PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS. Tri Retno Dyah Larasati

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS. Tri Retno Dyah Larasati"

Transkripsi

1 PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS Tri Retno Dyah Larasati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Bagase Tebu dan Limbah Nanas Sebagai Bahan Baku Penghasil Biogas adalah karya saya di bawah arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumlan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2010 Tri Retno Dyah Larasati P

3 ABSTRACT Tri Retno D L. Utilization of Sugarcane Bagasse and Pineapple Waste for Biogas Production. Supervised by HARIYADI and SISWANTO The development of world energy needs are increasingly dynamic in the middle of the limited reserves of fossil energy and concern for the conservation of the environment, causing concern for increasing renewable energy, particularly in renewable energy sources such as agriculture commodity crops, horticulture, plantations and farms. Solid waste biomass from agriculture and plantation is a potential raw material to be processed into a form of bioenergy utilization of biogas through anaerobic technology. Bagasse is solid waste from sugar mills and pineapple waste is the rest of the fruit processing factory. Sugarcane Bagasse still contain multiple organic compounds, and if not done processing, would cause dreadful odor and will pollute the environment. Meanwhile, pineapple waste contains carbohydrates (6.41%), minerals and crude protein (0.6%) as a potential fermentation substrate. Biogas is a fuel containing the calorific value is high enough, i.e kcal / m 3. Volume 1 m3 of biogas is equivalent to 0.8 liters of gasoline, diesel 0.52 liters, 0.62 liters of kerosene, LPG 0.46 kg and 3.5 kg of firewood. The energy contained in biogas depends on the concentration of methane (CH 4 ). The higher the methane content, the greater the energy content (calorific value) of biogas The purpose of this study are: 1. to determine the optimal process parameters bagase fermentation of sugar cane waste mixture and pineapple waste in producing biogas. 2. to determine the economic value of the use of a mixture of sugar cane waste and waste bagase pineapple biogas as fuel. The results of research using Bioreaktor volume 20 L at a batch system, by providing a mixture of cow feces as a source of microbes with bagase sugarcane, pineapple and water waste to obtain C/N ratio 25; 30 and 35 show that during the 48-day fermentation period, Ns-35 with TS content of 7.7% (w / v) to produce biogas as much as 17.2 L or L / kg TS with a methane content of 67% or L CH 4 / kg TS with contained energy of 1225 kcal or 5145 kj. In the process of biogas production from pineapple waste in anaerobic, temperature, ph and the balance C / N ratio of the material is very influential. So in this anaerobic process, the desired temperature ranged from to C with a ph ranging from 6.22 to 7.15 and the balance C/ N ratio of From the optimal results obtained in batch systems, are used as variables in the process of semi-continuous system using a volume of 300 L bioreaktor given feedback loading at a rate of 1.4 kg TS / L / day; 2.3 kg TS / L / day and 4.1 kg TS / L / day and able to produce as much biogas is 64.4 L / day or L / kg TS / day with CH 4 levels of 70% and the efficiency of COD reached 80%. Based on the results of semi-continuous scale, when applied to projects with a 10-year old project, using 4000 L digester, which refers to the production of pineapple waste per day is obtained by a B/C ratio of 1.75; NPV value at 12% DR is Rp 79, , - with a value of IRR 56.57%, while the value of PBP (Pay Back Period) obtained for 19.7 months. Keywords : sugarcane bagasse, pineapple waste, methane, biogas production

4 RINGKASAN Tri Retno D L. Pemanfaatan Bagase Tebu dan Limbah Nanas Sebagai Bahan Baku Penghasil Biogas. Di bawah bimbingan HARIYADI sebagai ketua komisi dan SISWANTO sebagai anggota komisi. Perkembangan kebutuhan energi dunia yang dinamis di tengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan perhatian terhadap energi terbarukan semakin meningkat, terutama pada sumber energi terbarukan di sektor pertanian seperti komoditi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Limbah biomassa padat dari pertanian dan perkebunan merupakan bahan baku yang potensial untuk diolah menjadi salah satu bentuk bioenergi yakni biogas melalui pemanfaatan teknologi anaerobik. Bagase merupakan limbah padat dari pabrik gula dan limbah nanas adalah sisa dari pabrik pengolahan buah. Bagase tebu masih mengandung senyawa organik majemuk, dan jika tidak dilakukan pengolahan, akan menimbulkan bau yang kurang sedap dan akan mencemari lingkungan. Sedangkan limbah nanas mengandung karbohidrat (6,41%), mineral dan protein mentah (0,6%) yang berpotensi sebagai substrat fermentasi. Biogas merupakan bahan bakar yang mengandung nilai kalori yang cukup tinggi, yaitu kkal/ m 3.Volume biogas 1 m 3 setara dengan 0,8 liter bensin, 0,52 liter solar, 0,62 liter minyak tanah, 0,46 kg elpiji dan 3,5 kg kayu bakar. Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH 4 ). Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas. Tujuan penelitian ini adalah: 1. untuk mengetahui parameter proses optimal fermentasi campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas dalam menghasilkan biogas. 2. untuk mengetahui nilai ekonomis dari pemanfaatan campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas sebagai bahan bakar biogas. Hasil penelitian menggunakan bioreaktor volume 20 L pada sistem batch, dengan memberikan campuran feses sapi sebagai sumber mikroba dengan bagase tebu, limbah nanas dan air agar diperoleh C/N rasio 25; 30 dan 35 menunjukkan bahwa selama masa fermentasi 48 hari, Ns-35 dengan kandungan TS 7,7% (w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 17,2 L atau 203,1 L/kg TS dengan kandungan metan sebesar 67% atau 136,1 L CH 4 / kg TS dengan energi yang terkandung sebesar 1225 kkal atau 5145 kj. Dalam proses produksi biogas dari limbah nanas secara anaerob, suhu, ph dan imbangan C/N rasio dari bahan sangat berpengaruh. Sehingga pada proses anaerob ini, suhu yang dikehendaki berkisar 29,1 0 30,2 0 C dengan ph berkisar 6,22 7,15 serta imbangan C/N rasio 35,2. Dari hasil optimal yang diperoleh pada sistem batch, digunakan sebagai variabel proses dalam sistem semi-kontinyu dengan menggunakan bioreaktor volume 300 L yang diberi loading dengan laju umpan sebesar 1,4 kg TS/L/hari; 2,3 kg TS/L/hari dan 4,1 kg TS/L/hari dan mampu menghasilkan biogas sebanyak 64,4 L/hari atau 4646,5 L/ kg TS/hari dengan kadar CH 4 sebesar 70% dan efisiensi COD mencapai 80%. Berdasarkan hasil skala semi-kontinyu, jika diterapkan pada proyek dengan umur proyek 10 tahun, menggunakan digester 4000 L yang mengacu pada produksi limbah nanas per hari maka diperoleh nilai B/C rasio sebesar 1,75; nilai NPV pada DR 12 % sebesar Rp ,- dengan nilai IRR sebesar 56,57 %, sedangkan nilai PBP (Pay Back Period) diperoleh sebesar 19,7 bulan.

5 Secara ekologis pemanfaatan energi terbarukan seperti biogas sangat diperlukan, disamping sebagai pengganti BBM juga dalam rangka pengurangan efek rumah kaca terutama emisi gas karbondioksida (CO 2 ). Dari hasil yang diperoleh pada sistem semi-kontinyu dan mengacu pada produksi limbah nanas sebesar kg per hari maka akan dihasilkan L biogas/kg TS/ hari dengan kandungan CH 4 sebesar 70%, maka setara dengan 16969,4 L CH 4 /kg TS/hari dan sebanding dengan pengurangan emisi CO 2 sebesar 390,3 m 3 CO 2 / hari atau m 3 CO 2 / tahun. Ini dengan asumsi bahwa 1 m 3 CH 4 = 23 m 3 CO 2. Nilai ekologis dari pemanfaatan limbah nanas sebagai bahan baku biogas ini akan bertambah dengan adanya produk samping lainnya yang bernilai ekonomis, yakni berupa pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Kata kunci : bagase tebu, limbah nanas, metan, produksi biogas

6 @ Hak Cipta Milik IPB tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS Tri Retno Dyah Larasati Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suprihatin.

9 Judul Tesis : Pemanfaatan Bagase Tebu dan Limbah Nanas Sebagai Bahan Baku Penghasil Biogas Nama : Tri Retno Dyah Larasati NRP : P Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Hariyadi, MS Ketua Dr. Siswanto, DEA, APU Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 18 Januari 2010 Tanggal Lulus :

10 RIWAYAT HIDUP Tri Retno Dyah Larasati, putri ketiga dari lima bersaudara, ayah Letkol. Purn. (Alm) Soejitno dan ibu Siti Supini, dilahirkan di Surabaya pada tanggal 19 Januari Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1975 di SD Negeri Kedungrejo I Waru, Sidoarjo, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 3 Praban, Surabaya, lulus tahun 1978 dan melanjutkan ke SMA Negeri I Jakarta, lulus tahun Penulis melanjutkan ke Fakultas Matematika dan Ilmu Alam (FMIPA- jurusan Fisika) di Universitas Indonesia dan lulus tahun Penulis bekerja di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai staf peneliti di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Bidang Kebumian dan Lingkungan dan pada tahun 2007 melanjutkan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2010

11 PRAKATA Puji Syukur ke hadirat ALLAH SWT atas rahmat dan karunia-nya dan tak lupa shalawat dan salam tercurah bagi uswah dan tauladan ummat, Rasulullah saw dan para shahabatnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tesis yang berjudul : Pemanfaatan Bagase Tebu dan Limbah Nanas sebagai Baku Bakar Penghasil Biogas ini merupakan prasyarat kelulusan untuk mencapai gelar Magister Sains (MSi) yang harus dipenuhi dalam Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 2. Dr. Ir. Hariyadi, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing. 3. Dr. Siswanto, DEA. APU sebagai Anggota Komisi Pembimbing. 4. Dr. Zainal Abidin, Dipl.Geo sebagai Kepala Pusat Teknologi Aplikasi dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR BATAN). 5. Suamiku tercinta Bapak Wiyanto WK dan anak-anakku sayang : Sabila, Muflih dan Amaliya serta ibundaku terkasih Ny.Soejitno, yang telah rela berkorban kehilangan waktu kebersamaannya. 6. Drs.Barokah Aliyanta, M.Sc sebagai Kepala Bidang Kebumian dan Lingkungan (KL), PATIR BATAN. 7. Drs.Endrawanto, M.Appl. sebagai Kepala Kelompok Lingkungan Bidang Kebumian dan Lingkungan (KL) PATIR BATAN. 8. Seluruh rekan-rekan di Gedung 47, PATIR BATAN, Pasar Jum at. 9. Rekan-rekan di Sekolah Pasca Sarjana Program PSL Angkatan Tahun 2007 / 2008, yang banyak memberikan dukungan semangat. i

12 Semoga semua amal kebaikan yang telah dilakukan, hingga terselesaikannya tesis ini, mendapat balasan dan pahala yang lebih baik dari ALLAH SWT, amin. Penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait dan civitas akademika yang memiliki perhatian terhadap pengembangan potensi biomassa sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia. Semua kebenaran datangnya dari ALLAH SWT semata dan kekurangan dan kelemahan dalam tesis ini berasal dari kesalahan penulis sendiri. Oleh karenanya penulis memohon ma af sebesar-besarnya atas kekurangan dan kesalahan tersebut. Bogor, Januari 2010 Tri Retno Dyah Larasati ii

13 KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman i iii v vi vii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 6 II. TINJAUAN PUSTAKA Limbah Bagase (Ampas) Tebu Limbah Nanas Produksi Biogas Suhu Keasaman (ph) Rasio C / N Jenis Bakteri Pengenceran Bahan Isian Pengadukan Loading 17 III. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Rancangan Penelitian Percobaan Pendahuluan Analisa Karakteristik Bahan Baku Variabel Penelitian Analisa Laboratorium Percobaan Skala Laboratorium Fase I Fermentasi Semi-aerob/ Composting Variabel Penelitian Analisa Laboratorium 22 iii

14 Halaman Percobaan Skala Laboratorium Fase II Fermentasi Anaerobik Sistem Batch Variabel Penelitian Percobaan Semi-Kontinyu Fermentasi Anaerob pada Bioreaktor 300 L Rancangan Reaktor Variabel Penelitian Rancangan Percobaan Analisa Kelayakan Ekonomi 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Sistem Batch Karakteristik Bahan Baku (Substrat) Dekomposisi Bahan Secara Anaerobik Parameter Proses Anaerob Produksi dan Komposisi Biogas Analisa Statistik Penelitian Sistem Semi- Kontinyu Pengaruh Laju Pengumpanan Analisis Kelayakan Ekonomi Sebagai Bahan Baku Biogas 58 V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 63 DAFTAR PUSTAKA 64 LAMPIRAN 68 iv

15 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran 4 Gambar 2. Diagram perumusan masalah 6 Gambar 3. Proses produksi biogas 11 Gambar 4. Tahap analisa bahan baku 19 Gambar 5. Tahap fermentasi semi-aerob 22 Gambar 6. Rangkaian penelitian laboratorium dengan biorekator sistem batch 24 Gambar 7. Tahapan fermentasi anaerob sistem batch 25 Gambar 8. Rangkaian digester volume 300 L sistem v kontinyu 27 Gambar 9. Total Solid (TS) bahan baku substrat 34 Gambar 10. Volatile Solid (VS) bahan baku substrat 35 Gambar 11. Kenaikan nilai Volatile Fatty Acid (VFA) 36 Gambar 12. Perubahan suhu ( o C) selama pengomposan 37 Gambar 13. Perubahan ph selama pengomposan 38 Gambar 14. Perubahan nilai C/N setelah pengomposan 39 Gambar 15. Kandungan COD pada kondisi anaerob 41 Gambar 16. Perubahan ph terhadap laju produksi biogas dari berbagai substrat 43 Gambar 17. Perubahan suhu terhadap laju produksi biogas berbagai substrat 45 Gambar 18. Jumlah VFA yang terbentuk pada proses fermentasi anaerob 47 Gambar 19. Nilai TS (%) dalam proses fermentasi anaerob 48 Gambar 20. Nilai VS (%) dalam proses fermentasi anaerob 49 Gambar 21. Laju produksi biogas harian dalam proses fermentasi anaerobik 51 Gambar 22. Produksi gas kumulatif pada proses fermentasi anaerobik 52 Gambar 23. Kandungan gas CH 4 (%) pada proses fermentasi anaerobik 53 Gambar 24. Pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan suhu 56 Gambar 25. Pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan ph 57 Gambar 26.Pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan COD 58 Gambar 27.Nyala api biogas berbahan baku bagase tebu dan limbah nanas 103 v

16 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia bagase (ampas) tebu 8 Tabel 2. Berbagai limbah dengan kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin 8 Tabel 3. Komposisi kimiawi limbah nanas 9 Tabel 4. Produksi biogas dengan bahan baku nanas di New Delhi 10 Tabel 5. Pengaruh suhu terhadap daya tahan hidup bakteri 13 Tabel 6. Beberapa jenis substrat dengan kandungan nisbah C dan N 15 Tabel 7. Rancangan percobaan skala laboratorium dengan sistem batch 24 Tabel 8. Karakteristik awal dan akhir pengomposan bahan baku substrat 33 Tabel 9. Karakteristik sumber inokulum 40 Tabel 10.Penurunan kandungan COD (mg/l) 42 Tabel 11.Peningkatan VFA (mm) 47 Tabel 12.Penurunan TS (%) 49 Tabel 13.Penurunan VS (%) 50 Tabel 14.Produksi kumulatif dan komposisi biogas dalam sistem batch 54 Tabel 15.Biaya modal, biaya tetap dan biaya operasional instalasi anaerob Limbah nanas 61 vi

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hasil uji laboratorium bagase tebu 68 Lampiran 2. Hasil uji laboratorium kotoran sapi 69 Lampiran 3. Hasil uji laboratorium limbah nanas 70 Lampiran 4. Hasil uji laboratorium kadar abu bagase tebu 71 Lampiran 5. Hasil analisis VFA bagase tebu 72 Lampiran 6. Hasil analisis VFA limbah nanas 73 Lampiran 7. Nilai ph proses fermentasi semi-aerob 74 Lampiran 8. Nilai C/N, TS, VS dan VFA proses semi-aerob 74 Lampiran 9. Suhu proses fermentasi semi-aerob 75 Lampiran 10.Kadar TS (%) proses fermentasi semi-aerob 76 Lampiran 11.Kadar VS (%) proses fermentasi semi-aerob 77 Lampiran 12. Kadar COD (mg/l) proses fermentasi semi-aerob 78 Lampiran 13.Kadar VFA (mm) proses fermentasi semi-aerob 79 Lampiran 14.Kadar CH4 (%) proses fermentasi semi-aerob 80 Lampiran 15.Nilai ph prose anaerob sistem batch 81 Lampiran 16.Suhu proses anaerob sistem batch 83 Lampiran 17.Laju produksi biogas proses anaerob sistem batch 85 Lampiran 18.Hasil analisis statistic 87 Lampiran 19.Parameter proses anaerob sistem semi-kontinyu 101 Lampiran 20.Perhitungan kelayakan ekonomi pembangunan digester biogas Volume 4000 L dengan substrat limbah nanas 102 vii

18 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Perkembangan kebutuhan energi dunia yang dinamis di tengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan perhatian terhadap energi terbarukan semakin meningkat, terutama pada sumber energi terbarukan di sektor pertanian seperti komoditi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Hampir seluruh komoditas budidaya di sektor pertanian dapat menghasilkan biomassa, sebagai sumber energi terbarukan. Biomassa adalah bahan organik berumur relatif muda dan berasal dari tumbuhan/hewan; produk dan limbah industri budidaya (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan), yang dapat diproses menjadi bioenergi (Reksowardojo dan Soerawidjaja, 2006). Hal ini didukung dengan kebijakan pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No.5/ Tahun 2006 tentang Kebijakan Ekonomi Nasional, yang isi pokoknya adalah pada tahun 2025 ditargetkan bahan energi terbarukan harus sudah mencapai lebih dari 5% dari kebutuhan energi nasional, sedangkan bahan bakar minyak (BBM) ditargetkan menurun sampai di bawah 20% (Renstra, 2000). Limbah biomassa padat dari pertanian dan perkebunan merupakan bahan baku yang potensial untuk diolah menjadi salah satu bentuk bioenergi yakni biogas melalui pemanfaatan teknologi anaerobik. Bagase merupakan limbah padat dari pabrik gula dan limbah nanas adalah sisa dari pabrik pengolahan buah. Bagase tebu masih mengandung senyawa organik majemuk, dan jika tidak dilakukan pengolahan, akan menimbulkan bau yang kurang sedap dan akan mencemari lingkungan. Sedangkan limbah nanas mengandung karbohidrat (6,41%), mineral dan protein mentah (0,6%) yang berpotensi sebagai substrat fermentasi (Bardiya et al, 1996). Biogas merupakan salah satu bentuk bioenergi yang dihasilkan dari proses biologis perombakan yang dilakukan oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerob. Secara umum gas yang dihasilkan memiliki komposisi % CH 4, % CO 2, 0 3% N 2 dan sedikit H 2 S. Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan memperlakukan beberapa parameter yaitu, menghilangkan hidrogen sulphur, kandungan air dan karbon

19 2 dioksida (CO 2 ). Biogas merupakan bahan bakar yang mengandung nilai kalori yang cukup tinggi, yaitu kkal/ m 3.Volume biogas 1 m 3 setara dengan 0,8 liter bensin, 0,52 liter solar, 0,62 liter minyak tanah, 0,46 kg elpiji dan 3,5 kg kayu bakar (Syamsudin dan Iskandar, 2005). Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH 4 ). Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin kecil kandungan metana semakin kecil nilai kalor. Nilai kalori metana relatif tinggi sebesar 9000 kkal/m 3. Gas metana telah dikenal luas sebagai bahan baku ramah lingkungan, karena dapat terbakar sempurna sehingga tidak menghasilkan asap yang berpengaruh buruk terhadap kualitas udara. Karena sifatnya tersebut, gas metana merupakan gas yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai dari memasak, pemanasan dan penerangan hingga pembangkit listrik. Penanganan limbah padat bagase tebu dan limbah nanas dapat dilakukan dalam bioreaktor secara anaerob. Pada proses anaerob digunakan rumen kotoran ternak (sapi) sebagai sumber inokulum.untuk mengoptimalkan pengolahan campuran limbah bagase dan limbah nanas menjadi produk yang bermanfaat seperti biogas, maka diperlukan karakterisasi limbah (Neves, 2008). Selain itu, manfaat lain yang dapat diperoleh dari produksi biogas, ialah menghasilkan buangan (sludge). Sludge ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman; yang mempunyai karakteristik sama dengan pupuk kandang, terutama dapat memperbaiki struktur tanah dan memberikan kandungan unsur hara pada tanaman. Kelebihan lain dari sludge tersebut adalah telah mengalami proses penguraian di dalam bioreaktor, sehingga telah matang (Setiawan, 1996). Untuk merealisasikan pengkonversian campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas, maka diperlukan penelitian tentang potensi pengembangan campuran limbah tersebut untuk digunakan sebagai bahan bakar penghasil biogas. Karakterisasi campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas dengan sistem batch dilakukan pada digester skala laboratorium volume 20 L dengan memperhatikan faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi proses fermentasi campuran limbah tersebut. Hasil optimalisasi sistem batch tersebut digunakan sebagai parameter proses dalam sistem semi-kontinyu pada digester/ bioreakto volume 300 L. Limbah bagase tebu dan limbah nanas yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini berasal dari pabrik gula PT.Rajawali II, Subang dan

