Ringkasan Eksekutif 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Ringkasan Eksekutif 1"

Transkripsi

1 A. PENDAHULUAN Sistem angkutan umum di sebagian besar kota-kota raya dan besar di Indonesia dilayani oleh angkutan umum jalan raya. Sistem angkutan umum yang baik, terencana, dan terkoordinasi dengan baik akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem transportasi perkotaan. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas Angkutan Jalan, diamanatkan untuk kota Besar dan kota Raya memiliki sistem angkutan massal jalan berlajur khusus yang harus didukung sistem pengumpan. Namun setelah ditetapkannya undang-undang ini, hingga saat ini belum ada dokumen resmi sebagai jabaran dari undang-undang ini yang ditetapkan guna memandu proses perencanaan sistem angkutan massal berbasis jalan dikawasan perkotaan. Oleh karenanya untuk dapat mengembangkan dan menerapkan sistem ini dikawasan perkotaan sesuai dengan amanat undangundang, perlu ditetapkan suatu bentuk panduan yang dapat dijadikan acuan bagi proses perencanaan angkutan massal berbasis jalan untuk kawasan perkotaan, khususnya kota-kota dengan kategori kota besar dan kota raya. B. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud kegiatan adalah melakukan analisis dan evaluasi pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di wilayah perkotaan. Tujuan kegiatan adalah tersusunnya konsep pengembangan angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di perkotaan. C. LINGKUP KEGIATAN a) Inventarisasi dan review kebijakan mengenai pengembangan sistem transportasi massal berbasis jalan di perkotaan; b) Inventarisasi kebijakan pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di perkotaan; c) Menganalisis dan mengevaluasi kondisi eksisting dan rencana prasarana jalan perkotaan; Ringkasan Eksekutif 1

2 d) Menganalisis dan mengevaluasi kondisi eksisting pelayanan sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di perkotaan; e) Menyiapkan konsep kriteria kebutuhan data/informasi untuk melakukan perencanaan angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di perkotaan; f) Melakukan analisis kelengkapan data/informasi yang memadai untuk proses pengembangan angkutan massal berbasiskan jalan untuk setiap kota; g) Melakukan studi literatur / benchmarking untuk proses perencanaan sistem angkutan massal berbasis jalan di negara lain; h) Menetapkan kota (percontohan) untuk proses pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di perkotaan; i) Melakukan analisis pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di perkotaan terpilih; j) Menyiapkan konsep pedoman perencanaan angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di perkotaan; dan k) Lokasi obyek studi ini akan dilaksanakan di Kota Makasar, Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Surabaya dan Jakarta (JABODETABEK). D. PENDEKATAN DAN METODOLOGI Untuk mencapai tujuan dan sasaran studi, perlu dirumuskan suatu metodologi yang ditekankan pada pengembangan pedoman angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi pada jaringan transportasi perkotaan. Tahapan-tahapan pendekatan kajian, ditransformasikan kedalam suatu bentuk alur yang lebih terstruktur yang menempatkan tahapan-tahapan tersebut kepada posisi dan level yang jelas seperti yang ditunjukan dalam Gambar 1. Ringkasan Eksekutif 2

3 Inventarisasi kajian, studi, rencana dll Inventarisasi peraturan perundangan LAP. PENDAHULUAN BENCHMARKING REFERENSI & PENGALAMAN DOMESTIK & INTERNASIONAL MENGENAI SAUM JALAN KAJIAN PUSTAKA Studi2 terkait Penelusuran sumberpustaka terkait dengan SAUM Berbasis Jalan PENETAPAN KRITERIA DATA/INFORMASI PERENCANAAN ANGKUTAN MASSAL JALAN RAYA PROSES KAJI ULANG KAJIAN ASPEK LEGAL & INSTITUSIONAL Review perundangan yang berhubungan dengan perencanaan angkutan umum INVENTARISASI DATA DI MASING-MASING KOTA PENETAPAN LOKASI UJI KASUS LAP. ANTARA ANALISIS & EVALUASI PENGEMBANGAN PEDOMAN & REVIEW KONSEP PEDOMAN Strategi & Kebijakan Angkutan Umum Identifikasi Masalah Eksisting Kondisi Eksisting Jaringan, Lalu lintas, Guna Lahan PENGEMBANGAN KONSEP S.A.U.M JALAN Pola Jaringan Titik Pelayanan Kapasitas Layanan Teknologi Moda KONSEP. LAP. AKHIR REKOMENDASI LAP. AKHIR Konsep Pedoman Pengembangan SAUM Berbasis Jalan Konsep SAUM Kota Percontohan: Pola Jaringan Pols Operasional Kapasitas Layanan Teknologi Moda Gambar 1. Pola Pikir Kajian Ringkasan Eksekutif 3

4 E. PROSEDUR PEDOMAN PERENCANAAN BRT Secara konseptual langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam merencanakan koridor angkutan massal berbasis jalan dijelaskan sebagai berikut: 1. Analisis Permintaan dan Penetapan Koridor 2. Rancangan Operasional: a. Penentuan Pola Operasi Sistem b. Perancangan Jejaring dan Layanan c. Perancangan Rute d. Penentuan Rentang (Waktu operasional) Layanan e. Penentuan Frekuensi Layanan f. Estimasi Jenis dan Jumlah Armada g. Estimasi Jumlah Platform pada titik layanan(halte) h. Penentuan Rancangan titik layanan (Halte) 3. Pemilihan Teknologi Kendaraan BRT 4. Penyiapan Rencana Usaha: a. Penyiapan Kelembagaan dan Fungsinya b. Penyiapan Model Usaha (Bisnis) c. Pola Manajemen dan Operasi dengan Pendekatan Kaidah Bisnis d. Efisiensi Operasional e. Pengembangan Perolehan Pendapatan dan Pemasaran f. Strategi Komunikasi untuk Identitas Lembaga g. Perencanaan Operasional h. Kebijakan Tarif dan Subsidi untuk Pengguna (Fare Policy and User Subsidy) i. Penerapan Subsidi 5. Penyiapan Kebijakan Pendukung: a. Integrasi Moda b. Manajemen permintaan perjalanan c. Integrasi dengan Perencanaan Guna Lahan 6. Proses Penyiapan Implementasi Sistem BRT: a. Rencana Pendanaan b. Opsi opsi Pembiayaan Lokal c. Penentuan operator Ringkasan Eksekutif 4

5 F. PEMILIHAN KONSEP SISTEM ANGKUTAN UMUM MASSAL PERKOTAAN Langkah awal yang dibutuhkan oleh pembuat kebijakan suatu kota adalah menyesuaikan sistem yang akan dipilih berdasarkan karakteristik kota tersebut dengan menggunakan parameterparameter umum seperti yang ditunjukan dalamtabel 1. Tabel 1. Kriteria untuk Pemilihan Sistem Angkutan Massal Nilai Ambang Kriteria Kereta (disyaratkan) Kereta (minimum) atau BRT Busway/BRT (minimum) Populasi Kawasan 2,000,000 1,000, ,000 Perkotaan Populasi Pusat Kota 700, , ,000 Kepadatan Populasi 5,500 3,900 1,950 Pusat Kota (org/km2) Luas Lantai di CBD 4,500,000 2,2500,000 1,800,000 (km2) Jumlah Pekerjaan 100,000 70,000 50,000 Tujuan perjalanan 120,000 60,000 40,000 harian di CBD/km2 Tujuan perjalanan 70,000 40,000 30,000 harian di CBD/koridor Pergerakkan keluar 75, ,000 50,000-70,000 35,000 CBD di garis cordon di jam sibuk Sumber:Deen, T.B. and Pratt, R.H. (1992) Mengacu kepada kriteria didalam Tabel 1, maka berdasarkan ketersediaan data (dalam hal ini jumlah populasi kota) dari masingmasing kota yang dijadikan sampel dalam studi ini, sistem angkutan massal yang sesuai dengan karakteristik kota ditunjukan dalamtabel 2. Ringkasan Eksekutif 5

6 Tabel 2. Sistem Angkutan Massal Kota-kota Sampel KOTA DKI JAKARTA TEKNOLOGI SAUM KOTA Kereta atau Kereta Busway/BRT BRT SURABAYA MEDAN PALEMBANG BANDUNG SEMARANG MAKASAR Interpretasi dari sistem angkutan massal untuk kota-kota seperti yang ditunjukan dalam Tabel 2 adalah bahwa untuk kota dengan jumlah populasi tertentu sudah harus dilayani oleh bentuk angkutan massal tertentu, seperti DKI Jakarta dan Surabaya sudah harus dilayani oleh angkutan massal berbasis rel. Namun ini tetap disesuaikan dengan karakteristik dari koridor yang ada atau direncanakan, sehingga untuk koridor-koridor yang belum sesuai tetap bisa dilayani oleh sistem angkutan umum lainnya. Contoh lainnya adalah seperti kota Bandung dan Medan yang masih bisa memiliki opsi antara angkutan masssal berbasis rel dan jalan. Hal penting lainnya adalah juga mempertimbangkan rencana kota dimasa datang terutama dari prediksi jumlah penduduk yang akan ditampung. Sehingga tentunya pilihan sistem angkutan massal ini selayaknya menggunakan ukuran angka prediksi tersebut dan rekomendasi yang ditunjukan dalam Tabel 2(mis. kota Semarang& Makasar) bisa digunakan sebagai kebijakan antara sampai kondisi dan kesiapan kota sudah tercapai. G. SISTEM DAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat emisi kendaraan adalah: 1) Faktor-faktor yang terkait dengan perjalanan, seperti:jumlah perjalanan, jarak perjalanan, dan cara/gaya mengemudi; Ringkasan Eksekutif 6

7 2) Faktor-faktor yang terkait dengan jaringan jalan, seperti:desain geometris jalan; 3) Faktor-faktor yang terkait dengan kendaraan, seperti:ukuran mesin, horsepower, berat kendaraan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengukur kualitas lingkungan dari suatu kendaraan, yaitu: 1) Tingkat emisi; 2) Standar kualitas udara di sekitar; 3) Kualitas bahan bakar; 4) Jenis bahan bakar dan sistem penggerak; 5) Tingkat kebisingan di dalam dan di luar kendaraan; 6) Standar ventilasi dan temperatur di kendaraan. Sementara itu, untuk mencapai standar emisi tertentu, beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam program pengendalian emisi yaitu: 1) Kualitas bahan bakar; 2) Teknologi mesin; 3) Teknologi pengendali emisi; 4) Program pemeriksaan dan perawatan kendaraan; 5) Pelatihan pengemudi. Sedangkan untuk tingkat kebisingan, ditentukan oleh beberapa faktor berikut, yaitu: 1) Teknologi bahan bakar dan penggerak; 2) Rancangan sistem penggerak; 3) Ukuran kendaraan (relatif terhadap ukuran mesin); 4) Teknologi peredam suara dan knalpot yang digunakan; 5) Kualitas permukaan jalan; 6) Proses perawatan/pemeliharaan. H. JENIS DAN TINGKAT EMISI BAHAN BAKAR Keputusan tentang jenis bahan bakar dan sistem penggerak (propulsion) moda angkutan umum memiliki dampak terhadap kesehatan masyarakat, efisiensi operasional dan biaya operasi. Pemilihan bahan bakar dan teknologi mesin yang terbaik dibuat dengan pertimbangan kelayakan ekonomi, keuangan, sosial dan lingkungan. Kebijakan dari pemerintah juga penting untuk diperhitungkan karena mungkin terkait dengan pertimbangan strategis yang lebih luas. Ringkasan Eksekutif 7

8 I. SISTEM DAN TEKNOLOGI HEMAT ENERGI Beberapa parameter yang mempengaruhi efisiensi penggunaan bahan bakar, adalah: kapasitas mesin, tarikan aerodinamis (aerodynamic drag), berat kendaraan, rolling resistance.sedangkanfaktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar dari suatu kendaraan adalah frekuensi perjalanan, jarak tempuh, jumlah pemberhentian, kecepatan rata-rata kendaraan. Tabel 3menunjukkan konsumsi penggunaan bahan bakar untuk perjalanan dalam kota dari jenis bus tunggal (panjang 12 m) terhadap berbagai jenis bahan bakar. Tabel 3. Konsumsi Bahan Bakar untuk Jenis Bus Tunggal Jenis Bahan Konsumsi Bahan Bakar Bakar km/liter liter/100km LPG Hibrida 1,37 73 CNG 0, Diesel 0, Bio Diesel 1,7 59 Sumber: diolah dari berbagai sumber J. SISTEM ANGKUTAN UMUM MASSAL PERKOTAAN BERBASIS JALAN YANG RAMAH LINGKUNGAN DAN HEMAT ENERGI Secara ideal sistem angkutan massal berbasis jalan harus menggunakan sumber energi listrik, sehingga aspek yang menjadi pertimbangan penting adalah aspek pembiayaan baik untuk investasi maupun pemeliharaan dan aspek estetika, terkait teknologi bus listrik yang masih menggunakan jejaring kawat listrik diudara. Namun sejalan dengan berkembangnya teknologi, saat ini sudah dikembangkan dan dioperasikan teknologi bus listrik yang menggunakan baterai yang dapat diisi ulang secara on line (OLEV) tanpa menggunakan kabel. Ringkasan Eksekutif 8

9 Bus listrik dengan pengisian secara bergerak (On-Line Electric Vehicle/OLEV), seperti yang ditunjukan dalam Gambar 2dan Gambar 3 merupakan teknologi kendaraan bertenaga listrik inovatif yang pengisian daya listriknya dilakukan dengan mekanisme transmisi atau jarak jauh (remote) dari unit pemasok tenaga listrik yang dikubur dibawah permukaan jalan. Sumber:Seung, Y. A., et.al (2010)& Ko, Y. D., and Jang, Y. J., (2011) Gambar 2. Bus dengan sistem OLEV Sumber:Seung, Y. A., et.al (2010)&Ko, Y. D., and Jang, Y. J., (2011) Gambar 3. Mekanisme Pengisian Tenaga OLEV Unit pengirim (transmitter) tenaga listrik - kabel induktif dibawah permukaan jalan - membangkitkan medan magnet untuk memasok sejumlah tenaga yang dibutuhkan oleh bus untuk bergerak. Disisi lain, unit pengambil tenaga yang dipasang di bagian bawah bus mengumpulkan tenaga listrik dari jarak jauh dan mendistribusikannya ke mesin untuk menggerakkan bus dan juga ke baterai yang berada didalam bus. Proses pengambilan tenaga listrik ini dilakukan secara menerus baik dalam keadaan bergerak maupun berhenti. Sehingga teknologi ini mampu mengatasi kebutuhan ukuran dan kapasitas baterei yang besar agar dapat Ringkasan Eksekutif 9

10 menyimpan tenaga yang memadai untuk kendaraan sebesar bus beroperasi secara normal. Oleh karenanya, aspek ekonomilah yang nampaknya akan menentukan pilihan dari teknologi moda angkutan massal berbasis jalan sejauh regulasi yang berlaku masih memberikan toleransi terhadap adanya emisi gas buang pada kadar tertentu. Dengan asumsi bahwa teknologi OLEV masih belum bisa digunakan secara luas dan tinjauan aspek lingkungan murni diukur dari tingkat emisi maka urutan prioritas pilihan moda angkutan massal berbasis jalan dengan teknologi dan jenis bahan bakar berikut: 1) Diesel Hybrid Electric atau CNG; 2) Diesel Euro V; 3) Diesel Euro IV; 4) Diesel Euro III. Untuk aspek ekonomi, maka penilaian terhadap pilihan suatu teknologi moda dan jenis bahan bakar sangat terkait dengan aspek hemat energi atau lebih spesifik kepada konsumsi penggunaan bahan bakar. Bila sisi tinjau hanya dari tingkat konsumsi bahan bakar saja untuk situasi yang setara maka prioritas pilihan moda adalah sebagai berikut; 1) Diesel Hybrid Electric; 2) Diesel (Euro); 3) LPG; 4) CNG. Dengan adanya fakta bahwa tingkat konsumsi bahan bakar dan emisi gas buang, terutama untuk bahan bakar diesel masih bisa direduksi dengan berbagai perlakuan khusus baik dari sisi teknologi penggerak kendaraan maupun sisi campuran bahan bakar diesel,maka untuk lebih obyektif, aspek hemat energi perlu dikonversikan kepada nilai biaya investasi dan operasional untuk suatu sistem angkutan massal yang diterapkan pada suatu kota. Oleh karenanya tidak mudah untuk menetapkan suatu standar baku berdasarkan aspek hemat energi, sehingga yang perlu dijadikan acuan utama adalah aspek ramah lingkungan dalam bentuk regulasi standar baku mutu lingkungan dan kebijakan terhadap penggunaan sumber energi berbasiskan fosil. Mengacu kepada kondisi faktual saat ini terhadap kesediaan prasarana dan sarana yang mendukung penggunaan kendaraan BBG, nampaknya untuk sementara waktu sampai kondisinya jauh lebih kondusif, penggunaan moda angkutan massal berbasis jalan raya dengan teknologi CD (standar EURO IV ke atas) masih layak Ringkasan Eksekutif 10

11 untuk dipertimbangkan. Namun tentunya hal ini perlu diimbangi dengan prosedur pemantauan dan pengendalian yang ketat dan konsisten agar standar kualitas emisi tetap bisa dipertahankan. Oleh karena itu, bila kebijakan energinya adalah tidak menggunakan energi berbasis fosil, maka untuk sistem angkutan massal berbasis jalan di kota-kota (Besar dan Raya) Indonesia yang paling sesuai adalah menggunakan moda berbahan bakar gas alam yang tentunya dengan catatan sejauh teknologi OLEV masih belum bisa diterapkan atau masih terlalu mahal untuk digunakan dalam kurun waktu tertentu. K. PEMILIHAN KOTA PERCONTOHAN Proses pemilihan kota percontohan mengacu kepada kriteria dasar terutama yang terkait dengan prasyarat kebutuhan data untuk analisis, khususnya analisis kuantitatif. Dari hasil inventarisasi kelengkapan data di masing-masing kota sesuai dengan prasyarat jenis data untuk keperluan analisis dirangkum dalam Tabel 4. Tabel 4. Tabulasi Ketersediaan Data Pokok Sebagai Kota Percontohan Kriteria Medan Palembang Koridor BRT Eksisting Belum Ada DKI Jakarta Ada Ada Ada Ada Bandung Semarang Surabaya Makassar Belum Ada Data Trayek Eksisting Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Data Asal-Tujuan Perjalanan Belum Ada Ada Lemah Ada Lemah Tidak Ada Ada Lemah Data Sosial Ekonomi Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Data Rencana Tata Ruang Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Rencana Koridor BRT Ada Ada Ada Ada Ada Belum Ada Ada Frekuensi Angkutan Umum Ada Lemah Ada Ada Ada Ada Lemah Okupansi Pengguna Tidak Ada Tidak Ada Ada Angkutan Umum Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Model Jaringan Tidak Ada Tidak Ada Ada Transportasi Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Sumber:Analisis Konsultan Ringkasan Eksekutif 11

12 Dari hasil verifikasi terhadap ketersediaan dan kualitas komponen utama data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa kota Surabaya bisa dijadikan percontohan untuk proses analisis angkutan umum massal jalan raya dalam studi ini. L. PENGEMBANGAN SAUM KOTA SURABAYA Berdasarkan data hasil survai HIS, besarnya potensi permintaan angkutan umum eksisting dan lokasi aktifitas naik turun penumpang ditunjukan dalam Gambar 4dan Gambar 5. Gambar 4. Permintaan Angkutan Umum Kota Surabaya Gambar 5. Lokasi Naik-Turun Penumpang Ringkasan Eksekutif 12

13 Dari kedua gambar diatas (Gambar 4 dan Gambar 5) dapat ditarik gariskoridor utama angkutan umum yang dapat dikembangkan menjadi suatu sistem angkutan umum yang baru seperti yang ditunjukandalam Gambar 6. Ujung Baru Bulak Banteng Citra Raya Rungkut Terminal Purabaya Gambar 6. Perkiraan Koridor Utama SAUM Kota Surabaya Jika diambil 3 koridor yang akan dijadikan koridor SAUM kota Surabaya 1), maka 3 koridor utamatersebut yaitu: 1) Koridor A :Terminal Purabaya- Kenjeran-Ujung Baru 2) Koridor B : Terminal Purabaya- Bulak Banteng 3) Koridor C :Citra Raya Rungkut (UNESA) 1. Besaran Permintaan untuk 3 Koridor SAUM Jalan Kota Surabaya Analisis besaran permintaan dimasing-masing koridor dilakukan untuk mengetahui koridor yang pelu diimplementasikan terlebih dahulu. Analisis dilakukan untuk dua skenario, yaitu skenario koridor tunggal dan multi koridor. 1) Penetapan akhir trase koridor berkaitan dengan geometrik (dan juga komponen lainnya seperti biaya, sosial, ekonomi, kebijakan dan kesiapan PEMDA dll) akan di finalisasi dalam satu studi kusus mengenai detail desain teknis (detail engineering desain, DED) yang tidak disertakan pembahasannya dalam studi ini. Ringkasan Eksekutif 13

14 Dari hasil uji skenario tunggal (Tabel 5), diprediksi koridor C memiliki keunggulan dari jumlah demand eksisting yang ada. Nilai seat turn-over (pertukaran penumpang dalam kendaraan) di koridor yang ada cukup besar menandakan koridor ini dapat dipotong menjadi 2 koridor terpisah. Tabel 5. Skenario Koridor Tunggal SAUM Kota Surabaya Corridor Dir Length Passanger Max Vol Av. Vol Seat (km) (pax/hour) (pax/hour) (pax/hour) Turn Over A S-U ,070 1,752 1, U-S ,045 3,162 1, B S-U ,405 1,517 1, U-S ,616 2,548 1, C B-T ,107 2,798 1, T-B ,072 2,603 1, Dengan pendekatan multi koridor, keseluruhan koridor BRT dalam uji skenario ini diasumsikan telah beroperasi secara bersamaan, dan hsil uji ditunjukan dalam Tabel 6. Cor Dir Length Tabel 6. Skenario Multi Koridor SAUM Kota Surabaya Passangers (pax/hour) Volume Seat Turn-Over Ticket Transfer Total Max Average A S-U , ,566 2,235 1, U-S , ,561 3,486 1, B S-U , ,139 1,867 1, U-S , ,894 2,486 1, C B-T , ,829 3,508 2, T-B , ,165 2,958 2, Total penumpang yang diangkut seluruh koridor BRT meningkat 19% dibandingkan total penumpang seluruh koridor BRT skenario tunggal. Jika dilihat dari jumlah transaksi, jumlah transaksi skenario multi koridor lebih besar 6.8% dibandingkan skenario tunggal. Pada koridor A terjadi peningkatan jumlah transaksi sebesar 3% dan total Ringkasan Eksekutif 14

15 penumpang koridor A 14% lebih tinggi dibandingkan skenario tunggal. Peningkatan jumlah penumpang tertinggi terjadi pada koridor C dengan peningkatan sebesar 28% (peningkatan jumlah transaksi 13%) sedangkan untuk koridor B peningkatan jumlah penumpang yang terjadi sebesar 2% (meningkat 13% untuk jumlah transaksi). Jumlah penumpang yang transfer antar koridor sebesar 3,111 pax/jam (10.32% dari total penumpang seluruh koridor). 2. Kebutuhan Armada SAUM Surabaya Kebutuhan armada dihitung dari demand tahun dasar. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kapasitas minimum SAUM yang dibutuhkan. Secara keseluruhan kebutuhan armada untuk masing-masing koridor dapat dilihat dalam Tabel 7. Tabel 7. Tabulasi Kebutuhan Jumlah Armada SAUM Surabaya Koridor L v Tl h N o N A B C Sedangkan kebutuhan dimensi SAUM kota Surabaya ditunjukan dalamtabel 8. Cor Tabel 8. Perkiraan Dimensi SAUM Kota Surabaya Volume Maximum Volume Rata-Rata LF 2) N sb F C bmax C bvrg LF vrg C bmax A 3,486 1, B 2,486 1, C 3,508 2, ) Nilai LF ijin diambil 1 dengan asumsi kapasitas kendaraan adalah jumlah total penumpang maksimum yang dapat diangkut bukan berdasarkan jumlah kursi yang ada Ringkasan Eksekutif 15

16 Berdasarkan Tabel 8 diatas, maka untuk SAUM kota Surabaya membutuhkan kapasitas satu moda pax/jam. Dari kebutuhan ini maka jenis moda yang bisa digunakan adalah jenis bus tempel (articulated bus). 3. Lokasi Halte Lokasi titik-titik naik-turun dan transfer penumpang dapat direncanakan berdasarkan gambar hasil model baik titik boarding, titik alighting maupun total keduanya (Gambar 7). Ukuran dimensi halte dan platform hendaknya memperhatikan jumlah total aktivitas penumpang di titik tersebut. Gambar 7. Potensi Lokasi Halte 4. Estimasi Biaya Operasional Tabel 9 menunjukan esitimasi besaran biaya operasional dan Tabel 10 menunjukkan estimasi besaran tarif teknis SAUM kota Surabaya. Ringkasan Eksekutif 16

17 Tabel 9. Estimasi Biaya Operasional Koridor SAUM Kota Surabaya Koridor A Cost/bus/km/jam Item BBG EURO 2 EURO 6 Investasi Bus 7,359 7,163 8,596 Profit 10% Investasi Bus Biaya Operasional dan Pemeliharaan 10,848 10,939 10,436 Biaya overhead O-M 1,858 1,858 1,858 Total cost/bus/km/jam 20,801 20,677 21,750 Total cost/koridor/jam 21,841,490 21,711,133 22,837,395 Koridor B Cost/bus/km/jam Investasi Bus 7,042 7,042 7,042 Profit 10% Investasi Bus Biaya Operasional dan Pemeliharaan 10,842 8,682 10,429 Biaya overhead O-M 1,632 1,632 1,632 Total 20,220 18,061 19,807 Total cost/koridor/jam 30,426,862 27,177,755 29,806,139 Koridor C Cost/bus/km Investasi Bus 8,797 7,331 8,797 Profit 10% Investasi Bus Biaya Operasional dan Pemeliharaan 10,993 11,089 10,585 Biaya overhead O-M 1,669 1,669 1,669 Total 22,339 20,822 21,931 Total cost/koridor/jam 39,727,532 37,029,565 39,002,691 Ringkasan Eksekutif 17

18 Tabel 10. Estimasi Tarif Teknis SAUM Kota Surabaya Biaya(Rp 1,000,000) Permintaan (pax) Tarif Jam 2 an Tahunan Jam Puncak Tahunan (Rp/pax) Koridor A BBG , ,177 EURO , ,610 21,940,479 6,140 EURO , ,459 Koridor B BBG , ,871 EURO , ,688 32,157,240 5,244 EURO , ,751 Koridor C BBG , ,942 EURO , ,499 41,487,752 5,538 EURO , , Analisis Emisi SAUM Kota Surabaya Analisis emisi akan dibahas untuk masing-masing jenis bahan bakar yang digunakan. Besaran emisi dihitung melalui pendekatan volume bahan bakar yang digunakan selama operasional SAUM. Dalam studi ini tidak dibahas secara detail besaran konsumsi bahan bakar akibat pengaruh kemiringan jalan, kecepatan kendaraan, percepatan/perlambatan kendaraan dan pola penggunaan gear ratio selama pengoperasiannya karena dianggap telah direpresentasikan oleh asumsi kecepatan operasional/disain selama SAUM beroperasi. Hasil estimasi tingkat emisi untuk SAUM Kota Surabaya ditunjukan dalam Tabel 11.. Ringkasan Eksekutif 18

19 Tabel 11. Perkiraan Besaran Emisi SAUM Kota Surabaya Corr Qj ECij EFij Emision (kg CO2-e) Total CO2-e vol unit factor Unit CO2 CH4 N2O CO2 CH4 N2O (kg/day) BBG A 7,452 liter GJ/m , ,578 B 9,044 liter GJ/m , ,906 C 9,520 liter GJ/m , ,901 EURO 2 Diesel A 6,210 liter 38.6 GJ/1000L , ,755 B 7,537 liter 38.6 GJ/1000L , ,335 C 7,933 liter 38.6 GJ/1000L , ,405 EURO 6 Diesel A 2,981 liter 38.6 GJ/1000L , ,025 B 3,618 liter 38.6 GJ/1000L , ,740 C 3,808 liter 38.6 GJ/1000L , , Perkiraan Pertumbuhan Demand SAUM Kota Surabaya di Masa Mendatang Pertumbuhan penumpang rata-rata seluruh koridor di tahun 2030 sebesar 40.82% dan estimasi volume maksimum yang teradi di masing-masing koridor ditunjukan dalam Tabel 12. Tabel 12. Perkiraan Volume Maksimum di Segmen SAUM Kota Surabaya Corr Cor A Vol Seg max Cbmax H=3 min H=2 min , , , , Ringkasan Eksekutif 19

20 Cor B , , , , Cor C , , , , Berkaitan dengan kapasitas kendaraan,diperlukan besarnya volume maksimum masing-masing ruas untuk mengetahui kebutuhan jenis moda yang tepat. Jenis bus yang digunakan dalam simulasi adalah bus tempel (articulated bus) dengan kapasitas tiap bus sebesar 170 penumpang (pax). Dengan mempertahankan headway 3 menit koridor A maupun koridor C telah mengalami over-demand. Jika peluang memperkecil headway masih dimungkinkan maka dengan membuat headway pelayanan menjadi 2 menit, kebutuhan kapasitas di koridor A dan C dapat teratasi. Jika diperkirakan kedepan kondisi beban lalu lintas sangat tinggi dan tidak dimungkinkan untuk memperkecil headway maka opsi lainnya adalah meningkatkan kapasitas moda BRT yang ada menjadi bus tempel ganda (Bi- Articulated Bus) atau transformasi ke moda jenis LRT. 7. PerkembanganModa SAUM Kota Surabaya di Masa Mendatang Dengan tanpa memperhitungkan kendala fisik, ekonomi dan kebijakan Pemda, dimensi moda SAUM suatu kota selain dari sisi demand juga sangat dipengaruhi komponen lainnya yaitu desain headway dan kecepatan pelayanan. Kedua komponen tersebut akan berdampak langsung kepada besaran kapasitas yang disediakan.melihat perkembangan demand SAUM kota Surabaya maka disusun suatu skenario penetapan moda sehingga akan Ringkasan Eksekutif 20

21 Max Flow (pax/hour) Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan diperoleh gambaran moda yang sesuai dan Pemda dapat mengambil langkah-langkah persiapan yang dianggap perlu. 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1, Koridor A Koridor B Koridor C Gambar 8. Perkiraan Arus Maksimum Koridor SAUM Kota Surabaya Asumsi desain headway pelayanan adalah 2.5, 3 dan 5 menit. BRT bisa lebih fleksibel untuk nilai headway, namun LRT dan MRT memiliki permasalahan untuk nilai headway yang kecil (<2menit) hal ini berkaitan dengan sistem persinyalan serta aspek keselamatan operasional. Minimum headway LRT dan MRT bisa mencapai 110 detik (~1.8 menit, dengan sistem sinyal yang sangat rumit dan teknologi yang terbaru) namun umumnya nilai headway desain terkecil untuk LRT dan MRT menggunakan nilai 140 detik (~2.3 menit). Untuk kecepatan desain, BRT memiliki hambatan lebih besar (khususnya di simpang dan jalur mix-traffic seperti flyover) kecuali jika didesain exclusive elevated. Kecepatan maksimum di ruas umumnya kurang dari 45 km/jam. Namun, dengan asumsi adanya tambahan waktu proses boarding-aligthing diperkirakan kecepatan layanan maksimum kurang dari 30 km/jam. LRT dan MRT dapat mencapai 70 km/jam (90 km/jam maksimum di dalam Ringkasan Eksekutif 21

22 terowongan/tunnel). Kecepatan layanan maksimum bisa mencapai 50 km/jam. Berdasarkan batasan tersebut diambil kecepatan pelayanan yang akan disimulasikan sebesar 20, 25 dan 30 km/jam. Untuk kapasitas moda yang digunakan diambil nilai sebagai berikut: 1) Artikulated Bus : 170 pax/jam 2) Bi-Articulated Bus : 270 pax/jam 3) BRT :350 pax/jam (Siemens Combino Plus, 2 cars) M. KESIMPULAN 1) Dari hasil kajian dan analisis terhadap berbagai literatur dapat ditarik satu kesimpulan sebagai berikut : a) Ada beberapa definisi tentang angkutan massal namun salah satu definisi yang cukup singkat dan tepat adalah sebagai berikut; angkutan yang mampu mengangkut dan memindahkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula halnya untuk definisi Angkutan Massal Berbasis Jalan. Salah satu definisi adalah sebegai berikut; moda angkutan umum cepat yang mampu mengkombinasikan kualitas angkutan massal berbasis rel dengan tingkat fleksibilitas dari angkutan bis. b) Moda transportasi yang ramah lingkungan dapat didefinisikan sebagai moda yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungan, yaitu kendaraan dengan konsumsi bahan bakar yang rendah (efisien), menghasilkan emisi polutan dan suara yang rendah, manufaktur yang ramah lingkungan, menggunakan bahan-bahan pembentuk kendaraan yang optimum dan dapat di daur ulang, serta mempunyai kelebihan lain yang relevan dengan lingkungan. c) Secara umum, kendaraan yang hemat energi adalah kendaraan dengan konsumsi bahan bakar paling efisien atau ekonomis, dimana efisiensi pengunaan bahan bakar diukur berdasarkan rasio jarak tempuh perjalanan per unit bahan bakar yang dikonsumsi, biasanya dalam km/ liter. Namun bagi sistem angkutan massal yang hemat energi tergantung dari beberapa faktor seperti teknologi peggerak dan jenis bahan bakar, pola Ringkasan Eksekutif 22

23 operasional bis, keterpaduan rencana jaringan dengan guna lahan dan kebijakan pendukung lainnya. d) Dengan asumsi ketersediaan dari sumber energi dan kebijakan perlindungan lingkungan, maka sumber energi penggerak dari moda angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan adalah tenaga listrik, gas alam dan Solar bersih. 2) Dari hasil observasi lapangan diperoleh gambaran: a. DKI Jakarta telah menerapkan sistem BRT, sedangkan Palembang, Bandung dan Semarang baru menerapkan sistem semi BRT (sistem Transit). Namun seluruh kota yang diobservasi telah memiliki konsep perencanaan sistem angkutan massal pada tataran makro. b. Kondisi faktual di tujuh kota yang dijadikan sampel dalam studi ini, jaringan angkutan umumnya tidak terstruktur dan tumpang tindih serta tidak terintegrasi secara fisik maupun sistem. c. Angkutan kereta api yang beroperasi di DKI Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan merupakan bagian dari sistem angkutan massal regional namun dalam pelaksanaanya sebagian besar berjalan sendiri-sendiri. Seringkali akses menuju ke stasiun kurang didukung moda angkutan umum lainnya. 3) Berdasarkan analisis terhadap data teknis yang diperoleh dari observasi lapangan, Kota Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya sudah layak dilayani oleh angkutan massal berbasis Rel pada koridor-koridor yang sesuai 4) Penerapan angkutan massal jalan raya lebih sesuai pada koridor-koridor yang perkembangan intensitas guna lahannya linier 5) Penetapan struktur jaringan layanan (Trunk-Feeder atau Direct Service) bisa ditinjau dari perbedaan kepadatan penduduk antar wilayah, jarak antara pusat dan pinggir kota dan besaran permintaan pada koridor yang dikaji. 6) Regulasi yang mewajibkan penerapan lajur khusus (terproteksi) untuk angkutan massal jalan raya merupakan kendala utama untuk kota-kota besar di Indonesia Ringkasan Eksekutif 23

24 7) Secara substansi, lajur khusus baru perlu diterapkan bila kecepatan tempuh rata-rata pada koridor yang dikaji kurang dari 20 km/jam 8) Dalam studi ini telah dikembangkan konsep pedoman pengembangan angkutan massal berbasis jalan yang mempertimbangkan konsep ramah lingkungan dan hemat energi 9) Karena luasnya lingkup definisi dari istilah pengembangan, maka pedoman yang dikembangkan difokuskan pendalamannya untuk prosedur perencanaan angkutan massal perkotaan berbasis jalan. 10) Untuk uji coba aplikasi dari konsep pedoman yang dikembangkan, khusus untuk lingkup perencanaan koridor dan operasional, kota Surabaya adalah kota yang paling memenuhi karena; a) Data untuk analisis tersedia dengan memadai; b) Belum menerapkan/mengoperasikan sistem angkutan massal; c) Konsep perencanaan makronya tidak mengarah kepada angkutan massal berbasis jalan (sistem BRT). 11) Dari hasil uji coba perencanaan sistem BRT di kota Surabaya dengan prosedur analisis skala penuh dapat ditarik beberapa kesimpulan: a) Pengoperasian SAUM secara multi koridor (konektifitas antar moda) akan memberikan nilai tambah baik dari jumlah penggunaan SAUM itu sendiri maupun jumlah transaksi (penjualan tiket) dengan catatan adanya integrasi sistem antar koridor SAUM. b) Perencanaan desain kapasitas hendaknya didasarkan pada volume maksimum yang terjadi di tiap koridor hal ini untuk menjaga seluruh potensi penumpang yang dapat diangkut. c) Perencanaan kapasitas berdasarkan volume maksimum terlihat over capacity, namun sesungguhnya desain kapasitas berdasarkan volume rata-rata koridor tidak menjamin nilai faktor muat akan semakin baik. d) Penerapan desain berdasarkan volume rata-rata koridor akan mengakibatkan adanya potensi demand yang tidak terangkut. Hal ini dapat disiasati dengan membuat suatu rute pelayanan khusus, namun nilai load factor mungkin Ringkasan Eksekutif 24

25 tidak akan lebih baik dibanding desain berdasarkan nilai volume maksimum ruas. e) Selain itu perlu dicermati bahwa dengan adanya tambahan armada khusus akan berimplikasi tambahan biaya operasional (minimal dari jumlah armada dan SDM lapangan yang lebih banyak). f) Penggunaan CNG tidak selalu memiliki nilai BOK lebih baik dari bus berbahan bakar diesel. Sedangkan dari sisi emisi bus berbahan bakar CNG menghasilkan emisi (CO 2-e ) lebih baik dibandingkan bus diesel standar EURO 2 namun tidak lebih baik jika dibandingkan emisi bus diesel EURO 6. g) Dalam desain SAUM hendaknya memperhatikan kemungkinan peningkatan demand dimasa mendatang. h) Dengan memiliki nilai perkiraan demand masa mendatang dapat diperkirakan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang dapat terjadi. i) Untuk contoh kasus SAUM di kota Surabaya, sistem articulated bus hanya sanggup melayani demand hingga tahun Adanya dua opsi bi-articulated atau LRT tentu harus dipertimbangkan saat awal SAUM direncanakan terutama berkaitan dengan penyediaan lahan (memperkirakan desain halte, koridor, utilitas, sarana dan prasarana pendukung). N. REKOMENDASI 1) Urutan prioritas untuk kebijakan penggunaan bahan bakar angkutan massal perkotaan berbasis jalan adalah moda dengan teknologi penggerak berbasiskan: tenaga listrik, bahan bakar gas alam dan Solar bersih 2) Dalam konteks penggunaan energi alternatif untuk sumber tenaga listrik bisa mulai mempertimbangkan penggunaan teknologi nuklir 3) Kebijakan penggunaan bahan bakar gas alam untuk sistem BRT di Indonesia harus merupakan kebijakan yang bersifat transisional untuk sampai pada penggunaan teknologi penggerak listrik baik yang didasarkan dari tenaga pembangkit konvensional maupun tenaga pembangkit berbasiskan tenaga nuklir Ringkasan Eksekutif 25

26 4) Kriteria (teknis) utama untuk penetapan sistem operasional Angkutan Massal Jalan Raya adalah besarnya permintaan (demand) dan kecepatan tempuh rata-rata (operasional) pada masing-masing koridor 5) Pola operasional sistem Transit atau BRT di Indonesia harus menggunakan pendekatan jejaring dan sistem teknologi pintar (ITS). 6) Sistem Transit atau BRT untuk kota-kota (Besar & Raya) sebaiknya menerapkan sistem operasi layanan langsung (direct service) 7) Sistem Transaksi BRT harus menerapkan sistem elektronik 8) Pengelolaan angkutan massal jalan raya (BRT) harus diserahkan pada suatu lembaga pengelola yang terpisah dari Regulator/Otorita & Operator. 9) Rencana Operasional sistem BRT di kota-kota Indonesia mutlak harus memiliki rencana usaha (Bisnis Plan) 10) Regulator/Otorita harus memberikan kewenangan penuh pada lembaga pengelola untuk mengelola secara profesional & menerapkan pendekatan bisnis pada skala penuh 11) Perlu dikembangkan pedoman rancangan operasional khusus untuk BRT dengan sistem operasi layanan langsung dan tertutup (direct service). 12) Perlu adanya satu standar baku karena beberapa standar faktor emisi yang dikembangkan untuk Indonesia masih kurang (terutama untuk kendaraan dan moda transportasi dengan standar teknologi baru ). 13) Perlu adanya standarisasi komponen dan unit harga satuan untuk perhitungan BOK mengingat hingga saat ini komponenkomponen dan unit harga satuan tiap komponen tidak banyak dipublikasikan. 14) Perlu penetapan definisi yang lebih terukur dengan menambahkan kriteria kuantitatif jumlah penumpang dan kecepatan tempuh. Oleh karenanya sistem angkutan massal dapat didefinisikan sebagai angkutan penumpang kolektif perkotaan (urban) atau pinggiran kota (suburban) yang mampu mengangkut penumpang sebesar 10,000 atau lebih orang per jam (sibuk) per arah dengan kecepatan tempuh rata-rata operasional 25 km/jam atau lebih, baik dengan moda berbasis Ringkasan Eksekutif 26

27 jalan ataupun berbasis rel, dipermukaan, layang dan dibawah tanah. Sedangkan untuk sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi dapat didefinisikan sebagai angkutan penumpang kolektif perkotaan (urban) atau pinggiran kota (suburban) yang mampu mengangkut penumpang sebesar 3,000 orang atau lebih per jam (sibuk) per lajur per arah dengan kecepatan tempuh operasional 25 km/jam atau lebih, baik dipermukaan, layang dan dibawah tanah dan dioperasikan dengan menggunakan tenaga listrik, pendekatan jejaring dan teknologi pintar. Ringkasan Eksekutif 27

Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi BAB VIII PENUTUP

Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi BAB VIII PENUTUP BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan 1) Dari hasil kajian dan analisis terhadap berbagai literatur dapat ditarik satu kesimpulan sebagai berikut : a) Ada beberapa definisi tentang angkutan massal namun salah

Lebih terperinci

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI A. Pendekatan Kajian Pelaksanaan studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan dan Hemat Energi diharapkan menghasilkan suatu konsep pengembangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Kriteria Kinerja Untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kenerja dari sistem operasi trasportasi, maka diperlukan beberapa indikator yang dapat dilihat. Indikator tersebut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Angkutan Umum Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam serta guna mendapatkan alternatif pemecahan masalah transportasi perkotaan yang baik, maka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Transportasi adalah pergerakan orang dan barang bisa dengan kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor atau jalan kaki, namun di Indonesia sedikit tempat atau

Lebih terperinci

Indikator pengukuran kinerja jalan perkotaan

Indikator pengukuran kinerja jalan perkotaan Indikator pengukuran kinerja jalan perkotaan (MKJI, 1997 ; Khisty, 1990) Kapasitas (Capacity) Kapasitas adalah arus lalu lintas (stabil) maksimum yang dapat dipertahankan pada kondisi tertentu (geometri,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL BERBASIS JALAN RAMAH LINGKUNGAN DAN HEMAT ENERGI

BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL BERBASIS JALAN RAMAH LINGKUNGAN DAN HEMAT ENERGI BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL BERBASIS JALAN RAMAH LINGKUNGAN DAN HEMAT ENERGI A. Pemilihan Konsep Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan Pilihan terhadap suatu bentuk sistem angkutan massal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut :

BAB III LANDASAN TEORI. dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Peraturan dan Undang-Undang Terkait. Peraturan dan pedoman teknis dari pelayanan trayek angkutan umum dimuat dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Standar Pelayanan Angkutan Umum Pelayanan angkutan umum dapat dikatakan baik apabila sesuai dengan standar-standar yang telah di keluarkan pemerintah. Pengoperasian angkutan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kinerja dari sistem operasi

BAB III LANDASAN TEORI. Untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kinerja dari sistem operasi BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Kriteria Kinerja Untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kinerja dari sistem operasi transportasi, maka diperlukan beberapa indikator yang dapat dilihat. Indikator tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan sosial politik, sehingga transportasi menjadi urat nadi

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Indikator Kinerja Angkutan Umum Angkutan umum dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik apabila memenuhi kinerja-kinerja yang distandarkan. Hingga saat ini belum ada standar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Perkembangan kota Surabaya yang diikuti dengan pertumbuhan penduduk serta laju pertumbuhan ekonomi mengakibatkan kebutuhan akan transportasi cukup tinggi. Saat ini

Lebih terperinci

LAMPIRAN Kajian Kebijakan Standar Pelayanan Angkutan Umum di Indonesia (Menurut SK. Dirjen 687/2002)

LAMPIRAN Kajian Kebijakan Standar Pelayanan Angkutan Umum di Indonesia (Menurut SK. Dirjen 687/2002) LAMPIRAN Kajian Kebijakan Standar Pelayanan Angkutan Umum di Indonesia (Menurut SK. Dirjen 687/2002) 1. Prasyarat Umum : a) Waktu tunggu rata-rata 5-10 menit dan maksimum 10-20 menit. b) Jarak pencapaian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI MULAI. Studi Pustaka. Perumusan Masalah dan Tujuan. Persiapan dan Pengumpulan Data

BAB III METODOLOGI MULAI. Studi Pustaka. Perumusan Masalah dan Tujuan. Persiapan dan Pengumpulan Data BAB III METODOLOGI 3.1. Metodologi Pemecahan Masalah Di dalam pemecahan masalah kita harus membuat alur-alur dalam memecahkan masalah sehingga tersusun pemecahan masalah yang sistematis. Berikut ini adalah

Lebih terperinci

JUMLAH PERJALANAN JABODETABEK MENCAPAI 25,7 JUTA PERJALANAN/HARI. 18,7 JUTA (72,95 %) MERUPAKAN PERJALANAN INTERNAL DKI JAKARTA, 6,9 JUTA (27,05 %) ME

JUMLAH PERJALANAN JABODETABEK MENCAPAI 25,7 JUTA PERJALANAN/HARI. 18,7 JUTA (72,95 %) MERUPAKAN PERJALANAN INTERNAL DKI JAKARTA, 6,9 JUTA (27,05 %) ME LRT SEBAGAI SOLUSI EFEKTIF MENGATASI KEMACETAN JABODETABEK DISHUBTRANS DKI JAKARTA SEPTEMBER 2015 DISAMPAIKAN DALAM DIALOG PUBLIK DENGAN DTKJ 16 SEPTEMBER 2015 JUMLAH PERJALANAN JABODETABEK MENCAPAI 25,7

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Standar Kualitas Angkutan Umum Dalam mengoperasikan angkutan penumpang umum, parameter yang menentukan kualitas pelayanan angkutan umum mengacu pada Pedoman Teknis Penyelenggara

Lebih terperinci

Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (Tahap II) Laporan Akhir: Ringkasan Laporan

Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (Tahap II) Laporan Akhir: Ringkasan Laporan 3. Perspektif Wilayah dan Permintaan Perjalanan Masa Mendatang 3.1 Perspektif Wilayah Jabodetabek Masa Mendatang Jabodetabekpunjur 2018 merupakan konsolidasi rencana pengembangan tata ruang yang memberikan

Lebih terperinci

gerak yang ada, keselamatan, kenyamanan, dan lain-lain.

gerak yang ada, keselamatan, kenyamanan, dan lain-lain. III. LANDASAN TEORI 3.1. Kriteria Kinerja Menurut Hendarto (2001), untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kinerja dari sistem transportasi, maka diperlukan beberapa indikator yang dapat dilihat. Indikator

Lebih terperinci

PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM (Rute, Terminal, Tempat Henti)

PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM (Rute, Terminal, Tempat Henti) JurusanTeknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Pertemuan Ke 12 PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM (Rute, Terminal, Tempat Henti) Mata Kuliah: Pengantar Perencanaan Transportasi Prof. Siti Malkhamah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Umum Kinerja adalah kemampuan atau potensi angkutan umum untuk melayani kebutuhan pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Angkutan Umum Penumpang (AUP) Angkutan umum penumpang adalah angkutan penumpang yang dilakukan dengan sistem sewa atau bayar, seperti angkutan kota (bus, mini bus, dsb), kereta

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Konsep 3.1.1. Konsep partisipasi Kegiatan Perencanaan Angkutan Pemadu Moda New Yogyakarta International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk masyarakat

Lebih terperinci

MATRIKS PENJABARAN PENCAPAIAN KINERJA PROGRAM MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN

MATRIKS PENJABARAN PENCAPAIAN KINERJA PROGRAM MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN MATRIKS PENJABARAN PENCAPAIAN KINERJA PROGRAM MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN No ( Kinerja RPJMD) Program Dedicated 2 Pembangunan Perhubungan dan Transportasi 14.c Program pembangunan Terminal Bus Pulogebang

Lebih terperinci

Pertemuan Kelima Prodi S1 TS DTSL FT UGM

Pertemuan Kelima Prodi S1 TS DTSL FT UGM Pertemuan Kelima Prodi S1 TS DTSL FT UGM 1 Karakteristik Angkutan Umum Permintaan akan angkutan umum tersebar dalam waktu dan tempat Keinginan penumpang: a. Pencapaian mudah/jalan kaki tidak jauh b. Waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Transportasi massal yang tertib, lancar, aman, dan nyaman merupakan pilihan yang ditetapkan dalam mengembangkan sistem transportasi perkotaan. Pengembangan transportasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek (manusia atau barang) dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transportasi sehingga bertambah pula intensitas pergerakan lalu lintas kota.

I. PENDAHULUAN. transportasi sehingga bertambah pula intensitas pergerakan lalu lintas kota. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan manusia terhadap perkembangan kota dapat kita lihat bahwa manusia selalu berhasrat untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain guna mendapatkan

Lebih terperinci

Evaluasi Kinerja Angkutan Umum (Bis) Patas dan Ekonomi Jurusan Surabaya - Malang

Evaluasi Kinerja Angkutan Umum (Bis) Patas dan Ekonomi Jurusan Surabaya - Malang JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-6 1 Evaluasi Kinerja Angkutan Umum (Bis) Patas dan Ekonomi Jurusan Surabaya - Malang Krishna Varian K, Hera Widyastuti, Ir., M.T.,PhD Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

Ibnu Sholichin Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Ibnu Sholichin Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya EVALUASI PENYEDIAAN ANGKUTAN PENUMPANG UMUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE BERDASARKAN SEGMEN TERPADAT, RATA-RATA FAKTOR MUAT DAN BREAK EVEN POINT (Studi Kasus: Trayek Terminal Taman-Terminal Sukodono) Ibnu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Angkutan umum memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian, untuk menuju keberlajutan angkutan umum memerlukan penanganan serius. Angkutan merupakan elemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Umum Angkutan pada dasarnya adalah sarana untuk memindahkan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Tujuannya membantu orang atau kelompok orang menjangkau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permasalahan di sektor transportasi merupakan permasalahan yang banyak terjadi

I. PENDAHULUAN. Permasalahan di sektor transportasi merupakan permasalahan yang banyak terjadi I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan di sektor transportasi merupakan permasalahan yang banyak terjadi di berbagai kota. Permasalahan transportasi yang sering terjadi di kota-kota besar adalah

Lebih terperinci

PENYUSUNAN RENCANA INDUK BANDAR UDARA KABUPATEN BLITAR PENYUSUNAN RENCANA INDUK BANDAR UDARA KABUPATEN BLITAR

PENYUSUNAN RENCANA INDUK BANDAR UDARA KABUPATEN BLITAR PENYUSUNAN RENCANA INDUK BANDAR UDARA KABUPATEN BLITAR EXECUTIVE SUMMARY 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Maksud pelaksanaan pekerjaan pembuatan Rencana Induk Sub Sektor Transportasi Udara sebagai pendukung dan pendorong sektor lainnya serta pemicu pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. mengetahui pelayanan angkutan umum sudah berjalan dengan baik/ belum, dapat

BAB III LANDASAN TEORI. mengetahui pelayanan angkutan umum sudah berjalan dengan baik/ belum, dapat BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kriteria Kinerja Angkutan Umum Pelayanan angkutan umum yang sudah memenuhi kinerja yang baik apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam kurun waktu tertentu. (Hazian,2008) Transportasi dapat diartikan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam kurun waktu tertentu. (Hazian,2008) Transportasi dapat diartikan sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Umum Kinerja adalah kemampuan atau potensi angkutan umum untuk melayani kebutuhan pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. penumpang, bus kecil, bus sedang,dan bus besar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. penumpang, bus kecil, bus sedang,dan bus besar. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Angkutan Umum Angkutan Umum dapat didefinisikan sebagai pemindahan manusia dan barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Kendaraan umum adalah setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, angkutan dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan

Lebih terperinci

BAB VI KONSEP PANDUAN PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL BERBASIS JALAN YANG HEMAT ENERGI DAN RAMAH LINGKUNGAN

BAB VI KONSEP PANDUAN PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL BERBASIS JALAN YANG HEMAT ENERGI DAN RAMAH LINGKUNGAN BAB VI KONSEP PANDUAN PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL BERBASIS JALAN YANG HEMAT ENERGI DAN RAMAH LINGKUNGAN A. Pendahuluan Perbedaan mendasar dari suatu layanan BRT dengan layanan bus standar adalah pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Peranan tersebut menjadikan angkutan umum perkotaan sebagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Peranan tersebut menjadikan angkutan umum perkotaan sebagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angkutan umum perkotaan merupakan bagian dari sistem transportasi perkotaan yang memegang peranan sangat penting dalam mendukung mobilitas masyarakat. Peranan tersebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan tranportasi atau perangkutan adalah bagian kegiatan ekonomi yang. dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan tranportasi atau perangkutan adalah bagian kegiatan ekonomi yang. dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Transportasi Menurut Drs. H. M. N. Nasution, M. S. Tr. (1996) transportasi diartikan sebagai perpindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan, dan tranportasi atau

Lebih terperinci

SISTEM ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN ANGKUTAN UMUM PENUMPANG BERDASARKAN PENGGUNAAN DAN PENGOPERASIANNYA

SISTEM ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN ANGKUTAN UMUM PENUMPANG BERDASARKAN PENGGUNAAN DAN PENGOPERASIANNYA POKOK BAHASAN: ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DAN BARANG 13 SISTEM ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN ANGKUTAN PENUMPANG ANGKUTAN BARANG ANGKUTAN UMUM PENUMPANG BERDASARKAN PENGGUNAAN DAN PENGOPERASIANNYA ANGKUTAN UMUM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANGKUTAN UMUM 2.1.1 Komponen Sistem Angkutan Umum Pada sistem angkutan umum, terdapat tiga komponen utama yang mempunyai peran dan kepentingan tertentu dan seringkali saling

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Transportasi 2. 1. 1 Pengertian Transportasi Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan (destination). Perjalanan adalah pergerakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan perjalanan banyak mengalami perubahan dari sisi jumlah tetapi tidak diimbangi dengan kualitas pelayanannya.

Lebih terperinci

Manajemen Angkutan Umum Perkotaan

Manajemen Angkutan Umum Perkotaan Manajemen Angkutan Umum Perkotaan Latar Belakang 2 Angkutan Umum sebagai Obat Mujarab Permasahalan Transportasi Perkotaan 1 3 Singapura di Tahun 1970-an 4 2 Singapura Saat Ini 5 Jakarta Tempoe Doeloe 6

Lebih terperinci

MODEL PEMILIHAN MODA ANTARA LIGHT RAIL TRANSIT (LRT) DENGAN SEPEDA MOTOR DI JAKARTA

MODEL PEMILIHAN MODA ANTARA LIGHT RAIL TRANSIT (LRT) DENGAN SEPEDA MOTOR DI JAKARTA MODEL PEMILIHAN MODA ANTARA LIGHT RAIL TRANSIT (LRT) DENGAN SEPEDA MOTOR DI JAKARTA Febri Bernadus Santosa 1 dan Najid 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. Let. Jend S. Parman No.1 Jakarta

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) DENGAN PEMBANGUNAN BUSLANE PARSIAL PADA KORIDOR UTARA-SELATAN KOTA SURABAYA

ANALISIS PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) DENGAN PEMBANGUNAN BUSLANE PARSIAL PADA KORIDOR UTARA-SELATAN KOTA SURABAYA ANALISIS PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) DENGAN PEMBANGUNAN BUSLANE PARSIAL PADA KORIDOR UTARA-SELATAN KOTA SURABAYA Fitra Hapsari dan Wahju Herijanto Manajemen dan Rekayasa Transportasi Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Warpani ( 2002 ), didaerah yang tingkat kepemilikan kendaraaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Warpani ( 2002 ), didaerah yang tingkat kepemilikan kendaraaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Warpani ( 2002 ), didaerah yang tingkat kepemilikan kendaraaan tinggi sekalipun tetap terdapat orang yang membutuhkan dan menggunakan angkutan umum penumpang. Pada saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. Prestasi yang di perlihatkan, (3) kemampuan kerja.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. Prestasi yang di perlihatkan, (3) kemampuan kerja. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi Menurut Drs. Ahmad a.k muda dalam kamus saku bahasa Indonesia edisi terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. 2.2 Kinerja Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN 8 KORIDOR TRANSJAKARTA

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN 8 KORIDOR TRANSJAKARTA Konferensi Nasional Teknik Sipil 11 Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017 ANALISIS TINGKAT PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN 8 KORIDOR TRANSJAKARTA Najid 1 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara,

Lebih terperinci

1. BPTJ DAN KONDISI JABODETABEK 2. INDIKATOR KINERJA 3. RENCANA INDUK TRANSPORTASI JABODETABEK

1. BPTJ DAN KONDISI JABODETABEK 2. INDIKATOR KINERJA 3. RENCANA INDUK TRANSPORTASI JABODETABEK PERAN BPTJ DALAM MENCIPTAKAN SINERGI PROGRAM REVITALISASI ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN DI JABODETABEK KEMENTERIAN PERHUBUNGAN BADAN PENGELOLA TRANSPORTASI JABODETABEK Jakarta, 24 Agustus 2016 T A T A U R U

Lebih terperinci

PENELITIAN MODEL ANGKUTAN MASSAL YANG COCOK DI DAERAH PERKOTAAN. Balitbang bekerjasama dengan PT Karsa Haryamulya Jl.Imam Bonjol 190 Semarang

PENELITIAN MODEL ANGKUTAN MASSAL YANG COCOK DI DAERAH PERKOTAAN. Balitbang bekerjasama dengan PT Karsa Haryamulya Jl.Imam Bonjol 190 Semarang PENELITIAN MODEL ANGKUTAN MASSAL YANG COCOK DI DAERAH PERKOTAAN Balitbang bekerjasama dengan PT Karsa Haryamulya Jl.Imam Bonjol 190 Semarang RINGKASAN Pendahuluan Berdasarkan kebijakan Pemerintah Pusat,

Lebih terperinci

DepartemenTeknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Ke 13. PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM (Frekuensi, Headway, dan Jumlah Armada)

DepartemenTeknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Ke 13. PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM (Frekuensi, Headway, dan Jumlah Armada) DepartemenTeknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Pertemuan Ke 13 PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM (Frekuensi, Headway, dan Jumlah Armada) Mata Kuliah: Pengantar Perencanaan Transportasi Dr.Eng.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KINERJA JARINGAN JALAN ARTERI PRIMER DI KOTA SRAGEN TUGAS AKHIR. Oleh : S u y a d i L2D

IDENTIFIKASI KINERJA JARINGAN JALAN ARTERI PRIMER DI KOTA SRAGEN TUGAS AKHIR. Oleh : S u y a d i L2D IDENTIFIKASI KINERJA JARINGAN JALAN ARTERI PRIMER DI KOTA SRAGEN TUGAS AKHIR Oleh : S u y a d i L2D 301 334 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2004 ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG 1.1. Latar Belakang

BAB I LATAR BELAKANG 1.1. Latar Belakang BAB I LATAR BELAKANG 1.1. Latar Belakang Moda transportasi pada zaman sekarang bukanlah hal yang baru, karena hampir tiap hari masyarakat menggunakannya. Moda transportasi merupakan alat/tekhnik/cara untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persoalan transportasi merupakan masalah dinamis yang hampir ada di kota-kota besar di Indonesia. Permasalahan ini berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan

Lebih terperinci

MERCYANO FEBRIANDA Dosen Pembimbing : Ir. Wahju Herijanto, MT.

MERCYANO FEBRIANDA Dosen Pembimbing : Ir. Wahju Herijanto, MT. MERCYANO FEBRIANDA 3109100005 Dosen Pembimbing : Ir. Wahju Herijanto, MT. 1. Kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk Pembangunan MRT Jakarta 2. Rencana rute MRT Jakarta belum mencakup seluruh daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan globalisasi yang semakin pesat sangat berpengaruh terhadap perkembangan arus transportasi pada beberapa daerah yang ada di Indonesia. Salah satu daerah

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Kota Surakarta

BAB V PEMBAHASAN. Kota Surakarta BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini akan berisi pembahasan tentang posisi hasil penelitian terhadap teori yang digunakan sehingga mampu menjawab permasalahan penelitian. Pembahasan akan secara kritis dilakukan

Lebih terperinci

PERENCANAAN TRAYEK KERETA API DALAM KOTA JURUSAN STASIUN WONOKROMO STASIUN SURABAYA PASAR TURI TUGAS AKHIR

PERENCANAAN TRAYEK KERETA API DALAM KOTA JURUSAN STASIUN WONOKROMO STASIUN SURABAYA PASAR TURI TUGAS AKHIR PERENCANAAN TRAYEK KERETA API DALAM KOTA JURUSAN STASIUN WONOKROMO STASIUN SURABAYA PASAR TURI TUGAS AKHIR Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik Sipil (S-1) Diajukan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. a. UU No. 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan. b. PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan

BAB III LANDASAN TEORI. a. UU No. 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan. b. PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Peraturan dan Perundang-undangan a. UU No. 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan b. PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan c. SK Dirjen No.687/AJ.206/DRJD/2002

Lebih terperinci

Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai...

Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai... Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai... 114 Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai... 115 Gambar 5.32 Kondisi Jalur Pedestrian Penghubung Stasiun dan

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) Fitra Hapsari ( ) Jurusan Teknik Sipil Bidang Keahlian Manajemen Rekayasa Transportasi

EVALUASI PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) Fitra Hapsari ( ) Jurusan Teknik Sipil Bidang Keahlian Manajemen Rekayasa Transportasi Thesis EVALUASI PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) DENGAN PEMBANGUNAN BUSWAY PARSIAL PADA KORIDOR UTARA-SELATAN KOTA SURABAYA Fitra Hapsari (3105 206 001) Jurusan Teknik Sipil Bidang Keahlian Manajemen

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSIAL PERLINTASAN KERETA API TIDAK SEBIDANG DI JALAN KALIGAWE, SEMARANG TUGAS AKHIR

ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSIAL PERLINTASAN KERETA API TIDAK SEBIDANG DI JALAN KALIGAWE, SEMARANG TUGAS AKHIR ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSIAL PERLINTASAN KERETA API TIDAK SEBIDANG DI JALAN KALIGAWE, SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : LINDA KURNIANINGSIH L2D 003 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Aktivitas kota menjadi daya tarik bagi masyarakat sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan pemerintah Republik Indonesia merupakan usaha untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan terutama di bidang ekonomi. Pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 137

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan akan transportasi dan merangsang perkembangan suatu wilayah atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan akan transportasi dan merangsang perkembangan suatu wilayah atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi pada dasarnya mempunyai dua fungsi utama, yaitu melayani kebutuhan akan transportasi dan merangsang perkembangan suatu wilayah atau daerah tertentu. Masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan.

Lebih terperinci

Konservasi Energi pada Sektor Rumah Tangga

Konservasi Energi pada Sektor Rumah Tangga Berdasarkan audit energi, kebutuhan energi di Indonesia dibedakan atas beberapa sektor pengguna energi seperti: industri dan komersial, rumah tangga, transportasi, dan pemerintahan. Berikut ini akan dipaparkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Transportasi diartikan sebagai usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat yang lain, di mana

Lebih terperinci

REDESAIN TERMINAL TERPADU KOTA DEPOK

REDESAIN TERMINAL TERPADU KOTA DEPOK LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR (LP3A) REDESAIN TERMINAL TERPADU KOTA DEPOK Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Diajukan Oleh : NOVAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. angkutan kereta api batubara meliputi sistem muat (loading system) di lokasi

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. angkutan kereta api batubara meliputi sistem muat (loading system) di lokasi BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian Obyek penelitian berupa rencana sistem angkutan kereta api khusus batubara yang menghubungkan antara lokasi tambang di Tanjung Enim Sumatra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat. Banyak perangkatperangkat yang dibuat maupun dikembangkan sesuai bidangnya masing-masing. Perangkat tersebut digunakan

Lebih terperinci

L E B A K B U L U S BAB 1 PENDAHULUAN

L E B A K B U L U S BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkembangan Jakarta sebagai Ibukota negara Indonesia sudah sepantasnya sejajar dengan berbagai kota-kota lain di dunia dengan indeks pertumbuhan penduduk dan ekonomi

Lebih terperinci

Sumber: Automology.com. Ir. BAMBANG PRIHARTONO,MSCE JAKARTA, 10 JANUARI 2018

Sumber: Automology.com. Ir. BAMBANG PRIHARTONO,MSCE JAKARTA, 10 JANUARI 2018 Sumber: Automology.com Ir. BAMBANG PRIHARTONO,MSCE JAKARTA, 10 JANUARI 2018 OUTLINE O1 LATAR BELAKANG O2 DASAR HUKUM & LESSON LEARNED O3 KERANGKA KEBIJAKAN O4 O5 POTENSI LOKASI PENGATURAN SEPEDA MOTOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Menurut Munawar, Ahmad (2005), angkutan dapat didefinisikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaran. Undang-undang

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA TRAYEK LYN BM SURABAYA JURUSAN BRATANG MENANGGAL DISUSUN OLEH : BIMA PUTRA

EVALUASI KINERJA TRAYEK LYN BM SURABAYA JURUSAN BRATANG MENANGGAL DISUSUN OLEH : BIMA PUTRA TUGAS AKHIR RC 090412 EVALUASI KINERJA TRAYEK LYN BM SURABAYA JURUSAN BRATANG MENANGGAL DISUSUN OLEH : BIMA PUTRA 3109.040.505 PROGRAM STUDI DIPLOMA IV TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN PENDAHULUAN Angkutan jalan merupakan salah satu jenis angkutan, sehingga jaringan jalan semestinya ditinjau sebagai bagian dari sistem angkutan/transportasi secara keseluruhan. Moda jalan merupakan jenis

Lebih terperinci

TERMINAL PENUMPANG/TERMINAL BUS

TERMINAL PENUMPANG/TERMINAL BUS TERMINAL PENUMPANG/TERMINAL BUS Terminal Bus adalah tempat sekumpulan bus mengakhiri dan mengawali lintasan operasionalnya. Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka pada bangunan terminal penumpang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Transportasi sudah lama ada dalam perkembangan kehidupan manusia, dari masyarakat kuno sampai pada masyarakat modern saat ini. Aktivitas yang terjadi dalam

Lebih terperinci

PELUANG INVESTASI PEMBANGUNAN LRT DAN BRT

PELUANG INVESTASI PEMBANGUNAN LRT DAN BRT PELUANG INVESTASI PEMBANGUNAN LRT DAN BRT Ilustrasi LRT Kota Medan merupakan salah satu dari 5 kota di Indonesia dengan jumlah penduduk diatas 2 juta jiwa (BPS, 2015). Dengan luas 26.510 Hektar (265,10

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat lain dengan mengunakan kendaraan (Munawar, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat lain dengan mengunakan kendaraan (Munawar, 2011). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Angkutan adalah perpindahan orang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan mengunakan kendaraan (Munawar, 2011). Menurut Warpani, (1990), angkutan pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1408, 2017 KEMEN-ATR/BPN. Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan pemerintah Republik Indonesia merupakan usaha untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan terutama di bidang ekonomi. Dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. LokasiPengamatan Lokasi pengamatan berada pada terminal Arjosari Kota Malang dan terminal Blitar. Sedangkan survei statis dilakukan di dalam bus sepanjang rute Malang-Blitar.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan

BAB III LANDASAN TEORI. instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan BAB III LANDASAN TEORI A. Standar Operasional Prosedur ( SOP ) Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: NUGROHO MULYANTORO L2D 303 297 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PILIHAN PELAYANAN PENUMPANG ANGKUTAN PERKOTAAN INDONESIA

PILIHAN PELAYANAN PENUMPANG ANGKUTAN PERKOTAAN INDONESIA Konferensi Nasional Teknik Sipil 3 (KoNTekS 3) Jakarta, 6 7 Mei 29 PILIHAN PELAYANAN PENUMPANG ANGKUTAN PERKOTAAN INDONESIA Imam Basuki 1 dan Siti Malkhamah 2 1 Program Studi Teknik Sipil, Universitas

Lebih terperinci