STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN. Oleh : NUR ARIFIYA AR F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN. Oleh : NUR ARIFIYA AR F"

Transkripsi

1 STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN Oleh : NUR ARIFIYA AR F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN RINGKASAN Limbah kotoran yang dihasilkan seekor sapi rata-rata 25 kg (Sosroamidjojo, 1975 dalam Sahidu, 1983) dan biasanya langsung dibuang ke selokan dan badan air di lingkungan sekitar sehingga kondisi di sekitar lokasi peternakan sapi menjadi kurang baik. Berdasarkan kondisi di atas perlu adanya penanganan terhadap limbah kotoran sapi yang dihasilkan agar lingkungan sekitar peternakan tetap terjaga. Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan terletak di daerah pemukiman dan limbah kotoran sapi padat yang dihasilkan telah dimanfaatkan menjadi pupuk organik dan sebagian lain yang merupakan limbah cair langsung dibuang ke badan air di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, pemilihan teknologi biogas untuk diterapkan di daerah ini dianggap tepat mengingat peternakan berada di daerah pemukiman dan harga bahan bakar yang semakin meningkat. Selain itu, penerapan teknologi ini tidak akan mengganggu tingkat produksi pupuk organik, karena sludge sisa dari proses produksi biogas merupakan pupuk organik juga. Tujuan penelitian ini untuk melakukan studi awal kemungkinan penerapan teknologi biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan dengan tujuan spesifik adalah menghitung potensi limbah kotoran sapi yang akan digunakan sebagai bahan baku di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Melakukan analisis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial terhadap implementasi teknologi biogas serta merencanakan penerapan teknologi biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yaitu pendekatan masalah, perancangan instalasi biogas, pembuatan dan pemasangan alat, penentuan parameter dan metode pengambilan data, penelitian pendahuluan, pengujian, pengolahan data dan perencanaan penerapan teknologi biogas, dan yang terakhir melakukan analisis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial. Perancangan instalasi pembangkit biogas dibuat dengan pertimbangan tata letak dan kesediaan bahan di wilayah tersebut. Produksi biogas pada sistem batch adalah 0.02 m 3, ini sangat jauh jika dibandingkan dengan hasil perhitungan berdasarkan teori adalah 2.07 m 3. Pada percobaan dengan menggunakan sistem kontinyu pengisian kembali dilakukan pada hari ke-24 dan dilakukan tiga percobaan, guna mengetahui waktu pengisian bahan yang optimum untuk menghasilkan biogas maksimum. Perlakuan pertama adalah pengisian bahan dilakukan setiap hari menghasilkan biogas rata-rata m 3. Perlakuan kedua adalah pengisian dilakukan tiga hari sekali menghasilkan biogas rata-rata m 3. Perlakuan ketiga yaitu dengan cara pengisian dilakukan setiap dua hari sekali dengan produski biogas rata-rata 1.99 m 3. Dari ketiga perlakuan tersebut diperoleh waktu paling optimum untuk memasukkan bahan isian secara kontinyu sebaiknya dilakukan setiap hari. Hasil analisis teknis pembangkit biogas ini belum layak diaplikasikan di peternakan setempat karena dua faktor yaitu fluktuasi suhu lingkungan dan nilai CN ratio limbah kotoran sapi hanya Fluktuasi suhu lingkungan

3 sehingga mengakibatkan produksi biogas rendah, untuk mengatasinya pembuatan digester dapat dilakukan dalam tanah, sehingga fluktuasi suhu lingkungan tidak berpengaruh besar terhadap suhu larutan bahan dalam digester. Nilai CN ratio limbah kotoran sapi rendah menyebabkan perlu adanya penambahan bahan berupa serbuk kayu sebanyak 1.5 kg pada saat limbah kotoran sapi sebanyak 1.2 kg untuk meningkatkan nilai CN ratio. Pemilihan serbuk kayu sebagai bahan campuran untuk meningkatkan nilai CN ratio didasarkan atas ketersediaan bahan di lingkungan sekitar. Hasil analisis ekonomi berdasarkan perhitungan pada tingkat produksi biogas rata-rata liter per hari pada suhu 35 0 C dan tekanan 9.67 atm menunjukkan bahwa penggunaan teknologi biogas sudah layak jika dibandingkan dengan harga LPG pada tingkat harga Rp.15000,-/3 kg. Hasil perhitungan harga biogas sebesar Rp /kkal biogas, sedangkan harga LPG sebesar Rp.0.415/kkal LPG, akan tetapi volume yang dihasilkan setiap hari belum dapat memenuhi kebutuhan energi peternak setempat untuk memasak. Analisis sosial hasil dari wawancara peternak dan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa penerapan teknologi biogas ini belum layak diaplikasikan. Peternak lebih suka mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik karena perlu modal yang besar untuk mengolah limbah kotoran sapi menjadi biogas pada saat membangun instalasi tersebut. Peternak juga tidak berminat untuk menggunakan biogas. Masyarakat sekitar lokasi peternakan ingin lingkungan bersih, tetapi keberatan untuk menggunakan biogas berasal dari limbah kotoran sapi tersebut. Apabila seluruh limbah kotoran sapi yang dihasilkan di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan (±500 kg/hari) dimanfaatkan untuk pembangkit biogas maka diperlukan digester dengan volume 47.5 m 3 dengan volume ruang penampung biogas sebesar m 3. Dengan demikian maka dibutuhkan area bebas dengan diameter 2 m dan kedalaman 5 m untuk dibangun sebagai digester. Dengan produksi biogas pada keadaan optimum sebesar liter per hari setara dengan 22.5 m 3 per hari. Apabila peternak hendak membuat digester dengan ukuran tersebut, maka pembuatan digester harus dalam tanah tepat di bawah kandang sapi. Peningkatan produksi biogas dapat dilakukan dengan memperbesar volume digester, sehingga limbah kotoran sapi yang dimasukkan juga lebih besar. Kebocoran pada sambungan antar pipa dapat dilakukan dengan mengisolasi sambungan antar pipa. Suhu optimum dan stabil dapat diperoleh dengan menempatkan digester dalam tanah, sehingga suhu larutan bahan dalam digester lebih stabil. Apabila digester terdapat di atas permukaan tanah, maka suhu optimum dan stabil dapat diperoleh antara lain dengan cara menutup sebagian digester dengan serbuk kayu.

4 STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanain Bogor Oleh : NUR ARIFIYA AR F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

5 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanain Bogor Oleh : NUR ARIFIYA AR F Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1987 Tanggal Lulus : Oktober 2009 Menyetujui, Bogor, Oktober 2009 Ir. Sri Endah Agustina, MS Dosen Pembimbing Mengetahui, Dr. Ir. Desrial, M. Eng Ketua Departemen

6 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan rahmat-nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan judul Studi Awal terhadap Implementasi Teknologi Biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak yang telah meluangkan ilmu dan waktunya serta dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik berupa materi maupun motivasi. Oleh karena itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ayahanda (Alm) dan Ibunda tercinta, kakak, adik, dan seluruh keluarga atas do a, motivasi, dan perhatian baik dalam bentuk moril dan materi yang telah diberikan selama ini. 2. Ibu Ir. Sri Endah Agustina, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, dan bantuan moril serta materi yang diberikan. 3. Dr. Arief Sabdo Yuwono dan Dr. Dyah Wulandani selaku dosen penguji. 4. Bapak G. Radityo Gambiro (Orang Tua Asuh) besarta keluarga dan Mba Lia yang telah banyak membantu penulis selama di bangku kuliah ini. 5. Keluarga besar H. Abd. Rozaq atas tempat dan kesempatan yang diberikan. 6. Teman-teman TEP 42 atas dukungan serta persahabatannya dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bang Ipul, bang BK, beserta seluruh keluarga besar yang membantu penulis selama penelitian. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini mungkin belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan sebagai perbaikan. Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih. Bogor, Oktober 2009 Penulis i

7 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI. ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR.. v DAFTAR LAMPIRAN.. vi I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang....1 B. Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA.. 4 A. Pengertian Biogas B. Teknologi Produksi Biogas C. Manfaat Sitem Pembangkit Biogas D. Jenis-Jenis Digester E. Implementasi Teknologi Biogas di Indonesia F. Sapi.. 21 G. Proses Perancangan 21 H. Analisis Teknis I. Analisis Ekonomi 24 J. Analisis Sosial. 26 II. METODOLOGI PENELITIAN. 27 A. Waktu dan Tempat Penelitian.. 27 B. Tahapan Penelitian B.1 Pendekatan Masalah untuk Perancangan B.2. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas B.3 Pembuatan dan Pemasangan B.4 Penentuan Parameter dan Metode Pengambilan Data B.5. Pengujian B. 6 Pengolahan Data B.7 Analisis Kelayakan ii

8 C. Bahan dan Alat VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Peternakan A.1 Potensi Bahan Isian dan Potensi Pemanfaatannya A.2.Kebutuhan Energi Peternak untuk Memasak A.3 Kultur Peternak Setempat A.4 Tata Letak Peternakan B. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas B.1 Kolam Pencampur B.2. Digester beserta Saluran Masuk dan Keluarnya Sludge B.3 Penyalur Biogas B.4 Penampung Biogas B.5. Kolam Penampung Sludge B. 6 Kran Pengatur Keluarnya Biogas C. Unjuk Kerja C.1 Persiapan Bahan Isian C.2. Persiapan Pembangkit Biogas C.3 Hasil Pengoperasian Sistem Batch C.4 Hasil Pengoperasian Sistem Kontinyu C.5. Hasil Pengoperasian dengan Berbagai Perlakuan C. 6 Analisis Bahan Isian C.7 Analisis Teknis C.8 Analisis Ekonomi C.9 Analisis Sosial C.10 Perencanaan Penerapan Teknologi Biogas. 58 V. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA. 61 LAMPIRAN 64 iii

9 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Data konsumsi BBM di Indonesia untuk tiap sektor... 2 Tabel 2. Nilai kalor beberapa sumber energi... 3 Tabel 3. Komposisi biogas Tabel 4. Bakteri metanogen Tabel 5. Komposisi dan biogas yang dihasilkan dari berbagai macam limbah Tabel 6. Jumlah biogas yang dibutuhkan untuk pemakaian tertentu Tabel 7. Tanaman yang dipupuk dengan tidak difermentasi dan sludge biogas...16 Tabel 8. Perbandingan batang pisang dan kotoran sapi yang optimum Tabel 9. Parameter untuk mengetahui potensi biogas Tabel 10. Parameter untuk mengetahui kebutuhan energi Tabel 11. Bahan alat yang digunakan Tabel 12.Daftar biaya yang dibutuhkan iv

10 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Tahapan fermentasi Gambar 2. Digester tipe kubah tetap (fixed-dome) Gambar 3. Digester tiper terapung (floating drum) Gambar 4. Digester balon Gambar 5. Diagram proses perancangan Gambar 6. Diagram proses penelitian Gambar 7. Desain digeser PTP-IPB Gambar 8. Gambar saat penggalian tanah untuk digester sistem batch 40 Gambar 9. Unit sistem pembangkit biogas pada awal pembuatan. 41 Gambar 10. Unit sistem pembakit biogas bacth dan kontinyu.. 41 Gambar 11 Plastik polyethilen yang digunakan 42 Gambar 12. Kolam penampung sludge sementara. 43 Gambar 13. Selang bentuk U. 43 Gambar 14. Grafik produksi biogas per hari pada sistem batch 45 Gambar 15. Profil suhu lingkungan dan suhu digester pada sistem batch 46 Gambar 16. Derajat keasaman pada hari ke Gambar 17. Derajat keasaman pada hari ke Gambar 18. Grafik produksi biogas per hari pada sistem kontinyu Gambar 19. Profil suhu lingkungan dan suhu digester pada sistem kontinyu 49 Gambar 20. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Hari.51 Gambar 21. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Tiga Hari Gambar 22. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Dua Hari Gambar 23. Produksi Rata-rata Biogas Tiga Perlakuan...52 v

11 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hasil Wawancara Peternak dan Masyarakat sekitar Lampiran 2. Lay Out Peternakan 65 Lampiran 3. Perhitungan berdasarkan teori biogas yang dihasilkan,.. 66 Lampiran 4. Instalasi Biogas Lampiran 5. Instalasi Tampak Atas Lampiran 6. Instalasi Tampak Depan Lampiran 7. Gambar Detail Lampiran 8. Perhitungan Volume Digester Lampiran 9. Analisis ekonomi unit sistem pembangkit biogas Lampiran 10. Perhitungan nilai CN ratio vi

12 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang biasa dipelihara dalam kandang, oleh karena itu limbah kotoran sapi dapat dengan mudah dikumpulkan (Sosroamidjojo, 1975) dalam Sahidu (1983). Limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari rata-rata 25 kg (Sosroamidjojo, 1975) dalam Sahidu (1983) dan biasanya langsung dibuang ke selokan dan badan air di lingkungan sekitar sehingga kondisi di sekitar lokasi peternakan sapi menjadi kurang baik. Selain itu limbah kotoran sapi akan menghasilkan gas metana yang merupakan salah satu gas yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Oleh karena itu apabila limbah kotoran sapi dibiarkan berada di lingkungan terbuka, maka dapat menyebabkan suhu di permukaan bumi terus meningkat. Limbah kotoran sapi yang langsung dibuang ke badan air juga dapat merusak kualitas air tanah, meresap dan bergabung dengan air tanah. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan adanya penanganan yang lebih baik terhadap limbah kotoran sapi yang dihasilkan, agar lingkungan sekitar peternakan tetap terjaga. Limbah kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik atau pun bahan isian untuk menghasilkan biogas. Pemanfaatan limbah kotoran sapi untuk menghasilkan biogas merupakan energi alternatif pilihan yang sangat potensial, karena semakin mahal harga bahan bakar (khususnya kerosene atau minyak tanah) untuk sektor rumah tangga dan kelangkaan sumber energi yang terjadi saat ini. Berikut adalah keuntungan dari penerapan teknologi biogas: a) lingkungan sekitar peternakan menjadi lebih baik. b) jumlah limbah kotoran sapi yang dibuang ke lingkungan sekitar berkurang. c) bahan bakar dapat dihasilkan sekaligus memanfaatkan limbah kotoran sapi. d) hasil pembakaran biogas relatif lebih bersih dibandingkan pembakaran dengan minyak tanah. 1

13 e) pemanfaatan gas metana yang umumnya dilepaskan pada proses penguraian biomassa dapat menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca. Berikut adalah data konsumsi energi di Indonesia untuk tiap sektor. Tabel 1. Data konsumsi BBM di Indonesia untuk tiap sektor Tahun Industri (%) Rumah Tangga & Komersial (%) Transportasi (%) Pembangkit Listrik (%) * 2006** *** Sumber: Ditjen Migas, 2003 * : untuk sektor yang lain ** : Indonesia Energy Outlook and Energy Statistics 2006 dalam Hani (2009) *** : Agenda Riset Energi IPB Di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan limbah kotoran sapi padat yang dihasilkan telah dimanfaatkan menjadi pupuk organik dan sebagian lain yang merupakan limbah kotoran cair langsung dibuang ke badan air di lingkungan sekitar. Penggunaan teknologi biogas yang akan digunakan di peternakan ini tidak akan mengganggu tingkat produksi pupuk organik, karena limbah sisa dari proses produksi biogas yang berupa lumpur atau sludge juga merupakan pupuk organik. Pemilihan teknologi biogas sebagai salah satu cara untuk memanfaatkan limbah organik telah lama dilakukan. Namun, di Peternakan Kebagusan, teknologi biogas belum pernah diterapkan sesuai dengan kondisi riil di peternakan tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan melakukan studi awal kemungkinan penerapan teknologi biogas di peternakan ini, kemudian melakukan analisis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial yang sesuai dengan kondisi rill di area peternakan tersebut terhadap kemungkinan implementasi instalasi pembangkit biogas. Penelitian yang berkaitan erat dengan analisis kelayakan tersebut sangat diperlukan, untuk mengetahui tingkat penerimaan peternak dan masyrakat sekitar. Berikut adalah jenis sumber energi yang biasa digunakan untuk memasak di Indonesia. 2

14 Tabel 2. Nilai kalor beberapa sumber energi di Indonesia Jenis energi Nilai kalor (kkal/kg) LPG (kg) Minyak tanah (kg) Gas kota (m 3 ) 3600 Arang kayu (kg) 7000 Kayu bakar (kg) 3500 Serbuk kayu (kg) 3200 Batubara * 7200 Gasoline * Berbagai Jenis Biomassa ** Briket bagasse (kg) 4200 Briket ampas jarak (B2TE-BPPT) (kg) 3900 Briket ampas jarak (Tracon Ind) (kg) 4000 Briket limbah lumpur sawit (kg) 2600 Briket serbuk gergaji (kg) 4500 Briket alang-alang (kg) 3900 Briket arang batok kelapa (kg) 4400 Bonggol jagung (kg) 3700 Briket arang bonggol jagung (kg) 4800 Briket arang ampas gergaji (kg) 4700 Getah jarak (kg) 5600 Kayu bakar (akasia) (kg) 4100 Biogas (m 3 )*** Sumber: Hartoyo, 1979 dalam Hartulistiyoso (1987) ** Agustina (2008) *Loehr (1984) dalam Fauziyah (1996) *** Gunnerson dan Stuckey (1986) B. Tujuan Penelitian ini melakukan studi awal kemungkinan penerapan teknologi biogas secara nyata di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan dengan tujuan adalah : a) Menghitung potensi limbah kotoran sapi yang akan digunakan sebagai bahan baku di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. b) Melakukan analisis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial terhadap implementasi teknologi biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. c) Merencanakan penerapan teknologi Biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. 3

