BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang"

Transkripsi

1 11 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem imun (kekebalan) tubuh, kemudian merusak sistem imun yang terinfeksi dengan meghancurkan sel darah spesifik yang disebut sel CD4 limfosit T yang sangat krusial dalam proses pertahan tubuh terhadap penyakit (WHO, 2012). Dalam beberapa minggu setelah terinfeksi HIV, pada sebagian orang akan akan muncul gejala seperti flu (flu-like symptoms) yang akan menghilang satu atau dua minggu, tetapi pada sebagian orang lagi tidak timbul gejala sama sekali. Orang yang hidup dengan HIV dapat tampak sehat selama beberapa tahun. Namun, meskipun mereka merasa sehat, virus ini tetap menggerogoti sel-sel limfosit T dalam tubuh. AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV, ketika imunitas seseorang yang terinfeksi HIV sangat rusak, sangat sulit bertahan melawan berbagai infeksi dan beberapa jenis kanker, stadium ini disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (Marr, 1998). Kasus AIDS dilaporkan pertama kali pada awal tahun 1980-an. Pada tanggal 5 Juni 1981, the Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) melaporkan adanya lima (5) kasus Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) pada pria-pria homoseksual. Sebelum adanya perkembangan pengobatan, orang dengan HIV dapat menjadi AIDS hanya dalam beberapa tahun, namun saat ini orang dengan HIV dapat 11

2 12 lebih lama hidup produktif sebelum menjadi AIDS. Hal ini disebabkan adanya kombinasi obat yang sangat aktif yang pertama kali diperkenalkan pada awal 1990-an ( Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV tipe 1 merupakan jenis yang paling banyak, lebih dari 40 juta infeksi HIV disebabkan tipe ini. Tipe lainnya yaitu HIV tipe 2 merupakan tipe yang dominan di Afrika Barat. Beberapa kasus tipe HIV-2 dilaporkan di Amerika Serikat namun setelah ditelusuri ternyata mereka yang terinfeksi pernah berkunjung ke Afrika Barat atau pernah melakukan kontak seksual dengan orang dari Afrika Barat.(Marr, Lisa, 1998; American Public Health Association, 2004) Semenjak ditemukan sampai saat ini prevalensi HIV terus meningkat. Sampai tahun 2012 diperkirakan terdapat 35,3 juta orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia dan 2,3 juta diantaranya merupakan infeksi baru (UNAIDS, 2013) Perjalanan Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Perjalan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam beberapa tahapan yaitu : - Sindrom retroviral akut Tahap ini terjadi 2-3 minggu setelah terinfeksi HIV, terjadi penurunan CD4 dan peningkatan jumlah virus. Pada tahap ini terjadi gejala seperti flu yang dikenal dengan flu-like syndrome dan segera menghilang yang kemudian diikuti dengan

3 13 terjadinya serokonversi. Setelah serokonversi, antibodi HIV dapat dideteksi di dalam darah penderita. - Infeksi kronis (asimtomatik) Pada tahap ini penderita tidak mengalami gejala apa-apa terkait infeksi HIV, sehingga penderita tidak menyadari sudah terinfeksi HIV. Penderita dapat melakukan semua aktifitas sehari-hari, tetap produktif selayaknya orang sehat lainnya. Tahan ini dapat berlangsung selama lebih kurang 8 tahun. - Infeksi kronis (simtomatik) Setelah virus ini cukup parah menggerogoti sistem kekebalan penderita, mulai timbul berbagai infeksi sebagai manifestasi ketidakmampuan tubuh melawan berbagai infeksi. Gejala-gajala ini dapat terjadi mulai dari ringan, sedang sampai berat (AIDS) Penularan HIV Banyak variabel yang menentukan terjadinya infeksi HIV dari seseorang kepada orang lain. Variabel ini meliputi donor (orang yang menularkan) dan resipien (orang yang ditularkan) serta portal of entry dari virus HIV. Variabel yang paling penting adalah rute transmisi, kepadatan virus (viral load), tipe HIV, dan resistensi genetik dari resipien (Stine, 2011). Secara garis besar terdapat beberapa cara penularan HIV dari orang ke orang yaitu melalui hubungan seksual yang tidak aman atau tidak terlindungi; kontak dengan cairan tubuh seperti darah, semen, cairan serebrosfinal; penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi; transfusi darah dan komponen-komponennya;

4 14 transplantasi jaringan atau organ yang terinfeksi dan penularan vertikal dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya (American Public Health Association, 2004). Penularan HIV melalui kontak seksual terjadi baik secara oral, anal maupun vaginal. Tingkat Resiko penularan tergantung tergantung dari jenis kontak seksual dan seberapa infeksius patner seksual (stadium infeksi pasangan seksual). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kontak seksual anal lebih berisiko dibanding dengan vaginal, sedangkan risiko hubungan seksual secara oral lebih rendah dari keduanya (Marr, 1998; Stine, 2011). Tahapan yang paling infeksius dalam masa perjalanan penyakit terjadi pada tahap awal dan akhir dari infeksi. Pada tahap awal infeksi terjadi replikasi virus yang sangat cepat meskipun belum disertai gejala penyakit (asimtomatik) dan belum terjadi serokonversi yaitu belum dapat dideteksi adanya anti HIV di dalam darah penderita. Pada tahap akhir dari perjalanan penyakit ini atau stadium AIDS, virus HIV dalam jumlah besar bersirkulasi di dalam tubuh penderita yang sudah lemah dan tidak mampu melawan virus dan infeksi lainnya. Penderita HIV yang baru terinfeksi atau sudah pada tahap akhir infeksi sangat berisiko untuk secara efektif menginfeksi partner seksualnya karena pada tahap ini viral load-nya sangat tinggi (Marr, 1998). Berdasarkan data dari badan dunia yang menangani bidang kesehatan (WHO), transmisi HIV di seluruh dunia 80% melalui kontak seksual, 9% penularan vertikal dari ibu kepada bayi, 8% melalui jarum suntik oleh pemakai napza suntik (penasun), dan 3% melalui tansfusi darah dan produk-produknya (WHO, 2008), sedangkan di Indonesia sampai dengan Juni 2014, dari semua kasus AIDS yang dilaporkan, 61,5 %

5 15 kasus ditularkan melalui jalur heteroseksual dan penasun sebesar 15,2 % (Kemenkes, 2013) Pemeriksaan Laboratorium HIV Pemeriksaan laboratorium untuk untuk HIV dapat dilakukan dengan berbagai metoda, diantaranya biakan terhadap virus, deteksi antigen (p24), deteksi materi genetik (PCR) dan deteksi terhadap antibodi HIV. Namun untuk diagnosis umumnya dilakukan dengan pemeriksaan antibodi HIV (Depkes, 2008). Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan mengalami serokonversi yaitu terdeteksinya antibodi HIV di dalam darah penderita sekitar 1-3 bulan setelah terinfeksi, namun hal ini bisa berbeda-beda pada tiap orang. Di Amerika Serikat, ratarata serokonversi adalah 25 hari (2-8 minggu). Pemeriksaan serologis untuk pemeriksaan antibodi HIV telah tersedia sejak tahun Metoda yang paling banyak digunakan untuk tujuan skrining adalah EIA atau ELISA dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan yang lebih dini sebelum serokonversi dapat dilakukan dengan pemeriksaan materi genetik p24 dan PCR. Masa diantara terjadinya infeksi sampai timbulnya serokonversi disebut masa jendela (window period). Untuk bayi yang baru lahir, tidak dilakukan pemeriksaan anti bodi HIV, karena secara pasif anti bodi HIV ibu ditransfer kepada bayi, sehingga peeriksaan anti bodi HIV pada bayi yang baru lahir akan menghasilkan positif palsu. Untuk itu pada bayi pemeriksaan dilakukan dengan PCR atau dengan anti HIV setelah bayi berumur 15 bulan ( American Public Health Association, 2004).

6 16 Pemeriksaan HIV di Indonesia sesuai dengan pedoman Nasional menggunakan tes anti bodi hiv yaitu reagen tes cepat. Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Untuk pemeriksaan pertama harus digunakan tes dengan sensitivitas yang tinggi (> 99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (> 99 %) (Kemenkes RI, 2011). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut dengan masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil tes negatif, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi HIV Penanggulangan HIV dilakukan tidak hanya mencegah penularan dari orang yang terinfeksi kepada oralang lain, namun juga bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya penularan. Pencegahan penularan dari orang yang teinfeksi kepada orang lain dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : - Menjauhi hubungan seks bebas atau di luar nikah. Berbagai studi mengatakan bahwa resiko terkena infeksi HIV berhubungan dengan hubungan seks pertama kali. - Tetap setia pada satu pasangan (monogami), atau mengurangi jumlah pasangan. Semakin sedikit pasangan seksual, semakin kecil kemungkinan untuk kontak dengan orang yang terinfeksi HIV.

7 17 - Penggunaan kondom dengan benar dan konsisten. - Menjauhi penggunaan napza dengan jarum suntik - Melakukan pemeriksaan terhadap HIV serta mengobati penyakit infeksi menular (IMS) lain Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Komisi khusus dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yaitu KPAN membuat strategi dalam pengendalian HIV/AIDS pada tahun 2010 yang diterbitkan dalam bentuk Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS KPAN menyebutkan program strategi penaggulangan HIV/AIDS terdiri atas 4 area : - Pencegahan. Kegiatan pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual, pencegahan melalui alat suntik, pencegahan penularan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan penularan dari ibu kepada bayi, pencegahan penularan pada pekerja seks (WPS) dan pelanggannya serta pada orang muda berisiko (15-24 tahun) - Perawatan, dukungan dan pengobatan. Kegiatan meliputi pengobatan dengan anti retroviral ARV), pengobatan infeksi oportunistik, penguatan dan perluasan layanan serta dukungan psikologis dan sosial. - Peningkatan lingkungan yang kondusif, serta - Program mitigasi dampak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melakukan berbagai upaya penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan sejalan dengan kesepakan internasional

8 18 dalam Millenium Development Goals (MDGs). Dalam rangka percepatan pencapaian MDGs, dikeluarkan Instruksi Presiden (inpres) no. 1 tahun 2010 yang disusul dengan keluarnya Inpres no.3 tahun 2010 tentang program pembangunan yang berkeadilan, yang menjadi indikator pengendalian HIV/AIDS sampai tahun (Kemenkes, 2010) Indikator-indikator tersebut yaitu : - Prevalens HIV < 0,5% - Penggunaan kondom kelompok berisiko tinggi pada hubungan seks terakhir 65% pada perempuan dan 50% pada laki-laki - Minimum 95% penduduk 15 tahun keatas yang mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS. - Minimum 90% orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mendapatkan pengobatan ARV % kabupaten/kota yang melaksanakan pencegahan dan penularan HIV 2.2 Pengguna Napza Suntik (Penasun) Penasun adalah pengguna napza suntik yang dikarenakan ketergantungan atau adiksinya akan napza sangat sulit untuk bisa berhenti. Adiksi atau ketergantungan dapat dikatakan chronic relapsing disease atau suatu penyakit yang selalu dapat relaps atau berulang. Sehingga seorang penasun tidak pernah dapat dikatakan sebagai mantan penasun tetapi pulih, karena sewaktu-waktu dapat kembali menggunakan napza. Adiksi ini juga dikatakan brain disease, yang menyebabkan terjadinya perubahan atau kerusakan otak sehingga sangat sulit untuk sembuh. Untuk bisa

9 19 berhenti yang diperlukan waktu cukup lama dalam terapinya. Yang menyedihkan adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai penasun atau bahkan ketergantungan ini, sehingga cap yang melekat pada penasun adalah anti sosial, kriminalitas sehingga meresahkan masyarakat, pemalas, dan sebagainya (KPA Kab. Pasuruan, 2011). Penasun adalah pengguna napza dengan cara suntikan, menjadi beresiko untuk berperilaku menggunakan jarum suntik secara bergantian dan tidak steril serta juga relatif aktif secara seksual terutama bagi mereka yang melakukannya dengan lebih dari satu pasangan. Hal ini meningkatkan terjadinya risiko penularan HIV (KPA, 2008). 2.3 Faktor-faktor Resiko Infeksi HIV pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Studi-studi tentang faktor resiko infeksi HIV telah dilakukan di berbagai negara sejak infeksi ini menjadi pandemi di seluruh dunia. Studi ini dilakukan dengan berbagai disain, yaitu disain kohort, trial maupun potong lintang. Namun studi yang paling banyak dilakukan adalah disain potong lintang, hal ini terkait dengan karakteristik infeksi HIV dengan masa laten yang panjang, prevalensi yang masih dibawah 10% di banyak negara dan adanya stigma. Salah satu konsep tentang faktor-faktor risiko terjadinya infeksi HIV dan banyak diadaptasi adalah konsep yang dibuat oleh J. Ties Boerma & Sharon S. Weir yaitu The Proximate-Determinants Framework. Konsep ini membagi determinan terjadinya infeksi HIV menjadi underlying determinan, proximate determinan dan biological determinan. Underlying determinants, termasuk di dalamnya faktor sosial

10 20 ekonomi (mis. income, pendidikan, pekerjaan), sosial budaya (mis. agama, suku), demografik (mis. jenis kelamin, umur, status perkawinan, mobilitas, tempat tinggal) dan intervensi program. Intervensi program termasuk di dalamnya konseling dan testing, pengendalian IMS, promosi kondom, pendidikan perubahan perilaku, pengamanan darah donor dan pengurangan dampak buruk napza suntik. Determinan proksi sendiri diantaranya jumlah pasangan seks, frekuensi coital, percampuran seks (sexual mixing), abstinensia, transfusi darah, pemakaian narkoba suntik, pemakaian kondom, sirkumsisi, jenis hubungan seksual, viral load, pengobatan ARV dan kerentanan biologis Demografi a. Umur Sebagaimana disebutkan pada framework oleh Boerma & Weir, umur merupakan salah satu underlying determinan terhadap infeksi HIV. Delapan puluh lima persen (85%) orang yang didiagnosis IMS berusia antara tahun. Hal ini mungkin disebabkan pada usia ini dimulainya keingin-tahuan tentang seks pada usia remaja dan dewasa muda. Pada saat yang sama pengetahuan mereka tentang penyakit dan pencegahan IMS sangat minim. Pada kasus ini umur bisa merupakan faktor risiko yang mendasar (underlying determinants) (Marr: 1998). Banyak penelitian tentang hubungan umur dengan infeksi HIV dengan hasil yang berbeda-beda. Pada tahun dilakukan studi comunity randomized trial di Mwanza, Tanzania untuk mengukur pelayanan pengobatan IMS. Data dari studi ini dengan disain penelitian nested case-control untuk mengukur faktor risiko HIV

11 21 menunjukkan pria pada kelompok umur tahun dan tahun lebih berisiko daripada kelompok umur tahun (Todd, James et al, 2006). Sedangkan studi kohort prospektif yang dilakukan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa umur tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap risiko infeksi HIV (Rakwar, Joel et al, 1999). Hasil Survey IBBS (Integrated Behaviour and Biological Survey) pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi HIV lebih tinggi diantara usia 20 tahun ke atas dibandingkan untuk penasun muda (FHI, 2009.) Konsisten dengan studi yang dilakukan oleh James todd et al, Audrey Pettifor et al dan Sangeeta et al, hasil studi IBBS di India tahun 2007 menunjukkan bahwa umur berhubungan dengan kejadian infeksi HIV (Pandey, Arvind et al, 2010). b. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu karakteristik individu yang menjadi variabel yang paling sering dihubungkan dengan kejadian suatu penyakit, termasuk IMS dan HIV. Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa penasun yang tidak bisa baca-tulis beresiko 20 kali terinfeksi HIV dibandingkan penasun yang bisa baca-tulis (FHI, 2009). c. Status Perkawinan Studi-studi tentang hubungan berbagai faktor risiko terhadap kejadian infeksi HIV telah bayak dilakukan. Hasil Survey IBBS (Integrated Behaviour and Biological Survey) pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada penasun yang sudah menikah lebih tinggi (6,6 %) dibandingkan penasun yang belum menikah (1,7 %).(FHI 360, 2009).

12 Perilaku Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Menurut teori Skinner SOR (Stimulus Organisme Respons), membedakan adanya dua respons yaitu : 1) Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. 2) Operant response atau instrumental response, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Perilaku tertutup (covert behavior) Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya : seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks. 2) Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2012).

13 Perilaku Penggunaan Napza Suntik a. Penggunaan Jarum Suntik bekas Hasil penelitian di Semarang pada tahun 2008 menunjukkan dari 75 orang penasun yang menjadi responden, 34,7 % menggunakan jarum suntik bergantian dalam 6 bulan terakhir ( Winarno, Suryoputro, Shaluhiyah, 2008). Tingkat cukup tinggi prilaku berbagi jarum suntik adalah di Bangladesh dan India. Sementara di Kathmandu dan Nepal terjadi penurunan tajam dalam hal perilaku berbagi jarum suntik yaitu dari 56 % pada tahun 2002 menjadi 7 % pada tahun 2009 (WHO SEARO, 2010). Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penasun yang berbagi jarum suntik dalam seminggu terakhir dengan infeksi HIV (FHI 360, 2009). b. Lama Penggunaan Napza Suntik Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada penasun yang sudah menggunakan napza sunti lebih dari 5 tahun lebih tinggi (5 %) dibandingkan penasun yang menggunakan napza suntik kurang dari 5 tahun (3,1 %) (FHI, 2009) Prilaku Seks Beberapa perilaku yang menjadi proximate determinants yang mempengaruhi terjadinya infeksi HIV adalah jumlah pasangan seksual, sexual mixing, frekuensi koitus, menunda usia dini berhubungan seks, pemakaian kondom dan cara berhubungan seks (Boerma and Weir, 2005).

14 24 a. Pemakaian kondom Salah satu faktor risiko terhadap infeksi HIV yang paling banyak diteliti adalah tingkat pemakaian kondom. Kondom sendiri pada awalnya berfungsi sebagai alat kontrasepsi pria yang bekerja menghalangi masulnya sperma ke dalam saluran reproduksi wanita. Data menunjukkan bahwa hampir 90% kasus HIV di seluruh dunia ditularkan melalui transmisi seksual. Hal ini bukan berarti hubungan seks mutlak harus dihindari karena secara alamiah hal ini merupakan bagian dari kebutuhan biologis. Namun ada beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan yaitu menunda hubungan seks sampai pada usia tertentu (abstinence) atau sampai pada suatu saat menemukan orang yang tepat yang diketahui status kesehatan seksualnya serta berkomitmen untuk monogami serta setia hanya pada satu pasangan (be faithful). Namun bila bila penundaan hubungan seks dan kesetiaan pada satu pasangan tidak dapat dilakukan atau tidak dapat dijamin, maka pencegahan penularan IMS atau HIV dapat dilakukan dengan penggunaan kondom dengan baik dan benar pada saat berhubungan seks. Berdasarkan hasil tes laboratorium (in-vitro) menunjukkan bahwa kondom yang terbuat dari lateks memiliki efektivitas yang tinggi mencegah penularan patogen-patogen melalui transmisi seksual termasuk HIV, meskipun kurang efektif terhadap infeksi seksual yang dapat ditularkan melaui kontak kulit, karena kondom tidak menutupi seluruh bagian kulit yang terinfeksi.

15 25 Pada saat ini, kondom dapat terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil), atau bahan alami (hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Berbagai bahan telah ditambahkan pada kondom baik untuk meningkatkan efektivitasnya (misalnya dengan menambahkan spermicidal) maupun sebagai aksesoris aktifitas seksual. Kondom tidak hanya diperuntukkan untuk pria namun juga wanita. Kondom pria merupakan selubung karet tipis yang dipasang pada penis sebagai tempat penampungan air mani yang dikeluarkan pria pada saat senggama sehingga tidak tercurah pada vagina. Cara kerja kondom yaitu mencegah pertemuan sperma dan ovum. Jenis kondom lainnya adalah kondom wanita. Kondom wanita menawarkan suatu alternatif pencegahan penularan IMS maupun pencegahan ke hamilan bila kondom pria tidak memungkinkan. Di Amerika, kondom wanita pertama kali diakui oleh FDA pada tahun Pada studi terhadap 150 wanita yang menggunakan kondom wanita selama 6 bulan, ditemukan pada 26 responden terjadi kehamilan, namun dikatakan bahwa hal ini terjadi karena responden tidak memakai kondom tersebut pada setiap hubungan (tidak konsisten) dengan cara yang benar. Efektifitas kondom pria sendiri sekitar 98% dan wanita 95% (AIDS Update, 2011). Penelitian tentang kondom sebagian besar merupakan penelitian tentang hubungan tingkat pemakaian kondom terhadap transmisi HIV. Hasil Survey IBBS 2010 di Nigeria penggunaan kondom dengan pasangan seksual tetap cenderung lebih

16 26 rendah dibandingkan dengan pasangan seks lainnya (Federal Ministry of Health, 2010). b. Usia pertama kali melakukan hubungan seks Hasil studi memperlihatkan bahwa proporsi penasun yang perilaku seksnya berisiko lebih besar dibanding penasun yang perilaku seksnya tidak berisiko. Proporsi penasun yang perilaku seksnya berisiko (76,5%), lebih besar dibanding yang tidak berisiko (23,5%). Hasil analisis logistik menunjukkan bahwa perilaku seks berisiko pada penasun berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu usia hubungan seks pertama kali, status pekerjaan, dan status pernikahan. Dari beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku seks berisiko tersebut, status pernikahan menunjukkan hubungan yang paling erat dan signifikan secara statistik. Penasun yang berstatus menikah mempunyai perilaku seks berisiko lebih besar tehadap kerentanan penularan HIV kepada istri atau pasangan tetapnya (Setiawan, 2002). Usia saat pertama kali berhubungan seks merupakan faktor risiko terhadap infeksi HIV, hal ini dihubungkan dengan kesiapan/kematangan organ reproduksi, lamanya masa aktif secara seksual, jumlah pasangan, hubungan seks tanpa pelindung, partner seks yang lebih tua dan adanya kekerasan seksual pada usia muda (CDC, 2012; WHO, 2006). Beberapa studi yang meneliti hubungan usia pertama kali berhubungan seks dengan infeksi HIV telah dilakukan di banyak negara dengan hasil yang bervariasi. Usia pertama kali berhubungan seks juga dihubungkan dengan usia dini berhubungan seks (early coital debut). Berdasarkan defenisi WHO yang dimaksud dengan usia dini

17 27 hubungan seks pertama kali pada usia 14 tahun baik vaginal atau anal (WHO, 2006). Usia pertama kali berhubungan seks merupakan proksi terhadap paparan terhadap infeksi HIV (Wand, Handan, 2013). Berdasarkan laporan CDC pada survei National Youth Risk Behavior Survey (YRBS) tahun 2009, 46% remaja telah melakukan hubungan seks dini. Sebanyak 5,9% melakukan hubungan seks pertama sebelum usia 13 tahun, 34,2% remaja mengaku telah melakukan hubungan seks selama 3 bulan sebelum survei, dan 38,9% tidak menggunakan kondom saat berhubungan (CDC, 2011) Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Tingkat pengetahuan menurut Benjamin Blom dibagi berdasarkan beberapa tingkatan yaitu tahu (know) merupakan memori yang ada setelah mengamati sesuatu, memahami (comprehension) artinya seseorang tidak hanya tahu, tapi mampu menginterpretasikan secara benar obyek yang diketahui, äplikasi(application) yaitu seseorang mampu memahami objek dan menggunakan sesuai prinsip pada situasi berbeda-beda, änalysis yaitu seseorang mampu menjabarkan dan mencari hubungan antara komponen-komponen dalam suatu obyek atau masalah, syntesis yaitu kemampuan seseorang meletakkan secara hubungan antar komponen dalam suatu situasi yang logis, serta evaluation yaitu kemampuan

18 28 seseorang untuk melakukan justifikasi dan penilaian terhadap obyek atau masalah tertentu (Notoatmodjo, 2012). Bila ditelaah uraian tentang pengetahuan maka penilaian pengetahuan seseorang terhadap HIV/AIDS berhubungan dengan informasi yang didapatkan seseorangtentang HIV/AIDS baik secara formal maupun informal. Salah satu sumber informasi mengenai HIV/AIDS yang komprehensif diperoleh ketika melakukan pemeriksaan HIV melalui VCT (Voluntary Counselling & Testing) Riwayat Penyakit IMS World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 340 juta kasus IMS baru seperti sifilis, gonore, klamidia dan trikomoniasis terjadi setiap tahun di seluruh dunia pada pria dan wanita berusia tahun. Situasi ini berkontribusi tidak hanya pada peningkatan jumlah penderita HIV, namun juga infeksi virus herpes, human papilommavirus (HPV) dan hepatitis B. Infeksi menular seksual atau Sexually Transmitted infections (STIs) merupakan infeksi yang terutama ditularkan melalui kontak seksual antara orang keorang oleh lebih dari 30 jenis bakteri, virus dan parasit (WHO, 2012). Terdapat kaitan yang erat antara penularan IMS dengan penularan HIV. Secara umum, IMS dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui hubungan seksual sebanyak 3 sampai 5 kali lipat. Secara khusus, IMS yang ulseratif bahkan dapat meningkatkan risiko penularan HIV hingga 300 kali lipat pada paparan yang tidak terlindungi (Dirjend PP & PL, 2009).

