Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya
|
|
- Ratna Makmur
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1 Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya - Novelina MS Hutapea Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya Novelina MS Hutapea Dosen Fakultas Hukum USI Abstrak Pemeriksaan terhadap tersangka pelaku tindak pidana adalah bahagian dari beberapa kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada penyidik dalam upaya mencari kebenaran yang material. Pemeriksaan tersangka dapat dilakukan dengan cara interview, konfrontasi dan rekonstruksi. Dengan pelaksanaan rekonstruksi maka tersangka akan memperagakan kembali terjadinya peristiwa pidana yang disangkakan kepadanya, sehingga semakin memperjelas baik bagi penyidik maupun penuntut umum tentang tindak pidana yang disangkan, cara melakukannya, peranan tersangka serta alat yang dipergunakan. Pada umumnya rekonstruksi perlu dilakukan bagi tindak pidana yang menyebabkan hilang nyawa orang lain. Kata kunci : pemeriksaan,rekonstruksi, tersangka Pendahuluan Di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dikatakan bahwa kebenaran material ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Salah satu tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam upaya mencari kebenaran tersebut pada tingkat penyidikan adalah melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka. Pemeriksaan tersangka oleh penyidik lazim dilaksanakan dengan cara mengintrogasinya untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan berkaitan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka tersebut. Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dalam beberapa kasus tertentu, khususnya kasus-kasus yang menyebabkan hilangnya jiwa orang kadang kala tidak begitu saja menerima keterangan yang diberikan tersangka. Misalnya bagaimana peranan tersangka dalam tindak pidana yang dipersangkakan telah dilakukan, apakah ia sebagai pelaku utama, turut melakukan, orang yang membantu melakukan atau orang yang disuruh melakukan serta bagaimana caranya tindak pidana itu dilakukan. Hal-hal tersebut tentu membutuhkan penjelasan yang lebih mendetail lagi dalam upaya untuk membuktikan suatu kebenaran yang hakiki. Salah satu langkah yang harus ditempuh untuk itu adalah harus dilakukan rekonstruksi yaitu dengan memperagakan kembali bagaimana suatu tindak pidana dilakukan oleh seorang tersangka. Dengan rekonstruksi, maka penyidik akan dapat menguji kebenaran keterangan tersangka dikaitkan dengan alatalat bukti yang lain juga dengan barang bukti yang berhasil dikumpulkan/diperoleh oleh penyidik. Dengan demikian rekonstruksi adalah salah satu tindakan dalam pemeriksaan tersangka yang memegang peranan penting untuk mengungkapkan kebenaran dari tindak
2 2 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 pidana yang sedang diproses hukum. Walaupun pelaksanaannya sering sangat menyulitkan karena banyaknya kendala yang dihadapi penyidik, namun dalam beberapa tindak pidana, rekonstruksi harus tetap dilaksanakan. Rumusan Masalah 1. Apa sebabnya perlu dilakukan rekonstruksi dalam suatu perkara pidana? 2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan rekonstruksi dalam prakteknya? 3. Apa kendala yang dihadapi penyidik dalam pelaksanaan rekonstruksi? Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui sebab-sebab perlunya dilakukan rekonstruksi. 2. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan rekonstruksi. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi penyidik dalam melaksanakan rekonstruksi. Tinjauan Pustaka Tindak pidana dipandang sebagai suatu perbuatan yang tidak saja merugikan orang lain, tetapi juga menimbulkan keresahan dan mengganggu ketentraman hidup dalam masyarakat. Istilah tindak pidana ini ada juga yang menyebutnya dengan istilah kejahatan, perbuatan pidana, peristiwa pidana, delik ataupun strafbaar feit. Para sarjana hukum pidana telah banyak merumuskan tentang tindak pidana tersebut. Disamping mempunyai persamaan terdapat juga perbedaan dari berbagai perumusan tersebut. Seseorang yang diduga menjadi pelaku dari suatu tindak pidana pada tahap pemeriksaan penyidikan disebut dengan tersangka, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Di dalam pemeriksaan tersangka ada kalanya perlu dilakukan rekonstruksi, yaitu pembinaan atau pembangunan baru, pengulangan suatu kejadian (JCT. Simorangkir dkk 1983). Misalnya : polisi mengadakan rekonstruksi dari suatu kejahatan yang telah terjadi untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai jalannya kejahatan tersebut. Adapun maksud dari penyidik mengandalkan rekonstruksi adalah : untuk memberikan gambaran tentang terjadinya suatu tindak pidana dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk lebih menyakinkan kepada pemeriksa tentang kebenaran tersangka atau saksi. Di dalam melakukan rekonstruksi, penyidik lazim memerintahkan tersangka untuk mengulangi tingkah laku dan gerak gerik jasmani yang telah dilakukan ketika melakukan tindak pidana yang dipersangkakannya itu dulu, untuk menggambarkan hal ikhwal peristiwa yang sebenarnya telah terjadi (A.T. Hamid 1982) Rekonstruksi, membantu menyakinkan penyidik apakah memang orang yang disangka
3 3 Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya - Novelina MS Hutapea benar-benar pelakunya, karena pada saat tersangka memperagakan kembali cara-cara tersangka melakukan suatu tindakan, tahap demi tahap, tersangka secara spontan akan melakukan gerakan yang memang dilakukannya pada saat melakukan tindakannya tetapi mungkin tidak diakuinya ketika diperiksa sebelumnya. Metode Penelitian 1. Metode penelitian hukum normatif Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengupayakan pengumpulan data sekunder berupa bahan kepustakaan maupun perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan judul serta permasalahan yang telah dirumuskan. 2. Metode penelitian hukum empiris. Untuk mengumpulkan data primer, maka dilakukan penelitian ke lapangan yaitu ke instansi Polres Simalungun. Cara ini disebut dengan metode penelitian hukum empiris (sosiologis). Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pejabat yang berwenang di instansi tersebut. Pembahasan a. Sebab-sebab Dilakukannya Rekonstruksi dalam Suatu Perkara Pidana Dari hasil wawancara dengan penyidik di Polres Simalungun diperoleh keterangan bahwa untuk perkara tertentu, apabila dipandang perlu guna pembuktiannya dapat dilakukan rekonstruksi. Rekonstruksi merupakan salah satu tehnik yang dipergunakan oleh penyidik untuk memeriksa kebenaran keterangan yang diberikan tersangka. Kemungkinan pada saat pemeriksaan tersangka mencoba untuk berbohong sehingga keterangan yang diberikannya berbeda pada masing-masing penyidik yang memeriksanya dalam hal terdakwa diperiksa oleh lebih dari 1 (satu) orang penyidik. Jika keterangan yang didapat oleh para penyidik berbeda maka berbeda jugalah persepsi penyidik-penyidik yang memeriksa tersangka tentang tindakan yang dilakukan tersangka. Untuk dapat menentukan apakah memang benar tersangka yang telah melakukan suatu tindak pidana dan bagaimana peranannya, penyidik harus memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa tersangkalah pelakunya. Keyakinan penyidik ini harus bersumber dari alat bukti yang diperoleh, yaitu dari keterangan saksi ahli dan keterangan terdakwa. Keyakinan penyidik ini bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan dalam menentukan tersangka, maka untuk lebih meyakinkan penyidik tentang temuan awal mengenai tersangka dan barang bukti, itulah perlu dilakukan rekonstruksi untuk menyesuaikan temuan awal tadi dengan keterangan yang diberikan saksi maupun tersangka. Rekonstruksi merupakan salah satu barometer yang digunakan penyidik untuk mengukur sampai dimana kebenaran keterangan yang diberikan tersangka pada
4 4 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 waktu diperiksa penyidik, karena pada saat melakukan tahapan-tahapan rekonstruksi, tersangka akan memunculkan tindakantindakan yang dilakukannya pada saat melakukan tindak pidana sebelumnya. Dari rekonstruksi yang telah dilaksanakan penyidik akan mengadakan analisa melalui foto-foto hasil pelaksanaan rekonstruksi tahap demi tahap. Rekonstruksi juga akan memperjelas tentang alat apa yang digunakan tersangka pada waktu melakukan tindak pidana yang disangkakan padanya. Adakalanya tersangka memberikan keterangan yang salah mengenai alat yang digunakannya. Misalnya pada saat pemeriksaan oleh penyidik, tersangka menerangkan bahwa tersangka menghabisi nyawa korban dengan menusuk korban dibagian perut menggunakan sebilah obeng, tetapi pada saat dilaksanakan rekonstruksi, tersangka mengatakan sebenarnya bukan obeng tetapi pisau. Disamping itu kemungkinan lain yang menyebabkan perlunya rekonstruksi adalah adanya keragu-raguan penyidik maupun jaksa penuntut umum tentang peran tersangka dalam perkara pidana yang bersangkutan. Keragu-raguan tersebut adalah untuk menentukan secara pasti apakah tersangka melakukan seorang diri ataukah ada peranan orang lain dalam perkara tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan rekonstruksi untuk menentukan apakah tersangka orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan pidana Pasal 55 (1) ke 1e KUH Pidana. Menurut ketentuan Pasal 55 KUH Pidana dibedakan hukumannya antara orang yang melakukan sendirian (pleger) dengan orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) serta membujuk melakukan (uitloker). Semakin jelasnya peran tersangka, Jaksa Penuntut Umum semakin yakin dan tidak ada keraguan lagi dalam menentukan tuntutan atas peran apa yang dilakukan tersangka dan atas peran apa yang disangkakan kepada tersngka. Kejelasan peran ini membantu Jaksa Penuntut Umum menghindari kekeliruan dalam tuntutannya yang memang seharusnya dipertanggungjawabkan tersangka. Perlunya rekonstruksi ini juga disebabkan untuk mencegah kemungkinan pada saat pemeriksaan di persidangan, bisa saja terdakwa menyangkal Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan mengelak dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dengan dalih bahwa pada saat diperiksa di kepolisian oleh Penyidik, terdakwa dipaksa mengaku dengan cara disiksa. Hal seperti ini biasanya akan menyulitkan penyidik, karena penyidik terpaksa harus hadir di persidangan untuk ditanyai oleh Hakim mengenai kebenaran keterangan terdakwa. Dalam hal penyidik sudah hadir di persidangan tetapi tersangka masih mengingkari, maka selain alat bukti dan keterangan saksi, dipergunakan jugalah Berita Acara Rekonstruksi yang dilaksanakan pada waktu penyidikan untuk menjerat tersangka, karena tersangka tidak
5 5 Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya - Novelina MS Hutapea bisa lagi mungkir dari Berita Acara Rekonstruksi yang memang dilaksanakannya sendiri. b. Mekanisme Pelaksanaan Rekonstruksi dalam Prakteknya Pada akhirnya tujuan rekonstruksi adalah untuk membantu jaksa penuntut umum dalam pembuktian kesalahan terdakwa atas tindak pidana yang dilakukannya walaupun pelaksana dari rekonstruksi adalah pihak penyidik. Meskipun sebenarnya tidak ada keharusan untuk melakukan rekonstruksi dalam suatu perkara pidana, akan tetapi jika ada permintaan jaksa penuntut umum setelah penyerahan berkas perkara dari penyidik ataupun tanpa permintaan dari jaksa penuntut umum, tetapi penyidik menganggap perlu dilakukan rekonstruksi, maka pelaksanaannya dapat direalisasikan. Dalam pelaksanaanya, rekonstruksi diperagakan sesuai dengan urutan-urutan kejadian yang sebenarnya dilakukannya terdakwa berdasarkan keterangan tersangka sendiri dan keterangan saksi-saksi maupun fakta yang diperoleh dari barang bukti yang ada. Rekonstruksi harus dilakukan melalui tahapan-tahapan pelaksanaan sebagai berikut: 1. Persiapan meliputi : a. Penunjukkan petugas rekonstruksi : 1. Penyidik, yaitu pejabat kepolisian negera Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan penyidikan. 2. Penyidik pembantu, dalam Pasal 10 (1) KUHAP yaitu pejabat kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) Pasal 10 KUHAP. 3. Pangkat Bripka sampai dengan Bharada, bertugas sebagai petugas pengamanan di tempat dilaksanakannya rekonstruksi, mengingat umumnya dalam pelaksanaan rekonstruksi banyak masyarakat datang ke tempat dilaksanakannya rekonstruksi untuk menyaksikan bagaimana pelaksanaannya, 4. Petugas Lantas (lalu lintas) Dalam pelaksanaan rekonstruksi, polisi lalu lintas bertugas atau diperlukan apabila tempat kejadian perkara berada di jalan umum. 5. Bina mitra berfungsi untuk membina hubungan dengan masyarakat, berupa bimbingan masyarakat yang dilakukan oleh petugas satuan bina mitra. 6. Intelkam bertugas dalam rangka rekonstruksi adalah memantau masyarakat yang ada disekitar lokasi diadakannya rekonstruksi tentang kemungkinan ada tidaknya yang terlibat dalam tindak pidana yang direkonstruksi atau kemungkinan mendapatkan informasi-informasi baru yang
6 6 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 berkaitan dengan kejadian yang sedang direkonstruksi saat itu. b. Menentukan waktu dan tempat. Menurut situasi saat itu memungkinkan rekonstruksi dilakukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang sebenarnya, waktu dan tempat rekonstruksi ditentukan oleh penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik. c. Menyiapkan peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan rekonstruksi. Peralatan yang diperlukan tersebut digunakan sebagai alat peraga dalam melakukan adegan rekonstruksi, peralatan ini hanya berupa tiruan dari alat aslinya, misalanya pisau dari kayu. 2. Pelaksanaan, meliputi : a. Pengawalan ketat terhadap tersangka dan pelaku-pelaku lainnya juga saksisaksi menuju ke lokasi rekonstruksi. b. Pelaksanaan rekontruksi diatur secara berurutan sesuai dengan skenario kejadian yang sebenarnya, adegan demi adegan mulai dari persiapan sebelum kejadian, saat kejadiaan maupun sesudah kejadian. c. Setiap adegan difoto (didokumentasikan). d. Kegiatan terakhir yaitu Berita Acara Rekonstruksi dan dibacakan kembali kepada tersangka untuk dicocokan benar tidaknya adegan tersebut yang termuat dalam Berita Acara Rekonstruksi jika tersangka menyatakan sudah benar maka masing-masing pihak menandatangani berita acara tersebut. 3. Penutup Hasil pelaksanaan rekontruksi dituangkan ke dalam Berita Acara Rekonstruksi dilengkapi dengan fotofoto peragaan rekonstruksi yang diperagakan oleh tersangka. c. Kendala yang Dihadapi Penyidik dalam Pelaksanaan Rekonstruksi Dalam prakteknya ada beberapa hambatan/kendala dalam pelaksanaan rekonstruksi, antara lain : 1. Tidak siapnya mental dari tersangka Ketidaksiapan mental dari tersangka sebelum rekonstruksi dilaksanakan pasti akan menghambat jalannya rekonstruksi. Tidak selalu peristiwa pidana yang terjadi dan bahkan menyebabkan korbannya meninggal dunia adalah karena unsur kesengajaan ataupun memang dikehendahi oleh oleh si pelaku. Hal mana menyebabkan si tersangka mengalami trauma atas perbuatannya menghilangkan jiwa korban dan si tersangka mengalami kelemahan mental yang serius, sehingga tidak mampu memperagakan adegan-adegan yang diharapkan sesuai dengan keterangan tersangka, saksi ataupun kesesuaian dengan barang bukti. 2. Tempat kejadian perkara mempunyai medan yang sulit untuk dijangkau.
7 7 Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya - Novelina MS Hutapea Rekonstruksi membutuhkan dana yang cukup besar serta sarana transportasi yang memadai apalagi jika akan dilakukan di luar daerah suatu sektor kepolisian dengan medan yang cukup sulit pula, sementara dana operasional pelaksanaan rekonstruksi dan sarana transportasi yang tersedia masih sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut di atas, kendala dalam pelaksanaan rekonstruksi dapat diantisipasi dengan mengadakan rekonstruksi di tempat lain yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga menyerupai tempat kejadian perkara yang sebenarnya dan dengan demikian rekonstruksi tetap bisa berjalan. 3. Sikap antipati masyarakat terhadap tersangka. Dalam beberapa kasus yang dilakukan oleh tersangka dengan cara yang cukup sadis, biasanya membuat masyarakat yang mengenal korban dan atau tersangka merasa sangat benci dan emosi kepada tersangka. Hal itu menyebabkan ketika rekonstruksi dilaksanakan, masyarakat bisa berbuat arogan terhadap tersangka dengan cara memukul, menendang, meludahi, melempari atau berteriak-teriak histeris, sehingga keselamatan tersangka dapat terancam sekaligus juga menggangu jalannya rekonstruksi. 4. Banyaknya masyarakat yang menyaksikan pelaksanaan rekonstruksi. Biasanya masyarakat yang mengetahui akan dilaksanakannya rekonstruksi disuatu tempat kejadian perkara, banyak yang merasa tertarik dan ingin menyaksikan jalannya rekonstruksi. Banyaknya masyarakat yang datang untuk menyaksikan rekonstruksi dapat mengakibatkan hilangnya konsentrasi dari orang-orang yang harus memperagakan beberapa adegan dalam rekonstruksi. Hilangnya konsentrasi dari orang-orang yang harus memerankan adegan rekonstruksi menyebabkan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan rekonstruksi menjadi tidak maksimal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sebaiknya pihak penyidik tidak mempublikasikan akan dilaksanakannya suatu rekonstruksi dan hanya memberitahukan kepada pihak yang berkepentingan saja yaitu Jaksa Penuntut Umum, penasihat hukum tersangka, juga keluarga korban. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan 1. Perlunya dilakukan rekonstruksi adalah disebabkan bahwa untuk mengetahui kebenaran dari tindak pidana yang dipersangkakan harus ada relevansi keterangan terdakwa dengan alat bukti yang lain serta dengan barang bukti. Dengan demikian perlu direka ulang kejadiannya. 2. Rekontruksi dilaksanakan sesuai dengan urutan tindak pidana yang terjadi yang
8 8 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 dimulai dari tindakan persiapan, tindakan pelaksanaan dan penutup. 3. Kendala yang dihadapi penyidik dalam melaksanakan rekonstruksi adalah ketidaksiapan mental dari tersangka untuk memperagakan tindak pidana tersebut dilakukan, sikap antipati masyarakat terhadap tersangka ketika di lapangan dan dana operasional yang sangat terbatas serta kemungkinan lokasi rekonstruksi yang jauh dengan sarana transportasi yang masih terbatas pula. b. Saran 1. Perlu ditinjau kembali anggaran untuk pelaksanaan rekonstuksi, demikian juga harus diadakan sarana transport yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya demi kelancaran pelaksanaan rekonstruksi dalam perkaraperkara pidana tertentu. 2. Agar pihak kepolisian/penyidik membuat persiapan yang matang sebelum pelaksanaan rekonstruksi untuk menjaga agar pelaksanaan rekonstruksi tetap dapat berjalan dengan lancar walau dalam situasi dan kondisi yang rawan. 3. Agar penyidik mengikutsertakan peran psikolog untuk membantu tersangka menstabilkan kondisi mental dan jiwanya sebelum rekonstruksi dilaksanakan. Daftar Pustaka Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Tanpa Tahun. Hamid AT, Praktek Peradilan Perkara Pidana, CV. Al Ihsan, Surabaya, Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987 Markas Besar Kepolisian Indonesia, Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta, Simorangkir, JTC, Etwin Rudi T dan Prasetyo JT., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta,1983. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Catatan : Tulisan ini telah dipublikasi pada Jurnal : Habonaron Do Bona; Edisi 1, Maret 2012; ISSN :
Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana
1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian
Lebih terperinciPelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik
1 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Penyidikan suatu tindak pidana adalah merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya
Lebih terperinciMEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN
MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap
Lebih terperinciPeran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga
1 Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga Novelina MS Hutapea Dosen Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Dalam upaya penghapusan kekerasan
Lebih terperinciHukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual
Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta
Lebih terperinciPeranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak
1 Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Undang-undang Nomor 3
Lebih terperinciKEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA
KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini
Lebih terperinciKEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses
Lebih terperinciPERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008
1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam
Lebih terperinciKESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2
Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang
Lebih terperincidikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.
12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan
Lebih terperinciDengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian
Lebih terperinciALUR PERADILAN PIDANA
ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara
Lebih terperinciABSTRAK MELIYANTI YUSUF
0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan
Lebih terperinciBAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini
Lebih terperinciPERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli
Lebih terperinciBAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA
BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA A. Peraturan Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Penyidik Sebagai Dasar Hukum Untuk Melakukan Penanganan Tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akibat kemajuan teknologi baik dibidang informasi, politik, sosial, budaya dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap tujuan kuantitas dan kualitas tindak
Lebih terperinciMakalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN
Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang
Lebih terperinciBAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya
BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau dilanggar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciIV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. : Anggota Pembinaan dan Disiplin Bid Propam Polda Lampung
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Untuk memperoleh kesahihan penelitian dan gambaran objektif dari responden maka perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. 1.
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.790, 2014 BNPT. Perkaran Tindak Pidana Terorisme. Perlindungan. Saksi. Penyidik. Penuntut Umum. Hakim dan Keluarganya. Pedoman PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N
4 Nopember 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N SERI E NOMOR 3 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciPENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II UJUNG PANDANG
WALIKOTA MAKASSAR PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 2 TAHUN 1988 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II UJUNG PANDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan pemeriksaan oleh Ankum yang menangani pelanggaran disiplin.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidikan adalah merupakan kegiatan/proses yang dilakukan oleh penyidik kepada tersangka yang melakukan perbuatan pidana. Seseorang dapat dikatakan tersangka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG
GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan
Lebih terperinciBAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan
Lebih terperinciGUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN
GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan karena anak adalah generasi penerus pembangunan, yaitu generasi yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga
Lebih terperinciPERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK
Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan
Lebih terperinciBAB I BERKAS PENYIDIKAN
BAB I BERKAS PENYIDIKAN Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan, suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, namun untuk menentukan apakah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus pembangunan, yaitu generasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan
Lebih terperinciBAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.
22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan
Lebih terperinci