BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak hal baru yang belum pernah dilakukan saat masa kanak-kanak.

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode dimana seseorang mulai mencoba lebih banyak hal baru yang belum pernah dilakukan saat masa kanak-kanak. Steinberg (2011) menyatakan bahwa masa remaja dimulai pada usia 10 tahun dan berakhir di usia 21 tahun. Pada rentang usia tersebut, individu mulai mengalami konflik dan perubahan suasana hati. Setiap proses perkembangan dapat memengaruhi kehidupan individu selanjutnya. Proses perkembangan remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa remaja atau dari masa remaja menuju masa dewasa. Transisi yang terjadi dapat secara emosional, sosialisasi, agama, hubungan keluarga, dan moralitas (Nurhayati, 2011). Selama dasawarsa terakhir ini, di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan tentang permasalahan remaja yang semakin serius khususnya masalah sosial, psikologi, budaya, dan moralitas (Sriyanto, Abdulkarim, Zainul, & Maryani, 2014). Permasalahan yang sering terjadi dikalangan remaja adalah perilaku kenakalan. Kenakalan remaja merupakan bentuk kejahatan atau kenakalan yang menunjukkan gejala patologis secara sosial pada remaja, sehingga remaja mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Unayah & Sabarisman, 2015) dan melanggar hukum (Fatiasari N, 2008). Di akhir tahun 2016, Polda Metro Jaya merilis indeks kejahatan, dan menemukan 1

2 2 bahwa kenakalan remaja di Indonesia mengalami peningkatan sepanjang tahun 2016 (Nailufar, 2016). Salah satunya di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta, ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta sudah dikenal masyarakat luas sebagai Kota Budaya dan Pelajar. Kota Yogyakarta memiliki beragam potensi budaya baik fisik maupun nonfisik (Tata, 2017). Potensi budaya fisik berupa banyaknya benda dan kawasan cagar budaya di Kota Yogyakarta, sedangkan potensi budaya nonfisik berupa gagasan, sistem nilai dan norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat. Sebagai kota budaya, Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari nilainilai budaya yang masih dihargai dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Salah satu nilai budaya dalam Tata Nilai Budaya Yogyakarta adalah nilai moral (Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011). Nilai moral yang dimaksudkan adalah manusia harus berhati-hati dalam bertindak, jangan sampai melukai atau merugikan orang lain, jangan menyombongkan kepandaian, harta, paras elok, dan busana, serta jangan pula menyombongkan diri dengan keberanian, suka menantang untuk bertengkar, tidak tahu malu, iri hati, dengki, dan suka mencela orang lain (Agus, 2012). Selain itu, Yogyakarta disebut juga sebagai Kota Pelajar. Hal tersebut dikarenakan terdapat banyak sekolah dan universitas yang sudah terjamin mutunya dan terakreditasi secara baik di dunia pendidikan, serta banyak sumber daya manusia yang berkualitas di Yogyakarta (Latief, 2015). Beberapa perguruan tinggi dan sekolah di Yogyakarta sudah membuktikan mutunya melalui para mahasiswa dan siswa sekolah menengah berprestasi, baik tingkat

3 3 nasional maupun internasional. Namun, terlepas dari predikat yang dimiliki kota Yogyakarta sebagai Kota Budaya dan Pelajar, terdapat beberapa permasalahan yang sebenarnya dapat merusak citra Yogyakarta (Widyatama, 2016). Beberapa fenomena sosial yang terjadi di Yogyakarta tidak mencerminkan predikat sebagai Kota Budaya dan Pelajar (Widyatama, 2016). Pelajar di daerah berhati nyaman ini tidak luput dari perilaku-perilaku negatif yang dapat mencoreng nama kota Yogyakarta dari sebutan kota pelajar (Handika, 2012). Perilaku-perilaku negatif yang kerap kali terjadi, yaitu vandalisme, perkelahian atau tawuran pelajar, minum-minuman beralkohol, melakukan hubungan seks diluar nikah, hingga mengonsumsi narkoba. Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto dalam wawancaranya bersama Tribun Jogja menyebutkan bahwa kenakalan remaja menjadi salah satu potensi ancaman yang mengganggu keamanan dan ketertiban Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (Hidayah, 2016). Dilansir dari suaramerdeka.com (2016), Kapolresta Yogyakarta, Kombes Pol Tommy Wibisono mengatakan bahwa kenakalan remaja masih sering terjadi di Kota Pelajar. Pada tanggal 20 September 2016, seorang remaja usia 17 tahun di Bantul menantang remaja dari sebuah sekolah di wilayah Merganggasan karena kesal sekolahnya pernah diejek. Selain itu, berdasarkan berita yang dimuat dalam solopos.com pada tanggal 23 September 2016, Kepolisian Sleman berhasil mengamankan empat remaja pelaku penganiayaan dan pembacokan di daerah Pakem. Kapolda DIY, Brigjen Pol Prasta Wahyu Hidayat mengungkapkan

4 4 bahwa salah satu pelaku sempat berpamitan dengan orangtua sebelum melakukan aksi balas dendamnya. Orangtua salah satu pelaku sudah melarang rencana balas dendam tersebut, tetapi pelaku tetap melancarkan aksinya (Priambodo, 2016). Sementara itu, terkait perilaku mencuri yang dilakukan remaja, pada tahun 2015 polisi berhasil menangkap tiga remaja berusia 17 tahun yang melakukan aksi pencurian sebanyak 60 sepeda motor di Kota Yogyakarta. Ketiga remaja tersebut telah melakukan pencurian sejak tahun 2014 secara bergantian (Mahrizal, 2015). Dilansir dari jogja.tribunnews.com, pada tanggal 21 Desember 2016 telah terjadi pencurian sepeda yang dilakukan remaja usia 17 tahun bersama dengan tiga temannya di Caturharjo, Sleman. Kasus lain terkait kenakalan remaja adalah penggunaan narkoba. Sebesar 27% pengguna narkoba merupakan anak usia sekolah dasar hingga remaja usia sekolah menengah atas di Yogyakarta. Banyak kasus yang terjadi pada remaja pengguna narkoba mengakibatkan remaja tidak dapat berpikir dan belajar, bahkan dikeluarkan dari sekolah (news.okezone.com, 2016). Perilaku vandalisme juga kerap kali terjadi di DIY, salah satunya terjadi di Stadion Sultan Agung Kabupaten Bantul. Pengelola stadion berhasil menangkap tiga remaja tanpa identitas yang sedang melakukan aksi corat-coret di stadion tersebut pada bulan September 2016 (Ismiyanto, 2016). Lain halnya dengan berita yang dilansir dari tribunjogja.com, dua remaja yang diberikan peringatan oleh warga sekitar jalan Kaliurang agar tidak melakukan vandalisme, tidak mengindahkan peringatan yang telah diberikan. Akan tetapi,

5 5 dua remaja tersebut memukul kepala warga yang memberikan peringatan dengan plat besi yang mereka bawa dari rumah. Kedua remaja tersebut berhasil ditangkap oleh polisi pada 01 Mei 2017 lalu (tribunjogja.com, 2017). Terkait kasus tawuran atau biasa disebut klitih di Yogyakarta, kasus tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2016 (Rahardjo, 2016). Sepanjang tahun 2016, sebanyak 43 kasus tawuran antar remaja terjadi di DIY. Pelaku tawuran berada pada rentang usia tahun. Satuan Pembinaan Masyarakat (SATBINMAS) Resor Kota Yogyakarta juga mencatat telah terjadi delapan kasus tawuran antar pelajar SMP dan SMA di Yogyakarta sejak bulan Februari sampai Oktober Menurut Kepala SATBINMAS Resor Kota Yogyakarta, Kompol Isrowiyah, kenakalan remaja tahun 2016 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Kompol Isrowiyah mengatakan bahwa SATBINMAS sering menemukan sekelompok remaja yang sedang berkumpul dan membawa senjata tajam di malam hari. Sementara itu, SATBINMAS juga berhasil menemukan satu geng motor pelajar yang meresahkan warga pada 20 September Motor yang mereka bawa tidak memiliki STNK dan tidak sesuai standar. Terkait perilaku bolos sekolah, SATBINMAS mencatat telah melakukan pembinaan pada 98 siswa SMP dan SMA usia tahun sejak tahun 2015 hingga Berdasarkan hasil survei online kenakalan remaja yang telah dilakukan peneliti pada tanggal November 2016, didapatkan 61 responden dengan rentang usia 14 hingga 18 tahun. Terdapat dua responden usia 14 tahun, 35

6 6 responden usia 15 tahun, enam belas responden usia 16 tahun, tiga responden usia 17 tahun, dan lima responden usia 18 tahun. Responden dalam survei online tersebut berasal dari berbagai sekolah di Yogyakarta. Dari hasil survei tersebut diketahui penyebab kenakalan dapat dikelompokan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal penyebab kenakalan remaja adalah kesadaran diri yang kurang mengenai dampak yang dapat timbul akibat melakukan kenakalan, dan masih rendahnya tingkat spiritualitas. Selain itu, faktor eksternal penyebab kenakalan remaja adalah pengaruh lingkungan sekitar, dan kurangnya pengawasan serta perhatian dari orangtua. Orangtua merupakan elemen yang memiliki lingkaran paling dekat dengan remaja dan bertugas untuk menanamkan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Orangtua harus mampu menjadi sarana yang mengontrol atau memantau kehidupan remaja di masyarakat. Pembentukan perilaku seseorang bermula dari keluarga (Agustiani, 2006). Oleh karena itu, peran orangtua sangat penting dalam perkembangan remaja. Menurut Teori Ekologi Bronfenbrenner (Santrock, 2012), keluarga merupakan salah satu sistem lingkungan pertama bagi individu, atau biasa dikenal dengan mikrosistem. Dalam mikrosistem, individu menghabiskan banyak waktu dan berinteraksi secara langsung salah satunya dengan orangtua. Komunikasi merupakan aspek yang signifikan terkait kelekatan antara orangtua dengan remaja (Moitra & Mukherjee, 2012). Komunikasi antara orangtua dengan remaja merupakan interaksi yang terjadi antara dua atau tiga individu yang memiliki keterikatan.

7 7 Komunikasi antara dua individu (terkadang lebih) yang saling bergantung disebut dengan komunikasi interpersonal (DeVito, 2013). Ying, dkk. (2015) juga menyatakan bahwa salah satu cara atau kunci untuk membangun dan menguatkan hubungan serta kedekatan antara orangtua dengan remaja adalah komunikasi. Dikutip dari health.liputan6.com, Psikolog Adelina Syarief, SE., M.Psi mengatakan bahwa sebenarnya faktor utama untuk mencegah timbulnya kenakalan remaja adalah komunikasi orangtua dan anak. Namun, tidak jarang para orangtua justru membuat remaja semakin nakal, padahal sebenarnya orangtua bermaksud untuk memahami perubahan yang terjadi pada anaknya (Unayah & Sabarisman, 2015). Keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan perilaku kenakalan remaja (Moitra & Mukherjee, 2012). Setiap orangtua memiliki cara yang berbeda untuk mengomunikasikan nilai-nilai kehidupan pada remaja. Namun, menurut Sarwono (2013), orangtua harus tetap memperhatikan persepsi remaja, bukan hanya pandangan orangtua itu sendiri. Sebab, ketika seorang remaja memandang suatu hal sebagai sebuah ketidakadilan, maka remaja akan menunjukkan perilaku sesuai dengan pandangannya itu sendiri. Remaja biasanya memiliki sudut pandangnya sendiri dalam memandang suatu hal. Memahami remaja memang bukan suatu perkara yang mudah (Sarwono, 2013). Oleh sebab itu, Sarwono (2013) menyatakan bahwa dibutuhkan kemampuan tertentu untuk memahami pandangan remaja, begitu pula dengan perasaan yang ada dibalik pandangan tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan mencari tahu mengenai kecenderungan

8 8 remaja melakukan kenakalan dilihat dari persepsi remaja terhadap kemampuan komunikasi interpersonal orangtua. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap kemampuan komunikasi interpersonal orangtua dengan kecenderungan kenakalan remaja. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan atau kajian, serta dapat memberikan gambaran untuk penelitian-penelitian selanjutnya mengenai persepsi terhadap kemampuan komunikasi interpersonal orangtua dan kecenderungan kenakalan remaja. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran tentang bagaimana kemampuan komunikasi orangtua dengan individu usia remaja tengah, tahun, dan dapat menjadi tambahan informasi dalam pembuatan intervensi atau pelatihan komunikasi yang baik dan sesuai antara orangtua dan remaja.