BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevam 1. Kajian Teori a. Matematika
|
|
- Liana Jayadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevam 1. Kajian Teori a. Matematika Ada berbagai pendapat mengenai pengertian matematika. James dan James (1976) mengungkapkan, matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Namun pembagian yang jelas sulit dibuat, sebab cabangcabang itu semakin bercampur. Sebagai contoh ada yang mengatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran yang terbagi menjadi empat wawasan yang luas, aritmetika, aljabar, geometri dan analisis dengan aritmetika mancakup teori bilangan dan analisis. (Tim MKPBM Jurusan Pend. Matematika UPI, 2001: 18). Lebih lanjut, Tim MKPBM Jurusan Pend. Matematika UPI (2001: 19) mengungkapkan bahwa ada ilmuwan yang menganngap bahwa ilmu komputer dan statistik bukan bagian dari matematika. Matematika adalah ilmu yang dikembangkan untuk matematika itu sendiri. Matematika adalah ilmu yang terstruktur yang bersifat deduktif atau aksiomatik, akurat, abstrak, ketat, dan sebagainya. Menurut pendapat ini, matematika sukar dan kurang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Menurut aliran sosial constructivsm, matematika adalah hasil dari kegiatan manusia yang terorganisir, suatu konstruksi sosial, suatu hasil budaya, dan pengetahuan yang mungkin salah sebagaimana pengetahuan yang lain (Ernest, 1998). Matematika memilki ciri yaitu abstrak, umum, objektif, formal, rational, bersifat teoritis, dan sangat terkait dengan justifikasi (Ernest, 1991). Matematika memiliki objek abstrak, struktur deduktif aksiomatik, konsep epistemologis self evidensi, sifat artificial, sifat non empiris, kebenaran yang tidak mutlak, manfaat sebagai sumber penalaran, dan manfaat sebagai alat deduksi (Hardi Suyitno, 2008) (Suyitno, 2012: 16) 13
2 14 Menurut Karso, dkk (1993: 2), sasaran matematika itu tidaklah konkrit, tetapi abstrak. Matematika itu tidak hanya berkaitan dengan bilangan beserta operasi-operasinya, namun berhubungan pula dengan unsur lainnya. Matematika tidak dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan kuantitas, karena dalam geometri kuantitas kurang mendapat penekanan dibandingkan dengan kedudukan. Lebih-lebih di abad sekarang ini perkembangan matematika mengarah pada hubungan, pola bentuk dan struktur.. Lebih lanjut Karso, dkk (1993: 3) mengungkapkan, meskipun matematika itu sukar, abstrak, dan terasa kurang kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi pada akhirnya ilmu-ilmu lain menggunakan konsep-konsep matematika. Matematika telah banyak memberikan sumbangannya dalam mengembangkan IPA dan teknologi. Ini membuktikan matematika bertalian erat dengan kehidupan sehari-hari. Malahan tidak sedikit konsep matematika sendiri yang erat dengan kehidupan, misalnya tentang kesamaan, lebih besar, lebih kecil, penjumlahan, pengukuran dan sebagainya. Kline (1973) dalam Karso, dkk (1993: 3) mengatakan, matematika itu bukan pengetahuan yang menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaannya itu untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam.. Johnson dan Rising (1972) dalam Karso, dkk (1993: 3) mengungkapkan, matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik; matematika itu adalah bahasa, bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi; matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasikan, sifat-sifat atau teori atau teori itu dianut secara deduktif berdasarkan kepada unsur-unsur yang didefinisikan atau tidak, aksioma-aksioma, sifat-sifat atau teori-teori yang telah dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang pola, keteraturan pola atau ide; dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada
3 15 keterurutan dan keharmonisannya. Jadi jelas, bahwa matematika itu adalah ilmu deduktif. Reys dkk (1984) dalam Ruseffendi (1992: 28) mengatakan, matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.. Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berpikir, oleh karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Pada mulanya cabang-cabang matematika yang ditemukan adalah Aritmetika atau Berhitung, Aljabar dan Geometri. Setelah itu ditemukan Klakulus yang berfunsi sebagai tonggak penopang terbentuknya cabang matematika baru yang lebih kompleks, antara lain Statistika, Topologi, Aljabar (Linier, Abstrak, Himpunan), Geometri (Sistem Geometri, Geometri Linier), Analisis Vektor, dan lain-lain. (Tim MKPBM Jurusan Pend. Matematika UPI, 2001: 19-20). Karso, dkk (1993: 3-12) mengungkapkan bahwa matematika adalah ilmu tentang struktur, matematika adalah ilmu deduktif, ilmu tetang pola dan hubungan, serta matematika sebagai bahasa, seni, dan ratunya ilmu. Jadi, matematika adalah ilmu tentang keteraturan pola berpikir, pola pengorganisasian pembuktian yang logik, bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan jelas, bahasa simbol mengenai ide, pengetahuan struktur yang terorganisasikan, memiliki objek yang abstrak, deduktif, namun mendasari ilmu-ilmu lain yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. b. Pemecahan Masalah 1) Masalah Sebelum disampaikan mengenai pengertiam pemecahan masalah, terlebih dahulu disampaikan tentang pengertian masalah. Masalah bersifat relatif, artinya masalah bagi seseorang pada suatu saat belum tentu merupakan masalah bagi orang lain pada saat itu atau bahkan bagi orang itu sendiri beberapa saat kemudian (Wahyudi, dkk., 2012:82).
4 Masalah bagi seseorang bersifat pribadi atau individual. Masalah dapat diartikan suatu situasi atau pertanyaan yang dihadapi seorang individu atau kelompok ketika mereka tidak mempunyai aturan, algoritma/prosedur tertentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menentukan jawabannya. Dengan demikian ciri suatu masalah adalah: (1) individu menyadari/mengenali suatu situasi (pertanyaanpertanyaan yang dihadapi). Dengan kata lain individu tersebut mempunyai pengetahuan prasyarat. (2) individu menyadari bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan (aksi). Dengan kata lain menantang untuk diselesaikan. (3) langkah pemecahan suatu masalah tidak harus jelas atau mudah ditangkap orang lain. dengan kata lain individu tersebut sudah mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah itu meskipun belum jelas. (Siswono, 2013:5) Sejalan dengan hal tersebut, dalam Wahyudi, dkk (2012: 82) diungkapkan, Masalah timbul apabila seseorang menginginkan sesuatu tetapi tidak segera mengetahui apa yang harus dilakukan untuk memperolehnya. Jadi, masalah adalah sesuatu yang timbul akibat adanya rantai yang terputus antara keinginan dan cara mencapainya. Keinginan atau tujuan yang ingin dicapai sudah jelas, tetapi cara untuk mencapai tujuan itu belum jelas. Lebih lanjut, Siswono (2013: 5) mengungkapkan bahwa masalah yang dapat mendorong siswa berpikir kreatif adalam masalah yang divergen, yaitu masalah yang memungkinkan jawabannya beragam tetapi benar sesuai pertanyaan, atau mungkin cara, strategi, maupun metode penyelesaiannya dapat beragam. Siswono (2013: 5) menyatakan bahwa masalah menurut aspek keterbukaannya dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkat: a) Tingkat pertama, masalah terbuka sederhana, yaitu jika masalah yang meminta jawaban atau cara yang tampaknya berbeda hanya pada representasinya saja dan umumnya hanya terkait satu konsep saja. Misalkan selesaikan persamaan linier berikut atau berikan beberapa persamaan yang termasuk persamaan kuadrat. Masalah itu terbuka tetapi cara penyelesaian diajarkan dan diberikan ketika siswa baru belajar materi tersebut, seperti cara substitusi, eliminasi, atau grafik. 16
5 17 b) Tingkat kedua, masalah terbuka kamuflase, masalah kadangkala terkait dengan realitas yang semu (diidealisasikan) dan memerlukan berbagai strategi penyelesaian atau memiliki jawaban yang bermacammacam tetapi benar. c) Tingkat ketiga, masalah terbuka nyata (factual), yaitu masalah yang terkait dengan konteks yang sebenarnya termasuk konteks matematika yang abstrak dan cara penyelesaiannya menggunakan gabungan berbagai strategi serta memiliki jawaban berbeda. Jika masalahnya merupakan masalah murni matematika,maka umumnya terkait dengan berbagai konsep atau teori. Jadi, masalah adalah suatu situasi atau pertanyaan yang dihadapi seseorang ketika ia tidak mempunyai aturan, algoritma/prosedur tertentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menentukan jawabannya. Masalah bagi seseorang pada suatu saat belum tentu merupakan masalah bagi orang lain pada saat itu atau bahkan bagi orang itu sendiri beberapa saat kemudian. Sesuatu dapat dikatakan masalah bagi individu jika: (1)individu mengenali situasi, dalam arti memiliki pengetahuan prasyarat untuk menyelesaikannya;(2) individu menyadari bahwa situasi tersebut menuntut sebuah aksi, sehingga individu merasa tertantang untuk mnyelesaikannya;(3) individu mengerti tujuan yang ingin dicapai dalam menyelesaikan masalah, namun langkah penyelesaian masalahnya sendiri belum jelas. Masalah yang dapat mendorong siswa berpikir kreatif adalam masalah yang divergen. 2) Pemecahan Masalah. Lidinillah ( 2009: 1-2) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu kemampuan berpikir yang menuntut suatu tahapan berpikir. Pemecahan masalah adalah suatu usaha individu menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahamannya untuk menemukan solusi dari suatu masalah. Solso, Maclin O.H, dan Maclin M.K (2008: 434) mengungkapkan pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi/jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik..
6 18 Santrock (2009b: 26) mengungkapkan, pemecahan masalah melibatkan penemuan sebuah cara yang sesuai untuk mencapai suatu tujuan.. Jensen (2008: 289) mengungkapkan pemecahan masalah sangat baik bagi otak. Membuat orang menjadi lebih pintar dan lebih kreatif dalam jangka waktu yang cukup lama. Terutama jika terkait hal-hal yang menantang, kebaruan, dan tugas kompleks yang membutuhkan tindakan berpikir yang intens. Sejalan dengan hal ini, Pehkonen (1997) dalam Siswono (2013: 5) juga menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat mendorong kreativitas. Siswono (2013: 5) mengungkapkan, Pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan masalah, melaksanakan rencana tersebut dan memeriksa kembali jawaban. Hudojo (1998) dalam Wahyudi, dkk (2012: 81) mengungkapkan pemecahan masalah adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya Pemecahan masalah dalam pengajaran matematika diartikan sebagai penggunaan berbagai konsep, prinsip, dan keterampilan matematika yang telah atau sedang dipelajari untuk menyelesaikan soal non rutin, yakni soal yang menyajikan situasi baru yang belum pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya. (Wahyudi, dkk., 2012: 82) Rasiman (2012: 2) menjelaskan, Kemampuan menyelesaikan masalah matematika dipengaruhi beberapa faktor, baik faktor intern maupun ekstern. Faktor intern meliputi: kecerdasan, motivasi, minat, bakat, dan kemampuan matematika maupun perbedaan gender. Faktor ekstern, antara lain: sarana, prasarana, media, kurikulum, guru. Fasilitas belajar dan sebagainya. Lebih lanjut, Arends (2008) dalam Rasiman (2012: 2) menjelaskan Anak laki-laki lebih rasional, semangat tertuju pada hal yang bersifat intelek, abstrak, sehingga lebih baik dalam berpikir logis dan kritis.
7 19 Jadi pemecahan masalah adalah suatu usaha individu yang terarah, menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahamannya untuk mencapai suatu tujuan yaitu menemukan solusi dari suatu masalah. Langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan masalah, melaksanakan rencana tersebut dan memeriksa kembali jawaban. Dalam matematika, pemecahan masalah adalah penggunaan berbagai konsep, prinsip, dan keterampilan matematika yang telah atau sedang dipelajari untuk menyelesaikan soal non rutin, yakni soal yang menyajikan situasi baru yang belum pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya Pemecahan masalah dapat mendorong kreativitas, karena terkait hal yang menantang dan membutuhkan tindakan berpikir yang intens. Faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika diantaranya adalah motivasi dan perbedaan gender. Terkait dengan faktor gender, anak laki-laki cenderung lebih rasional, lebih baik dalam berpikir logis dan kritis. 1) Beripikir b. Tingkat Berpikir Kreatif Ahmadi dan Supriyono (1991: 30) mengungkapkan bahwa berpikir adalah daya jiwa yang dapat meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan kita. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam proses berpikir adalah: a) Hubungan sebab musabah b) Hubungan tempat c) Hubungan waktu d) Hubungan perbandingan Ahmadi dan Supriyono (1991: 30) juga mengungkapkan, Berpikir itu proses yang dialektis artinya selama kita berpikir, pikiran kita dalam keadaan tanya jawab, untuk dapat meletakkan hubungan pengetahuan kita. Lebih lanjut, Sujanto (2004: 56) menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang muncul selama proses tanya jawab tersebutlah yang memberi arah kepada pikiran kita.
8 Dalam berpikir kita memerlukan alat yaitu akal (ratio). Hasil berpikir dapat diwujudkan dengan bahasa. Berpikir melibatkan kegiatan memanipulasi dan mentransformasi informasi dalam memori. Kita berpikir untuk membentuk konsep, menalar, berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir secara kreatif dan memecahkan masalah. Murid-murid dapat berpikir mengenai hal-hal yang konkret, seperti liburan di pantai atau cara untuk menang dalam permainan video game. Mereka juga dapat memikirkan subjek yang lebih abstrak, seperti arti dari kebebasan atau identitas. Mereka dapat berpikir mengenai masa lampau (seperti apa yang terjadi kepada mereka bulan lalu) dan masa depan (seperti apakah kehidupan mereka pada tahun 2020). Mereka dapat berpikir mengenai kenyataan (seperti bagaimana mendapatkan hasil yang lebih baik pada ujian berikutnya) dan fantasi (seperti apakah rasanya bertemu Elvis Presley atau mendaratkan pesawat ruang angkasa di Mars). (Santrock, 2009b: 7-8). Menurut Purwanto (2011: 43) dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan. Sebab setiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung hal berpikir. Lebih lanjut Purwanto (2011: 43) mengungkapkan, Berpikir adalah suatu keaktipan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Kita berpikir untuk menemukan pemahaman/pengertian yang kita kehendaki. Menurut Presseisen (2001), berpikir secara umum diasumsikan sebagai proses kognitif, aksi mental ketika pengetahuan diperoleh. Sementara, menurut Fisher (dalam Ratnaningsih, 2007), berpikir berkaitan erat dengan apa yang terjadi dalam otak manusia dan fakta-fakta yang ada di dunia, berpikir mungkin bisa divisualisasikan, dan berpikir (apabila diekspresikan) bisa diobservasi dan dikomunikasikan. Beyer, (1984, dalam Presseisen, 2001), mengemukakan bahwa berpikir merupakan manipulasi mental terhadap input dari panca indera untuk merumuskan pikiran, memberi alasan, atau penilaian. Maskanian, (1992), mengemukakan definisi berpikir secara umum, yaitu; menyusun pemikiran dan gagasan dengan penalaran, membentuk sebuah pendapat, menilai, mempertimbangkan, mempekerjakan dan membawa panca indera intelektual seseorang untuk bekerja, memusatkan pikiran seseorang pada suatu subjek yang diberikan (Izzati, 2009: 50). Berpikir merupakan suatu aktivitas mental untuk membantu memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi rasa keingintahuan. Kemampuan berpikir terdiri dari dua yaitu kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir 20
9 tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar (lower order thinking) hanya menggunakan kemampuan terbatas pada hal-hal rutin dan bersifat mekanis, misalnya menghafal dan mengulang-ulang informasi yang diberikan sebelumnya. Sementra, kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) membuat siswa untuk mempresentasikan, menganalisa atau bahkan mampu memanipulasi informasi sebelumnya sehingga tidak monoton. Kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) digunakan apabila seseorang menerima informasi baru dan menyimpannya untuk kemudian digunakan atau disusun kembali untuk keperluan pemecahan masalah berdasarkan situasi (Dyah, 2013). Lebih lanjut Aulia (2013) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berpikir kreatif. Lebih rinci, Sagala (2003) mengemukakan bahwa berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir yaitu: (1) pembentukan pengertian, yaitu melalui proses mendeskripsikan ciri-ciri objek yang sejenis, meklasifikasi ciri-ciri yang sama, mengabstraksi dan menyisihkan, membuang, dan menganggap ciri-ciri yang hakiki; (2) pembentukan pendapat, yang dirumuskan secara verbal berupa pendapat menolak, menerima atau mengiakan, dan pendapat asumtif, yaitu mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan suatu sifat pada suatu hal; dan (3) Pembentukan keputusan atau kesimpulan sebagai hasil pekerjaan akal. Sementara, Ibrahim dan Nur (2000), mendefinisikan berpikir sebagai kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang saksama (Izzati, 2009: 50). Menurut Guilford (1967) dalam Santrock (2009b: 21) berpikir dibagi menjadi berpikir konvergen dan berpikir divergen. Berpikir konvergen menghasilkan satu jawaban benar dan yang merupakan karakteristik dari jenis ujian konvensional. Berpikir divergen menghasilkan banyak jawaban terhadap pertanyaan yang sama dan yang lebih merupakan karateristik kreativitas. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa berpikir merupakan kegiatan mental yang melibatkan manipulasi informasi dalam memori, membangun hubungan-hubungan antara pengetahuan yang telah dimiliki, untuk dapat memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi rasa keingintahuan. Berpikir dibagi menjadi berpikir divergen dan berpikir 21
10 22 konvergen. Ada pula ahli yang menggolongkan berpikir menjadi berpikir dasar dan berpikir tingkat tinggi. Berpikir kreatif termasuk dalam berpikir divergen dan berpikir tingkat tinggi. 2) Berpikir Kreatif Weisberg (2006) dalam Siswono (2013: 3) mengungkapkan bahwa berpikir kreatif mengacu pada proses-proses dalam menghasilkan suatu produk kreatif yang merupakan karya baru (inovatif) yang diperoleh dari suatu aktivitas/kegiatan terarah sesuai tujuan. Jika seseorang menghasilkan sesuatu yang baru menurutnya, tetapi sudah dihasilkan orang lain, maka ia masih dapat dikatakan kreatif. Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita mendatangkan/memunculkan suatu ide baru. Hal itu menggabungkan ide-ide yang sebelumnya yang belum dilakukan ( co.uk). Pandangan lain tentang berpikir kreatif diajukan oleh Krulik dan Rudnick (1999), yang menjelaskan bahwa berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian dan reflektif dan menghasilkan suatu produk yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ide-ide, membangun ide-ide baru dan menentukan efektivitasnya. Juga melibatkan kemampuan untuk membuat keputusan dan menghasilkan produk yang baru (Siswono dan Rosyidi, 2005: 2-3). Pehkonen (1997: 65) mengungkapkan berpikir kreatif adalah kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran, yang menghasilkan sesuatu yang baru. Berpikir kreatif dalam matematika erat kaitannya dengan pemecahan masalah. Masalah yang dapat mendorong siswa berpikir kreatif adalah masalah terbuka (Pehkonen, 1997: 64). Masalah terbuka atau masalah divergen yaitu masalah yang memungkinkan jawabannya beragam tetapi benar sesuai pertanyaan, atau mungkin cara, strategi, maupun metode penyelesaiannya dapat beragam (Siswono, 2013: 5). Lebih lanjut, Siswono dan Rosyidi (2005: 2) mengungkapkan, Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu
11 23 praktek pemecahan masalah, pemikiran divergen menghasilkan banyak ide-ide. Hal ini akan berguna dalam menemukan penyelesaiannya. Dalam membahas tentang berpikir kreatif tidak akan lepas dari kreativitas. Santrock (2009b: 21) mengungkapkan Kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir mengenal sesuatu, dalam cara yang baru dan tidak biasa serta memikirkan solusi-solusi unik terhadap masalah. Solso, dkk (1995:444) menjelaskan, Kreativitas adalah suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan. Jadi berpikir kreatif adalah berpikir untuk mengenal sesuatu atau menemukan solusi dari masalah dengan cara yang baru dan tidak biasa. Suwarsono (2013: 3) mengartikan kemampuan berpikir kreatif sebagai kreativitas, yang didefinisikan oleh Munandar (1997) sebagai suatu proses yang muncul dalam bentuk kefasihan (kelancaran), fleksibilitas (keluwesan), dan orisinalitas (kebaruan). Kefasihan diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan secara cepat, dimana tekanannya adalah pada kuantitas, bukan kualitas. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menghasilkan bermacam-macam gagasan dalam jumlah yang cukup besar, tanpa harus bersusah payah. Orisinalitas mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan gagasangagasan yang secara statistik adalah unik atau tidak biasa untuk populasi yang beranggotakan individu yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut, Silver (1997: 74) menjelaskan bahwa untuk menilai berpikir kreatif anak-anak dan orang dewasa digunakan tiga komponen kunci yaitu kefasihan (fluency), fleksibilitas dan kebaruan (novelty). Kefasihan mengacu pada banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespon sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada perubahan-perubahan pendekatan ketika merespon perintah. Kebaruan merupakan keaslian ide yang dibuat dalam merespon perintah. Gagasan ketiga aspek berpikir kreatif tersebut diadaptasi oleh beberapa ahli dalam matematika (Siswono dan Rosyidi, 2005: 3). Akan tetapi, dalam konteks matematika kriteria kefasihan kurang berguna jika dibanding dengan fleksibilitas. Misalnya saja jika siswa diminta untuk
12 24 membuat soal matematika yang jawabannya 10, siswa mungkin akan menjawab 1+9, 2+8, dan seterusnya. Jawaban siswa tersebut menunjukkan kefasihan, tetapi kurang dapat menunjukkan kreativitas karena aspek fleksibilitas belum terpenuhi. Fleksibilitas menekankan pada banyaknya ide-ide berbeda yang digunakan. Jadi dalam matematika untuk menilai produk divergensi dapat menggunakan kriteria fleksibilitas dan keaslian. Kriteria lain yang dapat digunakan adalah kelayakan (appropriatness). Dalam hal ini, respon matematis mungkin menunjukkan keaslian yang tinggi, tetapi tidak berguna jika tidak sesuai dalam kriteria matematis umumnya. Misalnya untuk menjawab 10, seorang siswa menjawab 5. Meskipun menunjukkan keaslian yang tinggi tetapi jawaban tersebut salah (Siswono dan Rosyidi, 2005: 3) Berdasarkan beberapa pendapat yang telah disampaikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Berpikir kreatif dalam matematika erat kaitannya dengan pemecahan masalah. Berpikir kreatif dalam memecahkan masalah dapat diartikan kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan dalam memecahkan masalah. Zulkarnain (2002) dalam Sagala (2010: 6-7), menyatakan, Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas dapat berupa kemampuan berpikir dan sifat kepribadian yang berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Faktor kemampuan berpikir terdiri dari kecerdasan (inteligensi) dan pemerkayaan bahan berpikir berupa pengalaman dan ketrampilan. Faktor kepribadian terdiri dari ingin tahu, harga diri dan kepercayaan diri, sifat mandiri, berani mengambil resiko dan sifat asertif. Dengan demikian, kemampuan menghadapi tantangan dan kesulitan dapat mempengaruhi kreativitas. Ini sejalan dengan pendapat yang mengungkapkan bahwa pemecahan masalah dapat mendorong kreativitas. Sebab dalam pemecahan masalah siswa dituntut untuk memiliki sikap ulet dalam menghadapi kesulitan. Jadi, kemampuan berpikir kreatif (kreativitas) dipengaruhi oleh kemampuan siswa menghadapi kesulitan.
