APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG"

Transkripsi

1 APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi Kalimantan Barat) JUNAIDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aplikasi Konsep Ekowisata Dalam Perencanaan Zona Pemanfaatan Taman Nasional untuk Pariwisata dengan Pendekatan Ruang (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi Kalimantan Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2008 Junaidi NRP P

3 ABSTRACT JUNAIDI. Application of ecotourism concept in the planning of national park use zone for tourism with spatial method ; case study Bungan section Betung Kerihun National Park in West Kalimantan Province). Under direction of ARIS MUNANDAR and SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI. Betung Kerihun National Park had a potencial objects for ecotourism. Existing utilization of Park had to be developed into an ideal productive ecotourism. This research was aimed to evaluate tourism objects, potencial activities of local community and tourism in one of existing running tourism activites of the park. The research was planned a use zone and tourism areas of the section. Use zone and tourism areas were delineated and ground true checked based on (1) area defined traditionally by local people, (2) protected area (3) potency to develop adventure tourisms, (4) potency to develop education with interpretation program. It is concluded that there were intensive use areas of ha (10,8 %), general outdoor tourism ha (21,8 %), natural environment areas ha (50,6 %), wilderness tourism areas ha (16,4 %), tradisional aktivities areas 88 ha (0,4 %). Keywords : Ecotourism, Betung Kerihun National Park

4 RINGKASAN Ekowisata adalah suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat (Depdagri, 2000). Pada perkembangan pengelolaan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), pendataan potensi wisata dan kegiatan masyarakat setempat di dalam kawasan baru pada tahap inventarisasi jenis objek dan kegiatan. Sedangkan pemetaan objek wisata dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan belum dilakukan. Guna penataan ruang Wilayah Seksi Bungan yang menjadi lokasi penelitian, maka perlu dilakukan deliniasi yang akurat terhadap potensi wisata dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan dengan alat bantu GPS (global positioning System) dan program SIG (sistem informasi geografis) serta peta tematik yaitu peta topografi, peta sungai, peta tutupan lahan dan peta jenis ekosistem dalam bentuk digital. Tujuan Penelitian ini adalah melakukan penilaian objek dan daya tarik wisata alam yang akan di kembangkan di Wilayah Seksi Bungan kawasan TNBK, menganalisis pemanfaatan ruang di Wilayah Seksi Bungan kawasan TNBK sebagai bahan perencanaan zona pemanfaatan dan menganalisis pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata sebagai bahan perencanaan zona pemanfaatan. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat kepada Pemerintah Daerah sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan pengembangan wilayah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, kepada Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun sebagai bahan masukan dalam perencanaan pengembangan ekowisata Wilayah Seksi Bungan. Kepada para pelaku wisata dan masyarakat sekitar kawasan khususnya yang akan terlibat dengan program

5 ekowisata kawasan agar lebih memahami kebijakan penataan ruang di dalam Wilayah Seksi Bungan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Metode penelitian yang digunakan adalah metode dekriptif eksplorasi dan analisis spasial. Metode eksplorasi digunakan untuk menilai objek dan daya tarik wisata alam yang ada di wilayah penelitian (Seksi Bungan). Objek wisata yang dinilai adalah objek berbentuk darat, objek berbentuk sungai, objek berbentuk gua dan objek berbentuk jeram. Alat bantu penilaian objek tersebut berupa Standar Kriteria Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam PHKA Tahun Analisis spasial menggunakan bantuan alat GPS yang merekam koordinat objekobjek penelitian dan program arc view versi 3.3 untuk pemetaan. Analisis tersebut mengunakan bahan peta tematik yaitu peta topografi, peta sungai, peta tutupan lahan dan peta tipe ekosistem, peta pemanfaatan sumber daya alam oleh Masyarakat dan peta atraksi wisata di Wilayah Seksi Bungan. Seluruh peta tematik tersebut akan di tumpang susun (overlay) untuk mendapatkan rencana zona pemanfaatan dan areal-areal wisata di dalamnya. Hasil penilaian objek wisata dengan Standar Kriteria Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam PHKA. Objek berbentuk sungai yaitu Sungai Kapuas dengan nilai 1050 dan Sungai Bungan dengan nilai 930 sedangkan nilai maksimum yang dapat diperoleh adalah Sehingga kedua hasil penilaian objek tersebut masih berkategori sangat baik. Objek berbentuk darat yaitu jalur lintas borneo dengan nilai 1140 sedangkan nilai maksimum yang dapat diperoleh adalah Dengan hasil ini menunjukkan bahwa objek yang dinilai masih berkategori sangat baik. Objek berbentuk gua yaitu Diang Kaung dengan nilai 870, Diang Balu dengan nilai 810, Diang Tahapun dengan nilai 900, sedangkan nilai maksimum yang dapat diperoleh adalah Hasil Penilaian ini menunjukkan objek yang dinilai masih berkategori baik. Objek berbentuk jeram yaitu Sungai Kapuas dengan nilai 1050 sedangkan nilai maksimum yang dapat diperoleh adalah Hasil penilaian ini menunjukkan bahwa objek masih berkategori sangat baik. Dari hasil pengecekan lapangan (ground true checked) dan overlay Peta Atraksi Wisata, Peta Aktivitas Masyarakat, Peta Tutupan Lahan dan Peta Jenis

6 Ekosistem di perolah luas areal wisata di dalam zona pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan adalah areal wisata intensif seluas ha (10,8 % dari luas zona pemanfaatan), areal wisata umum seluas (21,8 %), areal wisata alami seluas ha (50,6 %), areal wisata alami khusus seluas ha (16,4 %) dan areal perlindungan masyarakat seluas 88 ha (0,4 %). Harapannya hasil penelitian ini akan menjadi salah satu solusi terhadap potensi konflik keruangan pada rencana zona pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan kawasan TNBK.

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi Kalimantan Barat) JUNAIDI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

9

10 PRAKATA Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-nya sehingga penulisan tesis dengan judul Aplikasi Konsep Ekowisata Dalam Perencanaan Zona Pemanfaatan Taman Nasional untuk Pariwisata dengan Pendekatan Ruang (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi Kalimantan Barat) dapat selesai sesuai dengan keinginan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Aris Munandar, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, MSc, selaku Anggota Komisi Pembimbing. 3. Dr. Ir. Siti Nuristjah, MSLA selaku penguji luar pada ujian tesis. 4. Departemen Kehutanan yang telah membantu seluruh biaya pendidikan dan penelitian. 5. Rekan-rekan staf Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun yang telah membantu proses penelitian lapangan. 6. Masyarakat Desa Tanjung Lokang dan Nanga Bungan yang telah membantu dalam proses pengambilan data lapangan selama penelitian. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan khususnya sebagai bahan masukan bagi pengembangan pengelolaan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Bogor, Agustus 2008 JUNAIDI

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 17 November 1969 dari ayah H. Abbas. HAR dan ibu Hj. Saleha. Penulis menyelesaikan studi strata satu pada tahun 1995 Jurusan Kehutanan pada Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak. Pada tahun 1998 penulis bekerja pada Departemen Kehutanan, Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2005 penulis mendapatkan beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melaksanakan studi (Magister) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. iii DAFTAR GAMBAR. iv DAFTAR LAMPIRAN.. v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah 1.4. Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional sebagai Destinasi Wisata Konsep Ekowisata Perencanaan Ekowisata Taman Nasional dan Masyarakat Setempat Interpretasi Lingkungan Daya Dukung Kawasan Sistem Informasi Geografis III KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak dan Luas 3.2. Aksesibilitas 3.3. Topografi Geologi Tanah Iklim/Curah Hujan Hidrologi Ekosistem 3.9. Kondisi Sosial Ekonomi

13 IV V VI METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Rancangan Studi Jenis Data yang Dikumpulkan Kegunaan Data Cara Pengumpulan Data Analisis Data. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Wisata wilayah Seksi Bungan 5.2. Pengembangan Program Interpretasi Lingkungan Penilaian dengan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam 5.4. Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Potensi Wisata Wilayah Seksi Bungan Analisis Keruangan untuk Kegiatan Wisata Rencana Zona Pemanfaatan 5.8. Penataan Ruang Wisata dalam Zona Pemanfaatan 5.9. Aplikasi Konsep Ekowisata di Wilayah Seksi Bungan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran.. DAFTAR PUSTAKA

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Rata-rata Curah Hujan Bulanan Selama 6 Tahun 2. Pembagian Wilayah DAS di TNBK 3. Pemukiman di sekitar Kawasan TNBK Tabulasi Penilaian Objek berbentuk Darat.. 5. Potensi Objek Wisata Seksi Bungan Kawasan TNBK.. 6. Program Pengembangan Interpretasi Lingkungan.. 7. Rekapitulasi nilai identifikasi jenis dan penilaian objek dan daya tarik wisata alam Wilayah Seksi Bungan 8. Potensi objek berbentuk jeram di hulu Sungai Kapuas Pemanfaatan Ruang Masyarakat Desa Nanga Bungan di Kawasan TNBK 10. Pemanfaatan Ruang Aktifitas Sehari-hari Masyarakat Desa Tanjung Lokang di Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun Luas Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang Luas wilayah Seksi Bungan Kawasan TNBK Luas Ruang Wisata dan Wilayah Seksi Bungan Luas Rencana Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan Luas areal wisata dalam zona pemanfaatan wilayah Seksi Bungan

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram Alir Aplikasi Konsep Ekowisata Peta Situasi Kawasan TNBK. 3. Grafik Rata-rata Curah Hujan Bulanan Kabupaten Kapuas Hulu.. 4. Peta Ekosistem TNBK, Hutan Lindung dan Kawasan Penyangga. 5. Peta Wilayah Seksi Bungan Kawasan TNBK.. 6. Diagram Alir Tahapan Penelitian. 7. Areal perladangan di sekitar Sungai Kapuas dan Sungai Bungan Panorama hutan primer di sisi kiri dan kanan Sungai Kapuas Panorama hutan sekunder bekas perladangan Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Timur Gua Diang Kaung terdapat tulisan prasejarah Tempayan Keramik dalam Gua Tahapun Peti jenazah di Gua Tahapun Tulisan prasejarah di langit-langit gua Diang Balu Mengarungi jeram di hulu sungai terpanjang di Indonesia Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang Peta Pemanfaatan Ruang Aktivitas Masyarakat Desa Nanga Bungan Pemanfaatan Ruang Masyarakat Desa Tanjung Lokang Pemanfaatan Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang Promosi Paket Wisata Lintas Borneo Buffer Jalur Wisata di Wilayah Seksi Bungan Peta Pemanfaatan Ruang Wisata Wilayah Seksi Bungan Overlay Peta Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat dan wisata. 24. Rencana Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan Kawasan 25. Overlay Peta Wisata, Tutupan Lahan dan Pemanfaatan SDA. 26. Overlay Peta Wisata, Ekosistem, Pemanfaatan SDA. 27. Pembagian Areal Wisata dalam Zona Pemanfaatan Wil Bungan

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kriteria Standart Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam Peta Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun Peta Rencana Areal Wisata dalam Zona Pemanfaatan Peta Atraksi Wisata Lintas Borneo Peta Atraksi Penelusuran Gua Prasejarah Peta Atraksi Wisata penjelajahan Sungai Peta Atraksi Arung Jeram di Sungai Kapuas Peta Overlay Atraksi Wisata Wilayah Seksi Bungan Sketsa Jalur Interpretasi Lintas Borneo Sketsa Jalur Interpretasi Penelusuran Gua Prasejarah Sketsa Jalur Interpretasi Penjelajahan Sungai 12. Sketsa Jalur Interpretasi Arung Jeram

17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari pulau dengan panjang garis pantai mencapai km, dan membentang antara garis 95º - 145º Bujur Timur dan 6º Lintang Utara - 11º Lintang selatan. Sebagai negara kepulauan, kekayaan sumberdaya alamnya meliputi juga kekayaan sumberdaya alam pesisir dan lautan. Kekayaan sumberdaya alam Indonesia hampir tidak tertandingi oleh negeri manapun di muka bumi ini. Kekayaan keanekaragaman hayatinya termasuk dalam daftar negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, hanya tertandingi oleh negara Brazilia dan Zaire. Kekayaan jenis tumbuhan dan satwa di Indonesia tercatat dalam urutan pertama untuk mammalia (436 spesies, 51 % endemik); Kupu-kupu (121 spesies, 44 % endemik); Palem (477 spesies, 47 % endemik); keempat untuk reptil (512 spesies, 29 % endemik); kelima untuk burung (1.519 spesies, 28 % endemik); keenam untuk amphibi (270 spesies, 37 % endemik); dan ketujuh tumbuhan berbunga ( spesies, 59 % endemik) ( Ditjen PHKA, 2006). Kenyataan lain yang menjadi perhatian secara nasional maupun internasional bahwa kekayaan yang hampir seluruhnya berada di kawasan hutan, kini menghadapi ancaman dan tekanan yang semakin besar, Penebangan hutan secara liar (illegal logging) adalah salah satu isu yang telah menjadikan citra Indonesia kurang menguntungkan. Banyak masyarakat Indonesia belum sepenuhnya tanggap akan fungsi hutan dan ekosistemnya yang sangat menjanjikan tersebut. Masih banyak yang menganggap hutan hanya sebagai penghasil kayu untuk memperoleh manfaat ekonomi secara cepat dan mudah. Hutan dan perairan dengan keanekaragaman hayati dan keunikan ekosistem yang ada di dalamnya belum dipandang sebagai satu kesatuan yang saling terkait, tidak hanya akan bermanfaat secara ekonomi, namun akan menjaga keberlanjutan manfaat itu sendiri termasuk budaya dan sosial.

18 Bersamaan dengan masuknya isu lingkungan ke dalam politik dan berbagai segi kehidupan, muncullah istilah ekowisata. Kekhawatiran akan lingkungan tidak lagi merupakan minat khusus, melainkan sudah menjadi minat banyak orang yang akhir-akhir ini mengunjungi alam karena timbulnya keinginan kuat untuk melihat berbagai bagian dunia. Salah satu pengelolaan hutan yang diyakini baik oleh para pakar pembangunan maupun konservasi mampu memberikan manfaat ekonomi, budaya dan sosial secara berkelanjutan adalah pengembangan ecotourism, di Indonesia dikenal dengan istilah ekowisata. Ekowisata adalah salah satu mekanisme pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Ekowisata tidak hanya diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara regional maupun lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun juga memelihara kelestarian sumber daya alam, dalam hal ini keanekaragaman hayati sebagai daya tarik wisata. Ekowisata kini berkembang sebagai fenomena penting dalam bisnis perjalanan dan konservasi, sebagai kesatuan program yang mendorong para pejalan lebih peka terhadap lingkungan. Makin besarnya jumlah dan kualitas para wisatawan ekologi, memberi pengaruh yang signifikan, baik dalam pemasukan devisa, pengelolaan hutan maupun peranannya pada perlindungan keanekaragaman hayati. Tak mengherankan jika banyak negara yang memiliki kawasan lindung kini mempertimbangkan ekowisata sebagai pola dalam mengelola alamnya (Rahzen, 2000). Kecenderungan meningkatnya minat wisata tersebut terlihat dari jumlah pengunjung di beberapa taman nasional di dunia. Yose Mite National Park di Amerika Serikat rata-rata setiap tahunnya di datangi wisatawan (Lestaryono, 2000). Mewakili Taman Nasional di wilayah Asia Tenggara, Kinabalu National Park di Sabah Malaysia pada tahun 2004 dikunjungi wisatawan dan wisatawan diantaranya mendaki Gunung Kinabalu (Kinabalu National Park, 2005). Ekowisata kini tumbuh dan berkembang seiring dengan semakin meningkatnya kunjungan wisata ke negara kita. Kawasan-kawasan alami mencoba menerapkan konsep ekowisata untuk menghadirkan pengunjung. Ekowisata

19 sebagai daya tarik sebuah kawasan tentunya akan memanfaatkan peluang meningkatnya angka kunjungan wisata ke Indonesia. Keberhasilan pariwisata Indonesia tidak terlepas dari keberadaan pengunjung mancanegara yang datang ke Indonesia. Berdasarkan data Statistik Wisatawan datang ke Indonesia pada tiga tahun terakhir, memang menunjukkan angka yang tidak selalu meningkat. Tahun 2005 wisatawan asing yang berkunjung di Indonesia sebanyak orang, tahun 2006 sebanyak dan tahun 2007 sebanyak orang (BPS, 2007). Sektor wisata menjadi bagian penting dalam penghasil devisa negara. Berdasarkan Statistik Kunjungan Wisatawan, pada tahun 2007 diperoleh devisa dari kunjungan wisatawan mancanegara sebesar US $ sedangkan total devisa negara pada tahun 2007 adalah US $ Dengan kedatangan wisatawan mancanegara telah menyumbang devisa sebesar 9,4 % dari total devisa negara pada tahun 2007 (BPS, 2007). Untuk meningkatkan angka devisa tersebut setiap tahunnya perlu peningkatan program pariwisata Indonesia. Diantaranya peningkatan pengelolaan objek-objek wisata di daerah. Selain itu prinsip keberlanjutan dalam penyelenggaraan kegiatan wisata tersebut juga harus menjadi perhatian utama, sehingga hasil yang diperoleh dapat berlangsung dalam jangka panjang. Pengembangan ekowisata yang merupakan keterpaduan antara konservasi alam dan industri wisata menjadi pilihan tepat untuk mewujudkan keberlanjutan kegiatan wisata. Di dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000), mendefinisikan ekowisata merupakan suatu kegiatan pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Dari definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa konsep ekowisata merupakan bagian integral dari pariwisata yang mengutamakan upaya konservasi sumber daya alam, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan

20 masyarakat yang dilakukan secara baik, benar, bertanggungjawab serta berkelanjutan. Kawasan-kawasan alami yang memiliki potensi alam mempesona, terus meningkatkan pengelolaan dan strategi promosi untuk menghadirkan pengunjung. Diantaranya dilakukan oleh pengelola kawasan Taman Nasional yang berjumlah 50 kawasan dan tersebar di seluruh Indonesia. Taman Nasional Betung Kerihun yang merupakan salah satu diantara 50 kawasan tersebut. Luas kawasan ini mencapai ha, terletak di kabupaten Kapuas Hulu provinsi Kalimantan Barat. Nilai strategis kawasan konservasi ini adalah letaknya yang berada tepat di tengah-tengah pulau Kalimantan sehingga di istilahkan kawasan Heart of Borneo dan berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa Lanjak Entimau Sarawak (Malaysia) sehingga diprogramkan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai Kawasan Konservasi Lintas Batas. Fungsi lain kawasan ini adalah sebagai kawasan perlindungan tata air bagi Sungai Kapuas yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Di sekitar kawasan, bermukim 7 (tujuh) sub etnis suku Dayak yang memiliki atraksi dan karya budaya yang berbeda-beda. Berdasarkan kondisi potensi tersebut, maka Taman Nasional Betung Kerihun memiliki peluang besar untuk memanfaatkan potensi kawasan, sesuai dengan amanat yang diemban dalam pengelolaan kawasan yaitu pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, selain fungsi perlindungan dan pengawetan. Keanekaragaman hayati, keragaman budaya dan keindahan bentang alam tropis yang diwarisi kawasan Taman Nasional Bentuang Karimun, merupakan aset penting untuk menjadikan kawasan ini sebagai tujuan dalam peta baru tradisi perjalanan wisata. Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dengan luas ha terbagi menjadi dua Bidang Wilayah Pengelolaan dan empat Seksi Wilayah Pengelolaan yaitu Seksi Wilayah Embaloh, Seksi Wilayah Sibau, Seksi Wilayah Mendalam dan Seksi Wilayah Bungan. Masing-masing wilayah memiliki perbedaan karakteristik objek. Seksi Wilayah Embaloh lebih menonjolkan objek alam (nature) sebagai daya tarik, Seksi Wilayah Sibau dan Mendalam

21 menampilkan kekayaan Budaya (culture), sedangkan Wilayah Seksi Bungan memiliki daya tarik berupa kegiatan petualangan (Adventure). Dengan tiga tipe potensi objek tersebut, Taman Nasional Betung Kerihun memiliki motto pengembangan wisata yaitu You got it all, nature, culture and adventure in Betung Kerihun National Park (Sujito, 1999). Angka kunjungan ke kawasan Taman Nasional Betung Kerihun masih sangat kecil, pada tahun 2006 dalam data base pengunjung TNBK hanya tercatat 74 orang wisatawan asing (Balai TNBK, 2006). Pihak pengelola kawasan hanya mentargetkan 100 orang wisatawan asing pertahun. Hal ini dikarenakan keberadaan kawasan yang masih relatif baru, karena penunjukan kawasan Taman Nasional baru pada tahun 1995, aksesibilitas untuk mencapai kawasan masih sangat sulit, terutama sarana transportasi yang masih terbatas. Taman Nasional Gunung Rinjani di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang menawarkan atraksi wisata minat khusus berupa pendakian gunung pada tahun 2005 dikunjungi wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara. Mewakili wilayah Kalimantan dengan aksesibilitas yang hampir serupa dengan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2005 dikunjungi 948 wisatawan asing dan 795 wisatawan nusantara (Dephut. 2006). Kedatangan pengunjung ke kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, walaupun jumlahnya masih sangat kecil, namun telah memberikan dampak positif yang langsung kepada masyarakat sekitar kawasan. Masyarakat menerima pendapatan dari kunjungan wisatawan sebagai penyedia jasa trasportasi lokal dari kota kabupaten menuju kawasan taman nasional, sebagai pemandu lokal, porter dan penyedia atraksi budaya. Sedangkan manfaat tidak langsung yang dirasakan adalah masyarakat sudah mulai melakukan perlindungan terhadap potensi-potensi sumber daya alam dari ancaman kerusakan. Dengan demikian dukungan masyarakat terhadap konservasi akan semakin besar. Khusus untuk wilayah Seksi Bungan yang terletak di sebelah Timur kawasan, memiliki nilai penting untuk pengembangan ekowisata berbasis minat khusus, karena sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional, paket

22 perjalanan melintasi wilayah Kalimantan Barat hingga ke Kalimantan timur yang dikenal dengan perjalanan Lintas Kalimantan (Cross Borneo) telah lebih dulu diselenggarakan oleh biro perjalanan internasional dan masyarakat setempat. Paket tersebut hingga saat ini masih diminati oleh pengunjung, khususnya dari mancanegara. Dengan berbagai potensi alam dan adanya kegiatan wisata yang sudah berjalan sebelum kawasan Taman Nasional ini ditetapkan, pihak pengelola kawasan harus mambuat perencanaan ekowisata untuk wilayah ini terutama menyangkut penataan zonasi, karena ada kepentingan wisata dan ada kepentingan sosial masyarakat di ruang yang sama, sehingga perlu penataan ruang yang jelas untuk kedua aktivitas tersebut. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sebuah kawasan taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi dan kegiatan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan hanya dilakukan di dalam sebuah zona pemanfaatan. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memenuhi kepentingan pengembangan wisata di wilayah ini, kegiatan masyarakat setempat di dalam kawasan taman nasional dan pengelolaan kawasan untuk kepentingan perlindungan dan pengawetan maka konsep ekowisata yang digunakan dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah dianggap tepat Kerangka Pemikiran Penerapan konsep ekowisata yang dituangkan dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah yang merupakan perpaduan antara konservasi dan industri wisata, konsep pemanfaatan yang sesuai untuk mendapatkan nilai ekonomi dari kawasan konservasi dan keberpihakannya pada lingkungan serta pelibatan masyarakat setempat dalam penyelenggaraanya. Sehingga konsep ini merupakan gagasan ideal yang bisa membantu terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Pengembangan pariwisata alam merupakan serangkaian program kegiatan pembangunan untuk pariwisata alam yang meliputi pengelolaan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai dengan azas pemanfaatan ruang dengan mengakomodasi semua kepentingan secara terpadu,

23 serasi, seimbang dan berkelanjutan (PHKA, 2001). Sehingga ekowisata merupakan bagian integral dari kegiatan pariwisata alam, dimana prinsip keseimbangan dan keberlanjutan sebagai dasar penyelenggaraan. Persoalan penataan zonasi yang belum definitif, dan kajian untuk menemukenali potensi-potensi objek di dalam zona tersebut belum dilakukan secara maksimal serta pemanfaatan ruang secara bersama oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka dan ruang untuk kegiatan wisata alam, sangat berpotensi menimbulkan konflik. Solusi yang akan diterapkan mengatasi persoalan tersebut, agar kepentingan pengembangan potensi objek dan pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan kegiatan wisata alam berimbang, dengan ini harus ada penataan areal wisata wilayah tersebut. Untuk mempermudah melakukan analisis keruangan dalam penataan ruang, menggunakan SIG ( Sistem Informasi Geografis). Menurut Gunn (1994) dalam proses perencanaan kawasan wisata, bantuan dari teknologi komputer cukup dapat membantu. Dengan program Sistem Informasi Geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumberdaya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Selanjutnya hasil dari proses penentuan ini akan dapat membantu pembuat kebijakan (policy makers) untuk membuat perencanaan wisata secara lebih lokal. Tahapan perancanaan zona pemanfaatan yang akan dilakukan dimulai dengan studi pendahuluan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang potensi wisata yang sudah terdata dalam rencana pengelolaan kawasan, mengumpulkan data dan informasi melalui loporan-laporan kegiatan yang terkait dengan kegiatan wisata, melakukan pendataan objek wisata dan aktifitas masyarakat dalam kawasan, membuat analisis spasial dan analisis secara deskriptif dari data dan informasi yang terkumpul, membuat formulasi rencana zona pemanfaatan dan areal-areal wisata di dalamnya. Penerapan konsep ekowisata seperti yang dijelaskan dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah tersebut akan mendasari pembentukan zona pemanfaatan dan areal-areal wisata yang akan dikembangkan di wilayah Seksi Bungan.

24 TNBK Potensi Kawasan Perlindungan Pengawetan Pemanfaatan : - Wisata Alam - Penelitian - Pendidikan - Kegiatan penunjang Budidaya Potensi objek wisata belum di manfaatkan maksimal Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Kawasan Pemanfaatan Ruang untuk Ekowisata Penataan Zonasi dengan Konsep Ekowisata Wisata Berkelanjutan Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 1.3. Perumusan Masalah Sebelum kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di tetapkan yaitu pada tahun 1995, kegiatan wisata alam di wilayah tersebut sudah berjalan. Penyelenggaraannya dilakukan oleh biro-biro perjalanan internasional yang bekerjasama dengan masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan adanya jalur perjalanan Lintas Kalimantan (Cross Borneo) melewati wilayah tersebut. Selanjutnya setelah kawasan ini menjadi kawasan taman nasional, pihak Balai Taman Nasional Betung Kerihun dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan pengembangan objek dengan mempersiapkan atraksi-atraksi lain yang potensial seperti arung jeram di Sungai Kapuas, penjelajahan sungai dan penelusuran gua prasejarah. Namun masih kurangnya kegiatan survei potensi

25 untuk menemukenali objek wisata alam yang berada di dalam kawasan dan belum definitifnya tata batas zonasi, membuat keterbatasan dalam pengembangan kegiatan wisata di wilayah tersebut. Permasalahan lain adalah adanya aktifitas masyarakat memanfaatkan ruang yang sama dengan ruang kegiatan wisata alam kawasan di dalam kawasan sehingga berpotensi timbulnya konflik. Seperti pembuatan ladang oleh masyarakat di sekitar objek potensial, atau sebaliknya mengembangkan objek yang berada di dalam wilayah yang dilindungi oleh masyarakat setempat. Dengan adanya aplikasi konsep ekowisata yang mengacu pada Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah di dalam perencanaan zona pemanfaatan Taman Nasional di Wilayah Seksi Bungan, akan menjadi solusi terhadap permasalahan pengayaan potensi wisata alam dan potensi konflik pemanfaatan ruang Tujuan Aplikasi konsep ekowisata yang mengacu pada Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah di dalam perencanaan zona pemanfaatan Taman Nasional untuk pariwisata di wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun bertujuan : 1. Menilai objek dan daya tarik wisata alam yang akan di kembangkan di Seksi Wilayah Bungan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. 2. Menganalisis pemanfaatan ruang untuk kegiatan masyarakat dan kegiatan wisata di wilayah Seksi Bungan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun sebagai bahan perencanaan zona pemanfaatan. 3. Menganalisis pemanfaatan ruang sebagai bahan perencanaan zona pemanfaatan dan areal-areal wisata di dalamnya 1.5. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat kepada : a. Pemerintah Daerah sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan pengembangan wilayah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu.

26 b. Balai Taman Nasional Betung Kerihun sebagai bahan masukan dalam perencanaan pengembangan ekowisata wilayah seksi Bugan. c. Pelaku wisata dan masyarakat sekitar kawasan khususnya yang akan terlibat dengan program ekowisata kawasan agar lebih memahami kebijakan penataan ruang di dalam Wilayah Seksi Bungan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun.

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional sebagai Destinasi Wisata Saat ini ekowisata diartikan secara beragam, diantaranya oleh Fennell (2003), mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk wisata berbasiskan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan fokus utama pengalaman dan pengetahuan dari alam, etika dalam mengelola alam yang berdampak negatif rendah, tidak konsumtif, berorientasi pada kepentingan masyarakat lokal. Memperhatikan kekhasan sebuah kawasan alami, berkontribusi terhadap konservasi dan kawasan lindung. Yoeti (2000), mendefinisikan ekowisata sebagai suatu jenis pariwisata yang kegiatannya semata-mata menikmati aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan alam dengan segala bentuk kehidupan dalam kondisi apa adanya dan kecenderungan sebagai ajang atau sarana lingkungan bagi wisatawan dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan proyek ekowisata. Wood (2002), menjelaskan bahwa ekowisata adalah perjalanan bertanggunjawab pada suatu tempat alami dengan berprinsipkan konservasi dan pelestarian lingkungan serta pelibatan masyarakat setempat. Dari berbagai definisi ekowisata yang ada saat ini, penelitian ini mengunakan pengertian ekowisata yang jelaskan dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah, di mana ekowisata didefinisikan sebagai suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat (Depdagri, 2000). Menurut Gunn (1994), suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tumbuhan langka atau satwa langka. Atraksi biasanya adalah hasil dari pengembangan dan pengelolaan. Atraksi terdapat di daerah pedesaan (rural) dan

28 perkotaan (urban), keadaan di kedua tempat tersebut sangat berbeda. Daerah pedesaan menyajikan suatu atraksi yang tebih tenang dan alami, sedangkan daerah perkotaan menyediakan atraksi yang tebih berupa budaya dan hasilnya, seperti sungai kota, museum, dan sebagainya. Kawasan wisata tergantung pada sumberdaya alami dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumberdaya ini dengan kuat mendorong pengembangan wisata. Bentuk-bentuk wisata dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal berikut: a. Kepemilikan (ownership) atau pengelola areal wisata tersebut yang dapat di kelompokkan ke tiga sektor yaitu badan pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan komersial. b. Sumberdaya (resource), yaitu: alam (natural) atau budaya (cultural). c. Perjalanan wisata/lama tinggal (longstay) d. Tempat kegiatan yaitu di datam ruangan (indoor) atau di luar ruangan (outdoor) e. Wisata utama/wisata penunjang (primary/secondary) f. Daya dukung (carrying capacity) tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung yaitu: intensif, semi intensif, dan ekstensif. Sedangkan menurut Western (1993) dalam Lindberg (1995), bahwa ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan tentang alam, tentang eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatif terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan. MacKinnon (1993) mengutarakan bahwa taman nasional adalah kawasan alami dan berpemandangan indah yang dilindungi atau dikonservasi secara nasional atau intemasional serta memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan, pendidik-an dan rekreasi. Kawasan tersebut relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan yang dilindungi. Ciri taman nasional adalah :

29 a. Adanya karakteristik atau keunikan ekosistem b. Terdapat spesies tertentu yang endemik, terancam punah atau langka c. Merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman spesies d. Terdapat lanskap atau daerah yang bergeofisik dengan nitai estetik seperti glasier, mata air panas, dan lainnya e. Berfungsi sebagai perlindungan hidrologi, air tanah, dan iklim f. Memiliki fasilitas untuk wisata atam g. Terdapat tempat peninggalan budaya. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 bab 1 ayat 14 menyatakan taman nasional adalah suatu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Dephut, 1990). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang zonasi taman nasional menyebutkan bahwa Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sedangkan zona pemanfaatan Taman Nasional adalah Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Sedangkan Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam (Dephut, 1996). Selanjutnya dijelaskan oleh MacKinnon (1993) bahwa kawasan yang dilindungi seperti taman nasional, dapat memberikan kontribusi yang banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan. Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar bagi banyak negara tropika,

30 mendatangkan keuntungan ekonomi yang berarti bagi negara dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal. Berabagai kawasan taman nasional yang tersebar di Indonesia tak pelak lagi merupakan modal fisik yang paling siap pakai untuk pengembangan ekowisata, karena memiliki keindahan dan keankaragaman hayati sumber daya alam yang ada di dalamnya ( Hani, 2000). Menurut Fandeli (2000), bahwa destinasi yang diminati wisatawan dalam penyelenggaraan ekowisata adalah daerah alami. Kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru. Tetapi kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan produksi bila memiliki obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata. Area alami suatu ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai dapat pula dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam. Kegiatan utama ekowisata tertumpu pada usaha-usaha pelestarian sumber daya alam/budaya sebagai objek wisata yang dapat dijadikan sumber ekonomi yang berkelanjutan, dikelola secara adil dan bijaksana bagi bangsa dan negara. Ekowisata seharusnya merupakan falsafah/filosofi dasar bagi pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan (Soedarto, 1999). Menurut WTO (2004), bahwa prinsip wisata berkelanjutan adalah berhubungan dangan segi lingkungan, ekonomi, sosial budaya dari sebuah pengembangan wisata serta keseimbangan ketiga faktor tersebut. Pembangunan berkelanjutan dalam kontek wisata adalah pembangunan wisata yang memelihara areal wisata yang terdiri dari lingkungan dan masyarakat setempat (Tosun, 2001). Selanjutnya dijelaskan dalam WTO (2004), bahwa wisata berkelanjutan harus mengikuti prinsip-prinsip :

31 a. Membuat penggunaan sumber daya alam dan lingkungan secara optimal. b. Peduli terhadap sosial budaya masyarakat setempat. c. Menjamin kehidupan, penyenyelenggaraan ekonomi berjangka panjang, mendapatkan keuntungan sasoal ekonomi bagi semua stakeholder Konsep Ekowisata Berdasarkan Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000), di jelaskan bahwa ekowisata merupakan perpaduan antara berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial. Karena itu ekowisata dikatakan sebagai perjalanan yang bertanggungjawab karena merupakan suatu komitmen yang kuat terhadap konservasi sumber daya alam dan keserasian sosial. Dari pengertian tersebut kegiatan ekowisata selalu terkait dengan berbagai dukungan upaya, yaitu : a. Dukungan ekowisata bagi konservasi sumber daya alam b. Dukungan ekowisata bagi pemberdayaan masyarakat c. Dukungan ekowisata bagi pengembangan ekonomi berkelanjutan Selanjutnya dijelaskan di dalam Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000) bahwa dalam pelaksanaannya, kegiatan ekowisata harus dapat melibatkan peran serta masyarakat (community based development) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan dan kepemilikannya. Masyarakat harus diperlakukan sebagai subjek pembangunan. Dengan demikian, kegiatan ekowisata diharapkan akan mampu mengupayakan keuntungan finansial sekaligus sebagai alternatif peningkatan taraf hidup masyarakat. Sehingga akan tumbuh rasa memiliki terhadap sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk ekowisata Perencanaan Ekowisata Inskeep (1991), mendefinisikan perencanaan sebagai upaya mengorganisir sesuatu dimasa yang akan datang untuk mencapai hasil tertentu. Proses perencanaan pada dasarnya harus mengikuti beberapa langkah yaitu studi pendahuluan, penentuan sasaran pengembangan, survei dan inventarisasi situasi yang ada (existing condition) dan karakteristik areal pengembangan, melakukan

32 analisis dan sintesis, membuat formulasi rencana, membuat rekomendasi, implementasi kegiatan dan monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan. Ditjen PKKH (2001), memberikan kriteria dalam tahap perencanaan dalam pengembangan ekowisata di Taman Nasional dalam rangka pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Perencanaan merupakan tahap awal dari pengembangan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Antisipasi dan regulasi dari peubahan yang akan terjadi dalam suatu sistem yang akan dikembangkan, dirancang atau disusun dalam perencanaan. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa pengembangan dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi setiap pelakunya. Proses perencanaan diharapkan terpadu, melibatkan semua pihak dan mengacu kepada rencana pengembangan lokal, regional dan nasional. Adapun kriteria yang perlu diperhatikan pada tahap perencanaan ini meliputi : a. Rencana pengembangan ekowisata harus mengacu pada rencana pengelolaan kawasan. b. Memperhatikan kondisi ekologi/lingkungan. c. Memperhatikan daya tarik, keunikan alam dan prospek pemasaran daya tarik tersebut. d. Memperhatikan kondisi sosial, budaya dan ekonomi. e. Tata Ruang f. Melakukan analisis potensi dan hambatan yang meliputi analisis terhadap potensi sumberdaya dan keunikan alam, analisis usaha, analisis dampak lingkungan, analisis ekonomi, analisis sosial dan analisis pemanfaatan ruang. g. Menyusun Rancang Tindak Terintegrasi atas dasar analisis yang telah dilakukan. h. Melakukan konsultasi publik terhadap rencana yang akan dikembangkan. Prinsip-prinsip umum dari perencanaan kawasan rekreasi alam (Gold 1980), yaitu: 1. Semua orang harus dapat melakukan aktivitas dan memakai fasilitas rekreasi 2. Rekreasi harus dikoordinasikan dengan kemungkinan-kemungkinan rekreasi lain yang sama untuk menghindari duplikasi

33 3. Rekreasi harus berintegrasi dengan pelayanan umum lain seperti kesehatan, pendidikan dan transportasi 4. Fasilitas-fasilitas harus dapat beradaptasi dengan permintaan di masa yang akan datang. 5. Fasilitas dan program-programnya secara finansial harus dapat dikerjakan. 6. Penduduk sekitar harus dilibatkan dalam proses perencanaan 7. Perencanaan lokal dan regional harus berintegrasi. 8. Perencanaan harus merupakan proses yang berkelanjutan dan membutuhkan evaluasi. 9. Fasilitas dan pemanfaatan lahan seefektif mungkin untuk ketersediaan sarana kesehatan, keamanan dan kenyamanan penggunanya, merupakan contoh desain yang positif serta suatu bentuk kepedulian terhadap manusia. Perencanaan lanskap yang baik menurut Simonds (1983) harus melindungi badan air dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan dan sumber mineral, menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk rekreasi dan suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memitiki nilai keindahan dan ekologi. Proses perencanaan meiiputi tahapan riset, analisis, sintesis, serta pembangunan dan operasional hasil perencanaan. Riset terdiri dari survei dan pengumpulan data lainnya. Sedangkan analisis dilakukan pada tapak, meninjau peraturan pemerintah, peluang, hambatan, dan program pengembangan. Sintesis yang dilakukan mengacu pada dampak implementasi metoda. Kegiatan pembangunan dan operasional meiiputi juga observasi pada hasil perencanaan. Model yang diutarakan oleh Kiemstedt (1967), diacu dalam Gunn (1994) adalah dengan melakukan pengukuran dan memetakan 3 (tiga) set faktor untuk menetapkan area terbaik yang sesuat untuk pengembangan rekreasi. Faktorfaktor tersebut meliputi faktor fisik, fasilitas yang tersedia, serta keadaan budaya dan alam dari suatu region. Setiap set faktor diringkas menjadi sebuah indeks atraksi. Prosesnya meliputi beberapa langkah awal yaitu mengukur subkomponen yang berkaitan dengan lokasi dimana fungsi atraksi, nilai atraksi

34 dari setiap peubah dihitung. Kemudian dilakukan overlay peta sehingga dapat dilihat area dengan kategori yang tertinggi dari semua komponen maka merupakan yang paling tinggi atraksinya dan selanjutnya ditetapkan untuk dikembangkan. Gunn (1994) mengutarakan bahwa perencanaan untuk wisata harus dilakukan pada tiga skala. Pertama adatah skala tapak (site scale), yang telah banyak dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti pada resor, marina, hotel, taman dan tapak wisata lainnya. Skala kedua adalah tujuan (destination scale), dimana atraksi-atraksi wisata dikaitkan dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah daerah, dan sektor swasta juga dilibatkan. Skala ketiga adalah wilayah, atau bahkan suatu negara (regional scale), dimana pengembangan lebih terarah pada kebtjakan tata guna lahan yang terkait dengan jaringan transportasi, sumberdaya yang harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial. Dalam perencanaan kawasan wisata dengan teknologi komputer menggunakan program sistem informasi geografis akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumberdaya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata. Selanjutnya hasil dari proses penentuan ini akan dapat membantu pembuat kebijakan (policy makers) untuk membuat perencanaan wisata secara lebih lokal. Pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah membuat suatu kebijakan dan peraturan yang menentukan mekanisme yang membantu terwujudnya kerjasama dan integrasi antara badan-badan yang bergerak didalam penentuannya yaitu masyarakat dan pihak swasta. Menurut Gunn (1997), aspek lain yang cukup penting dalam pengembangan atraksi wisata adalah areal terbuka yang memuat pusat pelayanan seperti pelayanan jasa transportasi, penginapan, penyediaan makanan, pertunjukan/entertainment, sarana komunikasi dan sarana berbelanja Taman Nasional dan Masyarakat Setempat Keberhasilan pengelolaan banyak tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitarnya. Di tempat di mana kawasan yang mana kawasan dilindungi dipandang

35 sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi bila pelestarian dianggap sebagai suatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan itu dari pengembangan yang membahayakan (MacKinnon,1993). Menurut Rahardjo (2005), bahwa pengembangan ekowisata semestinya tidak semata dipandang sebagai sebuah aktifitas pembangunan yang biasa saja. Ekowisata semestinya dikembangkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat lokal. Dengan demikian ekowisata akan menjadi piranti demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Berbagai definisi tentang ekowisata pada umumnya menekankan bahwa kegiatan ekowisata bertanggung jawab kepada lingkungan, memiliki kepedulian terhadap budaya masyarakat serta memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat lokal dengan melibatkannya dalam penyelenggaraan kegiatan ekowisata tersebut (Scheyvens, 1999) Interpretasi Lingkungan Menurut Istanto dan Priatna (2001), interpretasi adalah suatu metode komunikasi yang bertujuan untuk menjelaskan kepada pengunjung dan yang lainnya tentang suatu objek atau potensi kawasan dengan karakteristik dan keterkaitannya, agar mereka dapat memahami lebih dalam tentang objek atau potensi dimaksud sehingga tumbuh pemahaman, kesadaran, keinginan untuk ikut melindungi dan melestarikannya. Sedangkan menurut Crabtree (2001), bahwa interpretasi menggunakan dan menyediakan informasi. Bagaimana fakta itu dapat akurat dan dapat menarik sangat tergantung pada interpretasi. Sekartjakrarini (2003) menjelaskan bahwa konsekuensi dari pengembangan interpretasi sebagai suatu produk (kegiatan dan fasilitas pelayanan) adalah diperlukannya suatu ruang/tapak untuk mewujudkannya. Terkait dengan tujuan dan teknik penyajian interpretasi, program interpretasi yang dikembangkan harus mempertimbangkan :

36 a. Potensi objek dan daya tarik pariwisata kawasan. b. Teknik pengemasan. c. Ketersediaan sarana dan prasaran pendukung Daya Dukung Kawasan Menurut Nurisyah et al (2003), bahwa salah satu model pendekatan untuk mempertahankan kelestarian, keberadaan atau optimalisasi manfaat dari suatu sumber daya alam, sumber daya lanskap dan lingkungan yaitu dengan melakukan pendekatan atau penilaian terhadap daya dukung atau carrying capacity. Menurut Wilkinson (1990), bahwa secara konprehensif definsi carring capacity terdiri dari empat elemen : a. Daya dukung fisik b. Daya dukung lingkungan c. Daya dukung fasilitas d. Daya dukung sosial Carrying capacity diakui memiliki tiga komponen yaitu fisik, sosial dan ekologi. Kapasitas fisik yaitu jumlah pengunjung dalam satu unit kunjungan. Daya dukung sosial adalah jumlah pengunjung dalam suatu areal yang dapat ditampung tanpa menimbulkan dampak negatif. Sedangkan daya dukung ekologi adalah kemampuan lingkungan untuk mengatasi gangguan yang menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan tersebut (Dearden, 1997) Sistem Informasi Geografis Rahmad Husein (2006) menjelaskan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan komputer yang berbasis pada system informasi yang digunakan untuk memberikan bentuk digital dan analisa terhadap permukaan geografi bumi. Alasan SIG dibutuhkan adalah karena untuk data spasial penanganannya sangat sulit terutama karena peta dan data statistik cepat kadaluarsa. Berikut adalah dua keistimewaan analisa melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) yakni:

37 a. Analisa Proximity Analisa Proximity merupakan suatu geografi yang berbasis pada jarak antar layer. Dalam analisis proximity SIG menggunakan proses yang disebut dengan buffering (membangun lapisan pendukung sekitar layer dalam jarak tertentu untuk menentukan dekatnya hugungan antara sifat bagian yang ada. b. Analisa overlay Proses integrasi data dari lapisan-lapisan layer yang berbeda disebut dengan overlay. Secara analisa membutuhkan lebih dari satu layer yang akan ditumpang susun secara fisik agar bisa dianalisa secara visual. Sedangkan menurut Jaya (2002), bahwa buffer atau penyengga adalah suatu wilayah (zona) dari suatu jarak tertentu di sekitar tentitas fisik seperti titik, garis atau poligon. Pembuatan wilayah penyangga (buffer) adalah suatu teknik yang dengan menggambarkan lebar batas di sekitar feature titik atau garis, buffer dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) macam yaitu buffer titik (point buffer), buffer garis (line buffer) dan buffer poligon (polygon buffer).

38 BAB III KEADAAN UMUM 3.1. Letak dan Luas Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) adalah kawasan konservasi terbesar di Propinsi Kalimantan Barat yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu. Secara administratif termasuk dalam wilayah empat kecamatan yaitu Kecamatan Putussibau, Kecamatan Embaloh Hulu, Kecamatan Embaloh Hilir dan Kecamatan Kedamin. Secara geografis Taman Nasional Betung Kerihun terletak diantara koordinat 112 o BT - 1 o LU dan 114 o BT - 0 o LU, dengan batas wilayahnya adalah sebagai berikut: a. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur b. Sebelah barat dan utara berbatasan dengan Malaysia Timur (Serawak) c. Sebelah selatan berbatasan dengan hutan lindung Kabupaten Kapuas Hulu Gambar 2. Peta Situasi Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

39 Luas Kawasan TNBK ini ± hektar yang ditetapkan sebagai taman nasional melalui surat keputusan Menteri Kehutanan No 467/Kpts-II/1995 pada tanggal 5 September Sejak tahun 1997 dikelola oleh Unit Taman Nasional Betung Kerihun, tahun 2001 Unit Pengelolaan meningkat menjadi Balai Taman Nasional Betung Kerihun dan selanjutnya pada tahun 2007 menjadi Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun. Hingga saat ini kawasan TNBK belum dilakukan penataan zonasi, sedangkan di dalam Permenhut No. 56 tahun 2006 tentang penataan zonasi taman nasional bahwa setiap kawasan taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi Aksesibilitas Untuk menuju ibukota Kabupaten yaitu Putussibau bisa dicapai dengan melalui jalur air, jalur darat maupun jalur udara dengan penerbangan dari kota Pontianak menuju kota Putussibau. Melalui jalur air dapat menggunakan kapal penumpang yang biasa disebut Bandong. Perjalananan ini memakan waktu yang cukup lama yaitu sekitar tiga sampai tujuh hari dan tergantung kepada pasang surutnya air. Sekarang ini perjalanan melalui jalur air kurang diminati karena waktunya terasa panjang dan membosankan. Untuk jalur darat terdapat 4 (empat) perusahaan bus yang melayani rute Pontianak Putussibau PP. Perjalanan darat inipun tergantung pada kondisi jalan yang kadang sering rusak berat. Jarak tempuh yang biasanya 14 jam dapat menjadi lebih panjang lagi Alternatif lain untuk menuju Putussibau adalah menggunakan jalur udara. Maskapai yang melayani penerbangan Pontianak- Putussibau PP ini adalah dengan menggunakan pesawat Cassa dengan kapasitas 40 penumpang. Waktu tempuh dari kota Pontianak ke kota Putussibau selama 1 jam 30 menit. Masuk ke kawasan Taman Nasional betung kerihun, terdapat empat pintu masuk. Pintu masuk Kapuas, Mendalam, Sibau dan Embaloh dapat ditempuh melalui jalan sungai, sedangkan pintu masuk Embaloh dapat melewati jalan darat melalui jalur lintas utara yaitu Putussibau dan Nanga Badau dengan kondisi jalan belum seluruhnya beraspal. Namun untuk dapat memasuk kawasan ke dalam tetap

40 harus menggunakan jalur sungai. Satu-satunya alternatif kendaraan yang dipergunakan untuk masuk ke dalam kawasan TNBK adalah memakai perahu temple panjang panjang/long Boat (sekitar 6-8 m) dengan satu mesin tempel berkekuatan 15 PK atau 40 PK Topografi Keadaan topografi TNBK sebagian besar berbukit dan bergunung serta sedikit dataran dengan ketinggian tempat berkisar antara 150 m sampai dengan sekitar m dari permukaan laut. Kawasan bukit dan gunung terdiri dari rangkaian pegunungan Kapuas Hulu di bagian Utara yang berbatasan dengan Sarawak dan di bagian Timur adalah pegunungan Muller yang berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Timur. Kawasan TNBK terbagi berdasarkan kelompok ketinggiannya terbesar pada kisaran m dpl sebanyak 38.51%, diikuti oleh kisaran m dpl sebanyak 28.14%, m dpl sebanyak 15.90%, m dpl sebanyak 11,19%, lebih rendah dari 200 m dpl sebanyak 5,34%, dan yang berketinggian diatas m dari permukaan laut hanya 0,92%. Sebagian besar kawasan ini (61,15%) mempunyai kelerengan yang terjal di atas 45% dan yang berlereng diantara 25% - 45% sebanyak 33,08% dari luas kawasan, serta hanya sebanyak 5,77% yang berlereng dibawah 25%. Jadi TNBK hampir tidak mempunyai daerah landai kecuali pada lembah-lembah sungai yang relatif sempit Geologi Keadaan geologi kawasan TNBK cukup unik dan menarik. Berdasarkan peta geologi sekala 1 : lembar 1516, 1517, 1617, dan 1616 umur geologi daerah TNBK berkisar antara Paleozoikum (Karbon Trias, Prem - Trias), Mesozoikum (Trias Akhir, Jura - Kapur Awal, Kapur Awal, Trias Akhir - Kapur Akhir, Kapur Akhir - Tersier Awal), Tersier (Eosen Tengah, Eosen Akhir, Eosen Akhir - Oligosen Awal, Oligosen Awal, Oligosen Akhir - Miosen Tengah), dan Kuarter.

41 Borneo yang merupakan pulau terbesar ketiga didunia ( km persegi) terletak di ujung timur dari dataran Sunda yang merupakan bagian dari dunia tropik lama (old world tropics) dipisahkan oleh lautan yang dangkal (sekitar 200 m) dari Semenanjung Malaysia dan Sumatera. Pulau Borneo ini terbentuk pada masa Cretaceous dengan umur lebih dari 60 juta tahun. Pegunungannya yang meliputi Kapuas Hulu, Apo Duat dan lainnya berawal dari pusat kawah atau bagian kerak yang keras dari entiti ini. Satuan geologi di kawasan TNBK terdiri atas Kelompok Embaloh, Kompleks Kapuas, Batuan Terobosan Sintang, serta Kelompok Selangkai dan Vulkanik Lapung. Satuan geologi yang mendominasi TNBK adalah Kelompok Embaloh (85%) dan lainnya adalah kelompok Kompleks Kapuas, Batu Terobosan Sintang, Selangkai, dan kelompok Vulkanik Lapung. Bagian yang sangat menarik secara geologi adalah bagian timur di DAS Bungan. DAS Bungan mempunyai spesifikasi sejarah geologi yang lebih kompleks yaitu perpaduan antara Batuan Gunung api Nyaan (Ten), Kompleks Kapuas (JKlk), Batuan Gunung api Lapung (Tml), dan Batuan Terobosan Sintang (Toms). Sedangkan Litologinya berupa batusabak, batupasir malih, batulanau malih, filit, serpih, argilit, dan turbidit. Pada satuan geologi Kompleks Kapuas di wilayah ini terdapat gua-gua kapur yang memiliki sejarah penting dalam peradaban manusia. Gua Diang Kaung dan Gua Diang Balu pernah di diami manusia prasejarah. Terbukti dengan ditemukannya lukisan gua (painting cave) pada dinding kedua gua tersebut. Keberadaan gua-gua tersebut telah menjadi objek untuk atraksi penelusuran gua prasejarah, sehingga masyarakat setempat juga dapat merasakan manfaat ekonomi dari keberadaan satuan geologi tersebut Tanah Berdasarkan klasifikasi tanah menurut USDA, secara umum jenis tanah di kawasan TNBK adalah seragam dan termasuk kedalam kelompok Dystropepts dengan tingkat pelapukan ringan. Tanah ini tanah yang umum terdapat di daerah beriklim panas dengan kelembaban rendah walau ditutupi kanopi hutan yang

42 kondisinya masih baik. Adapun jenis tanah yang terdapat di kawasan TNBK secara garis besar tergolong dalam : a. Tanah Organosol, dan Glei humus yang terdapat pada daerah-daerah yang drainasenya kurang baik yaitu pada rawa-rawa dan daerah-daerah yang terpengaruh oleh pasang surutnya air sungai. Tanah jenis ini berwarna kelabu sampai hitam dan tersebar di kecamatan Embaloh Hulu. b. Tanah Alluvial, terdapat di kiri kanan sungai sebagai hasil pengendapan material sungai, tanahnya lebih subur dibandingkan dengan jenis tanah lainnya. Kelompok tanah ini tersebar di sepanjang sungai besar termasuk wilayah dataran Sungai Mendalam, Sungai Sibau, dan Sungai Embaloh. c. Tanah Podsolik Merah Kuning dan tanah Kompleks Podsolik Merah Kuning serta Latosol yang mendominasi kawasan TNBK. Jenis tanah ini terdapat pada daerah yang berbukit-bukit dan bergelombang sampai pegunungan dan tersebar di wilayah kecamatan Putussibau dan Embaloh Hulu Iklim/Curah Hujan Pencatatan data curah hujan dari tahun 2000 sampai 2006 (6 tahun) diperoleh dari stasiun Meteorologi Bandar Udara Pangsuma Putussibau. Rata-rata curah hujan tahunan selama 6 tahun pencatatan ( ) mencapai mm dengan distribusi yang relatif merata sepanjang tahun yaitu mempunyai bulan basah (curah hujan bulanan >200 mm) sepanjang tahun. Tabel 1. Rata-rata curah hujan bulanan selama 6 Tahun ( ) Bulan Rata-rata (mm) Dalam 6 tahun Thn Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Thn-Rt Sumber: Stasiun Meteorologi Pangsuma Putussibau

43 Curah Hujan Rata-rata bulanan Tahun Jumlah Rata-rata Curah Hujan Bulanan(mm) Jumlah Bulan Gambar 3. Grafik rata-rata curah hujan bulanan Kabupaten Kapuas Hulu 3.7. Hidrologi Pola drainase di bagian hulu kawasan ini berbentuk radial, yaitu bentuk aliran kesemua arah jika dilihat dari batas wilayah negara antara Indonesia dan Malaysia merupakan puncak pengunungan yang sangat sangat tertoreh, sedangkan dibagian tengah dan hilir berbentuk pararel, yaitu bentuk aliran yang sejajar antar sungai. Pembagian wilayah berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh keberadaan TNBK terhadap situasi di hilirnya seperti pemukiman dan ekosistem penting (rawa). Masing-masing daerah aliran sungai tersebut adalah DAS Embaloh seluas hektar, DAS Kapuas seluas hektar, DAS Mendalam seluas hektar, DAS Palin seluas hektar dan DAS Sibau seluas hektar. Uraian dan luas secara rinci masing-masing DAS dalam status kawasan dapat dilihat pada Tabel 2.

44 Tabel 2. Pembagian Wilayah DAS di TNBK, Hutan Lindung dan Penyangga STATUS KAWASAN (Ha) LUAS TOTAL NAMA DAS HL Penyangga TNBK (Ha) DAS Embaloh 49,775 64, , ,413 DAS Kapuas 245,319 23, , ,348 DAS Mendalam 41,275 30,713 91, ,002 DAS Palin 40,065 64, ,385 DAS Sibau 49, , , ,538 Total 425, , ,334 1,492,686 Pembagian wilayah berdasarkan DAS secara umum akan memperlihatkan pengaruh kegiatan yang ada di kawasan TNBK terhadap pemukiman baik yang ada di dalam maupun yang ada di sekitarnya. Pemukiman yang ada di dalam TNBK adalah kampung Tanjung Lokang dan.bungan Jaya sedangkan sisanya berada di luar kawasan TNBK. Informasi mengenai hal tersebut diatas secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 3 di bawah ini: Tabel 3. Pemukiman yang di sekitar kawasan Taman Nasional Betung Kerihun NAMA DAS DAS Embaloh DAS Kapuas DAS Mendalam DAS Palin DAS Sibau NAMA DESA Pulau Manak, Langan Baru, Sungai Utik, Banua Ujung, Saujung Gilang Manik, Ulak Pauk, Lawik Melapi, Ingkotambe, Sayut, Suka maju, Cempaka Baru, Ttg Matalunai, Bungan Jaya, Tanjung Lokang Datah Dian, Padua Mendalam, Harapan Mulia Nanga Nyabau Semulung, Ng Awin, Sibau Hulu, Sibau Hilir, Pala Pulau, Hilir Kantor, Jaras, Kedamin Hulu, Kedamin Hilir 3.8. Ekosistem Keanekaragamanan ekosistem di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun sangat tinggi dan keadaan vegetasi hutannya masih baik dan relatif utuh. Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.467/Kpts-II/1995 terdapat delapan tipe ekosistem hutan di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun yaitu:

45 a. Ekosistem Hutan Dipterocarpaceae Dataran Rendah (Low Land Dipterocarp Forest) b. Ekosistem Hutan Aluvial (Alluvial Forest) c. Ekosistem Hutan Rawa (Swamp Forest) d. Ekosistem Hutan Sekunder Tua (Old Secondary Forest) e. Ekosistem Hutan Dipterocarpaceae Bukit (Hill Dipterocarp Forest) f. Ekosistem Hutan Berkapur (Limestone Forest) g. Ekosistem Hutan Sub Gunung (Sub-Montane Forest) h. Ekosistem Hutan Gunung (montane forest) Keberadaan 8 (delapan) tipe ekosistem ini memberikan nilai edukasi tersendiri bagi wisatawan selama mengikuti atraksi wisata di Wilayah Seksi Bungan. Menembus rapatnya hutan Kalimantan di kiri dan kanan jalur yang dilalui selama menikmati petualangan memberikan tampilan dan pengetahuan tambahan kepada wisatawan tentang nilai keanekaragaman hayati kawasan serta fungsi-fungsi ekologis selain menikmati atraksi petualangan. Interpretasi mengenai fungsi hutan sebagai habitat satwa liar, sumber plasma nutfah dan fungsi hidrologis menata aliran air akan menjadi program yang melengkapi atraksi petualangan Wilayah Seksi Bungan. Potensi ini harus dikembangkan oleh pihak pengelola kawasan untuk mengemas atraksi petualangan dengan program interpretasi lingkungan.

46 Gambar 4. Peta Ekosistem Taman Nasional Betung Kerihun, Hutan Lindung dan Kawasan Penyangga

47 3.9. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk asli yang bermukim di sekitar kawasan ini adalah tergolong kelompok etnik Dayak yang meliputi Dayak Iban, Tamambaloh, Taman Kapuas, Kantu, Kayan Mendalam, Bukat Mendalam, Bukat Matelunai, dan Punan Hovongan. Hanya kelompok Punan Hovongan yang pemukimannya berada di dalam kawasan TNBK. Jumlah penduduk Desa Nanga Bungan (65 KK/282 jiwa) dan Desa Tanjung Lokang (144 KK/558 jiwa) (BTNBK, 2006). Didukung oleh kawasan yang kondisi vegetasinya masih belum banyak terganggu, masyarakat di pedesaan memenuhi kebutuhan sehari-hari melalui kegiatan berladang (padi lahan kering) sekaligus bertanam sayuran, buah-buahan, berternak babi, berusaha tani kebun karet, mengumpulkan hasil hutan. Sedangkan 2 (dua) desa yang berada di dalam kawasan dan menjadi lokasi penelitian, masyarakatnya hidup sebagai petani dan pengumpul hasil hutan. Keberadaan objek-objek atraksi wisata di wilayah ini, yang sudah berjalan sejak tahun 1994 telah memberikan keuntungan finansial kepada masyarakat setempat. Beberapa anggota masyarakat terlibat sebagai pengelola jasa transportasi, pemandu wisata lokal, porter dan pengelola pondok wisata. Guna memperkuat kelembagaan masyarakat dalam menyediakan jasa pelayanan wisata tersebut, Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan Yayasan WWF Indonesia membentuk Badan Pengelola Wisata di Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang. Dengan adanya kelembagaan tersebut masyarakat akan lebih terorganisir dalam mengelola wisata di daerahnya.

48 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kapuas Hulu dengan luas ha. Pengelolaan kawasan terbagi menjadi 4 (empat) Wilayah Seksi. Sedangkan penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Seksi Bungan yang terletak di sebelah timur kawasan. Gambar 5. Peta Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

49 Kegiatan pengumpulan data lapangan dilaksanakan pada bulan Juni Agustus 2007 kemudian dilanjutkan dengan penulisan tesis hingga bulan Mei Rancangan Studi Metode penelitian yang digunakan adalah metode dekriptif eksplorasi dan metode spasial. Metode eksplorasi digunakan untuk menilai objek dan daya tarik wisata alam yang ada di wilayah penelitian (Seksi Bungan). Objek yang dinilai adalah objek berbentuk darat, objek berbentuk sungai, objek berbentuk gua dan objek berbentuk jeram. Alat bantu penilaian objek tersebut berupa tabulasi yang terdiri dari unsur dan sub unsur daya tarik dari masing-masing objek. Penilaian objek berbentuk darat terdiri dari penilaian atas unsur keindahan alam, keunikan sumber daya alam, banyaknya potensi sumber daya alam yang menonjol, keutuhan sumber daya alam, kepekaan sumber daya alam, jenis kegiatan wisata alam, kebersihan udara dan kerawanan kawasan. Penilaian objek berbentuk sungai adalah penilaian atas unsur aktivitas memanfaatkan sungai dan panorama alam sekitarnya, jenis riam/jeram, keragaman panorama kiri dan kanan sungai, lama pengarungan sungai dalam satu hari (satu trip), variasi kegiatan selama pengarungan sungai dan keaslian sungai dan panorama sekitarnya. Penilaian objek berbentuk gua adalah unsur keunikan dan kelangkaan, keaslian, keindahan dan keragaman ornamen gua, keutuhan tata lingkungan, adanya peninggalan prasejarah dan kepekaan. Sedangkan penilaian objek berbentuk jeram adalah unsur jenis riam, tingkat kesulitan, panorama kiri dan kanan sungai, lamanya pengarungan (arung jeram) dalam satu trip, variasi kegiatan selain arung jeram dan kondisi air sungai. Setiap objek diberi bobot masing-masing 6. Masing-masing unsur penilaian dari objek tersebut terdiri dari beberapa sub unsur. Jumlah dari sub unsur yang ditemukan dalam objek akan di beri nilai (30 untuk unsur yang memiliki 5 sub unsur, 25 untuk unsur yang memiliki 4 sub unsur, 20 untuk unsur yang memiliki 3 sub unsur, 15 untuk unsur yang memiliki 2 sub unsur dan 10 untuk unsur yang memiliki 1 sub unsur. Jumlah nilai masingasing unsur akan menjadi nilai dari objek tersebut setelah dikalikan dengan bobot

50 objek. Tabulasi penilaian dengan Kriteria Standar Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam berbentuk darat dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini : Tabel 4. Tabulasi Penilaian Objek Berbentuk Darat dengan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam. Bobot : 6 No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Keindahan Alam : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Pandangan lepas dalam objek b. Variasi pandangan dalam objek c. Pandangan lepas menuju objek d. Keserasian warna dan bangunan dalam objek e. Pandangan lingkungan objek 2 Variasi sub objek dalam jalur Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Sumber Air panas b. Gao c. Air terjun d. Flora fauna e. Adat istiadat 3 Banyaknya potensi sumber daya alam yang Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 menonjol : a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Air e. Gejala Alam 4 Keutuhan Sumber Daya Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Ekosistem e. Kualitas 5 Kepekaan Sumber Daya Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Erosi e. Ekosistem 6 Jenis Kegiatan Wisata Alam > Ada 1 a. Trecking b. Mendaki c. Rafting

51 1 2 3 d. Camping e. Pendidikan f. Religius g. Hiking 7 Kebersihan udara dan lokasi bersih tidak ada Tidak ada Ada 1-2 ada 3-4 ada 5-6 ada7 pengaruh dari : a. Alam b. Industri c. Jalan ramai motor/mobil d. Pemukiman penduduk e. Sampah f. Binatang g. Coret-coret (vandalisme) 8 Kerawanan kawasan (pencurian, perambahan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 dan kebakaran) a. Perambahan b. kebakaran c. Gangguan terhadap flora fauna d. Masuknya flora fauna e. eksotik Jumlah Sumber : Kriteria Sandar Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam Ditjen PHKA, Sedangkan metode deskriptif digunakan untuk mengkaji berbagai kemungkinan pengembangan ekowisata wilayah tersebut berdasarkan nilai yang diperoleh masing-masing objek dari Standar Kriteria Objek dan Daya Tarik Wisata Alam. Deskripsi berupa uraian potensi dan daya tarik objek dan mengkaji masalah-masalah yang bersifat umum maupun spesifik yang menyangkut masing-masing lokasi objek dikaitkan dengan perkembangan masa yang akan datang. Sebagai dasar pengkajian adalah unsur-unsur dan sub unsur di dalam penilaian. Analisis spasial menggunakan bantuan program arc view versi 3.3 untuk menganalisis kondisi keruangan yaitu kondisi topografi, sungai, ruang kegiatan wisata, ruang aktifitas masyarakat, tutupan lahan dan tipe ekosistem dalam bentuk peta tematik. Seluruh peta tematik akan di tumpang susun (overlay) untuk mendapatkan rencana zona pemanfaatan dan penataan ruang areal-areal wisata dan pemanfaatan masyarakat di dalam kawasan taman nasional.

52 Jenis Data yang dikumpulkan Data Primer a. Data penilaian objek berbentuk darat, gua, sungai dan jeram menggunkan metoda Penilian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (Analisis Daerah Operasi) yang dikeluarkan oleh Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan (2002). b. Data pemanfaatan ruang oleh masyarakat desa di dalam wilayah penelitian (Seksi Bungan) yaitu berladang, menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan non kayu. c. Data pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam yaitu letak objek dan jalur menuju objek seperti objek Lintas Kalimantan, Penelusuran Gua Prasejarah, Penjelajahan Sungai dan Arung Jeram. Pengumpulan data dengan alat GPS (Global Positioning System) Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari : a. Data Rencana Pengelolaan Taman Nasional Betung kerihun. b. Data statistik Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun c. Data iklim dari stasiun klimatologi terdekat dengan kawasan. d. Laporan-laporan survei kegiatan pengelolaan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun Kegunaan Data a. Data penilaian dengan Kriteria Standart Objek dan Daya Tarik Wisata alam untuk objek berbentuk darat, gua, sungai dan jeram digunakan untuk menemu kenali potensi objek di wilayah penelitian (Seksi Bungan). Sehingga menjadi dasar dalam mendeskripsikan penentuan kebijakan pengelolaan terhadap objek tersebut. b. Data pemanfaatan ruang oleh masyarakat Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang yang berada di wilayah Penelitian (Seksi Bungan) yaitu berladang, berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan adalah untuk

53 menganalisis pemanfaatan ruang yaitu letak, luas dan batas ruang yang digunakan oleh masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, khususnya Wilayah Seksi Bungan. Sehingga dapat menjadi dasar penentuan zona pemanfaatan di wilayah tersebut. c. Data pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam yaitu letak objek dan jalur menuju objek seperti objek Lintas Kalimantan, Penelusuran Gua Prasejarah, Penjelajahan Sungai dan Arung Jeram adalah untuk menganalisis pemanfaatan ruang yang digunakan untuk atraksi wisata di wilayah penelitian (Seksi Bungan) yaitu letak, luas dan batas ruang yang digunakan sehingga terbentuk suatu ruang yang akan menjadi dasar penentuan zona pemanfaatan di wilayah tersebut. d. Data sekunder yang terdiri dari data Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, data satistik Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun, data klimatologi dan laporan-laporan kegiatan di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun digunakan untuk mendukung hasil analisis data primer. Sehingga analisis dan rekomendasi yang dihasilkan juga di dukung oleh data yang ada sebelumnya dan rencana pengelolaan kawasan yang akan datang Cara Pengumpulan data a. Data penilaian objek berbentuk darat, gua, sungai dan jeram diambil dengan menilai masing-masing objek menggunakan tabulasi Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam Direktorat Wisata Alam - PHKA. Penilaian dilakukan dengan melibatkan Petugas Balai Taman Nasional Betung Kerihun dan anggota masyarakat setempat yang terlibat dengan kegiatan wisata. b. Data pemanfaatan ruang oleh masyarakat Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang yaitu batas kegiatan perladangan, lokasi mencari ikan, lokasi berburu, lokasi mengumpulkan sumber daya alam non kayu dikumpulkan dengan cara merekam koordinat masing-masing lokasi dengan bantuan alat GPS. c. Data pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam yaitu letak objek dan jalur menuju objek seperti objek Lintas Kalimantan, Penelusuran Gua Prasejarah,

54 Penjelajahan Sungai dan Arung Jeram dikumpulkan dengan cara merekam koordinat masing-masing lokasi dengan bantuan alat GPS. d. Data sekunder yang terdiri dari data Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, data satistik Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun, data klimatologi dan laporan-laporan kegiatan di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dikumpulkan dengan cara studi literatur Analisis Data a. Analisis Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam Analisis data dilakukan secara deskriptif dari data Kriteria Stándar Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (Analisis Daerah Operasi). Hasil penilaian secara total dari masing-masing objek akan dibandingkan dengan nilai total yang dapat diperoleh masing-masing objek. Kemudian dilakukan pengkajian terhadap sub-sub unsur yang tidak mendapat nilai maksimal, sehingga akan diperoleh rekomendasi berupa upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam pengelolaan objek selanjutnya. b. Analisis Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Data lokasi (koordinat) pemanfaatan ruang oleh masyarakat di zona pemanfaatan dipetakan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan program Arc View versi 3.3. Pembentukan ruang pemanfaatan tersebut dengan cara membuat areal penyangga (buffer) masing-masing aktivitas, yaitu berladang, berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan non kayu. Luas areal penyangga (buffer) disesuaikan dengan peta tutupan lahan yang dapat menggambarkan kondisi areal perladangan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang ditemukan di lapangan. Berdasarkan Peta Tutupan Lahan, areal perladangan oleh masyarakat Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang dengan jarak maksimum 1000 meter (1 km) dari sungai Kapuas dan Sungai Bungan. Sehingga buffer yang dibuat untuk kegiatan berladang adalah 1000 m (1 km) dari Sungai Bungan dan Sungai Kapuas sampai titik batas perladangan. Kegiatan berburu di buffer 100 m (seratus meter) dari lokasi

55 berburu. Jarak ini diperoleh dari data lapangan yang diasumsikan dari jarak pandang maksimum pemburu dari lokasi berburu. Lokasi menangkap ikan di buffer seleber 50 m (lima puluh meter), berdasarkan data lebar rata-rata sungai yang menjadi lokasi menangkap ikan. Lokasi mengumpulkan hasil hutan di buffer selebar 1000 m (1 km) dari Sungai Kapuas dan Sungai Bungan, hingga titik batas lokasi kegiatan, diperoleh dari jarak puncak-puncak bukit yang menjadi titik akhir aktivitas pengumpulan hasil hutan yang rata-rata berjarak 1000 m (1 km) dari Sungai Kapuas dan Sungai Bungan. Buffer dari masing-masing aktivitas masyarakat tersebut kemudian dilakukan overlay. Ruang hasil buffer terluas akan menjadi batas ruang pemanfaatan oleh masyarakat tersebut. c. Analisis Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Wisata Data lokasi (koordinat) potensi dan pemanfaatan ruang wisata dipetakan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan program Arc View versi 3.3. Selanjutnya dilakukan overlay seluruh peta tematik atraksi wisata yaitu Lintas Kalimantan, Penelusuran Gua Prasejarah, Penelusuran Sungai dan Arung Jeram. Kemudian di buffer selebar 1000 m (1 km) dari sungai yang menjadi jalur mencapai objek yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Bungan. Nilai buffer tersebut diperoleh dari jarak rata-rata puncak-puncak bukit dari sungai Kapuas dan Sungai Bungan. Sehingga terbentuk ruang kegiatan wisata Wilayah Seksi Bungan. Selanjutnya dilakukan overlay dengan, Peta Batas Kawasan, Peta Topografi, Peta Sungai, Peta Tutupan Lahan dan Peta Tipe Ekosistem. Kemudian dibentuk zona pemanfaatan dan di dalam zona pemanfaatan tersebut dibagi ke dalam areal-areal wisata. Pembagian areal tersebut berdasarkan aktivitas masyarakat memanfaatkan lahan dan pemungutan hasil hutan serta keberadaan objek wisata dalam zona pemanfaatan tersebut.

56 Kriteria overlay : Areal Wisata PLP PHH PLW AOS AM Hasil Ket Areal Wisata Intensif LB Areal Wisata Umum LB Areal Perlindungan Masyarakat LB Areal Wisata Alami LT Areal Wisata Alami Khusus LT Keterangan : PLP : Pembukaan Lahan untuk Perladangan PHH : Pemungutan Hasil Hutan non kayu PLW : Pembukaan Lahan untuk Fasilitas Wisata AOS : Ancaman terhadap Objek Spesifik AM : Aktivitas Masyarakat LB : Lahan Terbuka LT : Lahan Tertutup + : Tidak ada pemanfaatan lahan dan SDA - : Ada pemanfaatan lahan dan SDA Areal Wisata Intensif : Kelompok areal yang ada pembukaan areal perladangan, ada pemungutan hasil hutan, ada pembukaan lahan untuk fasilitas wisata dan rencana penambahan fasilitas wisata, tidak ada objek specifik, tidak ada lahan perlindungan pemukiman masyarakat. Dengan kondisi areal berupa lahan terbuka. Areal Wisata Umum : Kelompok areal yang ada pembukaan lahan perladangan, ada pemungutan hasil hutan, tidak ada pembukaan lahan untuk fasilitas wisata, ada ancaman terhadap objek specifik, tidak ada lahan perlindungan pemukiman masyarakat dan berfungsi sebagai koridor (jalur Transportasi) yang menghubungkan Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang. Dengan kondisi areal berupa lahan terbuka. Areal Wisata Alami : Kelompok areal yang tidak ada pembukaan lahan perladangan, ada pemanfaatan hasil hutan, tidak ada pembukaan lahan untuk fasilitias wisata, tidak ada ancaman terhadap objek spesifik dan tidak ada lahan perlindungan pemukiman masyarakat. Kondisi lahan berupa lahan tertutup vegetasi primer. Areal Wisata Alami Khusus : Kelompok areal yang hanya dimanfaatkan untuk kegiatan wisata terbatas, tanpa ada pembukaan lahan dan pemungutan hasil hutan serta pembukaan lahan untuk fasilitas wisata permanen. Kondisi areal berupa lahan tertutup vegetasi primer. Areal Aktivitas Masyarakat : Kelompok areal yang dimanfaatkan untuk perlindungan pemukiman masyarakat di dalam kawasan, ada pembukaan lahan perladangan dan ada pemungutan hasil hutan. Kondisi areal berupa lahan terbuka. Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini :

57 TAMAN NASIONAL BETUNG KERIHUN Pemanfaatan Wisata Alam IDENTIFIKASI MASALAH Belum ada penilaian objek wisata Wilayah Seksi Bungan Pemanfaatan potensi kawasan untuk kegiatan wisata Pemanfaatan potensi kawasan oleh masyarakat PENGUMPULAN DATA Data Sekunder Peta Thematik Kebijakan Ren Pengelolaan Laporan Kegiatan Penilaian dgn Kriteria Standar ODTW Survei lokasi Pemanfaatan Ruang wisata Survei lokasi Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Nilai Objek Koordinat Koordinat ANALISIS Analisis Spasial (buffering, overlay) Deskriptif SINTESIS Rencana Zona Pemanfaatan Aplikasi Konsep Ekowisata dalam Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan Kawasan TNBK Gambar 6. Diagram Alir Tahapan Penelitian

58 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Wisata Wilayah Seksi Bungan Berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Betung Kerihun, di Wilayah Seksi Bungan terdapat beberapa objek wisata seperti telihat pada tabel 5. Tabel 5. Potensi Objek Wisata di Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun No Kegiatan Wisata Objek Keterangan 1. Lintas Borneo Rute Lintas Kapuas Sudah berjalan Arung Jeram Penelusuran Gua Penjelajahan Sungai Mahakam Jeram-jeram Sungai Kapuas Diang Kaung, Diang Balu, Diang Tahapun. Sungai Kapuas, Sungai Bungan Belum berjalan Sudah berjalan Sudah berjalan Sumber : RPTN Taman Nasional Betung Kerihun Sesuai dengan karakteristik wilayah dengan topografi yang berbukit dan hasil identifikasi objek yang memiliki potensi untuk pengembangan wisata petualangan. Beberapa jeram-jeram di hulu Sungai Kapuas, adanya gua-gua prasejarah dan adanya jalur sejarah perjalanan Lintas Borneo yang pernah dilakukan oleh Dr. Nieuwenhuis seorang ilmuan berkebangsaan Belanda pada tahun 1894, mendasari pengelola kawasan untuk membuat paket-paket wisata petualangan di wilayah tersebut. Kegiatan wisata Lintas Borneo sudah berjalan sebelum adanya penunjukan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Masyarakat setempat sudah memiliki jaringan kerjasama dengan biro perjalanan internasional untuk mendatangkan pengunjung secara rutin sejak tahun 1994 hingga sekarang. Perjalanan melintasi provinsi Kalimantan Barat hingga ke Kalimantan Timur yang dilakukan oleh

59 warga Belanda pada masa lampau tersebut, menjadi daya tarik utama bagi pengunjung mancanegara. Kegiatan wisata Arung Jeram sudah dipersiapkan oleh pengelola kawasan bersama Yayasan WWF Indonesia dan Tim Scouting Yogjakarta sejak tahun Kegiatan yang dilakukan berupa survai rute pengarungan serta melatih masyarakat Desa Nanga Bungan sebagai pemandu arung jeram. Sedangkan penyelenggaraan kegiatan wisata arung jeram ini masih belum berjalan, karena masih membutuhkan sarana dan prasarana penunjang. Selain kedua potensi di atas, wilayah ini juga memiliki beberapa gua yang pernah dihuni oleh manusia prasejarah. Di dalam gua Diang Kaung, Diang Balu dan Diang Tahapun terdapat beberapa peninggalan dari manusia prasejarah tersebut. Beberapa lukisan pada dinding gua dapat memberikan informasi tentang sejarah kehidupan manusia masa lampau. Kunjungan ke lokasi ini masih terbatas dari kalangan ilmuan dan personil dari stasiun televisi, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Potensi wisata lainnya adalah Penjelajahan Sungai. Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia (1.321 km) berhulu di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Daya tarik wisata penjelajahan sungai ini adalah saat pengunjung melintasi jeram-jeram besar di hulu sungai Kapuas dan sungai Bungan, dengan latar belakang hutan hujan tropis yang lebat memberikan suasana Borneo yang khas. Paket ini dipersiapkan sebagai pilihan jika pengunjung memiliki keterbatasan waktu kunjungan atau keterbatasan kemampuan berjalan kaki (tracking), karena seluruh kegiatan penjelajahan sungai ini menggunakan Perahu Tempel (Long Boat) Pengembangan Program Interpretasi Lingkungan Dari data potensi atraksi seperti telihat pada tabel 5 di atas, atraksi yang dapat dikembangkan selain atraksi petualangan adalah program interpretasi lingkungan. Latar belakang objek wisata Wilayah Seksi Bungan seluruhnya berupa hutan hujan topis, tampilan lain yang dapat disaksikan adalah aktivitas masyarakat setempat dalam mamanfaatkan sumber daya alam dan lahan serta

60 berbagai bentuk jeram sepanjang sungai yang dilalui akan menjadi objek menarik untuk program interpretasi lingkungan. Keterpaduan atraksi petualangan dan interpretasi lingkungan dapat dilahat pada tabel 6. Tabel 6. Program Pengembangan Interpretasi Lingkungan No Kegiatan Wisata Objek Interpretasi Tema Interpretasi 1. Lintas Borneo Keragaman tumbuhan, satwa dan ekosistem. Keanekaragaman Hayati 2. Arung Jeram Berbagai bentuk jeram Fungsi Hutan sebagai Pengatur Tata Air 3. Penelusuran Gua Peninggalan prasejarah manusia Sejarah Manusia Kehidupan 4. Penjelajahan Sungai Kehidupan masyarakat tradisional memanfaatkan SDA dan lahan Kearifan lokal Perjalanan Lintas Borneo merupakan rute perjalanan terpanjang dibanding atraksi lainnya, kegiatan ini membutuhkan waktu 14 (empat belas) hari perjalanan dengan 7 (tujuh) hari berupa jalan kaki (tracking) menyusuri lebatnya hutan Kalimantan. Berbagai tipe ekosistem di lewati dalam menyusuri jalur tersebut, mulai dari ekosistem hutan sekunder di sekitar permukiman Nanga Bungan dan Tanjung Lokang, ekosistem hutan Dipterocarpaceae bukit, ekositem hutan berkapur, ekosistem hutan sub gunung dan ekosistem hutan gunung yaitu ketika melintasi Pegunungan Muller. Tema Interpretasi yang tepat untuk atraksi ini adalah keanekaragaman hayati. Program Interpretasi atraksi ini berisi penjelasan tentang fungsi hutan sebagai sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya dan sebagai habitat satwa liar. Beragamnya tipe ekosistem tersebut menandakan bahwa kawasan ini juga memiliki jenis tumbuhan dan satwa liar beraneka ragam yang membentuk ekosistem. Pada program ini pengunjung selain mendapatkan pengetahuan juga akan menggugah penunjung untuk melestarikan lingkungan. Sketsa jalur interpretasi terlihat pada lampiran 9.

61 Rute arung jeram di wilayah Sungai Bungan sangat berbeda dengan lokasi lainnya, karena melintasi sungai terpanjang di Indonesia (1.321 km), dengan latar belakang pemandangan berupa hutan hujan tropis yang masih lebat. Tema interpretasi yang tepat adalah fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Keberadaan air sungai kapuas sangat tergantung kepada hutan yang ada di bagian hulunya. Hal ini karena hutan memiliki fungsi hidrologis yang dapat mengatur pasokan air di sungai tersebut dengan mengalirkan air hujan melalui proses siklus hidrologi. Air sungai Kapuas yang jernih dan latar belakang hutan yang masih lebat akan melengkapi atraksi petualangan melewati jeram-jeram sepanjang ± 15 (lima belas) km tersebut. Program interpretasi pada atraksi ini menyampaikan pesan dan informasi tentang keterkaitan hutan dan air. Sehingga wisatawan akan tergugah untuk melestarikan hutan agar siklus hidrologi tetap berjalan. Sketsa jalur interpretasi terlihat pada lampiran 10. Atraksi penelusuran gua prasejarah pada tiga gua yaitu Diang Kaung, Diang Balu dan Diang Tahapun selain dapat menyaksikan berbagai bentuk ornamen gua, wisatwan juga dapat menyaksikan berbagai peninggalan manusia prasejarah seperti tulisan-tulisan purbakala di dinding gua dan beberapa bahan keramik, permata (manik-manik) dan sisa-sisa bahan makanan yang sudah berbentuk fosil. Bukti peninggalan purbakala tersebut akan membuktikan sejarah kehidupan manusia di wilayah ini. Tema interpretasi yang dapat dikembangkan pada atraksi ini adalah pengetahunan tentang sejarah kehidupan manusia. Wisatawan akan memperoleh pengetahuan tentang kedekatan hubungan manusia dengan alam, sehingga akan menggugah wisatawan untuk hidup secara bijak dalam memanfaatkan alam. Sketsa jalur interpretasi terlihat pada lampiran 11. Wisatawan yang menikmati atraksi penjelajahan sungai, dengan melewati Sungai Kapuas dan Sungai Bungan akan melihat perbedaan yang nyata antara hutan primer dan hutan sekunder akibat aktivitas manusia. Perladangan di sepanjang Sungai Bungan akan memperlihatkan kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan lahan untuk perladangan dengan sistem gilir balik. Sistem perladangan ini tidak lagi membuka lahan pada hutan primer, tetapi memanfaatkan hutan sekunder tua bekas perladangan dengan rotasi yang telah

62 disepakati secara adat. Adanya rotasi pembukaan lahan perladangan tersebut dapat mengurangi degradasi hutan primer wilayah ini, sehingga ruang perladangan masyarakat di wilayah ini dapat ditetapkan secara permanent. Tema interpretasi pada atraksi ini adalah kearifan lokal, wisatawan akan mendapat informasi dan pemahaman tentang kegiatan masyarakat setempat yang masih memiliki kearifan untuk mengelola alam dangan tetap menjaga kepentingan ekologis di samping kebutuhan ekonomi. Sketsa Jalur Interpretasi terlihat pada lampiran Penilaian dengan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam Berdasarkan data jenis objek dan hasil penilaian dengan menggunakan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam, diperoleh hasil sebagaimana tertera dalam tabel 7. Tabel 7. Rekapitulasi nilai identifikasi jenis dan penilaian objek dan daya tarik wisata alam Wilayah Seksi Bungan No Bentuk Objek Lokasi Nilai Bobot Nilai x Bobot Nilai Maks Kategori 1. Sungai Sungai Kapuas Sungai Bungan Sangat baik Sangat baik 2. Darat Jalur Tracking Desa Tanjung Lokang Gunung Muller (Lintas Borneo) Sangat baik 3. Gua Diang Kaung Diang Balu Diang Tahapun Sangat baik Sangat baik Sangat baik 4. Jeram Sungai Kapuas Sangat baik Sumber : Penilaian objek melalui survai lapangan Objek Berbentuk Sungai Berdasarkan sejarah penunjukan kawasan Betung Kerihun menjadi kawasan lindung, fungsi hidrologis kawasan menjadi alasan utama. Hal ini

63 dikarenakan Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia (1.321 Km) melintasi kawasan TNBK hingga puncaknya di Gunung Cemaru yang bagian paling timur. Sungai kapuas memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Kalimantan Barat yaitu fungsi sosial, terutama untuk ketersedian air bagi kehidupan sehari-hari masyarakat, fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis ikan air tawar dan fungsi ekonomi sebagai jalur perdagangan penting bagi masyarakat Kalimantan Barat. Sedangkan fungsi wisata Sungai Kapuas belum dimanfaatkan secara maksimal. Bagian perhuluan Sungai Kapuas memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Selain predikat sebagai sungai terpandang di Indonesia, hulu Sungai kapuas juga diuntungkan karena letaknya berada di tengah-tengah Pulau Kalimantan (Heart of Borneo) dan latar belakang sungai berupa hutan hujan tropis (Tropical Rain Forest) yang masih lebat. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, pemanfaatan Sungai Kapuas sebagai objek wisata akan memiliki daya tarik khusus. Khusus untuk Sungai Kapuas dan Sungai Bungan yang digunakan sebagai jalur transportasi masuk kawasan Wilayah Seksi Bungan, memiliki potensi berupa jeram-jeram yang bisa dilewati Perahu Tempel (Long Boat) maupun dengan Perahu Karet. Kondisi arus sungai semakin ke hulu semakin deras dan disertai jeram-jeram besar di beberapa titik, menjadi daya tarik utama untuk mengembangkan wilayah tersebut sebagai destinasi Paket Penjelajahan Sungai (White Water Cruise). Berdasarkan penilaian dengan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam, nilai dari objek sepanjang Sungai Kapuas yang berada dalam kawasan TNBK adalah 1050 sedangkan nilai maksimum adalah Dari data hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa Sungai Kapuas memiliki nilai yang hampir maksimum. Tabulasi hasil penilaian elemen-elemen objek tersebut dapat dilihat pada lampiran 1. Adanya ladang-ladang masyarakat pada sisi kiri dan kanan pinggir sungai pada jalur yang dilewati wisatawan menikmati atraksi penjelajahan sungai membuat sebagian lahan ditumbuhi semak belukar dan permudaan. keberadaan

64 permudaan alam pada areal bekas-bekas ladang membuat sebagian jalur yang dilalui kehilangan keasliannya, terutama di sekitar perkampungan. Desa Bungan yang merupakan desa terakhir di hulu Sungai Kapuas, berada di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Guna memenuhi kehidupan sehari-hari, masyarakatnya memanfaatkan sumber daya alam sekitar pemukiman mereka, seperti memungut hasil hutan, berburu, berladang dan mencari ikan. Pemanfaatan lahan hutan menjadi areal perladangan tanah kering yang dibuat di sepanjang kiri dan kanan sungai hingga ke puncak-puncak bukit. Hal ini dilakukan masyarakat secara berpindah setiap tahun. Namun perpindahan areal perladangan dan letak perladangan setiap tahun harus ada kesepakatan secara adat oleh masyarakat Desa Bungan, batas-batas perpindahan tersebut sudah mereka sepakati secara adat. Sehingga batas areal perladangan yang mereka buat dapat diketahui secara permanen dan tidak ada lagi perladangan yang dibuat di hutan primer. Keberadaan areal perladangan tersebut dapat dilihat pada gambar 7. Ladang/Bekas Ladang Gambar 7. Areal perladangan di sekitar Sungai Kapuas dan Sungai Bungan

65 Elemen-elemen lain yang menjadi penilaian untuk objek Sungai Kapuas seluruhnya mendapat nilai tertinggi seperti keragaman aktifitas wisata yang bisa dilakukan, keragaman riam-riam yang dilewati, keragaman panorama sepanjang sungai, lama pengarungan dan variasi kegiatan selain pengarungan sungai. Dengan demikian berdasarkan Kriteria Standar Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam, Sungai Kapuas sangat potensial sebagai objek wisata. Gambar 8. Panorama hutan primer di sisi kiri dan kanan Sungai Kapuas Sedangkan penilaian terhadap objek Sungai Bungan diperoleh nilai 930 dan batas nilai maksimumnya adalah Hal ini dikarenakan sepanjang jalur Sungai Bungan antara Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang telah dibagi oleh masyarakat kedua desa sebagai areal perladangan, sehingga sudah tidak ada hutan primer yang terlihat dari pinggir sungai sampai puncak-puncak bukit. Selain itu riam yang dilewati lebih sedikit dibanding Sungai Kapuas. Di sepanjang jalur Sungai Bungan hanya dijumpai tiga variasi arus yaitu Under Cut (patahan),

66 Standing Wave (berombak) dan Flat (datar berarus). Semakin beragam bentuk arus tersebut tentunya akan meningkatkan perolehan nilai dari objek. Nilai positif yang dapat diperoleh dari objek Sungai Bungan adalah sebagai pembanding dari Sungai Kapuas, antara panorama sungai yang masih relatif asli dengan panorama sungai yang sudah mengalami perubahan akibat aktifitas manusia. Selain itu aktifitas masyarakat berladang sepanjang Sungai Bungan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang melewati jalur ini sehingga muncul variasi pemandangan selain berupa hutan primer. Secara keseluruhan objek Sungai Kapuas dan Sungai Bungan memiliki elemen-elemen objek yang potensial dikembangkan sebagai tujuan wisata. Hal ini berdasarkan penilaian dengan Kriteria Standar ODTW sebagian besar elemen objek memiliki nilai maksimum, penilaian tersebut terlihat pada lampiran 1. Gambar 9. Panorama hutan sekunder bekas perladangan masyarakat di sisi kiri dan kanan Sungai Bungan Objek Berbentuk Darat Jalur masuk kawasan Taman Nasional Betung Kerihun seluruhnya berupa jalur sungai, namun setelah mencapai kawasan beberapa elemen objek harus

67 dicapai melalui darat sehingga penilaian dengan Kriteria Standar ODTW yang dilakukan dengan daftar penilaian objek berbentuk darat. Jalur tracking dari Desa Tanjung Lokang hingga ke Batas Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yang menjadi rute perjalanan Paket Wisata Lintas Borneo. Paket wisata tersebut sudah lebih dahulu berjalan sebelum ditetapkannya kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, sejak tahun 1994 paket ini sudah secara intensif dilakukan oleh biro-biro perjalanan dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Namun pengelolaan potensi tersebut belum dilakukan oleh pihak pengelola kawasan. Penilaian dengan Standart ODTW akan menjadi bahan masukan bagi pihak pengelola dan mitra-mitranya yang bergerak di bidang wisata agar seluruh elemen objek yang ada sepanjang rute perjalanan Lintas Borneo khususnya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dapat dimanfaatkan optimal. Berdasarkan daftar nilai Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (lampiran 1), diperoleh jumlah hasil penilaian objek sebesar 1140 sedangkan nilai maksimum yang dapat diberoleh adalah Hasil penilaian yang tidak mencapai maksimum ini dikarenakan beberapa elemen objek mengalami perubahan keaslian akibat adanya areal perladangan, vandalisme pada beberapa elemen objek dan beberapa elemen objek sangat sensitif terhadap kehadiran pengunjung terutama satwa liar. Gunung Muller yang menjadi batas Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur merupakan habitat dari Kelempiau (Hylobahes mullerii). Sehingga keberadaan elemen objek ini harus memperhatikan nilai sensitifitas tersebut. Selain itu faktor kebersihan juga harus mendapat perhatian pengelola kawasan terutama yang berdekatan dengan perkampungan. Faktor kerawanan kawasan terhadap kebakaran, perambahan dan gangguan flora fauna juga menjadi elemen penting dalam penilaian tersebut, adanya pemukiman masyarakat di dalam kawasan ini menjadi ancaman utama terhadap faktor kerawanan terhadap sumber daya alam tersebut. Secara keseluruhan elemen-elemen objek yang dinilai dengan Kriteria Standar ODTW sebagian besar mendapat nilai maksimum, sehingga masih sangat potensial sebagai objek unggulan kawasan ini. Paket Lintas Borneo (Cross

68 Borneo) sudah cukup dikenal oleh para penggemar kegiatan petualangan mancanegara, sebagai tujuan petualangan baru selain pendakian 7 (tujuh) puncak dunia (Seven Summit) atau pendakian puncak Cincin Gunung Api (Ring of Fire). Sehingga membutuhkan peran berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan wisata wilayah ini untuk lebih mengenalkan atraksi ini kepada masyarakat luas. Pengembangan program interpretasi lingkungan pada atraksi ini akan memberikan nilai lebih kepada wisatawan berupa pengetahuan tentang fungsi hutan. Sehingga wisatawan tidak hanya sekedar melintasi jalur petualangan tetapi juga memperoleh pengetahuan dengan melihat berbagai objek yang dilewati. Gambar 10. Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Timur (Batas kawasan TNBK) titik puncak perjalanan Lintas Borneo Objek Berbentuk Gua Salah satu kekhasan wilayah timur kawasan Taman Nasional Betung Kerihun adalah adanya formasi batuan kapur (formasi kars). Gua-gua tersebut sebagian besar merupakan habitat Burung Walet Hitam (Collocalia sp), yang dikelola oleh masyarakat sekitar untuk dikomersilkan sarangnya.

69 Gua-gua kapur yang terletak di tengah-tengah rimbunnya hutan Kalimantan tersebut terdapat 3 (tiga) gua memiliki peninggalan prasejarah. Gua Diang Kaung, Gua Diang Balu dan Gua Diang Tahapun. Berdasarkan peninggalan prasejarah yang ada di dalamnya, memperlihatkan bahwa gua-gua tersebut pernah dihuni oleh manusi prasejarah. Beberapa tulisan pada dinding gua berbentuk simbol-simbol alam menjalaskan situasi kehidupan manusia prasejarah pada zamannya. Pada gua Diang Kaung ditemukan tulisan-tulisan purbakala di langit-langit gua dan beberapa manik-manik batu (permata) di temukan di lantai gua. Sedangkan Diang Balu terdapat beberapa tulisan purbakala pada langit-langit gua dan benda-benda menyerupai meja dan kursi dari batu. Pada gua Diang Tahapun ditemukan perbedaan dari kedua gua tersebut di atas, adanya tulang belulang manusia di dalam gua dan beberapa Tempayan Keramik membuktikan bahwa tempat ini menjadi lokasi pemakaman oleh manusia zaman dahulu. Namun dari bukti benda-benda di dalam gua ini berupa tempayan keramik dengan ornamenornamen yang sudah lebih modern, membuktikan bahwa peninggalan tersebut dari zaman yang berbeda dari kedua gua diatas yaitu Diang Kaung dan Diang Balu. Jauh sebelum suku dayak menghuni Pulau Kalimantan, Gua Diang Kaung telah digunakan sebagai tempat tinggal oleh manusia prasejarah. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya jumlah lukisan gua dan artefak purba yang ditemukan di lokasi tersebut. Indikasi lain yang menunjukkan bahwa Diang Kaung merupakan tempat tinggal manusia prasejarah adalah (a) mudah dicapai, (b) dekat dengan anak sungai atau sumber air lainnya, (c) tidak jauh dari tempat mereka mencari makan, (d) dekat dengan sumber bahan peralatan, (e) memiliki ruang yang cukup besar dengan permukaan tanah yang rata, sirkulasi udara baik, cukup terang, tidak terlalu lembab, sekaligus mudah dalam melakukan pengintaian terhadap pergerakan binatang maupun musuh (Himakova IPB, 2005). Dengan demikian bahwa gua-gua tersebut telah di huni oleh manusia jauh sebelum peradaban modern seperti sekarang ini. Pontensi tersebut tentu menjadi daya tarik tersendiri sebagai rute perjalanan wisata gua prasejarah untuk mengungkap dan mempelajari sejarah kehidupan manusia.

70 Berdasarkan penilaian dengan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam terhadap 3 (tiga) gua tersebut, diperoleh hasil penilaian 870 untuk Diang Kaung, 810 untuk Diang Balu dan 900 untuk Diang Tahapun. Nilai maksimum yang dapat diperoleh jika setiap elemen penilaian mendapat angka tertinggi adalah Hasil nilai yang tidak mencapai nilai maksimal ketiga gua tersebut dikarenakan beberapa elemen gua sudah tidak asli lagi akibat perbuatan manusia. Hal ini karena gua-gua sekitar objek menjadi habitat Burung Walet yang dikelola penduduk aktifitas manusia di sekitarnya juga mengancam keutuhan objek. Diantaranya dengan membuat coretan pada dinding gua (vandalisme) sehingga nilai keaslian gua tersebut menjadi berkurang. Selain itu akibat kebakaran hutan pada tahun 1997, menyebabkan vegetasi di sekitar gua ikut terbakar sehingga menggangu proses ekologis di lingkungan gua, akibatnya proses pembentukan ornamen gua terhenti sehingga ornamen-ornemen tersebut mengering. Bentukbentuk kerusakan gua ini akan menjadi masukan bagi pengelola kawasan untuk mempertahankan keaslian objek tersebut. Gambar 11. Gua Diang Kaung terdapat tulisan prasejarah

71 Gambar 12.Tempayan Keramik di dalam Gua Tahapun Gambar 13.Peti jenazah di dalam Gua Tahapun Gambar 14. Tulisan prasejarah di langit-langit gua Diang Balu dapat mengungkap sejarah kehidupan manusia masa lalu

72 Objek Berbentuk Jeram Bentuk aktifitas wisata petualangan yang lain yang potensial dikembangkan di Wilayah Seksi Bungan adalah Arung Jeram. Sejumlah jeram dengan tingkat kesulitan (grade) antar II V+ dapat ditemukan di wilayah ini. Panjang sungai yang memungkinkan untuk pengembangan aktifitas petualangan ini adalah sepanjang 27,10 Km dan terbagi menjadi tiga trip (tiga hari) pengarungan. Dimulai dari Riam Matahari hingga ke Riam Bangbe sepanjang 15,57 Km menjadi trip pertama pengarungan, trip ke dua dari Riam Bang Be hingga ke Desa Nanga Bungan dengan panjang pengarungan 6,29 Km dan trip ketiga Dari Desa Nanga Bungan ke titik akhir Riam Batu Lintang sepanjang 5,24 Km (Scouting Tim, 2003). Sepanjang rute pengarungan Sungai Kapuas terdapat beberapa buah riam yang dilewati, seperti terlihat pada tabel 8. No. Tabel 8. Potensi objek berbentuk jeram di hulu Sungai Kapuas Stasiun Waktu (dtk) Grade Beda Tinggi (m) Panjang Jeram (m) Lebar (m) Nama Jeram 1 I-II Matahari 3 II-III Mokotori 4 III IV Pelangan 5 IV V , Pulas 7 V VI Bang Be 8 VI VII Menuhut 10 VII VIII , Apin 11 VIII IX , Batu Lintang Sumber : Scouting Tim Jogjakarta (2003) Berdasarkan penilaian dengan Kriteria Standar ODTW terhadap objek berbentuk jeram di hulu Sungai Kapuas tersebut diperoleh nilai sebesar 1050 sedangkan nilai maksimum yang bisa deperoleh adalah Angka tersebut menunjukkan bahwa hasil penilaian mendekati angka maksimum. Gambar 15. Mengarungi jeram di hulu sungai terpanjang di Indonesia, menjadi daya tarik utama untuk menghadirkan wisatawan

73 Dengan demikian nilai untuk masing-masing elemen yang diukur pada objek tersebut hampir seluruhnya mendapat nilai tertinggi. Hanya ada satu elemen objek yaitu kondisi air sungai yang sewaktu-waktu keruh di saat setelah terjadinya hujan, sehingga elemen ini tidak mendapatkan nilai tertinggi. Hal ini dapat terjadi karena adanya pembukaan lahan oleh masyarakat untuk perladangan pada daerah sekitar perkampungan. Sehingga permukaan tanah yang terbuka tercuci oleh air hujan dan mengalir ke sungai. Berdasarkan penilaian tersebut, secara keseluruhan Sungai Kapuas sebagai objek arung jeram sangat potensial untuk dikembangkan Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Keberadaan 2 (dua) desa di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun khususnya di wilayah pemangkuan Seksi Bungan, menjadi salah satu kesulitan dalam penataan zonasi kawasan. Hal ini dikarenakan pihak pengelola kawasan harus mengakomodir ruang sosial masyarakat yang bermukim di desa tersebut didalam penetapan zonasi. Desa Bungan berada di daerah paling hulu sungai Kapuas. Sedangkan Desa Tanjung Lokang berada di daerah paling hulu Sungai Bungan yang merupakan anak Sungai Kapuas. Ruang-ruang yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa tersebut terutama ruang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti berladang, berburu, menangkap ikan dan memungut hasil hutan. Lokasi desa di dalam Wilayah Seksi Bungan tersebut dapat dilihat pada gambar 16.

74 Gambar 16. Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang yang berada dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

75 Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Desa Bungan Seperti pada umumnya masyarakat pedalaman yang tinggal di sekitar hutan, masyarakat Desa Nanga Bungan memiliki ketergantungan yang sangat kuat dengan sumber daya hutan. Ketergantungan ini terjadi karena sulitnya akses untuk mencapai sentra-sentra ekonomi dari wilayah permukiman mereka dan didukung oleh masih tersedianya sumber daya alam dari dalam hutan. Masyarakat memanfaatkan areal hutan untuk berladang, berburu, menangkap ikan dan memungut hasil hutan. Kegiatan masyarakat tersebut dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Pemanfaatan Ruang Masyarakat Desa Nanga Bungan di Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun No Pemanfaatan Ruang Batas Lokasi Keterangan 1 Perladangan Riam Batu Lintang - Lebar ladang hingga ke Riam Bang Be Puncak-puncak bukit di (S.Kapuas) Kiri kanan Sungai Kapuas Desa Bungan Riam Bakang (S. Bungan) 2 Menangkap Ikan Riam Batu Lintang - Lebar sungai ± 50 m Riam Matahari (S. Kapuas) Nanga Bungan Riam Bakang (S. Bungan) 3 Berburu Sepan Suwa Hara Anak Sungai Kapuas Sepan Meloloi Sungai Pono Sepan (S. Tesapan) Anak Sungai Kapuas 4 Mengumpulkan hasil Sepanjang Sungai Kapuas Hingga ke puncak-puncak Hutan Antara Riam Batu Lintang - bukit di kiri dan kanan sungai Riam Matahari Riam Bakang 5 Permukiman Desa Persimpangan Sungai Desa Bungan terbagi dua Bungan Kapuas Sungai Bungan di sisi kiri dan kanan Sungai Kapuas Sumber : Hasil pendataan di lapangan (2007) Perladangan yang dibuat masyarakat Desa Nanga Bungan berada di sisi kiri dan kanan Sungai Kapuas dan Sungai Bungan yang merupakan anak Sungai Kapuas. Hal ini terjadi karena masyarakat Desa Bungan memanfaatkan jalur

76 sungai sebagai jalur transportasi satu-satunya yang ada, sehingga dalam pemanfaatan lahan selalu berpatokan pada sungai dan anak sungai. Sedangkan batas lebar ladang adalah puncak-puncak bukit yang berada di kiri dan kanan sungai. Berdasarkan analisis spasial tutupan lahan Wilayah Seksi Bungan lebar perladangan dari sisi kiri atau kanan sungai rata-rata maksimum 1000 m dan berdasarkan analisis spasial topografi wilayah perladangan tersebut, puncakpuncak bukit yang menjadi areal perladangan rata-rata berjarak 1000 m (1 km) dari pinggir sungai. Pertimbangan pemilihan batas maksimum perladangan hingga ke puncak bukit adalah untuk mempermudah pengawasan areal ladang terhadap serangan hama dari jalur sungai. Hal tersebut menjadi dasar dalam penentuan luas buffer yang digunakan dalam analisis spasial, yaitu 1000 m. Sedangkan batas awal dan akhir areal perladangan masyarakat Desa Bungan tersebut menggunakan batas-batas alam seperti riam/jeram atau anak sungai. Batas-batas tersebut sudah disepakati melalui musyawarah adat oleh seluruh masyarakat Desa Nanga Bungan. Batas awal perladangan Desa Nanga Bungan adalah dari Riam Batu Lintang hingga ke Riam Bang Be di jalur Sungai Kapuas dan Desa Nanga Bungan hingga Riam Bakang untuk jalur Sungai Bungan. Ladang-ladang masyarakat tersebut ditanami padi tahunan dan diselingi jenis-jenis sayuran. Sistem perladangan yang mereka lakukan adalah sistem gilir balik, yaitu perpindahan ladang setiap tahun bisa dilakukan sampai batas-batas alam yang sudah ditentukan melalui kesepakatan adat tersebut, dan dapat kembali ke areal ladang yang telah ditinggalkan. Kegiatan perladangan dimulai dengan penebangan pohon, pembakaran, penanaman dan pemeliharaan. Bekas-bekas perladangan tersebut membentuk formasi hutan sekunder yang permanen. Letak ladang dan musim mulai berladang setiap tahunnya juga disepakati melalui musyawarah adat. Dengan demikian batas ruang perladangan untuk masyarakat Desa Nanga Bungan terbentuk secara permanen menggunakan batas-batas alam yang sudah disepakati bersama oleh masyarakat setempat. Lokasi ladang-ladang tersebut tidak akan meluas melewati batas kesepakatan masyarakat yang telah terbentuk karena

77 sistem perladangan digunakan oleh masyarakat adalah sistem gilir balik dengan tidak membuka lahan pada hutan primer atau lahan baru. Menurut Atok (1998), bahwa ladang gilir balik adalah pengganti sebutan ladang berpindah. Istilah ladang berpindah dinilai tidak mencerminkan hal yang sebenarnya di lapangan. Masyarakat adat Dayak di Kalimantan tidak berpindah semau-maunya, tetapi berpindah pada tanah yang di masing-masing dusun secara adat dialokasikan untuk perladangan. Hal itu dilakukan untuk memberi kesempatan kepada tanah untuk subur kembali. Pola demikian mencerminkan masyarakat Dayak arif terhadap lingkungan hidup. Sedangkan pemanfaatan ruang untuk kegiatan mengumpulkan hasil hutan seperti Rotan, Kulit Kayu, Daun Pandan dan buah-buahan hutan, hampir sama bentuknya dengan ruang perladangan, yaitu dengan memanfaatkan jalur sungai sebagai jalur transportasi. Ruang yang dimanfaatkan hingga ke puncak-puncak bukit di kiri dan kanan sungai. Ruang kegiatan tersebut secara tak langsung dibatasi oleh alam karena adanya jeram/riam besar yang sulit dilewati oleh perahu tempel yang menjadi sarana trasportasi utama masyarakat setempat. Riam yang membatasi ruang tersebut adalah Riam Batu Lintang hingga Riam Matahari untuk jalur Sungai Kapuas dan Desa Nanga Bungan hingga ke Riam Bakang untuk jalur Sungai Bungan. Faktor alam, biaya, tenaga dan waktu menjadi pembatas ruang masyarakat Desa Nanga Bungan untuk memanfaatkan hasil hutan di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Untuk melewati riam/jeram besar seperti Riam Matahari yang menjadi batas ruang dibutuhkan waktu 1 (satu) jam dan juga sangat menguras tenaga seluruh penumpang perahu untuk menarik perahu ke darat agar dapat melewati riam tersebut. Harga bahan bakar minyak yang sangat tinggi (Bensin Rp ,-/liter) juga membatasi ruang gerak masyarakat Nanga Bungan untuk memanfaatkan hasil hutan sehingga masyarakat setempat menghindari melewati riam-riam besar yang membutuhkan banyak bahan bakar untuk melewatinya. Riam-riam yang sulit dilewati perahu juga menjadi faktor pembatas Masyarakat Nanga Bungan dalam memanfaatkan sungai untuk menangkap ikan.

78 Setiap hari selalu ada saja anggota masyarakat yang menangkap ikan dengan jala, pukat atau pancing. Mereka menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa ada kegiatan komersialisasi seperti menjual secara langsung atau mengolah jadi bahan makanan lain. Sehingga eksploitasi ikan di ruang yang dimanfaatkan oleh masyarakat sehari-hari tidak terjadi. Batas ruang yang dimanfaatkan sangat kecil, karena hanya menggunakan jalur sungai dari Riam Bakang sampai Riam Matahari untuk jalur Sungai Kapuas dan Desa Nanga Bungan hingga ke Riam Bakang untuk jalur Sungai Bungan serta muara anakanak sungai dari kedua sungai utama tersebut. Kegiatan berburu binatang yang umum dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan juga dilakukan oleh masyarkat Desa Nanga Bungan. Namun ruang yang mereka manfaatkan juga sangat kecil dan lokasinya sudah permanen. Dengan adanya lokasi-lokasi sumber air asin dari dalam tanah yang menjadi lokasi berbagai jenis satwa untuk minum, menjadi lokasi berburuh binatang yang permanen oleh masyarakat setempat. Jenis binatang yang mereka buru hanya jenis Babi Hutan (Sus barbatus) sedangkan mamalia lainnya tidak akan terganggu. Tiga buah sumber air asin dalam bahasa setempat disebut Sepan,menjadi titik lokasi berburu utama oleh masyarakat setempat, yaitu Sepan Suwa Hara, Sepan Tesapan di Sungai Kapuas dan Sepan Mololoi di Sungai Pono yang merupakan anak Sungai Bungan. Namun tidak tertutup kemungkinan perburuan dilakukan pada lokasi-lokasi perladangan yang sering dirusak oleh binatang buruan terutama jenis Babi Hutan. Kebiasaan masyarakat setempat yang lebih menyenangi untuk mengkonsumsi jenis Babi Hutan (Sus barbatus) membuat jenis-jenis mamalia lain terutama yang dilindungi undang-undang seperti Rusa (Cervus sp), Kijang (Muntiacus muncak) dan kancil (Tragulus napu) tidak terancam keberadaannya. Belum adanya prilaku komersialisasi untuk hasil buruan antar masyarakat Desa Bungan juga tidak akan mendorong eksploitasi satwa buruan, hususnya jensi Babi Hutan. Dengan demikian ruang yang mereka manfaatkan untuk berburu juga dapat tetap permanen, tanpa ada desakan untuk memperluas lokasi berburu (Ngo, 1998).

79 Letak permukiman yang mereka bangun sudah permanen yaitu dipersimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Bungan dan dibuat di 2 (dua) sisi sungai yaitu kiri dan kanan Sungai Kapuas hingga ke sisi kiri Sungai Bungan. Jumlah penduduk Desa Nanga Bungan sebanyak 65 (enampuluh lima ) kepala keluarga dengan jumlah jiwa sebanyak 282 orang (BTNBK, 2006). Batas-batas ruang aktifitas sehari-hari masyarakat Nanga Bungan di luar dan di dalam kawasan Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dapat dilihat pada gambar Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Desa Tanjung Lokang Pola hidup masyarkat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang tidak jauh berbeda, mereka tetap menggantungkan hidup sehari-hari dari sumber daya alam dari hutan. Aktifitas seperti berladang, berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan tetap mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua desa tersebut juga dihuni masyarakat dari sub etnik suku Dayak yang sama yaitu Punan Hovongan. Mereka juga memiliki kekerabatan yang kuat dengan suku Dayak di pedalaman Sungai Mahakam di Kalimantan Timur, sehingga mereka membuat jalan setapak tradisional untuk menghubungkan wilayah Hulu Kapuas dan Hulu Mahakam. Kedekatan kekerabatan tersebut membuat penduduk kedua wilayah dapat saling mengunjungi melalui jalan setapak tradisional tersebut. Keberadaan gua kapur yang menjadi habitat Burung Walet Hitam (Collocalia maxima) membedakan aktivitas masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang. Para pemilik gua yang merupakan penemu pertama lokasi gua mempekerjakan beberapa orang penduduk untuk menjaga dan melakukan proses pemanenan Sarang Burung Walet. Kegiatan-kegiatan masarakat Desa Tanjung Lokang tersebut dapat dilihat pada tabel 10.

80 Tabel 10. Pemanfaatan Ruang Aktifitas Sehari-hari Masyarakat Desa Tanjung Lokang di Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun No Pemanfaatan Ruang Batas Lokasi Keterangan 1 Perladangan Riam Bakang Goa Diang Lebar ladang hingga ke Kaung (S. Bungan) Puncak-puncak bukit di Kiri kanan Sungai Kapuas 2 Menangkap ikan Riam Bakang S. Bulit Lebar sungai ± 50 m 3 Mengumpulkan Sarang Gua-gua kapur sepanjang 56 gua dan 27 gua terdapat burung walet Sungai Bungan dan sarang burung walet Sungai Bulit 4 Berburu Sepan Haruroi Anak Sungai Bungan Sepan Deren Anak Sungai Bungan Sepan Berakan Anak Sungai Bungan 5 Mengumpulkan hasil Riam Bakang Hingga ke puncak-puncak hutan Berakan bukit di kiri dan kanan sungai 6 Permukiman Desa Hulu Sungai Bungan Sisi Kanan Sungai Bungan Tanjung Lokang Sumber : Hasil pendataan di lapangan (2007) Lokasi ladang masyarakat Desa Tanjung Lokang telah disepakati secara adat dengan masayrakat setempat dan masyarakat Desa Nanga Bungan, yaitu mulai dari Riam Bakang di Sungai Bungan dan Diang Kaung di Sungai Bulit. Sedangkan lebar ladang hingga ke puncak-puncak bukit di sebelah kiri dan kanan Sungai Bungan dan Sungai Bulit. Jenis yang ditanam oleh penduduk Desa Tanjung Lokang umumnya sama dengan masyarakat desa lainnya di Kalimantan, yaitu Padi tahunan dan diselingi dengan sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Hasil panen yang diperoleh tidak dikomersialisasikan karena hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sepanjang tahun. Sistem perladangan yang dilakukan juga dengan sistem gilir balik, dengan batas-batas alam dan musim berladang yang sudah permanen dan disepakati secara adat. Adanya kesepakatan

81 lokasi berladang dan kebiasaan hasil panen hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tampa ada keinginan untuk mengeksploitasi lahan hutan. Lokasi mencari ikan bagi masyarakat Desa Tanjung lokang, hanya memanfaatkan sungai Bungan dan Sungai Bulit dengan Batas dari Riam Bakang yang menjadi titik batas yang mereka sepakati dengan Desa Nanga Bungan hingga ke Sungai Bulit. Tidak adanya usaha komersialisasi dan adanya pelarangan menyetrum ikan serta menggunakan racun dalam menangkap ikan, menyebabkan tidak ada upaya eksploitasi sehingga ruang yang mereka manfaatkan juga tidak akan berkembang jauh dari perkampungan. Keberadaan gua-gua kapur yang menjadi habitat Burung Walet (Collocalia maxima) di wilayah Desa Tanjung Lokang telah dimanfaatkan secara komersial oleh masyarakat desa tersebut. Para penemu pertama lokasi gua secara bergiliran mengelola gua untuk dipanen hasilnya. Dari 56 (limapuluh enam) buah gua yang terdapat di seluruh perbukitan kapur di daerah ini, 27 (duapuluh tujuh) buah gua menjadi habitat Burung Walet. Setiap gua sudah dijadikan hak milik oleh masingmasing penemu pertama sehingga bisa dikelola sendiri ataupun diperjual belikan kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Adanya kegiatan komersialisasi ini menyebabkan hasilnya menurun setiap tahun, dan gua-gua yang dieksploitasi sudah mengalami kerusakan berat, karena sebagian ornamen gua telah rusak dan tulisan-tulisan (vandalisme) telah merubah nilai alami dinding-dinding gua. Adanya usaha komersialisasi Sarang Burung Walet ini tentu tidak akan memperluas ruang pemanfaatan, namun akan semakin memperkecil ruang tersebut. Seperti halnya masyarakat Desa Nanga Bungan, di kebiasaan masyarakat Desa Tanjung Lokang dalam kegiatan berburu binatang juga sama. Mereka memanfaatkan sumur-sumur air asin (Sepan) untuk lokasi berburu. Karena pada waktu-waktu tertentu dan sudah mereka (pemburu) ketahui, satwa-satwa liar tersebut berkumpul minum air asin yang keluar dari dalam tanah tersebut. Lokasi pereburuan mereka adalah Sepan Haruroi yang merupakan anak Sungai Bungan, Sepan Deren yang letaknya 30 (tiga puluh) menit perjalanan dari Desa Tanjung Lokang dan Sepan Berakan yang terletak di hulu Sungai Bungan. Tidak adanya

82 upaya komersialisasi kegiatan ini dan jenis yang diburu juga terbatas hanya jenis Babi Hutan, tidak akan menimbulkan kekhawatiran upaya-upaya konservasi jenis di wilayah ini. Pola kehidupan tradisonal memanfaatkan hasil hutan untuk pemenuhan hidup sehari-hari juga dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjung Lokang. Mereka mengumpukan Rotan, Kulit Kayu dan Buah-buahan hutan. Namun kegiatan ini hanya bersifat selingan diantara kegiatan berladang dan berburu. Hasil hutan yang utama yang mereka kumpulkan umumnya bahan kerajinan tangan, seperti Rotan dan Daun Pandan untuk membuat tikar, dan berbagai bentuk keranjang. Batas ruang kegiatan pengumpulan hasil hutan ini mengikuti batas ruang berladang dan berburu yaitu dari Riam Bakang hingga ke Berakan. Desa Tanjung Lokang dibuat hanya satu sisi yaitu sisi kanan Sungai Bungan, dibuat memanjang mengikuti alur sungai, hal ini dilakukan karena sungai menjadi jalur transportasi utama untuk mobilitas penduduk dalam beraktifitas sehari-hari. Saat ini terdapat 52 (limapuluh dua) buah rumah permanen, 1(satu) rumah adat, 1 (satu) bangunan Sekolah Dasar, 1 (satu) bangunan Puskesmas dan 1 (satu) bangunan Ekolodge. Pada musim pembukaan lahan perladangan, hampir semua penduduk bermalam di pondok-pondok ladang dan akan kembali ke kampung setelah kegiatan penanaman. Jumlah penduduk Desa Tanjung Lokang sebanyak 144 kepala keluarga dengan 558 jiwa (BTNBK, 2006). Pola pemanfaatan ruang yang digunakan masyarakat Desa Tanjung Lokang tetap menggunakan ruang koridor sungai sebagai sumbu jalur, karena jalur trasportasi utama hanya melewati sungai, yaitu Sungai Bungan dan Sungai Bulit. Bentuk pemanfaatan ruang dari aktifitas penduduk seperti berladang, berburu, menangkap ikan, mengumpulkan sarang walet dan mengumpulkan hasil hutan dapat dilihat pada gambar 18.

83 Gambar 17. Peta Pemanfaatan Ruang Aktivitas Masyarakat Desa Nanga Bungan di Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

84 Gambar 18. Pemanfaatan Ruang Masyarakat Aktivitas Sehari-hari Masyarakat Desa Tanjung Lokang Di wilayah Seksi Bungan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

85 Analisis Keruangan Pemanfaatan Ruang Masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) peta tematik pemanfaatan ruang oleh masyarakat kedua desa yaitu berladang, berburu binatang, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, mengumpulkan sarang burung walet dan dua desa yang menjadi pemukiman permanen penduduk desa tersebut, dapat dibuat batasan pemanfaatan ruang berbentuk poligon. Dasar penetuan ruang hasil overlay tersebut adalah membentuk poligon ruang berdasarkan ruang terluas (ruang paling besar) yang digunakan untuk aktivitas-aktiitas tersebut. Dari analisis spasial dengan GIS diperoleh luas ruang seperti terlihat pada tabel 11 dan 12. Tabel 11. Luas Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang No Bentuk Ruang Identitas Ruang Luas (Hektar) 1 Polygon Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Nanga Bungan 2 Polygon Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Tanjung Lokang Jumalah Sumber : hasil analisis spasial Tabel 12. Luas wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun No Bentuk Ruang Identitas Ruang Luas (Hektar) 1 Polygon Wilayah Seksi Bungan Sumber : hasil analisis spasial Berdasarkan data hasil analisis spasial diperoleh luas ruanga aktifitas seharihari masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang adalah hektar. Sedangkan luas Wilayah Seksi Bungan adalah hektar. Dengan demikian luas ruang aktifitas masyarakat kedua desa tersebut hanya 3,74 % dari luas wilayah seksi Bungan.

86 Berdasarkan kondisi yang ada (existing) bahwa ada ruang di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun khususnya Wilayah Seksi Bungan yang dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, untuk itu pihak pengelola kawasan harus mengakomudir ruang pemanfaatan tradisonal atau zona khusus sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Menurut Mackinnon (1993), keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi banyak tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat disekitarnya. Bila pelestarian dianggap suatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan itu dari pengembangan yang membahayakan. Hasil overlay seluruh kegiatan pemanfaatan ruang oleh penduduk di 2 (dua) desa dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dapat dilihat pada gambar 19. Pengelolaan taman nasional di Indonesia dilakukan dengan sistem zonasi. Kawasan Taman Nasional Komodo merancang zonasi untuk membiarkan kegiatan tradisional oleh komunitas lokal, dan pada saat yang bersamaan menjaga lingkungan alam yang paling berharga dan sensitif di kawasan taman nasional, zona-zona tersebut adalah Zona Inti, Zona Rimba dengan Kegiatan Wisata Terbatas, Zona Pemanfaatan Wisata, Zona Pemanfaatan Tradisional, Zona Penelitian dan Pelatihan Khusus, dan Zona Pemanfaatan Tradisional (Erdmann, 2004). Sedangkan di Taman Nasional Bunaken membagi zona kawasan ke dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu zona konservasi inti, zona pariwisata dan zona masyarakat (Erdmann et al, 2004). Dari dua kawasan taman nasional di atas, penataan zona wisata dan zona tradisional dibuat secara terpisah, hal ini dikarenakan pemanfaatan potensi kawasan untuk kepentingan tersebut berbeda ruang. Sedangkan di kawasan TNBK khususnya Wilayah Seksi Bungan kegiatan pemanfaatan dilakukan pada ruang yang sama untuk aktivitas masyarakat setempat dan kegiatan wisata.

87 Gambar 19 Pemanfaatan Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang di dalam Wilayah Seksi Bungan

88 5.5. Potensi Wisata Wilayah Seksi Bungan Sebelum adanya penunjukan kawasan sebagai taman nasional pada tahun 1995, kegiatan wisata alam di dalam kawasan sudah berjalan. Dimulai dengan adanya wisata Lintas Borneo yang merupakan napak tilas perjalanan peneliti berkebangsaan Belanda pada tahun 1894, melintasi kalimantan dengan menyusuri Sungai Kapuas hingga ke hulu dan berjalan kaki menembus hutan Kalimantan menyeberangi Pegunungan Muller kemudian menuju ke hilir Sungai Mahakam (Kalimantan Timur) menuju kota Samarinda. Kegiatan tersebut secara intensif dikelola oleh berbagai biro perjalanan sejak tahun 1994, yaitu pada peringatan 100 tahun perjalanan Dr. Niewenhuis melintasi Borneo tersebut. Kegiatan wisata lain yang sudah berjalan adalah penelusuruan gua prasejarah. Adanya lukisan-lukisan purbakala pada dinding gua ternyata menarik minat para pengunjung yang memang memiliki kegemaran bertualang untuk datang ke tempat ini. Wilayah ini juga diuntungkan dengan posisinya yang berada di tengah-tengah pulau Kalimantan (Heart of Borneo) sehingga daya tariknya terhadap pengunjung semakin kuat Kegiatan Wisata Lintas Borneo Jalur perjalanan Lintas Borneo ini dimulai dari Kota Putussibau yang menjadi titik kedatangan para wisatawan. Kemudian menggunakan perahu tempel menyusuri Sungai Kapuas hingga ke Desa Nanga Bungan. Hari selanjutnya menyusuri Sungai Bungan hingga ke Desa Tanjung Lokang. Dari desa tersebut dilanjutkan berjalan kaki selama 5 (lima) hari menembus hutan Kalimantan hingga ke Gunung Muller letak perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki hingga ke hulu Sungai Mahakam selama 2 (dua) hari. Sungai Mahakam di telusuri selama 3 (tiga) hari menggunakan perahu motor dan kapal motor hingga ke Kota Samarinda. Berdasarkan penelusuran di internet terdapat 3 (tiga) biro perjalanan Indonesia yang memiliki jaringan kerjasama dengan biro perjalanan internasional menjual kegiatan wisata Lintas Borneo tersebut. Biro-biro perjalanan yang menjual paket-paket wisata petualangan tersebut adalah Persada Kusuma Wisata

89 Palangkaraya, Indonesia Adventure Jakarta dan Indonesia Trekking Jakarta. Bentuk promosi paket wisata yang dijual dalam website oleh biro perjalanan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Sumber: Gambar 20. Promosi Paket Wisata Lintas Borneo Pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata ini hanya memanfaatkan jalur sungai dan jalan setapak tradisional. Namun terkait dengan wisata, objek sepanjang jalur perjalanan harus memiliki daya tarik, memiliki sisi pandang (view) yang menarik, memberikan inspirasi bagi yang melihat serta memberikan aspirasi untuk memelihara dan mengkonservasi. Sehingga ruang yang dibutuhkan akan lebih luas dari jalur yang dilewati. Kondisi topografi yang berbukit-bukit, akan mempermudah menentukan batas ruang yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata Lintas Borneo ini. Letak jalur

90 perjalanan pada umumnya mengikuti aliran sungai, maka puncak-puncak bukit di sisi kiri dan kanan sungai dapat menjadi batas titik pandang wisatawan yang melintasi jalur tersebut sekaligus menjadi garis batas pemanfaatan ruang kegiatan wisata ini. Adanya pembatasan ruang ini akan memerikan kemudahan kepada pihak pengelola kawasan untuk memberikan perlakuan pengelolaan terhadap ruang tersebut. Jalur perjalanan kegiatan wisata Lintas Borneo dapat dilihat pada lampiran Kegiatan Wisata Penelusuran Gua Prasejarah Ruang yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata Penelusuran Gua Prasejarah hampir sama dengan Lintas Borneo, yaitu melewati Sungai Kapuas dan Sungai Bungan hingga ke Desa tanjung Lokang. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki (tracking) menuju guga-gua kapur yang terdapat di sisi kiri dan kanan Sungai Bulit. Terdapat 3 (tiga) lokasi gua yang memiliki peninggalan prasejarah berupa lukisan goa dan beberapa benda prasejarah, yaitu Gua Diang Kaung, Gua Diang Balu dan Gua Diang Tahapun. Ketiga gua tersebut merupakan bagian dari 56 gua yang terdapat di wilayah ini. Keberadaan ketiga gua tersebut yang berdekatan dengan gua-gua habitat sarang walet membutuhkan perlakuan pengelolaan tersendiri, salah satunya dengan menempatkan ketiga objek tersebut dalam sebuah ruang pemanfaatan. Selain itu sepanjang rute pencapaian lokasi gua juga dibutuhkan pengelolaan objek pendukung lain serta penataan ruang, agar perjalanan panjang mencapai objek tidak menimbulkan kebosanan bagi para wisatawan. Untuk itu pembatasan ruang hingga ke puncak-puncak bukit yang menjadi garis batas pandangan wisatawan yang melewati jalur ini, seperti perlakuan pada jalur wisata Lintas Borneo perlu dilakukan juga. Kegiatan wisata penelusuran gua prasejarah ini tidak seintensif kegiatan wisata Lintas Borneo, namun di tahun beberapa stasiun televisi pernah datang untuk meliput objek tersebut. Stasiun TV 7 melalui acara Jejak Petualang pernah meliput objek ini di tahun 2004, National Geographic pada tahun 2006 dan Trans TV melalui acara Jelajah pada tahun 2007 mengunjungi tempat ini (Balai TNBK,

91 2006). Jalur perjalanan mencapai objek-objek gua tersebut dapat dilihat pada lampiran Potensi Kegiatan Wisata Penjelajahan Sungai Pemanfaatan potenis objek berupa jeram-jeram di Sungai Kapuas dan Sungai Bungan dengan latar belakang hutan hujan tropis serta aktifitas tradisional masyarakat sekitar kawasan, dapat digabung dengan atraksi-atraksi budaya. Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang memiliki atraksi seni budaya yang terpelihara dengan baik oleh anggota masyarakatnya. Karena setiap desa memiliki kelompok kesenian yang sering tampil di acara-acara adat mereka. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk melengkapi objek alam yang dapat dinikmati di sepanjang sungai. Ruang yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata ini hanya di jalur sungai, yaitu Sungai Kapuas hingga ke Riam Matahari dan Sungai Bungan hingga ke Desa Tanjung Lokang. Kedua jalur sungai tersebut merupakan gabungan antara kegiatan wisata Lintas Borneo dan kegiatan Wisata Arung Jeram. Adanya tumpang tindih pemanfaatan ruang tersebut tidak akan menambah ruang baru di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Jalur perjalanan kegiatan wisata Penjelajahan Sungai (White Water Cruise) dapat dilihat pada lampiran Potensi Kegiatan Wisata Arung Jeram Arung jeram sebenarnya perpaduan antara olahraga, rekreasi, petualangan, dan pendidikan. Unsur rekreasi terletak pada usaha mengatasi rasa takut. Selain itu, alam sekitar sungai juga menyuguhkan pemandangan yang lain dengan suasana keseharian bagi orang kota; suasana yang bisa menyegarkan pikiran yang sehari-hari sarat dengan rutinitas. Bermain air sambil menikmati teriknya sinar matahari merupakan sensasi rekreatif lain yang jarang dialami dalam kehidupan sehari-hari (Surono, 2005). Aktifitas wisata ini semakin diminati dikarenakan ada unsur petualangan di dalamnya. Terbukti dengan semakin banyaknya operator wisata arung jeram di Jawa dan Bali. Di Pulau jawa diwakili Operator Arus Liar dan Riam Jeram yang beroperasi di daerah Sukabumi. Di Bali ada operator Sobek

92 yang beroperasi di Sungai Ayung. Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun khususnya di hulu Sungai Kapuas memiliki jeram-jeram yang potensial untuk di kembangkan atraksi ini. Survei jalur wisata arung jeram di Sungai Kapuas yang dilakukan oleh Scouting Jogjakarta (2003), diperoleh hasil sebagai berikut : a. Riam Matahari/Bon Maton Lo Jeram dengan tingkat kesulitan/grade 5, dengan beda tinggi sepanjang jeram 4 m, panjang jeram 40 m lebar 30 m. Banyak percepatan arus dengan gelombang besar dan hole beruntun, bila terjatuh/perahu terbalik sangat membahayakan karena lintasan sangat rumit, manuver yang tepat dibutuhkan untuk dapat melaluinya karena terdapat banyak batuan penghalang. Di akhir jeram, terdapat jatuhan (drop) + 3 m hampir selebar perahu posisi tepat ditengah jeram, diantara batu besar seperti gawang. Jeram ini hanya bisa dilewati oleh orang yang sudah berpengalaman dan harus mempunyai keahlian khusus untuk kemampuan rescue. Pengamatan/scouting dengan ketelitian yang tinggi untuk jeram ini sangat diperlukan. b. Riam Mokotori Merupakan jeram yang paling atas atau jeram pertama memasuki rangkaian riam Lapan. Jeram yang mempunyai grade 2 dengan lebar 10 meter dan panjang jeram 15 meter, pada musim kemarau melewati jeram ini tidak akan begitu sulit dibandingkan musim penghujan karena sepanjang lintasan akan dipenuhi oleh standing wave yang terbentuk karena penyempitan dari penampang jeram dan jeram ini relatif landai. c. Riam Pelangan Jeram yang mempunyai panjang sekitar 60 meter dan lebar sekitar 25 meter dengan tingkat kesulitan 2+ yang mempunyai gradien atau beda tinggi 2 meter ini mudah untuk diarungi, karena bentuk lintasan yang lurus dan tidak memerlukan maneuver perahu dan untuk membaca arus cukup berada di atas perahu (read and run) atau cukup kita lakukan apabila kita akan memasuki jeram ini.

93 d. Riam Pulas/Bon Pulas Pada awal memasuki jeram ini terdapat lidah air pada arus utama dan terdapat juga pillow yang membentuk hidrolik. Jeram yang memiliki panjang 50 meter dan lebar 15 meter ini terdapat 5 buah pillow yang membentuk hole di sepanjang arus utama yang berderet sejajar, untuk melintasi jeram ini perahu harus bermaneuver di antara pillow tersebut dan pengintaian jeram cukup kita lakukan dari atas perahu (read and run). Jeram ini tergolong jeram yang mempunyai grade 2+, dengan beda tinggi 1,5 meter. e. Riam Bang Be/Bon Bang Be Arus utama pada jeram Bang Be terbagi menjadi dua, diantara riam delapan jeram Bang Be tergolong jeram dengan tingkat kesulitan tinggi, dengan grade 3+. Di bagian tengah kiri terdapat batu besar penghalang, pada sisi kanan terdapat hidrolik dengan drop 1 m yang bisa menahan perahu, untuk jalur yang paling aman dalam melintasi jeram ini adalah pada sisi terkiri mengikuti lidah air yang terletak di sisi kiri batu besar, manuver dibutuhkan secara cermat dan cepat, karena dengan jarak yang relatip rapat terdapat pillow serta stopper yang bisa membuat perahu terbalik. Lebar jeram 20 meter tersebut, panjang 30 meter dan beda tinggi mencapai 1,7 meter. f. Riam Manuhut/Bon Menuhut Jeram terakhir dari rangkaian riam lapan ini merupakan dua buah jeram yang letaknya saling berdekatan dan mempunyai spesifikasi yang hampir sama, untuk melintasi jeram ini, pengintaian/scouting dapat dilakukan dari atas perahu (read and run). Rangkaian dua jeram ini memiliki panjang 50 meter dan lebar 15 meter serta beda tinggi 0.5 meter. Jeram dengan tingkat kesulitan 2 ini dapat mudah dilalui karena letak arus utamanya yang lurus dari awal jeram sampai akhir jeram. g. Riam Apin Jeram lurus, cukup mudah dilewati bergrade 2. lintasan bersih dari rintangan, terdapat 2 ombak/standing wave di sisi kanan dan kiri. Jeram ini cukup panjang yaitu 40 m dengan lebar 35 m serta beda tinggi 1,5 m.

94 h. Riam Batu Lintang Jeram ini sedikit membutuhkan manuver, tetapi tidak terlalu beresiko. Ada beberapa rintangan yang bisa dihindari tergantung pengintaian/scouting dari tim, yaitu hole cukup besar dan strainer. Memiliki standing wave sedang. Grade 2+ dengan panjang jeram 40 m dan lebar 40 m dan beda tinggi 1,5 m. variasi tingkat kesulitan melewati jeram dan trip pengerungan yang dapat dibagi menjadi tiga, sehingga dapat dilengkapi dengan aktifitas lain seperti berkemah dan berenang. Rute Perjalanan dan letak potensi jeram-jeram tersebut dapat dilihat pada lampiran Analisis Keruangan untuk Kegiatan Wisata Bentuk potensi-potensi wisata yang ada di Wilayah Seksi Bungan yang sudah berjalan (exist) adalah kegiatan wisata Lintas Borneo dan kegiatan wisata Penelusuruan Gua Prasejarah. Sedangkan kegitan wisata yang potensial dikembangkan adalah kegiatan wisata Arung Jeram dan kegiatan wisata Penjelajahan Sungai (White Water Cruise). Setelah dilakukan input data berupa titik koordinat objek dan titik koordinat fasilitas wisata yang ada, kemudian dengan bantuan perangkat lunak Arc View 3.3 dilakukan proses overlay terhadap semua layer (sungai, topografi, batas wilayah seksi, desa, objek wisat) seperti terlihat pada (lampiran. 8). Kemudian dibuffer sesuai dengan kriteria pembuatan buffer yaitu selebar 1000 m (1 km) dari Sungai Kapuas dan Sungai Bungan yang menjadi sumbu jalur semua aktivitas wisata. Gambar pemanfaatan ruang wisata Wilayah Seksi Bungan dapat dilihat pada gambar 21 dan 22.

95 Gambar 21. Buffer Jalur Wisata di Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

96 Gambar 22. Peta Pemanfaatan Ruang Wisata Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

97 Ruang wisata yang terbentuk berdasarkan analisis spasial di atas, diperoleh luas ruang sebesar hektar, atau seluas 4,63 % dari luas Wilayah Seksi Bungan. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13. Luas Ruang Wisata dan Wilayah Seksi Bungan No Bentuk Ruang Identitas Ruang Luas (Hektar) 1 Polygon Ruang Wisata Wilayah Seksi Bungan Polygon Wilayah Seksi Bungan Sumber : hasil analisis spasial 5.7. Rencana Zona Pemanfaatan Penentuan ruang yang digunakan (exist) saat ini untuk aktifitas sehari-hari masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang serta ruang yang digunakan untuk kegiatan wisata, dapat dijadikan dasar untuk membentuk rencana zona pemanfaatan kawasan. Dalam penentuan zona secara permanen perlu dilakukan analisis-analisis teknis untuk mempermudah penentuan zonasi di lapangan dan penyusuaian dengan beberapa peraturan pemerintah tentang zonasi taman nasional. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menjelaskan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan (Dephut, 1990). Sehingga sudah menjadi keharusan dalam pengelolaan taman nasional untuk melakukan penataan zona. Zona pemanfaatan yang akan menjadi hasil dari penelitian ini akan menjadi masukan dalam penyusunan zonasi kawasan TNBK secara keseluruhan. Sedangkan kriteria zona pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam P. 56/Menhut-II/2006 adalah : a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik.

98 b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. c. Kondisi lingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan. d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan. e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti. Kriteria di atas akan menjadi dasar dalam penetapan rencana zona pemanfaatan dan areal-areal wisata di dalamnya. Berdasarkan kajian potensi dan luasan dan peruntukan seperti yang telah dibahas di atas, kriteria tersebut telah terpenuhi untuk merencanakan zona pemanfaatan di wilayah ini. Hasil overlay pemanfaatan ruang untuk aktivitas masyarakat dan ruang kegiatan wisata, memperlihatkan bahwa kedua ruang memiliki letak yang hampir sama, karena kedua kegiatan tersebut mengunakan sumbu jalar yang sama berupa sungai, yaitu Sungai Kapuas, Sungai Bungan dan Sungai Bulit. Sedangkan lebar ruang juga sama-sama menggunakan puncak-puncak bukit sebagai batas sisi kiri dan kanan ruang. Dari hasil overlay peta tersebut kemudian dilakukan penyesuaian terhadap batas alam seperti sungai dan puncak bukit serta batas kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pengelolaan kawasan, terutama dalam proses pembuatan batas definitif zona pemanfaatan dan konsultasi publik dalam rangka sosialisasi rencana zonasi terutama kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Pembagian ruang di wilayah ini menggunakan sungai sebagai garis tengah atau sumbu ruang, yaitu Sungai Kapuas hingga ke Riam Matahari dan Sungai Bungan dari Desa Nanga Bungan hingga ke Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Timur. Sedangkan batas sisi kiri dan kanan zona pemanfaatan tersebut menggunakan batas puncak-puncak bukit, anak sungai seperti sungai Bulit dan Sungai Brooi yang merupakan anak Sungai Bungan. Proses overlay Rencana zona pemanfaatan terlihat pada gambar 22 dan 23.

99 Gambar 23. Overlay Peta Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat dan Peta Pemanfaatan Ruang Kegiatan Wisata

100 PETA RENCANA ZONA PEMANFAATAN WILAYAH SEKSI BUNGAN Gambar 24. Rencana Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

101 Hasil analisis spasial diperoleh luas rencana zona pemanfaatan seperti terlihat pada tabel 11. Tabel 14. Luas Rencana Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan No Bentuk Ruang Identitas Ruang Luas (Hektar) 1 Polygon Rencana Zona Pemanfaatan Polygon Wilayah Seksi Bungan Sumber : Hasil analisis spasial Zona pemanfaatan seluas hektar tersebut berarti 5,55 % dari luas wilayah Seksi Bungan. Hal tersebut berarti ruang yang akan difungsikan untuk kegiatan perlindungan dan pengawetan berupa Zona Rimba dan Zona Inti masih tersisa seluas hektar Penataan Ruang Wisata dalam Zona Pemanfaatan Dengan mempertimbangkan visi dan misi pemanfaatan taman nasional untuk pariwisata serta ketepatan mengenai lingkup kegiatan pariwisata yang dapat dilakukan, maka pemanfaatan taman nasional pada masing-masing zona, khususnya pemanfaatan adalah sebagai pusat pelayanan pariwisata dengan fungsi utama untuk pengembangan sarana dan prasarana pelayanan pariwisata tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lain yang dapat dikembangkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ( Ditjen PHKA, 2001). Guna mencapai penyelenggaraan wisata yang berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip keseimbangan ekologi, ekonomi dan sosial maka di dalam zona pemanfaatan perlu dilakukan penataan ruang (areal) sesuai dengan potensi dan peruntukannya secara optimal. Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pembagian areal wisata dalam zona pemanfaatan tersebut adalah aspek sosial masyarakat setempat

102 seperti lokasi pemukiman, kegiatan perladangan, menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan, aspek ekonomi yaitu berbagai potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara lestari seperti lokasi objek-objek wisata potensial dan aspek ekologi seperti lokasi habitat satwa endemik atau ekosistem khusus yang peka terhadap gangguan. Menurut Gunn (1997) bahwa prinsip dasar untuk memahami semua disain adalah land use dibanding yang lainnya. Seorang perencana yang menggunakan pendekatan tradisional dan kontemporer dalam rancangannya harus memperhatikan persepsi dan kepuasan pengunjung terhadap sumber daya yang ada. Ruang pada tapak tidak sekedar tanah kosong yang tidak memiliki bangunan, tetapi semua harus dirancang secara fungsional. Selanjutnya perlu dilakukan pengelompokan jenis kegiatan dan fasilitas di dalam satu areal tertentu. Kemudian di jelaskan oleh Forster (1974) dalam Gunn (1994), di dalam zona pemanfaatan dapat di bagi menjadi beberapa areal pemanfaatan wisata sehingga peruntukan ruang dapat berjalan optimal. Pembagian areal tersebut terdiri dari : a. Areal Wisata Intensif : b. Areal Wisata Umum c. Areal Wisata Alami d. Arial Wisata Alami Khusus e. Areal Khusus Perlindungan Masyarakat Setempat Guna mendukung pembagian areal-areal tersebut dilakukan overlay antara Peta Potensi Wisata dengan peta tutupan lahan, tipe ekosistem dan peta pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat setempat seperti terlihat pada gambar 24 dan 25.

103 Gambar 25. Overlay Peta Potensi Wisata, Peta Tutupan Lahan dan Peta Pemanfaatan Sumber Daya Alam oleh Masyarakat

104 Gambar 26. Overlay Peta Potensi Wisata, Peta Tipe Ekosistem dan Peta Pemanfaatan Sumber Daya Alam oleh Masyarakat

105 Hasil dari overlay peta-peta di atas diperoleh pembagian areal wisata yaitu areal pemanfaatan intensif, areal wisata umum, areal wisata alami, areal wisata alami khusus dan areal wisata khusus untuk perlindungan masyarakat, seperti terlihat pada tabel 13. Tabel 15. Luas areal wisata dalam zona pemanfaatan wilayah Seksi Bungan No Ruang Identitas Ruang Luas (Ha) Perbandingan dgn Zona Pemanfaatan (%) Polygon Polygon Polygon Polygon Polygon Areal wisata Intensif Areal Wisata Umum Areal Wisata Alami Arial Wisata Alami Khusus Areal Khusus Perlindungan Masyarakat ,8 21,8 50,6 16,4 0,4 Jumlah Sumber : Analisis spasial Pembagian areal wisata tersebut di dalam zona pemanfaatan dapat dilihat pada gambar 26.

106 Gambar 27. Pembagian Areal Wisata dalam Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

107 Dasar dari pembagian areal wisata dalam zona pemanfaatan tersebut dengan cara overlay adalah mengelompokkan jenis aktivitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat setempat dan keberadaan objek wisata dalam zona pemanfaatan tersebut, yaitu : a. Wilayah permukiman masyarakat menjadi areal perlindungan khusus, yaitu wilayah permukiman Desa Bungan dan Tanjung Lokang. b. Wilayah dengan pembukaan lahan untuk kegiatan pertanian masyarakat dan jalur lalu lintas wisatawan menjadi areal wisata umum, yaitu wilayah Sungai Bungan dari Permukiman Desa Bungan hingga Desa Tanjung Lokang yang menjadi koridor kedua desa tersebut. c. Wilayah potensial dibangun fasilitas wisata permanen, yaitu lahan hutan sekunder yang dekat dengan Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang menjadi areal pemanfaatan intensif. d. Wilayah terdapat objek dengan kerentanan terhadap gangguan dan adanya pemanfaatan sumber daya alam non kayu oleh masyarakat dengan tidak membuka lahan menjadi areal wisata alami yaitu lokasi terdapat objek jeram dan gua sampai batas pengumpulan hasil hutan non kayu oleh masyarakat Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang. e. Wilayah terdapat objek dengan kerentanan terhadap gangguan yaitu habitat satwa liar (Hylobathes mullerii) dan ekosistem khusus (Dipterocarpaceae dataran tinggi). Di dalam areal ini tidak ada aktivitas masyarakat memanfaatkan sumber daya sehingga dapat ditetapkan menjadi areal wisata alami khusus. Wilayah ini dimulai dari batas aktivitas masyarakat memanfaatkan sumber daya alam sampai ke batas wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Fungsi dari masing-masing areal wisata di dalam rencana zona pemanfaatan tersebut adalah : a. Areal wisata intensif 1) Areal pelayanan pengunjung (service area), segala fasilitas permanen untuk pelayanan pengunjung yaitu pondok pengunjung, pusat informasi pengunjung (visitor information centre), darmaga perahu, shelter, menara pengamatan

108 satwa, canopy trail, sarana komunikasi (telephone/pemancar radio komunikasi). 2) Pintu gerbang menuju daerah tujuan (welcome area). 3) Areal budidaya tanaman oleh masyarakat secara terbatas, terutama pembatasan pada lokasi yang berdekatan dengan lokasi pembangunan fasilitas wisata. 4) Areal yang menjadi lokasi aktivitas masyarakat setempat yaitu berburu secara tradisional, menangkap ikan dan memungut hasil hutan. b. Areal Wisata Umum 1. Areal koridor antara 2 (dua) pusat kunjungan wisata yaitu Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang. 2. Jalar transportasi masyarakat Desa Tanjung Lokang ke Desa Nanga Bungan atau ke ibukota kabupaten (Putussibau). 3. Areal budidaya tanaman oleh masyarakat Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang berupa kegiatan berladang dan berkebun. 4. Areal yang diperkenankan untuk aktivitas masyarakat setempat yaitu berburu secara tradisional, menangkap ikan dan memungut hasil hutan. 5. Terdapat objek wisata berbentuk sungai yaitu Sungai Bungan yang menjadi destinasi atrasi penjelajahan sungai. Hasil Penilaian objek dengan Kriteria Standar ODTWA diperoleh nilai 930 sedangkan nilai maksimum yang dapat diperoleh adalah Berarti kondisi objek wisata perlu peningkatan pengelolaan. c. Areal Wisata Alami 1) Di dalam areal wisata alami berupa hutan primer yang belum terganggu. Objek-objek wisata yang ada di dalamnya berupa jeram dan gua pra sejarah. 2) Pada areal ini masyarakat hanya boleh memungut hasil hutan non kayu, berburu secara tradisional dan menangkap ikan, sedangkan kegiatan perladangan dan pembukaan lahan tidak diperkenankan. 3) Terdapat objek wisata berbentuk sungai, dan jeram yang masih alami. Sedangkan objek berbentuk gua dari hasil penilaian dengan Kriteria Standard ODTWA, terdapat beberapa gangguan terhadap objek oleh tingkah laku

109 manusia. Sehingga perlu pengelolaan khusus untuk memulihkan kondisi alami gua-gua tersebut. d. Areal Wisata Alami Khusus 1) Kegiatan wisata pada areal ini memang hanya dibatasi untuk satu kegiatan wisata yaitu Lintas Borneo. 2) Penilaian dengan Kriteria Estandar ODTWA, objek wisata berbentuk darat yaitu jalur lintas borneo masih memperlihatkan nilai alami yang tinggi. 3) Kondisi areal yang masih alami dan merupakan habitat berbagai satwa liar, satu diantarnya merupakan satwa endemik dengan nama lokal Kelampiau (Hylobathes mullerii). Berdasarkan Peta Tipe Ekosistem, pada areal ini sebagian besar merupakan ekosistem Dipterocarpaceae dataran tinggi dan Tipe Hutan Pegunungan yang memiliki fungsi ekologis penting sebagai habitat satwa liar. Sehingga pengunjung yang melalui areal ini harus didampingi oleh pemandu untuk menghindari dampak negatif pada areal tersebut. 4) Pada areal ini tidak diperkenankan kegiatan pemungutan hasil hutan. e. Areal Khusus Perlindungan Masyarakat Dua lokasi pemukiman yaitu Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang dijadikan areal khusus karena ada kehidupan tradisional di lokasi ini yang harus tetap terjaga. Pada areal ini tidak diperkenankan untuk membangun dan menyelenggarakan aktivitas wisata. Hal ini untuk menghindari terjadinya degradasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat akibat hadirnya wisatawan yang sebagian besar berbudaya asing Aplikasi Konsep Ekowisata di Wilayah Seksi Bungan Konsep ekowisata dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000) mensyaratkan bahwa ekowisata memiliki unsur keindahan, pendidikan (edukasi), dukungan terhadap konservasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Unsur-unsur tersebut dapat di aplikasikan di wilayah seksi bungan sebagai berikut : Konsep ekowisata dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000) mensyaratkan bahwa ekowisata memiliki unsur keindahan,

110 pendidikan (edukasi), dukungan terhadap konservasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Unsur-unsur tersebut dapat di aplikasikan di wilayah seksi bungan sebagai berikut : a. Keindahan 1. Hutan hujan tropis yang lebat dengan beranekaragam jenis tumbuhan dan satwa liar di dalamnya. 2. Riam/jeram, gua prasejarah dengan latar belakang hutan hujan tropis yang masih utuh. 3. Terdapat pada areal wisata alami dan areal wisata alami khusus. b. Pendidikan (edukasi) 1. Melalui program interpretasi lingkungan yang bertema keanekaragaman hayati, fungsi hutan sebagai pengatur tata air, sejarah kehidupan manusia dan kearifan lokal. 2. Pada areal wisata alami khusus dan areal wisata alami dapat diselenggarakan program interpretasi lingkungan bertema keanekaragaman hayati, fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan sejarah kehidupan manusia, karena pada areal ini terdapat habitat satwa liar, jeram/riam dan gua prasejarah. 3. Pada areal wisata umum dapat diselenggarakan program interpretasi lingkungan bertema kearifan lokal, karena pada areal ini terdapat areal perladangan masyarakat, yang memiliki kearifan lokal dengan berladang menggunakan sistem gilir balik dengan daur perladangan tertentu. c. Dukungan terhadap konservasi 1. Menginspirasi pengunjung untuk melestarikan lingkungan berdasarkan objek wisata yang telah dilihat melalui program interpretasi. 2. Menginspirasi masyarakat untuk lebih menjaga kelestarian objek di daerahnya, karena keberadaan objek tersebut telah memiliki nilai ekonomi dari kegiatan wisata.

111 d. Meningkatkan pendapatan masyarakat setempat 1. Mendorong masyarakat untuk melakukan budidaya tanaman bernilai ekonomi tinggi, terutama untuk mendukung kegiatan wisata wilayah ini yaitu tanaman pangan dan tanaman bahan baku kerajinan. 2. Mendorong masyarakat setempat untuk terlibat aktif dalam penyediaan jasa pendukung kegiatan wisata yaitu sebagai pemandu lokal, penyedia transportasi, porter, pelayanan akomodasi. 3. Kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat tersebut dapat dilakukan di areal wisata umum, areal wisata intensif dan areal perlindungan masyarakat.

112 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Hasil penilaian objek menggunakan Kriteria Standart Objek dan Daya Tarik Wisata Alam, diperoleh nilai : a. Objek berbentuk sungai : - Sungai Kapuas : nilai 1050, nilai maksimum 1050 (kategori sangat baik). - Sungai Bungan : nilai 930, maksimum 1050 (kategori sangat baik). b. Objek berbentuk darat : - Jalur tracking Lintas Borneo: nilai 1140, nilai maksimum 1440 (kategori sangat baik). c. Objek berbentuk gua : - Gua Diang Kaung : nilai 870, nilai maksimum 1080 (kategori sangat baik). - Gua Diang Balu: nilai 810, maksimum 1080 (kategori sangat baik). - Gua Diang Tahapun: nilai 900 nilai maksimum 1080 (kategori sangat baik). d. Objek berbentuk jeram : - Jeram-jeram di Sungai Kapuas : nilai 1050, nilai maksimum 1080 (kategori sangat baik). 2. Hasil analisis spasial diperoleh luas Wilayah Seksi Bungan hektar, luas ruang aktifitas masyarakat Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang di Dalam Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun adalah hektar atau 3,74 % dari luas Wilayah Seksi Bungan. Sedangkan ruang kegiatan wisata di dalam Wilayah Seksi Bungan adalah hektar atau 4,63 % dari luas Wilayah Seksi Bungan. Kedua pemanfaatan ruang tersebut menjadi dasar pembentukan zona pemanfaatan di wilayah Seksi Bungan. 3. Hasil analisis spasial diperoleh luas rencana zona pemanfaatan adalah hektar atau 5.55 % dari luas Wilayah Seksi Bungan.

113 4. Dari hasil pengecekan lapangan (ground true checked) dan overlay Peta Atraksi Wisata, Peta Aktivitas Masyarakat, Peta Tutupan Lahan dan Peta Jenis Ekosistem di perolah luas areal wisata di dalam zona pemanfaatan dan presentase luasannya terhadap zona pemanfaatan adalah areal wisata intensif seluas ha (10,8 %), areal wisata umum seluas (21,8 %), areal wisata alami seluas ha (50,6 %), areal wisata alami khusus seluas ha (16,4 %) dan areal perlindungan masyarakat seluas 88 ha (0,4 %) 6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa : 1. Pihak pengelola (Balai Besar TNBK) harus menginisiasi membuat kesepakatan konservasi secara tertulis antara Balai Besar TNBK, pengelola jasa wisata dan masyarakat setempat dalam memanfaatkan ruang masing-masing areal wisata sesuai dengan fungsinya. 2. Balai Besar TNBK harus membuat batas zonasi secara definitip. 3. Masyarakat berperan serta dalam pengelolaan kawasan terutama mendukung pemanfaatan kawasan sesuai dengan zona yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. 4. Masyarakat berperan mengidentifikasi, memelihara dan mengelola objek dan daya tarik wisata yang berada di zona pemanfaatan untuk pengembangan ekowisata wilayah tersebut. 5. Pengelola kawasan dan Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi masyarakat dalam mengelola objek dan daya tarik wisata, terutama penguatan kapasitas sumber daya manusia dan pembangunan sarana dan prasarana pendukung wisata. 6. Penyempurnaan Kriteria Standar Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam PHKA (2002) harus disempurnakan dengan memasukan berbagai bentuk objek wisata seperti objek sungai, jeram dan pantai. 7. Departemen Kehutanan dan Departemen Kebudayaan dan pariwisata perlu menetapkan rencana strategis ekowisata nasional yang menjadi standar pengelolaan berbagai bentuk kawasan wisata di Indonesia.

114 DAFTAR PUSTAKA Atok, K Pemetaan Partisipatif Kawasan Sumber Daya Alam Masyarakat Dayak Punan di Sekitar dan Kawasan TNBK Kalimantan Barat. Di dalam Usaha Mengintegrasikan Konservasi Keanekaragaman Hayati Dengan Pembangunan Propinsi Kalimantan Barat. Prosiding Lokakarya Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bentuang Karimun. Tanggal. Pontianak 29 April -1 Mei Pontianak. WWF Indonesia : [BPS] Biro Pusat Statistik Statistik Wisatawan Indonesia Tahun Jakarta. Dikunjungi 15 November [BTNBK] Balai Taman Nasional Betung Kerihun Statistik Balai Taman Nasional Betung Kerihun Tahun Balai Taman Nasional Betung Kerihun. Putussibau. [BTNTB] Balai Taman Nasional Taka Bonerate Zonasi Kawasan Taka Bonerate. Selayar. www. takabonerate.go.id. dikunjungi 5 januari Gunn, C.A Vacationscape Developing Tourist Areas. Taylor & Francis. United Stade of America. Crabtree, A Interpretation ; Ecotourism s Fundamental Tool Di dalam The Right Approach held. Porceedings of the World Ecotourism Conference. Kota Kinabalu,Sabah on Oktober Kota Kinabalu Sabah. Syarikat Bumi Yakin : Dearden, P Carrying Capacity and Environmental Aspects of Ecotourism. Proceedings of Intenternational Seminar Held in Chiang Mai, Thailand. RECOFIC. Chiang Mai. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Direktorat Sumber Daya Daerah. Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya. DEPHUT. Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Statistik Pengunung Wisata Kawasan Taman Nasional. DEPHUT. Jakarta Dikunjungi 1 maret 2008.

115 [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P. 56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. DEPHUT. Jakarta. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Standar Kriteria Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam. Direktorat Wisata Alam dan Jasa Lingkungan Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Jakarta. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Pedoman Pengembangan Pariwisata Alam di Taman Nasional. Direktorat Wisata Alam dan Jasa Lingkungan Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Jakarta. [Ditjen PKKH] Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kriteria Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional dalam rangka pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Jakarta. dikunjungi pada tanggal 20 Agustus [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta. Dikunjungi 15 Maret Erdmann, A.M Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo. The Nature Conservancy. Jakarta. Erdmann, A.M Pengembangan Sistem Pengelolaan Bersama Yang Efektif Untuk Desentralisasi Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia: Studi Kasus Taman Nasional Bunaken. Program Pengelolaan Sumber Daya Alam (NRMP). Jakarta. Fandeli, C Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Jakarta. Fennell, D.A Ecotourism An Introduction. Routledge Taylor and Francis Group. London and New York. Gold, S.M Recreation Planning and Design. McGraw Hill Co. New York. Gunn, C.A Tourism Planning Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Tylor & Francis Ltd. London. Hani, A.H Ecotourism di Indonesia Harus Punya Nilai Tambah. Pertja. Jakarta. PT.

116 [Himakova IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. Laporan Surili 2005 ; Studi Ilmiah Hubungan Keanearagaman Hayati dengan Masyarakat Adat sebagai Dasar Pengembangan dan Pengelolaan Ekowisata. Himakova IPB TBI Indonesia. Bogor. Husein, R Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Komunitas elearning Ilmu Komputer. Jakarta. Dikunjungi 19 Pebruari Inskeep, E Tourism Planning : an Integrated and Sustainable Development Approach. Van Nostrand Reinhold. New York. Jaya, I.N.S Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan: Penuntun Praktis Menggunakan Arc Info dan Arc View. IPB PRESS. Bogor. Kinabalu National Park Mount Kinabalu.Sabah Malaysia.Kinabalu National Park. Dikunjungi 11 januari Lastaryono, E Awas, Turis Dunia Bisa Merusak Lingkungan Hidup. Pertja. Jakarta. PT. Lindberg, K Ekoturisme ; Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola. PACT - ALAMI. Penerjemah PACT ALAMI. Terjemahan dari Ecotourism : A Guide For Planners and Managers. Jakarta. MacKinnon Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta. Ngo, M Profil Kelompok-kelompok Dayak dan Pengembangan Partisipasi di Taman Nasional Bentuang Karimun Kalimantan Barat. Di dalam Usaha Mengintegrasikan Konservasi Keanekaragaman Hayati Dengan Pembangunan Propinsi Kalimantan Barat. Prosiding Lokakarya Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bentuang Karimun. Tanggal. Pontianak 29 April -1 Mei WWF Indonesia. Pontianak : Nurisyah, S Daya Dukung Dalam Perencanaan Tapak. Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahzen, T Strategi Pengembangan Ekoturisme Taman Nasional Bentuang Karimun. Di dalam Usaha Mengintegrasikan Konservasi Keanekaragaman Hayati Dengan Pembangunan Propinsi Kalimantan Barat. Prosiding Lokakarya Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bentuang Karimun. Tanggal. Pontianak 29 April -1 Mei 1998.WWF Indonesia. Pontianak : Rahardjo, B Ekotourisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pustaka Latin. Bogor.

117 Scheyvens, R Ecotourism and the empowerment of local communities. Tour Manag 20: Scouting Tim Laporan Survei Kegiatan Arung Jeram Taman Nasional Betung Kerihun. Yayasan WWF Indonesia. Putussibau. Sekartjakrarini, S, dan Legoh Teknik Interpretasi. IDEA. Jakarta. Simonds, J.O Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co. York. New Soedarto, G Ekowisata ; Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yayasan Kalpataru Bahari Yayasan Kehati. Bekasi. Sujito Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. WWF Indonesia ITTO - Departemen Kehutanan. Pontianak. Surono, A Arung Jeram Bukan Olah Raga Maut. Dikunjungi 28 November Tosun, C Challenges of sustainable tourism development in the developing world: the case of Turkey. Tour Manag 22: Wilkinson, P.F Carrying Capacity in Tourism Planning. Toronto Ontario. Faculty of Envronmental Studies York University. Canada. Wood, M.E Ecotourism ; Principle, Practices and Policies for Sustainability. UNEP. Paris. Yoeti Ecotourisme Pariwisata Berwawasan Lingkungan. PT. Pertja. Jakarta.

118 LAMPIRAN

119 Lampiran 1. Kriteria Standart Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam A. Objek Wsata Berbentuk Darat Jenis Objek : Jalan Setapak (jalur tracking) Lintas Borneo Tanggal Penilain : 6 Juli 2007 Penilai : Junaidi, Mustarrudin, Louren, Taha No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Keindahan Alam : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Pandangan lepas dalam objek b. Variasi pandangan dalam objek c. Pandangan lepas menuju objek d. keserasian warna objek e. Pandangan dalam l ingkungan objek 2 Keunikan Sumber Daya Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Sumber Air panas b. Gua c. Sungai/Air terjun d. Flora fauna e. Adat istiadat 3 Banyaknya potensi SDA Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 Yang menonjol : a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Air e. Gejala Alam 4 Keutuhan Sumber Daya Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Ekosistem e. Kualitas 5 Kepekaan Sumber Daya Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Erosi e. Ekosistem 6 Jenis Kegiatan Wisata Alam lebih 7 ada 6-7 ada 4-5 a. Trecking b. Mendaki ada 2-3 ada 1

120 c. Rafting d. Camping e. Pendidikan f. Religius g. Hiking h. dll 7 Kebersihan udara dan lokasi bersih tidak ada Tidak ada ada 1-2 ada 3-4 ada 5-6 ada7 Pengaruh dari : a. Alam b. Industri c. Jalan ramai motor/mobil d. Pemukiman penduduk e. Sampah f. Binatang g. Coret-coret (vandalisme) 8 Kerawanan kawasan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Perambahan b. kebakaran c. Gangguan terhadap flora fauna d. Masuknya flora fauna eksotik e. Ancaman lain Jumlah Sumber : Standart Kriteria ODTW, Ditjen PHKA

121 B. Objek Wisata berbentuk Sungai Nama Lokasi : Sungai Kapuas Tanggal Pengamatan : 12 Juli 2007 Penilai : Junaidi, Mustarrudin, Heriansyah, Simon No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Aktifitas memanfaatkan sungai dan panorama sekitarnya Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Arung Jeram b. Penjelajahan sungai c. Photografi d. Jelajah hutan (tracking) e. lain-lain (memancing, renang, camping) 2 Jenis Riam : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Under Cut (air terjun) b. Hidrolic (pusaran air) c. Hole (lubang) d. Standing wive (ombak) e. Flat (datar berarus) 3 Keragaman panorama kiri/kanan sungai Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Hutan primer b. Hutan sekunder c. Variasi batuan d. Lintasan Satwa e. Perkampungan 5 Lama pengarungan dengan perahu dalam satu hari (trip) jam 4 3 jam 3 2 jam 2 1 jam < 1 jam Variasi kegiatan sepanjang sungai Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Tracking b. Pengamatan satwa dan tumbuhan liar c. Mengamati Kegiatan masyarakat sekitar kawasan d. Camping / bermalam di pinggir sungai e. Photografi 7 Keaslian Sungai dan panorama sepanjang sungai Jumlah Asli Perubahan lahan sebagian Perubahan lahan seluruhnya Tercemar temporer Tercemar

122 Sumber : Standart Kriteria ODTW, Ditjen PHKA yang dimodifikasi Nama Lokasi : Sungai Bungan Tanggal Penilaian : 14 Juli 2007 Penilai : Junaidi, Mustarudin, Heriansyah, Lery No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Aktifitas memanfaatkan sungai dan panorama sekitarnya Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Arung Jeram b. Penjelajahan sungai c. Photografi d. Jelajah hutan (tracking) e. lain-lain (memancing, renang, camping) 2 Jenis Riam : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Under Cut (air terjun) b. Hidrolic (pusaran air) c. Hole (lubang) d. Standing wive (ombak) e. Flat (datar berarus) 3 Keragaman panorama kiri/kanan sungai Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Hutan primer b. Hutan sekunder c. Variasi batuan d. Lintasan Satwa e. Perkampungan 5 Lama pengarungan dengan perahu dalam satu hari (trip) jam 4 3 jam 3 2 jam 2 1 jam < 1 jam Variasi kegiatan sepanjang sungai Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Tracking b. Pengamatan satwa dan tumbuhan liar c. Mengamati Kegiatan masyarakat sekitar kawasan d. Camping / bermalam di pinggir sungai e. Photografi Keaslian Sungai dan panorama sepanjang sungai Jumlah Sumber : Standart Kriteria ODTW, Ditjen PHKA yang dimodifikasi Asli Perubahan lahan sebagian Perubahan lahan seluruhnya Tercemar temporer Tercemar

123 C. Objek Wisata yang Berbentuk Gua Nama Objek : Gua Diang Kaung Tanggal : 16 Juli 2007 Penilai : Junaidi, Mustarrudin, Heriansyah, Tuci, Louren No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Keunikan dan Kelangkaan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Sulit ditemukan ditempat lain b. Memiliki daya pesona c. Ada bentuk-bentuk yang aneh d. Bertingkat dan panjang/lebar 2 Keaslian Asli Ada Vandalism Kerusakan Ornamen Gua fosil Rusak Berat Keindahan/keragaman : > 5 Ada 5-4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Konfigurasi yang menarik b. Ada banyak stalaktit c. Ada banyak stalaknit d. Ada travertin yang luas e. Ada pilaris f. Ada sungai/danau di bawah g. Ada peninggalan purbakala 4 Keutuhan tata lingkungan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Masih terlindung hutan b. Ada binatang goa yang menarik c. Tidak dipengaruhi oleh pemukiman penduduk yang padat d.tidak dipengaruhi kegiatan industri e.tidak ada pengaruh lain yang merusak 5 Peninggalan Prasejarah Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada1 a. Tulisan Purbakala b. Perhiasan c. Perabotan/alat (keramik, logam) d. Kuburan e. Dll

124 Kepekaan : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Ada nilai pengetahuan b. Ada nilai sejarah/ kebudayaan c. Ada nilai pengobatan d. Ada nilai kepercayaan e. Lain-lain Jumlah Sumber : Standart Kriteria ODTW, Ditjen PHKA yang dimodifikasi

125 Nama Objek : Gua Diang Balu Tanggal Penilaian : 17 Juli 2007 Penilai : Junaidi, Mustarrudin, Heriansyah, Tuci, Louren No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Keunikan dan Kelangkaan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Sulit ditemukan ditempat lain b. Memiliki daya pesona c. Ada bentuk-bentuk yang aneh d. Bertingkat dan panjang/ lebar 2 Keaslian Asli Ada Vandalisme Kerusakan Ornamen Gua Fosil Rusak Berat Ada Keindahan/keragaman : > 5 Ada 5-4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Konfigurasi yang menarik b. Ada banyak stalaktit c. Ada banyak stalaknit d. Ada travertin yang luas e. Ada pilaris f. Ada sungai/danau di bawah g. Ada peninggalan purbakala 4 Keutuhan tata lingkungan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Masih terlindung hutan b. Ada binatang goa yang menarik c. Tidak dipengaruhi oleh pemukiman penduduk yang padat d. Tidak dipengaruhi kegiatan industri e. Tidak ada pengaruh lain yang merusak 5 Peninggalan Prasejarah Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada1 Tulisan Purbakala (painting cave) a. Perhiasan b. Perabotan/(keramik, logam) c. Kuburan d. Dll

126 Kepekaan : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Ada nilai pengetahuan b. Ada nilai sejarah/ kebudayaan c. Ada nilai pengobatan d. Ada nilai kepercayaan e. Lain-lain Jumlah Sumber : Standart Kriteria ODTW, Ditjen PHKA yang dimodifikasi

127 Nama Objek : Gua Diang Tahapun Tanggal Penilaian : 18 Juli 2007 Penilai : Junaidi, Mustarrudin, Heriansyah, Tuci, Louren No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Keunikan dan Kelangkaan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Sulit ditemukan ditempat lain b. Memiliki daya pesona c. Ada bentuk-bentuk yang aneh d. Bertingkat dan panjang/ lebar 2 Keaslian Asli Ada Vandalisme Kerusakan Ornamen Gua Fosil Rusak Berat Keindahan/keragaman : > 5 Ada 5-4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Konfigurasi yang menarik b. Ada banyak stalaktit c. Ada banyak stalaknit d. Ada travertin yang luas e. Ada pilaris f. Ada sungai/danau di bawah g. Ada peninggalan purbakala 4 Keutuhan tata lingkungan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Masih terlindung hutan b. Ada binatang goa yang menarik c. Tidak dipengaruhi oleh pemukiman penduduk yang padat d.tidak dipengaruhi kegiatan industri e.tidak ada pengaruh lain yang merusak 5 Peninggalan Prasejarah Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada1 a.tulisan Purbakala b.perhiasan C.Perabotan/alat (keramik, logam) d.kuburan 6 Kepekaan : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Ada nilai pengetahuan b. Ada nilai sejarah/ budaya c. Ada nilai pengobatan d. Ada nilai kepercayaan e. Lain-lain Jumlah Sumber : Standart Kriteria ODTW, Ditjen PHKA yang dimodifikasi

128 D. Objek Wisata Berbentuk Jeram Nama Lokasi : Sungai Kapuas Tanggal Pengamatan : 21 Juli 2007 Penilai : Junaidi, Mustarrudin, Heriansyah, Simon No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Jenis Riam : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Under Cut (air terjun) b. Hidrolic (pusaran air) c. Hole (lubang) d. Standing wive (ombak) e. Datar berarus 3 Tingkat Kesulitan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Grade V b. Grade IV c. Grade III d. Grade II e. Grade I 4 Panorama kiri/kanan sungai Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Hutan primer b. Hutan sekunder c. Variasi batuan d. Lintasan Satwa 5 6 e. Perkampungan Lama pengarungan dengan perahu karet dalam satu hari (trip) 5-4 jam 4 3 jam 3 2 jam 2 1 jam < 1 jam Variasi kegiatan selain Arung Jeram Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Tracking b. Photografi c. Camping d. Kegiatan masyarakat tradisonal Sepanjang sungai e. Lain-lain (renang, camping) 7 Kondisi Air sungai Jumlah Selalu jernih Jernih - Keruh Keruh setiap saat Tercemar temporer Tercemar

129 Sumber : Standart Kriteria ODTW, Ditjen PHKA yang dimodifikasi Keterangan : Objek berbentuk sungai : Nilai (tidak baik); (baik); (sangat baik) Objek berbentuk darat : Nilai (tidak baik); (baik); (sangat baik) Objek berbentuk gua : Nilai (tidak baik); (baik); (sangat baik) Objek berbentuk jeram : Nilai (tidak baik); (baik); (sangat baik)

130 Lampiran 2. Peta Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

131 Lampiran 3. Peta Rencana Areal Wisata dalam Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

132 Lampiran 4. Peta Atraksi Wisata Lintas Borneo

133 Lampiran 5. Peta Atraksi Penelusuran Gua Prasejarah

134 Lampiran 6. Peta Atraksi Wisata penjelajahan Sungai (White Water Cruise) Di Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

135 Lampiran 7. Peta Atraksi Arung Jeram di Sungai Kapuas

136 Lampiran 8. Peta Overlay Rute Perjalanan Wisata Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun

137 Lampiran 9. Sketsa Jalur Interpretasi Lintas Borneo Sepanjang jalur perjalanan berupa ekosistem Dipterocarpaceae Dataran Tinggi habitat berbagai satwa, salah satunya endemik yaitu Owa (Hylobathes mullerii). Batas Kaltim _ Kalbar Camp VI Camp V Camp IV Camp III Jalur Tracking Camp II Menuju S. Kapuas Camp I DS. Tj. Lokang DS. Bungan Batas Taman Nasional

138 Lampiran 10. Sketsa Jalur Interpretasi Penelusuran Gua Prasejarah 120 Menuju Kalimantan Timur Gua Diang Tahapun Gua Diang Balu Gua Diang Kaung DS. Tj. Lokang Menuju S. Kapuas DS. Bungan Batas Taman Nasional

139 121 Lampiran 11. Sketsa Jalur Interpretasi Penjelajahan Sungai Menuju Hulu S. Kapuas Camp I S. Kapuas Camp II DS. Tj. Lokang DS. Bungan S. Bungan Batas Taman Nasional

140 Lampiran 12. Sketsa Jalur Interpretasi Arung Jeram 122 Menuju Hulu S. Kapuas 1 Camp I Nama Riam : 1. Matahari 2. Mokotori 3. Pelangan 4. Pulas 5. Bang Be 6. Menuhut 7. Apin 8. Batu Lintang Jalur Tracking S. Kapuas 5 Jalur Tracking Camp II S. Bungan DS. Bungan 6 Batas Taman Nasional 8 7

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional sebagai Destinasi Wisata Saat ini ekowisata diartikan secara beragam, diantaranya oleh Fennell (2003), mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk wisata berbasiskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan wilayah yang mempunyai potensi obyek wisata. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan wilayah yang mempunyai potensi obyek wisata. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan suatu aset yang strategis untuk mendorong pembangunan wilayah yang mempunyai potensi obyek wisata. Pembangunan kepariwisataan di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor migas yang sangat potensial dan mempunyai andil besar dalam membangun perekonomian yang saat

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan konservasi di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di provinsi ini adalah

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR Oleh : M. KUDRI L2D 304 330 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN SEKITAR KARS GOMBONG SELATAN DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN WILAYAH TUGAS AKHIR

STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN SEKITAR KARS GOMBONG SELATAN DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN WILAYAH TUGAS AKHIR STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN SEKITAR KARS GOMBONG SELATAN DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN WILAYAH TUGAS AKHIR Oleh: WISNU DWI ATMOKO L2D 004 358 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu

BAB I PENDAHULUAN. BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu berada pada ketinggian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati dan dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas terbesar

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR Oleh: Nadya Tanaya Ardianti A07400018 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba dengan luas areal 13.490 hektar merupakan salah satu kawasan konservasi darat di Bengkulu yang memiliki kekayaaan sumber daya dan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan perekonomian Indonesia yang semakin membaik ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi salah satunya didorong oleh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode Survey Deskriptif Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey deskriptif. Metode survey deskriptif merupakan metode untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik,

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik, memiliki ruang lingkup, komponen dan proses pengelolaan tersendiri. Terkait dengan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pariwisata merupakan salah satu hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Pertumbuhan pariwisata secara

Lebih terperinci

I. UMUM. Sejalan...

I. UMUM. Sejalan... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM I. UMUM Kekayaan

Lebih terperinci