5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Penutupan Lahan Analisis penutupan lahan bertujuan untuk mengetahui kondisi dan perubahan penutupan lahan yang ada di Kota Sintang. Dalam penelitian ini ada dua data Landsat-TM yang digunakan yaitu data Landsat-TM tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008, path/row 120/60. Citra landsat ini memiliki resolusi spasial sebesar 30m dan 7 channel spektral. Klasifikasi citra dilakukan menggunakan pendekatan klasifikasi supervised dengan berbasis pada informasi obyek. Pendekatan berbasis obyek merupakan suatu metode klasifikasi citra digital berdasarkan pada pengelompokan spektral yang homogen dari piksel. Informasi dari piksel ini memberikan informasi terhadap obyek yang nyata pada permukaan bumi. Pengelompokan piksel ini disebut sebagai segment citra, yang mengandung beberapa informasi spektral seperti luas, keliling dan kedekatan informasi spektral (neighbourhood relationship). Gabungan dari informasi spektral ini dapat digunakan untuk mengelompokkan tutupan lahan dan jenis vegetasi pada citra satelit. Kegiatan ini dibantu dengan kegiatan pengecekan lapangan (ground check) untuk memperoleh informasi mengenai keadaan tipe-tipe penutupan lahan di areal penelitian sebagai acuan dalam proses klasifikasi. Kelas-kelas penutupan lahan yang digunakan dalam proses klasifikasi citra adalah tubuh air, hutan, kebun campuran, pemukiman, semak belukar dan lahan terbuka. (a) (c) (b) (d) Gambar 10. Berbagai kelas penutupan lahan : (a) hutan, (b) kebun campuran, (c) semak belukar, (d) lahan terbuka

2 Hasil interpretasi pada citra Landsat pada tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008 dapat dikatahui bahwa penutupan lahan tahun 2001 didominansi oleh hutan sebesar 39% dari luas wilayah. Selanjutnya berturut-turut: kebun campuran 28%, pemukiman 15%, tubuh air 10%, lahan terbuka 6% dan semak belukar 2%. Sedangkan penutupan lahan untuk tahun 2008 didominasi oleh kebun campuran sebesar 42% dari luas wilayah, diikuti oleh pemukiman 23%, hutan 17%, tubuh air 11%, lahan terbuka 4% dan semak belukar 3%. Jenis Penutupan Tubuh Air Hutan Kebun Campuran Pemukiman Semak Belukar Lahan Terbuka Tabel 6. Luas penutupan lahan di Kota Sintang tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008 Perubahan ha % ha % ha % ha % ha % Jumlah Sumber: Hasil Analisis Luas (ha) Tubuh Air Hutan Kebun Campuran Permukiman Semak Belukar Lahan Terbuka Tahun Gambar 11. Grafik luas penutupan lahan di Kota Sintang tahun

3 Tabel 6 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan penutupan lahan dari tahun 2001 ke tahun Masing-masing kelas penutupan lahan ada yang mengalami penurunan luasannya dan ada yang meningkat. Kelas penutupan lahan berupa hutan mengalami penurunan luas sebesar ha dan lahan terbuka sebesar 47 ha. Sedangkan kebun campuran mengalami peningkatan luas sebesar 653 ha, pemukiman meningkat sebesar 344 ha dan semak belukar sebesar 20 ha. Analisa lebih lanjut menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan tuntutan akan ruang di kota. Dari Tabel 6 diketahui bahwa pertambahan permukiman sebesar 344 ha dari tahun 2001 hingga tahun Menurut Yunus (2005) untuk memenuhi tuntutan ini maka terjadi perkembangan keruangan secara spatial centripetal dan centrifugal. Perkembangan spatial centripetal adalah suatu proses penambahan bangunan-bangunan kekotaan yang terjadi di bagian dalam kota. Proses ini terjadi pada lahan-lahan masih kosong di bagian dalam kota, baik pada lahan yang yang terletak di antara bangunanbangunan yang sudah ada, maupun pada lahan-lahan terbuka lainnya. Sedangkan spatial centrifugal yaitu proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota. Proses ini akan memicu dan memacu pertambahan luas kota. Pergeseran fungsi yang terjadi di kawasan pinggiran menyebabkan lahan yang tadinya diperuntukkan sebagai kawasan hutan, daerah resapan air dan pertanian, berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan kegiatan usaha non pertanian lainnya. Proporsi luas terbangun dari tahun 2001 hingga tahun 2008 menunjukkan pertambahan yang linier dengan persamaan Y = 1,121x 229 dengan nilai R 2 = 0,989. Pada Gambar 12 dapat dilihat grafik proporsi lahan terbangun di Kota Sintang tahun

4 Persen Luas Terbangun Tahun y = 1,121x , R² = 0,989 Gambar 12. Grafik proporsi luas terbangun di Kota Sintang tahun Perkembangan kota yang cepat dapat menimbulkan banyak masalah. Tingkat populasi tinggi sejalan dengan perkembangan kota yang pesat menyebabkan eksploitasi alam berlebihan, menciptakan ekologi yang tidak sehat. Banyak kota berkembang memiliki berbagai pengalaman mengenai masalah lingkungan seperti penurunan kualitas udara, ketersediaan air bersih, temperatur udara yang tinggi, peningkatan kebisingan, serta tingkat stress yang tinggi dan penurunan rasa kebersamaan dalam komunitas (Atmis, Ozden dan Lise, 2007). Berdasarkan persamaan Y = 1,121x 229 maka dapat diprediksi pada tahun keberapa luas lahan terbangun di Kota Sintang mencapai batas maksimal, yaitu 60% dari luasan kota. Batasan 60% diambil setelah menyisihkan 30% untuk Ruang Terbuka Hijau dan 10% untuk sungai. Hasil perhitungan luas terbangun di Kota Sintang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Prediksi luas terbangun di Kota Sintang Tahun Sumber: Hasil Analisis 2009 Luas Terbangun ha %

5 Dari Tabel 7 diketahui bahwa luas maksimal lahan terbangun dicapai pada tahun 2042 dengan luas lahan terbangun seluas ha (60% dari luas Kota Sintang). Perkembangan permukiman di Kota Sintang terjadi di pusat kota dan pinggiran sungai. Kota Sintang dilewati oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Sintang juga merupakan kota di jalur pelintasan menuju Kota Kapuas Hulu baik dari jalur sungai maupun jalur darat. Keberadaan sungai dan jalan mempengaruhi arah perkembangan pemukiman. Menurut Yunus (2005) jalur transportasi darat maupun sungai yang memanjang telah mengontrol pertumbuhan pemukiman maupun bangunan non pemukiman sedemikian rupa sehingga membentuk konsentrasi bangunan yang sebaran keruangan memanjangnya lebih besar dari pada sebaran melebarnya. Perubahan luas penutupan lahan dari tahun 2001 hingga tahun 2008 yang mengalami penurunan yang terbesar terjadi pada penutupan hutan yaitu sebesar ha. Petani menggunakan sistem pertanian tebang bakar untuk membuka areal penanaman baru, kemudian areal tersebut akan ditanami berbagai jenis tanaman seperti karet, kopi, kakao dan ubi kayu. Proporsi luas hutan dari tahun 2001 hingga tahun 2008 menunjukkan penurunan yang linier dengan persamaan Y = -3,121x dengan nilai R 2 = 0,947. Pada Gambar 13 dapat dilihat grafik proporsi lahan hutan di Kota Sintang tahun Persen Luas Hutan Tahun y = -3,121x , R² = 0,947 Gambar 13. Grafik proporsi luas hutan di Kota Sintang tahun

6 Berdasarkan persamaan penurunan luas hutan yaitu Y = -3,121x , maka diketahui luas hutan untuk tahun 2011 luas hutan yang tersisa adalah 366 ha dan 213 ha dari luas hutan tersebut adalah Hutan Kota Baning sedangkan sisanya 53 ha adalah hutan yang belum berstatus. Jika tidak melakukan tindakan pengamanan luas hutan yang ada sekarang maka mulai dari tahun 2012 hingga 2029 hutan yang akan tersisa di Kota Sintang adalah 213 ha saja karena hutan ini merupakan Hutan Kota Baning yang telah dilindungi Undang-Undang. Adanya fenomena semakin berkurangnya hutan karena perluasaan lahan terbangun yang terjadi pada daerah yang mengalami urbanisasi memberikan konsekwensi logis bahwa semakin besar perubahan daerah resapan air menjadi penggunaan perkotaan (non-pertanian) memberikan dampak terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi adalah penurunan jumlah dan mutu lingkungan diantaranya penurunan mutu dari keberadaan sumberdaya alam seperti, tanah, tata air dan keanekaragaman hayati. Berkurangnya luasan hutan memberi pengaruh yang buruk terhadap lingkungan. Menurut Alvey (2006) kehilangan hutan berarti juga kehilangan kekayaan biodiversitas terutama tanaman lokal dan fungsi ekologis. Pembukaan lahan dengan slash-and-burn menyebabkan rusaknya sifat fisik dan kimia tanah yang diindikasikan oleh kerapatan limbak (bulk density) tanah tinggi (1,30 mg/m 3 ), apalagi jika dilakukan dengan mekanis, stabilitas agregat tanah rendah (100), dan kapasitas tukar kation (K TK ) rendah (11,5 cmol/kg) (Rachman et al., 1997 dalam O nrizal, 2005). Kondisi ini menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan erosi pada satu sisi, dan menurunkan infiltasi air hujan ke dalam tanah pada sisi yang lain. Perambahan hutan dilakukan masyarakat dapat disebabkan karena tekanan penduduk sehingga banyak penduduk yang tidak mempunyai lahan. Soemarwoto (2004) menyatakan bahwa kependudukan merupakan penyebab penting kerusakan dan menyusutnya luas hutan.

7 Gambar 14. Proses pembukaan lahan hutan dengan proses tebang bakar Faktor lain adalah tidak terjaminnya hak penguasaan lahan oleh para penduduk yang terpaksa membuka lahan hutan sehingga mendorong mereka mencari keuntungan jangka pendek sebanyak-banyaknya (Pemerintah Kabupaten Sintang, 2008). Pembangunan berwawasan lingkungan pada dasarnya bertumpu pada kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan dan kependudukan sehingga perlu mendapat perhatian secara terintegrasi keseluruh komponen masyarakat, sehingga segala kegiatan tidak hanya mencari keuntungan ekonomi semata, akan tetapi lingkungan pun harus terlindungi, dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan sesuai daya tampung dan daya dukung untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran manusia. 5.2 Analisis Standar Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Lahanlahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan, kawasan permukiman, kawasan industri, jaringan transportasi (jalan, jembatan, terminal) serta sarana dan prasarana kota lainnya. Pembangunan kota pada masa lalu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah alam. Analisis standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota bertujuan untuk mengetahui berapa luas RTH Hutan Kota yang harus dibangun di Kota Sintang berdasarkan kebijakan pemerintah yaitu melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang

8 Penataan Ruang, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Bentuk RTH yang akan dibangun di sebuah kota harus memperhatikan tujuan pembangunan dan aspek biogeografis kota. Pada penelitian ini bentuk RTH yang akan di bangun di Kota Sintang adalah RTH Hutan Kota, karena tujuan dari pembangunan hutan kota tersebut sebagai pengaman untuk mengkonservasi air atau daerah tangkapan hujan sehingga ketersediaan air Kota Sintang dapat terjaga. Dirjen PU (2006) menyatakan bahwa fungsi perlindungan pada hutan kota memang merupakan bobot nilai tertinggi di dalam kesepakatan assosiasi hutan kota dunia dibandingkan dengan bagian ruang terbuka kota tipe lainnya. Dicermati dari aspek biogeografis kota, letak kota yang dekat garis khatulistiwa menyebabkan suhu udara di kota Sintang cenderung panas. Tercatat dua tahun terakhir suhu maksimal di Kota Sintang mencapai 33,1 o C. Selain itu, dua buah sungai besar yang membelah tepat di tenggah Kota Sintang memberikan pengaruh yang besar terhadap kota. Sinar matahari yang jatuh ke permukaan air akan dipantulkan kembali ke kota. Permukaan air yang luas juga menyebabkan proses penguapan air tinggi sehingga kelembaban udara kota meningkat. Panas dan lembab menyebabkan suasana kota tidak nyaman. Pembangunan hutan kota diharapkan tidak hanya saja sebagai konservasi air dalam tujuan utamanya, namun juga sebagai pencipta rasa nyaman. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 menyebutkan bahwa alokasi hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa standar kebutuhan hutan kota paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan, sehingga luas kebutuhan hutan kota di Kota Sintang adalah 459 ha. Standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota menurut Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 diatur pada pasal 9 ayat 1, yaitu luas ideal minimal 20% dari luas kawasan perkotaan. Sehingga luas total kebutuhan hutan kota di Kota Sintang menurut Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 adalah seluas 918 ha.

9 Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota diatur pada Pasal 29 Ayat 1, proporsi ruang terbuka hijau paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut maka luas Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota untuk Kota Sintang seluas ha. No A 1 2 B C 1 2 Tabel 8. Proporsi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota di Kota Sintang menurut kebijakan pemerintah Kelurahan/Desa BWK A Kapuas Kanan Hulu Kapuas Kanan Hilir Sub Jumlah BWK B Tanjung Puri Ladang Baning Kota Sub Jumlah BWK C Kapuas Kiri Hulu Kapuas Kiri Hilir Sub Jumlah Luas Wilayah (Ha) PP No. 63 Tahun Permendagri No. 1 Tahun UU No. 26 Tahun 2007 Total Jumlah Sumber: Revisi RDTRK Sintang Tahun , Hasil Analisis Dari aspek kebijakan diketahui bahwa standar pemerintah tentang luasan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota di Perkotaan tidak tetap. Masing-masing peraturan menetapkan luasan yang berbeda. Menurut Endes (2007) beberapa keputusan pemerintah tidak tegas menyatakan luasan hutan kota dapat berubah secara dinamik. Luasan terbesar ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun Penetapan luasan tersebut bertujuan untuk memenuhi syarat minimal kebutuhan ruang hijau untuk menjaga keseimbangan lingkungan perkotaan. 5.3 Analisis Rencana Detail Tata Ruang Kota Sintang Dari kajian RTDR Kota Sintang diketahui bahwa Pemerintah Daerah telah memiliki komitmen pengalokasian ruang untuk Ruang Terbuka Hijau dan Hutan Kota. Secara umum, tujuan pengembangan tata ruang Kota Sintang dalam RDTRK pada masa yang akan datang adalah sebagai berikut :

10 1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup serta kebijaksanaan pengembangan Kota Sintang. 2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya di kawasan perkotaan secara terpadu 3. Terwujudnya keterpaduan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan tetap memperhatikan sumberdaya manusia 4. Terwujudnya pemanfaatan ruang yang sesuai dengan fungsi kawasan dalam lingkup Kota dan wilayah yang lebih luas. Pada tingkat Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), rencana penanganan lingkungan diwujudkan dengan penyempurnaan fungsi Hutan Baning, mengalokasikan jalur-jalur hijau pada kawasan sempadan sungai, dan kawasan sempadan jalan Penyempurnaan Fungsi Hutan Baning Kondisi Hutan Baning saat ini akan disempurnakan dan dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk menanggulangi masalah lingkungan kota (suhu udara, kebisingan, debu, kelembaban udara). Agar lebih memasyarakat fungsi dan peranan hutan kota untuk penanggulangan masalah lingkungan perlu penyebarluasan dan publikasi tentang Baning sebagai hutan Kota Sintang, baik oleh instansi pemerintah maupun swasta sehingga setiap lapisan masyarakat siap untuk melakukan pembangunan dan pemeliharaan hutan kota Jalur Hijau Sempadan Jalan Kawasan jalur hijau sempadan jalan adalah jalur hijau di sepanjang kanankiri jalan terutama jaringan jalan primer, arteri sekunder dan akses utama ke kawasan industri. Jalur hijau ini dikembangkan sebagai areal penanaman berbagai vegetasi termasuk rumput dengan aksen beberapa jenis tanaman hias jenis perdu. Penanaman karet atau kelapa sawit di tepi luar jalur hijau ini akan sangat membantu memberikan kesan ciri khas kawasan Sintang. Sedangkan di sisi dalam dapat dikembangkan berbagai jenis tanaman peneduh lokal lainnya.

11 Lebar jalur hijau sempadan jalan ini ditetapkan di dalam RTDR Kota Sintang sebagai berikut: Untuk jaringan jalan primer yang menghubungkan Kota Sintang dengan wilayah eksternal, direncanakan jalur hijau selebar 50 meter di setiap sisi jalan dihitung dari batas luar ROW jalan. Untuk jaringan jalan internal kota (jaringan sekunder) jalur hijau sempadan jalan ditetapkan 25 meter di setiap sisi jalan arteri sekunder dan 15 meter di setiap sisi jalan kolektor sekunder, dihitung dari batas luar ROW jalan. Jalur hijau disepanjang jalan tersebut tersebar di semua BWK. Jenis tanaman yang disarankan untuk ditanam sepanjang jalan adalah yang memenuhi kriteria: bertajuk lebar, cabang-cabangnya di atas 2 m, berumur panjang, akarnya tidak merusak pondasi, tidak menggugurkan daun, berdaun dan bertajuk indah. Jalur hijau diarahkan berada di sepanjang koridor MT Haryono, Lintas Melawi dan koridor Tanjung Puri Jalur Hijau Sepanjang Sungai Kawasan Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai, termasuk sungai buatan, tanah dan saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Di dalam RDTR Kota Sintang pengelolaan sempadan sungai mengacu kepada Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 5.4 Analisis Ketersediaan Air Bersih Konsumsi air bersih Kota Sintang akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sehingga analisis ini bertujuan untuk mengetahui pemenuhan konsumsi air bersih warga Kota Sintang serta batas kemampuan dalam penyediaan air bersih. Dari hasil analisis juga akan digunakan untuk menghitung luas hutan kota yang harus disediakan agar dapat memenuhi ketersedian air di Kota Sintang.

12 5.4.1 Kebutuhan Air Bersih Kebutuhan air rumah tangga atau domestik adalah kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Kebutuhan air rumah tangga tersebut antara lain: Minum Memasak Mandi, cuci, kakus (MCK). Lain-lain seperti cuci mobil, menyiram tanaman dan sebagainya. Untuk memperkirakan jumlah kebutuhan air domestik saat ini dan di masa yang akan datang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan air perkapita. Besarnya konsumsi air dapat mengacu pada berbagai macam standar yang telah dipublikasikan. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1998), terdapat tiga kelompok masyarakat berdasarkan konsumsi air, yaitu golongan sederhana dengan konsumsi air per orang 80 liter/hari, golongan menengah dengan konsumsi air per orang 150 liter/hari, dan golongan atas dengan konsumsi air per orang 250 liter/hari. Besarnya jumlah air yang dikonsumsi hanya terbatas pada kebutuhan untuk makan, minum dan MCK. Untuk mengetahui konsumsi air bersih warga Kota Sintang dilakukan survey dengan menyebarkan kuisioner. Penentuan jumlah sampel dengan metode Simple Random Sampling dengan ukuran sampel 90 rumah tangga sebagai responden. Rekapitulasi hasil perhitungan pemakaian air bersih warga Kota Sintang dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil survey menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan air bersih per orang warga Kota Sintang adalah 262 liter/hari. Jumlah penduduk Kota Sintang pada tahun 2007 adalah jiwa. Ratarata pertumbuhan diambil dari kecenderungan pertumbuhan dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (tahun 2001 s.d. 2007) yaitu sebesar 3,8%. Untuk memperkirakan jumlah penduduk Kota Sintang menggunakan metode Aritmatik. Hasil proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan air Kota Sintang dengan mengasumsikan kebutuhan air per orang 262 liter/hari dan tetap dapat dilihat pada Tabel 9.

13 Tabel 9. Proyeksi kebutuhan air penduduk Kota Sintang hingga tahun 2025 Tahun Jumlah Penduduk Kebutuhan Air (jiwa) (m 3 ) Sumber: Hasil Analisis 2009 Dari Tabel 9 diketahui bahwa kebutuhan air bersih Kota Sintang pada tahun 2009 sebesar m 3. Kebutuhan air akan terus meningkat sehingga pada tahun 2025 mencapai m Penyediaan Air Bersih Perusahaan Daerah Air Minum Penyedian air bersih di Kota Sintang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Sintang. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduk, PDAM Kota Sintang memiliki tiga instalasi pengolahan air. Air baku yang digunakan adalah air Sungai Kapuas dan air Sungai Melawi dengan kapasitas 121 liter/detik. Jumlah tiga instalasi pengolahan air tersebut disesuaikan dengan tiga Bagian Wilayah Kota yang memang dibatasi oleh aliran Sungai Melawi dan Kapuas dan juga jumlah penduduk tiap BWK. Jumlah sambungan pada tahun 2007 adalah sambungan yang dapat melayani sekitar orang. Data operasional PDAM Kota Sintang yang meliputi kapasitas produksi, distribusi air, penjualan, kebocoran, jumlah sambungan dan jumlah pelanggan dalam kurun waktu lima tahun terakhir ( ) dapat dilihat pada Tabel 10.

14 Tabel 10. Data operasional PDAM Kota Sintang (tahun 2003 s/d 2007) Uraian - Kapasitas Produksi (ribuan m 3 ) - Jumlah Produksi (ribuan m 3 ) - Jumlah Distribusi (ribuan m 3 ) - Penjualan Air (ribuan m 3 ) - Kebocoran Air (ribuan m 3 ) - Tingkat Kebocoran Air (%) - Jumlah Pelanggan (sambungan) - Jumlah Penduduk terlayani (orang) - Penduduk Terlayani (%) Sumber: Laporan Kinerja PDAM Kota Sintang, 2008 Tahun , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,11 879, ,13 663,94 629,18 480,87 37,14 49,03 36,86 35,44 32, ,24 89,77 60,32 49,24 35,76 Dari Tabel 10 diketahui bahwa cakupan pelayanan PDAM Kota Sintang semakin menurun. Pada tahun 2007 cakupan pelayanan hanya mencapai 35,76% sedangkan standar rata-rata cakupan pelayanan menurut Kepmendagri 47/1999 adalah 60% sehingga cakupan pelayanan PDAM tergolong masih rendah. Tingkat kehilangan air PDAM Kota Sintang juga masih tergolong tinggi. Standar kehilangan air menurut Kepmendagri 47 tahun 1999 adalah 20% sedangkan tingkat kehilangan air pada tahun 2007 mencapai 32,36%. Kapasitas produksi tiga tahun terakhir adalah m 3 /tahun dengan rata-rata jumlah produksi tiga tahun terakhir tersebut sebesar m 3 /tahun. Gambar 15. Instalasi PDAM Jumlah sambungan yang semakin menurun karena sebagian masyarakat Kota Sintang berhenti menjadi pelanggan air PDAM. Faktor penyebabnya karena air yang diproduksi oleh PDAM tidak jernih dan kualitasnya kurang bagus serta adanya kekhawatiran pelanggan akan bahan-bahan berbahaya yang terkandung di dalam air tersebut seperti merkuri.

15 Pemantauan kualitas air sungai yang dilakukan oleh Bagian Lingkungan Hidup Setda Kabuaten Sintang (Lampiran 6) dengan frekuensi pengambilan bervariasi antara dua kali dan satu kali dalam setahun menunjukkan parameter Fe, BOD, COD dan Fenol yang dipantau tidak memenuhi kriteria mutu air kelas I Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Pemda Kabupaten Sintang, 2008). Distribusi air yang tidak tersedia sepanjang waktu juga menjadi faktor penyebabnya karena PDAM Kota Sintang melakukan pergiliran dalam mengalirkan air ke pelanggannya. Sehingga masyarakat lebih memilih mengusahakan kebutuhan airnya sendiri dengan membuat sumur bor, kolam atau mengambil langsung dari sungai. Membuat sumur bor dan kolam dianggap masyarakat lebih praktis dan ketersediaan air bersih yang terjaga. Gambar 16. Pembuatan sumur bor Potensi Air Tanah Jumlah atau ketersedian air sangat berkaitan erat dengan iklim terutama curah hujan dan luas hutan. Kota Sintang merupakan daerah penghujan. Rata-rata perbulan curah hujan di Kota Sintang sebesar 258,4 mm dengan jumlah rata-rata hari hujan per bulan sebanyak 19 hari. Kota Sintang mempunyai kandungan air tanah yang potensial. Ada dua jenis air tanah di Kota Sintang, yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan. Air tanah bebas adalah air tanah dari akifer yang hanya sebagian terisi air, terletak pada suatu dasar yang kedap air dan mempunyai permukaan bebas. Air tanah tertekan adalah air dari akifer yang sepenuhnya jenuh air, dengan demikian atas dan bawah dibatasi oleh lapisan yang kedap air. Air tanah bebas banyak digunakan rumah tangga sedangkan air tanah tertekan banyak dimanfaatkan oleh perkantoran dan perhotelan.

16 Hasil pengukuran Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum diketahui bahwa potensi air tanah Kota Sintang sebesar m 3 /tahun. Hasil uji analisis air tanah yang dilakukan oleh Bagian Lingkungan Hidup Setda Kab. Sintang (2008) juga menunjukkan bahwa air tanah di Kota Sintang memenuhi kreteria Kelas I Mutu Air menurut PP Nomor 82 Tahun Hasil uji analisis air tanah dapat dilihat pada Lampiran Kemampuan Hutan Menyimpan Air Sebagian air hujan yang tiba dipermukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekukanlekukan permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah rendah, masuk ke sungai, dan akhirnya ke laut. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah sebelum menjadi air bawah tanah keluar kembali segera ke sungai sebagai aliran bawah permukaan (interflow), tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air bawah tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama sebagai aliran air bawah tanah (groundwater flow). Aliran air sangat tergantung tata guna lahan di permukaan tanah. Adanya hutan dan vegetasi lainnya dapat menyerap dan menampung air di dalam tanah sehingga dapat menambah cadangan air tanah (Kodoatie dan Sjarie. 2008). Pada umumnya, tumbuhan yang mampu menyimpan air dalam tanah adalah tanaman yang berakar panjang dan berdaun kecil, sehingga dapat memperkecil penguapan dari daun. Proses transpirasi terjadi namun air tidak begitu mudah keluar karena mengalami proses metabolisme tertentu. Sehingga kehilangan air tanah dari tanaman selalu lebih rendah dibandingkan dengan kehilangan air di lahan terbuka. Kuantitas air yang tersedia dipengaruhi oleh luasan hutan. Tajuk hutan menangkap air hujan sehingga hanya sebagian dari air hujan yang sampai ke tanah dan meresap ke dalamnya. Serasah tumbuhan di lantai hutan menggemburkan tanah sehingga memperbesar laju peresapan air ke dalam tanah. Dampaknya ada dua, yaitu memperbesar suplesi air tanah dan mengurangi laju air aliran yang mengalir dipermukaan tanah. Hasil penelitian Rauf (2009) membuktikan bahwa lahan hutan secara konvensional telah berperan sebagai penyerap air (water holding) dalam jumlah

17 yang sangat besar. Kemampuan penyimpanan air ditunjukkan dengan kemampuan infiltrasi hutan tersebut. Hasil pengukuran kemampuan infiltrasi pada hutan di Kota Sintang diketahui sebesar 18 cm/jam. Dengan kemampuan tersebut maka per hektar lahan hutan di Kota Sintang dapat menyimpan air sebesar m 3. Penurunan luas hutan di Kota Sintang mempengaruhi penurunan cadangan air. Setiap hektar hutan mempunyai kemampuan menyimpan air sebesar m 3. Sehingga dengan persamaan penurunan luas hutan juga dapat diketahui penuruanan kemampuan menyimpan air. Penurunan kemampuan hutan menyimpan air dapat dilihat pada Gambar 17. Meter Kubik Tahun Gambar 17. Grafik penurunan kemampuan hutan menyimpan air di Kota Sintang Pada tahun 2001 luas hutan di Kota Sintang sebesar ha, dengan kemampuan per hektar hutan dapat menyimpan air sebesar m 3 maka pada tahun 2001 kemampuan menyimpan air sebesar m 3. Namun pada tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan kemampuan menyimpan air akibat dari luas hutan yang berkurang. Pada tahun 2008 kemampuan menyimpan air sebesar m 3. Sedangkan mulai pada tahun 2012 luas hutan di Kota Sintang akan tetap karena yang tersisa hanya Hutan Kota Baning saja yaitu seluas 213 ha, sehingga kemampuan menyimpan air juga akan tetap yaitu m 3.

18 5.4.3 Selisih Kebutuhan dan Ketersedian Air Bersih Untuk melihat kamampuan dalam penyedian air bersih maka dapat dilakukan pembandingan antara jumlah kebutuhan air bersih dengan kemampuan penyediaan air bersih Kota Sintang. Kemampuan penyediaan air bersih sudah mencakup air yang diproduksi PDAM, potensi air tanah dan kemampuan hutan pada kondisi sekarang dalam menyimpan air. Hasil pembandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air bersih dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 18. Untuk dapat memperkirakan kebutuhan air masyarakat Kota Sintang pada masa yang akan datang, maka perlu diketahui batasan jumlah penduduk di Kota Sintang. Batasan tersebut diketahui dengan memperhitungkan tahun terjadinya batas maksimal laju pertambahan lahan terbangun di Kota Sintang. Berdasarkan prediksi luas lahan terbangun yang telah dilakukan dengan persamaan Y = 1,121x 229 (Tabel 7) diketahui bahwa luas terbangun akan mencapai puncaknya pada tahun Pada tahun itu pula diketahui bahwa jumlah penduduk Kota Sintang akan mencapai jiwa. Tabel 11. Kebutuhan dan ketersedian air bersih di Kota Sintang Tahun Jumlah Kebutuhan Air Ketersediaan Air Selisih Penduduk (m 3 ) (m 3 ) (m 3 ) Sumber: Hasil Analisis Meter Kubik Tahun Kebutuhan Ketersediaan Gambar 18. Grafik kebutuhan dan ketersedian air bersih di Kota Sintang

19 Dari Gambar 18. diketahui bahwa antara kebutuhan dan ketersediaan air bersih akan mencapai titik keseimbangan pada tahun Pada tahun tersebut juga merupakan batas maksimal kota dapat menyediakan air bersih untuk warganya. Pada tahun 2019 juga dapat diketahui bahwa luas lahan terbangun sudah mencapai 34% atau ha. Sehingga untuk kebutuhan tahun-tahun berikutnya akan terjadi kekurangan air bersih. Pada tahun 2020 akan terjadi kekurangan air sebesar m 3. Sedangkan tahun 2025, kekurangan air bersih mencapai m Analisis Kebutuhan Hutan Kota Analisis kebutuhan hutan bertujuan untuk menentukan luas hutan yang harus dibangun dan dijaga untuk menjaga ketersedian air di kota sintang. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan: =. 1+ Analisis ini memerlukan beberapa parameter yang telah dijabarkan pada sub-sub bagian terdahulu yaitu, jumlah penduduk, tingkat konsumsi air per kapita, produksi air PDAM, potensi air tanah, dan kemampuan hutan kota menyimpan air. Prediksi jumlah penduduk, kebutuhan air bersih dan lahan terbangun di Kota Sintang hingga tahun 2042 dapat dilihat pada Tabel 12. Tahun Tabel 12. Kebutuhan hutan kota di Kota Sintang Jumlah Penduduk Sumber: Hasil Analisis 2009 Konsumsi Air (m 3 ) Luas Lahan Terbangun (ha) Kebutuhan Hutan Kota (ha)

20 Dari Tabel 12. diketahui bahwa kebutuhan hutan kota mencapai ha atau 30% luas kota pada tahun Sedangkan pada tahun 2042 kebutuhan hutan kota sudah mencapai 47 % dari luas kota Kota Sintang yaitu ha. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa luas terbangun akan mencapai 60 % luas kota pada tahun 2042 sehingga ketersedian lahan untuk kebutuhan hutan kota seluas ha di tahun 2042 sangat sulit terpenuhi. Idealnya Hutan Kota harus luas, namun pada kenyataannya untuk mendapatkan lahan yang luas di kota sangat sulit dan mahal harganya, karena lahan yang ada juga diperlukan untuk memenuhi berbagai kegiatan kota seperti perdagangan, pendidikan, pemukiman dan lain sebagainya yang kesemuanya itu membutuhkan lahan yang luas dan terus meningkat dari tahun ke tahun (Dahlan, 2004) Potensi Hutan Kota Tingginya kebutuhan lahan untuk pembangunan kota serta terbatasnya lahan yang tersedia akan mendorong terjadinya perubahan dalam pemanfaatan dan penggunaan lahan di Kota Sintang. Pengembangan Kota Sintang akan meningkatkan nilai ekonomis lahan melebihi nilai sosialnya, sehingga menyebabkan alokasi lahan di perkotaan cenderung untuk kepentingan pembangunan ekonomi. Sebagai kota yang terus berkembang, pembangunan lahan untuk perumahan, perdagangan dan jasa di wilayah Kota Sintang akan meningkat sehingga dikhawatirkan kawasan hutan yang berfungsi ekologis sebagai daerah penunjang Kota Sintang akan hilang. Berdasarkan apek kebijakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 diketahui bahwa minimal hutan kota yang harus disediakan di Kota Sintang seluas ha. Untuk menjaga dan mengusahakan luas hutan yang lebih besar maka dapat memeperhatikan beberapa potensi yang dimiliki oleh Kota Sintang saat ini.

21 Hutan Kota Baning Hutan Kota Baning yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor 405/Kpts-II/99 pada tanggal 14 Juni 1999 mempunyai luas 213 ha. Kepala Pusat Informasi Kehutanan (2002) menyatakan bahwa untuk menjaga keberadaan dan kelangsungan fungsi hutan kota, maka setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau penurunan fungsi hutan kota. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah membakar hutan kota, merambah, menebang, memotong, mengambil dan memusnahkan tanaman dalam hutan kota tanpa izin pejabat yang berwenang, membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakaran atau membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota; dan mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah. Namun hutan kota dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Kegiatan dimaksud adalah: pariwisata alam, rekreasi, olah raga, penelitian dan pengembangan, pendidikan, serta untuk pelestarian plasma nutfah atau budidaya hasil hutan bukan kayu. Dari hasil survey beberapa upaya pemerintah Kota Sintang dalam menjaga hutan kota Baning adalah dengan membangun pagar pemisah yang mengitari hutan kota Baning. Pembangunan pagar ini dianggap efektif untuk melindungi kawasan dari pembukaan atau perambahan yang dapat menyebabkan kerusakan hutan. Pemerintah juga telah membuat jalan berupa gertak kayu untuk menikmati keindahan hutan dan kesegaran udara. Namun pembangunan jalan ini belum rampung karena hanya ada satu rute saja dan kondisi jalan juga sudah mulai rusak Penetapan Status Hutan yang Tersisa Hasil analisis citra tahun 2008 menunjukkan bahwa masih tersisa hutan di Kota Sintang seluas 787 ha atau 17%. Setelah dikurangi dengan luas Hutan Kota Baning maka masih tersisa 574 ha hutan alami yang sangat potensial untuk dijadikan Hutan Kota.

22 Menyadari laju pembukaan hutan yang sangat cepat di Kota Sintang maka pemerintah harus dapat menekannya dengan cara membuat tata ruang yang mengatur kawasan terbangun, budidaya dan kawasan lindung. Potensi hutan alami yang sangat potensial sebesar 574 ha maka yang dapat dilakukan adalah meningkatkan status kawasan tersebut menjadi hutan kota. Keberadaannya sangat strategis karena mengelilingi Kota Sintang sehingga dapat berfungsi juga sebagai buffer kota. Pekerjaan pemerintah menjadi sedikit ringan karena tidak harus membangun hutan dari awal, pemerintah cukup menetapkan kawasan tersebut menjadi hutan kota dan mengawasinya. Dengan meningkatkan status kawasan tersebut menjadi hutan kota diharapkan dapat menjaga dan memenuhi kebutuhan hutan kota untuk menjaga ketersedian air. Selain berfungsi sebagai penjaga ketersedian air, hutan alami tersebut juga memiliki kelebihan dari sisi ekonomi dan ekologis. Sisi ekonominya, biaya untuk membangun hutan kota menjadi lebih rendah. Sedangkan sisi ekologisnya yaitu memiliki kekayaan spesies dan genetis, struktur pepohonan yang bervariasi, habitat serta komunitas flora dan fauna yang terjaga (Gul, Gezer dan Kane, 2006) Sempadan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi Kota Sintang dilewati oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Kedua sungai ini memiliki sempadan sungai yang berpotensi sebagai lahan Hutan Kota. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sempadan sungai didefinisikan sebagai kawasan sepanjang kiri dan kanan sungai. Daerah sempadan mencakup daerah bantaran sungai yaitu bagian dari badan sungai yang hanya tergenang air pada musim hujan dan daerah sempadan yang berada di luar bantaran yaitu daerah yang menampung luapan air sungai di musim hujan dan memiliki kelembaban tanah yang lebih tinggi dibandingkan kelembaban tanah pada ekosistem daratan. Kriteria sempadan sungai menurut Pasal 16 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 adalah sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai. Dengan memanfaatkan sempadan sungai maka diperoleh lahan potensial untuk pembangunan hutan kota seluas 251 ha.

23 Hutan kota yang berada pada sempadan sungai berfungsi sebagai konservasi air disepanjang sungai dalam menjaga mekanisme inflow ke sungai dan outflow ke air tanah. Proses inflow-outflow tersebut merupakan proses konservasi hidrolis sungai dan air tanah. Komponen vegetasi sungai secara hidrolis berfungsi sebagai retensi alamiah sungai. Dengan demikian, air sungai dapat secara proporsional dihambat lajunya ke hilir. Dampaknya dapat mengurangi banjir dan erosi disepanjang sungai (Anonim, 2007) Sempadan Jalan Kawasan sempadan jalan adalah jalur hijau di sepanjang kanan-kiri jalan terutama jaringan jalan primer dan arteri sekunder. Jalur sempadan ini dapat digunakan sebagai areal hutan kota yang berfungsi juga sebagai koridor jalan. Berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kota Sintang tahun 2006 maka hasil perhitungan pemanfaatan sempadan jalan diperoleh luasan total hutan kota sebesar 273 ha. Lebar jalur hijau sempadan jalan yang ditetapkan di dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota Sintang sebagai berikut: Untuk jaringan jalan primer yang menghubungkan Kota Sintang dengan wilayah eksternal, direncanakan jalur hijau selebar 50 meter di setiap sisi jalan dihitung dari batas luar ROW jalan sehingga diperoleh 81 ha lahan yang potensial untuk pembangunan hutan kota. Untuk jaringan jalan internal kota (jaringan sekunder) jalur hijau sempadan jalan ditetapkan 25 meter di setiap sisi jalan arteri sekunder, dihitung dari batas luar ROW jalan sehingga diperoleh 192 ha lahan yang potensial untuk pembangunan hutan kota Lahan Terbuka Bekas Tambang Kota Sintang terdapat beberapa lokasi seperti di Kapuas Kanan Hulu, Baning Kota dan Tanjung Puri. Bekas kegiatan penambangan emas tersebut sudah ditinggalkan. Keberadaan lahan ini sangat potensial untuk dikelola pemerintah agar dapat dikembalikan fungsinya menjadi hutan. Luas total lahan bekas penambangan emas tersebut adalah 205 ha.

24 Total luas hutan kota yang dapat disediakan baik yang sudah ada maupun berupa lahan potensial yang dapat dibangun menjadi hutan kota dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Potensi hutan kota di Kota Sintang No Potensi Lahan Luas Lahan ha Persen Hutan Kota Baning Hutan alami Sempadan sungai Sempadan jalan Lahan bekas tambang Total Luas Kota Sintang ha Sumber: Hasil Analisis 2009 Dari Tabel 13 diketahui bahwa luas hutan kota yang dapat disediakan sekitar ha (33%). Sesuai dengan UU No. 26. Tahun 2007, kuota 30% dapat terpenuhi. Luas hutan kota seluas ha dapat menambah persediaan air kota sebesar m 3 sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan air jiwa di tahun Sedangkan diperkirakan penduduk Kota Sintang akan terus bertambah dan akan mencapai puncaknya sekitar jiwa pada tahun Tentunya dengan hanya mengandalkan hutan kota untuk pemenuhan kebutuhan air hingga tahun 2042 tidak bisa mencukupi.

25

26 Selain melakukan penambahan luas hutan kota, pemerintah juga harus melakukan tindakan lainnya seperti usaha menurunkan angka pertambahan penduduk serta melakukan perbaikan pengolahan air bersih sehingga tekanan penduduk terhadap pemanfaatan air tanah dalam jumlah besar dapat dikurangi. Pembangunan hutan kota bukan satu-satunya cara dalam mengatasi masalah ketersedian air di Kota Sintang namun dengan mengalokasikan hutan kota dari sekarang merupakan suatu tindakan preventif terhadap masalah lingkungan lainnya yang akan timbul seperti pencemaran udara, kebutuhan oksigen dan tempat melepas lelah bagi masyarakat Kota Sintang. Hal ini sangat perlu karena Kota Sintang akan terus mengalami perkembangan. Usaha yang dapat dilakukan selain membangun hutan kota adalah dengan menurunkan angka pertambahan penduduk lebih kecil dari 3,8%. Pemerintah Daerah Kota Sintang dapat mempromosikan dan menggiatkan program Keluarga Berencana sehingga peningkatan jumlah penduduk kota dapat dikendalikan. Kemampuan kota menyediakan air bersih bagi warganya sesuai dengan perencanaan adalah sebanyak jiwa, sedangkan saat ini penduduk Kota Sintang diperkirakan jiwa. Jika program ini berhasil maka rentang pemenuhan kebutuhan air bersih dapat diperpanjang. Pemerintah dapat melakukan perbaikan jaringan untuk memperkecil tingkat kebocoran. Meningkatan produksi air bersih karena dari kapasitas total produksi PDAM saat ini berkisar m 3 /tahun, namun produksi air hanya m 3 /tahun. Meningkatkan waktu pengaliran air menjadi 24 jam sehari. Dengan meningkatnya pelayanan PDAM maka dapat memperkecil penggunaan air tanah oleh masyarakat. Pengembangan infrastruktur air bersih di Sintang dapat dikembangkan dari konsep dan pendekatan yang telah digariskan oleh Ditjen Perkotaan dan Perdesan Departemen Pekerjaan Umum untuk penyediaan prasarana dasar perkotaan seperti terlihat pada Tabel 14. dibawah ini.

27 Tabel 14. Strategi pengembangan prasarana dasar perkotaan: Air bersih pada berbagai skala Kota Di Indonesia Skala Kota Strategi Pengembangan Metro + Besar - Peningkatan pelayanan - Penambahan sambungan rumah - Penambahan hidran umum - Penambahan kapasitas Sedang + Kecil - Peningkatan pelayanan - Penambahan sambungan rumah - Penambahan hidran umum - Penambahan kapasitas - Penambahan kran umum - Penambahan IPA Sumber: Ditjen Perkotaan dan Perdesaan Dep. Pekerjaan Umum Dengan melihat pada arahan diatas, maka untuk Kota Sintang yang termasuk dalam kategori kota kecil mengarah menjadi kota sedang (dalam artian ukuran penduduk), konsep yang digunakan untuk pengembangan prasarana dasar air bersih dan sanitasi adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kapasitas dan pelayanan 2. Penambahan sambungan rumah, kran dan hidran umum 3. Penambahan IPA Untuk mengatasi kelangkaan sumber air dan kurangnya air bersih (terutama saat musim kemarau), strategi yang perlu ditempuh yaitu : 1. Pencarian atau penelusuran sumber air yang baru (non sungai) untuk menambah kapasitas produksi sumber air yang ada 2. Pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana air bersih seperti perluasan daya jangkau pipa air bersih agar dapat menjangkau seluruh kawasan 3. Pemeliharaan dan operasi instalasi air bersih oleh PDAM untuk meminimalisasi kebocoran 4. Menjaga dan meningkatkan ketersediaan air dari sumber air yang telah ada

28 5.5.2 Tipe Hutan Kota Hutan kota yang akan dibangun di Kota Sintang diarahkan ke hutan kota berstruktur banyak, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan, semak, liana, epifit, rumput dan jenis tanaman penutup tanah lainnya. Hutan kota berstruktur banyak paling efektif untuk menanggulangi masalah lingkungan kota (Irwan, 2005). Menurut Onrizal (2005) hutan yang me miliki tajuk berlapis dapat mengurangi daya hancur butiran hujan sehingga laju erosi akan dapat diminimalisir. Demikian juga halnya dengan keberadaan tumbuhan bawah dan serasah serta humus yang akan semakin memperbesar kemampuan hutan dalam menahan air. Oleh karena itu, kandungan air tanah pada hutan akan besar dan akan dikeluarkan secara perlahan-lahan pada musim kemarau. Sedangkan tipe-tipe hutan kota yang dapat dibangun disesuaikan dengan kondisi lahan yang berpotensi sebagai hutan kota. Tipe-tipe hutan kota menurut Dahlan (2007) adalah: Tipe Pemukiman Hutan Kota di daerah pemukiman dapat berupa taman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi yang dikombinasikan dengan semak dan rerumputan. Hutan Kota yang dibangun di daerah pemukiman juga dapat berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, penahan angin, dan peredam kebisingan. Gambar 20. Hutan kota yang berada di pemukiman (Sumber Dirjen PU, 2006)

29 Tipe Perlindungan Kota Sintang merupakan kota di tepian dua buah sungai besar. Bangunan yang ada disepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Melawi merupakan kios-kios berjualan yang sifatnya semi permanen dan tidak tertata rapi sehingga dengan pembangunan hutan kota di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Melawi dapat memberikan keuntungan yaitu meningkatkan keindahan kota dan menghindarkan area kota dari bahaya erosi serta tanah longsor pada tebing sungai. Gambar 21. Hutan kota di sempadan sungai Tipe Pengaman Hutan Kota tipe pengaman berbentuk jalur hijau di sepanjang tepi jalan. Selain berfungsi sebagai daerah tangkapan air juga berfungsi sebagai penahan kendaraan yang keluar. Hutan kota disepanjang jalur jalan akan membentuk koridor sehingga menurut Grey dan Deneke (1978) dalam disain penanaman pohon tepi jalan, fungsi-fungsi estetik dan prinsip-prinsip seni seperti urutan, pengulangan, ritme, kesatuan, penekanan, dan skala adalah dasar dari disain tanaman tepi jalan yang baik. Demikian juga bentuk, ukuran, tekstur dan warna. Suatu jalan harus memberi kesan yang menyenangkan dari setiap pergerakan, dimana akan berguna yang menyenangkan bagi pemakai jalan jika terdapat keharmonisan dan kesatuan dengan karakteristik lanskap yang ada sehingga fungsional secara fisik dan visual (Simonds, 1983). Tanaman pada lanskap jalan memiliki peran yang cukup besar. Carpenter, Walker and Lanphear (1975) mengemukakan bahwa kehadiran tanaman di lingkungan perkotaan memberikan suasana alami. Daun-daun hijau tanaman dengan berbagai tekstur dan bayangan yang ditimbulkan oleh pohon menghadirkan kelembutan serta

30 kesegaran pada areal beraspal. Tanaman juga dapat menetralkan suasana akibat temperatur yang tinggi, polusi udara serta suasana bising. Pedoman umum dalam mengkomposisikan tanaman untuk memberi kesan estetika yang menarik adalah: (1) tanaman disajikan secara massal, (2) disusun secara kontinyu dan linier di sepanjang jalan, (3) menggunakan berbagai variasi bentuk tajuk, warna dan ukuran daun, (4) kombinasi antara penutup tanah, perdu dan pohon, (5) memberi vocal point atau kontras, dan (6) menggunakan display tanaman khusus pada tempat-tempat tertentu (Deirjen PU, 1996). Gambar 22. Hutan kota sebagai jalur pengaman jalan Tipe Pelestarian Plasma Nutfah Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk Hutan Kota yang memenuhi kriteria ini adalah taman hutan raya. Ada dua sasaran pembangunan Hutan Kota untuk pelestarian plasma nutfah, yaitu : 1. Sebagai koleksi plasma nutfah, khususnya pengembangan vegetasi secara ex-situ. 2. Sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang dilindungi atau yang akan dikembangkan sesuai dengan perkembangan vegetasi. Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.

31 Hutan kota dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan hutan kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu. Hutan kota yang dibangun di Kota Sintang selain berfungsi sebagai penjaga ketersediaan air juga dapat diarahkan kepada penyediaan habitat burung dan satwa lainnya Tipe Rekreasi dan Keindahan Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan menyegarkan kembali kondisi yang jenuh dengan kegiatan rutin melalui sajian alam yang indah, segar, dan penuh ketenangan. Hutan kota yang dibangun diharapkan juga sebagai tempat masyarakat mengenal alam dan fungsinya sehingga dapat membentuk masyarakat yang menghargai lingkungan Jenis Tanaman Jenis tanaman tergantung pada fungsi tanaman dan lokasi dimana tanaman tersebut dapat ditanam. Tanaman yang dipergunakan adalah dari kelompok pohon, perdu, semak dan penutup tanah. Menurut Dahlan (1992) pemilihan jenis tanaman untuk perkotaan harus memenuhi kriteria: 1. Faktor edafis yang terdiri dari kecocokan jenis tanah dan ph. 2. Faktor estetika terdiri dari bentuk daun, bunga, buah, percabangan dan tajuk. 3. Faktor iklim yang terdiri dari suhu dan kelembaban. 4. Faktor silvikultur yang terdiri dari benih, bibit dan pemeliharaan. Jenis tanaman yang digunakan dalam pembangunan hutan kota di Kota Sintang dipilih jenis tanaman yang mempunyai kemampuan meningkatkan kandungan air tanah. Jenis tanaman tersebut dicirikan dengan sistem perakaran tanaman yang dalam dan menyebar serta menghasilkan banyak serasah yang akan berubah menjadi humus sehingga memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar. Maka kadar air tanah hutan akan meningkat. Sistem perakaran dan serasahnya dapat memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menciptakan wilayah

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN DAERAH SAMPANG NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMPANG, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sintang Kalimantan Barat, terletak kurang lebih 395 km dari K ota Pontianak Ibu Kota Propinsi Kalimantan Barat. Meliputi

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA UMUM Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencegah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI I. UMUM Di dalam undang-undang no 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang, dijelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk dapat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN. temuan dan analisis terhadap area rawa yang direklamasi menjadi kawasan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN. temuan dan analisis terhadap area rawa yang direklamasi menjadi kawasan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN 5.1 Kesimpulan Penelitian Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan analisis terhadap area rawa yang direklamasi menjadi kawasan

Lebih terperinci

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang 62 BAB VII PERENCANAAN 7.1 KONSEP PERENCANAAN 7.1.1 Konsep Dasar Perencanaan Penelitian mengenai perencanaan lanskap pasca bencana Situ Gintung ini didasarkan pada tujuan mengembalikan fungsi situ mendekati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai komunitas tumbuhan juga memiliki fungsi hidrologis dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai peran yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Penjelasan PP Nomor 63 Tahun 2002 Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà - 1 - jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo Fungsi Ekologis Terciptanya Iklim Mikro 81% responden menyatakan telah mendapat manfaat RTH sebagai pengatur iklim mikro.

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan DIPRESENTASIKAN OLEH : 1. MAGDALENA ERMIYANTI SINAGA (10600125) 2. MARSAHALA R SITUMORANG (10600248) 3. SANTI LESTARI HASIBUAN (10600145) 4. SUSI MARIA TAMPUBOLON

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SINTESIS

ANALISIS DAN SINTESIS 55 ANALISIS DAN SINTESIS Lokasi Lokasi PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills yang terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dikhawatirkan dapat berakibat buruk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri PT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian tentang Lingkungan Hidup dan Lingkungan Perkotaan Soemarwoto (1985) mengemukakan bahwa lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan dan pengembangan suatu kota berjalan sangat cepat, sehingga apabila proses ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup dikhawatirkan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) Artikel OPINI Harian Joglosemar 1 MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) ŀ Turunnya hujan di beberapa daerah yang mengalami kekeringan hari-hari ini membuat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Luas dan Letak Wilayah Kota Sintang memiliki luas 4.587 Ha yang terdiri dari 3 Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai dengan pembagian aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Pertama,

Lebih terperinci

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan Kota memiliki keterbatasan lahan, namun pemanfaatan lahan kota yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan kota sering meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

WALIKOTA PALANGKA RAYA

WALIKOTA PALANGKA RAYA WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA RAYA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

*39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 63/2002, HUTAN KOTA *39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERTAMANAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan keindahan

Lebih terperinci

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR : 5 TAHUN 2010 Menimbang : PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN BUNDARAN MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk, terutama manusia. Dua pertiga wilayah bumi terdiri dari lautan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa guna menciptakan kesinambungan dan keserasian lingkungan

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muka bumi yang luasnya ± 510.073 juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 148.94 juta Km 2 (29.2%) dan lautan 361.132 juta Km 2 (70.8%), sehingga dapat dikatakan bahwa

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan air (dependable flow) suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) relatif konstan, sebaliknya kebutuhan air bagi kepentingan manusia semakin meningkat, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan, bahwa penduduk perkotaan dari waktu ke waktu cenderung meningkat jumlah dan proporsinya. Hal

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Lingkup Arsitektur Lansekap Lansekap sebagai gabungan antara seni dan ilmu yang berhubungan dengan desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya merupakan

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan kualitas estetika pohon-pohon dengan tekstur tertentu pada lanskap jalan dan rekreasi yang bervariasi. Perhitungan berbagai nilai perlakuan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 30 APRIL 2004 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK 01 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU Cecep Kusmana Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci