RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTk-RHL DAS) TAHUN WILAYAH BPDAS MAHAKAM BERAU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTk-RHL DAS) TAHUN WILAYAH BPDAS MAHAKAM BERAU"

Transkripsi

1 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MAHAKAM BERAU RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTk-RHL DAS) TAHUN WILAYAH BPDAS MAHAKAM BERAU SAMARINDA, DESEMBER 2014

2 PETA SITUASI WILAYAH BPDAS MAHAKAM BERAU RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun ii

3 KATA PENGANTAR Review Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL-DAS) Pada Tahun 2014 ini dilakukan dalam rangka pemuktahiran (up dating) terhadap RTk RHL-DAS yang pernah disusun. Review ini dilakukan seiring dengan terjadinya perubahan kondisi kekritisan lahan serta perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau. RTk RHL-DAS ini disusun untuk daratan, kawasan mangrove dan sempadan pantai, maupun kawasan rawa gambut di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau pada 31 SWP DAS (478 DAS) yang secara administratif terletak di wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Hasil dari pelaksanaan review RTk RHL-DAS ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi provinsi/kabupaten/kota di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dalam penyusunan atau review Rencana Pengelolaan RHL (RP RHL) maupun Rencana Tahunan (RTn RHL). Kepada semua pihak yang telah berperan dalam proses review RTk RHL-DAS ini kami ucapkan terima kasih. Semoga hasil review RTk RHL-DAS ini dapat memberikan manfaat bagi para pihak yang memerlukannya. Samarinda, Desember 2014 Kepala Balai, Ir. Irwansyah Windu Asmoro, M.Si NIP RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun ix

4 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i PETA SITUASI... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii SK. TIM PENYUSUN... iv KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xxiii RINGKASAN EKSEKUTIF... xxiv I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Maksud dan Tujuan... 3 C. Ruang Lingkup... 3 D. Pengertian... 3 E. Sistematika II. METODOLOGI A. Persiapan B. Pengumpulan Data C. Bagan Alir Penyusunan RTk RHL DAS Daratan Mangrove/Sempadan Pantai Kawasan Bergambut D. Pembuatan Land Mapping Unit (LMU) Daratan Mangrove/Sempadan Pantai Kawasan Bergambut E. Survey Identifikasi Model/Kegiatan RHL Metode Vegetatif dan Teknik Sipil RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun x

5 DAFTAR ISI (LANJUTAN) Halaman F. Ground Check LMU G. Penyusunan Matrik Rencana Teknik RHL (MRT RHL) III. KEADAAN UMUM DAS A. Keadaan Biofisik Daratan a. Letak, Luas dan Bentuk DAS b. Iklim c. Tanah dan Geologi d. Geomorfologi e. Topografi dan Bentuk Wilayah f. Hidrologi dan Prasarana Pengairan g. Keadaan Vegetasi/Penutupan Lahan h. Tingkat Kerusakan Lahan Mangrove/Sempadan Pantai a. Sebaran dan Kondisi Mangrove tiap Fungsi Kawasan b. Sebaran dan Kondisi Sempadan Pantai tiap Fungsi Kawasan c. Penggunaan Lahan d. Land System Kawasan Bergambut a. Sebaran Kawasan Bergambut b. Kondisi Kekritisan Kawasan Bergambut c. Ketebalan dan Kedalaman Tanah Gambut d. Kematangan Gambut B. Keadaan Sosial Ekonomi Kependudukan Mata Pencaharian dan Pendapatan Pemilikan dan Penggunaan Lahan Pola Usaha Tani dan Produksi Pertanian RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xi

6 DAFTAR ISI (LANJUTAN) Halaman 5. Pendidikan Sarana dan Prasarana Perekonomian Sarana Transportasi C. Deskripsi Identifikasi dan Inventarisasi Kelembagaan Kelembagaan Pemerintah Kelembagaan Masyarakat D. Hasil Ground Check LMU Terpilih dan Identifkasi Model 81 Kegiatan RHL-Teknik Sipil IV. PERMASALAHAN A. Erosi dan Sedimentasi Erosi Tingkat Bahaya Erosi Sedimentasi B. Hidrologi Fluktuasi Aliran Air Banjir dan Kekeringan Sumber Mata Air C. Kawasan Mangrove, Pantai, Rawa dan Kawasan Bergambut D. Sosial Ekonomi dan Kelembagaan V. HASIL ANALISIS A. Penyusunan Land Mapping Unit Daratan Mangrove dan Sempadan Pantai Kawasan Bergambut B. Penentuan Rencana Teknik RHL-DAS Daratan Mangrove dan Sempadan Pantai Kawasan Bergambut VI. RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xii

7 DAFTAR ISI (LANJUTAN) Halaman A. Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan Daratan a. Indikator dan Parameter b. Jenis dan Volume Perlakuan/Kegiatan c. Kondisi Kini dan Kondisi Harapan Mangrove dan Sempadan Pantai a. Indikator dan Parameter b. Jenis dan Volume Perlakuan/Kegiatan c. Kondisi Kini dan Kondisi Harapan Kawasan Bergambut a. Indikator dan Parameter b. Jenis dan Volume Perlakuan/Kegiatan c. Kondisi Kini dan Kondisi Harapan B. Rencana Pengendalian Erosi dan Sedimentasi Indikator dan Parameter Jenis dan Volume Perlakuan/Kegiatan Kondisi Kini dan Kondisi Harapan C. Rencana Pengembangan Sumber Daya Air Daratan a. Indikator dan Parameter b. Jenis dan Volume Perlakuan/Kegiatan c. Kondisi Kini dan Kondisi Harapan Kawasan Bergambut a. Indikator dan Parameter b. Jenis dan Volume Perlakuan/Kegiatan c. Kondisi Kini dan Kondisi Harapan D. Rencana Pengembangan Kelembagaan E. Rencana Kegiatan RHL Dalam Kawasan Hutan RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xiii

8 DAFTAR ISI (LANJUTAN) Halaman a. Hutan Konservasi b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi Luar Kawasan Hutan a. Fungsi Lindung b. Fungsi Budidaya F. Pembiayaan Sumber Pembiayaan Analisis Fisik dan Pembiayaan Kegiatan RHL Per Sumber Anggaran VII. RENCANA MONITORING DAN EVALUASI VIII. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xiv

9 DAFTAR TABEL Halaman Tabel II.1. Sebaran Poligon Vegetasi Mangrove pada Peta Land System se-indonesia Tabel II.2. Tekstur Tanah dan Kerawanan Pantai Terhadap Abrasi 19 Tabel II.3. Simbol/Kodefikasi Peta-Peta Input Penyusun LMU RTk RHL- DAS Daratan. 27 Tabel II.4. Simbol/Kodefikasi Peta-Peta Input Penyusun LMU RTk RHL- DAS Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai.. 28 Tabel II.5. Simbol/Kodefikasi Peta-Peta Input Penyusun LMU RTk RHL- DAS Kawasan Bergambut.. 29 Tabel II.6. Kodefikasi Rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Wilayah Daratan Tabel II.7. Kodefikasi Rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Teknik Sipil untuk Wilayah Daratan Tabel II.8. Kodefikasi Rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Tabel II.9. Kodefikasi Rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Kawasan Bergambut Tabel III.1. Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau berdasarkan Administrasi Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tabel III.2. Luas dan Bentuk DAS di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau.. 35 Tabel III.3. Keadaan Iklim di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau.. 36 Tabel III.4. Ordo Tanah (Taksonomi Tanah) di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tabel III.5. Formasi Geologi Penting di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xv

10 DAFTAR TABEL (LANJUTAN) Halaman Tabel III.6. Geomorfologi (Bentuk Lahan) di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tabel III.7. Ketinggian Beberapa Kota dari Permukaan Laut di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tabel III.8. Kelas Ketinggian Tempat di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tabel III.9. Kelas Kemiringan Lereng di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.. 42 Tabel III.10. Nama-Nama Danau di Provinsi Kalimantan Timur 43 Tabel III.11. Nama-Nama Gunung/Bukit di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tabel III.12. Nama dan Panjang Sungai di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tabel III.13. Prasarana Pengairan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel III.14. Luas Lahan Kritis di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau 56 Tabel III.15. Sebaran dan Kondisi Mangrove di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel III.16. Sebaran Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel III.17. Jenis Penutupan Lahan pada Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau.. 63 Tabel III.18. Sebaran Land System pada Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau.. 67 Tabel III.19. Sebaran Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau 68 Tabel III.20. Tingkat Kekritisan Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel III.21. Sebaran Ketebalan Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja Mahakam Berau RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xvi

11 DAFTAR TABEL (LANJUTAN) Halaman Tabel III.22. Kematangan Gambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel III.23. Kematangan Gambut Menurut Fungsi Kawasan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel III.24. Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tabel III.25. Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. 77 Tabel III.26. Data Panjang Jalan di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. 79 Tabel IV.1. Kelas Erosi di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau. 89 Tabel IV.2. Tingkat Bahaya Erosi di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau. 89 Tabel IV.3. Nilai Indeks Erosi di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau. 90 Tabel IV.4. Muatan Sedimen di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau 91 Tabel IV.5. Kejadian Banjir di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. 93 Tabel V.1. Jumlah dan Luas LMU Terpilih untuk Daratan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel V.2. Jumlah dan Luas LMU Terpilih untuk Ekosistem Mangrove di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau 99 Tabel V.3. Jumlah dan Luas LMU Terpilih untuk Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel V.4. Jumlah dan Luas LMU Terpilih untuk Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel V.5. MRT RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Daratan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau 109 Tabel V.6. Deskripsi Rekomendasi Teknik Kegiatan RHL-DAS Metode Vegetatif pada Wilayah Daratan RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xvii

12 DAFTAR TABEL (LANJUTAN) Halaman Tabel V.7. MRT RHL-DAS Metode Teknik Sipil untuk Daratan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel V.8. MRT RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Ekosistem Mangrove di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau 114 Tabel V.9. Deskripsi Rekomendasi Teknik Kegiatan RHL-DAS Metode Vegetatif pada Ekosistem Mangrove Tabel V.10. MRT RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel V.11. Deskripsi Rekomendasi Teknik Kegiatan RHL-DAS Metode Vegetatif pada Sempadan Pantai Tabel V.12. MRT RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel V.13. Deskripsi Rekomendasi Teknik Kegiatan RHL-DAS Metode Vegetatif pada Kawasan Bergambut Tabel V.14. MRT RHL-DAS Metode Teknik Sipil untuk Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel VI.1. Indikator dan Parameter Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan Daratan Tabel VI.2. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan untuk Daratan dalam Kawasan Hutan di Wilayah Kerja 122 BPDAS Mahakam Berau Tabel VI.2.1. Reboisasi. 124 Tabel VI.2.2. Reboisasi Pengkayaan Tabel VI.3. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan untuk Daratan Luar Kawasan Hutan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel VI.3.1. Hutan Rakyat Intensif (HR Intensif) Tabel VI.3.2. Hutan Rakyat Pengkayaan (HR Pengkayaan) Tabel VI.3.3. Hutan Kota RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xviii

13 DAFTAR TABEL (LANJUTAN) Halaman Tabel VI.3.4. Penghijauan Lingkungan. 144 Tabel VI.4. Kondisi Kini dan Kondisi Harapan Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan untuk Daratan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel VI.5. Indikator dan Parameter. 147 Tabel VI.6. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan untuk Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Tabel VI.6.1. RHL Mangrove Prioritas I. 147 Tabel VI.6.2. RHL Mangrove Prioritas II Tabel VI.6.3. RHL Sempadan Pantai Prioritas I Tabel VI.6.4. RHL Sempadan Pantai Prioritas II Tabel VI.7. Kondisi Kini dan Harapan Recana Pemulihan Hutan dan Lahan untuk Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel VI.7.1. Ekosistem Mangrove Tabel VI.7.2. Sempadan Pantai Tabel VI.8. Indikator dan Parameter Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan untuk Kawasan Bergambut Tabel VI.9. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan Tabel VI.9.1. RHL Intensif Kawasan Bergambut Prioritas I. 160 Tabel VI.9.2. RHL Intensif Kawasan Bergambut Prioritas II Tabel VI.9.3. RHL Pengkayaan Kawasan Bergambut Prioritas I. 162 Tabel VI.9.4. RHL Pengkayaan Kawasan Bergambut Prioritas II 163 Tabel VI.10. Kondisi Kini dan Harapan Recana Pemulihan Hutan dan Lahan untuk Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel VI.11. Indikator dan Parameter Penyusunan Recana Pengendalian Erosi dan Sedimentasi RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xix

14 DAFTAR TABEL (LANJUTAN) Halaman Tabel VI.12. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pengendalian Erosi dan Sedimentasi pada LMU Prioritas I Daratan. 166 Tabel VI Dam Pengendali Tabel VI Dam Penahan Tabel VI Gully Plug Tabel VI.13. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pengendalian Erosi dan Sedimentasi pada LMU Prioritas II Daratan 174 Tabel VI Dam Pengendali Tabel VI Dam Penahan Tabel VI Gully Plug. 182 Tabel VI.14. Kondisi Kini dan Harapan Recana Pengendalian Erosi dan Sedimentasi di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel VI.15. Indikator dan Parameter Rencana Pengembangan SDA Daratan. 190 Tabel VI.16. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pengembangan Sumber Daya Air pada LMU Prioritas I Daratan. 190 Tabel VI Embung Tabel VI Sumur Resapan. 192 Tabel VI Biopori Tabel VI.17. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pengembangan Sumber Daya Air pada LMU Prioritas II Daratan Tabel VI Embung Tabel VI Sumur Resapan. 197 Tabel VI Biopori Tabel VI.18. Kondisi Kini dan Harapan Recana Pengembangan SDA Daratan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tabel VI.19. Indikator dan Parameter Rencana Pengembangan SDA Kawasan Bergambut RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xx

15 DAFTAR TABEL (LANJUTAN) Halaman Tabel VI.20. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pengembangan SDA Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau pada LMU Prioritas I. 206 Tabel VI Pembuatan Gundukan Tanaman dan Tabat pada RHL Gambut Prioritas I Tabel VI Pembuatan Gundukan tempat ditanamannya bibit pada RHL Gambut Prioritas I. 207 Tabel VI.21. Jenis dan Volume Kegiatan Rencana Pengembangan SDA Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau pada LMU Prioritas II Tabel VI Pembuatan Gundukan dan Tabat pada RHL Gambut Prioritas II Tabel VI Pembuatan Gundukan Tanaman dan Tabat pada RHL Gambut Prioritas II. 208 Tabel VI Pembuatan Gundukan tempat ditanamannya bibit pada RHL Gambut Prioritas II Tabel VI.22. Kondisi Kini dan Harapan Recana Pengembangan SDA Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam. 209 Tabel VI.23. Pengembangan Kelembagaan Pemerintah Sesuai Matrik Standar dan Kriteria RHL Aspek Kelembagaan (Permenhut 20/Kpts-II/2001). 215 Tabel VI.24. Rencana Kegiatan RHL Vegetatif Dalam Kawasan Hutan pada Hutan Konservasi Tabel VI Reboisasi Intensif Tabel VI Reboisasi Pengkayaan Tabel VI RHL Mangrove dan Sempadan Pantai Tabel VI RHL Kawasan Bergambut Tabel VI.25. Rencana Kegiatan RHL Vegetatif Dalam Kawasan Hutan pada Hutan Lindung RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xxi

16 DAFTAR TABEL (LANJUTAN) Halaman Tabel VI Reboisasi Tabel VI Reboisasi Pengkayaan Tabel VI RHL Mangrove dan Sempadan Pantai Tabel VI.26. Rencana Kegiatan RHL Vegetatif Dalam Kawasan Hutan pada Hutan Produksi Tabel VI Reboisasi Tabel VI Reboisasi Pengkayaan Tabel VI RHL Mangrove dan Sempadan Pantai Tabel VI RHL Kawasan Bergambut Tabel VI.27. Rencana Kegiatan RHL Vegetatif di Luar Kawasan Hutan pada Fungsi Lindung Tabel VI Hutan Rakyat Tabel VI Hutan Rakyat Pengkayaan Tabel VI Penghijauan Lingkungan Tabel VI RHL Kawasan Bergambut Tabel VI.28. Rencana Kegiatan RHL Vegetatif di Luar Kawasan Hutan pada Fungsi Budidaya Tabel VI Hutan Rakyat Tabel VI Hutan Rakyat Pengkayaan Tabel VI Hutan Kota Tabel VI RHL Kawasan Bergambut Tabel VI.29. Rencana Kegiatan RHL Mangrove dan Sempadan Pantai di Luar Kawasan Hutan. 232 Tabel VI.30. Analisis Fisik Kegiatan RHL Per Sumber Anggaran Tabel VI.31. Analisis Pembiayaan Kegiatan RHL Per Sumber Anggaran 236 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xxii

17 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar II.1. Bagan Alir Penyusunan RTk RHL-DAS Wilayah Daratan 15 Gambar II.2. Bagan Alir Identifikasi dan Inventarisasi Sasaran RHL 15 Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai.. 20 Gambar II.3. Bagan Alir Penyusunan RTk RHL DAS Pada Kawasan Bergambut Berfungsi Lindung dan Budidaya 23 Gambar III.1.Peta Hidrologi dan DAS di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 47 Gambar III.2.Keadaan Penutupan Lahan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 55 Gambar III.3. Keadaan Kekritisan Lahan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.. 57 Gambar III.4. Hasil Ground Check LMU Terpilih di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau. 81 Gambar VII.1. Diagram Alir Rencana Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Vegetatif Gambar VII.2. Diagram Alir Rencana Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Sipil Teknis/Teknik Sipil 242 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xxiii

18 RINGKASAN EKSEKUTIF Review Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL-DAS) Pada Tahun 2014 ini dilakukan dalam rangka pemuktahiran (up dating) terhadap RTk RHL-DAS yang pernah disusun. Review ini dilakukan seiring dengan terjadinya perubahan kondisi kekritisan lahan, serta perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau. RTk RHL-DAS ini disusun untuk daratan, ekosistem mangrove dan sempadan pantai, maupun kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau pada 31 SWP DAS (478 DAS) yang secara administratif terletak di wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Review RTk RHL-DAS ini dilaksanakan dengan tata cara dan metode penyusunan berpedoman pada Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2008 tanggal 16 Desember 2008, Permenhut Nomor: P.32/Menhut-II/2009 tanggal 11 Mei 2009, Permenhut Nomor: P.35/Menhut-II/2010 tanggal 5 Agustus 2010 dan Permenhut Nomor: P.12/Menhut-II/2012 tanggal 13 Maret Hasil dari pelaksanaan review RTk RHL-DAS ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi provinsi/kabupaten/kota di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dalam penyusunan atau review Rencana Pengelolaan RHL (RP RHL) maupun Rencana Tahunan (RTn RHL). Hasil penyusunan Land Mapping Unit (LMU) untuk daratan di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau secara keseluruhan diperoleh 157 LMU, dengan LMU terpilih sebanyak 91 LMU atau 50,85% dari luas LMU keseluruhan. Dari hasil penyusunan LMU terpilih tersebut, diperoleh luasan areal yang menjadi Prioritas I penanganan RHL adalah seluas ,083 ha, yang berada pada lahan dengan tingkat kekritisan kritis dan sangat kritis. Sedangkan luasan areal yang menjadi Prioritas II penanganan RHL adalah seluas ,593 ha, yang berada pada lahan dengan tingkat kekritisan agak kritis. Berdasarkan hasil penyusunan matriks RHL DAS ditetapkan rencana kegiatan vegetatif dan teknik sipil yang akan dilaksanakan pada setiap LMU Prioritas I menurut DAS/SWP DAS. Luasan kegiatan RHL vegetatif yang RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xxiv

19 direncanakan di dalam kawasan hutan sebesar ,958 ha. Sedangkan luasan kegiatan RHL vegetatif yang direncanakan di luar kawasan hutan sebesar ,125 ha. Volume kegiatan teknik sipil yang direncanakan dalam rangka rencana pengendalian erosi dan sedimentasi sebanyak unit (580 unit Dam Pengendali, unit Dam Penahan, dan unit Gully Plug). Sedangkan volume kegiatan teknik sipil yang direncanakan dalam rangka rencana pengembangan sumber daya air sebanyak unit ( unit Embung, unit Sumur Resapan, dan unit Biopori). Hasil penyusunan LMU untuk ekosistem mangrove di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau secara keseluruhan diperoleh 296 LMU, dengan LMU terpilih sebanyak 186 LMU atau 65,54% dari luas total LMU. Dari hasil penyusunan LMU terpilih tersebut, diperoleh luasan RHL Mangrove Prioritas I sebesar ,039 ha dan RHL Mangrove Prioritas II sebesar ,902 ha. Sedangkan hasil penyusunan LMU untuk sempadan pantai di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau secara keseluruhan diperoleh 120 LMU, dengan LMU terpilih sebanyak 117 LMU atau 99,99% dari luas total LMU. Luasan RHL Sempadan Pantai Prioritas I terhitung sebesar 1.342,169 ha dan RHL Sempadan Pantai Prioritas II terhitung sebesar 3.680,731 ha. Sedangkan hasil penyusunan LMU untuk kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau secara keseluruhan diperoleh 73 LMU, dengan LMU terpilih sebanyak 36 LMU atau sebesar 38,18% dari luas total LMU. Dari hasil penyusunan LMU terpilih tersebut, diperoleh luasan RHL Gambut Prioritas I sebesar ,934 ha dan RHL Gambut Prioritas II sebesar ,384 ha. Pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatan RHL tersebut di atas dapat bersumber dari APBN, APBD, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), serta sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Hasil perhitungan biaya untuk kegiatan RHL wilayah daratan di dalam kawasan hutan pada LMU Prioritas I, diperlukan biaya sebesar Rp ,- untuk Reboisasi Intensif, dan sebesar Rp ,- untuk Reboisasi Pengkayaan. Sedangkan hasil perhitungan biaya untuk kegiatan RHL wilayah daratan di luar kawasan hutan pada LMU Prioritas I diperlukan biaya sebesar Rp RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xxv

20 ,- untuk Hutan Rakyat (HR) Intensif, Rp ,- untuk HR Pengkayaan, Rp ,- untuk Penghijauan Lingkungan, dan Rp untuk pembuatan Hutan Kota. Hasil perhitungan biaya untuk kegiatan RHL mangrove dan sempadan pantai diperlukan biaya sebesar Rp ,- untuk RHL Mangrove Prioritas I dan Rp ,- untuk RHL Sempadan Pantai Prioritas I. Sedangkan untuk kegiatan RHL Kawasan Bergambut Prioritas I (termasuk pembuatan tabat), diperlukan biaya sebesar Rp ,- untuk RHL Gambut Pengkayaan dan Rp ,- untuk RHL Gambut Intensif. Perhitungan biaya tersebut di atas termasuk biaya fisik kegiatan dan pendukungnya (perencanaan, pengawasan dan pengendalian, serta evaluasi). Pengembangan kelembagaan, monitoring dan evaluasi juga direncanakan dalam RTk RHL DAS ini untuk mendukung kegiatan RHL tersebut di atas. Upaya yang perlu dilakukan dalam pengembangan kelembagaan adalah peningkatan fungsi, kualitas koordinasi, sinkronisasi, dan sinergisitas program/kegiatan RHL di antara pihak-pihak terkait, dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat Desa. Pengembangan kelembagaan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan RHL dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan seperti peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pendampingan, penyuluhan, pengembangan kesempatan berusaha, akses legalitas, insentif, pengembangan kerjasama antar kelompok, pengembangan akses pasar, dan pengembangan kemitrausahaan. RHL merupakan program pembangunan yang bersifat multiyears dimana input, output, outcome dan impact program dapat diidentifikasi dan dapat diukur. Monitoring-evaluasi RHL sangat penting untuk memastikan input, output, outcome dan impact program berjalan sesuai dengan rencana/sasaran yang telah ditetapkan. Konsep monev RHL terpadu ini diharapkan dapat memberikan umpan balik terhadap kebijakan, program dan kegiatan, sehingga lebih mudah dikomunikasikan untuk pertanggungjawaban penggunaan dana publik. Hasil monev RHL tersebut dapat dimanfaatkan untuk tindak lanjut pengendalian dan pembuatan keputusan yang berkaitan dengan program RHL berikutnya. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun xxvi

21 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya alam berupa hutan, tanah dan air sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional, harus dikelola sebaik-baiknya berdasarkan azas kelestarian, azas keserasian dan azas pemanfaatan yang optimal. Hutan sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui seharusnya dikelola sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan fungsi dan manfaat yang lestari baik manfaat ekonomis, ekologis maupun sosial. Selama ini ada kecenderungan bahwa pemanfaatan hutan hanya mengejar keuntungan ekonomi, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis yang ditimbulkan dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Akibatnya, terjadi kerusakan hutan, degradasi lahan dan bertambahnya luas lahan kritis. Proses degradasi sumber daya hutan baik dari kualitas maupun kuantitasnya terus berlangsung dengan cepat, dimana tingkat kerusakannya telah melampaui ambang batas dan cenderung menuju kemusnahan apabila tidak ada usaha penanggulangan yang berarti. Hasil review data spatial lahan kritis BPDAS Mahakam Berau Tahun 2013 terjadi peningkatan luas lahan kritis dalam kurun waktu Lahan kritis pada Tahun 2010 seluas ,128 ha dengan rincian di dalam kawasan hutan seluas ,493 ha dan di luar kawasan hutan seluas ,635 ha. Pada Tahun 2013 luas lahan kritis bertambah atau meningkat mencapai angka seluas ± ,770 ha dengan rincian di dalam kawasan hutan seluas ± ,690 ha dan di luar kawasan hutan seluas ± ,080 ha. Peningkatan luas lahan kritis terjadi di luar kawasan hutan yang mencapai angka ,445 ha. Sedangkan penurunan luas lahan kritis terjadi di dalam kawasan hutan yang mencapai angka ,803 ha. Pada kondisi yang demikian, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menjadi bagian penting dari sistem pengelolaan hutan dan lahan. Kegiatan RHL dilaksanakan sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan, untuk menjamin terjaganya daya RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

22 dukung, produktivitas serta peranan hutan dan lahan sebagai sistem penyangga kehidupan. Upaya RHL ini sangat perlu dilakukan karena masih luasnya lahan kritis yang berdampak negatif terhadap fungsi hidrologi DAS dan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan RHL dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, apabila direncanakan dengan baik. Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem perencanaan RHL yang mantap dan sistematis, sehingga pelaksanaannya dapat terarah serta terukur dalam mencapai tujuan dan sasarannya. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui tahapan perencanaan dan pelaksanaan. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur hirarki perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan, yaitu: (1). Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL-DAS); (2). Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RPRHL) dan (3). Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTn-RHL). Sedangkan Tata Cara Penyusunan RTk RHL-DAS untuk wilayah daratan, kawasan bergambut, ekosistem mangrove dan sempadan pantai diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: P.32/Menhut-II/2009, Permenhut Nomor: P.35/Menhut-II/2010, dan Permenhut Nomor: P.12/Menhut-II/2012. RTk RHL-DAS ini diharapkan akan dapat menjadi acuan pelaksanaan rehabilitasi secara umum dan dapat membantu dalam penyusunan RPRHL yang terdiri dari Rencana Pengelolaan Rehabilitasi di Dalam Kawasan Hutan (RPRH) dan Rencana Pengelolaan Rehabilitasi di Lahan (RPRL), yang kemudian akan ditindak lanjuti dengan penyusunan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTn-RHL). RTk RHL-DAS untuk wilayah daratan, mangrove dan sempadan pantai serta kawasan bergambut yang pernah disusun di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau perlu dilakukan review/peninjauan ulang. Review tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut hasil review data spatial lahan kritis yang telah dilaksanakan pada Tahun Review RTk RHL-DAS juga perlu dilakukan seiring dengan perubahan penutupan lahan dan perubahan fungsi maupun RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

23 peruntukan kawasan hutan di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dalam lima tahun terakhir. B. Maksud dan Tujuan Maksud review Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL-DAS) ini adalah untuk menyediakan suatu pemuktahiran/updating terhadap RTk RHL-DAS wilayah daratan, kawasan bergambut, mangrove dan sempadan pantai, yang pernah disusun di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau. Sedangkan tujuannya adalah memberikan acuan agar RHL dapat dilaksanakan secara tepat, mantap dan terarah sesuai kaidah-kaidah perencanaan DAS, sehingga selanjutnya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penyusunan RPRHL dan RTn-RHL dalam wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup review RTk RHL-DAS wilayah BPDAS Mahakam Berau ini meliputi seluruh DAS di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau, yaitu sebanyak 31 SWP DAS (477 DAS) yang termasuk wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mencakup daratan, mangrove/sempadan pantai, dan kawasan bergambut. D. Pengertian 1. DAS (Daerah Aliran Sungai) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 2. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS Sub DAS. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

24 3. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS serta kesejahteraan masyarakat. 4. Pengelolaan DAS Terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS. 5. RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) adalah struktur dan pola pemanfaatan ruang yang diinginkan di masa yang akan datang yang paling tepat untuk mewujudkan tujuan pembangunan di suatu wilayah provinsi. 6. RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota) adalah struktur dan pola pemanfaatan ruang yang diinginkan di masa yang akan datang yang paling tepat untuk mewujudkan tujuan pembangunan di suatu wilayah kabupaten/kota. 7. Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai adalah merupakan suatu pendekatan holistik yang merangkum aspek kuantitas dan kualitas air. 8. Tegakan Awal adalah tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon sebelum dilaksanakan penanaman atau pengayaan tanaman. 9. Lahan Kritis adalah lahan di dalam maupun di luar kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. 10. DAS Prioritas adalah DAS yang berdasarkan kondisi lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut perlu diberikan prioritas dalam penanganannya. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

25 11. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan tetap. 12. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Ruang lingkup kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan kawasan rawan bencana alam. 13. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. 14. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. 15. Konservasi Tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan meningkatkan daya guna lahan sesuai peruntukannya. 16. Reboisasi adalah upaya tanam menanam dalam rangka rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan. 17. Penghijauan adalah upaya pemulihan atau perbaikan kembali keadaan lahan kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan tanam menanam dan bangunan konservasi tanah agar dapat berfungsi sebagai media produksi dan sebagai media pengatur tata air yang baik, serta upaya mempertahankan dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukannya. 18. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayukayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

26 19. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 20. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan organisme, dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas. 21. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang khas, tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, terutama di laguna, muara sungai, dan pantai yang terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir. 22. Ekosistem Mangrove adalah kesatuan antara mangrove, hewan, dan organisme lain yang saling berinteraksi antara sesamanya dan dengan lingkungannya. 23. Kawasan Pantai Berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. 24. Kriteria Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove) adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Kriteria tersebut ditetapkan untuk : (a). Pantai yang landai dengan kelerengan antara 0% 8%, (b). Areal hutan mangrove yang sudah ada baik dalam kondisi rusak atau baik/utuh, (c). Pantai berlumpur, (d). Pantai yang tidak digunakan untuk keperluan lain seperti pelabuhan pendaratan, sarana-prasaran pariwisata dan lain-lain. 25. Sempadan Pantai adalah kawasan sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 26. Kriteria Sempadan Pantai Kritis adalah kawasan pantai tertentu yang kondisinya tidak bervegetasi atau kerapatan vegetasi jarang, dan terjadi abrasi berat atau berpotensi terjadinya abrasi/erosi pantai. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

27 27. Hutan Pantai adalah komunitas vegetasi yang tumbuh di sempadan pantai. 28. Tingkat Kekritisan Mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove (rusak berat dan rusak). 29. Rehabilitasi Mangrove dan Sempadan Pantai yang selanjutnya disingkat RMSP adalah upaya mengembalikan fungsi mangrove dan hutan pantai yang mengalami degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis. 30. Abrasi adalah peristiwa rusaknya pantai sebagai akibat dari hantaman ombak atau gaya air laut. 31. Intrusi adalah peresapan air laut ke daratan. 32. Normal Density Value Index (NDVI) adalah suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal inframerah dan kanal merah yang menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi setiap piksel secara relatif. 33. Tipe Lahan Kajapah (KJP) adalah lahan pantai yang rendah dan lebar sebagian wilayahnya digenangi, atau paling tidak sebagian besar dari satu tahun merupakan dataran antara pasang surut bawah mangrove, dengan kemiringan kurang dari 2% dan relief kurang dari 2 meter. Batuan/mineral dominan alluvium, campuran estuarin dan marin yang masih muda; kelompok besar tanah regosol dan alluvial; tekstur tanah pada lapisan atas/bawah adalah kasar/agak kasar dan halus/halus. Tanah ini cocok untuk perikanan payau, tambak, budidaya mangrove. 34. Tipe Lahan Puting (PTG) adalah lahan pantai yang terdapat tumpukan endapan berbentuk gunung terutama endapan pasir pantai. Topografi landai sampai bergelombang dengan kemiringan 0-3%, relief 2 sampai 10 meter. Batuan/mineral dominan alluvium, endapan laut yang muda (pasir-pasir pantai, kerikil); kelompok besar tanah alluvial dan regosol; tekstur tanah pada lapisan atas/bawah RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

28 adalah agak halus/halus dan kasar/agak kasar. Lahan ini sesuai untuk tanaman Kelapa, Nyamplung, dll. 35. Tipe Lahan Kahayan (KHY) adalah lahan pantai yang terdapat endapan pasir berupa dataran-dataran sebagian merupakan hasil paduan endapan pada muara sungai. Topografi landai sampai bergelombang dengan kemiringan kurang dari 2%, relief 2-10 meter. Batuan/mineral dominan alluvium, campuran estuarin dan marin yang masih muda, alluvium sungai muda dan gambut; kelompok besar tanah alluvial, regosol dan organosol; tekstur tanah pada lapisan atas/bawah adalah halus/halus, kasar/agak kasar dan gambut. Lahan demikian sesuai untuk pola pengairan pasang surut. 36. Gambut adalah tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik secara alami dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. 37. Ekosistem kawasan bergambut adalah suatu ekosistem yang komponennya terdiri dari gambut, air, udara, biota dan lapisan di bawah gambut yang saling mempengaruhi, membentuk keseimbangan yang dinamis, tercermin oleh karakteristiknya yang unik dan rapuh. 38. Kubah gambut adalah bagian dari ekosistem gambut yang cembung dan memiliki elevasi lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan air, menjadi tandon air pada saat suplai air berlebih dan mendistribusikannya kembali ke wilayah sekitarnya secara perlahan pada saat ekosistem tersebut kekurangan suplai air. 39. Kawasan bergambut berfungsi lindung adalah kawasan bergambut dengan ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa. 40. Pengembangan sumber daya air pada kawasan bergambut berfungsi lindung dan budi daya adalah upaya pengelolaan genangan air (konservasi dan restorasi hidrologi) khususnya fluktuasi muka air RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

29 tanah sehingga kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada kawasan bergambut dapat berhasil. 41. Rehabilitasi kawasan bergambut adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan pada kawasan bergambut sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. 42. Subsiden adalah berkurangnya volume tanah gambut sebagai akibat dari penggenangan, rusaknya tata air dan vegetasi di atasnya serta teroksidasinya kawasan bergambut. 43. Land Mapping Unit (LMU) adalah satuan lahan terkecil yang mempunyai kesamaan kondisi biofisik terutama dalam hal tingkat kerusakan/kekritisan, fungsi kawasan, ketebalan tanah gambut dan morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS). 44. Daerah Tangkapan Air (DTA) atau Catchment Area adalah suatu wilayah daratan yang menerima air hujan, menampung, dan mengalirkannya melalui satu outlet/tempat/peruntukan, misalnya Daerah Tangkapan Air Waduk Gajah Mungkur, dan lain-lainnya. 45. Dam pengendali adalah bendungan kecil yang dapat menampung air (tidak lolos air) dengan konstruksi lapisan kedap air, urugan tanah homogen, beton (tipe busur) untuk pengendalian erosi, sedimentasi, banjir, dan irigasi serta air minum dan dibangun pada alur sungai/anak sungai dengan tinggi maksimal 8 meter. 46. Dam penahan adalah bendungan kecil yang lolos air dengan konstruksi bronjong batu atau trucuk bambu/kayu yang dibuat pada alur sungai/jurang dengan tinggi maksimal 4 meter yang berfungsi untuk mengendalikan/mengendapkan sedimentasi/erosi dan aliran permukaan (run-off). 47. Embung air adalah bangunan penampung air berbentuk kolam yang berfungsi untuk menampung air hujan/air limpasan atau air rembesan pada lahan tadah hujan yang berguna sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan pada musim kemarau. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

30 48. Sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air yang dibuat sedemikian rupa menyerupai sumur pada daerah pemukiman dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah. 49. Tabat/Tebat adalah penyekatan parit/saluran dengan membuat dam di dalam parit/saluran secara sederhana. 50. Canal blocking (penyekatan parit) adalah kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menahan air di dalam parit/saluran dengan membuat sekat di dalam yang akan menyebabkan air dari kawasan bergambut tidak terlepas ke sungai atau lokasi lain di sekitarnya sehingga kawasan bergambut tetap dapat berfungsi sebagai penyimpan air. 51. Ground check adalah pengecekan lapangan pada lokasi-lokasi tertentu dengan intensitas sampling tertentu atas kondisi biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat. E. Sistematika Sistematika/outline hasil review Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai Wilayah BPDAS Mahakam Berau ini mengacu pada Surat Direktur Bina RHL Ditjen BPDAS-PS Nomor: S.902/RHL-1/2014 tanggal 17 September 2014 Perihal Arahan Terhadap Hasil Review RTk RHL- DAS, yaitu sebagai berikut: Buku I (Buku Utama), berisi Rencana Teknik RH-DAS Buku II, berisi Data Numerik Arahan Teknik RHL-DAS Buku III, berisi Peta Hasil Penyusunan RTk RHL-DAS dan Peta-Peta Input RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

31 II. METODOLOGI Metodologi penyusunan RTk RHL-DAS di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau ini disusun dengan tahapan sebagai berikut: A. Persiapan Sebelum pelaksanaan penyusunan RTk RHL-DAS, terlebih dahulu perlu dilakukan persiapan yang meliputi penyiapan bahan-peralatan, sumber daya manusia serta pembentukan Tim Penyusun RTk RHL-DAS. 1. Bahan dan Peralatan Sebelum pelaksanaan penyusunan RTk RHL-DAS maka BPDAS perlu menyiapkan bahan-bahan serta peralatan antara lain sebagai berikut: Bahan : Peta Digital Lahan Kritis, Peta Kawasan Hutan, Peta DAS Prioritas, Peta Morfologi DAS, Peta Administrasi, Citra SRTM (Suttle Radar for Topographic Mission), Peta Bentuk Lahan, Peta Tata Ruang, Peta Review Batas DAS Hardware : PC/Komputer GIS (CPU, Monitor, Plotter, Printer) Software GIS : ARCVIEW 3.3, ARC GIS 10.0, Global Mapper Penyiapan SDM Tenaga-tenaga teknis minimal yang harus ada untuk menyusun RTk RHL-DAS adalah sebagai berikut: Tenaga GIS yang menguasai program ArcView atau ArcGIS Tenaga teknis yang mampu mengidentifikasi model-model RHL vegetatif dan teknik sipil di lapangan untuk dijadikan dasar penentuan arahan RHL Tenaga teknis yang mampu mengolah data umum biofisik dan sosek RTk RHL-DAS Tenaga teknis penyusun naskah RTk RHL-DAS 3. Pembentukan TIM Penyusun RTk RHL-DAS Untuk melaksanakan penyusunan RTk RHL-DAS, maka BPDAS membentuk tim kerja yang terdiri dari: RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

32 Tim Pemetaan/GIS. Tim ini bertanggung-jawab dalam pekerjaan kartografi dan proses analisis peta-peta digital. Disamping itu tim juga melakukan ground-check hasil pemetaan tersebut Tim Survey. Tim ini bertanggung jawab dalam proses pengumpulan dan pengolahan data sekunder (kondisi umum biofisik dan sosial ekonomi DAS). Disamping itu, tim ini juga melakukan survey lapangan tentang model-model RHL untuk dasar perumusan Matriks Rencana Teknik (MRT) RHL-DAS dan survey kelembagaan Tim Penyusun Naskah RTk RHL-DAS. Tim ini bertugas menyusun naskah Buku I, II dan III 4. Penyiapan Administrasi Dalam pelaksanaan survey lapangan, perlu disiapkan surat perintah tugas (SPT) dan surat permohonan data/informasi kepada instansi-instansi terkait untuk pengumpulan data. Disamping itu, untuk memperlancar pelaksanaan ground check di lapangan perlu disiapkan pula surat pengantar ke instansi terkait di daerah. B. Pengumpulan Data 1. Data Biofisik Pengumpulan data biofisik diarahkan untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan lahan, data/peta untuk membuat unit lahan, dan data/peta yang terkait dengan pembuatan peta hasil. 2. Data Sosial Ekonomi Data diperlukan untuk mendapatkan informasi keadaan sosial ekonomi suatu wilayah berupa data primer atau data sekunder. 3. Data Kelembagaan Data diperlukan untuk mendapatkan informasi kelembagaan yang ada pada suatu wilayah. Kelembagaan yang mantap ditentukan oleh sumber daya manusia yang kompeten, organisasi yang efektif menurut kewenangan masing masing dan tata hubungan kerja yang profesional. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

33 C. Bagan Alir Penyusunan RTk RHL-DAS 1. Daratan Penyusunan RTk RHL-DAS Semi Detail dimulai dengan analisis petapeta input (Peta Lahan Kritis, Peta DAS Prioritas, Peta Morfologi DAS, dan Peta Kawasan Hutan), untuk menghasilkan peta unit lahan (Land Mapping Unit/LMU). LMU adalah satuan lahan terkecil yang mempunyai kesamaan kondisi biofisik. LMU ini selanjutnya dioverlaykan dengan peta administrasi untuk mengetahui sebaran LMU berdasarkan wilayah administrasi, untuk mempermudah pemerintah setempat dalam penentuan lokasi RHL pada saat penyusunan Rencana Pengelolaan RHL (RPRHL). Setelah dihasilkan peta LMU, selanjutnya dilakukan koreksi melalui peninjauan lapangan (ground check). Peninjauan lapangan ini diutamakan pada unsur-unsur biofisik yang menentukan lahan kritis antara lain liputan lahan, kondisi batuan, morfoerosi, vegetasi dominan dan lain sebagainya. Hasil checking lapangan selanjutnya untuk mengoreksi peta LMU. Setelah peta LMU disiapkan sebagaimana diuraikan diatas, selanjutnya disusun Matriks Rencana Teknik (MRT) RHL-DAS untuk setiap LMU berdasarkan hasil survey lapangan. Survey lapangan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi berbagai model RHL di dalam dan di luar kawasan hutan yang telah diterapkan di wilayah DAS tersebut. Disamping itu perumusan MRT RHL-DAS juga tetap mempertimbangkan kaidah-kaidah teknis RHL sesuai dengan PP.76/2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan Permenhut Nomor: P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. MRT RHL-DAS ini selanjutnya diolah dalam bentuk aplikasi matematis untuk mempermudah dalam pengolahan peta RTk RHL-DAS menggunakan perangkat GIS. Tahap selanjutnya adalah menganalisis peta LMU dengan MRT RHL-DAS. Tahap analisis ini adalah tahap yang sangat menentukan pelaksanaan penyusunan RTk RHL-DAS ini karena analisis ini akan menghasilkan output peta-peta RTk RHL-DAS berikut data numerik hasil analisa. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

34 Setelah proses analisis selesai, tahap selanjutnya adalah penyusunan naskah buku RTk RHL-DAS berikut data dan peta hasil analisis. Bahan penyusunan naskah RTk RHL-DAS adalah hasil analisis peta dan hasil survey lapangan (data sekunder) mengenai kondisi umum biofisik dan sosial ekonomi DAS pada tingkat kedalaman data semi detail atau tingkat kabupaten. Hasil survey kelembagaan dihimpun dan dianalisa untuk melengkapi naskah buku RTk RHL-DAS. Bagan alir penyusunan RTk RHL-DAS di wilayah daratan dapat dilihat pada gambar berikut. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

35 Gambar II.1. Bagan Alir Penyusunan RTk RHL-DAS Wilayah Daratan RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

36 2. Mangrove/Sempadan Pantai Penyusunan RTk RHL-DAS pada ekosistem mangrove dan sempadan pantai menggunakan pendekatan perpaduan antara teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Geographical Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG). Penginderaan jauh (Inderaja) adalah suatu ilmu, seni dan teknik untuk memperoleh informasi tentang obyek, areal dan gejala dengan menggunakan alat (sensor) tanpa kontak langsung dengan obyek, areal dan gejala tersebut. SIG/GIS adalah integrasi sistematis Komputer Hardware, Software dan Data Spasial, untuk menangkap, menyimpan, menampilkan, memperbarui, memanipulasi dan menganalisis, dalam rangka memecahkan masalah-masalah manajemen yang kompleks. Penggunaan teknologi ini dimaksudkan agar penyusunan RTk RHL-DAS ekosistem mangrove dan sempadan pantai dapat lebih efisien mengingat areal penyusunan RTk RHL-DAS ini mencakup wilayah yang sangat luas. Penerapan teknologi ini membutuhkan penyederhanaan analisis dan penggunaan asumsi-asumsi yang memungkinkan data dan informasi dapat dianalisis secara spasial. 1. Identifikasi Mangrove a. Identifikasi dan Inventarisasi Vegetasi Mangrove Aktual Tahap awal penyusunan RTk RHL-DAS ekosistem mangrove dan sempadan pantai adalah mengidentifikasi keberadaan vegetasi mangrove dengan metoda penginderaan jauh (remote sensing). Citra yang diperlukan adalah citra landsat. Interpretasi citra landsat ini menggunakan metoda Normal Density Value Index (NDVI) yaitu suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal infra merah dan kanal merah yang menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi setiap piksel secara relatif. NDVI 0,43 s/d 1,00 diidentifikasi sebagai mangrove rapat, sedangkan NDVI 1,00 s/d 1,42 menunjukkan mangrove kurang rapat. Hasil interpretasi citra satelit ini selanjutnya dijadikan Peta Existing Mangrove skala 1: RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

37 b. Identifikasi dan Inventarisasi Habitat Mangrove Tanaman mangrove tumbuh hanya pada pantai/muara dengan kondisi tertentu antara lain adanya pengaruh pasang surut, sedimen dan kondisi fisik lainnya. Identifikasi habitat mangrove ini dapat dilakukan melalui penelitian lapangan dan dapat juga menggunakan data/informasi Peta Land System. Menurut para ahli mangrove, vegetasi mangrove dapat tumbuh pada Land System tertentu seperti KJP, KHY, PTG dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil analisis spasial Tim Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Ditjen RLPS Tahun 2010 terhadap sebaran vegetasi mangrove se-indonesia yang dioverlaykan dengan Peta Land System, diketahui bahwa vegetasi mangrove tumbuh pada land system di tabel berikut ini. Tabel II.1. Sebaran Poligon Vegetasi Mangrove pada Peta Land System se-indonesia No Land System Jumlah Poligon Prosentase 1 KJP ,90 2 KHY 854 7,64 3 PGO 466 4,17 4 LWW 350 3,13 5 TWH 341 3,05 6 PTG 337 3,01 7 Lainnya (201 Landsystem) (bervariasi antara 1 s/d 186 per-land system) 1,01 s/d 1,66 Total 11, ,00 Sumber : Peta Sebaran Mangrove se-indonesia Direktorat Bina RHL Ditjen RLPS Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis tersebut disimpulkan bahwa habitat mangrove paling dominan berada pada land system KJP kemudian diikuti KHY, PGO, LWW, TWH, PTG. Poligon land system ini selanjutnya akan diprioritaskan untuk sasaran potensial habitat mangrove yang perlu direhabilitasi. Di luar land system tersebut, diperoleh 201 land system lainnya yang terdapat vegetasi mangrove dengan jumlah poligon bervariasi berkisar antara 1 s/d 186 poligon. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

38 Mengingat terbatasnya kemampuan untuk mengidentifikasi batas antara ekosistem mangrove dan kawasan lindung bervegetasi mangrove menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, maka dalam penyusunan RTk RHL-DAS ekosistem mangrove dan sempadan pantai ini batas kawasan lindung yang berhutan bakau/mangrove didekati dengan batas land system terluar yang berbatasan dengan garis pantai. Penetapan secara tepat di lapangan dapat dilakukan pada saat penyusunan Rencana Pengelolaan RHL atau penyusunan rencana lain yang berkaitan yang lebih detail, yaitu dengan menggunakan batas 130 kali pasang terendah-tertinggi diukur dari pasang terendah. c. Menetapkan Prioritas Sasaran RHL Mangrove Sasaran RHL diprioritaskan pada habitat mangrove yang kemungkinan keberhasilannya paling tinggi. Prioritas RHL-M I sasaran rehabilitasi mangrove adalah poligon pada areal yang telah ditumbuhi mangrove tetapi belum cukup rapat. Kegiatan ini pada dasarnya berupa kegiatan pengkayaan tanaman. Sedangkan Prioritas RHL-M II sasaran rehabilitasi mangrove adalah tanah kosong pada land system KJP, KHY, PGO, LWW, TWH dan PTG yang ditumbuhi mangrove setelah dikurangi peruntukan lain seperti pemukiman dan sarana umum lainnya. 2. Identifikasi Areal Sempadan Pantai a. Identifikasi dan Inventarisasi Potensi Sasaran RHL Sempadan Pantai Sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sepanjang pantai selebar minimal 100 meter ditetapkan sebagai kawasan lindung pantai. Sempadan pantai adalah pantai selebar minimal 100 meter pada areal di luar habitat mangrove yaitu di luar lahan RHL-M II, seperti disebutkan pada butir 1.c di atas. Sedangkan sasaran RHL sempadan pantai adalah lahan dengan jenis tanah yang peka terhadap abrasi. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

39 b. Identifikasi Kepekaan Pantai Terhadap Abrasi Kepekaan erosi salah satunya berkaitan dengan tekstur tanah. Penelitian di Jawa Barat dan Banten menunjukkan bahwa pada land system PTG dan UPG yang bertekstur pasir telah terjadi abrasi 3,2 4 meter per tahun. Sementara itu pada land system KJP, KHY, MKS dan RI yang bertekstur lempung, abrasi hanya mencapai antara 0,5 1,5 meter per tahun. Dengan dasar ini, maka identifikasi pantai yang rawan abrasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan jenis tekstur tanah di lahan pantai berdasarkan informasi Peta Land System. Secara umum, pembagian tekstur tanah dan kerawanan pantai terhadap abrasi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel II.2. Tekstur Tanah dan Kerawanan Pantai Terhadap Abrasi No Tekstur Tanah Kerawanan Terhadap Abrasi 1 Fine - Moderat/Medium Fine Kurang Peka (Prioritas RHL-SP II) 2 Coarse Moderat/Medium Coarse Peka (Prioritas RHL SP I) c. Penetapan Prioritas Sasaran RHL Sempadan Pantai Prioritas penanganan sasaran RHL sempadan pantai ditentukan berdasarkan urutan tingkat kepekaan terhadap abrasi. Lahan pantai yang bertekstur Coarse Moderat/Medium Coarse dimasukkan dalam prioritas penanganan RHL-SP I. Sedangkan lahan pantai yang bertekstur Fine Moderat/Medium Fine digolongkan dalam Prioritas RHL-SP II. Uraian langkah-langkah identifikasi dan inventarisasi sasaran RHL ekosistem mangrove dan sempadan pantai dalam penyusunan RTk RHL- DAS ini disajikan dalam bagan alir berikut ini. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

40 Gambar II.2. Bagan Alir Identifikasi dan Inventarisasi Sasaran RHL Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

41 3. Kawasan Bergambut RTk RHL-DAS pada kawasan bergambut berfungsi lindung dan budidaya disusun dengan pendekatan sebagai berikut: 1. Kajian terhadap aspek biofisik, aspek kelembagaan, dan aspek sosial, ekonomi dan budaya termasuk teknologi dan para pihak sebagai pelaku rehabilitasi. 2. RTk RHL-DAS pada kawasan bergambut merujuk kepada: a. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional dan Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; c. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu; dan d. Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air. 3. Keluaran RTk RHL-DAS pada kawasan bergambut berfungsi lindung dan budidaya adalah: a. Rencana Pemulihan Hutan dan Lahan; b. Rencana Pengembangan Sumber Daya Air; dan c. Rencana Pengembangan Kelembagaan. 4. Rencana pengendalian erosi dan sedimentasi tidak dikaji dalam RTk RHL-DAS pada kawasan bergambut karena kawasan tersebut memiliki tingkat bahaya erosi yang minimal, sehingga fokus rehabilitasi adalah upaya pengelolaan genangan air. Terkait hal tersebut, rencana pengembangan sumber daya air lebih diutamakan agar dapat mendukung kegiatan rehabilitasi pada kawasan bergambut berfungsi lindung dan budidaya. Penyusunan RTk RHL-DAS pada kawasan bergambut berfungsi lindung dan budidaya dimulai dengan analisis peta dasar dan peta tematik sebagai input untuk menghasilkan LMU. Dalam pembuatan LMU, peta-peta input yang dioverlay adalah Peta Kawasan Hutan, Peta DAS Prioritas, Peta Kematangan Gambut, Peta Tingkat Kekritisan Gambut, dan Peta Ketebalan/Kedalaman Gambut. Sedangkan Peta RTRW Provinsi/ RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

42 Kabupaten/Kota atau Peta Administrasi Pemerintahan dapat digunakan untuk memastikan letak sebaran LMU. Setelah disusun LMU, selanjutnya dilakukan koreksi/seleksi melalui survey lapangan (ground check). Ground check dilaksanakan melalui pengambilan contoh acak dengan intensitas 1 5% terhadap unsur-unsur yang menentukan terjadinya kekritisan kawasan bergambut berfungsi lindung dan budidaya (kondisi terkini), yaitu: biofisik (kondisi penutupan/kerapatan tegakan/vegetasi, hidrologi/genangan air, dan subsiden/kehilangan tanah gambut), sosial, ekonomi dan budaya (kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, pemanfaatan teknologi terkait keberadaan kawasan bergambut), kelembagaan (organisasi, sumber daya manusia, tata hubungan kerja yang terjadi), serta keberadaan investasi bangunan vital dan kebijakan pemerintah daerah yang bersangkutan. Dari hasil koreksi LMU dan analisis hasil ground check kemudian ditentukan lokasi RTk RHL-DAS pada kawasan bergambut. Lokasi RTk RHL-DAS pada kawasan bergambut yang dimaksudkan adalah lokasi yang akan direhabilitasi dalam satuan wilayah pengelolaan DAS, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Setelah lokasi ditentukan, selanjutnya batas lokasi dideliniasi pada unit pemetaan lahan skala 1 : (minimum) dan hasilnya digunakan sebagai peta kerja. Tahapan berikutnya adalah telaah permasalahan yang dijumpai di lokasi dan pembuatan matrik rencana teknik (MRT) rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut yang meliputi rencana pemulihan hutan dan lahan, rencana pengembangan sumber daya air dan rencana pengembangan kelembagaan. MRT RHL kawasan bergambut selanjutnya dianalisis kembali dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah teknis RHL sesuai PP Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Bagan alir kerangka penyusunan RTk RHL-DAS pada kawasan bergambut dilihat pada gambar berikut. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

43 Gambar II.3. Bagan Alir Penyusunan RTk RHL DAS Pada Kawasan Bergambut Berfungsi Lindung dan Budidaya RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

44 D. Pembuatan Land Mapping Unit (LMU) 1. Daratan Pembuatan LMU atau satuan lahan untuk sasaran indikatif RTk RHL- DAS semi detail terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Penyiapan Peta Input (Peta Lahan Kritis, Peta DAS Prioritas, Peta Fungsi Kawasan Hutan) 2. Delineasi Peta Morfologi DAS 3. Tumpang susun (overlay) 4. Kodefikasi satuan lahan 5. Penelusuran (Query) Penjelasan tiap tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Penyiapan Peta Input Penyiapan peta input adalah upaya untuk memperoleh keseragaman format peta berupa : a. Datum dan Sistem Proyeksi Datum adalah parameter yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran elipsoid referensi. Parameter tersebut selanjutnya digunakan untuk pendefinisian koordinat, serta kedudukan dan orientasinya dalam ruang di muka bumi. Datum yang digunakan adalah WGS 1984, merupakan sistem datum yang umumnya digunakan dalam GPS navigasi saat ini. Datum WGS 1984 dikendalikan National Imagery and Mapping (NIMA). Proyeksi yang digunakan adalah geographyc untuk memudahkan dalam kompilasinya, namun demikian dalam penghitungan luas polygon tetap menggunakan proyeksi UTM sesuai dengan zonanya untuk memperoleh akurasi perhitungan yang tinggi. b. Koreksi Geometrik Koreksi geometrik perlu dilakukan pada peta-peta input supaya diperoleh presisi antara peta yang satu dengan peta yang lain. Peta input diperoleh dari berbagai sumber, sehingga kemungkinan terjadinya tidak presisi dapat terjadi. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

45 2. Delineasi Peta Morfologi DAS Dalam menentukan hulu-tengah-hilir DAS maka diperlukan Peta Morfologi DAS. Pembuatan Peta Morfologi DAS memerlukan 2 (dua) hal utama yaitu: a. Pemahaman Teori mengenai Hulu-Tengah-Hilir DAS Pendekatan yang digunakan adalah bentuk lahan. Bentuk lahan memberikan hasil yang lebih logis dan realistis dengan dibantu informasi kelas kelerengan. Menurut Strahler (1983), bentuk lahan adalah konfigurasi permukaan lahan yang dihasilkan oleh proses alam. Lebih lanjut Whitton (1984) menyatakan bahwa bentuk lahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi. Berdasarkan kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk lahan merupakan bentangan permukaan lahan yang mempunyai relief khas karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan akibat dari proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu tertentu. Masing-masing bentuk lahan dicirikan oleh adanya perbedaan dalam hal struktur dan proses geomorfologi, relief/topografi dan material penyusun (litologi). Sebagai contoh adalah lereng bawah, tengah, dan atas dari perbukitan dan pegunungan merupakan hulu DAS, dataran merupakan tengah DAS, dan rawa belakang (back swamp) merupakan hilir. Pada tahap ini peta bentuk lahan diperlukan untuk penentuan hulu-tengah-hilir DAS. b. Proses Delineasi dengan Teknik On Screen Digitation Software yang digunakan dalah proses ini adalah ARC GIS 10.0 atau ARC VIEW 3.X. Digitasi dilakukan untuk mendetailkan peta bentuk lahan yang pada umumnya berskala 1 : Pendetailan dibantu dengan penegasan kesan 3D Citra SRTM (Shuttle Radar for Topographic Mission) untuk mendapatkan tampilan lebih detail dari topografi DAS, sehingga mempermudah dalam proses penentuan hulutengah-hilir yang lebih akurat. Pengenalan bentuk lahan dapat pula memanfaatkan informasi bentuk lahan dan deskripsi geomorfologi dari RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

46 Peta RePProT skala 1 : dengan pertimbangan informasi bentuk lahan (landform) yang hingga saat ini belum banyak mengalami perubahan. On screen digitation dapat langsung dilakukan tanpa harus melakukan registrasi terlebih dahulu, karena semua peta sudah memiliki koordinat geografis. Delineasi dilakukan dengan overlay peta bentuk lahan di atas Citra SRTM dan dilakukan zoom pada saat digitasi. Delineasi garis batas mengikuti garis pada polygon bentuk lahan yang telah ditentukan sebagai hulu-tengah-hilir DAS dengan pendetailan topografi yang tampak pada penegasan 3D Citra SRTM. Hasil delineasi disimpan dalam format shapefile baru yang kemudian dijadikan peta input untuk menyusun satuan lahan RTk RHL-DAS. 3. Tumpang susun (overlay) Tahap overlay dapat dilakukan apabila pembuatan peta morfologi DAS (hulu-tengah-hilir DAS) sudah selesai. Overlay peta dilakukan pada Peta DAS Prioritas, Peta Lahan Kritis, Peta Fungsi Kawasan Hutan, dan Peta Morfologi DAS. Keempat peta tersebut menjadi dasar penentuan satuan lahan RTkRHL-DAS semi detail skala 1 : Metode overlay yang digunakan adalah intersect, yang akan menghasilkan peta baru berupa peta satuan lahan (LMU). 4. Kodefikasi satuan lahan Satuan pemetaan berupa satuan lahan adalah satuan pemetaan yang digunakan untuk perencanaan di bidang kehutanan ataupun pertanian yang berhubungan dengan pengelolaan suatu lahan. Satuan lahan dibuat untuk membentuk informasi dasar yang akan digunakan dalam suatu aplikasi tertentu di bidang kehutanan. Satuan lahan adalah bagian dari lahan yang mempunyai karakteristik spesifik. Perencanaan pengelolaan lahan akan lebih mudah dilakukan apabila satuan lahan didefinisikan atas kriteria-kriteria karakteristik lahan yang digunakan dalam perencanaan pengelolaan lahan. Dalam hal ini, satuan lahan atau LMU adalah bentukan lahan yang memiliki kesamaan kriteria lahan kritis, DAS prioritas, morfologi DAS, dan fungsi kawasan hutan. Kodefikasi satuan lahan diperlukan untuk mempermudah RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

47 penyebutan LMU berdasarkan Kekritisan Lahan, DAS Prioritas, Morfologi DAS dan Fungsi Kawasan Hutan. Pengkodean peta input penyusun LMU daratan diuraikan pada tabel berikut ini. Tabel II.3. Simbol/Kodefikasi Peta-Peta Input Penyusun LMU RTk RHL-DAS Daratan Peta Lahan Kritis Peta DAS Prioritas Peta Morfologi Peta Fungsi DAS Kawasan Hutan Komponen Code Komponen Code Komponen Code Komponen Code 1. Sangat Kritis SK 1. Prioritas I I 1. Hulu H 1. Hutan Lindung HL 2. Kritis K 2. Prioritas II II 2. Tengah T 2. Hutan HP Produksi 3. Agak AK 3. Prioritas III III 3. Hilir L 3. Hutan HK Kritis Konservasi 4. Tidak Kritis TK Sebagai contoh adalah satuan lahan SK-I-H-HL dibaca sebagai lahan sangat kritis pada DAS prioritas I yang terletak pada hulu DAS dan berada di dalam kawasan hutan lindung. Setelah kodefikasi satuan lahan selesai, selanjutnya dilakukan eliminate pada setiap satuan lahan untuk menghindari keberadaan satuan lahan yang luasannya terlalu kecil yaitu < 5 ha. 5. Penelusuran (Query) Setelah penyusunan satuan lahan selesai, tahapan selanjutnya adalah pemilihan unit lahan tersebut sebagai prioritas utama untuk penanganan pada RTk RHL-DAS. Prioritas penanganan adalah pada satuan lahan yang berada pada lahan sangat kritis, kritis dan agak kritis di dalam DAS prioritas I, II, dan III, terletak di hulu, tengah, maupun hilir DAS, dan berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan (APL). 2. Mangrove/Sempadan Pantai LMU untuk RTk RHL-DAS Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai ini merupakan hasil overlay peta-peta berikut: Peta Fungsi Kawasan; Peta Land System; Peta Existing Mangrove; dan Peta Liputan Lahan. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

48 Empat unsur pembentuk LMU tersebut dioverlaykan dengan aplikasi GIS/SIG dan selanjutnya dianalisa untuk mendapatkan hasil identifikasi dan inventarisasi sasaran RHL ekosistem mangrove dan sempadan pantai serta skala prioritasnya. Simbol/kodefikasi untuk masing-masing peta input penyusun LMU ekosistem mangrove dan sempadan pantai disajikan pada tabel berikut ini. Tabel II.4. Simbol/Kodefikasi Peta-Peta Input Penyusun LMU RTk RHL- DAS Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Fungsi Kawasan HL (Lindung) HK (Konservasi) HP (Hutan Produksi) APL (Areal Penggunaan Lain) Land System KJP KHY PGO LWW TWH Dst. Existing Mangrove R (Mangrove Rapat) TR (Mangrove Kurang Rapat) TM (TIdak Ada Tanaman Mangrove) Liputan Lahan P (Pemukiman) Sw (Sawah) Tb (Pertambangan) Bdr (Bandara) Br (Belukar Rawa) 3. Kawasan bergambut Pembuatan peta unit lahan (LMU) kawasan bergambut dilakukan dengan tumpang susun (overlay) secara digital memanfaatan aplikasi GIS dengan metode intersect. Dengan metode ini, skala peta yang ditumpang susun (overlayed) diupayakan seragam. Dalam pembuatan peta unit lahan kawasan bergambut, peta-peta yang akan ditumpang susun (overlayed) adalah: 1. Peta Fungsi Kawasan Hutan; 2. Peta DAS Prioritas; 3. Peta Kematangan Gambut; 4. Peta Kekrtisan Kawasan Bergambut; dan 5. Peta Kedalaman/Ketebalan Gambut. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

49 Sedangkan untuk memastikan lokasi LMU perlu di-overlay dengan peta: Peta Administrasi Pemerintahanan; dan Peta RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota. Skala peta yang disarankan sekurang-kurangnya 1 : dengan unit terkecil pada peta yang dapat diabaikan yaitu apabila luasnya kurang dari 1 (satu) cm². Setelah diperoleh poligon hasil intersect, langkah selanjutnya adalah pemberian simbol (kode) unit lahan. Dari hasil overlay dapat diperoleh luasan setiap poligon unit lahan menggunakan proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) sesuai dengan zonanya. Untuk poligon dengan luasan sangat kecil (< 1 ha) maka dapat digabungkan dengan poligon terdekat dengan metode eliminate. LMU juga dikoreksi kembali dengan situasi lapangan terkini melalui ground check untuk mendapatkan informasi tentang penggunaan lahan di kawasan bergambut, kondisi bentang lahan, dan kondisi biofisik lainnya yang relevan. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka perlu dilakukan peninjauan terhadap peta-peta input dan dilakukan overlay kembali. Pemberian simbol (kode) LMU kawasan bergambut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel II.5. Simbol/Kodefikasi Peta-Peta Input Penyusunan LMU RTk RHL- DAS Kawasan Bergambut Fungsi Kawasan DAS Prioritas Kematangan Gambut Tingkat Kekritisan Gambut Ketebalan/ Kedalaman Gambut Komponen Kode Komponen Kode Komponen Kode Komponen Kode Komponen Kode Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi APL: Kws Lindung Kws Budidaya HK Prioritas I I Matang /Safrik HL Prioritas II II Setengah Matang/ Hemik HP Mentah/ Fibrik KL KB Si Sangat Kritis SK Tidak Tebal (Dangkal) TT Hi Kritis K Sedang SD Fi Tidak Kritis TK Tebal (Dalam) TB RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

50 Sasaran RHL kawasan bergambut (RHL-G) diprioritaskan pada kawasan bergambut berfungsi lindung dan budidaya yang kemungkinan keberhasilannya paling tinggi. Prioritas RHL-G I adalah kawasan gambut berfungsi lindung dan budidaya sangat kritis dan/atau kritis yang terletak dalam DAS prioritas dengan kondisi gambut matang/safrik dan ketebalan tanah gambutnya dangkal, setelah dikurangi peruntukan lain seperti pemukiman dan sarana umum lainnya. Sedangkan prioritas RHL-G II adalah kawasan gambut sangat kritis dan/atau kritis yang terletak dalam DAS prioritas dengan kondisi gambut setengah matang/hemik dan ketebalan tanah gambutnya dangkal, setelah dikurangi peruntukan lain seperti pemukiman dan saranan umum lainnya. E. Survey Identifikasi Model/Kegiatan RHL Metode Vegetatif dan Teknik Sipil Data model-model RHL metode vegetatif dan teknik sipil dapat diperoleh dari pengumpulan data primer (pengamatan di lapangan) maupun data sekunder dari instansi terkait. Data model tersebut digunakan sebagai pertimbangan dalam menyusun rekomendasi Rencana Teknik RHL metode vegetatif dan teknik sipil, dengan memperhatikan kondisi biofisik maupun sosial ekonomi budaya masyarakat setempat. Untuk model/kegiatan RHL metode vegetatif, apabila tidak tersedia model RHL di lapangan, maka rumusan final matriks rencana teknik RHL pada suatu LMU disusun berdasarkan atas referensi jenis tanaman yang dapat tumbuh baik pada ketinggian dan jenis tanah di LMU yang dimaksud. F. Ground Check LMU Ground check dan survey lapangan bertujuan untuk mengkoreksi peta hasil penyusunan LMU. Setelah diperoleh LMU, dilakukan ground check secara sampling dengan intensitas 0,5% sampai dengan 2,5% dari jumlah LMU. Metode sampling yang digunakan adalah stratified purposive random sampling. Ground check dilakukan untuk survey aspek biofisik unsur-unsur lahan kritis, batas LMU, dan beberapa informasi lainnya. Hasil dari ground RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

51 check digunakan untuk memperbaiki peta LMU tersebut. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka perlu dilakukan peninjauan terhadap peta-peta input untuk kembali dilakukan overlay. G. Penyusunan Matrik Rencana Teknik RHL (MRT RHL) MRT RHL-DAS adalah instrumen bantu yang dipergunakan untuk menentukan rencana teknik RHL DAS pada masing-masing LMU Terpilih (Kritis s/d Sangat Kritis). Dalam penyusunan RTk RHL-DAS, matriks MRT RHL- DAS akan digunakan sebagai dasar menyusun aplikasi matematis dalam analisis GIS, sehingga Peta LMU dapat diolah secara otomatis menjadi Peta Rencana Teknik RHL-DAS. Dalam merumuskan Rencana Teknik RHL-DAS Teknik Sipil, dapat diberikan rekomendasi kegiatan Konservasi Tanah dan Air dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: LMU Prioritas I, disamping rekomendasi kegiatan vegetatif juga ditambahkan kegiatan teknik sipil berupa Dam Pengendali, Dam Penahan, Embung dan Guly Plug pada DAS Tengah, Sumur Resapan serta Biopori di DAS Hilir; Pada LMU Prioritas I, direkomendasikan kegiatan teknik sipil dengan pertimbangan bahwa LMU tersebut perlu ditangani secara intensif untuk pengendalian bencana alam (banjir-longsor) serta adanya bangunan vital di hilir DAS; Sedangkan pada LMU Prioritas II, dapat direkomendasikan kegiatan teknik sipil dengan pertimbangan-pertimbangan khusus, misalnya adanya kerawanan bencana alam dan lain sebagainya. Kodefikasi rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Vegetatif dan Teknik Sipil untuk wilayah daratan disajikan pada tabel berikut. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

52 Tabel II.6. Kodefikasi Rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Wilayah Daratan LUAR KAWASAN DALAM KAWASAN HUTAN MORFOLOGI HUTAN DAS HL HK HP LINDUNG (L) BUDIDAYA (B) HULU (H) RL-HHL RK-HHK RP-HHP PL-HKL PB-HKB TENGAH (T) RL-THL RK-THK RP-THP PL-TKL PB-TKB HILIR (L) RL-LHL RK-LHK RP-LHP PL-LKL PB-LKB Keterangan : RL = Reboisasi pada HL (Hutan Lindung) THL= HL di DAS Tengah RK = Reboisasi pada HK (Hutan Konsevasi) THK= HK di DAS Tengah RP = Reboisasi pada HP (Hutan Produksi) THP= HP di DAS Tengah PL = Penghijauan di Kawasan Lindung TKL = Kawasan Lindung di DAS Tengah PB = Penghijauan di Kawasan Budidaya TKB = Kawasan Budidaya di DAS Tengah HHL = HL di DAS Hulu LHL = HL di DAS Hilir HHK = HK di DAS Hulu LHK = HK di DAS Hilir HHP = HP di DAS Hulu LHP = HP di DAS Hilir HKL = Kawasan Lindung di DAS Hulu LKL = Kawasan Lindung di DAS Hilir HKB = Kawasan Budidaya di DAS Hulu LKB = Kawasan Budidaya di DAS Hilir Tabel II.7. Kodefikasi Rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Teknik Sipil untuk Wilayah Daratan MORFOLOGI DAS DALAM KAWASAN HUTAN LUAR KAWASAN HUTAN HL HK HP LINDUNG (L) BUDIDAYA (B) HULU (H) TI - TI/TG-DPn/GP TG/TK-DPn/GP/SPA TENGAH (T) TI/DPn/ GP TI TI/DPn/ GP TG/TK-Dpi/GP TG/TKB-Dpi/GP HILIR (L) TI-GP/R TI-R TI-GP/R TG/TK TD-SRA/B Keterangan: TI = Teras Individu DPi = Dam Pengendali TG = Teras Gulud GP = Gully Plug TK = Teras Kredit SPA = Saluran Pembuangan Air TKB = Teras Kebun SRA = Sumur Resapan TD = Teras Datar B = Biopori DPn = Dam Penahan R = Rorak RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

53 Kodefikasi rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Vegetatif untuk ekosistem mangrove dan sempadan pantai dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel II.8. Kodefikasi Rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Vegetatif untuk Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai RSP- APL-I RSP- APL-II Prioritas Mangrove Sempadan Pantai I RM-HK- I RM- HL-I RM-HP- I RM- APL-I RSP- HK-I RSP- HL-I RSP-HP-I II RM-HL- RM- RM-HK- RM- RSP- RSP- RSP-HP- II HP-II II APL-II HK-II HL-II II Kodefikasi rekomendasi RTk RHL-DAS Metode Vegetatif untuk kawasan bergambut disajikan pada tabel berikut. Tabel II.9. Kodefikasi Rekomendasi Metode Vegetatif RTk RHL-DAS untuk Kawasan Bergambut Prioritas RHL-G I RHL-G II Fungsi Kawasan HK/HL/HP /KL/KB HK/HL/HP /KL/KB Tingkat Kekritisan Gambut DAS Prioritas Tingkat Kematangan Gambut SK/K I Matang/Safrik (Si) TT SK/K I Setengah Matang/Hemik (Hi) Kedalaman Gambut TT RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

54 III. KEADAAN UMUM DAS A. Keadaan Biofisik 1. Daratan a. Letak, Luas dan Bentuk DAS/Sub DAS Balai Pengelolaan DAS Mahakam Berau menangani wilayah DAS dimana 99,6% luasnya berada dalam wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Sedangkan 0,4% sisanya termasuk dalam sebagian kecil wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Selatan (Kalsel), yang merupakan hulu DAS dengan muara sungai utama di Selat Makassar. Secara astronomi wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau terletak di antara 2 23' 16 LS s/d LU dan s/d BT. Wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau mencakup wilayah administrasi 11 Kabupaten dan 4 Kota, yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Kaltim dan Kaltara, sebagaimana disajikan dalam tabel berikut. Tabel III.1. Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Berdasarkan Administrasi Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara NO KABUPATEN/KOTA LUAS DARATAN (ha) LUAS PENGELOLAAN LAUT (ha) JUMLAH (ha) 1. Nunukan , ,7 2. Malinau Tarakan Bulungan , ,2 5. Berau , ,2 6. Kutai Timur , ,1 7. Bontang , ,5 8. Samarinda Kutai Kartanegara , ,1 10. Kutai Barat Mahakam Ulu* 12. Balikpapan , ,7 13. Penajam Paser Utara Paser Tana Tidung , ,6 JUMLAH , Sumber : Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 dan Peta Administrasi Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun 2013 * Data masih tergabung dengan Kabupaten Kutai Barat RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

55 Berdasarkan hasil perhitungan data digital, luas keseluruhan wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau adalah ,642 ha, yang terdiri dari 31 SWP DAS (478 DAS). Bentuk DAS sangat bervariasi mulai dari melebar di hulu dan di tengah, memanjang, melebar di hulu menyempit di tengah dan melebar di muara, serta pulau. Rincian luas dan bentuk DAS yang ada di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.2. Luas dan Bentuk DAS di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau NO NAMA DAS/SWP DAS LUAS (ha) BENTUK DAS 1. Adang-Kuaro ,749 Melebar 2. Batakan 7.457,712 Melebar 3. Bengalon ,039 Memanjang 4. Berau ,972 Melebar di tengah 5. Bontang 9.568,917 Memanjang 6. Dumaring ,816 Melebar 7. Karangan ,265 Melebar di hulu 8. Kayan ,338 Melebar di hulu, menyempit di tengah dan menyempit di hilir 9. Kendilo ,531 Melebar di hulu 10. Kerang-Segendang ,429 Menyempit di hulu 11. Mahakam Menyempit di hulu, melebar di tengah dan menyempit di hilir 12. Manggar ,465 Memanjang 13. Manubar ,152 Melebar di hilir 14. P. Nunukan ,035 Pulau 15. P. Tarakan ,356 Pulau 16. Pemaluan ,509 Menyempit di hulu 17. Riko ,460 Memanjang 18. Samboja ,638 Melebar 19. Sangatta ,884 Menyempit di hulu sampai tengah dan melebar di hilir 20. Santan ,844 Melebar di hilir 21. Sebuku ,822 Memanjang 22. Sembakung ,356 Melebar di hilir 23. Semoi 8.423,313 Menyempit di tengah 24. Sepaku ,006 Menyempit di hilir RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

56 Lanjutan Tabel III.2. NO NAMA DAS/SWP DAS LUAS (ha) BENTUK DAS 25. Sesayap ,808 Menyempit di hilir 26. Tabalar ,206 Melebar di hilir 27. Telake ,932 Melebar 28. Tengin ,104 Menyempit di hilir 29. Tunan ,325 Memanjang 30. Wain ,614 Melebar 31. Kepulauan Derawan 3.943,169 Pulau JUMLAH ,642 Sumber: Penyusunan Urutan DAS Prioritas BPDAS Mahakam Berau Tahun 2008 b. Iklim Tipe iklim di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau berdasarkan Schmidt-Ferguson berkisar antara tipe A sampai dengan B. Curah hujan tahunan di Provinsi Kaltim dan Kaltara berkisar antara mm. Curah hujan tertinggi berkisar antara mm terdapat di bagian Barat Kalimantan Timur, sedangkan curah hujan terendah berkisar antara mm terdapat di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Suhu udara minimum berkisar antara 21,2-23,7 C, suhu udara rata-rata berkisar 26,54-28,18 C dan suhu udara maksimum berkisar 29,7-35,2 C. Kelembaban udara minimum berkisar 46,2-69,7%, kelembaban rata-rata berkisar 81,77-87,73% dan kelembaban maksimum berkisar 78,4-100%. Rincian keadaan iklim di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau disajikan pada tabel berikut. Tabel III.3. Keadaan Iklim di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau No Kabupaten/Kota Nunukan Malinau Tarakan Bulungan Berau Kutai Timur Bontang Samarinda Kutai Kartanegara Kutai Barat Rata 2 Jml Hujan Tahunan (mm) Jml Bln Basah (bln) Jml Bln Kering (bln) Perbandingan Bln Kering dan Basah (Q) , ,5 Tipe Iklim SF A A A A A A A A A A RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

57 Lanjutan Tabel III.3. No Kabupaten/Kota Balikpapan Penajam Paser Utara Paser Rata 2 Jml Hujan Tahunan (mm) Jml Bln Basah (bln) Jml Bln Kering (bln) Perbandingan Bln Kering dan Basah (Q) 0 25,00 9,09 Tipe Iklim SF A B A Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 c. Tanah dan Geologi Jenis tanah di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau cukup bervariasi, hal ini disebabkan perbedaan berbagai faktor pembentuk tanah. Berdasarkan Peta Tanah skala 1 : , pada tingkatan ordo tanah (taksonomi tanah) terdapat 8 jenis tanah yang paling dominan di Provinsi Kaltim dan Kaltara yaitu: Histosols, Entisols, Inceptisols, Ultisols, Oxisols, Alfisols, Mollisols, dan Spodosols. Ordo tanah yang terdapat di Provinsi Kaltim dan Kaltara dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.4. Ordo Tanah (Taksonomi Tanah) di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara No. Ordo Tanah Luas (X 1000 ha) 1. Histosois Entisols Inceptisols Utisols Oxisols Alfisols Molisols Spodosols Lain-lain (danau, kota, dll) 908,78 Sumber : Peta Digital Tanah Tahun 1999 Jumlah ,78 Tabel di atas menunjukan bahwa ordo tanah yang dominan di wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara adalah jenis ordo Inceptisols seluas ha, Lain-lain (danau, kota dll) seluas ha, kemudian jenis ordo Ultisols seluas ha. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

58 Struktur geologi didominasi oleh batuan sedimen liat berlempung, di samping itu terdapat pula kandungan batuan endapan tersier dan batuan endapan kwarter. Formasi batuan endapan utama terdiri dari batuan pasir kwarsa dan batuan liat. Dari struktur geologi, di daerah ini banyak dijumpai patahan dan lipatan yang pada umumnya terdapat di wilayah pantai. Provinsi Kaltim dan Kaltara berdasarkan Peta Geologi East dan Northeast Borneo mempunyai formasi geologi yang terdiri dari batuan serpih kristalin, phylit, batu sabak, serpih liat, batu liat, napal, batu gamping dan batu erosive. Penyebaran formasi ini terdapat di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara seluas ha, Kabupaten Berau seluas ha dan Kabupaten Bulungan seluas ha. Beberapa formasi geologi di Kaltim dan Kaltara ini banyak tersusun oleh batuan yang diantaranya berupa batubara. Formasi-formasi tersebut antara lain yaitu Palau Balang Beds, Balikpapan Beds, Pemaluan Beds dan Kampung Baru Beds. Beberapa formasi geologi penting yang terdapat di wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.5. Formasi Geologi Penting di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara No Nama Formasi Luas (ha) 1. Alluvium Sajau-Tarakan-Bunyu Domaring Beds Glance Coal Beds Steril Formation Pulau Balang Beds Balikpapan Beds Meliat Beds Masali Nainputu Globi Gerina Marls Ancam-Mandul Beds Pemaluan Beds Paleogene Pretertiery Young Volcanic (Effusive) Rock (Andesitas, Basalts) Kampung Baru Beds Sumber : BAPPEDA Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2008 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

59 d. Geomorfologi Struktur geomorfologi memberikan informasi tentang asal-usul dan bentuk lahan, yang dapat dilihat dari bentuk lahan utamanya. Proses geomorfologi dicerminkan oleh tingkat penorehan atau pengikisan. Litologi memberikan informasi jenis dan karakteristik batuan serta mineral penyusunnya, yang akan mempengaruhi pembentukan bentuk lahan. Geomorfologi di Provinsi Kaltim dan Kaltara disajikan pada tabel berikut. Tabel III.6. Geomorfologi (Bentuk Lahan) di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Sumber: Peta Land System Provinsi Kalimantan Timur Tahun 1989 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

60 e. Topografi dan Bentuk Wilayah Meskipun wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara tidak dilewati jalur gunung api, terdapat pegunungan yang terpusat di tengah Pulau Kalimantan membujur dari Utara ke Selatan. Kawasan pegunungan ini terletak di sebelah Barat wilayah Kaltim. Pegunungan ini terjadi karena peristiwa geologi berupa lipatan dan sisipan sehingga bentuknya berjalur-jalur, khususnya dari Utara ke Selatan sejajar dengan garis pantai. Dengan kondisi fisiografi dan topografi yang demikian, maka pemukiman penduduk lebih banyak dijumpai di wilayah pesisir dengan kondisi yang lebih datar. Ketinggian beberapa kota maupun kabupaten di wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.7. Ketinggian Beberapa Kota dari Permukaan Laut di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara No Kabupaten/Kota Kota Ketinggian (mdpl) Pasir Kutai Barat Kutai Kartanegara Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang Tana Tidung Tanah Grogot Sendawar Tenggarong Sangatta Tanjung Redeb Malinau Tanjung Selor Nunukan Penajam Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang Tideng Pale Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun Wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara cukup luas, tetapi sebagian besar terletak di wilayah yang cukup tinggi. Tabel di bawah ini memperlihatkan kelas ketinggian tempat di wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara. Dari tabel tersebut diketahui bahwa hampir 60% wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara terletak pada ketinggian di atas 100 m. Wilayah Kabupaten yang paling luas terletak pada ketinggian di atas RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

61 100 m tersebut adalah Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Barat, dimana wilayahnya sebagian besar berada di wilayah Kaltim sebelah Barat. Tabel III.8. Kelas Ketinggian Tempat di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara No Kabupaten/Kota Kelas Ketinggian (mdpl) > Pasir Kutai Barat Kutai Kartanegara Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang Tana Tidung Jumlah-Total (ha) % 5,1 16,3 21,9 24,6 25,0 7,0 Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 Demikian pula dengan kondisi kemiringan wilayah, sebagian besar atau lebih dari 50% wilayah Kaltim dan Kaltara mempunyai kemiringan di atas 40%. Daerah-daerah yang terjal sebagian besar terletak di wilayah bagian Barat dari wilayah Kaltim dan Kaltara. Kabupaten dengan wilayah-wilayah yang terjal ini antara lain yaitu Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Barat. Wilayah dengan ketinggian di atas 100 m dan kelerengan yang terjal tersebut yang juga merupakan wilayah hulu dari sungai-sungai di Kaltim dan Kaltara yang mengalir dari barat ke timur. Diharapkan wilayah di bagian barat tersebut menjadi pelindung bagi kawasan di sebelah timur yang kondisi pembangunannya lebih berkembang, yaitu di kawasan pantai. Kelas kemiringan lereng di wilayah Kaltim dan RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

62 Kaltara dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.9. Kelas Kemiringan Lereng di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Kabupaten/Kota Kelas Kemiringan Lereng 0-2 % 2-15 % % >40 % Jumlah (ha) 1. Pasir Kutai Barat Kutai Kartanegara Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang Tana Tidung Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 Daratan Kaltim dan Kaltara tidak terlepas dari gugusan gunung dan pegunungan yang terdapat hampir di seluruh wilayah kabupaten. Gunung yang paling tinggi di Kaltim yaitu Gunung Mamtam dengan ketinggian meter, terletak di Kabupaten Berau. Sedangkan danau yang berjumlah 17, keseluruhannya berada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Danau paling luas yaitu Danau Jempang, Danau Semayang dan Danau Melintang dengan masing-masing luas ha, ha dan ha. Berikut disajikan data danau (Tabel III.10) dan nama gunung (Tabel III.11) yang berada di Kaltim dan Kaltara. Tabel III.10 Nama-Nama Danau di Provinsi Kalimantan Timur RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

63 Kabupaten Nama Danau Luas (ha) 1. Kutai Kartanegara 1. Ngayau Mulupan Siran Man Melintang Semayang Wis Katang Merambi Puan Rabuk Loa Kang Jempang Perian Tempatung Batu Bumbu S kajo Tanah Liat 45 Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 Tabel III.11. Nama-Nama Gunung/Bukit di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Kabupaten/Kota Gunung/Bukit Tinggi (m) 1. Pasir 1. Kunut Lumut Beratus Ketam Sarimpaka Melihat Bawang Buang Kutai Barat 1. Ketam Kedang Pahu Betring Binting 67 Lanjutan Tabel III.11. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

64 Kabupaten/Kota Gunung/Bukit Tinggi (m) 3. Kutai Kartanegara 1. Bukit Biru Amben Batu Biru Lengkup Patung Kelipung Plaat Sirau Randa Rampan Mataram Berau 1. Autu Batu Lembu Suaran Beriun Buntung Mamtam Kumbat Kopol Benau Kutai Timur 1. Menyapa Kong Botak Kong Kat Kulat Beriun Mendam Batu Putih Kong Paran Bulungan 1. Brun Ubut Lebung Sombang Bekayan Sondong Gunung Putih Mara Sekatak Kelu Kundas Setarat Takin Silid 300 Lanjutan Tabel III.11. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

65 Kabupaten/Kota Gunung/Bukit Tinggi (m) 14. Rian Aung Jatu - 7. Malinau 1. Laga Tumu Murjake Bukit Kalung Bukit Rapat Bulu Kujan Kelembit Bukit Lalau Bakayan Klawit Nunukan 1. Krayan - 2. Tidaliputu - 3. Pawan - 4. Bukit Titeh - 5. Tudadaun - 6. Depuan Pangodam - 8.Budukusia - Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 f. Hidrologi dan Prasarana Pengairan Berdasarkan Peta Jaringan Sungai di wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara, diperoleh gambaran pola sebaran jaringan sungai-sungai besar beserta anak-anak sungainya yang pada umumnya memiliki pola percabangan pohon (dendritic pattern). Karakteristik pola ini adalah gerakan limpasan air sungainya relatif cepat dari bagian hulu menuju ke hilir atau muara sungai dari suatu DAS. Gambaran pola jaringan sungai di wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara menurut DAS disajikan pada Gambar III.1. Secara umum konfigurasi lapangan di wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara di bagian Barat yang berbatasan dengan Provinsi Kalbar dan Negara tetangga Malaysia berupa wilayah pegunungan bagian hulu atau sumber air dari jaringan sungai-sungai di Provinsi Kaltim dan Kaltara yang kemudian mengalir menuju ke arah Timur, yaitu ke Selat Makassar ataupun ke Laut Sulawesi. Sementara di bagian tengah berupa kawasan endapan alluvial atau bahkan berupa cekungan, RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

66 misalnya cekungan Kutai (Kutai basin) yang berada di kawasan tengah Sungai Mahakam. Hal ini dapat dilihat dengan bentuk sungai yang cenderung berkelok-kelok yang sering pula membentuk meander atau sungai yang terputus. Pada kawasan sungai yang datar, pengaruh pasang surut air laut dapat berpengaruh sampai ke pedalaman dengan sungai yang berupa paparan banjir yang kemudian membentuk danaudanau. Kondisi demikian dapat mengakibatkan seringnya terjadi banjir di kawasan sekitar sungai ataupun kawasan dataran, khususnya bila terjadi hujan lebat di kawasan hulu sungai yang berupa wilayah pegunungan. Air yang datang dari daerah hulu dengan kelerengan sungai yang sangat terjal (banyak dijumpai jeram-jeram) akan terhenti pada kawasan cekungan yang relatif datar, sehingga mengakibatkan banjir pada wilayah cekungan tersebut. Kejadian banjir akan lebih parah lagi apabila pada bagian hilir sungai terjadi pasang air laut yang tinggi (pasang purnama). Nama dan panjang sungai di Provinsi Kaltim dan Kaltara dapat dilihat pada Tabel III.12. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

67 Gambar III.1. Peta Hidrologi dan DAS di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

68 Tabel III.12. Nama dan Panjang Sungai di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Kabupaten/Kota 1. Kabupaten Kutai Kartanegara Sungai Panjang (Km) 1. Mahakam Loa Haur Jembayan Kendang Rantau Sabintulung Pela Kahala Batangan Muntai Bongan Kedang Kepala Kelinjau Belayan Kedang Pahu Kabupaten Kutai Timur 1. Sangatta Bengalon Lembak Keraitan Sekurau - 6. Kaliorang - 7. Rapak Ba ai Manubar Sandaran Karangan Bangka Pengadan Ngayau Pantun Telen Wahau Kedang Kepala Senyiur Marah Jele Kelinjau Benderang Aji Mangkupa - RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

69 Lanjutan Tabel III.12. Kabupaten/Kota Sungai Panjang (Km) 26. Koran Mengkanying Tepian Langsat Beruang Murung Santan Beliwit Telaga Rantau Melan Tinjau Long Juk Rantau Kedang Rantau Jelai Bedat Maau Kudung Durian Selangkau Golok Pelawan Binatang Mandu Perupuk Peridan Bilas Bulan Marukangan Mengapah Bandang Susuk Belindan Belindan Kebuyahan Landas Ngayau Karang 750 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

70 Lanjutan Tabel III.12. Kabupaten/Kota Sungai Panjang (Km) 3. Kabupaten Kutai Barat 1. Muyub Pari Merah Alau Boh Ninjau Kota Samarinda 1. Mahakam 850,7 2. Karang Mumus - 3. Langsat - 4. Pampang Kanan 29,5 5. Pampang Kiri - 6. Muang - 7. Bayur - 5. Kabupaten Berau 1. Segah Dumaring Tabalar Suaran Inaran Kedai Siduug Biaran Long gie Tawon Malinau Samabaratta Sulaiman Tanian Buku Lumbungan Lesan Pura Siagung Berau Lati Bentai Kabupaten Nunukan 1. Sembangkung Sebuku Simanggaris Itay Sepadaan 32 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

71 Lanjutan Tabel III.12. Kabupaten/Kota Sungai Panjang (Km) 6. Sulanan Sumalungun Agiasan Tikung Tabut Kabupaten Bulungan 1. Pimping Kayang Sekatak Sesayap Bandan Jelarei Linuang kayan Kabupaten Malinau 1. Kayan Bahau Lurah Pujungan Kat Nawang Tekwan Danun Irumal Kayanon Biu Kajanak Kayaket Lanau Lui Batu Isuy Paku Pengenau Kaburan Mentarang Jempulan Tubu Kaku Malinau Bengalun Kota Balikpapan 1. Somber Wain 12,6 3. Manggar 21,4 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

72 Lanjutan Tabel III.12. Kabupaten/Kota Sungai Panjang (Km) 10. Kabupaten Paser 1. Jerengu - 2. Keladen - 3. Secendan - 4. Rewang - 5. Bakung - 6. Kerang - 7. Bikang - 8. Langai - 9. Tebruk Apar Besar Apar Kecil Belengkong Mantik Samu Sambo Kuaro Pakasan Samuntai Lebok Biu Samurangu Busui Kesungai Kendilo Rayon Mali Adang Sekurau Telake Tualan Pias Tuyuk Telakai 155,8 34. Kepala Telake Temurayan Sesulu Kabupaten Penajam Pasir 1. Tunan 46,8 Utara 2. Riko 46,7 3. Kernaen - RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

73 Lanjutan Tabel III.12 Kabupaten/Kota Sungai Panjang (Km) 4. Pemaluan Selamayut - 6. Semoi Sepaku Tengan - 9. Menyangau - Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 dan Hasil Inventarisasi Sungai Dinas PU Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014 Prasarana pengairan yang berada di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.13. Prasaranan Pengairan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau No Jenis Prasarana Lokasi (Desa/Kel, Kec, Kab/Kota) 1 Embung Muru Kuaro, Paser 2 Bendungan Merancang Merancang Ulu, Merancang Ilir, Melati Jaya, Gunung Tabur, Berau 3 Bendungan Kanaan Kanaan, Bontang 4 Jaringan Kanaan Kaubun. Kutai Timur 5 Bendungan Benanga Lempake, Samarinda Utara 6 Bendungan Manggar Karang Joang, Balikpapan 7 Embung Bolong Tator, Nunukan 8 Embung Bilal Nunukan 9 Embung Binalatung Kampung Satu, Tarakan Tengah 10 Bendungan Samboja Karya Jaya, Samboja 11 Embung Wain Karang Joang, Balikpapan Utara Sumber: BWS Kalimantan III dan Dinas PU Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014 g. Keadaan Vegetasi/Penutupan Lahan Kondisi penutupan lahan di wilayah Kaltim dan Kaltara seperti terlihat pada Gambar III.2, secara umum masih berwarna hijau oleh penutupan vegetasi. Hanya saja vegetasi hutan sudah berkurang sangat banyak bila dibandingkan dengan kondisi tiga dekade sebelumnya. Sebagian besar kawasan hutan sudah mengalami perubahan fungsi/peruntukan kawasan dengan jumlah pohon yang semakin menurun. Sementara kawasan hutan yang belum mengalami RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

74 perubahan fungsi/peruntukan sebagian besar terletak di wilayah pegunungan. Penutupan lahan di wilayah Kaltim dan Kaltara terdiri dari hutan mangrove primer ± ,02 ha, hutan mangrove sekunder ± ,31 ha, hutan rawa primer ± ,14 ha, hutan rawa sekunder ± ,51 ha, hutan lahan kering primer ± ,08 ha, hutan lahan kering sekunder ± ,97 ha, hutan tanaman ± ,08 ha, belukar ± ,41 ha, belukar rawa ± ,91 ha, pertanian lahan kering campur ± ,09 ha, pertanian lahan kering ± ,14 ha, perkebunan ± ,06 ha, pemukiman ± ,71 ha, rawa ± ,15 ha, savana ± 849,40 ha, sawah ± 7.668,71 ha, pertambangan ± ,62 ha, tambak ± ,70 ha, transmigrasi ± ,14 ha, badan air ± ,36 ha dan tanah terbuka ± ,87 ha. Penutupan vegetasi di wilayah Kaltim dan Kaltara di bagian timur umumnya berupa hutan sekunder ataupun belukar. Pada masa tiga dekade sebelumnya, kawasan tersebut masih berupa hutan primer yang belum terjamah. Identifikasi tegakan awal dilakukan dalam review RTk RHL-DAS ini dengan analisis GIS terhadap Peta Penutupan Lahan Tahun Hasil identifikasi tersebut berupa tiga kelas lahan berdasarkan tingkat kerapatan tegakan, yaitu lahan terbuka dengan kerapatan tegakan < 200 batang/ha; lahan kerapatan sedang (jarang) dengan kerapatan tegakan > 200 s/d 700 batang/ha; dan lahan kerapatan tinggi (rapat) dengan kerapatan tegakan > 700 batang/ha. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

75 Gambar III.2. Keadaan Penutupan Lahan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

76 h. Tingkat Kerusakan Lahan Kondisi lahan yang mengalami kerusakan dalam wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau cukup luas. Berdasarkan data terakhir yang dimiliki dari Hasil Review Data Spasial Lahan Kritis Tahun 2013, terdapat sekitar 9 juta ha lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Kerusakan lahan yang terjadi terus meningkat dari tahun ke tahun dengan semakin banyaknya penggunaan lahan yang tidak memperhatikan aspek konservasi tanah dan air. Disamping itu, semakin banyaknya lahan yang dibuka untuk kegiatan pertambangan maupun perkebunan mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap bertambahnya jumlah luasan lahan kritis. Luas lahan kritis di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.14. Luas Lahan Kritis di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau No Kabupaten / Kota Nunukan Malinau Tarakan Bulungan Berau Kutai Timur Bontang Samarinda Kutai Kartanegara Kutai Barat Mahakam Ulu Balikpapan Penajam Paser Utara Paser Tana Tidung Luas Lahan Kritis (ha) Dalam Luar Kawasan Kawasan , , , , , , ,07 21, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,20 Jumlah , , , , , , , , , , , , , ,68 Jumlah , , ,32 Sumber: Hasil Review Data Spasial Lahan Kritis BPDAS Mahakam Berau Tahun 2013 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

77 Sedangkan keadaan kekritisan lahan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara disajikan pada Gambar III.3. Gambar III.3. Keadaan Kekritisan Lahan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 2. Mangrove/Sempadan Pantai a. Sebaran dan Kondisi Mangrove tiap Fungsi Kawasan Kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan mangrove umumnya berjarak lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat. Ekosistem mangrove ini diidentifikasi RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

78 menggunakan pendekatan dan perpaduan antara teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Geographical Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG). Penerapan teknik penginderaan jauh (remote sensing) memerlukan Citra Landsat. Interpretasi Citra Landsat ini menggunakan metoda Normal Density Value Index (NDVI), yaitu suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal inframerah dan kanal merah yang menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi setiap piksel secara relatif sebagai mangrove rapat dan mangrove kurang rapat. Nilai NDVI 0,43 s/d 1,00 diidentifikasi sebagai mangrove rapat, sedangkan NDVI 1,00 s/d 1,42 menunjukkan mangrove kurang rapat. Dengan penggunaan teknologi ini maka ekosistem mangrove dapat diketahui lebih cepat dan lebih efisien mengingat areal mangrove yang sangat luas. Identifikasi dan inventarisasi habitat mangrove baik bervegetasi mangrove maupun lahan kosong sangat diperlukan dalam rangka rehabilitasi. Kegiatan dilakukan melalui peninjauan lapangan dan menggunakan data/informasi Peta Land System. Menurut para ahli mangrove, vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada land system tertentu seperti KJP, KHY, PTG dan TWH. Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa data seperti yang telah disebutkan di atas, diketahui bahwa pada wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau terdapat potensi mangrove yang tersebar pada 11 (sebelas) wilayah administratif kabupaten/kota yang ada di Provinsi Kaltim dan Kaltara. Menurut fungsi kawasan, sebaran mangrove terdapat pada kawasan hutan negara (Hutan Konservasi, Hutan Produksi, dan Hutan Lindung) dan di luar kawasan hutan negara (Areal Penggunaan Lain) dengan luas total mencapai ,491 ha. Ekosistem mangrove yang terdapat di dalam kawasan hutan seluas ,649 ha atau sebesar 35,26% dari luas total. Sedangkan ekosistem mangrove yang terdapat di luar kawasan hutan (APL) tercatat seluas ,842 ha atau sebesar 64,74% dari luas total. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

79 Dari luasan mangrove tersebut di atas, yang menjadi potensi sasaran rehabilitasi adalah seluas ,279 ha, dimana ,144 ha berada di luar kawasan hutan dan ,135 ha termasuk dalam kawasan hutan negara. Sasaran rehabilitasi adalah ekosistem mangrove yang memiliki kriteria kerapatan mangrove kurang rapat (Prioritas I) dan kerapatan TM atau tidak ada mangrove/kosong (Prioritas II). Sedangkan ekosistem mangrove yang memiliki kriteria rapat tidak menjadi prioritas sasaran rehabilitasi. Perincian data sebaran dan kondisi mangrove menurut wilayah administrasi dan fungsi kawasan di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dapat dilihat tabel berikut. Tabel III.15. Sebaran dan Kondisi Mangrove di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Kabupaten/Kota Kerapatan Mangrove Hutan Konservasi Kawasan Hutan Hutan Lindung Hutan Produksi Areal Penggunaan Lain Kawasan Kawasan Budidaya Lindung Total Luas (ha) BERAU , ,698 34, ,653 R , , ,124 TM , , ,434 TR 2.952, ,143 34, ,095 BULUNGAN , , ,604 R 1.379, ,984 TM , , ,251 TR , , ,369 KUTAI KARTANEGARA ,243 17, , , ,219 R 497, , ,438 TM ,233 17, , , ,070 TR 545, , , ,711 KUTAI TIMUR 2.085, , , , , ,953 R 321,421 16, ,744 6, ,307 TM 1.356, , , ,435 13, ,824 TR 407, , , , ,822 NUNUKAN 27, , , ,403 R 1.428, , ,325 TM 27, , , ,569 TR , , ,509 PASIR 3.238,866 72, ,316 8, ,211 TM 1.688,518 3, ,340 8, ,096 TR 1.550,348 68, , ,115 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

80 Lanjutan Tabel III.15. Kabupaten/Kota Kerapatan Mangrove Hutan Konservasi Kawasan Hutan Hutan Lindung Hutan Produksi Areal Penggunaan Lain Kawasan Kawasan Budidaya Lindung Total Luas (ha) PENAJAM PASER UTARA 3.366, , ,401 R 618, , ,837 TM 675, , ,626 TR 2.072, , ,938 TANA TIDUNG , , ,143 R 322, , ,855 TM , , ,291 TR , , ,997 BALIKPAPAN 6.178,514 1, ,512 3, ,869 TM 6.156,040 0, , ,705 TR 22,474 1, ,891 3, ,164 BONTANG 330,857 66, , ,028 TM 65,290 66, , ,419 TR 265, , ,609 TARAKAN 4.266, ,007 TM 3.210, ,420 TR 1.055, ,587 Jumlah (Ha) , , , , , ,491 Keterangan Kerapatan Mangrove: R : Rapat TR : Kurang Rapat TM : Tidak ada tanaman Mangrove (Kosong) b. Sebaran dan Kondisi Sempadan Pantai tiap Fungsi Kawasan Wilayah sempadan pantai berada di daratan sepanjang tepian dimana lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Cakupan wilayah sempadan pantai ini diidentifikasi menggunakan pendekatan Geographical Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode yang digunakan yaitu dengan sistem buffer sepanjang bibir pantai dengan lebar 100 meter ke arah darat. Kondisi sempadan pantai dapat dilihat dari indikator kepekaannya terhadap abrasi. Kepekaan tersebut salah satunya berkaitan dengan tekstur tanah. Hubungan antara tekstur tanah dengan kepekaan pantai terhadap abrasi adalah bahwa pada land system PTG yang bertekstur pasir telah terjadi abrasi 3,2 4 meter per tahun (peka), sedangkan RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

81 pada land system KJP dan KHY yang bertekstur lempung abrasi hanya mencapai antara 0,5 1,5 meter per tahun (kurang peka). Menurut Peta Land System, diketahui bahwa luas sempadan pantai di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau adalah 3.290,708 ha, yang membentang pada pesisir di 9 (sembilan) wilayah administrasi kabupaten/kota yang ada di Provinsi Kaltim dan Kaltara. Menurut fungsi kawasan, sempadan pantai yang berada di dalam kawasan hutan negara (Hutan Konservasi dan Hutan Produksi) terhitung seluas 339,503 ha. Sedangkan sempadan pantai yang terdapat di luar kawasan hutan (APL) terhitung seluas 2.951,205 ha. Penentuan prioritas sasaran didasarkan pada tingkat kepekaan tanah pada wilayah tersebut terhadap abrasi. Perincian sebaran sempadan pantai di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau adalah disajikan pada tabel berikut. Tabel III.16. Sebaran Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Kabupaten/Kota Kawasan Hutan Areal Penggunaan Lain Total Luas Hutan Hutan Kawasan Kawasan (ha) Konservasi Produksi Budidaya Lindung BERAU 1, ,979 23, ,117 BULUNGAN 60, , ,268 KUTAI KARTANEGARA 22,792 1,268 24,060 KUTAI TIMUR 11, ,923 79, ,729 NUNUKAN 59, , ,209 PENAJAM PASER UTARA 19,895 48,237 68,132 TANA TIDUNG 162, , ,215 BALIKPAPAN 1, ,566 7, ,427 TARAKAN 26,551 26,551 Jumlah (Ha) 22, , , , ,708 c. Penggunaan Lahan Data penutupan lahan dalam identifikasi mangrove dan sempadan pantai diperlukan untuk menggambarkan sampai sejauh mana intervensi manusia dalam kaitannya dengan keberadaan tegakan mangrove. Secara umum, pengaruh vegetasi penutup tanah di pesisir pantai (mangrove dan sempadan pantai) terhadap abrasi yaitu RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

82 melindungi permukaan tanah dari tumbukan gelombang, menurunkan kecepatan dan memperkecil tekanan air, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran yang kokoh, serta mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air. Penutupan lahan sangat erat kaitannya dengan pola penggunaan lahan yang berkembang di suatu wilayah. Penggunaan lahan merupakan bentuk campur tangan manusia, baik secara menetap ataupun berpindah pindah terhadap suatu kelompok sumber daya alam dan sumber daya buatan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kebutuhan keduaduanya (Malingreau, 1978). Penggunaan lahan pada umumnya digunakan untuk mengetahui pemanfaatan lahan masa kini (present landuse) karena aktivitas manusia bersifat dinamis. Data penutupan lahan di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau khususnya pada habitat mangrove dan sempadan pantai diperoleh dari hasil interpretasi/penafsiran Citra Landsat ETm 7+ Tahun 2012 dan referensi dari Citra dengan resolusi yang lebih tinggi. Perincian jenis penutupan lahan pada habitat mangrove dan sempadan pantai di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau disajikan pada tabel berikut. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

83 Tabel III.17. Jenis Penutupan Lahan pada Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Kabupaten/Kota Penutupan Lahan Bdr A Hp Hs Hmp Hms Hrp Hrs Ht Pm Pk BERAU 138, ,066 99, , , , , ,357 98, , ,874 BULUNGAN 224, , , , , , , , ,190 KUTAI KARTANEGARA 726, , , , , , ,991 KUTAI TIMUR 0, , , , ,117 12,162 13,148 78, ,617 NUNUKAN 0,173 53, , , , , , ,136 PASIR 153,690 22, , , ,452 20,358 41, ,604 PENAJAM PASER UTARA 58, , ,707 53, , ,992 TANA TIDUNG 0, , , , , ,045 0, ,771 BALIKPAPAN 276,824 31, , ,226 73, ,507 66,787 0,249 BONTANG 101, , ,681 TARAKAN 33,228 71,017 62, ,448 40,113 97,906 Jumlah (Ha) 448, , , , , , , , , , ,424 Keterangan Penutupan Lahan: Bdr : Bandara/Pelabuhan A : Danau/Air Hp : Hutan Lahan Kering Primer Hs : Hutan Lahan Kering Sekunder Hmp : Hutan Mangrove Primer Hms : Hutan Mangrove Sekunder Hrp : Hutan Rawa Primer Hrs : Hutan Rawa Sekunder Ht : Hutan Tanaman Pm : Pemukiman Pk : Perkebunan RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

84 Lanjutan Tabel III.17. Kabupaten/Kota Penutupan Lahan Tb Pt Pc Rw Sw Br B Tm T Tr Total Luas (ha) BERAU 239,015 53, ,407 12, , , , , , ,770 BULUNGAN 305, , , , , , , ,872 KUTAI KARTANEGARA 2.822, , , , , , , , , ,279 KUTAI TIMUR 85, , , ,288 14, , , , , ,682 NUNUKAN 94,586 21, ,535 99, , , , , ,612 PASIR 77, , , , , , , ,865 6, ,211 PENAJAM PASER UTARA 17, , , , , , , , ,533 TANA TIDUNG 2.153, , , , , , ,358 BALIKPAPAN 0, ,687 22,313 5,749 59, , ,835 75, ,296 BONTANG 3, , , , ,430 70, ,028 TARAKAN 10, , ,449 66, , , , , ,558 Jumlah (Ha) 5.790, , , , , , , , , , ,199 Keterangan Penutupan Lahan: Tb : Pertambangan Pt : Pertanian Lahan Kering Pc : Pertanian Lahan Kering Bercampur dengan Semak Rw : Rawa Sw : Sawah Br : Semak Belukar Rawa B : Semak/Belukar Tm : Tambak T : Tanah Terbuka Tr : Transmigrasi RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

85 d. Land System Permukaan bumi tersusun satuan-satuan bentuk lahan (landforms) yang merupakan hasil interaksi antara proses-proses yang bekerja padanya dengan batuan/material penyusun dan topografi/relief. Proses-proses seperti berbagai bentuk gerak massa, sedimentasi, dan abrasi akan meninggalkan bentukan yang khas yang dapat diidentifikasi dari citra penginderaan jauh. Tingkat kedetailan dari informasi permukaan lahan yang dapat disadap dari citra penginderaan jauh sangat tergantung pada skala (Mulder, 1987). Proses yang pernah terjadi akan meninggalkan bentukan yang khas pada permukaan lahan dan akan terus berlangsung pada saat ini dan pada masa yang akan datang dengan intensitas yang berbeda-beda (Thornbury, 1965). Untuk kepentingan pemanfaatan lahan yang optimal, lahan di permukaan bumi dengan bentuk-bentuk yang khas yang mencerminkan potensi dan penghambat dalam pemanfaatannya diklasifikasikan menurut sistem-sistem tertentu. RePPProT (Regional Physical Planning Program for Transmigration) Tahun 1987, menggunakan kategori land system untuk membagi satuan-satuan lahan di Indonesia dan melakukan interpretasi untuk berbagai kemungkinan peruntukan pemanfaatan lahan yang optimal. Pemetaan sumber daya lahan berskala tinjau menunjukkan bahwa RePPProt hanya dapat digunakan untuk perencanaan tingkat regional (provinsi) dan tidak layak digunakan untuk perencanaan pada tingkat-tingkat yang lebih detail (semi detail dan detail). Database land system yang ada pada peta-peta lampiran di RePPProT dapat dimanfaatkan untuk penentuan habitat mangrove dan tingkat kepekaan tanah terhadap abrasi (tekstur tanah). Vegetasi mangrove dapat tumbuh pada land system tertentu seperti KJP (Kajapah), KHY (Kahayan), PTG (Puting) dan sebagian lain TWH (Teweh). Tipe Lahan KJP merupakan lahan pantai yang rendah dan lebar sebagian wilayahnya digenangi, atau paling tidak sebagian besar dari satu tahun dan juga merupakan dataran antara pasang surut RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

86 bawah mangrove dan relief kurang dari 2 meter. Batuan/mineral dominan alluvium, campuran estuarin dan marin yang masih muda; kelompok besar tanah regosol dan alluvial; tekstur tanah pada lapisan atas/bawah adalah kasar/agak kasar dan halus/agak halus. Tipe Lahan PTG merupakan lahan pantai yang terdapat tumpukan terutama endapan pasir pantai. Topografi landai sampai bergelombang dengan kemiringan 0-3%, relief 2 sampai 10 meter. Batuan/mineral dominan alluvium, endapan laut yang muda (pasir-pasir pantai, kerikil); kelompok besar tanah alluvial dan regosol; tekstur tanah pada lapisan atas/bawah adalah agak halus/halus dan kasar/agak kasar. Tipe Lahan KHY merupakan lahan pantai yang terdapat endapan pasir berupa dataran-dataran sebagian merupakan hasil paduan endapan pada muara sungai. Topografi dengan kemiringan kurang dari 2%, relief 2-10 meter. Batuan/mineral dominan alluvium, campuran estuarin dan marin yang masih muda, alluvium sungai muda dan gambut; kelompok besar tanah alluvial, regosol dan organosol; tekstur tanah pada lapisan atas/bawah adalah halus/agak halus, kasar/agak kasar dan gambut. Kepekaan erosi pada sempadan pantai salah satunya berkaitan dengan tekstur tanah, dan terdapat hubungan yang erat antara tekstur tanah dengan kepekaan pantai terhadap abrasi. Pada land system PTG yang umumnya bertekstur pasir tergolong peka terhadap abrasi, sedangkan pada land system KJP, KHY dan TWH yang bertekstur lempung tergolong kurang peka terhadap abrasi. Data sebaran land system pada habitat mangrove dan sempadan pantai di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dapat dilihat pada tabel berikut. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

87 Tabel III.18. Sebaran Land System pada Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau No Kabupaten/Kota Land System (ha) GBJ GBT KHY KJP KLR KPR LHI LWW MDW MPT OKI PST PTG TWB TWH Jumlah (ha) 1 Berau 154, , ,86 188, ,86 180,69 483,26 46, , , ,51 2 Bulungan , , ,18 63,34 722, , , ,55 3 Kutai Kartanegara , ,81 44,33 216, , ,97 191,246,88 4 Kutai Timur 288, , ,56 107, ,78 324,37 325, , ,71 5 Nunukan 454, , ,14 81,08 20,47 274,56 881,06 801, ,14 6 Paser 9.696, ,90 409,31 490,50 328, ,00 7 Penajam Paser Utara 7.053, ,39 6, , ,77 130, , ,72 8 Tana Tidung 1.013, , ,21 8, ,06 304,60 51,46 5,57 747, , ,60 9 Balikpapan 576,47 43,46 455,39 730,17 75, , ,09 10 Bontang 313, ,42 859,87 469, ,98 11 Tarakan 4.423,75 37,34 93, ,13 Jumlah (ha) 442, , , ,24 8,01 340,04 50, ,81 566, ,30 46, , ,75 206, , ,29 Keterangan Nama Land system: GBJ : (Gunung Baju) Dataran karst berbukit kecil GBT : (Gambut) Rawa-rawa gambut yang dalam dgn permukaan biasanya lengkung KHY : (Kahayan) Dataran pantai/sungai yang tergabung KJP : (Kajapah) Dataran lumpur di daerah pasang surut dibawah bakau dan nipah KLR : (Klaru) Dataran banjir yang selalu tergenang KPR : (Kapor) Dataran karst berombak mengandung bukit karst kecil LHI : (Lohai) Kelompok punggung yang panjang dan sempit LWW : (Lawanguang) Dataran batuan endapan berombak hingga bergrlombang MDW : (Mandawai) Rawa-rawa gambut yang dangkal MPT : (Maput) Perbukitan batuan bukan endapan yang tidak simetris atau teratur OKI : (Okki) Punggung-punggung dan gunung karst curam PST : (Pulau Sebatik) Teras-teras marin PTG : (Puting) Pantai-pantai dan lembah-lembah diantaranya TWB : (Tewai Baru) Dataran berbukit kecil dengan punggung terjal, sejajar TWH : (Teweh) Dataran batuan endapan, berbukit kecil

88 3. Kawasan Bergambut a. Sebaran Kawasan Bergambut Berdasarkan data sebaran lahan gambut, luas dan kandungan karbon di Kalimantan yang dikeluarkan oleh WetLands International, dan hasil analisis GIS berupa edge matching dengan menyesuaikan peta sumber dari Wetlands International dengan base peta PDTK, Peta DAS dan Peta Administrasi, di ketahui bahwa penyebaran kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau terdapat di 11 kabupaten kota dengan luas total mencapai ± ,18 ha. Kawasan bergambut paling luas terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu seluas ± ,26 ha, diikuti kawasan bergambut di Kabupaten Nunukan seluas ± ,86 ha, kemudian kawasan bergambut di Kabupaten Tana Tidung seluas ± ,16 ha. Sedangkan kabupaten/kota lainnya memiliki luasan kawasan bergambut di bawah ha. Rincian sebaran kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.19. Sebaran Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau No Kabupaten/Kota Luas (ha) Berau Bulungan Kutai Barat Kutai Kartanegara Kutai Timur Malinau Nunukan Paser Tana Tidung Bontang Samarinda , , , , ,36 694, , , , , ,84 Jumlah (ha) ,18 Sumber: Hasil Analisa Data GIS dan Review Data Spatial Lahan Kritis Tahun 2013 Berdasarkan fungsi kawasan, sebaran kawasan bergambut yang paling luas berada di luar kawasan hutan/areal Penggunaan Lain (Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung) seluas ,40 ha atau 67,48% dari luas total kawasan bergambut yang ada di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

89 b. Kondisi Kekritisan Kawasan Bergambut Suatu ekosistem kawasan gambut berfungsi lindung dan budidaya dikategorikan kritis apabila pada kawasan bergambut tersebut kondisi penutupan lahannya (vegetasinya) jarang, terjadi penggenangan sehingga menyulitkan upaya-upaya rehabilitasinya, dan terjadi subsiden atau amblas karena kehilangan ketebalan tanah gambut oleh berbagai sebab. Berdasarkan cara pengumpulan datanya, terdapat 2 (dua) alternatif untuk menentuan tingkat kekritisan kawasan bergambut yaitu : a. Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS dan Penginderaan Jauh dengan Citra Satelit; atau b. Penilaian secara langsung di lapangan (terestris), yaitu untuk keperluan check lapangan (ground check) dengan melakukan kunjungan ke lapangan pada sampel terpilih. Tingkat kekritisan kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.20. Tingkat Kekritisan Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau No Kabupaten/Kota Tingkat Kekritisan Jumlah AK K PK SK TK (ha) 1 Berau 5.896,64 465, ,01 74, , ,47 2 Bulungan 310,33-944, ,60 3 Bontang 6.150, , ,16 6, , ,18 4 Samarinda 2.289, ,35 861,90 12, ,84 5 Kutai Barat ,64 412, , , ,26 6 Kutai Kartanegara , ,64 120, , ,26 7 Kutai Timur ,40 301, ,17 4, , ,36 8 Malinau 283,75-70,02-340,98 694,75 9 Nunukan ,24 150, , , ,86 10 Paser 5.719,02 5, , ,42 11 Tana Tidung ,49 141, , , ,16 Jumlah (ha) , , ,40 217, , ,18 Keterangan: AK = Agak Kritis K = Kritis PK = Potensial Kritis SK = Sangat Kritis TK = Tidak Kritis Sumber: Hasil Analisa Data GIS dan Review Data Spatial Lahan Kritis Tahun 2013 c. Ketebalan/Kedalaman Tanah Gambut Tanah gambut yang terbentuk pada wilayah Kabupaten Nunukan, Berau dan Bulungan sebagian besar merupakan tanah gambut pantai yang proses RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

90 pembentukkannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada bagian atas daerah tersebut yaitu pada Kabupaten Malinau dan Tana Tidung merupakan tanah gambut pedalaman. Di antara kedua jenis tanah gambut tersebut merupakan tanah gambut transisi. Tanah gambut pantai, transisi dan pedalaman tersebut terbentuk pada daerah cekungan yang relatif dalam, sehingga tanah gambut yang terbentuk juga relatif lebih tebal, yaitu umumnya lebih dari 3 meter. Data ketebalan tanah gambut di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel III.21. Sebaran Ketebalan Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau No Kabupaten/Kota BERAU BULUNGAN KUTAI BARAT KUTAI KARTANEGARA KUTAI TIMUR MALINAU NUNUKAN PASIR TANA TIDUNG BONTANG SAMARINDA (Dangkal) , , , ,78-945, , , , ,98 Kriteria Kedalaman Gambut (ha) (Sedang) , , , , , (Dalam) , , , , (Sangat Dalam) , , , Jumlah (ha) , , , , , , , , , , ,98 Jumlah (ha) , , , , Sumber : Hasil Analisa Data GIS Dari tabel tersebut di atas, diketahui bahwa gambut dengan kedalaman cm (dangkal) menempati areal yang paling luas yaitu ,40 ha, diikuti oleh gambut dengan kedalaman cm (dalam) seluas ,76 ha. Kawasan bergambut di wilayah Kabupaten Nunukan dan Tana Tidung memiliki variasi kedalaman yang paling lengkap. d. Kematangan Gambut Kematangan gambut dapat diketahui melalui pengamatan langsung di lapangan. Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui 3 (tiga) proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi. Kematangan gambut bervariasi karena dibentuk dari RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

91 bahan, kondisi lingkungan dan waktu yang berbeda. Gambut yang telah matang akan cenderung lebih halus dan lebih subur. Sebaliknya gambut yang belum matang banyak mengandung serat kasar dan kurang subur. Kematangan gambut terdiri dari: matang/safrik (bahan asal sudah tidak bisa dikenali lagi), setengah matang/hemik (sebagian bahan asal masih bisa dikenali), dan mentah/fibrik (bahan asal masih bisa dikenali, belum melapuk). Kawasan bergambut yang terdapat di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau memiliki kematangan gambut setengah matang/hemik seluas ,52 ha dan matang/safrik ,74 ha. Kematangan gambut dengan tingkat kematangan mentah/fibrik tidak ditemukan. Rincian sebaran tingkat kematangan gambut yang ada di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau disajikan pada tabel berikut. Tabel III.22. Kematangan Gambut di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Tingkat Kematangan Gambut (ha) No. Kabupaten/Kota Setengah Jumlah (ha) Matang/Safrik Matang/Hemik 1. BERAU , ,54 2. BULUNGAN 1.254, ,60 3. KUTAI BARAT , ,16 4. KUTAI KARTANEGARA , , ,71 5. KUTAI TIMUR , , ,36 6. MALINAU 5.361, ,32 7. NUNUKAN , ,83 8. PASIR , ,42 9. TANA TIDUNG , , , BONTANG 1.077, , SAMARINDA 4.812, ,98 Jumlah (ha) , , ,26 Sumber: Hasil Analisa Data GIS Sebaran tingkat kematangan gambut menurut fungsi kawasan di wilayah kerja BPDAS Mahakam Berau disajikan pada tabel berikut. Tabel III.23. Kematangan Gambut Menurut Fungsi Kawasan di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau No Kabupaten/Kota Hutan Konservasi (HK) Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi (HP) Kawasan Budidaya (KB) Kawasan Lindung (KL) Tingkat Kematangan Gambut (ha) Matang/Safrik Setengah Matang/Hemik , , , , , , ,46 868, ,45 Jumlah (ha) , , , , ,79 Jumlah , , ,26 Sumrber: Hasil Analisa Data GIS RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

92 B. Keadaan Sosial Ekonomi 1. Kependudukan Penduduk Kaltim dan Kaltara dari tahun ke tahun memperlihatkan kenaikan yang cukup berarti. Jumlah penduduk pada Tahun 2008 tercatat sebesar jiwa meningkat menjadi jiwa pada Tahun Berarti dalam periode tersebut penduduk Kaltim dan Kaltara telah ±70 ribu jiwa setiap tahunnya. Kondisi penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Kaltim dan Kaltara secara rinci disajikan pada tabel berikut. Tabel III.24. Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara NO Kabupaten/Kota Tahun Paser Kutai Barat Kutai Kartanegara Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Tana Tidung Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang Jumlah Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 Pertumbuhan penduduk Kaltim dan Kaltara sebenarnya tidak merata sepanjang tahun. Pertumbuhan penduduk pada periode sebesar 2,26%, pada periode sebesar 12,27%, periode sebesar 3,86%, sedangkan periode sebesar 3,55%. Pada Tahun pertumbuhan penduduk di setiap kabupaten/kota menunjukkan peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi di Kabupaten Tana Tidung yaitu sebesar 8,71%, sedangkan kabupaten/kota lainnya pertumbuhannya berkisar 1,96 5,87%. Sebagaimana pertumbuhan penduduk, persebaran penduduk di Kaltim dan Kaltara juga tidak merata. Pada Tahun 2012 porsi terbesar penduduk Kaltim dan Kaltara berada di Kota Samarinda (20,47%), yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Selebihnya, berada di Kabupaten Kutai Kartanegara (17,64%), RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

93 Kota Balikpapan (15,69%) dan tersebar di kabupaten/kota lainnya (0,43-6,48%). Pola persebaran penduduk seperti ini sejak Tahun 2008 tidak banyak berubah. Pola persebaran penduduk Kaltim dan Kaltara menurut luas wilayah sangat timpang, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat kepadatan penduduk antar daerah yang mencolok, terutama antar daerah kabupaten dengan daerah kota. Wilayah kabupaten dengan luas 99,17% dari wilayah Kaltim dan Kaltara dihuni oleh sekitar 54,35% dari total penduduk. Sedangkan selebihnya, yaitu sekitar 46,65% menetap di daerah kota dengan luas 0,83% dari luas wilayah seluruhnya. Akibatnya, kepadatan penduduk di daerah kabupaten hanya berkisar 1-48 jiwa/km² dibanding kepadatan penduduk di Kota Balikpapan (1.148,35 jiwa/km²), Kota Samarinda (1.087,30 jiwa/km²), Kota Tarakan (767,61 jiwa/km²) dan Kota (Bontang 914,96 jiwa/km²). Sedangkan kepadatan penduduk Kaltim dan Kaltara adalah (18,88 jiwa/km²). Ditinjau dari komposisi penduduk menurut jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki di Kaltim dan Kaltara masih lebih banyak dibanding jumlah penduduk perempuan. Hal ini terlihat dari rasio jenis kelamin yang lebih besar dari 100. Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan, termasuk pembangunan di bidang kehutanan. Jumlah dan posisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Bagian dari tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi disebut angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 tenaga kerja. Selama kurun waktu , angkatan kerja di Kalimantan Timur meningkat sebanyak orang dari orang menjadi orang. TPAK Kalimantan Timur pada tahun 2012 sebesar 66,64 persen, mengalami penurunan sebesar 1,87 persen dibandingkan dengan kondisi tahun Menurut jenis kelamin terlihat baik laki-laki maupun perempuan cenderung berfluktuasi pada kurun waktu yang sama. Tahun 2012 TPAK laki-laki sebesar 89,93% dan Tahun 2012 turun menjadi 88,36%. 2. Mata Pencaharian dan Pendapatan Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kaltim dan Kaltara menurut lapangan usaha pada Tahun 2012 tercatat sebesar 3,98% RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

94 dengan migas dan sebesar 11,73% tanpa migas. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 4,08% dengan migas dan 12,03% tanpa migas, maka pada Tahun 2012, laju pertumbuhan PDRB dengan migas dan tanpa migas mengalami penurunan. Hampir semua sektor ekonomi di Kaltim dan Kaltara pada Tahun 2012 mengalami percepatan pertumbuhan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hanya sektor industri pengolahan yang mengalami perlambatan. Struktur ekonomi Kaltim dan Kaltara Tahun 2012 dengan migas maupun non migas tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. PDRB dengan migas menunjukkan bahwa sektor ekonomi yang sangat berperan dalam pembentukan PDRB Kaltim dan Kaltara adalah sektor pertambangan (47,44%), industri pengolahan (23,50%), perdagangan, hotel dan restoran (8,62%), serta sektor pertanian (6,16%). Struktur PDRB non migas didominasi oleh empat sektor yaitu sektor pertambangan (47,91%), sektor perdagangan, hotel dan restoran (13,25%), sektor pertanian (9,46%), serta sektor industri pengolahan (7,43%). Dengan jumlah penduduk pertengahan tahun sebesar jiwa, pendapatan perkapita netto atau pendapatan yang diterima penduduk Kaltim dan Kaltara pada Tahun 2012 sebesar rupiah (dengan migas), mengalami peningkatan 7,81% dibandingkan tahun sebelumnya yang besarnya rupiah. Sedangkan pendapatan perkapita non migas meningkat 8,70% yaitu dari rupiah menjadi rupiah di Tahun PDRB dengan migas menurut kabupaten/kota pada Tahun 2012 terbesar ada di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan nilai PDRB sebesar 132,09 triliun rupiah, disusul Kota Bontang dengan nilai 68,51 triliun rupiah, dan Kabupaten Kutai Timur dengan nilai 50,18 triliun rupiah. Sedang pertumbuhan ekonomi tertinggi menurut kabupaten/kota pada Tahun 2012 ada di Kabupaten Kutai Timur sebesar 12,68%. 3. Pemilikan dan Penggunaan Lahan Pemilikan lahan masyarakat yang ada di Provinsi Kaltim dan Kaltara pada umumnya berupa lahan pertanian maupun kebun. Kepemilikan lahan oleh masyarakat sangat bervariasi (berkisar 5 10 ha), dimana lahan efektif yang RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

95 diusahakan pada umumnya masih lebih kecil dari yang dimiliki/dikuasai. Pada umumnya, lahan milik masyarakat berada di luar kawasan hutan. Penggunaan lahan yang ada lebih kepada usaha pertanian, perkebunan maupun pertambakan. Penggunaan lahan pertanian di Provinsi Kaltim dan Kaltara yang ditanami padi seluas ± ha. Dari total tersebut, lahan pertanian yang ditanami padi sebanyak tiga kali tanam sekitar ha, sebanyak dua kali tanam sekitar ha, dan yang hanya satu kali tanam sekitar ha. Lahan pertanian yang tidak ditanami padi sekitar ha, dengan rincian yang ditanami tanaman lainnya sekitar ha dan yang tidak ditanami tanaman apapun sekitar ha. Penggunaan lahan berupa perkebunan di Provinsi Kaltim dan Kaltara sebagian ada yang dimiliki masyarakat dan sebagian ada yang dikelola oleh perusahaan perkebunan besar. Selain itu, penggunaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan swasta kebanyakan berupa Hutan Tanaman Industri. Penggunaan lahan perkebunan sekitar ha, terdiri dari perkebunan karet sekitar ha, perkebunan kelapa sekitar ha, perkebunan kelapa sawit sekitar ha, perkebunan kakao sekitar ha, perkebunan lada sekitar ha, perkebunan kopi sekitar ha dan komoditi lainnya sekitar ha. 4. Pola Usaha Tani dan Produksi Pertanian Pola usaha tani yang umum dilakukan di Provinsi Kaltim dan Kaltara adalah sawah, ladang, perkebunan, palawija dan sayuran. Sawah dan ladang untuk tanaman padi, sedangkan perkebunan yang ada merupakan perkebunan kecil milik masyarakat yang umumnya ditanami karet, sengon, dll. Untuk palawija umumnya ditanami dengan jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau. Perkembangan luas panen, produksi padi serta hasil per hektar di Kaltim dan Kaltara pada Tahun 2012 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Secara riil, luas panen padi naik dari ha pada Tahun 2011 menjadi ha di Tahun Untuk hasil per hektarnya meningkat menjadi 39,42 kuintal per ha. Daerah kabupaten/kota yang memiliki luas panen dan produksi padi (sawah RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

96 + ladang) terbesar adalah Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu dengan luas panen ha dan hasil 49,06 kw/ha. Produksi padi yang dicapai oleh kabupaten tersebut sebesar ton pada Tahun 2012, ini berarti 36,01% produksi padi di Kaltim dan Kaltara dihasilkan oleh Kabupaten Kutai Kartanegara. Bahkan untuk jenis padi sawah produksi dari Kutai Kartanegara mencapai 45,35 persen dari total padi sawah di Kaltim dan Kaltara. Tanaman palawija di Kaltim dan Kaltara antara lain berupa jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang hijau. Pada Tahun 2012 hampir semua komoditi palawija tersebut mengalami peningkatan luas panen, kecuali tanaman ubi jalar. Pada jenis tanaman sayuran perkembangannya sangat berfluktuasi, sebagian besar mengalami penurunan, baik produksi total maupun produksi per hektarnya. Jenis tanaman sayuran yang terbanyak dihasilkan di Provinsi Kaltim dan Kaltara adalah ketimun dan kangkung yang produksinya masing-masing mencapai ton dan ton. 5. Pendidikan Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Merujuk pada amanat UUD 1945 beserta amandemennya (pasal 31 ayat 2), maka pemerintah melalui jalur pendidikan secara konsisten berupaya meningkatkan SDM penduduk. Program wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), dan berbagai program pendukung lainnya adalah bagian dari upaya pemerintah mempercepat peningkatan kualitas SDM, yang pada akhirnya akan menciptakan SDM yang tangguh, yang siap bersaing di era globalisasi. Peningkatan SDM sekarang ini lebih difokuskan pada pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mendapatkan pendidikan, terutama penduduk kelompok usia sekolah (umur 7-24 tahun). Gambaran banyaknya sekolah, murid, guru dan rasio murid terhadap guru menurut kabupaten/kota di Provinsi Kaltim dan Kaltara secara rinci disajikan pada tabel berikut ini. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

97 Tabel III.25. Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Kabuaten/Kota Jumlah Sekolah Jumlah Murid Jumlah Guru SD SLTP SMU SD SLTP SMU SD SLTP SMU 1. Paser Kutai Barat Kutai Kartanegara Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Tana Tidung Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang Jumlah Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun Sarana dan Prasarana Perekonomian Perkembangan nilai ekspor Kaltim dan Kaltara selama menunjukkan angka yang meningkat. Pada Tahun 2009 nilai ekspor sebesar US$ 18,92 milyar, kemudian pada Tahun 2010 menjadi US$ 25,12 milyar, dan Tahun 2011 meningkat lagi menjadi US$ 37,97 milyar. Akan tetapi, nilai ekspor Tahun 2012 mengalami sedikit penurunan menjadi US$ 33,79 milyar. Kaltim dan Kaltara menghasilkan devisa negara melalui perdagangan luar negeri (ekspor), yang dapat dibedakan menurut migas dan non migas. Perkembangan ekspor non migas mulai memperlihatkan kenaikan yang cukup berarti. Jumlah ekspor non migas sudah lebih tinggi dibanding migas. Tahun 2012 ekspor non migas mencapai US$ 18,79 milyar, atau turun 2,72% dibanding Tahun Sedangkan untuk migas, Tahun 2012 tercatat US$ 15,00 milyar dengan persentase penurunan 19,58%. Perkembangan nilai impor Kaltim dan Kaltara selama Tahun cenderung meningkat mulai dari US$ 4,88 milyar di Tahun 2009 menjadi US$ 6,27 milyar di Tahun 2010, dan di Tahun 2011 mencapai US$ 7,22 miliar. Tahun 2012 nilai impor meningkat menjadi US$ 8,14 miliar. Bila diamati dari golongan barang, impor Kaltim dan Kaltara sebagian besar adalah minyak dan gas. Peningkatan impor migas selalu lebih besar dari non migas dan pada Tahun 2012 impor migas Kaltim dan Kaltara mencapai 65,55% dari total impor. Dengan demikian, Kaltim dan Kaltara pada beberapa tahun terakhir selain sebagai RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

98 pengekspor migas juga mengimpor migas dalam jumlah yang semakin besar setiap tahunnya. Pada Tahun anggaran 2012, bagian terbesar pendapatan asli daerah Provinsi Kaltim dan Kaltara bersumber dari pajak daerah (local tax) sebesar 4,49 trilyun rupiah atau mencapai 82,68% dari total PAD (5,31 trilyun rupiah). Sumbangan retribusi daerah terhadap PAD sangat kecil dan tidak mencapai 1%. Laba perusahaan daerah menyumbang PAD sebesar 4,84% dan penerimaan lain-lain sebesar 12,19%. Pada Tahun 2012, jumlah proyek penanaman modal dalam negeri yang disetujui sebanyak 36 proyek. Sedangkan untuk realisasi sebanyak 44 proyek dengan nilai realisasi investasi 7,71 triliun rupiah. Sementara penanaman modal asing yang disetujui sebesar 124 proyek dengan nilai investasi sekitar US$ 5,77 miliar dengan realiasasi 167 proyek dengan nilai US$ 2,53 miliar. Pada Tahun 2012, lembaga keuangan di Kaltim dan Kaltara yang berbentuk kantor bank berjumlah 503 unit. Dari 503 unit kantor bank tersebut 170 unit berada di Kota Samarinda, 154 unit di Kota Balikpapan, 32 unit di Kota Tarakan, 32 unit di Kota Bontang, dan selebihnya menyebar di kabupaten. Pertumbuhan koperasi sebagai wadah kegiatan produktif masyarakat dalam perekonomian rakyat terus berkembang. Tahun 2012 jumlah koperasi mencapai unit usaha. Unit koperasi terbesar adalah yang bergerak pada jenis koperasi serba usaha yang mencapai unit usaha. 7. Sarana Transportasi Jalan merupakan prasarana pengangkutan yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Makin meningkatnya usaha pembangunan menuntut pula peningkatan pembangunan jalan guna memudahkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain. Panjang jalan negara di seluruh wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara pada Tahun 2012 mencapai 2.118,17 km. Jalan di bawah wewenang provinsi mencapai 1.762,07 km, sedang jalan di bawah wewenang Kabupaten/Kota mencapai ,06 km. Data panjang jalan negara, provinsi dan kabupaten dalam wilayah Provinsi Kaltim dan Kaltara disajikan pada tabel berikut. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

99 Tabel III.26. Data Panjang Jalan di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara No. Kabupaten/Kota Panjang Jalan (km) Negara Provinsi Kabupaten Jumlah 1. Paser 222,96 155, , ,05 2. Kutai Barat 184,75 300, , ,13 3. Kutai Kartanegara 360,64 395, , ,52 4. Kutai Timur 312,29 285, , ,05 5. Berau 246,90 228, , ,44 6. Malinau 132,08-717,99 850,07 7. Bulungan 163,40 134,00 932, ,18 8. Nunukan 323,57-828, ,29 9. Penajam Paser Utara 59,06 117,11 867, , Tana Tidung ,27 239, Balikpapan 45,66 33,75 437,36 516, Samarinda 52,38 114,73 700,79 867, Tarakan 5,44-225,00 230, Bontang 9,04-194,46 203,5 Jumlah (km) 2.118, , , ,17 Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2013 Untuk memenuhi transportasi darat, kendaraan angkutan utama yang harus tersedia adalah kendaraan bermotor. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara RI Daerah Kalimantan Timur pada Tahun 2012, jumlah kendaraan bermotor sebanyak dengan jumlah terbesar terdapat di Kota Samarinda (27,45%). Lalu lintas kapal antar pulau Tahun 2012 melalui 15 pelabuhan yang ada di wilayah Kaltim dan Kaltara meliputi kapal tiba sebanyak kapal dengan jumlah penumpang sebanyak orang, dan kapal berangkat kapal dengan jumlah penumpang orang. Bila diamati dari lalu lintas kapal, maka lalu lintas terbesar melalui pelabuhan di Samarinda. Namun bila diamati dari lalu lintas penumpang, lalu lintas terbesar melalui pelabuhan Balikpapan. Saat ini, transportasi melalui udara sangat memegang peranan penting. Di Kaltim dan Kaltara, dimana beberapa daerah merupakan daerah pengeboran minyak, batubara dan lainnya, memerlukan mobilitas yang tinggi antar daerah terutama untuk tujuan Jakarta. Dengan demikian, fungsi transportasi udara untuk kegiatan tersebut sangat vital. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

100 Di Kaltim dan Kaltara, terdapat Pelabuhan Udara seperti Sepinggan Balikpapan, Temindung Samarinda, Juata Tarakan dan Kalimarau Berau, Nunukan dan Tanjung Harapan Bulungan. Di Bandar Udara Internasional Balikpapan, pada Tahun 2012 ini telah memberangkatkan dan menurunkan penumpang paling banyak. Pada Tahun 2012, Bandar Udara Sepinggan telah memberangkatkan sebanyak 2,99 juta lebih penumpang atau 85,16% dan telah menurunkan sekitar 3,08 juta penumpang atau 84,71%. C. Deskripsi Identifikasi dan Inventarisasi Kelembagaan Kelembagaan didefinisikan sebagai hubungan kerja yang sistematis, teratur dan saling mendukung di antara beberapa lembaga, baik sejenis maupun tidak sejenis dan terikat dengan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama dalam rangka mencapai satu atau lebih tujuan yang menguntungkan semua pihak yang ada di dalam kelembagaan itu sendiri dan keuntungan bagi pihakpihak di luar kelembagaan tersebut. Pemahaman mengenai pengembangan kelembagaan adalah seperangkat metode, strategi dan cara untuk memulihkan, memperbaiki dan meningkatkan sinkronisasi hubungan kerja dalam kelembagaan sehingga meningkat prestasinya. Hasil yang dapat diperoleh dari pengembangan kelembagaan adalah mekanisme kegiatan yang teratur dan saling mendukung (terkoordinasi) yang pada akhirnya memberikan situasi dan kondisi yang kondusif dalam pemberian pelayanan dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dengan pengertian di atas, pengembangan kelembagaan tidak hanya mencakup pengembangan organisasi tetapi juga infrastruktur sosial, aturan-aturan dan lain sebagainya. Dalam kaitannya dengan program RHL, cakupan kelembagaan di Provinsi Kaltim dan Kaltara yang terkait antara lain adalah: 1. Kelembagaan Pemerintah Lembaga pemerintah yang dapat mengkoordinasikan, mengintegrasikan, mensinkronkan dan mensinergikan penyelenggaraan program-program RHL di tingkat Pusat hingga Daerah, seperti Dinas Kehutanan Provinsi, UPT Kementerian Kehutanan dan SKPD/Dinas Kabupaten/Kota yang menangani bidang kehutanan. RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

101 2. Kelembagaan Masyarakat Lembaga non pemerintah yang langsung berkaitan dengan masyarakat seperti membina, membimbing serta mengembangkan lembaga-lembaga masyarakat di lokasi sasaran/obyek RHL seperti lembaga swadaya masyarakat, gabungan kelompok tani, lembaga adat dan lain lain. Program/kegiatan RHL sangat berkaitan dengan pengembangan kelembagaan masyarakat, karena masyarakat diharapkan dapat menjadi pelaku RHL baik di lahan milik negara maupun di lahannya sendiri. D. Hasil Ground Check LMU Terpilih dan Identifikasi Model Kegiatan RHL- Teknis Sipil Hasil ground check pada beberapa LMU terpilih dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar III.4. Hasil Ground Check LMU Terpilih di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,8 BT Long. : ,0 LU Foto 1 dan 2 adalah tutupan lahan rumput alang-alang di Hutan Lindung Bontang, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur, rekomendasi untuk RHL Intensif Foto 1 Foto 2 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

102 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,4 BT Long. : ,0 LU Foto 3 dan 4 adalah tutupan hutan lahan kering sekunder dan semak belukar di Hutan Lindung Bontang, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur, rekomendasi untuk RHL Pengkayaan Foto 3 Foto 4 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,7 BT Long. : ,2 LU Foto 5 adalah ekosistem mangrove di Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur, rekomendasi untuk rehabilitasi mangrove Prioritas I Foto 5 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

103 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,4 BT Long. : ,4 LU Foto 6 dan 7 adalah tambak di Kelurahan Bontang Kuala, Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang, Kalimantan Timur, rekomendasi untuk rehabilitasi mangrove Prioritas II Foto 6 Foto 7 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,0 BT Long. : ,9 LU Foto 8 dan 9 adalah rawa, land clearing untuk tanah kaplingan, di Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur, rekomendasi untuk bangunan teknik sipil (embung) Foto 8 Foto 9 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

104 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : BT Long. : ,48 LU Foto 10 dan 11 adalah areal Gedung Kampus AKPER di Kelurahan Pantai Amal, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan Kalimantan Utara, rekomendasi untuk bangunan teknik sipil (sumur resapan atau biopori) Foto 10 Foto 11 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,6 BT Long. : ,5 LS Foto 12 dan 13 adalah areal Gedung Kampus STAIN, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, rekomendasi untuk bangunan teknik sipil (sumur resapan atau biopori) Foto 12 Foto 13 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

105 Hasil identifikasi terhadap beberapa model kegiatan RHL dan teknik sipil dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar III.5. Hasil Identifikasi Model Kegiatan RHL dan Teknik Sipil di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam Berau Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,7 BT Long. : ,4 LU Foto 1 dan 2 adalah Model Kegiatan RHL (Penanaman Intensif Tanaman Karet), Hutan Lindung Bontang, Nyerakat Kiri, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur Foto 1 Foto 2 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

106 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,64 BT Long. : ,43 LU Foto 3 dan 4 adalah Model Kegiatan RHL (Pengkayaan Tanaman Gaharu), Area Wisata Lembah Hijau, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur Foto 3 Foto 4 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,31 BT Long. : ,23 LU Foto 5 dan 6 adalah Model Kegiatan RHL Mangrove di Ekosistem mangrove, Pulau Kedindingan, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur Foto 5 Foto 6 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

107 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,1 BT Long. : ,9 LS Foto 7 dan 8 adalah Model Kegiatan Teknik Sipil Bendungan Pengendali Banjir, Jl. HM Ardans, Kelurahan Air Putih, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur Foto 7 Foto 8 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,9 BT Long. : ,7 LU Foto 9 dan 10 adalah Model Kegiatan Teknik Sipil Embung Bengawan, Kelurahan Juata Kerikil, Kecamatan Tarakan Utara, Kota Tarakan Kalimantan Utara Foto 9 Foto 10 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

108 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,8 BT Long. : ,5 LU Foto 11 dan 12 adalah Model Kegiatan Teknik Sipil Embung Binalatung, Kelurahan Kampung Satu, Kecamatan Tarakan Tengah, Kota Tarakan Kalimantan Utara Foto 11 Foto 12 Koordinat Lokasi : Deskripsi : Lat. : ,5 BT Long. : ,3 LU Foto 13 adalah Model Kegiatan Teknik Sipil Sumur Resapan di Perumahan Juata Permai, Juata Permai, Kecamatan Tarakan Utara, Kota Tarakan Kalimantan Utara Foto 13 RTk RHL-DAS Wilayah BPDAS Mahakam Berau Tahun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 296, 2012

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 296, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 296, 2012 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.12/MENHUT-II/2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.32/MENHUT-II/2009

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 35/Menhut-II/2010

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 35/Menhut-II/2010 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 35/Menhut-II/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.32/MENHUT-II/2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 3/Menhut-II/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 3/Menhut-II/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 3/Menhut-II/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. REHABILITASI. Hutan Dan Lahan. Rencana Tahunan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. REHABILITASI. Hutan Dan Lahan. Rencana Tahunan. No.390, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. REHABILITASI. Hutan Dan Lahan. Rencana Tahunan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.38/Menhut-V/2010 TENTANG TATA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN KEMENTERIAN KEHUTANAN KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN O l e h : Dr. Ir. Harry Santoso Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Disampaikan dalam rangka Orientasi Jurnalistik

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2013 TENTANG 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN, KEGIATAN PENDUKUNG DAN PEMBERIAN INSENTIF KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

Irfan Budi Pramono Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS

Irfan Budi Pramono Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Irfan Budi Pramono Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Email: ibpramono@yahoo.com Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

KAJIAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS BATULICIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS BATULICIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS BATULICIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Oleh KARTA SIRANG & SYARIFUDDIN KADIR Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.12/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.12/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.12/Menhut-II/2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.32/MENHUT-II/2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TEKNIK

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAK BIDANG KEHUTANAN

PEMANFAATAN DAK BIDANG KEHUTANAN 10. Penanaman pengkayaan hutan rakyat adalah kegiatan penambahan anakan pohon pada lahan yang memiliki tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan poles minimal 200-250 batang/ha, dengan maksud untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1127, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Reklamasi Hutan. Areal Bencana. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2012 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Alwis, MM Nden Rissa H, S.Si. M.Si

Oleh: Ir. Alwis, MM Nden Rissa H, S.Si. M.Si SIDIK CEPAT DEGRADASI SUB DAS TUNTANG HULU Oleh: Ir. Alwis, MM Nden Rissa H, S.Si. M.Si Kementerian Lingkungan Hidup dan Kuhutanan (KLHK)/ eks. Kementerian Kehutanan salah satu tugas pokoknya adalah melaksanakan

Lebih terperinci

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n MAKALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n J U R U S A N G E O G R A F I FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Potensi sumber daya air sangat tergantung/berhubungan erat dengan kebutuhan, misalnya untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2008 TENTANG REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2008 TENTANG REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2008 TENTANG REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU SALINAN BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM,

MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM, SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 19/1984, KH. 059/KPTS-II/1984 DAN PU.124/KPTS/1984 TAHUN 1984 TENTANG PENANGANAN KONSERVASI TANAH DALAM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2007 TENTANG GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2007 TENTANG GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2007 TENTANG GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.209, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Ekosistem gambut. Perlindungan. Pengelolaan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1429, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Dana Alokasi Khusus. Pemanfaatan. Petunjuk Teknis. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2013

Lebih terperinci