EFEKTIFITAS LAYANAN KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN GESTALT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIFITAS LAYANAN KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN GESTALT"

Transkripsi

1 EFEKTIFITAS LAYANAN KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN GESTALT TERHADAP PENINGKATAN PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP NEGER1 1 KALIMANAH, PURBALINGGA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Kharisma Hilda Lidyartanti NIM PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MEI 2016 i

2 ii

3 iii

4 iv

5 MOTTO Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (Q. S. [13] : 11) Seseorang dapat diterima di lingkungan dimana dia tinggal, tergantung pada bagaimana dirinya bersikap dan bersopan santun kepada orang yang lebih tua maupun teman sebayanya. (Kharisma Hilda Lidyartanti) v

6 PERSEMBAHAN Persembahan karyaku sebagai tanda kasihku kepada Bapak dan Ibu tercinta atas segala kasih sayang, cinta, pengorbanan, dan doa yang selalu dipanjatkan, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat serta kebahagiaan untuk saya dan keluarga saya. Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta. Agama, Nusa, dan Bangsa. vi

7 EFEKTIFITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN GESTALT TERHADAP PENINGKATAN PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH, PURBALINGGA Oleh Kharisma Hilda Lidyartanti NIM ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif berjenis quasi eksperimen dengan desain non-equivalent control group design. Populasi penelitian pada penelitian ini berjumlah 288 siswa. Sampel penelitian yang digunakan memiliki ketentuan berada pada tingkat kategori rendah (X < 56), sehingga diperoleh 10 siswa sebagai sampel penelitian. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa pedoman observasi dan skala penyesuaian diri. Teknik analisis pada penelitian ini menggunakan Uji Wilcoxon untuk menguji hipotesis. Uji non parametrik Wilcoxon ini dilakukan melalui program SPSS statistic Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien signifikansi sebesar 0,007 dan lebih kecil dari 0,05 dengan nilai Z=-2,964 yang menandakan bahwa H 1 diterima. Pemberian treatment berpengaruh positif pada kelompok eksperimen dengan adanya peningkatan rata-rata (mean) skor, yaitu dari 56 menjadi 78,6. Kata kunci: konseling kelompok, pendekatan Gestalt, penyesuaian diri. vii

8 KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah peneliti mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat: 1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. 2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah menerima dan menyetujui judul penelitian ini. 4. Ibu Dr. Budi Astuti, M.Si. Dosen pembimbing dan Pembimbing Akademik yang penuh dengan kesabaran dalam memberikan bimbingan, motivasi, dan dorongan yang tiada henti-hentinya. 5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa studi peneliti. 6. Kepala sekolah SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga beserta jajaran pendidik yang telah memberikan izin dan bantuan sehingga peneliti dapat melakukan penelitian di SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga. viii

9 ix

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN PERNYATAAN... HALAMAN PENGESAHAN... MOTTO... HALAMAN PERSEMBAHAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Hal i ii iii iv v vi vii viii x xiii xiv xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Identifikasi Masalah C. Batasan Masalah D. Rumusan Masalah E. Tujuan Penelitian F. Manfaat Penelitian BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Mengenai Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Macam-Macam Penyesuaian Diri Ciri - Ciri Penyesuaian Diri Aspek Aspek Penyesuaian Diri Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Karakteristik Penyesuaian Diri x

11 B. Kajian Tentang Layanan Konseling Kelompok 1. Pengertian Konseling Kelompok Tujuan Konseling Kelompok Pendekatan Gestalt Tipe Konseling Kelompok Aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Konseling Kelompok Manfaat Konseling Kelompok Tahapan Konseling Kelompok Efektifitas Layanan Konseling Kelompok C. Kajian Tentang Terapi Gestalt 1. Pengertian Konseling dengan Terapi Gestalt Biografi Tokoh Hakekat Manusia Konseling Gestalt Tujuan Konseling Gestalt Teknik Terapi Gestalt Konselor Gestalt Konseli Gestalt Prinsip Kerja Konseling dengan Pendekatan Gestalt Kelebihan dan Kekurangan Gestalt D. Kajian Mengenai Remaja Awal ( Siswa SMP ) 1. Pengertian Remaja Awal Perkembangan Pribadi-Sosial Remaja Tugas Perkembangan Remaja Awal Ciri Ciri Remaja Awal E. Kajian Peneliti Terdahulu F. Kerangka Berpikir G. Hipotesis Penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian B. Populasi dan Sampel Penelitian C. Tempat dan Waktu Penelitian D. Variabel Penelitian xi

12 E. Desain Penelitian F. Teknik Pengumpulan Data G. Instrumen Penelitian H. Validitas dan Reliabilitas Instrumen I. Teknik Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek Penelitian Deskripsi Kuantitatif Dinamika Psikologis B. Pengujian Hipotesis C. Pembahasan D. Keterbatasan Penelitian BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL Hal Tabel 1. Jumlah Populasi Penelitian Tabel 2. Kategori Hasil Pres-test Tabel 3. Daftar Sample Penelitian Tabel 4. Skor Pre-test Tabel 5. Skor Post-test Tabel 6. Pedoman Observasi Tabel 7. Skala Penyesuaian Diri Tabel 8. Kisi-Kisi Skala Penyesuaian Diri Setelah Uji Coba Tabel 9. Rangkuman Item Gugur dan Sahih Tabel 10. Daftar Nilai Koefisien Tabel 11. Penentuan Kategori Skor Tabel 12. Distribusi Kategori Skor Tabel 13. Kategori Skor Pre-test Tabel 14. Sampel Penelitian Tabel 15. Waktu Pelaksanaan Pre-test Tabel 16. Data Skor Pre-test Sample Penelitian Tabel 17. Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen Tabel 18. Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol Tabel 19. Perbandingan Kategori Post-test Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol Tabel 20. Pengujian Hipotesis xiii

14 DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1. Pengaruh Variabel Gambar 2. Desain non-equivalent control group design Gambar 3. Grafik Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen Gambar 4. Grafik Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol Gambar 5. Perbandingan Kategori Post-test Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1. Hasil Observasi Lampiran 2. Pemberian Treatment Lampiran 3. Instrumen Uji Coba Skala Penyesuaian Diri Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Uji Coba Skala Penyesuaian Lampiran 5. Skala Penyesuaian Diri Lampiran 6. Daftar Skor Pre-test Lampiran 7. Daftar Skor Post-test Lampiran 8. Hasil Analisis Uji Wicoxon Lampiran 9. Lembar Persetujuan Penelitian Skripsi Lampiran 10. Surat Ijin Penelitian xv

16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan sebuah kata yang mengandung berbagai macam kesan. Ada sebagian orang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa saja, tidak berbeda dengan kelompok lain. Sementara ada juga yang mengatakan bahwa remaja adalah kelompok orang-orang yang sering menyusahkan orang-orang tua. Pada pihak lainnya lagi, ada yang mengatakan bahwa remaja sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan. Namun demikian, ketika remaja sendiri yang berbicara, remaja akan mengatakan hal lain. Remaja mungkin akan berbicara ketidak-acuhan, atau ketidak-pedulian orang-orang dewasa terhadap kelompok. Adapula remaja yang mengatakan bahwa kelompoknya berada pada tingkatan minoritas yang memiliki dunianya sendiri dan sukar dijamah oleh orang-orang dewasa. Perkembangan anak dibagi menjadi beberapa tahapan, tahap pubertas, remaja awal, dan remaja akhir, yang selanjutnya masa dewasa. Masa pubertas dimulai sejak anak berusia 11/12-15/16 tahun. Selanjutnya masa remaja awal usia tahun, dan remaja akhir usia tahun. Masa pubertas berbeda dengan masa remaja, meskipun masa pubertas bertumpang tindih dengan masa remaja awal. Pada masa remaja awal, terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak serta kemampuan pikir 1

17 remaja dalam menerima dan mengolah informasi abstrak dari lingkungannya. Hal ini mengandung arti bahwa remaja awal telah dapat menilai benar atau salahnya pendapat-pendapat orang tua atau pendapat orang dewasa lainnya. Pengaruh dari kuatnya perasaan remaja yang ego-centris maka remaja sering tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain, membantah secara terang-terangan pendapat orang lain yang dipikirnya tidak masuk akal. Sikap remaja awal yang berkembang, terutama menonjol dalam sikap sosial, apalagi sikap sosial yang berhubungan dengan teman sebaya. Perasaan yang sangat ditakuti oleh remaja adalah bahwa remaja sangat takut terkucil atau terisolir dari kelompoknya. Remaja memiliki emosi yang sangat peka misalnya terhadap ejekan yang dilontarkan kepada dirinya. Bentuk emosi yang sering nampak pada masa remaja awal antara lain adalah marah, malu, takut, cemas (anxienty), cemburu (jealoucy), iri hati (envy), sedih, gembira, kasih sayang dan ingin tahu. Perasaan yang sangat peka dari remaja membuat emosi yang dimiliki oleh remaja menjadi tidak stabil. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang berada diluar kemampuan menjadikan remaja sering kali hilang kendali. Rita Eka Izzaty, dkk. (2008: 126) tugas perkembangan masa remaja yang harus dilalui dalam masa itu, menurut Havighurst, dalam Hurlock (1991: 10), adalah sebagai berikut: (1) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita; (2) 2

18 Mencapai peran sosial pria dan wanita; (3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif; (4) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab; (5) Mempersiapkan karier ekonomi; (6) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga; (7) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Untuk dapat mencapai tujuan dari tugas perkembangan tersebut, remaja diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan dan sekitar terlebih dahulu. M. Ali dan M. Asrori (2005: 24) menyatakan bahwa penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup responrespon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri inividu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berbeda. Penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk berada pada suatu lingkungan secara wajar. Dengan penyesuaian diri, individu diharapkan mampu dalam memenuhi ketegangan-ketegangan, kebutuhankebutuhan, frustrasi dan konflik-konflik yang dihadapinya. Selain itu diharapkan juga individu selalu berusaha untuk dapat diterima oleh lingkungan dan menjaga keharmonisan hubungan dengan lingkungan dimana dia berada. 3

19 Pada masa peralihan dari Sekolah Dasar (SD) menuju Sekolah Menengah Pertama (SMP), banyak siswa yang menganggap menyesuaikan diri dengan teman sebaya merupakan hal yang sulit dilakukan dan sering merasa adanya paksaan dalam menyesuaikan diri, dimana dalam lingkungan tersebut tidak ada teman yang di kenali dan cenderung mencari perhatian dengan melakukan hal yang berbeda dengan lingkungannya. Hal yang sering terjadi dikalangan siswa adalah berbagai hambatan dalam melakukan penyesuaian diri terutama dengan teman sebaya, baik itu dalam faktor dari dalam diri siswa itu sendiri maupun dari lingkungan sekitar siswa (faktor luar). Dilihat dari sudut pandang lain, sudah banyak siswa yang mulai mengetahui hal yang harus dilakukan terhadap lingkungannya yang baru dengan menyesuaikan dirinya, dimulai dari menyapa, memahami karakter orang lain, menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan yang dimiliki, mematuhi ketentuan sekolah, dan hal lain yang dapat membantu mempermudah penyesuaian diri dengan lingkungannya, tetapi tetap remaja memiliki masalah dengan cara melakukan hal tersebut. Siswa yang memiliki masalah di sekolah pada umumnya mengatakan bahwa tidak ada minat pada pelajaran dan bersikap acuh tak acuh, merasa takut berada di sekolah, prestasi belajar menurun yang kemudian akan timbul sikap dan perilaku menyimpang seperti membolos, melanggar tata tertib sekolah, dan juga menentang guru. 4

20 Pada tanggal 22 Februari 2015, peneliti melakukan wawancara dengan seorang guru bidang kesiswaan di SMP N 1 Kalimanah. Guru bidang kesiswaan SMP N 1 Kalimanah mengungkapkan bahwa banyak siswa yang lebih memilih untuk membolos sekolah dari pada di sekolah tidak memiliki teman, bahkan ada yang sampai di sekolahpun orangtua siswa ikut menunggu anaknya sampai pulang sekolah, akibatnya sering diejek oleh temannya karena di sekolah masih didampingi oleh ibunya, ada juga siswa yang bertengkar karena merasa lebih unggul di kelas sedangkan yang lainnya tidak. Beberapa siswa memilih untuk tetap berteman dengan temannya semasa masih duduk di Sekolah Dasar (SD) dan tidak mau berbaur dengan teman baru yang lainnya karena faktor lain yang mempengaruhi, seperti malu untuk memulai berkenalan, anak merasa lebih nyaman berada di dekat teman yang dikenalnya, dan lingkungan sekolah baru yang dirasa asing oleh anak. Ada juga siswa yang belum mau untuk bersosialisasi dengan guru karena masih merasa takut dan sama sekali belum mengenal kepribadian guru di sekolah barunya, serta belum terbiasa dengan guru mata pelajaran yang jumlahnya lebih banyak dari saat masih duduk di SD. Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa masih banyak siswa yang memiliki masalah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya, baik menyesuaikan diri dengan teman, guru, maupun dengan peraturan yang berlaku di sekolah tersebut. 5

21 Selain melakukan wawancara dengan guru kesiswaan, peneliti juga melakukan wawancara dengan 2 orang siswa. Salah seorang dari siswa mengungkapkan bahwa dirinya menyadari tentang peraturan yang ada di sekolah dan ingin mematuhinya, tetapi tidak mau dikucilkan oleh temantemannya, sehingga cenderung lebih mendengarkan apa kata temantemannya daripada kata hatinya sendiri. Siswa lainnya mengatakan bahwa tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan dengan warga sekolah lainnya, siswa merasa takut dan tidak ingin dibilang cari muka, sok kenal, dan sebagainya. Oleh sebab itu siswa lebih memilih untuk tetap berteman dengan temannya yang dikenal sewaktu duduk dibangku Sekolah Dasar. Dari wawancara pra-penelitian yang dilakukan peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat siswa-siswa yang sulit menyesuaikan diri dimasa peralihan dari SD ke SMP. Siswa mengalami kesulitan berkomunikasi dengan teman di kelas maupun di lingkungan sekolah. Siswa yang mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan warga sekolah lain lama-kelamaan akan mengalami kemunduran dalam pergaulan maupun prestasi belajar karena siswa merasa malas untuk bersekolah. Berdasarkan permasalahan tersebut, guru bimbingan dan konseling (guru BK) tentunya memiliki tugas untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa dengan cara dan proses yang tepat. Layanan konseling individual dan kelompok sudah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh guru BK. Hanya saja masih banyak siswa yang beranggapan jika berhadapan dengan guru BK berarti ada kesalahan yang 6

22 dilakukan oleh siswa. Padahal guru BK sebenarnya dapat dijadikan pendamping dalam perkembangan sosial, mental dan psikologi siswa. Guru BK juga dapat dijadikan sebagai teman siswa di sekolah. Dalam layanan konseling kelompok interaksi antar individu anggota kelompok merupakan suatu khas, yang tidak mungkin terjadi dalam konseling perorangan. Dengan interaksi sosial yang intensif dan dinamis selama berlangsungnya layanan, diharapkan tujuan layanan (yang sejajar dengan kebutuhan-kebutuhan individu anggota kelompok) dapat tercapai secara lebih mantap (Prayitno dan Erman Anti, 1994: 315). Efektifitas layanan konseling kelompok adalah keberhasilan dalam memberikan bantuan yang dilakukan oleh konselor terhadap beberapa orang konseli (lebih dari satu orang) secara tatap muka dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan perilaku positif pada konseli sehingga dapat terselesaikan masalahnya, memiliki mental yang sehat, memiliki pandangan hidup yang baik dan mencapai kebahagiaan. Dalam situasi kelompok siswa yang memiliki masalah dapat dibantu oleh anggota kelompok yang lain, karena dalam kelompok remaja diharapkan dapat saling membantu dan menerima satu sama lain. Selain itu, dalam kelompok juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan juga interaksi sosial dengan sesama anggota kelompok. Namun, guru BK memberikan hak penuh atas siswa untuk dapat menyelesaikan dan mengambil keputusan atas masalah yang dimiliki siswa. Guru BK hanya 7

23 memberikan arahan agar siswa mudah untuk memahami masalahnya dan juga jalan keluar dari masalah yang sedang dialami oleh siswa tersebut. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan Gestalt dalam layanan konseling kelompok. Peneliti memilih menggunakan teknik pendekatan Gestalt, karena pada pendektan Gestalt lebih menekankan pada individu untuk mampumenerima kenyataan dan mendorong individu untuk menemukan jalannya sendiri sehingga mampu mengintegrasikan dirinya ke pada kehidupan yang dialaminya. Selain itu Gestalt sendiri memandang manusia sebagai suatu keutuhan dan bukan bagian-bagian. Maksudnya adalah bahwa manusia itu sendiri mempunyai berbagai macam-macam ekspresi serta emosi yang terkumpul menjadi satu sebagai manusia itu sendiri. Konseling kelompok yang menekankan pada interaksi individu dan didukung dengan pendekatan Gestalt sendiri mampu menciptakan katalis bagi individu untuk mempercepat individu dalam mengintegrasikan diri pada kenyataannya. Pendekatan Gestalt pada dasarnya mendorong individu untuk menyelenggarakan terapi sendiri, seperti introspeksi, mencari suatu kesalahan yang ada pada diri sendiri kemudian memperbaikinya. Dalam hal ini individu tersebut didorong untuk membuat penafsiranpenafsirannya sendiri, menciptakan pernyataan-pernyataannya sendiri, dan menemukan makna-maknanya sendiri. Akhirnya, individu tersebut seakanakan langsung mengalami perjuangan di sini dan sekarang terhadap urusan yang tak selesai di masa lampau. Dengan mengalami konflik-konflik, 8

24 meskipun hanya membicarakannya, siswa lambat laun dapat memperluas kesadarannya (Corey, 2005: 117). Pendekatan Gestalt yang dikembangkan oleh Federick Perls adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individuindividu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika individu berharap mencapai kematangan. Pendekatan Gestalt berfokus pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku serta pengalaman di sini dan juga sekarang dengan memadukan (mengintegrasikan) bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tak diketahui, sebab pendekatan Gestalt bekerja terutama di atas prinsip kesadaran individu (Gerald Corey, 2010: 118). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lilik Yuni S tahun 2004 dengan judul Efektifitas Layanan Konseling Kelompok Terhadap Peningkatan Penyesuaian Diri di Sekolah Tahun Pelajaran 2003/2004, menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan dengan menggunakan konseling kelompok mengalami peningkatan dalam penyesuaian diri siswa. Dari 6 siswa, 5 siswa mengalami peningkatan dan 1 siswa masih belum mengalami peningkatan penyesuaian diri. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinda Indah P tahun 2013 dengan judul Pengembangan Buku Panduan Pelaksanaan Konseling dengan Pendekatan Gestalt bagi Guru BK SMA di Kota Yogyakarta, menunjukkan bahwa buku mengenai konseling dengan pendekatan Gestalt 9

25 dalam proses konseling layak digunakan oleh Guru BK sebagai informasi dan pengetahuan. Dari uraian di atas, peneliti perlu melakukan penelitian yaitu efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Lilik Yuni S tahun 2004 tersebut menunjukkan keberhasilan pada peningkatan penyesuaian diri siswa dengan konseling kelompok. Hal ini dibuktikan dengan dari 6 siswa, 5 mengalami peningkatan penyesuaian diri dan 1 siswa masih belum mengalami peningkatan penyesuaian diri. Pengembangan buku panduan konseling dengan menggunakan pendekatan Gestalt yang cocok digunakan oleh Guru BK sebagai panduan dalam pelaksanaan konseling individu maupun kelompok. Pada saat ini, di SMP Negeri 1 Kalimanah masih terdapat permasalahan penyesuaian diri siswa dan guru BK belum mengoptimalkan penggunaan layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt terhadap peningkatan penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga. 10

26 B. Identifikasi Masalah Dalam latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa permasalahan yang muncul, yaitu : 1. Sebagian siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga mengalami masalah dalam penyesuaian diri di sekolah. 2. Rendahnya penyesuaian diri siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga terhadap lingkungan barunya. 3. Beberapa siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga memiliki masalah dalam hubungan dengan warga sekolah (guru, karyawan, maupun teman). 4. Guru BK masih belum dapat berperan optimal bagi siswa dalam menghadapi masalah penyesuaian diri. 5. Belum optimalnya pelaksanaan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dalam upaya membantu permasalahan siswa, yang berkaitan dengan penyesuaian dirinya. C. Batasan Masalah Penelitian ini diarahkan pada permasalahan pokok sebagaimana yang telah diuraikan, serta memperjelas ruang lingkup masalahnya, peneliti membatasi masalah untuk lebih terfokus pada upaya peningkatan penyesuaian diri. Adapun upaya tersebut dilakukan melalui layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Penelitian ini dibatasi 11

27 dengan ruang lingkup siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga Tahun Pelajaran 2015/2016. D. Rumusan Masalah Penelitian ini diarahkan pada permasalahan pokok sebagaimana yang telah diuraikan, serta memperjelas ruang lingkup masalahnya, peneliti membatasi masalah untuk lebih terfokus pada upaya peningkatan penyesuaian diri. Adapun upaya tersebut dilakukan melalui layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Penelitian ini dibatasi dengan ruang lingkup siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga Tahun Pelajaran 2015/2016. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa. F. Manfaat penelitian 1. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada bidang BK khususnya upaya-upaya meningkatkan pelayanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt di sekolah. 12

28 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Bagi guru BK Penelitian ini membantu dalam pelaksanaan layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt yang dapat memudahkan siswa untuk lebih memahami lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. b. Bagi Siswa Penelitian ini diharapkan dapat membantu masalah-masalah yang dialami para siswa khususnya dalam hal penyesuaian diri. c. Bagi peneliti Penelitian dapat meningkatkan kemampuan diri di bidang penelitian dan sebagai usaha untuk memperluas pengetahuan mengenai bimbingan dan konseling. 13

29 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Mengenai Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Penyesuaian diri menurut M. Ali dan M. Ansori dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhankebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan atara tuntutan dari dalam individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada. Scheneiders (Syamsu Yusuf, 2004: 32) penyesuaian diri sebagai suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik secara sukses serta menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana dirinya hidup. Kartono (2000: 16) mendefinisikan penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Untuk itu, semua manusia harus mampu atau dapat untuk mencari kebahagiaan untuk dapat membuat dirinya bahagia. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan sebuah proses atau upaya individu dalam 14

30 memenuhi kebutuhan, mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik secara sukses. Untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri serta pada lingkungannya, agar dapat mencari kebahagiaan untuk dapat membuat hidupnya bahagia. 2. Macam-macam Penyesuaian Diri Penyesuaian diri yang terjadi pada individu terjadi pada berbagai kondisi dan situasi yang baru. Macam-macam penyesuaian diri menurut Sofyan S. Willis (Syamsu Yusuf, 2004: 36) dibedakan menjadi 3, antara lain : a) Penyesuaian diri dalam keluarga Penyesuaian diri dalam sebuah keluarga yang penting adalah terhadap orangtua maupun anggota keluarga yang lainnya. Sikap orangtua yang demokrasi memungkinkan terjadi penyesuian diri yang baik dan wajar pada diri setiap anak. b) Penyesuaian diri di sekolah Penyesuaian diri di sekolah yang utama adalah penyesuaian diri terhadap guru, terhadap teman sebaya, bagaimana individu dapat berinteraksi secara baik dengan teman sebayanya, mata pelajaran yang diajarkan dari sekolah dan lingkungan sosial di sekolah. c) Penyesuaian diri di masyarakat Dalam melakukan penyesuaian diri di masyarakat, seseorang harus taat terhadap nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dan menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat. 15

31 Menurut Woodworth (Soetarno, 1994) pada dasarnya manusia senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menyesuaikan diri ada dua macam, yaitu secara autoplastis dan alloplastis. Disebut dengan autoplastis, yaitu seseorang harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Penyesuaian diripun dapat dilakukan dengan cara alloplastis yaitu seseorang dapat merubah lingkungannya sesuai dengan keinginan dirinya (Abu Ahmadi, 2002: 54). Setiap perubahan dalam lingkungan kehidupan orang dalam arti luas itu menyebabkan individu harus menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, baik dalam arti pasif (autopllastis) maupun dalam arti aktif (alloplastis). Biasanya individu menggunakan kedua cara tersebut dalam penyesuaian dirinya (W.A. Gerungan. 2004: 60-61). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penyesuaian diri terdapat tiga macam penyesuaian diri yaitu penyesuaian diri di keluarga, penyesuaian diri di sekolah dan penyesuaian diri di masyarakat. Penyesuaian diri di masyarakat terbagi menjadi dua yaitu autoplastis yang bersifat pasif di mana individu harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan alloplastis yang bersifat aktif, yaitu individu yang menyesuaikan diri dengan merubah lingkungannya sesuai yang individu tersebut inginkan. 16

32 3. Ciri-ciri Penyesuaian Diri Penyesuaian diri berlangsung secara terus-menerus dalam diri individu dan lingkungan. Schneiders (1964: 73-88) memberikan kriteria individu dengan penyesuaian diri yang baik, yaitu sebagai berikut : a. Pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya. b. Objektivitas diri dan penerimaan diri c. Kontrol dan perkembangan diri d. Integrasi pribadi yang baik e. Adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya f. Adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang kuat g. Mempunyai rasa humor h. Mempunyai rasa tanggung jawab i. Menunjukkan kematangan respon j. Adanya perkembangan kebiasaan yang baik k. Adanya adaptabilitas l. Bebas dari respon-respon yang simtomatis atau cacat m. Memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain n. Memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain o. Adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain p. Memiliki orientasi yang adekuat terhadap realitas 17

33 Lazarus (1961: 10-13) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang baik mencakup empat kriteria sebagai berikut : a. Kesehatan fisik yang baik Kesehatan fisik yang baik berarti individu bebas dari gangguan kesehatan seperti sakit kepala, gangguan pencernaan dan masalah selera makan ataupun masalah fisik yang disebabkan faktor psikologis. b. Kenyamanan psikologis Individu yang merasakan kenyamanan psikologis berarti terbebas dari gejala psikologis seperti obsesif-kompulsif, kecemasan dan depresi. c. Efisiensi kerja Efisiensi kerja dapat dicapai bila individu mampu memanfaatkan kapasitas kerja maupun sosialnya. d. Penerimaan sosial Penerimaan sosial terjadi bila individu diterima dan dapat berinteraksi dengan individu lain. Individu dapat diterima dan berinteraksi dengan individu lain jika individu mematuhi norma dan nilai yang berlaku. Dari ciri-ciri yang dikemukakan para ahli tersebut, ciri-ciri penyesuaian diri yang diungkapkan Schneiders lebih lengkap dan memuat ciri-ciri yang diungkapkan oleh ahli lain. Dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri yang baik memiliki ciri-ciri pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya, objektivitas diri dan penerimaan diri, kontrol dan perkembangan diri integrasi pribadi yang baik, adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya, adanya perspektif, skala nilai, 18

34 filsafat hidup yang adekuat, mempunyai rasa humor, mempunyai rasa tanggung jawab, menunjukkan kematangan respon, adanya perkembangan kebiasaan yang baik, adanya kemampuan beradaptasi, bebas dari responrespon yang simptomatis atau cacat, memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain, memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain, adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain, memiliki orientasi yang kuat terhadap realitas. 4. Aspek-aspek Penyesuaian Diri Menurut Fatimah (2006: 68), aspek-aspek penyesuaian diri adalah : a. Penyesuaian pribadi Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang untuk menerima diri demi tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyatakan sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dalam mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. b. Penyesuaian sosial Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubunganhubungan sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebaya, atau anggota masyarakat luas secara umum. Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma 19

35 sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbedabeda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma yang berbeda-beda, lalu berusaha untuk mematuhinya sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya. Novikarisma Wijaya, 2007: 20 (Runyon dan Haber, 1984: 10-19) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu memiliki lima aspek sebagai berikut : a. Persepsi terhadap realitas Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistik sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku yang sesuai. b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan Mempunyai kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti individu mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami. c. Gambaran diri yang positif Gambaran diri yang positif berkaitan dengan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Individu mempunyai gambaran diri yang positif baik melalui penilaian pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga individu dapat merasakan kenyamanan psikologis. 20

36 d. Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik berarti individu memiliki ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik. e. Hubungan interpersonal yang baik Memiliki hubungan interpersonal yang baik berkaitan dengan hakekat individu sebagai makhluk sosial, yang sejak lahir tergantung pada orang lain. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat. Pada penelitian ini, aspek-aspek yang terkait, yaitu persepsi terhadap realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, gambaran diri yang positif, kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri Sawrey dan Telford, 1968: 16 (Novikarisma Wijaya, 2007: 21) mengemukakan bahwa penyesuaian bervariasi sifatnya, apakah sesuai atau tidak dengan keinginan sosial, sesuai atau tidak dengan keinginan personal, menunjukkan konformitas sosial atau tidak, dan atau kombinasi dari beberapa sifat di atas. Sawrey dan Telford lebih jauh lagi mengemukakan bahwa penyesuaian yang dilakukan tergantung pada sejumlah faktor yaitu pengalaman terdahulu, sumber frustrasi, kekuatan motivasi, dan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah. 21

37 Menurut Schneiders, 1964: 122 (Novikarisma Wijaya, 2007: 22), faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah : a. Keadaan fisik Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri. b. Perkembangan dan kematangan Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c. Keadaan psikologis Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel 22

38 yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri. d. Keadaan lingkungan Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. Sekolah bukan hanya memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual, tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar penyesuaian diri yang baik. e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk 23

39 menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, serta religiusitas dan kebudayaan. 6. Karakteristik penyesuaian diri Menurut Sugeng Haryadi, dkk (2003: 67-69) terdapat beberapa karakteristik penyesuaian diri yang positif, diantaranya : a. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya. Karakteristik ini mengandung pengertian bahwa orang yang mempunyai penyesuaian diri yang positif adalah orang yang sanggup menerima kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan di samping kelebihan-kelebihannya. Individu tersebut mampu menghayati kepuasan terhadap keadaan dirinya sendiri, dan membenci apalagi merusak keadaan dirinya betapapun kurang memuaskan menurut penilaiannya. Hal ini bukan berarti bersikap pasif menerima keadaan yang demikian, melainkan ada usaha aktif disertai kesanggupan mengembangkan segenap bakat, potensi, serta kemampuannya secara maksimal. Dengan kata lain, individu menggali kemampuankemampuan khusus dalam diri, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. (Sunarto & Hartono, 2006) 24

40 b. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif. Sesuai dengan perkembangan rasional dan perasaan. Orang yang memiliki penyesuaian diri positif memiliki ketajaman dalam memandang realita, dan mampu memperlakukan realitas atau kenyataan secara wajar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dirinya dalam berperilaku selalu bersikap mau belajar dari orang lain, sehingga secara terbuka pula dirinya mau menerima feedback dari orang lain. c. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi. Kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif diluar dirinya. Karakteristik ini ditandai oleh kecenderungan seserng untuk tidak menyia-nyiakan kekuatan yang ada pada dirinya dan akan melakukan hal-hal yang jauh di luar jangkauan kemampuannya. Hal ini terjadi perimbangan yang rasional antara energi yang dikeluarkan dengan hasil yang diperolehnya, sehingga timbul kepercayaan terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. d. Memiliki perasaan yang aman dan memadai. Individu yang tidak lagi dihantui oleh rasa cemas ataupun ketakutan dalam hidupnya serta tidak mudah dikecewakan oleh keadaan sekitarnya. Perasaan aman mengandung arti pula bahwa orang tersebut mempunyai harga diri yang mantap, tidak lagi merasa terancam dirinya oleh lingkungan dimana ia berada, dapat menaruh kepercayaan terhadap 25

41 lingkungan dan dapat menerima kenyataan terhadap keterbatasan maupun kekurangan-kekurangan dan lingkungannya. e. Rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran. Karakteristik ini ditandai oleh adanya pengertian dan penerimaan keadaan di luar dirinya walaupun sebenarnya kurang sesuai dengan harapan atau keinginannya. f. Terbuka dan sanggup menerima umpan balik. Karakteristik ini ditandai oleh kemampuan bersikap dan berbicara atas dasar kenyataan sebenarnya, ada kemauan belajar dari keadaan sekitarnya, khususnya belajar mengenai reaksi orang lain terhadap perilakunya. g. Memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi. Hal ini tercermin dalam memelihara tata hubungan dengan orang lain, yakni tata hubungan yang hangat penuh perasaan, mempunyai pengertian yang dalam dan sikapnya yang wajar. h. Mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Individu diharapkan selaras dengan hak dan kewajibannya, sehingga bertindak dengan norma yang berlaku. i. Individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku. Individu mematuhi dan melaksanakan norma tanpa adanya paksaan dalam setiap perilakunya. Sikap dan perilakunya selalu didasarkan atas kesadaran akan kebutuhan norma, dan atas keinsyafan sendiri. 26

42 Berdasarkan pendapat Sugeng Haryadi, dkk, karakteristik penyesuaian diri yang positif diantaranya adalah memiliki kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya, mempunyai kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif, memiliki kemampuan bertindak sesuai dengan potensi, individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku, individu diharapkan selaras dengan hak dan kewajibannya, sehingga bertindak dengan norma yang berlaku, individu mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi, individu terbuka dan sanggup menerima umpan balik, memiliki rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran, memiliki perasaan yang aman dan memadai. Penyesuaian diri ada pula yang bersifat negatif. Penyesuaian diri yang bersifat negatif terdiri atas bentuk reaksi bertahan, reaksi meyerang, dan reaksi melarikan diri dari kenyataan, dan penyesuaian yang potologis. Yusuf & Nurihsan (2012 :212) menjelaskan : a. Reaksi bertahan diri (defence reaction) Reaksi bertahan diri yaitu dimana individu berusaha untuk menutupi kegagalan dan kekecewaan walaupun sebenarnya individu tersebut mengalaminya. Bentuk raksi bertahan ini antara lain : 1) Konpensasi, yaitu menutupi kelemahan dalam suatu hal dengan cara mencari kepuasan dalam bidang lain. 27

43 2) Sublimasi, yaitu menutupi atau mengganti suatu kelemahan atau kegagalan dengan cara berkeinginan mendapatkan pengakuan dari masyarakat. 3) Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan individu kepada pihak lain. b. Reaksi menyerang (aggressive reaction) Yaitu usaha untuk menutupi kegagalan dan tidak mau menyadarinya dengan tingkah laku yang bersifat menyerang. Menurut H. Sunarto dan B. Agung Hartono (Rumini & Sundari, 2004:69), reaksi yang muncul antara lain, senang membenarkan diri sendiri, senang mengganggu orang lain, menggertak dengan ucapan atau perbuatan, menunjukan sikap permusuhan secara terbuka, keras kepala, balas dendam, dan marah secara sadis. c. Reaksi melarikan diri (escape reaction) Yaitu usaha untuk menjauh dari situasi yang menimbulkan kegagalan atau lari dari kenyataan. Bentuk dari reaksi melarikan diri yaitu, berfantasi atau melamun, banyak tidur atau tidur yang potologis yaitu kebiasaan tidur yang tidak terkontrol (narcolepcy), meminum minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu narkotika, dan regresi. d. Penyesuaian diri yang potologis Yaitu penyesuaian diri yang mana individu mendapat perawatan khusus dan bersifat klinis bahkan perlu mendapat perwatan di rumah sakit (hospitalized). Yang termasuk ke dalam penyesuaian potologis 28

44 yaitu, neurosis dan psikosis, yaitu jika individu gagal dalam penyesuaian diri, individu tersebut akan sampai pada situasi salah usai. Gejala salah usai ini akan dimanifestasikan dalam bentuk tingkah laku yang kurang wajar atau kelainan dalam bertingkah laku. B. Kajian Tentang Layanan Konseling Kelompok 1. Pengertian Konseling Kelompok Pengertian konseling kelompok dalam penelitian ini di jelaskan sebagai berikut. Konseling kelompok (group counseling) menurut Latipun (2008: 178), merupakan salah satu bentuk konseling yang memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberikan umpan balik (feedback), dan pengalaman belajar. Konseling kelompok dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika kelompok (group dynamic). Latipun juga memberikan definisi lain terkait dengan konseling kelompok yaitu proses dalam bentuk pengubahan pengetahuan, sikap dan perilaku termasuk dalam hal pemecahan masalah dapat terjadi melalui proses kelompok. Dalam suatu kelompok anggotanya dapat memberi umpan balik yang diperlukan untuk membantu mengatasi masalah anggota yang lain, dan anggota satu dengan yang lainnya saling memberi dan menerima. Konseling kelompok merupakan proses konseling yang dilaksanakan dengan memanfaatkan kelompok untuk pemecahan masalah, pengubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku melalui dinamika kelompok. 29

45 Istilah konseling kelompok mengacu kepada penyesuaian rutin atau pengalaman perkembangan dalam lingkup kelompok. Konseling kelompok difokuskan untuk membantu klien mengatasi problem dan perkembangan keribadiannya (Gibson, 2011: 275). Tohirin (2007: 179) menyatakan bahwa layanan konseling kelompok mengikutkan sejumlah peserta dalam bentuk kelompok dengan konselor sebagai pemimpin kegiatan kelompok. Layanan konseling kelompok mengaktifkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan pribadi dan pemecahan masalah siswa yang menjadi peserta layanan. Konseling kelompok membahas masalah pribadi yang dialami masing-masing anggota kelompok. Masalah pribadi dibahas melalui suasana dinamika kelompok yang intens dan konstruktif, diikuti oleh semua anggota kelompok dengan bimbingan ketua kelompok (Guru Bimbingan dan Konseling/ Guru BK). Dinamika kelompok harus dapat dikembangkan secara baik sehingga mendukung pencapaian tujuan layanan secara efektif dalam layanan konseling kelompok. Dari beberapa pengertian di atas, maka kesimpulan mengenai konseling kelompok adalah upaya memberikan bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang di dalam kelompok tersebut terdapat 4-8 anggota atau konseli yang berdiskusi dan memecahkan masalah. Pelaksanaannya dalam suatu tempat tertentu dengan didampingi seorang pembimbing atau lebih guna untuk membantu mengarahkan agar konseli 30

46 nantinya akan memperoleh kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan. 2. Tujuan Konseling Kelompok Pendekatan Gestalt Tujuan dari konseling kelompok pendekatan Gestalt adalah tujuan konseling kelompok yang berintegrasi dengan tujuan dari pendekatan Gestalt itu sendiri. Tujuan konseling kelompok dengan tujuan pendekatan Gestalt pada dasarnya adalah sama namun berbeda dalam aspeknya. Berikut merupakan tujuan dari konseling kelompok. Gibson dan Mitchell dalam (Latipun, 2008: 181) mengungkapkan, konseling kelompok berfokus pada usaha membantu konseli dalam melakukan perubahan dengan menaruh perhatian pada perkembangan dan penyesuaian seharihari, misalnya modifikasi tingkah laku, pengembangan keterampilan hubungan personal, nilai, sikap atau membuat keputusan karir. Menurut Prayitno (2004: 2), tujuan konseling kelompok dibagi menjadi dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu: a. Tujuan umum konseling kelompok adalah berkembangnya kemampun sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Dalam kaitan ini sering menjadi kenyataan bahwa kemampuan bersosialisasi/berkomunikasi seseorang terganggu oleh perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap yang tidak obyektif, sempit danter kungkung serta tidak efektif. Melalui layanan konseling kelompokhal-hal yang mengganggu atau menghimpit perasaan dapat 31

47 diungkapkan, dilonggarkan, diringankan melalui berbagai cara. Pikiran yang suntuk, buntu, atau beku dicairkan dan di dinamiskan melalui berbagai masukkan dan tanggapan baru. Persepsi dan wawasan yang menyimpang dan sempit diluruskan serta diperluas melalui pencairan pikiran, penyadaran dan penjelasan. Sikap yang tidak obyektif, terkungkung dan tidak terkendali, serta tidak efektif digugat dan didobrak, kalau perlu diganti dengan yang lebih efektif. Melalui kondisidan proses yang berperasaan, berpikir, berpersepsi, dan berwawasan yang terarah, luwes dan luas serta dinamis kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi dan bersikap dapat dikembangkan. Dan juga bertujuan untuk mengentaskan masalah konseli dengan memanfaatkan dinamika kelompok. b. Tujuan khusus konseling kelompok terfokus pada pembahasan masalah pribadi individu peserta kegiatan layanan. Melalui konseling kelompok yang intensif dalam upaya pemecahan masalah tersebut para peserta memperoleh dua tujuan, yaitu: 1) Terkembangnya perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap terarah pada tingkah laku khususnya dalam bersosialisasi/ komunikasi. 2) Terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya pemecahan masalah tersebut bagi individu-individu lain peserta layanan konseling kelompok. 32

48 Dewa Ketut Sukardi (2008: 68) menjelaskan tujuan konseling kelompok yang lebih rinci adalah sebagai beikut : a. Melatih anggota kelompok agar berani mengungkapkan pendapat didepan orang banyak. b. Melatih anggota kelompok untuk saling menghormati dan saling menghargai terhadap teman sebayanya. c. Membantu mengembangkan bakat dan minat dari masing-masing anggota kelompok. d. Membantu menyesuaikan permasalahan-permasalahan dalam kelompok. Pada dasarnya tujuan konseling kelompok tidak berbeda jauh dengan tujuan dari pendektan Gestalt itu sendiri. Namun dalam perbedaannya, konseling kelompok lebih bertujuan kepada aspek sosial individu. Hal ini dapat terlihat dari tujuan-tujuan konseling kelompok dari pendapat di atas. Seperti adanya sifat tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati, yang mana merupakan sifat dasar dari bersosialisasi. Berbeda dengan pendektan Gestalt yang mempunyai tujuan untuk mengembangkan potensi individu atau lebiih kepada masalah pribadi. Namun hal itu saling berkaitan antara satu sama lain, antara tujuan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Sehingga dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan mengenai tujuan konseling kelompok pendekatan Gestalt yang lebih menekankan kepada aspek pribadi-sosial. 33

49 3. Tipe Konseling Kelompok Menurut Myrick (Sciarra, 2007: 40-41), menjelaskan mengenai tipe konseling kelompok dalam lingkup sekolah ada 3 macam, yaitu: a. Crisis-Centered Group, merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk menangani permasalahan- permasalahan yang bersifat urgent, sebagai contoh adalah trauma. Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera (Sjamsuhidajat, 1997). Trauma bagi siswa menjadi urgent karena jika tidak segera diselesaikan akan menimbulkan hambatan yang serius bagi siswa dalam pembelajarannya. Konseling tipe ini, anggota kelompok terdiri dari empat sampai dengan enam peserta agar konseling lebih efektif, sedangkan pertemuan tidak lebih dari lima sesi, namun dengan pendekatan yang sangat intensif. b. Problem Centered Group, merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk menangani permasalahan-permasalahan yang bersifat umum dan sedikit kurang urgent atau dibawah standar masalah pada crisis centered group. Menurut Myrick konseling tipe crisis centered group dapat menjadi problem centered group jika permasalahan yang hendak diselesaikan lambat laun menuju kearah positif setelah melalui proses konseling yang intensif, begitu juga sebaliknya. Problem centered group digunakan sebagai alternatif penyelesaian masalah siswa yang sering ditemui disekolah, biasanya berkaitan dengan dengan masalah pribadi, sosial, karir dan akademis (Nurihsan, 2006). 34

50 c. Growth Centered Group, merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk meningkatkan pencapaian tahap perkembangan siswa. Dalam proses ini konselor akan mengelola dan mengimplementasikan program bimbingan yang berbasis tahap perkembangan. Growth centered group fokus pada tahap perkembangan siswa, konseling ini dilaksanakan untuk semua siswa, baik yang memiliki masalah maupun yang tidak terkait dengan tugas perkembangannya, sehingga semua siswa memiliki pengetahuan dan paham terhadap tugas perkembangannya. Selama konseling ini berlangsung konselor akan mengidentifikasi siswa-siswa yang membutuhkan konseling lanjutan yang lebih intensif, baik dengan crisis centered group maupun problem centered group. Pendekatan dalam konseling kelompok meliputi tiga jenis tergantung dari jenis permalahan yang hendak diselesaikan. Konseling tersebut yakni crisis centered group, untuk menangani masalah yang bersifat urgent, problem centered group untuk menangani masalah terkait masalah pribadi, sosial, karir dan akademis, serta growth centered group untuk meningkatkan tahap perkembangan siswa. Penelitian mengenai penyesuaian diri siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah ini menggunakan teknik problem centered group, yakni permasalahan ini terkait dengan kepribadian dan juga kehidupan sosial yang membutuhkan penanganan intensif. 35

51 4. Aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Konseling Kelompok Konseling kelompok memiliki tujuan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dialami oleh anggota kelompok. Pelaksanaan konseling kelompok perlu memperhatikan beberapa aspek agar hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan maksimal. Menurut Prayitno (2004: 8), persiapan sebelum pelaksanaan konseling kelompok harus memperhatikan aspek, antara lain: a. Besarnya kelompok Kelompok yang ideal dalam pelaksanaan konseling kelompok yaitu tidak lebih dari 10 orang. Jika terlalu banyak maka akan tidak efektif. Partisipasi aktif idividu dalam dinamika kelompok kurang inensif, dan kesempatan berbicara kurang. Begitu juga jika anggota kelompok hanya 2-3 orang akan mengurangi kedalaman dan variasi pembahasan. b. Homogenitas/heterogenitas kelompok Kelompok yang anggotanya heterogen akan menjadi sumber yang lebih kaya untuk pencapaian tujuan layanan. Pembahasan dapat ditinjau dari berbagai sesi, tidak monoton, dan terbuka. Heterogenitas dapat mendobrak dan memecahkan kebekuan yang terjadi akibat homogenitas anggota kelompok. Perlu diperhatikan bahwa heterogenitas yang dimaksud bukan asal beda. c. Peranan anggota kelompok 1) Aktifitas mandiri, kegiatan yang perlu dilakukan setiap anggota kelompok, adalah: 36

52 a) Mendengarkan, memahami, dan merespon dengan tepat dan positif. b) Berpikir dan berpendapat. c) Menganalisis, mengkritisi, dan berargumentasi. d) Merasa, berempati, dan bersikap. e) Berpartisipasi dalam kegiatan bersama. 2) Aktifitas mandiri masing-masing anggota kelompok yang diorientasikan pada kehidupan bersama dalam kelompok. Kebersamaan ini diwujudkan melalui: a) Pembinaan keakraban dan keterlibatan secara emosional antar anggota kelompok. b) Kepatuhan terhadap aturan kegiatan dalam kelompok. c) Komunikasi jelas dan lugas dengan lembut dan bertatakrama. d) Saling memahami, memberi kesempatan dan membantu. e) Kesadaran bersama untuk menyukseskan kegiatan kelompok. Fokus perhatian Prayitno dalam penyelenggaraan konseling kelompok adalah jumlah anggota kelompok yang tidak lebih dari 10 orang. Heterogenitas yang dapat menciptakan konseling kelompok menjadi optimal dan peran serta aktif tiap anggota kelompok. Pemikiran yang tertuang dalam psikologi konseling karya Latipun (2008: 185), terkait dengan hal yang perlu diperhatikan dalam konseling kelompok, adalah: 37

53 a. Struktur dalam konseling kelompok Struktur kelompok yang dimaksud menyangkut orang yang terlibat dalam kelompok, jumlah orang yang menjadi partisipan, banyak waktu yang diperlukan bagi suatu terapi kelompok dan sifat kelompok. b. Jumlah anggota kelompok Jumlah anggota kelompok yang efsien dalam penyelenggaraan konseling kelompok berkisar antara 4-12 orang, berdasarkan penelitian jika anggota kelompok kurang dari 4 orang maka tidak efektif dan dinamika kelompok tidak akan hidup dan jika lebih dari 12 orang maka terlalu besar untuk proses konseling karena terlalu berat dalam mengelola kelompok. c. Homogenitas kelompok Dalam hal homogenitas maupun heterogenitas tidak ada ketentuan yang pasti mengenai homogenitas keanggotaan suatu konseling kelompok. Sebagian konseling ada yang dibuat homogen dari segi jenis kelamin, jenis masalah, dan gangguan, kelompok usia dan sebaginya. Namun sebagian juga homogenitas tidak diperhitungkan. Penentuan homogenitas keanggotaan disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok (Kaplan & Sadock dalam Lubis,2013: 211). 38

54 d. Sifat kelompok Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika konseling kelompok dapat menenrima anggota baru selama konseling berlangsung dan tertutup jika tidak dapat menerima anggota baru selama konseling berlangsung. Penentuan terbuka maupun tertutup disesuaikan dengan kemampuan konselor dalam membentuk dan memelihara kohesivitas. e. Waktu pelaksanaan Lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat tergantung pada kompleksivitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka pendek (short term group counseling) membutuhkan waktu pertemuan antara 8-20 pertemuan, dengan frekuensi pertemuan antara satu sampai tiga kali seminggunya dan durasinya antara 60 sampai 90 menit setiap pertemuan. Durasi pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota kelompok. Dari uraian tersebut, konselor perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Jumlah kelompok berkisar 4-12 orang, homogenitas/heterogenitas disesuikan dengan keperluan dan kemampuan konselor, sifat kelompok disesuaikan kemampuan konselor menjaga kohesivitas dan waktu pelaks anaan yang tepat. Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas, dalam hal aspek yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan konseling kelompok adalah, 39

55 penyeleksian anggota kelompok, jumlah anggota kelompok, heterogenitas/homogenitas kelompok, waktu pelaksanaan, peran serta anggota kelompok, setting tempat, sifat kelompok terbuka atau tertutup, dan peran komunikasi dalam kelompok. 5. Manfaat Konseling Kelompok Manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan konseling kelompok sebagai teknik bimbingan dapat membantu siswa menyelesaikan masalahnya. Wiener (Latipun, 2008: 183), mengatakan bahwa interaksi kelompok memiliki pengaruh positif untuk kehidupan individual karena kelompok dapat dijadikan sebagai media terapeutik. Menurutnya interaksi kelompok dapat meningkatkan pemahaman diri dan baik untuk pemahaman tingkah laku individual. Unsur terapeutik dalam konseling kelompok menurut Winkel dan Sri Hastuti (2005: 590), adalah hal-hal yang melekat pada interaksi antar pribadi dalam kelompok dan membantu untuk memahami diri dengan lebih baik dan menemukan penyelesaian atas berbagai kesulitan yang dihadapi. Manfaat konseling kelompok menurut Dewa Ketut Sukardi (2008: 67), yaitu kesempatan yang luas untuk berpendapat dan membicarakan berbagai hal yang terjadi disekitarnya, memiliki pemahaman yang obyektif, tepat, dan cukup luas tentang berbagai hal yang dibicarakan, 40

56 dapat menimbulkan sikap yang positif terhadap keadaan diri dan lingkungan mereka yang berhubungan dengan hal-hal yang dibicarakan dalam kelompok, mampu menyusun berbagai kegiatan untuk mewujudkan penolakan terhadap yang buruk dan dukungan terhadap yang baik, dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan nyata dan langsung untuk membuahkan hasil sebagaimana yang direncanakankan semula. Dari manfaat tersebut, jika diterapkan ke dalam konseling kelompok, seorang konselor dapat membantu lebih dari satu siswa, siswa dapat melatih kecerdasan interpersonalnya, mencoba kebiasaan baru, mendapat masukan dari anggota lain, mendapat motivasi dari anggota lain, meningkatkan keterampilan komunikasi, dan antar anggota kelompok dapat saling membantu. Peningkatan manfaat ini dapat dicapai jika konselor memiliki keahlian dalam ketepatan pemberian respon, kemampuan konselor mengelola kelompok, kesediaan konseli mengikuti proses konseling, kepercayaan konseli kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses. 6. Tahapan Konseling Kelompok Tahapan dalam penyelenggaraan konseling kelompok, yang dikemukakan oleh Yalom dan Corey (Latipun, 2008: 158), sebagai berikut: 41

57 a. Tahap Pra-konseling: Pembentukan Kelompok Dalam tahap pembentukan kelompok yang perlu diperhatikan adalah seleksi anggota, dan menawarkan program kepada calon peserta konseling kelompok, sekaligus membangun harapan kepada calon peserta. Dalam seleksi anggota perlu diperhatikan adalah adanya minat bersama (common interest), suka rela atau atas kesediaan sendiri, adanya kemauan untuk berpartisipasi di dalam proses kelompok, dan mampu untuk berpartisipasi di dalam proses konseling kelompok. b. Tahap Permulaan (orientasi dan eksplorasi) Pada tahap ini mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai menegaskan tujuan kelompok. c. Tahap Transisi Pada tahap ini diharapkan masalah yang dihadapi masing-masing konseli dirumuskan dan diketahui apa sebab-sebabnya. d. Tahap Kerja-Kohesi dan Produktivitas Tahap ini merupakan tahap penyusunan tindakan setelah mengetahui sebab permasalahan. Dalam tahap ini akan ditandai dengan: membuka diri lebih besar, menghilangkan defensifnya, terjadinya konfrontasi antar anggota kelompok, modeling, belajar perilaku baru, terjadinya transferensi dan dalam tahap ini kohesivitas mulai terbentuk. 42

58 e. Tahap Akhir (konsolidasi dan terminasi) Dalam tahap ini anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan tingkah laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberikan umpan balik terhadap yang dilakukan oleh anggota yang lain. f. Tahap Tindak Lanjut dan Evaluasi Dalam tahap ini pimpinan kelompok mengevaluasi sejauh mana tujuandari konseling kelompok sudah tercapai, dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi. Setelah itu pimpinan kelompok melakukan tindak lanjut dari konseling yang dilaksanakan. Pendapat mengenai tahapan dalam penyelenggaraan konseling kelompok sebenarnya sama, hanya secara redaksionalnya yang berbeda. Inti dari tahapan pelaksanaan konseling kelompok adalah tahap pembentukan, peralihan menuju tahap kegiatan konseling kelompok yang intensif, tahap kegiatan yang telah disusun, tahap akhir dan tindak lanjut pelaksanaan konseling kelompok. 7. Efektifitas Layanan Konseling Kelompok Efektifitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi (Susanto, 1975:156). Layanan konseling kelompok yaitu layanan Bimbingan dan Konseling yang memungkinkan sejumlah siswa memperoleh kesempatan dalam pembahasan dan pengentasan masalah mereka masing-masing 43

59 melalui suasana dinamika kelompok (Tri Marsiyanti, 2000:23). Pada dasarnya efektivitas layanan konseling kelompok merupakan tolok ukur yang menentukan berhasil atau tidaknya layanan konseling tersebut. Apabila konseling perorangan menunjukkan layanan kepada individu atau konseli orang-perorang, maka konseling kelompok mengarahkan layanan kepada sekelompok individu. Dengan satu kali kegiatan, layanan kelompok memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang. Kemanfaatan yang lebih meluas inilah yang paling menjadi perhatian semua pihak berkenaan dengan layanan kelompok itu. Apalagi pada zaman yang menekankan perlunya efisiensi, perlunya perluasan pelayanan jasa yang mampu menjangkau lebih banyak konsumen secara tepat dan cepat, layanan kelompok menjadi semakin menarik (Prayitno dan Erman Anti, 1994: 315). Keunggulan yang diberikan oleh layanan konseling kelompok ternyata bukan hanya menyangkut aspek ekonomi/efisiensi. Dinamika perubahan yang terjadi ketika layanan itu berlangsung juga menarik perhatian. Dalam layanan konseling kelompok interaksi antar individu anggota kelompok merupakan suatu khas, yang tidak mungkin terjadi dalam konseling perorangan. Dengan interaksi sosial yang intensif dan dinamis selama berlangsungnya layanan, diharapkan tujuan layanan (yang sejajar dengan kebutuhan-kebutuhan individu anggota kelompok) dapat tercapai secara lebih mantap. Selain itu, karena para anggota kelompok dalam interaksi mereka membawakan kondisi pribadinya sebagaimana 44

60 mereka masing-masing tampilkan dalam kehidupan sehari-hari, maka dinamika kelompok yang terjadi di dalam kelompok itu mencerminkan suasana kehidupan nyata yang dapat dijumpai di masyarakat secara luas. Hal itu akan lebih dapat terwujud lagi apabila kelompok terdiri dari individu-individu yang heterogen, terutama dari segi latar belakang dan pengalaman mereka masing-masing. Keadaan nyata yang dapat dihadirkan dalam kegiatan kelompok itu merupakan keunggulan ketiga dari layanan konseling kelompok (Prayitno dan Erman Anti, 1994: 315). Dari pernyataan diatas tersebut, dapat disimpulkan bahwa efektifitas layanan konseling kelompok adalah keberhasilan dalam memberikan bantuan yang dilakukan oleh konselor terhadap beberapa orang konseli (lebih dari satu orang) secara tatap muka dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan perilaku positif pada konseli sehingga dapat terselesaikan masalahnya, memiliki mental yang sehat, memiliki pandangan hidup yang baik dan mencapai kebahagiaan. C. Kajian Tentang Terapi Gestalt 1. Pengertian Konseling dengan Terapi Gestalt Gestalt diperkenalkan oleh Frederick (Fritz) Salomon Perls ( ). Dalam bahasa Jerman, Gestalt berarti bentuk, wujud, atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (schultz, 1991:171). Simkin dalam (Gilliland, 1989: 92) menyatakan 45

61 bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configuration). Dengan demikian, Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian- bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh. Terapi Gestalt yang dikembangkan oleh Federick Perls adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individuindividu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap mencapai kematangan. Karena bekerja terutama di atas prinsip kesadaran, terapi Gestalt berfokus pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku dan pengalaman di sini dan sekarang dengan memadukan (mengintegrasikan) bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tak diketahui. (Corey, 2010: 118). Fokus utama konseling Gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan konseli sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong konseli untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta meu mencoba menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar konseli mau belajar menggunakan perasaanya secara penuh. Untuk itu konseli bisa diajak untuk memilih dua alternatif, konseli akan menolak kenyaataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang. Konseling Gestalt ini untuk membantu individu yang mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan diri dalam kehidupannya dan 46

62 lingkungannya, sedang individu tersebut memiliki gangguan psikologis dan potensi yang dimiliki itu tidak dapat berkembang secara wajar. Teori ini merupakan pendekatan dalam layanan konseling yang memandang manusia sebagai keseluruhan, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian kepribadian. Inti dari konseling ini adalah penyadaran individu yaitu penyadaran ini menunjuk kepada suatu jenis pengalaman saat ini dan perkembang karena hubungan individu dengan lingkungannya. Penyadaran ini mencakup pikiran dan perasaan berdasarkan persepsi individu pada saat sekarang terhadap situasi sekarang (Sayekti Pujosuwarno, 1993: 71). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa konseling dengan pendekatan Gestalt adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu-individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggungjawab pribadi jika mereka berharap mencapai kematangan. Teori ini merupakan pendekatan dalam layanan konseling yang memandang manusia sebagai keseluruhan, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian kepribadian. Fokus utam konseling Gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan konseli sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong konseli untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau mencoba menghadapinya. 47

63 2. Biografi Tokoh Triantono Safaria (2005: 1) menyebutkan bahwa terapi dan konseling Gestalt tidak bisa dilepaskan dari nama pendirinya yaitu Fritz Perls ( ) yang dipandang sebagai pribadi penuh semangat, kharismatik, mempunyai antusiasme mengugah bagi orang-orang yang mendengarkannya. Kisah perjalanan hidup Federick S. (Fritz) Perls dimulai sebagai seorang psikiater berusia 43 tahun yang memiliki dan menguasai pendidikan pikoanalisis. Pada awal hidupnya sebagai pengungsi Jerman di Belanda, dia hidup sangat kekurangan. Kemudian keadaan ini berubah setelah dia pindah ke Afrika Selatan. Praktik Perls sangat berhasil dan dia memperoleh kehidupan penuh limpahan materi dan kemudahan, karena dia merupakan satu-satunya ahli psikoanalisa di sana. Pada tahun 1936, Perls mempersiapkan segala idenya dengan penuh antusias, karena akan dipresentasikannya kepada pendiri psikoanalisa Sigmun Freud, pada pertemuan tahunan di Cekoslovakia. Dengan semangat yang tinggi dan tentu saja harapan yang besar, Perls meyakinkan dirinya bahwa ide-idenya akan merupakan sumbangan dan perbaikan terhadap psikoanalisa, sehingga tentu saja Freud akan senang atas hal itu. Namun usaha itu berubah menjadi suatu malapetaka yang memalukan Perls. Makalahnya tidak diterima dengan antusias dan ideidenya yang baru tidak diterima dengan baik oleh kelompok ortodoks. Bahkan ketika Perls bertemu dengan Freud sendiri dan mengutarakan 48

64 perjuangannya untuk datang jauh dari negeri Afrika hanya sekedar untuk hadir pada pertemuan tahunan tersebut, Freud hanya menjawab dengan sinis dan dingin. Peristiwa inilah yang telah merubah seluruh orientasi hidupnya, pandangan-pandangannya, dan penilaiannya terhadap kehidupan. Kemarahannya membawa pencerahan bahwa dia harus mengambil seluruh tanggungjawab terhadap kehidupannya sendiri. Perls mengembangkan konsep-konsepnya dan mempratekannya dengan sungguh-sungguh, sehingga pada akhirnya mampu menginspirasikan beratus-ratus orang pengikut dan membentuk Terapi Gestalt yang mapan. Menurut Perls, praktik terapi Gestalt dapat dijelaskan melalui empat karakteristiknya, yaitu : a. Fokus pada pengalaman yang muncul disini dan kini (melalui kesadaran, fenomenologi, dan prinsip perubahan paradoks), b. Menciptakan dan memberikan sebuah hubungan yang dialogis, c. Perspektif teori medan dan pendekatan holistis, d. Kreativitas, sikap eksperimental untuk kehidupan dan proses terapi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tokoh dalam pendekatan Gestalt adalah Federick S. (Fritz) Perls ( ). Berbagai peristiwa dalam hidupnya mengubah seluruh orientasi hidupnya, pandangan-pandangannya, dan penilaian terhadap kehidupan. Lalu Perls mengembangkan konsep-konsepnya dan membentuk terapi Gestalt. 49

65 3. Hakekat Manusia dalam Konseling Gestalt Menurut Gerald Corey (2010: 70), hakekat manusia yang terdapat di dalam pendekatan Gestalt adalah : a. Terapi Gestalt adalah eksistensial- fenomenologikal yang berpijak pada premis bahwa individu harus paham dalam konteks hubungan dengan lingkungan. b. Terapi ini memberikan perhatian khusus untuk eksistensi seperti pengalaman individu-individu dan menegaskan kapasitas manusia untuk tumbuh dan sembuh melalui hubungan interpersonal. c. Para konselor yang menggunakan pendekatan Gestalt dalam konseling, menilai kehadiran dengan lengkap selama pertemuan terapeutik dan terjadi kontak antara konselor dengan konseli. Parson (Sayekti Pujosuwarno, 1993: 72) mengemukakan beberapa asumsi pokok tentang manusia yang dipergunakan sebagai dasar dalam terapi Gestalt, yaitu : a. Manusia merupakan keseluruhan yang terdiri dari badan, emosi, pikiran, sensasi dan persepsi yang semuanya mempunyai fungsi dan saling berhubungan. b. Manusia adalah bagian dari lingkungan dan tidak dapat dipelajari dan dipahami diluar dari itu. c. Manusia adalah proactive dari pada reactive. Dia menentukan responnya terhadap stimulus dari lingkungannya. 50

66 d. Manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi sadar akan sensasinya, pikirannya, emosinya dan persepsi-persepsinya. e. Manusia melalui kesadaran diri mampu untuk memilih dan bertanggungjawab terhadap tindakan perilakunya. f. Manusia mempunyai perlengkapan dan sumber-sumber untuk kehidupannya secara efektif dan untuk mengembangkan diri melalui kemampuan yang dimilikinya sendiri. g. Manusia hanya dapat mengalami sendiri dalam masa sekarang. Masa lalu dan masa yang akan datang hanya dapat dialami dengan melalui mengingat-ingat. Berdasarkan uraian pendapat-pendapat di atas, maka peneliti lebih cenderung mengikuti pendapat dari Parson mengenai hakekat manusia yang ada dalam pendekatan Gestalt. Pendapat ini mempunyai cakupan yang lebih luas mengenai pandangan terhadap manusia. Teori ini memandangan manusia merupakan keseluruhan yang terdiri dari emosi, badan, pikiran, sensasi dan persepsi yang semuanya mempunyai fungsi dan saling berhubungan. Selain itu manusia selalu berada dalam konteks hubungan dengan lingkungan dan memiliki kesadaran pribadi dalam memilih. Manusia hanya dapat mengalami sendiri di sini dalam masa sekarang karena masa lalu telah pergi dan masa yang akan datang belum terjadi. 51

67 4. Tujuan Konseling Gestalt Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai ketika proses konseling, baik tujuan dari pihak konseli maupun dari pihak konselor. Sofyan S. Wilillis (2004: 66) menyatakan tujuan Gestalt adalah membantu klien menjadi individu yang merdeka dan berdiri sendiri. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan: a. Usaha membantu penyadaran klien tentang apa yang dilakuinya, b. Membantu penyadaran tentang siapa dan hambatan dirinya, c. Membantu klien untuk menghilangkan hambatan dalam pengembangan penyadaran diri. Akhmad Sudrajad (2011: 52) menyebutkan tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu konseli agar berani menghadapi berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang harus di hadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa konseli harus dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/ orang lain menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya. Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensi secara penuh, melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui konseling, konselor membantu konseli agar potensi yang baru di manfaatkan sebagian ini dapat di manfaatkan dan di kembangkan secara optimal. 52

68 Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut : a. Membantu konseli agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh. b. Membantu konseli menuju pencapaian integritas kepribadianya, c. Mengatasi masalah konseli dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself), d. Meningkatkan kesadaran individual agar konseli dapat berperilaku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (all problematic situasion) yang muncul dan selalu akan muncul, dapat di atasi dengan baik. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan konseling agar konseli memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atas realitas, serta mendapatkan wawasan secara penuh. Seperti yang telah disebutkan pada konsep dasar pendekatan Gestalt, bahwa sasaran utama Gestalt adalah pencapaian kesadaran (Subandi, 2002). Peningkatan kesadaran ini bertujuan agar konseli dapat bertingkah laku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah yang muncul dan selalu akan muncul dapat di atasi dengan baik. 53

69 5. Teknik Terapi Gestalt Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan dalam konseling kelompok. Seperti pendapat yang diungkapkan Rosjidan (1988: 140) mengenai teknik-teknik yang dapat digunakan dalam konseling Gestalt. Teknik-teknik tersebut antara lain: a. The dialogue experiment Konselor memberikan perhatian yang penuh pada perpecahan dalam fungsi kepribadian. Suatu pembagian pokok adalah antara top dog dan underdog. Konflik antara kedua kutub yang berlawanan dalam kepribadian adalah berakarkan dalam mekanisme introyeksi yang memasukkan aspek-aspek orang lain ke dalam system ego seseorang. Teknik kursi kosong merupakan satu cara untuk membuat konseli mengeksternalisasi introyeksi. b. Making the rounds Teknik ini digunakan dengan cara meminta seseorang dalam suatu kelompok untuk mendatangi anggota-anggota kelompok yang lain dalam kelompok itu dan berbicara atau melakukan sesuatu terhadap setiap anggota kelompok. c. Bermain proyeksi Dalam permainan proyeksi itu konselor meminta orang untuk mencoba ukuran pernyataan-pernyataan tertentu yang dia buat bagi orang-orang lain dalam kelompok. 54

70 d. Reversal technique Konselor meminta kepada seseorang yang menuntut untuk menderita karena hambatan-hambatan berat dan ketakutan yang berlebihanuntuk memainkan peranan seorang yang suka menunjukkan kecapakankecakapannya dalam kelompok. e. The rehearsal experiment Konseli berlatih dalam fantasi untuk peranan yang dipikir itu yang diharapkan untuk memainkan dalam masyarakat. f. The exaggeration experiment Konseli diminta untuk melebih-lebihkan gerakan atau isyarat gerakan berulang-ulang yang biasanya dapat mengintensifkan perasaan yang melekat pada tingkah laku itu dan membuat makna batin lebih jelas. g. Staying with the feeling Konselor meminta konseli untuk tetap tinggal dengan perasaan yangdialaminya pada waktu sekarang dan mendorong mereka untuk mengalami lebih dalam perasaan dan tingkah laku yang mereka ingin hindari. Berdasarkan beberapa teknik yang dikemukakan di atas, pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik empty chair yang mana teknik tersebut berada di dalam the dialogue experiment. Teknik empty chair biasa digunakan untuk menyelesaikan sesuatu yang tidak selesai (unfinished business) dan merupakan teknik yang menekankan individu untuk berintrospeksi dan berintroyeksi pada diri individu tersebut. Empty 55

71 chair memiliki karakteristik seperti, menekankan pada kesadaran diri sendiri, penyelesaian menggunakan aspek apa dan bagaimana, dilakukan dengan mengutamakan permainan dialog antara konseli yang menggambarkan kekuatan dirinya dengan tuntutan-tuntutan yang didapatnya dari orang-orang yang penting, dan meningkatkan kesadaran individu secara penuh dengan mengajak individu mengalami kembali apa yang sebelumnya tidak ingin dialami atau diingkari. Sehingga teknik ini dirasa cocok bagi anak remaja awal yang mana kondisi emosinya masih kurang stabil sehingga perlu bimbingan agar tidak mengalami penyimpangan dalam interaksi sosial dan kehidupan pribadinya. 6. Konselor Gestalt Konselor adalah seorang yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan konseling dan konselor merupakan tenaga professional. Menurut Perls (Corey, 2010: 128) pada pelaksanaan konseling dengan pendekatan Gestalt, konselor membiarkan konseli menemukan sendiri potensi-potensinya yang hilang. Selain itu konselor menyajikan situasi yang menunjang pertumbuhan dengan jalan mengonfrontasikan konseli kepada titik tempat konseli menghadapi suatu putusan apakah akan atau tidak akan mengembangkan potensi-potensinya. Konselor juga memberikan perhatian pada bahasa tubuh konselinya. Isyarat-isyarat nonverbal dari konseli menghasilkan informasi yang kaya bagi konselor sebab isyarat-isyarat itu sering menyakiti perasaan-perasaan konseli yang 56

72 konseli sendiri tidak menyadarinya. Konselor juga bertugas untuk mengarahkan konseli agar konseli memperoleh kesadaran dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Mendorong konseli untuk memiliki tanggungjawab atas dukungan pribadi bukan atas dukungan orang lain. Triantoro Safaria (2005:10) menyebutkan bahwa konselor yang kompeten adalah konselor yang memahami batas dari kemampuannya. Bagi konselor sangat penting untuk memahami batasan dari kemampuan, keahlian dan pengalamannya sehingga konselor mampu memutuskan konseli mana yang lebih cocok untuk mendapatkan terapi Gestalt. Konselor juga disarankan untuk tidak menangani konseli yang mempunyai permasalahan dan pengalaman yang sama dengan dirinya. Adapun peran konselor menurut Gudnanto (2012). Dalam pendekatan teori Gestalt ini, dijelaskan bahwa peran konselor adalah : a. Memfokuskan pada perasaan klien, kesadaran pada saat yang sedang berjalan, serta hambatan terhadap kesadaran. b. Menantang klien sehingga mereka mau memanfaatkan indera mereka sepenuhnya dan berhubungan dengan pesan-pesan tubuh mereka. c. Menaruh perhatian pada bahasa tubuh klien, sebagai petunujuk non verbal. d. Secara halus berkonfrontasi dengan klien guna untuk menolong mereka menjadi sadar akan akibat dari bahasa mereka. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa konselor yang akan melaksanakan konseling dengan pendekatan 57

73 Gestalt harus memahami berbagai teknik dalam membantu konseli. Konselor juga harus mampu memutuskan konseli mana yang lebih cocok untuk mendapatkan terapi Gestalt. Tugas konselor dalam konseling dengan pendekatan Gestalt adalah membiarkan konseli menemukan sendiri potensi-potensinya yang hilang. Selain itu konselor menyajikan situasi yang menunjang pertumbuhan dengan jalan mengonfrontasikan konseli kepada titik tempat dia menghadapi suatu putusan apakah akan atau tidak akan mengembangkan potensi-potensinya. Konselor juga memberikan perhatian pada bahasa tubuh konselinya. Konselor juga bertugas untuk mengarahkan konseli agar konseli memperoleh kesadaran dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Mendorong konseli untuk memiliki tanggungjawab atas dukungan pribadi bukan atas dukungan orang lain. 7. Konseli Gestalt Konseli adalah orang yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya dan membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya. Gerald Corey (2010: 121) dalam konseling dengan pendekatan Gestalt ini konseli memiliki urusan yang tak selesai yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkap seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan, dan sebagainya. Meskipun tidak dapat diungkapkan, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan dibawa kepada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat 58

74 hubungan yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan bertahan sampai dirinya menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan itu. Triatoro Safaria (2005: 10) menyebutkan bahwa beberapa literatur menegaskan karakteristik konseli tidak cocok untuk ditangani dengan terapi Gestalt seperti konseli dengan gangguan psikotik, konseli dengan kecenderungan bunuh diri, konseli dengan gangguan spesifik seperti gangguan makan atau penyalahgunaan obat. Konseli yang cocok untuk ditangani dengan konseli Gestalt adalah konseli yang memiliki masalah yang tidak terselesaikan pada masa lampau sehingga menimbulkan masalah pada masa kini (unfinished business). Urusan yang tak selesai ini adalah sebuah situasi atau konflik di masa lalu khususnya yang bersifat traumatis dan sulit yang belum mencapai pemecahan memuaskan atau di atasi secara baik dalam kehidupan konseli. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa konseli yang cocok untuk ditangani dengan konseling Gestalt adalah konseli yang memiliki urusan yang tak selesai yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, sakit hati, kebencian, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan, dan sebagainya. Selain itu, konseli yang tidak cocok untuk ditangani dengan konseling Gestalt adalah konseli dengan gangguan psikotik, konseli dengan lecenderungan bunuh diri, konseli dengan gangguan spesifik seperti gangguan makan atau penyalahgunaan obat. 59