20 3 pabrik pengolahan makanan nanas PT Marizafood di kota Serang. Hasil optimalisasi parameter proses produksi biogas pada skala 300 L digunakan untuk melakukan analisis kelayakan ekonominya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif pemanfaatan limbah biomassa untuk menghasilkan energi alternatif yang ramah lingkungan Kerangka Pemikiran Limbah pabrik gula terdiri atas dua macam yakni limbah cair dan limbah padat. Blotong dan bagase tebu merupakan limbah padat. Limbah bagase tebu kaya kandungan lignoselulosa dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada pembakaran ketel di pabrik, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board dan sebagai campuran pakan ternak. Namun pembakaran limbah bagase tebu akan menyebabkan polusi udara, sedangkan pemanfaatan limbah bagase untuk pakan ternak masih memerlukan penelitian lebih lanjut, karena menyebabkan gangguan pencernaan pada ternak (Musanif, 1982). Disamping terbatas, nilai ekonomi yang diperoleh juga belum tinggi. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengembangan proses teknologi sehingga terjadi diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian yang ada. Sedangkan limbah nanas dari pabrik pengolahan makanan skala rumah tangga yang terdiri dari kulit nanas selain dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak dan di daur ulang menjadi pupuk kompos, juga berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku bioenergi. Limbah nanas mengandung karbohidrat (6,41%), mineral dan protein mentah (0,6%) yang berpotensi digunakan sebagai substrat fermentasi. Limbah campuran bagase tebu dan limbah nanas merupakan bahan baku yang potensial untuk diolah menjadi salah satu bentuk bioenergi yakni biogas melalui pemanfaatan teknologi anaerobik. Teknologi biogas merupakan teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi yang dilakukan dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). dan dibantu oleh bakteri anaerob dalam proses penguraian yang akan menghasilkan biogas. Prinsip pembentukan biogas merupakan proses biologis dengan bahan dasar berupa bahan organik yang berfungsi sebagai sumber karbon dan menjadi sumber aktivitas dan pertumbuhan bakteri. Bahan organik dalam digester akan dirombak oleh bakteri dan menghasilkan campuran gas metan (CH 4 ) dan karbondioksida (CO 2 ) dan

21 4 beberapa gas lainnya (Sahidu, 1983). Limbah peternakan seperti kotoran ternak sapi digunakan sebagai sumber inokulum (bakteri anaerob). Pada limbah bagase (ampas) tebu, terutama dinding selnya mengandung hemiselulosa, selulosa dan lignin. Selulosa merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui, yang terdapat pada sepertiga sampai separuh dari keseluruhan vegetasi. Struktur proses dari jaringan serat penyusunan bagase sangat baik untuk menghasilkan protein sel tunggal dan enzim selulosa yang berpotensi sebagai medium fermentasi yang dapat menghasilkan biogas (Harahap, 1980). Campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas yang dicampur dengan limbah peternakan, seperti kotoran sapi akan membentuk biogas, yang komposisinya terdiri dari gas metan (CH 4 ), CO 2, H 2, N 2 dan H 2 S serta produk samping berupa pupuk organik. Pada Gambar 1 ditunjukkan diagram alur kerangka pemikiran dari penelitian yang akan dilakukan. NIRA KOTOR NIRA BERSIH Pemasakan TEBU Penggilingan LIMBAH CAIR Pemurnian FILTER CAKE/ BLOTONG BAGASE /AMPAS Pemotongan BUAH NANAS Pemasakan NANAS ISIAN B.Bakar Boiler Sterilisasi NANAS Pengupasan Penyaringan JUS NANAS Pemasakan SARIBUAH Sterilisasi NIRA KENTAL Fertilizer Kristalisasi MOLASES/ GULA PASIR TETES KEHILANGAN GULA Bahan Etanol BIOGAS BUAH NANAS BUAH NANAS KULIT TONGKOL AMPAS LIMBAH PERTANIAN LIMBAH PETERNAKAN Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran 1.3. Perumusan Masalah Untuk memanfaatkan limbah biomassa dari campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas menjadi biogas, maka dilakukan proses pengolahan limbah organik menggunakan sistem biodegradasi fermentasi anaerob sistem batch dan sistem semikontinyu dengan dua tahap, yakni fase I dan fase II. Fermentasi anaerob sistem batch dilakukan pada digester 20 L, sedangkan sistem semi-kontinyu dilakukan dalam

22 5 bioreaktor volume 300 L. Fase I adalah proses fermentasi semi-aerob untuk pembentukan substrat, yang merupakan merupakan proses fakultatif anaerob. Sedangkan fase II merupakan proses fermentasi anaerob untuk pembentukan biogas. Fermentasi perombakan CH 4 adalah proses mikrobiologis yang merupakan himpunan proses metabolisme sel. Biogas merupakan hasil proses fermentasi anaerob (tanpa oksigen). Optimalisasi proses tidak hanya tergantung pada substrat tetapi juga faktor lingkungan yang bersifat biotik maupun abiotik. Faktor biotik ialah sludge / bubur aktif dan mikroba pendegradasi; sedangkan faktor abiotik terdiri dari ph awal substrat, suhu larutan buffer (Ca(OH) 2 ), agitasi dan rasio C/N. Hasil optimalisasi karakterisasi campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas dalam sistem batch dapat digunakan sebagai parameter proses dalam sistem semi-kontinyu dan hasilnya digunakan untuk menganalisis aspek ekonomisnya. Limbah bagase tebu merupakan bahan yang mengandung lignoselulosa, dimana terdapat zat lignin yang bersifat kayu dan sulit didegradasi, maka perlu dilakukan pemrosesan awal untuk lebih mempercepat proses degradasi limbah. Ini dilakukan dengan membuat limbah bagase menjadi potongan-potongan kecil dan menambahkan pupuk urea agar terjadi proses pengkomposan. Sedangkan limbah nenas mengandung kadar asam yang cukup tinggi, yang dapat mempercepat proses anaerob karena asam merupakan salah satu makanan pokok bakteri anaerob. Fase I dilakukan dalam kantung plastik 60 kg, dan fase II dilakukan pada bioreaktor (B) volume 20 L. Hasil pada fase I merupakan substrat pada bioreaktor B yang merupakan proses obligat anaerob. Ini akan dicampurkan dengan substrat kotoran ternak untuk mendapatkan rasio C/N 20 dan 30. Sebelum dicampurkan dengan substrat kotoran ternak, terlebih dahulu ditambahkan larutan buffer untuk mempertahankan ph. Dalam fase I dilakukan analisis terhadap kadar abu, kadar air, C/N rasio, VS ( Volatile Solid), TS (Total Solid) dan VFA (Volatile Fatty Acid) serta pengukuran produksi gas dan komposisi gas yang dihasilkan pada tahap fase II. Hasil optimasi produksi biogas sistem batch skala laboratorium digunakan sebagai parameter dalam percobaan sistem semi-kontinyu pada bioreaktor 300 L. Pada Gambar 2 ditunjukkan perumusan masalah dalam penelitian yang dilakukan ini, sehingga dapat diperoleh informasi tentang :

23 6 1. Bagaimana komposisi substrat fermentasi anaerobik dari campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas yang dicampur dengan kotoran sapi untuk memproduksi biogas yang maksimal?. 2. Seberapa besar nilai ekonomis yang dapat diperoleh dari pemanfaatan campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas yang digunakan sebagai energi terbarukan?. Limbah organik Padat Manure Pemotongan Limbah organik Padat Potongan Limbah Organik Padat Sedimen Backwash Ekualisasi Slurry Biodegradsi/ Digestasi Anaerob Air Overflow Pengeringan Sedimen Sludge Biogas Filtrasi Fisik Pupuk Organik Cair Penghilangan Gas CO 2 dan H 2 Final Effluent Pupuk Organik Gas Holder CH 4 Bahan Bakar Gas Gambar 2. Diagram perumusan masalah 1.4. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui parameter proses optimal fermentasi campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas dalam menghasilkan biogas. 2. Untuk mengetahui nilai ekonomis dari pemanfaatan campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas sebagai bahan bakar biogas Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian diharapkan dapat diperoleh suatu informasi atau cara pembuatan biogas yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam pengolahan limbah biomassa industri pertanian dari campuran limbah bagase tebu dan limbah nanas sebagai bahan bakar untuk menghasilkan biogas dan sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam memilih diversifikasi energi untuk kebutuhan lokal.

24 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Bagase (Ampas) Tebu Indonesia sebagai negara agraris mempunyai potensi limbah biomassa padat dari sektor pertanian dan peternakan yang sangat melimpah. Limbah biomassa pertanian merupakan limbah yang kaya dengan lignoselulosa yang dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak. Di samping itu limbah biomassa pertanian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan energi terbarukan seperti biogas. Salah satunya adalah limbah bagase (ampas) tebu yang merupakan limbah dari pabrik gula. Limbah pabrik gula terdiri atas dua macam, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat adalah blotong dan bagase atau ampas tebu (35%). Sedangkan limbah cair berasal dari tetes dan air bekas cucian (Mubyarto dan Daryanti, 1991). Limbah padat terdiri atas bahan organik akan mengalami penguraian secara alamiah akibat kerja mikroorganisme. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam air atau menyebabkan anaerob. Bagase terdiri dari sisa batang tebu yang telah diperas niranya. Komponen utama bagase antara lain serat kasar, air dan sejumlah kecil padatan terlarut. Komposisi kimia tebu sangat variatif, terutama dipengaruhi oleh varietas, tingkat kematangan dan cara pemanenan. Pemanfaatan bagase selama ini hanya terbatas sebagai bahan bakar, campuran pakan ternak, pupuk dan pulp. Bagase yang kaya akan selulosa mempunyai potensi yang cukup baik sebagai medium fermentasi yang dapat menghasilkan biogas. Komposisi kimia bagase (ampas) tebu disajikan dalam Tabel 1. Pada limbah pertanian seperti bagase, terutama pada dinding selnya mengandung hemiselulosa, selulosa dan lignin. Selulosa merupakan sumberdaya yang terdapat paling banyak di bumi ini, diperkirakan sebanyak sepertiga sampai separuh dari semua vegetasi. Kebanyakan selulosa tidak digunakan dan mengalami penguraian alami atau secepatnya dibuang sebagai limbah. Struktur proses dari jaringan serat penyusunan bagase sangat baik digunakan sebagai medium fermentasi untuk menghasilkan protein sel tunggal dan enzim selulosa. Sekalipun estimasi untuk produksi limbah padat dari sumber yang bermacam-macam sangat luas, hal ini dapat digunakan untuk memperkirakan potensi energi dari sumber limbah yang beraneka ragam (Harahap, 1980).

25 8 Tabel 1. Komposisi kimia bagase tebu (Harjo et al, 1989) No. Komponen % Berat Kering 1 Protein 3,1 2 Lemak 1,5 3 Serat Kasar 34,9 4 Ekstrak Bebas Nitrogen 51,7 5 Abu 8,8 Bahan baku dalam bentuk selulosa mudah dicerna oleh bakteri anaerob, tetapi bila banyak mengandung zat kayu (lignin) pencernaan menjadi sukar. Tebu dan jerami merupakan contoh bahan yang banyak mengandung zat kayu. Bahan yang sukar dicerna ini akan terapung pada permukaan cairan dan membentuk lapisan kerak (scum), sedangkan bahan yang sudah dicerna akan turun ke dasar reaktor/ tangki pencernaan. Lapisan kerak yang terbentuk di atas permukaan tersebut akan menghambat laju produksi biogas (Harahap, 1980). Lignin merupakan bahan yang sulit didegradasi, demikian juga bahan yang terikat (selulosa yang berikatan dengan lignin), sehingga tingginya lignin dalam campuran akan mempengaruhi proporsi bahan yang bisa dimanfaatkan untuk produksi biogas; yang nantinya akan mengurangi produksi biogas yang dihasilkan (Noegroho, 1980). Sumber limbah selulosa yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jerami padi dan bagase. Melalui biokonservasi diharapkan pemanfaatan limbah berselulosa mempunyai prospek yang sangat cerah untuk dikembangkan sebagai diversifikasi energi dalam menghadapi krisis energi di masa datang. Beberapa macam limbah selulosa, hemiselulosa dan ligninnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Berbagai limbah dengan kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin (Harjo et al, 1989) No. Macam Limbah Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) 1 Serat Kapas Batang Kayu Keras Batang Kayu Lunak Bagase Jerami Gandum 40 29,2 19,8

26 Limbah Nenas Tanaman nenas tersebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia, tetapi konsentrasi sentra produksi selama tujuh tahun terakhir terdapat di beberapa propinsi, diantaranya Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung dan Riau. Buah nanas selain dikonsumsi segar juga diolah menjadi berbagai macam makanan dan minuman, seperti selai, buah dalam sirop dan lain-lain. Rasa buah nanas manis sampai agak masam segar, sehingga disukai masyarakat luas. Disamping itu, buah nanas mengandung gizi cukup tinggi dan lengkap. Buah nanas mengandung enzim bromelain, yakni enzim protease yang dapat menghidrolisa protein, protease atau peptide. Pengolahan nenas menjadi makanan dan minuman olahan yang dilakukan oleh produsen dan eksportir makanan/minuman kalengan akan menghasilkan limbah biomassa pertanian yang berupa kulit, hati/ tongkol, ampas dan lain-lainnya. Dari pengolahan satu ton buah nenas menjadi produk makanan/minuman kaleng akan menghasilkan 0,5 ton limbah padat (Chaiprasert et al, 2001). Limbah nenas ini masih mempunyai nilai ekonomis. Kulit buah nanas dapat diolah menjadi sirop atau diekstrasi cairannya untuk pakan ternak. Limbah nenas juga berpotensi untuk digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi anaerob untuk menghasilkan biogas. Limbah nenas mempunyai kadar selulosa, hemiselulosa dan gula yang tinggi. Kandungan asam yang relatif tinggi pada limbah nenas berpengaruh pada aktivitas mikroba. Limbah nanas dari pabrik pengalengan dan jus nanas terdiri dari kulit, tongkol / bagian tengah buah, ampas dan air bilasan proses pengalengan nanas. Limbah nanas mengandung karbohidrat (6,41%), mineral dan protein mentah (0,6%) yang berpotensi digunakan sebagai substrat fermentasi. Tabel 3. Komposisi kimiawi limbah nenas (Chaiprasert et al, 2001) Komposisi % Berat Segar Rentang Rata-rata Kadar Air 87,0 91,0 89,0 Glukosa 0,9 1,8 1,4 Fruktosa 0,5 0,5 Sukrosa 1,1 5,1 3,1 Selulosa 1,6 2,1 1,8 Hemiselulosa 2,3 2,9 2,6 Lignin 0,4 0,5 0,4 Dan lain-lain 0,2 2,2 1,2

27 10 Pada Tabel 3 ditunjukkan komposisi limbah nenas. Menurut Chaiprasert et al (2001), fermentasi anaerob pada limbah nenas akan lebih baik dilakukan pada suhu mesophilic ( C), karena aktivitas mikroba pembentuk asam propionat dan asetat bekerja optimal. Kedua asam tersebut sangat dibutuhkan, karena baik asam propionat maupun asetat berperanan dalam pembentukan gas metan. Produksi biogas dengan bahan limbah nenas telah diteliti oleh Bardiya et al (1996) dan tampak pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi biogas dengan bahan baku limbah nanas di New Delhi. Hasil /HRT 10 hari 20 hari 30 hari Biogas (ml/hari) Yield (l/ kg TS) Metan (%) Degradasi (%): - TS VS Produksi Biogas. Untuk memproduksi biogas dapat dilakukan dengan fermentasi bahan-bahan organik dalam suasana anaerobik di dalam sebuah bioreaktor. Diagram proses penguraian biomassa menjadi biogas disajikan pada Gambar 3. Pembentukan biogas merupakan proses biologis. Penggunaan bahan baku berupa bahan organik berfungsi sebagai sumber karbon dan nitrogen merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan mikroorganisme (Noegroho, 1980). Pembentukan biogas merupakan proses biologis dengan bahan dasar berupa bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber aktivitas dan pertumbuhan bakteri. Bahan organik dalam reaktor penghasil biogas (digester) akan dirombak oleh bakteri dan kemudian akan menghasilkan campuran gas metana (CH 4 ) dan CO 2, H 2 S, H 2, dan N 2. Fermentasi perombakan CH 4 adalah proses mikrobiologis yang merupakan himpunan proses metabolisme sel. Fermentasi bahan organik dapat terjadi dalam keadaan aerob maupun anaerob. Sedangkan biogas merupakan hasil proses fermentasi anaerob. Optimalisasi proses tidak hanya tergantung pada substrat, jasad pemrosesnya tetapi juga faktor lingkungan yang bersifat biotik maupun abiotik (Sahidu, 1983).

28 11 Subtrat Polimer Protein Karbohidrat Lemak Hidrolisis Fermentative bacteria Asam amino Gula Asam lemak Pembentukan asam Pembentukan Asam asetat Asam acetat Asam organic Alkohol Hidrogen CO 2 Fermentative bacteria Acetogenic bacteri Pembentukan metana Metana Bakteri pembentuk metana Gambar 3. Proses produksi biogas Penguraian senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat dalam limbah cair organik dengan proses anaerobik akan menghasilkan biogas yang mengandung CH 4 / metana (50-70%), CO 2 (25-45%) dan sejumlah kecil nitrogen, hidrogen dan hidrogen sulfida. Reaksi sederhana penguraian senyawa organik secara anaerob adalah sebagai berikut: anaerob Bahan organik CH + CO + H + N + H O Mikroorganisme Penguraian bahan organik dengan proses anaerobik mempunyai reaksi yang kompleks dan terdiri dari ratusan reaksi yang masing- masing mempunyai mikroorganisme dan enzim aktif yang berbeda. Penguraian dengan proses anaerobik secara umum dapat disederhanakan menjadi 3 tahap:

29 12 Tahap Asidogenik Tahap Asetogenik Tahap Metanogenik Langkah pertama dari tahap pembentukan asam adalah hidrolisa senyawa organik baik yang terlarut maupun yang tersuspensi dari berat molekul besar (polimer) menjadi senyawa organik sederhana (monomer) yang dilakukan oleh enzim-enzim ekstraseluler. Pembentukan asam dari senyawa-senyawa organik sederhana (monomer) dilakukan oleh bakteri-bakteri penghasil asam yang terdiri dari sub divisi acids/farming bacteria dan acetogenic bacteria. Tahap kedua, asam propionat dan butirat diuraikan oleh acetogenic bacteria menjadi asam asetat. Tahap ketiga adalah pembentukan metana yang dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang terdiri dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang menguraikan asam asetat menjadi metana dan karbon dioksida. Karbon dioksida dan hidrogen yang terbentuk dari reaksi penguraian di atas, disintesa oleh bakteri pembentuk metana menjadi metana dan air. Proses pembentukan asam dan gas metana dari suatu senyawa organik sederhana melibatkan banyak reaksi percabangan. Mosey (1983) yang menggunakan glukosa sebagai sampel untuk menjelaskan bagaimana peranan keempat kelompok bekteri tersebut menguraikan senyawa ini menjadi gas metana dan karbon dioksida sebagai berikut: 1. Acid forming bacteria menguraikan senyawa glukosa menjadi : a. C H O + 2H O 2CH COOH + 2CO + 4H (as. asetat) b. C H O CH CH CH COOH + 2CO + 2H (as. butirat) c.c H O +2H 2CH CH COOH + 2H O (as. propionat) 2. Acetogenic bacteria menguraikan asam propionat dan asam butirat menjadi : a. CH CH COOH CH COOH + CO + 3H (as. asetat)

30 13 b. CH CH CH COOH 2CH COOH + 2H (as. asetat) 3. Acetoclastic methane menguraikan asam asetat menjadi : a. CH COOH CH + CO (metana) 4. Methane bacteria mensintesa hidrogen dan karbondioksida menjadi : a. 2H + CO CH + 2H O (metana) Lingkungan besar pengaruhnya pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik terdiri dari faktor biotik dan abiotik. Faktor abiotik antara lain: temperatur, ph, rasio C/N dan pengenceran bahan isian, pengadukan; sedangkan faktor biotik diantaranya adalah konsentrasi substrat dan cairan pemula (starter) Suhu Gas dapat dihasilkan jika suhu antara 4-60 C dan suhu dijaga konstan. Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada suhu optimum. Semakin tinggi suhu reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Tabel 5. Pengaruh temperatur terhadap daya tahan hidup bakteri Jenis Bakteri Rentang Suhu ( 0 C) Suhu Optimum( 0 C) a. Cryophilic b. Mesophilic c. Thermophilic Proses pembentukan metana bekerja pada rentang suhu optimum C, tapi dapat juga terjadi pada suhu rendah, 4 C. Untuk temperatur di bawah jangkauan optimim, maka laju digestasi turun sekitar 11% untuk setiap penurunan suhu 1 0 C; yang ditunjukkan dengan rumus Arrhenius berikut ( Henzen and Harremoes, 1983): r t = r 30 (1.11) ( t 30 ). 1) keterangan : r t = laju digestasi pada suhu,t 0 C; r 30 = laju digestasi pada t = 30 0 C.

31 14 Laju produksi gas akan naik % untuk setiap kenaikan suhu 12 C pada rentang suhu 4-65 C. Mikroorganisme yang berjenis thermophilic lebih sensitif terhadap perubahan suhu daripada jenis mesophilic. Pada suhu 38 C, jenis mesophilic dapat bertahan pada perubahan suhu ± 2,8 C. Untuk jenis thermophilic pada suhu 49 C, mikroba dapat bertahan pada perubahan suhu ± 0,8 C, sedangkan pada suhu 52 C, mikroba dapat bertahan pada perubahan suhu ± 0,3 C Keasaman (ph) Pertumbuhan mikroba dalam fermentor sangat dipengaruhi oleh perubahan ph. Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan ph. Rentang ph optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4-7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan ph, dan dapat bekerja pada ph 5-8,5. Karena proses anaerobik terdiri dari tiga tahap yaitu tahap pambentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan ph awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan ph awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Menurut Buren (1979), kestabilan ph fermentasi dapat dijaga dengan menggunakan kapasitas penyangga (buffer capacity). Menurut FAO ( 1997), untuk kestabilan ph dapat digunakan larutan kapur (CaCO 3 ) yang dicampurkan dalam bioreaktor/ digester Rasio C / N Menurut Fry (1974), perbandingan C/N dari bahan organik sangat menentukan aktivitas mikroba dan produksi biogas. Kebutuhan unsur karbon dapat dipenuhi dari karbohidrat, lemak dan asam-asam organik. Sedangkan kebutuhan nitrogen dipenuhi dari protein, amoniak dan nitrat. Perbandingan C/N (C/N Rasio) substrat akan berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme. Untuk pertumbuhan dan perkembangannya,mikroba memerlukan unsur makro seperti karbon, nitrogen, fosfor, sulfur dan lainnya; serta unsur mikro seperti natrium, kalsium, magnesium, cobalt, zinkum, besi dan lain-lain. Menurut Yani dan Darwis (1990 ), mikroba yang berperan dalam proses fermentasi anaerob membutuhkan nutrisi berupa sumber karbon dan sumber nitrogen.

32 15 Jika dalam substrat hanya terdapat sedikit nitrogen, maka bakteri tidak akan dapat memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mensintesa senyawa (substrat) yang mengandung karbon. Sebaliknya apabila terlalu banyak nitrogen, akan menghambat pertumbuhan bakteri, dalam hal ini terutama bahan yang kandungan amonianya sangat tinggi. Oleh karena itu, kesetimbangan karbon dan nitrogen dalam bahan yang digunakan sebagai substrat perlu mendapat perhatian. Perbandingan C/N untuk masing-masing bahan organik akan mempengaruhi komposisi biogas yang dihasilkan. Perbandingan C/N yang terlalu rendah akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH 4 rendah dan kadar CO 2 tinggi, H 2 rendah dan N 2 tinggi. Sedangkan perbandingan C/N yang terlalu tinggi akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH 4 rendah dan kadar CO 2 tinggi, H 2 tinggi dan N 2 rendah. Berdasarkan beberapa informasi yang diperoleh, menunjukkan bahwa agar pertumbuhan bakteri anaerob dapat optimal, diperlukan rasio optimum C : N berkisar antara 20:1 sampai 30:1. Pada Tabel 6 ditunjukkan beberapa jenis substrat dengan kandungan nisbah C dan N. Tabel 6. Beberapa jenis substrat dengan kandungan nisbah C dan N (Hadiwiyoto, 1983) Substrat N (% Bobot Kering) C/N Kotoran Sapi 1,7 18 Kotoran Babi 3,8 6,1 Kotoran Ayam 6,3 7,3 Sampah 3,6 12 Ampas Tebu 0,3 150 Jerami Gandum 1,1 40 Limbah Nanas 0,95 55 Menurut Fry dan Merill (1973) nilai C/N rasio campuran dari dua bahan baku yang berbeda dapat dihitung menggunakan rumus berikut : ( C / N) m SC + + SC 1 2 = 2) SN1 SN 2 ( C / N) = 1 + N1 X 1 + ( C / N) 2 N 1 X 1 + N 2 X 2 N 2 X 2

33 16 keterangan : (C/N) m = C/N rasio campuran SC 1 = Jumlah Karbon dalam bahan 1 SC 2 = Jumlah Karbon dalam bahan 2 SN 1 = Jumlah Nitrogen dalam bahan 1 SN 2 = Jumlah Nitrogen dalam bahan 2 (C/N) 1 = Rasio bahan 1 (C/N) 2 = Rasio bahan 2 N 1 = Kandungan Nitrogen (% bk) bahan 1 N 2 = Kandungan Nitrogen (% bk) bahan 2 X 1 X 2 = Jumlah bahan 1 (kg) = Jumlah bahan 2 (kg) Jenis Bakteri Pada proses pembentukan biogas, bakteri memegang peranan penting. Menurut Hadiwiyoto (1983), jenis bakteri yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan biogas adalah bakteri-bakteri pembentuk asam antara lain: pseudomonas, flavobacterium, alcaligenes, escherichia dan aerobacter dan bakteri-bakteri pembentuk metan diantaranya: Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus. Pada suasana anaerob, bakteri pembentuk asam akan aktif merombak substansi polimer kompleks, yaitu protein, karbohidrat dan lemak menjadi asam-asam organik sederhana, yaitu asam butirat, propionat, laktat, asetat dan alkohol. Golongan bakteri ini bersifat fakultatif aerob. Tahap perombakan bahan organik menjadi asam-asam organik ini merupakan tahap pertama dalam pembentukan biogas, dan disebut tahap asidogenik. Pada tahap pembentukan biogas,bakteri-bakteri metan berperan aktif merombak asam asetat menjadi gas metan (CH 4 ) dan karbondioksida (CO 2 ) Pengenceran Bahan Isian Aktivitas normal mikroba methan membutuhkan kandungan air sekitar 90 % dan 8 10 % kandungan kering bahan isian untuk fermentasi. Fermentasi anaerobik pada bahan organik paling baik berlangsung dengan bahan isian yang mengandung 7 9 %

34 17 bahan kering. Pengenceran dengan air dilakukan untuk mendapatkan bahan isian dengan kandungan bahan kering sebesar 7 9 %. Menurut Harahap (1980) untuk memperoleh produksi biogas yang optimum, digunakan perbandingan 1 : 1 sampai 1 : 1,5 pada kotoran ayam dan air; sedangkan untuk kotoran sapi dan air digunakan perbandingan sebesar 1 : Pengadukan Bahan baku isian yang sukar dicerna akan membentuk scum atau lapisan kerak pada permukaan cairan atau permukaan bioreaktor yang dapat menghambat laju produksi biogas. Lapisan tersebut dapat dihancurkan dengan mengaduk isian tersebut ddengan alat pengaduk Loading Ini ditunjukkan sebagai loading organik dan loading hidraulik atau waktu retensi/ tinggal (HRT = hydraulic retention time). Loading organik adalah massa materi organik influen per satuan waktu, sedangkan loading organik spesifik adalah massa materi organik influen per satuan waktu per satuan volume reaktor (Van Haandel, 1992). l o = L o / V r = ( Q i. S ti ) / V r = S ti / HRT 3) keterangan : l o = loading organik spesifik L o = loading organik V r = volume reaktor Q i. = laju aliran influen S ti = konsentrasi materi organik influen HRT = waktu retensi hidraulik. Loading hidraulik spesifik adalah perbandingan laju aliran influen dengan volume reaktor, sehingga merupakan kebalikan dari waktu retensi hidraulik. l h = L h / V r = Q i / V r = 1/ HRT. 4)

35 18 18 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel bagase (ampas) tebu diperoleh pabrik gula PT.Rajawali II Subang dan sampel limbah nanas diperoleh dari pabrik pengolahan makanan PT Marizafood, Serang. Kotoran sapi yang digunakan sebagai inokulum diperoleh dari peternak sapi di Depok. Waktu penelitian berlangsung selama bulan Juni - November Penelitian pendahuluan berupa fermentasi semi-aerob (pengkomposan) dilakukan sejak bulan Juni Agustus Penelitian proses fermentasi anaerobik dari bagase tebu dan limbah nanas untuk menghasilkan biogas dan analisa sampel dilakukan di Laboratorium Kelompok Lingkungan, Bidang Kebumian dan Lingkungan, Pusat Aplikasi dan Teknologi Isotop dan Radiasi, PATIR BATAN, Pasar Jum at, Jakarta Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bagase (ampas) tebu, limbah nanas dan kotoran sapi. Bahan-bahan tersebut diambil dalam keadaan segar (berumur satu sampai tiga hari). Air juga digunakan sebagai campuran bahan isian yang merupakan penyangga proses terbentuknya biogas. Bahan kimia yang digunakan adalah aktivator sebagai starter agar fermentasi anaerobik berlangsung baik. Bahan lain yang digunakan antara lain: NaOH, Fe 2 SO 4, Fe(NH 4 ) 2 (SO 4 ), K 2 Cr 2 O 7, H 2 SO 4, indikator ferroin, diphenilamin, indikator PP, makromineral dan aquades. Alat utama yang digunakan dalam penelitian adalah tangki bioreaktor volume 20 L, digester 300 L, Multi-gas monitor Drager X-am 3000, termometer, phmeter-765 Calimatic, tanur, oven, timbangan analitik, kantung plastik dan alat-alat yang diperlukan untuk analisa seperti : buret, desikator, labu takar, gelas piala, pipet, cawan porselin dan lain-lain Rancangan Penelitian Tahap penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yakni percobaan dalam skala laboratorium dengan sistem batch dan percobaan utama dengan sistem kontinyu. Pada tahap awal dilakukan analisa bahan baku yang digunakan dalam penelitian. Pada

36 19 percobaan pendahuluan dilakukan pengkomposan/ fermentasi semi-aerob bahan baku substrat. Hal ini bertujuan untuk mempercepat masa inkubasi dari aktivitas bakteri. Masing-masing tahapan dirancang untuk mencapai tujuan yang diharapkan Percobaan Pendahuluan Analisa Karakteristik Bahan Baku Analisa bahan baku bertujuan untuk mengetahui sifat awal bahan baku, yakni karakteristik bagase tebu dan limbah nanas. Analisa yang dilakukan mencakup kadar air, kadar abu, TS, VS, suhu, ph dan C/N rasio awal bahan. Bahan baku yang digunakan berupa bagase tebu dan limbah nanas dipotong menjadi berukuran 1-3 cm, agar dapat mempercepat proses pendegradasian. Menurut Sulaeman (2007), bahan yang lebih kecil akan lebih cepat didekomposisi daripada bahan yang berukuran lebih besar, karena memudahkan mikroba dalam mendegradasinya Variabel Penelitian Analisa bahan baku yang dilakukan adalah analisa kadar air, analisa kadar C dan kadar N untuk mengetahui nilai C/N rasio awal bahan. Pada Gambar 4 dideskripsikan tahapan analisa bahan baku. Dengan mengacu pada metode APHA (1998) dilakukan analisa yang meliputi : Bahan baku Pemotongan Analisa: kadar air,abu,ts,vs C/N rasio,vfa,cod Bahan baku siap untuk dikomposkan Gambar 4. Tahap analisa bahan baku

37 Analisa Laboratorium 1. Analisa Kadar Air Cawan aluminium dipanaskan pada suhu C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ± 2 gram ditimbang dan dipanaskan dalam oven pada suhu C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator sebelum ditimbang. Pemanasan diulang sampai diperoleh berat konstan. Sisa sampel dihitung sebagai total padatan dan pengurangan berat menunjukkan banyaknya air dalam bahan. Kadar Air = A B A x 100%... 5) A : berat sampel awal B : berat sampel akhir 2. Analisa Kandungan Karbon Kadar karbon dihitung berdasarkan kadar abu. Penentuan kadar abu didasarkan menimbang sisa mineral sebagai hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar C. Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam pada suhu C, lalu didinginkan selama 30 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat tetap (A). Sampel seberat 2 gram (B) ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur listrik (furnace) dengan suhu C selama ± 12 jam. Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit pada desikator, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat tetap (C) Kadar Abu = ( A + B) C B... 6) Kadar C (%) = 100% - Kadar Abu (%)... 7) 3. Analisa Kandungan Nitrogen dengan Metode Kjeldahl. Sampel seberat 0,25 gam dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan ditambahkan H 2 SO 4 pekat 2,5 ml dan 0,25 gram selen. Larutan tersebut kemudian didetruksi hingga jernih. Ke dalam larutan detruksi dingin tersebut ditambahkan NaOH 40% 15 ml. Di lain pihak, disiapkan larutan penampung dalam erlenmeyer 125 ml yang terdiri dari 19 ml H 3 BO 3 4 % dan BCG-MR 2 3 tetes. Setelah itu, larutan sampel dimasukkan ke dalam

38 21 labu destilasi. Apabila tidak terbentuk lagi gelembung-gelembung yang keluar pada larutan penampung, maka destilasi dihentikan. Hasil destilasi kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N. ( ml titrasi sampel ml titrasi blanko) NHCl N(%) =... 8) ml sampel Penelitian Skala Laboratorium Fase I Fermentasi Semi-Aerob (Composting) Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan substrat yang sudah mengandung asam. Asam merupakan salah satu makanan bagi bakteri anaerob, sehingga dapat mempersingkat proses anaerob. Hal ini tentunya dapat mempercepat substrat dalam memproduksi biogas. Metode yang digunakan adalah fermentasi semi-aerob/ pengomposan. Fermentasi ini dilakukan dalam kantung plastik 60 kg dengan memotongmotong bagase tebu dan limbah nanas menjadi ukuran kecil (1-3 cm) dan ditambahkan aktivator dengan ukuran 1:1000 (w/w). Penambahan aktivator dimaksudkan sebagai sumber inokulum untuk menambah populasi mikroba yang mempercepat proses pendegradasian bahan organik dalam substrat. Kemudian dilakukan penambahan air, sehingga kadar air dalam substrat menjadi 90% agar aktivitas mikroba berlangsung optimal. Pengomposan pada bagase tebu seberat 120 kg dengan menambahkan 667 ml EM4 dan dicampurkan dalam 667 ml molase serta ditambahkan 45 L air. Sedangkan pengomposan pada bagase tebu seberat 120 kg menggunakan Acticomp dengan campuran 60 gr T-Acticomp + 60 gr PL-Acticomp dan ditambahkan 60 L air. Pengomposan limbah nanas menggunakan EM4 dan Acticomp dilakukan dengan ukuran yang sama, hanya penambahan air diberikan setengah dari yang dilakukan dalam pengomposan bagase tebu. Pengomposan bagase tebu dilakukan selama 48 hari dan pengomposan limbah nanas dilakukan selama 30 hari, masing-masing dilakukan aerasi menggunakan aerator.

39 Variabel Penelitian Analisa yang dilakukan mencakup analisa kadar C dan kadar N untuk mengetahui C/N rasio substrat; total solid (TS); volatile solid (VS); volatile fatty acid (VFA); chemical oxygen demand (COD); dan derajat keasaman (ph). Skema fase I ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Tahap Fermentasi semi-aerob/ composting Analisa Laboratorium Dengan mengacu pada metode APHA (1998) meliputi : 1. Pengukuran ph Sampel organik dalam bejana yang telah diencerkan dengan air 1 : 1 (w : v) diaduk selama ± 5 menit dan ditentukan nilai ph dengan menggunakan ph meter. 2. Analisa Padatan Total (TS). Mula-mula disiapkan cawan pengabuan bersih dan telah dikeringkan dalam oven pada suhu C selama satu jam. Pada cawan tersebut dimasukkan gram sampel, kemudian ditimbang (W 1 ). Cawannya sendiri ditimbang sebagai W 0. Sampel di dalam

40 23 cawan diuapkan di dalam oven pada suhu C selama satu jam atau sampai bobotnya tetap. Selanjutnya didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (W 2 ). Padatan Total = ( W 2 ( W 1 W W 0 0 ) ) x 100%... 9) 3. Analisa Padatan Menguap (VS). Sampel di dalam cawan yang telah dikeringkan selanjutnya diabukan di dalam tanur pada suhu C selama 200 menit atau sampai semua padatan menjadi abu yang berwarna putih. Selanjutnya, abu di dalam cawan didinginkan di dalam desikator sampai suhu mencapai suhu ruang dan selanjutnya ditimbang sebagai W 3. VS = ( W 2 ( W 1 W W 3 3 ) ) x 100%... 10) 4. Analisa COD. Sampel sebanyak 5 ml yang telah diencerkan dengan air suling dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 10 ml K 2 Cr 2 O 7 0,025 N dan 10 ml H 2 SO 4 pekat. Setelah campuran dingin dititrasi dengan larutan Fe(NH 4 ) 2 SO 4 0,025 N dengan indikator ferroin. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan dari biru kehijauan menjadi merah anggur. Volume Fe(NH 4 ) 2 SO 4 0,025 N yang digunakan untuk titrasi dicatat (a). Dengan prosedur yang sama dilakukan terhadap blanko air suling. Volume Fe(NH 4 ) 2 SO 4 0,025 N yang digunakan dicatat (b). ( b a) 0, COD (mg/l) = x Faktor Pengenceran... 11) ml sampel 5. Analisa VFA Sampel sebanyak 5 ml ditambah dengan 1 ml H 2 SO 4 15%, kemudian disentrifuse dengan menggunakan alat sentrifugasi selama 10 menit. Kemudian dimasukkan 2 ml supernatan yang terbentuk de dalam labu destilasi. Supernatan tersebut didestilasi hingga membentuk destilat sebanyak 50 ml pada gelas erlenmeyer. Hasil destilat ini segera dititrasi dengan NaOH 0,1 N dengan menggunakan indikator phenolphthalein. VFA (mg/l) = ml NaOH x N x 6/2 x 100/ ) keterangan : N : Normalitas NaOH.

41 Penelitian Skala Laboratorium Fase II Fermentasi Anaerobik Sistem Batch Tahap ini bertujuan untuk mengoptimalkan produksi biogas dan untuk mengetahui parameter proses terhadap laju produksi biogas. Metode yang digunakan adalah fermentasi anaerob. Substrat yang dihasilkan dari percobaan fase I menjadi umpan reaktor/digester anaerob dengan volume 20 L dengan menambahkan kotoran kotoran sapi sebagai sumber inokulum. Substrat hasil fermentasi semi-aerob merupakan bahan organik yang digunakan sebagai sumber karbon, sedangkan kotoran sapi merupakan sumber nitrogen. Pada skala laboratorium dengan sistem batch dilakukan perlakuan berikut : Tabel 7. Rancangan percobaan skala laboratorium dengan sistem batch. Perlakuan C/N rasio Komposisi Berat Basah (kg) Bgs. Tebu Lbh.Nanas Kotoran Sapi Berat Total Bgs.Tebu(Bg-25) Bgs.Tebu(Bg-30) 30 1,6-7,4 9 Bgs.Tebu(Bg-35) 35 2,3-6,7 9 Lbh.Nanas(Ns-25) Lbh.Nanas(Ns-30) 30-2,8 6,2 9 Lbh.Nanas(Ns-35) 35-1,1 7,9 9 Campuran(BNs-25) 25 3,2 3,3 2,5 9 Campuran(BNs-30) 30 2,4 2,3 4,3 9 Campuran(BNs-35) 35 1,2 1 6,8 9 Kontrol(Co) Pada Gambar 6 ditunjukkan rangkaian yang digunakan dalam penelitian skala laboratorium dengan sistem batch. Gambar 6. Rangkaian penelitian laboratorium dengan bioreaktor sistem batch.

42 Variabel Penelitian Analisa yang dilakukan meliputi TS(Total Solid), VS (Volatile Solid), VFA ( Volatile Fatty Acid), COD (Chemical Oxygen Demand) dan pengukuran produksi biogas serta komposisi gas yang terbentuk. Pengukuran suhu dan ph dilakukan setiap harinya. Pengadukan dilakukan setiap hari selama ± 30 menit. Pada Gambar 7 ditunjukkan tahapan fermentasi anaerob sistem batch dalam memproduksi gas. Substrat Analisis: TS, VS, VFA, COD suhu dan ph Campuran substrat dan kotoran sapi Fermentasi anaerob: 1.Substrat (Bg, Ns, BNs) 2. C/N rasio : 25, 30 dan 35 Biogas - Volume gas -Komposisi Gambar 7. Tahapan fermentasi anaerob sistem batch Penelitian Skala Semi-Kontinyu Fermentasi anaerob pada bioreaktor 300 L Komposisi substrat optimal dari percobaan sistem batch pada skala laboratorium, digunakan sebagai acuan dalam percobaan sistem kontinyu. Pada fase I dan fase II dalam percobaan semi-kontinyu sama dengan yang dilakukan dalam sistem batch. Dalam fase I dilakukan pembuatan substrat dalam skala semi-lapang selama hari. Tahap awal pada fase II dilakukan ekualisasi 1 : 1 (w/v) antara kotoran sapi (20 % berat basah) dan air, kemudian dicampurkan substrat yang telah difermentasi secara anaerobik. Proses fermentasi anaerobik berlanjut hingga terbentuknya biogas. Ini digunakan sebagai kontrol, sebelum dilakukan penambahan umpan menggunakan substrat. Pengukuran

43 26 produksi biogas dilakukan hingga terjadi keadaan tunak, dimana laju produksi biogas mulai menurun. Waktu menurunnya produksi biogas tersebut menunjukkan waktu retensi pada bioreaktor volume 300 L. Waktu retensi menentukan besarnya loading atau umpan yang diberikan secara kontinyu pada digester untuk mengetahui laju produksi biogas Rancangan Reaktor Rancangan reaktor/biodigester yang digunakan dalam skala semi-lapang dengan sistem kontinyu adalah digester tipe UASB (Up-flow Anaerobic Sludge Blanket) yang terbuat dari tandon air polietilen dengan volume 300 L. Digester atau reaktor anaerobik dibedakan atas dasar karakteristik sludge teraktivasi yang digunakan. Ini ditentukan dengan proses pertumbuhan mikroba dalam sludge tersebut, yakni pertumbuhan tersuspensi (suspended growth) dan pertumbuhan yang menempel pada media inert (attached growth) dan gabungan kedua pertumbuhan tersebut. Reaktor jenis UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) merupakan jenis reaktor attached growth yang memiliki alat pemisah fase (phase separator), yang digunakan untuk pengolahan limbah dengan kandungan organik tinggi dan kandungan padatan yang mudah didegradasi, seperti limbah organik perkotaan. Biodigester terdiri dari komponen-komponen utama sebagai berikut: 1. Saluran masuk Slurry (kotoran segar) - Saluran ini digunakan untuk memasukkan slurry (campuran kotoran ternak/ substrat dan air) ke dalam reaktor utama. Pencampuran ini berfungsi untuk memaksimalkan potensi biogas, memudahkan pengaliran, serta menghindari terbentuknya endapan pada saluran masuk. 2. Saluran keluar residu - Saluran ini digunakan untuk mengeluarkan residu yang telah difermentasi oleh bakteri. Saluran ini bekerja berdasarkan prinsip kesetimbangan tekanan hidrostatik. Residu yang keluar pertama kali merupakan slurry masukan yang pertama setelah waktu retensi. Slurry yang keluar sangat baik untuk pupuk karena mengandung kadar nutrisi yang tinggi. 3. Sistem pengaduk - Pengadukan mekanis menggunakan stirrer. Pengadukan ini bertujuan untuk mengurangi pengendapan dan meningkatkan produktifitas bioreaktor karena kondisi substrat yang seragam.

44 27 4. Saluran gas - Saluran gas terbuat dari bahan polimer untuk menghindari korosi. Untuk pembakaran gas pada tungku, pada ujung saluran pipa bisa disambung dengan pipa baja antikarat. 5. Tangki penyimpan gas - Terdapat dua jenis tangki penyimpan gas, yaitu tangki bersatu dengan unit reaktor (floating dome) dan terpisah dengan reaktor (fixed dome). Untuk tangki terpisah, konstruksi dibuat khusus sehingga tidak bocor dan tekanan yang terdapat dalam tangki seragam, serta dilengkapi H 2 S Removal untuk mencegah korosi. Gambar 8. Rangkaian bioreaktor volume 300 L sistem semi-kontinyu Pada Gambar 8 ditunjukkan rangkaian bioreaktor UASB volume 300 L yang digunakan dalam penelitian sistem semi-kontinyu Variabel Penelitian Variabel penelitian yang digunakan adalah laju pengumpanan / loading yang didasarkan pada komposisi substrat yang paling optimal memproduksi biogas dalam sistem batch. Dalam setiap laju pengumpanan yang diberikan selama 3 hari. Analisa yang dilakukan meliputi analisa COD, pengukuran produksi biogas serta komposisi gas yang terbentuk. Pengukuran suhu dan ph dilakukan setiap harinya. Pengadukan

45 28 dilakukan setiap hari selama ± 30 menit. Dari hasil perlakuan dapat ditunjukkan pengaruh laju pengumpanan terhadap parameter proses dan efisiensinya Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dengan dua faktor, yaitu jenis substrat (bagase tebu, limbah nanas atau campuran) dan rasio C/N (25, 30 dan 35) dengan masing-masing dengan dua ulangan. Model linier yang digunakan untuk rancangan ini adalah : keterangan : Yijk = µ + α + β + ( αβ ) + ε... 13) i j ij Y ijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan kelompok ke-k µ = efek rata-rata yang sebenarnya α i = efek sebenarnya dari taraf ke-i faktor A (jenis substrat) ijk β j = efek sebenarnya dari taraf ke-j faktor B (rasio C/N) (αβ ) ij = pengaruh interaksi dari faktor A dan faktor B ε ijk = pengaruh acak yang menyebar normal. Uji statistik ANOVA dilakukan dan dilanjutkan dengan uji Duncan jika terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan Analisa Kelayakan Ekonomi Analisis kelayakan ekonomis terhadap produksi biogas dilakukan dengan membandingkan biaya yang dikeluarkan selama proses perancangan hingga dihasilkan biogas, dengan harga bahan bakar lainnya. Hal ini dilakukan dengan didasarkan banyaknya produksi gas yang dihasilkan, dikonversi dengan harga beberapa jenis BBM. Analisis kelayakan finansial terhadap produksi biogas dilakukan dengan menggunakan metode analisis biaya manfaat, yang merupakan alat untuk menyusun kebijakan oleh para pengambil keputusan, sehingga dapat memilih berbagai alternatif kebijakan yang saling bersaing. Metode ini juga merupakan metode ekonomi kesejahteraan modern, yang bertujuan untuk memperbaiki efisiensi alokasi sumberdaya yang ekonomis. Ini didasarkan pada nilai ekonomi masyarakat dengan tolok ukur nilai

46 29 moneter yang dibatasi pada hal-hal yang diperjualbelikan secara nyata. Metode ini memiliki beberapa skenario yang akan dianalisis, yaitu : 1. Pendugaan nilai bersih sekarang (Net Present Value): adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat bersih. Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV yang positif, dan alternatif yang mem punyai nilai NPV yang tinggi (Kusumastanto, 2000). Secara matematis NPV dapat dituliskan sebagai berikut : NPV = B C n i i i i= 1 (1 + r) 2. Penggunaan rasio manfaat dan biaya (Benefit Cost-Ratio) : nilainya dihitung dengan mengalikan jumlah satuan dengan harganya, dan apabila produk atau jasa tersebut tdak dapat dipasarkan maka digunakan metode pendekatan untuk menyatakan nilai moneternya (Kusumastanto, 2000). Benefit Cost-Ratio adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak ialah BCR > 1. Secara matematis BCR dapat ditulis sebagai berikut : BCR = n B C i i= 1 (1 + r) 3. Menurut Reksohadiprodjo (1999), analisa kerugian- keuntungan secara sosial atau Present Value (PV) secara matematis dituliskan sebagai : PV = 1 + SB SC n i i i i= 1 (1 + r) 4. Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan tingkat pengembalian modal yang digunakan dalam pembiayaan suatu teknologi. Kelayakan teknologi dilaksanakan apabila IRR > discount rate. 5. Pay Back Period (PBP) adalah waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian seluruh modal yang diinvestasikan.

47 30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Sistem Batch. Percobaan pendahuluan berupa composting yang merupakan proses dekomposisi bahan dengan perlakuan semi-aerob dilakukan sebelum penelitian skala 20 L dalam sistem batch dan skala 300 L dengan sistem semi-kontinyu. Tujuan utama dari perlakuan ini adalah agar bahan terdegradasi dengan cepat sehingga mendapatkan substrat yang mampu mempercepat proses produksi biogas. Dari percobaan pendahuluan diperoleh beberapa hasil diantaranya karakteristik bahan substrat yang terdiri dari bagase tebu, kulit nanas serta campuran bagase tebu dan kulit nanas dengan perlakuan semi-aerob. Penelitian dengan sistem batch bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter proses terhadap laju produksi biogas, total produksi biogas dari masing-masing perlakuan serta persentase efisiensi penurunan bahan pencemar organik dalam bagase tebu dan kulit nanas. Sedang penelitian dengan sistem semi-kontinyu ditujukan untuk mengetahui pengaruh laju pengumpanan terhadap kondisi optimal produksi biogas Karakteristik Bahan Baku (Substrat) Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu limbah.bagase tebu dan limbah nanas. Analisis awal bahan meliputi parameter kadar abu, C/N, ph, temperatur, total solid (TS), volatile solid (VS) dan volatile fatty acid (VFA). Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam bahan baku. Kadar air sangat mempengaruhi dekomposisi bahan organik. Mikroorganisme dapat bekerja dengan baik, bila kadar airnya berkisar antara 40 60%. Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pengurangan jumlah udara yang bersirkulasi, sehingga menciptakan kondisi anaerob. Sedangkan kadar air yang terlalu rendah dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati, sehingga proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tidak optimal. Hasil analisa menunjukkan kadar air bagase tebu sebesar 44,76% dan limbah nanas sebesar 93,63%. Price dan Cheremisinoff (1981) menyatakan bahwa peningkatan kadar air substrat dari 36% menjadi 99% dapat meningkatkan produksi biogas sampai 67%, namun kadar air yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas bakteri metanogenik. Hal ini disebabkan

48 31 karena penambahan air akan meningkatkan oksigen yang bersifat racun bagi bakteri anaerob. Sebaliknya bila kadar air yang terlalu rendah akan mengakibatkan terjadinya akumulasi asam asetat yang bersifat menghambat. Nilai rasio C/N bahan organik merupakan faktor penting dalam pengomposan. Hal ini berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme yang membutuhkan sumber karbon sebagai penyedia energi dan nitrogen sebagai zat pembangun sel mikroorganisme. Rasio C/ N merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam menentukan tingkat kematangan dan kualitas kompos. Rasio C/N yang ideal adalah (CPIS, 1992). Dalam proses pengomposan kandungan karbon organik akan berkurang karena terdekomposisi menjadi CO 2, uap air dan panas, sedangkan nitrogen organik relatif tetap. Oleh karenanya analisis yang digunakan adalah karbon organik dan nitrogen organik atau Total Kjeidahl Nitrogen (TKN). Nilai N total kompos semakin meningkat seiring dengan waktu pengomposan dibandingkan dengan C. Hal ini disebabkan unsur N cenderung tertahan dalam tumpukan kompos dan selama proses dekomposisi unsur N yang hilang hanya 5 %, sedangkan unsur C yang hilang sebanyak 50% (Alexander, 1977). Analisis kadar C dan TKN bertujuan untuk mengetahui kandungan karbon dan nitrogen organik dalam bahan sehingga dapat menjadi dasar acuan akan kebutuhan kedua unsur tersebut yang tersedia. Kedua unsur tersebut nantinya dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk menghasilkan produk akhir yang berupa gas metan (CH 4 ). Suhu merupakan faktor penting yang menunjukkan terjadinya proses dekomposisi bahan organik menjadi kompos. Suhu optimum proses pengomposan berkisar antara 35 0 C 55 0 C karena pada suhu tersebut aktivitas mikrorganisme berjalan dengan baik (Haug, 1980). Hasil yang diperoleh menunjukkan suhu meningkat mencapai 48,8 0 C dan suhu terendah mencapai 31,6 0 C. Hal ini disebabkan pada proses pengomposan kandungan O 2 dalam bahan sangat rendah (< 5%) dan kandungan CO 2 tinggi (> 20%). Dengan aerasi, dapat menambah kandungan O 2 dan mengurangi CO 2. Kondisi ini akan meningkatkan kegiatan mikroorganisme sehingga suhu meningkat dan CO 2 kembali akan meningkat. Dalam prosesnya akan terjadi difusi dengan udara, suplai O 2 tidak berjalan dengan lancar sehingga tejadi pengurangan O 2 jika bahan organik yang mudah didegradasi cepat habis, kegiatan mikroba akan berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya produksi CO 2 dan meningkatnya kandungan O 2 serta menurunnya suhu.

49 32 Pada umumnya dalam tumpukan kompos mempunyai nilai ph awal berkisar 6 7 (Gaur, 1983). Nilai ph yang cenderung menurun pada awal proses pengomposan menunjukkan telah terbentuknya asam-asam organik yang merupakan asam-asam yang lemah seperti asam laktat, butirat, propionat, asam asetat dan asam lemah lainnya. Sedang peningkatan nilai ph pada saat proses pengomposan disebabkan oleh perubahan asamasam organik CO 2 dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan organik. Pada proses pengomposan kondisi basa disebabkan adanya perubahan nitrogen dan asam lemah menjadi amoniak. Pengomposan aerob biasanya dalam kondisi basa, sedangkan pengomposan anaerob berada dalam kondisi asam (Harada, 1993). Pertumbuhan mikroba dapat terjadi secara optimal pada ph 6 8. Pengontrolan ph dilakukan untuk mencegah keasaman tinggi yang menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen. Total Solid (TS) ialah padatan yang terkandung dalam bahan, dan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan terjadinya proses dekomposisi padatan yang akan dirombak pada saat terjadi degradasi bahan. Sedangkan Volatile Solid (VS) merupakan jumlah padatan dalam bahan yang menguap pada pembakaran di atas suhu 550 o C. Total padatan menguap sering disebut juga sebagai padatan organik total. Parameter lainnya yang terkait dengan TS dan VS adalah nilai kadar abu. Kadar abu merupakan parameter yang diperlukan untuk menentukan kadar karbon total (AOAC, 1984). Besar kadar abu bagase yang digunakan sebesar 7,89 % tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh Harjo et al (1989) sebesar 8,8 %. Menurut Osman (2006) nilai TS bagase tebu yang digunakan sebagai substrat biogas dapat mencapai 94,67%, nilai VS mencapai 93,77% dan kadar abu 6,23%. Nilai ini bergantung pada jenis tebu yang digunakan. Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan parameter penting lainnya dalam proses dekomposisi anaerob. VFA adalah senyawa lemak yang telah dipecah menjadi asam lemak yang lebih sederhana oleh enzim lipase yang disekresi oleh mikroba. Dalam proses semi aerob pada tahap hidrolisis, padatan organik yang digunakan akan dipecah oleh enzim eksternal yang dihasilkan oleh bakteri yang ada serta dilarutkan dalam air yang terdapat di sekelilingnya. Tahapan ini sulit untuk diamati dan merupakan tahap pembentukan asam, karena sejumlah molekul akan diserap tanpa pemecahan lebih lanjut dan dapat didegradasi secara internal. Pada tahap hidrolisis dan asidogenesis akan terbentuk sejumlah asam, sehingga VFA akan mengalami kenaikan. Asam yang terbentuk

50 33 diantaranya asam laktat, asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Asam asetat merupakan senyawa organik yang akan diuraikan oleh acetocalstic methane bacteria menjadi metana dan karbon dioksida. Dekomposisi bahan organik berlangsung dalam lingkungan yang bervariasi dari kondisi aerobik ke anaerobik dan dari bakteri yang mampu tumbuh optimal pada temperatur mesofilik ke temperatur termofilik. Proses ini bergantung pada mikroorganisme yang terlibat, aerasi dan tingat kelembaban lingkungan serta karakteristik dari bahan yang dikomposkan. Kondisi aerobik dan termofilik lebih diinginkan karena laju dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna (Gaur, 1981). Menurut Ros dan Zupancic (2004), keuntungan lain yang didapatkan dari proses aerobik adalah pendegradasian senyawa organik makro yang terdapat pada substrat akan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan proses anaerobik, sehingga produk yang dihasilkan akan lebih optimal. Perlakuan pendekomposisian secara semi-aerobik yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu dengan aerasi dan penambahan bakteri EM4 yang bertujuan untuk mempersingkat fase adaptasi atau lag phase dari mikroorganisme pada saat permulaan proses dekomposisi, sehingga mempercepat pendegradasian. Selain itu, penambahan EM4 juga digunakan untuk mengantisipasi keterbatasan jenis mikroba alami dan ketidak mampuan mikroba alami untuk mendegradasi beberapa senyawa toksik seperti senyawa pestisida dalam bahan tersebut. Pengomposan (composting) atau pendekomposisian secara semi-aerobik pada bagase tebu dilakukan selama hari dan limbah nanas selama hari. Selama proses pengomposan tersebut dilakukan pengukuran suhu dan ph secara rutin. Pada Tabel 9 menunjukkan hasil analisa awal dan akhir pengomposan bahan baku substrat menggunakan EM4 dan Acticomp.

51 34 Tabel 8. Karakteristik awal dan akhir pengomposan bahan baku substrat Parameter Bagase Kulit Bagase Tebu Kulit Nanas Tebu Nanas (Akhir) (Akhir) Awal Awal EM4 Acticomp EM4 Acticomp TS (%) 55,2 6,4 12,9 16,6 3,9 4,2 VS(%) 54,2 5,8 11,9 15,7 2,2 3,1 Kadar Air (%) 44,7 93,6 87,1 83,4 96,1 95,8 Kadar Abu (%) 7,89 0,57 0,96 0,82 0,1 0,1 C (%) 22,8 67,7 6,5 8,6 39,5 44,8 TKN (%) 0,1 0,9 0,1 0,1 2,1 2,5 Temp.( 0 C) 31,3 32,2 33,4 34,2 34,5 33,6 ph 6,3 5,9 6,9 7,4 7,3 7,6 Rasio C/N 227,5 72,80 64,8 85,9 19,12 17,83 VFA(mM) 68,4 21,7 74,1 104,8 30,7 89,4 Selain menggunakan EM4 sebagai sumber mikroba pendegradasi, juga digunakan Acticomp, produk dari Balai Penelitian Hasil Perkebunan. Hasil pengomposan EM4 dan Acticomp yang menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda, namun berdasarkan nilai C/N rasio yang diperoleh maka dipilih hasil pengomposan dengan menggunakan EM4 karena C/N rasionya mendekati nilai yang diinginkan, yakni C/N 25, 30 dan 35. Pada tahap semi-aerobik terjadinya proses dekomposisi yang dapat ditunjukkan dari parameter-parameter seperti total solid (TS); volatile solid (VS); volatile fatty acid (VFA); Temperatur (T) ; derajat keasaman (ph) dan rasio C/N. a. Total Solid (TS) Padatan dalam bagase tebu dan limbah nanas akan didegradasi oleh mikroba. Gambar 9 menunjukkan nilai TS dari proses semi-aerob yang dilakukan pada bahan baku substrat yang digunakan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan nilai TS dari kedua bahan baku substrat yang digunakan. Nilai TS awal bagase tebu yang digunakan sebesar 55,2 % menurun menjadi 12,9 % menggunakan EM4 dan sebesar 16,6% menggunakan Acticomp. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan adanya efisiensi TS sekitar 73,4 %. Sedangkan pada limbah nanas, nilai TS awal sebesar 6,4 % menurun menjadi 3,9 % jika menggunakan EM4 dan sebesar 4,2 % jika menggunakan Acticomp. Efisiensi TS limbah nanas diperoleh sekitar 36,4 %. Nilai efisiensi TS bagase yang diperoleh lebih besar dibandingkan efisiensi TS bagase

52 35 Gambar 9. Total Solid (TS) bahan baku substrat. yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada pengomposan selama 40 hari diperoleh efisiensi TS sebesar 53%. Sedangkan efisiensi TS limbah nanas yang diperoleh lebih kecil dibandingkan efisiensi TS buah-buahan yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada pengomposan selama 30 hari diperoleh efisiensi TS sebesar 51%. Efisiensi TS bagase yang tinggi dapat dicapai pada kondisi semi-aerobik dan termofilik karena laju dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna (Gaur, 1981). Hal ini memungkinkan mikroorganisme bekerja secara optimal. b. Volatile Solid (VS) Pada Gambar 10 menunjukkan nilai VS dari kedua jenis bahan baku substrat yang digunakan. Padatan yang menguap berasal dari kandungan organik substrat. Selama proses dekomposisi bahan organik akan dihasilkan garam-garam mineral yang tidak mudah menguap, yang menyebabkan jumlah VS mengalami penurunan. Nilai VS awal bagase tebu yang digunakan sebesar 54,24 % menurun menjadi 11,90 % menggunakan EM4 dan sebesar 15,74 % dengan menggunakan Acticomp. Dari hasil analisa diperoleh efisiensi VS bagase sekitar 74,54 %. Pada limbah nanas yang digunakan, nilai VS awal sebesar 5,8 % menurun menjadi 2,16 dengan menggunakan EM4 dan sebesar 3,04 % menggunakan Acticomp. Nilai efisiensi VS limbah nanas diperoleh sekitar 55,18 %. Nilai efisiensi VS bagase dan limbah nanas yang diperoleh lebih besar daripada yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada

53 36 pengomposan bagase selama 40 hari, diperoleh efisiensi VS sebesar 49%, sedangkan pengomposan buah-buahan selama 30 hari mendapatkan efisiensi VS sebesar 45%. Gambar 10. Volatile Solid (VS) bahan baku substrat. Menurut Chanakya et al (2006) pola degradasi TS menyerupai degradasi VS, ini menunjukkan bahwa TS bahan yang didegradasi merupakan degradasi VS. Pada umumnya pola degradasi pada bahan makanan merupakan pola peluruhan eksponensial ( Lopez et al, 2004). c. Volatile Fatty Acid (VFA) Hasil analisa kenaikan nilai VFA dapat dilihat pada Gambar 11. Dari proses semi-aerobik yang berlangsung, akan terbentuk asetat yang akan didegradasi untuk melepas energi yang lebih besar dan menghasilkan karbondioksida dan sejumlah asam yang akan dimanfaatkan oleh bakteri anaerobik untuk memproduksi biogas. Dalam hal ini proses semi-aerobik mempunyai kelebihan yaitu bahwa substrat yang akan digunakan pada proses anaerobik telah mengandung asam asetat dan energi sehingga bakteri tidak memerlukan waktu yang lama untuk merombak substrat dan memproduksi biogas. Nilai VFA cenderung mengalami kenaikan karena pada proses semi-aerobik pada tahap asetogenesis berlangsung akan terjadi perombakan senyawa organik menjadi asam lemak menguap. Nilai VFA awal dari bagase yang digunakan

54 37 sebesar 68,37 mm dan meningkat menjadi 74,11 mm menggunakan EM4 dan menjadi 104,78 mm dengan menggunakan Acticomp. Nilai VFA awal bagase tebu Gambar 11. Kenaikan nilai Volatile Fatty Acid (VFA). yang relatip tinggi ini juga memungkinkan terbentuknya biogas secara optimal. Nilai VFA awal limbah nanas yang digunakan sebesar 21,71 mm dan meningkat menjadi. 30,67 mm jika menggunakan EM4 dan menjadi sebesar 89,44 mm jika menggunakan ActiComp. d. Suhu Suhu merupakan parameter kontrol terhadap aktivitas bakteri selama proses dekomposisi bahan organik. Pengomposan akan berlangsung secara optimal jika suhu yang dicapai sesuai dengan suhu optimum mikroorganisme. Suhu optimum pengomposan berkisar antara C (Haug, 1980). Sedangkan menurut Murbandono (1983) suhu optimum proses pengomposan berkisar antara C. Grafik perubahan suhu kompos bagase tebu ditunjukkan pada Gambar 12. Pada pengamatan suhu pengomposan bagase tebu tampak bahwa peningkatan suhu pengomposan cenderung naik pada hari ke-4 pekan pertama, dengan suhu optimal

55 38 Gambar 12. Perubahan suhu ( 0 C) selama pengomposan. pengomposan bagase berkisar antara 42,3 48,7 0 C. Peningkatan suhu disebabkan aktivitas mikroorganisme yang mendegradasi bahan organik. Panas yang ditimbulkan sebagian tertahan dalam tumpukan kompos dan sebagian menguap yang berupa uap air. Mikroorganisme yang tumbuh optimal dalam EM4 mencapai suhu 48,7 0 C, sedangkan pada Acticomp, mikroorganisme yang tumbuh optimal mencapai suhu 42,3 0 C. Mikroorganisme tersebut mempunyai suhu optimum yang berbeda untuk aktivitasnya, sehingga dapat dinyatakan bahwa kondisi tersebut merupakan integrasi dari suhu optimum berbagai kelompok mikroorganisme. Sedangkan suhu pengomposan limbah nanas cenderung stabil, yakni 33,6 0 36,3 0 C. Penurunan suhu secara drastis terjadi pada pengomposan bagase menggunakan EM4 mencapai 39,7 0 C pada hari ke-8. Sedang pengomposan menggunakan Acticomp mengalami penurunan suhu hingga 35,5 0 C pada hari ke-10 dan pada hari ke-13 aktivitas mikroorganisme mengalami peningkatan kembali sehingga suhu mencapai 39,3 0 C. Perlakuan aerasi pada pengomposan bagase tebu tidak mempengaruhi suhu pengomposan, karena rongga udara di gundukan bahan relatif cukup besar sehingga suplai oksigen ke dalam bahan cukup merata. Pada hari ke-30 suhu kompos EM4 maupun Acticomp mulai mendekati suhu kamar yaitu 33,2 35,5 0 C. hingga hari ke- 47. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan berada dalam tahap pematangan dengan indikasi suhu yang mendekati suhu kamar (32,7 0 C) yang mengakibatkan sumber karbon organik mulai berkurang dan aktivitas mikroorganisme mulai menurun sehingga panas yang dihasilkan sedikit.

56 39 Pada pengomposan limbah nanas tampak bahwa suhu cenderung konstan, pengomposan menggunakan EM4 mencapai suhu 32,3-41,3 0 C dan pengomposan menggunakan Acticomp mencapai suhu 33,3 40,3 0 C dan secara bertahap suhu mencapai stabil ± 34 0 C. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba yang bekerja pada pengomposan limbah nanas adalah jenis mesofilik. Ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Chaiprasert (2001) bahwa pada kondisi mesofilik mikroba yang bekerja pada limbah industri pengalengan nanas lebih kondisuf dalam menghasilkan produk intermediat seperti asam propionat yang berperan dalam pembentukan produksi biogas. e. Derajat Keasaman (ph) Perubahan ph dalam proses pengomposan menunjukkan aktivitas bakteri dalam mendegradasi bahan organik dan melakukan metabolisme. Nilai ph selama proses pengomposan diamati 3 hari sekali sampai waktu pematangan kompos. Perubahan nilai ph kompos bagase dan nanas dapat dilihat pada Gambar 13. Nilai ph selama proses pengomposan cenderung berfluktuasi untuk semua perlakuan. Nilai ph bagase relatif kecil fluktuasinya. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan aktivator baik EM4 maupun ActiComp akan meningkatkan ph dan akan diimbangi dengan pembentukan asam-asam organik seperti asam laktat, yang akan menurunkan nilai ph. Nilai ph Gambar 13. Perubahan ph selama pengomposan

57 40 awal bagase sebesar 6,32 dan pada hari ke-40 pengomposan nilai ph mencapai netral sebesar 7,12 7,37. Hal ini disebabkan karena selama proses degradasi protein organik akan menghasilkan NH 3 yang akan berikatan dengan air membentuk NH 4 OH yang bersifat basa, sehingga ph meningkat (Wimbanu, 2005). Pada hari ke-3 nilai ph awal nanas sebesar 4,44 5,17 meningkat sebesar 6,85 7,56 pada hari ke- 9. Hal ini disebabkan adanya penambahan aktivator EM4 dan ActiComp memberikan peningkatan aktivitas bakteri secara signifikan. e. Rasio C/N Setiap bahan organik yang akan dikomposkan memiliki karakateristik yang berlainan. Menurut Sulaeman (2007), unsur karbon (C) dan nitrogen (N) merupakan karakteristik terpenting dalam bahan organik dan berguna untuk mendukung proses pengomposan. Menurut Osman (2006) bagase tebu memiliki nilai rasio C/N 131,34 sedangkan dari Chinese Biogas Manual (1979) bagase tebu memiliki nilai rasio C/N 150. Nilai rasio C/N awal bagase tebu yang digunakan sebesar 227,5. Gambar 14. Perubahan nilai rasio C/N setelah pengomposan. Sedangkan Bardiya (1996) mendapatkan nilai rasio C/N kulit nanas sebesar 55. Ini juga tidak berbeda jauh dari nilai rasio C/N limbah kulit nanas yang digunakan sebesar 72,80. Nilai rasio C/N yang diinginkan sebesar (Yani dan Darwis, 1990). Oleh karena itu perlu ditambahkan kotoran sapi, agar mencapai nilai rasio C/N yang diharapkan (Gaur, 1981). Selama proses aerobik akan terjadi pemanfaatan sumber karbon dan nitrogen oleh mikroba. Ini dapat diindikasikan dengan adanya

58 41 penurunan pada nilai rasio C/N. Pada Gambar 14 menunjukkan nilai rasio C/N yang diperoleh, rasio C/N awal bagase tebu sebesar 227,50 menurun menjadi sebesar 64,8 jika menggunakan EM4 dan sebesar 85,9 jika menggunakan Acticomp. Rasio C/N awal limbah nanas sebesar 72,80 menurun menjadi sebesar 19,12 jika menggunakan EM4 dan sebesar 17,83 jika menggunakan Acticomp. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penggunaan atau pemanfaatan karbon dan nitrogen sebagai nutrisi mikroba untuk tumbuh dan berkembang (Yani dan Darwis, 1990) Dekomposisi Bahan Secara Anaerobik Substrat yang digunakan pada tahap anaerob merupakan substrat yang sudah melalui tahap perlakuan pendahuluan, sehingga substrat tersebut sudah mengandung sejumlah asam yang dapat langsung digunakan oleh bakteri. Substrat tersebut sudah mengalami proses hidrolisis dan asedogenesis sehingga pada perlakuan utama (anaerob) langsung masuk ke tahapan asetogenesis atau bahkan langsung masuk ke tahapan metanogenesis. Dalam fermentasi anaerob ini dilakukan penambahan kotoran sapi yang digunakan sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme. Kotoran sapi juga digunakan sebagai sumber inokulum bagi bakteri metanogen yang akan merombak asam asetat, CO 2, dan H 2 menjadi metan. Kotoran sapi merupakan substrat yang dianggap paling cocok sebagai sumber pembuat biogas. Kotoran sapi mengandung bakteri penghasil gas metan yang terdapat dalam perut hewan ruminansia (Meynell, 1976). Keberadaan bakteri di dalam usus besar hewan ruminansia membantu proses fermentasi, sehingga proses pembentukan biogas dapat dilakukan lebih cepat (Sufyandi, 2001). Pada Tabel 10 ditunjukkan karakteristik kotoran sapi yang digunakan sebagai sumber inokulum.

59 42 Tabel 9. Karakteristik sumber inokulum Parameter Proses Kotoran Sapi Padatan total, TS (%) 13,8 Padatan menguap, VS (%) 11,3 Derajat Keasaman, ph 5,6 Karbon organik (%) 29,9 TKN (%) 1,5 Kadar Air (%) 86,2 Rasio C/N 20,6 Dalam proses anaerob dilakukan variasi substrat bagase tebu, kulit nanas dan campuran bagase tebu dan kulit nanas serta variasi rasio C/N 25, 30 dan 35. Perlakuan anaerob memberikan pengaruh terhadap perubahan parameter proses berikut : Parameter Proses Anaerob. 1. Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau miligram per liter yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik dalam air. Dalam proses pendegradasian, substrat akan mengalami penurunan jumlah kandungan bahan Gambar 15. Kandungan COD pada kondisi anaerob. organik, sehingga nilai COD yang dihasilkan akan mengalami penurunan. Ini terjadi karena bakteri memanfaatkan oksigen dalam merombak substrat, dan nilai penurunan

60 43 COD bergantung pada besarnya bahan organik yang telah didekomposisi. Dalam hal ini bakteri akan memanfaatkan oksigen pada proses penguraian senyawa-senyawa organik, maka nilai COD akan mengalami penurunan. Pengukuran nilai COD dilakukan pada awal, hari ke-20 dan hari ke-40 proses anaerobik. Nilai COD dapat dilihat pada Gambar 15. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa COD cenderung menurun. Hal ini disebabkan adanya laju pembentukan asam lemak menguap (VFA), asam laktat, etanol dan senyawa sederhana lainnya dari monomer hasil dekomposisi polimer organik dan laju konsumsi asam-asam serta senyawa tersebut yang bervariasi. Pada Tabel 11. ditunjukkan penurunan COD pada hari ke-20 dan hari ke-40. Penurunan awal yang relatif besar menunjukkan bahwa bakteri pengurai mulai berkembang biak dan banyak oksigen yang digunakan. Nilai COD pada bagase tebu dengan C/N 35 (Bg-35) dan kontrol menunjukkan kecenderungan penurunan nilai COD yang relatif hampir sama selama fermentasi 48 hari, yakni dengan efisiensi COD sebesar ± 38,8 %. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang optimalnya konsumsi senyawa organik oleh bakteri, atau tingginya laju penguraian senyawa organik kompleks menjadi senyawa sederhana (Budhi et al, 1999). Efisiensi laju penurunan pencemar organik COD sangat dipengaruhi Tabel 10. Penurunan kandungan COD (mg/l) Substrat Sampai Hari ke-20 Sampai Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co oleh kondisi ph substrat (Mahajoeno,2008). Pada Bg-30 diperoleh efisiensi COD tertinggi sebesar 82,5 % dengan ph berkisar 7,55 7,87 dan suhu berkisar 29 o 30,4 o C. Hal itu dikarenakan bahwa pada kondisi tersebut mendukung bakteri untuk

61 44 melakukan proses degradasi. Dari Tabel 11 juga menunjukkan bahwa sampai hari ke- 40 aktivitas bakteri masih cukup tinggi dalam memanfaatkan oksigen untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terkandung dalam substrat. 2. Derajat Keasaman (ph) Nilai ph sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba perombak. Selama proses anaerob, bakteri akan menghasilkan sejumlah asam sehingga nilai ph akan cenderung mengalami penurunan. Gambar 16a, 16b dan 16c menunjukkan perubahan nilai ph bagase tebu, limbah nanas dan campuran bagase tebu dan limbah nanas sebagai substrat terhadap laju produksi biogas dalam 48 hari pada proses anaerob. Dalam penelitian ini menghasilkan nilai ph yang berfluktuasi, selain ph mengalami penurunan, ph juga mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena pada proses aerobik telah dihasilkan gas amonia (NH 3 ) dan karbon dioksida (CO 2 ). Amonia merupakan gas yang bersifat basa (Sahidu, 1983). Bagase memiliki masa inkubasi yang relatif panjang (± hari) maka dimungkinkan terjadinya fluktuasi ph, karena proses fermentasi masih berlangsung. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan nilai ph yang meningkat. Pada hari ke- 20 dan ke- 40 ketiga sampel bagase (Bg-25; Bg-30 dan Bg-35) a). Bagase tebu

62 45 b). Limbah nanas c). Campuran bagase dan limbah nanas Gambar 16. Perubahan ph terhadap laju produksi biogas dari berbagai substrat mempunyai nilai ph yang sama, yakni ± 7,75 dan laju produksi biogas yang berfluktuasi (Gambar 16a). Produksi biogas kumulatif tertinggi dicapai oleh Bg-25 mencapai 8,16 L selama fermentasi 48 hari pada ph berkisar 7,27 7,81. Produksi kumulatif ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Pound (!981) yakni sebesar 8,5 L dengan menggunakan limbah batang tebu. Laju produksi gas Bg-35 mendekati laju produksi gas dari kontrol, yang merupakan fermentasi substrat bagase tebu. Pada Gambar 16b perubahan nilai ph limbah nanas selama proses fermentasi anaerobik menunjukkan kecenderungan meningkat pada hari ke-12 sampai hari ke-16. Hal ini memperlihatkan bahwa aktivitas mikroba pendegradasi mulai meningkat dan sampai pada hari ke-40 nilai ph limbah nanas meningkat mencapai ± 7,44 dan

63 46 cenderung konstan. Peningkatan laju produksi gas pada Ns-25 dan Ns-30 tidak signifikan, sedangkan pada Ns-35 meningkat secara signifikan dengan laju produksi gas sebesar 0,546 L/hari pada ph berkisar 6,22 7,15. Laju produksi gas yang diperoleh sedikit lebih kecil dibandingkan yang diperoleh oleh Bardiya (1996) sebesar 0,725 L/ hari. Pada Gambar 16c ditunjukkan perubahan nilai ph campuran limbah nanas dan bagase tebu terhadap laju produksi gas selama 48 hari dalam proses fermentasi anaerobik. Nilai ph campuran bagase dan limbah nanas cenderung meningkat, menunjukkan aktivitas mikroba masih terus berlangsung. Pada hari ke-20 nilai ph dari BNs-35 mencapai 6,42 dan pada hari ke-48 nilai ph dari ketiga campuran (BNs-25; BNs-30 dan BNs-35) sama, yakni ± 7,16. Laju produksi gas cenderung meningkat, namun produksi gas kumulatif tertinggi diperoleh BNs-35 sebesar 12,62 L pada ph berkisar 6,15 7, Suhu ( 0 C) Perubahan suhu bagase tebu, limbah nanas dan campuran bagase dan limbah nanas sebagai substrat terhadap laju produksi gas selama proses fermentasi anaerobik ditunjukkan pada Gambar 17a, 17b dan 17c. Pada Gambar 17a menunjukkan bahwa awal perlakuan, suhu digester mencapai ± 29,4 0 C dan pada hari ke-20 suhu pada Bg- 25 dan Bg-35 turun mencapai 28,8 0 C dan kemudian berfluktuasi. Ini mengindikasikan bahwa aktivitas mikroba masih berlangsung. Mikroba yang bekerja adalah jenis mesofilik, karena aktivitasnya pada suhu 28,7 0 30,4 0 C. Semakin tinggi suhu, reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Laju produksi gas berfluktuatif. Namun penurunan suhu tidak terlalu mempengaruhi laju produksi gas, karena pada suhu tersebut bakteri masih mampu beraktivitas. Produksi biogas kumulatif tertinggi dicapai oleh Bg-25 sebesar 8,16 L pada suhu 29,3 0 30,3 0 C.

64 47 a). Bagase tebu b). Limbah nanas c). Campuran bagase dan limbah nanas Gambar 17. Perubahan suhu terhadap laju produksi biogas dari berbagai substrat Pada Gambar 17b menunjukkan bahwa perubahan suhu limbah nanas terhadap laju gas selama proses fermentasi anaerobik selama 48 hari mempunyai kecenderungan

65 48 menurun. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba telah mulai menurun. Jenis mikroba yang bekerja adalah mesofilik dengan rentang suhu 28,4 0 30,2 0 C. Pada suhu 29,1 0 30,2 0 C produksi gas kumulatif tertinggi dicapai Ns-35 sebesar 17,24 L. Menurut Chaiprasert et al (2001) pada kondisi mesofilik, aktivitas mikroba optimal menghasilkan produk intermediat seperti asam asetat, asam butirat dan asam propianat yang berperanan dalam pembentukan gas metan. Asam propionat tidak terbentuk dalam kondisi termofilik. Pada Gambar 17c menunjukkan bahwa perubahan suhu pada campuran bagase dan limbah nanas terhadap laju produksi gas selama 48 hari dalam proses fermentasi anaerob sampai hari ke-20 suhu cenderung meningkat dan mencapai ± 30,5 0 C. Penurunan suhu campuran bagase dan limbah nanas terus berlangsung sampai hari ke- 40. Pada hari ke-28 dicapai laju produksi gas tertinggi oleh BNs-35 sebesar 514 ml/hari dengan suhu 29,8 0 C. Laju poduksi gas pada substrat campuran bagase tebu dan limbah nanas mendekati laju produksi gas pada substrat limbah nanas (523 ml /hari). Ini menunjukkan bahwa pada substrat campuran, senyawa organik yang terkandung dalam limbah nanas akan lebih mudah terdegradasi dan mendukung aktivitas mikroba anaerob untuk pembentukan asam lemak menguap (VFA), asam laktat, etanol dan senyawa sederhana lainnya. Sedangkan bagase tebu karena memiliki kadar lignin yang relatif tinggi, agak sulit untuk dilakukan degradasi. 4. Volatile Fatty Acid (VFA). Pada Gambar 18 tampak hasil analisis VFA pada ketiga substrat setelah diinkubasi selama 48 hari menunjukkan bahwa VFA tertinggi sebesar 95,84 mm pada awal proses, hari ke-20 VFA mencapai sebesar 125,24 mm dan hari ke-40 VFA mencapai 161,03 mm dihasilkan oleh substrat campuran bagase tebu dan limbah nanas dengan C/N rasio 35 (BNs-35). Pembentukan VFA pada BNs-35 mencapai optimal, karena ketersediaan sumber C (karbon), baik dari bagase tebu maupun dari limbah nanas. Kadar VFA yang rendah dapat terjadi karena pengaruh ph, dimana ketika VFA terakumulasi dalam campuran bahan dan menjadi meningkat jumlahnya, maka ph akan mengalami penurunan dan bersifat asam (Han Qi Yu et al, 2002). Nilai ph rendah < 6 pada awal proses, akan mengakibatkan tidak maksimalnya mikroorganisme untuk

66 49 menghasilkan metan, karena terjadi denaturasi enzim dalam mikroba yang berperan dalam tahap metanogenesis (Nijaguna, 2002). Kandungan VFA terbesar Gambar 18. Jumlah VFA yang terbentuk pada proses fermentasi anaerob. adalah asam asetat yang terbentuk dalam tahap asetogenesis dan metanogenesis yang berperanan dalam proses pembentukan gas. Kadar VFA akan sebanding dengan laju produksi gas. Tabel 11. Peningkatan kadar VFA(mM) Substrat Sampai Hari ke-20 Sampai Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co Pada Tabel 12 ditunjukkan besarnya VFA (mm) yang terbentuk pada hari ke-20 dan hari ke-40. Pada perlakuan Bg-25 terjadi penurunan VFA, hal ini dimungkinkan karena rendahnya konsentrasi substrat yang digunakan, sehingga VFA yang terbentuk mengalami penurunan, karena pada tahap metanogenesis asam asetat yang terkandung dalam VFA tersebut diubah oleh bakteri metanogen menjadi metan (CH 4 ). Hal ini

67 50 dinyatakan dengan adanya kandungan CH 4 sebesar 75% yang dihasilkan dari perlakuan Bg-25 adalah yang tertinggi. 5. Total Solid (TS) Hasil degradasi bahan terlihat pada Gambar 19 dengan adanya penurunan kadar TS dari substrat. Pengukuran kadar TS dilakukan pada awal proses, hari ke-20 dan hari ke-40. Berkurangnya TS terlihat dengan penurunan grafik pada semua perlakuan, walaupun penurunannya tidak signifikan (Tabel 12). Hal ini mungkin disebabkan kandungan lignin yang cukup tinggi pada bagase, sehingga proses degradasi atau perombakan bahan organik membutuhkan waktu relatif lama. Penurunan TS dalam substrat tidak berbanding lurus terhadap laju produksi gas. Hal ini disebabkan karena tidak semua padatan dapat dimanfaatkan oleh mikroba. Efisiensi TS pada bagase sebesar 18,1% diperoleh dari perlakuan Bg-25 dengan nilai TS awal sebesar Gambar 19. Nilai TS (%) dalam proses fermentasi anaerobik. 10,5% (w/v). Pada perlakuan Ns-35 dengan nilai TS awal sebesar 7,7% (w/v) diperoleh efisiensi TS tertinggi sebesar 39%. Sedangkan efisiensi TS pada campuran bagase dan limbah nanas sebesar 17% diperoleh dari perlakuan BNs-35 dengan nilai TS awal sebesar 8,8% (w/v). Pada fermentasi anaerobik selama 40 hari, kadar TS bagase pada perlakuan Bg-25 sebesar 8,6% (w/v) sama dengan kadar TS bagase yang diperoleh Osman et al (2003) yakni sebesar 8,8% (w/v). Sedangkan kadar TS limbah nanas pada perlakuan Ns-35 sebesar 7,7% (w/v) lebih kecil dari kadar TS limbah nanas yang diperoleh Bardiya et al (1996) yakni sebesar 49% (w/v) pada fermentasi anaerobik selama 30 hari.

68 51 Tabel 12. Penurunan kadar TS (%) Substrat Sampai Hari ke-20 Sampai Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co Pada Tabel 13 tampak bahwa degradasi TS pada hari ke-20 lebih tinggi dibandingkan degradasi TS hari ke-40, ini menunjukkan bahwa pada hari ke-20 aktivitas mikroba lebih tinggi dibandingkan aktivitas mikroba pada hari ke Volatile Solid (VS) Hasil yang diperoleh pada Gambar 20 menunjukkan nilai VS pada awal, hari ke- 20 dan hari ke-40. Pola penurunan pada TS dan VS tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh TS dari substrat terdegradasi menjadi VS yang dapat digunakan oleh bakteri untuk menghasilkan biogas. Efisiensi VS tertinggi diperoleh pada perlakuan Ns -35 sebesar 47,5 % dengan kadar VS awal sebesar Gambar 20. Nilai VS (%) dalam proses fermentasi anaerobik.

69 52 5,9% (w/v). Kadar VS bagase pada perlakuan Bg-25 sebesar 9,3% (w/v) jauh lebih rendah dari kadar VS bagase yang diperoleh Osman et al (2003) yakni sebesar 86,4% (w/v). Demikian juga kadar VS limbah nanas pada perlakuan Ns-35 sebesar 5,9% (w/v) jauh lebih kecil dari kadar VS limbah nanas yang diperoleh Bardiya et al (1996) yakni sebesar 51% (w/v) pada fermentasi anaerobik selama 30 hari. Pada Tabel 14 ditunjukkan besarnya penurunan VS pada hari ke-20 dan hari ke- 40. Dalam proses kombinasi antara semi-aerob dan anaerob belum memberikan hasil yang sesuai. Hal ini mungkin disebabkan karena proses degradasi dengan bantuan mikroba yang sangat peka terhadap faktor lingkungan, sehingga aktivitasnya kurang stabil. Selain itu mikroba yang berperan heterogen, karena proses degradasi anaerob terjadi beberapa tahapan dan setiap tahapan jenis mikroba yang berperan berbeda (Reith et.al, 2003). Tabel 13. Penurunan kadar VS (%) Substrat Sampai Hari ke-20 Sampai Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co Produksi dan Komposisi Biogas a. Produksi Biogas. Laju produksi biogas yang dihasilkan dalam proses anaerobik diukur setiap hari selama proses fermentasi 48 hari. Pada Gambar 21 tampak bahwa produksi gas mulai terlihat pada hari ke-4. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa laju produksi biogas tertinggi dicapai oleh perlakuan Ns -35, BNs -35 dan BNs-30 berturut-turut sebesar 523 ml/hari, 514 ml/hari dan 466 ml/hari. Pada ketiga perlakuan tersebut menunjukkan laju produksi gas sangat fluktuatif, ini mungkin disebabkan bahwa aktivitas mikroba pengurai belum sepenuhnya optimal, karena adanya pengaruh dari

70 53 faktor- faktor lingkungan, seperti pengadukan dan terbentuknya lapisan scum yang mengganggu proses pembentukan biogas. Laju produksi biogas dari limbah nanas pada perlakuan Ns-35 sebesar 523 ml/hari jauh lebih kecil dibandingkan laju produksi biogas limbah nanas yang diperoleh Bardiya et al (1996) sebesar 1300 ml/hari. Hal ini mungkin kurang optimalnya pengkondisian awal proses fermentasi anaerobik. Sedangkan pada perlakuan Ns-25, Ns-30 dan BNs-25 menunjukkan laju produksi biogas yang relatif nyaris sama, yakni sebesar 118,2 ml/ hari. Laju produksi biogas harian pada perlakuan Bg-25 dan Bg-30 masing-masing sebesar 170 ml/ hari dan 129,7 ml/ hari. Laju produksi biogas harian bagase yang diperoleh lebih kecil dibandingkan laju produksi biogas harian yang diperoleh Pound et al (1981) sebesar 375 ml/hari dari limbah batang tebu dengan komposisi terdiri 20% inokulum: 56,7% slurry segar : 23,3% limbah batang tebu. Sedangkan laju produksi pada Bg-35 relatif sama dengan laju produksi biogas pada kontrol. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa bahan substrat sangat menentukan laju produksi biogas. Menurut Chanakya et al (2006) laju produksi biogas yang rendah dari bahan pakan ternak disebabkan karena tidak cukup tersedia kolonisasi bakteri metanogen sehingga menghambat konversi asam dari bahan substrat yang diumpankan. Reduksi VS awal yang tinggi juga menyebabkan laju produksi biogasnya rendah. Fluktuasi laju produksi biogas dan peningkatan VFA Gambar 21. Laju produksi biogas harian dalam proses fermentasi anaerobik

71 54 membutuhkan periode waktu ± 100 hari. Campuran bagase tebu dan biomassa dapat digunakan sebagai biofilter untuk mendegradasi bahan organik terlarut pada reaktor jenis Down Flow Fixed Bed Reactor (DFFBR). Pada Gambar 22 tampak bahwa produksi biogas kumulatif tertinggi selama 48 hari diperoleh oleh perlakuan Ns-35 dengan kadar TS 7,7% (w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 17,2 L atau 203,1 L/kg TS, BNs-35 dengan kadar TS 8,2% (w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 12,6 L atau 69,9 L/kg TS dan BNs- 30 dengan kadar TS 8,1% (w/v) menghasilkan biogas sebanyak 12,3 L atau 32,3 L/kg TS. Gambar 22. Produksi biogas kumulatif pada proses fermentasi anaerobik Sedangkan produksi biogas kumulatif Bg-25 dengan kadar TS 10,5%(w/v) mampu menghasilkan biogas sebesar 8,2 L atau 78,1 L/ kg TS dan Bg-30 dengan kadar TS 10,5% (w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 6,2 L atau 35,2 L/kg TS. Produksi biogas kumulatif Ns-25 dengan kadar TS 6,9%(w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 5,8 L atau 16,2 L/kg TS, Ns-30 dengan kadar TS 6,9%(w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 5,8 L atau 30 L/kg TS dan BNs-25 dengan kadar TS 7,9%(w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 5,3 L atau 10,3 L/kg TS. Produksi biogas kumulatif tertinggi dari perlakuan Ns-35 yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 203,1 L/kg TS jauh lebih kecil dibandingkan produksi kumulatif yang diperoleh Bardiya et al (1996) sebesar 413 L/kg TS dari fermentasi anaerob limbah

72 55 nanas selama 40 hari. Sedangkan produksi biogas kumulatif bagase tebu dari perlakuan Bg-25 yang diperoleh sebesar 78,1 L/kg TS lebih tinggi daripada yang diperoleh Pound et al (1981) sebesar 18 L/kg TS dari limbah batang tebu dengan komposisi 20% inokulum: 56,7% slurry segar : 23,3% limbah batang tebu. Produksi biogas kumulatif Bg-25 yang diperoleh juga lebih besar dari yang diperoleh Osman et al (2006) yakni sebesar 51,5 L/kg TS dari campuran bagase tebu dan kotoran ayam. Sedangkan produksi biogas kumulatif kontrol nyaris sama dengan produksi biogas kumulatif Bg-35. Ini menunjukkan bahwa pada Bg-35 tidak terjadi pertumbuhan mikroba yang optimal, sehingga proses fermentasi anaerob yang terjadi mirip dengan kontrol. Ini mungkin disebabkan pada Bg-35 tidak terjadi keseimbangan antara C dan N yang dibutuhkan oleh mikoba untuk tumbuh dan berkembang biak. Menurut Yani dan Darwis (1990), mikroba yang berperan dalam proses secara anaerobik membutuhkan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang, berupa sumber karbon (C) dan sumber nitrogen (N). Bagase tebu mempunyai kandungan lignoselulosa yang cukup tinggi, sehingga pada Bg-35 unsur N tidak dapat mengimbangi ketersediaan unsur C yang berlebihan. Perbandingan C/N dari bahan organik sangat menentukan aktivitas mikroba dan produksi biogas (Fry, 1974). b. Komposisi Biogas. Gambar 23. Kandungan gas CH 4 (%) pada proses fermentasi anaerobik Pada Gambar 23 tampak hasil uji persentase CH 4 yang terkandung dalam produksi biogas pada hari ke-20 dan ke-40 dalam proses fermentasi anaerob. Persentase CH 4 dari hari ke-20 sampai hari ke-40 menunjukkan peningkatan. Pada

73 56 awal proses anaerob akan terbentuk gas CO 2. Ini terjadi pada tahap hidrolisis dan asidogenesis. Pada hari ke-20 proses fermentasi telah mencapai tahap pembentukan gas metan (CH 4 ) namun belum optimal, sedangkan pada hari ke-40, proses anaerob tahap metanogenesis telah mencapai kestabilan, sehingga pembentukan gas metan dapat mencapai optimal. Hal ini juga menunjukkan adanya keseimbangan antara laju proses asidogenesis dan metanogenesis (Chanakya et al, 1999). Kualitas biogas yang dihasilkan ditentukan dengan besarnya persentase CH 4. Menurut Chanakya et al. (1999) komposisi gas metan(ch 4 ) yang dihasilkan dari biogas dengan bahan baku bagase tebu > 60%, sedangkan pada kondisi mesofilik, komposisi CH 4 yang dihasilkan dari biogas dengan bahan baku limbah nanas mencapai 79 % (Chaiprasert et al, 2001). Kualitas biogas terbaik ditunjukkan oleh perlakuan Bg-25 dengan kadar TS sebesar 10,5% (w/v) menghasilkan CH 4 sebesar 75%, BNs-35 dengan kadar TS sebesar 8,2% (w/v) menghasilkan CH 4 sebesar 74% serta Bg-30 dengan kadar TS sebesar 10,5%(w/v) menghasilkan CH 4 sebesar 70%. Kadar TS bahan ikut berperan dalam menentukan kadar CH 4 yang dihasilkan. Namun tingginya kualitas biogas pada perlakuan Bg-25 dan Bg-30 tidak diimbangi dengan laju produksinya. Pada perlakuan Ns-35 dengan kadar TS sebesar 7,7% (w/v) mampu menghasilkan biogas tertinggi, yakni sebesar 203,1 L/kg TS memiliki kandungan CH 4 sebesar 67%, maka diperoleh 136,1 L CH 4 /kg TS. Kandungan CH 4 terendah diperoleh dari perlakuan Bg-35 yakni sebesar 44%, sedangan pada kontrol diperoleh kandungan CH 4 sebesar 65%. Berdasarkan perhitungan total nilai kalor terbesar ditunjukkan pada perlakuan Ns-35 yaitu substrat limbah nanas dengan C/N rasio 35, menunjukkan nilai total kalor sebesar 5145 kj dan BNs-35 yaitu substrat campuran bagase tebu dan limbah nanas dengan C/N rasio 35 menunjukkan nilai kalor total sebesar 1955,2 kj. Walaupun memiliki kandungan CH 4 yang cukup tinggi (75 % dan 70%) pada perlakuan Bg-25 dan Bg-30 namun laju produksinya sangat rendah. Pada Tabel 11 ditunjukkan produksi biogas kumulatif dan komposisi kandungan CH 4 sampai hari ke-20 dan hari ke-40 dari sampel substrat yang digunakan.

74 57 Tabel 14. Produksi kumulatif dan komposisi biogas dalam.sistem batch JENIS PROD.BIOGAS SAMPAI SAMPAI SUBSTRAT KUMULATIF HARI KE-20 HARI KE-40 (ml) * % % Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co Keterangan : *) Produksi biogas kumulatif selama 48 hari Analisa Satistik Uji ANOVA pada taraf 5 % menunjukkan bahwa pengaruh suhu pada jenis substrat memberikan perbedaan yang tidak nyata, sedangkan pengaruh suhu pada variasi C/N rasio menunjukkan perbedaan yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pengaruh suhu terhadap C/N 25 dan C/N 30 tidak signifikan, sedangkan pada C/N 35 ada pengaruh signifikan. Pengaruh ph pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Dari uji lanjut Duncan ditunjukkan bahwa pengaruh ph pada jenis substrat(bg, Ns dan BNs) dan variasi C/N (C/N 25, 30 dan 35) memberikan perbedaan yang nyata. Pengaruh TS dan VS pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Pengaruh COD pada jenis substrat menunjukkan perbedaan yang nyata, sedangkan pengaruh COD pada variasi C/N menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Pengaruh VFA pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pengaruh VFA pada jenis substrat(bg, Ns dan BNs) dan variasi C/N (C/N 25, 30 dan 35) memberikan perbedaan yang nyata. Pengaruh produksi biogas pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pengaruh produksi

75 58 biogas pada jenis substrat (Bg, Ns dan BNs) dan variasi C/N (C/N 25, 30 dan 35) memberikan perbedaan yang nyata. Pengaruh CH 4 pada jenis substrat menunjukkan perbedaan yang nyata, sedangkan pengaruh CH 4 pada variasi C/N menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (Lampiran 18) Penelitian Sistem Semi-Kontinyu. Reaktor UASB ( Up-flow Anaerobic Sludge Blanket) volume 300 L digunakan dalam penelitian sistem semi- kontinyu yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh laju pengumpanan terhadap laju produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik. Berdasarkan hasil produksi biogas skala laboratorium dengan menerapkan perlakuan Ns-35 yang menghasilkan produksi biogas kumulatif sebesar 17,2 L atau 203,1 L/ kg TS dalam 40 hari atau produksi harian rata-rata sebesar 0,431 L/hari, maka dilakukan pengumpanan mulai dari laju umpan 1,4 kg TS /L /hari ; 2,3 kg TS/ L/hari dan 4,1 kg TS/ m 3 /hari masing-masing diberikan selama 3 hari. Sebagai kontrol bioreaktor diisi dengan kotoran sapi dengan laju umpan 24,8 kg TS/L. Ini dilakukan untuk menentukan Residence Time. Setiap tahap pengumpanan, diukur ph, suhu, COD dan produksi biogas yang diperoleh Pengaruh Laju Pengumpanan Interaksi laju pengumpanan, produksi biogas dan suhu substrat bertujuan untuk mengetahui kondisi optimal laju penyimpanan substrat. Pengadukan dilakukan untuk memperoleh homogenitas substrat dalam perlakuan peningkatan laju penyimpanan. Hasil interaksi ketiga parameter dapat ditunjukkan dalam Gambar 24. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa produksi biogas berfluktuasi. Pada awal proses dilakukan pengumpanan dengan kotoran ternak yang digunakan sebagai kontrol, laju produksi biogas mencapai 64,4 L/hari, kemudian diberikan laju umpan 1,4 kg TS/L/hari, 2,3 kg TS/L /hari dan 4,1 kg TSL /hari masing-masing selama 3 hari untuk melihat pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas. Pada awal pengumpanan terjadi penurunan produksi biogas, dan selanjutnya laju produksi biogas

76 59 Gambar 24. Pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan suhu. kembali meningkat seiring dengan meningkatnya laju pengumpanan hingga mencapai 86,6 L/hari pada laju pengumpanan 4,1 kg TS/L /hari. Ini menunjukkan bahwa laju pengumpanan yang diberikan tidak cukup mempengaruhi laju produksi biogas. Hal ini dimungkinkan karena limbah nanas didekomposisi secara cepat dan hanya sebagian kecil yang tersisa dalam proses fermentasi anaerob. Menurut Chanakya et al (2006) limbah buah-buahan dalam bentuk Solid state Stratified Bed (SSB) dengan laju umpan sebesar 2 gr TS/L/hari tidak mempengaruhi proses fermentasi anaerobik. Pada awal proses fermentasi anaerob, suhu substrat mencapai 29,4 0 C dan meningkat sampai hari ke-8 mencapai 32,2 0 C, sedangkan pada hari ke-9 suhu mengalami penurunan mencapai 30,6 0 C. Hal ini mungkin disebabkan pengadukan yang kurang homogen, sehingga mengganggu aktivitas mikroba pendegradasi. Pada hari ke-14 suhu mengalami peningkatan mencapai 33,8 0 34,6 0 C dan cenderung stabil seiring dengan penambahan laju pengumpanan. Hal ini menunjukkan bahwa Residence Time yang diperoleh adalah 14 hari. Penambahan umpan awal dapat mengoptimalkan aktivitas mikroba yang menyebabkan peningkatan suhu, namun setelah Residence Time kecenderungan suhu menjadi tetap, dimungkinkan karena jenis mikroba yang bekerja adalah mesofilik dengan rentang suhu 29,4 0 C 34,6 0 C.

77 60 Gambar 25. Pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan nilai ph. Hasil yang diperoleh pada Gambar 25 menunjukkan bahwa produksi biogas yang fluktuatif dengan nilai ph substrat 6,38 7,78 menunjukkan kecenderungan nilai ph yang stabil sampai pada laju pengumpanan 4,1 kg TS/L/hari Menurut Yacoeb et al. (2006) bahwa kondisi ph hasil perombakan masih memungkinkan mendukung aktivitas bakteri metanogenik sehingga produksi biogas masih dapat meningkat. Nilai ph yang tidak kurang dari 7 mengindikasikan bahwa biodegradasi asam-asam organik berlangsung dengan baik. Menurut Berardino et al (2000) proses digestasi anaerobik dengan sistem semi kontinyu pada limbah cair industri makanan berlangsung baik pada kondisi ph 7,2 8,4. Proses fermentasi anaerob memanfaatkan berbagai macam mikro organisme yang bekerja didalam perombakan substrat yang kaya akan bahan organik. Dalam proses perombakan tersebut menghasilkan berbagai macam zat yang mungkin dapat menghambat kinerja mikroba perombak, karena mikroba tersebut sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, khususnya ph dan suhu. Dilain pihak penurunan ph akan mengganggu aktivitas mikroba perombak, dan hasil perombakan yang berupa asam-asam organik siap untuk diubah menjadi biogas dalam proses metanogenik (Reith et al. 2003).

78 61 Gambar 26. Pengaruh laju umpan terhadap produksi biogas dan nilai COD. Hasil yang diperoleh pada Gambar 26 menunjukkan bahwa efisiensi COD pada kontrol sebesar ± 30% bahkan pada pengumpanan awal sebesar 1,4 kg TS/L/hari, efisiensi COD turun menjadi 6,3 %. Selanjutnya sampai laju umpan 4,1 kg TS/L/hari efisiensi COD dapat mencapai 80%. Efisiensi COD yang berfluktuatif disebabkan proses perombakan/ fermentasi anaerob terjadi pada berbagai tingkatan dan dilakukan oleh berbagai jenis mikroba yang peka terhadap lingkungan. Efisiensi COD yang diperoleh sesuai dengan yang diperoleh Chinnaraj et al ( 2005) bahwa dengan reaktor UASB didapatkan efisiensi COD sebesar %, dimana dengan waktu retensi 20 jam dan laju umpan 5,75 kg COD/ m 3 / hari mampu menghasilkan biogas sebesar 520 L/kg COD. Dari hasil analisa kandungan CH 4 pada sistem kontinyu diperoleh kandungan CH 4 sebesar ± 70 %. Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Chaiprasert (2001) bahwa limbah nanas dengan masa inkubasi 30 hari mempunyai kandungan metan (CH 4 ) berkisar 60% Analisis Kelayakan Ekonomi Limbah Nanas sebagai Bahan Baku Biogas Analisis kelayakan tekno-ekonomi dilakukan berdasarkan perhitungan sederhana yang mengacu pada hasil produksi skala semi-lapang sistem kontinyu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui aspek ekonomi dari teknologi anaerob dengan membandingkan antara besarnya biaya pengeluaran dengan nilai manfaat yang diterima dalam suatu investasi pada jangka waktu tertentu. Analisis ini meliputi

79 62 perhitungan : Benefit Cost Ratio (B/C), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Period (PBP). Perhitungan didasarkan pada banyaknya produksi gas yang dihasilkan dalam sistem kontinyu, kemudian dikonversikan dengan BBM (solar). Perhitungan produksi biogas dengan sistem kontinyu dilakukan dengan mengunakan tandon air dengan volume 4000 liter sebagai unit reaktor anaerob dan sebagai pengumpul gas digunakan tandon air dengan volume 500 liter, yang bersatu dengan unit reaktor, sehingga model reaktor/ digesternya adalah floating dome. Penentuan ukuran digester didasarkan pada banyaknya limbah nanas yang dihasilkan oleh PT. Marizafood dalam sekali produksi. Limbah nanas yang dihasilkan dalam satu kali produksi sebesar kg per hari. Berdasarkan hasil produksi biogas skala semi-kontinyu menggunakan digester dengan volume 300 liter maka diperoleh laju produksi gas optimal sebesar 64,4 L/ hari dengan laju umpan 1,4 kg TS/L /hari. Laju pengumpanan sebesar 1,4 kg TS/L /hari diberikan pada reaktor dengan volume 4000 L akan menghasilkan 24,242 m 3 biogas/hari dan jika dikonversikan sama dengan 15,03 liter minyak tanah/hari, dengan asumsi 1 m 3 biogas setara dengan 0,62 liter minyak tanah. Analisis finansial untuk produksi biogas dalam reaktor model floating dome menggunakan asumsi sebagai berikut : Analisis dilakukan selama 10 tahun umur proyek Tingkat suku bunga 12 % Biaya dan harga selama masa proyek dianggap konstan Penyusutan produksi sebesar 10 % setiap tahun akibat menurunnya kinerja beberapa peralatan. Hasil perhitungan kelayakan finansial produksi biogas dengan menggunakan reaktor model floating dome yang meliputi B/C rasio, NPV dan IRR menunjukkan bahwa investasi proyek pembangunan instalasi pembangkit biogas tersebut layak untuk dikembangkan. Dari perhitungan diperoleh nilai B/C rasio sebesar 1,75; nilai NPV pada DR 12 % sebesar Rp ,- dengan nilai IRR sebesar 56,57 %, sedangkan nilai PBP (Pay Back Period) diperoleh sebesar 19,7 bulan (Lampiran 20, hal 102). Pada Tabel 15 ditunjukkan biaya modal, biaya tetap dan biaya operasional proyek produksi biogas dari limbah nanas.

80 63 Secara ekologis pemanfaatan energi terbarukan seperti biogas sangat diperlukan, disamping sebagai pengganti BBM juga dalam rangka pengurangan efek rumah kaca terutama emisi gas karbondioksida (CO 2 ). Menurut Chanakya et al (1999) dari limbah buah-buahan dengan laju umpan 1 gr TS/L/hari akan dihasilkan 0,25 L biogas/gr TS/ hari dengan kadar CH 4 sebesar 60%. Dari hasil yang diperoleh pada sistem semikontinyu dan mengacu pada produksi limbah nanas sebesar kg per hari maka akan dihasilkan L biogas/kg TS/ hari dengan kandungan CH 4 sebesar 70%, maka setara dengan 16969,4 L CH 4 /kg TS/hari dan sebanding dengan pengurangan emisi CO 2 sebesar 390,3 m 3 CO 2 / hari atau m 3 CO 2 / tahun. Ini dengan asumsi bahwa 1 m 3 CH 4 = 23 m 3 CO 2 ( Chinnaraj et al, 2005). Nilai ekologis dari pemanfaatan limbah nanas sebagai bahan baku biogas ini akan bertambah dengan adanya produk samping lainnya yang bernilai ekonomis, yakni berupa pupuk organik padat dan pupuk organik cair.

81 64 Tabel 15. Biaya modal, biaya tetap dan biaya operasional instalasi anaerob limbah nanas. Jenis Biaya Banyak Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp) Biaya Modal Tandon air 4000 liter 1 buah Tandon air 500 liter 1 buah Bis Beton 10 buah Pasir 3 rit Kerikil 1 kol Semen 3 zak Mesin pompa air 1 unit Pipa PVC 2 inch 2 batang Pipa PVC 4,4 inch 2 batang Pipa PVC 8 inch 3 batang Kran Gas 1 buah Ember 2 buah Senar 1 gulung Pipa Besi 1 inch 1 buah Selang Fiber Glass 15 meter Plastic Steel 20 buah Pipa T 1 buah Aqua Proof 1 kaleng Amplas 0,5 meter Meteran 1 buah Plastik penampung gas 50m 3 1 buah Biaya tak terduga Pengambilan kotoran sapi 300 kg Total Biaya Tetap Konsumsi 10 hari Upah Pekerja 4 orang/10 hari Total Biaya Operasional Listrik Upah Tenaga Kerja 2 orang Biaya Perawatan Total Total Kumulatif

82 65 V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap penggunaan bagase tebu dan limbah nanas sebagai bahan baku penghasil biogas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pada skala laboratorium, produksi biogas dengan masa fermentasi selama 48 hari, menggunakan bioreaktor volume 20 liter dengan sistem batch dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik berupa konsentrasi inokulum dan faktor abiotik berupa suhu dan ph substrat. 2. Didapatkan 3 perlakuan terbaik untuk produksi biogas selama 48 hari, yaitu perlakuan Ns-35 dengan kadar TS 7,7%(w/v) menghasilkan biogas sebanyak 17,2 L dengan atau 203,1 L/kg TS dengan kandungan CH 4 sebesar 67%, perlakuan BNs-35 dengan kadar TS 8,2% (w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 12,6 L atau 69,9 L/kg TS dengan kadar CH 4 sebesar 74% dan BNs- 30 dengan kadar TS 8,1% (w/v) menghasilkan biogas sebanyak 12,3 L atau 32,3 L/kg TS. dengan kandungan CH 4 57 %. 3. Pada perlakuan Bg-30 diperoleh efisiensi penurunan COD tertinggi sebesar 82,5 %, sedangkan pada perlakuan Ns-35 diperoleh efisiensi TS dan VS tertinggi masing-masing sebesar 39 % dan 47,5 %. Pada perlakuan BNs-35 diperoleh pembentukan VFA tertinggi mencapai 161,03 mm. 4. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa ph memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi biogas pada perlakuan yang ada, sedangkan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap produksi biogas pada perlakuan yang ada. 5. Pada bioreaktor volume 300 L sistem semi-kontinyu dengan laju umpan sebesar 1,4 kg TS/L/hari, 2,3 kg TS/L/hari dan 4,1 kg TS/L/hari menghasilkan biogas optimal sebesar 64,4L/hari dan kandungan 70% CH 4 serta efisiensi penurunan COD sebesar 80 %. 6. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pembangunan proyek instalasi biogas dengan baku limbah nanas dengan umur proyek 10 tahun layak untuk dikembangkan, dengan nilai B/C rasio sebesar 1,75; nilai NPV pada DR 12 % sebesar Rp ,- dengan nilai IRR sebesar 56,57 %.

83 66 Saran 1. Pemanfaatan limbah nanas sebagai bahan campuran dengan kotoran ternak sebagai penghasil biogas, sebaiknya tidak melebihi 50%, sedangkan bagase tebu secara ekonomis tidak layak di gunakan sebagai bahan baku biogas karena digunakan sebagai bahan bakar boiler. 2. Diperlukan penelitian sistem kontinyu dengan variasi parameter proses lebih beragam dengan waktu yang lebih lama dan analisa terhadap kualitas produk samping yang dihasilkan berupa pupuk padat dan pupuk cair.

84 67 VI. DAFTAR PUSTAKA Alexander,M Introduction to Soil Microbiology. Second Edition. Jhon Willey and Sons, New York American Public Health Association (APHA) Standard methods for examination of water and wastewater, 20th.ed.Baltimore: APHAAWWA-EWF. AOAC Official Methods Analysis of The Association of Official Analysis Chemist, Washington. Bardiya, N., D, Somayaji dan S, Khanna Biomethanation of banana peel and pineapple waste. Elsevier Sc. Ltd. J.of Bioresource Tech. 58 : Berardino.D., S.Costa., A. Converti Semi-continuous digestion of food Industry wastewater in anaerobic filter. Bioresoure Technology 711: Elseiver Science Ltd. Budhi,Y.W Peningkatan Biodegradabilitas Limbah Cair Printing Industri Tekstil secara Anaerob. ITB Bandung. Buren, A A Chinese biogas manual intermediate technology publications. Chaiprasert, P., S. Bhumiratana dan M. Tanticharoen Mesophilic and thermophilic anaerobic digestion of pineapple cannery wastes. Thammasat Int. J. Sc.Tech., Vol.6. No.2 : 1-9. Chanakya, H.N., Srikumar,K.G. and Anand,V Fermentation properties of agro residues, leaf biomass and urban market garbage in a solid phase biogas fermenter. Biomass and Bioenergy. 16: Chanakya, H.N., Modak, J. and Jagadish, K.S Micro-Treatment options for Components of organic fraction of MSW in residential areas. Environt.Monit. Asses. Centre for Sustainable Technologies. Indian Institute of Science. Bangalore. India. Chinnaraj, S. and G. Venkoba Rao Implementation of an UASB anaerobic digester at bagasse- based pulp and paper industry. Bioresoure Technology.Elseiver Science Ltd. CIPS Panduan Teknik Pembuatan Kompos dan Sampah: Teori dan Aplikasi. Center for Policy and Implementation Study (CPIS).Jakarta FAO Recycling of organic waste in Chnina s agriculture. FAO Soils Bulletin 40. food and agricultural Organization Rome. 107 hal.

85 68 Fry, I.J. dan Merill, R Methane digester for fuel and fertilizer. The New Alchemi Institute West. Santa Barbara. California. Fry,I. J Practical Building of Methane Power Plants for Rural Energy Independence. Standard Printing Santa Barbara. California. Gaur, A.C A Manual of rural composting. Di Dalam: Manik, S. T. H Pengaruh imbangan kotoran sapi dengan sampah pasar organik te hadap produksi dan kualitas kompos secara aerob. Skripsi. Jurusan Ilmu Pakan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Hadiwiyoto, S Penanganan dan pemanfaatan sampah. Yayasan Idayu. Jakarta. Han, Q. Y. and Fang, H.H.P Hydrogen Production from rice Winery Wastewater in an Upflow Anaerobic Reaktor by using Mixed Anaerobic Culturs. Apllication. Microbiol.Biotechnol.27, Harada, Y.K., H.T. Osada dan M. Kashinoa Quality of Compost from Animal Wastes. JAQ 26 (4). P Harahap, F Teknologi Biogas, Institut Teknologi Bandung. Bandung. Harjo, S., Indrasti, N.S. dan Bantacut, T Biokonversi Pemafaatan Limbah Industri Pertanian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan da Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor Haug, R.T Composting Engineering. An Harbor Science, Michigan. Henzen, M. dan Harremoes, P Anaerobic treatment of waste water in fixed film reactors- a literature review. Water Science and Tech. Vol.15. No.1. Kadarsan, H.W Keuangan pertanian dan pembiayaan perusahaan. Ramedia Pustaka Utama. Jakarta. Lopez, W.S., Leite, V.D. and Prasad, S Influence of Inoculum on performance of anaerobic reactors for treating municipal solid waste. Bioresource Technology. 94: Mahajoeno, E Pengembangan Energi Terbarukan dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Meynell, P. J Methane : Planning a Digester. Prism Press. Great Britain. Mosey, S Municipal wastewater treatment with the aerobic attached micorbial film expanded bed process. Di dalam: Renita, M Proses anaerobik sebagai

86 69 alternatif untuk mengolah limbah sawit. Tesis. Program Studi Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara. Mubyarto dan Daryanti Gula, Kajian Sosial Ekonomi, Aditia Media, Yogyakarta. Murbandono, L Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. Musanif, J Limbah Pertanian dan Kotoran Ternak untuk Kesejahteraan. Diskusi Pemanfaatan Sumberdaya Alam untuk Industrialisasi, Departemen Pertanian, Jakarta. Neves, L. 2008, Influence of composition on the biomethanation potential of restaurant waste at mesophilic temperatures, Waste Management 28 : ( 10 September 2008). Nijaguna, B.T Biogas Technology. Taylor & Frances, New Delhi. Noegroho, H.S Pemanfaatan Biogas sebagai Sumber Energi non Konvensional dan Pengembangan Desa, IPB, Bogor. Osman, G. A., A. H. El Tinay and E. F. Mohamed Biogas Production from Agricultural Wastes. Journal of Food Technology. 4 : Pound, B., Done, F. and T.R. Preston Biogas Production from Mitures of Cattle of Slurry and Pressed Sugar Cane Stalk, With Without Urea. Trop nimal Prod. CEDIPCA,CEAGANA, Santo Domingo, Dominica Republic. Price, C.E. dan P. N. Cheremisinoff Biogas Production and Utilization. Energy Technology Series. Ann Arbor Science Pub. Michigan. Reksowardojo, I.K. dan T.H. Soerawidjaja Teknologi pengembangan bioenergi untuk industri pertanian. Di Dalam: Agung, H. Sardjono, T.W, Widodo. P, Nugroho. dan Cicik, S. Proc. Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian : Bioenergi dan Mekanisasi Pertanian untuk Pembangunan Industri Pertanian. Bogor Nov RENSTRA EBT Strategic Plan for New and Renewable Energy. Draft report. Directorate of Electricity and Energy Utilization, Ministry of Energy and Mineral Resources of Indonesia. Reith, J.H., H. den Uil, H. van Veen, W.T.A.M. de Laat, J.J. Niessem, E. de Jong, H.W. Elbersen, R. eusthuis, J.P. van Dikjen and L. Raamsdonk Coproduction of Bio-ethanol, Electricity and heat from biomass residues. Proceedings of the 12 th European Conference on Biomass and Energy, Industry and Climate Protection, June 2002, Amsterdam, The Netherlands. : Sahidu, S Kotoran Ternak sebagai Sumber Energi, Dewaruci Press, Jakarta.

87 70 Setiawan Memanfaatkan kotoran ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. Syamsuddin, T.R. dan H.H. Iskandar Bahan bakar alternatif asal ternak. Sinar Tani. XXXVI. No Sulaeman, D Pengomposan: salah satu alternatif pengolahan sampah organik. (25 April 2007). Van Haandel, A.C Activated sludge settling part II: Settling theory and application to design. Water SA. Vol. 18. No.3: Wimbanu, O Pengomposan Jerami dan Ampas Batang Sagu dengan Metode Windrow Teraerasi. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Yacoeb, S., Shirai, Y. Hassan, M.A., Wakasika, M. and S. Subash Star-up operation of semi-commercial closed anaerobic digester from palm oil mill effeluent treatment. Process Biochemistry 41: Yani, M. dan A. A. Darwis Diktat Teknologi Biogas. Pusat Antar Universitas Bioteknologi- IPB Bogor.

88 71 Lampiran I. Hasil uji laboratorium bagase

89 72

90 73

91 74

92 75

93 76

94 77 Lampiran 7. Nilai ph proses fermentasi semi-aerob Hari Ke- Bgs-EM4 Bgs-AntC Nas-EM4 Nas-AntC Lampiran 8. Nilai C/N, TS, VS dan VFA proses fermentasi semi-aerob Parameter Awal Akhir Bgs- EM4 Bgs- ActCom Nas-EM4 Nas- ActCom Bgs-EM4 Bgs- ActCom Nas-EM4 Nas- ActCom C/N 227,5 227,5 72,8 72,8 64,8 85,9 19,12 17,83 TS (%) 55,24 55,24 6,37 6,37 12,86 16,56 3,89 4,22 VS (%) 54,24 54,24 5,8 5,8 11,9 15,74 2,16 3,04 VFA (mm) 68,37 68,37 21,71 21,71 74,11 104,78 30,67 89,44

95 78 Lampiran 9.Suhu pada proses fermentasi semi-aerob Hari Ke- Bgs-EM4 Bgs-AntiCom Nas-EM4 Nas-Anticom

96 79 Lampiran 10. Kadar TS (%) pada proses anaerob sistem batch Substrat Ulangan Awal Hari ke-20 Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Kontrol(Co)

97 80 Lampiran 11. Kadar VS (%) pada proses anaerob sistem batch Substrat Ulangan Awal Hari ke-20 Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Kontrol Co)

98 81 Lampiran 12. Nilai COD (mg/l) pada proses anaerob system batch Substrat Ulangan Awal Hari ke-20 Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Kontrol (Co)

99 82 Lampiran 13. Kadar VFA (mm) pada proses anaerob sistem batch Substrat Ulangan Awal Hari ke-20 Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Kontrol (Co)

100 83 Lampiran 14. Kadar CH 4 (%) pada proses anaerob sistem batch Substrat Ulangan Hari ke-20 Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Kontrol (Co)

101 84 Lampiran 15. Nilai ph pada proses anaerob system batch Bagase Tebu Limbah Nanas Camp.bagase + limb. nanas Kontrol Hari Ke- Bg 25 Bg 30 Bg 35 Ns 25 Ns 30 Ns 35 BNs 25 BNs 30 BNs 35 C o Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 A B

102 85 Lanjutan Bagase Tebu Limbah Nanas Camp.bagase + limb. nanas Kontrol Hari Ke- Bg 25 Bg 30 Bg 35 Ns 25 Ns 30 Ns 35 BNs 25 BNs 30 BNs 35 C o Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 A B

103 86 Lampiran 16. Suhu pada proses anaerob sistem batch Limbah Nanas Camp. bagase+ limb.nanas Kontrol Bagase Tebu Hari Ke- Bg 25 Bg 30 Bg 35 Ns 25 Ns 30 Ns 35 BNs 25 BNs 30 BNs 35 C o Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 A B

104 87 Lanjutan Limbah Nanas Camp. bagase+ limb.nanas Kontrol Bagase Tebu Hari Ke- Bg 25 Bg 30 Bg 35 Ns 25 Ns 30 Ns 35 BNs 25 BNs 30 BNs 35 C o Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 A B

105 88 Lampiran 17. Laju produksi biogas pada proses anaerob sistem batch Hari Bagase Tebu Limbah Nanas Camp.bagase +limb.nanas Kontrol Ke- Bg 25 Bg 30 Bg 35 Ns 25 Ns 30 Ns 35 BNs 25 BNs 30 BNs 35 C o Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 A B

106 89 Hari Bagase Tebu Limbah Nanas Camp.bagase +limb.nanas Kontrol Ke- Bg 25 Bg 30 Bg 35 Ns 25 Ns 30 Ns 35 BNs 25 BNs 30 BNs 35 C o Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2 A B Total

107 90 Lampiran 18. Hasil analisis statistik 1. Suhu. Between-Subjects Factors Value Label N Faktor1 1 Bagase Tebu (Bg) Limbah Nanas (Ns) Bagase Tebu + Limbah Nanas (BNs) 288 Faktor2 1 C C C Dependent Variable: Suhu Type III Source Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model 9.227(a) Intercept Faktor Faktor Faktor1 * Faktor Error Total Corrected Total a R Squared =.060 (Adjusted R Squared =.052) Uji Duncan Untuk Faktor 2 Faktor2 N Subset C a C b C b Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

108 91 a. Interaksi Between-Subjects Factors N interaksi A 48 B 48 Bg Bg Bg BNs BNs BNs Ns Ns Ns Dependent Variable: interaksi pada Suhu Type III Source Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model 9.935(a) Intercept interaksi Error Total Corrected Total a R Squared =.060 (Adjusted R Squared =.051) Uji Duncan untuk interaksi interaksi N Subset B a Bg a BNs a Ns a Ns a A a Bg ab ab BNs ab abc abc Bg bcd bcd bcd BNs cd cd Ns d Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

109 92 2. Nilai ph Between-Subjects Factors N F1 BG 288 BNs 288 Ns 288 F Dependent Variable: ph Type III Source Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model (a) Intercept Faktor Faktor Faktor1 * Faktor Error Total Corrected Total a R Squared =.805 (Adjusted R Squared =.803) Uji Duncan untuk Faktor 1 Faktor1 N Subset BNs a Ns b Bg c Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05) Uji Duncan untuk Faktor 2 Faktor1 N Subset C a C b C c Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

110 93 a. Interaksi Dependent Variable: ph Type III Source Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model (a) Intercept interaksi Error Total Corrected Total a R Squared =.826 (Adjusted R Squared =.824) Uji Duncan untuk interaksi ph Interaksi N Subset Bg a Ns a BNs ab ab Ns ab ab BNs b Ns c B d Bg de de A de de Bg de de Bg e Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05) 3. Total Solids (TS) Between-Subjects Factors N F1 Bg 6 BNs 6 Ns 6 F

111 94 Dependent Variable: TS Type III Source Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model 7.791(a) Intercept F F F1 * F Error Total Corrected Total a R Squared =.730 (Adjusted R Squared =.490) a. Interaksi N Interaksi Bg 25 2 Bg 30 2 Bg 35 2 BNs 25 2 BNs 30 2 BNs 35 2 Co_A 2 Co_B 2 Ns 25 2 Ns 30 2 Ns 35 2 Dependent Variable: TS Type III Source Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model 8.001(a) Intercept Interaksi Error Total Corrected Total a R Squared =.735 (Adjusted R Squared =.494)

112 95 Uji Duncan untuk TS N Subset Interaksi Bg a BNs ab ab BNs ab ab Co_A ab ab BNs ab ab Co_B ab ab Ns ab ab Bg bc bc Ns bc bc Bg bc bc Ns c Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05) 4. Volatile Solid (VS) Between-Subjects Factors N F1 Bg 6 BNs 6 Ns 6 F Dependent Variable: VS Type III Source Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model 6.031(a) Intercept F F F1 * F Error Total Corrected Total a R Squared =.588 (Adjusted R Squared =.222)

113 96 5. Chemical Oxygen Demand (COD) Between-Subjects Factors N F1 Bg 6 BNs 6 Ns 6 F Dependent Variable: COD Type III Sum of Source Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model (a) Intercept F F F1 * F Error Total Corrected Total a R Squared =.902 (Adjusted R Squared =.816) Uji Duncan untuk F1 F1 N Subset BNs a Bg b Ns b Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

114 97 a. Interaksi N Interaksi Bg 25 2 Bg 30 2 Bg 35 2 BNs 25 2 BNs 30 2 BNs 35 2 Co_A 2 Co_B 2 Ns 25 2 Ns 30 2 Ns 35 2 Dependent Variable: COD Type III Sum of Source Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model (a) Intercept Interaksi Error Total Corrected Total a R Squared =.942 (Adjusted R Squared =.889) Uji Duncan untuk interaksi COD Interaksi N Subset Co_B a BNs a Bg b BNs bc bc Co_A bc bc Bg bc bc BNs bc bc Ns bc bc Ns cd cd Ns d Bg d Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

115 98 6. Volatile Fatty Acid (VFA) Between-Subjects Factors N F1 Bg 6 BNs 6 Ns 6 F Dependent Variable: VFA Source Type III Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model (a) Intercept F F F1 * F Error Total Corrected Total a R Squared =.999 (Adjusted R Squared =.997) Uji Duncan untuk Faktor 1 N Subset F Ns a BNs b Bg c Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05) Uji Duncan untuk Faktor 2 N Subset F a b c Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05).

116 99 a. Interaksi N Interaksi Bg 25 2 Bg 30 2 Bg 35 2 BNs 25 2 BNs 30 2 BNs 35 2 Co_A 2 Co_B 2 Ns 25 2 Ns 30 2 Ns 35 2 Dependent Variable: VFA Source Type III Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model (a) Intercept Interaksi Error Total Corrected Total a R Squared =.999 (Adjusted R Squared =.998) Uji Duncan untuk interaksi VFA N Subset Interaksi Ns a Ns b Bg c BNs c BNs c BNs d Ns e Co_A f Co_B f Bg f Bg g Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

117 Produksi Biogas Between-Subjects Factors Value Label N Faktor1 1 Bg Ns BNs 270 Faktor2 1 C C C Dependent Variable: produksi biogas Source Type III Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model 7.294(a) Intercept Faktor Faktor Faktor1 * Faktor Error Total Corrected Total a R Squared =.635 (Adjusted R Squared =.631) Uji Duncan pada Faktor 1 N Subset Faktor Bagase Tebu a Limbah Nanas b Bagase Tebu + Limbah Nanas c Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05) Uji Duncan pada Faktor 2 N Subset Faktor C a C b C c Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

118 101 a. Interaksi N interaksi A 48 B 48 Bg Bg Bg BNs BNs BNs Ns Ns Ns Dependent Variable: produksi biogas Source Type III Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model (a) Intercept interaksi Error Total Corrected Total a R Squared = (Adjusted R Squared = 1.000) Uji Duncan pada interaksi produksi biogas interaksi N Subset Bg a BNs b Ns b Bg b Ns b Bg c BNs d BNs d Ns e B f A g Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

119 Kadar CH 4 Between-Subjects Factors N F1 Bg 6 BNs 6 Ns 6 F Dependent Variable: CH4 Source Type III Sum of Squares DF Mean Square F Sig. Corrected Model (a) Intercept F F F1 * F Error Total Corrected Total a R Squared =.883 (Adjusted R Squared =.779) Uji Duncan untuk F1 N Subset F Ns a Bg b BNs c Sig Keterangan : huruf kecil yang sama ( a,b,c dan d ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05)

120 Correlations TS VS VFA COD TS Pearson Correlation 1.580(**) (*) Sig. (2-tailed) N VS Pearson Correlation.580(**) (**).545(**) Sig. (2-tailed) N VFA Pearson Correlation (**) (*) Sig. (2-tailed) N COD Pearson Correlation.447(*).545(**) -.438(*) 1 Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

121 104 Lampiran 19. Parameter proses anaerobik sistem semi-kontinyu Hari Ke- Laju Umpan Suhu ph COD (kg TS/L/hari) (o C) (mg/l)

122 105 Lampiran 20. Perhitungan kelayakan ekonomi pembangunan digester biogas volume 4000 L dengan substrat limbah Nanas Tahun Pengeluaran Pendapatan Benefit DF PV Pengeluaran B/C rasio pada DR 12 % = : = 1.75 B/C rasio pada DR 80% = : = 1.6 NPV pada DR 12% = = NPV pada DR 80% = = Ket : 1 m3 biogas = 0.62 liter minyak tanah Produksi biogas = liter/hari = 24,24 m3 biogas/hari =15,03 liter minyak tanah/hari Harga minyak tanah Rp5000/liter per hari per bulan per tahun DR 12% DR 80 % PV PV PV Pemasukan NPV DF Pengeluaran Pemasukan 0 19,770,000 27,430,303 7,660, ,770,000 27,430,303 7,660, ,770,000 27,430,303 7,660, ,000,000 27,430,303 12,430, ,745,000 26,963,988 12,218, ,340,000 15,251,248 6,911, ,000,000 27,430,303 12,430, ,955,000 21,861,951 9,906, ,635,000 8,475,964 3,840, ,000,000 27,430,303 12,430, ,680,000 19,530,376 8,850, ,565,000 4,690,582 2,125, ,000,000 27,430,303 12,430, ,540,000 17,445,673 7,905, ,425,000 2,605,879 1,180, ,000,000 27,430,303 12,430, ,505,000 15,552,982 7,047, ,000 1,453, , ,000,000 27,430,303 12,430, ,605,000 13,907,164 6,302, , , , ,000,000 27,430,303 12,430, ,780,000 12,398,497 5,618, , , , ,000,000 27,430,303 12,430, ,060,000 11,081,842 5,021, , , , ,000,000 27,430,303 12,430, ,415,000 9,902,339 4,487, , ,152 62, ,000,000 27,430,303 12,430, ,830,000 8,832,558 4,002, ,000 82,291 37, ,885, ,907,673 79,022, ,460,000 61,608,461 23,148,461 NPV

123 Gambar 27. Nyala api biogas berbahan baku bagase tebu dan limbah nanas. 106

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Perkembangan kebutuhan energi dunia yang dinamis di tengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS. Tri Retno Dyah Larasati

PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS. Tri Retno Dyah Larasati PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS Tri Retno Dyah Larasati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM Mhd F Cholis Kurniawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN TESIS DAN MENGENAI SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prinsip Pembuatan Biogas Prinsip pembuatan biogas adalah adanya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biogas Biogas menjadi salah satu alternatif dalam pengolahan limbah, khususnya pada bidang peternakan yang setiap hari menyumbangkan limbah. Limbah peternakan tidak akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya.

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Energi mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua aktivitas manusia sangat tergantung pada energi. Berbagai alat pendukung, seperti alat penerangan,

Lebih terperinci

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013 Sejarah Biogas BIOGAS (1770) Ilmuwan di eropa menemukan gas di rawa-rawa. (1875) Avogadro biogas merupakan produk proses anaerobik atau proses fermentasi. (1884) Pasteur penelitian biogas menggunakan kotoran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu kegiatan pertanian yang dominan di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an. Indonsia memproduksi hampir 25 juta matrik

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biogas merupakan salah satu energi berupa gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biogas merupakan salah satu energi terbarukan. Bahanbahan yang dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Peternakan Usaha peternakan sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia karena sebagai penghasil bahan makanan. Produk makanan dari hasil peternakan mempunyai

Lebih terperinci

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure Sariyati Program Studi DIII Analis Kimia Fakultas Teknik Universitas Setia Budi Surakarta

Lebih terperinci

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam Yommi Dewilda, Yenni, Dila Kartika Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis Padang

Lebih terperinci

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI ENERGI ALTERNATIF TERBARUKAN BIOGAS DARI KOTORAN SAPI Bambang Susilo Retno Damayanti PENDAHULUAN PERMASALAHAN Energi Lingkungan Hidup Pembangunan Pertanian Berkelanjutan PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS Dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia tahun 2014 memproduksi 29,34 juta ton minyak sawit kasar [1], tiap ton minyak sawit menghasilkan 2,5 ton limbah cair [2]. Limbah cair pabrik kelapa sawit

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN BIOGAS DARI CAMPURAN AMPAS TAHU DAN KOTORAN SAPI : EFEK KOMPOSISI

LAPORAN PENELITIAN BIOGAS DARI CAMPURAN AMPAS TAHU DAN KOTORAN SAPI : EFEK KOMPOSISI LAPORAN PENELITIAN BIOGAS DARI CAMPURAN AMPAS TAHU DAN KOTORAN SAPI : EFEK KOMPOSISI Oleh: LAILAN NI MAH, ST., M.Eng. Dibiayai Sendiri Dengan Keputusan Dekan Nomor: 276d/H8.1.31/PL/2013 FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Bakteri Anaerob pada Proses Pembentukan Biogas dari Feses Sapi Potong dalam Tabung Hungate. Data pertumbuhan populasi bakteri anaerob pada proses pembentukan biogas dari

Lebih terperinci

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak 1. Limbah Cair Tahu. Tabel Kandungan Limbah Cair Tahu Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg Proses Tahu 80 kg manusia Ampas tahu 70 kg Ternak Whey 2610 Kg Limbah Diagram

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebagai dasar penentuan kadar limbah tapioka yang akan dibuat secara sintetis, maka digunakan sumber pada penelitian terdahulu dimana limbah tapioka diambil dari

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS Oleh : Selly Meidiansari 3308.100.076 Dosen Pembimbing : Ir.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Masyarakat di Indonesia Konsumsi bahan bakar fosil di Indonesia sangat problematik, hal ini di karenakan konsumsi bahan bakar minyak ( BBM ) melebihi produksi dalam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga. Jerami telah didiamkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya kelangkaan bahan bakar minyak yang disebabkan oleh ketidakstabilan harga minyak dunia, maka pemerintah mengajak masyarakat untuk mengatasi masalah energi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang kaya akan sumber sumber energi terbarukan yang potensial, namun pengembangannya belum cukup optimal. Sebenarnya kebijakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bagian terbesar dari kebutuhan energi di dunia selama ini telah ditutupi oleh bahan bakar fosil. Konsumsi sumber energi fosil seperti minyak dan batu bara dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BIOGAS. KP4 UGM Th. 2012

BIOGAS. KP4 UGM Th. 2012 BIOGAS KP4 UGM Th. 2012 Latar Belakang Potensi dan permasalahan: Masyarakat banyak yang memelihara ternak : sapi, kambing dll, dipekarangan rumah. Sampah rumah tangga hanya dibuang, belum dimanfaatkan.

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN

PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN Disusun Oleh: Ir. Nurzainah Ginting, MSc NIP : 010228333 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2007 Nurzainah Ginting

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR TEPUNG IKAN SKRIPSI

PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR TEPUNG IKAN SKRIPSI PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR TEPUNG IKAN SKRIPSI Oleh : DENNY PRASETYO 0631010068 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR SURABAYA 2011

Lebih terperinci

KOMPOSISI CAMPURAN KOTORAN SAPI DAN LIMBAH PUCUK TEBU (SACCHARUM OFFICINARUM L) SEBAGAI BAHAN BAKU ISIAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PEMBENTUKAN BIOGAS

KOMPOSISI CAMPURAN KOTORAN SAPI DAN LIMBAH PUCUK TEBU (SACCHARUM OFFICINARUM L) SEBAGAI BAHAN BAKU ISIAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PEMBENTUKAN BIOGAS KOMPOSISI CAMPURAN KOTORAN SAPI DAN LIMBAH PUCUK TEBU (SACCHARUM OFFICINARUM L) SEBAGAI BAHAN BAKU ISIAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PEMBENTUKAN BIOGAS Danial Ahmad Fauzi. 1, Yuli Hananto. 2, Yuana Susmiati

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia (5,78 % pada 2013) dan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia (5,78 % pada 2013) dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia (5,78 % pada 2013) dan pertambahan jumlah penduduk (mencapai ± 218 juta jiwa) mengakibatkan peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

SNTMUT ISBN:

SNTMUT ISBN: PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK (BUAH - BUAHAN) PASAR TUGU MENJADI BIOGAS DENGAN MENGGUNAKAN STARTER KOTORAN SAPI DAN PENGARUH PENAMBAHAN UREA SECARA ANAEROBIK PADA REAKTOR BATCH Cici Yuliani 1), Panca Nugrahini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Terkait dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010 dan Bahan Bakar Minyak (BBM) per Januari 2011, maka tidak ada

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN J. Tek. Ling Edisi Khusus Hal. 58-63 Jakarta Juli 2008 ISSN 1441-318X PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN Indriyati dan Joko Prayitno Susanto Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri kelapa sawit telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir dan menyumbang persentase terbesar produksi minyak dan lemak di dunia pada tahun 2011 [1].

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian masih menjadi pilar penting kehidupan dan perekonomian penduduknya, bukan hanya untuk menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob. Pembentukan biogas berlangsung melalui

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas jerami padi dan sludge. Pertimbangan atas penggunaan bahan tersebut yaitu jumlahnya yang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga bulan Oktober 2014 dan

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga bulan Oktober 2014 dan 23 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga bulan Oktober 2014 dan bertempat di Laboratorium Daya dan Alat Mesin Pertanian, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia dengan jumlah produksi pada tahun 2013 yaitu sebesar 27.746.125 ton dengan luas lahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri yang sangat potensial dan berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia telah menyumbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi yang terjadi secara global sekarang disebabkan oleh ketimpangan antara konsumsi dan sumber energi yang tersedia. Sumber energi fosil yang semakin langka

Lebih terperinci

SCIENTIFIC CONFERENCE OF ENVIRONMENTAL TECHNOLOGY IX

SCIENTIFIC CONFERENCE OF ENVIRONMENTAL TECHNOLOGY IX Kajian Pemakaian Sampah Organik Rumah Tangga Untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah Sebagai Bahan Baku Pembuatan Biogas Study of Using Household Organic Waster for low income people as a substrate of making

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanaman yang mengandung mono/disakarida (tetes tebu dan gula tebu), bahan

I. PENDAHULUAN. tanaman yang mengandung mono/disakarida (tetes tebu dan gula tebu), bahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Bioetanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang berasal dari tanaman yang mengandung mono/disakarida (tetes tebu dan gula tebu), bahan berpati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi (M BOE) Gambar 1.1 Pertumbuhan Konsumsi Energi [25]

BAB I PENDAHULUAN. Energi (M BOE) Gambar 1.1 Pertumbuhan Konsumsi Energi [25] BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan konsumsi energi semakin meningkat pula tetapi hal ini tidak sebanding dengan ketersediaan cadangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Pembentukan biogas berlangsung melalui suatu proses fermentasi anaerob atau tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu oksidasi - reduksi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang diperlukan adalah limbah padat pertanian berupa jerami padi dari wilayah Bogor. Jerami dikecilkan ukuranya (dicacah) hingga + 2 cm. Bahan lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura berjenis umbi lapis yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan salah satu produk

BAB I PENDAHULUAN. Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan salah satu produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan salah satu produk samping berupa buangan dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang berasal dari air kondensat pada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan bahan organik oleh mikroorganisme (bakteri) dalam kondisi tanpa udara (anaerobik). Bakteri ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob. Biogas dapat dihasilkan pada hari ke 4 5 sesudah biodigester

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN KERANGKA PEMIKIRAN

3. METODE PENELITIAN KERANGKA PEMIKIRAN 3. METODE PENELITIAN 3. 1. KERANGKA PEMIKIRAN Ide dasar penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu teknik pengolahan limbah pertanian, yaitu suatu sistem pengolahan limbah pertanian yang sederhana,

Lebih terperinci

ANALISA KINETIKA PERTUMBUHAN BAKTERI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DARI MOLASES PADA CONTINUOUS REACTOR 3000 L

ANALISA KINETIKA PERTUMBUHAN BAKTERI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DARI MOLASES PADA CONTINUOUS REACTOR 3000 L LABORATORIUM PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014 ANALISA KINETIKA PERTUMBUHAN BAKTERI DAN PENGARUHNYA TERHADAP

Lebih terperinci

Chrisnanda Anggradiar NRP

Chrisnanda Anggradiar NRP RANCANG BANGUN ALAT PRODUKSI BIOGAS DENGAN SUMBER ECENG GONDOK DAN KOTORAN HEWAN Oleh : Chrisnanda Anggradiar NRP. 2106 030 038 Program Studi D3 Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI OLEH : ANDY CHRISTIAN 0731010003 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit pertama dunia. Namun demikian, industri pengolahan kelapa sawit menyebabkan permasalahan lingkungan yang perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. UBI KAYU (SINGKONG) Singkong atau yang sering disebut dengan ketela pohon atau ubi kayu berasal dari keluarga Euphorbiaceae dengan nama latin Manihot esculenta. Singkong merupakan

Lebih terperinci

BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA

BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Oleh : Nur Laili 3307100085 Dosen Pembimbing : Susi A. Wilujeng, ST., MT 1 Latar Belakang 2 Salah satu faktor penting

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Organik Cair Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan sebagian unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Peran pupuk sangat dibutuhkan oleh tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial di dunia. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN

PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN Roy Renatha Saputro dan Rr. Dewi Artanti Putri Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax:

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto, 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Limbah Ternak 2.1.1. Deksripsi Limbah Ternak Limbah didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia dan tidak digunakan lagi pada

Lebih terperinci

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob Pertumbuhan total bakteri (%) IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob dalam Rekayasa GMB Pengujian isolat bakteri asal feses sapi potong dengan media batubara subbituminous terhadap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS DENGAN PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK DAN JERAMI PADI SEBAGAI ALTERNATIF ENERGI PEDESAAN PAULUS RAJA KOTA

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS DENGAN PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK DAN JERAMI PADI SEBAGAI ALTERNATIF ENERGI PEDESAAN PAULUS RAJA KOTA PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS DENGAN PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK DAN JERAMI PADI SEBAGAI ALTERNATIF ENERGI PEDESAAN PAULUS RAJA KOTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIOGAS SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. kita pada krisis energi dan masalah lingkungan. Menipisnya cadangan bahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. kita pada krisis energi dan masalah lingkungan. Menipisnya cadangan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketergantungan akan bahan bakar fosil sebagai sumber energi membawa kita pada krisis energi dan masalah lingkungan. Menipisnya cadangan bahan bakar fosil (khususnya

Lebih terperinci

PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS

PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 2 No. 2 (Desember 2012): 56-64 PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS Utilization of Sugarcane Bagasse and Pineapple

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pengolahan tinja rumah tangga setempat (on site system) yang

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pengolahan tinja rumah tangga setempat (on site system) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Meningkatnya populasi manusia di Indonesia dan padatnya penduduk membuat limbah-limbah sulit untuk ditangani sehingga seringkali mencemari lingkungan

Lebih terperinci

SNTMUT ISBN:

SNTMUT ISBN: PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK (SAYUR SAYURAN) PASAR TUGU MENJADI BIOGAS DENGAN MENGGUNAKAN STARTER KOTORAN SAPI DAN PENGARUH PENAMBAHAN UREA SECARA ANAEROBIK PADA REAKTOR BATCH Maya Natalia 1), Panca Nugrahini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai potensi biomassa yang sangat besar. Estimasi potensi biomassa Indonesia sekitar 46,7 juta ton per tahun (Kamaruddin,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perantara jamu gendong (Muslimin dkk., 2009).

I. PENDAHULUAN. perantara jamu gendong (Muslimin dkk., 2009). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamu merupakan warisan budaya bangsa yang sudah digunakan secara turun temurun. Indonesia memiliki keunggulan dalam hal pengembangan jamu dengan 9.600 jenis tanaman obat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Persiapan Bahan Baku

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Persiapan Bahan Baku METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Peternakan, proses produksi biogas di Laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik sangat populer digunakan untuk mengolah limbah biodegradable karena bahan bakar dapat dihasilkan sambil

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 hingga Januari 2011. Penelitian dilakukan di laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Departemen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

Muhammad Ilham Kurniawan 1, M. Ramdlan Kirom 2, Asep Suhendi 3 Prodi S1 Teknik Fisika, Fakultas Teknik Elektro, Universitas Telkom

Muhammad Ilham Kurniawan 1, M. Ramdlan Kirom 2, Asep Suhendi 3 Prodi S1 Teknik Fisika, Fakultas Teknik Elektro, Universitas Telkom ISSN : 2355-9365 e-proceeding of Engineering : Vol.4, No.3 Desember 217 Page 3977 Muhammad Ilham Kurniawan 1, M. Ramdlan Kirom 2, Asep Suhendi 3 Prodi S1 Teknik Fisika, Fakultas Teknik Elektro, Universitas

Lebih terperinci

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik. Oleh: DWI RAMADHANI D

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik. Oleh: DWI RAMADHANI D PEMBUATAN BIOGAS DENGAN SUBSTRAT LIMBAH KULIT BUAH DAN LIMBAH CAIR TAHU DENGAN VARIABEL PERBANDINGAN KOMPOSISI SLURRY DAN PENAMBAHAN COSUBSTRAT KOTORAN SAPI Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi permintaan. Artinya, kebijakan energi tidak lagi mengandalkan pada ketersediaan pasokan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2010. Tempat Penelitian di Rumah Sakit PMI Kota Bogor, Jawa Barat. 3.2. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon kelapa sawit terdiri dari dua spesies besar yaitu Elaeis guineensis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon kelapa sawit terdiri dari dua spesies besar yaitu Elaeis guineensis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Pohon kelapa sawit terdiri dari dua spesies besar yaitu Elaeis guineensis yang berasal dari Afrika danelaeis oleiferayang berasal dari Amerika.

Lebih terperinci

Presentasi Tugas Akhir. Hubungan antara Hydraulic Retention Time (HRT) dan Solid Retention Time (SRT) pada Reaktor Anaerob dari Limbah sayuran.

Presentasi Tugas Akhir. Hubungan antara Hydraulic Retention Time (HRT) dan Solid Retention Time (SRT) pada Reaktor Anaerob dari Limbah sayuran. Presentasi Tugas Akhir Hubungan antara Hydraulic Retention Time (HRT) dan Solid Retention Time (SRT) pada Reaktor Anaerob dari Limbah sayuran. Oleh: Faisal Cahyo K (2305100078) Adityah Putri DM (2306100093)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP PRODUKSI BIOGAS MENGGUNAKAN BAHAN BAKU KOTORAN SAPI

PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP PRODUKSI BIOGAS MENGGUNAKAN BAHAN BAKU KOTORAN SAPI TURBO Vol. 5 No. 1. 2016 p-issn: 2301-6663, e-issn: 2477-250X Jurnal Teknik Mesin Univ. Muhammadiyah Metro URL: http://ojs.ummetro.ac.id/index.php/turbo PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Salah satu tantangan pertanian Indonesia adalah meningkatkan produktivitas berbagai jenis tanaman pertanian. Namun disisi lain, limbah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BB PNDHULUN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial didunia. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan menipisnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci