UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU (Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT TEDI YUNANTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU (Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT TEDI YUNANTO"

Transkripsi

1 UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU (Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT TEDI YUNANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2010 Tedi Yunanto NRP E

3 ABSTRACT TEDI YUNANTO. Field Test Of Meranti Balau Timber Tracking (Shorea laevis Ridl.) With Microsatellite Marker. Under the direction of ISKANDAR Z. SIREGAR, and ULFAH J. SIREGAR. Forestry activities which start from planting stock procurement to logging cannot be freed from criminal activities to gain big profit in very short time. A very clear example occur in the territory of West Kalimantan and Central Kalimantan province where illegal logging practice are rampant and illegal trading is easily practiced by people. In these regions, meranti wood (Shorea laevis) for example flows easily to neighboring countries without being accompanied by valid documents. Plant materials used in this study were sampled in the form of wood discs and pieces (n=160 samples) collected in logging site, log yard (TPK), industry belong to forest concession (IUPHHK), and wood with unclear identity which are taken from Sunda Kelapa port, Jakarta. Experiments to track meranti timber were therefore carried out with objectives: i) to test cross species amplification of S. leprosula and S. curtisii primer to S. laevis, ii) to infer the origin of timber including its flow in forest concession and industry, and iii) to determine the DNA matching between logging area and log yard. This study was performed using cross-species amplification of other Shorea microsatellites identified from previous experiment. Based on nuclear genetic database of previous study from bangkirai leaves, result showed unclear bangkirai timber from Jakarta was clustered with X forest concession (IUPHHK) in Central Borneo Province. In Indonesia, particularly in Borneo Island, Central Borneo has the largest forest area among the other provinces. Results of timber tracking test based on three polymorphic loci for matching wood in a logged area and a log yard of a concession holder showed high level of allelic structure conformity (70%). Based on the results of this study, the molecular tool may be used in the near future to strengthen the exisiting system of Chain of Custody (CoC). Keywords: Shorea laevis, field test, timber tracking, microsatellite marker

4 RINGKASAN TEDI YUNANTO. Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR dan ULFAH J. SIREGAR. Kejahatan kehutanan (forestry crimes) merupakan salah satu isu panas (burning issue) yang terjadi di banyak negara berkembang dan dapat bersifat trans-nasional. Kegiatan kehutanan mulai dari pengadaan benih hingga penebangan tidak terlepas dari tindakan kriminal demi mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Contoh yang sangat jelas terjadi di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dimana praktek penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan liar (illegal trading) terjadi dengan mudahnya, dimana kayu meranti (Shorea spp.) mengalir dengan mudahnya ke negara tetangga yang dalam prosesnya bahkan dilengkapi dengan surat-surat keterangan yang sah. Selama ini metode pembuktian yang akurat dan tidak dapat dimanipulasi dengan menggunakan sumber informasi Deoxiribosa Nucleid Acid (DNA) kayu telah dikembangkan oleh Tim Peneliti di Fakultas Kehutanan IPB dalam kerangka kerjasama internasional sejak tahun Akan tetapi teknologi ini belum pernah diujicobakan untuk mendeteksi kayu-kayu dengan asal-usul tidak jelas tersebut, khususnya jenis kayu meranti yang merupakan kayu dominan dari hutan alam di Indonesia. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aplikasi penanda molekuler untuk lacak balak pada kayu, sedangkan secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk: i) Menseleksi primer yang digunakan pada jenis Shorea leprosula dan Shorea curtisii pada jenis Shorea laevis dengan cara cross species amplification, ii) Menduga asal-usul kayu yang tidak jelas serta menguji kesamaan (similiarity) DNA antara kayu tebangan, TPK, dan kayu industri yang digunakan oleh Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), dan iii) Menguji kecocokan antara DNA kayu tunggak dengan DNA kayu di TPK ( apple to apple test ). Penelitian dilakukan di dua Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang ada di Pulau Kalimantan, yaitu IUPHHK PT. X (bukan nama sebenarnya) di Propinsi Kalimantan Tengah dan IUPHHK PT. Y (bukan nama sebenarnya) di Propinsi Kalimantan Barat, sedangkan kayu yang asal-usulnya tidak jelas diambil di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Penelitian dilakukan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan penanda mikrosatelit.

5 Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak semua primer hasil cross species amplification menunjukkan pola pita yang polimorfik pada DNA kayu jenis Shorea laevis, hanya ada tiga primer yaitu primer SleE01 dan SleE07 dari jenis Shorea leprosula, serta primer Shc04 dari jenis Shorea curtisii. Primer Shc04 dapat digunakan sebagai marker untuk mengetahui kecocokan kayu tunggak dengan kayu TPK pada jenis S. laevis, karena primer tersebut memperlihatkan kesamaan nilai frekuensi alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK. Hasil pendugaan asal-usul kayu yang tidak jelas berdasarkan database nuklear daun menunjukkan bahwa kayu tersebut setidaknya berasal dari PT. X yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Tengah, dimana daerah tersebut merupakan kawasan yang masih memiliki hutan yang cukup luas. Selain itu berdasarkan uji kesamaan (similiarity) terhadap kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK menunjukkan bahwa kedua IUPHHK tersebut menebang dan menggunakan kayu dari areal konsesinya sendiri, hal ini terlihat dari dendrogram yang mengelompok untuk masing-masing IUPHHK. Berdasarkan uji kesesuaian genotipe (conformity) dan uji chi square, hasil uji lapang lacak balak kayu tunggak dan TPK dengan nomor pohon yang sama di IUPHHK PT. Y menunjukkan bahwa secara umum struktur genotipik kayu tunggak dengan struktur genotipik kayu di TPK adalah sama. Kata kunci: Shorea laevis, Uji Lapang, Lacak Balak, Penanda Mikrosatelit

6 Hak cipta milik IPB tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU (Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT TEDI YUNANTO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Silvikultur Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS

9 Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit : Tedi Yunanto : E : Silvikultur Tropika Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc Ketua Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr Anggota Diketahui Ketua Program Studi Silvikultur Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Pembimbing, yaitu Dr. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Dr. Ulfah J. Siregar, M.Agr yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi S2. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS selaku Penguji Luar Komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), ASEAN-Korea Environmental Cooperation Project (AKECOP), dan Hibah Penelitian Unggulan IPB (PUI) dengan Nomor Kontrak: 45/I3.24.4/SPK/BG-PSN/2009 kepada Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada rekan-rekan di Ruang Analisis Genetika, Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur yang telah mendukung dalam hal diskusi pada kegiatan laboratorium untuk menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Januari 2010 Tedi Yunanto

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karawang tanggal 28 Mei 1983 dari ayah bernama Tarmuja Tarwat dan ibu bernama Anoh. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pada tahun 1989 penulis masuk di Sekolah Dasar Negeri Majasari, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Cibogo, Subang sampai tahun Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Subang pada tahun 1998 sampai tahun Tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Sejak tahun 2006 penulis menjadi asisten peneliti di Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pada tahun 2006 pernah mengikuti Training and Workshop on Forest Biodiversity Conservation and Management of Forest Genetics Resources di Kualalumpur, Malaysia, serta Student Exchange ke Universitas Kasetsart, Bangkok, Thailand pada tahun Pada tahun 2007 penulis mendapatkan beasiswa (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Institut Pertanian Bogor untuk melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Program Studi Silvikultur Tropika.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA Shorea laevis Ridl Penanda Diagnostik untuk Jenis Shorea spp... 6 Teknik Ekstraksi DNA dari Kayu... 7 Sertifikasi Lacak Balak pada Kayu... 9 Illegal Logging sebagai suatu Bentuk Kejahatan Hutan Tata Usaha Kayu di IUPHHK Mikrosatelit BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metode Penelitian Analisis Mikrosatelit Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi DNA dan Seleksi Primer Pendugaan Kayu dengan Asal-usul Tidak Jelas Uji Similiarity Sampel Kayu dari Kedua IUPHHK Uji Lapang Lacak Balak Apple to Apple di IUPHHK PT. Y Aplikasi Teknologi DNA untuk Lacak Balak pada Kayu SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 48

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis Koordinat lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis Bahan dan alat teknik mikrosatelit Primer spesifik pada jenis Shorea leprosula Primer spesifik pada jenis Shorea curtisii Hasil cross species amplification pada jenis S. laevis Hasil uji chi square kayu di IUPHHK di PT. X Kesesuaian genotipe kayu tunggak dengan kayu TPK Chi square test kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. Y... 39

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 a dan b foto pohon Shorea laevis Penanda diagnostik S. parvifolia dari Berau dengan teknik AFLP Penanda diagnostik S. parvifolia dari SBK dengan teknik AFLP Hasil ekstraksi DNA dari kayu Shorea Hasil amplifikasi cpdna dengan primer ccmp Bagan alir Penatausahaan Hasil Hutan di IUPHHK Peta pengambilan sampel kayu S. laevis a=penebangan;b=tpk;c=industri;dan d=kayu asal-usul tidak jelas Bagan prosedur teknik mikrosatelit Cara skoring DNA mikrosatelit Pola pita DNA hasil ekstraksi dan isolasi dari kayu S. laevis Contoh besarnya pengenceran hasil ekstraksi DNA DNA electropherogram hasil analisis mikrosatelit a). Primer Sle01; b). Primer Sle07; dan c). Primer Shc Dendrogram asal-usul kayu tidak jelas Dendrogram uji similiarity Frekuensi alel kayu tunggak dan kayu TPK...38

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Foto alat-alat penelitian Hasil skoring analisis mikrosatelit beserta profil DNA mikrosatelit...49

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Kejahatan kehutanan merupakan salah satu isu panas yang terjadi di banyak negara berkembang. Kegiatan kehutanan mulai dari pengadaan benih hingga penebangan tidak terlepas dari tindakan kriminal demi mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Penggunaan bibit yang tidak bermutu, akan tetapi diklaim bermutu karena ada surat keterangan bahwa benih tersebut diperoleh dari sumber benih tersertifikasi dapat saja terjadi. Benih dari sumber benih tersebut mungkin saja dicampur selama perjalanan dengan benih yang tidak bermutu untuk meningkatkan volume penjualan. Hal ini sangat dimungkinkan pada program Gerakan Rehabilitasi Hutan (GERHAN), dimana jutaan bibit diadakan oleh pihak ketiga, tetapi kegiatan pengawasan kurang dilengkapi dengan metode pembuktian yang akurat. Contoh lain yang sangat nyata juga terjadi pada praktek penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan liar (illegal trading) atau penyelundupan kayu (timber smuggling), dimana kayu yang sebenarnya berasal dari daerah X diakui oleh pemiliknya berasal dari daerah Y, dimana Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) dikeluarkan oleh petugas berwenang di daerah Y tersebut. Masalah penebangan liar dan perdagangan ilegal kini telah diketahui secara luas, dan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan (Hidayati et al. 2006). Pasar kayu dunia saat ini semakin ketat menerapkan kebijakan produk kayu yang berasal dari hutan yang dikelola dengan baik atau lestari dan sumber yang legal. Hal ini membuat produk kehutanan Indonesia mau tidak mau harus dipersiapkan ke arah sertifikasi. Setelah proses sertifikasi hutan dilakukan, perusahaan pengguna hasil hutan juga perlu mendapat penjaminan bahwa produk yang diproses adalah produk yang menggunakan materi dasar kayu yang diambil dari hutan yang telah mendapat sertifikat. Untuk mendapat jaminan tersebut maka ada proses sertifikasi chain of custody/coc (lacak balak). Proses sertifikasi lacak balak merupakan salah satu kegiatan utama sertifikasi ekolabel untuk memantau aliran kayu dari hutan ke pabrik (Vogt et al. 2000). Berbagai metode pembuktian asal-usul kayu pun telah banyak digunakan, seperti metode labeling manual

17 (stiker), anatomi, hingga teknologi terbaru, yaitu menggunakan barcode (Dykstra et al. 2002). Secara biologis bagian tanaman (daun, kayu, dan benih) merupakan tempat menyimpan informasi berupa materi genetik (Deoxiribosa Nucleid Acid; DNA). Secara teori, pola DNA jenis Shorea (Meranti) di pulau Sumatera akan berbeda dengan DNA di Pulau Kalimantan. Di dalam Pulau Kalimantan juga mungkin saja terjadi perbedaan pola DNA (haplotype) terutama DNA yang tersimpan di kloroplas maupun DNA keseluruhan. Secara khusus, DNA kloroplas (cpdna) diketahui bersifat konservatif, sehingga pada suatu lokasi akan sulit ditemui perbedaan-perbedaannya. Ide penggunaan DNA kloroplas serta DNA lainnya yang ada di inti sel sebagai penanda atau penjejak asal-usul bahan tanaman atau kayu baru-baru ini dilontarkan oleh berbagai ahli genetika dalam rangka penyelidikan asal-usul bahan tanaman atau kayu. Penggunaan teknologi genetik merupakan metode baru yang dapat dikembangkan dan diterapkan untuk kegiatan sertifikasi lacak balak dan pembuktian kasus kejahatan hutan seperti penebangan ilegal. Penanda genetik bersifat internal dan melekat di dasar kayu sehingga sulit untuk dimanipulasi. Menurut Eckert (1997), diacu dalam Kholik (2008), teknologi genetik melalui analisis molekuler DNA terbukti akurat mengungkap berbagai kasus kejahatan, meskipun relatif mahal dan memerlukan waktu yang cukup lama. Shorea laevis atau bangkirai merupakan salah satu jenis kayu komersial yang ada di Indonesia. Kayu bangkirai di daerah Kalimantan dipakai sebagai kayu pertukangan pengganti kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), karena kayu ulin sudah semakin jarang ditemukan di hutan alam. Jenis S. laevis secara umum masih jarang diteliti baik dari segi populasi genetika maupun sumberdaya genetiknya. Salah satu metode penanda genetik yang dapat diaplikasikan untuk analisis DNA adalah mikrosatelit. Mikrosatelit telah diidentifikasi pada DNA plastid (DNA kloroplas dan DNA mitokondria) dan juga pada DNA inti tanaman. Mikrosatelit inti bersifat ko-dominan dengan polimorfisme yang tinggi yang dapat digunakan untuk studi aliran gen dan sistem perkawinan. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan lokus mikrosatelit seperti studi Quantitaive Trait Locus (QTL), variasi genetik, aliran gen, dan sistem perkawinan beberapa genus pohon tropika,

18 meliputi Eucalyptus spp, Shorea spp, dan jenis-jenis Dipterocarpaceae lainnya (Finkeldey 2005). Penggunaan metode mikrosatelit untuk analisis variasi genetik dapat digunakan sebagai dasar untuk menduga nilai diferensiasi genetik dimana nilai ini merupakan dasar untuk dapat membedakan populasi yang satu dengan populasi lainnya (lacak balak). Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui aplikasi penanda molekuler untuk lacak balak pada kayu, sedangkan secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk: a. Menseleksi primer yang digunakan pada jenis Shorea leprosula dan Shorea curtisii pada jenis Shorea laevis dengan cara cross species amplification. b. Menduga asal-usul kayu yang tidak jelas serta menguji kesamaan DNA antara kayu tebangan, TPK, dan kayu industri masing-masing IUPHHK. c. Menguji kecocokan antara DNA kayu tunggak dengan DNA kayu di TPK (apple to apple test). Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah justifikasi ilmiah penggunaan metode penanda molekuler untuk lacak balak kayu dengan asal-usul tidak jelas di lapangan dan penunjang kegiatan sertifikasi produk hutan lestari kayu-kayu komersial di Indonesia..

19 TINJAUAN PUSTAKA Shorea laevis Ridl. Shorea laevis Riddl. merupakan salah satu jenis yang termasuk kedalam famili Dipterocarpaceae. Jenis S. laevis banyak memiliki nama daerah diantaranya adalah: kumus (Brunei dan Sarawak), selangan batu kumus (Sabah), penyau (Kalimantan Barat), bangkirai lampong, bangkirai tanduk, gelam, merenting, tenggelam, menpelam (Kalimantan Timur), benuas, dan bangkirai layang (Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah). Ciri-ciri diagnostik utama jenis ini adalah: tajuk berwarna hijau agak kelabu, daun berbentuk bundar telur sampai bentuk sabit dengan pangkal agak tidak simetris, bila mengering berwarna coklat agak kelabu di bagian atas dan keputih-putihan di bagian bawah dengan bulu-bulu sangat kecil pada pohon dewasa, selain itu jenis ini memiliki pertulangan sekunder hampir tidak terangkat. Pohon memiliki tinggi sekitar m, batang bebas cabang m, diameter batang 130 cm, dan banir mencapai tinggi lima m (Gambar 1). Batang berwarna kuning kemerah-merahan dan mengeluarkan damar berwarna kuning kalau sudah kering. Bunga berbentuk kecil dan kuncup bulat. Buah bertangkai pendek dan kecil dengan panjang buah kira-kira satu cm. Daun berukuran 12 x 6 cm, tipis, dan permukaan bawah daun tidak berbulu. Material kayu dari Semenanjung Malaysia memiliki kurai yang jelas tetapi sifat ini tampaknya jarang dijumpai di Pulau Kalimantan. Kayu mempunyai berat jenis 0,99, kelas awet I, dan dipergunakan untuk tiang-tiang bangunan, papan serta perahu (Prawira et al. 1973). S. laevis secara umum menyebar di Semenanjung Myanmar dan Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Aceh, dan Pulau Kalimantan. Jenis ini juga tersebar luas dan sering dijumpai dan bahkan berkelompok pada tanah-tanah tipis di punggung bukit di hutan Dipterocarpaceae perbukitan, khususnya pada ketinggian m, tetapi kadang lebih rendah antara meter diatas permukaan laut (mdpl) dan adakalanya terpencar di sisi-sisi bukit.

20 (a) (b) Gambar 1 a dan b foto pohon Shorea laevis (Foto: Yunanto 2009)

21 Penanda Diagnostik untuk Jenis Shorea spp. Sejak tahun 2005, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melakukan kegiatan penelitian bersama dengan Universitas Goettingen, Jerman melalui riset Shorea Project untuk menduga variasi genetik berbagai jenis Shorea spp. di Indonesia, khususnya yang ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Hasil penelitian mampu mengidentifikasi beberapa pola DNA spesifik melalui penanda genetik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fraghment Length Polymorphism (PCR-RFLP) DNA kloroplas maupun Amplified Fraghment Length Polymorphism (AFLP) DNA total. Contoh penanda diagnostik yang telah diidentifikasi adalah untuk jenis S. parvifolia dari Berau dan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma (Gambar 2 dan 3). S. parvifolia (SB) S. parvifolia (NS) S. parvifolia (BB) S. parvifolia (BB) S. parvifolia (AS) S. parvifolia (PS) S. parvifolia (TS) Gambar 2 Penanda diagnostik S. parvifolia dari Berau dengan teknik AFLP (Cao et al. 2006)

22 S. parvifolia (NS) S. parvifolia (SB) S. parvifolia (SB) S. parvifolia (AS) S. parvifolia (BB) S. parvifolia (PS) S. parvifolia (TS) Gambar 3 Penanda diagnostik S. parvifolia dari IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma dengan teknik AFLP (Cao et al. 2006) Teknik Ekstraksi DNA dari Kayu Secara umum keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam populasi dan antar populasi serta masing-masing parameter tersebut mempunyai beberapa ukuran (Siregar 2000; Finkeldey 2005). Menurut Hamrick dan Godt (1996), pada umumnya sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam populasi dan perbedaan variasi genetik yang terjadi antara populasi hanya sedikit. Hal ini benar jika yang dianalisis adalah uni-parental DNA. Khusus pada maternal DNA seperti DNA inti, ditemukan variasi yang besar antar populasi, region dan provenan. Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat atau hibrid, dimana dengan menggunakan metode anatomi kayu masih sangat sulit untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya. Akan tetapi, hal ini memerlukan pra-kondisi yaitu metode yang tepat untuk mengekstrak DNA dari kayu atau produk olahannya.

23 Ekstraksi DNA dari kayu sudah berhasil dilakukan, dan sudah secara rutin digunakan (Deguilloux et al. 2002), termasuk esktraksi DNA dari jaringan berkayu lainnya seperti kulit biji yang keras (Godoy dan Jordano 2001). Jika DNA kayu berhasil diekstrak, maka dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) bagian-bagian tertentu dari DNA dapat selanjutnya diamplifikasi atau diperbanyak hingga cukup untuk keperluan analisis variasi genetik, khususnya untuk mengetahui diferensiasi genetik antar populasi. Diferensiasi genetik ini akan dijadikan dasar untuk menganalisis asal-usul kayu atau produk kayu. Selain itu, melalui berbagai modifikasi beberapa teknik ekstraksi DNA dari kayu, Tim peneliti gabungan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan Univeristas Goettingen, Jerman telah berhasil mengisolasi dan mengamplifikasi DNA dari contoh kayu baik untuk jenis jati maupun jenis Shorea spp. Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu jati sebelumnya telah berhasil untuk memverifikasi aliran kayu jati pada Perhutani (Siregar et al. 2008). Contoh hasil isolasi dan amplifikasi DNA disajikan pada Gambar 4 dan 5. Gambar 4 Hasil amplifikasi DNA dari kayu Shorea (Rachmayanti et al. 2006)

24 Gambar 5 Hasil amplifikasi cpdna dengan menggunakan primer ccmp (Rachmayanti et al. 2006) Sertifikasi Lacak Balak pada Kayu Proses sertifikasi lacak balak merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk mengeluarkan suatu pernyataan bahwa suatu hasil hutan, dalam hal ini kayu, telah diproduksi dari hutan yang dikelola secara lestari. Kegiatan lacak balak merupakan salah satu komponen sistem sertifikasi yang kritis karena menjadi penghubung antara unit manajemen hutan atau unit usaha kehutanan sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen hasil hutan (LEI 2003a). Proses sertifikasi lacak balak merupakan salah satu kegiatan utama sertifikasi ekolabel untuk memantau aliran kayu dari hutan ke pabrik (Voght et al. 2000, diacu dalam Kholik 2008). Menurut LEI (2003b), ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang membedakannya dari produk lain. Pada lingkup kegiatan kehutanan, kegiatan ecolabelling merupakan suatu cara untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan dalam bentuk sertifikat atau ekolabel yang menunjukkan bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari suatu hutan yang dikelola secara lestari (Sarijanto 1995). Dalam penerapannya, kegiatan ekolabel memerlukan adanya kesiapan perangkat yang meliputi standar

25 dan pedoman pelaksanaan (manual), institusi (kelembagaan) dan mekanisme kerja, serta penilai (assesor). Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independent untuk menilai bahwa suatu produk tersebut diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup. Dalam penerapan ekolabel, setidaknya ada lima jaminan yang perlu digunakan sebagai landasan pelabelan produk kayu (Abidin 1995), yaitu: 1. Kepastian ditaatinya jatah tebang hutan lestari. 2. Kepastian pulihnya tegakan secara alami atau dengan bantuan permudaan alam atau buatan. 3. Kepastian terpeliharanya keanekaragaman hayati. 4. Kepastian terpeliharanya kualitas air, tanah, dan udara. 5. Kepastian terpeliharanya peri kehidupan dan budaya masyarakat setempat. Manfaat sertifikasi yang secara langsung dapat dirasakan adalah kemudahan dalam melakukan promosi dan bertambahnya apresiasi para importir dan pembeli terhadap perusahaan. Sertifikasi ekolabel juga memberi manfaat positif bagi manajemen internal perusahaan berupa meningkatnya efisiensi manajemen akibat dari penataan sistem produksi yang lebih baik, sesuai dengan kriteria dan indikator sertifikasi ekolabel (LEI 2003c). Bagi konsumen yang peduli terhadap lingkungan hidup, kegiatan ekolabel merupakan sebuah garansi yang menunjukkan bahwa produk yang mendapatkan label sudah memenuhi kriteria peduli lingkungan (Ahmad et al. 1993, diacu dalam Sarijanto 1995). Berdasarkan hasil penelitian di Amerika pada tahun 1993 terhadap konsumen dengan pendapatan lebih besar dari US$ 50,000 per tahun menunjukkan apabila ada ekolabel, 68% diantaranya bersedia membayar lebih besar dari harga furniture yang biasa ditawarkan dan sisanya tidak bersedia. Dari 68% konsumen tersebut, 26% bersedia membayar 1-5% lebih tinggi, 33% bersedia membayar 6 10% lebih tinggi, dan sisanya 8% bersedia membayar 11 15% lebih tinggi. Sementara itu, penelitian di Inggris pada tahun 1991 tidak disebutkan jumlah respondennya, 33% konsumen bersedia membayar 13% lebih tinggi daripada harga yang biasa berlaku (Fahutan IPB 1995).

26 Sebagai suatu komponen utama dari sertifikasi ekolabel, sertifikasi lacak balak pada prinsipnya dilakukan terhadap dua hal (LEI 2003a), yaitu: a. Kejelasan sistem pergerakan hasil hutan. b. Kinerja sistem pergerakan hasil hutan. Dalam perjalanannya (aliran kayu), hasil hutan baik secara sendiri-sendiri maupun dalam susunan sortimen mengalami mutasi (perubahan bentuk, ukuran, jumlah, kualitas, tanda dan penampilan). Lokasi mutasi disebut sebagai simpul pergerakan dan dapat terbagi ke dalam tiga rute (LEI 2003a), yaitu: i) rute I, yaitu simpul-simpul yang berada pada rentang jarak dari hutan ke pembeli pertama atau industri pengolah hasil hutan hulu, ii) rute II, yaitu simpul-simpul yang berada di dalam industri, dan iii) rute III, yaitu simpul-simpul yang berada pada rentang jarak antara industri ke pembeli akhir atau ke kapal. Faktor kunci yang diperlukan dalam sistem lacak balak adalah cara-cara praktis untuk memeriksa legalitas kayu. Adapun prinsip yang dipakai dalam penilaian lacak balak adalah penilaian satu langkah ke belakang (one step backward), yaitu hanya menilai sumber hasil hutan pada satu simpul sebelumnya sudah tersertifikasi atau belum. Jika satu simpul sebelumnya belum tersertifikasi, lacak balak perlu dilanjutkan pada simpul sebelumnya lagi dan seterusnya sampai diperoleh rantai tak terputus yang menerangkan bahwa asal hasil hutan adalah dari pengelolaan hutan produksi lestari. Dengan kata lain, sertifikat Chain of Custody (CoC) hanya dapat diberikan pada industri atau pedagang yang mendapatkan sumber kayunya dari pengelola hutan yang telah mempunyai sertifikat ekolabel atau dari sumber yang legal dan traceable (dapat dilacak asalnya) (LEI 2003a). Ilegal Logging sebagai Suatu Bentuk Kejahatan Hutan Permasalahan illegal logging sesungguhnya merupakan suatu hal yang sangat kompleks, karena tidak hanya terkait dengan aspek penegakan hukum atau yuridis, akan tetapi juga terkait aspek ekonomis, sosiologis dan kultur atau budaya. Ketergantungan beberapa masyarakat lokal di sekitar hutan telah dimanfaatkan oleh para cukong atau pemodal untuk melakukan kegiatan atau praktek illegal logging dengan berbagai macam modus operandinya baik yang

27 dilakukan oleh orang atau badan usaha yang memiliki ijin ataupun mereka yang tidak memiliki ijin pemanfaatan hasil hutan kayu atau persekongkolan jahat yang dilakukan oleh orang yang memiliki ijin dan pelaku illegal logging. Illegal logging didefinisikan sebagai suatu tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan yang berlaku. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan menebang kayu di areal yang dilindungi, area konservasi dan taman nasional serta menebang kayu tanpa ijin yang tepat di hutan-hutan produksi. Permintaan yang besar dari industri kayu lokal maupun luar negeri, khususnya Negara Malaysia dan Negara Singapura, telah mendorong aktifitas kriminal tersebut (Rukmana 2004, diacu dalam Setiono & Husain 2005). Semakin banyaknya sumber kayu ilegal dari Indonesia untuk mendukung permintaan perdagangan kayu dunia menjadi ancaman terbesar terhadap hutan Indonesia (CIFOR 2008). Menurut Departemen Kehutanan, jumlah kayu ilegal yang diselundupkan keluar dari Indonesia pada kurun waktu tahun adalah sekitar 9 juta m 3 dan kemudian diproses menjadi produk-produk kayu dan dikonsumsi oleh negaranegara maju. Perkiraan nilai dari perdagangan kayu ilegal tersebut adalah US 2.16 miliar dollar. Sekitar 90% dari keuntungan pembalakan liar di Indonesia berakhir direkening bank di tempat lain, terutama di Singapura, Malaysia, dan Hongkong (Setiono & Husain 2005). Berdasarkan data Perum Perhutani Unit III Jawa Barat- Banten, pencurian dan penjarahan hutan dari tahun dan hingga saat ini mengalami peningkatan. Intensitas pencurian dan penjarahan hutan pada tahun 1977 mencapai 180% yang kemudian meningkat menjadi 600% pada tahun 1998 (Kodra & Rais 2004). Faktor yang Mendorong Terjadinya Illegal Logging Kegiatan illegal logging didorong oleh faktor-faktor sebagai berikut (Anonim 2009): 1. Krisis Ekonomi Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Indonesia secara langsung atau tidak langsung memicu masyarakat golongan ekonomi lemah yang tinggal di sekitar hutan untuk mencari peluang yang dapat dijadikan mata

28 pencahariannya, antara lain beralih profesi menjadi buruh tebang liar. Hal ini semakin intensif terjadi manakala para cukong atau pemodal mempekerjakan masyarakat pendatang sebagai buruh tebang liar. 2. Kondisi Geografis Secara geografis Negara Indonesia terdiri dari kumpulan daratan berupa kepulauan dan masing masing pulau dihubungkan dengan perairan laut atau sungai yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan lautan Samudra sebagai lautan bebas pelayaran internasional dari dan ke satu Negara ke Negara lain. Kondisi tersebut memberikan peluang kepada pelaku illegal logging untuk melakukan penebangan liar dan hasil dari penebangan liar tersebut diselundupkan ke Negara Malaysia, Vietnam, China, Taiwan, dan beberapa Negara Eropa lainnya baik melalui jalur darat maupun melalui jalur air (sungai dan laut). 3. Kebijakan Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah) Kebijakan Pemerintah Daerah dalam menentukan Rancangan Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang belum sesuai dengan penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah Pusat, sebagai contoh yaitu mengenai izin usaha pembukaan lahan perkebunan yang tidak memperhatikan peraturan tentang penatausahaan hasil hutan. Pembukaan lahan yang di arealnya terdapat potensi hasil hutan kayu yang tidak dimanfaatkan secara benar yaitu dengan cara menebang habis kayunya, akan tetapi tidak dimanfaatkan melalui penatausahaan hasil hutan yang benar, mengakibatkan kayu tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk dijual kepada pihak lain (penadah). Selain kebijakan di atas, hal lain yang juga menjadi sangat penting adalah mengenai kebijakan Pemerintah Daerah tentang pemberian ijin industri terhadap pengolahan hasil hutan kayu (sawmill) yang semestinya ijin tersebut adalah ijin usaha industri primer hasil hutan kayu dari Dinas Kehutanan Propinsi, sehingga akan lebih mudah dalam pengawasan kegiatan operasionalnya berdasarkan kepada penatausahaan hasil hutan yang benar. 4. Harga Kayu Hasil Tebangan Liar Lebih Murah Harga kayu illegal lebih murah dibandingkan dengan harga kayu legal, karena kayu illegal tidak membayar Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber

29 Daya Hutan (PSDH) sehingga harga jualnya menjadi lebih murah. Akibatnya para pengusaha kayu legal sering kalah bersaing dengan para pengusaha kayu illegal, sehingga banyak pengusaha kayu legal yang berubah haluan menjadi pengusaha kayu illegal. 5. Lemahnya Pengawasan Masalah-masalah yang berkaitan dengan illegal logging yaitu masih lemahnya pengawasan atas pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan dengan berbagai kebijakan sebagai pelaksanaan undang-undang yang bersifat teknis menyangkut penatausahaan, proses dan prosedur tata kelola, serta industrialisasi dibidang kehutanan atau perkayuan di Indonesia. Hal tersebut mendorong terjadinya kegiatan illegal logging. 6. Belum Sinerginya Sesama Penegak Hukum Belum sinerginya sesama penegak hukum antara penegak hukum dengan Departemen Kehutanan dalam rangka upaya penertiban proses dan prosedur tata pengelolaan, penatausahaan, dan upaya meningkatkan industrialiassi dibidang kehutanan yang berpedoman pada demokratisasi serta berpegang pada konsep kelestarian alam dan lingkungan hidup menyebabkan maraknya praktek illegal logging. 7. Belum Tersedianya Sumber Daya Manusia yang Ahli Secara Proporsional dari Tingkat Pusat Dan Daerah Belum tersedianya Sumber Daya Manusia yang ahli secara proporsional dari tingkat pusat dan daerah, serta belum tersedianya data sentral sebagai dasar bukti permulaan yang cukup atas penerbitan ijin-ijin yang diberikan kepada perorangan maupun korporasi tentang penatausahaan dan industrialisasi kehutanan serta data-data teknis lainnya yang diperlukan sebagai dasar dalam rangka penegakan hukum menyebabkan terjadinya praktek illegal logging.

30 Modus Operandi Illegal Logging Praktek illegal logging memiliki berbagai macam modus operandi, diantaranya adalah (Anonim 2009): 1. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pihak yang Memiliki Ijin Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin adalah: a. Melakukan penebangan di luar areal dari ijin yang diberikan. b. Melakukan penebangan di radius yang dilarang (di pinggir sungai, danau dan waduk). c. Melakukan penebangan kayu dari arealnya namun untuk menghindari pembayaran PSDH/DR terhadap kayu-kayu tersebut dilengkapi dengan dokumen SKSKB di cap rakyat, sehingga seolah-olah kayu tersebut berasal dari hutan hak. d. Melakukan manipulasi laporan hasil produksi (LHP) kayu bulat menjadi kayu bulat kecil, sehingga terjadi selisih pembayaran DR/PSDH-nya. e. Menyalahgunakan dokumen legalitas kayu, dimana hasil hutan kayu alam (meranti, bangkirai, dan keruing) dilengkapi dengan dokumen (Faktur Kayu Bulat, FA-KB) dari hutan tanaman industri (sengon dan sungkai). 2. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pihak yang Tidak Memiliki Ijin Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki ijin adalah: a. Melakukan penebangan tanpa memiliki ijin (penebangan liar) dengan memanfaatkan masyarakat setempat dan menggunakan alat berat tanpa ijin. b. Kayu hasil tebangan masyarakat dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) dicap rakyat. c. Memanfaatkan risalah lelang. d. Kayu olahan illegal menggunakan dokumen IUPHHK yang sudah tidak aktif atau tidak beroperasi.

31 3. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pelaku Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pelaku adalah: a. Cukong, pemilik modal, dan penguasa atau pejabat. b. Masyarakat setempat dan pendatang. c. Pemilik pabrik moulding atau sawmil. d. Pemegang izin IUPHHK yang bertindak sebagai pencuri atau penadah. e. Oknum aparat pemerintah. f. Pengusaha asing. Hambatan dalam Penanganan Kasus Illegal Logging Hambatan yang dihadapi pada saat penanganan kasus illegal logging adalah (Anonim 2009): 1. Komponen Criminal Justice System masih terjadi perbedaan interpretasi terhadap pasal-pasal di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sehingga sering terjadi dan penuntasan kasusnya menjadi bertele-tele dan tidak jelas, sehingga hal ini menjadikan proses penyidikan yang kurang efektif. 2. Luasnya wilayah di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah petugas, sehingga tidak seluruh hutan dapat dilakukan pengawasan secara maksimal. 3. Banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang mata pencahariannya hanya bergantung pada kegiatan penebangan kayu di hutan, baik secara legal maupun illegal. 4. Penyidikan kasus illegal logging membutuhkan dana yang relatif besar, misalnya biaya untuk pengamanan barang bukti, biaya sewa tempat untuk penyimpanan barang bukti, biaya buruh bongkar dan biaya transportasi atau akomodasi ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). 5. Dalam pengangkutan kayu bulat atau kayu olahan biasanya dilengkapi dengan dokumen SKSHH (FAKB/FAKO) yang lengkap secara administrasi, sehingga untuk membuktikan kayu tersebut bukan berasal dari hasil penebangan yang sah perlu dilakukan lacak balak. Hal ini pelaksanaannya sangat rumit dan memerlukan waktu relatif lama.

32 Tata Usaha Kayu di IUPHHK Tata Usaha Kayu atau Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan dan penimbunan, serta pengolahan dan pelaporan. PUHH dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan dibidang kehutanan, sehingga PUHH berjalan dengan tertib dan lancar, serta kelestarian hutan, pendapatan negara, dan pemanfaatan hasil hutan secara optimal dapat tercapai. Pemegang IUPHHK yang akan melakukan penebangan atau pemanenan wajib melaksanakan timber cruising yang akan menghasilkan Laporan Hasil Cruising (LHC) dan rekapitulasinya, yang kemudian harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten atau Kota. Berdasarkan LHC Hutan Alam tersebut, pemegang IUPHHK menyusun dan mengusulkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) kepada Kepala Dinas Provinsi untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan, sehingga perusahaan dapat melakukan pemanenan atas hasil hutan kayu. Setelah melakukan pemanenan dan pembagian batang di Tempat Penimbunan Kayu (TPn), perusahaan wajib memberikan nomor pada setiap batang serta melakukan pengukuran atau pengujian sesuai prosedur yang berlaku, sesuai dengan nomor pohon dalam LHC. Pengukuran atau pengujian diatas bertujuan untuk mengetahui jenis, ukuran atau dimensi setiap batang kayu meliputi ukuran diameter ujung dan pangkal, panjang dan volumenya. Penandaan pada batang berupa pemberian nomor batang, nomor petak tebangan, diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu yang dilakukan dengan menerakan pahatan atau tanda yang tidak mudah hilang pada kedua bontos. Setiap pohon yang sudah ditebang, tunggaknya wajib diberi tanda yang tidak mudah hilang atau dengan cara menoreh dengan alat pahat berupa nomor pohon sesuai hasil cruising, jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak kerja tebangan atau blok kerja tebangan tahunan dan RKT. Apabila satu pohon dipotong menjadi beberapa bagian, maka penomoran bagian batang sesuai nomor pohon ditambah dengan huruf A, B, C, dan seterusnya dimulai pada potongan bagian pangkal. Bila

33 potongan tersebut dipotong kembali, maka penomorannya ditambahkan huruf a dibelakang huruf A (misal 100Aa, 100 Ab, dst.). Data hasil pengukuran selanjutnya dicatat setiap hari ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat (BUKB) oleh petugas perusahaan. Kayu bulat yang telah dicatat kemudian ditimbun pada tempat yang terpisah dengan kayu bulat yang telah disahkan. Berdasarkan buku ukur tersebut dibuat Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat (LHP-KB) dan rekapitulasinya oleh petugas pembuat LHP setiap satu periode (15 hari) sehingga sekurang-kurangnya 2 kali dalam satu bulan (pertengahan dan akhir bulan) dan dilakukan di TPn Hutan. LHP-KB dibuat menurut masing-masing blok kerja tebangan, sehingga apabila dalam satu tahun terdapat lebih dari satu blok kerja tebangan, maka LHP-KB dibuat untuk masingmasing blok kerja tebangan yang dibuat secara terpisah. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, dipergunakan dalam pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang diangkut secara langsung dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara dan telah melalui proses verifikasi legalitas, termasuk telah dilunasi Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan atau Dana Reboisasi (DR). Pejabat Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) adalah Pegawai Kehutanan yang memiliki kualifikasi Pengawas Penguji Hasil Hutan dan diangkat serta diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kayu bulat yang diterima industri primer hasil hutan, TPK antara, atau pelabuhan umum. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh penerbit FA-KB yang merupakan petugas perusahaan, dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu bulat kecil (diameter <30 cm) yang berasal dari perizinan yang sah pada hutan alam negara atau hutan tanaman dikawasan hutan produksi, dan untuk pengangkutan lanjutan kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari kawasan hutan negara yang berada di luar kawasan. Berikut bagan kerja dan arus dokumen PUHH pada IUPHHK (Gambar 6).

34 LHC Laporan Hasil Cruising Buku Ukur Laporan hasil pengukuran di lapangan LHP -Buku Ukur -Laporan hasil penebangan -Rekapitulasi LHP -Peta kerja -Berita acara pemeriksaan -Daftar pemeriksan KB -Rekapitulasi hasil pemeriksaan -Permohonan pengesahan LHP -Bukti stor PSDH/ DR -ULHP untuk penerbitan SPP PSDH/ DR/dana hibah -Bukti stor PSDH/ DR/dana hibah -Surat pengantar LHP -KB -Laporan pengembangan eksploitasi -Rekapitulasi LHP -KB Angkutan tahap I SKSKB -Laporan penebangan yang sudah disyahkan -Bukti stor PSDH/ DR kayu yang akan diangkut -Daftar KB -Permohonan penerbitan SKSKB -LKMB harian Angkutan tahap II FA-KB SKSKB asal Kayu Bulat Laporan Bulanan Pelaporan -Surat pengantar -Laporan mutasi KB -Laporan penggunaan blanko LHP -Daftar realisasi panjang jalan angkutan -Daftar realisasi produksi -Daftar realisasi luas tebangan -Laporan grade KB -Laporan penerimaan, penggunaan dan persediaan blanko SKSKB -Laporan penerimaan, penggunaan dan persediaan blanko FAKB -Rekapitulasi LHP Neraca KB Gambar 6 Bagan alir Penatausahaan Hasil Hutan di IUPHHK (Hidayat 2009)

35 Mikrosatelit DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. Mikrosatelit biasa digunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif, dan forensik (Ottewell et al. 2005; Novelli et al. 2006; Craft et al. 2007). DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan sepasang primer mikrosatelit. Hasil PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak nitrat. Mikrosatelit mempunyai karakteristik sebagai berikut: i) tingkat polimorfisme yang tinggi, ii) bersifat ko-dominan, dan iii) diwariskan mengikuti hukum Mendel. Bila satu primer yang spesifik telah didesain, maka lokus Simple Sequence Repeat (SSR) dapat diamplifikasi dari sedikit contoh DNA dengan PCR (Ujino et al. 1998, diacu dalam Zulfahmi 2007). Mikrosatelit telah diaplikasikan untuk beberapa penelitian, diantaranya adalah: i) identifikasi forensik, ii) diagnosis dan identifikasi penyakit, iii) studi populasi genetik dan efek leher botol (bottlenecks effect,), dan iv) konservasi biologi untuk mengamati perubahan dalam populasi, pengaruh fragmentasi dan interaksi populasi yang berbeda, serta untuk identifikasi populasi yang baru terbentuk. Ada beberapa permasalahan dalam penggunaan penanda mikrosatelit. Permasalahan ini dapat dikelompokkan kedalam teknis praktis dan data. Permasalahan teknis praktis meliputi: i) pemilihan primer untuk mikrosatelit, banyak jenis primer yang telah didesain untuk analisis mikrosatelit pada tanaman, akan tetapi primer-primer itu perlu discreening dan dioptimasi sebelum diaplikasikan pada jenis tanaman tertentu, karena setiap tanaman mempunyai karakteristik spesifik yang berbeda satu sama lain, ii) slippage selama proses amplifikasi, termopolimerase dapat mengakibatkan slip sehingga menghasilkan produk yang berbeda dalam ukurannya, dan iii) ukuran produk amplifikasi berbeda dari ukuran produk sebenarnya. Ketidakakuratan dalam identifikasi alel mungkin juga disebabkan oleh enzim Taq polimerase yang menyebabkan penambahan nukleotida adenosin sampai ujung 3.

36 Homoplasi merupakan salah satu permasalahan pada data. Homoplasi didefinisikan sebagai dua alel dalam keadaan sama, tetapi tidak sama secara keturunan. Homoplasi mungkin menyebabkan masalah dalam analisis studi genetika populasi, dimana dapat mempengaruhi pengukuran keragaman genetika, aliran gen, jarak genetika, ukuran neighbourhood, metode penetapan, dan analisis filogenetika (Estoup et al. 2002).

37 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama 8 bulan, yaitu dari bulan Juni 2009 Januari Pengambilan contoh kayu dilakukan pada kayu tunggak, kayu di Tempat Pengumpulan Kayu (TPK), kayu dengan asal-usul tidak jelas, serta kayu dari industri jenis Shorea laevis dari dua IUPHHK, yaitu IUPHHK PT. X (nama sebenarnya tidak disebutkan dalam tesis ini untuk menghindari conflict of interest )), Kabupaten Kotawaringin Timur, propinsi Kalimantan Tengah dan IUPHHK PT. Y (nama sebenarnya tidak disebutkan dalam tesis ini), Kabupaten Ketapang, propinsi Kalimantan Barat, serta untuk pengambilan kayu dengan asalusul tidak jelas dilakukan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta (Tabel 1). Posisi geografis tempat pengambilan kayu disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 7. Analisis DNA Mikrosatelit dilakukan di Ruang Analisis Genetik, Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tabel 1 Lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis No. Lokasi Kayu Tunggak Kayu di TPK Jumlah contoh Kayu di Industri 1 IUPHHK PT. X IUPHHK PT. Y * Keterangan: diambil di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Kayu dengan asal-usul tidak jelas* 40 Jumlah Total 160 Tabel 2 Koordinat lokasi pengambilan sampel kayu S. laevis No Lokasi Propinsi Perkiraan Lokasi Ketinggian Longitude Latitude Tempat (m dpl) 1 TPK PT. X Kalimantan Tengah 112'03'13,7" E 01'40'58,3"S Penebangan PT. X Kalimantan Tengah 112'03'13,7" E 01'40'58,3"S Industri PT. X Jawa Tengah 110'18'20,1" E 06'55'53,3"S 18 4 TPK PT. Y Kalimantan Barat 110'49'54,2" E 01'31'07,2"S Penebangan PT. Y Kalimantan Barat 110'49'12,8" E 01'30'49,3"S Industri PT. Y Kalimantan Barat 109'57'56,2" E 01'47'55,7"S 13 7 Kayu asal-usul tidak jelas Jakarta ' E 6 11' S 8 Keterangan: dpl = diatas permukaan laut

38 IUPHHK PT. Y IUPHHK PT. X Sunda Kelapa, Jakarta Industri IUPHHK PT. X Gambar 7 Peta pengambilan sampel kayu S. laevis (google 2010) Bahan dan Alat Penelitian Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kayu dari tebangan, TPK, industri, dan kayu dengan asal-usul tidak jelas (Gambar 8). Sedangkan bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3, sedangkan foto alat-alat penelitian disajikan pada Lampiran 1. Tabel 3 Bahan dan alat teknik mikrosatelit Tahapan Pekerjaan Analisis Ekstraksi PCR Visualisasi DNA Mikrosatelit Alat: sarung tangan karet, gunting, tube 1.5 ml, spidol permanen, mortar, pestel, mikropipet, tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi, waterbath, freezer, desikator. Bahan: buffer ekstrak, PVP 2%, chloroform IAA, isopropanol dingin, NaCl, etanol 95%, buffer TE. Alat: tube 0,2 ml, spidol permanen, alat tulis, mikro pipet, tips, mesin sentrifugasi, mesin PCR PTC-100. Bahan: DNA, aquabidest, H 2 O, sepasang primer mikrosatelit, Taq polymerase. Alat: mikropipet, tips, mesin sentrifugasi, bak elektroforesis, cetakan agar, erlenmeyer, sarung tangan, UVtransilluminator, alat foto DNA. Bahan: agarose, poliakrilamid, buffer TAE 1x, TBE 1x, blue juice 10x, DNA marker, EtBr, perak nitrat Analisis Data Alat: komputer, softwere POPGENE versi 1.31, NTSYS versi 2.0., dan Microsoft excel

39 (a) (Foto: Yunanto 2009) (b) (Foto: Yunanto 2009) (c) (Foto: Yunanto 2009) (d) (Foto: Yunanto 2009) Gambar 8 a= penebangan; b= TPK; c= industri, dan d= kayu asal-usul tidak jelas

40 Metode Penelitian Prosedur Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode mikrosatelit. Secara umum diagram alur penelitian dengan menggunakan metode mikrosatelit dapat dilihat pada Gambar 9. Contoh uji kayu Ekstraksi DNA Tidak Elektroforesis agar 1% Pewarnaan EtBr (staining) PCR seleksi primer Elektroforesis poliakrilamid Pewarnaan perak nitrat (staining) PCR primer terbaik Tidak Elektroforesis poliakrilamid Pewarnaan perak nitrat (staining) Pemotretan hasil amplifikasi Interpretasi dan analisis data Popgene NTSys Chi Square Gambar 9 Bagan prosedur teknik mikrosatelit

41 Ruang Lingkup Penelitian Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah penanda mikrosatelit (Weising and Gardner 1999). Secara umum dalam penelitian ini dipecah menjadi tiga sub-penelitian, yaitu: Sub-penelitian 1: Cross species amplification (Seleksi primer) Penelitian ini mengujicobakan primer untuk jenis Shorea leprosula dan jenis Shorea curtisii pada DNA jenis Shorea laevis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan primer yang menghasilkan pola pita polimorfik dari kedua jenis primer tersebut. Sub-penelitian 2: Menduga asal-usul kayu yang tidak jelas serta menguji kesamaan DNA antara kayu tebangan, TPK, dan kayu industri masing-masing IUPHHK Penelitian ini dilakukan untuk mengujicoba pendugaan asal-usul kayu yang tidak jelas dengan menggunakan database genetik hasil analisis mikrosatelit pada nuklear daun hasil penelitian sebelumnya (Siregar et al. 2009). Jumlah sampel yang diujicobakan adalah ± 40 sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal-usul kayu tersebut. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis mikrosatelit sampel kayu dari tebangan, TPK, dan kayu industri yang digunakan oleh kedua IUPHHK. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah: i) kayu tebangan = 20 sampel, ii) kayu TPK = 20 sampel, dan iii) kayu indsutri = 20 sampel untuk masing-masing IUPHHK. Jumlah total sampel yang digunakan adalah 120 sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesamaan DNA kayu baik kayu tebangan, kayu TPK, dan kayu industri yang digunakan oleh masing-masing IUPHHK. Sub-penelitian 3: Uji apple to apple kayu tunggak dengan kayu TPK Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sampel kayu tunggak dari pohon yang ada di area tebangan dengan sampel kayu yang ada di TPK, dimana kedua pohon tersebut memiliki nomor pohon yang sama. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah: i) kayu tebangan = 20 sampel dan ii) kayu TPK = 20 sampel yang hanya akan diambil dari salah satu IUPHHK sehingga jumlah total sampel yang digunakan adalah 40 sampel. Penelitian ini bertujuan

42 untuk mengetahui kecocokan DNA kayu antara pohon yang ada di area penebangan dengan pohon yang ada di TPK. Analisis Mikrosatelit Analisis DNA pada kayu Shorea laevis dilakukan dengan menggunakan metode mikrosatelit. Secara umum metode mikrosatelit terdiri dari dua tahapan, yaitu Ekstraksi DNA dan analisis mikrosatelit. Ekstraksi DNA Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu jenis Shorea laevis dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) hasil penelitian Siregar et al. (2008) yang telah dimodifikasi. Sampel kayu (± 2 gr) digerus dengan menggunakan nitrogen cair atau buffer ekstrak di dalam pestel yang bersih. Hasil gerusan selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 1,5 ml, lalu ditambahkan µl larutan buffer ekstrak (campuran Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB, dan Air) dan 100 µl PVP 2%. Selanjutnya dilakukan proses inkubasi di dalam waterbath selama menit pada suhu 65 o C. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µl dan fenol 10 µl, selanjutnya campuran tersebut dikocok agar menjadi homogen. Selanjutnya ditambahkan isopropanol dingin 500 µl dan NaCl 300 µl, lalu disimpan dalam freezer selama menit untuk mendapatkan pelet DNA. Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan etanol 100% sebanyak 300 µl, lalu disentrifugasi pada kecepatan rpm selama dua menit. Pelet DNA disimpan di dalam desikator selama ± 15 menit dan setelah itu ditambahkan larutan buffer TE 20 mikroliter, lalu divortek, dan selanjutnya disentrifugasi kembali. Mikrosatelit Prinsip proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30-60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat. Reaksi PCR mikrosatelit dilakukan dengan menggunakan 15 µl volume larutan yang terdiri dari H 2 0 2,5 µl, primer forward dan primer reverse masing-masing 1,5 µl, Go Taq Green Master Mix Kit (Promega) 7,5 µl, dan 2 µl genomik DNA. Amplifikasi DNA dilakukan

43 dengan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Proses mikrosatelit dilakukan dengan menggunakan lima primer spesifik yang telah digunakan untuk jenis Shorea leprosula (Tabel 4) dan lima primer spesifik yang telah digunakan pada jenis Shorea curtisii (Tabel 5). Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk reaksi mikrosatelit adalah: i) pra-denaturasi pada suhu 95 0 C selama 2 menit, ii) denaturasi pada suhu 95 0 C selama 1 menit, iii) annealing pada suhu C selama 2 menit, dan iv) ekstensi pada suhu 72 0 C selama 2 menit. Proses ini dilakukan atau diulang sebanyak 35 siklus. Tabel 4 Primer spesifik pada jenis Shorea leprosula (Ng 2008) No. Locus Repeat PCR Primer (5 to 3 ) PCR Product Length 1. SleE01 (AT)12 F:TCGTACTGATAATCGG R:GTTTATAGGCTGATAATATGATTTA 2. SleE02 (AGC)9 F:GGAGGAGAGAAACGAAG R:GTTTGAGGTAGTGAATAACGAGC 3. SleE05 (TA)9 F:ACTAATAATGCTTGTGGTAAT R:GTTTGTAACTAACCTCTAATGCCT 4. SleE07 (GAA)7 F:AGAAGAATATGGGTACGACTG R:GTTTGAATCAACTGGCACCTCTAT 5. SleE08 (AT)12 F:GGCTTCCTTTATATCCAATTT R:GTTTGAGTTGGCTGCATATGA Annealing Temp ( 0 C) Tabel 5 Primer spesifik pada jenis Shorea curtisii (Ujino et al. 1998) No. Locus Repeat PCR Primer (5 to 3 ) PCR Product Length 1. Shc01 (CT) 8CT (CA),CTCA F:GCTAT TGGCA AGGAT GTTCA R:CTTAT GAGAT CAATT TGACAG 2. Shc02 (CT) 2CA(CT) 5 F:CACGC TTTCC CAATC TG R:TCAAGA GCAGA ATCCA G 3. Shc03 (CT) 8 F:TTGAA GGGAA GGCTA TG R:CTTCT CAACT ACCTT ACC 4. Shc04 (CT) 16 F:ATGAG TAACA AGTGA TGAG 5. Shc07 (CT) 8CA(CT) 5CACCC(CTCA) 3C T (CA) 16 R:TATTG ACGTG GAATC TG F:ATGTC CATGT TTGAG TG R:CATGG ACATA AGTGG AG Annealing Temp ( 0 C) Uji Kualitas dan Kuantitas DNA Untuk menguji kualitas DNA hasil ekstraksi dari kayu dilakukan elektroforesis dengan menggunakan gel agarose konsentrasi 1% (w/v) dengan menggunakan buffer TAE 1x. Campuran agar 1% tersebut dipanaskan di dalam microwave untuk selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan dan ditunggu sampai padat, kemudian disimpan di dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE.

44 Setelah agar padat, 3 µl Blue Juice 10x dan 4 µl DNA dicampurkan dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang cetakan agar. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan aliran listrik dengan tegangan 100 volt sekitar 30 menit. Untuk melihat hasil elektroforesis dilakukan pewarnaan dengan larutan Ethidium Bromida (EtBr) dengan konsentrasi 1% (v/v), dan selanjutnya pita DNA hasil isolasi dilihat dengan menggunakan alat UV transilluminator. Untuk menguji kualitas DNA hasil PCR mikrosatelit, dilakukan elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamid hasil campuran dari larutan akrilamid, TEMED dan Ammonium persulfat (APS). Campuran gel poliakrilamid dipanaskan, dan untuk selanjutnya gel diinjeksikan ke dalam cetakan berupa 2 kaca yang direkatkan dengan bahan perekat yang berisi sisir untuk membuat lubang elektroforesis. Buffer yang digunakan untuk kegiatan elektroforesis adalah buffer TBE 1x. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan aliran listrik sebesar 120 W selama 1-3 jam. Untuk melihat hasil elektroforesis dilakukan pewarnaan menggunakan larutan perak nitrat dengan menggunakan shaker selama 30 menit. Selanjutnya pita DNA hasil PCR mikrosatelit dilihat dan didokumentasikan dengan menggunakan alat kamera digital. Pembuatan Gel Poliakrilamid Pembuatan gel poliakrilamid terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: 1. Pencucian Piringan Kaca Piringan kaca kecil dicuci dengan 5 ml etanol menggunakan paper towel/tissue. Kemudian kaca dikeringkan selama dua menit dan diulang kembali. Kaca tersebut kemudian diberi perlakuan dengan menggunakan 15 µl? - methacryloxy-propyltrimethoxyselane (Bind Silane, M-6514, Sigma) dalam 4 ml etanol dan 1,25 ml asam asetat. Kemudian sisanya dibersihkan dengan tissue yang dilembabkan dengan etanol. Piringan kaca besar dicuci dengan 5 ml etanol menggunakan tissue kemudian dikeringkan selama dua menit, dan diulangi kembali. 2. Pembuatan Larutan Akrilamid Pembuatan gel akrilamid dibuat dengan mencampur TBE 10X dengan 500 µl ammonium persulfat, Bisacrilamid, dan 50 µl TEMED (sigma). Larutan gel

45 diletakkan pada lempengan gel (ketebalan 1,5 mm), selanjutnya gel didiamkan untuk berpolimerisasi selama 30 menit. 3. Loading Sample Hasil amplifikasi kemudian didenaturasi selama 2 menit pada suhu o C di dalam thermocycler dan disimpan di lemari es sebelum diaplikasikan ke gel. Kegiatan elektroforesis dilakukan pada 350 V, 40 ma, 80 W selama 75 menit setelah pre-run gel selama menit Buffer yang digunakan untuk running atau elektroforesis adalah buffer TBE 1x yang mengandung 18 mm Triz-HCl, 8,9 mm asam borat dan 2 mm Na 2 EDTA. 4. Metode Pewarnaan Metode pewarnaan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada hasil penelitian Benbouza et al yang dimodifikasi. Metode ini meliputi beberapa langkah atau tahapan. Setelah dilakukan elektroforesis, gel dicuci dalam 1000 ml air larutan (900 ml aquades, 100 ml etanol 95%, dan 50 µ Asam asetat) dingin selama lima menit. Tahap selanjutnya adalah mencuci gel dengan melakukan perendaman selama enam sampai tujuh menit pada suhu ruangan (22-24 o C) dalam 1000 ml larutan. Impregnasi dengan perak nitrat (1000 ml aquades, 1,5 g perak nitrat, dan 1,5 ml formaldehid 37%) dilakukan pada ruangan dengan kondisi cahaya penuh. Tahap selanjutnya adalah gel development yaitu dengan menggunakan larutan campuran dari 1000 ml aquades, 1,5% NaOH, dan 3 ml formaldehid 37% sampai pita nampak pada intensitas rendah (tiga sampai lima menit). Jika intensitas yang diharapkan telah nampak pada intensitas rendah (tiga sampai lima menit), maka selanjutnya gel diimpregnasi dalam larutan akhir 1000 ml aquades, 10% etanol, dan 0,5% asam asetat selama dua menit. Semua tahapan tersebut dilakukan dalam kontainer plastik. Kemudian lembaran gel selanjutnya digerakkan dalam shaker selama proses pewarnaan. Semua larutan disiapkan dengan menggunakan air ultra pure atau aquades. Gel selanjutnya dikeringkan pada suhu ruangan dan pita DNA akan secara langsung terlihat dengan bantuan white light box, dan kemudian difoto.

46 Analisis Data Hasil dari kegiatan mikrosatelit pada kayu difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul (Gambar 10). Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE 32 Versi 1.31 dan NTSYS Ver 2.0 (Rohlf 1998). Pengujian apple to apple (lacak balak) pada pohon yang sama antara kayu tunggak dengan kayu TPK dilakukan dengan membandingkan struktur genotipik kayu tunggak dengan kayu di TPK dengan uji chi kuadrat (chi square) dan uji kesesuaian genotipe. Chi-kuadrat adalah uji nyata (goodness of fit) apakah data yang diperoleh benar menyimpang dari nisbah yang diharapkan dan tidak secara kebetulan (Crowder 1986). Perhitungan chi-kuadrat dilakukan dengan rumus (Crowder 1986):?² = (o - e) 2 e dimana :?² = Nilai chi-kuadrat. o = Jumlah genotipe yang diamati (observed). e = Jumlah genotipe yang diharapkan (expected). Perhitungan chi kuadrat dilakukan dengan Microsoft excel sehingga diperoleh?² hitung yang kemudian dicocokkan dengan?² tabel pada selang kepercayaan 95 %. Adapun hipotesis yang diuji adalah: H 0 : Struktur genotipik contoh uji kayu di tunggak sama dengan contoh uji kayu di TPK. H 1 : Struktur genotipik contoh uji kayu di tunggak tidak sama dengan contoh uji Lokus kayu di TPK. L-1 Individu Lokus Individu L Gambar 10 Cara skoring DNA mikrosatelit

47 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi DNA dan Seleksi Primer Ekstraksi DNA Hasil dari kegiatan ekstraksi DNA menentukan langkah selanjutnya untuk tahapan PCR. Pada tahapan ekstraksi dilakukan uji kualitas dan kuantitas DNA untuk dapat menentukan perbandingan pengenceran DNA yang akan dipakai sebagai salah satu bahan pada tahap selanjutnya, yaitu tahapan PCR. Pola pita yang didapatkan dari kegiatan ekstraksi kayu jenis Shorea laevis memperlihatkan pola pita yang cukup murni tidak terdapat bahan-bahan kontaminan (Gambar 11). Hal ini diduga oleh karena pita DNA genomik yang didapatkan dari kegiatan ekstraksi dari kayu adalah pita-pita dengan rantai yang pendek yang sudah terpotong-potong yang disebabkan oleh umur sel yang sudah tua, berbeda dengan hasil ekstraksi dari daun yang biasanya masih terdapat kotoran atau kontaminan. Menurut Qiagen (2001), hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung phenol yang tinggi, chloroform, dan alkohol. Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein, polisakarida, dan RNA. Gambar 11 Pola pita DNA yang sangat tipis hasil dari ekstraksi kayu S. laevis Untuk dapat melakukan analisis PCR diperlukan DNA dengan tingkat kemurnian dan berat molekul yang tinggi, akan tetapi ekstraksi DNA dari jaringan tanaman dengan tingkat kemurnian yang tinggi seringkali sulit diperoleh. Metode

48 pemurnian yang tepat seringkali dibutuhkan terutama menyangkut kualitas DNA yang tinggi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan DNA hasil ekstraksi yang cukup murni adalah dengan melakukan proses pengenceran DNA (Kholik 2008; Tohirin 2009; Qalbi 2009). Secara visual, pita DNA yang tebal (kotor) memerlukan perbandingan pengenceran yang lebih besar yaitu 100x (99 µl aquabidest: 1 µl DNA). Pengenceran selanjutnya mengikuti tingkatan ketebalan pita DNA. Pita DNA yang paling tipis menggunakan perbandingan pengenceran 10x (9 µl aquabidest : 1 µl DNA), karena kualitas DNA-nya termasuk bagus (tidak terlalu kotor) (Gambar 12). 80x 100x 40x 20x 10x Gambar 12 Contoh besarnya pengenceran hasil ekstraksi DNA (Siregar et al. 2008) Setiap sampel DNA mempunyai perlakuan pengenceran yang berbedabeda, tergantung dari kualitas DNA-nya. Pengenceran ini dimaksudkan agar pada tahap PCR primer dapat menempel pada pita DNA sehingga dapat teramplifikasi. Seleksi Primer Mikrosatelit Melalui Cross Species Amplification Primer yang digunakan untuk kegiatan teknik mikrosatelit pada penelitian ini menggunakan primer dari hasil seleksi 10 primer spesifik untuk nuklear, yaitu lima primer yang diujicobakan pada jenis Shorea leprosula dan lima primer yang diujicobakan pada jenis Shorea curtisii. Untuk analisis nuklear pada kayu, dari 10 primer spesifik terdapat tiga primer yang memperlihatkan pola pita polimorfik, yaitu SleE01, SleE07, dan Shc04 (Tabel 6). Perbedaan pola pita hasil amplifikasi pada suatu jenis dengan primer yang sama disebabkan oleh ukuran fragmen yang

49 berbeda-beda pada setiap jenis. Proses cross species amplification untuk kedua jenis primer tersebut juga sudah pernah berhasil dilakukan pada jenis Shorea robusta (Pandey and Geburek 2009). Contoh DNA electropherogram hasil mikrosatelit untuk ketiga primer disajikan pada Gambar 13. Hasil skoring pola pita ketiga primer pada semua sampel kayu disajikan pada Lampiran 2. Tabel 6 Hasil cross species amplification pada jenis S. laevis Primer Hasil Amplifikasi Awal (bp) Hasil Amplifikasi pada S. laevis (bp) Keterangan Shc Monomorfik Shc Monomorfik Shc Monomorfik Shc Polimorfik Shc Monomorfik SleE Polimorfik SleE Monomorfik SleE Monomorfik SleE Polimorfik SleE Monomorfik 200 bp c 150 bp b a 100 bp 50 bp Gambar 13 DNA electropherogram hasil analisis mikrosatelit a). primer SleE01, b). SleE07, dan c). Shc04 Pendugaan Kayu dengan Asal-usul Tidak Jelas Penelitian ini menggunakan bahan berupa kayu dengan asal-usul yang tidak jelas. Berdasarkan dendrogram (Gambar 14) dapat dikatakan bahwa kayu tersebut berasal dari IUPHHK PT. X atau setidaknya berasal dari propinsi

50 Kalimantan Tengah. Kayu dengan asal-usul tidak jelas tersebut memiliki struktur genetik yang sama dengan IUPHHK PT. X (90% struktur genetik mirip). Struktur genetik suatu populasi dipengaruhi oleh faktor evolusi, khususnya penyebaran benih dan aliran gen (Degen et al. 2001; Hardy et al. 2006). Selain itu, salah satu daerah di Kalimantan yang masih banyak terdapat kayu adalah dari propinsi Kalimantan Tengah. Dendrogram asal usul kayu tidak jelas tersebut dibuat melalui perbandingan dengan database DNA nuklear jenis S. laevis dari daun hasil penelitian terdahulu (Siregar et al. 2009). Berdasarkan penelitian tersebut secara umum nilai parameter genetik jenis Shorea laevis (He = 0,4443) lebih kecil bila dibandingkan dengan jenis-jenis Shorea lainnya yang juga dianalisis dengan menggunakan metode mikrosatelit (S. cordifolia, He= 0,723, Stacy et al. 2001; S. curtisii, He= 0,622 Ujino et al. 1998; S. leprosula, He= 0,686 Lee et al. 2004). Hutan tropis adalah hutan yang memiliki keragaman yang tinggi, akan tetapi jumlah setiap jenisnya rendah (Finkeldey 2005). Jenis yang dijumpai dalam kerapatan yang rendah di hutan tropis kurang bervariasi dibandingkan dengan jenis-jenis yang dijumpai dalam populasi dengan kerapatan yang tinggi. Keragaman genetik merupakan landasan bagi pemulia untuk memulai suatu kegiatan perbaikan tanaman. Besarnya keragaman genetik dapat menjadi dasar untuk menduga keberhasilan perbaikan genetik didalam program pemuliaan. Gambar 14 Dendrogram asal-usul kayu tidak jelas

51 Uji Kesamaan (Similiarity) Sampel Kayu dari Kedua IUPHHK Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis kayu tebangan, TPK, dan kayu industri pada kedua IUPHHK, yaitu IUPHHK PT. Y dan IUPHHK PT. X. Berdasarkan dendrogram (Gambar 15) dapat dikatakan bahwa penggunaan teknologi molekuler dengan menggunakan analisis mikrosatelit dapat digunakan untuk menguji kesamaan (similiarity) sampel kayu. Hal ini dapat dilihat pada dendrogram dimana sampel kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK baik PT. Y maupun PT. X berada dalam satu kelompok yang sama. Berdasarkan uji chi square (a=0,05; X 2 Tabel= 3,841), secara umum kayu tebangan, kayu TPK, dan kayu industri di IUPHHK PT. X adalah sama. Akan tetapi, ada beberapa genotipe dan alel yang berbeda baik kayu TPK maupun kayu industri dengan genotipe atau alel kayu di tebangan (Tabel 7). Hal ini mungkin akibat peristiwa Wahlund-Effect yang disebabkan oleh kegiatan swapping kayu, switching kayu, mixturing kayu, dan ukuran populasi sampel yang tidak mewakili seluruh populasi IUPHHK PT. X (Caver et al. 2005; Certisource 2009). Populasi PT. X Populasi PT. Y Gambar 15 Dendrogram uji kesamaan (Similiarity)

52 Tabel 7 Hasil uji chi square kayu di IUPHHK di PT. X Lokus Genotipe Jumlah Genotipe Tebangan TPK Industri X 2 (a=0,05) Tebangan- TPK X 2 (a=0,05) Tebangan-Industri ,08 ns 2,08 ns ,25 ns 2,25 ns ,00 ns 1,00 ns ,00 ns 2,00 ns ,00 ns 1,00 ns ,44** 9,00*** ,00*** 1,00 ns ,29 ns 5,14** ,00*** 36,00*** ,84 ns 5,26** Keterangan: ns= non significant; **= significant pada selang kepercayaan 95%; ***= sangat significant pada a= 0,05 Uji Lapang Lacak Balak Apple to Apple Test di IUPHHK PT. Y Berdasarkan uji lapang lacak balak pada kayu tunggak dan kayu TPK yang diambil berdasarkan nomor pohon yang sama, dapat dikatakan bahwa secara umum sistem pelabelan kayu pada IUPHHK PT. Y berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari persentase kecocokan genotipe antara kayu tunggak dengan kayu TPK adalah 70% (Tabel 8). Dari 20 sampel yang diujicobakan, terdapat 14 sampel yang menunjukkan kecocokan DNA kayu tunggak dengan kayu TPK. Nilai perbedaan genotipe sebesar 30% kemungkinan disebabkan oleh kesalahan dalam pelabelan (miss-labeling). Minimum 60% persentase kesesuaian antara pita/genotipe di tunggak dengan di TPK yang mengindikasikan bahwa kayu di tunggak sama dengan kayu di TPK (Certisource 2009). Berdasarkan grafik frekuensi alel, secara umum struktur alelik di tunggak sama dengan struktur alelik di TPK (Gambar 16). Pada gambar grafik dapat dikatakan bahwa lokus dua dapat digunakan sebagai marker untuk mengetahui kecocokan DNA kayu tunggak dengan kayu di TPK, khususnya untuk jenis S. laevis. Hal ini dapat terlihat dari nilai frekuensi yang sama untuk semua alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK. Sebaliknya, lokus tiga dapat dijadikan marker untuk mengetahui ketidakcocokan DNA kayu tunggak dengan kayu di TPK jenis S. laevis. Hal ini dapat terlihat dari nilai frekuensi yang berbeda untuk semua alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK.

53 Tabel 8 Kesesuaian genotipe kayu tunggak dengan kayu TPK Genotipe Tunggak Genotipe TPK No. Sampel Lokus 1 Lokus 2 Lokus 3 Lokus 1 Lokus 2 Lokus 3 Kesesuaian Genotipe No Yes No Yes Yes Yes No No No Yes Yes Yes Yes No Yes Yes Yes Yes Yes Yes Alel 1 Alel 2 Alel 1 Alel 3 Alel 1 Alel 3 Alel 3 Alel 2 Alel 2 Lokus 1 Lokus 2 Lokus 3 Lokus 1 Lokus 1 Lokus 1 Gambar 16 Frekuensi alel kayu tunggak dan kayu TPK

54 Selain itu, berdasarkan uji chi square (a=0,05; X 2 Tabel= 3,841) jumlah genotipe baik di tunggak maupun di TPK, secara umum kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. Y yang dilakukan pengujian apple to apple adalah sama. Hasil uji chi square genotipe kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. Y disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Chi square test kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. Y Lokus 1 Genotipe Tebangan Jumlah Genotipe TPK X 2 (a=0,05) Tebangan-TPK ,0000 ns ,2667 ns ,0000 ns ,0000 ns 3 Keterangan: ns= non significant ,0000 ns ,0000 ns ,2353 ns ,0000 ns Aplikasi Teknologi DNA untuk Lacak Balak pada Kayu Secara biologis selain daun, benih dan kambium, kayu juga menyimpan materi genetik berupa DNA. Informasi genetik pada tanaman kehutanan tersebar pada tiga genom yaitu inti sel (nuklear), mitokondria dan kloroplas. DNA kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetik pada beberapa tanaman, seperti pada Dipterocarpaceae (Kamiya et al. 2005), serta studi ekologi dan sejarah evolusi tanaman (Heuertz et al. 2004). Baru-baru ini DNA kloroplas juga telah digunakan sebagai alat identifikasi dan forensik kayu (asal daerah kayu) untuk mendukung kegiatan sertifikasi kayu (Deguilloux et al. 2004). Penanda mikrosatelit juga telah digunakan untuk lacak balak pada jenis kayu ramin (Smulders et al. 2008). Berdasarkan hasil penelitian, DNA kayu Shorea laevis dapat diekstraksi dan diamplifikasi dengan penanda mikrosatelit. Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu sebelumnya sudah berhasil dilakukan (Deguilloux et al. 2002), selain dari kayu, kegiatan esktraksi DNA pada kulit biji yang keras juga sudah berhasil dilakukan (Godoy and Jordano 2001). Jika DNA kayu berhasil diekstraksi, maka dengan metode PCR bagian-bagian tertentu DNA dapat selanjutnya diamplifikasi hingga

55 cukup untuk keperluan analisis variasi genetik. Banyak penelitian yang menggunakan DNA kayu untuk lacak balak kayu (Degen and Fladung 2007; Finkeldey et al. 2007; Lowe 2007). Hasil proses amplifikasi dengan menggunakan primer nuklear mikrosatelit pada kayu Shorea laevis tidak semua menunjukkan pola pita yang polimorfik, hanya tiga primer yang menghasilkan pola pita polimorfik. Penanda genetik yang baik adalah memiliki sifat polimorfik, multialel, bersifat ko-dominan, nonepistatik, netral, dan tidak sensitif terhadap pengaruh lingkungan (de Vienne 2003). Penanda molekuler merupakan suatu metode yang relatif baru dan potensial digunakan untuk menganalisa keragaman genetik suatu organisme (Suryanto 2003). Menurut Siregar (2000), keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam populasi dan antar populasi dan masing-masing mempunyai beberapa ukuran. Pada umumnya sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam populasi dan perbedaan antara populasi hanya sedikit (Hamrick dan Godt 1996). Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat atau hibrid, dimana metode anatomi kayu sangat sulit untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya. Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu jati sebelumnya telah berhasil dilakukan untuk memverifikasi aliran kayu jati pada Perhutani (Siregar et al. 2008). Selain itu, penelusuran asal-usul kayu juga dapat dilakukan dengan menggunakan analisis kimia kayu, isotop, dan anatomi kayu (Abe and Fujii 2007; Boner et al. 2007; Kagawa et al. 2007; Kato and Hishiyama 2007; Kholik et al. 2009).

56 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Tidak semua primer hasil cross species amplification menunjukkan pola pita yang polimorfik pada DNA kayu jenis Shorea laevis, hanya ada tiga primer yaitu primer SleE01 dan SleE07 dari jenis Shorea leprosula, serta primer Shc04 dari jenis Shorea curtisii. 2. Hasil pendugaan asal-asal usul kayu yang tidak jelas berdasarkan database nuklear daun menunjukkan bahwa kayu tersebut setidaknya berasal dari PT. X yang berlokasi di propinsi Kalimantan Tengah, dimana daerah tersebut merupakan kawasan yang masih memiliki hutan yang cukup luas. 3. Berdasarkan uji kesamaan (similiarity) terhadap kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK menunjukkan bahwa kedua IUPHHK tersebut menebang dan menggunakan kayu dari aeral konsesinya sendiri, hal ini terlihat dari dendrogram yang mengelompok untuk masing-masing IUPHHK. 4. Berdasarkan uji kesesuaian genotipe (conformity) dan uji chi square, hasil uji lapang lacak balak kayu tunggak dan TPK dengan nomor pohon yang sama di IUPHHK PT. Y menunjukkan bahwa secara umum struktur genotipik kayu tunggak dengan struktur genotipik kayu di TPK adalah sama. Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Penyusunan database genetik jenis Shorea laevis untuk seluruh pulau di Indonesia dengan menggunakan primer yang lebih banyak lagi. 2. Pengujian lacak balak kayu dari jenis S. laevis yang berasal dari wilayah yang berbeda (misalnya Sumatera dan Sulawesi).

57 DAFTAR PUSTAKA Abe H and Fujii T Anatomical Identification of Wood of Section Rubroshorea Species. In: Proceedings of The International Symposium on Development of Improved Methods to Identify Shorea Species Wood and Its Origin. September 25-26, 2007, Tokyo, Japan Abidin R Penerapan ekolabel dipandang dari sudut pemanenan kayu. Di dalam: Suhendang E, Haeruman H, Soerianegara I, editor. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia: Konsep, Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. Proceeding Simposium; Jakarta, Agustus Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. hlm Anonim Arah Kebijakan dan Program Polri dalam Upaya Penegakkan Hukum Di Bidang Kehutanan. Disampaikan Pada Workshop Pengembangan DNA Forensik untuk Pelacakan Asal Kayu Illegal Untuk Mendukung Tugas Polri. Jakarta 24 Nopember Benbouza H, Jacquemin JM, Baudoin JP, and Mergeai G Optimization of a reliable, fast, cheap and sensitive silver staining method to detect SSR markers in polyacrylamide gels. Biotechnol. Agron. Soc. Environ (2), Boner M, Sommer T, Erven C, Förstel H Stable Isotopes as A Tool to Trace Back The Origin of Wood. In: Proceedings of The International Workshop Fingerprinting Methods for The Identification Of Timber Origins. October , Germany. Cao C, Finkeldey R, Siregar IZ, Siregar UJ and Gailing O Genetic diversity within and among populations of Shorea leprosula Miq. and Shorea parvifolia Dyer (Dipterocarpaceae) in Indonesia detected by AFLPs. Tree Genetics and Genome 2(4): Cavers S, Degen B, Caron H, Lemes MR, Margis R, Salgueiro F, Lowe AJ Optimal Sampling Strategy For Estimation Of Spatial Genetic Structure In Tree Populations. Heredity 95: Certisource DNA Verification of Origin: The Certisource Approach. [ 1 Januari 2010] [CIFOR] Center of International Forestri Research UU tindak pencucian uang Indonesia yang baru dapat menolong menyelamatkan hutan Indonesia. http: // Press Room/ Media Release/ Archive/ htm. [23 Oktober 2008].

58 Craft KJ, Owens JD, and Ashley MV Application Of Plant DNA Markers In Forensic Botany: Genetic Comparison Of Quercus Evidence Leaves To Crime Scene Trees Using Microsatellites. Forensic Science International 165: Crowder LV Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: UGM-Press. Degen B, Caron H, Bandou E, Maggia L, Chevallier MH, Leveau A, Kremer A Fine-Scale Spatial Genetic Structure Of Eight Tropical Tree Species As Analysed By RAPDs. Heredity 87: Degen B and Fladung M Use Of DNA-Markers For Tracing Illegal Logging. In: Proceedings Of The International Workshop Fingerprinting Methods For The Identification Of Timber Origins. October , Germany Deguilloux MF, Pemonge MH and Petit RJ Novel perspectives in wood certification and forensics: dry wood as a source of DNA. The Royal Society 269: Deguilloux MF, Pemonge MH and Petit RJ DNA based control of Oak wood geographic origin in the context of cooperage industry. Ann. For. Sci. 61: De Vienne D Molecular markers in plant genetics and biotechnology. Science Publishers Inc. USA. Dykstra DP, Kuru G, Taylor R, Nussbaum R, Magrath WB, Story J Technologies for wood tracking. World Bank/WWF Forest Alliance. Estoup A, Jarne P, Cornent JM Homoplasy and mutation model at microsatellite loci and their consequnces for population genetic analysis. Mol. Ecol. 11: [Fahutan IPB] Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Pembaruan kebijakan pengelolaan hutan menuju era sertifikasi ekolabel. Di dalam: Suhendang E, Haeruman H, Soerianegara I, editor. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia: Konsep, Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. Proceeding Simposium; Jakarta, Agustus Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. hlm Finkeldey R Pengantar Genetika Hutan Tropis. Jamhuri E., Siregar IZ., Siregar UJ., Kertadikara AW., penerjemah. Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding Georg-August-Univerity-Gottingen. Terjemahan dari: An Introduction to Tropical Forest Genetics.

59 Finkeldey R, Rachmayanti Y, Nuroniah H, Nguyen NP, Cao C and Gailing O Identification of the timber origin of tropical species by molecular genetic markers the case of dipterocarps. In: Proceedings of the international workshop Fingerprinting methods for the identification of timber origins, October , Germany. Godoy JA and Jordano P Seed dispersal by animals: exact identification of source trees with endocarp DNA microsatellites. Mol. Ecol. 10: Hamrick JL and Godt MJW Effects of life history traits on genetic diversity in plant species. Phil. Trans. Royal Soc. London, Ser. B. 351: Hardy OJ, Maggia L, Bandou E, Breyne P, Caron H, Chevallier MH, Doligez A, Dutech C, Kremer A, Latouche-Halle C, Troispoux V, Veron V, Degen B Fine-scale genetic structure and gene dispersal inferences in 10 Neotropical tree species. Mol Ecol 15: Heuertz M, Fineschi S, Anzidei M, Pastorelli R, Salvini D, Paule L, Lacoste LN, Hardy OJ, Vekemans X, and Vendramin GG Chloroplast DNA variation and postglacial recolonization of common ash (Fraxinus excelsior L.) in Europe. Molecular Eology 13: Hidayat N Tata Usaha Kayu di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma. Laporan Praktek Lapangan. Kalimantan Tengah. Hidayati R, Tambunan CCH, Nugraha A, Aminudin I Pemberantasan illegal logging dan penyelundupan kayu: menuju kelestarian hutan dan peningkatan kinerja sektor kehutanan. Wana Aksara. Banten Kagawa A, Kuroda K, Abe H, Fujii T, and Itoh Y Stable isotopes and inorganic elements as potential indicators of geographic origin of Southeast Asian timber. In: Proceedings of the International Symposium on Development of Improved Methods to Identify Shorea Species Wood and its Origin. September , 2007, Tokyo, Japan Kamiya K, Harada K, Tachida H, Ashton PS Phylogenetic of PgiC gen in Shorea and its closely related genera (Dipterocarpaceae) the dominant trees in Southeast Asian tropical rain forest. Am. J. Bot. 92 (5): Kato A and Hishiyama S Identification of red meranti based on the heartwood extractives. In: Proceedings of the International Symposium on Development of Improved Methods to Identify Shorea Species Wood and its Origin September 25-26, 2007, Tokyo, Japan Kholik A Variasi genetik, isotop dan spektra Near Infrared (NIR) kayu Jati di Jawa [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

60 Kholik A, Djiono, Siregar IZ, Siregar UJ, Karlinasari L, Yunanto T Aplikasi Isotop d 13 C dan d 18 O untuk Lacak Balak Kayu Jati (Tectona grandis Linn.f.) di Jawa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. Bogor. Kodra HAS dan Rais SH Bumi Makin Panas Banjir Makin Luas: Menyibak Tragedi Kerusakan Hutan. Bandung: Penerbit Nuansa. Lee SL, Tani N, Ng KKS and Tsumura Y Isolation and characterization of 20 microsatellite loci for an important tropical tree Shorea leprosula (Dipterocarpaceae) and their applicability to S. parvifolia. Molecular Ecology Notes 4: [LEI] Lembaga Ekolabel Indonesia. 2003a. Sertifikasi hutan : Lacak balak. [23 Oktober 2008] b. Konsep dasar ekolabel. [23 Oktober 2008] c. Perkembangan sertifikasi lacak balak. http: // indonesia/ news _ detail.php? Cat = 1 & news_id = 83. [23 Oktober 2008]. Lowe A Can we use DNA to identify the geographic origin of tropical timber?. In: Proceedings of the international workshop Fingerprinting methods for the identification of timber origins, October , Germany. Ng K Molecular Ecology Resources Primer Database. e&id Novelli VM, Cristofani M, Souza AA and Machado MA Development and characterization of polymorphic microsatellite markers for the sweet orange (Citrus sinensis L. Osbeck). Genetics and Molecular Biology 29, 1: Ottewell KM, Donnellan SC, Moran GF And Paton DC Multiplexed Microsatellite Markers for the Genetic Analysis of Eucalyptus leucoxylon (Myrtaceae) and Their Utility for Ecological and Breeding Studies in other Eucalyptus Species. Journal of Heredity 96(4): Panday M and Geburek T Successful cross-amplification of Shorea microsatellites reveals genetic variation in the tropical tree, Shorea robusta Gaertn. (Brief report). Hereditas 146: Prawira B, Soewanda A. dan Tantra IGM. Pengenalan Jenis-jenis pohon penting (89 jenis pohon Kompilasi Lap. Lembaga Penelitian Hutan No ). Lembaga Penelitian Hutan. Bogor

61 Qalbi N Uji Lapang Lacak Balak Kayu Jati (Tectona grandis Linn.f.) dengan Penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).[Skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Departemen Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Qiagen HotStarTaq PCR Handbook. Germany: Qiagen. Rachmayanti Y, Leinemann L, Gailing O, Finkeldey R Extraction, amplification and characterization of wood DNA from Dipterocarpaceae. Plant Mol Biol Report 24:45-55 Rohlf FJ Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc) Version 2.0. New York: Department of Ecology and Evolution Sate University of New York. Sarijanto T Sistem pengelolaan hutan produksi lestari menuju era ekolabel. Di dalam: Suhendang E, Haeruman H, Soerianegara I, editor. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia: Konsep, Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. Proceeding Simposium; Jakarta, Agustus Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. hlm Setiono B, Husein Y Memerangi kejahatan kehutanan dan Mendorong Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan. CIFOR Occasional Paper 44(i): Siregar IZ Genetic Aspects of the Reproductive System of Pinus merkusii Jugh et de Vriese in Indonesia. Gottingen: Cuvillier Verlag. 147 hlm. Siregar IZ, Siregar UJ, Karlinasari L dan Yunanto T Pengembangan Penanda Genetika Molekuler untuk Lacak Balak (Studi Kasus pada Jati). Laporan Akhir Hibah Bersaing. LPPM. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar IZ, Siregar UJ dan Yunanto T Aplikasi Penanda Molekuler untuk Lacak Balak Kayu Meranti Ilegal. Laporan Akhir Hibah Bersaing. LPPM. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Smulders MJM, Van T Westende WPC, Diway B, Esselink GD, Van Der Meer PJ and Koopman WJM Development of microsatellite markers in Gonystylus bancanus (Ramin) useful for tracing and tracking of wood of this protected species. Molecular Ecology Resources 8: Stacy EA, Dayanandan S, Dancik BP and Khasa PD Microsatelite DNA Markers for the Sri Lankan Rainforest Tree Species, Shorea cordifolia (Dipterocarpaceae), and Cross-species Amplification in Shorea megistophylla. Molecular Ecology Notes 1:

62 Suryanto D Melihat keanekaragaman organisme melalui beberapa teknik genetika molekuler. Program Studi Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Tohirin Pengayaan Database Genetik Rapd Jat Dengan Contoh Uji Kayu Kering. [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Departemen Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Ujino T, Kawahara T, Tsumura Y, Nagamitsu T, Yoshimaru H, and Wickneswari R Development and Polymorphism of Simple Sequence Repeat DNA Marker For Shorea curtisii and Other Dipterocarpaceae Species. Heredity 81: Voght KA, Larson BC, Gordon JC, Vogt DJ, and Fanzeres A Forest certification: roots. issues, challenges, and benefits. USA: CRC Press. Weising K and Gardner R A set of universal PCR primers for the analysis of simple sequence repeat polymorphisms in chloroplast genomes of dicotyledonous angiosperms. Genome 42: Zulfahmi Variasi DNA Kloroplas Shorea spp (Shorea acuminata, Dyer, Shorea leprosula, Miq dan Shorea parvifolia, Dyer) Menggunakan Penanda Mikrosatelit. [Tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

63 Lampiran 1 Foto alat-alat penelitian (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) Gambar Foto alat-alat penelitian, a). Mesin PCR PTC-100 Programmable Thermal Cycler, b). Mesin sentrifugasi, c). Frezzer, d). Pipet mikro effendrof, e). Mesin water bath fisherbrand, f). Mesin elektroforesis Fisher scientific, g). Vortex, h). Timbangan analitik, i). Mesin pengaduk magnet, dan j). poliakrilamid elektroforesis (foto pribadi).

64 Lampiran 2 Hasil skoring nuklear DNA pada kayu Shorea laevis beserta profil DNA mikrosatelit Primer Populasi No. Sample sle-01 sle-07 shc-04 IUPHHK PT. X Penebangan Contoh profil DNA IUPHHK PT. X TPK Contoh profil DNA

65 Lampiran 2 (lanjutan) Populasi No. Sample Primer sle-01 sle-07 shc-04 IUPHHK PT. X Industri Contoh profil DNA IUPHHK PT. Y Penebangan Contoh profil DNA

66 Lampiran 2 (lanjutan) Populasi No. Sample Primer sle-01 sle-07 shc-04 IUPHHK PT. Y TPK Contoh profil DNA IUPHHK PT. Y Industri Contoh profil DNA

67 Lampiran 2 (lanjutan) Populasi No. Sample Primer sle-01 sle-07 shc-04 Kayu asal-usul tidak jelas Contoh profil DNA

UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU (Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT TEDI YUNANTO

UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU (Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT TEDI YUNANTO UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU (Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT TEDI YUNANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Shorea laevis Ridl

TINJAUAN PUSTAKA Shorea laevis Ridl TINJAUAN PUSTAKA Shorea laevis Ridl. Shorea laevis Riddl. merupakan salah satu jenis yang termasuk kedalam famili Dipterocarpaceae. Jenis S. laevis banyak memiliki nama daerah diantaranya adalah: kumus

Lebih terperinci

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS Shorea johorensis Foxw DI PT. SARI BUMI KUSUMA BERDASARKAN RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) TEDI YUNANTO E14201027

Lebih terperinci

UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU JATI DENGAN PENANDA RAPD NUR QALBI

UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU JATI DENGAN PENANDA RAPD NUR QALBI UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU JATI DENGAN PENANDA RAPD NUR QALBI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU JATI DENGAN PENANDA RAPD NUR QALBI Skripsi

Lebih terperinci

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis. Jumlah contoh Kayu di Industri. Kayu di TPK

BAHAN DAN METODE. Lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis. Jumlah contoh Kayu di Industri. Kayu di TPK BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama 8 bulan, yaitu dari bulan Juni 2009 Januari 2010. Pengambilan contoh kayu dilakukan pada kayu tunggak, kayu di Tempat Pengumpulan Kayu (TPK),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diminati oleh banyak orang, baik dalam maupun luar negeri.

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD) Lampiran 2.2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKM)

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKM) Lampiran 3 : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.6/VI-Set/2009 Tanggal : 15 Juni 2009 Tentang : Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA PEMEGANG IZIN DAN PEMEGANG HAK PENGELOLAAN

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA PEMEGANG IZIN DAN PEMEGANG HAK PENGELOLAAN Lampiran 2.1. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

Workshop PEMANFAATAN INFORMASI GENETIK untuk VERIFIKASI LEGALITAS KAYU JATI 5 MEI 2015

Workshop PEMANFAATAN INFORMASI GENETIK untuk VERIFIKASI LEGALITAS KAYU JATI 5 MEI 2015 Workshop PEMANFAATAN INFORMASI GENETIK untuk VERIFIKASI LEGALITAS KAYU JATI 5 MEI 2015 BioForensik Lacak Balak dengan penanda DNA Tujuan: mengetahui asal usul kayu yang diperdagangkan Sasaran: menyediakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur. No.142, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENHUT-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Rincian pengambilan contoh uji baik daun maupun kayu jati

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Rincian pengambilan contoh uji baik daun maupun kayu jati METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Dalam penelitian ini contoh uji yang digunakan dibedakan atas contoh uji daun dan kayu. Penelitian terhadap daun dan kayu dilakukan di Ruang Analisis Genetika, Laboratorium

Lebih terperinci

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA (IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK- HTI/HPHTI, IUPHHK RE)

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA (IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK- HTI/HPHTI, IUPHHK RE) Lampiran 2 : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.6/VI-Set/2009 Tanggal : 15 Juni 2009 Tentang : Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN KRITERIA DAN INDIKATOR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN KRITERIA DAN INDIKATOR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU Lampiran 2.1. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.14/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 29 Desember 20142014201414 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN Lampiran 2.1. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2 GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, DAN HAK PENGELOLAAN Lampiran 2.1. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor : P.14/PHPL/SET/4/2016 Tanggal : 29 April 2016 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DAN KEJAHATAN KEHUTANAN DI INDONESIA

PROBLEMATIKA PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DAN KEJAHATAN KEHUTANAN DI INDONESIA MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN RESERSE KRIMINAL PROBLEMATIKA PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DAN KEJAHATAN KEHUTANAN DI INDONESIA DISAMPAIKAN PADA SEMINAR NASIONAL DENGAN TEMA UPAYA

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH) IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH) RIKA MUSTIKA SARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta ribuan pulau oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang mana salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sesuatu

Lebih terperinci

7. KERAGAMAN GENETIKA NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS

7. KERAGAMAN GENETIKA NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS 92 7. KERAGAMAN GENETIKA NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Nepenthes atau kantong semar merupakan salah jenis tumbuhan bawah yang mampu beradaptasi dan tumbuh dominan di habitat

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT(HTR, HKm, HD)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT(HTR, HKm, HD) Lampiran 2.2. PeraturanDirekturJenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P./VI-BPPHH/2013 Tanggal : 2013 Tentang : StandardanPedomanPelaksanaanPenilaianKinerjaPengelolaanHutanProduksi Lestari danverifikasilegalitaskayu

Lebih terperinci

2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d

2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1247, 2015 KEMEN LH-HK. Hasil. Hutan Kayu. Penatausahaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.42/Menlhk-Setjen/2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR) Lampiran 2.2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 9 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR) Lampiran 2.2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.14/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 29 Desember 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH I N F O S O S I A L E K O N O M I Vol. 2 No.1 (2001) pp. 45 54 SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Triyono Puspitojati RINGKASAN Sistem pemantauan produksi dan peredaran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH) IRVAN DALI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri

2 c. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri No.1498, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hasil Hutan. Bukan Kayu. Hutan Negara. Penatausahaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.91/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.91/Menhut-II/2014 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.91/Menhut-II/2014 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.91/Menhut-II/2014 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 24-34

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 24-34 PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN RAKYAT SEBAGAI UPAYA MENDORONG PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERBASIS MASYARAKAT Oleh: Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan I. PENDAHULUAN Hutan adalah sumber daya

Lebih terperinci

Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005

Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005 Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005 DESKRIPSI PRINSIP/KRITERIA/ DETERMINAN MENURUT VERSI 1.0 PRINSIP 1. PENGUASAAN LAHAN DAN HAK PEMANFAATAN Status hukum dan hak penguasaan Unit Pengelolaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF ATAS PELANGGARAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN, IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DAN IZIN USAHA INDUSTRI

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

JMHT Vol. XV, (3): , Desember 2009 Artikel Ilmiah ISSN:

JMHT Vol. XV, (3): , Desember 2009 Artikel Ilmiah ISSN: Evaluasi Pertumbuhan dan Keragaman Genetik Tanaman Gunung (Dipterocarpus retusus blume.) dan (Dipterocarpus hasseltii blume.) Berdasarkan Penanda RAPD Growth and Genetic Variation Evaluation of Mountain

Lebih terperinci

STANDARD UNTUK PENELUSURAN LEGALITAS KAYU (VERSI 3.2) HASIL WORKSHOP TANGGAL 15 JUNI 2006

STANDARD UNTUK PENELUSURAN LEGALITAS KAYU (VERSI 3.2) HASIL WORKSHOP TANGGAL 15 JUNI 2006 STANDARD UNTUK PENELUSURAN LEGALITAS KAYU (VERSI 3.2) HASIL WORKSHOP TANGGAL 15 JUNI 2006 Kayu disebut sah jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi

Lebih terperinci

Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment

Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment An Opportunity of Illegal Log Distribution on Administration of Self Assessment Oleh/By: Hendro Prahasto Setiasih Irawanti Abstrak

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.20/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 14/MENHUT-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR) Lampiran 2.2. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor : P.14/PHPL/SET/4/2016 Tanggal : 29 April 2016 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Otonomi

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. 1. bahwa berdasarkan pasal 17 ayat

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN KAYU/IPK TAHAP II KEPADA PT. MERDEKA PLANTATION INDONESIA PADA AREAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Lebih terperinci

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu No.690, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Alam. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 Agustus Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 Agustus Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 Agustus 2011. Penelitian ini bertempat di Laboratorium Analisis Genetika, Departemen Silvikultur,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Varietas unggul padi telah tersebar di seluruh dunia untuk dijadikan bibit yang digunakan oleh para petani. Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan lebih dari

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN KAYU/IPK KEPADA PT. MEDCOPAPUA INDUSTRI LESTARI PADA AREAL PEMBANGUNAN INDUSTRI KAYU SERPIH

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENEBANGAN DAN PEREDARAN KAYU RAKYAT

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENEBANGAN DAN PEREDARAN KAYU RAKYAT PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENEBANGAN DAN PEREDARAN KAYU RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2016, No dimaksud dalam huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf

2016, No dimaksud dalam huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf No. 133, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENLH-KEHUTANAN. Pemanfaatan Kayu. Izin. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan memiliki fungsi sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG,

PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 25 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) PADA HUTAN PRODUKSI MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 5 tahun 2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 5 tahun 2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 5 tahun 2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Undang-undang

Lebih terperinci

KAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN

KAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN KAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN Oleh: Epi Syahadat & Apul Sianturi 1) ABSTRAK Permasalahan dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan masih belum terselesaikan dengan baik hingga

Lebih terperinci

23 APRIL 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

23 APRIL 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG 23 APRIL 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO 5 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENATAUSAHAAN KAYU RAKYAT DI KABUPATEN PONOROGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU - 1 - PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

NGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA NGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TUMUR, Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI ( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA AHSAN MAULANA DEPARTEMEN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 109 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN KAYU/IPK TAHAP II KEPADA PT. SUMBER KAYU UTAMA PADA AREAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) LAMPIRAN 2. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

KAJIAN MEKANISME PERMOHONAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH), (KASUS DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR) Oleh : Epi Syahadat

KAJIAN MEKANISME PERMOHONAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH), (KASUS DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR) Oleh : Epi Syahadat KAJIAN MEKANISME PERMOHONAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH), (KASUS DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR) Oleh : Epi Syahadat Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauhmana

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

Latar Belakang Tujuan Penelitian Bahan dan metode Hasil & Pembahasan Kesimpulan

Latar Belakang Tujuan Penelitian Bahan dan metode Hasil & Pembahasan Kesimpulan /0/0 AYPBC Widyatmoko Laboratorium Genetika Molekuler Disampaikan Pada Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia Jogjakarta Maret 0 Latar Belakang Tujuan Penelitian Bahan dan metode Hasil & Pembahasan

Lebih terperinci

2016, No tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.42/MenLHK- Setjen/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hu

2016, No tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.42/MenLHK- Setjen/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hu No.1063, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Hasil Hutan Kayu. Penatausahaan. Perubahan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.58/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2016

Lebih terperinci

RESUME HASIL VERIFIKASI LK

RESUME HASIL VERIFIKASI LK RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU IUPHHK-HTI PT PUTRADUTA INDAH WOOD (1) Identitas LVLK : a. Nama Lembaga : PT. Transtra Permada b. Nomor Akreditasi : LVLK-009-IDN c. Alamat : Jl. Petung No. 2 Papringan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl.) BERDASARKAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) YULISTIA WULANDARI

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl.) BERDASARKAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) YULISTIA WULANDARI ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl.) BERDASARKAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) YULISTIA WULANDARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN (APL) ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2. Undang -undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 3. Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2. Undang -undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 3. Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 13.1/Kpts-II/2000 TANGGAL 6 NOVEMBER 2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEREDARAN DAN PEMASARAN HASIL HUTAN MENTERI KEHUTANAN, a. bahwa berdasarkan Peraturan

Lebih terperinci