RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XII/2014 Alasan Pemberatan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Transkripsi

1 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XII/2014 Alasan Pemberatan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON 1. Doni Istyanto Hari Mahdi, sebagai Pemohon I; 2. Muhammad Umar, S.H., sebagai Pemohon II. KUASA HUKUM Dwi Istiawan, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Februari II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1) Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.; 2) Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun ) Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundangundangan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut; a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ; 4) Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan para Pemohon a quo.

2 IV. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia dan pernah melaporkan tindak pidana korupsi pengadaan alat rontgen portable untuk daerah tertinggal pada tahun 2007 di Kementerian Kesehatan dengan nilai kerugian negara sekitar Rp Miliar dan telah diputus dengan putusan memvonis 3 (tiga) tahun penjara bagi terdakwa. Pemohon dalam hal ini merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. V. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu : Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28H ayat (1) ayat (4) UUD 1945 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD Mengenai alasan pemberatan pidana, yurisprudensi Mahkamah Agung menyebutkan bahwa pemberatan pidana tidak dapat dijatuhkan secara bebas melainkan dengan alasan yang sah menurut hukum, dalam hal ini Mahkmah Agung dalam perkara nomor 85 K/Mil/2006 membatalkan vonis mati terhadap Kolonel M. Irfan Djumroni;

3 2. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut memberikan definisi bahwa tindak pidana korupsi dapat diperberat penjatuhan pidananya apabila adanya gabungan perbuatan, dan hal ini menjadi sebuah ironi jika diberlakukan bagi tindak pidana korupsi; 3. Ketentuan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menjadi cara bagi koruptor untuk mendapatkan keringanan karena pelaku sadar bahwa ketentuan hukuman maksimal dan/atau pidana mati tidak dapat diterapkan; 4. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan selama ini menjadi siasia dengan berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, karena pelaku tidak dapat dijerat dengan pidana maksimal yang merupakan hukuman dimana diharapkan menimbulkan efek jera bagi seseorang dan/atau penyelenggara negara yang akan melakukan tindak penyimpangan berupa korupsi. VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon; 3. Menyatakan para Pemohon mempunyai kedudukan hokum (legal standing) untuk mengajukan permohnan a quo; 4. Menyatakan frasa keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai hal yang menyababkan telah terjadinya kerugian Negara dalam jumlah yang sangat besar lebih dari Rp ,- (lima puluh miliar rupiah) atau yang dapat menyebankan hilangnya kepercayaan rakyat kepada Lembaga Negara, Aparat Penegak 5. Menyatakan frasa keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang tidak dimaknai hal yang menyebabkan telah terjadinya kerugian Negara dalam jumlah yang sangat besar lebih dari Rp ,- (lima puluh miliar rupiah) atau yang dapat menyebankan hilangnya kepercayaan rakyat kepada Lembaga Negara, Aparat Penegak 6. Menyatakan frasa yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap

4 penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945; 7. Menyatakan frasa yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki kekuatan hokum mengikat sehingga Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksud menjadi yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alas an pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi: 8. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya; Apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Catatan: Perubahan pada norma yang diujikan a. Permohonan Awal Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi b. Perbaikan Permohonan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perubahan pada norma yang menjadi dasar pengujian a. Permohonan Awal Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 b. Perbaikan Permohonan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 Perubahan pada Petitum a. Permohonan Awal 1. Menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus perkara yang diajukan Pemohon;

5 2. Menyatakan bahwa Pemohon memiliki hak-hak konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan dirugikan dengan berlakunya Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sepanjang frasa yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi ; 3. Menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sepanjang frasa yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 oleh karenanya mohon dinyatakan tidak berkekuatan hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum; Apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). b. Perbaikan Permohonan 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon; 3. Menyatakan para Pemohon mempunyai kedudukan hokum (legal standing) untuk mengajukan permohnan a quo; 4. Menyatakan frasa keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai hal yang menyababkan telah terjadinya kerugian Negara dalam jumlah yang sangat besar lebih dari Rp ,- (lima puluh miliar rupiah) atau yang dapat menyebankan hilangnya kepercayaan rakyat kepada Lembaga Negara, Aparat Penegak 5. Menyatakan frasa keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang tidak dimaknai hal yang menyebabkan telah terjadinya kerugian Negara dalam jumlah yang sangat besar lebih dari Rp ,- (lima puluh miliar rupiah) atau yang dapat menyebankan

6 hilangnya kepercayaan rakyat kepada Lembaga Negara, Aparat Penegak 6. Menyatakan frasa yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945; 7. Menyatakan frasa yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki kekuatan hokum mengikat sehingga Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksud menjadi yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alas an pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi: 8. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya; Apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).