TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) BERDASARKAN TERMINOLOGI HUKUM PERDATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) BERDASARKAN TERMINOLOGI HUKUM PERDATA"

Transkripsi

1 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) BERDASARKAN TERMINOLOGI HUKUM PERDATA Mutia Az Zahra, Rosa Agustina, Endah Hartati Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok Abstrak Perjanjian sewa rahim (Surrogate Mother ) adalah perjanjian seorang wanita yang mengikatkan dirinya dengan pihak lain (suami istri) untuk menjadi hamil dan setelah melahirkan menyerahkan anak atau bayi tersebut. Di Indonesia Surrogate Mother ini belum memiliki dasar hukum yang pasti mengenai pelaksanaannya sehingga memunculkan masalahmasalah dalam melakukan perjanjiannya. Surrogate Mother bukan merupakan upaya kehamilan diluar cara alamiah yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan, serta dianggap tidak memenuhi syarat dalam melakukan perjanjian. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Surrogate Mother belum dapat dilakukan di Indonesia karena bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan permasalahan terhadap status dan hak waris anak. JURIDICIAL ANALYSIS OF THE SURROGACY AGREEMENT (SURROGATE MOTHER) BASED ON CIVIL LAW TERMINOLOGY Abstract Surrogate Mother is an agreement between a woman who associate themselves with other parties (husband and wife) to become pregnant and after she given birth, she reinquish the baby. Surrogate Mother in Indonesia doesn t have a valid fundamantal law about the implementation that raises problems by doing the agrrement. Surrogate Mother isn t an attempt pregancy wich is regulated in the Health Constitusion and Regulations the Minister of Health, and also not eligible the reuirement of agreement. The result concluded that Surrogate Mother doesn t been able to do Indonesia because contrary to the constitusion and make problem with status and inheritance of children rights. Keyword: Surrogate Mother, KUHPerdata. Pendahuluan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 1, menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

2 Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Keluarga dalam pengertian ini adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak(-anak). 1 Namun pada kenyataannya sekarang, tidak semua pasangan dapat membentuk sebuah keluarga atau melahirkan anak(-anak). Hal ini dapat dikarenakan beberapa hal seperti adanya penyakit yang mengakibatkan pasangan suami istri tidak dapat melahirkan keturunan. Hal tersebut tentu saja menimbulkan keputusasaan bagi pasangan suami istri yang ingin mempunyai keturunan. Namun dalam perkembangannya, kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran menemukan cara pengawetan sperma dan metode pembuahan diluar rahim atau yang dikenal dengan sebutan In Vitro Fertilization (IVF) pada tahun 1970-an. In Vitro Fertilization (IVF), yaitu terjadinya penyatuan/pembuahan benih laki-laki terhadap benih wanita pada suatu cawan petri (di laboratorium), yang mana setelah terjadinya penyatuan tersebut (zygote), akan di implantasikan atau ditanam kembali di rahim wanita, yang biasanya pada wanita yang punya benih tersebut (program bayi tabung) atau ditanamkan pada rahim wanita lain yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan sumber benih tersebut. Untuk hal ini dilakukan melalui perjanjian sewa (surrogacy) yang dikenal dengan isilah surrogate mother (ibu pengganti). 2 Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: 1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dimana ovum berasal; 2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; 3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Dari penjelasan pasal diatas, berarti bahwa metode atau kehamilan diluar cara alamiah, hanya dapat dilakukan melalui cara bayi tabung saja. Selain itu, dijelaskan kembali dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/I/2010 Penyelenggaraan Pelayanan Tekknologi Reproduksi Buatan, dalam pasal 2 ayat (3) dikatakan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terkait perkawinan 1 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998), hlm Dr. H. Dezriza Ratman, MH. Kes, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkan Sewa Rahim di Indonesia?, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,2012, hlm. 2.

3 yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan tersebut dapat dikatakan bahwa metode kehamilan diluar cara alamiah, hanya boleh dilakukan melalui metode bayi tabung dan terhadap pasangan suami istri yang sah. Sewa rahim sangat erat kaitannya dengan perjanjian sewa menyewa. Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana suatu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Lahirnya suatu perjanjian, apabila terdapat dua orang atau lebih mengikatkan diri satu sama lain dan berjanji untuk menuaikan prestasi tertentu. Landasan hukum mengenai perjanjian sewa rahim belum diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan, namun secara yuridis terdapat beberapa pasal dalam KUHPerdata yang dapat dipergunakan untuk mengkaji subtansi dari perjanjian sewa rahim, yaitu pasal 1320 KUHPerdata. 3 Dalam perjanjian sewa rahim, apabila dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata maka terdapat beberapa hal perlu dipertanyakan. Salah satunya adalah mengenai hal tertentu yang diatur dalam perjanjian sewa rahim, dimana dalam ketentuan pasal 127 UU Kesehatan disebutkan bahwa tekhnologi reproduksi untuk membantu kehamilan diluar ilmiah hanya dapat dilakukan dengan metode bayi tabung. Dalam hukum perjanjian, menganut asas kebebasan berkontrak. Hal ini juga diatur dalam pasal 1338 yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian. Lalu bila dihubungkan dengan syarat sah perjanjian, bagaimana kedudukan dari perjanjian sewa rahim tersebut, ketika dalam suatu perjanjian sewa rahim kedua belah pihak yaitu pasangan suami istri dan calon ibu pengganti sama-sama bersedia dan telah bersepakat untuk melakukan perjanjian sewa rahim tersebut. Selain dilihat melalui peraturan perundang-undangan, permasalahan mengenai perjanjian sewa rahim ini juga harus dipandang dari segi etika serta agama. Di Indonesia, yang sebagaian besar penduduknya menganut agama Islam, dan hukum dalam ajaran agama Islam juga dijadikan sebagai salah satu sumber hikum positif di Indonesia menjelaskan bahwa dalam Islam tidak mengenal penitipan janin kepada wanita lain. Selain itu, lahirnya bayi dari hasil perjanjian sewa rahim akan menimnbulkan permasalahan hukum seperti penentuan 3 Ibid., hlm 68

4 nasab sang anak dan siapakah yang menjadi ibu yang sesungguhnya. Begitu juga dalam keyakinan agama lainnya yang dianut di Indonesia, adanya sewa rahim ini masih menimbulkan kontrofersi antara boleh atau tidaknya Dalam program surrogate mother dengan prosedur-prosedur yang benar maupun rahim dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomis sangatlah tidak etis, karena dalam hukum agama secara tegas mengatakan bahwa penciptaan manusia adalah hak dan kedaulatan Tuhan, artinya manusia harus menghormati dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang paling luhur. Dari banyak pandangan serta segi pengaturannya, perjanjian sewa rahim menyebabkan terjadinya banyak permasalahan hukum. Apabila dilihat dari sudut pandang hukum perjanjian dalam KUHPerdata, apakah perjanjian tersbut dapat dikatakan sah? Dan sejauh mana asas kebebasan berkontrak itu dapat diterapkan dalam perjanjian?. Lalu jika dilihat dari dampak apa saja yang dapat terjadi setelah adanya perjanjian tersebut, bagaimanakah status anak yang lahir dari adanya perjanjian tersbut? Bagaimana hak waris anak? Dan bagaimanakah hubungan antara anak hasil perjanjian sewa rahim dengan ibu penggantinya? Masalah ini masih menjadi perdebatan dan kontrofersi, mengingat di Indonesia tidak hanya diterapkan hukum yang berdasarkan atas hubungan antar orang saja, tetapi juga masih kental dengan pandangan dari sudut etika, moral dan agama. Untuk itu penelitian ini memiliki pokok permasalahan: 1) Bagaimanakah pengaturan mengenai perjanjian sewa rahim atau surrogate mother dalam hukum di Indonesia? 2) Bagaimanakah kedudukan perjanjian sewa rahim atau surrogate mother menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? 3) Apasajakah akibat hukum yang dapat terjadi dari adanya perjanjian sewa rahim atau surrogate mother tersebut? Tinjauan Teoritis: Dalam tulisan ini, penulis memberikan pngertian terhadap istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut: 1. Perkawinan yang Sah Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Surrogate Mother / Ibu Pengganti

5 Menurut Black s Law Dictionary 7th Edition yang dimaksud dengan surrogate mother adalah A woman who carries a child to term on behalf of another woman and then assigns her parental rights to that woman and the father;. A person who carries out the role of a mother 3. Perjanjian Adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 4. Sewa Menyewa Menurut pasal 1548 KUHPerdata, perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya. 5. Perjanjian Sewa Rahim Adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengaitkan dirinya dengan pihak lain (suami isteri) untuk menjadi hamil dan setelah melahirkan anak atau bayi tersebut 6. Teknologi Reproduksi Berbantu Adalah upaya medis, agar pasangan suami istri yang sukar memperoleh keturunan, dapat memperolehnya melalui metoda fertilisasi in-vitro dan pemindahan embrio (FIV-PE) dengan menggunakan peralatan dan cara-cara mutakhir. 7. Fertilisasi In-Vitro Adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi diluar tubuh wanita. Fertilisasi in-vitro lebih dikenal dengan sebutan bayi tabumg. Bayo tabung adalah salah satu metode untuk mengatasai masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil. 4 Metode Penelitian Dilihat dari datanya,bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridisnormatif yang bertumpu pada alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan dokumen. Untuk bentuk penelitian ini adalah penelitian evaluatif. Pemilihan bentuk ini karena dengan penelitian evaluatif dimaksudkan untuk menilai program-program yang dijalankan. Dalam hal 4 id.m.wikipedia.org/wiki/fertilisasi_in_vitro, diakses pada 7 September 2011

6 ini dilakukan untuk menilai keberlakuan KUHPerdata dalam melakukan suatu perjanjian,khususnya perjanjian sewa-menyewa. Dalam melakukan penelitian ini, alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi kepustakaan. Selain itu, untuk mendukung penelitian ini maka dilakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten sehingga dapat memberikan pendapatnya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian kali ini antara lain: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,dan konvensi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 4) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 5) Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi 6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/I/2010. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, emmahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang meliputi jurnal, makalah, laporan penelitan dan bukum. Sumber sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa buku-buku yang bertemakan perikatan, perjanjian, sewa-menyewa, hukum kesehatan dan tentangg teknologi reproduksi. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum prier dan sekunder, yang meliputi kamus, bibliografi, buku tahunan, buku petunjuk, indeks dan lain-lain. Pembahasan Indonesia mengatur mengenai langkah pembuahan diluar rahim atau kehamilan diluar cara alami melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Meskipun tersebut bersifat memperbarui, namum kekuatan UU No. 23 Tahun 1992 tetap berlaku selama tidak bertentangan. Pasal 72 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa, dalam menentukan kehidupan reproduksinya, bebas dari diskriminasi, paksaan dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. Dapat diambil kesimpulan dari ketentuan pasal ini bahwa hak

7 untuk bereproduksi harus tetap menghormati nilai-nilai luhur yang baik dengan tidak merendahkan martabatnya sebagai seorang manusia sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Pengaturan lebih khusus mengenai teknologi reproduksi diatur dalam Permenkes No.73/Menkes/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan dan peraturan yang paling baru adalah Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pelaksanaan proses kehamilan di luar cara alami tersebut hanya dapat dilaksanakan jika secara medis dapat dibuktikan bahwa pasangan suami istri yang sah benar-benar tidak dapat memperoleh keterununan secara alami, pasangan suami istri tersebut barulah dapat melakukan kehamilan diluar cara alamiah sebagai upaya terakhir melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dan kedokteran. Aturan hukum terhadap pelayanan untuk mendapatkan keturunan dengan metode di luar cara alami (yang merupakan bayi tabung dan surrogate mother) yang telah dijelaskan diatas,dapat dinyatakan bahwa metode kehamilan di luar alami harus dilakukan berdasarkan: 1. Pasangan yang menginginkan anak atau keterunan dengan metode kehamilan diluar alami harus merupakan pasangan terikat dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini berdasarkan pada: a. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama) Pasal 16 ayat (1) menyatakan: Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan; b. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) pasal 127 ayat (1) menyatakan: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan. Perbedaan antara undang-undang kesehatan yang baru dengan yang lama adalah pada kata upaya terakhir. Pada undang-undang kesehatan yang baru kata-kata tentang upaya terakhir dihilangkan. Hal ini berarti seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia serta kemajuan teknologi yang ada, untuk melakukan metode kehamilan diluar alamiah dapat langsung dilakukan apabila didapatkan indikasi medik ataupun terdapat kelainan medis. c. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) pasal 127 ayat (1) menyatakan: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan. Perbedaan antara undang-undang kesehatan yang baru dengan yang lama adalah pada kata upaya terakhir. Pada undang-undang kesehatan yang baru kata-kata tentang upaya terakhir dihilangkan. Hal ini berarti

8 seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia serta kemajuan teknologi yang ada, untuk melakukan metode kehamilan diluar alamiah dapat langsung dilakukan apabila didapatkan indikasi medik ataupun terdapat kelainan medis. d. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, pada pedoman nomor 1 dijelaskan bahwa: pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan. 2. Hasil pembuahan luar rahim (In Vitro Fertilization) harus dikembalikan kepada wanita (sang istri) dimana sel telur (ovum) tersebut berasal. Hal ini berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) dalam pasal 127 ayat (1) huruf (a), dijelaskan: asil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. 3. Metode kehamilan di luar cara alamiah harus berdasarkan indikasi medik (penyebab infertilitas). Hal ini berdasarkan ketentuan undang-undang diantaranya yaitu: a. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, pada pedoman nomor 1 dijelaskan bahwa: pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan. b. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, dalam pedoman nomor 2 dijelaskan: pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaa pelayanan infertilitas secara keseluruhan. 4. Oleh tenaga medis dan fasilitas yang ditunjuk atau yang telah ditentukan. Hal ini diatud dalam undang-undang yaitu: a. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam pasal 2 huruf (b) dan (c), dijelaskan: dilakukakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan pada fasilitas kesehatan tertentu. b. Permenkes RI No. 73 /Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan,pada pasal 3 ayat (1) dan (2), dijelaskan:

9 1) Penyelanggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan,hanya dapat dilakukan di rumah sakit umum pemerintah kelas A,B dan rumah sakit umum swasta kelas utama. 2) Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan tekologi reproduksi buatan harus: - Memenuhi persyaratan tenaga, sarana dan prasarana; - Memiliki bagian infertilitas; - Menggunakan dan menerapkan metode pelayanan teknologi reproduksi buatan yang telah terbukti manfaatnya. Jadi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan diatas, untuk pelaksanaan praktik terhadap surrogate mother di Indonesia, untuk saat ini tidak dimungkinkan dilaksanakan secara legal/terang-terangan di sarana kesehatan yang ada di Indonesia. Selain melihat berdasarkan aspek pengaturan dalam perundang-undangan di Indonesia, adanya sewa rahim ini juga erat kaitannya dengan perjanjian sebagai dasar dari adanya praktek ini. Pada kasus surrogate mother, apabila dikaitkan dengan pasal 1320 KUHPerdata dapat dikatakan pada syarat subjektifnya sudah memenuhi syarat. Yaitu dengan adanya para pihak yang telah bersepakat dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum atau perjanjian tersebut. Namun dalam syarat objektifnya, praktik surrogate mother mempunyai permasalahan pada syarat keempat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu mengenai sebab yang halal. Menurut pasal 1337 KUHPersata, sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak dan dari isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun dengan ketertiban umum. Selain itu, suatu sebab yang halal berarti objek yang diperjanjikan bukanlah objek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh hukum. Misalnya perjanjian perdagangan manusia atausenjata ilegal. 5 Pada kasus surrogate mother, prestasi yang diberikan oleh wanita surrogate adalah menyewakan rahimnya untuk ditanami embrio dari pasangan orang tua biologis untuk mengandung dan melahirkan. Permasalahannya adalah apakah rahim dapat disamakan dengan barang yang dapat menjadi objek sewa menyewa. Dengan demikian ada beberapa alasan sehingga perjanjian pada praktik surrogate mother berdasarkan ketentuan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata dapat dikatakan 5 diakses pada 20 November 2014

10 tidak sah karena tidak memenuhi ketentuan mengenai adanya sebab yang halal diantaranya adalah: 1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif), seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 3 pada point surrogate mother berdasarkan aspek hukum kesehatan: a) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam pasal 127 ayat (1). b) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam pasal 43 ayat (3). c) Permenkes No.73/Menkes/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan, dalam Pasal 4. d) SK Dirjen Yan Medik Depkes Tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah sakit. 2. Bertentangan dengan kesusilaan: a) Tidak sesuai dengan norma moral dan adat-istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungan masyarakat Indonesia. b) Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Meskipun salah satu diantara kepercayaan atau agama tersebut membolehkan untuk dilakukannya sewa rahim, yaitu pada agama Hindu. Namun pada konsepnya. Sewa rahim atau iatnya dalam agama Hindu tidak dapat disamakan dengan sewa rahim karena dilakukan dengan secara sukarela tanpa menuntut bayaran. 3. Bertentangan dengan ketertiban umum karena akan menjadi perjunjingan di masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan. 4. Pasal 1339 KUHPerdata yang menjelaskan perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjajian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Sehingga pasal ini menegaskan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan dan undangundang. 5. Bertentangan dengan pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, dimana rahim itu bukanlah suatu benda (menurut hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (menurut hukum sewa menyewa) yang terdapat pada KUHPerdata.

11 Persyaratan lain yang masih menjadi polemik adalah mengenai suatu hal tertentu. Dalam pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa objek dalam perjanjian adalah barangbarang yang dapat diperdagangkan. Sedangkan yang menjadi objek dalam perjanjian sewa rahim disini adalah rahim dalam tubuh wanita surrogate yang merupakam organ manusia yang tidak dapat disamakan dengan barang. Pasal 499 KUHPerdata menjelaskan, yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian benda ialah segala sesuatu yang dapat dihaki atau dijadikan objek hak milik. Jadi cakupannya sangat luas, oleh karena di samping istilah benda (zaak), di dalamnya terdapat istilah barang (goed) dan hak (recht). Ini berarti istilah benda pengertiannya masih bersifat abstrak karena tidak saja meliputi benda berwujud tetapi juga benda tidak berwujud. Sedangkan barang mempunyai pengertian yang lebih sempit karena bersifat konkrit dan berwujud artinya dapat dilihat dan diraba misalnya, buku, pensil, meja, kursi dan lain-lain. 6 Pada kasus surrogate mother, tidaklah pantas dikatakan bahwa rahim adalah suatu benda atau barang karena rahim tidak didapatkan dari penguasaan di dunia karena langsung satu paket dengan kehidupan manusia yang diberikan oleh Penciptanya serta tidak ada pula hak yang melekat pada rahim untuk dipertahankan dari orang lain karena logikanya tidak ada satu orang pun yang menginginkan atau merebut rahim orang lain untuk dimiliki. Walaupun kenyataannya bahwa rahim adalah benda padat (dapat dilihat dan dapat dipegang) tetapi bukanlah benda yang dimaksud dalam pasal 499 KUHPerdata. 7 Jadi dapat dikatakan bahwa rahim bukanlah objek hukum, melainkan bagian dari seorang wanita sehingga tetap menjadi bagian dari subjek hukum. Selain rahim tidak dapat disamakan dengan benda, perjanjian sewa rahim juga tidak dapat disamakan dengan perjanjian sewa menyewa yang diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini tidak dapat disamakan dengan perjanjian sewa menyewa karena tidak terdapat dua unsur pokok dari perjanjian sewa menyewa, yakni objek yang berupa benda serta harga. Objek dari perjanjian ini tidak dapat merujuk kepada rahim, sebab tidak dapat ditentukan perihal penyerahan, pembebanan, dan daluarsa dari objek tersebut. Dengan kata lain, perjanjian ini tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian sewa rahim maupun sewa menyewa 6 Ny. Frieda Husni Hasbullah S.H., M.H., Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit In-Hil-Co, 2005), Hlm Dr. H. Desriza Ratman., Loc Cit., Hlm. 113.

12 rahim. 8 Berikut ini akan dijelaskan mengenai tabel perbandingan antara perjanjian sewa menyewa dan surrogate mother dilihat yang dari aspek hak dan kewajibannya. Tabel perbandingan sewa menyewa dan surrogate mother Sewa Menyewa Hak Penyewa - menikmati fugsi barang yang menjadi objek sewa Kewajiban Berdasar pasal 1560 KUHPerdata: - memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak rumah yang baik - membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan - mengembalikan barang yang disewa dalam keadaan semula setelah habis waktunya - tidak boleh menyewakan lagi barang sewaannya Yang Menyewakan - menikmati imbalan hasil barang yang disewakan - meminta barang yang disewakan Berdasarkan pasal 1550 KUHPerdata: - menyerahkan barang yang disewakan - memelihara barang yang disewakan - memberikan kepada si penyewa kenikmatan tentram - menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan baik - menanggung segala kekurangan pada benda yang disewakan Surrogate Mother Surrogate Mother Hak Kewajiban Surrogate Mother Mendapatkan imbalan sesuai yang diperjanjikan menjaga dan merawat calon bayi sampai kelahiran Pasangan Suami Istri mendapatkan anak dari hasil sewa rahim membayar imbalan kepada surrogate mother sesuai yang diperjanjikan Berdasarkan tabel perbandingan diatas, dapat diketahui bahwa antara perjanjian sewa menyewa dengan sewa rahim apabila dilihat dari hak dan kewajibannya, terdapat banyak perbedaan. Pada perjanjian sewa menyewa, penyewa memiliki hak untuk menikmati dan menguasai barang yang menjadi objek sewa selama waktu yang diperjanjikan, hal ini berbeda dengan sewa rahim, dimana pasangan suami istri tidak dapat menikmati rahim yang 8 Sista Noor Elvina, Perlindungan Hak Untuk Melanjutkan Keturunan dalam Surrogate Mother, dalam Artikel Ilmiah, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012), Hlm. 13.

13 disewanya. Namun rahim disini disewa untuk memberikan jasa berupa membesarkan bayi dari pasangan suami istri yang membayar ibu pengganti tersebut. Selain itu, dalam hal penyerahan barang yang menjadi objek sewa, dalam perjanjian sewa menyewa yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang tersebut kepada penyewa agar barang tersebut dapat dinikmati oleh penyewa. Berbeda pada kasus sewa rahi, dimana ibu pengganti tidak dapat menyerahkan rahimnya kepada suami istri untuk dinikmati oleh mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa antara perjanjian sewa menyewa dengan perjanjian sewa rahim memiliki banyak perbedaan,sehingga tidak dapat disamakan konsep antara perjanjian sewa menyewa dengan perjanjian sewa rahim. Secara terminologi kata surrogate jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat berarti wakil; pengganti atau wali. 9 Oleh karena itu, surrogate mother lebih tepat dikatakan sebagai perjanjian jasa ibu pengganti. Adanya sewa rahim ini juga berdampak pada anak yang dilahirkan. Akibat hukum yang dapat terjadi terhadap anak hasil dari sewa rahim ini adalah terhadap status anak dan hak waris anak. Apabila status anak hasil dari kasus surrogate mother dikaitkan dengan pengertian mengenai anak sah dan tidak sah,dilihat dari status perkawinan wanita yang menjadi ibu pengganti maka: Anak diluar perkawinan yang tidak diakui Bila status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda, maka anak yang dilahirkan adalah anak diluar perkawinan yang tidak diakui,yaitu anak yang dilahirkan karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau istri dengan laki-laki atau perempuan. 2. Anak Sah Bila status wanita surrogate-nya terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan adalah anak sah pasangan suami istri yang disewa rahimnya, sampai bapak (suami dari waita yang menjadi ibu pengganti) mengatakan tidak berdasarkan pasal 251, 252dan 253 KUHPerdata dengan pemeriksaan darah atau DNA dan keputusan tetap oleh pengadilan dan juga berdasarkan pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan:ada ayat (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut, (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang 9 John M.Echols, et al. Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hlm Dr. H. Desriza Ratman., Loc Cit., Hlm. 120

14 sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Persoalan mengenai anak hasil sewa rahim ini membuat kebingungan dalam menentukan status anak. Secara biologis, anak hasil sewa rahim ini memang merupakan anak dari pasangan suami istriyang mempunyai sel telur dan sperma, namun karena dilahirkan melalui ibu yang berbeda yang secara biologis atau genetik bukan merupakan ibunya, dan dalam peraturan disebutkan bahwa sah tidaknya anak dilihat dari status perkawinan ibu yang melahirkannya. Sedangkan untuk hak waris anak hasil dari surrogate mother dapat ditentukan berdasarkan status anak tersebut berdasarkan status perkawinan wanita yang menjadi ibu pengganti (surrogate mother). Jadi apabila dikaitkan berdasar KUHPerdata, hak waris anak hasil sewa rahim yaitu: Anak diluar perkawinan yang tidak diakui (bila wanita surrogate-nya berstatus gadis atau janda). Berarti ibu yang melahirkan tidak terikat pada perkwinan yang sah, menurut: a. Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. b. Pasal 288 KUHPerdata: Untuk ibu yang melahirkan si anak dapat menyelidiki siapa ibunya. c. Untuk bapak biologisnya (karena status anak zina) anak dilarang menyelidikinya (pasal 287 KUHPerdata) Dengan demikian untuk hak waris anak, hanya berhubungan (perdata) dengan ibunya atau keluarga ibunya saja, sementara hak waris terhadap bapak biologisnya, anak tidak berhak menuntut hak waris dari bapak biologisnya (pasal 869 KUHPerdata) selama si bapak harus memberi nafkah secukupnya sesuai dengan kemampuannya (pasal 867 dan 868 KUHPerdata) 2. Anak sah (bila wanita surrogate masih berstatus istri dari suaminya yang terikat dalam perkawinan yang sah): a. Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah b. Pasal 250 KUHPerdata: anak yang diahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya, maka anak tersebut adalah 11 Op. Cit., Hlm

15 anak sah pasangan tersebut dan berhak mendapat hak waris penuh sesuai dengan hukum waris yang berlaku dari suami wanita surrogate. Tetapi bila suami dari ibu pengganti tersbut tidak mengakui, maka status anak tersebut jatuhnya menjadi anak zina dan pewarisannya sama seperti point diatas dengan cara menyangkalkan berdasarkan: 1) Pasal 251,252 dan 253 KUHPerdata dengan mengajukan ke pengadilan untuk dilakukan tes darah (golongan darah atau tes DNA) dan 2) Pasal 44 UU No 1 Tahun 1974: seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Dan, pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Hukum waris di Indonesia menjelaskan bahwa warisan akan diberikan kepada seseorang yang merupakan kerabat atau ahli waris dari sang pewaris ataupun bukan kerabat yang diberikan melalui hibah. Pada dasarnya, adanya sewa rahim ini dilakukan atas adanya perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis antara pasangan suami istri dengan sang ibu pengganti sampai dengan lahirnya anak tersebut. Perjanjian tersebut hanya berlaku sampai lahirnya anak saja, dan tidak sampai kepada hubungan anak dengan ibu penggantinya. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Selain masih dianggap bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat, pengaturan terhadap praktik surrogate mother di Indonesia belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Hukum positif di Indonesia hanya mengatur mengenai teknologi reproduksi buatan hanya untuk bayi tabung saja, sedangkan untuk sewa rahim (surrogate mother) tidak ada ketentuan khusus yang membolehkan adanya sewa rahim. Hanya saja pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam pasal 43 ayat (3) pada huruf b, dikatakan bahwa kelebihan embrio dari hasil pembuahan in vitro fertilizatation tidak boleh ditanamkan pada rahim perempuan lain. Selain itu, meskipun terdapat peraturan yang menyinggung bahwa tidak diperbolehkan melakukan sewa rahim, tidak diatur

16 mengenai sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan sewa rahim tersebut. 2. Kedudukan sewa rahim apabila dilihat menurut pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat berdasarkan syarat sahnya perjanjian, hukum kebendaan dan perjanjian sewa menyewa. Apabila dilihat berdasarkan syarat sahnya perjanjian, maka sewa rahim ini tidak memenuhi syarat mengenai sebab yang halal karena bertentangan dengan peraturan di Indonesia khususnya dengan Undang-Undang Kesehatan. Dalam hukum kebendaan, rahim yang menjadi objek sewa dalam kasus sewa rahim ini tidak dapat disamakan dengan benda atau barang yang menjadi objek dari sewa menyewa. Selain itu, rahim tidak dapat disamakan dengan pengertian benda yang diatur dalam pasal 499 KUHPerdata. Sedangkan menurut perjanjian sewa menyewa, sewa rahim juga tidak dapat disamakan dengan konsep perjanjian sewa menyewa dalam KUHPerdata karena hak dan kewajiban yang dilakukan para pihak berbeda. Oleh karena itu,perjanjian ini lebih tepat sebagai perjanjian jasa ibu pengganti. 3. Akibat hukum yang dapat terjadi dari adanya sewa rahim adalah terhadap status anak dan hak waris anak hasil sewa rahim ini. Terhadap status anak dilihat dari status perkawinan ibu yang melahirkannya, apabila anak tersebut lahir dari ibu pengganti yang mempunyai suami yang sah maka anak tersebut merupakan anak sah dari ibu pengganti dan suaminya. Namun apabila anak tersebut lahir dari seorang janda anak seorang gadis, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak tidak sah karena lahir diluar perkawinan. Untuk menjadikan anak hasil sewa rahim ini sebagai anak sah, maka pasangan suami istri atau orang tua genetis dari anak tersebut dapat melakukan pengangkatan anak. Sedangkan mengenai hak waris anak, apabila anak tersebut merupakan anak sah maka anak tersebut berhak atas waris dari ibu pengganti dan suaminya, tetapi apabila anak tersebut merupakan anak sah maka anak tersebut hanya memiliki hubungan keperdataa saja dengan ibu yang melahirkannya. Pada dasarnya, adanya sewa rahim ini dilakukan atas adanya perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis antara pasangan suami istri dengan sang ibu pengganti sampai dengan lahirnya si bayi. Perjanjian tersebut hanya berlaku sampai lahirnya si anak saja, dan tidak sampai kepada hubungan anak dengan ibu penggantinya. Oleh karena itu, anak hasil sewa rahim tidak berhak atas waris dari ibu pengganti nya karena si ibu pengganti hanya bertanggung jawab sampai dengan lahirnya si anak. Dengan demikian, hak waris si anak adalah kepada orang tua biologisnya bukan kepada ibu penggantinya.

17 Saran Untuk pemerintah, sebaiknya melakukan pengkajian terhadap adanya kasus sewa rahim di Indoneisa, agar dibuatkan peraturan perundang-undangan secara khusus tentang sewa rahim surrogate mother yang memuat tentang mekanisme, prosedur serta persyaratan yang harus dipenuhi apabila memang nantinya perjanjian surrogacy diperbolehkan di Indonesia.Selain itu, seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto SH,. SpF., Msi., baiknhya dibentuk suatu dewan khusus yang disebut sebagai Dewan Sensor yang menangani boleh tidaknya pasangan suami istri yang akan melakukan sewa rahim, dengan berbagai persyaratan tertentu. Dengan adanya lembaga ini, diharapkan sewa rahim dapat dilakukan secara legal dan menjamin hak-hak para pihak yang melakukannya serta hak anak yang lahir dari sewa rahim ini. Dan yang paling penting, dalam melakukan sewa rahim ini dibuatkan suatu perjanjian surrogacy secara khusus dan dalam bentuk tertulis yang mengatur mengenai hak dan kewajiban antara para pihak yang didalamnya juga mengatur mengenai status anak setelah lahir, sejauh mana hubungan anak dengan ibu penggantinya,sehingga menghindari permasalahan yang akan timbul akibat lahirnya anak dari sewa rahim ini. Daftar Referensi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], cet. IV, diterjemahkan Subekti. Jakarta: PT. Dian Rakyat, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, PP No.61 Tahun 2014, Lembaran Negara Indonesia Tahun 2014 Nomor 169. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/I/2010. Buku Hasbullah Frieda Husni. Hukum Kebendaan:Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, Jilid I. Cet 3. Jakarta: Ind-Hil-Co, Projodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: PT. Bale Bandung, 1985.

18 . Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Bandung: Penerbit Sumur Bandung, Ratman, Desriza. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?. Jakarta: Elex Media Komputindo, Satrio, J. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang. Purwokerto: PT.Citra Aditya Bakti, Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 21. Jakarta: PT Intermasa, Hukum Perjanjian. Cet. 31. Jakarta: PT. Intermasa, Aneka Perjanjian. Cet 10. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Thamrin, Husni. Aspek Hukum Bayi Tabung dan Sewa Rahim: Prespektif Hukum Perdata dan Hukum Islam.Cet 1. Yogyakarta: Aswaja Presindo,2013. Yanggo, Chumizah. Problematika Hukum Islam kontemporer I. Jakarta: Pustaka Firdaus, Jurnal dan Skripsi: Elvina, Sista Noor. Perlindungan untuk Melanjutkan Keturunan dalam Surrogate Mother. Malang: Fakultas HukumUniversitas Brawijaya, Ramadhan, Fajar Wahyu. Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan Melalui Ibu Pengganti (Surrogate Motther)Ditinjau dari Hukum Kekeluargaan Islam. Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Depok, Setiawan, Fajar Bayu, Himna Asihsalista, dan Nikki Ramadhani M. Pranoto. Kedudukan Kontrak Sewa Rahim dalam Hukum Positif Indonesia dalam Private Law Edisi 01 Maret-Juni Solo: Universitas Negeri Sebelas. Maret, Yuliardi, Supmi. Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan Melalui Ibu Pengganti (SURROGATE MOTHER) Pada Kontrak Subrogasi Diyinjau dari Hukum Perdata dan Hukum Islam. Mataram, Internet: id.m.wikipedia.org/wiki/fertilisasi_in_vitro, diakses pada 7 September diakses pada 20 November 2014

HAK WARIS ANAK HASIL PROSES BAYI TABUNG DITINJAU DARI KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

HAK WARIS ANAK HASIL PROSES BAYI TABUNG DITINJAU DARI KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA HAK WARIS ANAK HASIL PROSES BAYI TABUNG DITINJAU DARI KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA Oleh : Ketut Sri Ari Astuti Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

MENURUT HUKUM DI INDONESIA

MENURUT HUKUM DI INDONESIA SURROGATE MOTHER MENURUT HUKUM DI INDONESIA Oleh : Nyoman Angga Pandu Wijaya I Wayan Novy Purwanto Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract This Paper is about Surrogate Mother by

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga, karena tujuan sebuah perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah

BAB I PENDAHULUAN. tangga, karena tujuan sebuah perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang anak memiliki arti yang sangat penting dalam sebuah kehidupan rumah tangga, karena tujuan sebuah perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah tangga yang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya, Saudi Arabia : 1990

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya, Saudi Arabia : 1990 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kehadiran seorang anak dalam suatu perkawinan merupakan anugerah yang sangat istimewa, bahkan tidak ternilai harganya. Setiap pasangan suami istri selalu

Lebih terperinci

Febriani Rinta (I ) Surrogate mother (Ibu titipan)

Febriani Rinta (I ) Surrogate mother (Ibu titipan) Febriani Rinta (I1110026) Surrogate mother (Ibu titipan) Peminjaman rahim atau yang disebut dengan surrogate mother (Ibu pengganti), yaitu seorang wanita yang mengadakan perjanjian dengan pasangan suami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)

KEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN) KEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN) Oleh I Gusti Ayu Oka Trisnasari I Gusti Ayu Putri Kartika I

Lebih terperinci

Bayi tabung menurut pandangan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan

Bayi tabung menurut pandangan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan Bayi tabung menurut pandangan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan PENGERTIAN BAYI TABUNG PENGERTIAN BAYI TABUNG In vitro vertilization (IVF) atau yang lebih dikenal dengan sebutan bayi tabung adalah proses

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN HUKUM PIDANA

ASPEK HUKUM SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN HUKUM PIDANA 36 ASPEK HUKUM SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN HUKUM PIDANA Oleh : Aditya Wiguna Sanjaya, S.H., M.H. Abstract Technological developments in the field of medicine, have

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017. ASPEK HUKUM TERHADAP BAYI TABUNG DAN SEWA RAHIM DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA 1 Oleh: David Lahia 2

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017. ASPEK HUKUM TERHADAP BAYI TABUNG DAN SEWA RAHIM DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA 1 Oleh: David Lahia 2 ASPEK HUKUM TERHADAP BAYI TABUNG DAN SEWA RAHIM DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA 1 Oleh: David Lahia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum anak yang lahir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri saja tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam kehidupannya manusia memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN HAK UNTUK MEWARIS

BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN HAK UNTUK MEWARIS BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN HAK UNTUK MEWARIS Oleh Ida Bagus Wisnu Guna Diatmika I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Pesatnya kemajuan

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM Oleh Candraditya Indrabajra Aziiz A.A Gede Ngurah Dirksen Ida Bagus Putra Atmadja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat, eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni ** Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 1 Maret 2017 Perlindungan Hukum Terhadap Wanita Dan Anak ( Sukma Rochayat) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum civil law yang sangat menjunjung tinggi kepastian hukum. Namun dalam perkembangannya Sistem hukum di Indonesia dipengaruhi

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN Oleh Claudia Verena Maudy Sridana I Ketut Suardita Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper, entitled Effects

Lebih terperinci

1. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang masalah etik yang terjadi serta pemecahan masalah tersebut

1. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang masalah etik yang terjadi serta pemecahan masalah tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk yang memiliki naluri untuk melangsungkan hidupnya di dunia ini, salah satu dari sifat insaniahnya itu ialah melanjutkan keturunannya sebagai

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2 HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2 Abstrak Setiap anak yang dilahirkan atau dibuahkan dalam ikatan perkawinan sah adalah anak sah. Anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di Kewarisan Anak dalam Kandungan dilihat dari Perspektif Hukum Islam Adhiya Kennanda Rofaah Setyowati, Islamiyati *) Hukum Perdata/S1, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro ABSTRAK Manusia mempunyai keterbatasan

Lebih terperinci

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

ABSTRAK. Adjeng Sugiharti

ABSTRAK. Adjeng Sugiharti ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMBERIKAN STATUS KEPADA ANAK LUAR KAWIN (KASUS MACHICA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015. KEBERADAAN SEWA RAHIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA 1 Oleh : Khairatunnisa 2

Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015. KEBERADAAN SEWA RAHIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA 1 Oleh : Khairatunnisa 2 KEBERADAAN SEWA RAHIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA 1 Oleh : Khairatunnisa 2 ABSTRAK Perkembangan teknologi medis telah menjadi jawaban sementara bagi pasangan yang tak mempunyai keturunan selama bertahun-tahun.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hikmah

I. PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hikmah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial ataupun mahluk pribadi tidak dapat hidup seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH PROSES PELAKSANAAN PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN. ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Mataram )

JURNAL ILMIAH PROSES PELAKSANAAN PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN. ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Mataram ) i JURNAL ILMIAH PROSES PELAKSANAAN PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Mataram ) Oleh : L I S M A Y A D I D1A 009 211 FAKULTAS HUKUM

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim * Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

ANAK SAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN KHI Oleh : Chaidir Nasution ABSTRAK

ANAK SAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN KHI Oleh : Chaidir Nasution ABSTRAK ANAK SAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN KHI Oleh : Chaidir Nasution ABSTRAK Keluarga kecil (Small Family) adalah kumpulan individu yang terdiri dari orang tua (Bapak Ibu) dan anak-anak. Dalam Islam, hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Oleh: MONA

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian, mengingat perjanjian sering digunakan oleh individu dalam aspek kehidupan. Salah satu

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 KEDUDUKAN ANAK AKIBAT BATALNYA PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN DARAH MENURUT HUKUM POSITIF 1 Oleh: Afrince A. Fure 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang dialami dua insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari karunia Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjalani kehidupan sebagai suami-isteri hanya dapat dilakukan dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, arah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to contract) penyelenggara jaringan telekomunikasi diwajibkan untuk memenuhi permohonan pihak

Lebih terperinci

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK KAJIAN YURIDIS PASAL 43 AYAT 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SETELAH ADANYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH Dwi Astuti S Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perkawinan adalah suatu ikatan lahir

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SURROGATE MOTHER. A. Teknologi Reproduksi Buatan pada Manusia

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SURROGATE MOTHER. A. Teknologi Reproduksi Buatan pada Manusia 38 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SURROGATE MOTHER A. Teknologi Reproduksi Buatan pada Manusia Pada dasarnya proses pembuahan yang alami terjadi dalam rahim manusia melalui cara yang alami pula (hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1

Lebih terperinci

PENGATURAN HAK MELANJUTKAN KETURUNAN DALAM PERJANJIAN SURROGACY (SEWA RAHIM)

PENGATURAN HAK MELANJUTKAN KETURUNAN DALAM PERJANJIAN SURROGACY (SEWA RAHIM) PENGATURAN HAK MELANJUTKAN KETURUNAN DALAM PERJANJIAN SURROGACY (SEWA RAHIM) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat S-1 pada Program Studi Ilmu Hukum Oleh: MARWATI ARLITA D1A013237

Lebih terperinci

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa *

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa * IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH Abdul Halim Musthofa * Abstrak Status anak di luar nikah yang menurut undangundang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga

Lebih terperinci

HAK MEWARIS ANAK DILUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010. Ismawati Septiningsih,SH,MH

HAK MEWARIS ANAK DILUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010. Ismawati Septiningsih,SH,MH HAK MEWARIS ANAK DILUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 Ismawati Septiningsih,SH,MH Fakultas Hukum - Universitas Surakarta Email : septiningsihisma@yahoo.co.id ABSTRAK:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Hukum Agraria, Hak Milik Atas Tanah, Perjanjian Nominee, WNA ABSTRACT

ABSTRAK. Kata Kunci : Hukum Agraria, Hak Milik Atas Tanah, Perjanjian Nominee, WNA ABSTRACT 1 PENGATURAN MENGENAI PERJANJIAN NOMINEE DAN KEABSAHANNYA (DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA) Oleh : Gde Widhi

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Komang Padma Patmala Adi Suatra Putrawan Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang terjadi dalam hidup manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan diantaranya adalah persaingan antara siswa sebagai peserta didik yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan diantaranya adalah persaingan antara siswa sebagai peserta didik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam masyarakat saat ini terjadi persaingan yang ketat dalam dunia pendidikan diantaranya adalah persaingan antara siswa sebagai peserta didik yang saling berlomba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk selanjutnya disebut UUP memberikan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan

Lebih terperinci