BAB I PENDAHULUAN I.1

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk yang pesat tiap tahunnya. Kecepatan pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai 1,49 % mulai tahun Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan berdasarkan data sensus nasional 2014 dan 2015, jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Jumlah penduduk ini tidak tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia. Dinamika penduduk Indonesia mengacu pada struktur piramida dan urbanisasi dimana dianggap tinggal di kota lebih menjanjikan daripada di pedesaan, ini menyebabkan sebaran produksi pangan tidak merata antar daerah maupun antar waktu dan menjadikan proporsi penduduk miskin masih besar (11,4%). Tentunya hal tersebut menyebabkan ketergantungan terhadap kebutuhan pokok meningkat, pada tahun 2014 konsumsi beras mencapai 114,8 kg perkapita sehingga peningkatan permintaan pangan dari segi jumlah, mutu, keragaman dan keamanan tidak dapat dihindari. Hal ini tentunya menjadi tantangan global dan nasional untuk pemerintah Indonesia dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional.selain itu, tantangan lainnya adalah pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dan adanya persaingan pangan untuk konsumsi dan bioenergi. Kondisi ketahanan pangan Indonesia saat ini tidak dapat dianggap enteng. Negara yang pernah mendapat julukan negara agraris itu, kini telah berubah peran menjadi salah satu importir pangan terbesar di dunia karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya sendiri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2016 nilai impor pangan Indonesia mencapai 10,16 milyar dolar AS atau setara dengan Rp. 132 triliun, nilai impor beras sebanyak kg atau sekitar ton. Pemerintah telah mengupayakan mengeluarkan kebijakan dan strategi menuju Indonesia tahan pangan dan gizi 2015 dengan melakukanpemantapanketersediaan pangan berbasis kemandirian, peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan, peningkatan 1

2 2 kualitas dan kuantitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang, peningkatan status gizi masyarakat, dan peningkatan mutu dan keamanan pangan. Perluasan lahan pertanian menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pangan dan mengurangi impor agar devisa naik. Jumlah penduduk Indonesia yang besar menyebabkan hal ini sulit dilakukan karena rasio luas lahan dengan penduduk Indonesia sangatlah rendah untuk itu intenifikasi pertanian perlu dilakukan. Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas produksi pertanian, antara lain pembagian traktor, peminjaman modal, sampai subsidi harga pupuk. Namun program-program tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan. Penurunan produktivitas lahan pertanian tersebut disebabkan kondisi tanah yang buruk sehingga asupan hara bagi tanaman berkurang dan tanaman tidak dapat tumbuh optimal. Penambahan pupuk kimia tidak lagi memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas lahan. Tanah sudah tidak dapat optimal menyerap nitrogen, hanya sekitar 30% yang dapat terserap dan sisa pupuk berlebih akan mencemari air dan tanah di lingkungan pertanian (Cassman dkk., 2002). Pada kondisi ini tanah mengalami lavelling off yang dapat disebabkan oleh rendahnya kandungan bahan organik tanah (BOT) yang saat ini secara global kurang dari 2,5%, sedangakan tanah ideal untuk pertanian setidaknya mengandung minimal 5% BOT, dengan kadar C organik minimal 2,5% dan kadar humin sebesar 50% dari total BOT (Song dkk., 2008). Tanah levelling off dapat diatasi dengan menaikan kadar C organik dalam tanah, sehingga tanah lebih subur karena humus dibutuhkan oleh tanah sudah tercukupi. Secara alami BOT terbentuk dari dekomposisi tumbuhan atau hewan oleh mikroorganisme lalu melelui proses humifikasi menjadi humus atau substansi humat dengan kandungan humus sekitar 70-80% dari total BOT (Smejkalova dan Picollo, 2008). Namun proses dekomposisi tersebut berlangsung lambat dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Humus merupakan substansi dengan berat molekul tinggi dan terbentuk melalui reaksi pembusukan dan transformasi dari biomolekul-biomolekul yang berasal dari organisme hidup (Stevenson, 1994). Menurut Hayes dkk. (2010) humus merupakan materi hasil asosiasi dari molekul molekul dengan berat ringan

3 3 yang membentuk agregat sehingga memiliki berat molekul total tinggi. Humus tersusun atas fragmen lignin aromatis yang bertindak sebagai inang atau host bagi nutrien-nutrien dalam tanah seperti biomolekul (protein, lemak, atau polisakarida), kation logam, dan rantai alifatik yang akan bertindak sebagai guest. Dengan adanya fenomena host guest chemistry pada humus maka nutrien dilepaskan secara lambat dan keseimbangannya dalam tanah dapat terjaga. Berdasarkan kandungan material magnetiknya, humus merupakan fraksi dari tanah dengan kandungan material superparamagnetik tertinggi, yaitu 9-11% (Matasova dkk., 2014). Material superparamagnetik merupakan material yang terdiri dari kelompok partikel feromagnetik dengan ukuran nano. Material superparamagnetik sangat reaktif terhadap medan magnet eksternal (Marolt, 2014). Keberadaan material superparamagnetik menjadi salah satu karakteristik dari humus dan menjadi faktor penentu kesuburan bagi tanah. Berdasarkan fenomena tersebut, Kuncaka (2014) membuat pupuk Slow Release Organic Paramagnetic (SROP) melalui skema New Road of Synthetic Humification (Kuncaka, 2013). Pupuk SROP dibuat dengan pendekatan tanah Terra Preta de Indio (TPI) Amazon (Lehmann, 2009) dan konsep supramolekul humus (Hayes dkk., 2010). Bahan baku yang digunakan yaitu biochar, hydrochar serta biomolekul yang dicampur melalui proses humifikasi buatan. Biochar diperoleh dari hasil proses pirolisis biomassa pertanian yang berlignin dan bersilika, berupa padatan arang karbon amorf dan memiliki pori (Chia, 2014). Proses partial hydrothermal carbonization (PHTC) biomassa limbah peternakan atau manure akan menghasilkan hydrochar (karbon amorf) yang mengikat karbohidrat, protein, dan lipid dari manure yang tidak terkarbonisasi sempurna selama HTC. Gabungan dari biochar, hydrochar dan berbagai biomolekul tersebut menghasilkan suatu materi dengan komposisi mirip humus (Firmataningrum, 2014), sehingga pupuk SROP dapat disebut sebagai humus sintetik. Apilkasi humus sintetis di bidang pertanian sudah dilakukan oleh Kuncaka (2013) untuk beberapa tanaman pangan seperti padi, kentang, cabai, dan tanaman holtikultura lainya. Tanaman kentang yang menggunakan 7-10 ton humus sintetik per hektar tanah pertanian dapat menghasilkan kembali kentang sebanyak 30 ton

4 4 per hektar. Hasil ini dua kali lipat dari penggunaan pupuk kandang sebesar 16-20ton per hektar tanah yang hanya menghasilkan kembali 15 ton kentang per hektar. Produksi yang melimpah ini juga diikuti dengan meningkatnya kandungan BOT sebesar 0,63% (Kuncaka, 2014). Selain mengenai kedaulatan pangan, fenomena lain yang muncul seiring dengan peningkatan jumlah penduduk adalah meningkatnya jumlah industri. Hal ini terjadi karena peningkatan jumlah konsumsi masyarakat yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup. Peningkatan industri terbesar salah satunya adalah pada sektor makanan baik bahan baku makanan maupun makanan jadi. Industri penyedap makanan atau yang kemudian terkenal dengan monosodium glutamate (MSG) menjadi salah satu industri bahan baku makanan yang berkembang pesat di Indonesia, karena hampir semua makanan di Indonesia menggunakan MSG sebagai bahan tambahan untuk menambah citarasa makanan. Peningkatan jumlah industri ini menimbulkan masalah serius untuk lingkungan. Limbah buangan industri seringkali belum dapat ditangani dengan baik sehingga menimbulkan masalah lingkungan. Dampak dari pencemaran yang ditimbulkan adalah dapat mencemari air, udara, dan tanah, tergantung bagaimana pengelolaan limbah industri yang dilakukan. Limbah industri MSG memiliki nilai COD yang sangat tinggi sekitar mg/l hingga mg/l sehingga akan merusak biota di perairan yang dialiri limbah MSG (Anonim, 2002). Dengan meningkatnya produksi MSGuntuk keperluan dalam negeri dan ekspor, maka limbah yang dihasilkan akan semakinbanyak yang berpotensi mencemari lingkungan jika dibuang secara tidak terkendali.limbah MSG merupakan sisa proses asam amino yang mengandung C dan N yang tinggi. Siklus C dan N yang tidak terkendali dan tertangani dengan baik dapat menyebabkan masalah pemanasan global. Solusi mengurangi pembuangan limbah MSG ke lingkungan adalah dengan menjadikan limbah MSG menjadi pupuk cair. Unsur C dan N merupakan unsur yang diperlukan untuk menaikkan kesuburan tanah sehingga limbah MSG ini dapat dijadikan sebagai pupuk. Melalui proses pengkayaan ( enrichment) dengan bahan tertentu seperti Na, Ca, dan NH3 (amonia), limbah cair pabrik MSG

5 5 tersebut telah digunakan oleh petani di Kabupaten Lampung Timur dan Lampung Tengah sebagai pupuk cair. Limbah MSG yang telah diperkaya ini disebut pupuk cair limbah MSG dan sering disebut sebagai sipramin. Penggunaan pupuk cair MSG pada takaran L/ha memberikan hasil ubi kayu relatif baik dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan menggunakan pupuk buatan/kristal (urea, SP-36, dan KCl). Pada keadaan ini, selain berfungsi sebagai penghasil pangan dan serat, lahan pertanian berfungsi pula sebagai penampung limbah ( waste disposal function) sehingga dapat mengurangi biaya pembuangan dan dapat memecahkan masalah pencemaran lingkungan. Pembuatan pupuk cair sipramin ini dilakukan oleh hampir semua industri MSG di Indonesia seperti PT. Sasa Inti, PT. Ajinomoto Indonesia dan PT. Cheil Samsung Indonesia. Namun, penggunaan pupuk cair limbah pabrik MSG di Propinsi Lampung saat ini dikeluhkan oleh beberapa petani dan praktisi/petugas pertanian karena dapat menimbulkan pengaruh negatif, antara lain menyebabkan tanah menjadi keras, kualitas ubi kayu dan beras menurun, hasil tanaman menurun jika beralih ke penggunaan pupuk buatan, tanah menjadi bertambah masam (Soelaeman, 2003). Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, melalui pendekatan kandungan limbah MSG maka proses penjerapan C dari limbah MSG dengan cara hidrotermal karbonisasi dipelajari dalam penelitian ini. Penentuan kadar C- organik dalam humus sintetis dilakukan untuk mengetahui efisiensi karbon yang terdapat pada humus sintetis dari limbah MSG. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi dalam mengatasi permasalahan tanah yang miskin unsur hara dan mengatasi solusi pencemaran lingkungan akibat limbah industri MSG. I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mendapatkan humus sintesis dari limbah keluaran industri monosodium glutamat dengan cara hidrothermal karbonisasidan mengkarakterisasi dengan spektrometer FTIR 2. Menentukan energi eksotermal reaksi pada proses HTC

6 6 3. Menentukan kadar C dalam humus sintetis dari limbah MSG. I.3 Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Membuktikan bahwa limbah industri MSG dapat dimanfaatkan sebagai humus sintetis untuk menggembalikan kesuburan tanah dan berdampak pada peningkatan produktifitas pertanian menuju kedaulatan pangan Indonesia 2. Memberikan sumbangan pemikiran solusi mengurangi pencemaran lingkungan oleh limbah industri MSG 3. Memberikan sumbangan pemikiran solusi bagi permasalahan pertanian di Indonesia melalui humus sintetis.