15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Biogas Biogas merupakan suatu jenis gas yang dapat dibakar, yang diproduksi melalui proses fermentasi anaerobik bahan bakar organik seperti kotoran ternak dan manusia, biomassa, limbah pertanian atau campuran keduanya, di dalam suatu ruangan pencerna ( digester) ( Abdullah et all, 1998). Menurut Yadvika et al, 2004, dalam Rahman, 2007), biogas merupakan gas hasil pendegradasian substrat organik secara anaerobik. Sedangkan Menurut Sahidu (1983), biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (anaerobic process), dari campuran bahan tersebut dihasilkan gas metana (CH 4 ). Menurut Gunnerson dan Stuckey (1986), menyatakan bahwa nilai kalor gas metana murni sebesar 9100 kkal/m 3 pada suhu C dan tekanan 1 atm. Unit pembangkit biogas tidak hanya menghasilkan gas metana sebagai penyuplai energi, tetapi juga menghasilkan sludge yang dapat digunakan sebagai pupuk ataupun pakan cacing tanah Rubellus rumbricus (Sahidu, 1983). Penggunaan biogas juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi polusi udara dan mengurangi pemanasan global akibat emisi gas metana bebas yang merupakan salah satu gas rumah kaca (greenhouse gas) (BPLH, 2009). Biogas dapat dihasilkan pada lingkungan yang tidak terdapat udara (anaerob), hal ini dikarenakan bakteri yang berperan pada proses ini adalah bakteri anaerob. Berikut adalah komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi biogas No. Komponen Biogas Presentase (%) 1. Metana (CH 4 ) Karbon dioksida Nitrogen Hidrogen Hidrogen sulfida (H 2 S) Oksigen 0-1 Sumber: Energy Resources Development Series no.19, Escap, Bangkok dalam Kadir (1987). 4

16 Sedangkan menurut Jones et all, 1980 dalam Abdullah et all, 1998) kandungan gas metana berkisar antara 54-70%. Besarnya nilai kalor yang terdapat dalam biogas tergantung kandungan gas metana dalam biogas tersebut. Semakin tinggi kandungan gas metana maka semakin besar energi (nilai kalor) pada biogas tersebut, begitu pun sebaliknya. Data yang diperoleh dari Kajian Teknologi Energi (2007) menyebutkan bahwa, nilai kalor rendah (LHV) CH 4 = 50,1 MJ/kg dengan densitas CH 4 = 0,717 kg/m 3. B. Teknologi Produksi Biogas Teknologi biogas termasuk ke dalam teknologi konversi energi biomassa yang memerlukan bantuan mikroba dalam proses penerapannya. Mikroba tersebut digunakan untuk membantu proses degradasi bahan organik menjadi biogas yang dapat digunakan sebagai sumber energi baru ( Abdullah et all, 2006). Teknologi biogas merupakan teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi secara anaerobik bahan-bahan organik oleh bakteri metanogen dalam suatu ruangan pencerna (digester) anaerob (Abdullah et all, 1998). Gas metana yang dihasilkan dapat dibakar sehingga menghasilkan energi panas yang dapat digunakan untuk memasak atau memanaskan sesuatu (Nandiyanto dan Rumi, 2006 dalam Rahman, 2007). Adapun dalam pembentukan biogas perlu diperhatikan beberapa hal, sebagai berikut: B.1. Tahapan Pembentukan Biogas Pada proses produksi biogas akan melalui beberapa tahapan yang dilakukan oleh aktifitas berbagai mikroba. Menurut Gijzen ( 1987) dalam Rahman (2007), dekomposisi anaerobik pada biopolimer organik sangat kompleks menjadi gas metana yang dilakukan oleh aktifitas kombinasi mikroba. Secara umum dekomposisi ini dapat digolongkan dalam empat tahapan, reaksi metabolisis ini memiliki jalur yang cukup kompleks (pada tahap asidogenesis). Berikut adalah diagram tahapan pembentukan biogas: 5

17 Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Selulose Polimer Karbohidrat Lipase Senyawa Bakteri Bakteri Bakteri Lemak Terlarut Asam Organik Asetat CH 4 +CO 2 asam Alkohol asetat metana Protease Protein Hidrolisis Polimer Asidogenesis Asetogenesis Metanogenesis Gambar 1. Tahapan fermentasi anaerobik bahan organik menjadi gas metana. (De Wilde dan Vanhille, 1985 dalam Rahman, 2007). a) Hidrolisis Menurut Yadvika, et al (2004) dalam Rahman (2007), menyatakan bahwa dalam tahap hidrolisis terjadi pemecahan secara enzimatik dari bahan yang tidak mudah larut seperti lemak, polisakarida, protein, dan asam nukleat menjadi bahan yang mudah larut. Protein dihidrolisis menjadi asam-asam amino, karbohidrat menjadi gula-gula sederhana, sedang lemak diurai menjadi asam-asam berantai pendek (Yani dan Darwis, 1990). Pemecahan ini dilakukan oleh sekelompok bakteri anaerobik, seperti Bactericides dan Clostridia maupun bakteri fakultatif, seperti Streptococci (Yadvika, et al, 2004 dalam Rahman, 2007), dan dibantu oleh enzim selulolitik, lipolitik, proteolitik, dan lanilla sehingga mempercepat dekomposisi polimer menjadi monomermonomer (NAS, 1977 dalam Rahman, 2007). Ikatan alfa-glikosidik umumnya terdapat pada sebagian besar polimer seperti pati dan glikogen yang dapat dihidrolisis oleh amilase. Pektin lebih mudah didegradasi oleh pektinase atau amilase, sedangkan protein oleh protease dan peptidase. Selulosa merupakan senyawa yang resisten terhadap reaksi hidrólisis. 6

18 b) Asidogenesis Pada tahap asidogenesis bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen dan karbon dioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu, bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida ( CO 2 ), asam sulfida ( H 2 S), dan sedikit gas metana (CH 4 ) (Amaru, 2004 dalam Rahman, 2007). Menurut Bryant (1987) dalam Rahman (2007), produk terpenting dalam tahap asidogenesis adalah asam asetat, asam propionat, asam butirat, H 2, dan CO 2. Selain itu, dihasilkan sejumlah kecil asam formiat, asam laktat, asam valerat, metanol, etanol, butadienol, dan aseton. Bakteri pembentuk asam biasanya dapat bertahan terhadap perubahan kondisi yang mendadak dari pada bakteri penghasil metana. Bakteri ini jika dalam kondisi anaerobik, mampu memproduksi makanan pokok untuk penghasil metana dan aktifitas enzim yang dihasilkan terhadap protein dan asam amino akan membebaskan garam-garam amino yang merupakan satu-satunya sumber nitrogen yang dapat diterima oleh bakteri penghasil metana (Yani dan Darwis, 1990). c) Asetogenesis Tidak semua produk dari asetogenesis dapat digunakan secara langsung pada tahap metanogenesis. Menurut Bryant (1987) dan Hashimoto (1980) dalam Rahman (2007), mengemukakan bahwa alkohol dan asam volatil rantai pendek tidak dapat langsung digunakan sebagai substrat pembentuk metana, tetapi harus dirombak dahulu oleh bakteri asetogenik menjadi asetat, H 2 dan CO 2. 7

19 Asam lemak yang teruapkan dari hasil asidogenesis digunakan sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat anaerobik. Tetapi bakteribakteri tersebut hanya mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam Synthrophobacter wolinii (Weismann, 1991 dalam Hapsari, 2007). Produk yang dihasilkan ini menjadi substrat pada tahap pembentukan gas metana oleh bakteri metanogenik. Setelah asidogenesis dan asetogenesis diperoleh asam asetat, hidrogen, dan karbon dioksida yang merupakan hasil degradasi anaerobik bahan organik. d) Metanogenesis Metanogenesis merupakan tahap terakhir dari semua tahap konversi anaerobik dari bahan organik menjadi metana dan karbon dioksida. Pada tahap awal pertumbuhannya, bakteri metanogenik bergantung pada ketersediaan nitrogen dalam bentuk amonia dan jumlah substrat yang digunakan. Pada tahap metanogenesis, bakteri metanogenik mensintesis senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh bakteri ini menggunakan hidrogen, CO 2, dan asam asetat untuk membentuk gas metana dan CO 2. Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan lingkungan yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksis bagi mikroorganisme penghasil asam (Amaru, 2004 dalam Rahman, 2007). Menurut Yani dan Darwis (1990), pembentukan metana oleh bakteri membutuhkan sejumlah energi dan tergantung pada asetat dan CO2 yang terlarut sebagai sumber karbon dan sumber pengoksidasi sebagai pengganti oksigen. Menurut McCarty (1964) dalam Hapsari (2007), bakteri yang bekerja dalam tahap metanogenesis adalah bakteri metanogenik, seperti Metanobacterium omelianski dan Metanobacterium ruminantium. Bakteri ini menggunakan substrat 8

20 sederhana yang berisi asetat atau komponen-komponen karbon tunggal, seperti karbon dioksida, hidrogen, asam format, metanol, metilamin, dan karbon monoksida. B.2. Mikroba yang Berperan dalam Proses Produksi Biogas Pada proses pembentukan biogas, bakteri sangat berperan, adapun bakteri yang mempengaruhi proses produksi gas metana adalah bakteri anaerobik. Pada proses pembentukan gas metana, bakteri membutuhkan sejumlah energi. Bakteri anaerobik tidak dapat memanfaatkan asam asetat secara optimal karena dalam proses metabolisme bakteri anaerobik tidak dapat menggunakan oksigen, sehingga kebanyakan bakteri anaerobik melepas kelebihan asam ke lingkungan (Yani dan Darwis,1990). Bakteri anaerobik hanya dapat menggunakan sebagian dari energi glukosa, sehingga akan lebih lambat dibandingkan bakteri aerobik. Bakteri anaerobik yang digunakan pada proses pembuatan biogas adalah bakteri metanogen dan bakteri non-metanogen. Berikut adalah penjelasan tentang pengaruh kedua bakteri tersebut dalam proses produksi biogas. a. Bakteri Non-metanogen Menurut Yani dan Darwis (1990), bakteri non-metanogen berperan dalam degradasi limbah organik. Bakteri tersebut memiliki peranan penting pada tahap awal perombakan bahan organik yaitu proses likuifikasi atau hidrolisis dan produksi asam yang menyediakan substrat bagi bakteri non-metanogen. Selanjutnya bakteri nonmetanogen akan mengubah senyawa sederhana tadi menjadi gas metana. Komponen utama dari limbah organik merupakan selulosa, oleh karena itu dibutuhkan mikroba penghasil selulase untuk menguraikan selulosa. Enzim ini diproduksi oleh sejumlah bakteri dan kapang. Menurut Gijzen (1987) dalam Rahman (2007), bakteri selulolitik yang hidup dalam rumen antara lain Ruminococus albus, bacteroides succinogenes, ruminucoccus flafefaciens succinogenes merupakan 9

21 mikroba yang paling aktif dalam proses degradasi selulosa. Bakteri selulolitik umumnya hidup pada kisaran suhu optimum 30 0 C C. b. Bakteri Metanogen Bakteri penghasil gas metana disebut bakteri metanogen. Bakteri metanogen termasuk bakteri yang sangat sensitif terhadap oksigen dan bakteri ini dikelompokkan kedalam bakteri gram positif dan merupakan bakteri tidak motil. Bakteri metanogen sangat restriktif terhadap alkohol dan asam organik, bahan tersebut dapat dijadikan sumber karbon. Berikut spesies dan senyawa organik yang berperan sebagai substrat serta produk (senyawa-senyawa) yang dihasilkan. Tabel 4. Bakteri metanogen yang berperan dan hasil produknya. Bakteri Substrat Produk Metanobacterium formicum CO 2 CH 4 M. mobilis Format CH 4 M. propionicum H 2 O+CO 2 CO 2 +Asetat M. sohngenii Propionat CH 4 M. suboxydans Kaproat, Butirat CH 4 +CO 2 Metanacoccus mazei Asetat, Butirat Propionat, Asetat M. vanielii H 2 O+CO 2,Format CH 4 +CO 2 Metanaosarcina bakteri H 2 O+CO 2,Metanol, Asetat CH 4, CH 4, CH 4 +CO 2 M. metanica Butirat CH 4 +CO 2 Sumber: Price dan Cheremisinoff (1981) B.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Biogas Pembentukan biogas banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, adapun faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan biogas adalah; a) Bahan baku Bahan baku yang digunakan sebaiknya berbentuk bubur atau butiran halus, sehingga proses pembentukan biogas dapat berlangsung dengan sempurna. Apabila bahan baku yang akan digunakan berupa padatan, maka sebaiknya bahan baku dicacah terlebih dahulu sehingga membentuk butiran-butiran halus. Menurut Van Buren (1979) dalam Rahman (2007), agar dapat beraktifitas normal, bakteri penghasil biogas memerlukan substrat dengan kadar padatan 7-10%. Hal ini 10

22 dikarenakan bakteri anaerobik lebih mudah mencerna bahan baku berbentuk bubur. b) Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) merupakan suatu ukuran keasaman atau kebebasan dari suatu larutan dan merupakan logaritma dari perbandingan konsentrasi nitrogen (Yani dan Darwis, 1990). Pertumbuhan bakteri penghasil gas metana akan baik bila ph bahannya pada keadaan alkali (basa). Bila proses fermentasi berlangsung dalam keadaan normal dan anaerobik, maka ph akan secara otmatis berkisar antara Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar dari kisaran ph di atas, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksis terhadap bakteri metanogenik ( Fry, 1974 dalam Rahman, 2007). Bakteri metanogen sensitif terhadap perubahan ph. Nilai ph optimum dalam pembuatan biogas berkisar , meskipun produksi gas dapat dihasilkan pada nilai ph (Anonim, 1981 dalam Wiloso, 1984). Akan tetapi nilai ph terbaik untuk suatu digester biogas yaitu sekitar 7.0. Bila ph di bawah 6.5, aktifitas mikroba akan menurun dan di bawah 5.0 fermentasi akan terhenti (Yani dan Darwis, 1990). Pada awal penguraian, akan terjadi penurunan ph akibat terbentuknya asam asetat dan hidrogen sehingga penurunan ph menjadi semakin rendah (Rahman, 2007). Dengan begitu akan menghambat pertumbuhan mikroba. Apabila secara alami tidak dapat dimungkinkan terjadinya kenaikan ph dari ph yang rendah, maka dapat ditambahkan kapur sebagai buffer (NAS, 1977 dalam Rahman, 2007). Kapur akan membentuk sistem buffer alami membentuk kalsium karbonat, selain itu dapat digunakan NaOH dan Ca(OH) 2 dalam upaya memelihara sistem buffer (Price dan Cheremisinoff, 1981). Buffer yang digunakan dapat berupa amonium hidroksida larutan kapur, natrium karbonat, dan lain-lain. 11

23 Derajat keasaman pada kebanyakan bahan bio adalah pada kisaran 5-9. Pada bahan bio kotoran sapi yang baru dimasukkan umumnya mempunyai ph 7,7. Kemudian setelah dimasukkan ke dalam digester dan dicampur dengan air, keasamannya turun hingga 6,58. Lama proses suatu bahan bio dapat menghasilkan gas CH 4 yang optimum sangat tergantung pada temperatur dan lama proses digester. Untuk bahan kotoran sapi misalnya pada temperatur o C, produksi CH 4 optimum terjadi pada hari ke-10. Setelah hari ke-10, produksi gas CH 4 akan menurun (Widodo et all, 2006). c) Temperatur (Suhu) Pembentukan bakteri anaerob sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan maka bakteri anaerob semakin mudah terbentuk. Suhu optimum untuk pembentukan bakteri anaerob antara 35 0 C C. Gas metana dapat diproduksi pada tiga kisaran temperatur sesuai dengan sifat dan karakteristik bakteri yang hadir. Bakteri psyhrophilic 0 0 C-7 0 C, bakteri mesophilik pada temperatur 13 0 C-40 0 C, sedangkan thermophilic pada temperatur 55 0 C C (Fry, 1974 dalam Rahman, 2007). Aktifitas bakteri dalam digester untuk menghasilkan gas tergantung pada temperatur lingkungan. Meskipun gas dapat dihasilkan pada suhu 20 0 C-40 0 C, dekomposisi yang lebih cepat akan diperoleh dengan menaikkan suhu digester hingga 40 0 C-60 0 C. Tetapi digester dengan suhu mesofilik merupakan terbaik, karena selang suhu C lebih mudah dijaga, kadar H 2 S yang dihasilkan rendah dan bakteri mesofilik lebih toleran terhadap fluktuasi suhu. Suhu optimum untuk mikroba penghasil biogas antara 30 0 C-35 0 C (Yani da Darwis, 1990). Massa bahan yang sama akan dicerna dua kali lebih cepat pada 35 C dibanding pada 15 C dan menghasilkan hampir 15 kali lebih banyak gas pada waktu proses yang sama (Amaru, 2004 dalam Rahman, 2007). 12

24 d) Pengadukan Menurut Barnet et all (1979), pengadukan ditujukan untuk mencegah terjadinya endapan, menyeragamkan substrat, meningkatkan laju dekomposisi dan meratakan kontak mikroba dengan substrat yang akan didegradasi. Laju reaksi maksimum akan dicapai bila digester biologinya memiliki pengadukan yang baik dan mikroba dalam kondisi optimum merombak bahan-bahan organik. Viskositas yang rendah dalam fermentor akan mengakibatkan pengendapan padatan, dan menimbulkan permasalahan dalam pengoperasian. Menurut Apandi (1980) dalam Yulistiawati ( 2008), pengadukan dibutuhkan untuk menjaga agar kerak jangan sampai menumpuk dipermukaan sehingga menghambat pelepasan gas dari larutannya, menghomogenkan suhu dalam digester, menghomogenkan konsentrasi substrat, melepaskan karbon dioksida agar ph bisa naik sampai ph normal, memperbesar kontak mikroba dengan substrat dan mencegah terjadinya toksik lokal dalam digester. Menurut Barnet (1978) dalam Yulistawati (2008), waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengadukan hanya berkisar dua sampai tiga menit dan dilakukan sekali atau dua kali sehari. e) C/N Rasio Dalam kehidupannya mikroba memerlukan unsur makro seperti karbon, nitrogen, fosfor, sulfur dan lain-lain serta unsur mikro seperti natrium, kalsium, magnesium, cobalt, zinkim, besi dan lain-lain. Menurut Yani dan Darwis (1990), mikroba yang berperan dalam proses secara anaerobik membutuhkan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang, sumber karbon dan sumber nitrogen. Seandainya dalam substrat hanya terdapat sedikit nitrogen, bakteri tidak akan dapat memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mensintesis senyawa (substrat) yang mengandung karbon. Kesetimbangan karbon dan nitrogen dalam bahan yang digunakan sebagai substrat perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu, jika terlalu banyak nitrogen pertumbuhan bakteri akan terhambat, dalam hal ini terutama bahan yang kandungan 13

25 amoniaknya sangat tinggi. Menurut Abdullah, et all (1998), agar pertumbuhan bakteri anaerob optimum, diperlukan rasio optimum C:N berkisar antara 20:1 sampai 30:1. Menurut Fry (1974) dalam Rahman (2007), perbandingan C/N dari bahan organik sangat menentukan aktifitas mikroba dan produksi biogas. Kebutuhan unsur karbon dapat dipenuhi dari karbohidrat, lemak, dan asam-asam organik, sedangkan kebutuhan nitrogen dipenuhi dari protein, amoniak, dan nitrat. Perbandingan C/N substrat akan berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Fry dan Merrill (1973) dalam Yulistiawati (2008), perbandingan C/N untuk masing-masing bahan organik akan mempengaruhi komposisi biogas yang akan dihasilkan. Perbandingan C/N yang terlalu rendah akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH 4 rendah, CO 2 tinggi, H 2 rendah, dan N 2 tinggi. Perbandingan C/N yang terlalu tinggi akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH 4 rendah, CO 2 tinggi, H 2 tinggi, dan N 2 rendah. Perbandingan C/N yang seimbang akan mengahasilkan biogas dengan CH 4 tinggi, CO 2 sedang, H 2 dan N 2 rendah. f) Kondisi Anaerob Penguraian senyawa organik pada kondisi aerob akan mengahasilkan CO 2, namun apabila pada kondisi anaerob akan mengahasilkan gas metana (Mazumdar, 1982 dalam Hapsari, 2007). Dalam hal pembuatan biogas maka udara sama sekali tidak diperlukan dalam digester. Keberadaan udara menyebabkan gas CH 4 tidak akan terbentuk. Oleh karena itu, digester biogas harus tertutup rapat, sehingga tidak ada udara yang masuk. Oksigen dapat membunuh semua bakteri anaerobik penghasil gas metana. Bakteri metanogen termasuk mikroorganisme anaerobik yang sangat sensitif terhadap oksigen, diketahui pertumbuhannya akan terhambat dalam konsentrasi oksigen terlarut 0.01mg/L (Yani dan Darwis, 1990). 14

26 C. Manfaat Sistem Pembangkit Biogas Pemanfaatan limbah sapi sebagai energi biogas selain dapat mensuplai kebutuhan energi juga dapat mengatasi masalah lingkungan di peternakan setempat. C.1 Biogas sebagai sumber energi alternatif Biogas banyak mengandung gas metana, hal inilah yang mengakibatkan biogas dapat dijadikan sumber energi. Pada beberapa literatur sering menyebutkan nilai energi yang berbeda dari komposisi bahan yang sama, hal ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan setempat dan karakteristik substrat yang tidak selalu sama. Berikut adalah komposisi dan nilai energi yang dihasilkan; Bahan baku Tabel 5. Komposisi limbah dan biogas yang dihasilkan. Nilai energi (m 3 /kg kering) Suhu ( 0 C) % CH 4 Waktu fermentasi Limbah sapi perah Limbah sapi daging Limbah ayam 0.31* Limbah kambing** Limbah manusia Sumber : Telaah (1980) dalam Fauziyah (1996) * Berdasarkan volatil solid yang masuk ** Termasuk kotoran dan urin Berikut jumlah gas yang dibutuhkan untuk berbagai pemakaian. Tabel 6. Jumlah biogas yang dibthkan untuk pemakaian tertentu. Penggunaan Spesifikasi Biogas (m 3 /jam) Memasak 2 burner * burner* 0.47 Penerangan Per orang / hari Sumber : Telaah (1980) dalam Fauziyah (1996) * Efisiensi tidak disebutkan 1 lampu = 100 lilin

27 C.2 Lumpur sebagai pupuk Pada proses pembentukan biogas 99 % kandungan nitrogen masih terdapat di dalamnya, sedangkan ±1 % hilang dalam bentuk gas selama proses. Kelebihan pupuk kompos yang diproses secara anaerob amonia yang terbentuk mudah menguap. Percobaan di RRC membandingkan hasil dari 4 tanaman yang dipupuk dengan kotoran tidak difermentasi dan lumpur biogas adalah sebagai berikut: Tabel 7. Prosentase hasil tanaman dengan sludge biogas dan pupuk tanpa fermentasi. Pupuk Jagung (%) Beras (%) Kapas (%) Gandum (%) Pupuk tidak difermentasi Sludge biogas Sumber : Telaah (1980) dalam Fauziyah (1996) C.3 Memperbaiki masalah lingkungan Dengan memanfaatkan limbah sebagai biogas merupakan cara efektif untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Percobaaan di RRC menyebutkan bahwa telur-telur shchitosome, telur-telur dan larva hookworm setelah fermentasi berkurang sebanyak 99%. Selain itu, selama fermentasi beberapa bibit penyakit mati dalam waktu tertentu, seperti dysentri bacillus (mati setelah 3 jam fermentasi) dan parathypoid bacillus (mati setelah 44 hari) D. Jenis-Jenis Digester (Tangki Pencernaan) Ada beberapa jenis digester biogas yang telah dikembangkan data dari Departemen Transmigrasi RI (1986) dalam Hartulistiyoso (1987), diantaranya adalah digester tipe kubah tetap (fixed-dome), digester tipe terapung (floating drum), digester tipe PTP-ITB, dan digester balon (Indartono, 2006). Dari keempat jenis digester biogas yang sering digunakan adalah tipe kubah tetap (fixed-dome) dan tipe drum terapung (floating drum). Beberapa tahun terakhir ini dikembangkan tipe digester balon yang banyak digunakan sebagai digester sedehana dalam skala kecil (Indartono, 2006). Berikut adalah penjelasan secara terperinci ; 16

28 D.1 Digester tipe kubah tetap (fixed-dome) Digester ini disebut juga digester cina, dinamakan demikian karena digester ini dibuat pertama kali di cina sekitar tahun 1930an, kemudian sejak saat itu digester ini berkembang dengan berbagai model. Pada digester ini memiliki dua bagian yaitu digester sebagai tempat pencerna material biogas dan sebagai rumah bagi bakteri, baik bakteri pembentuk asam ataupun bakteri pembentuk gas metana. Gambar 2. Digester tipe kubah tetap (fixed-dome) Bagian ini dapat dibuat dengan kedalaman tertentu menggunakan batu, batu bata atau beton. Strukturnya harus kuat karena menahan biogas agar tidak terjadi kebocoran. Bagian yang kedua adalah kubah tetap ( fixeddome). Dinamakan kubah tetap karena bentuknya menyerupai kubah dan bagian ini merupakan tempat pengumpul biogas yang tidak bergerak (fixed). Gas yang dihasilkan dari material organik pada digester akan mengalir dan disimpan di bagian kubah. Keuntungan dari digester ini adalah perawatannya lebih mudah dan biaya konstruksi lebih murah daripada menggunakan digester terapung, karena tidak memiliki bagian yang bergerak menggunakan besi yang tentunya harganya relatif lebih mahal. Sedangkan kerugian dari digester ini adalah seringnya terjadi kebocoran pada bagian kubah karena 17

29 konstruksi tetapnya dan pada bagian pencerna akibat perubahan suhu dan cuaca. D.2 Digester tipe terapung (floating drum) Digester tipe terapung pertama kali dikembangkan di india pada tahun 1937 sehingga dinamakan dengan digester India. Memiliki bagian digester yang sama dengan digester kubah, perbedaannya terletak pada bagian penampung gas menggunakan peralatan bergerak menggunakan drum. Drum ini dapat bergerak naik turun yang berfungsi untuk menyimpan biogas yang dihasilkan. Pergerakan drum mengapung pada cairan, tergantung dari jumlah biogas yang dihasilkan. Keuntungan dari digester ini adalah dapat melihat secara langsung volume gas yang tersimpan pada drum karena pergerakannya. Karena tempat penyimpanan yang terapung sehingga tekanan gas konstan. Sedangkan kerugiannya adalah biaya material konstruksi dari drum lebih mahal. Faktor korosi pada drum juga menjadi masalah sehingga bagian pengumpul gas pada digester ini memiliki umur yang lebih pendek dibandingkan menggunakan tipe kubah tetap. Gambar 3. Digester tipe terapung floating drum 18

30 D.3 Digester balon Digester balon merupakan jenis digester yang banyak digunakan pada skala rumah tangga yang menggunakan bahan plastik sehingga lebih efisien dalam penanganan dan perubahan tempat biogas. Digester ini terdiri dari satu bagian yang berfungsi sebagai digester dan penyimpan gas masing masing bercampur dalam satu ruangan tanpa sekat. Material organik terletak dibagian bawah karena memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan biogas yang akan mengisi pada rongga atas. Gambar 4. Digester balon E. Implementasi Teknologi Biogas di Indonesia Di Indonesia teknologi biogas telah banyak diterapkan, berikut adalah beberapa daerah di Indonesia yang telah menerapkan biogas sebagai sumber energi (Center of Agribusness Development, 1988). E.1 Kabupaten Bogor Perkembangan pengolahan kotoran sapi menjadi energi biogas di wilayah kebon Pedes, kabupaten Bogor sudah cukup baik, karena didukung oleh instansi pemerintah, yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. Disini digester dikelola oleh kelompok peternak secara mandiri. Masing-masing peternak rata-rata memiliki 6 sapi, apabila peternak hanya memiliki 1-2 sapi, maka bergabung dengan tetangganya sehingga satu digester untuk beberapa rumah. Tipe digester yang digunakan adalah fixed 19

31 dome. Gas yang dihasilkan digunakan oleh masyarakat untuk memasak dan penerangan lampu. Selain itu di wilayah Cibanteng Ciampea kabupaten Bogor, juga sudah ada digester di Pondok Pesantren Darul Fallah yang merupakan hasil kerjasama antara Ponpes dengan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong. Digester ini dibuat untuk kapasitas ekor sapi dan jenis disain fixed dome dengan biogas dihasilkan sekitar 6 m³ per hari. Biogas yang dihasilkan digunakan untuk memasak dan penerangan lampu. Namun untuk saat ini biogas yang dihasilkan hanya digunakan untuk memasak air bagi pekerja di ponpes tersebut, tidak untuk para santri. E.2 Bandung Di Bandung digester dibuat dengan menggunakan plastik, hal ini dikarenakan tingkat ekonomi masyarakat rendah sehingga pembuatan digester dari plastik yang diterapkan. Berikut adalah spesifikasi dimensi digester ; a) Volume Digester : liter b) Volume penampung gas : liter c) Kompor biogas, drum umpan, dan pengamanan gas buah d) Selang saluran gas : 20 meter E.3 Pujon, Malang Pujon merupakan salah satu tempat peternakan, yang terletak di kabupaten Jurangrejo, desa Pandesari, Malang. Unit biogas yang dibangun berupa digester fixed dome dengan kapasitas 9 m 3. Pada tahun 1982 pemerintah membantu pengembangan unit biogas sebanyak 20 unit dengan program Bantuan Presiden (BANPRES). Selanjutnya pada tahun 1987 meningkat menjadi 40 unit hasil kerjasama pemerintah dengan Koperasi Unit Desa (KUD). E.4 Kediri Pengembangan unit biogas di kediri dilakukan pada tahun 1983, setelah unit biogas di daerah Pujon sukses dibangun oleh Departemen Pertanian. Pembangunan unit biogas di kediri mengadopsi unit biogas 20

32 yang dikembangkan di Pujon dengan program yang sama yaitu program BANPRES. Unit digester di Kediri, telah memodifikasi instalasi unit biogas pada saluran pemasukan dan pengeluaran sludge. F. Sapi Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang biasa dipelihara dalam kandang, oleh karena itu limbah sapi dapat dengan mudah dikumpulkan (Sosroamidjojo, 1975 dalam Sahidu, 1983). Limbah yang dihasilkan seekor sapi rata-rata 25 kg (Sosroamidjojo, 1975 dalam Sahidu, 1983), namun angka tersbut terlalu besar. Menurut Amaru (2004) dalam Rahman (2007), menyebutkan bahwa limbah sapi per ekor rata-rata mencapai 22 kg/ hari. Berdasarkan data yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa pada peternakan sapi perah, sapi potong dan kerbau diperoleh kotoran rata-rata perhari sebesar 12 kg/ekor (Syamsudin dan Iskandar, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa limbah sapi yang dihasilkan oleh seekor sapi cukup besar dan apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. G. Proses Perancangam Perancangan merupakan penciptaan suatu rencana teknis untuk pemecahan suatu masalah, penentuan suatu solusi atas suatu masalah yang belum terpecahkan sebelumnya, atau penentuan solusi baru atas masalah yang sudah dipecahkan dengan cara lain. Tahapan perancangan meliputi rancangan fungsional dan rancangan struktural, perancangan dapat dilakukan berdasarkan ide awal yang belum pernah ada ataupun memperbaiki rancangan dari suatu produk yang telah ada saat ini (Hermawan, 2008). Proses perancangan diawali dengan kegiatan mengidentifiksi kebutuhan, hal ini timbul karena ketidakpuasan atas suatu kondisi. Kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi permasalah apa yang akan dipecahkan dan tujuan apa yang ingin dicapai dari desain yang akan dibuat. Selanjutnya dilakukan pengumpulan informasi yang berkaitan erat dengan desain yang akan dibuat, mengenai ketersediaan bahan baku, proses pembuatan, dan lain sebagainya (Hermawan, 2008). 21

33 Setelah itu, dilakukan perancangan konsep awal perancangan, kemudian dilanjutkan dengan proses perancangan fungsional untuk menentukan semua fungsi yang dibutuhkan untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya proses perancangan struktural untuk menentukan bahan dimensi yang sesuai untuk menjalankan semua fungsi yang telah ditentukan pada tiap bagian detail. Ketika semua selesai dilakukan evaluasi terhadap desain yang telah dibuat, kemudian hasil yang telah diperoleh maka dikomunikasi untuk membuat produk hasil rancangan (Hermawan, 2008). Pada perancangan alat yang menggunakan bahan logam, ada hal-hal yang harus diperhatikan, seperti korosi. Korosi merupakan hasil reaksi kimia dari bahan logam dengan bantuan air dan oksigen. Korosi dapat dihindari dengan memberi lapisan penghalang pada logam agar memisahkan lingkungan dan logam itu sendiri, hal ini juga baik untuk mengendalikan lingkungan mikro pada logam itu sendiri (Trethwey, 1991). Lapisan yang baik untuk menghindari korosi adalan zat cair dan aditif yang dapat membuat cat mempunyai fluiditas dan bila mengering atau menguap meniggalkan suatu selaput padat (Trethwey, 1991). Ketebalan lapisan cat harus merata di seluruh lapisan logam termasuk pada pinggiran, pojok ulir, paku keling, dan sambungan. Kerusakan cat pada bagian tertentu akan menyebabkan keruskan lebih lanjut pada bagian logam yang lainnya (Trethwey, 1991). Berikut adalah bagan alir perancangan, 22

34 Identifikasi kebutuhan Identifikasi permasalahan Pengumpulan informasi Konseptualisasi Rancangan fungsional Rancangan struktural Evaluasi tidak ya Komunikasi hasil Gambar 5. Diagram proses perancangan (Hermawan, 2008) H. AnalisisTeknis Menurut Widodo et all (2006), analisis teknis dilakukan untuk menguji unjuk kerja digester biogas yang dibuat dengan menggunakan alat ukur seperti termometer, ph meter, gas flowmeter, dan monometer untuk mengukur tekanan. Dengan demikian akan diketahui kondisi dalam digester yang dibuat dan jumlah biogas yang dihasilkan. Menurut Sutanto dan Tjahyono (1988), berdasarkan hasil penelitian pembuatan biogas dari batang pisang menunjukkan bahwa produksi biogas lebih banyak dengan mencampurkan batang pisang dan kotoran sapi, jika dibandingkan dengan kotoran sapi murni. Berikut adalah perbandingan batang pisang dan limbah kotoran sapi terbaik: 23

35 Tabel 8. Perbandingan batang pisang dan kotoran sapi yang optimum Batang pisang Kotoran sapi Sumber : Sutanto dan Tjahyono (1988) Akan tetapi, apabila perbandingan batang pisang dan kotoran sapi yang digunakan 1:9, maka produksi biogas yang dihasilkan lebih banyak dari kotoran sapi murni (Sutanto dan Tjahyono, 1988). Pada uji bakar biogas yang dihasilkan sebaiknya dilakukan pada saat tekanan gas di atas 15 cm H 2 O, karena apabila kurang dari itu waktu menyala masih pendek (Heriyanto, 2004). I. Analisis Ekonomi Analisis ekonomi perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan suatu alat yang dibuat (Widodo et all, 2006). Analisis ekonomi dapat dilakukan dengan memperhitungkan total biaya investasi yang meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap, sehingga diperoleh biaya pokok I.1 Biaya tetap Biaya tetap adalah jenis biaya yang selama satu periode akan tetap jumlahnya. Biaya ini tidak tergantung pada produk yang dihasilkan dan bekerja atau tidaknya mesin serta nilainya relatif tetap. Biaya yang termasuk biaya tetap adalah biaya penyusutan, biaya bunga modal dan asuransi, biaya pajak, dan biaya gudang atau garasi (Pramudya dan Dewi, 1992). a) Biaya penyusutan Merupakan penurunan nilai dari suatu alat atu mesin akibat dari pertambahan umur pemakaian. Hal ini dapat diakibatkan karena adanya kerusakan dan komponen yang mengalami aus. Berikut adalah persaman yang digunakan ; 24

36 Keterangan : P : Harga awal (Rp.) = N: Perkiraan umur ekonomis ( tahun) b) Biaya bunga modal dan asuransi S: Harga akhir (Rp.) Biaya ini semu, karena tidak benar-benar dikeluarkan oleh sistem. Besarnya biaya bunga modal dapat dihitung dengan persamaan : Keterangan : = ( + 1) 2 i: Tingkat bunga modal per tahun (%/th) c) Biaya pajak Pajak untuk mesin dan alat pertanian untuk masing-masing negara berbeda, di Indonesia pajak untuk alat dan mesin pertanian sebesar 2 % dari harga awal. d) Biaya gudang atau garasi Biaya ini dapat berupa biaya penyusutan apabila bangunan dibangun sendiri, namun apabila bangunan ini disewa, maka biaya ini adalah biaya sewa bangunan tersebut. I.2 Biaya tidak tetap Biaya tidak tetap merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan pada saat alat dan mesin pertanian beroperasi dan jumlahnya tergantung pada jam yang digunakan (Pramudya dan Dewi, 1992). Biaya ini meliputi biaya bahan bakar, pelumas, perbaikan dan pemeliharaan, biaya operator, dan biaya hal-hal khusus. a) Biaya total Biaya total merupakan jumlah biaya tetap dan biaya tidak tetap. Nilainya dinyatakan dalan jumlah biaya per tahun atau per jam. Beriut persamaan yang digunakan: = + 25

37 Keterangan : BT: biaya tetap BTT: Biaya tidak tetap x: Lama kerja per tahun (jam atau hari per tahun) b) Biaya pokok Biaya pokok adalah biaya yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang dihasilkan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut; = Keterangan: k: kapasitas alat atau mesin (satuan jumlah volume per satuan waktu) J. Analisis Sosial Teknologi biogas sudah terbukti manfaatnya di masyarakat, untuk mendorong kegiatan pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan pertanian perlu dipertimbangkan pemberiaan penghargaan kepada pelaku yang memperhatikan lingkungan berupa potongan pajak dan sangsi bagi yang mengabaikan pencemaran lingkungan (Widodo et all, 2006). Dukungan dari masyarakat sangat perlu dalam aplikasi teknologi biogas. Proyek ini membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk mempermudah proses dan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar peternakan. Menurut Rakhmat (2004) dalam Sari (2007) pola pikir dan pola sikap seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor individual dan faktor situasional. Faktor individu adalah faktor yang melekat pada diri individu seseorang seperti umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, agama,dan bangsa. Semakin lanjut usia seseorang, maka semakin tidak responsif terhadap hal-hal baru. Sedangkan semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin objektif. Faktor situasional merupakan faktor-faktor sosial dan ekonomi seseorang yang bersangkutan. Hal ini akan sangat dipengaruhi oleh faktor kenyamanan seseorang terhadap hal-hal baru. 26

38 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan pada bulan Mei 2009 hingga Agustus B. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang sesuai dengan diagram alir berikut : Pengumpualan data dan informasi penunjang Mulai Pendekatan masalah Perancangan instalasi biogas Pembuatan dan pemasangan alat Penentuan parameter dan metode penagmbilan data Uji fungsional dan penelitian pendahuluan Modifikasi Berhasil? Pengujian dan pengambilan data Pengolahan data dan perencanaan penerapan teknologi biogas Analsis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial Kesimpulan dan rekomendasi Gambar 6. Diagram alir proses penelitian 27

39 B.1 Pendekatan Masalah untuk Perancangan Tahapan ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di peternakan setempat. Kegiatan yang akan dilakukan adalah mengidentifikasi potensi biogas dan potensi pemanfaatannya, mengamati tata letak peternakan, dan formulasi rancangan instalasi pembangkit biogas yang akan dibangun. Berikut adalah penjelasan secara terperinci : a) Identifikasi Potensi Bahan Isian dan Potensi Pemanfaatannya Identifikasi potensi biogas dan potensi pemanfaatannya, ini dilakukan untuk mengetahui potensi penerapan teknologi biogas di peternakan setempat. Berikut adalah pengamatan yang dilakukan : 1) Potensi biogas Untuk mengetahui potensi biogas di peternakan setempat parameter yang digunakan adalah jumlah limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari. Besarnya jumlah limbah kotoran sapi didapat dengan mengetahui jumlah limbah kotoran sapi per hari dan jumlah sapi di peternakan setempat. Tabel 9. Parameter untuk mengetahui potensi biogas Data yang diperlukan Parameter (diukur langsung) Jumlah rata-rata limbah kotoran sapi Jumlah sapi per hari (kg / hr) Jumlah limbah kotoran sapi per hari 2) Kebutuhan energi peternak untuk memasak Kebutuhan energi untuk memasak dihitung berdasakan parameter nilai kalor yang digunakan (kkal/hr). Nilai kalor yang digunakan dilihat dari lama waktu yang diperlukan oleh peternak untuk memasak (jam) dan bahan bakar yang digunakan. Berikut adalah parameter yang akan diukur ; 28

40 Tabel 10. Parameter untuk mengetahui kebutuhan energi Parameter Nilai kalor yang digunakan (kkal/hr) Data yang diperlukan (wawancara) Jenis bahan bakar (kkal) Lama waktu memasak (jam/hr) 3) Kultur peternak setempat Kultur peternak yang berkaitan erat dengan pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi biogas untuk memasak adalah kebiasaan peternak untuk ikut serta menjaga dan membersihkan lingkungan sekitar kandang sapi. Dengan demikian akan dapat diketahui kemungkinan tingkat penerimaan peternak untuk menggunakan biogas sebagai bahan bakar baru untuk memasak keluarga peternak setempat. Hal ini juga dapat menunjukan kesediaan peternak untuk merawat dan memasukkan bahan isian ke dalam digester. b) Mengamati Tata Letak Peternakan Pengamatan terhadap tata letak peternakan bertujuan untuk menentukan lokasi dan posisi yang tepat untuk membangun instalasi pembangkit biogas. B.2. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas Tahapan ini terdiri dari proses perancangan fungsional dan perancangan struktural. Rancangan fungsional bertujuan untuk menentukan semua fungsi-fungsi utama yang diperlukan dan menentukan mekanisme yang dapat digunakan untuk melaksanakan semua fungsi tersebut. Sedangkan rancangan struktural dilakukan untuk menentukan dimensi dan bahan yang akan digunakan pada tiap-tiap bagian alat pada instalasi pembangkit biogas yang akan dibangun. Penjelasan untuk masing-masing bagian sebagai berikut: a) Kolam pencampur Berfungsi untuk mencampur kotoran sapi dan air sebelum masuk ke dalam digester. Bagian ini menggunakan drum plastik dengan 29

41 volume 220 liter dan pada bagian bawah drum diberi lubang, untuk mengeluarkan bahan yang telah di aduk. b) Saluran pemasukan dan pengeluaran bahan isian Berfungsi sebagai tempat keluar masuknya bahan isian dari dan ke dalam digester. Bagian ini terbuat dari pipa besi berdiameter 2 inchi dengan panjang 50 cm. Pipa besi digunakan supaya dapat disambungkan pada ruang digester yang terbuat dari drum plat besi. Sedangkan diameter 2 inchi dipilih agar laju masuk bahan isian saat dimasukkan cukup besar, sehingga dapat mendorong sludge yang lama keluar. c) Ruang digester Sebagai tempat terjadinya proses perombakan secara anaerobik. Drum yang digunakan terbuat dari plat besi dengan volume 230 liter. Kemudian dibagian atas dan bawah drum dibuat lubang untuk menyambungakan pipa besi untuk saluran masuk dan keluarnya bahan isian. Digester beserta saluran masuk dan keluarnya bahan isian, menggunakan rancangan PTP ITB. d) Penyalur gas Berfungsi untuk menyalurkan biogas yang telah dihasilkan ke penampung gas dan ke kompor untuk digunakan. Penyaluran biogas dari digester ke penampung sementara menggunakan pipa PVC berdiameter 2 cm, panjang ke arah vertikal 1 m, ke arah samping 1 m, dan ke arah depan 60 cm. Semua siku dihubungkan menggunakan sambungan siku untuk pipa PVC. Sedangkan penyalur biogas dari penampung sementara ke kompor menggunakan selang plastik ¼ inchi. Pemilihan pipa PVC berdiameter 2 cm dan selang plastik ¼ inchi, mempertimbangkan ketersediaan bahan di lingkungan sekitar dan kemudahan aliran biogas. e) Penampung biogas Berfungsi untuk menyimpan biogas sebelum digunakan, bagian ini menggunakan plastik polyethilen. Hal ini mempertimbangkan aspek ketersediaan bahan di wilayah tersebut. 30

42 f) Kolam penampung sludge Berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara sisa sludge. Kolam penampung dibuat dengan campuran semen, pasir, dan batu bata dengan dimensi 50 cm x 50 cm x 100 cm. Hal ini digunakan untuk menghindari terjadinya rembesan sludge ke air tanah, sehingga dapat merusak air tanah sekitar peternakan h. Kran pengatur keluarnya gas Berfungsi untuk mengatur pengeluaran gas yang akan digunakan. Terbuat dari kran besi yang terdapat pada digester dan kran pada pengeluaran penampung biogas menggunakan kran plastik. B.3 Pembuatan dan Pemasangan Instalasi Pembangkit Biogas Pembuatan alat dilakukan di bengkel sekitar peternakan, hal ini bertujuan agar proses transportasi dapat berlangsung lebih mudah. Pemasangan instalasi dilakukan setelah drum dipastikan dalam keadaan baik dan tidak bocor. Bagian yang bocor ditambal menggunakan lem besi, kemudian seluruh lapisan drum dilapisi dengan plinktot untuk menjaga kondisi drum agar tidak bocor. Kemudian dilanjutkan dengan proses penyambungan berbagai komponen. Sebelum proses penyambungan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penggalian tanah untuk menempatkan drum dalam tanah. Digester instalasi batch dipendam dalam tanah, sedangkan digester instalasi kontinyu berada di atas permukaan tanah. Setelah digester dipendam dalam tanah, kemudian dilakukan penyambungan ke penyalur biogas menuju penampung yang terbuat dari plastik. Pada awal pembuatan, penyalur biogas menggunakan selang plastik langsung menuju plastik. Setelah dilakukan perbaikan instalasi, penyalur biogas dari digester ke plastik penampung menggunakan pipa PVC. Penyambungan antar pipa menggunakan lem pipa PVC dan pada sambungan belokan 90 0 menggunakan sambungan siku. Sedangkan sambungan plastik ke pipa PVC dilakukan dengan mengikat plastik dan pipa dengan karet ban dengan kuat, selanjutnya dikencangkan kembali dengan pengencang yang terbuat dari alumunium. Setelah itu sambungan 31

43 dililit dengan lakban hitam untuk mengencangkan dan memastikan tidak ada udara yang keluar. Sambungan dari pipa PVC ke saluran biogas menuju kompor menggunakan selang plastik berukuran ¼ inchi, yang disambung dengan menggunakan dop yang dilubangi sebesar selang plastik tersebut. Pada ujung selang plastik disambung dengan selang baja untuk ke kompor gas. Pengencang pada sambungan ini menggunakan pengencang dari alumunium dan lakban hitam agar tidak ada kebocoran. B.4 Penentuan Parameter dan Metode Pengambilan Data Parameter teknis diukur setiap hari, yaitu suhu sludge dalam digester, suhu dan tekanan biogas yang dihasilkan, suhu lingkungan, serta volume biogas yang dihasilkan. Sedangkan parameter ekonomi dihitung berdasarkan biogas yang dihasilkan setiap hari pada instalasi kontinyu. Parameter sosial dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan peternak dan masyarakat sekitar peternakan terhadap teknologi biogas yang terdapat pada Lampiran 1. Pengambilan data dilakukan setiap hari sekali, untuk mengetahui pengaruh beberapa parameter terhadap produksi biogas. Pengukuran suhu sludge dalam digester dilakukan dengan mengambil sludge dari dalam digester, kemudian langsung diukur menggunakan termometer. Sedangkan pengukuran tekanan dan suhu biogas yang dihasilkan diukur dalam plastik penampung. Volume biogas diukur setiap hari berdasarkan dimensi plastik, suhu, dan tekanan biogas. Pada uji bakar dilihat volume dan tekanan biogas serta lama api menyala. B. 5 Pengujian Pengujian instalasi pembangkit biogas dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu, tahap persiapan bahan isian, persiapan unit biogas, pengoperasian unit biogas, dan uji bakar biogas. a) Persiapan bahan isian Menurut Harahap, et all (1980) dalam Emmanuel (2004), laju produksi biogas tergantung pada bahan isian yang digunakan, dengan kandungan bahan kering optimum berkisar 7-9%. Bahan isian yang 32

44 digunakan adalah limbah kotoran sapi dan air dari Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Perbandingan limbah kotoran sapi dan air yang digunakan adalah 1:1.5 dengan kadar air 93%. Sebelum bahan isian dimasukkan, perlu dilakukan pengadukan hingga terbentuk lumpur atau bubur. b) Persiapan instalasi pembangkit biogas Tahapan ini bertujuan untuk memastikan semua komponen dapat berfungsi dengan baik. Peralatan merupakan faktor yang sangat menentukan hasil biogas yang didapatkan. Oleh karena itu, pengujian sangat perlu dilakukan sebelum alat dioperasikan, yaitu dengan melakukan uji kebocoran digester, sambungan antar pipa, pipa dengan selang, dan tempat penampung biogas. c) Pengoperasian instalasi pembangkit biogas Bahan isian yang telah siap digunakan dimasukkan ke dalam drum digester. Bahan isian yang dimasukkan ke dalam digester sebanyak 50% dari volume digester, kemudian dibiarkan sampai produksi biogas habis untuk instalasi batch. Sedangkan pada instalasi kontinyu, bahan isian disiapkan setiap hari, saat produksi biogas mencapai titik maksimum. d) Uji bakar Biogas Pengujian biogas yang dihasilkan dilakukan dengan cara uji bakar langsung biogas dari tempat pengeluaran pada selang. Pada saat pengujian dihitung pula lama api menyala. B. 6 Pengolahan Data dan Perencanaan Penerapan Teknologi Biogas Volume biogas dihitung berdasarkan dimensi plastik penampung biogas dan biogas terukur pada suhu dan tekanan tertentu. Dari jumlah mol inilah dapat diketahui volume biogas pada suhu dan tekanan tertentu. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan berikut : P.V =n.r.t Keterangan : V = volume biogas yang dihitung berdasarkan dimensi plastik 33

45 P = tekanan biogas terukur (atm) T = suhu biogas (K) R = konstanta L atm/ mol.k n = jumlah mol, denagan konversi 1 mol = 22.4 lt Perencanaan penerapan teknologi biogas di Peternakan Kebagusan dihitung berdasarkan jumlah limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari. Sehingga diketahui volume digester yang dibutuhkan dan jumlah biogas yang dihasilkan pada kondisi oprtimum. B. 7 Analisis Kelayakan Analisis yang dilakukan meliputi hal-hal berikut : a) Analisis bahan isian Pada tahapan analisis ini bertujuan untuk mengetahui CN ratio dan kadar air bahan baku isian. b) Analisis teknis Analisis teknis dilakukan berdasarkan pengukuran suhu sludge dalam digester serta volume biogas setiap hari pada tekanan dan suhu saat itu c) Analisis ekonomi Analisis ekonomi meliputi besarnya biaya investasi terhadap jumlah biogas yang dihasilkan setiap harinya. Biaya investasi dihitung berdasarkan estimasi harga bahan dan alat konstruksi yang diperlukan serta biaya pengerjaannya dengan memperhitungkan pula umur ekonomis dari instalasi yang dibangun. Sehingga akan diperoleh besarnya harga per liter biogas (Rp./lt) dan harga per kilo kalori biogas, yang akan dibandingkan dengan harga per kilo kalori LPG. d) Analisis sosial Analisis sosial diperoleh dari wawancara peternak dan masyarakat sekitar mengenai tingkat penerimaan peternak dan masyarakat sekitar terhadap teknologi biogas. Adapun parameter yang digunakan terlihat pada Lampiran 1. 34

46 Analisis kelayakan dilakukan berdasarkan data hasil pengukuran dan perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya serta informasi yang telah diperoleh. Tingkat kelayakan penerapan teknologi biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan dilihat dari masing-masing segi teknis, ekonomi, dan sosial. Analisis kelayakan dari segi teknis akan menggunakan parameter volume biogas yang dihasilkan dan kandungan CN ratio limbah kotoran sapi di peternakan tersebut. Sedangkan analisis kelayakan dari segi ekonomi menggunakan harga per satu kilo kalori biogas yang dibandingkan dengan harga per satu kilo kalori LPG. Sedangkan analisis kelayakan dari segi sosial dilihat dari tingkat penerimaan peternak dan masyarakat sekitar terhadap teknologi biogas. Setelah semua analisa kelayakan dilakukan, maka peneliti akan menyatakan rekomendasi-rekomendasi untuk memperoleh kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial secara keseluruhan. C. Bahan dan Alat Bahan baku isian yang digunakan untuk memproduksi biogas pada penelitian ini adalah kotoran sapi yang terdapat di wilayah Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Sedangkan bahan dan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; Tabel 11. Bahan dan alat yang digunakan No. Alat dan Bahan Unit Spesifikasi Bahan asal 1 Drum lt Plat besi 2 Plastik 7 m D = 80 cm Polyethilen 3 Kran 2 D = 0.5 Plastik 4 Kran 2 D = 0.5 Besi 5 Paralon 7 m D = 2 cm PVC 6 Sambungan siku 4 D = 0.5 PVC 7 Sambungan T 2 D = 0.5 PVC 8 Selang 2 m D = ¼ Plastik 35

47 Tabel 11. Bahan dan alat yang digunakan (lanjutan) No. Alat dan Bahan Unit Spesifikasi Bahan asal 9 Pengencang 4 Alumunium 10 Lakban hitam 4 Karet lem 11 Semen 1 bal 12 Pasir 1 gerobak 13 Batu bata Lahan 15 Kompor gas LPG 16 Termometer Alkohol 17 Kertas lakmus Merah-biru 18 Korek api 19 Oven 36

48 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Peternakan Penelitian ini dilakukan di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Peternakan ini terletak di daerah pemukiman dan terletak di belakang daerah perkantoran. Saluran pembuangan limbah kotoran sapi menuju selokan besar yang terdapat di dataran lebih rendah dari peternakan ini. Limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap harinya telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Hanya limbah kotoran cair yang dibuang ke badan air sekitar dan sebagian limbah kotoran padat yang ikut mengalir, sedangkan limbah kotoran sapi yang padat disimpan dalam karung untuk dikeringkan menjadi pupuk. Sejak bulan Juli 2009 peternakan ini tidak dapat memproduksi pupuk organik, karena lahan yang biasa digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan limbah kotoran sapi sudah tidak dapat digunakan lagi. Limbah kotoran sapi yang dihasilkan hanya dimasukkan dalam karung dan diletakkan di sekitar kandang. Hanya sesekali ada pelanggan pupuk yang bersedia membawa limbah kotoran sapi masih dalam keadaan basah untuk dikeringkan di tempat mereka masing-masing. Namun pada bulan Oktober 2009, peternakan ini mulai memproduksi pupuk organik lagi. Pengeringan dan pengomposan dilakukan di bagian depan kandang, di tempat penelitian ini dilakukan. A.1 Potensi Bahan Isian dan Potensi Pemanfaatannya Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan memiliki 36 ekor sapi perah (pada tanggal 01 Maret 2009) dengan rincian umur yaitu, 15 ekor berumur kurang dari 1 tahun, 11 ekor berumur kurang dari 10 tahun, dan 10 ekor berumur di atas 10 tahun. Limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari rata-rata ±500 kg dengan kadar air rata-rata %, dengan perhitungan setiap sapi menghasilkan ±14 kg/hr/ekor. Limbah kotoran sapi di peternakan ini sudah terpisah dari air sehingga memiliki kadar padatan yang cukup besar. Oleh karenanya jika hendak digunakan sebagai bahan pembuat biogas

49 diperlukan kolam pencampur limbah kotoran sapi dan air agar terbentuk lumpur atau bubur sebelum bahan dimasukkan ke dalam digester. A.2 Kebutuhan Energi Peternak untuk Memasak Energi yang digunakan peternak setiap hari adalah gas LPG dengan lama penggunaan rata-rata selama 1.5 jam per hari, setara dengan 7224 kkal per hari. Setiap hari peternak memasak sehari-hari untuk sembilan orang. Bahan-bahan yang dimasak setiap hari dengan kompor gas LPG terdiri dari makanan lauk pauk, sayur mayur, nasi, dan air. A.3 Kultur Peternak Setempat Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan memiliki dua orang pekerja, satu orang untuk membersihkan kandang dilakukan pada pagi dan sore hari yang dibantu oleh pemilik dan anak peternak. Sedangkan pekerja yang satu mengambil rumput sebagai pakan sapi, pakan yang diberi adalah ampas tahu dan rumput. A.4 Tata Letak Peternakan Peternakan memiliki area bebas seluas 3 m x 5 m di bagian depan kandang, tempat ini sangat sesuai untuk dibangun instalasi pembangkit biogas. Selain itu, posisi area ini dekat untuk menjangkau ke dalam rumah dan tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari dari peternak untuk memerah susu dan membersihkan kandang. Tanah lapak milik orang lain yang digunakan sebagai tempat menyimpan besi-besi bekas, lay out peternakan terlihat pada Lampiran 2. B. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas Pada proses perancangan instalasi pembangkit biogas harus sesuai dengan kondisi riil di peternakan tersebut, perancangan terdiri dari rancangan fungsional dan struktural. Rancangan fungsional ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan semua fungsi yang dibutuhkan pada pembuatan instalasi pembangkit biogas ini. Sedangkan rancangan struktural ditentukan berdasarkan kesediaan bahan di wilayah tersebut, ekonomi, dan tata letak

50 peternak, sehingga diperoleh dimensi dan bahan yang baik untuk menjalankan seluruh fungsi yang telah ditentukan. B.1 Bak Pencampur Berdasarkan pengamatan awal dengan mempertimbangkan kadar air kotoran sapi dan tata letak kandang, maka diperlukan bak pencampur kotoran dengan air. Bak pencampur yang digunakan adalah drum plastik dengan volume 220 liter, kemudian diberi lubang pada bagian bawahnya sebagai tempat keluarnya bahan isian yang telah siap dimasukkan. Pemilihan drum berdasarkan posisi digester yang dipendam untuk instalasi batch, sehingga lebih mudah untuk memanfaatkan drum plastik jika dibandingkan dengan membuat kolam penampung dari cor semen dan pasir. Pada instalasi batch bahan isian dimasukkan sebanyak ½ dari volume digester sebesar 230 liter, sehingga bahan isian yang dimasukkan ke dalam digester seragam dengan mencampurkan bahan isian dalam drum plastik tersebut. Pada instalasi ini bahan isian dimasukkan hanya satu kali, sehingga pada saat drum tidak digunakan, maka drum dapat digunakan untuk hal lain. Sedangkan pada instalasi kontinyu bahan dimasukkan setiap hari setelah produksi biogas maksimum, untuk mencampurkan kotoran sapi dan air menggunakan ember dengan volume 5 liter. Hal ini dikarenakan volume digester kecil dan instalasi pembangkit biogas ini masih skala percobaan, sehingga bahan yang dimasukkan setiap hari pun sedikit (limbah kotoran sapi 1.2 kg dan air 1.8 kg). B.2 Digester beserta Saluran Masuk dan Saluran Keluarnya Sludge Desain digester yang digunakan adalah desain PTP-ITB yang terlihat pada Gambar 7, semua bahan yang digunakan pada digester ini adalah besi. Namun instalasi pembangkit biogas yang dibangun disesuaikan dengan kondisi di peternakan tersebut, terutama kondisi tata letak kandang. Hal ini bertujuan agar instalasi pembangkit biogas yang dibangun dapat berjalan dengan baik tanpa mengganggu aktivitas peternak sehari-hari, dapat dirawat dan diperbaiki dengan mudah oleh peternak.

51 Digester ini dibuat dua buah, satu untuk instalasi batch yang dipendam dalam tanah dan instalasi kontinyu yang diletakkan di atas permukaan tanah. Pada digester terdapat kran yang berfungsi untuk mengatur keluarnya biogas yang dihasilkan menuju penampung biogas sementara. Gambar 7. Desain digeser PTP-ITB dalam Abdullah et all (1998). Berikut adalah penggalian tanah untuk menyimpan digester instalasi batch. Gambar 8. Saat penggalian tanah untuk digester instalasi batch Saluran masuknya bahan isian ke digester sama dengan saluran keluarnya bahan dari digester, tetapi pada saluran masuk terdapat corong. Pada bagian corong ini dicor dengan campuran dari semen, pasir, dan batu bata untuk menstabilkan posisi corong agar tak bergerak dengan dimensi coran 20 cm x 20 cm x 10 cm. Pada saluran keluarnya sludge juga dicor, supaya lubang keluaran sludge langsung berhubungan dengan kolam penampung sementara.

52 B.3 Penyalur Biogas Pada awal pembuatan instalasi ini, penyalur biogas dari digester ke penampungan gas dan penyalur biogas dari penampung ke kompor gas menggunakan selang plastik berdiameter 1 inchi dan ¼ inchi seperti pada Gambar 9. Penggunaan selang plastik dengan diameter tersebut disesuaikan dengan kran yang terdapat pada digester. Namun setelah diuji, biogas yang dihasilkan tidak mampu naik ke penampung biogas. Hal ini dikarenakan struktur selang plastik yang dapat mengembang, sehingga tekanan yang diperlukan untuk menaikkan biogas ke penampung pun besar. Gambar 9. Instalasi pembangkit biogas pada awal pembuatan Setelah itu, penyalur biogas dari digester ke penampung diganti menggunakan pipa PVC berdiameter 2 cm terlihat pada Gambar 10, sambungan antar pipa menggunakan sambungan siku dengan lem pipa PVC. Gambar 10. Instalasi pembakit biogas bacth dan kontinyu

53 B.4 Penampung Biogas Penampung biogas sementara menggunakan plastik polyethilen berdiameter 80 cm dan panjang 2.5 m terlihat pada Gambar 16, pemilihan bahan plastik ini didasari oleh ketersediaan bahan di wilayah tersebut dan faktor ekonomi. Plastik diletakkan 1 m di atas permukaan tanah, kedua ujung plastik diikat dengan pengencang alumunium dan karet ban, kemudian dilapisi dengan lakban untuk mengencangkan. Diameter plastik setelah diikat menjadi 50 cm, sedangkan panjang plastik 2.5 m berdasarkan perhitungan awal, biogas yang akan dihasilkan dengan sebanyak 2.07 m 3, perhitungan terdapat pada Lampiran 3. Gambar 11. Plastik polyethilen yang digunakan untuk penampung biogas B.5 Kolam Penampung Sludge Kolam penampung sludge sementara berdimensi 50 cm x 50 cm x100 cm yang terbuat dari campuran semen, pasir, dan batu bata. Pemilihan dimensi ini berdasarkan luas area yang dimiliki di peternakan tersebut.

54 Gambar 12. Kolam penampung sludge sementara B.6 Kran Pengatur Keluarnya Biogas Pengatur keluarnya biogas dari digester menggunakan kran besi, sedangkan kran yang digunakan antara penampung dan selang menuju kompor menggunakan kran plastik yang disambung dengan menggunakan penyambung pipa. Pengukuran tekanan menggunakan selang plastik yang dibentuk menjadi U telihat pada Gambar 13, dengan menggunakan sambungan bentuk T. Setelah itu, dilakukan unjuk kerja dari instalasi pembangkit biogas tersebut. Desain digester dan unit instalasi pembangkit biogas dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, 6, dan 7. Gambar 13. Selang bentuk U

55 C. Unjuk Kerja Unjuk kerja dilakukan untuk mengetahui instalasi pembangkit biogas berjalan dengan baik atau tidak. Berikut adalah tahapan proses unjuk kerja beserta hasil yang diperoleh: C.1 Persiapan Bahan Isian Unjuk kerja unit instalasi pembangkit biogas dilakukan dengan mempersiapkan bahan isian terlebih dahulu. Pada awal penelitian bahan isian yang dimasukkan menggunakan perbandingan kotoran sapi dan air adalah 1:1, dengan kadar air 87.12% dengan penyalur biogas dari digester ke penampung menggunakan selang plastik. Namun biogas yang dihasilkan tidak mampu untuk naik ke penampung plastik, hal ini disebabkan kadar air bahan isian juga mempengaruhi, karena semakin membentuk bubur atau lumpur bahan isian maka biogas yang dihasilkan akan lebih mudah terlepas dari kerak yang terbentuk pada permukaan bagian atas sludge. Bahan isian yang masuk ke dalam digester terdiri dari 46 kg kotoran sapi dan 69 kg air dengan perbandingan 1:1.5 dan kadar air 93.2%. Hal ini bertujuan agar biogas yang dihasilkan lebih banyak, sesuai dengan Van Buren (1 979) dalam Rahman (2007) menyatakan bahwa, agar dapat beraktifitas normal, bakteri penghasil biogas memerlukan substrat dengan kadar padatan 7-10% agar bakteri anaerobik lebih mudah mencerna bahan baku. C.2 Persiapan Pembangkit Biogas Pengecekan kebocoran pada digester dilakukan untuk memastikan tidak ada udara yang dapat masuk ke dalam. Sedangkan selang plastik yang berfungsi sebagai penyalur biogas dari digester ke penampung diganti dengan pipa PVC berdiameter 2 cm, agar memudahkan proses penyaluran biogas dari digester ke penampung. Hal ini dikarenakan pada saat menggunakan selang plastik, biogas yang dihasilkan tidak mampu naik ke penampung biogas sementara. Hal ini dikarenakan jumlah biogas yang terlalu sedikit dan struktur selang yang

56 lentur sehingga membutuhkan tekanan yang besar untuk mendorong biogas ke penampung. Kondisi saat ini, sludge dalam digester keluar sedikit demi sedikit karena tekanan biogas yang dihasilkan, namun biogas tidak dapat tersalurkan dengan baik ke penampung sehingga menyebabkan sludge terdorong keluar. Setelah semua bagian dianggap telah terpasang dengan baik, maka unjuk kerja unit instalasi pembangkit biogas dimulai. Peneliti melakukan pengecekan kebocoran pada sambungan antar pipa hanya dengan menggunakan indera peraba. C.3 Hasil Pengoperasian Pembangkit Biogas pada Sistem Batch Instalasi batch dilakukan 14 hari lebih awal bertujuan untuk mengetahui hari optimum untuk memproduksi biogas maksimum. Pada instalasi ini sebagian digester dipendam dalam tanah, sedangkan instalasi kontinyu diletakkan di atas permukaan tanah dan pada lubang pengeluaran digester dibangun kolam penampung sludge sementara. Kolam ini menampung sludge yang dikeluarkan dari kedua digester tersebut. Pengambilan data dilakukan setiap hari dan kemudian dan diperoleh grafik produksi biogas pada instalasi batch (Gambar 14) yang diperoleh dengan perhitungan menggunakan persamaan berikut : P.V =n.r.t Grafik produksi biogas pada sistem bacth Volume biogas (L) Volume gas per hari (L) Hari ke- Gambar 14. Grafik produksi biogas per hari pada instalasi batch

57 Data di atas menunjukkan produksi biogas maksimum adalah pada hari ke-23 yaitu sebesar 2.14 liter pada tekanan 1 atm dan suhu 28 0 C. Produksi gas diukur setiap hari, pada suhu dan tekanan saat itu. Produksi biogas per hari mengalami fluktuasi, karena sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan suhu larutan bahan dalam digester. Sebagai contoh, saat hari hujan produksi biogas menurun seperti pada hari ke-22 dengan volume 0.57 liter pada tekanan 1 atm 32 0 C. Penyebab produksi biogas berfluktuasi adalah karena bakteri metanogen sangat rentan terhadap perubahan suhu. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mencapai kondisi optimum suhu larutan bahan dalam digester. Produksi biogas habis pada hari ke-38, ini sesuai dengan teori House (1981) dalam Wiloso (1984) yang menyebutkan bahwa waktu retensi pada pembangkit biogas skala kecil mencapai 30 hari atau lebih. Waktu retensi adalah waktu rata-rata satu satuan substrat berada dalam digester (House, 1981) dalam Wiloso (1984). Berikut profil suhu lingkungan dan suhu larutan bahan dalam digester. Suhu ( celcius) Profil suhu lingkungan dan suhu larutan bahan dalam digester Hari ke- Gambar 15. Profil suhu lingkungan dan suhu larutan bahan dalam digester pada instalasi batch Suhu larutan bahan dalam digester Suhu lingkungan Suhu lingkungan dan suhu larutan bahan dalam digester diukur setiap hari, suhu larutan bahan dalam digester diukur dengan mengambil sampel

58 bahan terlebih dahulu dengan menggunakan botol bekas yang ditutup dan diikat dengan tali lalu disambungkan ke besi. Botol dimasukkan dalam keadaan tertutup. Setelah posisi botol telah berada dalam badan digester, tali ditarik hingga tutup botol terbuka, sehingga larutan bahan dalam digester dapat diambil kemudian langsung diukur menggunakan termometer alkohol. Dari grafik tersebut terlihat bahwa suhu larutan bahan dalam digester pada awal produksi sebesar 26 0 C dan belum mencapai kondisi optimum untuk memproduksi biogas, Hal ini yang mungkin menyebabkan produksi biogas rendah. Suhu larutan bahan dalam digester mencapai 30 0 C (suhu optimum) pada hari ke-22, Menunjukkan bahwa tempat perkembangan bakteri anaerob telah mencapai kondisi optimum. Menurut Yani dan Darwis (1990), menyebutkan bahwa suhu op timum untuk mikroba penghasil biogas antara 30 0 C-35 0 C. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa pada suhu optimum, biogas yang dihasilkan pun maksimum. Hal ini terlihat produksi biogas maksimum diperoleh pada hari ke-23, karena pada hari ke-22 suhu larutan bahan dalam digester telah mencapai kondisi optimum untuk perkembangan bakteri anaerob. Suhu lingkungan juga sangat berpengaruh, terlihat pada hari ke-22 produksi biogas menurun karena cuaca saat itu hujan, meskipun suhu digester telah mencapai suhu optimum. Jumlah volume yang dihasilkan pada instalasi ini sangat sedikit hanya 0.02 m 3 jika dibandingkan dengan hasil perhitungan berdasarkan teori sebesar 2.07 m 3. Hal ini dikarenakan adanya kebocoran pada sambungan pipa-pipa. Selain itu, faktor cuaca dan suhu yang sangat berfluktuasi juga dapat menyebabkan produksi biogas sedikit di wilayah tersebut. Pada penelitian hanya melakukan pengukuran ph pada hari ke-9 dan hari ke-11 dengan menggunakan kertas lakmus biru, sebagaimana terlihat pada Gambar 9 dan 10. Pada penelitian ini tidak menggunakan larutan buffer untuk menjaga kondisi ph agar tetap optimum. Hal ini disebabkan digester berada dalam tanah dan digester tidak dilengkapi dengan pengaduk, sehingga khawatir apabila digunakan dan tidak teraduk rata dapat

59 mengganggu proses anaerob yang sedang berlangsung. Menurut Yani dan Darwis (1990), a pabila ph kurang dari 6.5 maka aktifitas bakteri akan menurun dan apabila ph dibawah 5.0 maka fermentasi akan terhenti. Sedangkan nilai ph terbaik untuk suatu digester biogas yaitu sekitar 7.0. Gambar 16. ph hari ke-9 Gambar 17. ph hari ke-11 C.4 Hasil Pengoperasian Pembangkit Biogas pada Sistem Kontinyu Pada instalasi kontinyu bahan yang dimasukkan menggunakan perbandingan yang sama dengan instalasi batch, instalasi batch dilakukan lebih awal 14 hari dibandingkan dengan instalasi kontinyu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui hari maksimum produksi biogas, sehingga dapat ditentukan pada hari tertentu untuk memasukkan bahan kembali dengan waktu retensi yang digunakan 40 hari. Setelah hari ke-27 baru dilakukan pemasukan bahan dengan menggunakan waktu retensi 38 hari berdasarkan hasil penelitian pada instalasi batch. Bahan yang dimasukkan dengan waktu retensi 40 hari dan 38 hari sama yaitu sebanyak 1.2 kg kotoran sapi dan 1.8 kg air. Berikut adalah produksi bogas per hari pada instalasi kontinyu,

60 Grafik produksi biogas pada sistem kontinyu Volume biogas (L) Volume per hari (L) Hari ke- Gambar 18. Grafik produksi biogas per hari pada instalasi kontinyu Pada instalasi kontinyu bahan diisi kembali pada hari ke-24, pada instalasi ini melakukan tiga perlakuan pengisian bahan untuk mengetahui pengisian optimum yang dapat dilakukan. Pengaruh cuaca lingkungan terhadap produksi biogas memang sangat besar, berikut adalah profil suhu larutan bahan dalam digester dan suhu lingkungan. Derajat (celcius) Suhu lingkungan dan suhu larutan bahan dalam digester Hari ke- Suhu larutan bahan dalam digester Suhu lingkungan Gambar 19. Profil suhu lingkungan dan suhu digester pada instalasi kontinyu Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa suhu larutan bahan dalam digester di atas permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu larutan

61 bahan dalam digester yang dipendam. Hal ini mungkin dikarenakan warna cat yang digunakan berbeda, pada digester di atas permukaan cat berwarna hitam dan digester di pendam berwarna kuning. Menurut Wulandani (2009), warna hitam dapat mengabsorbsi seluruh radiasi yang datang padanya dan dapat menjaga agar suhu konstan (black body). Hal ini yang mengakibatkan suhu digester di atas permukaan memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan suhu digester yang dipendam. Namun, suhu larutan bahan dalam digester sistem kontinyu sangat berpengaruh terhadap suhu lingkungan. Hal ini dikarenakan letak digester di atas permukaan tanah. Pada instalasi kontinyu ini proses produksi biogas juga lebih cepat, terlihat bahwa pada hari ke-30 sludge yang keluar dari digester sudah tidak bergelembung (tidak ada biogas). C.5 Hasil Pengoperasian Pembangkit Biogas dengan Berbagai Perlakuan Pada instalasi kontinyu bahan isian dimasukkan kembali pada hari ke- 24. Kemudian dilakukan beberapa perlakuan waktu pengisian bahan isian untuk mengetahui produksi biogas setiap harinya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui waktu pengisian yang optimum untuk memperoleh produksi biogas yang maksimum. Perlakuan pertama, bahan diisi setiap hari pada hari ke-24 dan ke-25 berturut-turut kotoran sapi diisi sebanyak 1.2 kg dan 1.8 kg air. Biogas yang dihasilkan setiap harinya rata-rata liter pada tekanan 1 atm dan suhu rata-rata 36 0 C. Berikut adalah grafik produksi biogas yang dihasilkan. Pengisian Setiap Hari Volume biogas (L) Volume biogas (L) Hari ke- Gambar 20. Produksi biogas pada saat diisi setiap hari

62 Perlakuan kedua, bahan diisi setiap tiga hari sekali yang dilakukan pada hari ke-26 dan 29, bahan isian yang dimasukkan tiga kali lipat dari bahan yang dimasukkan setiap hari. Bahan yang dimasukkan yaitu 3.6 kg kotoran sapi dan 5.4 kg air, jumlah biogas yang dihasilkan per hari ratarata liter pada tekanan 1 atm dan suhu rata-rata C. Berikut produksi biogas yang dihasilkan. Volume biogas (L) Pengisian setiap tiga hari Volume biogas (L) Hari ke- Gambar 21. Produksi biogas pada saat diisi setiap tiga hari Kemudian yang terakhir, bahan isian dimasukkan setiap dua hari sekali yang dilakukan pada hari ke-32 dan 34. Bahan yang dimasukkan sebanyak 2.4 kg kotoran sapi dan 3.6 kg air dengan biogas yang dihasilkan 1.99 liter pada tekanan 1 atm dan suhu rata-rata C. Pengisian setiap dua hari Volume biogas (L) Volume biogas (L) Hari ke- Gambar 22. Produksi biogas pada saat diisi setiap dua hari

63 Berikut adalah grafik produksi rata-rata biogas dari tiga perlakuan : Produksi rata-rata biogas Volume biogas (L) Volume ratarata biogas (L) Pengisian setiap X hari Gambar 23. Produksi rata-rata biogas tiga perlakuan Berdasarkan data dan grafik tersebut terlihat bahwa untuk mendapatkan biogas yang lebih besar maka pengisian dilakukan setiap hari dengan waktu retensi 38 hari. Produksi biogas juga dipengaruhi oleh pergerakan bahan saat dimasukkan, ini dikarenakan pergerakan bahan dapat memudahkan biogas yang dihasilkan untuk terlepas dari permukaan kerak pada bagian atas larutan bahan dalam digester. Pada grafik di atas terlihat bahwa saat bahan isian dimasukkan, produksi biogas meningkat. Pada hari ke-30 dari grafik di atas terlihat bahwa produksi biogas turun, hal ini dikarenakan cuaca saat itu sedang hujan. Apabila pengisian dilakukan setiap hari, maka kotoran yang dibuang ke badan air di lingkungan sekitar menjadi lebih sedikit. Akan tetapi saat pengisian bahan, suhu larutan bahan dalam digester ikut menurun rata-rata 1 0 C, hal ini menyebabkan kerja dari bakteri anaerob harus lebih keras untuk menaikkan suhu dalam digester agar sesuai dengan bakteri metanogen. Sehingga reaksi anaerob dapat berlangsung secara maksimal pada suhu optimum. Perencanaan penerapan teknologi biogas dihitung berdasarkan jumlah limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap harinya. Perhitungan mengenai volume digester terlihat pada Lampiran 8. Jumlah produksi biogas yang

64 dihasilkan dihitung berdasarkan keadaan optimum. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian berlangsung, peneliti tidak melakukan uji kebocoran pada sambungan antar pipa dengan baik. Sehingga kemungkinan terjadi kebocoran gas yang menyebabkan produksi biogas yang tercatat sangat rendah. C.6 Analisis Bahan Isian Hasil analisis kandungan carbon (C) dan nitrogen (N) dari kotoran sapi di peternakan tersebut, menunjukkan nilai CN ratio sebesar Menurut Rahman (2007), agar pertumbuhan bakteri anaerob optimum, dip erlukan rasio optimum C:N berkisar antara 20:1 sampai 30:1. Berdasarkan analisis yang dilakukan, nilai CN ratio untuk sapi memang termasuk rendah, ratarata CN ratio sapi sebesar 18 (Meynell, 1976) dalam Abdullah (1998). C.7 Analisis Teknis Selama penelitian digunakan penampung biogas sementara berupa plastik, dimana tekanan biogas yang diperoleh hanya sebesar 1 atm, sehingga uji bakar belum bisa dilakukan saat masih menggunakan penampung plastik tersebut. Saat hari ke-37, instalasi diubah, plastik dilepas dan pipa langsung dihubungkan ke bagian kran pengatur keluar biogas. Pada hari ke-40 dilakukan uji bakar biogas sebanyak liter pada tekanan 15.8 atm dan suhu 37 0 C, api berhasil menyala selama 30 detik. Waktu nyala api yang sebentar disebabkan saat uji bakar hanya menggunakan selang plastik dengan diameter ¼ inchi, sehingga biogas keluar dengan cepat dan waktu nyala menjadi sangat singkat. Biogas yang dihasilkan rata-rata per hari adalah sebanyak liter pada tekanan rata-rata 9.67 atm dan suhu rata-rata 35 0 C, dengan lama bakar rata-rata 10 detik. Menurut Fry dan Merrill (1973 dalam Yulistiawati, 2008), perbandingan C/N untuk masing-masing bahan organik akan mempengaruhi komposisi biogas yang akan dihasilkan. Perbandingan C/N yang terlalu rendah akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH 4 rendah, CO 2 tinggi, H 2 rendah, dan N 2 tinggi. Waktu yang

65 singkat pada saat uji bakar mungkin dikarenakan nilai CN ratio yang kecil dan tekanan biogas yang masih rendah. Meningkatkan nilai CN ratio dapat dilakukan dengan menambahkan bahan yang memiliki nilai CN ratio lebih besar. Peternakan Kebagusan terletak tidak terlalu jauh dari pembuat kursi, limbah yang dihasilkan berupa serbuk kayu yang dapat digunakan sebagai bahan campuran untuk meningkatkan nilai CN ratio. Menurut Abdullah, et all (1998), nilai CN ratio serbuk kayu sebesar 200 dengan kandungan nitrogen adalah 0.1 %. Berdasarkan perhitungan untuk memperoleh nilai CN ratio optimum sebesar 30, serbuk kayu yang dicampurkan dengan limbah kotoran sapi sebanyak 1.5 kg dengan limbah kotoran sapi sebanyak 1.2 kg. Perhitungan nilai CN ratio terdapat pada Lampiran 10. Analisis teknis hanya dilakukan sampai tahap uji bakar, tidak sampai jumlah prosentase kandungan gas metana. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu penelitian di peternakan tersebut. Waktu memasak peternak setiap harinya selama 1.5 jam, sedangkan waktu nyala api dari biogas yang dihasilkan setiap harinya hanya 10 detik. Hal ini menunjukkan bahwa biogas yang dihasilkan dengan instalasi skala percobaan masih sangat kecil dibanding kebutuhan jika biogas digunakan untuk keperluan memasak. Produksi biogas dapat diperbanyak dengan memperbesar volume digester, sehingga memperbesar pula jumlah bahan isian yang masuk ke dalam digester. Dengan demikian biogas yang dihasilkan akan lebih besar dan tekanan yang dihasilkan akan lebih besar, sehingga lama bakar penggunaan biogas akan lebih lama. Pada penelitian ini, pengujian biogas yang dihasilkan tidak menggunakan kompor, sehingga belum diperoleh nilai kalor dari biogas tersebut. Namun pada prinsipnya biogas yang dihasilkan telah mampu bakar, dengan tingkat kemudahan terbakar sangat mudah dan hampir tidak menimbulkan asap. Biogas yang dihasilkan masih berbau, terutama pada digester sistem kontinyu di atas permukaan tanah lebih bau daripada digester dipendam. Hal ini mungkin disebabkan biogas yang dihasilkan mengandung gas H 2 S. Namun pada penelitian ini tidak melakukan analisis

66 gas, sehingga tidak diketahui dengan pasti jumlah H 2 S yang terkandung dalam biogas yang dihasilkan. Dua faktor yang menyebabkan unit instalasi pembangkit biogas di peternakan ini belum layak digunakan yaitu, suhu lingkungan berfluktuasi dan nilai CN ratio limbah kotoran sapi hanya Suhu lingkungan yang tidak stabil mengakibatkan produksi biogas rendah, untuk mengatasinya pembuatan digester dapat dilakukan dalam tanah, sehingga fluktuasi suhu lingkungan tidak berpengaruh besar terhadap suhu larutan bahan dalam digester. Nilai CN ratio limbah kotoran sapi yang rendah menyebabkan perlu adanya penambahan bahan sebagai campuran bahan isian untuk meningkatkan nilai CN ratio. Hal tersebut juga menyebabkan kandungan gas metana yang dihasilkan rendah ( Fry dan Merrill, 1973 dalam Yulistiawati, 2008). Hal ini yang mungkin menyebabkan pada saat uji bakar, api hanya menyala dalam waktu 10 detik dengan volume biogas lt pada tekanan 9.67 atm dan suhu rata-rata 35 0 C. Sehingga dari analisis teknis secara menyeluruh menunjukkan instalasi pembangkit biogas ini belum layak diaplikasikan di peternakan setempat. C.8 Analisis Ekonomi Total biaya yang dibutuhkan untuk investasi dalam membangun satu unit instalasi pembangkit biogas dengan volume digester 230 liter tanpa menggunakan penampung sementara (p lastik) terdapat pada Lampiran 7. Namun biaya yang dibutuhkan untuk membangun instalsi biogas skala percobaan ini adalah sebagai berikut: Tabel 12. Daftar biaya yang dibutuhkan untuk penelitian ini No. Bahan Unit Harga per unit Total Harga 1 Drum Biaya las+pipa besi Transportasi Plastik Kran plastik Kran besi

67 Tabel 12. Daftar biaya yang dibutuhkan untuk penelitian ini (lanjutan) No. Bahan Unit Harga per unit Total Harga 7 Paralon Sambungan siku&t Pipa U Pengencang Lakban hitam Selang plastik Pasir n Semen Batu bata Pekerja Jumlah Untuk mengetahui harga per liter atau harga per m 3, maka biogas yang dihasilkan setiap harinya dikalikan jumlah hari dalam satu tahun (300 hari). Hari produksi biogas dihitung setelah 23 hari pertama, karena pada awal pembentukan biogas, produksi biogas belum stabil. Dengan umur ekonomis drum 6 bulan pada penelitan ini, sehingga untuk satu tahun 46 hari dan 4 hari untuk pembuatan drum baru tidak diperhitungkan sebagai hari produksi biogas. Produksi biogas yang dihitung dengan menggunakan instalasi kontinyu, dengan jumlah volume biogas per hari liter per hari pada tekanan 9.67 atm dan suhu rata-rat 35 0 C. Dengan demikian jumlah hari yang digunakan dalam perhitungan untuk satu tahun adalah 300 hari dengan umur ekonomis disesuaikan dengan literatur yang diperoleh untuk jenis komponen. Bunga modal yang digunakan adalah bunga modal pada bulan Agustus 2009 ( 2009). Umur ekonomis pada masing-masing unit berbeda, selang plastik memiliki umur ekonomis selama 2 tahun. Sedangkan saluran perpipaan dan kolam penampung sludge sementara memiliki umur ekonomis selama 20 tahun. Kran besi memeiliki umur ekonomis 1 tahun drum dan kran plastik hanya memiliki umur ekonomis 0.5 tahun. Perhitungan biaya total hanya meliputi biaya tetap dengan memperhitungan biaya penyusutan dan bunga modal yang sedang diberlakukan oleh pemerintah. Sedangkan biaya tidak tetap dianggap tidak ada, karena pekerjaan untuk memasukkan bahan isian diasumsikan sama dengan pekerjaan untuk

68 membersihkan kandang. Sehingga tidak ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memasukkan bahan isian, biaya pemeliharaan juga tidak diperhitungkan karena pemeliharaan unit instalasi dilakukan oleh peternak tersebut. Analisis ekonomi yang dihitung adalah biaya untuk membuat 1 unit instalasi pembangkit biogas. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 7 biaya pokok sebesar Rp.1.670/liter biogas,-. Nilai ini mengartikan peternak harus mengeluarkan biaya sebesar Rp untuk setiap liter biogas. Perhitungan tersebut dengan menggunakan produksi biogas sebanyak liter per hari pada tekanan 9.67 atm dan suhu rata-rata 35 0 C selama 340 hari dalam satu tahun. Menurut Gunnerson dan Stuckey (1986), bahwa nilai kalor biogas berkisar kkal/m 3, apabila menggunakan nilai kalor terendah diperoleh harga per kkal adalah Rp /kkal biogas, sedangkan harga per kkal LPG yaitu 0.415/kkal LPG. Hal ini menunjukkan bahwa harga per kilo kalori biogas lebih rendah dibandingkan dengan LPG Berdasarkan analisis ekonomi penggunaan teknologi biogas sudah layak, namun penggunaan teknologi ini memerlukan perawatan yang lebih dibandingkan dengan menggunakan LPG. Volume biogas yang dihasilkan pun masih sedikit, sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan energi untuk memasak peternak setempat. Hal ini dapat diperbaiki dengan memperbesar volume digester, sehingga biogas yang dihasilkan pun akan lebih besar. C.9 Analisis Sosial Analisis sosial dilakukan dengan mewawancarai peternak dan masyarakat sekitar peternakan mengenai kesediaan untuk menggunakan biogas. Hasil wawancara terlihat pada Lampiran 1, dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa peternak bersedia untuk mengelolah limbah kotoran sapi. Namun peternak lebih menyukai untuk mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik. Hal ini dikarenakan modal yang besar untuk membangun instalasi pembangkit bogas, selain itu peternak juga belum berkenan untuk menggunakan biogas. Sedangkan berdasarkan wawancara masyarakat sekitar, dapat disimpulkan bahwa masyarakat ingin lingkungan yang bersih. Namun

69 mereka keberatan untuk menggunakan biogas, mengingat bahan baku biogas adalah limbah kotoran sapi. Dari hasil wawancara juga menunjukkan bahwa semakin lanjut usia seseorang, maka semakin tidak responsif terhadap hal-hal baru. Selain itu, faktor pendidikan juga mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan Rakhmat (2004) dalam Sari (2007) yang menyebutkan pola pikir dan pola sikap seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor individual dan faktor situasional. Faktor individu adalah faktor yang melekat pada diri individu seseorang seperti umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, agama,dan bangsa. Semakin lanjut usia seseorang, maka semakin tidak responsif terhadap hal-hal baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin objektif. Berdasarkan analisis sosial dapat disimpulkan bahwa penerapan teknologi biogas ini belum dapat diaplikasikan, karena peternak dan masyarakat sekitar belum bersedia menggunakan biogas yang akan dihasilkan. Sehingga perlu adanya kegiatan penyuluhan mengenai aplikasi teknologi biogas dan kegunaan biogas sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan. C.10 Perencanaan Penerapan Teknologi Biogas Perencanaan penerapan teknologi biogas di peternakan ini berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 8) dengan memanfaatkan seluruh limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap harinya sebanyak ±500 kg, diperlukan digester dengan volume 47.5 m 3 dan volume ruang penampung biogas sebesar m 3. Dengan demikian maka dibutuhkan area bebas dengan diameter 2 m dan kedalaman 5 m untuk dibangun digester dan biogas yang dihasilkan setiap harinya 22.5 m 3. Lahan yang dibutuhkan untuk membangun digester yang sesuai dengan jumlah limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap harinya di peternakan tersebut telah disebutkan di atas. Sehingga apabila peternakan tersebut hendak membangun digester dengan ukuran tersebut, maka tata letak peternakan tersebut harus dirubah dengan membuat digester dalam tanah tepat di bawah sapi-sapi berdiri. Dengan demikian peternak memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk membuat digester tersebut.

70 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Potensi limbah kotoran sapi di peternakan tersebut yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku penghasil biogas sebanyak ±500 kg/hari, berdasarkan perhitungan 36 ekor sapi menghasilkan limbah kotoran sapi rata-rata ±14 kg/hr/ekor. 2. a) Berdasarkan hasil analisis teknis dari penelitian yang dilakukan, penerapan teknologi biogas kurang layak diterapkan di peternakan ini. Hal ini dikarenakan fluktuasi suhu lingkungan dan nilai CN ratio limbah kotoran sapi hanya sebesar Fluktuasi suhu lingkungan dapat diatasi dengan membuat digester dalam tanah, sehingga fluktuasi suhu lingkungan tidak berpengaruh besar terhadap suhu larutan bahan dalam digester. Sedangkan nilai CN ratio dapat ditingkatkan mencapai kondisi optimum sebesar 30 dengan menambahkan serbuk kayu sebanyak 1.5 kg pada pengisian limbah kotoran sapi sebanyak 1.2 kg. b) Analisis ekonomi menunjukkan penerapan teknologi biogas ini sudah layak dengan harga per kilo kalori LPG (Rp.0.415/kkal LPG) lebih tinggi dibandingkan dengan harga per kilo kalori biogas (Rp.0.348/kkal biogas). c) Hasil analisis sosial, penerapan teknologi biogas di peternakan tersebut belum layak. Peternak dan masyarakat sekitar belum berkenan untuk menggunakan biogas dan peternak lebih suka mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk. Hal ini disebabkan perlu modal yang besar untuk membangun instalasi pembangkit biogas. 3. Perencanaan penerapan teknologi biogas di peternakan ini berdasarkan hasil perhitungan dengan memanfaatkan seluruh limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap harinya sebanyak ±500 kg, diperlukan digester dengan volume 47.5 m 3 dan volume ruang penampung biogas sebesar m 3. Dengan demikian maka dibutuhkan area bebas dengan diameter 2 m dan kedalaman 5 m untuk dibangun digester dan biogas yang dihasilkan setiap

71 harinya 22.5 m 3. Apabila pertenakan ini hendak membuat digester dengan ukuran tersebut, maka digester yang akan dibuat harus di dalam tanah tepat di bawah kandang sapi. Sehingga tata letak peternakan harus dirubah, hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. B. Saran 1. Meningkatkan produksi biogas dapat dilakukan dengan memperbesar volume (kapasitas) digester, sehingga limbah kotoran sapi yang dimasukkan dan dicerna dalam digester juga lebih besar. 2. Suhu optimum dan stabil dapat diperoleh dengan membuat digester dalam tanah, sehingga suhu larutan bahan dalam digester lebih stabil. Apabila digester terdapat di atas permukaan, suhu optimum dan stabil dapat diperoleh dengan menutup sebagian digester dengan serbuk kayu. 3. Perlu adanya kegiatan penyuluhan mengenai aplikasi teknologi biogas dan kegunaan biogas sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan.

72 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, K. Irwanto, K. A. Siregar, N. Agustina, S. E. dkk Energi dan Elektrifikasi Pertanian. Buku Diktat Kuliah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Agustina, S. E Energi dan Elektrifikasi Pertanian. Diktat Kuliah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Pengendalian Pencemaran Udara.dalam Jakarta. (pada tanggal 4 April 2009). Barnet, A. Pyle, L. and Subramanian, S. K Biogas Technology in the Third World A Multidisciplinary Review. International Development Research Centre. Ottawa. Center of Agribusness Development Asian Development Bank and Directorate General of Livestock Service. G.R.M. International Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Potensi energi terbaharukan di Indonesia. Jakarta Fauziyah, A. N Pemanfaatan Limbah Industri Kertas ( Biosludge) untuk Pembuatan Biogas. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Peranian Bogor. Bogor. Gunnerson, C. G. And Suckey, D. C Anaerobic Digestion Principles and Practices for Biogas Systems. The Internatonal Bank for Reconstruction and Development. Washington, D.C. Hani, L Keseriusan Mengurus Energi Terbarukan. Artikel dalam tanggal 11 September 2009) Hapsari, A Mempelajari Produksi Biogas pada Fermentasi Sampah Organik Pasar. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heriyanto, E. M. W Pengaruh Temperatur dan Derajat Keasaman (ph0 Fermentor sebagai Alat Penghasil Biogas dari Kotoran Hewan. Di dalam Jurnal Sains dan Teknologi. Vol. 3 No.1. Teknik Kimia. Politeknik Negeri. Bandung. Hermawan. W Rancangan Teknik. Diktat Kuliah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Indartono, Y. S Reaktor Biogas Skal Kecil / Menengah. Artikel dalam 61

73 Kadir, A Energi. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Kordono Konservasi Energi Rumah Tangga Pedesaan (Rural Household Energy Conservation). Gugus II, BIOTROP IPB. Bogor. Paimin. Farry. B Alat Pembuatan Biogas dari Drum. Penebar Swadaya. Jakarta. Price, E. C. Dan Cheremisinoff, P. N Biogas Produstion and Utilization. Ann Arbor Science Publisher. Michigan. Rahman, A. N Pembuatan Biogas dari Sampah Buah-Buahan Melalui Fermentasi Aerobik dan Anaerobik. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sahidu. S Kotoran Ternak sebagai Sumber Energi. Dewaruci Press. Jakarta. Sari, N, E Persepsi Peternak tentang Teknologi Biogas Hasil Fermentasi Kotoran Sapi (Kasus Kelompok Peternak Sapi Perah Maju Terus Kelurahan Kebon Pedes, Bogor). Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Peternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sasse, L Pengembangan Energi Alternatif Biogas dan Pertanian Terpadu di Boyolali-Jawa Tengah. Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan. LPTP. Solo. Sugiyono, Agus Prospek Penggunaan Teknologi Bersih untuk Pembangkit Listrik dengan Bahan Bakar Batubara di Indonesia dalam jurnal Teknologi Lingkungan Vol.1 No.1 Sutanto, J. P. dan Tjahyono, H Penelitian Pembuatan Biogas dari Batang Pisang. BPPT. Makalah. Jakarta. Syamsuddin, T. R. dan Iskandar, H. H Bahan Bakar Alternatif Asal Ternak. Sinar Tani, Edisi Desember No Tahun XXXVI. Tarumingkeng. Rudy. C Pemanfaatan Limbah Sapi Ruminansia untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Institut Pertanian Bogor (IPB - Press). Bogor. Trethwey, K. R. dan Chamberlain, J Korosi untuk Mahasiswa dan Rekayasawan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Yani, M. dan Darwis, A. A Diktat Teknologi Biogas. Pusat antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62

74 Yulistiawati, E Pengaruh Suhu dan CN Ratio terhadap Produksi Biogas Berbahan Baku Sampah Organik Sayuran. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widodo, T. W, dkk Rekayasa dan Pengujian Reaktor Biogas Skala Kelompok Tani Ternak. Di dalam Jurnal Teknik Pertanian. Vol.IV No. 1. BPPP dan BPMEKTAN. Wiloso, Telaah Rendemen dan Analisis Finansial Pembuatan Biogas dengan Berbahan Dasar Limbah Industri Tapioka. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wulandani, D Energi dan Elektrifikasi Pertanian. Diktat Kuliah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. (pada tanggal 13 September 2009). (pada tanggal4 April 2009). September2008.pdf (pada tanggal 24 Oktober 2008) 63

75 Lampiran 1. Hasil Wawancara Peternak dan Masyarakat sekitar Peternak Nama : H. Abd. Rozaq (L) Umur : 65 th Pendidikan : SD Parameter Tingkatan penerimaan Keinginan mengelola limbah (penghasil limbah) 5 Mengelola limbah menjadi biogas 3 Ingin berinvestasi 2 Setelah dihasilkan biogas ingin menggunakannya 3 Ingin menjadi produsen biogas (pengusaha biogas) 3 Masyarakat Jenis kelamin : lk Umur : 50 th Jarak : ±5 m Pekerjaan : Wirausaha Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 1 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 2 Jenis kelamin : pr Umur : 41 th Jarak : 5 m Pekerjaan : ibu rt Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 1 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 2 Jenis kelamin : pr Umur : 40 th Jarak : ±700 m Pekerjaan : Ibu RT Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 5 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 3 Jenis kelamin : lk Umur : 55 th Jarak : ±600 m Pekerjaan : Ojek Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 1 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 3 Jenis kelamin : pr Umur : 46 th Jarak : ±700 m Pekerjaan : wirausaha Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 1 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 3 Jenis kelamin :pr Umur : 56 th Jarak : ±800 m Pekerjaan : Ibu RT Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 1 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 3 Jenis kelamin : lk Umur : 28 th Jarak : ±800 m Pekerjaan : Karyawan Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 1 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 3 Jensi kelamin : lk Umur : 25 th Jarak n : ±1 km Pekerjaan : wirausaha Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 5 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 3 Jenis kelamin : lk Umur : 11 th Jarak : ±1.5 km Pekerjaan : Pelajar Parameter Tingkatan penerimaan Terganggu dengan limbah peternakan (1 km) 1 Ingin limbah diolah 5 Setelah diolah menjadi biogas ingin menggunakannya 5

76 Lampiran 2. Lay out Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan Gudang Rumah pekerja Rumah peternak

77 Lampiran 3. Perhitungan berdasarkan teori biogas yang dihasilkan. Menurut Abdullah et all (1998), ( ) = 0.18 = 0.25 = = = 230 Maka jumlah kotoran sapi yang dimasukkan sebanyak 46 kg dan air 69 kg dengan perbandingan 1:1.5 (Abdullah et all, 1998). Dengan dmeikian biogas yang dihasilkan adalah : = = 8.28 = =

78 Pipa U Plastik 2 9 Penampungan gas Kantung plastik 2 8 Pipa gas PVC diameter 1/4 in 7 Pipa pemasukan Besi 2 6 Corong pemasukan Besi 2 5 Kran Plastik 4 4 Sambungan pipa PVC 4 3 Bak pembuangan Semen,pasi,bata 1 2 Pipa pengeluaran Besi 2 1 Tangki kotoran Besi 2 No Keterangan Bahan Jml Lab. EEP-TEP IPB Skala:1:25 Satuan:mm Tanggal: Digambar: Nur Arifia Diperiksa: Ir. Sri Endah A., M.Sc. Instalasi Biogas Peringatan: Hal: A4

79 Lapisan Tanah GAMBAR KOMPOSISI TAMPAK DEPAN Lab. EEP-TEP IPB Skala:1:25 Satuan:mm Tanggal: Digambar: Nur Arifia Diperiksa: Ir. Sri Endah A., M.Sc. Instalasi Biogas Peringatan: Hal: A4

80 GAMBAR DETAIL KOMPONEN NO 1 Lab. EEP-TEP IPB Skala:1:25 Satuan:mm Tanggal: Digambar: Nur Arifia Diperiksa: Ir. Sri Endah A., M.Sc. Instalasi Biogas Peringatan: Hal: A4

81 Lampiran 8. Perhitungan perencanaan volume digester di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Ket. kg Jumlah kotoran (kg/hr) 500 Perbandingan 1:1.5 Air (kg/hr) 750 bbi/hr 1250 HRT 38 Vdigester(lt) to kot Vdigester(m3) to kot TS/kg kot TS 90 Biogas (m3/kg TS) 0.25 Vbiogas/hari (m3) 22.5 Vbiogas/hari (L) Asumsi m3/hr(elp 98) 70% V kubah (m3) V digeser (m3) jari-jari 2 tinggi tabung 4 V digeser (m3) V kubah (m3) jari-jari 2 tinggi kubah 0.75 V kubah (m3) (Stewart, 1998) = = = (2) 4 = 2 = = Berdasarkan perhitungan di atas, maka area bebas yang dibutuhkan dengan diameter 2m dan kedalaman 5m agar seluruh limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap harinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan biogas tanpa penggunaan jerami.

82 Dengan demikian dapat diketahui pula jumlah biogas yang dihasikan setiap harinya dalam keadaan optimum. Berikut perhitungan secara terperinci : = 500 / Menurut Abdullah, et all (1998) kandungan padatan (TS) dari kotoran sapi sebesar 0.18 dari limbah kotoran sapi basah, maka : = = 90 Jumlah biogas yang dapat dihasilkandari kg TS sebesar 0.25 m 3, maka : = = 22.5 = 22500

83 Lampiran 9. Analisis Ekonomi Unit Sistem Pembangkit Biogas Analisis ekonomi untuk satu unit sistem pembangkit biogas dnegan menggunkana drum dengan volume 230 liter sebagai digester dan tidak menggunakan plastik polyethilen sebagai penampung biogas sementara. ANALISIS BIAYA TETAP No. Spesifikasi Nilai Rp./tahun 1 Biaya Penyusutan Drum dengan V = 230 lt Harga awal (P), Rp Harga akhir (S), Rp Umur ekonomi (N), tahun. 2 Kran plastik dengan d = 0.5 inch Harga awal (P), Rp Harga akhir (S), Rp Umur ekonomi (N), tahun. 0.5 Kran besi dengan d = 0.5 inch Harga awal (P), Rp Harga akhir (S), Rp Umur ekonomi (N), tahun. 1 Paralon dengan d = 2 cm Harga awal (P), Rp Harga akhir (S), Rp Umur ekonomi (N), tahun. 20 Sambungan siku dan T Harga awal (P), Rp Harga akhir (S), Rp Umur ekonomi (N), tahun. 20 Selang plastik dengan d = ¼ inch Harga awal (P), Rp Harga akhir (S), Rp Umur ekonomi (N), tahun. 2 Kolam panampung sludge sementara

84 Harga awal (P), Rp Harga akhir (S), Rp Umur ekonomi (N), tahun Bunga Modal (i=14.96%) dari Drum Kran plastik 2244 Kran besi 2394 Paralon I = (i x P)x(N+1)/2N 7854 Sambungan siku dan T Selang plastik 3366 Kolam penampung Jumlah Biaya Tetap (BT) Biaya Tidak Tetap (BTT) Pekerja untuk memasukkan bahan isian = membersihkan 0 kandang. Biaya Total (Rp./hari) B = (BT/x) + BTT 3440 Biaya Pokok BP = B/k(lt) Apabila nilai kalor dihitung dengan prosentase terendah menurut Gunnerson dan Stuckey (1986), bahwa nilai kalor biogas berkisar kkal/m 3, maka harga per kkal adalah; 1 ( ) = = Maka, harga per kkal = Rp / kkal biogas, jika dibandingkan dengan harga per kkal per kkal LPG adalah sebagai berikut : 3 = , = = =

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN. Oleh : NUR ARIFIYA AR F

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN. Oleh : NUR ARIFIYA AR F STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN Oleh : NUR ARIFIYA AR F14050764 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biogas Biogas menjadi salah satu alternatif dalam pengolahan limbah, khususnya pada bidang peternakan yang setiap hari menyumbangkan limbah. Limbah peternakan tidak akan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013 Sejarah Biogas BIOGAS (1770) Ilmuwan di eropa menemukan gas di rawa-rawa. (1875) Avogadro biogas merupakan produk proses anaerobik atau proses fermentasi. (1884) Pasteur penelitian biogas menggunakan kotoran

Lebih terperinci

Adelia Zelika ( ) Lulu Mahmuda ( )

Adelia Zelika ( ) Lulu Mahmuda ( ) Adelia Zelika (1500020141) Lulu Mahmuda (1500020106) Biogas adalah gas yang terbentuk sebagai hasil samping dari penguraian atau digestion anaerobik dari biomasa atau limbah organik oleh bakteribakteri

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prinsip Pembuatan Biogas Prinsip pembuatan biogas adalah adanya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI ENERGI ALTERNATIF TERBARUKAN BIOGAS DARI KOTORAN SAPI Bambang Susilo Retno Damayanti PENDAHULUAN PERMASALAHAN Energi Lingkungan Hidup Pembangunan Pertanian Berkelanjutan PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS Dapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan bahan organik oleh mikroorganisme (bakteri) dalam kondisi tanpa udara (anaerobik). Bakteri ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Masyarakat di Indonesia Konsumsi bahan bakar fosil di Indonesia sangat problematik, hal ini di karenakan konsumsi bahan bakar minyak ( BBM ) melebihi produksi dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN LITERATUR. Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari

TINJAUAN LITERATUR. Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari TINJAUAN LITERATUR Biogas Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan suatu gas yang sebahagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Peternakan Usaha peternakan sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia karena sebagai penghasil bahan makanan. Produk makanan dari hasil peternakan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Terkait dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010 dan Bahan Bakar Minyak (BBM) per Januari 2011, maka tidak ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Perkembangan kebutuhan energi dunia yang dinamis di tengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan

Lebih terperinci

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure Sariyati Program Studi DIII Analis Kimia Fakultas Teknik Universitas Setia Budi Surakarta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi merupakan hewan ternak yang umum dipelihara dan digunakan sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya diperlihara untuk diambil tenaga, daging,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob. Pembentukan biogas berlangsung melalui

Lebih terperinci

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob Pertumbuhan total bakteri (%) IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob dalam Rekayasa GMB Pengujian isolat bakteri asal feses sapi potong dengan media batubara subbituminous terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang kaya akan sumber sumber energi terbarukan yang potensial, namun pengembangannya belum cukup optimal. Sebenarnya kebijakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat terhadap pentingnya protein hewani, maka permintaan masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat terhadap pentingnya protein hewani, maka permintaan masyarakat 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi yang baik di bidang peternakan, seperti halnya peternakan sapi potong. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Bakteri Anaerob pada Proses Pembentukan Biogas dari Feses Sapi Potong dalam Tabung Hungate. Data pertumbuhan populasi bakteri anaerob pada proses pembentukan biogas dari

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Bel akang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Bel akang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa sekarang ini bukan hanya pertumbuhan penduduk saja yang berkembang secara cepat tetapi pertumbuhan di bidang industri pemakai energi pun mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Oleh : Nur Laili 3307100085 Dosen Pembimbing : Susi A. Wilujeng, ST., MT 1 Latar Belakang 2 Salah satu faktor penting

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob. Biogas dapat dihasilkan pada hari ke 4 5 sesudah biodigester

Lebih terperinci

SNTMUT ISBN:

SNTMUT ISBN: PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK (BUAH - BUAHAN) PASAR TUGU MENJADI BIOGAS DENGAN MENGGUNAKAN STARTER KOTORAN SAPI DAN PENGARUH PENAMBAHAN UREA SECARA ANAEROBIK PADA REAKTOR BATCH Cici Yuliani 1), Panca Nugrahini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang cepat dan perkembangan industri yang terus meningkat menyebabkan permintaan energi cukup besar. Eksploitasi sumber energi yang paling banyak

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi yang terjadi secara global sekarang disebabkan oleh ketimpangan antara konsumsi dan sumber energi yang tersedia. Sumber energi fosil yang semakin langka

Lebih terperinci

MEMBUAT BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK

MEMBUAT BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK MEMBUAT BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK Permintaan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia dari tahun ketahun semakinÿ meningkat, menyebabkan harga minyak melambung. Pemerintah berencana menaikkan lagi harga

Lebih terperinci

PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS

PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS Pembentukan biogas dipengaruhi oleh ph, suhu, sifat substrat, keberadaan racun, konsorsium bakteri. Bakteri non metanogen bekerja lebih dulu dalam proses pembentukan biogas untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebagai dasar penentuan kadar limbah tapioka yang akan dibuat secara sintetis, maka digunakan sumber pada penelitian terdahulu dimana limbah tapioka diambil dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga. Jerami telah didiamkan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN BIOGAS

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN BIOGAS 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN BIOGAS Biogas adalah campuran beberapa gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerobik, dengan gas yang dominan adalah gas metana (CH 4

Lebih terperinci

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam Yommi Dewilda, Yenni, Dila Kartika Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis Padang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jenis Gas Volume (%)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jenis Gas Volume (%) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Biogas Biogas adalah gas produk akhir pecernaan atau degradasi anaerobik bahanbahan organik oleh bakteri-bakteri anaerobik dalam lingkungan bebas oksigen atau

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS Oleh : Selly Meidiansari 3308.100.076 Dosen Pembimbing : Ir.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak 1. Limbah Cair Tahu. Tabel Kandungan Limbah Cair Tahu Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg Proses Tahu 80 kg manusia Ampas tahu 70 kg Ternak Whey 2610 Kg Limbah Diagram

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara).

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LIMBAH 2.1.1. Karakteristik Limbah Rumah Sakit Limbah rumah sakit adalah sampah atau limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkurangnya cadangan sumber energi dan kelangkaan bahan bakar minyak yang terjadi di Indonesia dewasa ini membutuhkan solusi yang tepat, terbukti dengan dikeluarkannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Komponen dalam biogas terdiri

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN

PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN Roy Renatha Saputro dan Rr. Dewi Artanti Putri Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biogas merupakan salah satu energi berupa gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biogas merupakan salah satu energi terbarukan. Bahanbahan yang dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

PANDUAN TEKNOLOGI APLIKATIF SEDERHANA BIOGAS : KONSEP DASAR DAN IMPLEMENTASINYA DI MASYARAKAT

PANDUAN TEKNOLOGI APLIKATIF SEDERHANA BIOGAS : KONSEP DASAR DAN IMPLEMENTASINYA DI MASYARAKAT PANDUAN TEKNOLOGI APLIKATIF SEDERHANA BIOGAS : KONSEP DASAR DAN IMPLEMENTASINYA DI MASYARAKAT Biogas merupakan salah satu jenis biofuel, bahan bakar yang bersumber dari makhluk hidup dan bersifat terbarukan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

ENERGI BIOMASSA, BIOGAS & BIOFUEL. Hasbullah, S.Pd, M.T.

ENERGI BIOMASSA, BIOGAS & BIOFUEL. Hasbullah, S.Pd, M.T. ENERGI BIOMASSA, BIOGAS & BIOFUEL Hasbullah, S.Pd, M.T. Biomassa Biomassa : Suatu bentuk energi yang diperoleh secara langsung dari makhluk hidup (tumbuhan). Contoh : kayu, limbah pertanian, alkohol,sampah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk

Lebih terperinci

PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP PRODUKSI BIOGAS MENGGUNAKAN BAHAN BAKU KOTORAN SAPI

PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP PRODUKSI BIOGAS MENGGUNAKAN BAHAN BAKU KOTORAN SAPI TURBO Vol. 5 No. 1. 2016 p-issn: 2301-6663, e-issn: 2477-250X Jurnal Teknik Mesin Univ. Muhammadiyah Metro URL: http://ojs.ummetro.ac.id/index.php/turbo PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas jerami padi dan sludge. Pertimbangan atas penggunaan bahan tersebut yaitu jumlahnya yang

Lebih terperinci

Produksi gasbio menggunakan Limbah Sayuran

Produksi gasbio menggunakan Limbah Sayuran Produksi gasbio menggunakan Limbah Sayuran Bintang Rizqi Prasetyo 1), C. Rangkuti 2) 1). Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Universitas Trisakti E-mail: iam_tyo11@yahoo.com 2) Jurusan Teknik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas

Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas Tofik Hidayat*, Mustaqim*, Laely Dewi P** *PS Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Pancasakti Tegal ** Dinas Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

Modifikasi Biogester Tipe Vertikal Menggunakan Pengaduk dengan Teknik Pengelasan

Modifikasi Biogester Tipe Vertikal Menggunakan Pengaduk dengan Teknik Pengelasan Modifikasi Biogester Tipe Vertikal Menggunakan Pengaduk dengan Teknik Pengelasan Ana S. 1, Dedi P. 2, M. Yusuf D. 3 1,2,3 Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Jakarta E-mail: 1 annamesin@yahoo.com

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN

PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN Disusun Oleh: Ir. Nurzainah Ginting, MSc NIP : 010228333 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2007 Nurzainah Ginting

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahanbahan organik termasuk diantaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik sangat populer digunakan untuk mengolah limbah biodegradable karena bahan bakar dapat dihasilkan sambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. UBI KAYU (SINGKONG) Singkong atau yang sering disebut dengan ketela pohon atau ubi kayu berasal dari keluarga Euphorbiaceae dengan nama latin Manihot esculenta. Singkong merupakan

Lebih terperinci

SNTMUT ISBN:

SNTMUT ISBN: PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK (SAYUR SAYURAN) PASAR TUGU MENJADI BIOGAS DENGAN MENGGUNAKAN STARTER KOTORAN SAPI DAN PENGARUH PENAMBAHAN UREA SECARA ANAEROBIK PADA REAKTOR BATCH Maya Natalia 1), Panca Nugrahini

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto, 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Limbah Ternak 2.1.1. Deksripsi Limbah Ternak Limbah didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia dan tidak digunakan lagi pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIOGAS SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya jumlah penduduk. Namun demikian, hal ini tidak diiringi dengan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya jumlah penduduk. Namun demikian, hal ini tidak diiringi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi tiap tahunnya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Namun demikian, hal ini tidak diiringi dengan ketersediaan akan sumber

Lebih terperinci

ANALISIS PERAN LIMBAH SAYURAN DAN LIMBAH CAIR TAHU PADA PRODUKSI BIOGAS BERBASIS KOTORAN SAPI

ANALISIS PERAN LIMBAH SAYURAN DAN LIMBAH CAIR TAHU PADA PRODUKSI BIOGAS BERBASIS KOTORAN SAPI ANALISIS PERAN LIMBAH SAYURAN DAN LIMBAH CAIR TAHU PADA PRODUKSI BIOGAS BERBASIS KOTORAN SAPI Inechia Ghevanda (1110100044) Dosen Pembimbing: Dr.rer.nat Triwikantoro, M.Si Jurusan Fisika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi beberapa dekade akhir ini mengakibatkan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi beberapa dekade akhir ini mengakibatkan bahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi yang terjadi beberapa dekade akhir ini mengakibatkan bahan bakar utama berbasis energi fosil menjadi semakin mahal dan langka. Mengacu pada kebijaksanaan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN J. Tek. Ling Edisi Khusus Hal. 58-63 Jakarta Juli 2008 ISSN 1441-318X PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN Indriyati dan Joko Prayitno Susanto Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Sejarah Biogas Sejarah awal penemuan biogas pada awalnya muncul di benua Eropa. Biogas yang merupakan hasil dari proses anaerobik digestion ditemukan seorang ilmuan bernama Alessandro

Lebih terperinci

Chrisnanda Anggradiar NRP

Chrisnanda Anggradiar NRP RANCANG BANGUN ALAT PRODUKSI BIOGAS DENGAN SUMBER ECENG GONDOK DAN KOTORAN HEWAN Oleh : Chrisnanda Anggradiar NRP. 2106 030 038 Program Studi D3 Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Pembentukan biogas berlangsung melalui suatu proses fermentasi anaerob atau tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu oksidasi - reduksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia dengan jumlah produksi pada tahun 2013 yaitu sebesar 27.746.125 ton dengan luas lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya.

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Energi mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua aktivitas manusia sangat tergantung pada energi. Berbagai alat pendukung, seperti alat penerangan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2010. Tempat Penelitian di Rumah Sakit PMI Kota Bogor, Jawa Barat. 3.2. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup

TINJAUAN PUSTAKA. fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup TINJAUAN PUSTAKA Biogas Biogas adalah gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

PROSIDING SNTK TOPI 2013 ISSN Pekanbaru, 27 November 2013

PROSIDING SNTK TOPI 2013 ISSN Pekanbaru, 27 November 2013 Pemanfaatan Sampah Organik Pasar dan Kotoran Sapi Menjadi Biogas Sebagai Alternatif Energi Biomassa (Studi Kasus : Pasar Pagi Arengka, Kec.Tampan, Kota Pekanbaru, Riau) 1 Shinta Elystia, 1 Elvi Yenie,

Lebih terperinci

BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA

BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SEJARAH BIOGAS Biogas merupakan suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (Prihandana & Hendroko

Lebih terperinci

Agustin Sukarsono *) Eddy Ernanto **)

Agustin Sukarsono *) Eddy Ernanto **) SISTEM PRODUKSI BIOGAS YANG TERINTEGRASI (Sebuah Aplikasi Teknologi Tepat Guna melalui Pemanfaatan limbah ) Agustin Sukarsono *) Eddy Ernanto **) PENDAHULUAN Krisis bahan bakar di indonesia dewasa ini

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN (JERAMI) DAN KOTORAN SAPI MENJADI BIOGAS

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN (JERAMI) DAN KOTORAN SAPI MENJADI BIOGAS LAPORAN TUGAS AKHIR PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN (JERAMI) DAN KOTORAN SAPI MENJADI BIOGAS Disusun Oleh: ALDINO OVAN YUDHO K. INDRA KUSDWIATMAJA I8311001 I8311024 PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan. Limbah : Feses Urine Sisa pakan Ternak Mati

II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan. Limbah : Feses Urine Sisa pakan Ternak Mati II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah merupakan sebuah usaha dimana input utama yang digunakan adalah sapi perah untuk menghasilkan susu sebagai output utamanya.

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP PRODUKSI BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH ORGANIK SAYURAN

PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP PRODUKSI BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH ORGANIK SAYURAN PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP PRODUKSI BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH ORGANIK SAYURAN Oleh ENDANG YULISTIAWATI F34103034 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

2015 POTENSI PEMANFAATAN KOTORAN SAPI MENJADI BIOGAS SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF DI DESA CIPOREAT KECAMATAN CILENGKRANG KABUPATEN BANDUNG

2015 POTENSI PEMANFAATAN KOTORAN SAPI MENJADI BIOGAS SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF DI DESA CIPOREAT KECAMATAN CILENGKRANG KABUPATEN BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Energi merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia, karena hampir semua aktivitas manusia selalu membutuhkan energi. Sebagian besar energi yang digunakan di Indonesia

Lebih terperinci

Program Bio Energi Perdesaan (B E P)

Program Bio Energi Perdesaan (B E P) Program Bio Energi Perdesaan (B E P) Salah satu permasalahan nasional yang kita hadapi dan harus dipecahkan serta dicarikan jalan keluarnya pada saat ini adalah masalah energi, baik untuk keperluan rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu kegiatan pertanian yang dominan di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an. Indonsia memproduksi hampir 25 juta matrik

Lebih terperinci

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M. Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : 35410453 Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.T TUGAS AKHIR USULAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini masalah sampah menjadi permasalahan yang sangat serius terutama bagi kota-kota besar seperti Kota Bandung salah satunya. Salah satu jenis sampah yaitu sampah

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berupa karbohidrat, protein, lemak dan minyak (Sirait et al., 2008).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berupa karbohidrat, protein, lemak dan minyak (Sirait et al., 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Rustama et al. (1998), limbah cair merupakan sisa buangan hasil suatu proses yang sudah tidak dipergunakan lagi, baik berupa sisa industri, rumah tangga, peternakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura berjenis umbi lapis yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi serta

Lebih terperinci