KEWENANGAN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN PENGAWASAN PEMBERIAN UPAH MINIMUM DI KOTA SURABAYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEWENANGAN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN PENGAWASAN PEMBERIAN UPAH MINIMUM DI KOTA SURABAYA"

Transkripsi

1 KEWENANGAN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN PENGAWASAN PEMBERIAN UPAH MINIMUM DI KOTA SURABAYA Rangga Bagus Novianto Sarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya hikaru.rb21@gmail.com ABSTRACT - This study aims to investigate the implementation of Law No. 13 of 2003 on Manpower governing the supervision of minimum wage and penalties were obtained when violating the provisions of article 90 paragraph 1. The findings obtained from this study include: (1) the implementation of minimum wage monitoring undertaken labor offices as part of the government against the workers is still very weak, so there are still many employers who provide wages under the terms. (2) Although there has been quite clear that sanctions are criminal sanctions such as fines / imprisonment and administrative sanctions in the form of a reprimand, warning, freezing, and others it turns out there is still room for entrepreneurs to get away from these penalties, namely through labor court. Keywords: Minimum Wage, Labour, Industrial Relations Court PENDAHULUAN Dalam Hukum Ketenagakerjaan terdapat beberapa istilah yang beragam, seperti ada buruh, pegawai, karyawan, majikan atau pengusaha. Istilah buruh sejak dulu sudah populer dan masih sering dipakai sebagai sebutan untuk kelompok pekerja. Istilah pekerja dalam praktek sering dipakai untuk menunjukkan status hubungan kerja, seperti pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja harian, pekerja honorer, pekerja tetap dsb. Sedangkan istilah karyawan atau pegawai lebih sering dipakai untuk data administrasi. Pengertian Hukum Perburuhan banyak dikemukakan oleh para pakar hukum perburuhan, dari definisi yang dikemukakan menunjukan adanya aspek persamaan dan perbedaan cara pandang di antara para ahli. Aspek persamaan tersebut antara lain, adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi kerja. Sedangkan perbedaan yang dimaksud di antaranya terletak dari cakupan yang termasuk dalam lingkup hukum perburuhan. Dimana hukum perburuhan berbeda dengan hukum privat atau hukum publik, namun memiliki unsur dari keduanya. Menurut Molenaar hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang intinya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh, serta antara buruh dengan penguasa. 1 Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang- Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang 1 Abdul Hakim Pengantar Hukum Perburuhan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. hlm 4

2 menjelaskan bahwa pekerja/buruh adalah upah atau imbalan dalam bentuk yang lain. Upah merupakan salah satu hak normatif buruh. Upah yang diterima oleh buruh merupakan bentuk prestasi dari pengusaha ketika dari buruh itu sendiri telah memberikan kepada Pengusaha yakni suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Karena merupakan hak normatif maka peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pengupahan memuat pula sanksi pidana bagi Pengusaha yang mengabaikan peraturan perundangan terkait dengan masalah pengupahan dan perlindungan upah. Bila hal tersebut terjadi maka tindakan Pengusaha yang demikian ini termasuk dalam tindak pidana kejahatan. Pada dasarnya hukum perburuhan bersifat hubungan perdata antara buruh dengan pengusaha, namun karena tidak adanya kesetaraan hubungan antara buruh dan pengusaha, dikarenakan secara natural kedudukan pengusaha lebih berkuasa daripada buruh dan buruh menggantungkan kesejahteraan diri dan keluarganya kepada pengusaha, maka pola hubungan tersebut sangat potensial terjadi eksploitasi, karena itu negara hadir melalui peraturan perundangundangan maupun penegakan hukum untuk mencegah agar tidak terjadi eksploitasi dengan memberikan jaminan perlindungan dan penegakan hak-hak buruh secara adil, karena itu hukum perburuhan tidak hanya bersifat hukum privat atau perdata namun juga mengandung unsur hukum publik. 2 Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain, dengan menerima upah. Sehingga penetapan upah ditetapkan berdasarkan suatu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dapat dijadikan acuan dasar untuk menentukan upah minimum yang dihitung berdasarkan kebutuhan masyarakat sehari-hari yang sesuai dengan kebutuhan hidup layak atau yang bisa disingkat dengan KHL sesuai dengan Pasal 88 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Upah Minimum dibagi menjadi 3 jenis yaitu Upah Minimum Provinsi, Upah Minimum Kota/Kabupaten, Upah Minimum Sektoral. Sesuai dengan Pasal 89 Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa: 1. Upah Minimum Provinsi : Upah Minimum Propinsi (UMP) adalah Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di satu 2 Ikhwan Fahrojih Hukum Perburuhan. Jakarta: Setara Press. hlm 3

3 Provinsi. Upah minimum ini di tetapkan setiap satu tahun sekali oleh Gubernur berdasarkan rekomendasi Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah (sekarang Dewan Pengupahan Provinsi). Penetapan upah minimum propinsi selambatlambatnya 60 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum, yaitu tanggal 1 Januari. 2. Upah Minimum Kabupaten/Kota adalah Upah Minimum yang berlaku di Daerah Kabupaten/Kota. Penetapan Upah minimum kabupaten.kota dilakukan oleh Gubernur yang penetapannya harus lebih besar dari upah minimum propinsi. Penetapan upah minimum ini dilakukan setiap satu tahun sekali dan di tetapkan selambatlambatnya 40 (empat puluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum yaitu 1 Januari. 3. Upah minimum sektoral dapat terdiri atas upah minimum sektoral propinsi (UMSP) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Upah minimum sektoral propinsi adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di seluruh kabupaten/kota di satu propinsi, sedang Upah minimum sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) adalah Upah Minimum yang berlaku secara Sektoral di Daerah Kabupaten/Kota. Upah minimum sektoral merupakan hasil perundingan dan kesepakatan antara asosiasi perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh. Usulan upah minimum sektoral (hasil kesepakatan) tersebut disampaikan kepada gubernur melalui Kepala Kantor wilayah Kementerian tenaga kerja untuk ditetapkan sebagai upah minimum sektoral propinsi dan atau upah minimum sektoral kabupaten. 3 Sehingga pengusaha dilarang memberi upah lebih rendah dari upah minimum sesuai dengan pasal 89 Undang- Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dan apabila pengusaha tidak bisa memberi upah sesuai dengan upah minimum yang telah ditentukan maka dapat dilakukan cara melalui penangguhan yang di atur sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Kemudian pengaturan pengupahan yang terjadi antara pengusaha dan buruh/pekerja tidak boleh rendah dari perundang-undangan yang berlaku. Jika upah yang di sepakati bertentangan atau lebih rendah dari perundang-undangan yang berlaku maka kesepakatan tersebut harus 3 (diakses tanggal 03 Februari 2016)

4 batal demi hukum. Apabila ditinjau dari segi kebutuhan hidup layak. Setiap Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) selalu naik persen. 4 UMK tertinggi di daerah Ring I adalah Kota Surabaya sebesar Rp , diikuti Kabupaten Gresik Rp , Kabupaten Sidoarjo , Kabupaten Pasuruan Rp , serta Kabupaten Mojokerto Rp Sedangkan, nilai terendah UMK 2016 adalah Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Magetan yang besarannya sama, yaitu masing-masing Rp Tetapi di dalam prakteknya masih banyak pengusaha yang melanggar ketentuan pemerintah sehingga pekerja atau buruh mendapatkan upah dari pengusaha sangat jauh dari ketentuan pemerintah yang telah menetapkan upah minimum sesuai dengan wilayah masingmasing terutama di Kota Surabaya. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis dapat mengambil dua pokok permasalahan yang terdiri : 1. Apa kewenangan pemerintah terhadap pelaksanaan pengawasan pemberian upah minimum buruh oleh pengusaha? 4 Suhartono, Belanja Pemerintah Jadi Pemacu, Jawa Pos, 04 Februari, 2016, hlm (diakses tanggal 04 Februari 2016) 2. Apa sanksi bagi pengusaha yang memberikan upah dibawah ketentuan pemerintah? METODE PENELITIAN Berdasarkan rumusan permasalahan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap permasalahan diatas. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya sehingga penelitian hukum ini membutuhkan data primer dan data sekunder. SUMBER BAHAN HUKUM Bahan Hukum Primer yang digunakan adalah : 1. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 2. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

5 3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum 4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. 6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 20 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif. 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 21 Tahun 2016 Tentang Kebutuhan Hidup Layak Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Serta data yang di ambil dari perpustakaan yang berupa karya ilmiah yang berupa penelitian hukum dan data penunjang lainnya. PEMBAHASAN KEWENANGAN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN PENGAWASAN PEMBERIAN UPAH MINIMUM BURUH OLEH PENGUSAHA Pemerintah memiliki kewenangan dalam pengupahan di Indonesia, khususnya dalam melindungi pekerja/buruh dari menerima upah yang rendah. Dalam hal membuat regulasi di bidang pengupahan yang tujuannya untuk menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja/buruh di seluruh Indonesia beserta keluarganya. Namun Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten atau Kota tidak dapat melakukan suatu tindakan sendiri dalam hal pengawasan terhadap pemberian upah minimum karena seluruh pengawasan ketenagakerjaan di ambil alih seluruhnya oleh Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur menurut Undang- Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Lampiran huruf g dimana menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 akan memperkuat kembali pengawasan ketenagakerjaan secara kualitas dan kuantitas pengawasan ketenagakerjaan sehingga kerjasama kementerian dan Pemerintah Daerah Provinsi akan mengembalikan profesionalisme pengawasan ketenagakerjaan di daerah agar dapat bekerja secara maksimal. Pemerintah Provinsi dalam hal Dinas Tenaga Kerja Provinsi bersama dengan Dinas Tenaga Kerja Kota dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,

6 dalam hal ini melalui Sub Dinas Pengawasan selalu mengacu atau berpedoman pada peraturan yang berlaku. Sub Dinas Pengawasan terdiri dari Seksi Norma Kerja dan Seksi Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Pemenuhan upah minimum oleh perusahaan tidak bisa lepas dari pengawasan ketenagakerjaan. Upah minimum merupakan salah satu bagian dari norma kerja sehingga dalam pelaksanaan pengawasannya dilakukan oleh Seksi Norma Kerja. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 9 ayat (3) yang berbunyi urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Kemudian terdapat pada Pasal 11 ayat (2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar serta Pasal 12 ayat (2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak, pangan, pertanahan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan desa, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah, penanaman modal, kepemudaan dan olah raga, statistik, persandian, kebudayaan, perpustakaan, dan kearsipan. Selain berperan dalam hal regulasi, wewenang pemerintah lainnya adalah melakukan pengawasan pelaksanaan terhadap segala bentuk regulasi tersebut baik itu bidang ketenagakerjaan pada umumnya, bidang pengupahan pada khususnya agar dapat dijalankan dengan baik dan tidak menyimpang dari apa yang telah diatur berdasarkan peraturan yang ada. Menurut Pasal 1 angka 32 Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan bahwa Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pengawasan ketenagakerjaan merupakan bagian dari peranan pemerintah yang diwujudkan dengan kehadiran pegawai pengawas ketenagakerjaan. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah salah satu bentuk instrumen penting dari kehadiran pemerintah dalam intervensi untuk mengawasi semua aspek di bidang Ketenagakerjaan : hubungan industrial, Upah, kondisi kerja secara umum, keselamatan dan kesehatan kerja, dan hal lainnya yang terkait dengan bidang Ketenagakerjaan.

7 Sedangkan reformasi dunia perburuhan masih mengalami ketimpangan besar antara peraturan perundang-undangan (das Sollen) dan pelaksanaan kebijakan dalam praktik (das sein), yang mengindikasikan bahwa peraturan perburuhan masih lemah karena di dalam dunia kerja, pemberian upah pada umumnya selalu mempertimbangkan kemampuan pekerja yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan tingkat produktivitas kerja yang dimiliki oleh buruh. Kepentingan pengusaha terhadap upah adalah menganggap upah sebagai bagian biaya produksi, sehingga pertimbangan pengusaha dalam memberikan upah akan benar-benar memikirkan dari segi aspek bisnis berupa keseimbangan antara pemasukan yang diterima dan pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan. Oleh karena itu, setiap terjadinya pengeluaran untuk pengupahan pekerja/buruh akan dihitung dengan sangat teliti agar komponen ongkos produksi dapat sehemat mungkin dan juga dapat dijadikan sebagai investasi kepada pekerja/buruh dengan harapan timbal balik dalam bentuk produktivitas bekerja. Kepentingan dari pekerja/buruh terhadap upah adalah menjadikannya sebagai penghasilan setelah mengerjakan sesuatu, sedangkan keinginan dari pekerja/buruh terhadap upah adalah ingin mendapatkan upah sebesar mungkin agar mereka dapat hidup sejahtera dan bisa memenuhi kebutuhan hidup sandang, pangan, papan, berlibur/rekreasi dan pendidikan hingga perguruan tinggi untuk anak-anaknya. Dimana syarat pemberian upah yaitu adil dan mencukupi. Sehingga pengusaha wajib menaati kecuali pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum, dapat dikecualikan dari kewajiban tersebut dengan cara mengajukan permohonan kepada menteri tenaga kerja disertai dengan rekomendasi dari kepala dinas tenaga kerja setempat dan berdasarkan permohonan tersebut menteri tenaga kerja dapat menangguhkan pelaksanaan upah minimum paling lama dua belas (12) bulan. Tetapi dalam keadaan sebenarnya terdapat banyak pengusaha nakal yang dengan memberikan upah sangat jauh di bawah ketentuan yang diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu hal tersebut dianggap sebagai bentuk kecurangan terhadap pemberian upah terhadap buruh atau pekerja. Sehingga diperlukan adanya suatu campur tangan pemerintah ke dalam masalah ini sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap kesewenangwenangan pengusaha kepada buruh atau pekerja terhadap pemberian upah yang menyangkut kesejahteraan buruh atau pekerja. Pemerintah melakukan sebuah intervensi karena sangat berkepentingan untuk menyelaraskan antara upah yang memenuhi penghidupan yang layak bagi

8 kemanusiaan dan pencapaian produktivitas kerja dengan memperhatikan kebutuhan hidup pekerja, kesenjangan sosial, prestasi kerja, dan nilai kemanusiaan dan harga diri. Oleh karena itu, pemerintah memberlakukan kebijakan penetapan upah minimum yang tadinya dilandasi oleh Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) berkembang menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang bertujuan sebagai jaring pengaman, sarana untuk meningkatkan taraf hidup kelompok terendah, alat terjadinya pemerataan pendapatan, dan pemberian upah di atas upah minimum diatur secara internal di perusahaan. Kebijakan pemerintah di bidang pengupahan di latar belakangi oleh permasalahan akibat terjadinya konflik kepentingan antara pengusaha dan buruh yang meliputi rendahnya upah bagi pekerja bawah, kesenjangan upah terendah dan tertinggi, bervariasinya komponen upah, dan tidak jelasnya hubungan antara upah dengan produktivitas. Rendahnya upah bagi pekerja bawah sangat dirasakan oleh pihak buruh atau pekerja, tetapi sangat sulit dideteksi oleh pengawas ketenagakerjaan dalam rangka penerapan upah minimum. Bagi pekerja formal mungkin lebih mudah untuk terlacak namun bagi pekerja informal hal tersebut akan sangat sulit sekali untuk dapat terlacak kecuali ada laporan yang berasal dari masyarakat dan buruh atau pekerja. 6 Meskipun pelanggaran upah minimum kerap kali dilakukan pengusaha, disnaker sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan penyidikan tidak melakukan tindakan judicial seperti investigasi, penyelidikan, dan penyidikan. Alasan pengawas dan penyidik adalah disnaker secara institusional tidak didukung oleh sumber data manusia yang cukup dan kapabel, anggaran, cakupan lingkup tugas yang luas ditambah lagi perangkat hukum yang tidak memadai, dan intervensi kepala daerah yang bernuansa politik serta konspirasi pengawas/penyidik dengan pengusaha. 7 Contoh yang terjadi di Jawa Timur, dimana pada saat itu jarak waktu antara pemilihan Gubernur periode berdekatan dengan batas waktu untuk menentukan Upah Minimum yang akan diberlakukan pada tahun 2014 menyebabkan adanya potensi bercampurnya dengan kepentingan politik yaitu ingin memenangkan pemilihan Gubernur untuk periode Akibatnya Penetapan Upah Minimum Provinsi 2014 diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi oleh Dewan Pengurus Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Timur. Menurut pendapat DPP APINDO Jawa 6 Widodo Suryandono Asas-asas hukum perburuhan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. hlm Ikhwan Fahrojih. Op Cit. hlm 99

9 Timur bahwa dalam menetapkan Upah Minimum Provinsi 2014 Gubernur tidak mengikuti saran dari Dewan Pengupahan Provinsi, dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dalam hal ini Bupati dan Walikota. 8 Tindakan tersebut sesungguhnya merupakan bentuk eksploitasi terhadap buruh, yang tak hanya berhenti sampai disitu dimana pengusaha juga kerap kali tidak membayar atau memenuhi upah buruh sementara buruh sudah melaksanakan kewajibannya yang secara yuridis pengusaha seharusnya menunaikan kewajibannya. Namun tidak demikian, justru Undang-Undang No 2 Tahun 2004 membuka ruang bagi buruh untuk mengajukan suatu protes ke pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan haknya yang memerlukan proses yang cukup panjang dan melelahkan. 9 Menurut Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No 2 Tahun 2004 pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa perselisihan hak (rechtsgeschillen) adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sedangkan menurut Iman Soepomo perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian itu ataupun menyalahi ketentuan hukum. 10 Berdasarkan uraian diatas, maka perselisihan hak juga dapat disebut sebagai perselisihan normatif karena merupakan suatu kejadian dimana salah satu pihak dilanggar dan dirugikan dengan cara tidak mendapatkan hak-hak yang telah ditentukan oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan berhak untuk menuntut pihak yang merugikan dengan alasan yang berdasarkan perselisihan hak. Karena hak-hak tersebut sudah ditentukan atau diatur maka pihak yang merasa bahwa hak-hak mereka telah dilanggar dan dirugikan maka mereka berhak untuk mengajukan sebuah tuntutan terhadap hakhak mereka yang telah dilanggar. 1. Tahap Pertama : Perundingan Bipartit 11 Perundingan bipartit sama dengan negoisasi, yaitu penyelesaian sengketa oleh para pihak tanpa melibatkan pihak lain yang bertujuan tercapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis. 8 content/uploads/2014/12/implementasi-upah- Minimum-Kabupaten-Dalam-Meningkatkan- Produktivitas-Perusahaan.pdf (diakses pada tanggal 20 juli 2016) 9 Ikhwan Fahrojih. Op Cit. hlm Iman Soepomo Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta : Djambatan. hlm Eko wahyudi. Et al Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta : Sinar Grafika.hlm 65

10 Undang-Undang No 2 Tahun 2004 memberi pengertian perundingan bipartit sebagai perundingan antara pekerja atau buruh maupun serikat pekerja atau serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Hal ini menunjukan bahwa pihak yang berunding dalam forum bipartit ini adalah pekerja atau buruh maupun serikat pekerja atau serikat buruh dengan pengusaha. Prosedur penyelesaian sengketa dengan cara bipartit yang diatur dalam Undang-Undang No 2 tahun 2004 adalah : a. Musyawarah untuk mufakat antara para pihak dengan membuat risalah yang ditandatangani oleh kedua belah pihak b. Jika tercapai kesepakatan dibuat perjanjian bersama yang ditandatangai kedua pihak. Perjanjian ini bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan c. Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat d. Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan maka dapat diajukan permohonan kasasi pada pengadilan hubungan industrial di pengadilan setempat. Pendaftaran perjanjian bersama di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dilakukan sebagai berikut : 1. Perjanjian bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama 2. Apabila perjanjian bersama ternyata tidak dilaksnakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama telah didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi 3. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat pandaftaran perjanjian bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohoan eksekusi melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi

11 Penyelesaian dengan cara ini paling lama dilakukan dalam waktu tiga puluh hari sejak dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan telah terlewati dan salah satu pihak menolak untuk berunding atau tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit ini dianggap gagal. Setelah itu salah satu atau kedua pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi bidang ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti penyelesaian bipartit. Setelah menerima pencatatan, instansi ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada kedua belah pihak untuk memilih penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Jika dalam tujuh (7) hari para pihak tidak menetapkan pilihan, maka instansi ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian kepada mediator. 2. Tahap Kedua : Mediasi Apabila penyelesaian bipartit tidak tercapai, salah satu pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Syarat mutlak pencatatan tersebut adalah risalah perundingan bipartit. Apabila risalahnya tidak ada, maka pencatatannya ditolak selanjutnya diberi waktu tiga puluh hari (30) hari untuk melakukan perundingan bipartit. Jika tidak menemui kesepakatan dengan bukti risalah perundingan yang lengkap, maka para pihak ditawarkan tenaga penyelesaian apakah konsiliator atau arbitrase, jika tidak memilih maka perselisihan tersebut diselesaikan dengan cara mediasi. Mediator adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat oleh menteri yang memiliki wewenang untuk menangani dan menyelesaikan keempat jenis perselisihan. Dalam menjalankan tugasnya, mediator selalu menggunakan penyelesaian perselisihan secara musyawarah. Apabila mediator tidak berhasil menyelesaikan perselisihan tersebut, maka mediator wajib mengeluarkan anjuran tertulis, dan apabila anjurannya diterima olek para pihak, maka dibuat persetujuan bersama yang selanjutnya dicatatkan pada pengadilan hubungan industrial. Namun bila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu pihak, maka pihak yang berkeberatan yang mencatatkan perselisihan nya ke pengadilan hubungan industrial. Secara umum, penyelesaian secara mediasi berdasarkan Undang- Undang tahun 2004 dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :

12 a. Paling lambat 7 hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadkan penelitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi b. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi untuk dimintai dan didengar keterangannya c. Jika mencapai kesepakatan maka harus dibuat perjanjian bersama yang di tanda tangani oleh para pihak dan disaksikan mediator serta didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran d. Jika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui mediasi maka : 1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis yang disampaikan selambatlambatnya 10 hari sejak sidang mediasi pertama harus disampaikan kepada para pihak 2. Para pihak dalam waktu 10 hari sejak menerima anjuran tersebut harus sudah memberikan jawaban kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran yang dibuat oleh mediator 3. Para pihak tidak memberikan pendapatnya maka mereka dianggap menolak anjuran 4. Apabila anjuran disetujui maka dalam waktu selambatnya tiga (3) hari sejak anjuran disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta pendaftaran e. Apabila perjanjian bersama yang telah didaftarkan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pihak pengadilan hubungan industrial untuk mendapat penetapan eksekusi f. Jika pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah pengadilan negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang berkompeten untuk melaksanakan eksekusi g. Jika anjuran tertulis yang dibuat mediator ditolak oleh salah pihak atau para pihak, maka dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke

13 pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lambat tiga puluh (30) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 3. Tahap Ketiga : Gugatan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Melalui pengadilan hubungan industrial, penggugat harus melampirkan risalah. Penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, apabila gugatannya tidak di lampiri risalah, hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan sifatnya adalah wajib. Karena masalah perselisihan hubungan industrial yang terjadi semakin kompleks, maka dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan peradilan yang bebas dari intervensi berbagai pihak maka dibutuhkan suatu pengadilan yang khusu untuk menangani, memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hubungan industrial. Maka dari itu, pada tahun 2004 telah dibentuk Undang-Undang- Undang No 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (UUPPHI), yang dengan Undang-Undang tersebut dibentuklah pengadilan khusus yang diberi nama Pengadilan Hubungan Industrial. Penyelesaian melalui pengadilan dapat dilakukan dengan tahap-tahap berikut : Tahap Pengadilan Hubungan Industrial a. Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya melimputi tempat pekerja atau buruh bekerja. Dalam pengajuan gugatan yang dimaksud harus dilampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi b. Hakim pengadilan hubungan industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pihak penggugat apabila gugatan panggugat tidak melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi c. Penggugat dapat sewaktusewaktu mencabut gugatannya 12 Eko wahyudi. Et al. Op Cit.hlm 73

14 sebelum tergugat memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan akan dikabulkan pengadilan apabila disetujui tergugat 2. Tahap Mahkamah Agung Putusan pengadilan hubungan industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja memiliki kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada mahkamah agung dalam waktu selambat-lambatnya empat belas (14) hari kerja terhitung : a. Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan oleh sidang majelis hakim b. Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan c. Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui sub kepaniteraan pengadilan hubungan industrial pengadilan negeri setempat dan dalam waktu selambatlambatnya empat belas (14) kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah disampaikan oleh sub kepaniteraan pengadilan kepada ketua mahkamah agung d. Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada mahkamah agung selambat-lambatnya tiga puluh (30) hari kerja terhitung tanggal penerimaan permohonan kasasi. Setiap sidang dipimpin oleh Majelis Hakim yang terdiri atas tiga (3) orang hakim dengan komposisi satu (1) hakim karier sebagai hakim ketua, dua (2) hakim Ad Hoc sebagai hakim anggota. Hakim Ad Hoc berasal dari organisasi yang berlainan, namun dalam memeriksa dan memutus perkara harus bersikap netral dan tidak berpihak pada organisasi yang diwakilinya. Disamping adanya hakim dalam PHI, proses pemeriksaan perkara juga membutuhkan petugas yang mengurusi masalah administrasi. Mulai dari administrasi pendaftaran perkara, pemanggilan para pihak, persidangan, putusan, penyampaian putusan, sampai dengan eksekusi. Tugas-tugas ini dilaksanakan oleh panitera dan juru sita pengadilan. Tugas-tugas kejurusitaan yang dalam Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dilaksanakan oleh panitera pengganti, harus diartikan dilaksanakan oleh juru sita atau juru sita pengganti pengadilan negeri yang ditugaskan oleh pengadilan hubungan industrial dengan surat keputusan khusus.

15 SANKSI BAGI PENGUSAHA YANG MEMBERIKAN UPAH DI BAWAH KETENTUAN PEMERINTAH Undang-Undang Ketenagakerjaan mengklasifikasikan sanksi ke dalam dua (2) kategori yaitu sanksi pidana dan administrasi. Sanksi pidana yang dimaksud sesuai dengan Pasal 185 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa : 1. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), pasal 68, pasal 69 ayat (2), pasal 80, pasal 82, pasal 90 ayat (1), pasal 143, dan pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu (1) tahun dan paling lama empat (4) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp ,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (empat ratus juta rupiah). 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Kemudian menurut Undang- Undang Ketenagakerjaan sanksi administratif dapat berupa teguran tertulis, peringatan tertulis, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, pencabutan ijin, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan pembekuan kegiatan usaha. Apabila pengawas ketenagakerjaan mendapat laporan dan telah melakukan penyidikan dan telah membuktikan bahwa pengusaha telah melakukan kesalahan atau pelanggaran maka pengawas ketenagakerjaan akan menjatuhkan sanksi administratif kepada pengusaha. Sehingga pengusaha yang telah dikenai sanksi administratif oleh pengawas ketenagakerjaan tidak menghilangkan kewajibannya untuk membayar hak pekerja atau buruh. Apabila pengusaha tidak mengindahkan serta mematuhi sanksi administratif yang diberikan oleh pengawas ketenagakerjaan dan tetap melanggar maka pengawas ketenagakerjaan akan memberikan sanksi pidana melalui pengadilan hubungan industrial. Jika putusan dari pengadilan hubungan industrial belum memiliki kekuatan hukum tetap maka pengusaha tetap harus membayar hak pekerja atau buruh secara normal serta tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Contoh kasus buruh di Surabaya pada sekitar tahun 2008 yang saat itu telah terjadi salah paham antara pengusaha dengan buruh dan berujung pada pelaporan ke pihak berwenang hingga masalah tersebut didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial. Namun tidak beberapa lama pihak pengusaha memutuskan untuk melakukan tindakan secara sepihak yaitu pemecatan dan tidak diberi upah serta pesangon sementara posisi perkara tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap. Hal

16 tersebut sangat dilarang karena pengusaha diharuskan untuk menunggu dan tetap menjalankan kewajiban serta memberi hak buruh secara normal hingga posisi perkara tersebut memiliki kekuatan hukum tetap. PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dari kedua rumusan masalah diatas maka dapat di ambil dua kesimpulan yaitu: 1. Pasca otonomi daerah pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sehingga dalam penetapan dan pengawasan pemberian upah minimum, dinas ketenagakerjaan atau disnaker memiliki peranan, kewajiban, dan hak penuh untuk melindungi pemberian upah minimum. Namun terjadinya pelanggaran hak-hak normatif buruh seperti pembayaran upah di bawah ketentuan pemerintah sesungguhnya merupakan afirmasi atau penegasan bahwa lemahnya kinerja pengawas atau penyidik ketenagakerjaan. Padahal secara normatif, pengawas ketenagakerjaan bertugas untuk menjamin penegakkan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan sehingga hubungan industrial dapat berjalan secara proporsional dan demokratis. 2. Kemudian pemberian sanksi yang diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha yang melanggar ketentuan yang diatur oleh undang-undang ketenagakerjaan masih terdapat celah yang dapat dilewati oleh pengusaha sehingga dapat terhindar dari pemberian sanksi tersebut. SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas maka terdapat dua saran yang berkaitan dengan rumusan masalah di atas yaitu: 1. Pengawasan haruslah dilihat sebagai sebuah sistem penegakan hukum dan bukan sekedar aparat negara yang menjalankan wewenang terbatas sehingga harus lebih progresif untuk memajukan perlindungan terhadap hak-hak buruh. Pengawasan yang disertai dengan penegakan hukum akan menjamin pelaksanaan hak-hak normatif pekerja atau buruh yang akan menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan dunia usaha dan dapat mendidik pengusaha maupun buruh untuk selalu taat dalam menjalankan ketentuan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan akan tercipta suasana lingkungan kerja yang harmonis. Serta perlu sebuah revisi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan dibidang pengawasan upah minimum kab/kota.

17 2. Perlu adanya sebuah revisi terhadap undang-undang ketenagakerjaan dalam hal pemberian sanksi supaya dapat lebih tegas dan lebih merata sehingga tidak ada celah lagi untuk menghindari pemberian sanksi tersebut DAFTAR PUSTAKA Abdul Hakim Pengantar Hukum Perburuhan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti Eko wahyudi. Et al Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta : Sinar Grafika Ikhwan Fahrojih Hukum Perburuhan. Jakarta: Setara Press Iman Soepomo Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta : Djambatan Suhartono, Belanja Pemerintah Jadi Pemacu, Jawa Pos, 04 Februari, 2016 Widodo Suryandono Asas-asas hukum perburuhan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada (diakses tanggal 04 Februari 2016) (diakses tanggal 03 Februari 2016) i-upah-minimum-kabupaten-dalam- Meningkatkan-Produktivitas- Perusahaan.pdf (diakses pada tanggal 20 juli 2016 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang No 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 21 Tahun 2016 Tentang Kebutuhan Hidup Layak Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 20 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif

18

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum 1 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial Masih ingatkah Anda dengan peristiwa mogok kerja nasional tahun 2012 silam? Aksi tersebut merupakan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI LUAR PENGADILAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004 1 Oleh: Sigit Risfanditama Amin 2 ABSTRAK Hakikat hukum ketenagakerjaan adalah perlindungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pekerja/buruh dan Pengusaha Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh :

PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh : 59 PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh : I Nyoman Jaya Kesuma, S.H. Panitera Muda Pengadilan Hubungan Industrial Denpasar Abstract Salary are basic rights

Lebih terperinci

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2)

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015 PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 1 Oleh: Anjel Ria Meiliva Kanter 2 ABSTRAK Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon

Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon UPAYA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SECARA BIPARTIT, MEDIASI DAN KONSILIASI, SEBUAH KAJIAN YURIDIS Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon ABSTRAK Dengan meningkatnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Ta

2 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Ta BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1435, 2014 KEMENAKERTRANS. Mediator. Mediasi. Pengangkatan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan atau pemahaman antara dua pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah hukum apabila pertentangan

Lebih terperinci

BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Bipartit Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-undang Yang Terkait Dengan Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; Undang-Undang

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014 PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN SETELAH PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1 Oleh : Moh. Iswanto Sumaga 2 A B S T R A K Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimanakah bentukbentuk sengketa setelah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan 2.1.1. Pengertian Ketenagakerjaan Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang Ketenagakerjaan menyatakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.237, 2015 TENAGA KERJA. Pengupahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA Menimbang : Mengingat : MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi antara Serikat Pekerja dengan PT Andalan Fluid di Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kota Bogor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HALMAHERA TENGAH, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan semangat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Peraturan Kepala

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER -10/MEN/V/2005 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KONSILIATOR SERTA TATA KERJA KONSILIASI MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

Lebih terperinci

KEPMEN NO. 92 TH 2004

KEPMEN NO. 92 TH 2004 KEPMEN NO. 92 TH 2004 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja Di dalam hukum perburuhan dan ketenagakerjaan terdapat beberapa istilah yang beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain.

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1 Oleh: Vykel H. Tering 2 A B S T R A K Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, pengumpulan bahan hukum dilakukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 636 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENTUAN PENYELENGGARAAN FASILITAS KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH PERUSAHAAN

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENETAPAN UPAH MINIMUM PROVINSI, UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DAN UPAH MINIMUM SEKTORAL KABUPATEN/KOTA SERTA PENANGGUHAN

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2. PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Pengertian Peran Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada kedudukan-kedudukan tertentu dalam masyarakat, kedudukan dimana dapat dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasioal karena

Lebih terperinci

ABSTRACT. * Tulisan ini bukan merupakan ringkasan skripsi **

ABSTRACT. * Tulisan ini bukan merupakan ringkasan skripsi ** PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA KONTRAK DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA MASA KONTRAK * Oleh: Komang Dendi Tri Karinda ** Suatra Putrawan*** Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekerja merupakan aset utama dalam sebuah perusahaan karena tanpa adanya pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam menghasilkan barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja untuk orang lain karena adanya

I. PENDAHULUAN. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja untuk orang lain karena adanya 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja untuk orang lain karena adanya pekerjaan yang harus dilakukan dimana ada unsur perintah, upah dan waktu. Hubungan kerja

Lebih terperinci

BEBERAPA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN DI DALAM DAN DI LUAR PENGADILAN

BEBERAPA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN DI DALAM DAN DI LUAR PENGADILAN BEBERAPA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN DI DALAM DAN DI LUAR PENGADILAN Pendahuluan Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN

Lebih terperinci

Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan

Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan Kelelung Bukit Fakultas Hukum Program Studi Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Sejalan dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UU No 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan UU No 2/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UNTUK

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum Pendahuluan PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum Sebagai seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat maka ketika ada sebuah permasalahan di bidang hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

Makalah Ketenagakerjaan Sengketa Hubungan Industrial (Hukum Perikatan) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Ketenagakerjaan Sengketa Hubungan Industrial (Hukum Perikatan) BAB I PENDAHULUAN Makalah Ketenagakerjaan Sengketa Hubungan Industrial (Hukum Perikatan) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep hubungan industrial tidak bisa lepas dari unsur pengusaha dan pekerja, dimana pengusaha

Lebih terperinci

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : SOLECHAN 1. A. PENDAHULUAN Sejak dahulu sampai sekarang

Lebih terperinci

MEKANISME PENGUSULAN DAN PENETAPAN UPAH MINIMUM KOTA. Diana Fajarwati ABSTRACT

MEKANISME PENGUSULAN DAN PENETAPAN UPAH MINIMUM KOTA. Diana Fajarwati ABSTRACT MEKANISME PENGUSULAN DAN PENETAPAN UPAH MINIMUM KOTA Diana Fajarwati ABSTRACT Minimum regional wages is set by the government based on recommendation of the Board of Governors Wages. Minimum wage of city

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. maka dapat diambil kesimpulan bahwa Peran Dinas Tenaga Kerja Dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. maka dapat diambil kesimpulan bahwa Peran Dinas Tenaga Kerja Dan 1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Peran Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi

Lebih terperinci

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok. PENGANTAR Pembahasan MSDM yang lebih menekankan pada unsur manusia sebagai individu tidaklah cukup tanpa dilengkapi pembahasan manusia sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

TENTANG DI KOTA CIMAHI. Ketenagakerjaan. Kerja Asing;

TENTANG DI KOTA CIMAHI. Ketenagakerjaan. Kerja Asing; LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 183 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana PENYELESAIAN PERSELISIHAN ANTARA PEKERJA DENGAN PENGUSAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Disebabkan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. Planet Electrindo Berdasarkan Putusan Nomor 323K/Pdt.Sus-PHI/2015

Lebih terperinci

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit Dr. Sri Rahayu, SH, MM Widyaiswara Madya Badan Diklat Kementerian Tenaga Kerja Abstrak: (Diterima 13 November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sudah mulai dikenal dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBL1K INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan.

BERITA NEGARA. No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H. A. Pendahuluan

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H. A. Pendahuluan PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H. A. Pendahuluan Istilah hubungan industrial terdapat dalam tiga undang-undang, yaitu (1) Undang-undang Nomor 25

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI MEDIASI

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI MEDIASI PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI MEDIASI Krista Yitawati 1) 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun Abstrak Mediasi dalam hubungan industrial merupakan bagian dari alternatif

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

Sosialisasi Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/94 Tahun 2017 tanggal 20 Nop 2017 tentang Upah Minimum Pada 35 Kabupaten/Kota Tahun 2018 di

Sosialisasi Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/94 Tahun 2017 tanggal 20 Nop 2017 tentang Upah Minimum Pada 35 Kabupaten/Kota Tahun 2018 di Sosialisasi Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/94 Tahun 2017 tanggal 20 Nop 2017 tentang Upah Minimum Pada 35 Kabupaten/Kota Tahun 2018 di Provinsi Jawa Tengah 1 Dasar Hukum 2 1. Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci