MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE"

Transkripsi

1 MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung) (Jurnal) Oleh: Denny Pratama Fitriyanto FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

2 ABSTRAK MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung) Oleh Denny Pratama Fitriyanto, Erna Dewi, Diah Gusti Niati M dennyp839@gmail.com Tugas Polri sebagai penegak hukum selama ini selalu mengedepankan asas legalitas formal dalam suatu penyidikan. Penyidik dalam menjalankan tugasnya memiliki suatu keraguan dalam menentukan suatu perkara dapat diteruskan atau tidak, ketika ada perdamaian. Permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimanakah penerapan mediasi oleh pihak kepolisian dalam penanganan tindak pidana ringan sebagai upaya mengwujudkan restorative justice dan faktor yang menghambat penerapan mediasi oleh kepolisian dalam upaya mewujudkan keadilan subtantive. Metode pendekatan yang digunakan yuridis normatif dan yuridis empiris, menekankan pada kajian kaidah hukum, ditunjang dengan pendekatan lapangan berupa informasi serta opini penegak hukum yang terkait. Narasumber terdiri dari, aparat kepolisian, dan akademisi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: Kepolisian Polresta Bandar Lampung pada peraktiknya sering menghadapi kasus yang perjalanannya terjadi perdamaian sehingga korban mencabut laporannya, sehingga penyidik berusaha mementingkan keadilan serta kemanfaatan; faktor penghambat: Pertama, tidak adanya aturan hukum mengenai mediasi penal dalam perkara pidana. Kedua, terdapat celah penyimpangan penerapan mediasi oleh aparat. Ketiga, aparat kepolisian terlalu berpegang teguh pada asas legalistik formal. Saran dari penelitian adalah Polri perlu menekankan penerapan hukum progresif dengan menerapkan restorative justice melalui kewenagan diskeresi. Perlu adanya penyesuaian persepsi dalam menjalankan prinsip restorative justice. Perlu adanya aturan mengenai mediasi sebagai penyelesaian perkara pidana. Kata Kunci : Mediasi Penal Lembaga Kepolisian, Tindak Pidana Ringan, Restorative Justice.

3 ABSTRACT PENAL MEDIATION BY POLICE INSTITUTION IN HANDLING OF MINOR CRIMES IN MAKING RESTORATIVE JUCTICE PRINCIPLES (A Study at Polresta Bandar Lampung) By Denny Pratama Fitriyanto, Erna Dewi, Diah Gusti Niati M dennyp839@gmail.com Police duties as law enforcement has always put forward the principle of formal legality in an investigation. The investigators in performing their duties have a doubt in determining whether a case can be continued or not if a conciliation has been met. The problems of this research are to determine the implementation of mediation by the police in handling minor crime as an effort to realize restorative justice and to find out the inhibiting factors of the application of mediation by police in the effort to realize subtantive justice. The method used in this research were normative and empirical approaches emphasizing on study of rule of law, and supported by field approach in form of related information and opinion of law enforcement. The resource persons consisted of police officers, and academics. The data collection was completed through literature study and field study. The data analysis was done qualitatively. Based on the results and discussion of the research, it can be concluded that: The police officers in Bandar Lampung often encountered cases where conciliation was finally made so that the victim revoke the report; thus, the investigators tried to put forward the importance of justice and expediency; while the inhibiting factors included: First, the absence of a legal rule concerning penal mediation in criminal cases. Second, there was a gap in the application of mediation by the officers. Third, the police officers were too firm in applying the formal legal principles. It is suggested that the police officers need to emphasize the application of progressive law by applying restorative justice through the authority of discretion. It is necessary to have a perception adjustment in implementing the principle of restorative justice. Further, it is important to implement a rule regarding mediation as a settlement of criminal cases. Keywords: Penal Mediation of Police Institution, Minor Crime, Restorative Justice.

4 I. PENDAHULUAN Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah bagian dari administrasi pemerintahan yang fungsinya untuk memelihara keteraturan serta ketertiban dalam masyarakat, menegakkan hukum, dan mendeteksi kejahatan serta mencegah terjadinya kejahatan. Polisi juga memiliki fungsi sebagai pengayom masyarakat dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu rasa aman serta merugikan secara kejiwaan dam material, dengan cara memelihara keteraturan dan ketertiban sosial, menegakkan hukum atau lebih tepatnya menegakkan keadilan dalam masyarakat berdasarkan hukum. 1 Tugas kepolisian dalam memilihara ketertiban dan keamanan masyarakat sangat erat kaitannya dengan hah-hak asasi manusia. Oleh karena sifat pekerjaan itulah, maka polisi sering menanggung resiko menjadi sorotan masyarakat. Sorotan-sorotan yang ditujukan kepada polisi ada yang bersifat positif maupun negatif. 2 Sorotan dari masyarakat ini bukanlah tidak beralasan, apabila kita lihat dari pemberitaan-pemberitaan media masa baik itu cetak atau elektronik, dimana memberitakan penegakkan hukum yang tidak mencerminkan rasa keadilan, seperti perkara nenek Minah yang mencuri 3 buah kakau dan perkara Basar Suyanto dan Kholil yang harus mengalami dinginnya tembok penjara selama 70 hari karena memakan 1 buah semangka. 1 Markas Besar Kepolisian Negara Repulik Indonesia Sekolah Staf dan Pimpinan, Polmas Sebagai Implementasi Comunity Policing Bagaimana Menerapkannya?, hlm Sitompul, 2000, Beberapa Tugas dan Peranan Polri, Cv. Wanthy Jaya, Jakarta, hlm 1. Berdasarkan pada hal tersebut di atas menunjukkan bagaimana penegakkan hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak memiliki faedah baik itu untuk pelaku tindak pidana maupun korban. Polisi sebagai aparat penegak hukum yang dekat oleh masarakat dan merupakan gerbang awal masyarakat untuk mencari keadilan, harus lebih bijak menentukan suatu perkara dapat atau tidaknya maju ke tahap selanjutnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan hukum pidana polisi tidaklah seperti menarik garis lurus antara dua titik, tetapi penuh pergulatan sosiologis dan kemanusiaan. 3 Polisi haruslah menempatkan posisinya bukan hanya sekedar pelaksana undang-undang, dimana ia dapat memilih antara meneruskan proses secara hukum atau menggunakana sarana mediasi untuk menghentikan proses hukum. Menurut Gustav Radbruch, ada tiga nilai dasar yang terdapat dalam hukum, yakni nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. 4 Kepolisian sebagai penegak hukum idealnya harus mengedepankan nilai dasar hukum terebut secara berimbang, akan tetapi dalam realitasnya ketiga nilai hukum tersebut mengalami pertentangan satu dengan lainnya. Aparat Penegak hukum dalam hal ini instansi kepolisian dalam menjalankan tugasnya masih selalu mengedepankan aspek peraturan (rule) dengan berpegang teguh pada 3 Satjipto Raharjo, 2007, Membangun Polisis sipil, Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, hlm 84.

5 asas legaitas formal dalam setiap penanganan perkara pidana. Penggunaan asas lalitas formal ini, membuat aparat kepolisian rigit dalam menegakkan undang-undang. Penanganan perkara yang tidak sesuai dengan apa yang di amanatkan undang-undang, maka aparat kepolisan dianggap telah melakukan penyimpangan, walaupun dilakukan dengan tujuan keadilan dan kemanfaatan. Anggapan-anggapan yang demikian mengakibatkan kepolisian cederung melanjutkan proses sistem pradilan pidana dibandingkan melakukan penyelesaian perkara yang efektif dengan mediasi antara dua belah pihak untuk mendapatkan keadilan. Hakikatnya masyarakat dalam mengadukan permasalahan hukumnya dikarenakan menginginkan keadilan, oleh karena tersebut kepolisian sebagai lini terdepan dari sistem peradilan pidana memiliki andil dan peran yang cukup besar. Penyidik tidak harus mengedepankan legalistik formal yang mengejar kepastian hukum dalam setiap penanganan perkara pidana. Cara berhukum penyidik kepolisian hendaknya tidak hanya semata-mata menggunakan logika serta undangundang saja, melainkan dengan hati nurani, seperti empati, kejujuran, dan keberanian. 5 Karena hukum tidak hadir unruk dirinya sendiri, tetapi untuk nilai-nilai kamanusiaan dalam rangka mencapai keadilan, kesejahtraan, dan kebahagiaan manusia. Penyidik kepolisan dalam menangani perkara tindak pidana ringan tentunya dihadapkan pada pilihan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan. Oleh 5 Ibid, Faisal, hlm 85. karena itu, dalam menjalankan tugasnya penyidik kepolisian memiliki kewenangan diskresi untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Memahami konsep diskresi kepolisian secara sederhana, ialah memahami bahwa kepolisian memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan hati nuraninya sendiri demi kepentingan umum. 6 Diskresi kepolisian, secara tidak lansung dapat digunakan dalam menerapkan mediasi dalam penanganan perkara antara dua belah pihak pelaku dan korban untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang baik untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan yang merupakan tujuan hukum. Sehingga polisi dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya, dengan membuat pilihan tepat dalam pekerjaannya. 7 Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar lembaga peradilan (non litigasi) dengan bantuan orang lain atau pihak ketiga yang netral dan tidak memihak serta tidak sebagai pengambil keputusan yang disebut mediator. Tujuannya disini ialah untuk mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa yang sedang mereka hadapi tanpa ada yang merasa dikalahkan. 8 6 Sitompul, 2000, Beberapa Tugas dan Peran Polri, CV. Wanthy Jaya, jakarta, hlm 2. 7 Saitjipto Raharjo, Op. Cit., hlm I Ketut Artadi dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2009, Pengantar Umum Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Perancangan Kontrak, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm 12.

6 Penyelesaian persoalan hukum melalui mediasi bersifat memberikan penyelesaian sengketa hukum antara dua belah pihak yang terbaik, dimana para pihak tidak ada yang menang dan kalah sehingga sengketa tidak berlangsung lama dan berlarut-larut serta dapat memperbaik hubungan antar para pihak yang bersengketa. Keuntungan penyelesaian suatu sengketa dengan menggunakan mediasi sangat banyak diantaranya biaya murah, cepat, memuaskan para pihak yang bersengketa karena bersifat kooperatif, mencegah menumpuknya perkara, menghilangkan dendam, memperteguh hubungan silaturahmi dan dapat memperkuat serta memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). Penerapan mediasi dalam penyelesaian perkara pidana di kepolisian selain untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat, juga dapat mendukung upaya penanggulangan kejahatan. Hal ini dikarenakan apa bila pelaku tindak pidana ringan yang di ancaman pidananya singkat dimana dapat diselesaikan dengan upaya mediasi, namun kadang-kadang diteruskan pada tingkat pengadilan yang pada akhirnya menjalani masa kurungan (penjara) di Lembaga Permasyarakatan. Sehingga yang dihasilkan dapat menjadi lebih buruk dikarenakan lingkup pergaulan pada lembaga permasyarakatan, Atas dasar uraian diatas maka penulis mencoba untuk mengkaji tentang hal tersebut dengan judul: Penerapan Mediasi Oleh Lembaga Kepolisian Dalam Penanganan Tindak Pidana Ringan Dalam Mengwujudkan Prinsip Restorative Juctice (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung) Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah penerapan mediasi oleh pihak kepolisian dalam penanganan tindak pidana ringan sebagai upaya mengwujudkan restorative justice? b. Apakah faktor-faktor yang menghambat penerapan mediasi oleh kepolisian dalam upaya mewujudkan keadilan subtantive? Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan menekankan pada kajian kaidah hukumnya, dan ditunjang dengan pendekatan lapangan berupa perolehan tambahan informasi serta opini penegak hukum yang terkait. Narasumber terdiri dari, aparat kepolisian, dan akademisi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. II. PEMBAHASAN A. Penerapan Mediasi oleh Pihak Kepolisian dalam Penanganan Tindak Pidana Ringan sebagai Upaya Mengwujudkan Restorative Justice Penyidikan suatu perkara pidana dimulai dari adanya laporan atau pengaduan tentang suatu kejadian / perkara pidana yang dialami atau diketahui masyarakat kepada pihak kepolisian. Sebelum menerima laporan, penyidik/ penyidik pembantu bersama-sama dengan petugas sentra pelayanan kepolisian akan mempelajari terlebih dahulu laporan dari masyarakat masuk ke ranah pidana atau perdata. Setelah laporan polisi dibuat, penyidik /

7 peyidik pembantu akan melakukan serangkaian langkah-langkah penyelidikan dan penyidikan untuk membuat terang suatu tindak pidana dan menentukan tersangkannya. Penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan ditandai dengan adanya surat dari kejaksaan bahwa berkas perkara dinyatakan sudah lengkap (P-21) dan selanjutnya tersangka, berikut berkas perkara akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk proses penuntutan. Penyelesaian perkara pidana juga dapat berupa penghentian penyidikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh pejabat kepolisian yang berwenang. Alasan dikeluarkannya SP3 sesuai dengan Pasal 109 Ayat 2 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut: Dalam Hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Alasan penyidikan dihentikan demi hukum adalah apabila ada alasan-alasan hapusnya hak-hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia atau karena perkara telah kadaluarsa. Perkara juga dianggap selesai apabila perkara telah dicabut oleh pelapor khusus untuk perkara pidana yang dikategorikan delik aduan. Delik aduan berarti delik yang biasa diproses apabila ada pengaduan atau pelaporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana, contoh kasus pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP). Perkara pidana yang dikategorikan delik biasa, tetap wajib diproses oleh penyidik walaupun sudah ada pencabutan dari pelapor yang didasari adanya perdamaian dari pihak pelapor dan terlapor. Apabila penyidik selalu mengedepankan legalistik formal, maka rasa keadilan masyarakat tidak akan terpenuhi. Penerapan hukum progresif oleh penyidik diperlukan dalam kondisi seperti ini sehingga tujuan hukum dapat tercapai. Penerapan mediasi oleh aparat kepolisian khususnya penyidik merupakan upaya dalam menerapkan atau mewujudkan restorative justice, hal ini diterapkan oleh aparat kepolisian bukan hanya terhadap perkara tindakpidana ringan saya tetapi terhadap tindak pidana biasa. Upaya aparat kepolisian ini dimaksudkan untuk kemaslahatan orang atau masyarakat banyak dimana penerapah hukum tidak selalu harus berupa nestapa (sanksi pidana) saja, tetapi menciptakan keadilan bagi korban dan menyadarkan tersangka akan kesalahanya menjadi jalan keluar terbaik untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Penerapan penyelesaian perkara pidana delik biasa termasuk didalamnya tindak pidana ringan sebagaimana dipaparkan para responden diatas, merupakan upaya penerapan restorative justice dalam penegakkan hukum oleh aparat kepolisian. Upaya yang dilakukan ini sejalan dengan pemikiran hukum progresif dalam menentukan apakah kasus yang sedang ditangani akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau tidak. Sesuai dengan apa yang

8 menjadi pemikiran dasar hukum progresif yang dibawa oleh Satjopto Raharjo, bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Penyidik haruslah berusaha menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan manusia sebagai individu, kelompok, dan masyarakat, bukan sebaliknya karena terbentur prosedur hukum yang ada (legalistik formal) sehingga tujuan hukum yang diiinginan manusia tidak tercapai. Berdasarkan hasil wawancara penerapan mediasi penal dalam upaya mewujudkan restorative justice, sesuai dengan hasil wawancara dengan Renaldi Sucipno dan Andre Jaya Saputra, bahwa dalam menghadapi adanya pencabutan laporan pada perkara pidana yang tergolong delik biasa, penyidik harus mengambil langkahlangkah dengan menerapkan restorative justice. Hal ini dilakukan dengan mediasi pihak-pihak yang terlibat, dan mencoba merestorasi kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari suatu tindak pidana. Upaya untuk memperbaiki kerusakan tersebut diiringi dengan upaya untuk memperbaiki hubungan antara korban dan pelaku serta masyarakat. Hubungan mayarakat diperbaiki dengan melibatkan unsur masyarakat setempat seperti ketua RT, RW, Lurah dan sebagainya, dimana memiliki kedudukan di dalam masyrakat tersebut. Mekanisme penyelesaian dengan keadilan restoratif (restorative Justice), dapat menempatkan posisi masyarakat bukan hanya sebagai pengamat, melainkan berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan dari hasil kesepakatan yang merupakan penyelesaian perkara pidana. Penerapan restorative justice dengan mediasi penal, memang merupaka penyelesaian diluar ketentuan Legal System. Akan tetapi penerapan mediasi penal oleh penyidik kepolisian ialah melihat dari sudut pandang keadilan dan kemanfaatan baik dari sisi korban maupun tersangka tindak pidana, sehingga terkadang mengesampingkan kepastian hukum. Keunggulan dan kelemahan dari penyelesaian perkara pidana di luar sistem yang tidak diakui oleh hukum formal yang berlaku, keadilan restoratif telah menjadi suatu kebutuhan dalam masyarakat. Karena sangatlah erat kaitannya dengan prinsip-prinsip dan budaya masyarakat yang lebih mementingkan musyawarah dan mufakat untuk memecahkan suatu persoalan, akan tetapi hal itu belum diakomodir dalam hukum formal yang terkondifikasi di dalam KUHP dan KUHAP yang masih dipenuhi oleh peninggalan budaya kolonial. Penyelesaian perkara pidana delik biasa dengan mengedepankan keadilan restoratif dapat dikatakan merupakan suatu perwujudan dari pelaksananan hukum progresif, karena pada dasarnya yang menjadi tujuan utamanya ialah kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, penyidik kepolisian menempatkan hukum menjadi lebih sesuai dengan apa yang di kehendaki oleh masyarakat, sehingga tujuan hukum yang hakiki dapat tercapai. Menerapkan mediasi penal sebagai upaya penerapan prinsip restorative justice, menempatkan polisi sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana sebagai garda terdepan, sehingga polisis dituntut untuk dapat menyeleksi atau memilih perkara mana yang pantas untuk diajukan ke

9 tahap pengadilan atau tidak, dimana berdasarkan peraturan perundangundangan. Tanpa adanya pemilahan perkara oleh penyidik kepolisian pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan perkara yang pada akhirnya mengakibatkan tidak efisienya penanganan perkara bagi semua pihak. Penyidik di Polresta Bandar Lampung dalam menjalankan tugas penyidikan terhadap suatu kasus pidana seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, selalu mempertimbangkan untuk melanjutkan kasus yang ditanganinya kepada tahap yang selanjutnya yakni pemeriksaan di muka pengadilan. Penyidik kepolisian cenderung menitik beratkan pada memediasikan kasus-kasus yang dinilai kerugiannya kecil dan bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Pada situasi ini, penyidik menggunakan kewenangannya berupa diskresi kepolisian dalam penyidikan. Penerapan mediasi sebagai sarana mewujudkan prinsip restorative justice melalui diskresi kepolisian didasari oleh alasan, yakni: adanya perdamaian antara pelapor dan terlapor. Penyidik pada saat melaksanakan tahap-tahap penyidikan sering sekali berhadapan pada posisi dimana kedua belah pihak telah saling memaafkan, mengganti kerugian yang ditimbulkan, serta mencabut laporan di kepolisian sebagai hasil dari perdamaiaan. Pencabutan laporana dalam kasus yang tergolong bukanlah delik aduan, sebenarnya penyidik kepolisian dapat tetap melanjutkan peroses peradilan, tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang tidak meresahkan masyarakat banyak serta kurugian yang diakibatkannya kecil, penyidik Polresta Bandar Lampung mengambil kebijaksanaan untuk tidak melanjutkan perkara tersebut ke proses peradilan berikutnya. Langkah yang dilakukan penyidik kepolisian ini menggunakan langkah diskresi kepolisian dengan mengedepankan asas keadilan dan kemanfaatan, walau mengesampingkan kepastian hukum. Berdasarkan pemaparan narasumber diatas menunjukkan bahwa, Aparat Kepolisian dalam menangani kejahatan khususnya tindak pidana ringan selalu berusaha melakukan mediasi sebagai solusi utama dalam menangani perkara tersebut. Penerapan mediasi sebagai solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak kejahatan (khususnya tindak kejahatan ringan) didasarkan pada pemikiran dimana yang dampak yang ditimbulkannya oleh tindak pidana tersebut masih dapat ditoleransi, sehingga kondisi yang telah diakibatkannya dapat dikembalikan. Paradikma penghukuman tersebut dikenal sebagai restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarga, dan juga masyarakat. Penyidik Kepolisian di Polresta Bandar Lampung menyadari bahwa hukum bukan lah sebagai suatu yang tidak dapat berubah. Hukum harus mengikuti dinamika kehidupan masyarakat. Ketika penyidik lebih menekankan kepastian hukum, maka rasa keadilan dan kemanfaatan tidak akan terpenuhi. Dalam menjalankan tugasnya, penyidik kepolisian mencoba lebih memahami apa yang diinginkan oleh para pihak dalam suatu pelaporan, dimana aparat kepolisian yang diwakili oleh penyidik kepolisiaan mencoba mengesampingkan kepastian hukum untuk dapat memenuhi keinginan

10 para pihak melalui proses perdamaiian. Penyelesaian perkara pidana oleh pihak kepolisian dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus pada upaya mentrasformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan. Termasuk di dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Penerapan restorative justice oleh aparat kepolisian melalui upaya mediasi sebagai penyelesaian suatu tindak pidana melibatkan semua pihak yang berkepentingan yakni pihak pelaku kejahatan maupun korban tindak kejahatan untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dimana akan membuahkan hasil yang terbaik yakni rasa keadilan bagi masing masing pihak (keadilan restoratif). Keadilan restorative adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang berkerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Restorative Justice dapat diimplemantasikan dalam penyelesaian perkara pidana melalui tindakan aparat kepolisian dalam menerapakan mediasi sebagai proses penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui upaya damai yang lebih mengedepankan penyelesaian terbaik, yang dapat dijadikan sarana penyelesian sengketa melalui proses pengadilan. Penyelesaian perkara melalui mekanisme di luar pengadilan oleh pihak kepolisian melalui proses mediasi pada saat ini sangat lazim dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih mampu menjangkau rasa keadilan, walaupun para praktisi dan ahli hukum berpendapat bahwa ADR hanya dapat diterapkan dalam perkara perdata, bukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi oleh aparat kepolisian tidak dapat dilepaskan dari cita-cita hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yakni keadilan (law is justice), dan asas hukum proses penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Oleh karena itu pola mediasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian harus mengacu pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian hukum, dan kemanfaatan. Sedangkan norma hukum yang diterapkan harus mempertimbangkan lansasn filosofis, yuridis, dan sosiologis. B. Faktor-Faktor yang Menghambat Penerapan Mediasi oleh Kepolisian dalam Upaya Mewujudkan Keadilan Subtantive Penyelesaian perkara pidana yang dikategorikan delik biasa (bukan delik aduan) kerap kali bertentangan dengan prosedur formal yang ada, pada saat kedua belah pihak telah menemui kata damai. Penyidik Polresta Bandar Lampung dengan inisiatifnya menerapkan hukum progresif untuk mengambil kebijakan untuk tidak memajukan perkara pidana apabila sudah ada perdamaian dan korban mencabut laporan. Akan tetapi ada batasan-batasan dalam dalam mengambil diskresi, sebagai

11 upaya penerapan subtantive justice. Hal ini dikarenakan, agar kebijaksanan yang di ambil tetap mempunyai kebaikan bagi masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, penulis melihat adanya hambatan penerapan hukum dalam penyelesaian perkara pidana dengan factor-faktor yang mempengaruhi dalam penyelesaian tindak pidan ringan di Polresta Bandar Lampung yaitu susahnya memberikan arahan kepada pihak korban agar menyelesaikan perkara tersebut di tingkat kepolisian saja, akan tetapi adanya korban yang sering bersikeras untuk melanjutkan ke Pengadilan. Setelah polisi memberikan masukan dan memberikan penjelasan yang banyak mengenai akibat-akibat yang diterima korban jika tetap ingin dilanjutkan ke Pengadilan seperti terjadi perpecahan di dalam. Faktor-faktor penghambat tersebut adalah berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri. Dalam praktik penerapan hukum sering sekali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan, hal ini terjadi karena pemahaman dari keadilan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang bersifat normatif. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. 2. Faktor penegak hukum. Faktor penghambat dalam penegakkan hukum dari sisi penegak hukum antara lain, adalah: Pertama, keterbatasan kemampuan untuk bersosialisai dengan masyarakat; Kedua, kurangnya tingkat aspirasi masyarakat; Ketiga, kurangnya inovasi atau kreatifitas penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung aparat penegak hukum. Faktor sarana dan prasarana merupakan faktor pendukung yang sangat dibutuhkan oleh penegak hukum, tanpa adanya faktor pendukung tersebut akan mengakibatkan kurang lues dan efektif dalam upaya penegakka hukum dikarenakan sarana penunjang kinerja aparat penegak hukum kurang memadai. 4. Faktor masyarakat. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum. 5. Faktor kebudayaan. Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan

12 sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hukum, hambatan yang ditemukan dalam penerapan hukum progresif adalah pada faktor hukumnya sendiri dan faktor penegak hukum. Faktor hambatan dari penegak hukum, ialah tidak ada payung hukum yang mengatur penerapan hukum progresif melalui mediasi dalam penyelesaian perkara pidana. Hambatan ini merupakan hambatan utama untuk penyidik untuk dapat menerapkan prinsip keadilan restorative dalam bentuk mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana yang tergolong delik biasa. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa asas legalitas hukum masih dijunjung tinggi dalam hukum pidana Indonesia. Tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang penerapan hukum progresif melalui mediasi penal menyebabkan penyidik harus menjalankan kewenangan diskresi yang dimilikinya. Pada dasarnya batasan perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan cara mediasi tergantung kepada perkara tersebut merupakan perbuatan yang tercela oleh masyarakat, oleh karena itu perkara yang tergolong masuk kedalam tindak pidana ringan dapat dilakukan mediasi dikarenakan tindak pidana tersebut masih dapat ditolerir oleh masyarakat secara keseluruhan. Peran budaya yang dimiliki masyarakat juga mempengaruhi berjalannya peroses mediasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian, khususnya kebudayaan masyarakat lampung dimana terdapat falsafah yakni piil pesenggiri. Piil pesenggiri memiliki makna sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis dalam usaha memperjuangkan nilainilai positif, hidup terhormat dan dihargai di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akan tetapi piil pesenggiri ini oleh masyarakat lampung hanya dimaknai sebagai hargadiri saja, sehingga upaya mediasi yang dilakukan pihak aparat kepolisian melalui penyidik kepolisian terbentur oleh keengganan salah satu pihak (korban atau pelapor) yang beranggapan apabila melakukan perdamaian maka harga dirinya akan terluka. Masyarakat lampung yang terdiri dari beberapa suku bangsa tidak jarang juga menimbulkan permasalahan. Dalam penanganan perkara tindak pidana khusunya tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan (mediasi) terbentur olah keragaman budaya suku bangsa tersebut. Beragamnya suku bangsa yang tentunya memiliki budaya yang berbeda-beda tentunya akan menimbulkan permasalahan dalam penerapan mediasi. Sebagai contoh: apabila terjadi permasalahan hukum dimana yang berpekara ialah warga asli lampung dengan pendatang, sering sekali ego kesukuan yang muncul sebagaimana dikemukakan diatas dimana hargadiri yang menjadi permasalahannya, bukan kepentingan bersama. Sama halnya apabila sesama suku asli (orang lampung) yang mengalami permasalahan hukum maka harga diri antara kedua belah pihak yang menjadi

13 permasalahanya, sehingga peroses mediasi menjadi terhambat. Hambatan dari segi budaya dan masyarakat diatas penulis ungkapkan menjadi hambatan dalam proses mediasi, dikarenakan masyarakat atau indifidu-indifidu yang ada dalam masyarakat itu sendiri yang menjadi yang terkadang menjadi hambatan berjalannya mediasi sebagai solusi penyelesaian perkara khususnya perkara tindak pidana ringan. Khususnya masyarakat lampung yang merupakan penduduk asli terkadang salah mengartikan piil pesenggiri yang manjadi palsafah hidup, dimana seharunya hargadiri yang dimaksudkan di dalam palsafah tersebut bukan sekedar pemaknaan sederhana, tetapi memiliki makna yang beragam yang perlu diresapi kembali. III. PENUTUP A. Simpulan 1. Penerapan mediasi oleh pihak kepolisian dalam penanganan perkara tindak pidana ringan sebagai upaya mengwujudkan restorative justice. Penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana ringan oleh kepolisian, pada praktiknya sebelum melimpahan berkas perkara pada tahap selanjutnya yakni tingkat kejaksaan, terlebih dahulu melakukan upaya yakni proses mediasi antara kedua belah pihak. Peroses mediasi ini dilakukan oleh penyidik kepolisian agar terjadi pemecahan atas permasalahan hukum yang terjadi, sehingga kedua belah pihak merasa mendapatkan keadilan yang diinginkannya. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, Aparat Kepolisian Polresta Bandar Lampung, dalam menyikapi permasalahan hukum ini dengan cara menerapakan kebijakan hukum apabila menghadapi permasalahan tersebut. Upaya Aparat Kepolisian Polresta Bandar lampung dalam menerapkan prinsip restorative justice dengan beberapa cara atau metode: a. Melakukan mediasi penal dengan prinsip-prinsip restorative. b. Menerapkan diskresi kepolisian. 2. Faktor penghambat penerapan perisip restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana ringan adalah: Pertama, Tidak adanya aturan hukum yang mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana, sehingga penyidik kepolisian harus menjalankan kewenangan yang ada yaitu diskresi. Kedua, kewenangan diskresi yang dimiliki aparat kepolisian dalam mengambil langkah penyelesaian perkara pidana memiliki celah penyimpangan, hal ini dikarenakan kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh penyidik kepolisian diamana dapat digunakan secara ekslusif oleh aparat dalam menangani perkara yang telah menemukan kata damai. Ketiga, aparat penegak hukum terkadang selalu berpegang teguh pada asas legalistik formal sehingga aparat kepolisian yakni penyidik mengesampingkan rasa keadilan serta kemanfaatan yang ada di masyarakat. B. Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penelitian ini mempunyai saran-saran sebagai berikut: 1. Polri seharusnya menekankan penerapan hukum progresif dengan menerapkan restorative justice melalui kewenagan

14 diskeresi yang dimiliki oleh aparat kepolisian. Penyidik kepolisian sebisa mungkin melakukan mediasi dengan melibatkan unsurunsur masyarakat yang terlibat sehingga proses penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan dapat terlaksana sebelum lanjut pada tahap peradilan selanjutnya. 2. Perlu adanya penyesuaian persepsi antara sub system peradilan pidana dalam menjalankan prinsip restorative justice dengan sarana mediasi antar pihak-pihak yang berpekara. Hal ini di perlukan agar penerapan prinsip restorative tidak hanya dijalankan pada tahap penyidikan di kepolisian saja, akan tetapi diterapkan pada tahap peradilan selanjutnya seperti tingkat kejaksaan dan pengadilan. Perlu adanya aturan yang mangatur mengenai mediasi sebagai penyelesaian perkara pidana. Sehingga penyidik kepolisian mempunyai dasar atau landasan pijak dalam menjalankan tindakannya apabila terjadi perdamaian sehingga terjadi pencabutan pelaporan yang menyatakan berahirnya proses penangan perkara pidana. Putra, I Ketut Artadi dan Dewa Nyoman Rai Asmara, 2009, Pengantar Umum Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Perancangan Kontrak, Denpasar, Fakultas Hukum Universitas Udayana. Raharjo, Satjipto Membangun Polisis sipil, Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Sitompul, 2000, Beberapa Tugas Dan Peranan Polri, Jakarta, CV. Wanthy Jaya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; No HP : DAFTAR PUSTAKA Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta, Rangkang Education. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006, Polmas Sebagai Implementasi Comunity Policing Bagaimana Menerapkannya.

1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA Oleh : Keyzha Natakharisma I Nengah Suantra Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Mediation is generally known as a form

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan pancasila dan Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia dan sering menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan ancaman hukuman

Lebih terperinci

JURNAL PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN KEKERASAN DI KABUPATEN SLEMAN

JURNAL PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN KEKERASAN DI KABUPATEN SLEMAN JURNAL PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN KEKERASAN DI KABUPATEN SLEMAN Diajukan oleh : GERRY PUTRA GINTING NPM : 110510741 Program Studi : Ilmu Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI

WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI IMade Widiasa Pembimbing : I ketut Rai Setiabudhi A.A Ngurah Wirasila Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar 1945 amandemen keempat, khususnya Pasal 28 B ayat (2) berisi ketentuan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP DISKRESI PENYIDIK KEPOLISIAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN RESOR BADUNG)

TINJAUAN TERHADAP DISKRESI PENYIDIK KEPOLISIAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN RESOR BADUNG) TINJAUAN TERHADAP DISKRESI PENYIDIK KEPOLISIAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN RESOR BADUNG) Oleh : Kadek Setia Budiawan I Made Tjatrayasa Sagung Putri M.E Purwani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hampir setiap hari surat kabar maupun media lainnya memberitakan tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas selalu menjadi bahan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan dimana kedudukan itu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesadaran agar tertib dalam berlalu

I. PENDAHULUAN. ini dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesadaran agar tertib dalam berlalu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan berlalu lintas Masyarakat Indonesia telah memiliki suatu ketentuan hukum yang mengatur mengenai lalu lintas dan angkutan jalan. Ketentuan hukum ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak yang mana kebutuhan tersebut bertujuan untuk memenuhi segala keperluan hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun Peratifikasian ini sebagai

BAB I PENDAHULUAN. melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun Peratifikasian ini sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan

Lebih terperinci

Kata kunci: mediasi penal, tindak pidana, penganiayaan ringan.

Kata kunci: mediasi penal, tindak pidana, penganiayaan ringan. ABSTRAK Mediasi penal merupakan model penyelesaian perkara pidana yang saat ini banyak digunakan di beberapa negara. Di Indonesia, mediasi penal digunakan untuk menyelesaikan perkara yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang menganut paham nomokrasi atau negara hukum, yaitu paham yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi sekaligus menempatkan

Lebih terperinci

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PRAPENUNTUTAN

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PRAPENUNTUTAN PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PRAPENUNTUTAN Oleh Anak Agung Gede Agung Dwi Saputra I Wayan Tangun Susila I Dewa Made Suartha Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Assessing criminal law,

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini diakibatkan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat tersebut, aturan-aturan tersebut disebut juga normanorma

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat tersebut, aturan-aturan tersebut disebut juga normanorma 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia menurut kodratnya adalah merupakan makhluk sosial, yang artinya setiap individu selalu ingin hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu. Dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Permasalahan keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk direalisasikan. Salah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah

Lebih terperinci

NASKAH AKADEMIK PELAKSANAAN PERKAP NO. 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA PIDANA

NASKAH AKADEMIK PELAKSANAAN PERKAP NO. 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA PIDANA NASKAH AKADEMIK PELAKSANAAN PERKAP NO. 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA PIDANA Disusun Oleh: DION SUKMA N P M : 09 05 10008 Program Studi Program

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang

I. PENDAHULUAN. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang diancam dengan pidana. Syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA OLEH KEPOLISIAN RESOR KOTA (POLRESTA) SURAKARTA TESIS

PELAKSANAAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA OLEH KEPOLISIAN RESOR KOTA (POLRESTA) SURAKARTA TESIS PELAKSANAAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA OLEH KEPOLISIAN RESOR KOTA (POLRESTA) SURAKARTA TESIS Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan digilib.uns.ac.id 488 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada beberapa uraian bab bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Mediasi penal terhadap kejahatan e-commerce fraud dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

Oleh: I Made Adi Estu Nugrahan I Gusti Ketut Ariawan I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh: I Made Adi Estu Nugrahan I Gusti Ketut Ariawan I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana PENETAPAN PASAL 78 KUHP TENTANG KADALUWARSA DALAM TINDAK PIDANA PASAL 266 KUHP TENTANG MENYURUH MEMASUKAN KETERANGAN PALSU KE DALAM AKTA OTENTIK (Analisis Putusan No. 03 / Pid Prap / 2013 / PN.Dps.). Oleh:

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mekanisme Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan : mediasi penal dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

BAB V PENUTUP. 1. Mekanisme Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan : mediasi penal dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). 130 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Mekanisme Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan : Berdasarkan penelitian yang Penulis lakukan, terdapat fakta mengenai perbedaan pemahaman penyidik tentang istilah mediasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencurian dapat diproses melalui penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO Oleh: I Gst Ngr Dwi Wiranata Ibrahim R. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Perbuatan kumpul kebo merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalu lintas mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

Tujuan studi ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan praktik pemberian maaf dalam proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia;

Tujuan studi ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan praktik pemberian maaf dalam proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia; RINGKASAN Sistem peradilan pidana hingga saat ini masih merupakan instrumen penting sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Namun demikian di dalam praktek penegakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Indonesia memiliki banyak keanekaragaman budaya dan kemajemukan masyarakatnya. Melihat dari keberagaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu. dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu. dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan masyarakat.

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA Oleh: Ni Made Dwita Setyana Warapsari I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

melaksanakan kehidupan sehari-hari dan dalam berinterkasi dengan lingkungannya. Wilayah

melaksanakan kehidupan sehari-hari dan dalam berinterkasi dengan lingkungannya. Wilayah A. Latar Belakang Keamanan dan ketertiban di dalam suatu masyarakat merupakan masalah yang penting, dikarenakan keamanan dan ketertiban merupakan cerminan keamanan di dalam masyarakat melaksanakan kehidupan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DISKRESI OLEH PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KECELKAAN LALU LINTAS JALAN RAYA DI KOTA DENPASAR

PELAKSANAAN DISKRESI OLEH PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KECELKAAN LALU LINTAS JALAN RAYA DI KOTA DENPASAR PELAKSANAAN DISKRESI OLEH PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KECELKAAN LALU LINTAS JALAN RAYA DI KOTA DENPASAR Abstract: Oleh : Si Putu Hendra Pratama Pembimbing : I Dewa Nyoman Sekar Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) Oleh : I Gusti Ayu Dwi Andarijati I Nengah Suharta Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Korupsi adalah masalah

Lebih terperinci

EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG

EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG oleh Mazmur Septian Rumapea I Wayan Sutarajaya I Ketut Sudjana Bagian Hukum Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Yogyakarta

BAB III PENUTUP. dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Yogyakarta 70 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pemenuhan hak-hak korban tindak pidana melalui pelaksanaan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Yogyakarta Pelaksanaan diversi di Polresta Yogyakarta

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, adalah : dengan prosedur penyidikan dan ketentuan perundang-undangan yang

V. KESIMPULAN DAN SARAN. terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, adalah : dengan prosedur penyidikan dan ketentuan perundang-undangan yang V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Peran penyidik di Polresta Bandar Lampung dalam penerapan diversi terhadap anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK Oleh Wayan Widi Mandala Putra I Gusti Ngurah Wairocana

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK Oleh Wayan Widi Mandala Putra I Gusti Ngurah Wairocana UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK Oleh Wayan Widi Mandala Putra I Gusti Ngurah Wairocana Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT : Scientific writing

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus pembangunan, yaitu generasi

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN I Gede Made Krisna Dwi Putra I Made Tjatrayasa I Wayan Suardana Hukum Pidana, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DI KOTA YOGYAKARTA

JURNAL SKRIPSI DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DI KOTA YOGYAKARTA JURNAL SKRIPSI DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DI KOTA YOGYAKARTA Diajukan oleh : CHRISTINE INGGRIED MOMONGAN N P M : 090510159 Program studi : Ilmu Hukum Program kekhususan

Lebih terperinci

ANALISIS PRAKTIK DIVERSI PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS

ANALISIS PRAKTIK DIVERSI PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS ANALISIS PRAKTIK DIVERSI PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS Oleh: Lindra Septheari, Dr.Maroni, S.H., M.H, Budi Rizky, S.H.,M.H. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya

I. PENDAHULUAN. keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada umumnya kejahatan dilakukan oleh orang yang telah dewasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada umumnya kejahatan dilakukan oleh orang yang telah dewasa, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya kejahatan dilakukan oleh orang yang telah dewasa, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga anak-anak yang melakukan kejahatan. Hal ini menunjukkan

Lebih terperinci

DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN DI POLRESTA DENPASAR. Oleh: GEDE DICKA PRASMINDA. I Wayan Tangun Susila. I Wayan Bela Siki Layang

DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN DI POLRESTA DENPASAR. Oleh: GEDE DICKA PRASMINDA. I Wayan Tangun Susila. I Wayan Bela Siki Layang DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN DI POLRESTA DENPASAR Oleh: GEDE DICKA PRASMINDA I Wayan Tangun Susila I Wayan Bela Siki Layang Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Pande Made Kresna Wijaya I Nyoman Suyatna Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Authority investigation

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan pembinaan,sehingga anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tanpa beban pikiran

Lebih terperinci

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA Oleh : I Made Wahyu Chandra Satriana ABSTRACT The obligation for investigators to conduct additional investigation, in case of the return of the case file from

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 1 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Presiden, kepolisian negara Republik Indonesia diharapkan memegang teguh nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Presiden, kepolisian negara Republik Indonesia diharapkan memegang teguh nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Sebagai sebuah institusi negara yang berada secara langsung di bawah Presiden, kepolisian negara Republik Indonesia diharapkan memegang teguh nilai-nilai profesionalisme

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Kelalaian dalam Kegiatan yang Mengumpulkan Massa dan Menimbulkan Korban Tinjauan adalah melihat dari jauh dari tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Dewa Bagus Dhanan Aiswarya Putu Gede Arya Sumerthayasa Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci