pembentukan kalus. Konsentrasi yang digunakan berkisar 0,2-99,l um (Evans, Sharp dan Arnrnirato, 1983).

Transkripsi

1 Dari penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan dapatlah diberikan gambaran secara mum. 5.1 Penelitian Morfogenesis Tidak Langsung Pembentukan Kalus 6 Dari penelitian induksi kalus dapat dilihat bahwa tanpa pemberian 4-CPA kalus dapat terbentuk. Pada kul- tur kalus tanpa pemberian 2,4-D kalus juga dapat terben- tuk tetapi bobot basah serta bobot keringnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kultur yang mendapat perlaku- an 2,4-D. Nampaknya yang banyak berperan dalam induksi kalus bawang putih adalah 2,4-D. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari George dan Sherrington (1984) yang me- ngatakan bahwa auksin wntunnya dibutuhkan pada media un- tuk mendorong terbentuknya kalus pada eksplan. Auksin yang paling umum digunakan untuk mendorong terbentuknya kalus ialah 2,4-D. Kalus irc vitrc, dapat dihasilkan pada media yang me- ngandung auksin dan kadang-kadang ditambah sitokinin (Dodds dan Roberts, 1984). Menurut Thorpe (1981), zat tumbuh 2,4-D seringkali digunakan sendiri untuk inisiasi kalus. Pada tanaman padi digunakan berbagai konsentrasi 2,4-D pada media untuk mendapatkan kalus dari akar, ko- tiledon, koleoptil dan tulang daun dari tanaman padi. Dari 160 macam tanaman yang telah diteliti, ada 87 macam tanaman (54,37%) yang diinduksi oleh 2,4-D untuk

2 pembentukan kalus. Konsentrasi yang digunakan berkisar 0,2-99,l um (Evans, Sharp dan Arnrnirato, 1983) Regenerasi dari Kalus Pada penelitian ini kalus umumnya gagal beregenera- si dan pada beberapa perlakuan kalus yang beregenerasi persentasenya sangat kecil + 25%. Meskipun konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan sama dengan yang di- gunakan oleh Maggioni, Cordi dan Fogher (1985), hasil yang diperoleh ternyata tidak sama. Hal ini mungkin di- sebabkan karena varietas bawang putih yang digunakan lain sehingga memberikan respons yang berbeda. Hal ini didukung oleh Bonga dan Durzan (1987) yang mengatakan bahwa respons fisiologis yang sama pada jaringan yang berbeda meskipun pada tanaman yang sama dapat membutuh- kan zat pengatur tumbuh yang beda atau kombinasi zat pengatur tumbuh yang berbeda. Kalus pada umumnya gagal beregenerasi meskipun su- dah menunjukkan warna hijau. Akhirnya kalus tersebut hanya membentuk akar-akar halus saja. Ada pula kalus yang tinggal tetap berwarna putih dan lama kelamaan akan berwarna coklat. * Pada potongan melintang dari kalus nampak xylem mu- lai terbentuk (Gambar 7). Hal ini sesuai dengan peneli- tian dari Keese, Rupert dan Carter (1991), dimana xylem nampak pada potongan melintang dan membujur dari kalus yang proliferatif. Sel-sel parenkima mengandung nukleus.

3 Zat pengatur tumbuh 2,4-D dikatakan sebagai faktor utama penyebab dari diferensiasi vaskular (pembentukan jaringan pembuluh). Menurut Keese et al. (1991) ada dua tipe kalus yaitu kalus proliferatif dan kalus senesens. Kalus proliferatif yaitu kalus yang mengandung klorofil, hijau, keras, pertumbuhannya cepat sedangkan kalus senesens tidak mengandung klorofil, warna krem atau coklat, berair dan pertumbuhannya larnbat. Pengamatan kalus secara histologis atau pengamatan melalui mikroskop elektron masih kurang sekali. Kalus yang senesens tidak mengandung bagian yang meristematik. Meskipun nukleus dan kloroplast tidak nampak pada jaringan yang mempunyai vakuola banyak, tetapi tidak semuanya senesens karena ukurannya tetap. Benzyl Adenin narnpaknya mendorong penampakan klorofil. Kalus senesens yang dilihat di bawah mikroskop elektron menunjukkan adanya lendir-lendir yang merupakan produksi sampingan atau ciri dari kalus senesens. Lendir-lendir ini adalah glukosa, galaktosa yang mungkin dapat menjadi penyebab gagalnya kalus berproliferasi (Keese et a1., 1991) Sifat Kalus Kalus yang terbentuk adalah kalus kompak yang ter- diri dari bintil-bintil yang bulat dan kompak. Kalus yang demikian oleh Nabor, Heyser, Dykes dan DeMott

4 (1983) disebut kalus embrionik. Sel-selnya pada umumnya kompak dan meristematik dan yang mengalami embriogenesis sehingga terbentuk embriosomatik. Nabor et al. (1983) menamakan nodul. Nodul ini banyak terdapat pada tanaman monokotil (Ahloowalia, 1990). McCown (1988) mendapatkan bintil-bintil tersebut juga pada kultur kalus dari tanaman poplar (Populus). Kultur yang demikian, mereka namakan kultur bintil (nodule culture). Tiap-tiap nodul mempunyai kapasitas untuk beregenerasi. Penampang dari bintil bawang putih ini (Gambar 7) menunjukkan banyak sel meristematik di kelilingnya, sedang di tengah terdapat beberapa jaringan pembuluh. Dari penampang tersebut dapat dilihat bahwa sel-sel mempunyai kapasitas menghasilkan banyak nodul (bintil) yang tak terbatas banyaknya. Nodul ini dapat disubkultur untuk meregenerasi planlet, nodul yang baru maupun embriosomatik Kestabilan Genetik Planlet-planlet yang berasal dari kalus ternyata berhasil hidup, dan sebagian diambil akarnya dan dilaku- kan pemeriksaan kromosom melalui metode squash dengan * pewarnaan memakai Accto-orcein. Jumlah kromosom yang diperoleh ternyata meningkat yaitu 2n = 4x = 32. Hal ini didukung oleh Ziauddin dan Kasha (1990) yang menyatakan bahwa dengan makin lamanya jangka waktu kalus dikultur- kan dan semakin tingginya taraf 2,4-D ternyata ada

5 penambahan yang nyata dalam persentase terjadinya poliploidi pada metaphase. Hal yang sama dikatakan oleh Evans dan Sharp (1980) bahwa penambahan jumlah kromosom sangat berhubungan dengan lamanya kalus bawang putih dikulturkan. Penambahan zat pengatw: tumbuh sintetis kelihatannya mempengaruhi terjadinya ketidak stabilan genetik pada tanaman yang diperbanyak secara in vitro (Ramulu, 1985). Perubahan genetik bnkan saja berasal dari endopoliploidi tetapi juga aneuploidi yaitu perubahan struktur kromosom (pindah silang mitosis) dan perubahan gen (Ramulu, 1985). Oleh karena itu walaupun tidak ada perubahan jumlah kromosom pada planlet yang beregenerasi, belum tentu tidak ada perubahan genetik. Hal ini dapat dikatakan tidak ada perubahan kalau sudah diadakan analisis dengan gel elektroforesis (isosim) atau RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Konsentrasi 2,4-D yang tinggi mendorong terjadinya c mitosis (Dolezel dan Novak, 1984). Hasil yang sama diperoleh oleh Sen (1974), Sikka dan Sharma (1976). Konsentrasi 2,4-D yang tinggi mengganggu benang gelendong (spindle fibre), jembatan khromosom pada anaphase dan kelengketan kromosom (Sikka dan Sharma, 1976). Disamping 2,4-D juga NAA berpengaruh terhadap terjadinya poliploidi. Pada morfogenesis langsung dengan menggunakan NAA, tidak terjadi endopoliploidi,

6 kemungkinan karena konsentrasi NAA yang digunakan masih rendah atau adanya interaksi antara NAA dengan sitokinin. Terjadinya poliploidi pada jaringan dan sel yang dikulturkan disebabkan karena pemulihan pembentukan nukleus sebagai akibat destruksi/pencegahan pembentukan benang gelendong (spindle fibre) atau lambatnya pergerakan (lagging) dari kromosom pada anaphase. Penyebab lain terjadinya poliploidi karena fusi nukleus pada sel-sel binukleus atau multinukleus. Hal ini kemungkinan besar menyebabkan terjadinya triploid, pentaploid pada kalus (D'amato, 1978). Pada penelitian ini ditemukan adanya perubahan jumlah kromosom (autotetraploid) pada jalur morfogenesis tidak langsung yaitu melalui kalus. Sifat umum dari tanaman autotetraploid (Shukla dan Chandel, 1977; Eigsti dan Dustin, 1957). 1) Menyebabkan variasi phenotipe yang jelas, resisten terhadap penyakit dibandingkan tanaman diploid. 2) Ukuran tanaman lebih besar, mungkin biji lebih besar, buah lebih besar, dan pada tanaman berumbi seperti bawang putih umbinya dapat lebih besar dari tanaman diploid. 3) Sel-sel lebih besar, nukleuk lebih besar dibanding diploid. 4) Sel pelindung pada stomata lebih besar dari diploid. 5) Bunga lebih besar dan warna lebih menarik dari diploid. 6) Ukuran bagian vegetatif dan morfologis pada umumnya lebih besar dibanding tanaman diploid.

7 7) Dapat terjadi perubahan senyawa kimia, termasuk peningkatan atau perubahan pada macam atau proporsi karbohidrat, protein, vitamin atau alkaloid dan kemungkinan pada bawang putih kandungan alisin dapat lebih tinggi dibandingkan tanaman diploid. 8) Fertilitas lebih rendah. Tanaman autotetraploid lebih cocok untuk tanaman yang dapat dikembangbiakkan secara vegetatif sehingga tidak ada masalah terjadinya sterilitas. Sifat-sifat ini dapat diaplikasikan pada tanaman bawang putih. Namun bila sifat-sifat yang ada masih ingin dimuliakan melalui persilangan, maka bentuk autotetraploid perlu diteliti lebih lanjut apakah terjadi pembelahan meiosis secara teratur membentuk bivalen atau terjadi asosiasi quadrivalen. Bila bentuk autotetraploid yang ditemukan menunjukkan adanya pembelahan meiosis dengan pemisahan secara bivalen maka akan bermanfaat bagi pemuliaan tanaman lebih lanjut. Akan tetapi bila tidak atau terjadi asosiasi multivalen, maka terjadi keragaman genetik yang lebih kompleks dan mungkin dapat dipakai sebagai sumber peningkatan ragam genetik. Perubahan dalam tingkat plaidi telah diteliti pada kultur kalus dari bawang merah. Kultur kalus dalam jangka waktu lama pada bawang putih menghasilkan berbagai perubahan struktur kromosom. Banyak variasi morfologi yang telah diidentifikasikan pada kultur kalus dalam jangka waktu lama. Varian-varian untuk berat umbi, bentuk umbi beberapa diantaranya lebih baik dari tipe

8 induknya. Jadi variasi somaklonal sangat ekonomis untuk perbaikan bawang putih (Kalloo, 1988). Planlet yang berasal dari morfogenesis langsung setelah diadakan pemeriksaan jumlah kromosom ternyata tak ada perubahan, yaitu tetap 2n = 2x = 16. Data histologis menunjukkan pada bawang merah bahwa tunas-tunas adventif yang dihasilkan pada kultur in vitro yang berasal dari jaringan meristematik dekat dengan cakram frekuensi sel-sel poliploidi sangat rendah (Hussey dan Falavigna, 1980). 5.2 Morfogenesis Langsung Eksplan yang dikulturkan pada media BDS ada yang langsung membentuk planlet, ada pula yang menghasilkan akar lebih dahulu dan kemudian planlet, dan ada pula yang hanya menghasilkan akar-akar saja. Tunas-tunas yang terbentuk sulit dibedakan apakah tunas aksilar ataukah tunas adventif karena tanaman ba- 't - wang putih tidak mempunyai buku-buku dan ruas-ruas. C1 r" Menurut Hussey (1978) banyak species monokotil yang mem- punyai organ penyimpanan khusus mempunyai kemampuan yang besar untuk menghasilkan tunas-tunas adventif Auksin dan Sitokinin Untuk merangsang terbentuknya proliferasi tunas langsung digunakan zat pengatur tumbuh, yaitu auksin dan " sitokinin. Sitokinin berinteraksi dengan auksin untuk memberikan berbagai arah pertumbuhan. Skoog dan Miller

9 (1957) menunjukkan bahwa pada kultur in vitro perubahan keseimbangan antara sitokinin - auksin dapat mempengaruhi pertumbuhan. Apabila ratio antara sitokinin - auksin rendah pertumbuhan akar terjadi tetapi bila perbandingan tinggi, tunas akan terbentuk (Weaver, 1972; Bhojwani dan Razdan, 1983). Keseimbangan antara auksin dan sitokinin memberikan organogenesis yang paling efektif (George dan Sherington, 1984). Persentase pertumbuhan planlet dari tanaman yang berasal dari morfogenesis langsung ada yang mencapai N Reduksi dan Air Kelapa Penelitian dengan mempergunakan N reduksi seperti glisin dan glutamin ternyata juga dapat mendorong, terbentuknya proliferasi tunas hanya kultur yang berpro- liferasi rendah. Asam-asam amino menyediakan bagi sel tanaman sumber N yang tersedia secara cepat dan pengambilannya dapat lebih cepat dari N anorganik pada medium yang sama (George dan Sherrington, 1984). Glisin memberikan hasil yang lebih bagus dari ekstrak ragi pada kultur akar. tomat dan dapat rnenggantikan campuran dari 9 asam amino. Penelitian dari Murashige dan Skoog (1962) menyata- kan bahwa penambahan casein hidrolisat menyebabkan perkembangan organ yang lebih tegar pada kisaran IAA dan Kinetin yang lebih luas.

10 Glutamin memegang peranan penting pada conifera in vivo dan ternyata menunjukkan kenaikan pertumbuhan matamata tunas yang hebat sebelum periode pemhlahan sel yang aktif (Bonga da. Durzan, 1987). Glutamin dapat menggantikan campuran dari 18 asam amino yang dulu digunakan oleh Reinert dan White (1956) untuk kultur jaringan Picea glauca. Menurut Thorpe (1981) sumber nitrogen organik sebenarnya tidak perfu tetapi dengan penambahan glutarnin sering menguntungkan. Selain dari sitokinin, konsentrasi sukrosa, penambahan adenin sulfat, tirosin dan arang aktif juga dapat mempengaruhi efisiensi regenerasi tanaman (Thorpe, 1981). Pada penelitian pendahuluan untuk morfogenesis langsung tanpa air kelapa kultur yang membentuk tunas persentasenya sangat kecif. Ternqrata setelah ditambah air kelapa, jumlah kultur yang membentuk tunas bertambah. Hal ini disebabkan karena air kelapa banyak mengandung berbagai campuran asam-asam amino, asam-asam organik, gula, vitamin-vitamin dan fitohormon. Asam-asam amino yang dikandung air kelapa yaitu: alanin, y-aminobutirat, glutamat, arginin, serin, asam-asam organik seperti ma- lat dan sitrat; gula seperti sukrosa, glukosa dan fruk- tosa. Vitamin seperti asam nikotinat, asam pantotenat, biotin riboflavin, thiamin serta asam askorbat (Tulecke, 1961). Fitohormon yang dikandungnya seperti auksin, giberelin, N-N-difenil urea dan zeatin, zeatin glikosida.

11 serta zeatin ribosida (George dan Sherrington, 1984). Selain itu air kelapa dapat menstabilkan ph media Retardan Pada penelitian pendahuluan ternyata kultur gaga1 bertunas hanya tumbuh menzanjang. Oleh karena itu media ditambab retardan dengan maksud memperpendek perpanjangan batang dan meinperlambat pertumbuhan agar mernacu keluarnya tunas. Retardan dapat mendorong tanaman rang sifat pertumbuhannya tinggi untuk tumbuh membentuk tipe pertumbuhan rosette. Pengaruh dari retardan adalah merupakan kebalikan dari giberelin (Weaver, 1972). Retardan seperti SADH, EC, Phosfon-D, menghambat pemanjangan batang dengan mencegah pembelabn sel pada meristem subapikal biasanya tanpa mernpengaruhi meristem apikal (Sachs et al., 1960 dalam Weaver, 1972). Kultur yang mendapat perlakuan retardan dan coumarin terbentuk akar-akar pendek melebar dan pada ujungnya terbentuk banyak sekali akar-akar yang halus. Hal ini didukung oleh pernyataan (Wattimena, 1987) bahwa coumarin menghambat pertumbuhan dan perpanjangan akar tetapi mendorong pertumbuhan akar-akar iateral. Retardan menghambat biosintesis giberelin. Penghambatan giberelin meningkatkan pembentukan akar tetapi menghambat perpanjangan akar.

12 Aklimatisasi Planlet yang berasal dari kalus berhasil dipindahkan ke lapangan, tetapi planlet yang berasal dari morfogenesis langsung mengalami kematian setelah dipindahkan ke rumah plastik, ha1 ini mungkin disebabkan karena planlet yang berasal~dari morfogenesis langsung tidak memakai sistem irigasi secara pengabutan (mist irrigation). Hal yang sama didapatkan oleh Matsubara dan Chen (1989), bahwa aklimatisasi dari tanaman bawang putih ke kondisi lapang setelah mengalami kultur in vitrcr kurang berhasil. Tanaman yang berhasil hidup sangat rendah, hanya 30% - 50% pada perlit, aklimatisasi crysant, anyelir, berhasil pada media seperti vemiculit dan perlit atau pasir, tetapi media ini tidak cwok untuk bawang putih. Meskipun teknik perbanyakan in vitro dapat menjadi cara perbanyakan yang memuaskan pada perbanyakan klona1 dalam jumlah besar, tetapi masih mempunyai kekurangan. Pada beberapa tanaman keberhasilan hidup setelah aklimatisasi sangat kecil, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak efektif. Dilaporkan bahwa struktur jaringan dan organ, aktivitas fisiologis dari planlet pada waktu dipindahkan dari in vitro sangat berbeda dengan tanaman in viva, sehingga harus disediakan kondisi yang memungkinkan bagi daun yang berkembang dari kultur in vitro untuk bertahan setelah dipindahkan ke lapangan (Dube dan Vidaver, 1992).