13 25 Faktor yang dapat menyebabkan munculnya variasi atau perbedaan kreativitas yang dimiliki individu, yang menurut Hurlock (1993) yaitu jenis kelamin, status sosial ekonomi, urutan kelahiran, ukuran keluarga, lingkungan tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan), dan intelejensi. Mengenai faktor jenis kelamin, dijelaskan bahwa anak laki-laki menunjukkan kreativitas yang lebih besar daripada anak perempuan, terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak. Untuk sebagian besar hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diberi kesempatan untuk mandiri, didesak oleh teman sebaya untuk lebih mengambil resiko dan didorong oleh para orangtua dan guru untuk lebih menunjukkan inisiatif dan orisinalitas (Sagala, 2010: 7-8). Jadi dapat disimpulkan faktor jenis kelamin dapat mempengaruhi kreativitas dikarenakan keberanian anak laki-laki untuk mengambil risiko dalam menghadapi kesulitan. 3) Tingkat Berpikir Kreatif Dalam kehidupan ini ada orang yang dapat meghasilkan karya-karya besar di bidang teknologi maupun pengetahuan, ada pula orang yang tidak dapat berkreasi tetapi hanya memakai atau tidak mempunyai pengetahuan atau ketrampilan sama sekali. Keadaan ini menunjukkan adanya tingkat atau derajat kreativitas atau kemampuan berpikir kreatif seseorang yang berbeda (Siswono dan Budayasa, 2006: 1). Tingkat berpikir kreatif seseorang dapat dipandang sebagai suatu kontinum yang dimulai dari derajat terendah sampai tertinggi. Apabila diambil seorang individu sebarang, maka kita dapat menempatkan ia dalam kontinum tingkat berpikir kreatif itu. Tetapi karena banyaknya individu dapat terbilang (bersifat diskrit), maka pendekatan untuk mengetahui derajat berpikir kreatif itu berupa klasifikasi hirarkhis yang diskrit (Siswono dan Budayasa, 2006: 1-2). Sejalan dengan hal tersebut, Haylock (1997) dalam Hidayatulloh, dkk (2013: 446) mengatakan bahwa kreativitas memiliki berbagai tingkatan seperti halnya pada tingkatan kecerdasan. Karena kreativitas merupakan perwujudan dari
14 26 proses berpikir kreatif, maka berpikir kreatif juga mempunyai tingkat. Seseorang dapat mempunyai kemampuan (derajat lebih tinggi atau rendah) untuk menghasilkan karya-karya yang baru dan sesuai di bidangnya, sehingga mereka dikatakan lebih atau kurang kreatif. Penjelasan itu menunjukkan bahwa dalam suatu bidang, dapat dikatakan seseorang memiliki tingkat kreativitas yang berbeda sesuai dengan karya yang dihasilkan. Velikova, Bilchev dan Georgieva (2004) dalam Siswono (2007: 3) juga mengungkapkan adanya derajat atau tingkat yang berbeda dalam kreativitas siswa di sekolah, meskipun penelitiannya terbatas pada siswa berbakat. Ide tentang tingkat berpikir kreatif telah diungkapkan oleh beberapa ahli, diantaranya: a) De Bono dalam Barak & Doppelt (2000) dalam Siswono (2007: 3-4) mendefinisikan 4 tingkat pencapaian dari perkembangan ketrampilan berpikir kreatif, yaitu kesadaran berpikir, observasi berpikir,strategi berpikir dan refleksi pemikiran. Tabel 2.1: Tingkat Berpikir Kreatif dari De Bono Level 1: Awareness of Thinking General awareness of thingking as a skill. Willingness to think about something. Willingness to investigate a particulas subject. Willingness to listen to others. Level 2: Observation of Thinking Observation of the implications of action and choice, consideration of peers points view, comparison of alternative. Level 3: Thinking Strategy. Intentional use of a number of thinking tools, organization of thinking as a sequence of steps. Reinforcing the sense of purpose in thinking. Level 4: Reflection on Thinking. Structured use of tools, clear awareness of reflective thinking, assesment of thinking by thinker himself. Planning thinking task and methods to perfom them.
15 27 1) Tingkat 1 merupakan tingkat berpikir kreatif yang rendah, karena hanya mengekspresikan terutama kesadaran siswa terhadap keperluan menyelesaikan tugasnya saja. 2) Tingkat 2 menunjukkan berpikir kreatif yang lebih tinggi karena siswa harus menunjukkan bagaimana mereka mengamati sebuah implikasi pilihannya, seperti penggunaan komponen-komponen khusus atau algoritma-algoritma pemrograman. 3) Tingkat 3 merupakan tingkat yang lebih tinggi berikutnya karena siswa harus memilih suatu strategi dan mengkoordinasikan antara bermacam-macam penjelasan dalam tugasnya. Mereka harus memutuskan bagaimana tingkat detail yang diinginkan dan bagaimana menyajikan urutan tindakan atau kondisi-kondisi logis dari sistem tindakan. 4) Tingkat 4 merupakan tingkat tertinggi karena siswa harus menguji sifat-sifat produk final membandingkan dengan sekumpulan tujuan. Menjelaskan simpulan terhadap keberhasilan atau kesulitan selama proses pengembangan, dan memberi saran untuk meningkatkan perencanaan dan proses konstruksi. Tingkat berpikir kreatif ini menggambarkan secara umum strategi berpikir tidak hanya dalam matematika. Barak dan Doppelt mengembangkan kriteria tingkat berpikir berdasar ide ini untuk tugas portofolio siswa. Dalam matematika yang mempunyai objek abstrak, untuk menentukan kriteria tingkat berpikir kreatif perlu ditunjukkan komponen kreativitas (kebaruan, fleksibilitas, kefasihan) agar aspek divergensi dalam langkah penyelesaian masalah atau selesaiannya diketahui. Dalam tingkat ini tidak memperlihatkan aspek kebaruan,fleksibilitas maupun kefasihan (fluency) dari produk berpikir kreatif individu sehingga sulit untuk mengidentifikasinya dalam proses pembelajaran matematika. b) Gotoh (2004) dalam Siswono (2007: 4-5) mengungkapkan tingkatan berpikir matematis dalam memecahkan masalah terdiri 3 tingkat yang dinamakan aktivitas empiris (informal), algoritmis (formal) dan konstruktif (kreatif). Dalam istilah lain Ervynck (Sriraman, 2005) menamakan tingkat teknis persiapan, aktifitas algoritmis dan aktifitas kreatif (konseptual, konstruktif).
16 28 Tabel 2.2: Tingkat Berpikir Matematis dari Gotoh Stage 1: Emperical (informal) activity. In this stage, some kind of tecnical or practical application of mathematical rules andprocedures are used to solve problems without a certain kind of awareness. Stage 2: The algoritmic (formal) activity. In this stage, mathematical techniques are used explicitly for carrying out mathematicaloperations, calculating, manipulating and solving. Stage 3: The constructive (creative) activity. In this stage, a non-algoritmic decision making is performed to solve non-routine problem such as a problem of finding and constructing some rule. 1) Dalam tingkat pertama, berbagai teknik atau aplikasi praktis dari aturan dan prosedur matematis digunakan untuk memecahkan masalah tanpa suatu kesadaran yang pasti/tertentu,sehingga masih dalam coba-coba. 2) Dalam tingkat kedua, teknik-teknik matematis digunakan secara eksplisit untuk menuju operasi, penghitungan, manipulasi dan penyelesaian masalah. 3) Dalam tingkat ketiga, pengambilan keputusan yang non algoritmis ditunjukan dalam memecahkan masalah non rutin seperti suatu masalah penemuan dan pengkonstruksian beberapa aturan. Tingkatan yang dikembangkan ini lebih menekankan pada klasifikasi cara siswa memecahkan masalah matematika dengan memanfaatkan konsep-konsep matematika yang sudah diketahui. Tingkat pertama, siswa memecahkan masalah dengan coba-coba.tingkat kedua, ia menggunakan langkah matematis yang sudah diketahui dan tingkat ketiga,ia mampu menciptakan langkah matematis sendiri. Pembagian ini mengesankan bahwa penyelesaian dari masalah maupun langkahnya yang diberikan tunggal. Tidak tampak bagaimana produktivitas siswa melahirkan ide-ide dan menerapkannya untuk menyelesaikan masalah sebagai ciri berpikir kreatif dalam matematika. Sehingga perlu tingkatan yang menunjukkan kemampuan siswa dalam menjalin (mensintesis) ide, membangkitkan ide maupun menerapkannya dalam memecahkan masalah matematika.
17 29 c) Siswono (2008) dalam Siswono (2013: 9) mengembangkan perjenjangan kemampuan berpikir kreatif. Tabel 2.3. Perjenjangan kemampuan berpikir kreatif Siswono (2008): Tingkat Berpikir Karakteristik Kreatif (TBK) TBK 4 Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan, (Sangat Kreatif) fleksibilitas, dan kebaruan, atau kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan masalah TBK 3 Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan dan (Kreatif) kebaruan atau kefasihan dan fleksibilitas dalam memecahkan masalah TBK 2 (Cukup Kreatif) Peserta didik mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam memecahkan masalah TBK 1 (Kurang Kreatif) Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan masalah TBK 0 (Tidak Kreatif) Peserta didik tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif yaitu (kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan) Dasar pengkategorian (Siswono, 2013: 10) karakteristik berpikir kreatif peserta didik dalam memecahkan masalah tersebut didasarkan pada tiga indikator yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. 1) Kefasihan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik memberi jawaban masalah yang beragam dan benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan beragam, bila jawaban-jawaban tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu, misalnya jenis bangun datarnya sama tetapi ukurannya berbeda. Kefasihan dalam pemecahan masalah membuat seseorang mampu memperkirakan segala kemungkinan jawaban bagi suatu masalah.
18 30 2) Fleksibilitas dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Fleksibilitas sangat penting dalam memecahkan masalah sebab orang yang memiliki fleksibilitas dalam memecahkan masalah, jika tidak dapat memecahkan suatu masalah dengan suatu cara, ia tidak langsung menyerah dan akan mencoba cara yang lain. 3) Kebaruan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik menjawab masalah dengan beberapa jawaban yang berebda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang tidak biasa dilakukan oleh individu (peserta didik) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu, misalnya bangun datar yang merupakan gabungan dari berbagai macam bangun datar. Kebaruan dalam memecahkan masalah membuat seseorang mampu berinovasi untuk menghasilkan ide-ide yang baru. Nampak bahwa dalam perjenjangan kemampuan berpikir kreatif yang disampaikan Siswono (2008) tersebut menekankan pada pemikiran divergen yang didasarkan pada aspek kebaruan dan fleksibilitas sebagai komponen penting. Oleh karena itu dalam mendesain soal yang digunakan untuk mengukur tingkat berpikir kreatif seseorang, perlu diperhatikan bahwa soal tersebut harus merupakan soal atau masalah yang sifatnya divergen. Maksudnya adalah soal tersebut memungkinkan adanya jawaban benar maupun cara penyelesaian yang beragam. Kebaruan dan fleksibilitas ditempatkan pada posisi yang lebih penting karena kebaruan merupakan ciri utama dalam menilai suatu produk pemikiran kreatif, yaitu harus berbeda dengan sebelumnya dan sesuai dengan permintaan tugas dan fleksibilitas menunjukkan pada produktivitas ide (banyaknya ide-ide) yang digunakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Sedangkan kefasihan lebih menunjukkan pada kelancaran siswa memproduksi ide yang berbeda dan sesuai permintaan tugas (Siswono, 2007:8 ). Antonius, Hudiono, dan Sri Riyanti ( 2013: 8-10)meneliti tentang tingkat berpikir kreatif siswa di SMP Negeri 2 Nanga Taman menemukan bahwa pada
19 31 kelompok siswa dengan kemampuan matematika tinggi, sedang, maupun rendah, kebanyakan memiliki tingkat berpikir kreatif dalam kategori cukup kreatif. Dengan rincian, pada siswa kelompok atas 40 % siswa kreatif, 50 % siswa cukup kreatif, dan 10 % siswa kurang kreatif. Pada siswa kelompok sedang, 10 % kreatif, 80 % cukup kreatif, dan 10 % kurang kreatif. Pada kelompok tinggi, 9% kreatif, 55 % cukup kreatf, dan 36 % kurang kreatif. Pada penelitian ini, tingkat berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah didefinisikan sebagai tingkatan kemampuan siswa dalam berpikir kreatif, yakni dalam menghasilkan ide-ide kreatif bagi pemecahan suatu masalah. Sedangkan kriteria tingkat berpikir kreatif yang digunakan adalah kriteria tingkat berpikir kreatif yang dikembangkan oleh Siswono (2008) yang mendasarkan karakteristik berpikir kreatif peserta didik dalam memecahkan masalah pada tiga indikator, yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. d. Adversity Quotient (AQ) 1) Pengertian Adversity Quotient (AQ) Paul G Stoltz merumuskan suatu kecerdasan baru yang disebut dengan Adversity Quotient (AQ). Adversity berasal dari bahasa Inggris yang artinya kesengsaraan, kemalangan (Echols dan Shadily, 1996:14). Menurut Stoltz (2000:8-9) Adversity Quotient (AQ) dapat diartikan sebagai ukuran untuk mengetahui respons seseorang dalam menghadapi kesulitan. Adversity Quotient (AQ) memberitahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan seberapa jauh kemampuannya untuk mengatasi kesulitan tersebut. Senada dengan hal tersebut, Sudarman (2012: 56) mengungkapkan ada beberapa istilah lain yang sering digunakan, misalnya AQ adalah kecerdasan ketahanmalangan (Candisa, 2006), AQ adalah potensi kegigihan (Subiyanto, 2006), AQ adalah kehandalan mental (Laksomono, 2006), dan AQ adalah kecerdasan ketangguhan (Efendi, 2005).
20 32 2) Karakter Manusia Berdasarkan Kategori AQ Berdasarkan responsnya dalam menghadapi suatu kesulitan, Stoltz (2000: 18-24) dapat mengkategorikan seseorang menjadi Quitters (orang-orang yang berhenti), Campers (orang-orang yang berkemah), atau Climbers (si pendaki). Quitters atau orang-orang yang berhenti, maksudnya adalah orang-orang yang mundur, berhenti dalam menghadapi kesulitan. Para Quitters menolak segala bentuk tantangan dalam kehidupan. Mereka memilih lari dari tantangan dan mengabaikan potensi yang mereka miliki. Para Quitters ini adalah orang-orang yang memiliki AQ rendah. Campers atau orang-orang yang berkemah, maksudnya adalah orangorang yang mau menghadapi tantangan sampai tingkat tertentu kemudian berhenti karena telah merasa cukup puas dengan apa yang telah mereka capai atau karena bosan dalam menghadapi situasi yang tidak bersahabat. Campers mudah merasa puas terhadap apa yang sudah dicapai dan mengabaikan segala kemungkinan yang masih dapat terjadi. Mereka melepaskan kesempatan untuk maju yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber daya yang mereka miliki diarahkan dengan maksimal. Para Campers ini adalah orang-orang yang memiliki AQ sedang. Climbers atau si pendaki, maksudnya adalah orang-orang yang dalam hidupnya terus menerus berusaha melakukan perbaikan-perbaikan. Climbers menyambut baik adanya tantangan dalam hidup dan selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk dapat melewati kesulitan dalam kehidupan. Climbers sangat gigih dan ulet dalam menghadapi kesulitan. Saat menemui jalan buntu mereka akan segera mencari jalan lain. Ketika perasaan lelah dalam berusaha datang, mereka akan terus introspeksi diri dan bertahan. Climbers menempuh kesulitan dengan keberanian dan disiplin sejati. Para Climbers ini adalah orang-orang yang memiliki AQ tinggi. Lebih lanjut, Stoltz (2000: 25-27) mengungkapkan bahwa Quitters memperlihatkan sedikit ambisi, semangat minim, mengambil risiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif. Campers masih memperlihatkan sejumlah
21 33 inisiatif, sedikit semangat dan beberapa usaha. Climbers bisa memotivasi diri, punya semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik. Adversity Quotient (AQ) membedakan Quitters, Campers, dan Climbers. Ketika menghadapi kesulitan Quitters akan menyerah sebelum mencoba, Campers akan berusaha sampai tingkat tertentu kemudian berhenti, dan Climbers akan terus bertahan menghadapi kesulitan (Stoltz, 2000: 48). 3) Pengukuran AQ dan Pengkategorian AQ Stoltz (2000: ) mengungkapkan bahwa untuk mengukur Adversity Quotient seseorang digunakan instrumen yang disebut Adversity Response Profile (Profil Respons terhadap Kesulitan). Adversity Response Profile (ARP) ini memberikan suatu gambaran singkat yang baru dan sangat penting mengenai apa yang mendorong seseorang dan apa yang mungkin menghambat seseorang untuk melepaskan seluruh potensinya. ARP ini sudah terbukti validitas dan keandalannya. Adversity Response Profile (ARP) terdiri dari 30 butir soal yang menggambarkan sebuah peristiwa. Pada setiap peristiwa ada dua pertanyaan yang digunakan untuk mengukur dimensi- dimensi AQ yaitu CO 2 RE. Pada setiap pertanyaan ada pilihan mengenai respons seseorang dalam menghadapi peristiwa. (Stoltz, 2000: ). Selanjutnya, berdasarkan skor yang diperoleh dari ARP ini AQ seseorang dapat dikategorikan menjadi Climbers ( ), Campers (95-134) dan Quitters (0-59). Karena AQ terletak pada sebuah rangkaian, pemenggalanpemenggalannya agak berubah-ubah. Tidak ada perbedaan yang nyata antara orang yang memiliki AQ 134 dan orang yang memiliki AQ 135. Namun demikian, ada perbedaan antara orang-orang yang memiliki kaegori AQ Climbers, Campers dan Quitters (Stoltz, 2000: 138). 4) Deskripsi Umum Orang-Orang dengan Kisaran AQ Tertentu Stoltz (2000: 139) menjelaskan deskripsi umum tentang orang-orang yang memiliki skor AQ pada kisaran tertentu adalah sebagai berikut:
22 34 a) Orang mungkin mempunyai kemampuan untuk menghadapi kesulitan yang berat dan terus bergerak maju dalam hidupnya. b) Orang mungkin sudah cukup bertahan menembus tantangantantangan dan memanfaatkan sebagian besar potensinya yang berkembang setiap hari. c) Orang pada kisaran ini biasanya lumayan baik dalam menempuh liku-liku hidup sepanjang segala sesuatunya berjalan relatif lancar. Ia mungkin akan berkecil hati dengan menumpuknya tantangan hidup. d) Orang pada kisaran ini cenderung kurang memanfaatkan potensi yang dimiliki. Kesulitan dapat menimbulkan kerugian besar dan membuatnya semakin sulit menghadapi tantangan. e) 59 ke bawah. Orang pada kisaran ini telah mengalami penderitaan dalam sejumlah hal seperti motivasi, energi, kesehatan, vitalitas, kinerja, dan harapan. 5) Dimensi-Dimensi Pembentuk AQ dan Deskripsi Karakteristik Orang Berdasarkan Tinggi Rendahnya Skor pada Tiap Dimensi Seperti telah disebutkan sebelumnya, AQ terdiri atas empat dimensi yaitu CO 2 RE. CO 2 RE adalah akronim dari Control (Kendali), Origin & Ownership (Asal Usul dan Pengakuan), Reach (Jangkauan), dan Endurance (Daya Tahan). Dimensi-dimensi CO 2 RE ini akan menentukan AQ keseluruhan seseorang. Bahkan skor AQ keseluruhan seseorang meskipun signifikan, hanya sedikit mengungkapkan tentang mengapa AQ seseorang berada di kisaran atas, tengah, atau bawah. Angka tersebut juga tidak dapat memberitahu apa yang harus diperlukan untuk meningkatkannya. Seseorang harus melihat dengan teliti setiap dimensi CO 2 RE untuk memahami AQ-nya sepenuhnya (Stoltz, 2000: 140). a) Control (C) Dimensi yang pertama adalah C yang merupakan singkatan dari control atau kendali. Dimensi ini mempertanyakan: Berapa banyak kendali yang dirasakan seseorang terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan?.
23 35 Kendali yang sebenarnya hampir tidak bisa diukur, namun kendali yang dapat dirasakan jauh lebih penting. Dimensi ini berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan perngaruh, dan mempengaruhi semua dimensi CO 2 RE lainnya (Stoltz, 2000: 141). Kekuatan dari kendali yang diasakan sangatlah tinggi. Tanpa kendali seperti itu, harapan dan tindakan akan hancur. Dengan kendali seperti itu, hidup dapat diubah dan tujuan-tujuan akan terlaksana. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Perbedaan antara respons AQ yang rendah dan yang tinggi dalam dimensi ini cukup dramatis. Mereka yang skor AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada orang yang skor AQ-nya rendah. Akibatnya orang dengan skor AQ tinggi akan mengambil tindakan, yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Mereka cenderung memilih menjadi Climbers dengan terus berusaha menaklukkan tantangan. Sementara orang yang skor AQ-nya rendah memilih menjadi Campers atau Quitters (Stoltz, 2000: ). Orang yang skornya rendah pada dimensi C ini cenderung berpikir bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan sama sekali. Sedangkan orang yang skor AQnya lebih tinggi apabila berada pada situasi yang sama cenderung yakin bahwa pasti ada yang bisa mereka lakukan, pasti ada jalan. Keuletan dan tekad yang tak kenal lelah timbul dari skor AQ yang tinggi. Mereka kebal terhadap ketidakberdayaan. Dengan merasakan tingkat kendali bahkan yang sangat kecil sekalipun, akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada tindakantindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya (Stoltz, 2000: 143). Berdasarkan skor yang diperoleh dalam dimensi C ini, dapat dilihat deskripsi orang-orang pada kisaran skor tertentu. Pertama, pada ujung yang tinggi (38-50 poin). Semakin tinggi skor AQ dan skor seseorang dalam dimensi ini, semakin besar orang merasa bahwa ia mempunyai kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk. Semakin besar kendali yang dirasakan, orang akan lebih berdaya dan proaktif. Semakin besar skor C seseorang, semakin besar
24 36 kemungkinan seseorang menghadapi kesulitan, tetap teguh dalam niat, dan lincah dalam mencari suatu penyelesaian masalah. Kedua, pada kisaran tengah (24-37 poin). Seseorang mungkin merespons peristiwa-peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendalinya, tergantung pada seberapa besar peristiwa itu. Seseorang mungkin mudah berkecil hati dan sulit untuk mempertahankan perasaan mampu memegang kendali jika dihadapkan pada kesulitan atau tantangan yang lebih berat. Ketiga, pada ujung yang rendah (10-23 poin). Semakin rendah skor AQ dan skor seseorang dalam dimensi ini, semakin besar kemungkinannya ia merasa bahwa peristiwa-peristiwa buruk berada diluar kendalinya, dan hanya bisa berbuat sedikit untuk mencegah atau membatasa kerugian yang ditimbulkan. Orang-orang yang rendah kemampuan pengendaliannya menjadi tak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Skor pada ujung yang rendah mengindikasikan mudah diserang kesulitan. (Stoltz, ). b) Origin & Ownership (O 2 ) Dimensi yang kedua adalah O 2 yaitu origin (asal usul) dan ownership (pengakuan). O 2 mempertanyakan dua hal: Siapa atau apa yang menjadi asal-usul kesulitan? dan Sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu?. Kedua pertanyaan tersebut nampak mirip namun jika dicermati ada perbedaan yang besar antara keduanya (Stoltz, 2000: ). Origin atau asal usul ada kaitannya dengan rasa bersalah. Orang yang AQnya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul kesulitan tersebut. Rasa bersalah sebenarnya mempunyai dua fungsi utama, yaitu membuat seseorang banyak belajar dengan merenungi, belajar dan menyesuaikan tingkah laku untuk perbaikan. Atau mungkin rasa bersalah dapat menyebabkan penyesalan. Penyesalan membuat seseorang mempertimbangkan apa ada hal-hal yang dilakukannya yang telah menimbulkan kesulitan. Penyesalan yang sewajarnya
25 37 merupakan motivator yang kuat dan bisa memperbaiki kerusakan yang dirasakan. Rasa bersalah harus ditempatkan pada kadar yang tepat. Diperlukan kemampuan seseorang dalam menilai apa yang dilakukannya dengan benar atau salah dan bagaimana memperbaikinya. Respon asal usul yang rendah karena adanya beban rasa bersalah yang tidak sewajarnya dan terus-menerus akan menggerogoti kemampuan orang untuk belajar dari kesalahan. Rasa bersalah dan penyesalan yang berlebihan akan melemahkan semangat, menghancurkan energi dan harapan. Rasa bersalah yang kadarnya tepat dapat menggugah orang untuk bertindak, tetapi rasa bersalah yang berlebihan dapat menimbulkan kelumpuhan (orang enggan berbuat apa-apa untuk memperbaiki) karena menjadi loyo dan berkecil hati (Stoltz, 2000: ). Orang yang skor asal-usulnya rendah cenderung berpikir bahwa semua yang terjadi adalah kesalahannya. Semakin rendah skor asal usul, semakin besar kecenderungan menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya semakin tinggi skor asal usul orang semakin dapat menempatkan perannya dalam suatu kesalahan pada tempat yang sewajarnya. Ia juga dapat menilai secara adil kemungkinan sumber-sumber kesulitan itu berasal dari orang lain atau dari luar. Ia akan menilai perannya dalam menimbulkan kesulitan dan belajar dari tingkah laku sedemikian rupa sehingga menjadi lebih cerdik, cepat, dan efektif bila lain kali menghadapi situai serupa. Orang yang skor asal-usulnya tinggi cenderung berpikir bahwa penyebab kesulitan mungkin saja waktunya tidak tepat, ada sejumlah faktor yang berperan dalam menimbulkan kesulitan, dapat segera mengetahui cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaannnaya lebih baik lagi dan akan menerapkannya jika berada dalam situasi yang sama (Stoltz, 2000: ). Yang terlebih penting lagi dalam menghadapi kesulitan adalah bersedia mengakui akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan dan bersedia memikul tanggung jawab. Ini adalah paro kedua dari dimensi O 2 yaitu Ownership atau pengakuan. Orang yang skor AQ-nya tinggi tidak mempersalahkan orang lain sambil mengelak dari tanggung jawab. Mereka lebih unggul dalam belajar dari kesalahan. Mereka cenderung mengakui akibat tanpa mengingat penyebabnya. Rasa
26 38 tanggung jawab ini memaksa orang untuk bertindak dan membuat mereka yang skor AQ-nya lebih tinggi lebih berdaya daripada mereka yang skor AQ-nya rendah. Ia akan meningkatkan tanggung jawab mereka sebagai salah satu cara memperluas kendali, pemberdayaan, dan motivasi dalam mengambil tindakan. Semakin tinggi skor pengakuan seseorang maka semakin besar ia mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya. Semakin rendah skor pengakuan, semakin besar seseorang tidak mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya (Stoltz, 2000: ). Skor pada dimensi O 2 ini adalah gabungan dari skor origin dan ownership. Sangat menjengkelkan jika orang terus mempersalahkan diri namun tidak mau mengakui dan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan kesulitan tersebut. Orang yang skor AQ-nya tinggi meskipun mereka dapat menilai dengan tepat perannya dalam menimbulkan suatu kesalahan akan tetapi ia bukanlah orang terus menerus mengelak dan melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Ia tidak mmpersalahkan diri terus menerus, namun segera mengambil tindakan sebagai tanggung jawabnya atas suatu peristiwa, seringkali tanpa mengingat penyebabnya (Stoltz, 2000: 154). Ada perbedaan gender pada dimensi O 2 ini. Kaum wanita cenderung mempersalahkan diri sendiri sebagai penyebab peristiwa buruk. Sedangkan kaum pria cenderung lebih memusatkan perhatian pada akibat-akibat daripada perannya sebagai penyebab kesulitan (Stoltz, 2000: 155). Berdasarkan skor pada dimensi O 2 ini dapat dilihat deskripsi orang-orang pada kisaran skor tertentu. Pertama, pada ujung yang tinggi (38-50 poin). Skor yang lebih tinggi pada dimensi ini mencerminkan kemampuan untuk menghindari diri dari perilaku menyalahkan diri yang berlebihan sambil mengakui akibat dari kesulitan dan menempatkan tanggung jawab orang itu sendiri pada tempat yang tepat yang mendorongnya untuk bertindak. Ia akan memiliki kemampuan penyesalan yang sewajarnya dan belajar dari kesalahan. Kedua, pada kisaran tengah (24-37 poin). Orang merespons peristiwa-peristiwa yang penuh dengan kesulitan sebagai sesuatu yang kadang berasal dari luar dan kadang berasal dari
matematika mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara umum, yaitu berpikir kreatif diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang
BABII KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Berpikir Kreatif Materna tis Siswono (2008) berpendapat bahwa berpikir kreatif dalam matematika mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara umum, yaitu
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir
BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Analogi Matematis Menurut Gilmer (Kuswana, 2011), berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIK
BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Berpikir selalu dihubungkan dengan permasalahan, baik masalah yang timbul saat ini, masa lampau dan mungkin masalah yang belum terjadi.
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Analisis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Saputro (2012), soal matematika adalah soal yang berkaitan
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Soal Matematika Menurut Saputro (2012), soal matematika adalah soal yang berkaitan dengan matematika. Soal tersebut dapat berupa soal pilihan ganda ataupun soal uraian. Setiap
Lebih terperinciPENJENJANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN IDENTIFKASI TAHAP BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MEMECAHKAN DAN MENGAJUKAN MASALAH MATEMATIKA
PENJENJANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN IDENTIFKASI TAHAP BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MEMECAHKAN DAN MENGAJUKAN MASALAH MATEMATIKA Idrus Alhaddad Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan yang terjadi pada era globalisasi saat ini menuntut adanya persaingan yang semakin ketat dalam dunia kerja. Hal ini mengakibatkan adanya tuntutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi akibat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semester ganjil tahun pelajaran pada mata pelajaran matematika,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi tentang data hasil belajar siswa kelas VI SDN 2 Suka Mulya Kecamatan Pugung pada hasil ulangan akhir semester ganjil tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran matematika, idealnya siswa dibiasakan memperoleh pemahaman melalui pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan oleh siswa sesuai perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Matematika sebagai salah satu mata pelajaran dasar pada setiap jenjang pendidikan formal, mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pendidikan. Selain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maju mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang mau tidak mau dituntut untuk giat membangun dalam segala bidang kehidupan. Terutama dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki zaman modern seperti sekarang ini, manusia dihadapkan pada berbagai tantangan yang ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami banyak perubahan. Salah satu penyebab dari perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai bagian dari kurikulum di sekolah, memegang peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan yang mampu bertindak atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Matematika bukan pelajaran yang hanya memberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya, manusia dapat mengembangkan potensi dirinya dengan pendidikan. Pendidikan merupakan pilar dalam usaha menciptakan manusia yang berkualitas sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peran pendidikan matematika sangat penting bagi upaya menciptakan sumber
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran pendidikan matematika sangat penting bagi upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai modal bagi proses pembangunan. Siswa sebagai sumber
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Geometri Van Hiele. a) Kemampuan berpikir geometri Van Hiele
BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Geometri Van Hiele a) Kemampuan berpikir geometri Van Hiele Kemampuan adalah berasal dari kata mampu, mampu berarti kuasa atau sanggup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sehingga kelangsungan hidup manusia akan berjalan dengan lancar dan optimal.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dan mempunyai peran yang sangat penting dalam menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan manusia. Pendidikan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIK
BAB II KAJIAN TEORITIK A. Pengertian Berpikir Kreatif Kreatif merupakan istilah yang banyak digunakan baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Umumnya orang menghubungkan kreatif dengan sesuatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan lain. Dengan tidak mengesampingkan pentingnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang sangat berperan penting
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang sangat berperan penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu matematika dipelajari pada semua
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Supardi Uki S (2012: 248), siswa hanya diarahkan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlu disadari bahwa selama ini pendidikan formal hanya menekankan perkembangan yang terbatas pada ranah kognitif saja. Sedangkan perkembangan pada ranah afektif
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
6 BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teoritik 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis a. Pengertian Berpikir Kreatif Proses berpikir merupakan urutan kejadian mental yang terjadi secara alamiah atau terencana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kreativitas diperlukan setiap individu untuk menghadapi tantangan dan kompetisi yang ketat pada era globalisasi sekarang ini. Individu ditantang untuk mampu
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Matematika Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir pada semua bidang ilmu pengetahuan. Menurut Suherman (2003:15), matematika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu ilmu yang sangat penting. Karena
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan salah satu ilmu yang sangat penting. Karena pentingnya, matematika diajarkan mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maju dan berkembangnya suatu Negara dipengaruhi oleh pendidikan. Bagaimana jika pendidikan di suatu Negara itu makin terpuruk? Maka Negara tersebut akan makin
Lebih terperincicommit to user BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berpikir merupakan istilah yang sudah banyak dikenal orang, baik dikalangan orang-orang awam, akademisi, maupun ahli-ahli psikologi dan pendidikan. Berpikir
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari siswa di sekolah. Proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar apabila dilakukan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. yang luar biasa, yang tidak lazim memadukan informasi yang nampaknya tidak
BAB II LANDASAN TEORI II. A. KREATIVITAS II. A. 1. Pengertian Kreativitas Kreativitas merupakan kemampuan untuk melihat dan memikirkan hal-hal yang luar biasa, yang tidak lazim memadukan informasi yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Semakin berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada masa global ini, menuntut sumber daya manusia yang berkualitas serta bersikap kreatif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Dengan PISA (Program for International Student Assessment) dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak yang memiliki peranan penting dalam kehidupan, baik dalam bidang pendidikan formal maupun non formal. Sekolah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika berkedudukan sebagai ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan bangsa yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang berbudaya dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana dan alat yang tepat dalam membentuk masyarakat dan bangsa yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang berbudaya dan dapat menyelesaikan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIK
BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Proses berpikir kreatif berhubungan erat dengan kreativitas. Setiap manusia pada dasarnya memiliki kreativitas, namun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumber daya manusia yang mempunyai pemikiran kritis, kreatif, logis, dan sistematis serta mempunyai kemampuan bekerjasama secara efektif sangat diperlukan di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan maupun perusahaan, baik di Indonesia maupun diluar negeri. Definisi asuransi menurut
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. suatu makna (Supardi, 2011).
6 BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teoritik 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis a. Berpikir Kreatif Kemampuan berpikir adalah kecakapan menggunakan akal menjalankan proses pemikiran/kemahiran berfikir.
Lebih terperinci2016 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LATERAL MATEMATIS SISWA MELALUI PEND EKATAN OPEN-END ED
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan ilmu pasti yang diterapkan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Menurut Kline (Roswati, 2015), matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia yang cerdas, kreatif, dan kritis menjadi faktor dominan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi era persaingan global. Sementara itu proses pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia global yang saat ini begitu pesat menuntut kita untuk bisa bersaing sesuai tuntutan yang ada disekitar kita. Hal yang pasti terjadi dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. intelektual dalam bidang matematika. Menurut Abdurrahman (2012:204)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan bagian dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai peranan menjadikannya sebagai ilmu yang sangat penting dalam pembentukan kualitas sumber
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir terjadi di setiap negara, bahkan negara kita Indonesia. Dari pandangan awal bahwa matematika
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Ini sering dilakukan untuk
Lebih terperinci2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang berperan penting dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sehingga perkembangan matematika menjadi sesuatu yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi saat ini telah banyak aspek kehidupan manusia. Salah satunya yang mendasari hal tersebut adalah pendidikan. Melalui
Lebih terperinciKONSTRUKSI TEORITIK TENTANG TINGKAT BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MATEMATIKA Tatag Yuli Eko Siswono Jurusan Matematika FMIPA UNESA
KONSTRUKSI TEORITIK TENTANG TINGKAT BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MATEMATIKA Tatag Yuli Eko Siswono Jurusan Matematika FMIPA UNESA Abstrak: Semua manusia dapat dipandang memiliki kemampuan berpikir kreatif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. teknologinya. Salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan dan teknologi saat sekarang ini berkembang sangat pesat. Pendidikan merupakan salah satu aspek dalam kehidupan yang memegang peranan penting
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
1 A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Peran pendidikan matematika sangat penting bagi upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai modal bagi proses pembangunan. Siswa sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan pokok yang perlu dipenuhi dalam kehidupan. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir, seperti yang dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam masyarakat modern, karena dapat membuat manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu yang penting dalam kehidupan manusia.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang penting dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang juga dipengaruhi oleh ilmu matematika. Hal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk karakteristik seseorang agar menjadi lebih baik. Melalui jalur pendidikan formal, warga negara juga diharapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah penting untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah pembelajar sejati, yang terus belajar dari ia lahir sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu keharusan bagi manusia dan untuk
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORETIK
BAB II KAJIAN TEORETIK A. Kajian Teori 1. Deskripsi konseptual a. Berpikir kreatif Santrock (2011) mengemukakan bahwa berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal tersebut dapat dirasakan melalui inovasi-inovasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bidang kehidupan dan teknologi, diperlukan adanya sumber daya manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus berkembang pesat akan membawa dampak kemajuan pada bidang kehidupan dan teknologi,
Lebih terperinciPENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN PEMAHAMAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN HEURISTIK
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN PEMAHAMAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN HEURISTIK (PTK Pada Siswa Kelas VII SMP N I Sidoharjo Wonogiri) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya, menantang bangsa ini untuk mengatasi krisis yang dialami agar tidak tertinggal kemajuan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan dan digali sebesar-besarnya karena hal tersebut
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, kita memasuki dunia yang berkembang serba cepat sehingga memaksa setiap individu untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut. Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan secara menyeluruh meliputi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan secara menyeluruh meliputi aspek pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai pengembangan aspek-aspek tersebut. Hal
Lebih terperinciII. KERANGKA TEORETIS. Kreativitas sebagai alat individu untuk mengekspresikan kreativitas yang
9 II. KERANGKA TEORETIS A. Tinjauan Pustaka 1. Berpikir Kreatif Kreativitas sebagai alat individu untuk mengekspresikan kreativitas yang dimiliki sebagai hasil dari kemampuan berpikir kreatif merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berpikir secara umum diartikan sebagai proses yang intens untuk memecahkan masalah dengan menghubungkan satu hal dengan yang lain, sehingga
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana terhadap suasana belajar
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana terhadap suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
Lebih terperinciKegiatan Belajar 1 HAKIKAT MATEMATIKA
Kegiatan Belajar 1 HAKIKAT MATEMATIKA A. Pengantar Matematika merupakan salah satu bidang studi yang dijarkan di SD. Seorang guru SD yang akan mengajarkan matematika kepada siswanya, hendaklah mengetahui
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORETIK. memiliki ide atau opini mengenai sesuatu (Sudarma, 2013). Selain itu,
6 BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Berpikir Kreatif Matematis a. Berpikir Kreatif Proses berpikir merupakan suatu pegalaman memproses persoalan untuk mendapatkan dan menentukan suatu gagasan
Lebih terperinciANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PADA MATERI SEGITIGA DI SMP
ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PADA MATERI SEGITIGA DI SMP Lisliana, Agung Hartoyo, Bistari Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak Email: lisliana05@yahoo.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang peranan dalam tatanan kehidupan manusia, melalui pendidikan manusia dapat meningkatkan taraf dan derajatnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Matematika juga dapat menjadikan siswa menjadi manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki alat-alat potensial yang harus dikembangkan secara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia memiliki alat-alat potensial yang harus dikembangkan secara optimal. Salah satu pertanyaan mendasar yang merupakan inti dari pandangan hidup seseorang
Lebih terperinciKETRAMPILAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBM) PADA SISWA SMP
KETRAMPILAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBM) PADA SISWA SMP Fransiskus Gatot Iman Santoso Universitas Katolik Widya Mandala Madiun ABSTRAK.Tujuan matematika diajarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meletakkan hubungan dari proses berpikir. Orang yang intelligent adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna. Mereka diberi kelebihan dalam fungsi kognitifnya berupa akal agar mampu berpikir. Proses kognitif atau proses intelek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan prinsip-prinsip yang saling berkaitan satu sama lain. Guru tidak hanya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran matematika seharusnya berpusat pada siswa, bukan pada guru. Belajar matematika merupakan proses mengkonstruksi konsep-konsep dan prinsip-prinsip
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan salah satu indikator kemajuan sebuah negara. Semakin baik kualitas pendidikan di sebuah negara maka semakin baik pula kualitas negara tersebut.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roni Rodiyana, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pendidikan di indonesia senantiasa tidak pernah lepas dari berbagai masalah. Bahkan tak jarang setelah satu masalah terpecahkan akan muncul masalah baru. Hal ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal utama yang dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan hidup manusia karena pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan dan mengembangkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. didiknya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan berusaha secara terus menerus dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus segera direspon secara positif oleh dunia pendidikan. Salah satu bentuk respon positif dunia pendidikan adalah
Lebih terperinciSTUDI DESKRIPTIF ADVERSITY QUOTIENT MATEMATIS MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA BERDASAR JENIS KELAMIN DAN KEMAMPUAN MAHASISWA
JPPM Vol. 9 No. 1 (2016) STUDI DESKRIPTIF ADVERSITY QUOTIENT MATEMATIS MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA BERDASAR JENIS KELAMIN DAN KEMAMPUAN MAHASISWA Etika Khaerunnisa Jurusan Pendidikan Matematika FKIP
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan dasar dan memberikan andil yang sangat besar dalam kemajuan bangsa. Pernyataan ini juga didukung oleh Kline (Suherman,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam perkembangannya, ternyata banyak konsep matematika diperlukan
Lebih terperinciPEMANFAATAN ALAT PERAGA UNTUK PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERMAKNA Oleh. Sri Wulandari Danoebroto
PEMANFAATAN ALAT PERAGA UNTUK PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERMAKNA Oleh. Sri Wulandari Danoebroto A. Karakteristik Matematika dan Proses Belajar yang Bermakna Matematika merupakan ilmu pengetahuan dengan objek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan di sekolah bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan intelektual dalam bidang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam rangka mengembangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat dengan mudah menerima
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menjumpai suatu hal yang erat kaitannya dengan kegiatan berhitung. Bagi setiap orang dan tidak menutup kemungkinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi pembangunan pendidikan nasional kini telah tertuang dalam undang-undang tentang Sistem Pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era global yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memungkinkan semua orang untuk mengakses dan mendapatkan informasi dengan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. lambang yang formal, sebab matematika bersangkut paut dengan sifat-sifat struktural
7 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Penguasaan Matematika Menurut Mazhab (dalam Uno, 2011 : 126) matematika adalah sebagai sistem lambang yang formal, sebab matematika bersangkut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang memadai, hal ini tidak terlepas dari proses pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu instrumen yang utama dalam pengembangan sumber daya manusia. Tenaga kependidikan dalam hal ini adalah guru sebagai salah satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang dapat menumbuhkan kemampuan penalaran siswa dan berfungsi sebagai dasar pengembangan sains dan teknologi.
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai (A) Kajian Teori, (B) Kajian Peneliti yang Relevan, dan (C) Kerangka Pikir. A. Kajian Teori 1. Pembelajaran Matematika 1.1 Hakikat Matematika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Abidin (2016:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu proses dan tujuan yang penting dalam pembelajaran di sekolah adalah mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Abidin (2016: 1), kompetensi
Lebih terperinci