BAB II SIFAT DAN KEWENANGAN BPSK SEBAGAI QUASI PERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II SIFAT DAN KEWENANGAN BPSK SEBAGAI QUASI PERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN NASIONAL"

Transkripsi

1 BAB II SIFAT DAN KEWENANGAN BPSK SEBAGAI QUASI PERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN NASIONAL Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bukan lembaga pengadilan. Namun, merupakan lembaga semi atau quasi peradilan karena karakteristik tugas dan sifatnya serta kewenangannya yang bersifat mengadili, hal ini membuat BPSK harus dilihat sebagai bagian dari sistem peradilan dalam arti yang luas. Selain BPSK, ada beberapa lembaga yang memiliki karakteristik sebagai quasi peradilan, seperti Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Daerah (KIP dan KID), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Pada Bab ini yang menjadi fokus pembahasan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. A. Sistem Peradilan Nasional 1. Pengertian Sistem Peradilan Nasional Menurut Bagir Manan sistem peradilan dapat ditinjau dari 2 (dua) segi : 1 Pertama, segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan yang mencakup kelembagaan, sumber daya, tata cara, prasarana dan sarana. Kedua, proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara). Kelembagaan peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan susunan vertikal. Susunan horizontal menyangkut berbagai lingkungan badan peradilan, sedangkan susunan vertikal terkait dengan tingkat penyelesaian perkara dari tingkat pertama, banding dan kasasi. 1 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2004, h

2 13 Sistem peradilan ini didasarkan pada ketentuan pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan sebagai berikut: Ayat (1) Ayat (2) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 2. Kemandirian Lembaga Peradilan Berdasarkan asas yang terdapat pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman membutuhkan kebebasan dari segala bentuk pengaruh badan-badan dan pihak lain ekstra yudisial. 2 Sehubungan dengan pembahasan mengenai kemandirian lembaga peradilan di atas, Sudikno Mertokusumo memberikan makna tersendiri tentang kemandirian lembaga peradilan, yakni: 3 Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat di mana saja dan kapan saja. Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam/untuk memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau turun tangan kekuasaan ektrayudisial. Jadi pada dasarnya dalam/untuk memeriksa dan mengadili. Kecuali ini pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang 2 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2007, h Ibid., h. 14 dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Relevansi Penegakan Etika Profesi Bagi Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Makalah disampaikan dalam seminar 50 tahun Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia di UGM tanggal 26 Agustus 1995, h. 2.

3 14 bersangkutan maupun pihak ekstrayudisial yang boleh mencampuri jalannya sidang pengadilan. Hal ini berarti hakim bebas memeriksa dan bebas dalam mengadili. Bebas dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. 3. Lembaga-lembaga Peradilan di Indonesia Berdasarkan yang termuat pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiam pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dapat diketahui lembagalembaga peradilan, sebagai berikut : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pengaturan lebih lanjut mengenai kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun pada bab ini, penulis akan sedikit menguraikan mengenai lembaga-lembaga peradilan di atas tetapi lebih fokus menguraikan pada lembaga peradilan yang berkaitan langsung dengan proses penyelesaian sengketa konsumen, yaitu lingkungan peradilan umum. a. Lingkungan Peradilan Umum Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum memiliki hubungan dengan BPSK dalam proses penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Pasal 56 ayat (2) dan (4), Pasal 57, dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomer 8

4 15 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Ada 4 keterkaitan BPSK dengan lingkungan peradilan umum dilihat berdasarkan proses penyelesaiannya, sebagai berikut: 1) Para pihak yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, 4 dan selanjutnya jika para pihak masih keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut, dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 5 2) Apabila pelaku usaha menerima putusan atau tidak mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK, tetapi enggan melaksanakan kewajibannya, maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. 6 3) Putusan BPSK dimintakan penetapan eksekusi pada pengadilan negeri di tempat konsumen dirugikan. 7 4) Upaya penyelesaian sengketa melalui BPSK dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa selanjutnya gugatan melalui pengadilan dapat ditempuh. 8 4 Pasal 56 Ayat (2) UUPK jo. Pasal 41 Ayat (3) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/ Pasal 58 Ayat (2) UUPK 6 Pasal 56 Ayat (4) UUPK jo. Pasal 41 Ayat (6) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/ Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 Ayat (2) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/ Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen

5 16 Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menggolongkan keterkaitan BPSK dengan lingkungan peradilan umum menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, lihat uraian ke 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga) proses penyelesaian di BPSK sampai dengan selesai. Kedua, lihat uraian ke 4 (empat) proses penyelesaian di BPSK tidak selesai. Tolak ukur selesai atau tidak selesainya yang dimaksudkan adalah proses penyelesaian di BPSK dari awal sampai dikeluarkannya putusan majelis. b. Lingkungan Peradilan Agama Pengadilan di lingkungan peradilan agama merupakan pengadilan yang berjenjang, mulai dari pengadilan Pengadilan Agama tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama tingkat banding. Pengadilan Agama adalah organ kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama 9 yang berkedudukan di kotamadya atau kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kebupaten. 10 Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 11 Perkawinan, Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam, Wakaf dan shadaqah. Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan 9 Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum) 10 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. 11 Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

6 17 dalam lingkungan peradilan umum. 12 Tidak dibahas lebih lanjut karena tidak relevan dengan penelitian. c. Lingkungan Peradilan Militer Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata, 13 pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah perajurit; yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengaan Prajurit; anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Tidak dibahas lebih lanjut karena tidak relevan dengan penelitian. d. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama. Susunan pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris; dan pemimpin pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Umum. 12 Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1986 tentang Peradilan 13 Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

7 18 Sedangkan, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang: (a) memeriksa dan memutuskan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding; (b) memeriksa dan memutuskan mengadili antara pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya; (c) memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara. Lingkungan peradilan tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang terlibat sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata berhadapan dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 14 Tidak dibahas lebih lanjut karena tidak relevan dengan penelitian. Berdasarkan yang telah dipaparkan di atas terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak atau berakhir pada Mahkamah Agung. Di samping itu, sistem peradilan nasional masih mengenal peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Terjadinya perkembangan pada sistem peradilan di Indonesia juga dinyatakan oleh Abdul Halim Barkatulah, sebagai berikut : Pasa 1 butir 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undnag- Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 15 Abdul Halim Barkatullah, HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN: Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, Bandung: Nusa Media, 2008 (selanjutnya disingkat Abdul Halim II), h

8 19 Fenomena muculnya kelembagaan baru di dunia peradilan di Indonesia antara lain dibentuknya Pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, yang dalam hal ini juga dibentuk Pengadilan HAM ad hoc, juga muncul Komisi Yudisial, Pengadilan Korupsi ad hoc, Pengadilan Niaga, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan lain sejenisnya. Hal ini semua bertujuan membangun dunia peradilan yang bermartabat dan berperan secara anggun (elegan) sebagai bagian dari pembangunan bangsa. Berdasarkan pernyataan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa BPSK bukanlah lembaga kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung dengan kesatuan sistem peradilan yang bertingkat, sehingga upaya keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri seharusnya tidak dapat dilakukan mengingat putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat. 16 Namun, BPSK merupakan perkembangan peradilan di Indonesia dalam memberikan keadilan kepada konsumen 17 yang telah mengalami kerugian dengan jumlah yang tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan jika harus digugat di Pengadilan Negeri. B. Quasi Peradilan Di samping lembaga Pengadilan Umum yang dalam undang-undang secara tegas dan resmi disebut sebagai pengadilan, dewasa ini juga banyak tumbuh dan berkembang adanya lembaga-lembaga yang mesikipun tidak secara eksplisit sebagai pengadilan, tetapi memiliki kewenangan dan mekanisme kerja yang juga bersifat mengadili. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan, Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan 16 Vide Bab III. 17 Vide Bab IV.

9 20 kehakiman diatur dalam undang-undang. Ini merupakan dasar munculnya badan-badan baru yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman untuk membantu menjalankan tugas pokok dari lembaga peradilan utama. Oleh karena itu, badanbadan ini diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu perselisihan ataupun perkara pelanggaran hukum, dan bahkan perkara pelanggaran etika tertentu dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat (final dan binding) sebagaimana putusan pengadilan yang bersifat inkracht pada umumnya. Semua ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi para pihak yang dirugikan oleh suatu sistem pengambilan keputusan yang mengatasnamakan kekuasaan negara. Karena itu, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga yang bersifat mengadili tetapi tidak disebut sebagai pengadilan itu merupakan bentuk quasi pengadilan atau semi pengadilan. Beberapa di antaranya berbentuk komisi-komisi negara, tetapi ada pula yang menggunakan istilah badan atau pun dewan. Quasi judicial atau kuasi peradilan merupakan sebuah lembaga yang bertindak sebagai. Menurut blacks law dictionary yang disebut quasi adalah 18 : as if, this terms is used in legal pharaseology to indicate that one subject resembles another, with which it is compared, in certain characteristics but that there are intrinsic and material differences between them. Atau dengan kata lain, quasi merupakan sesuatu yang seolah-olah, yang biasanya istilah ini digunakan dalam bahasa hukum untuk menunjukkan suatu subjek dapat bertindak sebagai sesuatu berupa subjek lain. Ini erat kaitannya 18 Black, Henry Campbell, Black s Law Dictionary, Sixth Edition, U.S.: West Publishing Co, 1990, h

10 21 dengan quasi judicial yang berhubungan dengan pelaksanaan pengadilan. Menurut blacks law dictionary, yang dimaksud dengan quasi judicial adalah 19 : a term applied to the action, discretion, etc. Of public administrative officers, who are required to investigate facts, or ascertain the existence of fact, and draw conclusions from them. As a basis for their official action, and to exercise discretion of a judicial nature. Lembaga-lembaga ini, di samping bersifat mengadili, seringkali juga memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campuran dengan fungsi regulasi dan/ataupun fungsi administrasi. Fungsi regulasi dapat dikaitkan dengan fungsi legislatif menurut doktrin trias-politica Mostesquieu, sedangkan fungsi administrasi identik dengan fungsi eksekutif. Karena itu, komisi-komisi negara atau lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan mengadili ini dapat dikatakan merupakan lembaga yang memiliki fungsi campuran. 20 beberapa komisi dan badan yang memiliki kewenangan sebagai lembaga quasi peradilan di Indonesia, antara lain: 1) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU); 21 2) Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Komisi Informasi Daerah (KID); 22 3) Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu); 23 KPPU, misalnya, merupakan lembaga eksekutif yang melakukan fungsi pengawasan terhadap praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Namun, UU 19 Ibid. 20 Jimly Asshiddiqie, Putih Hitam Pengadilan Khusus, Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi Sekertariat Jenderal Komisi yudisial, 2013, h Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 22 Komisi ini dibentuk berdasarkan UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 23 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

11 22 memberikan kewenangan kepada lembaga pengawas persaingan usaha ini untuk bertindak sebagai penengah dan sekaligus pemutus atas setiap perselisihan mengenai persaingan usaha yang tidak sehat. 24 Dibentuknya lembaga ini mencerminkan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengendalikan sistem perekonomian Indonesia yang telah berkembang sangat bebas dan terbuka sebagai akibat kebijakan ekonomi yang diterapkan, 25 sehingga mekanisme pengawasan yang efektif atas pelbagai bentuk persaingan usaha yang tidak sehat harus dibentuk dengan infra-struktur kelembagaan yang bersifat semi yudisial. Komisi ini bersifat independen. 26 Alternatif putusan KPPU adalah telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap UUPU. KPPU wajib memutusakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan. 27 Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. 28 Namun, sebelum pelaku usaha diwajibkan melaksanakan putusan, ketentuan pada UUPU pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan. 29 Hal ini terlihat bahwa UUPU 24 Pasal 36 UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 25 Penjelasan umum UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 26 Pasal 30 ayat (2) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 27 Pasal 43 ayat (3) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 28 Pasal 44 ayat (1) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 29 Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

12 23 memberikan keadilan kepada pelaku usaha jika dalam putusan KPPU terdapat kesalahan dalam menerapkan hukum. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari dianggap menerima putusan. 30 Dengan demikian putusan KPPU bersifat final dan mengikat atau mempunyai kekuatan hukum tetap walaupun dalam ketentuan tidak disebutkan secara jelas. Komisi Informasi ini dibentuk berdasarkan UU tentang Keterbukaan Informasi Publik. Siapa saja dapat meminta kepada pejabat penyelenggara negara mengenai segala jenis informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang pejabat, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas dikecualikan menurut ketentuan UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU ini menentukan bahwa segala jenis informasi yang berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan negara adalah milik publik, kecuali yang harus dirahasiakan karena jabatan dan jenis informasi lain yang sengaja dikecualikan menurut undang-undang ini. Apabila sudah diminta sebagaimana mestinya, pejabat yang bersangkut tetap tidak memberikan informasi itu, maka terhadap pejabat tersebut dapat dikenakan tuntutan pidana dengan ancaman pidana penjara. Putusan Komisi Informasi yang berasal dari kesepakatan melalui Mediasi bersifat final dan mengikat. 31 Contoh lain dari lembaga yang juga mempunyai kedudukan sebagai lembaga peradilan semu atau quasi pengadilan adalah Badan Pengawas Pemilu. Lembaga ini tidak disebut dengan istilah Komisi Negara, melainkan Badan. 30 Pasal 44 ayat (3) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 31 Pasal 39 UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

13 24 Sebelumnya, ketika pertama kali dibentuk berdasarkan UU Pemilu dalam rangka penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2009, lembaga Bawaslu ini juga tidak memiliki kewenangan quasi peradilan sama sekali. Namun, dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditentukan bahwa Badan Pengawas Pemilu ini memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pemilu dengan putusan yang bersifat final dan mengikat bagi Komisi Pemilihan Umum, kecuali untuk keputusan yang terkait dengan verifikasi partai politik dan penetapan Calon sebagaimana dikecualikan dari sifat final dan mengikat itu menurut undang-undang. 32 Di samping lembaga-lembaga quasi peradilan tersebut di atas, banyak lagi lembaga yang dapat dipandang sebagai lembaga semi atau quasi peradilan atau peradilan semu. Lembaga-lembaga quasi peradilan ini kadang-kadang dipandang sebagai lembaga yang berada dalam ranah eksekutif, bukan lembaga yudikatif. Tetapi, cara kerja dan dampak dari keberadaanya bagaimana pun juga harus tetap dipandang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan keperluan membangun suatu sistem keadilan dan peradilan yang bersifat terpadu, tidak dapat tidak fungsi lembaga-lembaga quasi peradilan ini tidak dapat dipisahkan dari cabang kekuasaan kehakiman. 33 Dapat juga dikatakan bahwa lembaga quasi-peradilan ini pada umumnya bersifat campuran dalam arti memiliki kewenangan campuran antara fungsi administrasi atau eksekutif, fungsi regulasi atau legislative, dan fungsi mengadili 32 Pasal 259 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 33 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., h. 16.

14 25 atau yudikatif. Kadang-kadang campuran 2 fungsi dan kadang-kadang ada juga yang campuran 3 fungsi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), misalnya, diberi kewenangan oleh UU untuk membuat regulasi dalam rangka menjabarkan ketentuan undang-undang sebagai legislative acts. Pada saat yang bersamaan, KPPU juga diberi kewenangan oleh UU untuk melaksanakan sendiri atau menjadi administrator langsung semua ketentuan undang-undang dan termasuk peraturanperaturan yang dibuatnya sendiri dalam rangka pengawasan persaingan usaha yang sehat. Tetapi, KPPU juga ditentukan oleh UU merupakan lembaga yang harus berdiri sebagai pengadilan untuk memeriksa sengketa persaingan usaha dan memberi kesempatan para pihak untuk membuktikan atau pun membela diri dengan kontra bukti, serta menjatuhkan sanksi yang mengikat bagi pihak yang terbukti bersalah. Dengan demikian, lembaga ini jelas memiliki fungsi campuran, mulai dari sebagai regulator, administrator, dan bahkan adjudicator yang bersifat quasi-yudisial. 34 Semua lembaga-lembaga tersebut dalam praktik di pelbagai negara seperti Amerika dan negara-negara common law memiliki kewenangan-kewenangan yang sangat bervariasi. 35 Apabila disederhanakan, dapat dikemukakan adanya enam macam kekuasaan yang menentukan apakah suatu lembaga negara dapat dikatakan merupakan lembaga quasi peradilan. Keenam macam kekuasaan itu adalah: Ibid. 35 Ibid. 36 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., h.17 dikutip dari pertimbangan putusan Pengadilan Texas dalam kasus Perdue, Brackett, Flores, Utt & Burns versus Linebarger, Goggan, Blair, Sampson & Meeks, L.L.P., 291 s.w. 3d 448.

15 26 1) Kekuasaan untuk memberikan penilaian dan pertimbangan. (The power to exercise judgement and discretion); 2) Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta dan untuk membuat putusan. (The power to hear and determine or to ascertain facts and decide); 3) Kekuasaan untuk membuat amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat sesuatu subjek hukum dengan amar putusan dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. (The power to make binding orders and judgements); 4) Kekuasaan untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per orang. (The power to affect the personal or property rights of private persons); 5) Kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan. (The power to examine witnesses, to compel the attendance of witnesses, and to hear the litigation of issues on a hearing); dan 6) Kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman. (The power to enforce decisions or impose penalties). Keenam kekuasaan atau ciri-ciri di atas dapat digunakan untuk membantu melihat suatu lembaga baru adalah lembaga quasi peradilan. Oleh karena itu, sangat penting bagi penulis untuk menggunakan ciri-ciri untuk membuat kesimpulan bahwa BPSK adalah lembaga quasi peradilan.

16 27 C. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Berkedudukan Sebagai Lembaga Quasi Peradilan di Indonesia Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali. Konsekuensi dari 4 (empat) kali amandemen UUD 1945 salah satunya adalah lahirnya states auxiliary bodies yang merupakan wajah baru dalam ketatanegaraan Indonesia, hal ini dapat dikatakan bagian dari penerapan sharing of power. Istilah states auxiliary bodies dipadankan dengan lembaga yang melayani, lembaga penunjang, lembaga bantu, dan lembaga pendukung. Istilah tersebut diberikan sebagai pembeda dari lembaga negara utama. 37 State auxiliary bodies dalam implemantasinya saat ini dikenal dengan Komisi-Komisi, Lembagalembaga atau sejenisnya, saat menurut hasil kajian Lembaga Administrasi Negara tercatat lembaga states auxiliary bodies, sementara untuk jumlah kementerian saat ini adalah 34 dan LPNK (Lembaga Pemerintahan Non Kementerian) yang berjumlah Pembentukan lembaga bantu ini memiliki dasar hukum yang berbeda-beda yaitu ada yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU), serta Keputusan Presiden (Keppres). Bila dicermati lebih jauh, ada beragam alasan yang melatarbelakangi lahirnya lambaga bantu ini. Sebagai contoh, pembentukan BPSK melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebabkan karena penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga peradilan terutama pada lingkungan peradilan umum terlalu lama dan 37 Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenanga Antara Lembaga Negara, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005, h Media Indonesia, edisi 11 mei 2010, kolom fokus, h Data kedeputi Bidang Kelembagaan Kementerian PAN & RB, 2011.

17 28 menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Hal ini tidak sesuai jika konsumen mengalami kerugian yang kecil. Lembaga negara bantu (state auxiliary bodies) adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas tugas lembaga negara pokok (eksekutif, legislatif dan yidikatif) yang sering disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi). 40 Lembaga negara pokok ini dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian berdasarkan konsep trias politica 41 kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut sudah dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. 42 Maka negara membentuk lembaga negara baru yang dapat membantu melaksanakan tugas lembaga negara pokok. Lembaga-lembaga baru tersebut dapat berupa dewan (council), komisi (Commission), komite (Committee), badan (board), atau otoritas (authority). 43 Dilihat dari nama dan bentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sudah sangat jelas bahwa kedudukan BPSK adalah sebagai quasi peradilan. Keberadaannya penting untuk membantu melaksanakan tugas dari pengadilan dalam menyelesaiakan sengketa terutama sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. keberadaan BPSK ini juga akan menyederhanakan proses penyelesaian sengketa dan memberikan keuntungan kepada konsumen yang ingin 40 Kurniawan, HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN: Problematika Kedudukan dan Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengekta Konsumen (BPSK), Malang: Universitas Brawijaya Press, 2011, h Trias politica dikemukakan oleh Montesquieu ( ) yang membedakan tiga fungsi otoritas publik, yaitu: pembentukan Undang-undang (legislatif), pemerintah (eksekutif), dan peradilan (yudikatif). Lihat ibrahim R, Pengawasan Konstitusional Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif Dalam Sistem Pemerintahan Amerika Serikat, Bali: Universitas Udayana, 2000, h Kurniawan, Op.Cit., h Ibid.

18 29 melakukan gugatan yang kecil, tidak sebanding jika harus digugatkan melalui pengadilan negeri. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan meyelesaiakan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. 44 adapun tugas dan kewenangan BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, 44 Pasal 1 butir 11 Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindunga Konsumen

19 30 yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Melihat ketentuan di atas tentang BPSK dapat diketahui bahwa tugas dan kewenangannya merupakan tugas dari lembaga-lembaga peradilan 45 yaitu tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum in concreto (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. 46 Namun, di dalam sistem peradilan kedudukan BPSK bukan sebagai lembaga peradilan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga peradilan utama 47 menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tetapi memiliki keterkaitan. Dengan demikian, BPSK merupakan lembaga negara bantu dalam bidang peradilan atau sering disebut quasi peradilan. 45 Kurniawan. Op.Cit., h pada 16 Maret 2016 pukul WIB. 47 Pasal 18 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaab Kehakiman diakses

20 31 Seperti yang telah dikemukakan diatas, BPSK sebagai quasi peradilan ini sangat konstitusional, Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Perkataan diatur dalam undang-undang itu menurut Jimly Asshiddiqie menunjukan bahwa: Undang-undang yang dimaksud tidak perlu bersifat khusus, seperti undang-udang kejaksaan, UU tentang Kepolisian, dan sebagainya. Artinya, ketentuan mengenai badan-badan lain yang dimaksud diatas, cukup diatur dalam undang-undang apa saja yang meteri tercampur dengan materi undang-undang lainnya. Misalnya, UU tentang Perpajakan dapat saja mengatur keberadaan suatu lembaga baru bernama Pengadilan Pajak. UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat saja mengatur pembentukan lembaga baru bernama Komisi Pemberantasan Korupsi yang fungsinya berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman. Selain yang telah diuraikan di atas, berikut merupakan uraian yang menyatak bahwa BPSK adalah quasi peradilan. Dihubungkan dengan tugas dan kewenangan BPSK yang terdapat pada Pasal 52 UUPK terdapat kewenangankewenangan yang membuat membuat BPSK dapat dikatakan sebagai quasi peradilan; Dijelaskan demikian, Pertama, kekuasaan untuk memberikan penilaian dan pertimbangan terdapat pada Pasal 52 huruf (k) berbunyi memutusakan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian dipihak konsumen. Kedua, Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta dan untuk membuat putusan terdapat pada Pasal 52 huruf (h) berbunyi memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini dan (j) berbunyi mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

21 32 Selanjutnya yang ketiga, kekuasaan Kekuasaan untuk membuat amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat sesuatu subjek hukum dengan amar putusan dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya terdapat pada Pasal 52 huruf (l) berbunyi memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Keempat, kekuasaan untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per orang terdapat pada Pasal 52 huruf (c) berbunyi melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Kekuasaan yang kelima adalah untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan terdapat pada Pasal 52 huruf (i) berbunyi meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen. Terakhir, kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman terdapat pada pasal 52 huruf (m) berbunyi menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini dan sifat putusan BPSK final dan mengikat. Namum, pada kekuasaan yang terakhir ini UUPK setengah-setengah dalam memberikan kewenangan kepada BPSK karena harus dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen dirugikan Pasal 57 Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindunga Konsumen

22 33 D. Perbandingan Badan Perlindungan Sengketa Konsumen dengan Small Claim Court Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak dikenal dalam sistem peradilan sebagai lembaga peradilan utama melainkan merupakan quasi peradilan yang membantu mejalankan tugas dan kewenagan lembaga peradilan utama secara khusus dalam penyelesaian sengketa konsumen. Sekilas saat melihat proses penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang sederhana, cepat dan biaya murah sama dengan Small Claim Court, namun saat melihat secara keseluruhan BPSK tidak sama dengan Small Claim Court. Hal ini juga didukung dengan pendapat Yusuf Shofie yang menyatakan bahwa, BPSK didesain bukan sebgai pengadilan, tidak ada hakim, tidak ada kewenangan untuk melakukan eksekusi putusan. BPSK bukan Small Claim Court, mungkin mirip Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Pasal 1 butir 11 Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindunga Konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan meyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK diharapkan dapat menjadi tempat untuk mencari keadilan dalam bersengketa, terutama bagi konsumen yang mengalami kerugian akibat dari pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, namun nilai kerugian yang kecil 49 Yususf Shofie, Optimalisasi Peran badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Konsumen di Tengah Terjadinya Disharmonisasi Pengaturan, Seminar dalam rangka Penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) I, 2013, h. 4.

23 34 sehingga konsumen tidak mungkin menggugatnya melalui pengadilan karena tidak sebanding antara nilai kerugian dengan biaya perkara. Seperti yang telah dipaparkan penulis pada Bab sebelumnya, BPSK sangat sesuai untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan nilai kerugian yang kecil karena penyelesaian sengketa yang dilakukan secara cepat, mudah dan biaya murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputuskan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Mudah karena prosedur administrasi dan proses pengambilan keputusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. berdasarkan hal tersebut BPSK dapat dikatakan mirip dengan lembaga Small Claim Court. Setiap kota dan kabupaten harus dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pembentukan ini berdasarkan pada Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi, Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II. BPSK diresmikan pertama kali pada tahun 2001, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintahan Kotaa Medan, Kota Bandung, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar. Pada tahun 2004, terbentuk BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten dengan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2004 yaitu di Kota Kupang, Kota

24 35 Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota Palangkaraya, dan pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Jeneponto. Selanjutnya, pada tanggal 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 yang menjadi dasar terbentuknya BPSK di Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tangerang. Pada tahun 2006, Pemerintah membentuk BPSK sebagaiman tertuang pada Keputusan Presiden No. 23 Tahun Kepres ini membentuk BPSK di Kota Pekalongan, Parepare, Pekan baru, Denpasar, Batam, Kabupaten Aceh Utara, dan Kabupaten Serang Bedagai. Pembentukan BPSK terbaru pada tahun 2013 oleh pemerintah dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 Tahun Kepres ini membentuk BPSK di Kabupaten Bone Bolango, Kabuoaten Gorontalo, Kabupaten Goronlato Utara, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Langkat, Kota Padang Panjang, Kota Bekasi, Kota Pemantangsiantar, dan Kota Salatiga. Menurut ketentuan Pasal 90 Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001, biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Timbul pertanyaan yang sangat mendasar adalah bagaimana jika tempat tinggal konsumen yang dirugikan belum terbentuk BPSK? menurut penulis ada 2 cara yang dapat ditempuh konsumen yang dirugikan, sebagai berikut:

25 36 1) Konsumen dapat datang ke kota terdekat yang telah terbentuk BPSK. Hal ini karena Kepres tersebut tidak mencantumkan pembatasan wilayah yuridiksi BPSK, sehingga menurut Susanti Adi Nugroho konsumen dapat mengadukan masalahnya pada BPSK mana saja yang dikehendaki. Hal ini merupakan upaya untuk memudahkan konsumen menjangkau BPSK. 50 2) Konsumen dapat menyelesaikan sengketanya melalui Dinas yang membidangi perdagangan. Berdasarkan Surat Edaran No. 40/PDN/SE/02/2010 Tentang Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen, jika terdapat kabupaten/kota yang belum terbentuk BPSK maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui Dinas yang membidangi perdagangan pada kabupaten/kota yang belum terbentuk BPSK. Dinas Tersebut dapat melakukan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi. Berdasarkan Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) UUPK, keanggotaan BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha, dengan ketentuan bahwa setiap unsur diwakili oleh sedikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Sehingga jumlah anggota BPSK minimal 9 (sembilan) orang dan maksimal 15 (lima belas) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 50 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 77.

26 37 Persyaratan untuk menjadi anggota BPSK telah diatur dalam Pasal 49 ayat (2) UUPK, namun persyaratan secara khusus untuk menjadi anggota BPSK sebagai berikut: 51 1) Diutamakan calon yang bertempat tinggal di daerah kabupaten/kota setempat. 2) Diutamakan calon yang berpendidikan serendah-rendahnya Setrata 1 atau sederajat dari lembaga pendidikan yang telah diakreditasi oleh Departemen Pendidikan Nasional. 3) Berpengalaman dan/atau berpengetahuan di bidang industri, perdagangan, kesehatan, pertambangan, pertanian, kehutanan, perhubungan, dan keuangan. 4) Anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah serendah-rendahnya berpangkat Pembina atau golongan IV/a. 5) Calon anggota BPSK dari unsur konsumen tidak berasal dari kantor cabang atau perwakilan LPKSM. Ketentuan pada Pasal 50 UUPK, kelembagaan BPSK setelah terpilih anggota, kemudian diisi struktur organisasi yang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang dalam pelaksanaan tugas dibantu oleh sekertariat yang terdiri dari kepala sekertariat dan anggota sekertariat. Pengangkatan dan pemberhentian sekertariat BPSK ditetapkan oleh Menteri. 51 Pasal 6 ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 301/MPP/Kep/10/2001 tentang pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekertariatan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

27 38 Mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

28 39 l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian terdapat 2 fungsi strategis dari BPSK. Sebagai berikut: 52 a. BPSK berfungsi sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (one-sided standard from contract) oleh pelaku usaha (pasal 52 huruf (c) UUPK). Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan keseimbangan kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen. jadi, tidak hanya klausula baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha swasta atau perusahaan-perusahaan swasta saja, tetap juga pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan milik negara Melihat pada ketentuan Pasal 52 huruf (b), (c), (e), selain bertugas menyelesaikan masalah sengketa konsumen BPSK juga bertugas memberikan konsultasi perlindungan konsumen, bentuk konsultasinya adalah sebagai berikut: 53 1) Memberikan penjelasan kepada konsumen atau pelaku usaha tentang hak dan kewajibannya masing-masing. 2) Memberikan penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha. 52 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h Abdul Halim Barkatullah,Op.Cit., h. 90.

29 40 3) Memberikan penjelasan tentang bagaimana memperoleh pembelaan dalam hal penyelesaian sengketa konsumen. 4) Memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa konsumen. Selain memiliki tugas konsultasi seperti diatas, BPSK juga memiliki tugas pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran ketentuan perlindungan konsumen, serta berbagai tugas dan kewenangan lainnya yang terkait dengan pemeriksaan pelaku usaha diduga melanggar UUPK. Menurut UUPK, para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa kosumen adalah kalangan konsumen, pelaku usaha, dan/atau pemerintah (yang bergerak dalam penyediaan barang dan/atau jasa kebutuhan masyarakat), serta majelis dari BPSK. Perlu dibedakan dengan penyelesaian sengketa di pengadilan yang pihaknya dimungkinkan kelompok konsumen (class action), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah dan/atau instansi terkait 54 Pelanggaran dalam sengketa konsumen adalah pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh para pelaku usaha terhadap hak serta harkat dan martabat konsumen yang berakibat negatif bagi konsumen ketika konsumen memakai atau menikmati barang atau jasa dari pelaku usaha. Pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha yang dapat dijadikan dasar permohonan penyelesaian sengketa bisa 54 Pasal 46 ayat (1) huruf (a), (b), (c), dan (d) jo. Pasal 46 ayat (2) yang berbunyi : "Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen, atau pemerintah...diajukan ke peradilan umum" Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

30 41 berupa pelanggaran terhadap larangan memproduksi produk atau menyediakan jasa yang dilarang dalam Pasal 8 ayat (1) UUPK, tindakan pelaku usaha memanipulasi produk atau jasa, menawarkan barang dengan informasi yang menyesatkan, melelang/obral dengan cara mengelabui konsumen, menawarkan dengan janji palsu untuk memberi hadiah ke konsumen, pelanggaran janji pelayanan prestasi lewat pesanan, pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku yang diatur UUPK 55, dan/atau memonopoli dan melakukan persaingan usaha tidak sehat. Pengajuan permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh konsumen secara tertulis atau lisan pada Sekretariat BPSK yang terdekat dengan domisili konsumen 56. Bisa diajukan oleh ahli waris atau kuasanya bilamana konsumen meninggal dunia, sakit atau berusia lanjut (dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti KTP), atau konsumen belum dewasa 57. Bila konsumen yang memohon adalah WNA, maka permohonan tertulis diajukan ke sekretariat BPSK. Jika lisan, maka sekretariat BPSK akan mencatatkannya dalam formulir khusus yang dibubuhi tanggal dan nomor registrasi 58. Menurut Pasal 17 Kepmenperindag, jika permohonan tidak lengkap (tidak sesuai Pasal 16 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 jo. Pedoman Operasional BPSK yang dikeluarkan Dirjen 55 Klausula baku menurut UUPK adalah "Setiap peraturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen". Happy Susanto menjelaskan bahwa ketentuan klausula baku ini dibuat oleh produsen selaku pelaku usaha yang bertujuan untuk memanupulasi perjanjian agar menguntungkan pihaknya. Klausula ini tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lain, akibatnya konsumen yang kedudukannya kurang dominan biasanya tak dapat bernegosiasi dan terpaksa menerima begitu saja. Lihat dalam Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008, h Pasal 2 jo Pasal 15 ayat (1) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/ Pasal 15 ayat (3) sub d Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/ Ibid.

31 42 Perlindungan Konsumen Depdagri) atau bukan merupakan kewenangan BPSK 59 maka ketua BPSK dapat menolak permohonan itu. Jika sudah memenuhi persyaratan dan diterima oleh BPSK, maka ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara tertulis lewat sebuah surat pemanggilan yang disertai lampiran permohonan konsumen dan pemberitahuan kewajiban pelaku usaha untuk menyusun jawaban bagi konsumen untuk diajukan di sidang pertama paling lambat tiga hari kerja sejak permohonan diterima. Jika di hari yang ditentukan si pelaku usaha tidak hadir maka sebelum tiga hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi. Jika tetap tidak hadir tanpa alasan sah maka BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha. 60 Jika pelaku usaha hadir, konsumen memilih cara penyelesaian sengketanya dengan persetujuan bersama pelaku usaha. Penyelesaian sengketa di BPSK tidak berjenjang, jadi pihak bersengketa bebas pilih salah satu dengan obligasi untuk menaati dan mengikuti cara yang telah disepakati. Persidangan pertama dilaksanakan paling lambat tujuh hari kerja sejak permohonannya diterima. Tiga cara persidangan di BPSK menurut Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 s.d. 36 SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 adalah konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. 61 Tahap akhir adalah tahap putusan. Putusan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan. 59 Pengaduan pelanggaran UUPK dianggap bukan kewenangan BPSK bila: 1). Tergugatnya adalah lembaga pemerintah baik sipil maupun militer, 2). Barang atau jasa yang dikonsumsi secara hukum dilarang diproduksi atau diperjualbelikan (mis. narkoba, benda bersejarah milik negara, prostitusi, dsb.), 3). Kasus pidana oleh pelaku usaha. Lihat di Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm Pasal 52 huruf (i) UUPK jo. Pasal 3 huruf (i) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/ Vide, Bab III C

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Sengketa Konsumen Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan telah

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK. OLEH: DENICO DOLY S.H., M.Kn.

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK. OLEH: DENICO DOLY S.H., M.Kn. LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK OLEH: DENICO DOLY S.H., M.Kn. PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2016 EXECUTIVE SUMMARY Pasal

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.291, 2017 KEMENDAG. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/M-DAG/PER/2/2017 TENTANG BADAN PENYELESAIAN

Lebih terperinci

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK A. Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Ketentuan Berproses Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Lebih terperinci

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen Konsumen yang merasa hak-haknya telah dirugikan dapat mengajukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 12 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen yang seharusnya dimiliki dan diakui oleh pelaku usaha 2. Oleh karena itu, akhirnya naskah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh : FAUZUL A FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR kamis, 13 April 2011 BAHASAN Keanggotaan Badan Penyelesaian sengketa konsumen Tugas dan wewenang badan penyelesaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 301/MPP/Kep/10/2001 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 301/MPP/Kep/10/2001 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 301/MPP/Kep/10/2001 TENTANG PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN ANGGOTA DAN SEKRETARIAT BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

MENGGUGAT SIFAT FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

MENGGUGAT SIFAT FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) MENGGUGAT SIFAT FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

BAB II PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB II PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAB II PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian Sengketa Konsumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak memberikan batasan apakah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh: Daniel Mardika I Gede Putra Ariyana Hukum Perdata Fakultas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci