ARRUM BUDI LEKSONO ABSTRACT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ARRUM BUDI LEKSONO ABSTRACT"

Transkripsi

1 Wewenang Pengadilan Negeri Dalam Memutus Sah Atau Tidaknya Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi Menurut Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ARRUM BUDI LEKSONO ABSTRACT Criminal Procedure regulated in Law Number 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure. In Law No. 8 of 1981 on the Criminal Code provisions that pretrial is regulated authority held by the District Court. The object of pretrial provided for in Article 77 of Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure which states that "the District Court is authorized to examine and decide in accordance with the provisions of this law on: a. The validity of the arrest, detention, investigation termination or cessation of prosecution; b. Compensation and rehabilitation for a criminal case that was stopped at the level of investigation or prosecution. If the starting point of these provisions, the object of pretrial not legal materials of the case. In addition, pretrial contained in the Criminal Procedure Code has the function just as examinating judge against forceful measures, if forceful measures than those stipulated in the Criminal Procedure Code, it is not the authority of the District Court to watch her. In connection with this, the researchers discovered the existence of a false indication that the application of Article Pretrial numbers in Decision 04 / Pid.Prap / 2015 / PN.Jkt.Sel. In the decision, the judge granted the request Sarpin Rizaldi determination of the Commissioner-General Budi Gunawan suspects. Commissioner General Budi Gunawan charged under the Corruption Eradication Commission on Article 12 (a) or (b), Article 5, paragraph (2), Article 11 or Article 12 (b) of Law No. 31 of 1999 in conjunction with Law No. 20 of 2001 on Corruption Eradication in conjunction with Article 55 paragraph (1) of the Criminal Justice Act. The method used is a normative juridical, using secondary data were analyzed qualitatively. The results showed that the Pretrial Decision 04 / Pid.Prap / 2015 / PN.Jkt.Sel determination on a petition against the alleged suspects Budi Gunawan contrary to the principle of legality that prohibits dilakukakan interpretation on the provisions of the Criminal Procedure Code because in it very limitedly or clear. ABSTRAK

2 Hukum Acara Pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP diatur ketentuan bahwa praperadilan adalah wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri. Adapun objek praperadilan diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini tentang: Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Jika bertitik tolak dari ketentuan tersebut maka objek praperadilan bukan materi hukum dari perkara tersebut. Selain itu, praperadilan yang terdapat dalam KUHAP mempunyai fungsi hanya sebagai examinating judge terhadap upaya paksa, apabila upaya paksa selain yang diatur dalam KUHAP, maka bukan wewenang Pengadilan Negeri untuk mengawasinya. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti menemukan adanya suatu indikasi penerapan pasal yang keliru yaitu dalam Putusan Praperadilan nomor 04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel. Dalam putusan tersebut, hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan penetapan tersangka Komisaris Jendral Budi Gunawan. Komjen Budi Gunawan dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi atas Pasal 12 (a) atau (b), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12 (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang mengabulkan permohonan penetapan tersangka terhadap tersangka Budi Gunawan bertentangan dengan asas legalitas yang melarang dilakukakan penafsiran pada KUHAP karena ketentuan yang ada di dalamnya sangat limitatif atau jelas. Kata Kunci : Tipikor, Penyidik, Peradilan Pidana A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

3 Praperadilan merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara tentang keabsahan tindakan yang dilakukan penyidik dan penuntut umum kepada tersangka sebelum diajukan ke pengadilan. Dengan adanya lembaga praperadilan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap penegak hukum ketika menjalankan tugas peradilan pidana. 1 Dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP diatur mengenai objek praperadilan yang menyebutkan sebagai berikut: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Selain itu, Loebby Loqman mengemukakan pendapat tentang definisi praperadilan adalah sebagai berikut: Praperadilan adalah lembaga yang mempunyai tugas untuk menjaga kedua kepentingan yang saling berhadapan, yakni polisi dan jaksa disatu pihak, hak-hak tersangka dan terdakwa dilain pihak. Perwujudan praperadilan dalam KUHAP memberikan pengaturan tentang hakim yang telah berperan aktif dalam fase pemeriksaan pendahuluan, akan tetapi terbatas hanya pada upaya paksa saja, yakni perihal keabsahan suatu penangkapan serta keabsahan penahanan yang juga disertai penetapan ganti rugi serta rehabilitasinya. 2 Objek praperadilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP lahir karena pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan penyidik maupun penuntut umum tidak mampu melindungi hak asasi manusia pada setiap tersangka/terdakwa, yang diduga melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, praperadilan dimaksudkan sebagai pengawasan horizontal oleh hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan penyidikan dan penuntutan yang menyangkut upaya paksa. 3 Aturan-aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP merupakan hukum pidana formil yang mengatur tentang tata cara beracara dalam proses peradilan sehingga tidak dapat ditafsirkan. Ganjar Laksamana Bonaprata mengemukakan KUHAP sebagai hukum tentang tata acara yang berisikan tata cara 1 Loebby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Ghalia, 1987, hlm Ibid,. 3 Darwan Prinst, Praperadilan Dan Perkembangan Di Dalam Praktek, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 3.

4 yang diperbolehkan menurut hukum, sehingga hal-hal yang tidak diatur didalamnya bukanlah tata cara/cara-cara yang diperbolehkan. 4 Jika bertitik tolak dari hal tersebut, maka tersangka yang mengajukan gugatan praperadilan terkait atas keabsahan kewenangan yang dilakukan oleh penyidik, dalam hal melakukan upaya penahanan, penangkapan, penyelidikan dan penuntutan. Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dari definisi penyidik dalam KUHAP di atas maka selain dari pejabat kepolisian penyidik juga dapat berasal pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang memang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dalam tindak pidana korupsi, kewenangan melakukan penyidikan diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal tersebut diatur dalam Pasal 4 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun tugas dari KPK diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Selain itu, KPK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf (c), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 4 Gandjar Laksamana Bonaprata, Analisis atas Putusan Praperadilan BG, disampaikan pada seminar tentang Dampak Putusan Praperadilan Budi Gunawan yang diselenggarakan oleh UPN Veteran Jakarta, 1 April 2015, hlm. 3.

5 b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp ,00 (satu milyar rupiah). Kewenangan KPK sebagai penyidik juga diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu: 1. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini. 2. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. 3. Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hubungan dengan ketentuan yang telah diuraikan, peneliti membahas suatu kasus tentang praperadilan. Pada tanggal 13 (tiga belas) Februari 2015 di Pengadilan Jakarta Selatan digelar sidang praperadilan selama 7 (tujuh) hari atas pemohon Budi Gunawan (BG) dan termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 5 Pada tanggal 13 (tiga belas) Januari 2015 KPK mengumumkan penetapan BG sebagai tersangka. BG ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi atas transaksi mencurigakan. 6 KPK menjerat BG dengan Pasal 12 (a) atau (b), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12 (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. 7 Pada tanggal 16 (enam belas) Februari 2015, hakim Sarpin Rizaldi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK tidak sah secara hukum. Hal tersebut dituangkan dalam putusan Nomor.04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel Adapun isi putusan tersebut adalah: 1. Mengabulkan gugatan pemohon terkait penetapan tersangka. 2. Menyatakan sprindik KPK tidak sah. 3. Menyatakan penet\apan tersangka tidak sah. 5 Linda Trianita, Kronologi Penetapan Budi Gunawan Sebagai Tersangka, tempo.co /read /news/, diakses pada tanggal 16 Maret Ibid,. 7 Ibid,.

6 4. Menyatakan segala keputusan atau penetapan KPK lebih lanjut terkait penetapan tersangka pemohon tidak sah. 8 Adapun yang menjadi dasar pertimbangan dari dikabulkannya permohonan pemohon Budi Gunawan adalah termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi terhadap pemohon yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Bahwa berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang KPK, termohon mempunyai wewenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan; c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp ,- (satu milyar Rupiah). 2. Bahwa dalam perkara ini, pemohon ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana yang dilakukan pada saat pemohon menjabat sebagai Karobinkar (Kepala Biro Pembinaan Karir), yang merupakan jabatan administratif dengan golongan eselon II Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti menetapkan pokok permasalahan sebagai berikut : Apakah jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir (Karobinkar) yang diduduki oleh Komjen Budi Gunawan pada waktu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK adalah suatu jabatan yang termasuk penyelenggara negara dan penegak hukum? 3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memiliki tujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan permasalahan jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir (Karobinkar) yang diduduki oleh Komjen Budi Gunawan pada waktu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah termasuk penyelenggara negara dan penegak hukum. b. Kegunaan Penelitian 8 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap /2015 /PN. Jkt.Sel., hlm Ibid., hlm

7 Penelitian ini dilakukan dengan maksud memiliki kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Adapun kegunaan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Kegunaan Teoritis Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan memiliki kegunaan untuk dapat mengembangkan ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana. 2) Kegunaan Praktis Penelitian ini dilakukan dengan mempunyai kegunaan secara praktis yaitu untuk menghasilkan bahan masukan yang dapat disampaikan kepada lembaga-lembaga negara, hakim serta penegak hukum. Selain itu dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan perihal permohonan penetapan tersangka dalam praperadilan.\ B. LITERATURE REVIEW 1. Kerangka Teoritis a. Asas Legalitas Arief Sidharta, mengemukakan tentang asas legalitas yaitu sebagai berikut: Dalam hukum pidana itu berlaku asas legalitas, yang bisa mengikat orang itu hanya yang tercantum dalam Undang-Undang. Juga dalam hukum acara pidana sebagai hukum prosedural yang mengatur tentang bagaimana hukum pidana materil dilaksanakan, itu tidak dapat disimpangi dan harus diberlakukan secara ketat. Oleh karena itu interpretasi yang dapat digunakan untuk menafsirkan pasal sangat terbatas. Hanya dapat dilakukan secara gramatikal dan sistematis. Dalam hukum acara sama sekali tidak dapat dilakukan penafsiran, karena ketentuan yang ada di dalamnya sangat limitatif atau jelas. Dalam hukum pidana sendiri pun penafsiran dibatasi, hanya penafsiran ekstensif saja yang dapat dilakukan. Metode penafsiran analogis dan juga pengkonstruksian hukum itu tidak diperkenankan dalam hukum pidana. 10 Demikian pula Andi Hamzah berpendapat sama mengenai asas legalitas yaitu: Asas legalitas yang terdapat di dalam KUHAP berlainan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materil, didalam KUHAP asas legalitas mengandung arti bahwa hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan cara yang diatur oleh undang-undang. Jadi tidak boleh peraturan yang lebih rendah dari Undang- Undang (dalam arti formil) memuat peraturan acara pidana. 11 b. Teori Kewenangan Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan 10 Charlie Albajili dan Lintang Setianti, Arief Sidhar- ta: Sarpin Salah Mengartikan Pendapat Saya, diakses pada tanggal 9 April Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Pertama, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2008, hlm. 10.

8 eksekutif/administratif. 12 Dalam kewenangan yang diberikan tersebut terdapat wewenang-wewenang. 13 Secara teori, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu: atribusi, delegasi, sub delegasi dan mandat. 2. Kerangka Konsep Ruang lingkup praperadilan adalah berada dalam lingkungan peradilan umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yaitu Undang-Undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkup peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Sedangkan pengertian tentang Peradilan Umum diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang mengatakan Peradilan Umum adalah adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. C. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah suatu penelitian yang memiliki objek kajian berupa norma-noma hukum sebagai produk manusia. 14 Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder yang sudah di dokumentasikan sehingga merupakan data yang sudah siap pakai Metode Pengumpulan Data Didalam penelitian ini menggunakan data skunderpenelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan membaca literatur, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang terkait, hasil penelitian (skripsi, tesis dan disertasi) yang berhubungan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Data skunder ini meliputi: 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yang terdiri terdiri dari: a) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. b) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. d) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 12 Wiratno, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2009, hlm Ibid,. 14 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 1985, hlm Hotma P. Sibuea dan Heryberthus Sukartono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Krakatauw Book, 2009, hlm. 81.

9 e) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. f) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. g) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang meliputi literatur/buku-buku, hasil penelitian hukum dan tulisan ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan dengan judul skripsi. 3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Black s Law Dictionary, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris. 3. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analis data dengan menggunakan metode penafsiran. Metode penafsiran adalah argumentasi yang membenarkan formulasi (rumusan) suatu peraturan. Beberapa metode penafsiran yaitu metode penafsiran gramatikal, teologis atau sosiologis, sistematis, historis, komparatif dan futuristis. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penafsiran gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna dan ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan kasus atau case approach adalah suatu pendekatan dalam penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. 17 Sedangkan statute approach atau pendekatan perundang-undangan adalah suatu pendekatan dalam penelitian yuridis normatif yang akan menggunakan sebagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 18 D. HASIL Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah institusi kepolisian nasional di Indonesia yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan 16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1989, hlm Johnny Ibrahim, Teori & Metode Peneltian Hukum Normatif, Malang, Penerbit Bayu Media, 2005, hlm Ibid., hlm.305.

10 lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, kedudukan POLRI diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Jika bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka polisi adalah sebagai pengemban tugas Presiden. Dengan demikian dapat diartikan bahwa Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan eksekutif mendelegasikan sebagaian kekuasaannya kepada Polri dibidang pemeliharaan ketertiban masyarakat. 19 Sebagai pemgemban tugas eksekutif yang menjalankan perintah langsung dari Presiden, maka anggota polri dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penyelenggara negara juga terlihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagai pengawai negeri, Polisi memiliki fungsi-fungsi yang sama dengan pegawai negeri lainnya. Adapun fungsi pegawai negeri tersebut disajikan oleh Rozalli Abdullah yaitu sebagai sebagai aparatur negara, sebagai abdi negara, sebagai abdi masyarakat, menyelenggarakan tugas pemerintahan, menyelenggarakan tugas pembangunan. 20 Berdasarkan fungsi pegawai negeri tersebut, maka dapat dicermati bahwa fungsifungsi pegawai negeri sama dengan pengertian dari penyelenggara Negara. Penyelenggara Negara terdiri dari dua kata, Penyelenggara dan Negara. Kata penyelenggara berasal dari kata selenggara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata selenggara yang memiliki makna yaitu Mengurus dan mengusahakan sesuatu, melakukan atau melaksanakan perintah undang-undang, rancangan, rencana dan sebagainya. 21 Dengan demikian penyelenggara bermakna sebagai orang yang melakukan sesuatu, mengusahakan sesuatu, melakukan atau melaksanakan perintah undang-undang, rancangan tersebut. Selain itu kata Negara ditemukan juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki makna yaitu Organisasi disuatu wilayah yang mempunyai kekuasaan yang sah dan diikuti oleh rakyatnya, yang keberadaan pendiriannya telah diakui secara internasional. 22 Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penyelenggara Negara adalah orang yang menyelenggarakan, atau melakukan tugas dan urusan dari suatu Negara. Dengan demikian penyelenggara negara dapat disebut juga sebagai aparatur Negara yaitu alat negara. Sehubungan dengan hal tersebut, Ridwan HR mengemukakan pendapat yang sama bahwa jabatan Budi Gunawan masuk dalam kualifikasi pejabat publik, sehingga masuk kategori penyelenggara negara. 23 Pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sementara, yang 19 Ferdinan Waskita, Kapolri Sutarman Tolak Polri Berada Dibawah Kementrian, http: // diakses pada tanggal 26 Oktober Rozali Abdullah, Hukum Kepegawaian, Cetakan Pertama, Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, 1986, hlm Team Pustaka Phoenix (Sri Wahyuni,Hery Azwan,Haryo Daniel dan Marwanto), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Phoenix, 2007, hlm Ibid., hlm Singgih Soares, Pakar: Budi Gunawan Termasuk Penegak Hukum Dan Pejabat Negara, tempo.co/read/news, diakses pada tanggal 10 November 2015.

11 dimaksud badan publik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan sebagai berikut: Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Dengan demikian, jika bertitik tolak dari putusan hakim Sarpin Rizaldi Nomor 04/Pid.Prap/2015 /PN.Jkt, peneliti mengemukakan isi pertimbangan yang dikemukakan hakim sarpin Rizaldi kurang tepat. Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Peyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme yang menyebutkan Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa polisi berada di bawah Presiden dan oleh karena itu secara langsung merupakan lembaga eksekutif, maka dengan demikian polisi dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Selain jabatan-jabatan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, ketentuan mengenai penyelenggara Negara juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberatasan Korupsi. Berdasarkan intruksi tersebut, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), yang mewajibkan jabatan-jabatan selain yang telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, untuk melaporkan hasil kekayaannya. Jabatan-jabatan tersebut yaitu: a. Pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan atau lembaga negara; b. Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan; c. Pemeriksa Bea dan Cukai; d. Pemeriksa Pajak; e. Auditor; f. Pejabat yang mengeluarkan perijinan; g. Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan h. Pejabat pembuat regulasi.

12 Dari ketentuan tersebut, dijelaskan bahwa jabatan eselon II dimasukkan sebagai salah satu penyelenggara negara yang memiliki wewenang dan kewajiban yang sama dengan penyelenggara lainnya. Oleh karena itu jabatan Karobinkar yang diduduki oleh Budi Gunawan yang setingkat dengan Eselon II adalah salah satu jabatan penyelenggara negara. Selain sebagai penyelenggara negara, berdasarkan statusnya sebagai anggota Polri, Budi Gunawan juga disebut sebagai penegak hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000, bahwa salah satu tugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum. Dengan demikian, pertimbangan hukum hakim sarpin Rizaldi menurut peneliti sangat keliru dengan menyatakan bahwa Komjen Budi Gunawan bukanlah seorang penegak hukum. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia sangat jelas dinyatakan bahwa Polisi merupakan penegak hukum. Dalam doktin hukum dikenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim. 24 Ketiga profesi itulah yang berfungsi sebagai aparatur negara yang diberikan tugas khusus untuk menegakkan hukum. 25 Hal ini ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum negara. Doktrin ini dapat temukan dalam dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. 26 Sehubungan dengan hal tersebut, Momo Kelana mengemukakan pendapat bahwa: Semua polisi merupakan penegak hukum. Penegak hukum itu terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, hakim, dan advokat. Dengan demikian tidak ada istilah advokat administrasi, begitu juga dengan jaksa, polisi, dan hakim. Polri memiliki peranan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranyanya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 27 Selain itu, Sidharta juga mengemukakan pendapat yang akan dijelaskan sebagai berikut: Saat seseorang dilantik sebagai anggota polisi, orang itu berprofesi sebagai polisi dan profesi polisi itu adalah penegak hukum. Meskipun dia diposisikan lebih kepada administarif, dia tetap penegak hukum karena profesi polisinya tidak dia tanggalkan. Misalnya saja, seorang polisi lalu-lintas (Polantas) yang ditugaskan untuk menangani administrasi di Samsat. Polantas tersebut tetap penegak hukum Oce Madril, Putusan Sesat Praperadilan, Peneneliti PUKAT FH UGM, ugm.ac.id/, diakses pada tanggal 1 November Ibid,. 26 Satjipto Raharjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Masyarakat Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas, 2008, hlm Momo Kelana, Hukum Kepolisian (Perkembangan Hukum Kepolisian Di Indonesia) Suatu Studi Historatif Komparatif, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Jakarta, Penerbit Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, hlm Nov, Profesi Polisi Adalah Aparat Penegak Hukum, diakses pada tanggal 20 Januari 2016.

13 Dengan demikian, jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir yang diduduki Budi Gunawan selaku polisi tetap melekat. Sesuai Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian juga menyebutkan Polri bertujuan mewujudkan tegaknya hukum. Oleh karena itu, apapun jabatan yang disandang anggota polisi, tetap saja profesi mereka sebagai polisi yang merupakan aparat penegak hukum. E. KESIMPULAN Berdasarkan analisis masalah yang telah peneliti kemukakan pada bagian terdahulu, maka peneliti mengambil suatu kesimpulan bahwa jabatan Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) yang diduduki oleh Komjen Budi Gunawan pada saat ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk salah satu jabatan penyelenggara negara dan penegak hukum. Adapun dasar untuk menguatkan pernyataan tersebut bahwa kepolisian merupakan lembaga eksekutif yang berfunsgsi dalam menyelenggarakan kepentingan umum (public servant), dengan demikian setiap anggota polisi dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Selain itu, lembaga Kepolisian diberikan wewenang oleh undang-undang sebagai penyelidik dan penyidik perkara tindak pidana, berdasarkan fungsi tersebut maka Polisi disebut sebagai penegak hukum. F. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Pertama, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, Darwan Prinst, Praperadilan Dan Perkembangan Di Dalam Praktek, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Gandjar Laksamana Bonaprata, Analisis atas Putusan Praperadilan BG, disampaikan pada seminar tentang Dampak Putusan Praperadilan Budi Gunawan yang diselenggarakan oleh UPN Veteran Jakarta, 1 April Hotma P. Sibuea dan Heryberthus Sukartono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Krakatauw Book, Johnny Ibrahim, Teori & Metode Peneltian Hukum Normatif, Malang, Penerbit Bayu Media, Loebby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Ghalia, 1987, hlm Momo Kelana, Hukum Kepolisian (Perkembangan Hukum Kepolisian Di Indonesia) Suatu Studi Historatif Komparatif, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Jakarta, Penerbit Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Rozali Abdullah, Hukum Kepegawaian, Cetakan Pertama, Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, Team Pustaka Phoenix (Sri Wahyuni,Hery Azwan,Haryo Daniel dan Marwanto), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Phoenix, 2007.

14 Satjipto Raharjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Masyarakat Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas, 2008, hlm. 35. Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1989, hlm Wiratno, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2009, hlm.

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN Oleh : Wajihatut Dzikriyah I Ketut Suardita Bagian Peradilan, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

JURNAL PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA

JURNAL PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA JURNAL PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA ( Studi Kasus Putusan No: 02/Pid.Prap/2015/PN.Pwt dan 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL

PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL Oleh: FATHUL M. DZIKRI NPM: 1210012111060 Bagian Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2016 No.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA oleh Cok Istri Brahmi Putri Biya Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Article titled

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tergambar jelas bahwa KUHAP sangat menjunjung tinggi hakhak asasi manusia terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK

KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK NASKAH PUBLIKASI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan

Lebih terperinci

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) Oleh : Ni Made Ira Sukmaningsih Tjok Istri Putra Astiti Bagian Hukum Acara Fakultas

Lebih terperinci

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015 KAJIAN TENTANG PRAPERADILAN DALAM HUKUM PIDANA S. Wulandari, SH.MHum.MKn sriwulan_@yahoo.co.id Program Studi Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang Abstrak Eksistensi dan kehadiran praperadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini telah berada dalam tahap yang parah, mengakar dan sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Pande Made Kresna Wijaya I Nyoman Suyatna Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Authority investigation

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan dimana kedudukan itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN YANG MENGABULKAN TUNTUTAN PRAPERADILAN TENTANG TIDAK SAHNYA STATUS TERSANGKA

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN YANG MENGABULKAN TUNTUTAN PRAPERADILAN TENTANG TIDAK SAHNYA STATUS TERSANGKA ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN YANG MENGABULKAN TUNTUTAN PRAPERADILAN TENTANG TIDAK SAHNYA STATUS TERSANGKA NASKAH PUBLIKASI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

PENELITIAN HUKUM PERANAN HAKIM PRA PERADILAN DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK TERSANGKA PERKARA PIDANA

PENELITIAN HUKUM PERANAN HAKIM PRA PERADILAN DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK TERSANGKA PERKARA PIDANA PENELITIAN HUKUM PERANAN HAKIM PRA PERADILAN DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK TERSANGKA PERKARA PIDANA Disusun Oleh: SINAR DOHARTA GINTING NPM : 04.05.08686 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

PERATURAN MENGENAI LHKPN Kewajiban Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur dalam:

PERATURAN MENGENAI LHKPN Kewajiban Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur dalam: Mengenai LHKPN PERATURAN MENGENAI LHKPN Kewajiban Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur dalam: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penulisan dari penulis yang berupa pembahasanpembahasan yang telah diuraikan dalam BAB I, BAB II dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia

Lebih terperinci

KEWENANGAN MELAKUKAN DISKRESI OLEH PENDAHULUAN PENYIDIK MENURUT UU NO. 2 TAHUN 2002 A.

KEWENANGAN MELAKUKAN DISKRESI OLEH PENDAHULUAN PENYIDIK MENURUT UU NO. 2 TAHUN 2002 A. KEWENANGAN MELAKUKAN DISKRESI OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN 1 Oleh : Revico Patroli 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BENTURAN KEWENANGAN POLRI DAN KPK SEBAGAI PENYIDIK DALAM KASUS SIMULATOR SIM (Kajian Yuridis Penyelesaian Melalui Memorandum of Understanding)

BENTURAN KEWENANGAN POLRI DAN KPK SEBAGAI PENYIDIK DALAM KASUS SIMULATOR SIM (Kajian Yuridis Penyelesaian Melalui Memorandum of Understanding) 1 BENTURAN KEWENANGAN POLRI DAN KPK SEBAGAI PENYIDIK DALAM KASUS SIMULATOR SIM (Kajian Yuridis Penyelesaian Melalui Memorandum of Understanding) JURNAL ILMIAH Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN. SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PERKARA PRAPERADILAN TENTANG PERMINTAAN REHABILITASI TERHADAP TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN (Putusan Nomor : 01/Pid.PRA/2002/PN.Spg) JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945. Negara juga menjunjung tinggi hak asasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) Oleh : I Gusti Ayu Dwi Andarijati I Nengah Suharta Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Korupsi adalah masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN Diajukan Oleh: HENDRA WAGE SIANIPAR NPM : 100510247 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum

Lebih terperinci

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015 Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015 Presiden Joko Widodo menghadapi ujian mahadahsyat setelah permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode 32 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan hal yang ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode penelitian hukum merupakan suatu

Lebih terperinci

KEWENANGAN PRAPERADILAN TERHADAP PERMOHONAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN YANG DIAJUKAN OLEH TERSANGKA (STUDI KASUS PUTUSAN

KEWENANGAN PRAPERADILAN TERHADAP PERMOHONAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN YANG DIAJUKAN OLEH TERSANGKA (STUDI KASUS PUTUSAN JURNAL KEWENANGAN PRAPERADILAN TERHADAP PERMOHONAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN YANG DIAJUKAN OLEH TERSANGKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO:31/Pid.Prap/2014/Pn.Jkt.Sel) Diajukan oleh: ANDREYAS DERRYADI NPM : 110510744

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA http://welcome.to/rgs_mitra ; rgs@cbn. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA ( Studi Kasus Putusan No: 02/Pid.Prap/2015/PN.Pwt dan 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu negara hukum, pengadilan adalah suatu badan atau lembaga peradilan yang menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepolisian merupakan salah satu lembaga pemerintahan yang mempunyai peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun lembaga polisi

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang praperadilan menurut hukum acara pidana dan bagaimana

Lebih terperinci

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Nomor : Nomor : TENTANG KERJA SAMA DALAM PEMBERANTASAN

Lebih terperinci

PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAM

PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAM PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAM OLEH : I WAYAN ARDIKA NPM : 13 101 21 194 Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan

Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan Oleh : Kristo Tan 1 Selfianus Laritmas, SH.MH 2 selfianuslaritmas@yahoo.com Abstrak Putusan Pengadilan terhadap Kasus praperadilan

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAFTAR ANOTASI Halaman 1. Sejak Rabu,

Lebih terperinci

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh Maya Diah Safitri Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The right to obtain legal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

JURNAL TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN YANG BERKAITAN DENGAN PENETAPAN SESEORANG MENJADI TERSANGKA

JURNAL TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN YANG BERKAITAN DENGAN PENETAPAN SESEORANG MENJADI TERSANGKA JURNAL TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN YANG BERKAITAN DENGAN PENETAPAN SESEORANG MENJADI TERSANGKA Diajukan oleh : SUDARMI N P M : 110510720 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan

Lebih terperinci

KEABSAHAN PERNYATAAN MAJELIS HAKIM SIDANG TERBUKA DAN TERBATAS UNTUK UMUM (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

KEABSAHAN PERNYATAAN MAJELIS HAKIM SIDANG TERBUKA DAN TERBATAS UNTUK UMUM (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) KEABSAHAN PERNYATAAN MAJELIS HAKIM SIDANG TERBUKA DAN TERBATAS UNTUK UMUM (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) Oleh : Made Sinthia Sukmayanti I Ketut Mertha Bagian Hukum Acara Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum Indonesia mempunyai kewajiban

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci