BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Sejarah Hotel dan Pengertiannya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Sejarah Hotel dan Pengertiannya"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pengertian Hotel 1. Sejarah Hotel dan Pengertiannya Hotel berasal dari kata hostel, konon diambil dari bahasa perancis kuno. Bangunan publik ini sudah di sebut-sebut sejak akhir abad ke-17. Maknanya kira-kira, tempat penampungan buat pendatang atau bisa juga bangunan untuk pondokan dan makanan untuk umum. Jadi, pada mulanya hotel memang diciptakan untuk meladeni masyarakat. Di Indonesia, kata hotel selalu dikonotasikan sebagai bangunan penginapan yang cukup mahal. Umumnya di Indonesia dikenal hotel berbintang, hotel melati yang tarifnya cukup terjangkau namun hanya menyediakan tempat menginap dan sarapan pagi, serta guest house baik yang dikelola sebagai usaha swasta (seperti halnya hotel melati) ataupun mess yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan sebagai tempat menginap bagi para tamu yang ada kaitannya dengan kegiatan atau urusan perusahaan. 9 Sedangkan definisi hotel yang terdapat dalam surat keputusan menteri perhubungan No.24/H/1970 tentang peraturan pokok penguasaan hotel bahwa hotel adalah perusahaan yang menyediakan jasa dalam bentuk penginapan (akomodasi) serta menyajikan hidangan ( makanan dan minuman ) dan fasilitas lainnya yang memenuhi syarat kenyamanan dan bertujuan komersil hotel menurut para ahli 10 R.S Damardjati Peraturan international di bidang hotel. Jakarta: Pradya Paramita: Hal 25 13

2 Fungsi hotel bukan saja sebagai tempat menginap, namun juga sebagai tempat kegiatan bisnis, mengadakan seminar atau sekedar untuk mendapatkan ketenangan. Menurut dirjen pariwisata hotel merupakan suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagai atau keseluruhan bangunan untuk menyediakan jasa penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersil Pengertian pencabulan Dalam hal pengertian pencabulan, pendapat para ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-beda seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, pencabulan adalah usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Dari pendapat tersebut, berarti pencabulan tersebut di satu pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafu seksualnya terhadap seorang perempuan yang dimana perbuatan tersebut tidak bermoral dan dilarang menurut hukum yang berlaku. 12 Di berbagai Negara terdapat perbedaan definisi mengenai pencabulan. Amerika mendefinisikan pencabulan adalah kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk 11 Aan Surahman,1992. Pengetahuan Dasar Perhotelan. Jakarta: CV Deviri Ganam: Hal P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, (Bandung,: Citra Aditya Bakti, 1997), hal 41 14

3 membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pecabulan yaitu persetubuhan diluar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Bila mengambil definisi dari buku kejahatan seks dan aspek medikolegal gangguan psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan R. Soesilo menjelaskan perbuatan cabul di dalam KUHP yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semua itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin Unsur-unsur pencabulan Pencabulan merupakan suatu tindak kejahatan yang pada umumnya diatur dalam pasal 285 KUHP, yang bunyinya adalahsebagai berikut: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 14 Jika diperhatikan dari bunyi pasal tersebut terdapat unsur yang antara lain sebagai berikut: a. Barangsiapa merupakan suatu istilah orang yang melakukan. b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang artinya melakukan kekuatan badan, dalam pasal 289 KUHP disamakan dengan Kitab undang-undang hukum pidana, acara pidana, Penghimpun Solahudin, Cet.1 (Jakarta, Visimedia,2008),Pasal 285 KUHP. 15

4 menggunakan kekerasan yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. c. Memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia yang artinya seorang wanita yang bukannya istrinya mendapatkan pemaksaan bersetubuh di luar ikatan perkawinan dari seorang laki-laki. Pencabulan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan anak dibawah umur diatur juga dalam undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada pasal 81 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan: a. Setiap orang yang sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, di pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (Lima Milyar Rupiah). b. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 15 Jika diperhatikan pada pasal tersebut di atas, maka unsur-unsur pencabulan ialah sebagai berikut: a. Setiap orang yang berarti subyek atau pelaku. b. Dengan sengaja yang berarti mengandung unsur kesengajaan 15 Indonesia, undang-undang perlindungan anak, UU No. 23 Tahun 2002, pasal 81 ayat (1) dan (2) 16

5 c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan atau tang berarti dalam prosesnya diperlakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang berarti ada suatu pemaksaan dari pelaku atau orang lain untuk bersetubuh dengan seorang anak. d. Berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang berarti bahwa perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan cara menipu,merayu, membujuk dan lain sebagainya untuk menyetubuhi korbannya. B. Tinjauan tentang tindak pidana kesusilan Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana ini apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa ruang lingkupnya ternyata tidak mudah karena pengertian dan batas-batasnya kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat tertentu. Walaupun demikian ada pula bagian tindak pidana kesusilaan yang bersifat universal. Universal susila menjadi ketentuan dalam arti seragam bukan saja dalam batas-batas Negara, tetapi ke seluruh Negara-negara yang 17

6 beradap. Menurut oemar sana adji, delik susila menjadi ketentuan universal apabila: 1. Apabila delik tersebut dilakukan dengan kekerasan 2. Yang menjadi korban adalah orang yang di bawah umur 3. Apabila delik tersebut dilakukan dimuka umum 4. Apabila korban dalam keadaan tidak berdaya dan sebagainya 5. Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan obyek delik, misalnya guru terhadap muridnya. Jadi kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprodensi memberikan pengertian melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual. Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana. Simon misalnya mengatakan bahwa kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang lain. Kesusilaan adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik. Bentuk kejahatan diatur dalam pasal KUHP a. Pengertian Kesusilaan dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti sebagai berikut: a. Baik budi bahasanya,beradap,sopan,tertib 18

7 b. Adat istiadat baik,sopan santun,kesopanan,keadaban c. Penegetahuan tentang adat Kata Susila dalam bahasa Inggris adalah moral (kesopanan), ethic (kesusilaan), dan decent (kepatutan). Kata moral dalam The lexicon webter dictionary dirumuskan antara lain : Of or concerned with the principles of right wrong in conduct and character... behaviour as to right or wrong,esp in ralation to sexual matter. Yang artinya adalah : Dari atau berkenaan dengan prinsip-prinsip benar dan salah dalam berperilaku dan sikap/tabiat... kelakuan yang benar atau salah, khususnya dalam hubungan pada hal/kejadian sexual. Kata ethics dirumuskan antara lain sebagai berikut... Pertaining to right and wrong in conduct. Yang artinya adalah : berkenaan siakp/tabiat/tingkah laku yang baik,,persepsi nilai,, dari masyarakat. moral merupakan pertimbangan atas dasar baik/tidak baik sehari-hari,persepsi masyarakat tentang arti kesusilaan lebih condong pada : Behaviour as to right or wrong esp in relation to sexual matter yang artinya tingkah laku untuk berbuat benar atau salah khusunya dalam masalah sexual namun seyogyanya tindak pidana kesusilaan dimasukkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan Behaviour in relation to sexual matter yang artinya tingkah laku berhubungan 19

8 dengan masalah sexual agar dengan demikian perhatian lebih dipusatkan pada pokok masalah. 16 Pengertian asusila Suatu tindakan yang melanggar kesusilaan yang jenis dan bentukbentuk pelanggaran juga sanksinya telah diatur dalam KUHP. Ketentuan- ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang keputusan-keputusan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah di ucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka. Masyarakat secara umum menilai kesusilaan sebagai bentuk penyimpangan/ kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang hidup di masyarakat. Perkataan, tulisan, gambar, dan perilaku serta produk atau media-media yang bermuatan asusila dipandang bertentangan dengan nilai moral dan rasa kesusilaan masyarakat. Sifat asusila yang hanya menampilkan sensualitas, seks 16 Leden Marpaung 2004,Kejahatan terhadap kesusilaan dan masalah prevensinya,sinar Grafika,Jakarta,Hal 2 20

9 dan eksploitasi tubuh manusia ini dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat yang menjunjung tinggi nilai moral. 17 A. Macam-macam asusila 1. Zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan perempuan diluar pernikahan yang sah. Secara psikolog dan seksolog pezina dan pelacur. Pelacur adala mereka yang melakukan hubungan seks untuk mendapatkan uang, sedangkan pezina mereka yang melakukan hubungan seks atas dasar suka sama suka untuk memuaskan nafsu. 2. Homoseks dan lesbian adalah pemuasan nafsu seks antara sesama pria, sedangkan lesbian adalah pemuasan nafsu seks antar sesama wanita. 3. Free Sex adalah juga yang disebut seks bebas adalah model hubungan seksual diluar pernikahan yang bebas tanpa ikatan maupun dean yang dilandasi rasa suka sama suka. Orang yang menganut paham free sex mereka berhubungan sex dengan siapapun yang mereka sukai tanpa pandang bulu, bahkan keluarga sendiri. 4. Samanleven adalah perbuatan ini sering disebut kumpul kebo. samenleven adalah hidup bersama atau berkelompok tanpa sedikitpun niat untuk melaksanakan pernikahan. Dasar pinjakan mereka adalah kepuasan seksual. 5. Matubrasi adalah berasal dari kata latin, yaitu mastubration, berarti tangan menodai atau sama juga dengan onani. Matubrasi adalah pemuasan seksual pada diri sendiri dengan menggunakan tangan. Kebiasaan matubrasi mengakibatkan kelelahan fisik karena banyak menyerap energy. 6. Voyeurisme adalah usaha untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan melihat aurat orang lain yag sedang terbuka atau tidak sengaja terbuka. Contoh kebiasaan mengintip orang mandi atau melihat filmfilm porno. 7. Fetisme adalah penyimpangan yang merasa telah mendapat kepuasan seksual hanya dengan memegang, memiliki, atau melihat benda-benda atau pakaian yang sering dipakai wanita seperti BH, atau celana dalam. 8. Sodomi adalah hubungan seks lewat dubur untuk mendapatkan kepuasan. Perbuatan ini dilakukan terhadap pria maupun wanita dan

10 umumnya terhadap mereka yang dapat dikuasai pelaku secara psikologis. 9. Perkosaan adalah memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seks. Ini terjadi pada orang yang dikenal atau tidak.aborsi adalah penggugurn kandungan atau pembuangan janin. Atau juga penghentian kehamilan atau matinya janin sebelum waktu kehamilan. Biasanya ini dilakukan wanita hamil akibat free sex. 10. Pelecehan seksual adalah penghinaan terhadap nilai seksual seseorang yang ada dalam tubuhnya. Hal itu dapat berupa ucapan, tulisan, tindakan yang dinilai mengganggu atau merendahkan martabat kewanitaan, seperti mencolek, meraba, mencium mendekap. 11. Pacaran adalah dalam arti luas berarti mengenal karakter seseorang yang dicintai dengan cara mengadakan tatap muka. Pacaran pada zaman sekarang adalah usaha untuk melampiaskan nafsu seksual (hubungan intim) yang tertunda. 18 b. Menurut Para Ahli : 1. Kejahatan kesusilaan atau moral offenses merupakan bentuk pelanggaran yang bukan saja masalah(hukum) nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah (hukum) semua negara didunia atau merupakan masalah global. Pelaku kejahatan kesusilaan bukan dominasi mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah atau rendah apalagi kurang atau tidak berpen didikan sama sekali,melaikan pelakunya sudah menembus semua setrata sosial dari strata terendah sampai tertinggi Didalam kepustakaan hukum pidana internasional, kejahatan kesusilaan belum dimasukka sebagai salah satu dari 22 kejahatan internasional atau internasional crime. Namun demikia didalam Romli Atmasasmita,1995,kapita selekta hukum pidana dan kriminologi,mandar Maju, Bandung, halaman 103) 22

11 perjanjian-perjanjian ekstradisi antara pemerintah indonesia dengan pemerinyah negara anggota ASEAN lainnya (kecuali dengan singapura) dan pemerintah australia, hampir semua jenis tindak pidana di bidang kesusilaan ditempatkan sebagai salah satu dari beberapa tindak pidana lainnya yang dapat di ekstradisi. Dari contoh perjanjian ekstradisi tersebut tampak bahwa antara pemerintah indonesia dan pemerintah negara yang terlibat di dalam perjanjian ekstradisi memiliki pandangan moral yang sama Tindak pidana kesusilaan dalam KUHP menggunakan istilah kejahatan kesopanan. Kesopanan dalam hal ini dalam artian kesusilaan yaitu perasan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan,meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dsb Perzinahan menurut ensiklopedi di hukum islam adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum di ikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut Menurut Soetarjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah yaitu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau 20 Ibid R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal.politeia.hal Abdul Aziz Dahlan, et al.,ensiklopedia di hukum islam, jilid 6, cet 1, Jakarta : ichtiar Baru van Hoeven, 1996, hal

12 hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian ini bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan yaitu suatu perbuatan secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya dan dilain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial. c. Perkembangan Kesusilaan Perkembangan dunia usaha (bisnis) yang menjadikan tempattempat peristirahatan (hotel,losmen,dan villa) semakin enggan menanyakan identitas tamu dalam rangka peningkatan pelayanan yang menerapkan prinsip bisnisyang menyatakan bahwa pembeli adalah tuan,maka hotel,losmen dan villa telah disalah gunakan oleh sebagian anggota masyarakat untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bagi segelintir wanita yang tidak memiliki keterampilan (skill), menimbulkan perbuatan jalan pintas dengan menjajakan dirinya di tempat-tempat tertentu di beberapa kota (di luar lokalisasi,wts), tampaknya menimbulkan pemandangan tidak berkenan di hati. Berbagai masalah berkenaan Behaviour in relation to sexual matter yang sedang dalam proses penilaian masyarakat khususnya mengenai kelainan-kelainan yang dialami oleh seseorang antara lain : perempuan yang mencintai sejenisnya (lesbian), pria yang mencintai sesamanya (homo) dan sebagainya menjadikan semakin rumit dalam era Hak Asasi Manusia Ibid hal 6 24

13 C. Sanksi kejahatan kesusilaan Pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan-kejahatan kesusilaan yaitu pasal-pasal 281,284, 296,297 KUHP yang isinya: Pasal 281: 1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan 2. barang siapa dengan sengaja dan didepan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan Unsur-unsur pasal 281 yaitu : a. Dengan sengaja, unsur ini tidak terdapat di negeri belanda, di indonesia unsur ini ditambahkan karena apabila di indonesia unsur kesengajaan tidak dimuat,maka orang-orang yang mandi di tepi sungai yang berada di tengah kota semua akan dapat dihukum seangkan mereka ama sekali tidak tahu bahwa mereka melanggar kesusilaan. Penghukuman itu akan sangat tidak tepat. Maka untuk menghindari penghukuman tersebut, di tambahkan unsur kesengajaan. b. Dimuka umum, unsur ini berarti tidak hanya tepat yang terbuka untuk umum, tetapi juga meliputi tempat-tempat yang perbuatannya disana dapat dilihat dari tempat umum, seperti disuatu serambi terbuka dibagian muka suatu rumah ditepi jalan raya. c. Dihadiri orang lain diluar kemauan seseorang, contoh dari unsur ini yaitu misalnya seseorang berbuat sesuatu didekat jendela yang terbuka sehingga terlihat oleh patra tetangga. Kata hadir berati luas, yaitu meliputi semua perbuatan yang dapat dilihat oleh orang yang hadir, misalnya dari tempat perbuatan itu terpisah oleh suatu dinding dari kaca. d. Hadir di luar kemauan seseorang, unsur ini mengandung arti bahwa seseorang tidak ada apabila seseorang tidak ada apabila seseorang atas inisiatif sendiri ingin melihat sesuatu. e. Kesopanan, unsur ini mengandung unsur adanya perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dsb. 25

14 Pasal 284 Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan 1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overpel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. 2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui bahwa yang turut bersalah telah kawin: b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Unsur- unsur a. Zina, yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telahin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Dan persetubuhan itu dilakukan atas dasar suka sama suka,tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. b. Persetubuhan, yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani. c. Adanya tuntutan atau aduan, yaitu pasal ini merupakan delik aduan yang abolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan (yang dimalukan). Pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudya apabila laki-laki (x) mengadukan bahwa isterinya (y) telah berzina dengan laki-laki lain(z), maka y (sebagai yang melakukan perzinahan) dan Z sebagai turut serta melakukan perzinahan kedua-duanya harus dituntut. Pasal 296 : barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah Unsur-unsur a. Dijadikan pencaharian atau kebiasaan b. Perbuatan cabul 26

15 c. Menyediakan rumah tau kamar kepada perempuan dan laki-laki untuk melacur (bersetubuh atau melepas nafsu kelaminnya dengan jalan lain) Pasal 297 : perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Unsur-unsur a. Memperniagakan yaitu melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. b. Belum dewasa, yaitu belum berumur 21 tahun atau belum pernah menikah. Undang-undang perlindungan anak Ketentuan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungn anak sebagaimana telah diubah dengan undang undang nomor 35 tahun 2004 undang-undang perlndungan anak yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain pasal 76D (persetubuhan dengan anak) dan pasal 76E (pencabulan anak) sebagai mana berikut: a. Pasal 76D undang-undang perlindungan anak: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. b. Pasal 76E undang-undang perlindungan anak: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Hukuman dari perbuatan tersebutdi atur dalam pasal 81 dan pasal 82 undangundang perlindungan anak sebagai berikut: 27

16 a. Pasal 81 undang-undang perlindungan anak: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima beas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima milyar rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan orang tua wali,pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b. Pasal 82 undang-undang perlindungan anak (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 ( lima milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya di tambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 24 Pasal 351 kitab undang-undang hukum pidana (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 24 Undang-undang perlindungan anak pasal

17 D. Proses Penyidikan (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 25 Hukum acara pidana merupakan hukum yang bertujuan untuk mempertahankan hukum materil pidana. Dengan kata lain acara pidana merupakan proses untuk menegakkan hukum materil, proses atau tata cara untuk mengetahui apakah seorang telah melakukan pidana. Acara pidana lebih dikenal dengan proses peradilan pidana. Menurut sistem yang dianut oleh kitab undang-undang hukum acara pidana maka tahapan-tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam peradilan pidana adalah: 1) Tahap penyidikan oleh polisi 2) Tahap penuntutan oleh kejaksaan 3) Tahap pemeriksaan di pengadilan oleh hakim 4) Tahap pelaksanaan putusan (eksekusi) oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan. Pasal 1 KUHAP Penyidik adalah pejabat polisi Negara repubik Indonesia atau pejabat negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan Kitab undang-undang hukum pidana dan kitab undang-undang hukum acara pidana pasal 351 hal Ibid hal

18 Dalam melaksanakan tugasnya untuk mencari dan mengumpulkan bukti maka penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut: 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya tindak pidana 2) Mencari keterangan dan barang bukti 3) Menyuruh berhenti seseorang (memaksa) yang dicurigai dan menanyakan identitasnya 4) Melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan dan penyitaan 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan 6) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat 7) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang 8) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 9) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara 10) Mengadakan penghentian penyidikan penyidikan 11) Tindakan lain yang bertanggung jawab 12) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum 13) Membuat dan penyampaikan laporan hasil tindakan-tindakan yang telah dilakukan Penyidik dalam setiap tindakan penyidikan harus membuat berita acara terhadap semua tindakan-tindakan penyidikan seperti: 1) Pemeriksaan tersangka 30

19 2) Penangkapan 3) Penahanan 4) Penggeledahan 5) Pemeriksaan rumah 6) Penyitaan benda 7) Pemeriksaan surat 8) Pemeriksaan saksi 9) Pemeriksaan ditempat kejadian 10) Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan (setelah ada penetapan dan putusan) Pasal 7 KUHAP Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. Memanggil seorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar 31

20 hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a. Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku Ibid hal

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang Mengingat : : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 32 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak pidana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA A. Pengaturan Sanksi Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Pedofilia 1. pengaturan Sanksi Menurut

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK C. Tindak Pidana Persetubuhan dalam KUHPidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N : WALIKOTA JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DAN PERBUATAN ASUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang a. bahwa pelacuran dan perbuatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HULU, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Rokan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengertian Anak 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 10 2.

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS, PERATURAN DAERAH MUSI RAWAS NOMOR : 9 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERANTASAN MAKSIAT DI KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan Otonomi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 09 TAHUN 2009 TENTANG PENERTIBAN DAN PENANGGULANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM WILAYAH KABUPATEN KUTAI BARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PROSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PROSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PROSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU Menimbang : a. bahwa Prostisusi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG LARANGAN PERBUATAN ASUSILA, PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM WILAYAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 41 BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa pelacuran

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS

PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS Menimbang : a. bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN

Lebih terperinci

BAB III PERILAKU SEKSUAL SEJENIS (GAY) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB III PERILAKU SEKSUAL SEJENIS (GAY) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 38 BAB III PERILAKU SEKSUAL SEJENIS (GAY) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Konsep Perkawinan Dalam Hukum Positif 1. Pengertian Perkawinan Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 8

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 8 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG PENYAKIT

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA 1 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang :

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Pidana Cabul Kepada Anak Di Bawah Umur Menurut Pasal 294 Dan Pasal 13 UU No.23 Tahun 2002 Untuk melindungi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENANGGULANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM WILAYAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 4 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOLAKA UTARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 4 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 4 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1. Kemampuan Bertanggung Jawab Adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang cukup menyita waktu, khususnya persoalan pribadi yang

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang cukup menyita waktu, khususnya persoalan pribadi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam perjalanan tahun ini, kita telah dihadapi dengan bermacammacam persoalan yang cukup menyita waktu, khususnya persoalan pribadi yang terjadi pada kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SOLOK, Menimbang : a. bahwa untuk menjunjung

Lebih terperinci

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG A. PENGANIAYAAN Kejahatan terhadap tubuh orang lain dalam KUHP diatur pada pasal 351-358 KUHP. Penganiayaan diatur dalam pasal 351 KUHP yang merumuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kata dasar sidik yang artinya memeriksa dan meneliti. Kata sidik diberi

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kata dasar sidik yang artinya memeriksa dan meneliti. Kata sidik diberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Penyelidikan dan Penyidikan dipisahkan artinya oleh Kitap Undangundang Hukum Pidana (KUHAP), menurut bahasa Indonesia kedua kata tersebut berasal dari kata dasar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS Nomor 7 Tahun 2002 Seri D PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS Menimbang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penahanan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan, serta pelaksanaan putusan

II. TINJAUAN PUSTAKA. penahanan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan, serta pelaksanaan putusan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Peradilan pidana 1. Pengertian Proses peradilan pidana Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan keamanan dan ketentraman

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR

PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOST DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAKASSAR, Menimbang : a. bahwa dengan perkembangan Kota Makassar yang semakin

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU, Menimbang : a. bahwa Pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 19 TAHUN : 1999 SERI : C.1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMYU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 19 TAHUN : 1999 SERI : C.1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMYU LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 19 TAHUN : 1999 SERI : C.1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMYU NOMOR 7 TAHUN 1999 T E N T A N G P R O S T I T U S I DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002

PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002 PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG PENERTIBAN DAN PENANGGULANGAN PEKERJA SEK KOMERSIAL DALAM WILAYAH KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA W A L I K O T A S A M A R

Lebih terperinci

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3)

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3) Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dari penelantaran, diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi dan/atau seksual, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, perlakuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 5 TAHUN 2007 T E N T A N G LARANGAN PELACURAN DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 5 TAHUN 2007 T E N T A N G LARANGAN PELACURAN DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 5 TAHUN 2007 T E N T A N G LARANGAN PELACURAN DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa pelacuran merupakan perbuatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 2 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG ANTI PERBUATAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 05 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 05 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 16 LEMBARAN DAERAH Januari KABUPATEN LAMONGAN 5/E 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 05 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015 Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015 Pendahuluan Tahun 2015 ini dapat dikatakan menjadi

Lebih terperinci

DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG

DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah;

PERATURAN DAERAH. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah; PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II MUSI RAWAS NOMOR : 6 TAHUN 1993 T E N T A N G LARANGAN MELAKUKAN PERBUATAN TUNASUSILA ATAU KEGIATAN YANG SEJENISNYA DENGAN ITU DALAM KABUPATEN DAERAH TINGKAT

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. IPDA Yospin Ngii 2. AIPDA Yan Aswati 3. BRIPTU Eva Ratna Sari 4. BRIPDA Luci Armala Wardani 5. BRIPDA Ida Ayu Sri Dian Lestari 6. BRIPDA Widya Windiarti 7. BRIPDA Oktaviana Siburian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 05 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DALAM KABUPATEN PROBOLINGGO BUPATI PROBOLINGGO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 05 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DALAM KABUPATEN PROBOLINGGO BUPATI PROBOLINGGO, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 05 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DALAM KABUPATEN PROBOLINGGO BUPATI PROBOLINGGO, Menimbang : Bahwa dalam rangka mewujudkan ketertiban umum dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

BAB II TINJAUAN UMUM. Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Korban Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang yang telah mendapat

Lebih terperinci

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? RUU Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum positif, artinya hukumhukum yang berlaku di Indonesia didasarkan pada aturan pancasila, konstitusi, dan undang-undang

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016 MENGGERAKKAN ORANG YANG BELUM DEWASA UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN CABUL SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KESUSILAAN MENURUT PASAL 293 KUHP 1 Oleh: Calvin Edgar Tengker 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 266/PID.SUS/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 266/PID.SUS/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 266/PID.SUS/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN USAHA HOTEL DENGAN TANDA BUNGA MELATI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN USAHA HOTEL DENGAN TANDA BUNGA MELATI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN USAHA HOTEL DENGAN TANDA BUNGA MELATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

H M ISTAR A R RI R TON O G N A G, A

H M ISTAR A R RI R TON O G N A G, A PERBUATAN CABUL Dr.H. MISTAR RITONGA, SpF. Dr.H. GUNTUR BUMI NASUTION, SpF DEFENISI Percabulan : Adalah perbuatan yang sengaja untuk meningkatkan nafsu seks di luar perkawinan. FAKTA PERBUATAN CABUL Mrpkn

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang Mengingat : a. bahwa pelacuran bertentangan dengan norma

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2003 T E N T ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN JEMBRANA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2003 T E N T ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN JEMBRANA Klik Perubahan Ke Perda 9 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2003 T E N T ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana: 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pemidanaan Dan Penjatuhan Pidana Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana: 1. Teori Relatif atau tujuan ( doeltheorien ) Menurut teori ini suatu

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 654/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 654/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 654/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

Pelanggaran terhadap nilai-nilai kesopanan yang terjadi dalam suatu. masyarakat, serta menjadikan anak-anak sebagai obyek seksualnya merupakan

Pelanggaran terhadap nilai-nilai kesopanan yang terjadi dalam suatu. masyarakat, serta menjadikan anak-anak sebagai obyek seksualnya merupakan BAB IV ANALISIS SANKSI PIDANA PEDOPHILIA DALAM PASAL 82 UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF MAQA>S}ID AL- SYARI>`AH A. Analisis Pasal 82 Undang-Undang no. 23

Lebih terperinci

BAB III SANKSI BAGI PELAKU PERZINAAN DALAM PASAL 284 KUHP PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

BAB III SANKSI BAGI PELAKU PERZINAAN DALAM PASAL 284 KUHP PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM BAB III SANKSI BAGI PELAKU PERZINAAN DALAM PASAL 284 KUHP PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM A. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-unsur Tindak Pidana Perzinaan Dalam Pasal 284 KUHP Perbuatan pidana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, Menimbang Mengingat : : a. bahwa pelacuran adalah merupakan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

K E P E N D U D U K A N

K E P E N D U D U K A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG K E P E N D U D U K A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk kelancaran, ketertiban

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN TEMPAT PELACURAN DAN PERBUATAN CABUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN TEMPAT PELACURAN DAN PERBUATAN CABUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA S A L I N A N Nomor : 04/E, 2005 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN TEMPAT PELACURAN DAN PERBUATAN CABUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Repulik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Repulik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 18 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 18 TAHUN 2012 Menimbang : LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN. di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dibentuk berdasarkan hukum dan telah di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap pergerakan atau perbuatan

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan BAB IV ANALISIS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURABAYA DALAM PERKARA PENCABULAN YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan rumah kos sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG LARANGAN PERBUATAN TUNA SUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG LARANGAN PERBUATAN TUNA SUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG LARANGAN PERBUATAN TUNA SUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa Pembangunan Daerah Kota Tarakan merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR : 15 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM WILAYAH KOTA BANDAR LAMPUNG

PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR : 15 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM WILAYAH KOTA BANDAR LAMPUNG Page 1 of 5 PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR : 15 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM WILAYAH KOTA BANDAR LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa pelacuran merupakan

Lebih terperinci