75 8. Prinsip kerja Konseling dengan Pendekatan Gestalt Menurut George dan Christiani (Gibson & Mitchell, 2011: 227) kerangka kerja konseling Gestalt adalah sebagai berikut: a. Individu-individu tersusun sepenuhnya dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Tak satu pun dari bagian tubuh, emosi, pikiran, sensasi dan persepsi bisa dimengerti jika terpisah dari keseluruhan konteks pribadinya. b. Individu-individu juga bagian dari lingkungannya sendiri dan tidak bisa dimengerti jika terpisah darinya. c. Individu-individu memilih cara mereka merespons stimuli eksternal dan internal; mereka adalah aktor bukan reaktor. d. Individu-individu memiliki potensi untuk menyadari sepenuhnya semua sensasi, pikiran, emosi dan persepsi. e. Individu-individu sanggup melakukan pilihan tertentu karena sadar betul akan dirinya, lingkungannya dan kebutuhannya. f. Individu-individu memiliki kapasitas untuk mengatur hidup mereka sendiri secara efektif. g. Individu-individu tidak bisa mengalami masa lalu dan masa depan. Mereka dapat mengalami hanya diri mereka di masa kini (di sini dan sekarang). h. Individu pada dasarnya bukan baik atau buruk. Pendapat berbeda diungkapkan Akhmad Sudrajad (2011: 55) tentang beberapa prinsip kerja konseling dengan pendekatan Gestalt yaitu : 60

76 a. Penekanan Tanggung Jawab Konseli Konselor menekankan bahwa konselor bersedia membantu konseli tetapi tidak akan bisa mengubah konseli. Konselor menekankan agar konseli mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya. b. Orientasi Sekarang dan Di Sini Dalam proses konseling, seorang konselor tidak merekonstruksi masa lalu atau motif-motif tidak sadar tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini bukan berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya dengan keadaan sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya mengapa". c. Orientasi Eksperiensial Konselor meningkatkan kesadaran konseli tentang diri sendiri dan masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian konseli mengintegrasikan kembali dirinya: 1) Konseli mempergunakan kata ganti personal konseli mengubah kalimat pertanyaan menjadi pernyataan 2) Konseli mengambil peran dan tanggung jawab 3) Konseli menyadari bahwa ada hal-hal positif dan negative pada diri atau tingkah lakunya. Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa konselor yang melakukan konseling Gestalt memiliki pandangan yang positif mengenai kemampuan konseli dalam mengarahkan dirinya. Selain itu konseli didukung untuk menggunakan kemampuannya ini dan 61

77 bertanggungjawab atas hidupnya yang sekarang. Teknik-teknik konselingnya meliputi pertanyaan bagaimana dan apa, konfrontasikonfrontasi, pernyataan aku, dan menyadari tentang kejadian yang sedang berlangsung saat ini. 9. Kelebihan dan Kekurangan Gestalt Pada dasarnya setiap teori memiliki kekhasan masing-masing dalam penanganan permasalahan konseli. Salah satunya adalah kelebihan dan kekurangan dalam teori tersebut. Penjelasan mengenai kelebihan Gestalt diungkapkan oleh Gudnanto (2012: 45). Terapi Gestalt menangani masa lampau dengan membawa aspek-aspek masa lampau yang relevan ke saat sekarang. Terapi Gestalt memberikan perhatian terhadap pesan-pesan nonverbal dan pesan-pesan tubuh. Terapi Gestalt menolak mengakui ketidakberdayaan sebagai alasan untuk tidak berubah. Terapi Gestalt meletakkan penekanan pada konseli untuk menemukan makna dan penafsiran-penafsiran sendiri. Terapi Gestalt menggairahkan hubungan dan mengungkapkan perasaan langsung menghindari intelektualisasi abstrak tentang masalah konseli. Selanjutnya Gudnanto (2012: 45) juga mengungkapkan bahwa, Terapi Gestalt tidak berlandaskan pada suatu teori yang kukuh. Terapi Gestalt cenderung anti intelektual dalam arti kurang memperhitungkan faktor-faktor kognitif. Terapi Gestalt menekankan tanggung jawab atas diri kita sendiri, tetapi mengabaikan tanggung jawab kita kepada orang 62

78 lain. Terdapat bahaya yang nyata bahwa terapis yang menguasai teknikteknik Gestalt akan menggunakannya secara mekanis sehingga terapis sebagai pribadi tetap tersembunyi. Para konseli sering bereaksi negative terhadap sejumlah teknik Gestalt karena merasa dianggap tolol. Sudah sepantasnya terapis berpijak pada kerangka yang layak agar tidak tampak hanya sebagai muslihat-muslihat. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa Gestalt memiliki beberapa kelebihan yaitu setiap individu memiliki keunikan sendiri-sendiri dan selalu berhubungan dengan lingkungan. Konseling yang terjadi juga relatif singkat. Terapi ini juga memberikan perhatian pada pesan-pesan nonverbal. Pendapat-pendapat di atas terdapat juga kesimpulan bahwa ada beberapa kekurangan Gestalt. Kekurangan-kekurangan tersebut antara lain pendekatan ini dapat disalahgunakan oleh orang untuk menipu karena konselor adalah pribadi yang tersembunyi. Selain itu penekanannya terhadap tanggungjawab pribadi memungkinkan konseli untuk mengabaikan tanggungjawabnya kepada orang lain. D. Kajian mengenai Remaja Awal (siswa SMP) 1. Pengertian Remaja Awal Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas. Namun tidak demikian menurut beberapa ahli, selain istilah pubertas 63

79 digunakan juga istilah adolesens (dalam bahasa Inggris disebutkan: adolescence). Para ahli merumuskan bahwa istilah ubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis baik bentuk maupun fisiologis yang terjadi dengan cepat dari masa anak-anak ke masa dewasa, terutama perubahan alat reproduksi. Istilah adolesens lebih ditekankan pada perubahan psikososialatau kematangan yang menyertai masa pubertas (Ratna Aryani, 2010: 1). Menurut Piaget (Hurlock, 2007: 206) istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescene yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Ratna Aryani (2010: 1) mengemukakan, usia remaja adalah antara tahum, tetapi berdasarkan penggolongan umur masa remaja terbagi atas : (a) masa remaja awal (10-14 tahun), (b) masa remaja tengah (14-17 tahun), (c) masa remaja akhir (17-19 tahun). Sedangkan menurut Hurlock (2007: 206) Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari umur 13 tahun sampai 16 tahun atau 17 tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 tahun atau 17 tahun. Periode masa remaja menurut beberapa pendapat ahli berbeda-beda sesuai dengan negara dan proses pendekatan dari keluarga dan dari berbagai lingkungan sekitar. Remaja awal (early adolescence) adalah masa yang ditandai dengan berbagai perubahan tubuh yang cepat, sering mengakibatkan 64

80 kesulitan dalam menyesuaikan diri pada dan pada saat ini remaja mulai mencari identitas diri. Menurut Ratna Aryani (2010: 5) remaja awal biasanya berpikiran sosial, senang berteman, dan senang berkelompok. Kelompok teman sebaya memiliki pengaruh yang kuat pada perilakunya. Rasa memiliki merupakan hal yang paling penting bagi remaja awal sehingga mereka akan memperkuat keberadaannya di dalam kelompok. Karena diabaikan, tidak diterima di lingkungan sosial, dan penampilan yang selalu dikritik oleh teman sebayanya dapat menimbulkan kurangnya percaya diri pada remaja awal. Subjek yang terdapat pada penelitian ini adalah siswa SMP kelas VII dengan umur sekitar tahun sehingga dapat dikatakan dalam kategori remaja awal. Pada tahap ini interaksi dengan lingkungan sudah mulai meluas, menjangkau banyak teman sebaya dan bahkan mulai berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi ini tidak jarang menimbulkan adanya masalah dengan penyesuaian diri siswa apabila tidak dapat berbaur dengan baik pada lingkungannya. Mereka masih cenderung mencari perhatian dari pihak orang dewasa dengan cara yang kurang tepat. Namun, disisi lain mereka masih mengharapkan perlindungan dari orang dewasa disekitar mereka. Dari beberapa pendapat di atas dapat dsimpulkan bahwa masa remaja awal adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dengan umur sekitar tahun yang mulai memahami tugas perkembangannya dengan seorang remaja dan masa remaja yang memiliki 65

81 perubahan fisik yang cepat, serta mengalami berbagai kesulitan dalam hal menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya. 2. Perkembangan Pribadi-Sosial Remaja a. Pengertian teori perkembangan pribadi-sosial Perkembangan merupakan suatu proses perubahan pada seseorang kearah yang lebih maju dan lebih dewasa, namun mereka berbeda-beda pendapat tentang bagaimana proses perubahan itu terjadi dalam bentuknya yang hakiki. (Mubin & Ani, 2006 : 21-22). Kepribadian adalah bagian dari jiwa yang membangun keberadaan manusia menjadi satu kesatuan, tidak terpecah-pecah dalam fungsi-fungsi. Memahami kepribadian berarti memahami diri sendiri (self) atau memahami manusia seutuhnya. Hal yang berkaitan dengan pemahaman kepribadian adalah bahwa pemahaman itu sangat dipengaruhi paradigma yang dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan teori itu sendiri. Menurut Djaali (2007;48) perkembangan sosial adalah kemajuan yang progresif melalui kegiatan yang terarah dari individu dalam pemahaman atas warisan sosial dan formasi pola tingkah lakunya yang luwes. Hal itu disebabkan oleh adanya kesesuaian yang layak antara dirinya dengan warisan sosial itu. Perkembangan sosial itu sendiri selalu berkaitan dengan proses belajar di lingkungannya, entah itu di dalam keluarga, sekolah, atau masyarakat. Dalam hal ini proses belajar idividu tersebut menentukan kemampuan individu dalam bersikap dan berperilaku 66

82 sosial secara moralitas yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sehingga perkembangan sosial dan perkembangan moral merupakan dua hal yang saling berkiatan. Muhibbin Syah (2010: 75) memberikan pandangan tentang keterkaitan tersebut bahwa perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam berperilaku sosial. Misalnya, seorang siswa hanya akan mampu berperilaku sosial tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma perlaku moral yang diperlukan untuk situasi sosial tersebut. b. Tokoh teori perkembangan kepribadian-sosial 1) Sigmund Freud Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi 3 tahapan yakni tahap infati (0-5 tahun) merupakan tahap yang paling menentukan dalam membenk kepribadian yang terbagi dalam 3 fase yakni fase oral, fase anal, dan fase falis. tahap laten (5-12 tahun), dan tahap genital (>12 tahun). 2) Carl Gustav Jung Jung beranggapan bahwa semua peristiwa disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose). Tahap-tahap perkembangan menurut jung terdiri dari 4 tahap yakni: a) Usia anak (chilhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap anarkis dimana umur 0-6tahun kesadaran anak masih 67

83 kacau. Tahap monarkis 6-8 tahun yang ditandai dengan perkembangn ego, mulai berfikir verbal dan logika. Tahap dualistik usia 8-12 tahun dimana anak sudah dapat berfikir secara obyektif dan subyektif. b) Usia pemuda dimana pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya. c) Usia pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkunganya, memiliki pekerjaan, menikah, memiliki anak dan ikut dalam kegiatan sosial. d) Usia tua. Dimana fungsi jiwa sebagian bekerja secara tak sadar, fikiran dan kesadaran ego mulai tenggelam (anonim, 2010). 3) Erick H. Erikson Melalui teorinya, Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam memperlajari perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/msalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anakanak, dewasa, maupun lansia. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapanya sebagai tindakan-tindakan sosial. 68

84 3. Tugas Perkembangan Remaja Awal Havighurst (Renita Mulyaningtyas, 2006: 87) tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang muncul pada masa perkembangan tertentu dalam kehidupan seseorang. Tugas perkembangan remaja meliputi hal-hal yang semestinya dilakukan oleh para remaja agar dapat melaksanakan perannya sebaik mungkin untuk kehidupan di masa remaja dan mempersiapkan diri menjelang masa dewasa. Keberhasilan pada tugas perkembangan seorang remaja akan membawa kebahagiaan terhadap remaja tersebut dan dapat membawa keberhasilan pula pada tugas perkembangan selanjutnya. Sebaliknya apabila terdapat kegagalan dalam tugas perkembangan seorang remaja akan menimbulkan ketidakbahagiaan pada diri remaja itu sendiri, kurang diterima dilingkungan dan dapat menghambat untuk melanjutkan ke tugas perkembangan selanjutnya. Tugas perkembangan remaja awal menurut Renita Mulyaningtyas (2006: 87) adalah sebagai berikut : c. Menerima keadaan fisiknya dan menjalankan perannya masing-masing. d. Menjalin persahabatan dengan teman sebaya terutama lawan jenis. e. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang dewasa. f. Mengembangkan keterampilan intelektual menjadi warga yang baik. g. Bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sekitar. h. Menentukan dengan penuh kesadaran nilai-nilai yang benar dan salah. 69

85 Menurut Andi Mappiare (1982: 106) mengungkapkan tugas perkembangan remaja awal yaitu: d. Memiliki kemampuan mengontrol diri Remaja awal diharapkan dapat mengontrol diri sendiri atas perbuatan yang dilakukan. Remaja melakukan perbuatan yang dapat dilakukan seperti halnya orang dewasa, tetapi di antara perbuatan tersebut ada yang boleh dan tidak boleh dilakukan sehingga perlu adanya konrol agar dirinya dapat berperilaku yang dapat diterima oleh masyarakat lingkungannya. e. Memperoleh kebebasan Remaja awal diharapkan belajar dan berlatih bebas membuat rencana, membuat alternatif pilihan, menentukan pilihan, membuat keputusan sendiri, melaksanakan keputusan serta bertanggung jawab atas keputusan dan pelaksanaan keputusannya. f. Bergaul dengan teman lawan jenis Remaja awal sadar bahwa dirinya ada rasa simpati dan tertarik untuk bersama dengan lawan jenisnya, tetapi mereka masih ragu apakah dirinya membuat lawan jenisnya tertarik atau tidak. Mereka juga merasa malu untuk saling mendekat dan saling bergaul pada mulanya. g. Mengembangkan keterampilan-keterampilan baru Keterampilan baru yang dikembangkan oleh remaja awal tidak saja menyangkut apa yang dituntut dalam jabatan kerja untuk memperoleh 70

86 kebebasan ekonomis melainkan bersangkutan dengan keterampilan dalam kehidupan keluarga yang ringan dan pergaulan sosial. h. Memiliki citra diri yang realistis Remaja awal diharapkan dapat memberi penilaian terhadap keadaan dirinya secara apa adanya, seperti dapat menilai atau mengukur hal-hal apa dalam dirinya yang disenangi dan tidak disenangi oleh teman-teman sepergaulannya, serta memiliki gambaran diri secara realistis. Selanjutnya menurut Endang Poerwanti dan Nur Widodo (2002: 45) tugas perkembangan remaja pada usia tahun adalah sebagai berikut : a. Menerima kondisi fisik sebagai seorang wanita maupun laki-laki b. Mencapai pola hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya yang berbeda kelamin c. Mencapai keinginan pola perilaku tertentu dan bertanggung jawab pada lingkungan sosialnya d. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lain e. Menerima dirinya dan miliki kepercayaan pada kemampuan sendiri Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku remaja. Hanya sedikit dari remaja yang dapat memenuhi beberapa tugas perkembangan pada masa remaja awal. Tugas perkembangan remaja sifatnya tidak universal, namun sangat tergantung pada lingkungan sekitar sehingga ada kemungkinan tugas perkembangan 71

87 tersebut tidak dicapai oleh remaja. Tugas perkembangan remaja antara lain menerima kondisi fisik sebagai wanita maupun laki-laki, dapat menjalin hubungan sosial yang baik terhadap teman sebaya yang berbeda jenis kelamin, dapat bertanggung jawab pada pola perilaku yang dilakukan pada lingkungan sosialnya, mulai berusaha untuk mandiri, dan mulai mempersiapkan diri untuk masa depannya. 4. Ciri-ciri Remaja Awal Remaja merupakan masa yang mengkhawatirkan dan sekligus mengandung harapan di mata orang tua. Baik remaja sendiri maupun orang dewasa perlu secara bijak untuk memahami dunia remaja. Tahap remaja awal menurut Renita Mulyaningtyas (2006: 86) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang cepat dan berdampak pada perubahan tugas, tanggung jawab, hak, kewajiban, hubungan dengan orang tua dan orang lain. b. Masa gejolak emosi atau perasaan sehingga seorang remaja sering menjadi pemarah, iri hati, dan cemburu. Tidak jarang pula seorang remaja merasa benci pada orang tua atau kurang memiliki perhatian pada hal-hal atau orang-orang yang tidak diminatinya. c. Masa remaja merupakan masa yang tidak stabil seperti emosi yang cepat berubah, cepat bosan dan sulit berkonsentrasi. 72

88 d. Merasa banyak masalah dan yang paling menonjol adalah mereka yang merasa bahwa tidak ada orang yang bersedia memahami mereka. e. Memiliki usaha yang keras untuk dihargai dan diakui keberadaanya dengan berbagai cara bahkan tidak dipikrikan dampak negatif maupun positif yang diperoleh. Andi Mappiare (1982: 32-35) mulai mengembangkan ciri-ciri remaja awal yaitu sebagai berikut : a. Ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi Perasaan dan emosi remaja awal mengalami masa badai dan topan yang diistilahkan sebagai storm and stress, seperti tidak stabil, mudah marah, mudah tersinggung, semula bergairah dalam bekerja tiba-tiba merasa lesu. b. Kecerdasan atau kemampuan mental Kemampuan mental atau kemampuan berpikir remaja awal mulai sempurna yang membuat remaja awal menolak hal yang tidak masuk akal dan pendapat orang dewasa yang berbeda dengan pendapatnya. c. Status remaja awal sulit ditentukan Status remaja awal sulit ditentukan bukan membingungkan. Ada keraguan orang dewasa untuk memberi tanggung jawab kepada remaja dengan dalih mereka masih kanak-kanak, tetapi pada lain kesempatan remaja awal sering mendapat teguran sebagai orang yang sudah besar sehingga menambah kebingungan dan sulit menentukan statusnya. 73

89 d. Memiliki banyak masalah yang dihadapi Kondisi emosional remaja awal membuat masalah pada dirinya karena kemampuan berpikirnya lebih dikuasai emosi sehingga kurang sependapat dengan gagasan orang lain yang bertentangan. e. Masa remaja awal adalah masa yang kritis Remaja awal akan dihadapkan pertanyaan apakah dia dapat menghadapi dan memecahkan masalah dengan baik atau tidak. Selengkapnya ciri-ciri remaja menurut Hurlock (Rita Eka Izzaty dkk, 2008: ) adalah sebagai berikut : a. Masa remaja sebagai periode penting, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku dan akibat jangka panjangnya, juga akibat fisik dan akibat psikologis. Perkembagan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat menimbulkan penyesuaian mental dan membentuk sikap, nilai dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, sehingga mereka harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan serta mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. c. Masa remaja sebagai periode perubahan, selama masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat pesat, juga perubahan perilaku dan sikap 74

90 yang berlangsung pesat. Sebaliknya, jika perubahan fisik menurun maka diikuti perubahan sikap dan perilaku yang menurun juga. Menurut Hurlock, ada 4 macam perubahan yaitu: meningginya emosi, perubahan tubuh, minat, serta adanya sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas, pada masa ini mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti pada masa sebelumnya. Namun, adanya sifat yang mendua, dalam beberapa kasus menimbulkan suatu dilema yang menyebabkan krisis identitas. Pada saat ini remaja berusaha untuk menunjukkan siapa diri dan peranannya dalam kehidupan bermasyarakat. e. Usia bermasalah, karena pada masa remaja pemecahan masalah sudah tidak seperti pada masa sebelumnya yang dibantu oleh orangtua dan gurunya. Setelah remaja masalah yang dihadapi akan diselesaikan secara mandiri, mereka menolak bantuan dari orangtua dan guru lagi. f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan/ kesulitan. Karena pada masa remaja sering timbul pandangan yang kurang baik atau bersifat negatif. Stereotip demikian mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya, dengan demikian menjadikan remaja sulit melakukan peralihan menuju masa dewasa. Pandangan ini juga sering menimbulkan pertentangan antara remaja dengan orang dewasa. 75

91 g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Pada masa ini remaja cenderung memandang dirinya dan orang lain sebagaimana adanya, lebih-lebih cita-citanya. Hal ini menyebabkan emosi meninggi dan apabila diinginkan tidak tercapai akan mudah marah. Semakin bertambahnya pengalaman pribadi dan sosialnya serta kemampuan berfikir rasional remaja memandang diri dan orang lain semakin realistik. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Menjelang menginjak masa dewasa, mereka merasa gelisah untuk meninggalkan masa belasan tahunnya. Mereka belum cukup untuk berperilaku sebagai orang dewasa, oleh karena itu mereka mulai berperilaku sebagai status orang dewasa seperti cara berpakaian, merokok, menggunakan obat-obatan dll, yang dipandang dapat memberikan citra seperti yang diinginkan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja, seperti masa-masa sebelumnya memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan masa sebelum dan sesudahnya. Masa remaja awal merupakan masa pencarian identitas, masa periode peralihan, masa remaja merupakan masa mencemaskan karena banyak masalah yang dihadapi, dan masa remaja sebagai ambang masa dewasa. E. Kajian Penelitian Terdahulu Pada penelitian yang dilakukan oleh Rita Sari (2013), dalam skripsinya yang berjudul Efektifitas Layanan Konseling Kelompok dalam 76

92 Meeningkatkan Kepercayaan Diri Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Bantul menunjukan hasil layanan konseling kelompok efektif dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa. Hasil penelitian juga didukung oleh observasi yang memperoleh hasil bahwa terdapat perubahan perilaku siswa yang semula malu-malu lambat laun mulai menunjukkan kepercayaan diri dalam mengungkapkan pendapat dan berinteraksi dengan anggota kelompok. Pada penelitian yang dilakukan Rita Sari (2013), menggunakan jenis penelitian pre-experimental design dengan rancangan one-group pretest-post-test design. Pengambilan subjek menggunakan teknik purposive sampling. Analisis yang digunakan adalah analisis data kuantitatif dengan uji Wilcoxon dan analisis data kualitatif dari hasil observasi. Penelitian mengenai layanan konseling kelompok juga dilakukan oleh Lilik Yuni Setyawati (2004), dengan judul skripsi Efektifitas Layanan Konseling Kelompok Terhadap Peningkatan Penyesuaian Diri di Sekolah Tahun Pelajaran 2003/2004. Dalam penelitian tersebut, didapatkan hasil dari konseling kelompok dalam meningkatkan penyesuaian diri adalah 5 dari 6 siswa yang mendapat konseling kelompok mengalami peningkatan penyesuaian diri. Satu siswa masih belum mengalami peningkatan penyesuaian diri di sekolah. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Rita Sari (2013) dan Lilik Yuni Setyawati (2004) dengan penelitian ini adalah peneliti menambahkan pendekatan Gestalt dalam layanan konseling kelompok, sedangkan Rita Sari (2013) dan Lilik Yuni Setyawati (2004) tidak. 77

93 Pendekatan Gestalt diharapkan dapat meningkatkan penyesuaian diri siswa di sekolah lebih efektif dan optimal sehingga siswa baru di sekolah akan lebih mudah menyesuaikan diri di lingkungan sekolahnya yang baru. F. Kerangka Berfikir Beberapa siswa di SMP N 1 Kalimanah sulit menyesuaikan diri di masa peralihan dari SD ke SMP. Siswa mengalami kesulitan berkomunikasi dengan teman di kelas maupun di lingkungan sekolah. Seorang siswa terlihat melanggar peraturan sekolah, hal itu dikarenakan dirinya tidak mau dikucilkan oleh teman-temannya, sehingga cenderung lebih mendengarkan apa kata teman-temannya daripada kata hatinya sendiri. Siswa lainnya terlihat tidak menjalin hubungan dengan warga sekolah lainnya, siswa tersebut merasa takut dan tidak ingin dikatakan cari muka, sok kenal, dan sebagainya. Oleh sebab itu siswa tersebut lebih memilih untuk tetap berteman dengan temannya yang dikenal sewaktu SD. Hal tersebut memerlukan pemecahan masalah agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Pada lingkungan sekolah, perlu adanya pemecahan masalah yang dilakukan oleh guru BK yaitu dengan menggunakan layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Pada dasarnya, terapi Gestalt menurut Jeanette Murad Lesmana (2005) menekankan pada apa dan bagaimana dari pengalaman masa kini untuk membantu individu menerima perbedaanperbedaan mereka. Konsep pentingnya adalah holisme, proses pembentukan 78

94 figur, kesadaran, unfinished business dan penolakan, kontak dan energi. Selain itu, gestalt juga menekankan pada pentingnya tanggung jawab diri. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lilik Yuni Setyawati (2004), menyebutkan bahwa layanan konseling kelompok dalam meningkatkan penyesuaian diri di sekolah cukup baik. Hasil dari penelitian Lilik adalah dari 6 siswa, terdapat 5 siswa yang sudah mengalami peningkatan dan satu siswa yang masih belum mengalami peningkatan penyesuaian diri. Layanan konseling kelompok ini pun dilakukan tanpa menggunakan pendekatan Gestalt. Proses konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt menggunakan proses yang hampir sama seperti dilakukan pada penelitian Lilik Yuni Setyawati. Yaitu dengan membuat sebuah kelompok dengan anggota siswa yang mengalami masalah dengan penyesuaian dirinya di sekolah. Perbedaannya, pada layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt adalah layanan konseling ini menggunakan teknik empty chair. Oleh karena itu, layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dipilih karena dirasakan dapat meningkatkan penyesuaian diri siswa di sekolah dengan lebih efektif dan juga efisien. Pelaksanaan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dilakukan dengan melibatkan siswa yang mengalami masalah penyesuaian diri. Layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt menggunakan teknik The Dialogue Experiment dilakukan dengan permainan peran. Bermain peran menjadi teknik yang esensial dalam konseling gestalt. Salah 79

95 satu bentuk bermain peran yang paling awal digunakan adalah psikodrama. Bentuk permainan peran yang paling sering digunakan adalah kursi kosong (empty chair) untuk format konseling individual, dan berkeliling (making around) untuk format konseling kelompok. Seperti yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya oleh Ela Mariyana Sari (2014) di kelas XI SMK Tamansiswa Kudus Tahun Ajaran 2013/ 2014, penelitian ini menggunakan pendekatan Gestalt. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa dalam konseling Ela Mariyana Sari (2014) menggunakan teknik the dialogue experiment dan empty chair. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan penerapan pendekatan Gestalt dengan teknik empty chair dapat membantu anak membangun pola komunikasi dengan orang tua yang mana hal ini sangat dibutuhkan dalam penyesuaian diri siswa. Selain itu, sangat jelas bahwa dengan pendekatan Gestalt mampu meningkatkan efektivitas dalam layanan konseling. Pada penelitian ini layanan konseling dilakukan dengan cara siswa memerankan dirinya sendiri dan peran orang lain atau beberapa aspek kepribadiannya sendiri yang dibayangkan duduk/berada di kursi kosong, yakni permainan topdog/underdog. Permainan topdog/underdog, yakni menempatkan suatu individu untuk menceramahi, mendorong, dan mengancam bagian diri yang lain dalam rangka menuju perilaku baik. Topdog membuat penilaian dan mengatakan kepada underdog tentang bagaimana seharusnya ia berpikir, merasa, atau bertindak. Topdog dapat 80

96 diibaratkan kata hati atau superego dalam konsep psikoanalisa. Di sisi lain underdog cenderung untuk menurut dan senang meminta maaf tetapi tidak sungguh-sungguh untuk berubah. Dengan cara ini, peneliti meminta salah satu siswa untuk duduk di kursi menjadi under dog di mana under dog adalah pihak yang lemah, defensif, membela diri, tidak berdaya, dan tidak berkuasa, kemudian siswa lainnya di kursi satunya sebagai top dog di mana top dog adalah pihak yang berkuasa, otoriter, moralistik, menuntut, berlaku sebagai majikan, dan manipulatif, begitupun hingga semua siswa yang mengikuti konseling kelompok selesai memerankan perannya masing-masing. Layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt menggunakan teknik empty chair dilakukan untuk membuat siswa mengeksternalisasi introyeksi (mekanisme pertahanan di mana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang lain ke dalam egonya sendiri). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai efektifitas dari konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dalam upaya meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Kalimanah. G. Hipotesis Penelitian Suharsimi Arikunto (2006: 71) hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan peneliti sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan teori yang telah disampaikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah layanan konseling 81

97 kelompok dengan pendekatan Gestalt efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga. 82

98 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis quasi eksperimen. Borg & Gall (1983) dalam Amat Jaedun (2011: 5), menyatakan bahwa penelitian eksperimen merupakan penelitian yang paling dapat diandalkan keilmiahannya karena dilakukan dengan pengontrolan secara ketat terhadap variabel-variabel pengganggu di luar yang dieksperimenkan. Penelitian eksperimen pada umumnya digunakan dalam penelitian yang bersifat laboratoris. Namun, bukan berarti bahwa pendekatan penelitian ini tidak dapat digunakan dalam penelitian sosial, termasuk penelitian pendidikan. Jadi, penelitian eksperimen yang mendasarkan pada paradigma positivistik pada awalnya memang banyak diterapkan pada penelitian ilmu-ilmu keras (hard-science), seperti biologi dan fisika, yang kemudian diadopsi untuk diterapkan pada bidang lain, termasuk bidang sosial dan pendidikan (Amat Jaedun, 2011: 2). Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis eksperimen itu sendiri merupakan suatu pendekatan penelitian yang dilakukan guna menemukan hubungan sebabakibat antar variabel dengan melakukan treatment terhadap subjek yang mana subjek tersebut menggunakan populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, dan analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang 83

99 telah ditetapkan. Pendekatan penelitian ini cocok digunakan dalam layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt karena proses konseling dengan pendekatan Gestalt mempunyai tahapan-tahapan di mana tahapan tersebut merupakan fase pada proses konseling yang nantinya digunakan sebagai treatment. B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Menurut Nurul Zuriah (2006: 116), populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian peneliti dalam suatu lingkup dan waktu yang ditentukan. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah dengan jumlah sebanyak siswa sebanyak 288 siswa dengan rincian sebagai berikut. Tabel 1. Jumlah Populasi Penelitian No. Kelas siswa siswa laki-laki perempuan Total 1. VII A VII B VII C VII D VII E VII F VII G VII H siswa

100 2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi Arikunto, 2006: 109). Sampel ini menggunakan teknik sampling non random dengan jenis purposive sampling. Menurut Sugiyono (2010: 218), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling untuk memilih sampel pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah. Sebagai pertimbangan, peneliti menggunakan pertimbangan dari hasil observasi yang telah dilakukan pada sebelumnya serta hasil pretest yang telah dilakukan. Dari hasil pretest tersebut didapat kategori rendah ( X < 56 ), kategori sedang ( 56 X 84 ), dan kategori tinggi ( 84 < X ). Sampel ini diambil berdasarkan karakteristik penyesuaian diri siswa yang masih kurang dan nilai pretest siswa yang termasuk ke dalam kategori rendah. Dalam hal ini, hasil pre-test yang telah dikategorikan adalah sebagai berikut. Tabel 2. Kategori Hasil Pre-test Kelas Tinggi Sedang Rendah VII A VII B VII C VII D VII E VII F VII G VII H Jumlah

101 Dari data pada tabel di atas, jumlah siswa yang berada kategori rendah adalah sebanyak 19 siswa. Namun dalam pelaksanaannya, karena suatu keterbatasan situasi dan kondisi pada saat itu, sampel yang didapat adalah sebanyak 10 siswa dengan rincian sebagai berikut. Tabel 3. Daftar Sampel Penelitian No. Kelompok Nama/ Inisial L/P Skor pretest Kategori 1 Kelompok Eksperimen S L 53 Rendah 2 Kelompok Eksperimen FNO P 55 Rendah 3 Kelompok Eksperimen RAF L 54 Rendah 4 Kelompok Eksperimen IR P 53 Rendah 5 Kelompok Eksperimen BSA L 55 Rendah 6 Kelompok Kontrol RIR P 55 Rendah 7 Kelompok Kontrol TTR L 55 Rendah 8 Kelompok Kontrol IDJ L 54 Rendah 9 Kelompok Kontrol AYV P 55 Rendah 10 Kelompok Kontrol RAN L 54 Rendah Rata-Rata Skor Pre-test Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol 54,3 Rendah C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Kalimanah yang beralamat di Jalan May. Jend. Sungkono, Kalimanah, Purbalingga. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai pada 22 Februari 2015 sampai dengan 19 Januari

102 D. Variabel Penelitian Variabel adalah objek penelitian atau sesuatu yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006: 118). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua jenis variabel. Variabel tersebut adalah : a. Variabel bebas (X). Variabel bebas (X) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Pada penelitian ini sebagai variabel bebas adalah konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. b. Variabel terikat (Y). Variabel terikat (Y) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah penyesuaian diri siswa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua variabel, yaitu variabel bebas (X) yaitu konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dan variabel terikat (Y) yaitu penyesuaian diri siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah. Layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt Variabel bebas (X) Penyesuaian diri siswa Variabel terikat (Y) Gambar 1. Pengaruh Variabel 87

103 E. Desain Penelitian Pada penelitian ini, peneliti menggunakan desain quasi eksperimen. Dalam desain quasi eksperimen ini terdapat dua bentuk desain yaitu timeseries design dan non-equivalent control group design. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan non-equivalent control group design karena pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2010:116). Selain itu, pada non-equivalent control group design terdapat kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sebagai pembeda antara subjek dengan treatment dan subjek tanpa treatment yang mana kelompok kontrol merupakan data dasar (base line). Desain nonequivalent control group design dapat dilihat pada gambar berikut : O1 X O2 O3 O4 Gambar 2. Desain non-equivalent control group design Keterangan : O1 O2 O3 O4 X : kelompok ekperimen : kelompok eksperimen setelah diberi treatment : kelompok kontrol : kelompok kontrol yang tidak diberi treatment : pemberian treatment 88

104 Stephen Issaq (1982: 76), validitas eksperimen dari desain di atas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini terdapat validitas internal dan juga eksternal. Validitas internal yang terdapat pada penelitian ini antara lain adalah contemporary history, maturations processes, pretesting procedures, measuring instruments, differential selection of subjects, dan experimental mortality. Validitas internal yang tidak terdapat pada penelitian ini adalah statistical regression. Pada validitas eksternal terdapat beberapa yang tidak ada pada penelitian ini antara lain adalah interaction of selection and X, dan reactive experimental procedures. Dalam penelitian ekperimen terdapat prosedur atau tahapan yang perlu dilakukan. Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu persiapan ekperimen dan eksperimen.. 1. Persiapan Eksperimen a. Penyusunan skala penyesuaian diri Penyusunan skala penyesuaian diri ini diambil dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya tentang penyesuaian diri. Kisikisi tersebut didapat dari pembahasan tentang penyesuaian diri pada bab sebelumnya yang kemudian dijabarkan menjadi beberapa sub variabel dan dijabarkan lagi menjadi indikator. Dari indikator tersebut, dijabarkan lagi menjadi deskriptor yang menjadi inti pada setiap item yang disajikan. 89

105 b. Penentuan sampel Pada tahap ini, peneliti menggunakan purposive sampling untuk memilih sampel. Menurut Sugiyono (2010: 218), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Sebagai pertimbangan, peneliti menggunakan pertimbangan dari hasil observasi yang telah dilakukan pada sebelumnya, yaitu penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah yang masih kurang serta hasil dari pretest yang telah dilakukan. Dalam penentuan jumlah sampel, peneliti mengambil siswa kelas VII sebagai sampel dengan ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam hal ini, sampel yang digunakan adalah 10 siswa yang termasuk ke dalam kategori rendah. 2. Eksperimen a. Tes awal atau pre-test Pre-test dilakukan guna mengetahui tingkat penyesuaian diri siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah. Tes ini dilakukan pada tanggal 15, 16, dan 17 Desember Dari pre-test tersebut didapat hasil berdasarkan kategori dengan rincian sebagai berikut. 90

106 Tabel 4. Skor Pre-test Kelas Tinggi Sedang Rendah VII A VII B VII C VII D VII E VII F VII G VII H Jumlah b. Pemberian treatment Pemberian treatment kepada kelompok eksperimen dilakukan menggunakan layanan konseling kelompok dengan pendekatan ogestalt. Pemberian treatment pada penelitian ini menggunakan aspek-aspek penyesuaian diri yang telah disebutkan sebelumnya. Aspek-aspek penyesuaian diri tersebut adalah persepsi terhadap realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, gambaran diri yang positif, kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Pada penelitian ini, treatment dilakukan 2 kali dalam seminggu. Treatment ini dilakukan sebanyak 3 kali pertemuan dengan rincian pertemuan pertama terdapat 2 sesi konseling kelompok, pertemuan kedua terdapat 2 sesi konseling kelompok, dan pertemuan ketiga terdapat 1 sesi konseling kelompok. Sebelum memulai treatment, peneliti memberikan penjelasan mengenai treatment yang akan diberikan. Dalam hal ini, peneliti 91

107 menjelaskan mengenai tahapan-tahapan dan batasan-batasan yang dilakukan selama treatment berlangsung. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Peneliti atau yang bertindak sebagai konselor menyiapkan 2 kursi yang digunakan konseli selama treatment yang akan digunakan untuk bermain peran. 1 kursi untuk konseli dan kursi lainnya untuk peran yang akan dilakukan oleh konseli. 2. Dalam konseling kelompok dengan teknik empty chair ini, anggota kelompok yang berperan sebagai penanya harus bertanya sesuai dengan bahasan masalah yang dialami konseli dan konseli harus menjawab pertanyaan tersebut dengan sejujur-jujurnya. Dalam hal ini, setiap pertanyaan dari anggota akan diawasi oleh konselor atau peneliti. 3. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan selama proses konseling berlangsung, yaitu: a. Konseli diminta untuk mengidentifikasikan kekurangan dan kelebihan yang terdapat pada diri konseli. b. Konselor memberitahukan aturan main dari permainan peran tersebut. c. Konseli diminta untuk bisa menghadapi suatu situasi di mana dan kapan konseli harus berperan sebagai top dog dan under dog. 92

108 d. Anggota konseling kelompok membantu peran konselor dalam bertanya. e. Saat bermain peran dalam teknik empty chair, konseli diminta untuk benar-benar memainkan perannya sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. f. Setelah permainan selesai, konseli diminta untuk memikirkan dan merenungkan perasaan yang dialaminya selama proses konseling. g. Mengevaluasi keberhasilan dalam pengungkapan perasaan konseli. Dengan treatment seperti ini, diharapkan konseli mampu memahami masalah yang dihadapi dengan solusi yang didapat selama treatment dan mampu mengekspresikan emosi dan perasaan konseli. c. Post-test Post-test ini diberikan setelah pemberian treatment dengan tujuan untuk mengetahui keefektifan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt terhadap penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah. Dalam hal ini, post-test dilakukan pada tanggal 19 Januari 2016 kepada sampel. Setelah dilakukan treatment, didapat hasil post-test sebagai berikut. 93

109 Tabel 5. Skor Post-test No. Kelompok Nama/Inisial L/ P Skor Posttest Kategori 1 Kelompok Eksperimen S L 73 Sedang 2 Kelompok Eksperimen FNO P 75 Sedang 3 Kelompok Eksperimen RAF L 84 Tinggi 4 Kelompok Eksperimen IR P 76 Sedang 5 Kelompok Eksperimen BSA L 85 Tinggi 6 Kelompok Kontrol RIR P 56 Sedang 7 Kelompok Kontrol TTR L 55 Rendah 8 Kelompok Kontrol IDJ L 55 Rendah 9 Kelompok Kontrol AYV P 56 Sedang 10 Kelompok Kontrol RAN L 55 Rendah Rata-Rata Skor Post-test Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol 67 Sedang F. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai tempat dan berbagai sumber dan berbagai cara. Pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti atau pengumpul data. Sumber sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti atau pengumpul data. Jonathan Sarwono (2006:259) menyatakan bahwa pengumpulan data penelitian kuantitatif merupakan pengumpulan data yang informasinya berupa angka-angka statisik. Data tersebut berbentuk variabel-variabel dan operasionalnya dengan skala ukuran tertentu. Dalam penelitian kuantitatif berjenis eksperimen ini, data yang digunakan untuk menentukan hasil dari penelitian berupa angka dengan 94

110 menggunakan metode observasi dan skala penilaian sikap penyesuaian diri siswa. 1. Observasi Secara umum pengertian observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomenafenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan (Anas Sudijono, 2006: 76). Observasi sebagai alat evaluasi banyak digunakan untuk menilai tingkah laku individu atau proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi bantuan. Observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar dari tingkah laku peserta didik. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan dua tahap observasi, yaitu sebelum dan selama penelitian berlangsung. Pada tahap pertama, yaitu sebelum penelitian, peneliti menggunakan observasi non sistematis. Pada tahap kedua, yaitu selama proses penelitian, peneliti menggunakan observasi sistematis. 95

111 Tabel 6. Pedoman Observasi No. Daftar observasi Dinamika Psikologi Siswa Selama Proses Konseling Kelompok 1. Pemahaman siswa terhadap konseling kelompok sebelum proses konseling 2. Partisipasi siswa saat mengikuti proses konseling kelompok 3. Keaktifan siswa selama proses konseling kelompok 4. Antusiasme siswa saat mengikuti konseling kelompok 5. Kerjasama siswa selama proses konseling kelompok 6. Antusiasme siswa setelah mengikuti konseling kelompok 7. Pemahaman siswa terhadap konseling kelompok setelah proses konseling kelompok Hasil Pengamatan Muncul Tidak Muncul Keterangan 2. Skala Penyesuaian Diri Pada penelitian ini, peneliti menggunakan skala penyesuaian diri berdasarkan pembahasan dari kisi-kisi skala penyesuaian diri yang telah dibuat oleh peneliti. Kisi-kisi skala penyesuaian diri ini terdiri atas variabel, sub variabel, indikator, deskriptor, dan item soal yang akan digunakan dalam penyusunan skala penyesuaian diri. Dalam penyusunan skala penyesuaian diri, peneliti menggunakan model penilaian skala dengan 4 pilihan jawaban. Dalam model skala dengan 4 pilihan jawaban ini, responden tidak akan menjawab salah satu dari jawaban kualitatif yang telah disediakan, tapi menjawab salah satu jawaban kuantitatif yang telah disediakan. Oleh karena itu, model 96

112 skala seperti ini lebih fleksibel, tidak terbatas pengukuran sikap saja tetapi bisa juga mengukur persepsi responden terhadap fenomena. G. Instrumen Penelitian Menurut Dedi Sutedi (2005: 36), instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Pemilihan instrumen penelitian sangat ditentukan oleh beberapa hal, yakni obyek penelitian, sumber data, waktu, dana yang tersedia, dan teknik yang digunakan peneliti untuk mengolah data bila data sudah terkumpul. Dalam hal ini, instrumen penelitian juga berperan penting dalam penelitian kuantitatif eksperimen. Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman observasi dan kisi-kisi skala penyesuaian diri yang digunakan untuk pedoman pre-test dan post-test. Berikut ini adalah rancangan pedoman observasi dan kisi-kisi skala penyesuaian diri yang dirancang oleh peneliti. Dalam instrumen penelitian terdapat skala penyesuaian diri yang membantu dalam proses pengambilan data serta penentuan sampel. Berikut ini merupakan skala penyesuaian diri. 97

113 Tabel 7. Skala Penyesuaian Diri Variabel Sub variabel Indikator Deskriptor Penyesuaian diri Aspek-aspek di dalam penyesuaian diri 1. Presepsi terhadap realitas 2. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan 3. Gambaran diri yang positif 4. Kemampuan mengekspres ikan emosi dengan baik 5. Memiliki hubungan interpersonal yang baik Menentukan tujuan yang realistik sesuai dengan kemampuannya. Mengenali konsekuensi dan tindakannya. Mengatasi masalahmasalah yang timbul dalam hidup. Menerima kegagalan yang dialami dan berusaha untuk bangkit. Merasakan kenyamanan psikologis melalui penilaian diri sendiri dan orang lain. Memiliki ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik. Membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat dalam berteman. Item F UF Jumlah 1, 3, 5 2, 4, 6 6 7, 9, 11 13, 15, 17 19, 21, 23 25, 27, 29 31, 33, 35 37,39, 41 8, 10, 12 14, 16, 18 20, 22, 24 26, 28, 30 32, 34, 36 38,40, 42 Jumlah Dalam pembuatan skala penyesuaian diri, peneliti melakukan uji coba terlebih dahulu sebelum skala penyesuaian diri tersebut digunakan dalam penelitian. Setelah dilakukan uji coba, peneliti menggunakan aplikasi SPSS 19.0 untuk menganalisa skala tersebut dan didapat hasil sebagai berikut. 98

114 Tabel 8. Kisi-Kisi Skala Penyesuaian Diri Setelah Uji Coba Variabel Sub variable Indikator Deskriptor Penyesuaian diri Aspek-aspek di dalam penyesuaian diri 1. Presepsi terhadap realitas 2. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan 3. Gambaran diri yang positif 4. Kemampuan mengekspres ikan emosi dengan baik 5. Memiliki hubungan interpersonal yang baik Menentukan tujuan yang realistik sesuai dengan kemampuannya. Mengenali konsekuensi dan tindakannya. Mengatasi masalahmasalah yang timbul dalam hidup. Menerima kegagalan yang dialami dan berusaha untuk bangkit. Merasakan kenyamanan psikologis melalui penilaian diri sendiri dan orang lain. Memiliki ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik. Membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat dalam berteman. Item F UF Jumlah 1, 3, 5 2, 4, 6 6 7, 9, 11 13, 15, 17 19, 21, 23 25, 27, 29 31, 33, 35 37,39, 41 8, 10, 12 14, 16, 18 20, 22, 24 26, 28, 30 32, 34, 36 38,40, 42 Jumlah 42 Keterangan: Nomor yang ditebalkan dinyatakan tidak valid H. Validitas dan Reliabilitas Instrumen 1. Uji Validitas Instrumen Sebuah instrumen dapat dikatakan baik apabila instrumen tersebut dapat mengukur suatu hal yang akan diukur atau biasa disebut validitas. Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran variabel yang 99

115 diukur sesuai dengan kehendak tujuan pengukuran tersebut. Akurat dalam hal ini berarti tepat dan cermat sehingga apabila skala menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran maka dikatakan sebagai pengukuran yang memiliki validitas rendah (Saifuddin Azwar, 2013: 8). Sehingga untuk mengetahui kelayakan isi item sebagai jabaran dari indikator maka perlu dianalisis lebih dalam. Validitas logis dilakukan oleh expert judgment yaitu Dr. Budi Astuti, M. Si. (pembimbing). Setelah itu, peneliti melakukan test uji coba skala penyesuaian diri melalui test langsung terhadap beberapa orang dengan kriteria yang memasuki remaja awal. Kemudian skala penyesuaian diri tersebut dianalisis menggunakan aplikasi SPSS 19.0 untuk didapat hasil sebagai berikut. Tabel 9. Rangkuman Item Gugur dan Sahih Variabel Indikator Item Gugur Item Sahih Penyesuaian diri Presepsi terhadap realitas Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan Gambaran diri yang positif Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik Memiliki hubungan interpersonal yang baik Jumlah Item 10, 12 13, 15, 16, 19, 20 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11 14, 17, 18, 21, 22, 23, 24 25, 27 26, 28, 29, , 32, 33, 34, 35 38, 39, 41, 42 37,

116 2. Uji Reliabilitas Instrumen Reliabilitas dapat dikatakan sebagai suatu konsistensi, yang mana instrumen penelitian dikatakan mempunyai nilai reliabilitas yang tinggi apabila tes yang dibuat mempunyai hasil yang konsisten dalam mengukur yang hendak diukur (Sukardi, 2013: 127). Dengan kata lain, realibilitas menunjukan sejauh mana alat ukur dapat diandalkan sebagai alat pengumpul data. Reliabilitas instrumen ini diukur menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan bantuan SPSS Perhitungan uji realibilitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: r = reliabilitas instrumen k = Banyaknya butir pertanyaan Σσi 2 = Jumlah varian butir σ 2 = Varian total Setelah diperoleh koefisien reliabel kemudian dikonsultasikan dengan harga kategori nilai r yaitu : Tabel 10. Daftar Nilai Koefisien Nilai koefisien Kategori nilai koefisien 0,800 1,00 Sangat tinggi 0,600 0,799 Tinggi 0,400 0,599 Cukup tinggi 0,200 0,399 Rendah 0,00 0,199 Sangat rendah 101

117 Uji reliabilitas instrumen diujicobakan kepada 30 responden yang tidak terlibat dalam proses pemberian tindakan dalam penelitian.setelah dilakukan uji coba instrumen pada skala penyesuaian diri, diperoleh nilai realibilitas Alpha Cronbach sebasar 0,825. Hal ini menunjukan bahwa nilai koefisien pada instrumen ini termasuk ke dalam kategori nilai koefisien yang sangat tinggi karena terletak di antara rentang 0,800-1,00.Dengan demikian, instrumen tersebut dapat dikatakan andal dan baik, sehingga layak digunakan sebagai instrumen. I. Teknik Analisis Data Seperti yang dinyatakan oleh Sugiyono (2007: 207) bahwa, analisis data adalah kegiatan mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dan jenis responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan. Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi dan hasil pre-test dan post-test yang telah dilakukan. Penentuan kategori kecenderungan dan tiap-tiap variabel didasarkan pada norma atau ketentuan kategori. Dalam hal ini, kategori tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori tinggi. Kategori tersebut dibagi dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Menentukan skor tertinggi dan terendah Skor tertinggi = 4 X jumlah item = 4 X 28 =

118 2. Skor terendah = 1 X jumlah item = 1 X 28 = Menghitung mean ideal (M) yaitu ½ (skor tertinggi + skor terendah) M = ½ (skor tertinggi + skor terendah) = ½ ( ) = ½ (140) = Menghitung standar deviasi (SD) yaitu 1/6 (skor tertinggi- skor terendah) SD = 1/6 (skor tertinggi- skor terendah) = 1/6 (112-28) = 1/6 (84) = 14 Jadi, dapat disimpulkan bahwa batas antara kategori tersebut adalah: (M+1SD) = = 84 (M-1SD) = = 56 Tabel 11. Penentuan Kategori Skor Batas (interval) Skor < (M- 1SD) (M-1SD) skor (M+1SD) Skor > (M+1SD) Kategorisasi Rendah Sedang Tinggi 103

119 Setelah menentukan skor penilaian kategorisasi, selanjutnya dilakukan pengkategorian siswa berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dari skala penyesuaian diri dengan melakukan pendistribusian frekusensi. Tujuan analisis dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt terhadap peningkatan penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif. Seperti yang dinyatakan oleh Sugiyono (2007: 207), bahwa statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskriptifkan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. 104

120 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek Penelitian Pada penelitian ini data yang diperoleh merupakan hasil analisis dari skala penyesuaian diri dari siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah. Skala penyesuaian diri ini digunakan untuk mengukur tingkat penyesuaian diri pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah. Distribusi frekuensi yang diperoleh dari perhitungan kategori pada bab sebelumnya, dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut. Tabel 12. Distribusi Kategori Skor No. Kriteria Frekuensi Presentase (%) Kategori 1 84 < X 39 13,5 Tinggi 2 56 X Sedang 3 X < ,5 Rendah Total Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa dari 288 siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah terdapat 39 siswa (13,5%) mempunyai tingkat penyesuaian diri yang tinggi, 230 siswa (80%) mempunyai tingkat penyesuaian diri sedang atau rata-rata, dan 19 siswa (6,5%) mempunyai tingkat penyesuaian diri yang rendah. Dari jumlah presentase tersebut, sampel untuk penelitian ditentukan berdasarkan jumlah siswa yang mendapat nilai rendah pada skor pre-test. Maka didapat tabel sebagai berikut. 105

121 Tabel 13. Kategori Skor Pre-test Kelas Tinggi Sedang Rendah VII A VII B VII C VII D VII E VII F VII G VII H Jumlah Dari tabel di atas, diketahui siswa kelas VII yang termasuk ke dalam kategori rendah adalah sebanyak 19 siswa. Dari data tersebut, maka 19 siswa tersebut dijadikan sampel dalam penelitian. Namun karena situasi dan kondisi yang kurang mendukung, dari 19 siswa yang menjadi sampel hanya didapat 10 siswa sebagai sampel dengan pembagian menjadi 5 orang sebagai kelompok eksperimen dan 5 orang lainnya sebagai kelompok kontrol. Sehingga didapat sampel sebagai berikut. Tabel 14. Sampel Penelitian No. Kelompok Nama/Inisial L/P Skor Kategori Skor 1 Kelompok Eksperimen S L 53 Rendah 2 Kelompok Eksperimen FNO P 55 Rendah 3 Kelompok Eksperimen RAF L 54 Rendah 4 Kelompok Eksperimen IR P 53 Rendah 5 Kelompok Eksperimen BSA L 55 Rendah 6 Kelompok Kontrol RIR P 55 Rendah 7 Kelompok Kontrol TTR L 55 Rendah 8 Kelompok Kontrol IDJ L 54 Rendah 9 Kelompok Kontrol AYV P 55 Rendah 10 Kelompok Kontrol RAN L 54 Rendah 106

122 2. Deskripsi Kuantitatif Data Hasil Penelitian Pengambilan data pre-test dilakukan secara bertahap, yaitu pada tanggal 15, 16, dan 17 Desember Dengan rincian sebagai berikut : Tabel 15. Waktu pelaksanaan pre-test No. Tanggal Kelas 1 15 Desember Desember Desember 2016 VII A VII B VII C VII D VII E VII F VII G VII H Berikut merupakan data sampel yang berupa skor pre-test dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Tabel 16. Data Skor Pre-test Sampel Penelitian No. Kelompok Nama/ Inisial L/P Skor pretest Kategori 1 Kelompok Eksperimen S L 53 Rendah 2 Kelompok Eksperimen FNO P 55 Rendah 3 Kelompok Eksperimen RAF L 54 Rendah 4 Kelompok Eksperimen IR P 53 Rendah 5 Kelompok Eksperimen BSA L 55 Rendah 6 Kelompok Kontrol RIR P 55 Rendah 7 Kelompok Kontrol TTR L 55 Rendah 8 Kelompok Kontrol IDJ L 54 Rendah 9 Kelompok Kontrol AYV P 55 Rendah 10 Kelompok Kontrol RAN L 54 Rendah Rata-rata pre-test kelompok Eksperimen dan kelompok Kontrol 54,3 Rendah 107

123 Setelah melakukan perbandingan pre-test, peneliti melakukan treatment pada kelompok eksperimen selama 2 minggu dengan 4 kali pertemuan tiap minggunya, yaitu dilakukan pada hari Kamis dan Sabtu dengan rincian, Hari Kamis minggu pertama dilakukan treatment sebanyak 2 kali, Hari Sabtu minggu pertama dilakukan treatment sebanyak 2 kali, Hari Kamis minggu kedua dilakukan treatment sebanyak 1 kali, dan pada Hari Sabtu minggu kedua hanya untuk sharing. Setelah treatment berakhir, peneliti memberikan post-test pada hari Selasa, 19 Januari Berikut merupakan perbandingan hasil pre-test dengan hasil posttest kelompok eksperimen. Tabel 17. Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen No. Nama/Inisial L/P Skor Skor Kategori Pre-test Post-test Kategori 1 S L 53 Rendah 73 Sedang 2 FNO P 55 Rendah 75 Sedang 3 RAF L 54 Rendah 84 Tinggi 4 IR P 53 Rendah 76 Sedang 5 BSA L 55 Rendah 85 Tinggi Rata-Rata 54 Rendah 78,6 Sedang Perbedaan kategori hasil pre-test dan post-test kelompok eksperimen disajikan dalam grafik di bawah ini. 108

124 Perbandingan Kategori Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen Pre-test Post-Test Rendah Sedang Tinggi Gambar 3. Grafik Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen Pemberian post-test juga dilakukan pada kelompok kontrol pada hari yang sama, yaitu pada tanggal 19 Januari Pada kelompok kontrol, hasil pre-test dan post-test adalah sama. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 18. Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol No. Nama/Inisial L/P Skor Skor Kategori Pre-test Post-test Kategori 1 RIR P 55 Rendah 56 Sedang 2 TTR L 55 Rendah 55 Rendah 3 IDJ L 54 Rendah 55 Rendah 4 AYV P 55 Rendah 56 Sedang 5 RAN L 54 Rendah 55 Rendah Rata-Rata 54,6 Rendah 55,4 Rendah Dari data perbandingan hasil pre-test dan post-test kelompok kontrol di atas, maka dapat dilihat perbedaannya dengan grafik di bawah ini. 109

125 Perbandingan Kategori Pre-test dan Posttest Kelompok Kontrol pre-test post-test rendah sedang tinggi Gambar 4. Grafik Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol Untuk mengetahui pengaruh pemberian treatment terhadap tingkat penyesuaian diri subjek penelitian, dapat dilihat pada perbandingan skor post-test antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Perbedaan hasil post-test kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 19. Perbandingan Kategori Post-test Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol No Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol Nama/ Inisial Skor Kategori Nama/ Inisial Skor Kategori 1 S 73 Sedang RIR 56 Sedang 2 FNO 75 Sedang TTR 55 Rendah 3 RAF 84 Tinggi IDJ 55 Rendah 4 IR 76 Sedang AYV 56 Sedang 5 BSA 85 Tinggi RAN 55 Rendah Rata-Rata 78,6 55,4 Minimum Maksimum Dari tabel di atas, diketahui terdapat perbedaan yang signifikan pada skor post-test antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Dapat diketahui rata-rata hasil post-test untuk kelompok eksperimen adalah 78,6. Sedangkan rata-rata skor post-test pada 110

126 kelompok kontrol adalah 55,4. Terdapat selisih 23,2 pada hasil tersebut. Pada tabel tersebut, nilai maksimal untuk kelompok eksperimen termasuk ke dalam kategori tinggi, yaitu 85. Sedangkan nilai tertinggi pada kelompok kontrol adalah 56 yang mana termasuk ke dalam kategori sedang. Apabila disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat hasilnya sebagai berikut. Perbandingan Kategori Post-test Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol rendah sedang tinggi 0 kelompok eksperimen kelompok kontrol Gambar 5. Perbandingan Kategori Post-test Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol Dari pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa treatment yang diberikan pada kelompok eksperimen mampu memengaruhi nilai skala penyesuaian diri pada subjek penelitian. 3. Dinamika Psikologis Hasil Penelitian Treatment mulai dilakukan pada tanggal 7 Januari Treatment ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Kalimanah. Treatment dilakukan dengan 4 111

127 kali pertemuan, yaitu berlangsung selama 2 minggu dengan 4 kali pertemuan tiap minggunya, Hari Kamis dan Hari Sabtu dengan waktu menyesuaikan. Treatment ini dilakukan dengan teknik konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt yang menggunakan cara empty chair atau biasa disebut dengan teknik kursi kosong. Teknik ini dimaksudkan agar konseli dapat memahami sisi lain dari masalah yang dimiliki konseli. Dalam hal ini, masalah tersebut adalah penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah yang masih kurang. Pada prosedurnya, peneliti menjadi konselor sekaligus pengamat dan pembimbing dalam kegiatan tersebut. Dalam kegiatan tersebut, konselor juga didampingi oleh guru BK. Sebagai langkah pertama, konselor memberikan arahan terlebih dahulu sebelum melakukan konseling kelompok. Kemudian konseli duduk disandingkan dengan kursi kosong dan bercerita masalah yang dihadapinya. Setelah itu, konselor mencari akar permasalahan yang dialami konseli dan menjadikannya sebagai yang diperankan oleh konseli nantinya. Kemudian pada kelompok tersebut bergantian memberikan suatu pertanyaan terkait masalah tersebut yang kemudian dijawab oleh konseli yang sedang berperan. Kemudian konselor dan anggota kelompok mencari solusi yang tepat untuk masalah konseli tersebut. Konseling diakhiri dengan jawaban konseli yang menyatakan bahwa konseli sudah mampu mengatasi masalah tersebut. 112

128 Treatment pertama dilakukan pada hari Kamis, 7 Januari 2016 seusai sekolah. Pada pertemuan yang pertama ini, siswa yang menjadi konseli terdapat 2 orang. Konseli yang pertama yaitu berinisial BSA. BSA bercerita bahwa sebenarnya BSA merupakan siswa yang berprestasi sewaktu SD. Namun BSA merasa jika dia mulai dijauhi oleh temantemannya ketika mulai masuk SMP. BSA merasa bahwa ketika dia sedang membaca buku atau belajar di kelas, jarang sekali ada teman yang mendekatinya untuk berbicara. Sehingga BSA merasa dia harus meninggalkan buku yang dia baca dan mulai berbicara dengan temanteman. Namun ketika dia mulai berbicara dengan teman-teman, suasananya menjadi garing, seolah-olah suara tawa dari teman-teman lenyap. Setelah itu konselor memberikan konseling dengan menerapkan teknik kursi kosong tersebut. Yaitu dengan menyandingkan BSA dengan kursi kosong yang nantinya menjadi pemeran BSA itu sendiri. Dalam hal ini, konselor mendapat satu masalah yang ada pada BSA. Kemudian untuk mencari solusinya, BSA duduk di kursi yang telah disediakan. Kemudian anggota kelompok tersebut mulai bertanya tentang masalah yang bersangkutan. Perlahan konselor mencari akar permasalahannya dengan mendengar penjelasan apa yang dilakukan BSA tersebut. Selama penjelasan tentang apa yang dilakukan BSA tersebut, konselor mencari hal yang positif untuk membantu menghilangkan sifat penyendiri tersebut, yaitu dengan kata kunci serius dan sabar. Peran serius dan sabar ini membantu BSA dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar. 113

129 Bisa dimaksudkan bahwa sifat serius dari BSA dapat membantu BSA dalam belajar tentang mata pelajaran dan jugalingkungan sekitarnya. Sedangkan sifat sabar dari BSA dapat membantu BSA untuk lebih sabar dalam bersosialisasi dan menyesuaikan diri di lingkungannya. Pada sesi ke dua Hari Kamis, 7 Januari 2016, konseli yang ke dua adalah berinisial FNO. Pada sesi ini FNO duduk bersandingan dengan kursi kosong dan mulai menceritakan masalahnya pada konselor. FNO bermasalah tentang hubungan yang dimilikinya dengan teman sebangkunya ketika masih SD. FNO merasa malu untuk mencari teman lain diluar teman SD dulu. Dalam hal ini, konselor mendapat 2 masalah yang ada pada FNO, yaitu pemalu dan ragu-ragu. Pada sesi ini, konselor juga menerapkan teknik, yaitu menggunakan nama A sebagai ganti untuk sifat pemalu dan B sebagai ganti untuk sifat ragu-ragu dalam memecahkan masalah FNO. Dari hasil konseling tersebut, konselor mendapat solusi dengan menempatkan sikap jujur dari FNO agar dapat mengurangi rasa malu dan ragu-ragunya tersebut. Pada treatment hari ke dua, yaitu Sabtu, 9 Januari 2016, konselor memberikan treatment kepada 2 siswa yang menjadi konseli. Siswa yang menjadi konseli pertama adalah berinisial S. Prosedur yang digunakan sama dengan pertemuan yang sebelumnya. Pertama S duduk disandingkan dengan kursi kosong dan kemudian bercerita tentang masalahnya. Dalam hal ini, S bercerita tentang masalahnya yaitu tentang rasa marahnya yang kadang tidak terkendali dan sering melampiaskan 114

130 amarahnya dengan cara menjahili temannya atau mem-bullying temannya. Pada konseling ini, masalah yang dihadapi adalah pemarah dan pelampiasan yang salah, sebut saja A dan B. Setelah itu, anggota memberikan pertanyaan terkait dengan masalah yang dihadapi. Sebelumnya konselor memberitahukan agar tidak memberikan pertanyaan secara asal agar tidak menyinggung perasaan konseli. Pada konseling ini, konselor menemukan solusinya dengan memberikan A dan B bantuan dengan cara memanfaatkan sifat aktif dari S. Sifat Aktif dari S tersebut dimaksudkan membantu konseli untuk mengendalikan pelampiasan amarah S dengan cara mencari suatu kegiatan yang positif namun membantu meredakan rasa amarahnya. Sebagai contoh ketika S sedang meluap-luap, S harus segera mencari kertas dan bolpoin. Hal ini dimaksudkan supaya S mengekspresikan rasa amarahnya dengan coretcoret di kertas tersebut sehingga mampu mengurangi tindakan yang negatif. Pada sesi kedua Hari Sabtu, 9 Januari 2016, IR menjadi konseli yang berikutnya. Prosedur yang diterapakan sama seperti sesi yang sebelumnya. Dalam sesi ini, IR menceritakan bahwa IR sering mencari perhatian di sekolah sehingga mulai dijauhi oleh teman-temannya. Diceritakan IR merupakan anak yang manja ketika berada di rumah. Kemungkinan sifat manja tersebut menjadi masalah utamanya Setelah itu anggota bergantian memberi pertanyaan yang terkait dan dikontrol oleh peneliti serta guru BK. Konselor mengamati serta mnedengarkan 115

131 penjelasan konseli guna menemukan solusinya. Solusi tersebut menggunakan sifat rajin dari IR karena pada dasarnya IR merupakan anak yang rajin. Sifat tersebut diperlukan untuk mengatur sifat manja yang dialami IR agar mampu memahami apa yang harus dilakukan untuk mengimbangi sifat manja tersebut. Pada treatment hari ke tiga, Hari Kamis, 14 Januari 2016, RAF merupakan siswa terkahir yang akan menjadi konseli. Teknik dan prosedur yang digunakan adalah sama. Pertama, RAF duduk disandingkan dengan kursi kosong. Setelah itu RAF bercerita tentang masalah yang dihadapi. Disebutkan bahwa RAF mempunyai masalah dengan temannya yang sering mencemooh karena RAF sering diantarjemput ketika bersekolah oleh ibunya. RAF dibilang nggak laki oleh temannya karena hal tersebut. Karena hal tersebut RAF merasa minder dengan teman-teman yang lain. Berdasarkan cerita tersebut, konselor menetapkan A sebagai akar permasalahan yang dialami oleh RAF. Setelah itu anggota konseling bergantian memberikan pertanyaan kepada RAF. Setelah mendengarkan dan mengamati konseli, konselor berdiskusi dengan anggota yang lain tentang solusinya. Pada kasus ini, konselor menetapkan sifat positif dari RAF untuk membantu menghilangkan sifat minder dari RAF. Hal ini dimaksudkan agar RAF tidak terlalu memikirkan tentang cemoohan teman-temannya tersebut dan mulai melangkah maju untuk menjadi diri sendiri yang lebih baik. 116

132 Pada pertemuan terakhir, yaitu Hari Selasa, 19 Januari 2016, peneliti melakukan post-test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Post-test dilakukan karena treatment yang diberikan telah berakhir pada Hari Kamis, 14 Januari Pada akhir pertemuan ini, siswa pada kelompok eksperimen mengungkapkan perasaan senang dan puas kepada peneliti. B. Pengujian Hipotesis Pada penelitian ini, pengujian hipotesis menggunakan perhitungan SPSS statistic 19.0 dengan Uji Wilcoxon. Penelitian ini menggunakan Uji Wilcoxon karena pada Uji Wilcoxon ini peneliti menentukan apakah terdapat perbedaan yang sesungguhnya antara pasangan data yang diambil dari sampel yang terkait. Pada pengujian ini, apabila nilai signifikansi < 0,05 maka terdapat suatu perbedaan. Namun bila sebaliknya atau nilai signifikansi > 0,05 maka tidak terdapat suatu perbedaan. Berikut merupakan hasil dari Uji Wilcoxon. Tabel 20. Pengujian Hipotesis Pengujian Sig Nilai Z Keterangan Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen 0,007-2,694 H 1 diterima Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa nilai siginifikansi sebesar 0,007 yang berarti 0,007 < 0,05, sedangkan nilai Z adalah -2,694. Berdasarkan nilai Z, hal ini menunjukkan bahwa H 1 diterima. Perbedaan nilai signifikansi menandakan bahwa dalam perhitungan Uji Wilcoxon terdapat suatu perbedaan yang sangant besar antara skor pre-test 117

133 dan post-test antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa melalui pengujian hipotesis ini, H 1 diterima dan H 0 ditolak, yaitu terjadi perbedaan pada kelompok eksperimen antara sebelum treatment dan sesudah treatment yang menandakan bahwa pemberian treatment tersebut memberikan dampak yang positif bagi siswa. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara pre-test dan post-test. C. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis dengan Uji Wilcoxon, skor pre-test dan post-test kelompok eksperimen menujukkan koefesien signifikansi sebesar 0,007 dan lebih kecil dari 0,05 (taraf signifikansi 5%) sehingga terdapat perbedaan hasil antara skor pre-test dan post-test. Perbedaan tersebut dapat dilihat sebelumnya pada nilai rata-rata dan nilai masing-masing individu. Terlihat jelas terjadi peningkatan skor pada kelompok eksperimen dari rata-rata (mean) skor yang mulanya 56 meningkat menjadi 78,6. Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata (mean) skor yang mulanya 54,6 meningkat menjadi 55,4. Pengaruh yang didapat setelah pemberian treatment terhadap kelompok eksperimen ini terlihat perilakunya pada saat setelah melakukan treatment. Hal ini terlihat dari perubahan perilaku dan perubahan pada nilai post-test. Seperti yang terlihat pada siswa berinisial S yang mempunyai masalah dengan pengendalian sikap marahnya. Sebelum melakukan 118

134 treatment, S bersikap agak tegang dalam menghadapi seorang yang belum dikenal. Terlihat dengan sikap duduk yang menggambarkan seorang yang sedang gelisah, seperti melakukan gerakan-gerakan kecil dengan menggerakkan kaki ke atas dan ke bawah. Hal ini dapat menandakan bahwa orang tersebut sedang merasa gelisah dengan keadaan sekitar. Setelah dilakukannya treatment, S mengaku bahwa perasaan S saat ini menjadi lebih baik, merasa enteng dan mulai menyukai kegiatan menggambar sebagai ekspresi diri. Di samping itu, nilai S pada pre-test adalah 53 dan berada pada kategori rendah. Setelah diberikan treatment, nilai post-test S menjadi meningkat menjadi 73 dan berada pada kategori sedang. Hal ini berlaku juga terhadap anggota kelompok yang lain. Perbedaan sebelum dan sesudah diberikan treatment perbandingannya sangatlah jauh. Seperti yang telah disebutkan, tujuan konseling kelompok menurut Prayitno (2004: 2) terbagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum konseling kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Siswa pada kelompok eksperimen yang sebelumnya mendapatkan masalah pada sosialisasi dan kemampuan komunikasi, yaitu kurangnya komunikasi dengan anggota masyarakat sekolah menjadi lebih merasa percaya diri untuk memberikan tegur sapa. Setelah mendapat treatment, siswa merasakan hal yang berbeda dengan yang sebelumnya. Hal ini jelas siswa telah mendapat pengaruh hal yang positif setelah mendapatkan treatment. 119

135 Sedangkan tujuan khusus konseling kelompok terfokus pada pembahasan masalah pribadi individu peserta kegiatan layanan. Terdapat dua tujuan, yaitu terkembangnya perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap terarah pada tingkah laku khususnya dalam bersosialisasi/ komunikasi, serta terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya pemecahan masalah tersebut bagi individu-individu lain peserta layanan konseling kelompok. Dapat dilihat pada perkembangan yang dialami siswa dengan inisial S, terdapat peningkatan ketenangan dalam berpikir dan dapat mengalihkan emosi berlebihan yang terdapat pada diri S setelah mendapat treatment. Hal ini menunjukkan bahwa satu tujuan khusus telah terpeuhi, yaitu terkembangnya perasaan, pikiran, presepsi, wawasan dan sikap terarah pada tingkah laku khususnya dalam bersosialisasi/ komunikasi. Pada pemberian treatment secara tidak langsung akan memberikan manfaat pada peserta konseling yang saat itu tidak berperan sebagai konseli. Hal ini didapat melalui pemberian pertanyaan tentang masalah yang terkait dengan konseli atau berperan menjadi top dog. Selain itu, under dog atau konseli juga mendapat manfaat langsung dari proses konseling tersebut. Sehingga tujuan khusus yang kedua konseling kelompok, yaitu terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya pemecahan masalah tersebut bagi individu-individu lain peserta layanan konseling kelompok dapat terpenuhi. Seperti yang telah disebutkan, hal yang harus diperhatikan dalam konseling kelompok ini menurut Latipun (2008: 185) adalah struktur dalam 120

136 konseling kelompok, jumlah anggota kelompok, homogenitas kelompok, sifat kelompok, serta waktu pelaksanaan. Struktur dalam konseling kelompok ini terdiri dari sampel, peneliti yang berperan sebagai konselor, dan didampingi oleh guru BK. Jumlah anggota pada kelompok ini adalah 10 siswa dengan ketentuan 5 siswa menjadi kelompok eksperimen dan 5 siswa menjadi kelompok kontrol. Jumlah anggota awal dan akhir tetap sama, sehingga konsistensi kegiatan konseling kelompok ini tetap terjaga. Konseling kelompok ini termasuk ke dalam jenis kelompok heterogen karena terdapat perbedaan gender serta sifat setiap individu. Hal ini pun berdampak terhadap sifat kelompok itu sendiri. Pada kelompok eksperimen mempunyai sifat yang terbuka walaupun pada awalnya merasa malu. Hal ini disebabkan karena pada saat setelah konseling sesi pertama berlangsung, siswa merasa bahwa kegiatan ini tidak membosankan. Seperti yang telah dikatakan salah satu siswa, kegiatan ini sangat mengasyikkan dan bermanfaat karena melatih kita untuk memahami diri sendiri dan orang lain. Namun pada kelompok kontrol tidak menunjukkan perkembangan sifat. Sehingga alur komunikasi pada kelompok tersebut terlihat biasa saja. Waktu pelaksaan merupakan faktor utama dalam pengondisian sampel saat pemberian treatment. Hal ini dilakukan untuk memaksimallkan hasil yang didapat. Pada waktu pelaksanaan, proses konseling ini dilaksanakan seusai jam pelajaran terakhir usai. Pada awalnya pengaruh dilaksanakannya pada saat pelajaran selesai masih terlihat, yaitu siswa menampakkan raut wajah yang terllihat lesu dan 121

137 merasa bahwa kegiatan ini membosankan. Namun hal ini mulai berangsurangsur hilang. Treatment yang dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan dan 1 kali pertemuan terakhir dengan pemberian post-test ini telah membuktikan bahwa konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dapat mencapai tujuan serta membantu konseli dalam memecahkan masalahnya. Seperti yang telah didapat saat pemberian treatment pada konseling kelompok ini, tujuan yang telah terpenuhi antara lain membantu konseli agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh; membantu konseli menuju pencapaian integritas kepribadianya, mengatasi masalah konseli dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself), dan meningkatkan kesadaran individual agar konseli dapat berperilaku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (all problematic situasion) yang muncul dan selalu akan muncul, dapat di atasi dengan baik. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dapat meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas VII. Dengan ditambahkan teknik empty chair pada pendekatan Gestalt telah membuktikan bahwa layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga. 122

138 D. Keterbatasan Penelitian Meskipun penelitian ini telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, penelitian ini tetap memiliki keterbatasan. Keterbatasan tersebut antara lain yang pertama adalah waktu pemberian treatment yang sangat terbatas, yaitu setelah pulang sekolah dan intensitas bertemu siswa hanya pada waktu pemberian treatment saja, sehingga peneliti tidak mengetahui faktor yang mempengaruhi di luar waktu pemberian treatment. Yang kedua adalah tidak dirancangnya dinamika kelompok dan hanya menggunakan teknik konseling saja. 123

139 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah. Hasil uji hipotesis dengan Uji Wilcoxon menunjukkan skor pre-test dan post-test kelompok eksperimen menunjukkan koefisien signifikansi sebesar 0,007 dan lebih kecil dari 0,05 (taraf signifikansi 5%) sehingga terdapat perbedaan hasil antara skor pre-test dan post-test. Hal ini membuktikan bahwa terdapat peningkatan setelah dilakukannya treatment pada kelompok eksperimen. Adanya peningkatan ini ditunjukkan dengan adanya perubahan rata-rata skor post-test kelompok eksperimen, yaitu dengan nilai 54 pada mulanya berubah menjadi 78,6 dan adanya perbedaan rata-rata skor post-test yang jauh antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, yaitu 78,6 untuk kelompok eksperimen dan 55,4 untuk kelompok kontrol. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pemberian treatment melalui konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt berpengaruh terhadap peningkatan penyesuaian diri pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah. 124

140 B. Saran Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini antara lain: 1. Bagi Siswa Bagi siswa yang tingkat penyesuaian dirinya masih tergolong rendah dapat meningkatkan penyesuaian diri tersebut dengan cara menerapkan dasar dari teknik empty chair tersebut, yaitu melakukan introspeksi diri, mampu memahami potensi diri sendiri, dan mampu memahami situasi dan kondisi lingkungan sekitar. Dengan hal tersebut diharapkan siswa dapat melakukan penyesuaian diri yang positif. 2. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa teknik konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt yang menggunakan teknik empty chair tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswa. Bagi guru bimbingan dan konseling dapat menerapkan teknik ini dengan mengganti setting dialog agar siswa dapat merasa nyaman dan senang dalam konseling. Sehingga bagi guru bimbingan dan konseling akan lebih baik jika teknik tersebut diterapkan. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini hanya sebatas menguji efektivitas layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt tehadap peningkatan penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah saja. Oleh sebab itu, peneliti selanjutnya dapat menggunakan konseling kelompok dengan teknik lain dengan mempertimbangkan lingkup dan waktu penelitian. 125

141 DAFTAR PUSTAKA Abu Ahmadi. (2002). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Akhmad Sudrajad. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran dalam Paradigma Baru. Yogyakarta: Paramita Production. Amat Jaedun. (2011). Metodologi Penelitian Eksperimen, Pelatiahan, Penulisan. Artikel Ilmiah. LPMP Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Anas Sudijono. (2006). Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Andi Mappiare. (1982). Psikologi Remaja. Yogyakarta: Usaha Nasional. Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan oleh E. Koeswara. Jakarta: ERESCO (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama. Dedi Sutedi. (2005). Pengantar Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang. Bandung: UPI. Dewa Ketut Sukardi dan Desak Nila Kusmawati. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta (2008). Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Rineka Cipta. Djaali. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Endang Poerwanti dan Nur Widodo. (2000). Perkembangan Peserta Didik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Fatimah. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia. Gibson, Robert L dan Mitchell, Marianne H. (2011). Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Gudnanto. (2012). Pendekatan Konseling. UMK. FKIP. 126

142 Hurlock, Elizabeth B. (1991). Psikologi Perkembangan: (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan). Alih Bahasa Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga (2007). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan edisi kelima. (alih Bahasa: Dra. Istiwidayanti & Drs. Soedjarwo). Jakarta: PT Erlangga. Issaq, Stephen & Michael, Wlliam B. (1982). Handbook in Research and Evaluation. San Diego, California: EdITS Publishers. Jonathan Sarwono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kartono. (2000). Hygiene Mental. Bandung: CV. Mandar Maju. Latipun. (2008). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press. Lazarus. (1961). Adjusment Personality. New York: MCGrow Hill Book Company. M. Ali & M. Asrori. (2005). Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara. Mubin & Ani Cahyadi. (2006). Psikologi perkembangan. Jakarta: Quantum Teaching (PT. Ciputat Press Group). Muhibbin Syah. (2010). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. N.M. Lubis. (2013). Psikologi Kespro Wanita dan Perkembangan Reproduksinya Ditinjau dari Aspek Fisik dan Psikologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Novikarisma Wijaya. (2007). Hubungan Antara Keyakinan Diri Akademik Dengan Penyesuaian Diri Siswa Tahun Pertama Sekolah Asrama SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan. Jurnal. Download Tanggal 16 Februari Nurul Zuriah. (2006). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Purnomo Yusuf dan Mulyaningtyas Renita. (2006). Bimbingan dan konseling SMA untuk kelas X. Erlangga. 127

143 Prayitno. (2004). Layanan Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok. Padang: Universitas Negeri Padang. Prayitno dan Erman Amti. (1999). Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta. Subandi. (2002). Psikoterapi: Pendekatan konvensional dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugeng Hariyadi, dkk. (2003). Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT MKDK Unnes. Sukardi. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Tindakan Kelas, Implementasi, dan Pengembangannya. Jakarta: PT. Bumi Askara. Sayekti Pujosuwarno. (1993). Berbagai Pendekatan Dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mas Offset. Ratna Aryani. (2010). Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Salemba Medika: Jakarta. Rita Eka Izzaty, dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta; UNY Press. Rosjidan. (1988). Pengantar Teori-Teori Konseling. Jakarta: Depdikbud. Saifuddin Azwar. (2013). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Schneiders, Alexander. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Rinehart & Winston. Schultz, Duane. (1991). Psikologi Pertumbuhan. Cetakan ke-15. Kanisius: Yogyakarta Sciarra, Daniel. (2007). School Counselling. USA: Cole-Thomson Learning. Sri Rumini & Siti Sundari. (2004). Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta : Rineka Cipta. Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantiatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta (2010). Metode Penelitian Kuantiatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 128

144 Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta Rineka Cipta. Susanto, Astrid S. (1975). Pendapat Umum. Bandung: Bina Cipta. Syamsu Yusuf. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: P.T Remaja Rosdakarya. Tohirin. (2007). Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Triantoro Safaria. (2005). Terapi & Konseling Gestalt. Yogyakarta: Graha Ilmu. Tri Marsiyanti dan Farida Harahap. (2000). Psikologi Keluarga. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. W.A. Gerungan. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. W.S. Winkel & Sri Hastuti. (2005). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: FKIP Universitas Sanata Dharma. Willis, Sofyan S. (2004). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta Yusuf dan Nurihsan. (2006). Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: PT. Revika Aditama. 129

145 LAMPIRAN 130

146 Lampiran 1. Hasil Observasi Hasil Observasi No. Daftar observasi 1. Pemahaman siswa terhadap konseling kelompok sebelum proses konseling 2. Partisipasi siswa saat mengikuti proses konseling kelompok 3. Keaktifan siswa selama proses konseling kelompok 4. Antusiasme siswa saat mengikuti konseling kelompok Hasil Pengamatan Muncul Tidak Muncul Keterangan Siswa belum pernah menjalani konseling kelompok sebelumnya. Pada awalnya siswa masih canggung dengan kegiatan tersebut. Namun setelah sesi 1 dan 2 berakhir siswa mulai menunjukkan ketertarikkannya terhadap konseling kelompok tersebut. Keaktifan siswa selama konseling dirasa cukup baik. Hal ini ditandai dengan anggota kelompok yang sering bertanya dan membantu untuk memecahkan masalah yang dialami under dog. Antusiasme siswa dalam mengikuti konseling kelompok dapat dikatakan cukup baik karena selain terlihat dari keaktifan siswa, antusiasme siswa dapat dilihat setelah kegiatan konseling kelompok berakhir, yaitu dengan 131

147 5. Kerjasama siswa selama proses konseling kelompok 6. Antusiasme siswa setelah mengikuti konseling kelompok 7. Pemahaman siswa terhadap konseling kelompok setelah proses konseling kelompok bertanya-tanya seputar konseling kelompok. Kerjasama siswa dalam proses konseling kelompok ini pada awalnya tidak begitu kompak karena mereka merupakan siswa dari kelas yang berbeda. Namun setelah sesi 1 dan 2 siswa perlahan membangun kerjasama kelompok. Hal ini ditandai dengan adanya kerjasama dalam memecahkan masalah. Antusiasme siswa setelah mengikuti konseling kelompok terlihat dengan keaktifan siswa dalam bertanya seputar konseling kelompok. Pemahaman siswa akan konseling kelompok terlihat dari perubahan sikap siswa yang berbeda dari sebelumnya yang tentunya menuju ke arah positif. 132

148 Lampiran 2. Pemberian Treatment Treatment Pertemuan 1 Sesi 1 Kamis, 7 Januari 2016 Nama konseli : BSA Anggota : S, FNO, RAF, IR Pendamping I : Peneliti Pendamping II : Guru BK Treatment Pertemuan 1 Sesi 2 Kamis, 7 Januari 2016 Nama konseli : FNO Anggota : S, BSA, RAF, IR Pendamping I : Peneliti Pendamping II : Guru BK Treatment Pertemuan 2 Sesi 1 Sabtu, 9 Januari 2016 Nama konseli : S Anggota : FNO, BSA, RAF, IR Pendamping I : Peneliti Pendamping II : Guru BK 133

149 Treatment Pertemuan 2 Sesi 2 Sabtu, 9 Januari 2016 Nama konseli : IR Anggota : BSA, FNO, RAF, S Pendamping I : Peneliti Pendamping II : Guru BK Treatment Pertemuan 3 Sesi 1 Kamis, 14 Januari 2016 Nama konseli : RAF Anggota : S, FNO, BSA, IR Pendamping I : Peneliti Pendamping II : Guru BK 134

150 Lampiran 3. Instrumen Uji Coba Skala Penyesuaian Diri INSTRUMEN UJI COBA PENELITIAN SKALA PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALIMANAH, PURBALINGGA Oleh Kharisma Hilda Liyartanti NIM PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

151 Kepada, Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Kalimanah, Purbalingga Dengan hormat, Disela kesibukan belajar anda, kami meminta bantuan kesediaan anda untuk mengisi skala penyesuaian diri yang akan kami sampaikan berikut ini. Skala penyesuaian diri ini disusun untuk memperoleh data tentang penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalimanah, Purbalingga. Dalam upaya pengambilan data tentang penyesuaian diri siswa kelas VII, diharapkan para siswa memberikan informasi sejujur-jujurnya. Skala penyesuaian diri ini bukanlah suatu tes yang mepengaruhi nilai raport para siswa sekalian. Identitas dan jawaban atas pertanyaan yang kami peroleh tetap dijamin kerahasiaannya. Dengan demikian jawaban yang obyektif dan jujur dari para siswa sangat kami harapkan. Atas kesediaan dan kerjasama para siswa dalam membantu memberikan informasi, kami mengucapkan terima kasih. Yogyakarta, 11 Desember 2015 Peneliti 136

152 SKALA PENYESUAIAN DIRI IDENTITAS DIRI 1. Nama lengkap : 2. Jenis kelamin : L / P 3. Kelas :.. 4. Tanggal pengisian :.. PETUNJUK PENGISIAN 1. Isilah identitas diri secara lengkap pada bagian yang telah disediakan 2. Bacalah terlebih dahulu butir pernyataan pada kolom pernyataan dengan cermat dan teliti, kemudian jawablah dengan memberikan tanda check list ( ) pada salah satu pilihan jawaban yang sesuai dengan keadaan masingmasing yang sebenarnya pada kolom jawaban yang telah disediakan. Berikut keterangan pilihan jawaban : SS S TS STS : Sangat Sesuai : Sesuai : Tidak Sesuai : Sangat Tidak Sesuai Contoh : No. Pernyataan Jawaban SS S TS STS 1. Saya belajar agar nilai ujian saya bagus. Contoh di atas berarti, saya belajar supaya nilai ujian saya bagus. Apabila ingin mengganti jawaban yang salah, maka berilah dua garis horizon (=) pada jawaban yang dianggap salah, kemudian berilah tanda check list ( ) pada pilihan jawaban yang benar. Jawaban No. Pernyataan SS S TS STS 1. Saya belajar agar nilai ujian saya bagus. 137

153 SKALA PENYESUAIAN DIRI No. Pernyataan 1. Saya tidak akan belajar jika tidak diperlukan 2. Saya akan bermain meskipun masih banyak tugas dari sekolah 3. Saya gengsi jika harus meminta bantuan pada teman 4. Saya mencontek teman yang lebih pintar agar tidak mendapat hasil yang buruk saat ujian 5. Saya merasa dikucilkan oleh teman-teman karena kelemahan saya Saya malu untuk bercerita kepada orangtua saya tentang masalah yang sedang saya 6. hadapi 7. Saya menganggap bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai seorang siswa 8. Saya belajar karena belajar itu untuk masa depan 9. Saya hanya akan mencari bantuan jika saya benar-benar tidak bisa menyelesaikan masalah pribadi saya 10. Saya belajar kelompok dengan teman untuk memperbaiki nilai pelajaran di sekolah menjadi lebih baik 11. Saya pernah mendapat kritik dari orang terdekat saya dan saya menerimanya 12. Jika ada teman yang mencela saya, saya akan memarahinya dan memukulnya 13. Saya lebih senang keluar rumah untuk bersosialisasi daripada bermalas-malasan di rumah 14. Saya belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus 15. Saya lebih senang tidur daripada mengerjakan tugas sekolah 16. Jika saya kesulitan mengerjakan tugas sekolah saya akan bertanya pada guru saya 17. Menurut saya, bermain merupakan kebutuhan siswa 18. Saya memilih bermain ketika mendapat nilai buruk di sekolah 19. Saya hanya akan bermain ketika saya sudah selesai mengerjakan tugas dari sekolah 20. Saat mendapat nilai buruk di sekolah, saya akan lebih giat untuk belajar 21 Saya termotivasi ketika mendapatkan nasihat dari orangtua saya 22. Saya akan marah apabila ada seseorang yang mencela orang yang saya sayangi 23. Saya lebih memilih berdiam diri di rumah ketika tidak ada yang mengajak saya pergi 24. Saya belajar agar nilai ujian saya bagus 25. Saya beribadah tepat pada waktunya agar menambah nilai keagamaan saya 26. Saya malu untuk meminta bantuan kepada orang lain 27. Saya lebih tertarik untuk membantu teman lawan jenis saya 28. Saya merasa direndahkan oleh orang yang memberikan kritik kepada saya 29. Saya tidak terlalu peduli dengan tingkah konyol teman-teman saya 30. Saya bercerita kepada orangtua saya tentang keseharian saya di sekolah 31. Saya ingin bebas melakukan apa saja yang saya inginkan 32. Saya membantu pekerjaan ibu di rumah hanya ketika saya menginginkan sesuatu saja 33. Saya menyalahkan keadaan apabila saya mendapatkan masalah Jawaban SS S TS STS 138

154 No. Pernyataan 34. Saya bekerja sama dengan teman saya ketika ujian agar tidak mendapat nilai yang buruk 35. Saya mengabaikan kritik yang diberikan orang lain 36. Kadang tingkah konyol teman saya dapat membuat saya tertawa 37. Saya tidak peduli pada siapa saya akan memberikan bantuan 38. Saya akan membaca buku ketika saya menemukan dalam memahami materi 39. pelajaran Saya akan mencari cara belajar yang lebih efektif ketika saya mendapat kegagalan dalam pelajaran 40. Saya suka melempar benda ketika sedang marah 41. Saya merasa senang jika saya berkumpul dengan teman-teman saya 42. Saya berusaha menjaga sikap saya terhadap orang lain Jawaban SS S TS STS --- TERIMA KASIH-- 139

155 Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Uji Coba Skala Penyesuaian Item Sub Jumlah UF UF UF UF UF UF F F F F F UF F F UF F UF UF F F F F UF F F UF UF UF UF F UF UF UF UF UF F F F F UF F F F UF KET : ITEM FAVORABLE ITEM UNFAVORABLE HASIL UJI COBA SKALA PENYESUAIAN DIRI 140

156 Reliability Scale: ALL VARIABLES Case Processing Summary N % Cases Valid ,0 Excluded a 0,0 Total ,0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items, Item-Total Statistics Cronbach's Scale Mean if Scale Variance Corrected Item- Alpha if Item Item Deleted if Item Deleted Total Correlation Deleted VAR ,80 134,028,339,821 VAR ,30 136,148,321,821 VAR ,57 139,426,108,826 VAR ,97 131,964,361,820 VAR ,33 138,023,192,824 VAR ,07 130,892,402,818 VAR ,97 136,723,384,821 VAR ,90 136,921,335,822 VAR ,57 138,323,170,825 VAR ,60 137,145,149,826 VAR ,80 133,476,499,818 VAR ,40 137,903,141,

157 VAR ,33 136,506,212,824 VAR ,87 135,775,453,820 VAR ,23 129,564,554,814 VAR ,63 128,861,598,813 VAR ,57 136,530,269,823 VAR ,53 136,120,401,821 VAR ,50 131,569,417,818 VAR ,37 131,551,462,817 VAR ,50 136,534,348,821 VAR ,63 143,551 -,141,837 VAR ,20 139,683,022,831 VAR ,90 133,748,537,817 VAR ,40 131,352,587,815 VAR ,90 134,369,286,822 VAR ,23 129,771,704,812 VAR ,90 132,990,396,819 VAR ,37 142,585 -,106,833 VAR ,07 129,926,537,815 VAR ,37 132,516,369,819 VAR ,83 132,833,309,822 VAR ,77 133,289,298,822 VAR ,23 130,254,370,819 VAR ,70 134,493,399,820 VAR ,63 144,033 -,173,836 VAR ,83 140,420 -,006,831 VAR ,57 133,151,455,818 VAR ,57 131,151,541,815 VAR ,83 132,075,328,821 VAR ,30 134,424,258,823 VAR ,30 141,872 -,073,

158 Lampiran 5. Skala Penyesuaian Diri INSTRUMEN PENELITIAN SKALA PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH, PURBALINGGA Oleh Kharisma Hilda Liyartanti NIM PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

159 Kepada, Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga Dengan hormat, Disela kesibukan belajar anda, kami meminta bantuan kesediaan anda untuk mengisi skala penyesuaian diri yang akan kami sampaikan berikut ini. Skala penyesuaian diri ini disusun untuk memperoleh data tentang penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga. Dalam upaya pengambilan data tentang penyesuaian diri siswa kelas VII, diharapkan para siswa memberikan informasi sejujur-jujurnya. Skala penyesuaian diri ini bukanlah suatu tes yang mepengaruhi nilai raport para siswa sekalian. Identitas dan jawaban atas pertanyaan yang kami peroleh tetap dijamin kerahasiaannya. Dengan demikian jawaban yang obyektif dan jujur dari para siswa sangat kami harapkan. Atas kesediaan dan kerjasama para siswa dalam membantu memberikan informasi, kami mengucapkan terima kasih. Yogyakarta, 11 Desember 2015 Peneliti 144

160 SKALA PENYESUAIAN DIRI IDENTITAS DIRI 5. Nama lengkap : 6. Jenis kelamin : L / P 7. Kelas : 8. Tanggal pengisian : PETUNJUK PENGISIAN 3. Isilah identitas diri secara lengkap pada bagian yang telah disediakan 4. Bacalah terlebih dahulu butir pernyataan pada kolom pernyataan dengan cermat dan teliti, kemudian jawablah dengan memberikan tanda check list ( ) pada salah satu pilihan jawaban yang sesuai dengan keadaan masingmasing yang sebenarnya pada kolom jawaban yang telah disediakan. Berikut keterangan pilihan jawaban : SS S TS STS : Sangat Sesuai : Sesuai : Tidak Sesuai : Sangat Tidak Sesuai Contoh : No. Pernyataan Jawaban SS S TS STS 1. Saya belajar agar nilai ujian saya bagus. Contoh di atas berarti, saya belajar supaya nilai ujian saya bagus. Apabila ingin mengganti jawaban yang salah, maka berilah dua garis horizon (=) pada jawaban yang dianggap salah, kemudian berilah tanda check list ( ) pada pilihan jawaban yang benar. Jawaban No. Pernyataan SS S TS STS 1. Saya belajar agar nilai ujian saya bagus. 145

161 SKALA PENYESUAIAN DIRI No Pernyataan 1. Saya tidak akan belajar jika tidak diperlukan 2. Saya akan bermain meskipun masih banyak tugas dari sekolah 3. Saya gengsi jika harus meminta bantuan pada teman 4. Saya mencontek teman yang lebih pintar agar tidak mendapat hasil yang buruk saat ujian 5. Saya merasa dikucilkan oleh teman-teman karena kelemahan saya Saya malu untuk bercerita kepada orangtua saya tentang masalah yang sedang 6. saya hadapi 7. Saya menganggap bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai seorang siswa 8. Saya belajar karena belajar itu untuk masa depan 9. Saya hanya akan mencari bantuan jika saya benar-benar tidak bisa menyelesaikan masalah pribadi saya 10. Saya pernah mendapat kritik dari orang terdekat saya dan saya menerimanya 11. Saya belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus 12. Menurut saya, bermain merupakan kebutuhan siswa 13. Saya memilih bermain ketika mendapat nilai buruk di sekolah 14. Saya termotivasi ketika mendapatkan nasihat dari orangtua saya 15. Saya akan marah apabila ada seseorang yang mencela orang yang saya sayangi 16. Saya lebih memilih berdiam diri di rumah ketika tidak ada yang mengajak saya pergi 17. Saya belajar agar nilai ujian saya bagus 18. Saya malu untuk meminta bantuan kepada orang lain 19. Saya merasa direndahkan oleh orang yang memberikan kritik kepada saya 20. Saya tidak terlalu peduli dengan tingkah konyol teman-teman saya 21 Saya bercerita kepada orangtua saya tentang keseharian saya di sekolah 22. Saya ingin bebas melakukan apa saja yang saya inginkan Saya membantu pekerjaan ibu di rumah hanya ketika saya menginginkan sesuatu 23. saja 24. Saya menyalahkan keadaan apabila saya mendapatkan masalah 25. Saya bekerja sama dengan teman saya ketika ujian agar tidak mendapat nilai yang buruk 26. Saya mengabaikan kritik yang diberikan orang lain 27. Saya tidak peduli pada siapa saya akan memberikan bantuan 28. Saya suka melempar benda ketika sedang marah Jawaban SS S TS STS ---TERIMA KASIH

162 Lampiran 6. Daftar Skor Pre-test Kelas: VII A DAFTAR SKOR PRETEST SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH No. Inisial Gender Skor 1 AR P 86 2 ANP L 85 3 ADZ P 70 4 AN P 73 5 AS L 66 6 ANN P 68 7 AYV P 55 8 BNH L 70 9 CFP P COK P DEF P FSY P FAL P FIK P FSE L FIS P HAL L IAS L JKR L LA P ND P PAD L RFT L RCP L RSP P RTD P RMU L RSY L SIN P SS P SW P TWY P TW L VNR P VR L WAA P 80 Jumlah Rata-Rata Skor 71,5 147

163 DAFTAR SKOR PRETEST SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH Kelas: VII B No. Inisial Gender Skor 1 AF L 67 2 APU L 68 3 AFA L 84 4 AAL L 81 5 AA L 75 6 AHI P 84 7 AZ P 86 8 BAG L 75 9 DEA P DSA P DAP P DLP P DNH P EAN P EN P EHA P HM L HAS P IN P LSU L LEU P MV L MHY L MNC L MKU L MHA P MSH P NPE P NAG P RF L SNU L SAD P SRA P SRI L TTR L WUC P 75 Jumlah Rata-Rata Skor 74,44 148

164 DAFTAR SKOR PRETEST SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH Kelas: VII C No. Inisial Gender Skor 1 AAN P 77 2 ATR P 75 3 AGS L 70 4 ANJ L 55 5 ADW P 80 6 AKM L 81 7 CNA P 78 8 D P 82 9 DNF P DSE P DAS L DSP P FSE L FAK L HAR L HFK P IDJ L ISN P IW L ITH P LR P MAA P MI L MVI L NHA P NNU P RDN L RRE L RZM L SR P SIS P SYU L SHF P TDF L YFA P YER P 68 Jumlah Rata-Rata Skor 71,95 149

165 DAFTAR SKOR PRETEST SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH Kelas: VII D No. Inisial Gender Skor 1 ADP L 84 2 ANR P 78 3 ASO P 68 4 BS L 66 5 BSA L 55 6 DNK P 73 7 DAY P 70 8 ESC P 68 9 FOK P GK P HGD L HTA L HFT L IM L LJA L MCA P MAY P MF L MNZ P NAW P NFI P NC L NUA P PA P PDN P PMZ L RAN L RAP L RHZ L RIR P SNU L SDN P UHA P WSS L YOK P ZME P 70 Jumlah Rata-Rata Skor 70,58 150

166 DAFTAR SKOR PRETEST SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH Kelas: VII E No. Inisial Gender Skor 1 ANI L 78 2 APR P 85 3 AFP P 84 4 AWJ L 70 5 AD P 73 6 BR L 70 7 BNA L 68 8 DFR L 55 9 EN P FHS L FS P GG L IAF P IMF L JEP P LES P LWI P MOS L NAA L NEV P NAJ P NDS P N P PW P RMM P RDA P RFE L RR L RPP P SSU P SIA L SH L TM L TNU L VKA P YIS P 80 Jumlah Rata-Rata Skor 74,5 151

167 DAFTAR SKOR PRETEST SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH Kelas: VII F No. Inisial Gender Skor 1 AOM P 85 2 APP L 75 3 ANZ P 68 4 AHP P 80 5 DYA L 80 6 DSA P 75 7 DI P 70 8 DPM L 68 9 EH P FTG L FNO P HAS P IRC L ISY L IR P MNL L RMD L RA P RAF L R L RNI P SFR L SSU P SSE L S L SM P SYD L TNZ P TNG P TAD L TYU P VSF P VSD P VF P WAN P WCA L 55 Jumlah Rata-Rata Skor 68,58 152

168 DAFTAR SKOR PRETEST SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH Kelas: VII G No. Inisial Gender Skor 1 AIR L 78 2 ALM P 84 3 AMF P 80 4 AJP L 78 5 AIP P 81 6 DJW L 75 7 DFK L 86 8 EFI P 76 9 FHE L F L FAS P FAR L FNQ P FPU P GOD L GAF L GAH L HMP P INK L IL L IPR L INF P ING P KMT P LNS P LMA L MLO P NFE L OWC P RM L RFD P SAW P SA P SDL P WSR P YPM P 78 Jumlah Rata-Rata Skor 73,45 153

169 DAFTAR SKOR PRETEST SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH Kelas: VII H No. Inisial Gender Skor 1 AHQ L 65 2 AHS P 78 3 ANK P 80 4 ARD P 83 5 BAL L 55 6 CWA P 78 7 DAR L 75 8 DAM P 68 9 DAP P DDH L EER P EAM P EAS P FFA P FAD L FGF L FAL L GR L HFM P LLA L MEN P MAU P NSE L RWR P RML L RFZ P RG L SF P SYA P SY L TAK P VPP L VAZ P WAM L YR L ZA L 68 Jumlah Rata-Rata Skor 70,7 154

170 No. Inisial Penyesuaian Diri Skor Kategori 1 AR Tinggi 2 ANP Tinggi 3 ADZ Sedang 4 AN Sedang 5 AS Sedang 6 ANN Sedang 7 AYV Rendah 8 BNH Sedang 9 CFP Sedang 10 COK Sedang 11 DEF Sedang 12 FSY Tinggi 13 FAL Sedang 14 FIK Sedang 15 FSE Rendah 16 FIS Sedang 17 HAL Sedang 18 IAS Sedang 19 JKR Tinggi 20 LA Sedang 21 ND Sedang 22 PAD Sedang 23 RFT Sedang 155

171 24 RCP Sedang 25 RSP Sedang 26 RTD Sedang 27 RMU Sedang 28 RSY Sedang 29 SIN Tinggi 30 SS Sedang 31 SW Sedang 32 TWY Tinggi 33 TW Sedang 34 VNR Sedang 35 VR Sedang 36 WAA Sedang 37 AF Sedang 38 APU Sedang 39 AFA Sedang 40 AAL Sedang 41 AA Sedang 42 AHI Sedang 43 AZ Tinggi 44 BAG Sedang 45 DEA Sedang 46 DSA Sedang 47 DAP Sedang 48 DLP Sedang 156

172 49 DNH Sedang 50 EAN Sedang 51 EN Sedang 52 EHA Sedang 53 HM Tinggi 54 HSA Sedang 55 IN Sedang 56 LSU Sedang 57 LEU Sedang 58 MV Sedang 59 MHY Sedang 60 MNC Sedang 61 MKU Sedang 62 MHA Sedang 63 MSH Sedang 64 NPE Sedang 65 NAG Sedang 66 RF Sedang 67 SNU Sedang 68 SAD Sedang 69 SRA Sedang 70 SRI Sedang 71 TTR Rendah 72 WUC Sedang 73 AAN Sedang 157

173 74 ATR Sedang 75 AGS Sedang 76 ANJ Rendah 77 ADW Sedang 78 AKM Sedang 79 CNA Sedang 80 D Sedang 81 DNF Sedang 82 DSE Sedang 83 DAS Sedang 84 DSP Sedang 85 FSE Sedang 86 FAK Sedang 87 HAR Sedang 88 HFK Sedang 89 IDJ Rendah 90 ISN Sedang 91 IW Sedang 92 ITH Sedang 93 LR Sedang 94 MAA Sedang 95 MI Tinggi 96 MVI Sedang 97 NHA Tinggi 98 NNU Sedang 158

174 99 RDN Sedang 100 RRE Sedang 101 RZM Sedang 102 SR Sedang 103 SIS Sedang 104 SYU Sedang 105 SHF Tinggi 106 TDF Sedang 107 YFA Sedang 108 YER Sedang 109 ADP Sedang 110 ANR Sedang 111 ASO Sedang 112 BS Sedang 113 BSA Rendah 114 DNK Sedang 115 DAY Sedang 116 ESC Sedang 117 FOK Sedang 118 GK Sedang 119 HGD Sedang 120 HTA Sedang 121 HFT Sedang 122 IM Sedang 123 LJA Sedang 159

175 124 MCA Sedang 125 MAY Sedang 126 MF Sedang 127 MNZ Sedang 128 NAW Tinggi 129 NFI Sedang 130 NC Sedang 131 NUA Sedang 132 PA Sedang 133 PDN Sedang 134 PMZ Sedang 135 RAN Rendah 136 RAP Sedang 137 RHZ Sedang 138 RIR Rendah 139 SNU Sedang 140 SDN Sedang 141 UHA Sedang 142 WSS Sedang 143 YOK Sedang 144 ZME Sedang 145 ANI Sedang 146 APR Tinggi 147 AFP Sedang 148 AWJ Sedang 160

176 149 AD Sedang 150 BR Sedang 151 BNA Sedang 152 DFR Rendah 153 EN Sedang 154 FHS Sedang 155 FS Sedang 156 GG Sedang 157 IAF Sedang 158 IMF Sedang 159 JEP Sedang 160 LES Sedang 161 LWI Sedang 162 MOS Sedang 163 NAA Sedang 164 NEV Sedang 165 NAJ Sedang 166 NDS Sedang 167 N Sedang 168 PW Sedang 169 RMM Sedang 170 RDA Sedang 171 RFE Tinggi 172 RR Sedang 173 RPP Sedang 161

177 174 SSU Sedang 175 SIA Sedang 176 SH Sedang 177 TM Rendah 178 TNU Sedang 179 VKA Sedang 180 YIS Sedang 181 AOM Tinggi 182 APP Sedang 183 ANZ Sedang 184 AHP Sedang 185 DYA Sedang 186 DSA Sedang 187 DI Sedang 188 DPM Sedang 189 EH Sedang 190 FTG Sedang 191 FNO Rendah 192 HSA Sedang 193 IRC Sedang 194 ISY Sedang 195 IR Rendah 196 MNL Sedang 197 RMD Sedang 198 RA Sedang 162

178 199 RAF Rendah 200 R Sedang 201 RNI Sedang 202 SFR Sedang 203 SSU Sedang 204 SSE Sedang 205 S Rendah 206 SM Sedang 207 SYD Sedang 208 TNZ Sedang 209 TNG Sedang 210 TAD Sedang 211 TYU Sedang 212 VSF Sedang 213 VSD Sedang 214 VF Sedang 215 WAN Tinggi 216 WCA Rendah 217 AIR Sedang 218 ALM Sedang 219 AMF Sedang 220 AJP Sedang 221 AIP Sedang 222 DJW Sedang 223 DFK Tinggi 163

179 224 EFI Sedang 225 FHE Sedang 226 F Sedang 227 FAS Sedang 228 FAR Sedang 229 FNQ Sedang 230 FPU Tinggi 231 GOD Sedang 232 GAF Sedang 233 GAH Rendah 234 HMP Sedang 235 INK Sedang 236 IL Sedang 237 IPR Sedang 238 INF Sedang 239 ING Sedang 240 KMT Sedang 241 LNS Sedang 242 LMA Sedang 243 MLO Sedang 244 NFE Sedang 245 OWC Sedang 246 RM Sedang 247 RFD Sedang 248 SAW Sedang 164

180 249 SA Sedang 250 SDL Sedang 251 WSR Sedang 252 YPM Sedang 253 AHQ Sedang 254 AHS Sedang 255 ANK Sedang 256 ARD Sedang 257 BAL Rendah 258 CWA Sedang 259 DAR Sedang 260 DAM Sedang 261 DAP Sedang 262 DDH Sedang 263 EER Sedang 264 EAM Sedang 265 EAS Sedang 266 FFA Sedang 267 FAD Sedang 268 FGF Rendah 269 FAL Sedang 270 GR Rendah 271 HFM Tinggi 272 LLA Sedang 273 MEN Sedang 165

181 274 MAU Sedang 275 NSE Sedang 276 RWR Tinggi 277 RML Sedang 278 RFZ Sedang 279 RG Sedang 280 SF Tinggi 281 SYA Sedang 282 SY Tinggi 283 TAK Sedang 284 VPP Sedang 285 VAZ Sedang 286 WAM Sedang 287 YR Sedang 288 ZA Sedang 166

182 Lampiran 7. Hasil skor Post-test No. Inisial Penyesuaian Diri Nilai Total Kategori 1 S Sedang 2 FNO Sedang 3 RAF Tinggi 4 IR Sedang 5 BSA Tinggi 6 RIR Sedang 7 TTR Rendah 8 IDJ Rendah 9 AYV Sedang 10 RAN Rendah 167

183 Lampiran 8. Hasil Analisis Uji Wicoxon NPar Tests [DataSet1] Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N Mean Rank Sum of Ranks Sesudah - Sebelum Negative Ranks 0 a,00,00 Positive Ranks 9 b 5,00 45,00 Ties 1 c Total 10 a. Sesudah < Sebelum b. Sesudah > Sebelum c. Sesudah = Sebelum Test Statistics a Sesudah - Sebelum Z -2,694 b Asymp. Sig. (2-tailed),007 a. Wilcoxon Signed Ranks Test b. Based on negative ranks. NEW FILE. DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT. 168

184 Lampiran 9. Persetujuan Proposal Skripsi 169

185 Lampiran 10. Surat Ijin Penelitian 170

186 171

187 172

188 173

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS KONSELING KELOMPOK PENDEKATAN GESTALT TERHADAP PENINGKATAN PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP

EFEKTIFITAS KONSELING KELOMPOK PENDEKATAN GESTALT TERHADAP PENINGKATAN PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP Efektifitas Layanan Konseling... (Kharisma Hilda Lidyartanti) 1 EFEKTIFITAS KONSELING KELOMPOK PENDEKATAN GESTALT TERHADAP PENINGKATAN PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP EFFECTIVENESS OF GROUP COUNSELING

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Remaja (adolescense) adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pada lingkungannya (Sunarto dan Hartono, 2008). Penyesuaian merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. pada lingkungannya (Sunarto dan Hartono, 2008). Penyesuaian merupakan 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Diri Penyesuaian mengacu pada seberapa jauhnya kepribadian individu berfungsi secara efisien dalam masyarakat (Hurlock, 2005). Penyesuaian adalah usaha menusia untuk

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan(S.Pd.) Pada Jurusan Bimbingan Konseling

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan(S.Pd.) Pada Jurusan Bimbingan Konseling PENGARUH PEMBERIAN LAYANAN BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL TERHADAP PENGEMBANGAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII A DI SMPN 1 JIKEN TAHUN PELAJARAN 2014/2015 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimaksud adalah lingkungan sosial yang berisi individu-individu yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimaksud adalah lingkungan sosial yang berisi individu-individu yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Salah satu bentuk interaksi ditandai ketika seseorang menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Lingkungan baru yang dimaksud adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, oleh karena itu setiap manusia tidak lepas dari kontak sosialnya dengan masyarakat, dalam pergaulannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

PENGGUNAAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI SISWA DI SEKOLAH

PENGGUNAAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI SISWA DI SEKOLAH PENGGUNAAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI SISWA DI SEKOLAH Dyah Rahayu Armanto (dyahrahayuarmanto15@gmail.com) 1 Yusmansyah 2 Diah Utaminingsih 3 ABSTRACT The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah pada dasarnya merupakan lingkungan sosial yang berfungsi sebagai tempat bertemunya individu satu dengan yang lainnya dengan tujuan dan maksud yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam perkembangannya memiliki suatu tugas berupa tugas. perkembangan yang harus dilalui sesuai dengan tahap perkembangannya.

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam perkembangannya memiliki suatu tugas berupa tugas. perkembangan yang harus dilalui sesuai dengan tahap perkembangannya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Manusia dalam perkembangannya memiliki suatu tugas berupa tugas perkembangan yang harus dilalui sesuai dengan tahap perkembangannya. Siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah Jurnal Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Vol. 2, No. 1, Januari 2016 ISSN 2442-9775 UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA Arni Murnita

Lebih terperinci

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional dan metode penelitian. A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori usia remaja yang tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMATANGAN KARIR MELALUI KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS X AKUNTANSI SMK MUHAMMADIYAH I YOGYAKARTA SKRIPSI

PENINGKATAN KEMATANGAN KARIR MELALUI KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS X AKUNTANSI SMK MUHAMMADIYAH I YOGYAKARTA SKRIPSI PENINGKATAN KEMATANGAN KARIR MELALUI KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS X AKUNTANSI SMK MUHAMMADIYAH I YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang dihadapi siswa dalam memasuki lingkungan sekolah yang baru adalah penyesuaian diri, walaupun penyesuaian diri tidak terbatas pada siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

[ISSN VOLUME 3 NOMOR 2, OKTOBER] 2016

[ISSN VOLUME 3 NOMOR 2, OKTOBER] 2016 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK RASIONAL EMOSI KEPERILAKUAN UNTUK MENGURANGI PERILAKU PROKRASTINASI AKADEMIK PADA SISWA KELAS XII MIPA SMA N 2 SEMARANG TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Desi haryanti, Tri Hartini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian. Dalam metode penelitian dijelaskan tentang urutan suatu penelitian yang dilakukan yaitu dengan teknik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari segi fisik maupun psikologis. Manusia mengalami perkembangan sejak bayi, masa kanak- kanak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan secara luas dapat diinterpretasikan sejak manusia dilahirkan dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian menjadikannya sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian anak, baik di luar dan di dalam sekolah yang berlangsung seumur hidup. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi masalah kesehatan mental. Jika sudah menjadi masalah kesehatan mental, stres begitu mengganggu

Lebih terperinci

PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK

PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK Nelly Oktaviyani (nellyokta31@yahoo.com) 1 Yusmansyah 2 Ranni Rahmayanthi Z 3 ABSTRACT The purpose of this study

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing orang selalu menginginkan harga diri yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing orang selalu menginginkan harga diri yang tinggi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam dunia dan kehidupan kita sering mendengar tentang kepemilikan harga diri. Tiap manusia yang ada di dunia ini pasti memiliki harga diri dan tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi dalam hidupnya. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus dapat melakukan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebab melalui pendidikan diharapkan dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Kepercayaan Diri Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN PEMILIHAN KARIR PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN PEMILIHAN KARIR PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN PEMILIHAN KARIR PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA OBESITAS DENGAN KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA WANITA ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA OBESITAS DENGAN KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA WANITA ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA OBESITAS DENGAN KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA WANITA ABSTRAK Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Desetalia Four Biantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam perkembangan selama hidupnya, manusia dihadapkan pada dua peran yaitu sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

SUYUT ADIN FEBRIANTO NPM

SUYUT ADIN FEBRIANTO NPM PENGARUH LAYANAN INFORMASI DENGAN MEDIA FILM TERHADAP PENYESUAIAN DIRI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 17 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Oleh: SUYUT ADIN FEBRIANTO NPM :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, salah satu dari tugas perkembangan kehidupan sosial remaja ialah kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Orang tua yang penuh perhatian tidak akan membiarkan anak untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Orang tua yang penuh perhatian tidak akan membiarkan anak untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Orang tua yang penuh perhatian tidak akan membiarkan anak untuk mengerjakan sesuatu sendiri, melainkan orang tua harus menemani dan memberi bimbingan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DALAM MENGEMBANGKAN KONSEP DIRI POSITIF. Rury Muslifar

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DALAM MENGEMBANGKAN KONSEP DIRI POSITIF. Rury Muslifar Jurnal Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Vol. 1, No. 2, Mei 2015 ISSN 2442-9775 EFEKTIFITAS PELAKSANAAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DALAM MENGEMBANGKAN KONSEP DIRI POSITIF Rury Muslifar Program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. Penelitian yang berkaitan dengan masalah penyesuaian diri sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. Penelitian yang berkaitan dengan masalah penyesuaian diri sudah 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan masalah penyesuaian diri sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Diantaranya dilakukan oleh Oki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setiap diri cenderung memiliki emosi yang berubah-ubah. Rasa cemas merupakan salah

I. PENDAHULUAN. Setiap diri cenderung memiliki emosi yang berubah-ubah. Rasa cemas merupakan salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Setiap diri cenderung memiliki emosi yang berubah-ubah. Rasa cemas merupakan salah satunya, rasa ini timbul akibat perasaan terancam terhadap

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pelaksanaan model konseling kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Secara uji statistik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kedisiplinan Belajar 2.1.1. Pengertian disiplin belajar Disiplin merupakan cara yang digunakan oleh guru untuk mendididk dan membentuk perilaku siswa menjadi orang yang berguna

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Penyesuaian Diri 1. Penyesuaian Diri Seorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikandiri atau tidak mampu menyesuaikan diri. Kondisi fisik, mental

Lebih terperinci

Definisi keluarga broken home menurut Gerungan (2009:199) adalah:

Definisi keluarga broken home menurut Gerungan (2009:199) adalah: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi seorang anak, keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan terutama yang dikenalnya. Pada pendidikan keluarga seorang anak tumbuh dan berkembang. Sumaatmadja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

MENINGKATKAN EMPATI MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA SISWA KELAS X.2 SMA NEGERI 1 BRINGIN TAHUN PELAJARAN 2013/2014

MENINGKATKAN EMPATI MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA SISWA KELAS X.2 SMA NEGERI 1 BRINGIN TAHUN PELAJARAN 2013/2014 MENINGKATKAN EMPATI MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA SISWA KELAS X.2 SMA NEGERI 1 BRINGIN TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Ida Nur Kristianti Kata Kunci : Empati, Layanan Bimbingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Begitu juga dengan siswa di sekolah, siswa

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO Astrid Oktaria Audra Siregar 15010113140084 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO ABSTRAK

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh Astri Risdiana NIM

SKRIPSI. Oleh Astri Risdiana NIM PENGARUH PENGGUNAAN METODE EKSPERIMEN PADA MATERI GERAK BENDA TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS III SD NEGERI 1 MIRENG TRUCUK KLATEN TAHUN AJARAN 2011/2012 SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hindam, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hindam, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Remaja sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan senantiasa hidup dan bergaul dengan lingkungan sosialnya sebagai sarana untuk berinteraksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh Siwi Utaminingtyas NIM

SKRIPSI. Oleh Siwi Utaminingtyas NIM PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA VIDEO TERHADAP KEMAMPUAN MENYIMAK DONGENG PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SD NEGERI PANJATAN, PANJATAN, KULON PROGO SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak-anak merupakan buah kasih sayang bagi orang tua, sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak-anak merupakan buah kasih sayang bagi orang tua, sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak-anak merupakan buah kasih sayang bagi orang tua, sumber kebahagiaan dan kebersamaan. Mereka membuat kehidupan menjadi manis, tempat menggantungkan harapan.

Lebih terperinci

KUALITAS PELAYANAN SIRKULASI PERPUSTAKAAN DI UNIT PELAKSANA TEKNIS PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI

KUALITAS PELAYANAN SIRKULASI PERPUSTAKAAN DI UNIT PELAKSANA TEKNIS PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI KUALITAS PELAYANAN SIRKULASI PERPUSTAKAAN DI UNIT PELAKSANA TEKNIS PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Lebih terperinci

PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA

PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA 95 PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA Nur Asri Fitriani 1 Dra. Dharma Setiawaty 2 Drs. Djunaedi, M. Pd 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ridwan, Penanganan Efektif Bimbingan Dan Konseling di Sekolah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.9.

BAB I PENDAHULUAN. Ridwan, Penanganan Efektif Bimbingan Dan Konseling di Sekolah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.9. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bidang pendidikan telah mengawali masuknya konseling untuk pertama kalinya ke Indonesia. Adaptasi konseling dengan ilmu pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

Banyak orang yang gagal adalah orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan kesuksesan saat mereka menyerah (Thomas A.

Banyak orang yang gagal adalah orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan kesuksesan saat mereka menyerah (Thomas A. MOTO Banyak orang yang gagal adalah orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan kesuksesan saat mereka menyerah (Thomas A. Edison) Kalau anda ingin menempuh jarak yang jauh dengan cepat, ringankanlah

Lebih terperinci

SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP PGRI 4 KOTA JAMBI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP PGRI 4 KOTA JAMBI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP PGRI 4 KOTA JAMBI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pendidikan Pada Program Ekstensi Bimbingan dan Konseling

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri sebagai suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal yang telah di pelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN LAGU ANAK-ANAK TERHADAP HASIL BELAJAR APRESIASI PUISI KELAS III SD NEGERI 1 MIRENG TRUCUK KLATEN TAHUN AJARAN 2011/2012 SKRIPSI

PENGARUH PENGGUNAAN LAGU ANAK-ANAK TERHADAP HASIL BELAJAR APRESIASI PUISI KELAS III SD NEGERI 1 MIRENG TRUCUK KLATEN TAHUN AJARAN 2011/2012 SKRIPSI PENGARUH PENGGUNAAN LAGU ANAK-ANAK TERHADAP HASIL BELAJAR APRESIASI PUISI KELAS III SD NEGERI 1 MIRENG TRUCUK KLATEN TAHUN AJARAN 2011/2012 SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Peranan bimbingan dan konseling dalam dunia pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberadaan orang lain. Setiap manusia akan saling ketergantungan dalam. individu maupun kelompok dalam lingkungannya masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. keberadaan orang lain. Setiap manusia akan saling ketergantungan dalam. individu maupun kelompok dalam lingkungannya masing-masing. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai homo socius (makhluk sosial) tidak bisa hidup tanpa keberadaan orang lain. Setiap manusia akan saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhannya. Hal

Lebih terperinci

PROFIL PENYESUAIAN DIRI REMAJA YANG PUTUS SEKOLAH DENGAN TEMAN SEBAYA DI KAMPUNG KAYU GADANG KECAMATAN SUTERA KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL

PROFIL PENYESUAIAN DIRI REMAJA YANG PUTUS SEKOLAH DENGAN TEMAN SEBAYA DI KAMPUNG KAYU GADANG KECAMATAN SUTERA KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL PROFIL PENYESUAIAN DIRI REMAJA YANG PUTUS SEKOLAH DENGAN TEMAN SEBAYA DI KAMPUNG KAYU GADANG KECAMATAN SUTERA KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Dalam perkembangan kepribadian seseorang

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik.

Lebih terperinci

Available online at Jurnal KOPASTA. Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 91-96

Available online at  Jurnal KOPASTA. Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 91-96 91 Available online at www.journal.unrika.ac.id Jurnal KOPASTA Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 91-96 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Penyesuaian Diri Siswa di Sekolah Sri Wahyuni Adiningtiyas * Division

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE A. Konsep Keterampilan Sosial Anak Usia Dini 1. Keterampilan Sosial Anak usia dini merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan imajinasi,

Lebih terperinci

INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD. Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan

INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD. Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan L A M P I R A N 57 INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan Anda diminta untuk memilih 1 (satu) pernyataan dari setiap rumpun yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Emosi remaja sering

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian adalah SMPN 45 Bandung yang terletak di Jalan Yogyakarta No. 1 Bandung. Sekolah ini memiliki latar belakang ekonomi, dan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh Benni Hartati NIM

SKRIPSI. Oleh Benni Hartati NIM KEEFEKTIFAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES DALAM PEMBELAJARAN IPA TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SD BANGUNJIWO KASIHAN BANTUL YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012 SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu

Lebih terperinci