19 Program Pengurangan Dampak Buruk Bagi Penasun Pelaksanaan pengurangan dampak buruk Napza sendiri di Indonesia sudah dimulai sejak tahun Yayasan Hati-hati, Bali telah mulai melakukan kegiatan penjangkauan dan pendampingan pada kelompok Penasun untuk mencegah penularan HIV. Dalam melaksanakan kegiatannya, Yayasan Hati-hati mempekerjakan petugas lapangan dari mantan Penasun. Lokakarya Nasional pertama pada tahun 1999 yang membahas mengenai kaitan antara penggunaan Napza dengan cara suntik dan HIV/AIDS di Puncak, Bogor dapat dikatakan sebagai respon awal terhadap isu HIV/AIDS dan Penasun. Istilah pengurangan dampak buruk Napza berasal dari terjemahan Harm Reduction dan bila diartikan secara kata perkata yaitu, harm = kerugian, kejahatan, kerusakan, kesalahan sedangkan reduction = penurunan, pengurangan. Sehingga Harm Reduction berarti pengurangan / penurunan kerugian / kerusakan. World Health Organization (WHO), sebagai badan United Nation (UN) yang mengurusi bidang kesehatan mendeskripsikan Pengurangan Dampak Buruk Napza sebagai berikut: Konsep, yang digunakan dalam wilayah kesehatan masyarakat, yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi konsekuensi negatif kesehatan yang berkaitan dengan perilaku. Yang dimaksud dengan perilaku yaitu perilaku penggunaan Napza dengan jarum suntik dan perlengkapannya (jarum suntik dan peralatan untuk mempersiapkan Napza sebelum disuntikan). Komponen pengurangan dampak buruk Napza merupakan intervensi yang holistik / komprehensif yang bertujuan untuk mencegah penularan HIV dan infeksi lainnya yang terjadi melalui

20 30 penggunaan perlengkapan menyuntik untuk menyuntikan Napza yang tidak steril dan digunakan secara bersama-sama (Depkes RI, 2006). WHO, UNAIDS dan UNODC pada tahun 2009 secara bersama sama merekomendasikan suatu paket intervensi komprehensif bagi penasun untuk mengurangi perilaku berisiko dan memperkecil dampaknya. Selain itu dengan dilaksanakannya paket intervensi komprehensif tersebut diharapkan bisa lebih merealisasikan akses universal terhadap berbagai layanan kesehatan yang penting bagi penasun untuk mencegah penularan HIV dan merawat serta mengobati berbagai penyakit yang diakibatkan oleh AIDS. Paket penanggulangan HIV pada penasun yang komprehensif terdiri atas: - Layanan jarum dan alat suntik steril (LJASS), - Terapi substitusi opiat - Konseling dan Tes HIV, - Pencegahan infeksi menular seksual, - Promosi kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya, - Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang diarahkan secara khusus kepada penasun dan pasangan seksualnya - Terapi antiretroviral, - Vaksinasi, diagnosis dan terapi untuk hepatitis, dan - Pencegahan, diagnosis dan terapi untuk TB (FHI, 2011).

21 Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Rancangan Studi STBP 2011 Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI merupakan survei yang dilakukan dengan disain studi potong lintang (cross sectional). Survei ini dilakukan pada bulan Januari Maret 2011 di 11 provinsi di Indonesia, meliputi 33 kabupaten/kota di Indonesia dengan beberapa kelompok risiko tinggi yaitu wanita penjaja seks langsung (WPSL), wanita penjaja seks tidak langsung (WPSTL), Pengguna Napza Suntik (Penasun), waria, Lelaki Seks Lelaki (LSL), narapidana, remaja dan pria berisiko tinggi(risti). Untuk Provinsi Sumatera Utara survei dilaksanakan di Kota Medan dan kab. Deli Serdang, dan untuk kelompok penasun survei dilakukan di Kota Medan (Kemenkes RI, 2011) Cara Pengambilan Sampel (Sampling) Pada STBP 2011, pengambilan sampel untuk kelompok penasun dilakukan dengan Respondent Driven Sampling (RDS). Teknik ini merupakan sebuah teknik sampling secara jemput bola (snowball) menurut kuota perekrutan dan insentif rangkap untuk memotivasi perekrut dan yang direkrut. Hal tersebut dilakukan karena populasi penasun merupakan populasi tersembunyi yang sulit dijangkau, sehingga metode seperti cluster sampling tidak dapat digunakan, karena tidak tersedia kerangka sampel bagi populasi tersebut. Keunggulan dari metode RDS adalah sampel yang didapat merupakan sampel yang berpeluang (probability sample) sehingga dapat dilakukan analisis secara statistik termasuk penghitungan standard error.

22 32 RDS berawal dari sejumlah kecil peserta yang dipilih secara purposif yang biasanya disebut seed, yang seharusnya dipilih seheterogen mungkin untuk memastikan bahwa sembarang anggota kelompok memiliki kemungkinan besar untuk direkrut. Seed yang direkrut adalah penasun yang dapat memotivasi orang lain untuk ikut dalam program dan mereka harus mendukung tujuan dari program ini. Disamping itu seed ini diusahakan berasal dari orang dengan karakteristik yang beragam, karakteristik tersebut misalnya umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, status sosial dan ekonomi, dan sebagainya. Pada awalnya dipilih sebanyak 8 seed namun bila dalam tenggat waktu survei sampel size belum terpenuhi bisa ditambahkan beberapa seed lagi. Seed akan dipilih oleh staf LSM yang menyediakan pelayanan kepada kelompok sasaran. Seed tersebut seharusnya dikenal baik dan diterima luas oleh kalangan mereka. Umumnya diusulkan kepada para anggota pekerja dari target populasi untuk bertindak sebagai seed. Dalam survei ini, 8 seed yang akan diberi kupon pertama kali akan dipilih di masing masing lokasi. Setiap seed akan diminta untuk merekrut 3 Penasun, sehingga para seed ini akan diberikan 3 kupon untuk diberikan kepada teman teman sekomunitasnya sesama Penasun yang berkenan untuk direkrut. Seed diusahakan berasal dari berbagai kelompok umur dan tinggal di wilayah yang berbeda di kota yang disurvei serta dari latar belakang sosial ekonomi yang beragam (Kemenkes RI, 2011)

23 Pengumpulan Data Pengumpulan data pada saat STBP 2011 dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melakukan wawancara dengan responden terpilih dan pemeriksaan laboratorium terhadap contoh darah responden. Pengambilan contoh darah dilakukan oleh tenaga terlatih dan kemudian dibawa ke laboratorium atau klinik yang ditunjuk di daerah terpilih selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium (Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011). Pemeriksaan HIV dilakukan dengan tes serologis yaitu pemeriksaan anti HIV dengan alur pemeriksaan anti HIV strategi 2 untuk surveilans. Pemeriksaan ini menggunakan dua (2) jenis reagen yang berbeda yaitu reagen I (SD HIV 1/2) dan reagen II (Fokus HIV) (Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011). Wawancara dilakukan oleh enumerator (pewawancara) yang telah dilatih untuk mengumpulkan data dari wawancara, sedangkan data laboratorium diperoleh dari laporan hasil pemeriksaan contoh darah responden dari laboratorium yang ditunjuk (Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011). 2.6 Landasan Teori Determinan penyakit HIV pada kelompok Pengguna Narkoba Suntik (Penasun) dengan modifikasi teori yang dianggap paling sesuai yaitu diadaptasi dari konsep yang dibuat oleh J. Ties Boerma & Sharon S. Weir yaitu The Proximate- Determinants Framework (Boerma, Weir, 2005).

24 34 Underlying determinants Proximate determinants Biological determinants Health Outcome Demographic Outcome Lingkungan Sosial ekonomi Sosial Budaya Demografi Jumlah pasangan seks Frekuensi coital Percampuran seks Abstinensia Transfusi darah Pemakaian narkoba suntik Suntikan medis Pemaparan terhadap orang yang rentan terinfeksi Intervensi Program Konseling & testing Pengendalian IMS Promosi Kondom Pendidikan perubahan prilaku Pengamanan darah donor Pengurangan dampak buruk Napza suntik Pemakaian kondom Riwayat IMS Sirkumsisi Jenis hub.seksual Viral load Kerentanan biologi Praktek latihan pengamanan darah Pengamanan Jarum suntik Pengobatan ARV Pengobatan Infeksi penyerta Efisiensi penularan per kontak Durasi terkena infeksi Infeksi HIV Penya kit kemati an Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Infeksi HIV

25 Kerangka Konsep Berdasarkan latar belakang dan kerangka teori, disusun beberapa faktor resiko yang akan diteliti sebagai variabel penelitian seperti digambarkan pada bagan berikut: Variabel Independen Variabel Dependen Demografi : - Umur - Tingkat Pendidikan - Status Perkawinan - Sumber Pendapatan Napza Suntik : - Lama menggunakan Napza suntik - Penggunaan jarum suntik bergantian Prilaku Seks - Usia pertama kali melakukan hubungan seks - Riwayat melakukan hubungan seks dengan WPS - Jumlah Pasangan Seks - Konsistensi pemakaian kondom dengan WPS Pengetahuan Riwayat Gejala IMS Infeksi HIV Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Sumber : Diadaptasi dari The Proximate-Determinants Framework oleh J. Ties Boerma & Sharon S. Weir (Boerma, Weir, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sindrom kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan menyerang sel darah putih CD4 yang berada pada permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) semakin meningkat dan

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan mengaktualisasikan dirinya. Kesehatan juga berarti keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masih terdapat banyak penyakit di dunia yang belum dapat diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang sebelumnya

Lebih terperinci

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS (Aquired Immune Deficiency Sindrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh. Penyebab AIDS adalah virus yang mengurangi kekebalan tubuh secara perlahan-lahan.

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut merusak sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit kelamin sudah lama dikenal dan sering disebut sebagai Veneral Disease (VD) yang berasal dari kata Venus (dewi cinta) dan yang termasuk ke dalam Veneral Disease

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau BAB II 2.1. HIV/AIDS TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian HIV/AIDS Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan utama dan menjadi beban ekonomi bagi negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH HIV/AIDS Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH 1 Pokok Bahasan Definisi HIV/AIDS Tanda dan gejala HIV/AIDS Kasus HIV/AIDS di Indonesia Cara penularan HIV/AIDS Program penanggulangan HIV/AIDS Cara menghindari

Lebih terperinci

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan PENDAHULUAN Secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi rendah, tetapi terkonsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesehatan fisik, mental dan sosial secara menyeluruh dalam semua hal berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi-fungsi serta proses-prosesnya,

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Menurut Center

Lebih terperinci

PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA

PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA Epidemiologi Dasar RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT ANDREAS W. SUKUR PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA Website: https://andreaswoitilasukur.wordpress.com/ Email : andreaswoitila@gmail.com Riwayat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Infeksi yang diakibatkan oleh virus HIV ini dapat menyebabkan defisiensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang bisa didapat melalui kontak seksual. IMS adalah istilah umum dan organisme penyebabnya, yang tinggal dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat 36.700.000 orang hidup dengan HIV termasuk sebanyak 2,25 juta anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Infeksi menular seksual merupakan infeksi yang rute transmisinya terutama adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual dapat disebabkan oleh bakteri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Sifilis bersifat kronik dan sistemik karena memiliki masa laten, dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah Indonesia, berbeda dengan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa

Lebih terperinci

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU 1 Tujuan Menentukan kecenderungan prevalensi HIV, Sifilis, Gonore, dan Klamidia di antara Populasi Paling Berisiko di beberapa kota di Indonesia. Menentukan kecenderungan

Lebih terperinci

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti Ragu? Jangan cuma Ikut VCT, hidup lebih pasti Sudahkah anda mengetahui manfaat VCT* atau Konseling dan Testing HIV Sukarela? *VCT: Voluntary Counselling and Testing 1 VCT atau Konseling dan testing HIV

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV merupakan famili retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia terutama limfosit (sel darah putih) dan penyakit AIDS adalah penyakit yang merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan peningkatan pelayanan kesehatan dan sosial bagi remaja semakin menjadi perhatian di seluruh dunia sejalan dengan rekomendasi International Conference

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat di Indonesia dan hal ini sering timbul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 5 ayat 1, yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 5 ayat 1, yang 1 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh pemerintah dan sebagai salah satu indikator penting dalam menentukan kesejahteraan suatu bangsa di

Lebih terperinci

A. Landasan Teori. 1. Pengetahuan. a. Definisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

A. Landasan Teori. 1. Pengetahuan. a. Definisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengetahuan a. Definisi Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Dengan sendirinya,

Lebih terperinci

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS Astrid Wiratna Psikologi dan HIV-AIDS HIV-AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV Virus HIV bisa menginfeksi tubuh seseorang karena perilakunya Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek kesehatan pada akhir abad ke-20 yang merupakan bencana bagi manusia adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

TREND DAN ISU PENULARAN HIV DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGRI

TREND DAN ISU PENULARAN HIV DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGRI TREND DAN ISU PENULARAN HIV DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGRI Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan penyakit yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi HIV adalah melalui kontak seksual;

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS INFORMASI TENTANG HIV/AIDS Ints.PKRS ( Promosi Kesehatan Rumah Sakit ) RSUP H.ADAM MALIK MEDAN & TIM PUSYANSUS HIV/AIDS? HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sudah diketahui sejak dari zaman dahulu kala dan tetap ada sampai zaman sekarang. Penyakit infeksi menular seksual ini penyebarannya

Lebih terperinci

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Insiden maupun prevalensi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Peningkatan harga diri penderita HIV/AIDS dapat dilakukan dengan memberi pelatihan. Oleh karenannya, seorang penderita HIV/AIDS atau ODHA sangat perlu diberi terapi psikis dalam bentuk

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual a. Penyebab penyakit (agent) Penyakit menular seksual sangat bervariasi dapat berupa virus, parasit, bakteri, protozoa (Widyastuti, 2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4 positif, makrofag, dan komponen komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga pengidap akan rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang mengkhawatirkan masyarakat karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi menurut International Cooperation Populatiom and Development (ICPD) 1994 adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN RIAU,

Lebih terperinci

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang

BAB I PENDAHULUAN. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS atau Acquired

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, Acquired Immune

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, Acquired Immune BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) menjadi agenda penting baik dikalangan kedokteran maupun dikalangan politisi

Lebih terperinci

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PENGETAHUAN DAN PERSEPSI PENDERITA HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG MORAWA KABUPATEN DELI SERDANG TENTANG PENYAKIT AIDS DAN KLINIK VCT TERHADAP TINGKAT PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun 2008-2009. Menurut data per 31 Desember 2008 dari Komisi Penanggulangan AIDS Pusat, di 10 Propinsi jumlah kasus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Human Imunodeficiency Virus (HIV) 1. Pengertian HIV Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit infeksi dan salah satunya adalah penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Selain itu, pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN PENELITIAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMAKAIAN KONDOM DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV-AIDS PADA PSK El Rahmayati*, Ririn Sri Handayani* Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS merupakan kumpulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara

Lebih terperinci

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e. Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci