan pengujian penggunaan (use testing). Sumber: Lewith, Jonas, dan Walach (2005). Dari Gambar 2 terlihat bahwa setiap pengguna hasil penelitian mempunyai preferensi tertentu terhadap bukti ilmiah hasil penelitian. Misalnya, regulator menginginkan bukti yang komprehensif terhadap efek suatu intervensi (pengobatan). Hal 14

15 ini hanya dapat dilakukan melalui metode riset: review atau meta-analisis. Peneliti klinik menginginkan bukti atribusi (pengaruh) apakah suatu outcome klinik benar-benar diakibatkan oleh suatu intervensi (pengobatan); hal ini hanya dapat dilakukan melalui Randomized Controlled Trials (RCT). Ilmuwan dasar ingin mengetahui mekanisme (patogenesa) suatu penyakit; hal ini hanya dapat dikerjakan melalui metode riset laboratorium. Di pihak lain, ahli kesehatan masyarakat lebih menyukai aspek-aspek penggunaan / pemanfaatan suatu intervensi di masyarakat; hal ini dapat dikerjakan melalui metode riset pelayanan kesehatan (health system research). Praktisi lebih menyukai hasil-hasil penelitian yang terkait dengan efektivitas (penggunaan secara secara riil di klinik atau di masyarakat); hal ini dapat dikerjakan dengan pendekatan metode riset epidemiologi (studi survei potong lintang, studi observasional). Selanjutnya, pasien biasanya lebih tertarik kepada hasil penelitian studi kasus kualitatif. Bahkan, informasi anectodal (testimoni) dapat mempengaruhi pasien dalam pola pencarian pengobatan. Dalam melakukan penelitian saintifikasi jamu, kita harus menyeimbangkan antara metode pengujian efek (effect testing) dan metode pengujian penggunaan (use testing). Dengan melihat diagram pada Gambar 2, maka untuk mendapatkan bukti yang kokoh terhadap klaim efikasi (bukti pengaruh / atribusi) suatu intervensi (pengobatan) maka metode yang digunakan haruslah uji klinik dengan metode Randomized Controlled Trials (RCT). Penelitian observasional (pendekatan epidemiologi) hanya mampu menyediakan bukti efektivitas (bukti asosiasi) antara outcome klinik dan suatu intervensi (pengobatan). Dikaitkan dengan metode penelitian saintifikasi jamu, karena jamu secara kultural sudah dipraktikkan masyarakat secara turun temurun, maka baik metodologi pengujian efek (effect testing) dan pengujian penggunaan (use testing) perlu dikerjakan secara berimbang sesuai dengan tujuan dilaksanakannya penelitian. Isu lain yang harus dipertimbangkan dalam studi klinik jamu adalah bahwa pengobatan tradisional, termasuk modalitas jamu, menggunakan pendekatan holistik. Pengobatan holistik menggunakan pendekatan yang utuh antara raga-jiwa-ruhani (body-mind-spirit), sementara pengobatan modern (alopatik) menggunakan pendekatan partial (reduksionisme). Sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Hahnemann, seorang tokoh naturopathy, bahwa pekerjaan (panggilan) tertinggi dari seorang dokter adalah 15

16 memulihkan kesehatan si sakit, yang ujungnya berdampak pada kesembuhan (healing) (lihat Gambar 3). Gambar 3 Prinsip pengobatan holistik sebagaimana diungkapkan Samuel Hahnemann. Prinsip pendekatan holistik pada pengobatan tradisional termasuk jamu 1. Mencari pola dan penyebab. 2. Mengobati manusia secara utuh/keseluruhan. 3. Nyeri dan penyakit dipandang sebagai tanda yang menunjukkan internal disharmony (ketidakseimbangan dalam tubuh). 4. Penyakit dipandang sebagai proses. 5. Tubuh dianggap sebagai sistem yang dinamik dari area raga-jiwa-ruhani (body-mindspirit) dan energi. 6. Teori dan konsep pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit bersandar pada pendekatan holistik. 7. Gangguan kesehatan ditangani/diobati secara menyeluruh dan bersamaan, baik dari aspek fisik, mental, spiritual, emosional, sosial dan lingkungan. 8. Pengobatan holistik selalu dikombinasi dengan praktek perilaku hidup sehat, antara lain diet makanan tertentu, olahraga, menghindari stress. 9. Dipertimbangkannya informasi kualitatif pasien, termasuk pernyataan pasien tentang konsep sakit-sehat, hasil pengobatan, perilaku, intuisi dan lainnya. 10. Kesetaraan hubungan dokter dan pasien lebih dominan, waktu konsultasi lebih panjang, pasien lebih bebas dan menerima tanggung jawab sendiri. 16

17 Pengukuran outcome klinik dari studi klinik jamu Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa pengobatan jamu terkait dengan isu sudah digunakan turun temurun, sudah ada bukti empirik di masyarakat, sifat jamu yang berbeda dengan obat modern, pendekatan pengobatan holistik, maka pengukuran variabel outcome klinik pada pengobatan dengan jamu haruslah mampu menyeimbangkan parameter obyektif (pendekatan etik/ukuran-ukuran menurut pandangan dokter) dan parameter subyektif (pendekatan emik /ukuran-ukuran menurut pandangan pasien). Parameter obyektif 1. Survival (kematian) 2. Variabel obyektif ( hasil pemeriksaan yang terukur) Parameter subyektif 1. Kualitas hidup secara umum (Quality of Life) 2. Kualitas hidup terkait dengan penyakitnya (misalnya skor rematik, skor dispepsia, dan skor lainnya sesuai dengan penyakit yang diteliti) 3. Data naratif dari hasil wawancara mendalam Bagaimana studi klinik jamu sebaiknya dilaksanakan? Pada dasarnya studi klinik Jamu dan uji klinik obat harus menerapkan prinsip Cara Uji klinik yang Baik (CUKB), tidak ada perbedaan pesyaratan bagi kedua uji tersebut. Akan tetapi berdasarkan perbedaan karakteristik antara jamu dan obat maupun praktik pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional menggunakan jamu, maka studi klinik jamu sebaiknya merupakan modifikasi CUKB. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti studi klinik jamu, meliputi: a. perbedaan klasifikasi dan cara diagnosis penyakit b. memastikan pengobatan yang adekuat c. interaksi antara efek plasebo dan non plasebo, interaksi antara jamu dan obat d. pemilihan parameter outcome klinik, apakah sesuai dengan yang dipahami pasien dan atau sesuai teori kedokteran. e. risiko terkait dengan modalitas yang belum baku 17

18 f. asumsi-asumsi pada penerapan randomisasi, ketersamaran dan hal-hal yang mempengaruhi. g. mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama pengobatan berjalan terkait dengan sifat dasar holistik dalam pengobatan dengan jamu. h. setiap desain studi klinik jamu akan berimplikasi pada tingkatan pembuktian (level of evidence). Pada jamu yang telah mempunyai bukti empirik (turun-temurun), maka dapat dilakukan modifikasi metodologi penelitian jamu dengan mengandalkan data keamanan dan kemanfaatan empirik yang sistimatik dan valid melalui beberapa metoda. Data empirik ini dianggap penting dan menjadi kata kunci utama, karena dewasa ini banyak ramuan herbal yang sebenarnya tidak turun temurun, namun diklaim sebagai obat tradisional. Dan kedua jenis jamu ini (jamu dan ramuan/formula baru) memang sulit dibedakan dan mudah diperdebatkan. Dalam hal ini, validitas data awal mengenai keamanan dan kemanfaatan menjadi tantangan bagi independent reviewer baik komisi etik, komisi ilmiah maupun penilai uji klinik. Selain itu, perlu dibedakan antara studi klinik dalam konteks memperoleh produk komersial untuk industri dan studi klinik jamu yang akan diterapkan untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Tabel 2. Metodologi uji keamanan dan kemanfaatan jamu A Jamu untuk komunitas (publik) Pendekatan metodologi dan desain 1 Deskripsi pemanfaatan Studi ethno-medicine oleh masyarakat Studi epidemiologi (Cross-sectional survey) Studi pelayanan kesehatan (health services research) 2 Ramuan/formula turun temurun Studi klinik jamu fase 2 (dengan desain outcome study) Studi klinik jamu fase 3 (dengan desain RCT tanpa blinding) 3 Ramuan/formula baru Studi pre-klinik (uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronik) Studi klinik jamu fase 1 Studi klinik jamu fase 2 (dengan desain outcome 18

19 study) Studi klinik jamu fase 3 (dengan desain RCT tanpa blinding) B Jamu untuk orientasi produk Pendekatan metodologi dan desain 1. Fitofarmaka Uji pre-klinik Uji klinik fase 1 Uji klinik fase 2 Uji klinik fase 3 (blinding) Aplikasi ke Badan POM 19

20 BAB IV SYARAT BAHAN UNTUK SAINTIFIKASI JAMU Alur pikir yang digunakan untuk menyediakan bukti ilmiah penggunaan jamu adalah pendekatan logiko empiriko verifikatif, yaitu melakukan penelitian ilmiah yang dapat diterima secara keilmuan untuk mem-verifikasi manfaat penggunaan jamu yang secara empiris digunakan oleh masyarakat secara turun-temurun. Seberapa jauh validitas keamanan dan kemanfaatan jamu empirik? Keamanan dan kemanfaatan jamu empirik merupakan isu (permasalahan) yang mengundang perdebatan bagi peneliti dan praktisi pelayanan kesehatan. Apalagi dewasa ini banyak ramuan baru yang menyebut diri memiliki khasiat empirik. Namun demikian, data empirik ini merupakan data yang penting untuk mendapatkan kemudahan dalam penerapan studi klinik jamu. Data valid yang dibutuhkan terutama adalah data keamanan dan kemanfaatan empirik. Data empirik dapat juga diperoleh melalui studi etnografi, survei masyarakat, observasi dengan penerapan kaidah klinik terhadap praktik pengobat tradisional (battra) terpilih atau kajian atas catatan pengobatan battra, dan studi epidemiologi lainnya. Jika data keamanan dan kemanfaatan dirasa kurang valid maka perlu diperbaiki melalui data-data pre-klinik dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam studi klinik jamu, khususnya terkait dengan evaluasi kemanfaatan dan keamanan, maka bahan uji haruslah memenuhi standar yang telah ditetapkan, baik oleh Farmakope Herbal Indonesia maupun buku-buku pedoman lainnya. Komponenkomponen standarisasi bahan uji adalah seperti pada Gambar 4. 20

21 Gambar 4 Standarisasi Bahan Uji Saintifikasi Jamu Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang dikeringkan. Jaminan mutu simplisia meliputi penerapan proses pengolahan untuk memperoleh simplisia yang benar, bersih, aman dan berkhasiat. Keamanan dan khasiat jamu sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakunya termasuk yang digunakan sebagai bahan studi klinik jamu. Beberapa faktor yang mempengaruhi mutu bahan baku jamu, yang bisa diklasifikasikan sebagai internal atau genetik dan eksternal atau lingkungan antara lain metoda koleksi, budidaya, panen, paska panen, transportasi dan penyimpanan. Faktor-faktor tersebut merupakan parameter fisika dan kimia, sebagaimana yang tercantum pada Farmakope Herbal Indonesia (FHI) 11. Buku ini mencantumkan persyaratan yang harus dipenuhi bahan uji jamu, dan obat tradisional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 374/Menkes/SK/IV/2008, selain itu dapat merujuk pula Materia Medika Indonesia (MMI) (12) (lihat Gambar 4). Dalam buku Pedoman Good Agricultural Collecting Practice (GACP) 13 yang diterbitkan WHO, sudah dijelaskan secara rinci, bagaimana memilih dan menentukan kualitas tanaman obat sebagai sumber bahan baku obat herbal. GACP WHO tersebut 21

22 memuat tata cara mengumpulkan bahan baku herbal, dengan memperhatikan waktu, iklim dan kondisi petik atau panen yang tepat, bagian tanaman yang dipakai, meminimalkan kontaminasi tanah, mikroba dan pengotor lain. Saat panen atau pengambilan bahan tanaman obat, harus memperhatikan musim dan umur tanaman untuk menjamin kualitas dan kandungan senyawa aktif yang maksimal, karena kandungan senyawa aktif suatu tanaman obat sangat dipengaruhi oleh umur dan pertumbuhan tanaman. Waktu yang tepat untuk pengambilan tanaman harus berdasarkan perkiraan kandungan senyawa aktif yang tertinggi, bukan berdasar volume atau berat tanaman obat. Bahan rimpang temu-temuan akan memiliki kadar zat aktif pada saat bagian diatas tanah dari tanaman sedang mengering. Di Indonesia pada umumnya terjadi pada bulan Juli sampai September. Proses paska panen harus juga mendapat perhatian karena turut menentukan mutu simplisia. Proses paska panen meliputi sortasi, pencucian, perajangan, pengeringan, serta penyimpanan, yang harus dilakukan secara tepat agar diperoleh simplisia yang stabil secara fisik maupun kimiawi. Beberapa parameter yang dianjurkan untuk menentukan mutu bahan tanaman obat antara lain: 1. Identitas simplisia Perlu dilakukan verifikasi botani, yaitu penentuan taksonomi, pengamatan makroskopik dan mikroskopik. 2. Parameter fisik Pengamatan fisik : organoleptik (bentuk, warna, rasa, bau) 3. Evaluasi parameter non spesifik meliputi kadar air, kadar abu total, kadar abu tak larut asam, kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol, batas cemaran mikroba, logam berat dan pestisida. 4. Evaluasi parameter spesifik meliputi: kebenaran bahan melalui analisis kromatografi, meliputi Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas (KG), Kromatografi Cair Kerja Tinggi (KCKT) serta analisis spektrofotometri (Ultra violet- Visual, Infra Red, Nuclear Magnetic Resonance, Mass Spectrophotometry). 5. Informasi tentang bahan uji obat herbal cara penyiapan sediaan, posologi atau regimen pengobatan yang digunakan harus dibuat tertulis dalam bentuk brosur peneliti (investigational brochure). 22

23 Bahan uji harus disiapkan oleh apoteker independen, dengan prosedur operasional baku tertulis untuk menjamin mutu tiap batch. Dalam hal aspek budidaya, yang juga sangat menentukan mutu bahan yang dihasilkan, dapat merujuk pada GACP WHO dan Materia Medika Indonesia. Pada pengadaan bahan baku program Saintifikasi Jamu yang telah berlangsung, bahan uji jamu disediakan oleh B2P2TO-OT Tawangmangu, yang telah menerapkan kaidah baku mutu sejak penyediaan bibit, budidaya, hingga pasca panen. Parameter mutu bahan uji yang diperoleh dari B2P2TO-OT merupakan baku kerja. Dengan meluasnya cakupan wilayah pelayanan Saintifikasi Jamu di seluruh tanah air, keperluan bahan uji jamu akan sangat meningkat, dapat disuplai oleh pihak-pihak lain dan harus dikonversi terhadap baku kerja. Oleh karena itu ketentuan standarisasi proses hulu sampai dengan hilir harus segera ditetapkan melalui kebijakan Kementerian Kesehatan, agar kualitas bahan uji jamu terjaga dan dapat dipertanggungjawabkan. Sediaan jamu yang diuji pada saat ini formulanya ditentukan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu dan disiapkan oleh B2P2TO-OT Tawangmangu. Apabila ada pihak lain yang akan menyiapkan sediaan uji tersebut harus mengikuti persyaratan mutu yang telah ditetapkan oleh B2P2TO-OT. Persyaratan ramuan/formula Pemilihan bahan secara tepat Mengingat bahan jamu sangat bervariasi, maka sebaiknya menggunakan jenis dan sumber yang jelas. Sebagai contoh, berdasarkan pustaka, tanaman lempuyang ada 3 jenis, yaitu lempuyang emprit (Zingiber amaricans L.), lempuyang gajah (Zingiber zerumbert L.) dan lempuyang wangi (Zingiber aromaticum L.). Lempuyang emprit dan lempuyang gajah berwarna kuning berasa pahit dan secara empiris digunakan untuk menambah nafsu makan; sedangkan lempuyang wangi berwarna lebih putih (kuning pucat) rasa tidak pahit dan berbau lebih harum, banyak digunakan sebagai komponen jamu pelangsing. Kenyataannya banyak penjual simplisia yang kurang memperhatikan hal tersebut, sehingga kalau ditanya jenisnya hanya mengatakan yang dijual lempuyang tanpa mengetahui apakah lempuyang wangi atau yang lain. 23

24 Takaran/dosis Jamu Dosis ramuan harus ditetapkan berdasarkan penggunaan empiris dan hasil penelitian. Dosis yang terlalu kecil tidak akan memberikan manfaat sedangkan dosis yang terlalu tinggi akan memberikan efek samping merugikan. Sebagai contoh, daun seledri (Apium graveolens L.) telah diteliti dan terbukti mampu menurunkan tekanan darah, tetapi pada penggunaannya harus berhati-hati karena pada dosis berlebih (over dose) dapat menurunkan tekanan darah secara drastis, sehingga jika penderita tidak tahan dapat menyebabkan syok. Oleh karena itu sebaiknya tidak mengkonsumsi lebih dari 1 gelas perasan seledri untuk sekali minum. Contoh lain adalah penggunaan gambir untuk menghentikan diare. Kandungan tanin yang tinggi dalam gambir dapat menyebabkan konstipasi yang berkepanjangan jika dikonsumsi lebih dari 1 ibu jari sekali minum. Ketepatan waktu penggunaan Waktu penggunaan jamu harus tepat dalam pelayanannya. Dalam pelayanan diperlukan kehati-hatian. Meskipun jamu terjamin keamanannya, namun kehati-hatian tetap diperlukan. Sebagai contoh, sekitar tahun 1980-an terdapat suatu kasus di salah satu rumah sakit bersalin, beberapa pasien mengalami kesulitan persalinan akibat mengkonsumsi jamu cabe puyang sepanjang masa (termasuk selama masa kehamilan). Setelah dilakukan penelitian, ternyata jamu cabe puyang mempunyai efek menghambat kontraksi otot polos pada binatang percobaan. Ibu hamil yang mengkonsumsi jamu cabe puyang pada masa yang mendekati persalinan maka kontraksi otot rahim terhambat sehingga mempersulit persalinan. Ketepatan cara penggunaan Cara penggunaan jamu harus tepat, mengingat tidak semua herbal aman. Sebagai contoh, daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui mengandung alkaloid turunan tropan yang bersifat bronkodilator (dapat memperlebar saluran pernafasan) sehingga digunakan untuk pengobatan penderita asma. Penggunaannya dengan cara dikeringkan lalu digulung dan dibuat rokok serta dihisap (seperti merokok). Penggunaan tanaman obat secara direbus dan diminum tidak berlaku pada penggunaan kecubung, karena akan terjadi keracunan akibat tingginya kadar alkaloid dalam darah. 24

25 BAB V METODOLOGI PENELITIAN EVALUASI KEAMANAN DAN KEMANFAATAN JAMU Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tujuan Saintifikasi Jamu adalah menyediakan bukti ilmiah tentang keamanan dan kemanfaatan jamu, khususnya terkait dengan penggunaan jamu untuk komunitas. Alur pikir yang digunakan untuk menyediakan bukti ilmiah penggunaan jamu adalah pendekatan logiko empiriko verifikatif, yaitu melakukan penelitian ilmiah yang dapat diterima secara keilmuan untuk mem-verifikasi manfaat penggunaan jamu, yang secara empiris digunakan oleh masyarakat secara turun temurun. Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas tentang metodologi penelitian jamu sebagaimana telah diidentifikasi di Bab III Studi deskriptif Studi ethnomedicine Ethnomedicine adalah ilmu yang mempelajari aspek kesehatan melalui pendekatan budaya untuk mengetahui cara pengobatan, sejarah pengobatan, masalahmasalah sosial dalam pengobatan dan masalah kesehatan masyarakat yang bersifat kearifan lokal. Penelitian dapat berupa : - Inventarisasi pengobatan tradisional menggunakan jamu, hewan, dan mineral yang digunakan oleh etnis tertentu di Indonesia. - Eksplorasi dan inventarisasi manfaat pengobatan dengan jamu yang digunakan oleh pengobat tradisional di Indonesia Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian untuk memahami perilaku manusia secara mendalam dengan mengumpulkan data dalam bentuk narasi (kata-kata) dan gambar/foto, bersifat deskriptif. Studi ethnomedicine menerapkan prinsip-prinsip metode studi etnografi (ethnographic studies). Studi etnografi mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok sosial atau sistem di masyarakat. Meskipun makna budaya itu sangat luas, tetapi studi etnografi biasanya dipusatkan pada pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan cara-cara hidup

26 Etnografi adalah suatu riset untuk menggali dan mempelajari sosial budaya yang merupakan dasar pengalaman manusia. 15 Riset ini memanfaatkan pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang sosial budaya berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Etnografer bertugas membuat deskripsi mendalam (thick descriptions) yang menggambarkan kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan dianggap sebagai kewajaran (taken-for granted) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses sosial yang lebih luas, berdasarkan pengalaman informan. Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penelitian kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks keseluruhan cara hidup, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan (life-worlds) dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif, termasuk participant observation, wawancara mendalam (indepth interview) dan diskusi kelompok terarah (focused group discussion). Studi ethnomedicine mempelajari praktik-praktik pengobatan tradisional baik oleh battra maupun oleh masyarakat termasuk modalitas terapi yang digunakan (jamu) dengan pendekatan etnografi. Dalam studi ethnomedicine, peneliti adalah pembelajar sementara informan adalah ahli dalam pengobatan tradisional. Untuk mendapatkan penjelasan detail terkait studi ethnomedicine dapat dibaca pada buku-buku metodologi terkait etnografi, ethnomedicine, dan etnofarmakologi Studi epidemiologi Epidemiologi adalah suatu studi tentang kejadian dan determinan masalah kesehatan di masyarakat. Last (2001) mendeskripsikannya sebagai Ilmu tentang distribusi dan determinan-determinan dari keadaan atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan di dalam populasi tertentu, serta penerapannya untuk mengendalikan masalah masalah kesehatan. 16 Tujuan studi epidemiologi adalah: - Mendiagnosis masalah kesehatan masyarakat - Menentukan riwayat alamiah dan etiologi penyakit 26

27 - Menilai dan merencanakan pelayanan kesehatan Studi epidemiologi secara garis besar dapat dibagi menjadi: 1) Studi deskriptif : studi/penelitian epidemiologi yang menitikberatkan pada karakteristik dari frekuensi/distribusi penyakit dalam kaitannya dengan faktor person (who), time (when) dan place (where) 2) Studi analitik: studi epidemiologi yang menitikberatkan pada pencarian hubungan sebab-akibat: sebab (faktor risiko), akibat (kejadian penyakit) Dalam pendekatan epidemiologi, jenis penelitian dapat berupa penelitian penelitian observasional dan ekperimental. Penelitian observasional dapat berupa survei crosssectional, case-control study, dan cohort study. Untuk mendapatkan penjelasan detail tentang studi epidemiologi dapat dibaca pada buku-buku rujukan epidemiologi dan studi eksperimental. Kaitannya dengan studi jamu, survei cross-sectional merupakan metode yang penting untuk mendapatkan informasi terkait angka kejadian (prevalensi) dan pola penggunaan jamu di masyarakat, pengobat tradisional, dan pemberi pelayanan kesehatan profesional. Sebagai contoh, Riskesdas tahun 2010 telah melakukan survei secara nasional tentang penggunaan jamu di Indonesia. Data ini menjadi sangat penting dalam rangka mendapatkan data dasar (base-line data) tentang penggunaan jamu di seluruh provinsi di Indonesia Studi pelayanan kesehatan Studi pelayanan kesehatan (health services research) atau sering disebut juga studi sistem kesehatan (health system research ) adalah studi terhadap sistem pelayanan kesehatan khususnya terkait upaya efisiensi dan efektivitas sistem kesehatan sebagai bagian integral dari proses pengembangan sosial ekonomi dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat. 16 Studi pelayanan kesehatan biasanya fokus pada masalah prioritas, orientasi pada solusi masalah (action oriented), multidisiplin, orientasi pengguna (client oriented), dilaksanakan tepat waktu (timely), disain sederhana, dan hasilnya disampaikan pada klien dengan format yang familiar dengan klien (pengambil kebijakan). 17 Studi pelayanan kesehatan terkait dengan pelayanan jamu, misalnya studi effectiveness analysis pengobatan jamu versus pengobatan obat modern, studi Cost 27

28 benefit analysis pengobatan jamu versus pengobatan obat modern, studi manajemen pengobatan tradisional, studi analisis kebijakan pengobatan tradisional, dan sebagainya. Studi pemetaan kebijakan nasional negara-negara di dunia terkait pengobatan tradisional yang dilaksanakan oleh WHO (National Policy on Traditional Medicines and Regulation of Herbal Medicines, 2005) 18 adalah contoh dari studi dengan pendekatan health system research. Penjelasan lebih detail terkait metodologi studi pelayanan kesehatan dapat diperoleh pada rujukan metodologi studi pelayanan kesehatan (health system research), manajemen kesehatan, dan kebijakan kesehatan (health policy research) Studi evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu Studi pre-klinik jamu Uji pre-klinik adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum studi klinik jamu atau pengujian pada manusia. Uji pre-klinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keselamatan dan khasiat bahan uji sebelum diuji-cobakan pada manusia. Informasi yang diperoleh dengan menafsirkan data dalam uji preklinik sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya produk berbahaya dan beracun agar tidak memasuki lingkungan dan masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat mempercepat penemuan obat dan meringkas proses pengembangan obat. Uji pre-klinik jamu dilakukan in-vivo pada hewan percobaan. Uji preklinik jamu meliputi uji keamanan dan kemanfaatan jamu, sebagai berikut: 1) Uji keamanan, yang biasa disebut uji toksisitas, merupakan evaluasi efek berbahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan uji pada organ yang dijadikan sasaran. - Toksisitas akut, merupakan efek yang merugikan yang timbul setelah pemberian dosis (oral) tunggal dari suatu bahan uji, atau pemberian dosis berulang dalam waktu 24 jam. - Toksisitas sub-kronis adalah efek-efek yang merugikan yang terjadi setelah pemberian dosis (oral) tunggal setiap hari dari suatu bahan uji kepada hewan percobaan selama 1-3 bulan. - Toksisitas khusus meliputi uji mutagenik, karsinogenik dan uji teratogenik. Uji mutagenik digunakan untuk menilai perubahan sifat mutagen (perubahan sifat dasar sel/mutasi genetik) dari bahan uji, dilakukan secara in vitro. Uji karsinogenik digunakan untuk menilai efek karsinogen (pembawa sifat kanker) dari bahan uji 28

Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern

Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern dr. Danang Ardiyanto Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Badan Litbangkes Kementeriann

Lebih terperinci

Obat tradisional 11/1/2011

Obat tradisional 11/1/2011 Disampaikan oleh: Nita Pujianti, S.Farm.,Apt.,MPH Obat tradisional Bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik (sarian) atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Hal ini membuat Indonesia

Lebih terperinci

Sejarah perkembangan konsep penilaian pemakaian obat dalam kedokteran

Sejarah perkembangan konsep penilaian pemakaian obat dalam kedokteran Uji Klinik Sejarah perkembangan konsep penilaian pemakaian obat dalam kedokteran Konsep dasar pemikiran Bahan yang dipakai Pemikiran/metode 2000 SM Magis, sakral Bahan alam Kepercayaan 0 Empiris primitif

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI KLINIK OBAT HERBAL

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI KLINIK OBAT HERBAL PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI KLINIK OBAT HERBAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir.

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir. Uji Pra-Klinik Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai. Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian herbal sebagai obat tradisional telah diterima luas di negara-negara maju maupun berkembang sejak dahulu kala, bahkan dalam 20 tahun terakhir perhatian dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecenderungan gaya hidup Back to Nature menyebabkan penggunaan obat tradisional, obat herbal, maupun suplemen makanan cenderung meningkat, yang terjadi di Negara maju

Lebih terperinci

Regulasi Penggunaan Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern

Regulasi Penggunaan Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Regulasi Penggunaan Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Trihono Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI Jamu Banyak tanaman obat di Indonesia Banyak ramuan jamu di Nusantara, baik yang dibuat sendiri maupun

Lebih terperinci

OUTLINE. Drs. Hary Wahyu T., Apt. Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen A. PENDAHULUAN

OUTLINE. Drs. Hary Wahyu T., Apt. Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen A. PENDAHULUAN Drs. Hary Wahyu T., Apt Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen BADAN POM RI OUTLINE A. PENDAHULUAN B. KONSEP PENGAWASAN OT/OBAT HERBAL C. KEAMANAN, KHASIAT/MANFAAT, MUTU

Lebih terperinci

MATERIA MEDIKA HERBAL

MATERIA MEDIKA HERBAL MATERIA MEDIKA HERBAL MATERIA MEDIKA HERBAL Tujuan Mampu mengenali berbagai simplisia tanaman obat, yang banyak terdapat di Indonesia, penyebaran dan manfaat, serta persyaratan-persyaratan baku serta kualitas

Lebih terperinci

Biodiversitas adalah berbagai variasi yang ada di antara makhluk hidup dan lingkungannya Sekitar 59% daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis

Biodiversitas adalah berbagai variasi yang ada di antara makhluk hidup dan lingkungannya Sekitar 59% daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis Indah Solihah Biodiversitas adalah berbagai variasi yang ada di antara makhluk hidup dan lingkungannya Sekitar 59% daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis atau sekitar 10% dari luas hutan yg ada

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUK HERBAL BERBASIS RISET

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUK HERBAL BERBASIS RISET KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUK HERBAL BERBASIS RISET oleh : Dra. Kustantinah, Apt., M.App.Sc Kepala Badan POM RI Disampaikan Pada : Kuliah Umum Program Magister Herbal Universitas

Lebih terperinci

Resep Alam, Warisan Nenek Moyang. (Jamu untuk Remaja, Dewasa, dan Anak-anak)

Resep Alam, Warisan Nenek Moyang. (Jamu untuk Remaja, Dewasa, dan Anak-anak) Resep Alam, Warisan Nenek Moyang. (Jamu untuk Remaja, Dewasa, dan Anak-anak) Slogan back to nature membuat masyarakat berbondong-bondong memanfaatkan produk bersumber alam dalam upaya menjaga kesehatan.

Lebih terperinci

Pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan secara konvensional namun terdapat sisi penilaian efikasi yg sama dari uji secara klinis.

Pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan secara konvensional namun terdapat sisi penilaian efikasi yg sama dari uji secara klinis. Pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan secara konvensional namun terdapat sisi penilaian efikasi yg sama dari uji secara klinis. Sedangkan perbedaannya, penilaian efek konvensional meliputi penilaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Salah satu sarana untuk penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

Lebih terperinci

Eksperimen. Prof. Bhisma Murti

Eksperimen. Prof. Bhisma Murti Eksperimen Prof. Bhisma Murti Institute of Health Economic and Policy Studies (IHEPS). Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Eksperimen Efek intervensi diteliti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab kematian. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun

BAB I PENDAHULUAN. penyebab kematian. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit stroke, infark miokard akut dan penyakit jantung koroner (PJK) di Indonesia sampai sekarang masih menempati posisi pertama sebagai penyakit penyebab kematian.

Lebih terperinci

BPOM. Uji Klinik. Persetujuan. Tata Laksana. Pencabutan.

BPOM. Uji Klinik. Persetujuan. Tata Laksana. Pencabutan. No.1038, 2014 BPOM. Uji Klinik. Persetujuan. Tata Laksana. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TATA LAKSANA PERSETUJUAN UJI KLINIK

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02002/SK/KBPOM

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02002/SK/KBPOM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02002/SK/KBPOM TENTANG TATA LAKSANA UJI KLINIK KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Definisi apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu sebagai suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi dan tercatat 7.000 spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu ciri budaya masyarakat di negara berkembang adalah masih dominannya unsur-unsur tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini didukung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Pengeringan adalah proses pengolahan pascapanen hasil pertanian yang paling kritis. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan bahan. Tujuan

Lebih terperinci

STANDARISASI BAHAN BAKU HERBAL DENGAN DUKUNGAN LABORATORIUM TERAKREDITASI

STANDARISASI BAHAN BAKU HERBAL DENGAN DUKUNGAN LABORATORIUM TERAKREDITASI STANDARISASI BAHAN BAKU HERBAL DENGAN DUKUNGAN LABORATORIUM TERAKREDITASI Disampaikan oleh: Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Bogor, 12 Juni 2012 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

A. Guntur H. Subbagian Alergi-Imunologi Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak. Kedokteran UNS Solo

A. Guntur H. Subbagian Alergi-Imunologi Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak. Kedokteran UNS Solo A. Guntur H. Subbagian Alergi-Imunologi Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak. Kedokteran UNS Solo Sejarah Perkembangan Herbal Obat Herbal merupakan obat yang paling tua Telah lama dikenal sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN OBAT ASLI INDONESIA

PERATURAN OBAT ASLI INDONESIA PERATURAN OBAT ASLI INDONESIA A. Obat Asli Indonesia Obat tradisional adalah obat yang berasal dari bahan baku alam yang dikeringkan yang dibuat secara turun temurun yang biasanya dikemas dalam wadah yang

Lebih terperinci

Studi Eksperimental membandingkan data dari sekelompok manusia/obyek yang dengan

Studi Eksperimental membandingkan data dari sekelompok manusia/obyek yang dengan STUDI EKSPRIMENTAL/STUDI INTERVENSI Studi Eksperimental membandingkan data dari sekelompok manusia/obyek yang dengan sengaja diberikan tindakan/intervensi tertentu dengan kelompok lain yang sama tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan tradisional merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang sudah berkembang sejak dulu, bahkan sebelum keberadaan pengobatan medis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. apoteker Indonesia, masih belum dapat menerima jamu dan obat herbal terstandar

BAB I PENDAHULUAN. apoteker Indonesia, masih belum dapat menerima jamu dan obat herbal terstandar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia obat herbal 1 diklasifikasikan ke dalam 3 kategori, yaitu jamu 2, obat herbal terstandar 3, dan fitofarmaka 4. Akan tetapi para dokter dan apoteker Indonesia,

Lebih terperinci

Penggunaan Obat Herbal Berbasis Bukti (Evidence-Based Herbal Medicine)

Penggunaan Obat Herbal Berbasis Bukti (Evidence-Based Herbal Medicine) Penggunaan Obat Herbal Berbasis Bukti (Evidence-Based Herbal Medicine) Prof Bhisma Murti Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Herbal Medicine Herbal medicine

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang kaya akan sumber daya alamnya, sehingga menjadi negara yang sangat potensial dalam bahan baku obat, karena

Lebih terperinci

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 760/MENKES/ PER/ lx/1992 TENTANG FITOFARMAKA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 760/MENKES/ PER/ lx/1992 TENTANG FITOFARMAKA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 760/MENKES/ PER/ lx/1992 TENTANG FITOFARMAKA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN OBAT BARU

PENGEMBANGAN OBAT BARU PENGEMBANGAN OBAT BARU Pengembangan dan penemuan obat baru diperlukan untuk menjawab tantangan pelayanan kesehatan, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Obat modern dikembangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan semakin majunya zaman, mulai timbul berbagai macam penyakit tidak menular, yang berarti sifatnya kronis, dan tidak menular dari orang ke orang. Empat jenis penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan suatu sindrom terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan

Lebih terperinci

B AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

B AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutu pelayanan pasien dan koordinasi asuhan di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (RS UGM) masih menjadi permasalahan sekaligus tantangan. Pengamatan di lapangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengobatan Tradisional Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, pengobatan tradisional

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : HK.00.05.41.1384 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA PENDAFTARAN OBAT TRADISIONAL, OBAT HERBAL TERSTANDAR DAN FITOFARMAKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor

pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman akan alamnya. Keanekaragaman alam tersebut meliputi tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Negara berkembang termasuk indonesia banyak

Lebih terperinci

KIE di Rumah Riset Jamu. Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT

KIE di Rumah Riset Jamu. Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT KIE di Rumah Riset Jamu Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT 1 PMK No. 003/Per/I/Menkes/2010 Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan Tujuan 1.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah keadaan progresif lambat yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, 2004).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengobatan Tradisional Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, pengobatan tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian jamu dalam Permenkes No. 003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian jamu dalam Permenkes No. 003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jamu adalah obat tradisional berbahan alami warisan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi untuk kesehatan. Pengertian jamu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu adil dan merata baik di pusat daerah,

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu adil dan merata baik di pusat daerah, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat serta memiliki akses terhadap pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun. temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun. temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya mempertahankan kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

1. Relatif cepat dan murah untuk mendeteksi adanya kejadian luar biasa.

1. Relatif cepat dan murah untuk mendeteksi adanya kejadian luar biasa. JENIS DESAIN PENELITIAN 1. Cross-Sectional Survey cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktorfaktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan suatu negara tropis di dunia yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan ini memiliki berbagai macam manfaat, salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 300 spesies dimanfaatkan sebagai bahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 300 spesies dimanfaatkan sebagai bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dunia terdapat 40 ribu spesies tanaman, dan sekitar 30 ribu spesies berada di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. WHO (2005) melaporkan penyakit kronis telah mengambil nyawa lebih dari 35 juta orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sebagai upaya penyembuhan jauh sebelum obat-obatan modern yang

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sebagai upaya penyembuhan jauh sebelum obat-obatan modern yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sejak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang kita telah memanfaatkan tanaman sebagai upaya penyembuhan jauh sebelum obat-obatan modern yang sekarang ada. Merebaknya

Lebih terperinci

2 obat tradisional asli Indonesia. Berdasarkan riset tersebut 95,60% (sembilan puluh lima koma enam puluh persen) merasakan manfaat jamu. Dari berbaga

2 obat tradisional asli Indonesia. Berdasarkan riset tersebut 95,60% (sembilan puluh lima koma enam puluh persen) merasakan manfaat jamu. Dari berbaga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KESRA. Kesehatan. Tradisional. Pelayanan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 369) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit degeneratif yang dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai faktor risiko global penyebab kematian nomor satu pada tahun 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan suatu obat dapat berpengaruh terhadap kualitas pengobatan, pelayanan dan biaya pengobatan. Penggunaan obat merupakan tahap akhir manajemen obat. Penggunaan

Lebih terperinci

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI Oleh : DIDIK SANTOSO K 100 050 243 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2010

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN NOMOR: 453/Kpts/TN.260/9/2000 TENTANG OBAT ALAMI UNTUK HEWAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN NOMOR: 453/Kpts/TN.260/9/2000 TENTANG OBAT ALAMI UNTUK HEWAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN, KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN NOMOR: 453/Kpts/TN.260/9/2000 TENTANG OBAT ALAMI UNTUK HEWAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa untuk melindungi hewan dan masyarakat yang mengkonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dan menduduki urutan kedua setelah Brazil.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3). BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Nilai Rendemen Ekstrak Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3). 2. Deskripsi Organoleptik Ekstrak Ekstrak berbentuk kental, berasa pahit, berwarna hitam

Lebih terperinci

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Identitas Mata Kuliah Identitas dan Validasi Nama Tanda Tangan Kode Mata Kuliah : KBK702A Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di zaman yang semakin berkembang, tantangan. terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di zaman yang semakin berkembang, tantangan. terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman yang semakin berkembang, tantangan terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar didominasi oleh organisasi kesehatan yang mampu memberikan

Lebih terperinci

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Oleh : DWI KURNIYAWATI K 100 040 126 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM Masukan dapat disampaikan kepada Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen melalui email mmi_stand_ot@yahoo.com, telp/fax 021-4241038 paling lambat tanggal 15 Juni 2016 RANCANGAN

Lebih terperinci

BAB VIII UJI KLINIS SEDIAAN OBAT

BAB VIII UJI KLINIS SEDIAAN OBAT SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 FARMASI/SMK BAB VIII UJI KLINIS SEDIAAN OBAT Nora Susanti, M.Sc., Apt KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017 BAB

Lebih terperinci

SAINTIFIKASI JAMU SEBAGAI UPAYA TEROBOSAN UNTUK MENDAPATKAN BUKTI ILMIAH TENTANG MANFAAT DAN KEAMANAN JAMU

SAINTIFIKASI JAMU SEBAGAI UPAYA TEROBOSAN UNTUK MENDAPATKAN BUKTI ILMIAH TENTANG MANFAAT DAN KEAMANAN JAMU SAINTIFIKASI JAMU SEBAGAI UPAYA TEROBOSAN UNTUK MENDAPATKAN BUKTI ILMIAH TENTANG MANFAAT DAN KEAMANAN JAMU Siswanto 2 ABSTRACT Background: Jamu has been a long history as an ancient heritage and indigenous

Lebih terperinci

BAB 8: UJI KLINIS SEDIAAN OBAT

BAB 8: UJI KLINIS SEDIAAN OBAT SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 FARMASI BAB 8: UJI KLINIS SEDIAAN OBAT Nora Susanti, M.Sc, Apk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB VIII UJI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah). Diabetes mellitus dapat mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk biologis senantiasa menjalankan dan mempertahankan kehidupannya. Dalam menjalankan serta mempertahankan kehidupannya, manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR Oleh : Surya Yuliawati A14103058 Dosen : Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap masyarakat atau suku bangsa pada umumnya memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap masyarakat atau suku bangsa pada umumnya memiliki berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap masyarakat atau suku bangsa pada umumnya memiliki berbagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya yang pada mulanya berbasis pada sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27 20 Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol 2.1.2012 : 20-27 Kajian Peraturan...(Sudibyo Supardi, e t.al) sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non elektronik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers atau pembuat kebijakan bukanlah jaminan bahwa kebijakan itu dapat berhasil dalam implementasinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau

BAB I PENDAHULUAN. bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan beraneka ragam tumbuhan. Hal ini tentunya didukung oleh iklim tropis yang dimiliki Indonesia sehingga memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya penyakit mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan yang efektif secara terapi tetapi juga efisien dalam hal biaya. Berkenaan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengidap penyakit ini, baik kaya, miskin, muda, ataupun tua (Hembing, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. mengidap penyakit ini, baik kaya, miskin, muda, ataupun tua (Hembing, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak orang yang masih menganggap penyakit diabetes merupakan penyakit orang tua atau penyakit yang timbul karena faktor keturunan. Padahal diabetes merupakan penyakit

Lebih terperinci

2 1. Pelayanan Kesehatan Tradional Empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. 2. Pelayanan K

2 1. Pelayanan Kesehatan Tradional Empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. 2. Pelayanan K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.369, 2014 KESRA. Kesehatan. Tradisional. Pelayanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5643) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Kontroversi Pemakaian Obat Alami Untuk Diabetes

Kontroversi Pemakaian Obat Alami Untuk Diabetes Kontroversi Pemakaian Obat Alami Untuk Diabetes Pengantar Obat Alami Untuk Diabetes Sejak dahulu kala, obat herbal atau obat diabetes yang berasal dari alam paling ampuh dan banyak dipakai oleh orang tua

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang prevalensinya tiap tahun semakin meningkat. Di Asia Pasifik, Indonesia menempati peringkat kedua dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh para penggerak yang produktif. Namun hal ini sedikit terganggu

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh para penggerak yang produktif. Namun hal ini sedikit terganggu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan dan perkembangan negara dari berbagai aspek tentunya dipengaruhi oleh para penggerak yang produktif. Namun hal ini sedikit terganggu dengan munculnya

Lebih terperinci

Suharmiati Betty Roosihermiatie Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura 17 Surabaya

Suharmiati Betty Roosihermiatie Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura 17 Surabaya Suharmiati Betty Roosihermiatie Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura 17 Surabaya Saat ini DM menduduki peringkat ke 4, sebagai epidemik dunia yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam struktur kesehatan, apotek termasuk salah satu pilar penunjang yang sering menjadi korban ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan apotek yang menganggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) tahun 2011 jumlah penyandang diabetes melitus di dunia 200 juta jiwa, Indonesia menempati urutan keempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 983/MenKes/SK/XI/1992, rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi

Lebih terperinci

TANAMAN BERKHASIAT OBAT. By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt

TANAMAN BERKHASIAT OBAT. By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt TANAMAN BERKHASIAT OBAT By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt DEFENISI Tanaman obat adalah jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat (sel) tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan/

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu Negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi, hingga

Lebih terperinci