BAB III TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PENYELESAIAN WANPRESTASI YANG TERJADI KARENA PERJANJIAN URUSAN PENGADAAN TANAH TAPAK RUMAH
|
|
- Inge Iskandar
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB III TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PENYELESAIAN WANPRESTASI YANG TERJADI KARENA PERJANJIAN URUSAN PENGADAAN TANAH TAPAK RUMAH A. Wanprestasi Secara Umum Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang membuatnya. Hubungan hukum itu menimbulkan kewajiban dan hak yang timbale balik antara pihak-pihak. Hubungan hukum itu terjadi karena peristiwa hukum yang berupa perjanjian salah satunya adalah jual beli. 132 Perjanjian yang dilakukan menimbulkan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak yang membuatnya, pada prinsipnya setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi kewajibannya secara timbal balik. Dengan kata sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian, maka kedua pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri bentuk perjajian. Hal ini sesuai dengan sistem terbuka yang duanut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada umumnya bukti adanya kesepakatan seperti akta otentik dalam perjanjian tidak terlalu diperlukan, yang terpenting bagi para pihak yang melakukan perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak, ada itikad baik dan saling percaya satu sama lain, sehingga menganggap bahwa kedua belah pihak yang terkait dalam perjanjian akan menepati janji sesuai dengan yang diperjanjikan. 2000), hal Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT, Citra Aditya Bakti, 71
2 72 Yang dimaksud melaksanakan perjanjian dalam hal ini adalah melaksanakan prestasi, dan ada 3 (tiga) jenis prestasi, menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : a. Memberi sesuatu; b. Berbuat sesuatu; c. Tidak berbuat sesuatu. Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat: 133 a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, b. kesusilaan, dan Undang-Undang. c. Harus tertentu atau dapat ditentukan. d. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia Ketika prestasi tidak dilaksanakan maka timbullah wanprestasi. Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan (prestasi) seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu : 1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kesalahan; 2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, terjadi diluar kemampuan debitur, sehingga debitur tidak bersalah. Keadaan memaksa (force majeure) yaitu salah satu alasan pembenar untuk membebaskan seseorang dari kewajiban untukmengganti kerugian (Pasal 1244 dan Pasal 133 Handri Raharjo. Op.Cit, hal. 79.
3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Menurut Undang-Undang ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk adanya keadaan memaksa, yaitu: a. Tidak memenuhi prestasi, b. Ada sebab yang terletak di luar kesehatan debitur, c. Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlua ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. 134 Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 135 Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. Wanprestasi adalah kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan, yang terdiri dari dua macam sifat. Pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu masih dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya sedang yang kedua adalah terdapat hal-hal yang disitu prestasinya tidak dilakukan pada waktu yang tepat Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 74
4 74 Adalah wujud dari tidak memenuhi perikatan itu, wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu: 137 a. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan b. Debitur terlambat memenuhi perikatan c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatan tidak memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihakpihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan di dalam perikatan dimana waktu untuk melaksanakan prestasi itupun tidak ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Apabila orang itu melakukan perbuatan yang dilarang tersebut maka ia tidak memenuhi perikatan. 138 Akibat yang sangat penting dari tidak terpenuhinya perikatan ialah bahwa kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka Undang-Undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestellling). Lembaga pernyataan lalai ia adalah meru- 137 Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal Ibid., hal. 19.
5 75 pakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi). 139 Hal ini tercantum dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan. Jadi maksud berada dalam keadaan lalai ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat sela,bat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Apabila saat ini dilampaui, maka debitur ingkar janji (wanprestasi). 140 Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur cara pemberitahuan itu dilakukan yang berbunyi debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Pernyataan lalai diperlukan dalam hal seseorang meminta ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Menurut ilmu hukum perdata kalau kreditur menuntut adanya pemenuhan, maka lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan, sebab hak untuk mendapatkan 139 Ibid. 140 Ibid.
6 76 pemenuhan itu sudah ada dalam perikatan itu sendiri sedangkan hak untuk meminta ganti rugiatau pemutusan, ialah sudah dilakukannya wanprestasi oleh debitur. Karena itu, disini lembaga pernyataan lalai diperlukan sekali. Namun demikian kenyataannya didalam praktek pengadilan apabila kreditur menuntut pemenuhan, lembaga pernyataan lalai juga diperlukan. 141 Sebabnya diperlukan karena untuk menjaga kemungkinan agar debitur tidak merugikan kreditur, misalnya debitur digugat di peradilan karena wanprestasi, sedangkan sebelumnya tidak ada lembaga itu, maka debitur dapat menyatakan bahwa sebelumnya terhadap debitu belum dilakukan pemberitahuan oleh kreditur. Sehingga lembaga pernyataan lalai perlu dilakukan dalam hal kreditur menuntut ganti rugi dari debitur. Apabila debitur hanya menuntut pemenuhan prestasi, ataupun menuntut debitur secara patut memenuhi perikatan, maka lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan. 142 Apabila debitur keliru malakukan prestasi dan kelirunya itu adalah dengan itikad baik, maka pernyataan lalai diperlukan, tetapi kalau kelirunya itu terjadi dengan itikat jahat, maka disini tidak diperlukan lagi pernyataan lalai. Lembaga itu tidak diperlukan apabila peringtan diadakan untuk jangka waktu tertentu, oleh karena dengan dilampauinya waktu itu, maka berarti debitur telah tidak memenuhi perikatan. Pernyataan lalai diperlukan untuk perikatan yang tidak dipenuhi pada waktunya karena sebenarnya debitur masih bersedia 141 Ibid., hal Ibid.
7 77 memenuhi prestasi, hanya saja terlambat. Dengan lembaga itu debitur masih diberi kesempatan untuk memenuhi perikatan. 143 Apabila debitur tidak memenuhi perikatannya ataupun pada perikatanperikatan dimana pernyataan lalai tidak disampaikan kepada debitur, tetapi tidak diindahkannya, maka debitur tidak memenuhi perikatan. 144 B. Penyelesaian Wanprestasi Perjanjian yang telah dibuat secara sah dan telah disepakati oleh para pihak mengikat para pihak untuk mentaati seluruh isi perjanjian yang telah disepakati tersebut dan setiap tindakan wanpretasi dari perjanjian tersebut dapat menimbulkan tindakan tuntutan hukum dari pihak lain yang merasa dirugikan atas perbuatan wanprestasi tersebut. Setiap perjanjian yang telah disepakati dan telah ditandatangani oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik dan dengan kejujuran untuk memenuhi segala hak dan kewajiban yang termuat di dalam perjanjian tersebut. 145 Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut Ibid. 144 Ibid., hal Mario Armentedja, Kepastian Hukum dalam Perspektif ( Jakarta, Kencana Media, 2010), hal Munir Fuady, Op.Cit, hal Hukum Perjanjian,
8 78 Hak-hak kreditur adalah sebagai berikut: 147 a. Hak menuntut pemenuhan perikatan; b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menurut pembatalan perikatan; c. Hak menuntut ganti rugi; d. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi; e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi. Hak-hak debitur dalam wanprestasi adalah : a. Mekanisme tertentu untuk memutuskan kontrk, terdiri dari dua yaitu kewajiban melaksanakan somasi sesuai Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kewajiban memutuskan kontrak timbal balik lewat pengadilan sesuai Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Pembatasan terhadap pemutusan kontrak, jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi maka pihak lainnya dalam perjanjian tersebut berhak untuk memutuskan perjanjian yang bersangkutan. Akan tetapi terhadap hak untuk memutuskan perjanjian oleh pihak yang telah dirugikan akibat wanprestasi ini berlaku beberapa hal antra lain: Wanprestasi harus serius; 2. Hak untuk memutuskan perjanjian belum dikesampingkan; 3. Pemutusan pejanjian tidak terlambat dilakukan; 147 Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal Munir Fuady, Op.Cit, hal. 94.
9 79 4. Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan. Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu : 149 a. Menuntut pemenuhan perikatan, b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbalbalik, menurut pembatalan perikatan, c. Menuntut ganti rugi, d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi, e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi. Tujuan untuk mendapat ganti rugi dari wanprestasi suatu perjanjian menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut tidak terpenuhi dengan demikian ganti rugi tersebut berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Dalam penyelasaian wanprestasi tersebut, walaupun perjanjian tersebut tunduk pada hukum perjanjian dalam prakteknya tidak dipermasalahkan bila menggunakan hukum lain, karena dalam hal ini obyeknya adalah tanah, maka yang dimaksud dalam hal ini adalah hukum agraria di Indonesia. Asas Pacta Sun Servanda yang dianut dalam Pasal 1388 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku dalam penyelesaian perjanjan jual beli. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang- Undang dinyatakan cukup untuk itu. Artinya jual beli yang telah dilangsungkan 149 Handri Raharjo, Op.Cit, hal
10 80 dan telah mengikat dengan tercapainya kata sepakat mengenai kebendaan yang akan dijual dan harga beli antara penjual dan pembeli, tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh pembeli dan penjual. 150 Ada beberapa asas-asas penyelesaian wanprestasi dalam hal untuk mencapai keadilan yang responsif, dalam hal ini adalah penyelesaian dalam hal memberi ganti rugi, yaitu: 151 a. Asas keadilan, asas ini mengkehendaki bahwa ganti rugi tanah yang diberikan tersebut dapat diteima oleh semua pihak. Asas ini terkandung dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 2. b. Asas musyawarah, asas ini mengkehendaki kegiatan ganti rugi tanah terlebih dahulu harus saling mengenal dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan kepada kesukarelaan antara pemilk tanah dengan pihak yang membutuhkan tanah untuk memperoleh suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. c. Asas langsung, asas ini mengkehendaki bahwa gantti rugi tanah itu dapat dilakukan secara langsung oleh pihak yang membutuhkan tanah kepada pemilik tanah dengan maksud agar kedua belah pihak tidak saling dirugikan. 150 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003), hal
11 81 d. Asas manfaat, asas ini mengkehendaki agar dalam setiap ganti rugi yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum atau kepentingan pribadi dapat bermanfaat bagi kedua belah pihak. e. Asas kepastian hukum, asas ini mengkehendaki bahwa ganti rugi tanah itu sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. f. Asas itikad baik, asas ini mengkehendaki dalam proses pelaksanaan pemberian ganti rugi perlu adanya itikad baik serta kejujuran kedua belah pihak mengenai maksud kedua belah pihak, sehingga hasilnya dapat diterima dan diketahui dengan baik oleh kedua belah pihak, sehingga tidak ada yang dirugikan. g. Asas keseimbangan, asas ini mengkehendaki setiap ganti rugi dan besarnya ganti rugi yang diberikan, harus adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dan diharapkan dengan ganti dapat mendatangkan kesejahteraan bersama dan disesuaikan dengan keadaan yang nyata. h. Asas kepatutan, asas ini mengkehendaki agar ganti rugi yang diberikan kepada pihak yang dirugikan nilainya harus layak dan patut, i. Asas kesejahteraan, asas ini mengkehendaki dalam ganti rugi dapat memperbaiki keadaan ekonomi pihak yang dirugikan dari keadaan yang sebelumnya. Menurut Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdiri dari ganti rugi ialah biaya, rugi dan bunga. Yang
12 82 dimaksud dengan biaya adalah setiap biaya yang secara nyata dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, dalam hal ini sebagai akibat dari wanprestasi. 152 Sedangkan bunga yang dimaksud adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh karena adanya tindakan wanprestasi. 153 Tentang rugi yang akan dimaksud dalam penelitian ini adalah: a. Pengertian rugi (schade) 154 Apabila Undang-Undang menyebutkan rugi (schade) maka yang dimaksud adalah sebagai berikut kerugian nyata (feitelijknadee) yang dapat diduga atau diperkirakan pada saa perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji. b. Hubungan sebab akibat. 155 Pada umumnya debitur hanya memberikan ganti tugi kalau kerugian itu mempunyai hubungan langsung dengan ingkar janji, dengan perkataan lain antara ingkar janji dengan kerugian harus ada hubungan sebab akibat (kausal), hal ini disebutkan dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur, maka penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang 152 Munir Fuady, Op.Cit, hal Ibid. 154 Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal Ibid., hal. 22.
13 83 menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan itu. Dari Pasal tersebut muncul 2 (dua) pernyataan, yaitu : a. Apabila kerugian itu merupakan suatu akibat dari ingkar janji; b. Apabila kerugian itu merupakan akibat langsung dari ingkar janji. Undang-Undang tidak memberikan penjelasan tentang ukuran-ukuran yang dipergunakan untuk menentukan adanya hubungan sebab akibat. Dalam hal ini ajaran yang lazimnya dianut adalah teori adequate dari Von Kries. Ajaran ini mengemukakan bahwa ukuran untuk menentukan sebab di dalam pengertian hukum apabila suatu peristiwa itu secara langsung menurut pengalaman manusia yang normal dapat diharapkan (naar redelijkheid) menimbulkan akibat tertentu. Suatu peristiwa adalah merupakan akibat langsung dari suatu peristiwa lainnya apabila menurut pengalaman manusia yang normal dari eristiwa tadi diharapkan timbul akibat tertentu. Ada beberapa penyelesaian wanprestasi yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata antara lain: 1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. 2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk
14 84 membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 3. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu. 4. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua periakatan. 5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian sertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ini berlaku untuk semua perikatan. Dari akibat hukum tersebut di atas, kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur yaitu dapat menuntut pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian, atau menuntut ganti kerugian saja atau menuntut ganti kerugian saja atau menuntut pembatalan perjanjian lewat hakim atau menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti kerugian. 156 Dalam perkembangannya banyak muncul cara-cara dalam penyelesaian wanprestasi antara lain bisa dilakukan dengan cara: 1. Pihak dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi 156 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 24.
15 85 Permintaan ini harus diajukan dengan menunjukkan dasar-dasarnya, karena suatu permintaan renogosiasi tidak dapat diterima apabila kontrak (perjanjian) itu sendiri telah memuat suatu klausul yang memberikan perubahan otomatis dari kontrak (perjanjian) Permintaan renegosiasi harus diajukan segera Permintaan regonisiasi harus diajukan segera setelah saat terjadinya kesulitan yang didugakan terjadi, pihak dirugikan tidak begitu saja kehilangan haknya untuk meminta regonisiasi karena lalai melakukan dengan segera karena keterlambatan bisa terjadi karena terlambat menemukan unsur-unsur kesulitannya yang benar-benar telah terjadi dan juka terjadi pihak yang dirugikan harus dapat mengaitkan akibatnya terhadap kontrak (perjanjian) Renegosiasi harus dengan itikad baik Regonisiasi harus dilakukan dengan itikad baik dan prinsip kewajiban bekerja sama, sehingga pihak yang dirugikan harus secara jujur mempercayai bahwa masalah kesulitan secara nyata ada dan tidak meminta renegosiasi sematamata untuk taktik manuver saja Mengajukan Ke Pengadilan atas kegagalan mencapai kesepakatan Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan tentang perubahan kontrak (perjanjian) disesuaikan dengan keadaan yang berubah dalam jangka waktu yang layak, sehingga para pihak diberi kewenangan untuk para pihak untuk 157 Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal Ibid., hal Ibid., hal. 219.
16 86 mengajukan ke pengadilan. 160 Keadaan tersebut dapat ditimbulkan baik karena pihak yang tidak dirugikan sama sekali mengabaikan permintaan renegosiasi atau karena renegosiasi, walaupun dilakukan oleh kedua pihak dengan itikad baik, tidak mencapai hasil yang positif. Pada asasnya bentuk ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang oleh karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang, masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu pemulihan ke keadaan semula dan larangan untuk mengulangi. Keduangan ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan uang paksa. Jadi, haruslah diingat uang paksa bukan merupakan bentuk atau wujud ganti rugi. Ada juga terjadi kerugian dinilai dalam bentuk benda. Dan keditur dapat juga menuntut diperhitungkan kerugian yng akan datang. 161 Ganti rugi itu disebut adil apabila ganti rugi yang diberikan tidak membuatnya pemiliknya menjadi sengsara dari sebelumnya, demikian juga sebaliknya tidak menjadi kaya raya. 162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immaterial, tidak berwujud (moral, ideal). Namun demikian sebagian dari ahli Hukum Perdata dan 160 Ibid., hal Ibid.,hal Ediwarman, Op.Cit, hal. 39.
17 87 Yurisprudensi menyetujui diberikannya ganti rugu terhadap kerugian immaterial, misalnya harus dikabulkan tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan tetangganya. 163 Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi, Undang-Undang memberikan beberapa pedoman, yaitu besarnya ganti rugi itu ditentuka sendiri oleh Undang-Undang, misalnya Pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena keterlambatan pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh Undang-Undang tanpa mengurangi berlakunya peraturan undangundang khusus. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu wajib dibayar, tanpa perlu dibuktikan adanya suatu kerugian o!eh kreditur. Penggantian biaya,. kerugian dan bunga itu baru wajib dibayar sejak diminta di muka Pengadilan, kecuali bila Undang-Undang menetapkan bahwa hal itu berlaku demi hukum. Jumlah ganti kerugian bisa ditentukan dengan cara : 164 a. Pihak-pihak sendiri menentukan besarnya jumlah ganti kerugian, sesuai Pasal 249 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Jika tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang para pihak sendiri juga tidak menentukan apa-apa, maka besarnya ganti kerugian ini 163 Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal Ibid., hal. 24.
18 88 harus ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi, atau dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan dari si berpiutang harus sama seperti seandainya si berutang memenuhi kewajibannya. Kerugian yang jumlahnya melampaui batas yang dapat diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitur. Dalam hal ganti rugi tanah harus mempunyai nilai tambah bagi kelangsungan hidup yang menerima ganti rugi serta tidak berakibat memelaratkan penerima ganti rugi tersebut. 165 C. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Penyelesaian Wanprestasi Yang Terjadi Karena Perjanjian Urusan Pengadaan Tanah Tapak Rumah Wanprestasi yang terjadi selama perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini berjalan adalah calon pembeli tidak lagi melaksanakan kewajibannya yaitu tidak membayar angsuran kepada calon penjual, sehingga muncul wanprestasi. Wanprestasi muncul ketika salah satu pihak tidak menjalankan prestasi yang telah disepakati bersama. Wanprestasi ini biasanya terjadi karena keadaan ekonomi. Ketika wanprestasi ini terjadi, maka proses penyelesaiannya menurut perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ada dua yaitu denda Rp perhari dan bila sudah 60 hari sejak hari keterlambatan maka calon pembeli dianggap tidak sanggup membayar. Namun dalam praktek yang terjadi penyelesainya adalah sebagai berikut: 165 Ediwarman, Op.Cit, hal
19 89 calon penjual memberi tenggang waktu kepada pembeli agar segera malaksanakan kewajibannya yaitu membayar angsuran tanah kapling tersebut. Apabila sudah diberi tenggang waktu dan tidak terlaksana juga, maka calon penjual akan mencari calon pembeli baru untuk mengganti kerugiannya, sehingga calon pembeli yang lama dianggap batal perjanjiannya dengan calon penjual, dan calon penjual akan membuat perjanjian yang baru dengan calon pemberi baru dengan catatan atas tanah yang sama dan calon penjual akan mengembalikan uang angsuran calon pembeli yang lama setelah dikurangi biaya administrasi. 166 Tenggang waktu yang dilakukan calon penjual bisa disebut sebagai cara musyawarah disini ada calon penjual memberi kesempatan kepada calon penjual untuk melaksanakan kewajibannya atau mengingkari wanprestasi misalnya dikarena keadaan memaksa. Calon penjual dalam hal ini menerapkan penyelesaian wanprestasi sesuai hukum perjanjian yang ada, serta sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang berlaku dalam perjanjian jual beli. Dalam prakteknya, ketika calon penjual mencari calon pembeli yang baru, keadaan atau kedudukan calon pembeli yang lama tidak jelas karena tidak ada ketetapan waktu dalam proses ini. Hal ini tentu tidak sesuai dengan asas langsung dalam penyelesaian wanprestasi yang dijelaskan diatas, jadi walaupun calon pembeli wanprestasi maka kedudukan hukumnya harus tetap seimbang, agar terlindungi kedudukan hukumnya. Asas penyelesaian wanprestasi yang terlanggar selama proses ini adalah asas keadilan, adalah : 166 Hasil Wawancara, Dikko Ammar, Pembeli Tanah Kaplingan Secara Mengangsur dengan Perjanjian di Bawah Tangan, pada tanggal 06 Agustus 2015.
20 90 calon pembeli dalam hal ini tidak ada keadilan, karena dalam hal melaksanakan kewajibannya untuk membayar angsuran, calon penjual tidak mau tahu bahwa kewajiban tersebut harus dijalankan, tetapi ketika calon pembeli mau menuntut kembali uang angsurannya karena perjanjian dianggap batal, calon pembeli dihadapkan dengan keadaan menunggu. 167 Seharusnya calon penjual tidak membuat keadaan menunggu bagi calon pembeli karena ada ketidakadilan di posisi calon pembeli, sehingga seharusnya calon penjual harus sudah menyediakan segala penyelesaian (modal usaha) dari segala resiko yang timbul dalam perjanjian tersebut. Keadaan menunggu ini membuat pihak calon penjual tidak memiliki tanggung jawab. Karena tanggung jawab merupakan realisasi dari kewajiban pihak lain. Sehingga dalam hal ini, ketika ada keadaan menunggu bagi calon pembeli, maka calon penjual harus melaksanakan sesegera mungkin kewajibannya terhadap calon pembeli yaitu mengembalikan semua uang angsuran yang telah disetor, karena telah disepakati perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah yang telah dibuat dianggap batal, dianggap tidak pernah ada. Kewajiban calon pembeli selama perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah itu berjalan maka menjadi hak calon penjual, namun karena adanya wanprestasi yang mengakibatkan perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah itu batal maka kewajiban calon pembeli sebelumnya menjadi haknya demikian juga sebaliknya, sehingga calon penjual dalam proses keadaan menunggu ini tidak bertanggung jawab atas kewajibannya terjadap calon pembeli. 167 Hasil Wawancara, Dikko Ammar, Pembeli Tanah Kaplingan Secara Mengangsur dengan Perjanjian di Bawah Tangan, pada tanggal 06 Agustus 2015.
21 91 Hal ini terjadi karena dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah tersebut yang merupakan perjanjanjian baku dengan memuat klausula baku yang merumuskan tanggung jawab yang menjadi beban calon pembeli dan tanggung jawab beban calon penjual. Tetapi apabila di telaah secara cermat, karena perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini dibuat secara sepihak oleh calon penjual maka beban tanggung jawab calon penjual diminimalkan sedemikian rupa. Ada beberapa prinsip tanggung jawab yaitu : 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinisp umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Udang Hukum Perdata, khususnya dalam Pasal 1365, 1366 dan Prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, maksudnya adalah seseorang selalu dianggap bertanggung jawab sampai seseorang tersebut dapat membuktikan bahwa seseorang tersebut tidak bersalah, jadi beban pembuktian berada di pihak seseorang tersebut.
22 92 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab, prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip sebelumnya. Prinsip ini dianut dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi/kabin tangan yang dibawa dan diawasi oleh penumpang adalah tanggung jawab dari penumpang tersebut. Dalam hal ini pengangkut tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak adalah tanggung jawab yang menetapkan kesalahan sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualianpengecualian yang mungkin untuk dibebasakan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Prinsip ini digunakan secara umum dalam hukum perlindungan konsumen, misalnya produsen wajib bertanggung jawab atas penggunaan produk yang dipasarkannya. 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasannya, umumnya dicantumkan dalam perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus atau biasa disebut klausula eksonerasi. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah tersebut terdapat tanggung jawab pihak calon penjual terdapat calon pembeli, karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa bentuk perjanjian ini adalah perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus. Tanggung jawab dengan pembatasan tersebut dapat dilihat pada saat keadaan menunggu yang dialami calon pembeli tersebut.
23 93 Walaupun keadaan menunggu ini muncul karena kesalahan calon pembeli, tetap saja calon penjual harus bertanggung jawab, karena ketika calon pembeli melakukan kesalahan atau wanprestasi maka calon pembeli akan bertanggung jawab dalam bentuk pernyataan setuju agar perjanjian tersebut batal sehingga tanah tapak rumah yang telah dibayar secara mengangsur tidak menjadi miliknya dan uang angsuran seharusnya dikembalikan kepadanya. Pada saat pengembalian uang angsuran ini, calon penjual menggunakan prinsip tanggung jawab dengan pembatasannya. Calon penjual akan bertanggung jawab mengembalikan uang angsuran kepada calon pembeli ketika sudah ada calon pembeli baru yang membeli tanah tapak rumah tersebut. Sehingga calon penjual ada unsur membatasi tanggung jawabnya, akan bertanggung jawab dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini sangat merugikan calon pembeli sebagai konsumen. Prinsipnya calon pembeli dapat menuntut tanggung jawab pihak calon penjual dengan prinsip menuntut tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Namun dalam prakteknya hal tersebut tidak bisa dilaksanakan karena alasan ekonomi, karena calon pembeli harus terlebih dahulu membuktikan kesalahan calon penjual dengan proses yang menggunakan uang dan waktu yang banyak serta akan melibatkan kepolisian. Umumnya calon pembeli tidak mengambil tindakan ini karena alasan tersebut diatas.
24 BAB IV KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN URUSAN PENGADAAN TANAH TAPAK RUMAH YANG DIBUAT DI BAWAH TANGAN A. Kekuatan Pembuktian Menurut Hukum Acara Perdata Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. 168 Dasar hukum pembuktian di Indonesia adalah Pasal HIR, Pasal RBg, Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 74 76, No 7 Thn 1989 jo UU No. 50 Tahun Dakam pembuktian terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu: 1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran 168 H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004), hal
25 95 hakiki. 169 Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil. 170 Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang mendukungnya. a) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan dalam persidangan. Para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan atau alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Bahan atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang didalilkan pihak manapun hanya fakta langsung dengan perkara yang disengketakan. Apabila bahan atau alat bukti yang disampaikan di persidangan tidak mampu membenarkan fakta yang berkaitan dengan perkara yang disengketakan maka tidak bernilai sebagai alat bukti. 171 b) Fakta yang terungkap di luar persidangan. Di atas telah dijelaskan bahwa hanya fakta-fakta yang diajukan di persidangan yang dapat dinilai dan diperhitungkan untuk menentukan kebenaran dalam mengambil putusan. Artinya, fakta yang dapat dinilai dan diperhitungkan hanya yang disampaikan oleh para pihak kepada hakim dalam persidangan. Hakim 169 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (PT. Pradnya Paramita, Jakarta), 2007, hal M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Sinar Grafika, Jakarta, 2005), hal Ibid., hal. 501
26 96 tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak diajukan pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim dari surat kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari sumber luar, bukan dalam persidangan maka tidak dapat dijadikan fakta untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan oleh salah satu pihak. Walaupun sedemikian banyak fakta yang diperoleh dari berbagai sumber, selama fakta tersebut bukan diajukan dan diperoleh dalam persidangan maka fakta tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil putusan. Meskipun banyak orang yang memberitahukan dan menunjukkan fakta kepada hakim tentang kebenaran perkara yang disengketakan, fakta tersebut harus ditolak dan disingkirkan dalam mencari kebenaran atas perkara dimaksud. Fakta yang demikian disebut out of court, oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar mencari dan menemukan kebenaran. 172 c) Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian. Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan, fakta yang bernilai sebagai pembuktian, hanya terbatas pada fakta yang konkret dan relevan yakni jelas dan nyata membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang disengketakan. Dengan kata lain, alat bukti yang dapat diajukan hanyalah yang mengandung fakta-fakta konkret dan relevan atau bersifat prima facie, yaitu membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung 172 Ibid., hal. 501.
27 97 berkaitan erat dengan perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan fakta yang abstrak dalam hukum pembuktian dikategorikan sebagai hal yang semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan sesuatu kebenaran Pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Walaupun menurut pertimbangan hakin tersebut bohong atau meragukan, majelis hakim harus tetap menerima pengakuan tersebut terutama apabila pengakuan tersebut sudah menjawab semua pokok permasalahan yang ingin dicari penyelesaiannya oleh para pihak dan hakim di Pengadilan. Hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas. 174 Akan tetapi, agar penerapan pengakuan mengakhiri perkara tidak keliru, perlu dijelaskan lebih lanjut beberapa hal antara lain sebagai berikut: 175 a. Pengakuan yang diberikan tanpa syarat. Pengakuan yang berbobot mengakhiri perkara, apabila : 1) Pengakuan diberikan secara tegas. Pengakuan yang diucapkan atau diutarakan secara tegas baik dengan lisan atau tulisan di depan persidangan. 173 Ibid., hal Ibid., hal Ibid.
28 98 2) Pengakuan yang diberikan murni dan bulat. Pengakuan tersebut bersifat murni dan bulat serta menyeluruh terhadap materi pokok perkara, dengan demikian pengakuan yang diberikan harus tanpa syarat atau tanpa kualifikasi dan langsung mengenai materi pokok perkara. Apabila pengakuan yang diberikan bersyarat, apalagi tidak ditujukan terhadap pokok perkara, maka pengakuan tersebut tidak dapat dijadikan dasar mengakhiri pemeriksaan perkara. 1) Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri. Apabila tergugat tidak mengajukan sangkalan tetapi mengambil sikap berdiam diri peristiwa itu tidak dapat ditafsirkan menjadi fakta atau bukti pengakuan tanpa syarat, oleh karena itu sikap tergugat tersebut tidak dapat dikonstruksi sebagai pengakuan murni dan bulat karena kategori pengakuan yang demikian harus dinyatakan secara tegas barulah sah dijadikan pengakuan yang murni tanpa syarat, sedangkan dalam keadaan diam tidak pasti dengan jelas apa saja yang diakui sehingga belum tuntas penyelesaian mengenai pokok perkara oleh karena itu, tidak sah menjadikannya dasar mengakhiri perkara. 2) Menyangkal tanpa alasan cukup Dalam hal ini ada diajukan sangkalan atau bantahan tetapi tidak didukung dengan dasar alasan ( opposition without basic reaso ) dapat dikonstruksi dan dianggap sebagai pengakuan yang murni dan bulat tanpa syarat sehingga membebaskan pihak lawan untuk membuktikan
29 99 fakta-fakta materi pokok perkara dengan demikian proses pemeriksaan perkara dapat diakhiri. Akan tetapi perkembangan praktik memperlihatkan kecenderungan yang lebih bersifat lentur, yang memberikan hak kepada pihak yang berdiam diri atau kepada yang mengajukan sangkalan tanpa alasan ( opposition without basic reason ) untuk mengubah sikap diam atau sangkalan itu dalam proses persidangan selanjutnya, dan hal itu merupakan hak sehingga hakim wajib memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengubah dan memperbaikinya. Lain halnya pengakuan yang diberikan secara tegas di persidangan. Pengakuan tersebut langsung bersifat mengikat ( binding ) kepada para pihak, oleh karena itu tidak dapat dicabut kembali ( onherroeppelijk ) dan juga tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 1926 KUHPerdata Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan kembali Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain. 177 hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam pemeriksaan perkara perdata antara lain adalah: 176 Ibid., hal Ibid., hal. 508.
30 Hukum positif tidak perlu dibuktikan 2. Fakta yang diketahui oleh umum tidak bisa dibuktikan 3. Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan 4. Fakta yang ditemukan selama proses persidangan tidak perlu dibuktikan Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam hal sesuatu yang belum jelas atau menjadi sengketa. Jadi yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan kejadiannya yang telah dikonstatir dan dikualifisir. Peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak belum tentu semuanya penting bagi hakim sebagai dasar pertimbangan hukum putusannya. Peristiwa atau kejadian yang ditemukan dalam persidangan itu harus disaring oleh hakim, mana yang relevan bagi hukum dan mana yang tidak. Peristiwa atau kejadian yang relevan itulah yang harus dibuktikan oleh hakim dalam persidangan untuk dijadikan dasar putusannya Bukti Lawan Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan. Pasal 1918 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menyatakan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan pelanggaran, di dalam suatu perkara 178 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal. 230.
31 101 perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 1918 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs. Dalam teori maupun praktek, bukti lawan selalu dikaitkan dengan pihak tergugat. Oleh karena itu, bukti lawan selalu diartikan sebagai bukti penyangkal (contra-enquete ) yang diajukan dan disampaikan oleh tergugat di persidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak lawan. Adapun tujuan utama pengajuan bukti lawan selain untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga dimaksudkan untuk meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan pihak lawan tersebut. Teori Pembuktian yang berlaku ada 3, yaitu : 179 a. Teori pembuktian babas yaitu eori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. 179 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama,(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998), hal. 136.
32 102 b. Teori pembuktian negatif dalam teori ini hakim terikat dengan ketentuanketentuan yang bersifat negatif sehingga membatasi hakim untuk melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan oleh undang-undang. c. Teori pembuktian positif dalam teori ini diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam undangundang. B. Alat Bukti 1. Alat bukti tertulis atau pembuktian dengan surat dasar hukum penggunaan surat atau tulisan sebagai alat bukti adalah pasal 164 HIR, pasal 284, 293, 294 ayat (2), 164 ayat (78) R.Bg, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal dan pasal 1874, menentukan keharusan ditandatanganinya suatu akta sebagaimana tersebut dalam pasal 165 dan 167 HIR, serta pasal Rv.Surat sebagai alat bukti dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan menjadi akta autentik dan akta dibawah tangan. Jadi, dalam hukum pembuktian ini dikenal paling tidak tiga jenis surat yaitu, akta autentik, akta di bawah tangan, surat bukan akta yang dikenal dengan alat bukti surat secara sepihak. a) akta autentik yaitu terdapat dalam Pasal 165 HIR, 285 R.Bg, dan pasal 1868 BW, di sebutkan bahwa akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapatkan hak dari padanya tentang yang tercantum di dalam,
33 103 dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang dibritahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta autentik tidaknya suatu akta tidak cukup dilihat akta tersebut dari cara membuatnya apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. 180 Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dapat dibuktikan lain. Akta otentik misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain-lain. b) Akta di bawah tangan, di dalam HIR tidak diatur tentang akta di bawah tangan, tentang hal ini dapat ditemukan pada pasal R.Bg dan juga diatur dalam pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di mana di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan akta di bawah tangan yaitu surat-surat, daftar atau register, catatan mengenai rumah tangga da surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang. akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui oleh para pihak, apabila isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka pihak yang mengajukan bukti harus menambah dengan bukti lain misalnya saksi. 180 Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta, Erlangga, 2012), hal. 82.
34 104 c) Surat secara sepihak, ketentuan tentang alat bukti surat secara sepihak diatur dalam pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pasal 291 R.Bg. Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang berisi pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada seseorang tertentu. d) Surat lain bukan akta, yaitu berupa surat -surat lain bukan akta diatur dalam pasal 294 ayat (2) R.Bg dan pasal 1881 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, bentuknya dapat berupa surat biasa, catatan harian dan sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai surat bukti atau tidak sengaja dibuat untuk alat bukti. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. 2. Alat bukti saksi 181, diatur dalam pasal , HIR, pasal , RBg, pasal 1895 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tentang keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yang dialami, dilihat atau didengar sendiri, dan harus disertai alasan-alasan bagaimana diketahuinya peristiwa yang diterangkan oleh saksi-saksi tersebut. Pendapat dan kesimpulan yang diperoleh dengan jalan menggunakan buah pikiran bukanlah kesaksian pasal 171 HIR dan 308 R.Bg. Jadi saksi itu yang 181 Mukti Arto, Op.Cit, hal. 178.
35 105 mengalami, mendengar, merasakan, dan melihat sendiri suatu peristiwa atau kejadian dalam perkara yang sedang disengketakan 3. Alat bukti persangkaan, adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim. Persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut. a. Persangkaan Undang-Undang adalah suatu peristiwa yang oleh undangundang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar. b. Persangkaan Hakim yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahuntahun.
36 106 Alat bukti pengakuan, (bekentenis, confession)adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174, 175, 176 HIR, pasal 311, 312, 313 R.Bg, dan pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ada beberapa macam bentuk pengakuan yaitu, pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi, dan pengakuan dengan klausula. Ada dua macam pengakuan yaitu : a. Pengakuan di depan sidang. Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan di depan sidang merupakan pembuktian yang sempurna. Pengakuan di depan sidang tidak dapat ditarik kembali kecuali pengakuan yang diberikan terdapat suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan dapat berupa pengakuan lisan dan tertulis, pengakuan dalam jawaban dipersamakan pengakuan lisan di depan persidangan. b. Pengakuan di luar sidang. Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebastergantung pada penilaian hakim yang memeriksa. Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan pembuktian atas pengakuan tersebut.
37 Alat bukti sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benarakan dihukum oleh-nya. Ada dua macam sumpah yaitu: a) Sumpah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir. Sumpah promissoir dilakukan oleh saksi atau ahli. Sumpah promissoir mempunyai fungsi formil yaitu sebagai syarat sah dilakukannya suatu tindakan yang menurut hukum harus dilakukan di atas sumpahnya itu. b) Sumpah atau janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak benar, yang disebut sumpah assertoir. Sumpah assertoir dilakukan oleh para pihak dalam perkara guna mengakhiri sengketa, untuk meneguhkan suatu peristiwa atau hak. Jadi sumpah assetoir mempunyai fungsi meteriil yaitu sebagai alat bukti di muka Pengadilan untuk menyelesaikan sengketa. Mengenai alat bukti mengalami beberapa perubahan perkembangan menjadi lebih luas karena perkembangan masyarakat salat satunya adalah alat bukti yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 5 menentukan bahwa : a) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk
BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian
Lebih terperinciBayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologis
BAB II PEMBUKTIAN DAN PENGAKUAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Secara etimologis pembuktian dalam istilah arab disebut Al- Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan.
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2
BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Dari kedua hal tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa salah satu
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM
BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
Lebih terperinciALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum
ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang- undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu.
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Lebih terperinciBAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK
BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )
BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK (Email) 1. Pengertian Alat Bukti Dalam proses persidangan, alat bukti merupakan sesuatu yang sangat penting fungsi dan keberadaanya untuk menentukan
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan
BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya
36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan
Lebih terperinciASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA
BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang
Lebih terperinciLex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015
PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu
Lebih terperinciPENGERTIAN PERIKATAN HUKUM PERIKATAN PADA UMUMNYA. Unsur-unsur Perikatan 3/15/2014. Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW.
PENGERTIAN PERIKATAN HUKUM PERIKATAN PADA UMUMNYA Level Kompetensi I Sesuai Silabus Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW. Pengertian perikatan diberikan oleh ilmu pengetahuan Hukum
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Wanprestasi Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Lebih terperincia. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam:
A. Pendahuluan 1. Dasar Hukum a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam: Pasal 162 177 HIR; Pasal 282 314 RBg; Pasal 1885 1945 BW; Pasal 74 76, 87 88 UU No 7 Thn 1989 jo UU No. 50 Thn
Lebih terperinciHeru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa
Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata
23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian
19 BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatanperikatan
Lebih terperinciKEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH
MENARA Ilmu Vol. X Jilid 1 No.70 September 2016 KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH ABSTRAK Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Tanggung Jawab Tanggung jawab pelaku usaha atas produk barang yang merugikan konsumen merupakan perihal yang sangat penting dalam
Lebih terperinciPELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi
142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK
AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan
A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tahun ke tahun terus berupaya untuk melaksanakan peningkatan pembangunan di berbagai
Lebih terperinciKEKUATAN HUKUM MEMORANDUM
1 KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA KEJAKSAAN TINGGI GORONTALO DENGAN PT. BANK SULAWESI UTARA CABANG GORONTALO DALAM PENANGANAN KREDIT MACET RISNAWATY HUSAIN 1 Pembimbing I. MUTIA CH. THALIB,
Lebih terperinciBAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor
BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak
Lebih terperinciBAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X
44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti
17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan
Lebih terperinciBAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN
BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK
44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1
Lebih terperinciBAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit
BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL 2.1 Pengertian Akta Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta dan dalam bahasa Inggris disebut act atau deed. Secara etimologi menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita sadari atau tidak, perjanjian sering kita lakukan dalam kehidupan seharihari. Baik perjanjian dalam bentuk sederhana atau kompleks, lisan atau tulisan, dalam jangka
Lebih terperinciBAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING
BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order
Lebih terperinciBAB III PERLINDUNGAN BAGI PEMILIK BENDA DAN KREDITUR PENERIMA GADAI APABILA OBJEK GADAI DIJAMINKAN OLEH PIHAK YANG BUKAN PEMILIK BENDA
BAB III PERLINDUNGAN BAGI PEMILIK BENDA DAN KREDITUR PENERIMA GADAI APABILA OBJEK GADAI DIJAMINKAN OLEH PIHAK YANG BUKAN PEMILIK BENDA 3.1 Perlindungan hukum bagi kreditur penerima gadai dari tuntutan
Lebih terperinciBAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai
Lebih terperinciHukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)
Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama
Lebih terperinciistilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst
Lebih terperinci[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dunia dan kerjasama di bidang perdagangan dan jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin banyak mengikatkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa
8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.
Lebih terperinciBAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia
BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11
BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
Lebih terperinciBAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi guna mencapai kesejahteraan rakyat berkembang semakin pesat melalui berbagai sektor perdangangan barang dan jasa. Seiring dengan semakin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam
BAB I PENDAHULUAN Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam hukum perdata formil. Hukum perdata formil bertujuan memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil. Jadi, secara
Lebih terperinciANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN ANGSURAN YANG DIBUAT DI BAWAH TANGAN ERLIASNA BR.
FEBRI SILVIA DEWI 1 ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN ANGSURAN YANG DIBUAT DI BAWAH TANGAN ERLIASNA BR. TARIGAN ABSTRACT A contract on the acquisition of
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)
TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERJANJIAN KREDIT, HAK TANGGUNGAN, PEMBUKTIAN, AKTA OTENTIK, DAN LELANG
BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERJANJIAN KREDIT, HAK TANGGUNGAN, PEMBUKTIAN, AKTA OTENTIK, DAN LELANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Perjanjian diatur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN 2.1 Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,
Lebih terperinciTujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti
TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com
Lebih terperinciHAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )
HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram ) A. Pendahuluan Pembuktian merupakan bagian dari tahapan pemeriksaan perkara dalam persidangan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI Tinjauan Terhadap Perjanjian Pada Umumnya. hukum perdata adalah sama penyebutannya secara berturut-turut seperti
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Teori 2.1.1 Tinjauan Terhadap Perjanjian Pada Umumnya Ketentuan mengenai perjanjian pada umumnya, diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan,
Lebih terperinciA. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada
BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO
Lebih terperinciUndang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan
KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para
Lebih terperinciA.Latar Belakang Masalah
A.Latar Belakang Masalah Setiap manusia hidup mempunyai kepentingan. Guna terpenuhinya kepentingan tersebut maka diperlukan adanya interaksi sosial. Atas interaksi sosial tersebut akan muncul hak dan kewajiban
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dibidang ekonomi merupakan salah satu yang mendapat prioritas utama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka menunjang pembangunan nasional, pembangunan dibidang ekonomi merupakan salah satu yang mendapat prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan. Atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu
Lebih terperinciBAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian
BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciKESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2
Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA 2.1 Pengertian Pembuktian Dalam hukum acara perdata hukum pembuktian memiliki kedudukan yang sangat penting didalam proses persidangan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.
Lebih terperinciTANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO) 1 Oleh : Cindi Kondo 2
TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO) 1 Oleh : Cindi Kondo 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah prosedur pembuatan perjanjian sewa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.
BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Utang-Piutang 1. Pengertian Perjanjian Utang-Piutang Menurut Pasal 1313 menyebutkan bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
Lebih terperinciBAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya adalah usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry. Usaha ini banyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mencapai suatu masyarakat
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Uraian Teori Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, pembiayaan leasing dan teori fidusia. 2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Lebih terperinciRancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. Peristiwa ini menimbulkan hubungan hukum antara para
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan
BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan
22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan 2.1.1 Pengertian Lembaga Pembiayaan Istilah lembaga pembiayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum
BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori atau Konseptual
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Pembuktian dalam arti luas berarti memperkuat kesimpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling
Lebih terperinciBAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan
BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan
Lebih terperinci