KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM INFORMASI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME ANDRE TANJUNG ORISA/ D PEMBIMBING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM INFORMASI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME ANDRE TANJUNG ORISA/ D PEMBIMBING"

Transkripsi

1 KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM INFORMASI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME ANDRE TANJUNG ORISA/ D PEMBIMBING I. Dr. JUBAIR., S.H., M.H. II. KAMAL., S.H., M.H. ABSTRAK Kesimpulan penelitian adalah Kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti pembuktian tindak pidana terorisme sebagai alat bukti baru atau menambah alat bukti baru dan bukan sebagai perluasan alat bukti yang ada pada KUHAP, sehingga dapat berdiri sendiri diluar alat bukti KUHAP sesuai asas lex specialis karena undang-undang terorisme merupakan ketentuan khusus dari alat bukti yang ada pada KUHAP. Kekuatan alat bukti elektronik dalam undang undang tindak pidana terorisme harus didukung oleh saksi ahli untuk menjelaskan keaslian dari Informasi Elektronik tersebut dan dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan dan alat bukti Informasi Elektronikharus diambil atau diperoleh oleh penegak hukum yang berwenang. Saran penelitian ini: Perlu perbaikan (revisi) atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, khususnya yang menyangkut pembuktian terhadap barang bukti data elektronik dan produksinya sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Sebaiknya Hakim menerapkan sistim pembuktian negatif dalam mengadili perkara tindak pidana terorisme dimana diajukan alat bukti elektronik sehingga dapat tercapai tujuan hukum acara pidana untuk mendapatkan kebenaran materiil. Kata Kunci : Informasi Elektronik, Pembuktian, Tindak Pidana Terorisme 1

2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini, Indonesia telah berada dalam teknologi elektronik yang berbasis kepada lingkungan serba digital 1.Dengan perkembangan teknologi tersebut, menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan 2. Disisi lain terjadi peningkatan kejahatan dengan mempergunakan teknologi informasi sebagai modus operandi melakukan kejahatan. Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakuka perbuatan pidana diatur di dalam hokum pidana formal atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Van Bemmelen menyatakan bahwa, Ilmu hokum acara pidana mempelajari peraturan- 1 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005, Hlm Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, Hlm. 3 peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang - undang pidana 3. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan disidang pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan nasib terdakwa.apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang diaturdalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhka nhukuman. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, serta meneliti sampai 3 Andi Hamzah, Mohammad Taufik Makarao, dansuhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teoridan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, Hlm. 2 2

3 dimana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs kracht) dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP tersebut. Pembuktian menurut KUHAP, menganu tsistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu system pembuktian yang merupakan keseimbangan antara system keyakinan hakim (conviction in time) dengan system pembuktian menurut undang-undang secara positif (berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undangundang).kedua system ini saling bertolak belakang secara ekstrim. Dimana kedua system ini dikenal dengan system pembuktian secara negative dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undangundang secara positif 4. Salah satu undang-undang yang dikecualikan dari KUHAP dalam hal pembuktian dan alat-alat buktinya adalah Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang 4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, Hlm. 278 Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003) sebagai undang-undang khusus yakni terdapat didalam undang-undang ini, yaitu bukti permulaan dan alat bukti mengalami perluasan, sebagai diatur dalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 yang memberikan batasan alat bukti dalam perkara tindak pidana terorisme yang berbeda dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP meliputi: Bukti permulaan menurut UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, dalam penjelasan Pasal 26 menegaskan bahwa: 1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen. 2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri. 3

4 3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. 4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan. Penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain manapun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat. Selanjutnya Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme menegaskan mengenai alat bukti sebagai berikut: 5 1. Alat buki sebagaimana dimaksud dalam KUHAP 5 ; 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 184 ayat (1) yaitu (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d) Petunjuk dan; (e) Keterangan Terdakwa. Sedangkan menurut Hukum Acara Perdata Pasal 164 HIR atau RIB Indonesia yang diperbaharui adalah: (a) Surat; (b) Pengakuan, (c) Persangkaan, (d) Keterangan Ahli, dan (d) Sumpah. 4

5 yang terekam secara elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. Tulisan, suara, atau gambar b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; huruf, tanda, simbol, angka atau perforasinya yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme sebagai undang-undang khusus (lex specialis derogat lex generalis), berarti UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam KUHP dan KUHAP. Sudikno Mertokusumo 6, Lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria: 1. Bahwa pengecualian terhadap undang-undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan Undang. 2. Bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam undang - undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya berlaku pengecualian hanya sebatas yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan dirinya, yaitu Undang- undangundang khusus tersebut. Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materilnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya (formil), oleh karena itu harus diperhatikan bahwa 6 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, Hlm. 31 5

6 aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP bagi hukum pidana materilnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam KUHAP 7. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme yang berkaitan dengan alat bukti yang diperluas yaitu mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti selain yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah munculnya kejahatan teroris baru yaitu cyber terrorism, tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh berhenti karena ketidakadaan hukum yang mengatur 7 Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Univ Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 148 penggunaan barang bukti dan alat bukti berupa informasi elektronik di dalam suatu penyelesaian peristiwa hukum 8. Alat bukti berupa informasi elektronik saat ini telah perkembangan dengan pesat, hal ini turut didukung dengan kemajuan berbagai teknologi yang dapat mempermudah pekerjaan dan dapat dilakukan dengan cara instan, selain itu maraknya penggunaan informasi elektronik dan sejenisnya bukan lagi barang langka. Hal ini tentunya membuat aktivitas informasi elektronik bukan hal baru bagi kebanyakan orang 9. Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi seringkali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan, diantara ragam kejahatan itu menggunakan teknologi didalamnya terdapat kejahatan teroris baru yaitu cyber terrorism, penanganan cyber terrorism berbeda dengan penanganan terorisme konvensional, 8 Muhammad Labib dan Abdul Wahid, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Rafika Aditama, Bandung 2005, Hlm. 26: 26 9 Wahana Komputer, Video Editing Dan Video Production, Prakata, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008, Hlm.5 6

7 perbedaannya adalah penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik. Apa yang diuraikan dilatar belakang masalah di atas tentu harus ditelusuri bukan saja melalui perundang-undangan yang ada, akan tetapi juga melalui studi kepustakaan. Sehingga dapat ditentukan bagaimana suatu pembuktian tindak pidana terorisme yang menggunakan perkembangan elektronik dianggap sah menurut hukum. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan informasi elektronik dalam pembuktian tindak pidana terorisme? 2. Bagaimana kekuatan hokum alat bukti elektronik dalam undang undang tindak pidana terorisme? II. PEMBAHASAN A. Kedudukan Informasi Elektronik Dalam Pembuktian Tindak Pidana Terorisme Terkait dengan pengaturan alat bukti elektronik sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3). Alat bukti elektronik tersebut mempunyai sifat yang berbeda dari alat bukti umum yang diatur dalam KUHAP. Salah satu perbedaannnya adalah bentuknya yang bersifat digital (non paperbased) sehingga membutuhkan keahlian khusus untuk dapat memahami arti dan makna serta keaslian alat bukti digital tersebut. Terkait dengan hal ini, tidak terdapat pengaturannya dalam UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. I1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, apakah sebuah alat bukti elektronik dapat diterima begitu saja sebagai alat bukti di persidangan, ataukah harus memenuhi standar tertentu yang 7

8 menjamin keaslian alat bukti tersebut. Hal ini berbeda dengan praktik di berbagai negara yang mengatur Standard Operational Procedure (SOP) terhadap penggunaan alat bukti elektronik, yang dikembangkan dari SOP yang dibuat oleh International Organization of Computer Evidence (IOCE) yang merupakan standar intenasional. 10 Perkembangan teknologi dan hukum seharusnya berjalan beriringan, perkembangan ini telah menyebabkan pergeseran dari media cetak ke media digital dari dokumen yang konvensional ke dokumen elektronik seperti video sebagai lex specialis, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki kekhususan secara formil di banding KUHAP. Salah satu kekhususannya tersebut adalah terkait penggunaan alat bukti yang merupakan pembaharuan proses pembuktian konvensional dalam KUHAP. 10 Agus Rahardjo, Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan Berteknologi. PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, Hlm 20. Pengaturan mengenai alat bukti dalam Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi : 1. Alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP; 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan, 3. Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik. Termasuk tidak terbatas pada : 1) Tulisan, suara atau gambar; 2) Peta, rancangan, foto dan sejenisnya; dan 8

9 3) Huruf, tanda, angka, simbol atau perfoliasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Informasi Elektronik telah mendapat kedudukan sebagai alat bukti sah dalam pengaturan hukum pidana di Indonesia khususnya dalam tindak pidana terorisme sesuai ketentuan Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Informasi Elektronik sebagai alat bukti baik dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah dan menjadi perluasan dari alat bukti yang sah. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Informasi Elektronik dalam tindak pidana terorisme menempatkannya sebagai alat bukti tersendiri disamping alat bukti yang dikenal selama ini, sehingga yang dimaksud perluasan dari alat bukti yang sah adalah menambah jenis alat-alat bukti menurut KUHAP, sehingga bukan merupakan alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dalam KUHAP karena Informasi Elektronik sebagai alat bukti dapat berdiri sendiri tanpa harus berkaitan dengan alat bukti lainnya. Arti dari kedudukan Informasi Elektronik sebagai alat bukti berdiri sendiri, sebagai perluasan (penambahan) alat- alat bukti yang dikenal selama ini, hal tersebut tidak secara tegas dalam pasal-pasalnya, akan tetapi dari penjelasan yang ada menunjukkan kedudukannya sebagai alat bukti yang berdiri sendiri yang merupakan perluasan (penambahan) alat-alat bukti menurut KUHAP. 9

10 B. Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik Dalam Undang Undang Tindak Pidana Terorisme Kekuatan hukum Informasi Elektronik, tidak terlepas dari alatalat elektronik itu sendiri dan proses pengambilan Informasi Elektronik. Proses pembuktian secara elektronik, merupakan pembuktian yang melibatkan berbagai hal terkait teknologi informasi seperti informasi dan atau dokumen elektronik dalam perkara tindak pidana terorisme namun tetap mendasarkan pada ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHP serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Pada perkara pidana biasa/konvensional, alat-alat bukti di atas merupakan alat bukti yang sah secara hukum (Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), sepanjang diperoleh melalui proses yang tidak melanggar hukum. Pada perkara tindak pidana terorisme, alat-alat bukti yang sah dan dapat diungkapkan dalam proses pembuktian ditentukan berdasarkan Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menegaskan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah secara hukum dalam proses pembuktian, khususnya pada perkara tindak pidana terorisme. Alat-alat bukti tersebut merupakan perluasan dari alat-alat bukti sebagaimana diatur dan berlaku dalam hukum acara, khususnya hukum acara pidana, yakni sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP. Dalam ilmu hukum sering dibedakan antara alat bukti riil dan alat bukti demonstratif. Yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah alat bukti yang mempunyai peranan langsung dalam membuktikan fakta yang dipersengketakan, seperti senjata, peluru, pakaian, kontrak, yang berhubungan dnegan fakta yang akan dibuktikan. Jadi, alat bukti tersebut, merupakan alat bukti riil. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang tidak dengan secara langsung 10

11 membuktikan adanya fakta tertentu, tetapi alat bukti ini dipergunakan untuk membuat fakta tersebut menjadi lebih jelas dan terang serta lebih dapat cepat dimengerti. Namun, dalam literatur sering antara alat bukti riil dan alat bukti demonstratif disatukan dalam istilah alat bukti demonstratif 11. Penggunaan beberapa alat bukti demonstratif di atas berupa InformasiElektronik, termasuk rekaman elektronik seperti kamera tersembunyi (alat penyadap), rekamangambar, video atausuara yang tersembunyi melalui alat perekam gambar, video atau suara, pesan SMS melalui telepon seluler pesan suara rekaman telepon, foto, rekaman suara pilot pesawat dalam kotak hitam pesawat, dan bukti fisik lain atau sainstifik yang modern yang semakin lama semakin banyak dan canggih juga ditentukan di Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang 11 Munir Fuady, Op. cit, Hlm. 185, dimana bahwa rekaman elektronik merupakan bagian kecil dari alat bukti demonstratif yang keududukannya dapat membuat lebih terang dan jelas tentang kasus aau perkara yang sedang diperiksa oleh Hakim dalam persidangan di pengadilan Terorisme. Kedudukan alat bukti yang disebutkan di dalam Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme termasuk di dalamnya alat bukti yang berbentuk rekaman dengan menggunakan sarana elektronik seperti radio, kamera, tape redorder, handphone, LCD, Komputer, dan lain-lain yang semacamnya (segalajenis media yang dapatdifungsikanmerakam) baikitusuara, gambar, dan lain-lain (untuk lebih singkatnya disebut dengan rekaman elektronik ) menurut Romli Atmasasmita bahwa alat bukti yang disebutkan di dalampasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut merupakan alat bukti yang berdiri sendiri. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016, maka suatu Informasi Elektronik tersebut selain harus memenuhi syarat formil dan materil, juga harus dimaknai bahwa alat bukti elektronik tersebut diperoleh dalam rangka penegakan 11

12 hukum atas permintaan para penegak hukum. Dengan demikian, dalam hal terdapat suatu alat bukti elektronik yang diajukan dalam persidangan diperoleh dengan cara yang tidak sah atau tanpa adanya permintaan dari para penegak hukum, maka alat bukti elektronik tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai alat bukti yang sah dipersidangan. Dalam konteks penegakan hukum sekalipun, suatu alat bukti elektronik harus diperoleh melalui prosedur yang ditentukan oleh undang-undang, oleh karena itu suatu alat bukti elektronik yang diperoleh tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh undang-undang adalah tidak dibenarkan. III. PENUTUP A. Kesimpulan Dari analisa yang telah penulis uraikan pada bab sebelumnya, dalam rangka menjawab permasalahan dalam penelitian ini, maka dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal yang merupakan kesimpulan dari hasil penulisan, yaitu : 1. Kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti pembuktian tindak pidana terorismesebagai alat bukti baru atau menambah alat bukti baru dan bukan sebagai perluasan alat bukti yang ada pada KUHAP, sehingga dapat berdiri sendiri diluar alat bukti KUHAP sesuai asas lex specialis karena undangundang terorisme merupakan ketentuan khusus dari alat bukti yang ada pada KUHAP. 2. Kekuatan alat bukti elektronik dalam undang undang tindak pidana terorisme harus didukung oleh saksi ahli untuk menjelaskan keaslian dari Informasi Elektronik tersebut dan dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan dan alat bukti Informasi Elektronikharus diambil atau diperoleh oleh 12

13 penegak hukum yang berwenang. B. Saran 1. Perlu perbaikan (revisi) atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, khususnya yang menyangkut pembuktian terhadap barang bukti data elektronik dan produksinya sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. 2. Sebaiknya Hakim menerapkan sistim pembuktian negatif dalam mengadili perkara tindak pidana terorisme dimana diajukan alat bukti elektronik sehingga dapat tercapai tujuan hukum acara pidana untuk mendapatkan kebenaran materiil. 13

14 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU Agus Rahardjo, Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan Berteknologi. PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005 Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006 Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Univ Indonesia, Jakarta, 1990 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, Sinar Grafika, Jakarta, 1985 Muhammad Labib dan Abdul Wahid, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Rafika Aditama, Bandung 2005 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996 B. UNDANG-UNDANG Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209, Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO8 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik 14

15 DAFTAR RIWAYAT HIDUP NAMA : ANDRE TANJUNG ORISA TEMPAT/ TANGGAL LAHIR : TARAKAN, 19 NOVEMBER 1993 AGAMA : ISLAM ALAMAT : BTN PALUPI PERMAI BLOK C NO 2 PALU andreorisaa@gmail.com PEKERJAAN : MAHASISWA STATUS : BELUM KAWIN RIWAYAT PENDIDIKAN 1. SD. TAHUN 1999 LULUS TAHUN SMPN TAHUN 2005 LULUS TAHUN SMAN TAHUN 2008 LULUS TAHUN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TADULAKO Palu, 20 November 2017 YANG MEMBUAT, ANDRE TANJUNG ORISA 15

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum yang berlaku. Kemajuan teknologi informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 PENETAPAN PENGADILAN TENTANG BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK DIMULAINYA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT PASAL 26 UNDANG- UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 JUNCTO PERPU NOMOR 1 TAHUN 2002 1 Oleh :

Lebih terperinci

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti 18 dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Elsa Karina Br. Gultom Suhirman Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Regulation

Lebih terperinci

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN Clara Lintang Parisca Mahasiswi Fakultas Hukum Atmajaya Yogyakarta Pendahuluan Pembuktian merupakan satu aspek yang memegang peranan sentral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( ) BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK (Email) 1. Pengertian Alat Bukti Dalam proses persidangan, alat bukti merupakan sesuatu yang sangat penting fungsi dan keberadaanya untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang mengaturnya, karena hukum merupakan seperangkat aturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey,

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, mengatakan bahwa Teknologi Informasi semakin dibutuhkan dalam kehidupan manusia, dan

Lebih terperinci

Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana

Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana Oleh: Nur Ro is Abstract The development of technological progress is always accompanied by the legal issues that arise in comparative law left behind

Lebih terperinci

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi?

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi? TRANSKRIP WAWANCARA Subjek bernama Ahmad Baharudin Naim Pekerjaan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang sejak tahun 2011. Sebelum menjadi hakim, narasumber merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

WACANA HUKUM VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009 PERANAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP MACAM ALAT BUKTI DALAM RUU KUHAP

WACANA HUKUM VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009 PERANAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP MACAM ALAT BUKTI DALAM RUU KUHAP PERANAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP MACAM ALAT BUKTI DALAM RUU KUHAP TRI WAHYU WIDIASTUTI, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract: Law and societies are similarly dynamic and change through time. The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang penting bagi sebuah kemajuan bangsa.seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang penting bagi sebuah kemajuan bangsa.seiring dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi.fenomena kecepatan perkembangan teknologi informasi ini telah merebak di seluruh

Lebih terperinci

2017, No pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaim

2017, No pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaim No.1872, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PPATK. Penyedia Jasa Keuangan. Penghentian Sementara dan Penundaan Transaksi. Pencabutan. PERATURAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis melakukan

Lebih terperinci

TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA JURNAL ILMIAH

TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA JURNAL ILMIAH TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA JURNAL ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah: BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1) Pertimbangan-pertimbangan yuridis yang digunakan dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah: a). Harus memenuhi unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I. Korupsi dalam konteks yang komprehensif merupakan white collar crime. segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sering kali

BAB I. Korupsi dalam konteks yang komprehensif merupakan white collar crime. segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sering kali 1 BAB I A. LATAR BELAKANG Korupsi dalam konteks yang komprehensif merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin

BAB I PENDAHULUAN. tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi dan industri yang merupakan hasil dari budaya manusia membawa dampak positif, dalam arti teknologi dapat di daya gunakan untuk kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyadapan termasuk salah satu kegiatan untuk mencuri dengar dengan atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi yang dilakukan untuk

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan Negara Indonesia secara konstitusional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata materiil dan spiritual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomer 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016 KEABSAHAN SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 1 Oleh: Deby Lidya Mokoginta 2 A B S T R A K Penggunaan Informasi Elektronik sebagai alat bukti diperbolehkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Informasi

BAB V PENUTUP tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Informasi BAB V PENUTUP A KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil keseluruhan pembahasan tersebut di atas, Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

BAB IV. A. Proses Pembuktian Pada Kasus Cybercrime Berdasarkan Pasal 184 KUHAP Juncto

BAB IV. A. Proses Pembuktian Pada Kasus Cybercrime Berdasarkan Pasal 184 KUHAP Juncto BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN SECARA ELEKTRONIK DALAM PERKARA CYBER CRIME DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR II TAHUN 2008 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia memiliki beragam hak sejak ia dilahirkan hidup. Hak yang melekat pada manusia sejak kelahirannya ini disebut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa pengertian tentang gratifikasi seks yang tidak lama ini terjadi belum ada pengertian secara eksplisit. Akan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRONIK DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Indra Janli Manope 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRONIK DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Indra Janli Manope 2 KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRONIK DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Indra Janli Manope 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana fungsi alat bukti dalam pemeriksaan

Lebih terperinci

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaedah hukum yang berbentuk peraturan dibedakan menjadi peraturan atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif ialah yang memberikan kewenangan

Lebih terperinci

ABSTRAK ABSTRACT. Key Word : , legal evidence, evidence

ABSTRAK ABSTRACT. Key Word :  , legal evidence, evidence KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRNONIK (EMAIL) DALAM PRAKTEK PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR Oleh Stefanus Alfonso Balela I Ketut Tjukup Nyoman A. Martana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM.

Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM. 85 ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM Oleh Rivaldo Valini 8 ABSTRAK: Eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum adalah sebagai

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T No. 339, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Pencucian Uang. Asal Narkotika. Prekursor Narkotika. Penyelidikan. Penyidikan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELIDIKAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA 44 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Pengaturan Tentang Alat Bukti di Indonesia Dalam proses persidangan, pembuktian tidak terlepas dari hal

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Fenomena Kejahatan Penipuan Internet dalam Kajian Hukum Republik Indonesia Wednesday, 02 January :00

NCB Interpol Indonesia - Fenomena Kejahatan Penipuan Internet dalam Kajian Hukum Republik Indonesia Wednesday, 02 January :00 There are no translations available. Oleh: Ny. JUSRIDA TARA, SH., M.Hum. I. PENDAHULUAN Teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang seiring dengan perkembangan pola berfikir umat manusia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis pembahasan, hasil penelitian yang penulis

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis pembahasan, hasil penelitian yang penulis BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis pembahasan, hasil penelitian yang penulis lakukan dalam penulisan hukum ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Aturan mengenai keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengingat alasan sebagaimana dikemukakan di bawah ini;

BAB I PENDAHULUAN. mengingat alasan sebagaimana dikemukakan di bawah ini; BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul: E-mail Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata, mengingat alasan sebagaimana dikemukakan di bawah ini; Hukum mendikte (the law dictates)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang Undang Dasar Sebagai konsekuensi logis peraturan

BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang Undang Dasar Sebagai konsekuensi logis peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. Sebagai konsekuensi logis peraturan tersebut, maka seluruh tata kehidupan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. 1. teknologi informasi disebut dengan Cyber Crime. Cyber Crime adalah jenis

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. 1. teknologi informasi disebut dengan Cyber Crime. Cyber Crime adalah jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di dunia, teknologi informasi memegang peran penting, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Teknologi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : Konsekuensi bagi Jaksa yang tidak menggunakan kewenangannya dalam

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN. PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. : Encep Rustian Bin Eman Sulaiman

BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN. PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. : Encep Rustian Bin Eman Sulaiman 72 BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN A. Kasus Posisi 1. Identitas Pelaku PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. Nama Lengkap Tempat Lahir : Encep Rustian Bin Eman

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study) BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini dideskripsikan suatu tinjauan pustaka mengenai pembuktian. Adapun tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui pembuktian pada umumnya dan dalam rangka

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang praperadilan menurut hukum acara pidana dan bagaimana

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah

Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Secara umum tujuan acara pidana untuk mendapatkan kebenaran tentang terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu acara pidana juga bertujuan untuk mengatasi kekuasaan

Lebih terperinci

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI Disusun Oleh : MICHAEL JACKSON NAKAMNANU NPM : 120510851 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen SH 1113 3 4 (Empat) Endri, S.H., M.H. Deskripsi Mata Kuliah Standar Mata Kuliah merupakan mata kuliah yang bertujuan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan suatu kumpulan dari masyarakat-masyarakat yang beraneka ragam corak budaya, serta strata sosialnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 28, Pasal

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017 PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 1 Oleh: Abenwin S. Tatangindatu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 1 Tulisan disampaikan dalam acara Forum Expert Meeting

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa : 61 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis menyimpulkan bahwa : 1. Dalam memperoleh suatu keyakinan oleh hakim, ia harus mendasarkan keyakinannya

Lebih terperinci

berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Inilah yang dikenal orang

berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Inilah yang dikenal orang 2 Perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, maka manusia dapat mengetahui apa yang terjadi didunia dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari

Lebih terperinci

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 I. PENDAHULUAN Sebagai akibat aktivitas perekonomian dunia, akhir-akhir ini pemanfaatan hutan menunjukkan kecenderungan

Lebih terperinci