BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka
|
|
- Verawati Susanto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN yang dikaji dari dua prinsip keadilan, berdasarkan pengaturannya maupun pelaksanaannya diperoleh hasil, yaitu : 1.1 Pengaturan berbentuk peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan hak kasasi yang bersifat obyektif dalam sistem peradilan TUN hanya diatur dalam satu pasal, yakni ketentuan Pasal 45A Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Meskipun ketentuan Pasal 45A ayat (5) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada MA untuk mengatur lebih lanjut berkenaan dengan pembatasan hak kasasi, akan tetapi pada kenyataannya produk hukum yang diterbitkan hanya sebatas SEMA, dan yang masih berlaku hingga saat ini adalah SEMA No. 11 Tahun 2010 dan SEMA No. 8 Tahun Pengaturan pembatasan hak kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c, Pasal 45A ayat (3), dan Pasal 45A ayat (4) Undang- Undang No. 5 Tahun 2004, SEMA No. 11 Tahun 2010 dan SEMA No. 8 Tahun 2011 tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan 547
2 prosedural. Prinsip-prinsip dimaksud dan yang harus dipenuhi dalam norma pembatasan hak kasasi adalah hak untuk memperoleh pemberitahuan atau informasi, adanya perlakuan yang sama atau seimbang bagi para pihak, perlakuan tidak bias dari pengadilan, partisipasi para pihak dalam berproses, adanya pembuktian yang dipertimbangkan, dan diberlakukan secara konsisten Norma pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN secara konteks dan kontekstual sudah sesuai dengan prinsip keadilan substansial, yaitu sudah memenuhi prinsip adanya keseimbangan antara hak asasi dan kewajiban asasi, persamaan dihadapan hukum, adanya kepastian hukum bagi pencari keadilan, dan responsif terhadap masyarakat pencari keadilan. Namun secara tekstual, pengaturan tersebut bersifat multi-tafsir, sehingga berdampak negatif terhadap prinsip-prinsip keadilan substansial. 1.2 Pelaksanaan pembatasan hak kasasi menurut keadilan prosedural dan substansial di empat satuan kerja PTUN (PTUN Yogyakarta, PTUN Semarang, PTUN Bandung, dan PTUN Medan), diperoleh hasil bahwa implementasi ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c, Pasal 45A ayat (3), dan Pasal 45A ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, SEMA No. 11 Tahun 2010, dan SEMA No. 8 Tahun 2011, bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan prosedural dan keadilan substansial. 548
3 2. Faktor-faktor yang menjadi hambatan pembatasan hak kasasi dalam sistem Peradilan TUN terdiri dari hambatan peraturan dan hambatan pelaksanaan : 2.1 Hambatan berupa peraturan terdiri dari : Norma pembatasan hak kasasi di peradilan TUN, yaitu sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 bersifat multi-tafsir. Tidak ada ketegasan dan kejelasan pengertian keputusan TUN pejabat daerah yang jangkauan berlakunya di wilayah daerah bersangkutan, sehingga tolok-ukur pembatasan hak kasasi menjadi ambigu Tidak konsistennya pengaturan pembatasan hak kasasi mengenai keputusan TUN pejabat daerah yang digugat di peradilan TUN. Ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tidak diberlakukan terhadap sengketa informasi publik, sengketa penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, dan sengketa TUN pemilihan antara calon kepala daerah kabupaten/kota/provinsi dengan KPU kabupaten/kota/provinsi sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU kabupaten/kota/provinsi Tidak diaturnya hukum acara pembatasan kasasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan hanya berupa SEMA yang merupakan guidance atau beleidsregels bagi internal Mahkamah Agung. SEMA tersebut tidak bersifat dwingenrecht dan tidak 549
4 mempunyai kekuatan hukum yang kuat serta mengikat secara umum sebagaimana peraturan perundang-undangan. 1.2 Hambatan dalam pelaksanaan pembatasan hak kasasi terdiri dari : Hambatan yang bersifat kelembagaan (struktur hukum), adalah tidak adanya lembaga khusus di peradilan TUN yang menangani permasalahan pembatasan hak kasasi. Namun, memberi kewenangan penuh kepada Ketua PTUN untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara diajukan upaya hukum kasasi. Hal ini dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang Ketua PTUN, bahkan terjadi pelanggaran asas nemo judex in causa sua atau nemo judex idoneus in propria causa est Ketidakjelasan mekanisme penanganan perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, mengakibatkan hak-hak para pencari keadilan tidak diperhatikan dan mengabaikan prinsip due process of law Kurang optimalnya yurisprudensi terhadap perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, mengakibatkan para pencari keadilan diperlakukan tidak sama (parsial) ketika mengajukan upaya hukum kasasi. Bahkan putusan MA sendiri inkonsisten dalam menangani perkara yang objeknya sama (terhadap pembatasan upaya hukum kasasi). Keadaan yang demikian dapat menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan tidak terciptanya suatu kepastian hukum bagi para pencari keadilan. 550
5 1.3 Konsekuensi hukum pembatasan hak kasasi bagi pencari keadilan, dapat berwujud : Para pencari keadilan kehilangan satu tahap pengujian dari segi hukum (judex juris) terhadap perkara yang dialaminya. Sampai saat ini belum ada solusi terhadap konsekuensi hukum yang dialami para pencari keadilan yang dirugikan kepentingannya akibat perkaranya tidak diajukan upaya hukum kasasi, meskipun perkara tersebut sesungguhnya termasuk perkara yang dapat diajukan kasasi. Jadi, dapat dikatakan norma pembatasan upaya hukum kasasi tersebut bersifat lex imperfecta Asas res judicata proveri tate habetur menjadi suatu konsekuensi hukum bagi para pihak yang berperkara. Artinya, setiap putusan pengadilan harus dianggap sah, benar, dan mengikat sepanjang tidak ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan demikian, putusan kasasi MA tentu harus dianggap sah dan benar sepanjang tidak ada pembatalan dari upaya hukum yang lebih tinggi, yakni PK. Meskipun ada upaya PK, para pencari keadilan tetap akan dirugikan, baik dari segi waktu, biaya, dan keadilan yang seharusnya sudah di dapat pada tingkat banding menjadi berlarut-larut dan tidak adanya kepastian hukum (onrechtszekerheid). 3. Langkah hukum agar pengaturan dan pelaksanaan pembatasan hak kasasi memberikan perlindungan hukum bagi pencari keadilan, yaitu : 551
6 3.1 Responsif terhadap perkembangan pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN, sebagai perwujudan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, yaitu dengan cara : Tolok-ukur pengaturan pembatasan upaya hukum kasasi harus dilihat dari aspek kualitas maupun jenis perkaranya. Perlu adanya ketegasan dalam mengatur kedua aspek ini, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dengan tidak melanggar hak-hak dari pencari keadilan itu sendiri. Muaranya mengarah pada paradigma sistem peradilan TUN yang harus menyelesaikan perkara, bukan hanya sekedar memutus perkara Perlu adanya harmonisasi beberapa ketentuan penyelesaian sengketa TUN yang objek sengketanya bersifat kedaerahan (apabila keputusan dan/atau tindakan yang bersifat kedaerahan tetap dipertahankan sebagai objek sengketa TUN yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi). Artinya, UU sektoral yang mengatur penyelesaian sengketa TUN yang objek sengketanya bersifat kedaerahan, perlu diharmonisasikan dengan UU MA dan UU PTUN yang bersifat khusus mengatur penyelesaian sengketa TUN. Begitu juga apabila norma pembatasan hak kasasi nantinya bukan yang objek sengketanya bersifat kedaerahan, maka yang menjadi acuan tetap UU MA dan UU PTUN yang mengatur objek sengketa yang dibatasi diajukan upaya hukum kasasi. 552
7 3.1.3 Adanya pengaturan hukum acara yang speedy, fair, dan just trial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Perlu diwacanakan mengenai adanya norma hukum yang mengatur percepatan penyelesaian perkara dengan menggunakan acara prorogasi dan proses berperkara yang sederhana adalah dengan adanya full pre trial disclosure yang diimbangi dengan adanya court calendar yang rasional dan proporsional yang dibuat oleh majelis hakim atau hakim yang menangani perkara tersebut. 3.2 Dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi para pencari keadilan, maka : Perlu dibentuk lembaga pembatasan upaya hukum kasasi, selain dalam rangka merespons adagium justice delay, justice denied, juga menjamin bahwa adanya pembatasan upaya hukum kasasi tetap pada koridor nilai-nilai hukum dan keadilan Adanya akses keadilan terhadap upaya hukum di lingkungan peradilan TUN, yang berkenaan dengan beberapa hal sebagai berikut : terbentuknya prosedur hukum yang lebih sensitif bagi pencari keadilan (khususnya terhadap masyarakat rentan secara ekonomi dan sosial), mampu menciptakan pengadilan yang lebih responsif, mendorong peningkatan kualitas pelayanan secara prima kepada pencari keadilan, mengimplementasikan keterbukaan informasi di 553
8 jajaran peradilan TUN, dan membuat kebijakan terhadap akses keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan prosedural dan substansial Adanya pengaturan wewenang Mahkamah Agung dalam hal untuk menentukan layak atau tidaknya penyelesaian perkara di tingkat kasasi. Nantinya, dibentuk Tim Khusus di masing-masing Kamar MA yang menyeleksi atau menyaring perkara, seperti Parket General di Hoge Raad Belanda yang memberikan advisory opinion atau conclusie kepada Hakim Agung. Dengan demikian, pertimbangan hukum tersebut diharapkan dapat dijadikan rujukan, bahkan menjadi precedent penerapan ke depan bahwa objek gugatan tersebut tidak lagi dapat diajukan upaya hukum kasasi. 3.3 Perlu adanya pembaharuan fungsi dan proses upaya hukum dalam sistem peradilan TUN Mengoptimalkan sistem kamar di MA. Dengan dibentuknya sistem kamar di MA, selain dapat mengurangi beban menumpuknya jumlah perkara, juga dapat menghasilkan kualitas putusan karena hakim agung yang menangani perkara sesuai dengan spesialisasinya. Secara efektif, juga diharapkan meniadakan atau setidak-tidaknya meminimalisir inkonsistensi putusan yang objek gugatannya seharusnya terkena pembatasan upaya hukum kasasi sehingga dapat terealisir kepastian 554
9 hukum, terlebih dengan di dukung sistem administrasi perkara yang efektif dan efisien Norma pembatasan hak kasasi merupakan alternatif di hulu. Sebagai alternatif di hilir, perlu diatur mengenai norma yang memberikan kewenangan hakim TUN untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa melalui jalur mediasi. Meskipun tidak ada satu pun norma yang mengatur adanya mediasi dalam sistem peradilan TUN, hal ini dimungkinkan melalui lembaga dismissal proses dan pemeriksaan persiapan di pengadilan TUN. Adanya lembaga mediasi, sejalan dengan maksud dibentuknya norma pembatasan hak kasasi, yaitu mengurangi beban penumpukan perkara di tingkat kasasi. Pada saat ini, ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah membuka ruang bagi PTUN untuk menerapkan mediasi sesuai Perma tersebut, oleh karenanya dalam revisi undang-undang Peradilan TUN nantinya juga perlu mengatur mediasi sebagai payung hukum Perma No. 1 Tahun Ketentuan pembatasan upaya hukum kasasi akan lebih efektif, apabila diiringi dengan adanya perangkat teknologi informasi yang mendukung penyelesaian sengketa TUN di Mahkamah Agung. Oleh karenanya perlu pengaturan berbentuk norma hukum, yang mengatur sistem teknologi informasi yang terintegrasi dalam sistem peradilan TUN (dari 555
10 tingkat pertama sampai dengan Mahkamah Agung). Dengan adanya payung hukum dalam sistem teknologi informasi peradilan ini (semacam e-courts di negara-negara maju), maka proses penyelesaian perkara relatif terkontrol dan estimasi jadwal persidangan dapat dipastikan. Selain itu, sistem ini dapat membentuk wadah semacam Bank Putusan dalam wujud basis data (database) yang sewaktuwaktu dapat diambil dan digunakan sebagai rujukan, dapat membantu pelaksanaan one day publish dan terwujud clearance rate (jumlah perkara yang selesai setiap tahunnya setidaknya sama dengan jumlah perkara yang masuk), sehingga mencegah penumpukan perkara yang ditangani dan hasilnya cepat diterima oleh para pihak yang berperkara. Hal ini dikarenakan sudah mulai berkembangnya paradigma hukum berbasiskan digital, yang didahului adanya model jurimetri, dan sudah adanya pengaturannya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. B. Saran 1. Perlu adanya perubahan paradigma hukum acara penyelesaian sengketa TUN, yaitu peradilan dua tahap atau two-tier system (pengadilan TUN dan/atau pengadilan tinggi TUN dan/atau Mahkamah Agung), sehingga tidak ada lagi kewajiban upaya hukum yang harus ditempuh, yaitu melalui 4 (empat) tahapan : tingkat pertama (pengadilan TUN), tingkat banding (pengadilan tinggi TUN), 556
11 tingkat kasasi (MA), dan peninjauan kembali (MA). Tujuan peradilan dua tahap ini, bukan hanya untuk meningkatkan kualitas putusan di tingkat pertama dan banding sebagaimana maksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, melainkan juga untuk meningkatkan kualitas putusan MA yang selama ini terkesan memutus perkara hanya untuk menyelesaikan kuantitasnya. Selain itu juga, sebagai wujud penyesuaian penyelesaian sengketa TUN pasca diberlakukannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini menginginkan adanya satu tahap proses penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif di internal pemerintahan terlebih dahulu, sebelum diselesaikan oleh lembaga peradilan TUN. Dengan demikian, proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa TUN di PTUN merupakan upaya hukum lanjutan dari upaya administratif. Konsekuensinya, perlu ada pemahaman pengujian di tingkat banding (pengadilan tinggi TUN), bukan hanya dari aspek fakta (judex facti) tetapi juga aspek penerapan hukumnya (judex juris), agar pencari keadilan tidak kehilangan tahapan pengujian judex juris. 2. Norma pembatasan upaya hukum kasasi terhadap sengketa TUN dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang MA bersifat multi-tafsir, sehingga harus direvisi dengan membuat norma baru yang mengatur jenis dan kriteria yang jelas dan tegas terhadap objek sengketa yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, sebagaimana pengaturan dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Administrasi 557
12 Pemerintahan, yang secara tegas membatasi upaya hukum kasasi dan PK terhadap perkara penyalahgunaan wewenang dan membatasai upaya hukum banding, kasasi, dan PK terhadap perkara keputusan fiktif-positif. 3. Selain diperlukan adanya mekanisme dan kelembagaan khusus baik di PTUN ataupun Mahkamah Agung yang menangani perkara yang terkena pembatasan upaya hukum kasasi, Mahkamah Agung juga harus ada Tim Khusus Kamar TUN yang membentuk yurisprudensi yang mempunyai nilai richt-lijn terkait objek sengketa yang terkena pembatasan hak kasasi. Dengan demikian, dapat meminimalisir konsekuensi hukum yang berdampak negatif bagi para pencari keadilan. 4. Perlu adanya revisi Undang-Undang Peradilan TUN, karena belum mengatur hukum acara pembatasan upaya hukum kasasi. Undang-Undang Peradilan TUN tersebut nantinya harus mempedomani asas-asas peradilan yang baik, terutama dari aspek keadilan prosedural dan keadilan substansial sebagaimana telah diuraikan, sehingga tidak melanggar hak asasi para pencari keadilan. 5. Dalam mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, Mahkamah Agung diberi kewenangan sebagaimana penanganan perkara di banyak negara anglo saxon yang menerapkan konsep certiorari dan prohibition. Konsekuensinya, pembatasan upaya hukum ke MA bukan hanya Kasasi saja, melainkan juga Peninjauan Kembali. Selain itu, perlu didukung dengan sistem peradilan TUN yang berbasis teknologi informasi (misalnya: e- PTUN atau e-peradilan Administasi). 558
13 6. Perlu adanya kajian untuk merevisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Undang-Undang Advokat). Ke depan perlu norma yang mengatur bahwa setiap upaya hukum kasasi harus melalui advokat bersertifikasi kasasi dan PK. Dengan adanya sertifikasi dari pendidikan dan pelatihan (diklat) yang berkompeten, advokat tersebut akan memahami makna dan hakikat pengujian kasasi dan PK, sehingga dapat memberi advice kepada kliennya terutama mengenai layak atau tidaknya perkara itu diajukan dan diselesaikan ke MA. Adapun bagi masyarakat yang kurang mampu, advokat tersebut ada yang ditempatkan di masing-masing Pos Bantuan Hukum (Posbakum) PTUN dengan tanpa dikenakan biaya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. 559
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dari sifat manusia inilah maka akan timbul suatu interaksi antara manusia
Lebih terperincimemperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
101 kepemilikannya, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah dan perlindungan terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. Namun kepastian hukum dan perlindungan
Lebih terperinci2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb
No.1442, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Penyelesaian Sengketa PEMILU. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILIHAN
Lebih terperinciKETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN DAN SENGKETA PELANGGARAN
Lebih terperinciMENINJAU KEMBALI FORMAT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
Pendahuluan MENINJAU KEMBALI FORMAT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG oleh: Ade Rizky Fachreza Tiga tahun terakhir, Mahkamah Agung RI (MA) berhasil mempercepat proses penanganan perkara, khususnya pada proses memutus
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. Bahwa asas penyelenggaraan peradilan sederhana,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keperdataan. Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang sedang berperkara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain merupakan makhluk individu, juga berperan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk dapat melakukan kerjasama dengan
Lebih terperinciPANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?
PANDUAN WAWANCARA Mediator: 1. Apa saja model-model Pendekatan Agama dalam proses mediasi terhadap perkara perceraian? a. Bagaimana cara menerapkan model-model pendekatan agama dalam proses mediasi terhadap
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian
Lebih terperinciBAB V KESIMPULA DA SARA
152 BAB V KESIMPULA DA SARA 5.1 Kesimpulan Bertitik tolak dari uraian dalam bab III dan IV yang merupakan analisa terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU No. 10 tahun 2008 dan
Lebih terperinciMEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
MEDIASI Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN Dasar Hukum : Pasal 130 HIR Pasal 154 RBg PERMA No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur
Lebih terperinciA. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,
49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi
Lebih terperinciBAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA
BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA A. Deskripsi Singkat Pada bab ini akan dibahas tentang Kedudukkan Peradilan Agama di Indonesia. Peradilan Agama di Indonsia mempunyai kedudukan yang istimewa karena dilihat
Lebih terperincidengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).
MAKALAH : JUDUL DISAMPAIKAN PADA : MEDIASI DAN GUGAT REKONPENSI : FORUM DISKUSI HAKIM TINGGI MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH PADA HARI/ TANGGAL : SELASA, 7 FEBRUARI 2012 O L E H : Dra. MASDARWIATY, MA A. PENDAHULUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kredit macet merupakan masalah yang sangat penting dalam sejarah perbankan Indonesia terutama pada tahun 1999-2004. Banyaknya bank yang dilikuidasi sebagai
Lebih terperinci2. Masing-masing kamar dipimpin Ketua Kamar yang ditunjuk oleh Ketua MA.
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I: Surat Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : 017/KMA/SK/II/2012 Tanggal : 3 Februari 2012 I. Tujuan Penerapan sistem kamar bertujuan untuk menjaga konsistensi
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pada bagian ini penulis akan menguraikan hasil analisa terhadap masalah yang diteliti, yaitu mengenai hasil analisa yuridis terhadap kasus sengketa perdata menyangkut
Lebih terperinciMakalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA,
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara
Lebih terperinciAKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA
1 AKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA Oleh : Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung,SH. Ketua Muda Mahkamah Agung Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Lebih terperinciPengurangan Arus Perkara ke Mahkamah Agung
Kertas Kebijakan Pengurangan Arus Perkara ke Mahkamah Agung TIM PENULIS Arsil Hasril Hertanto Liza Farihah Puslitbang Mahkamah Agung 1 Kertas Kebijakan Pengurangan Arus Perkara ke Mahkamah Agung I. PENDAHULUAN
Lebih terperinciBUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN
BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa setiap orang
Lebih terperinci2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM
Lebih terperinciPEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)
PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT) di INDONESIA Oleh : Wasis Priyanto Ditulis saat Bertugas di PN Sukadana Kab Lampung Timur Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata
Lebih terperinciKETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,
Lebih terperinciV. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra
90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim
Lebih terperinciMAKALAH ARAH REFORMASI PERADILAN BLUE PRINT PENGEMBANGAN MAHKAMAH AGUNG RI
TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH ARAH REFORMASI PERADILAN BLUE PRINT PENGEMBANGAN MAHKAMAH AGUNG RI.
Lebih terperinciREKOMENDASI INDONESIAN JUDICIAL REFORM FORUM 2018
REKOMENDASI INDONESIAN JUDICIAL REFORM FORUM 2018 A. ASPEK REFLEKSI PEMBARUAN PERADILAN 1. Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah dan masyarakat sipil (termasuk praktisi dan akademisi)
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengintegrasian
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut :
158 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas, maka dapat ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut : 1. Berdasarkan hukum positif di Indonesia, penyelesaian sengketa
Lebih terperinciDirektori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Direktori Putusan M PUTUSAN Nomor 793 K/Pdt/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut
Lebih terperinciBAB IV. A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bangkalan. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi, bila didasarkan pada
BAB IV ANALISA TERHADAP PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA BANGKALAN DITINJAU DARI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dapat
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa salah satu faktor yang menyebabkan batalnya suatu
Lebih terperinciA. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi
BAB IV ANALISIS A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara umum mediasi diartikan sebagai
Lebih terperinciPengertian Mediasi. Latar Belakang Mediasi. Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No.
Pengertian Mediasi Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUUXII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad Sholeh,
Lebih terperinciDualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi
Dualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat dan Forum Wakcabalaka (Forum penggiat keterbukaan informasi publik di Jawa Barat) telah melaksanakan diskusi mengenai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memberikan angin segar bagi masyarakat publik. Dalam peraturan tersebut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak diterbitkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mulai berlaku efektif sejak 1 Mei 2010, memberikan angin segar bagi
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai
BAB IV PENUTUP Setelah melakukan penelitian dan analisis mengenai bagaimanakah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di indonesia, maka dalam bab IV yang merupakan bab penutup ini, Penulis
Lebih terperinciKUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUUXII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad
Lebih terperinciPeranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA
Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999 Dalam Perkara Keberatan Terhadap Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA Fenomena proses penegakan hukum di Indonesia Dibentuknya berbagai Komisi
Lebih terperinciI. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 129/PUU-VII/2009 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, MA & MK Pengujian UU dan peraturan di bawahnya dalam satu atap I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira;
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciKESIMPULAN. Berdasarkan analisis data dapatlah dikemukakan kesimpulan-kesimpulan. 1.1 Pelaksanaan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam memberikan
171 KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dapatlah dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan melalui penelitian disertasi ini dapat ditarik
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi I. PEMOHON Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) Kuasa Hukum Zenuri Makhrodji, SH, DR. (can) Saiful Anam,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciHUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA
HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Lebih terperinciPENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum
PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU OLEH PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum Kewenangan absolut pengadilan dilingkungan peradilan tata usaha negara adalah memeriksa, memutus
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA A. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Lebih terperinciDitulis oleh Administrator Jumat, 05 Oktober :47 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 05 Oktober :47
Pengertian Mediasi Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah
Lebih terperinciBUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN
SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
Lebih terperinciBAB IV. A. Analisis Terhadap Penerapan Asas Ratio Decidendi Hakim Tentang Penolakan Eksepsi dalam Perkara Cerai Talak Talak
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA TUBAN TENTANG TENTANG PENOLAKAN EKSEPSI DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NO.1810/Pdt.G/2012/PA.Tbn.) A. Analisis Terhadap Penerapan
Lebih terperinciSURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA I. PENDAHULUAN Bahwa dalam beracara di Pengadilan Agama tidak mesti berakhir dengan putusan perceraian karena ada beberapa jenis
Lebih terperinciSAMBUTAN DALAM ACARA SEMINAR SEHARI HUT PERATUN KE- 26 DI HOTEL MERCURE ANCOL JAKARTA TANGGAL 26 JANUARI 2017
MAHKAMAH AGUNG RI KETUA KAMAR TATA USAHA NEGARA SAMBUTAN DALAM ACARA SEMINAR SEHARI HUT PERATUN KE- 26 DI HOTEL MERCURE ANCOL JAKARTA TANGGAL 26 JANUARI 2017 Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Warahmatullahi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gugatan dan Sengketa Tata Usaha Negara 1. Pengertian Pengajuan Permohonan Gugatan Pada asasnya, bahwa gugatan diajukan kepada pengadilan yang berwenang, yang daerah hukumnya
Lebih terperinciDRAFT REVISI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
DRAFT REVISI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN 1. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : ----- TAHUN ---------- TENTANG
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU
BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HULU, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana ) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. II. POKOK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Peradilan sebagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perselisihan atau pertengkaran (sengketa) merupakan suatu keadaan yang lazimnya tidak dikehendaki oleh setiap orang, namun pada dasarnya perselisihan dalam masyarakat diselesaikan
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinci2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene
No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut :
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN RIAU
GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN RIAU, Menimbang: a. bahwa setiap orang berhak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan
Lebih terperinciMEDIASI DI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN
MEDIASI DI PENGADILAN DAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN Oleh Drs. Siddiki Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur
Lebih terperinciOleh: Hengki M. Sibuea *
Perbandingan Efektivitas Penyelesaian Sengketa Komersial Melalui Pengadilan dan Arbitrase, Ditinjau dari Jangka Waktu, Pasca Diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....
Lebih terperinciDiskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA
berlaku. 3 Dari definisi berdasar pasal 1 ayat (4) tersebut, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA Hukum Acara Tata Usaha
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Keterbukaan Informasi
Lebih terperinciPENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Bambang Heriyanto, S.H., M.H. Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian
Lebih terperinciKETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan keadilan, Sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia. kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksanaan kehakiman yang berperan sebagai katup penekan atas segala
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
Lebih terperinciRINGKASAN. Disertasi ini mengangkat tema sentral yakni Perlindungan Hukum Bagi. Wajib Pajak Atas Penggunaan Wewenang Pemerintah Dalam Rangka
RINGKASAN Disertasi ini mengangkat tema sentral yakni Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Atas Penggunaan Wewenang Pemerintah Dalam Rangka Pengawasan Pajak. Tema ini dilatarbelakangi oleh terungkapnya
Lebih terperinci*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DAN PENYALURAN DANA BANTUAN HUKUM
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DAN PENYALURAN DANA BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. bertentangan dengan Pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA yang menetapkan
126 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari keseluruhan uraian dalam tesis ini maka dapat diambil kesimpulan yang merupakan gambaran menyeluruh dari hasil pembahasan, yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik. kesimpulan:
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Perlindungan terhadap merek terkenal ini diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciGUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 3 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
SALINAN GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 3 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan
Lebih terperinciSIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : SOLECHAN 1. A. PENDAHULUAN Sejak dahulu sampai sekarang
Lebih terperinciPositive. Personality. OLEH-OLEH DARI MEDAN hal. 4. Disiplin Tanpa Batas
Positive Personality J E M B A T A N R E F O R M A S I OLEH-OLEH DARI MEDAN hal. 4 Disiplin Tanpa Batas TC MEDIA EDISI 32 MARET 2011 1 action Oleh-oleh dari Seminar di Medan Hari Rabu tanggal 9 Maret
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan yuridis sebagai negara hukum ini tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinci2018, No Pengadilan Tinggi diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana pemilu; c. bahwa dengan berlakunya ke
No.452, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum. Pencabutan. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (sengketa hubungan industrial) di Indonesia belum terlaksana sebagaimana
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penerapan prinsip cepat dalam penyelesaian sengketa ketenagakerjaan (sengketa hubungan industrial) di Indonesia belum terlaksana sebagaimana mestinya, padahal prinsip
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah panjang mengenai pengujian produk legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (judicial review) akan terus berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon
I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30
Lebih terperincidengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia
Lebih terperinci