BAB II KEJAHATAN PERANG DAN PENGATURANNYA DALAM HUKUM HUMANITER. Hukum humaniter yang pada awalnya dikenal dengan istilah hukum perang,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEJAHATAN PERANG DAN PENGATURANNYA DALAM HUKUM HUMANITER. Hukum humaniter yang pada awalnya dikenal dengan istilah hukum perang,"

Transkripsi

1 BAB II KEJAHATAN PERANG DAN PENGATURANNYA DALAM HUKUM HUMANITER Hukum humaniter yang pada awalnya dikenal dengan istilah hukum perang, setelah Perang Dunia II maka dirasakan pentingnya pengaturan mengenai perang, kodifikasi hukum humaniter internasional sesudah Perang Dunia II, juga menandakan masuknya unsur hukum kemanusiaan dalam pengaturan kejahatan perang sebagai pelanggaran berat. Masyarakat yang pada saat itu mempunyai kesadaran untuk menghindari dan memperkecil terjadinya perang membuat aturan mengenai pedoman berperang. Hingga akhirnya ada aturan seperti Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907 mengatur cara dan alat berperang. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengatur mengenai perlindungan korban perang. Kemudian pada thaun 1977 disepakati adanya Protokol Tambahan I yang mengatur tentang konflik bersenjata yang bersifat internasional dan II yang mengatur mengenai konflik bersenjata non-internasional guna menyempurnakan Konvensi Jenewa Jenis Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional Konflik bersenjata adalah suatu peristiwa penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam sejarah konflik bersenjata telah terbukti bahwa konflik tidak saja dilakukan secara adil, tetapi juga 9

2 10 menimbulkan kekejaman. 11 Untuk dapat disebut sebagai suatu konflik bersenjata, maka dalam konflik tersebut harus terdapat keterlibatan penggunaan angkatan bersenjata dari suatu negara terhadap negara lain, konflik bersnjata yang menjadi pihak tidak tentu hanya terdiri dari negara saja akan tetapi yang menjadi pihak dalam konflik bersenjata merupakan pihak bukan negara. Konflik bersenjata internasional dibagi menjadi dua jenis yakni konflik bersenjata internasional yang murni (terjadi dua atau lebih negara) dan semu (konflik bersenjata diantara disau pihak bukan negara), konflik bersenjata internasional yang semu dapat dibagi menjadi dua: 1. Perang pembebasan nasional, dapat diberlakukan pada konflik bersenjata seperti perang pembebasan nasional apabila terpenuhi beberapa syarat: a Penguasa dari suatu bangsa mengirimkan deklarasi sepihak; b Deklarasi sepihak ditunjukan kepada Negara Penyimpan dari Protokol Tambahan 1977, yaitu dalam swiss federal council; c Deklarasi sepihak memuat kesediaan pemimpin negara untuk mentaati Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan Konflik bersenjata yang diinternasionalisasikan, dianggap telah diinternasionalisasikan karena hal hal sebagai berikut: 11 Asep Darmawan, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum Humaniter KumpulanTulisan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2005, hlm Haryomatara, GPH., Refleksi dan Kompleksitas Hukum Humaniter, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (teras), Jakarta, hy.13

3 11 a Negara yang diberontaki telah mengakui pemberontak sebagai pihak yang bersengketa; b Satu atau beberapa negara telah membantu dengan angkatan perangnya kepada salah satu pihak dalam konflik; c Dua negara telah memberikan bantuan angkatan perang mereka, masing-masing membantu pihak yang berbeda. Konflik bersenjata non internasional terbagi dua, yaitu: 1. Konflik bersenjata Non intenasional yang ada diketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, syarat untuk menjadi konflik bersenjata non internasional adalah bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah memiliki kekuatan militer yang terorganisir, melaksanakan operasi diwilayah tertentu, dan mempunyai sarana tertentu untuk menghormati Konvensi Jenewa Konflik bersenjata non internasional yang ada pada pada Protokol Tambahan II Protokol tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan non-international armed conflict sengketa bersenjata non-internasional melibatkan beberapa pihak, yakni pemerintah yang sah dan pemberontak, maka sengketa bersenjata non-internasional dapat terlihat sebagai suatu situasi di mana terjadi permusuhan antara angkatan bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) di dalam wilayah suatu 13 Haryomatara, GPH., Refleksi dan Kompleksitas Hukum Humaniter, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (teras), Jakarta, H.16

4 12 negara. Namun, di samping itu, sengketa bersenjata non-internasional mungkin pula terjadi pada situasi-situasi di mana faksi-faksi bersenjata (armed factions) saling bermusuhan satu sama lain tanpa intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah. 14 Konflik Ukraina menurut Hukum Humaniter Internasional Konflik yang terjadi di wilayah Ukraina diawali dengan turunya Presiden Yanukovich, kubu demonstran anti Yanukovich menanggapi peristiwa turunya Presiden dengan perayaan, tidak dengan pemerintah Rusia dan rakyat Ukraina Timur dan selatan yang mendukung Yanukovich. Rusia khawatir kalau Ukraina berhasil dipimpin oleh Presiden pro Uni Eropa, dikawatirkan kepentingan ekonomi Rusia di wilayah semenanjung Crimea nantinya dimanfaatkan oleh North Atlantic Treaty Organization (NATO), organisasi yang sebagian besar anggotanya berstatus sebagai anggota Uni Eropa. 15 Tergulingnya Presiden menambah kekacauan konflik di wilayah Ukraina hingga menimbulkan efek di Semenanjung Ukraina Selatan, tempat dimana pangkalan militer Rusia berada Semenanjung Ukraina Selatan merupakan tempat milisi pro Rusia berada, mereka menyandera gedung pemerintahan dan menggelar referendum secara sepihak, referendum tersebut dimenangkan oleh kubu pro Rusia, pemerintah Ukraina tidak bisa menangani kondisi dalam negerinya karena khawatir akan ada intervensi dari Rusia Protokol Tambahan II diakeses tanggal 2 Februari political crisis diakses pada 19 Februari 2015

5 13 Rusia yang merasa memiliki hubungan dengan wilayah tersebut melakukan latihan militer di perbatasan kedua negara. Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui Crimea sebagai negara republik yang berdaulat, pengakuan tesebut dituangkan dalam keputusan yang ditandatangani Putin pada tanggal 17 Maret 2014, selain mengakui pengakuan atas Crimea, Putin menyetujui draf perjanjian yang memasukan Crimea sebagai bagian dari Federasi Rusia. Referendum digelar pada 15 Maret 2014 dan diikuti 1,5 juta penduduk Crimea dan sebagian besar memilih jadi negara merdeka dan bergabung dengan Rusia. Sejumlah milisi pro Rusia menduduki gedung pemerintah dan mendeklarasikan berdirinya negara yang bernama Republik Rakyat Donetsk. Tindakan tersebut telah membuat Ukraina mengambil tindakan yang menyatakan penolakan atas deklarasi tersebut, tetapi hal itu tidak dihiraukan, hingga pada bulan April pemerintah Ukraina mengirimkan pasukan ke Ukraina Timur, tanggal 15 April 2014 setelah ultimatum dari pemerintah Ukraina tidak dihiraukan oleh separatis, pemerintah Ukraina akhirnya mengirimkan pasukan ke Ukraina Timur, inilah awal dari pecahnya perang DonBass, perang saudara yang terjadi Ukraina atau dikenal dengan nama lain Perang di Ukaina dan Perang Ukraina Timur, pasukan pemerintah Ukraina terlibat konflik bersenjata dengan pasukan pejuang kemerdekaan Donetsk. 17 Pada bulan Mei pertempuran di Donetsk terjadi pasukan Ukraina melakukan penyerbuan ke wilayah yang dikuasai oleh kubu pemberontak, ditengah perang Januari Ukraine says 15 revels killed in border clash diakeses pada 6

6 14 yang terjadi antara pasukan Ukraina dan separatis pada bulan Juli pesawat MH-17 ditembak jatuh di wilayah langit Donbass. 18 Konflik yang terjadi antara pasukan Ukraina dan pemberontak pro Rusia terus terjadi, foto satelit yang didapat dari NATO, foto-foto yang dirilis NATO itu menampilkan barisan ratusan tank dan kendaraan lapis baja di sebuah lapangan kosong berjarak 50 kilometer dari perbatasan Ukraina. Rusia mengirimkan tank prajurit untuk membantu para pemberontak, keadaan pasukan pemberontak semakin kuat dan membuat pasukan Ukraina kewalahan. 19 Foto yang dilirilis menunjukan tank, kendaraan lapis baja, artileri, gambar yang dirilis oleh NATO menunjukan bahwa tentara Rusia ikut aktif berperang di Ukraina. Rusia membuat klaim yang menyatakan telah mendirikan pengendalian operasional lengkap, menurut Duta Besar Rusia untuk PBB mengatakan bahwa tentara Rusia di Crimea. 20 Bentuk intervensi Rusia lainya adalah keterangan dari pejabat NATO, Rusia pindah artileri ke wilayah Ukraina. Tentara Rusia ditangkap di Donetsk, Rusia mengeklaim bahwa mereka telah menyebrang dengan sengaja. 21 Pada tanggal 27 Agustus 2014 dua tank Rusia memasuki wilayah Ukraina dalam mendukung separatis pro Rusia di Donetsk dan Luhansk, para pejabat NATO menyatakan bahwa lebih dari 1000 tentara Rusia yang beroperasi di Ukraina, insiden tersebut 18 airlines MH17 Plane Crash in Ukraine diakses pada 12 Januari Russian tanks and troops invade Ukraine, NATO says diakses pada 19 Januari Fact Sheet on Russia s Millitary Intervention in Ukraine diakses tanggal 2 Februari russian troops in Ukraine by accident diakses pada tanggal 30 Januari 2015

7 15 dianggap sebuah serangan. 22 Ada pernyataan pemberontak pro Rusia yang menyebutkan bahwa pasukan Rusia ikut bergabung dalam aksi pemberontakan, perdana menteri memproklamirkan diri Republik Rakyat Donetsk menyatakan bahwa 3000 tentara Rusia ikut berjuang dalam barisan pemberontakan. 23 Sebagian besar warga Rusia juga terlibat dalam konflik ini, hal tersebut diakui oleh para pemimpin pemberontak, rekruitmen pemberontak Donbass dilakukan secara terbuka dikota Rusia dengan fasilitas yang disediakan oleh Rusia. Persenjataan layanan penelitian menerbitkan laporan mengenai senjata yang digunakan oleh kedua pihak yang berkonflik, senjata yang digunakan pemberontak Pro Rusia sebagian besar diproduksi di Rusia, laporan tersebut tidak menunjukan bahwa adanya ekspor senjata dari Rusia ke Ukraina. 24 Militer Ukraina menyatakan bahwa Rusia telah mengirimkan tentaranya dengan cara menggunakan seragam pemberontak Ukraina, menyamar untuk bisa ikut dalam aksi pemberontakan. 25 Kendaraan milter beriiringan dengan pelat militerrusia resmi menyebrang ke Ukraina dekat pemberontak pada Agustus 2014, termasuk 30 tank dan 120 kendaraan lapis baja. 26 Dari urutan kejadian di wilayah Ukraina, konflik internal di Ukraina merupakan konflik bersenjata non-internasional karena status hukum masing 22 TheHuffubftonPost.com.inc/NATO military officer:more than 1000 Russian Troops Operating Inside Ukraine diakses tanggal 1 Februari /Russian troops fighting for us on holiday diakses pada tanggal 1 Februari examination of arms and munitions in the outgoing conflikct in Ukraine 2014/ diakses pada tanggal 29 Januari Ukraine Today/more Russian army soldiers sent to Ukraine diakeses tanggal 6 Februari Theguardian.com/Konvoi bantuan berhenti pendek dari perbatasan sebagai kendaraan militer Rusia memasuki Ukraina diakses tanggal 5 Februari 2015

8 16 pihak dalam konflik bersenjata. Dalam konflik bersenjata internasional kedua belah pihak adalah negara, sedangkan dalam konflik bersenjata non-internasional status hukum kedua pihak tidak sama, yaitu pihak yang satu negara sedangkan pihak yang lain bukan suatu negara, atau dapat digambarkan sebagai terjadinya situasi dimana pertempuran antara angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata yang terorganisir didalam suatu wilayah negara, sesuai dengan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai konflik bersenjata yang bukan dari karakter internasional, tetapi yang tercantum dalam batas-batas satu negara. Hal ini memberikan perlindungan terbatas pada korban, termasuk orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam permusuhan harus diperlakukan secara manusiawi (termasuk orang-orang militer yang sudah tidak aktif akibat sakit, cedera atau penahanan), orang tang terluka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Pada alinea ke 4 mengatur mengenai jaminan kepada Pemerintah yang sah bahwa Pemerintah yang bersangkutan memberlakukan kelompok pemberontak yang ada di wilayah Ukraina sesuai dengan Pasal 3 maka keadaan tersebut tidak merubah kedudukan atau status hukum kelompok pemberontak menjadi pihak yang bersengketa, status hukum mereka tetap sebagai pemberontak. Pemerintah Ukraina tidak mengakui keberadaan pemberontak, tindakan yang dilakukan oleh kelompok pemberontak seperti pemilu yang diakan di wilayah Donetsk dianggap illegal oleh pemerintah Ukraina. Perkembangan selanjutnya konflik bersenjata yang terjadi Ukraina telah berubah menjadi konflik bersenjata internasional, hal ini disebabkan oleh adanya intervensi dari Rusia, tindakan tersebut dalam hukum internasional tidak dilarang

9 17 tetapi harus melihat juga alasan, motif dan dampak siapa saja yang terlibat di dalamnya. Piagam PBB menyebutkan ketentuan mengenai kewajiban internasional semua negara untuk menghormati pesamaan kedaulatan negara, tidak menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah, tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara dan berusaha menyelesaikan pertikaian dengan cara damai. Perubahan jenis konflik bersenjata dapat akibat adanya suatu pengakuan atau bantuan dari negara ketiga, maka sebuah konflik tersebut dimungkinkan untuk berkembang Pengertian Kejahatan Perang Kejahatan perang adalah tindakan tertentu dan kelalaian yang dilakukan dimasa perang yang dikriminalisasikan oleh hukum internasional, berbeda dengan pelanggaran berat merupakan pelanggaran tertentu terbatas hanya pada pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 yang memunculkan kewajiban negara untuk menerapkan dan menegakkan hukum terhadap setiap pelanggaran berat yang terjadi dalam hukum pidana nasional. 28 Kejahatan perang merupakan suatu perbuatan yang secara serius bertentangan dengan hukum humaniter internasional dan kebiasaan perang. Setiap pelanggaran terhadap hukum perang atau hukum humaniter internasional menyebabkan tanggung jawab pidana secara individual yang sering kali dianggap sebagai kejahatan perang. Kejahatan perang yang keji yang dilakukan pada waktu perang dapat dikatakan sebagai 27 Haryomatara, GPH., Refleksi dan Kompleksitas Hukum Humaniter, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (teras), Jakarta, 2012.h Dr.Yustina Trihoni Nalesti Dewi,S.H., M.Hum, Kejahahatan Peang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 49.

10 18 pelanggaraan terhadap hukum perang dan hukum kebiasaan perang dan karena itu pelakunya dapat dihukum baik yang dilakukan oleh kombatan maupun penduduk sipil. Istilah kejahatan perang semakin dikenal karena sebagai akibat dari perang dunia dan adanya upaya untuk menuntut tanggung jawab pelaku pelanggar hukum humaniter internasional serta menuntut tanggung jawab pidana bagi para pelaku kejahatan. Pelanggaran berat yang ditafsirkan sebagai kejahatan perang dalam Pasal 1 (2) European Convention tahun 1974, Pasal 85 (5) Protokol I Tahun 1977 yang juga menyatakan bahwa pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol I 1977 dianggap sebagai kejahatan perang. Sebelum berlangsung Perang Dunia I, negara telah menyepakati bahwa pengertian kejahatan perang diartikan sebagai tindakan tertentu yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hukum perang, yang sebagian besar telah dikodifikasi dalam Konvensi Den Haag 1899 dan 1907, sedangkan London Charter of the International Military Tribunal mendefinisikan kejahatan perang sebagai pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang yang meliputi pembunuhan, penganiyaan, atau pendeportasian penduduk sipil, penghancuran secara besar-besaran yang bukan karena kepentingan militer. 29 Menurut Konvensi Jenewa 1949 kejahatan perang diartikan sebagai pelanggaran berat terhadap keempat konvensi Jenewa Statuta International Criminal Court (ICC), International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Sierra Leone dan 29 Pasal 6 (b) Charter of The International Military Tribunal. London, 8 August 1945

11 19 United Nations Transitional Administration in East Timor Regulation, mendefinisikan kejahatan perang sebagai pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam pertikaiaan bersenjata. Kejahatan perang sering diartikan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan berdasarkan suatu target tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu rencana atau kebijakan, atau yang dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan suatu kegiatan berskala besar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Artinya kejahatan tersebut sudah dipersiapkan lebih dahulu secara matang, dengan rantai komando yang jelas. 30 Pengertian kejahatan perang menurut para sarjana yang membagi War Criminal atau kejahatan perang dalam empat jenis, yaitu: Pelanggaran-pelanggaran peraturan perang yang berlaku dengan sah, oleh anggota angkatan bersenjata; 2. Semua tindakan permusuhan bersenjata yang dilakukan oleh oknum yang bukan anggota Angkatan Bersenjata musuh; 3. Spionase perang; dan 4. Tindakan- tindakan yang merupakan penggedoran Pengaturan kejahatan perang 2.2 Pengaturan Kejahatan Perang Sebelum Perang Dunia II Pada awalnya setiap bangsa mempunyai aturan sendiri aturan yang berupa pembatasan perilaku dalam melakukan hubungan permusuhan atau bisa disebut 30 Sekilas Tentang International Criminal Court (ICC), Lembar Info Seri 49, LBH Apik dan USAID (2002): 2 31 Ali Sastroamidjojo., Pengantar Hukum Internasional, Bhatara, Jakarta, 1971., h

12 20 dengan perang, dahulu aturan perang hanya bersifat kebiasaan, dalam perkembanganya aturan kebiasaan yang berlaku ditegaskan kembali dalam perjanjian sehingga hukum humaniter internasional tersebar menjadi perjanjian internasional, aturan perilaku dalam situasi pertempuran yang ada dalam hukum perjanjian tetapi bukan berasal dari hukum kebiasaan makin lama membenyuk hukum humaniter internasional kebiasaan, hal itu dapat terjadi apabila dipraktekkan oleh negara dan diyakini untuk mengikat sebagai norma. Strategi perang pertama kali ditulis oleh Sun Tzu di Cina, tulisan tersebut mengenai cara atau petunjuk yang paling efektif untuk memperoleh kemenangan, tulisan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan hukum kejahatan perang karena di dalamnya juga diatur mengenai tata cara memperlakukan seorang musuh. Selanjutnya di wilayah Mediterania kebudayaan Hindu di Asia Selatan yang membuat aturan yang dinamakan The Manu Smiriti, Kitab tersebut berkaitan tentang aspek hukum termasuk prinsip tentang perang yang manusiawi menyebutkan larangan penggunaan senjata yang berbahaya dan larangan terhadap keterlibatan pihak yang tidak terlibat dalam peperangan. 32 Di wilayah Amerika pada tahun 1863 pemerintah memberlakukan lieber code, antara lain mengharuskan perlakuan manusiawi bagi penduduk sipil di daerah konflik dan juga melarang eksekusi tawanan perang, lieber code digunakan sebagai hukum yang mengatur pertempuran antara angkatan bersenjata pemberontak waktu terjadinya perang saudara. Lieber Code dalam aturannya memuat aturan mengenai kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaaan. 32 McCormack & Simpson.,(edit), 1997,The Law of War Crimes: National and International Approaches, Kluwer Law International, The Hague/London/Boston dikutip dari Buku Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hal.83

13 21 Kapten Henry, seorang dokter Swiss yang diperbantukan pada angkatan bersenjata Konfederasi dan bertanggung jawab terhadap tawanan perang di kamp Andersonsville, telah diadili di Washington DC pada tahun Kapten Henry terbukti secara kejam telah melakukan konspirasi untuk merusak kesehatan dan membunuh serdadu Amerika yang ditahan di kamp tawanan tersebut. Pelanggaran terhadap hukum perang yang dilakukan Kapten Henry tersebut maka ia dijatuhi hukuman mati dan kemudian segera diekskusi Pengaturan Kejahatan Perang Setelah Perang Dunia II 1. Pengadilan Internasional Nuremberg dan Pengadilan Internasional Tokyo Pengadilan di Nuremberg mengadili pelaku kejahatan perang pertama di dunia pengadilan ini digunakan untuk menyidang kasus yang berkaitan dengan para anggota utama kelompok pemimpin politik, militer, dan ekonomi Nazi Jerman. Piagam Nuremberg dalam ketentuanya menekankan kata-kata seperti pembasmian, perbudakan, deportasi, dan tindakan yang tidak manusiawi dan penyiksaan atas dasar politik, rasial, atau agama yang berhubungan dengan kejahatan lainya bukanlah kejahatan perang yang dilakukan terhadap tentara musuh, namun terhadap warga sipil Jerman sendiri. Mereka adalah kaum Yahudi, gipsil, homoseksual dan penyandang cacat yang dianggap sebagai manusia palsu. Tindakan kejahatan ini tidak dilakukan karena keadaan perang, melainkan karena sikap rasialisme dari pimpinan Nazi, Kesemuanya ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. 34 Pada pasal 7 Piagam Nuremberg menyebutkan 33 Judith Gail Gardam, Non Combatant Immunity As A Norm of Internatonal Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, Dodrecht, Boston, London, h Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, h

14 22 pengadilan ini memiliki yuridiksi atas kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan terhadap kemanusiaan, di pasal ini dijelaskan mengenai tanggung jawab seorang individu, tidak bisa menghapuskan hukuman pidananya meskipun seseorang tersebut melaksanakan tugas negara atau sebagai aparat negara. Pengadilan Internasional Tokyo, mempunyai wewenang untuk mengadili dan menghukum para penjahat perang di Timur Jauh sebagai individu maupun sebagai anggota dari organisasi jika seseorang didakwa dalam posisinya sebagai anggota organisasi tertentu maka yang dikenakan atasnya adalah dakwaan/tuntutan atas tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap perdamaian Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan terdapat pada Pasal 6 Statuta Tokyo: a. Kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan, dan pelaksanaan perang sebagai tindakan agresi baik yang dideklarasikan maupun tidak; atau perang yang melanggar hukum atau perjanjian internasional; atau ikut serta dalam suatu rencana bersama atau konspirasi demi terlaksananya salah satu bentuk kejahatan di atas; b. Kejahatan perang konvensional: pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang; c. Kejahatan terhadap kemanusiaan: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa perang, atau persecution berdasar politik atau ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan, baik

15 23 tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak menurut hukum domestik dimana tindakan tersebut dilakukan. 2. Konvensi Jenewa 1949 Grave Breaches of the Geneva Convention of 1949 yang mempunyai berbagai bentuk : 1. Wailful killing Terjadi ketika korban mati karena hasil dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku, tindakan itu dimaksudkan untuk membunuh dan mencederai seseorang secara serius dan hal tersebut disadari akibatnya oleh pelaku. Istilah Wailful killing berasal dari keempat konvensi Jenewa, pasal 50 Konvensi Jenewa I, Pasal 51 Konvensi Jenewa II, Pasal 147 Konvensi Jenewa IV dan Pasal 130 Konvensi Jenewa III. 2. Taking civilian as hostages Penggunaan ancaman terhadap tahanan yang ditunjukan untuk mendapatkan kepatuhan atau mendapatkan keuntungan. Kejahatan ini dilarang dalam pasal 3 bersama konvensi Jenewa 1949, Pasal 34 dan 147 dari Konvensi Jenewa IV, dan Pasal 75 (2) (c) Protokol tambahan Wilfully causing great suffring or injury to body or health Terjadi ketika tindakan tersebut diarahkan kepada orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa Tindakan yang diarahkan tersebut menimbulkan luka fisik dan penderitaan yang berat dan hal yang dilakukan oleh pelaku harus dapat dibuktikan.

16 24 4. Extensive destruction appropriation of property, not justified by millitary necessity and carried out unlawfully and wantonly Ketika unsur konflik bersenjata dan unsur kejahatan dan unsur yang harus dipenuhi lainya adalah kerusakan pada benda yang berlebihan benda yang memiliki perlindungan Konvensi Jenewa 1949 dan harus dilakukan dalah operasi militer terkait benda yang terletak diwilayah yang dikuasai. Pelaku mempunyai maksud untuk menghancurkan benda dengan tidak hati-hati tidak menghiraukan kehancuran benda tersebut. 5. Violation of the law or customs of war Employment of poisonous weapomns or other weapons calculated to cause unnecessary suffering Tindakan penggunaaan senjata yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu, unsurnya dijelaskan pada pasal 8 (2) (b) (xviii-xix) element of crime statuta roma, pelarangan mengenai jenis senjata apa saja yang dilarang, pelaku dalam tindakan nya sadar bahwa aksinya dilakukan pada saat konflik bersenjata. 6. Attack or bombardment by whatever means of underfended town, villages, dwelling, or buildings Serangan yang dilakukan merupakan cara berperang yang menyebabkan kematian dan membuat persoalan yang serius dalam populasi penduduk sipil atau memberi kerusakan pada harta benda penduduk sipil. 7. Seizure of destruction or wilful damage done to institution dedicated to religion charity and education, the arts and sciences, historic munuments and works of art and science.-

17 25 Pelarangan terhadap tindakan berasal dari Konvensi Den Haag 107. Kejahatan yang merupakan pelanggaran terhadap nilai nilai yang dilindungi oleh masyarakat. 8. Plunder of public or private property Kejahatan perampasan properti milik pribadi atau properti tersebut milik umum, karena dalam konvensi Jenewa tidak dibedakan antara public property dan private property dengan adanya kejahatan tersebut maka timbulah kejahatan pidana individu. Pengertian kejahatan perang juga dapat diartikan sebagai suatu pelanggaran berat (diantaranya) terhadap Konvensi Jenewa, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan : a. Konvensi Jenewa I, II dan III : Ketentuan ini menyatakan bahwa pengrusakkan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang akan dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan dengan sewenang-wenang. b. Konvensi Jenewa III dan IV : a) Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh. b) Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam Konvensi. c. Konvensi Jenewa IV Pasal 147 : a) Deportasi dan pemindahan secara tidak sah. b) Penahanan yang tidak sah. c) Penyanderaan. d. Protokol Tambahan I : a) Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau integritas fisik maupun mental. b) Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat atas badan atau kesehatan, sebagai berikut :

18 26 (1) Serangan terhadap masyarakat sipil. (2) Serangan membabi buta yang merugikan masyarakat sipil /obyek sipil. (3) Serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya. (4) Serangan yang diarahkan pada perkampungan yang tidak dipertahankan dan daerah diluar operasi militer. (5) Serangan terhadap orang yang tidak lagi ikut dalam pertempuran. (6) Penyalahgunaan tanda pelindung. e. Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut : a) Pemindahan sebagian dari masyarakat sipilnya oleh pihak yang menduduki ke dalam wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi atau pemindahan sebagian atau seluruh masyarakat sipil yang diduduki. b) Keterlambatan dalam repatriasi tawanan perang atau orang sipil. c) Tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi berdasarkan atas perbedaan ras. d) Serangan terhadap monumen sejarah, benda budaya dan tempat ibadah. e) Tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh Hukum Jenewa untuk menerima pengadilan yang wajar. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran berat berdasarkan Konvensi Jenewa I,II,III dan IV antara lain pembunuhan yang disengaja, penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan. 3. Statuta International Criminal Tribul for the Former Yugoslavia (ICTY) Kejahatan perang diartikan sebagai pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa meliputi : a. pembunuhan yang disengaja; b. penganiyaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis; c. dengan sengaja mengakibatkan pemderitaan yang luar biasa atau luka yang serius pada kesehatan tubuh atau kesehatan manusia; d. perusakan secara besar-besaran dan pemilikan harta benda yang tidak dapat dibenarkan oleh kepentingan militer serta dilaksanakan secara tidak sah dan keji; e. memaksa seorang tawanan perang atau penduduk sipil untuk bekerja pada angkatan bersenjata negara musuh; f. dengan sengaja mengurangi hak seorang tawanan perang atau orang sipil atas kesamaanya didepan hukum; g. melakukan penyanderaan sipil. 35 Pasal 2 Statuta ICTY.

19 27 Pada pasal 3 pengadilan ini memiliki kewenangan mengadili orang yang melakukan pelanggaran hukum dan kebiasaan perang yang meliputi tapi tidak terbatas pada: 36 a. penggunaan senjata beracun atau senjata lain yang mengakibatkan penderitaan tidak perlu; b. perusakan secara besar-besaran terhadap kota-kota, kampung, atau desa yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan kepentingan militer; c. serangan atau pemboman, dengan cara apapun atas kota yang tidak dpaat dibenarkan berdasarkan kepentingan militer; d. penyitaan atau penghancuran yang disengaja yang dilakukan terhadap institusi yang ditunjukkan untuk masalah keagamaa, sosial, pendidikan, seni, monumen bersejarah dan kesenian lainya; e. penjarahan atas harta benda milik publik maupun milik masyarakat. Dalam Statuta ICTY tidak menggunakan istilah kejahatan perang melainkan menggunakan istilah pelanggaran berat Konvensi Jenewa1949, dan kejahatan yang ada pada Statuta ini merupakan kejahatan yang diambil dari Konvensi Den Haag Statuta International Criminal Tribunal for the Former Rwanda (ICTR) Pada pasal 1 Statuta ICTR menjelaskan mengenai tanggung jawab orang yang melakukan pelanggaran serius hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda dan bertanggung jawab untuk pembunuhan masal yang dilakukan antara 1 Januari 1994 dan 31 Desember Pengadilan Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR) ini dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah: genosida (pasal 2); 36 Pasal 3 Statuta ICTY.

20 28 kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 3); dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 (pasal 4). Istilah kejahatan perang tidak secara eksplisit tercantum dalam Statuta, istilah yang disebut adalah pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional. 5. Statuta International Criminal Court (ICC) Pasal 13 Statuta ICC memberlakukan yuridiksi terhadap tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 5 jika: a. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidsana telah terjadi dan melimpahkanya kepada Jaksa Penuntut oleh Negara Pihak; b. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan dilimpahkan kepada jaksa Penuntut oleh Dewan Keamanan yang bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB; c. Jaksa Penuntut mengambil prakarsa melakukan suatu pengadilan berkaitan dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 Statuta. d. Terdapat tiga pihak yang dapat mengajukan suatu perkara tindak pidana ke Jaksa Penuntut, yaitu negara pihak pada Statuta, Dewan Keamanan PBB, dan Prakarsa Jaksa Penuntut itu sendiri. Menurut ICC, kejahatan perang adalah setiap kejahatan yang bertentangan dengan Pasal 8 Statuta Roma 1998, kejahatan perang dikelompokan menjadi empat bagian yaitu

21 29 a. Pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa 1949 yang mencakup tindakan yang ditunjukan terjadap orang atau benda yang dilindungi konvensi-konvensi Jenewa : 1. Pembunuhan secara sengaja; 2. Penyiksaan atau perlakuan secara secara tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologis; 3. Penghancuran dan perampasan barang dalam skala yang luas tanpa pertimbangan keperluan militer, serta dilakukan secara tidak sah dan secara sembarangan; 4. Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk melakukan tugas didalam angkatan bersenjata pihak musuh; 5. Secara sengaja menyangkal hak untuk diadili secara jujur dalam pengadilan biasa yang dimiliki oleh tawanan perang; 6. Deportasi, pemindahan, atau penahanan penduduk sipil secara tidak sah; 7. Menyandera penduduk sipil; b. Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata, Statuta roma memberi pengertian yang luas terhadap pengertian perang, tinndakan yang termasuk dalam kategori ini adalah: 1. Secara sengaja mengarahkan serangan pada penduduk sipil atau seorang sipil yang tidak terlibat dalam permusuhan; 2. Secara sengaja mengarahkan serangan pada sasaran sipil yakni objek yang bukan merupakan sasaran militer; 3. Secara sengaja mengarahkan serangan pada personal, instalasi, bahan-bahan, unit atau kendaraan yang terlibat dalam tugas bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan piagam PBB, sepanjang mereka mendapatkan perlindungan selayaknya objek sipil atau penduduk sipil berdasarkan hukum internasional yang mengatur tentang konflik bersenjata; 4. Secara sengaja melancarkan serangan dengan pengetahuan bahwa serangan tersebut akan menyebabkan hilangnya nyawa atau melukai penduduk sipil,

22 30 menimbulkan kerusakan terhadap objek sipil, ataupun menimbulkan kerusakan lingkungan yang berat dan berjangka panjang, yang bersifat berlebihan apabila dilihat dari tujuan keuntungan militer yang dicapai; 5. Dengan sarana apapun menyerang atau melakukan pemboman terhadap kota, desa, pemukiman atau gedung-gedung yang tidak memiliki pertanahan dan juga bukan merupakan sasaran militer; 6. Membunuh atau melukai combatant yang memutuskan untuk menyerah setelah meletakan senjata dengan demikian tidak bisa mempertahankan diri; 7. Menyalahgunakan tanda gencatan senjata, bendera, seragam, dan tanda militer musuh, seragam dan tanda-tanda pbb dan lambang khusus konvensi-konvensi Jenewa sehingga menyebabkan kematian atau luka serius; 8. Pemindahan secara langsung maupun tidak langsung oleh penguasa pendudukan terhadap penduduk sipil sendiri ke wilayah yang diduduki atau deportasi maupun pemindahan sebagian atau seluruh penduduk sipil di wilayah pendudukan dari satu tempat ketempat lain didalam wilayah atau keluar wilayah pendudukan; 9. Secara sengaja mengerahkan serangan pada bangunan yang dipergunakan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, amal, monumen bersejarah, ataupun rumah sakit dan tempat dimana mereka yang luka dan sakit dikumpulkan, sepanjang objek dan tempat itu bukan merupakan sasaran militer. 10. Menyerahkan orang yang berada ditangan musuh untuk menjalani mutilasi fisik atau untuk menjalani segala jenis percobaan medis maupun ilmiah yang tidak dilakukan dalam kerangka perawatan rumah sakit, kesehatan atau gigi, yang tidak pula dilakukan demi kepentingan orang tersebut, yang mengakibatkan kematian atau secara serius mengancam kesehatan orang tersebut; 11. Membunuh atau melukai individu warga negara musuh atau angkatan bersenjata musuh secara kejam; 12. Menyatakan bahwa pengampunan tidak akan diberikan; 13. Menghancurkan atau merampas milik musuh, kecuali kalau penghancuran atau perampasan itu dibenarkan atas dasar kepentingan perang; 14. Menyatakan bahwa hak-hak dan tindakan warga negara musuh dihapuskan, ditangguhkan atau tidak diterima oleh pengadilan; 15. Memaksa warga negara yang menjadi pihak musuh untuk mengambil bagian dalam operasi pertempuran yang ditunjukkan terhadap negara mereka, bahkan kalau warga negara itu bekerja pada peserta tempur sebelum perang dimulai; 16. Merampok kota atau suatu tempat, meskipun kota atau tempat itu direbut melalui serangan; 17. Menggunakan racun atau senjata yang diberi racun; 18. Menggunakan gas pencekik, gas beracun, atau jenis gas lain, serta cairan, bahan atau peralatan yang sejenis dengan itu; 19. Mengggunakan peluru yang dengan mudah dapat menyebar atau memampat didalam tubuh manusia, seperti peluru dengan selongsong keras yang tidak sepenuhnya menutup inti peluru. 20. Menggunakan senjata, projektil serta bahan dan cara berperang menurut sifatnya dapat menyebabkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, atau yang secara inheren melanggar hukum tentang konflik bersenjata secara tidak pandang bulu, sepanjang senjata, projektil, serta bahan dan cara berperang itu dilarang secara komperehensif dan dicantumkan didalam annex statuta. 21. Melakukan kebiadaban terhadap kehormatan pribadi, khususnya yang berupa perlakuan yang bersifat merendahkan dan menghina martabat.

23 Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, penghamilan paksa, sebagaimana didefinisakan didalam artikel 7 paragraf 2(f), pemandulan paksa, dan segala bentuk kekerasan seksual yang juga merupakan pelaggaran berat terhadap konvensi jenewa. 23. Memanfaatkan kehadiran penduduk sipil atau orang lain yang dilindungi sedemikian rupa sehingga menyebabkan titik tertentu, area atau kekuatan militer menjadi imun dari serangan militer. 24. Secara sengaja melancarkan serangan terhadap bangunan, bahan, unit medis, transportasi medis, dan orang orang yang sesuai dengan hukum internasional menggunakan lambang pembeda yang diatur dalam konvensi jenewa. 2.3 Analisa Penembakan Pesawat MH-17 sebagai Kejahatan Perang Terdapat tiga elemen penting dalam kejahatan perang, yang pertama adalah suatu perbuatan atau tindakan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan perang, Penembakan pesawat MH-17 oleh pemberontak pro Rusia merupakan tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan perang karena tindakan tersebut sengaja dilancarkan mengenai objek sipil (pesawat sipil) yang tidak ikut secara langsung dalam permusuhan, sesuai dengan Pasal 85 (3) (a) ; Pasal 51 (2) Protokol tambahan Tahun 1977 (PT) I, Pasal 8 (2)(b)(i) Statuta Roma Pelancaran rudal Buk merupakan suatu serangan yang jelas diketahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian bagi penduduk sipil yang tidak terlibat dalam permusuhan, pesawat MH-17 yang bukan termasuk merupakan objek militer. Aksi penembakan pesawat MH-17 merupakan tindakan pelanggaran hukum dan kebiasaan perang, disebut melakukan kejahatan perang karena melanggar aturan aturan perang, pelaku penembakan seharusnya memperhatikan dan meneliti benar objek serangan, objek seharusnya tidak mendapatkan perlindungan khusus, objek yang diserang adalah objek yang telah dinyatakan terlarang.

24 32 Dengan ditembaknya pesawat sipil maka juga terlanggarnya prinsip pembedaan dalam hukum humaniter internasional, prinsip ini membedakan antara penduduk sipil dan combatant. Dalam suatu sengketa bersenjata dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu kombatan dan civilian. Kombatan adalah mereka yang ikut serta dalam konflik bersenjata secara langsung dan dibedakan dari penduduk sipil. Apabila seorang kombatan tertangkap oleh musuh maka dia mendapatkan status sebagai tawanan perang dan mendapat perlindungan secara khusus. 37 Pembedaan antara penduduk sipil (civilian) dan kombatan diperlukan agar adanya pengualifikasian siapa saja yang boleh turut serta dalam permusuhan sehingga boleh dijadikan sasaran serangan dan siapa saja yang tidak turut serta, dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran peperangan. 38 Hal lain yang harus diperhatikan adalah alat dan cara menyerang dengan maksud mencegah serta mengurangi korban di kalangan penduduk sipil dan harus juga menangguhkan penentuan serangan yang dapat diperkirakan mampu menimbulkan korban di kalangan penduduk sipil dan kerusakan pada objek sipil, dan aksi tersebut juga kerugiannya melebihi keuntungan militer, aksi yang dilakukan harus proporsional sifatnya, tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung dengan tetap memperhatikan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran. Unsur yang kedua adalah bahwa tindakan tersebut dilakukan pada situasi pertikaian bersenjata (unsur kontekstual). Unsur tersebut membedakan kejahatan 37 Ambarwati.Denny Ramdhany.Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT Rajagrafindo Persada, 2012, h Haryomataram, Hukum Humaniter,Rajawali Press, Jakarta, 1984, h.63.

25 33 perang dengan kejahatan kriminal biasa. Harus ada hubungan antara tindak pidana dan konflik bersenjata. 39 Terdapat dua jenis konflik bersenjata, yaitu konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional. Situasi konflik bersenjata dianggap terbentuk ketika terdapat penggunaan pasukan bersenjata antara negara atau negara atau sebuah kekerasan bersenjata antara negara atau sebuah organized armed group atau antar dua armed groups dalam sebuah negara. Dalam definisi diatas yang dimaksud penggunaan pasukan bersenjata antara negara adalah konflik bersenjata internasional, sedangkan kekerasan bersenjata berkepanjangan antara organized armed group dalam sebuah negara adalah konflik bersenjata non internasional, untuk menilai suatu konflik sudah memenuhi syarat untuk menjadi suatu konflik bersenjata non internasional hakim akan melihat berbagai faktor, yaitu keseriusan dari serangan dan apakah terjadi peningkatan pasukan bersenjata, adanya perluasan wilayah bentrokan, dan konflik tersebut telah menarik dewan keamanan PBB dan dewan PBB telah mengeluarkan resolusi mengenai berapa banyak penduduk sipil yang mengalami kerugian dari konflik tersebut, tipe persenjataan apa yang digunakan atau senjata apa yang digunakan dalam perang. Dalam menilai apakah pihak yang berkonflik sudah memenuhi organized armed group akan dilihat faktor sebagai berikut apakah para pihak memiliki strukstur dan seperangkat peraturan apakah anggota pasukan bertindak sesuai standar yang diterima kelompok dan tidak bertindak sendiri sendiri, sebuah organized armed groups memerlukan struktur hierarki dan kemimpinanya dan 39 ICTY, Judgement, The Prosecutor v. Dusko Tadic, IT-94-1-T, para.572 dikutip dari buku Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hal.49

26 34 harus mempunyai anggota. Kejahatan perang memerlukan koneksi antara tindakan kejahatan dan konflik bersenjata, hal itu yang membuat adanya pembedaan antara hukum humaniter internasional kejahatan perang dengan kejahatan umum yang diatur dalam hukum nasional, untuk membuktikan adanya hubungan koneksi antara tindakan kejahatan dan konflik bersenjata harus melihat apakah konflik bersenjata yang menjadi faktor substansial dalam pelaksanaan kejahatan, apakah korban adalah bagian dari pihak musuh pelaku, apakah aksi kejahatan merupakan bagian tugas dalam konteks kewajiban pelaku, dan apakah korban merupakan pejuang atau bukan. Konflik Ukraina mengancam perdamaian dunia, konflik ini menelan korban dari pihak yang menginginkan referendum, Hukum Internasional menetapkan aturan mengenai prinsip non intervensi, tidak berhaknya negara lain atau organisasi untuk mencampuri urusan dalam negri suatu negara. Sebab kedaulatan negara tidak dapat diganggu gugat. Intervensi militer yang dilakukan oleh Rusia di wilayah Ukraina dilatar belakangi oleh kependudukan wilayah dengan tujuan utama merebut kembali Crimea agar menjadi bagian dari Rusia. Tindakan Rusia telah melanggar kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina. 40 Konflik di Ukraina dapat digolongkan sebagai Konflik bersenjata Non internasional, karena konflik terjadi merupakan sengketa bersenjata yang terjadi didalam wilayah Ukraina antara pasukan bersenjata negara Ukraina dengan pasukan bersenjata pemberontak separatis pro Rusia. Konflik yang terjadi di and Russiam diakses pada tanggal 11 Februari

27 35 Ukraina yang sebelumnya merupakan konflik bersenjata non internasional berubah menjadi konflik bersenjata internasional sejak adanya intervensi dari negara Rusia, melibatkan angkatan bersenjata dari dua negara, menurut Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 setiap perbedaan yang muncul antar dua negara dan menyebabkan intervensi angkatan bersenjata adalah sengketa bersenjata sekalipun salah satu pihak tidak mengakui keberadaan keadaan perang. Unsur ketiga adalah bahwa tindakan tersebut menimbulkan tanggung jawab pidana secara individual, pemidanaan ini bertujuan untuk menciptakan keadaan agar seorang pelaku yang terlibat dalam kejahatan perang harus bertanggung jawab karena sifatnya sangat mutlak, selain tanggung jawab secara individu ada kemungkinan timbulnya tanggung jawab negara. Hal penting yang menentukan suatu tindakan disebut sebagai kejahatan perang yaitu apabila dilakukan terhadap orang-orang atau objek-objek yang dilindungi oleh hukum perang. Tujuan hukum humaniter internasional adalah memberikan perlindungan baik untuk pihak yang terlibat maupun juga penduduk sipil (civilian). Dalam terjadinya konflik bersenjatan segala sesuatu itu berhubungan dengan Hak Asasi Manusia dan hal itu merupakan sesuatu hal yang harus selalu dipahami dan harus dipertahankan dalam situasi apapun, namun dalam keadaan darurat yang diumumkan secara resmi yang sifatnya mengecam, disini negara harus dapat melindungi hak-hak penduduk sipil, hak- hak tersebut adalah : a. Hak untuk hidup; b. Hak untuk tidak dipaksa;

28 36 c. Hak untuk tidak diperbudak; d. Hak untuk tidak dipenjara atas dasar tidak menjalankan kewajiban kontraktual; e. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; f. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum; g. Hak untuk kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama. 41 Hak tersebut dijamin oleh seluruh instrumen hukum internasional dan hak tersebut jika dilanggar makan dapat dikatakan sebagai kejahatan perang. Penerbangan pesawat MH-17 Malaysia airlines yang saat ditembak pesawat ini menuju utara menjauhi jalur selatan yang biasa digunakan untuk penerbangan dari Bandara Schiphol, Amsterdam, ke Kuala Lumpur, Malaysia. Pesawat tersebut tercatat meminta izin terbang di ketinggian 33 ribu kaki, dengan melintasi rute penerbangan di wilayah konflik. Penerbangan tersebut sebenarnya ada pada jalur penerbangan yang benar, sebelum tragedi penembakan pesawat MH-17 rute melalui wilayah Donetsk dianggap sebagai jalur aman untuk penerbangan sipil terlepas dari wilayah daratannya. 42 Meski daerah tersebut dinyatakan aman dan tidak ada larangan seharusnya maskapai juga memperhatikan kondisi langit wilayah Ukraina yang sedang ada konflik, tidak hanya Malaysia airlines saja yang bertanggung jawab, tetapi juga Ukraina yang seharusnya memberi peringatan pada semua maskapai yang akan melintasi wilayah langitnya, dengan adanya konfirmasi maka meminimalkan resiko pelanggaran hukum humaniter internasional. 41 Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik, pasal 4 ayat Separatis incar pesawat militer ukraina mengapa MH17 tidak alihkan rute, diakses 21 November 2014

29 37 Kejadian penembakan pesawat MH-17 ini setidaknya ada 298 orang meninggal dunia, keprihatinan akan hal-hal yang membuat masyarakat internasional perlu untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia penduduk sipil diwaktu kondisi perang, oleh karena itu lahirnya Konvensi Internasional mengatur mengenai perlindungan sipil di waktu perang, diantaranya konvensi Den Haag 1907 mengenai hukum dan kebiasaan perang, adapula konvensi Jenewa 1949 yang sebagian besar ketentuanya ditetapkan untuk melindungi penduduk sipil yang termasuk kategori orang yang dilindungi dalam konvensi tersebut. perlindungan orang sipil diwaktu perang yang terdapat pada bagian IV. Konvensi Jenewa 1949 merupakan konvensi yang melengkapi ketentuan-ketentuan yang ada sebelumnya, aturan ini membatasi akibat yang timbul dari perbuatan para pihak dalam keadaan perang, menyelamatkan penduduk sipil dari kerusakan dan penderitaan perang. Pada prinsipnya hal tersebut merupakan usaha untuk menghindarkan penduduk sipil dari tindakan sewenang-wenang. Penduduk sipil bagian dari orang yang tidak ikut serta dalam perang, maka berdasarkan ketentuan dari Konvensi Jenewa 1949 pada bagian IV dalam ketentuan umum mengatur mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang berhak atas hal-hal sebagai berikut : a. Perlindungan diri dan kehormatan manusia 1. Dalam pasal 27 Paragraf 1 mengatur bahwa orang yang dilindung dalam segala keadaan berhak akan penghormatan atas pribadi, hak kekeluargaan, keyakinan, dan praktek keagamaan serta kebiasaan mereka. Terhadap penduduk

30 38 sipil harus diperlakukakan tindakan dengan perikemanusiaan, dan terutama harus dilimdungi terhadap segala tindakan kekerasan; 2. Dalam pasal 27 Paragraf 2 mengatur bahwa wanita terutama dilindungi terhadap setiap bentuk pelanggaran atas kehormatanya khusunya terhadap perkosaan, pelacuran yang dipaksakan, atau setiap bentuk pelanggaran kesusilaan lainya; 3. Dalam pasal 28 yang mengatur pihak dalam pertikaian tidak boleh menggunakan orang yang dilindungi dalam konvensi untuk dijadikan sasaran atau daaerah tertentu kebal dari operasi militer dalam pertempuran dengan musuh; 4. Pasal 29 menyatakan pihak-pihak dalam pertikaian bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan oleh pejabat atau anggota bersenjata kepada oreangorang yang dilindungi yang ada dalam kekuasaan mereka; b. Tindakan tindakan yang dilarang 1. Diatur dalam pasal 27 dan Pasal 31 mewajibkan bahwa pihak peserta konvensi harus melindungi dan menghormati orang-orang yang dilindungi yang melarang pula dilakukannya tindakan paksaan baik jasmani maupun rohani, untuk memperoleh keterangan dari mereka. 2. Dalam Pasal 33 Konvensi Jenewa ini melarang pihak dalam pertikaian untuk menjatuhkan hukuman kolektif, melakukan tindakan intimidasi terorisme, dan perampokan apalagi tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil baik terhadap diri, maupun harta milik mereka Dalam pasal 3 ayat (1) dan Pasal 34 Bagian IV Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan terhadap Penduduk Sipil diwaktu perang. Konvensi ini secara

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penerbangan MH-17 Malaysia Airlines merupakan penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang dari berbagai negara, pesawat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC)

LAPORAN SINGKAT RAPAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) LAPORAN SINGKAT RAPAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 20 Des 2010 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

RUU KUHP PASAL-PASAL DIPENDING USUL PERUBAHAN KETERANGAN

RUU KUHP PASAL-PASAL DIPENDING USUL PERUBAHAN KETERANGAN RUU KUHP No RUU KUHP PASAL-PASAL DIPENDING USUL PERUBAHAN KETERANGAN 1. Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pandangan Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi arab. Perang ini diawali oleh unjuk rasa di Benghazi pada 15 Februari 2011,

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA)

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) Tentang: MOBILISASI DAN DEMOBILISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH. A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH. A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak korban Perang. Konflik bersenjata di Suriah diawali dengan adanya pemberontakan

Lebih terperinci

Lampiran. Timeline Konflik Yang Terjadi Di Suriah Kekerasan di kota Deera setelah sekelompok remaja

Lampiran. Timeline Konflik Yang Terjadi Di Suriah Kekerasan di kota Deera setelah sekelompok remaja Lampiran Timeline Konflik Yang Terjadi Di Suriah Maret 2011 Kekerasan di kota Deera setelah sekelompok remaja membuat graffiti politik, puluhan orang tewas ketika pasukan keamanan menindak Demonstran Mei

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

perkebunan kelapa sawit di Indonesia Problem HAM perkebunan kelapa sawit di Indonesia Disampaikan oleh : Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M Dalam Workshop : Penyusunan Manual Investigasi Sawit Diselenggaran oleh : Sawit Watch 18 Desember 2004,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL STATUTA ROMA STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

Bagian 2: Mandat Komisi

Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi...1 Bagian 2: Mandat Komisi...2 Pendahuluan...2 Batasan waktu...3 Persoalan-persoalan dengan relevansi khusus...3 Makna berkaitan dengan konflik politik...3

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 1 UU 7/1950, PERUBAHAN KONSTITUSI SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT MENJADI UNDANG UNDANG DASAR SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:7 TAHUN 1950 (7/1950) Tanggal:15 AGUSTUS

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A)

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A) TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN 1504113414 BUDIDAYA PERAIRAN(A) LABORATORIUM EKOLOGI DAN MANAJEMEN LINGKUNGAN PERAIRAN FAKULTAN PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR Oleh Elinia Reja Purba I Gede Pasek Eka Wisanajaya I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk BAB IV KESIMPULAN Sejak berakhirnya Perang Dingin isu-isu keamanan non-tradisional telah menjadi masalah utama dalam sistem politik internasional. Isu-isu keamanan tradisional memang masih menjadi masalah

Lebih terperinci

Kewajiban Negara Pihak terhadap Pelaksanaan Instrumen-instrumen HAM Internasional. Ifdhal Kasim

Kewajiban Negara Pihak terhadap Pelaksanaan Instrumen-instrumen HAM Internasional. Ifdhal Kasim Kewajiban Negara Pihak terhadap Pelaksanaan Instrumen-instrumen HAM Internasional Ifdhal Kasim Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Instrumen yang Diratifikasi

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.170, 2008 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M. 2 Pengantar Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci