BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan dasar di Indonesia merupakan pondasi bagi jenjang
|
|
- Teguh Cahyadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dasar di Indonesia merupakan pondasi bagi jenjang pendidikan selanjutnya haruslah berperan dalam membentuk suatu pondasi yang kokoh berkaitan dengan watak serta kepribadian anak khususnya peserta didik. Namun apabila pondasi dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan yang berdampak pada pembentukan watak serta kepribadian anak tidak kuat, nantinya anak akan mudah terpengaruh dengan hal-hal negatif. Pengarahan dari lingkungan terhadap perilaku anak yang berjalan dari waktu ke waktu secara terus-menerus tentu akan membentuk kepribadian anak. Lingkungan pendidikan dapat dikatakan berhasil jika lingkungan pendidikan tersebut mampu merubah tingkah laku anak baik dari segi kognitif, psikomotorik, hingga afektif anak ke arah yang lebih baik (Ahmadi, 2007). Sekolah merupakan lingkungan kedua dimana anak berinteraksi dengan warga sekolah (kepala sekolah, guru-guru, karyawan sekolah, dan siswa lain) dan mengembangkan kemampuannya. Perlu diketahui bahwa interaksi yang dilakukan oleh anak di sekolah mengandung muatan nilai serta aspek-aspek sosiomoral. Proses interaksi tersebut tidak hanya berkenaan dengan pendidikan kognisi anak melainkan berkenaan dengan perkembangan aspek-aspek pribadi lainnya. Sekolah 1
2 2 juga bertujuan untuk memfasilitasi segala sesuatu yang berkaitan dengan proses perkembangan siswa agar menjadi pribadi yang sejalan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Melalui sekolah, siswa dipersiapkan menjadi seorang pribadi yang memiliki kepribadian yang baik. Siswa tidak hanya didik untuk menjadi warga sekolah yang baik tetapi juga menjadi warga masyarakat yang baik pula (Darwis, 2006). Menurut Ahmadi & Uhbiyati (2007), pendidikan harus mempersiapkan siswa agar dapat hidup berdampingan secara damai dengan orang lain di sekitarnya. Pendidikan mempunyai tugas untuk membentuk perilaku serta watak pada anak agar kelak dapat menyesuaikan diri pada lingkungan hidupnya.tentu saja, sekolah tidak hanya menjadi pemeran tunggal didalam pembentukan perilaku dan kepribadian anak tetapi harus berkolaborasi dengan lingkungan rumah dan masyarakat agar lebih optimal. Akhir-akhir ini kasus kekerasan di sekolah juga semakin marak ditemui baik di media cetak maupun media elektronik. Bahkan kekerasan yang merupakan bentuk perilaku agresif ini telah mengarah kepada tindak kriminal. Lebih parahnya, pelakunya adalah seorang anak seusia sekolah dasar. Kekerasan merupakan suatu hal yang paling banyak ditakuti oleh manusia. Baik kekerasan langsung maupun tidak langsung, baik kekerasan verbal maupun non verbal. Kekerasan bisa terjadi dimana saja, di rumah, di lingkungan kerja, bahkan di sekolah sekalipun. Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup
3 3 kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di sekolah adalah bullying (Martono, 2012). Kasus bullying di Indonesia sudah merajalela di sekolah-sekolah. Baik di tingkat sekolah dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), saat ini kasus bullying menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat. Periode 2011 hingga Agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar (KPAI, 2014). Bullying merupakan istilah yang asing bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, walaupun fenomena ini telah berlangsung lama dan terjadi di berbagai segi kehidupan termasuk dunia pendidikan. Belum ada penelitian formal yang mengukur pemahaman murid terhadap istilah bullying di Indonesia (Soedjatmiko, 2013). Bullying merupakan fenomena yang tersebar di seluruh dunia. Prevalensi bullying diperkirakan 8 hingga 50% di beberapa negara Asia, Amerika, dan Eropa (Kim, Koh, & Leventhal, 2008). Prevalensi bullying di Indonesia belum terdapat data yang pasti. Penelitian Huneck (2006), diperkirakan 10%-16% pelajar Sekolah Dasar (SD) kelas IV-VI di Indonesia mengalami bullying sebanyak satu kali per minggu.
4 4 Survei di berbagai belahan dunia menyatakan bahwa bullying paling banyak terjadi pada usia 7 tahun (kelas II SD), dan selanjutnya menurun hingga usia 15 tahun (Glew, Rivara, Feudtner, 2006). Studi lain menyatakan prevalensi bullying tertinggi pada usia 7 tahun dan tahun (Weir, 2007). Anak laki-laki lebih sering terlibat dalam bullying dibandingkan anak perempuan (Netto, 2007). Bullying memberikan dampak negatif terhadap pelaku dan korban. Dampak terbesar dialami oleh korban bullying. Korban bullying mengalami gangguan psikosomatik dan psikososial. Gangguan prestasi belajar dan tindakan bolos sekolah yang kronik juga dikaitkan dengan kemungkinan menjadi korban bullying. Strategi dalam penanganan bullying memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan guru, orangtua, murid, pekerja sosial, dan dokter (Yayasan Pemantau Hak Anak, 2007). Dokter anak memiliki peran penting dalam permasalahan bullying. Peran dokter anak di antaranya mengidentifikasi pasien berisiko, menasihati keluarga, dan mendukung implementasi program antibullying di sekolah. Peran lainnya ialah melakukan skrining masalah mental dan melakukan rujukan apabila perlu (Vanderbilt, 2008). Fakta menunjukkan, bullying terhadap anak yang terjadi di Indonesia bukan fenomena yang baru di lingkungan sekolah, tempat tinggal dan lingkungan bermain anak. Menurut Ken Rigby dalam buku Astuti (2008) menyatakan bahwa bullying merupakan hasrat untuk menyakiti, yang diaktualisasikan dalam aksi sehingga menyebabkan seorang individu atau kelompok menderita. Aksi ini
5 5 dilakukan secara langsung oleh seseorang ataupun kelompok yang lebih kuat, biasanya kejadiannya berulangkali dan pelaku tersebut melakukan bullying dengan perasaan senang. Astuti (2008) dalam bukunya menjelaskan bahwa bullying merupakan suatu tindakan untuk menyakiti orang lain dan menyebabkan seseorang menderita dan mengganggu ketenangan seseorang. Tindakan penculikan, penganiayaan bahkan intimidasi atau ancaman halus bukanlah sekedar masalah kekerasan biasa, tindakan ini disebut bullying karena tindakan ini sudah bertahun-tahun dilakukan secara berulang, bersifat regeneratif, menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban. Korban yang di-bully biasanya anak yang pendiam dan anak yang susah bergaul dengan teman di sekitarnya. Bullying terjadi karena adanya beberapa faktor penyebab yaitu, perbedaan ekonomi, agama, gender, tradisi dan kebiasan senior untuk menghukum yunior-nya yang sering terjadi. Adanya perasaan dendam atau iri hati, adanya semangat untuk menguasai korban dengan kekuatan fisik dan daya tarik seksual. Selain itu, pelaku melakukan bullying untuk meningkatkan popularitasnya dikalangan teman sepermainnya (peergroup). Bentuk penyimpangan perilaku yang terjadi pada siswa sekolah dasar tidak hanya berupa kekerasan yang merupakan salah satu bentuk dari perilaku agresif. Pada kenyataannya, hal-hal yang kita pandang sebagai perilaku yang wajar dilakukan anak usia SD pun terkadang tergolong dalam penyimpangan
6 6 perilaku. Mulai hanya sekedar mengolok-olok temannya, memelototi teman, hingga mencoreti hiasan kelas. Penyebab bullying terjadi tidak hanya oleh satu faktor saja tetapi setiap bagian yang ada di sekitar anak juga turut memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam munculnya perilaku tersebut. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain faktor dari keluarga, faktor lingkungan, faktor sekolah dan faktor pengaruh media. oleh karena itu penyebab terjadinya perilaku bullying tidak hanya dilatar belakangi oleh satu faktor saja tetapi segala faktor baik itu faktor eksternal maupun faktor internal (SEJIWA, 2008). Menurut Suharto dalam buku Huraerah (2012), dijelaskan bahwa korban bullying biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut, berasal dari keluarga miskin, anak yang mengalami cacat fisik, berasal dari keluarga yang broken home (perceraian orang tua) atau keluarga yang menikah dini sehingga menyebabkan belum matang proses pemikiran secara psikologis. Tindakan kekerasan (bullying) yang dialami anak-anak adalah perlakuan yang akan berdampak jangka panjang dan akan menjadi mimpi buruk yang tidak pernah hilang dari ingatan anak yang menjadi korban. Menurut Saptandari dalam buku Suyanto (2010), dampak yang dialami anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan biasanya kurangnya motivasi atau harga diri, mengalami problem kesehatan mental, mimpi buruk, memiliki rasa ketakutan dan tidak jarang tindak kekerasan terhadap anak juga berujung pada terjadinya kematian pada korban.
7 7 Dampak psikologis yang dialami korban bullying adalah munculnya ganggunan kesejahteraan psikologis yang rendah dimana korban merasa tidak nyaman, takut, rendah diri, tidak berharga, penyesuaian sosial yang buruk dimana korban takut kesekolah, tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan, prestasi akademik yang menurun, bahkan keinginan untuk bunuh diri daripada harus menghadapi tekanan-tekanan berupa hinaan dan hukuman. Apabila bullying tidak segera diatasi anak akan tumbuh sebagai pribadi yang pencemas, gugup dan kurang percaya diri (Wiyani, 2012). Peserta didik dalam jenjang pendidikan sekolah dasar sangat rentan akan perilaku bullying. Perilaku kurang baik seperti bullying yang ditampilkan siswa di sekolah akan mengganggu proses belajar mengajar yang berdampak pada hasil belajar siswa. Apabila guru dan wali murid tidak benar-benar mengawasi perkembangan peserta didik, peserta didik akan dapat menjadi korban bullying atau bahkan pelaku bullying terhadap temannya. Oleh sebab itu guru selaku pendidik atau wali murid disekolah harus mengawasi perkembangan peserta didiknya agar tidak terjadi bullying pada peserta didiknya (Riri, 2013). Bullying sering tidak ditanggapi secara serius oleh orang tua, orang tua cenderung melimpahkan kasus tersebut kepada guru. Menurut Steven dalam Astuti (2008) bullying akan menjadi lebih sering dilakukan karena minimnya respon orang tua dan guru. Hal ini menegaskan bahwa orang tua dan guru lebih sering membiarkan dan menganggap sepele apa yang terjadi pada diri anak
8 8 maupun siswanya. Seorang guru memiliki keterbatasan dalam melihat dan mengamati satu persatu permasalahan yang dihadapi siswa-siswinya. Upaya melaksanakan pendidikan di sekolah, dibutuhkan berbagai faktor pendukung. Salah satu faktor tersebut adalah kondisi kelas maupun sekolah yang kondusif bagi siswa, yaitu kondusif secara fisik dan non fisik. Kondusif secara fisik meliputi kondisi bangunan, fasilitas serta lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan pendidikan. Kondusif secara non fisik adalah terjaganya suasana sekolah. Sekolah dikategorikan kondusif secara non fisik, bila sekolah tersebut mampu menciptakan suasana yang damai atau peaceful. Wiyani (2012), mengungkapkan sekolah yang damai memiliki 9 (sembilan) kriteria, yaitu bebas dari pertikaian dan kekerasan, memiliki ketentraman, nyaman dan aman, memberikan perhatian dan kasih sayang, mampu bekerja sama, akomodatif, memiliki ketaatan terhadap peraturan, mampu menginternalisasikan nilai-nilai agama dan berhubungan baik dengan masyarakat. Kondisi damai atau peaceful menjadi kebutuhan setiap sekolah. Kasus bullying di sekolah semakin lama menjadi fenomena yang menyebar di dunia dan memiliki dampak negatif terhadap atmosfer sekolah dalam menciptakan lingkungan belajar yang baik tanpa rasa takut. Selain itu bullying juga memiliki dampak negatif untuk kehidupan ke depan bagi siswa baik pelaku maupun korban, sehingga dengan adanya fenomena ini perlu adanya intervensi untuk mengurangi perilaku bullying di sekolah (Darmawan, 2010).
9 9 Berdasarkan studi pendahuluan, peneliti melakukan wawancara dan pra observasi pada anak SD dan terdapat kasus anak melakukan bullying terhadap temannya sendiri. Beberapa anak melakukan bullying kepada anak lain secara fsikis dan psikis. Bullying secara fisik nampak pada kejadian anak A mendorong anak B hingga jatuh. Bullying secara psikis nampak pada kejadian seperti siswa yang berkata tidak sopan pada saat dia tersinggung dan emosi, bahkan dalam keadaan normal pun kata-kata kasar sering dipergunakan. Anak juga kerap mengejek temannya hingga menangis. Terdapat juga anak yang menghasut teman-temannya sehingga dia tidak memiliki teman sama sekali. Berdasarkan hasil pra survey dan pra wawancara dengan beberapa guru di Sekolah Dasar Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas terdapat berbagai kasus yang berkaitan dengan penyimpangan perilaku yang dilakukan siswa, yakni: (1) Guru melakukan bullying terhadap siswa (2) Siswa melakukan bullying terhadap teman dan guru, (3) Siswa berbicara kurang sopan, (4) Siswa melakukan pencurian uang teman sekelasnya, dan (5) Siswa berperilaku tidak sesuai dengan identitas gendernya (transeksualisme). Hal ini oleh guru dianggap lumrah dan wajar padahal di dalamnya adalah bullying secara psikologis. Contoh lain misalnya menyebut anak bodoh, nakal ataupun pemalas menjadi label bagi siswa, ini merupakan bullying secara verbal yang dapat berdampak negatif bagi siswa. Hal-hal semacam ini kurang diperhatikan guru sebagai salah satu bentuk tidak adanya sikap dan perilaku
10 10 respect kepada orang lain. Dengan dimilikinya pengetahuan tentang bullying oleh guru sebagai pendidik, maka pada waktu melakukan pengamatan di sekolah dapat dengan mudah mengenali, mengidentifikasi dan mengklasifikasi jenis-jenis bullying yang sering terjadi di sekolah. Guru memiliki peranan yang sangat besar dalam dinamika kelas. Sebagai pihak yang dinilai memiliki otoritas atas jalannya suatu kegiatan belajar, guru dituntut untuk dapat menciptakan iklim kelas yang sejuk dan memungkinkan interaksi yang sehat antar komponen kelas yang ditandai dengan penghargaan dan kesadaran akan perbedaan tiap-tiap siswa di kelas. Kurangnya pengawasan orang dewasa atau guru pada saat jam istirahat, ketidakpedulian guru dan siswa terhadap perilaku bullying, serta penerapan peraturan anti bullying yang tidak konsisten merupakan kondisi-kondisi yang menumbuhsuburkan terjadinya bullying di sekolah. Latar belakang sekolah juga turut mempengaruhi terjadinya bullying. Secara konseptual, bullying cenderung terjadi di sekolah yang kurang memiliki pengawasan, longgar dalam menerapkan aturan serta pihak-pihak pemegang otoritas tidak memiliki sikap dan pandangan yang tegas terhadap bullying (Elliot, 2008). Penelitian Newman, et al. (2008) membuktikan bahwa perilaku bullying pada anak-anak dapat berkurang secara signifikan berkat kerjasama masyarakat, konselor, guru dan siswa. Komitmen guru menjadi faktor yang menentukan dalam penurunan kasus bullying, memiliki jangkauan paling luas untuk melakukan
11 11 intervensi yang secara intens berinteraksi dengan siswa baik pelaku, korban maupun penonton. Guru juga dapat melakukan kontak dengan orang tua dan yang paling penting memiliki peran utama dalam menciptakan sekolah aman. Selain itu guru diidentifikasi sebagai agen kunci perubahan dalam penanganan perilaku bullying meskipun pada kenyataannya guru hanya sedikit berperan dalam penanganan bullying dan terbatas di lingkungan sekolah, serta pada pemanggilan pelaku (Nugroho, 2009). Biasanya guru dapat menangani bullying dalam setting kelas dengan menerapkan strategi pengaturan perilaku. Kebanyakan guru belum merespon peristiwa bullying secara efektif dan cenderung mengabaikan. Ini karena guru merasa bahwa dirinya tidak memiliki keterampilan untuk menangani bullying. Alasan yang membuat guru gagal dalam menangani perilaku bullying karena guru tidak memahami pengertian bullying secara keseluruhan, tidak memiliki kepercayaan diri untuk merespon perilaku bullying, memiliki rasa takut akan membuat sesuatu yang lebih buruk bagi korban (Crothers & Kolbert, 2008). Selain itu guru tidak mendapatkan laporan dari siswa yang mengetahui peristiwa bullying serta merasa takut untuk bertanggungjawab dalam kasus yang melibatkan kekerasan. Salah satu penyebab minimnya penanganan yang dilakukan guru adalah pengetahuan guru yang rendah mengenai perilaku bullying (SEJIWA, 2008). Pengetahuan guru terhadap bullying berdampak pada frekuensi guru dalam menangani bullying. Semakin guru memahami dan memiliki
12 12 keterampilan maka penanganannya menjadi lebih intensif, namun pada kenyataannya pengetahuan guru masih belum memadai (Nugroho, 2009). Newman, Carlos dan Horne (dalam Sugiariyanti, 2010) melakukan penelitian eksperimen terhadap para guru. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa program perlakuan yang diberikan kepada guru secara efektif meningkatkan pengetahuan guru dalam penggunaan keterampilan intervensi, efikasi diri personal guru dan etikasi diri yang berhubungan dengan menghadapi anak-anak tipe khusus dan mengurangi bullying di ruang kelas yang dinilai melalui acuan kedisiplinan. Selain itu, survei yang dilakukan oleh SEJIWA (dalam Sugiariyanti, 2010) juga menyimpulkan bahwa peran guru sangat diperlukan dalam mengatasi tindakan bullying dan menciptakan lingkungan yang positif di sekolah. Namun, dampak negatif yang ditimbulkan dari tindakan bullying belum disadari sepenuhnya oleh guru. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 18,3% guru (sekitar 1 dari 5 guru) menganggap bahwa mengintimidasi dan mengejek adalah hal biasa dalam kehidupan siswa sekolah dan tidak perlu diributkan. Sebanyak 27,5% guru (sekitar 1 dari 4 guru) berpendapat bahwa sesekali mengalami penindasan tidak akan berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa. Mengacu paparan dan permasalahan di atas bahwa pelaku bullying akan cenderung mengulang perilakunya ketika ada penguatan, sehingga perlu adanya pengetahuan guru dalam menangani bullying. Ketika guru memiliki pengetahuan
13 13 menangani bullying maka guru akan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mencegah peristiwa bullying di sekolah. Sebaliknya apabila guru tidak memiliki pengetahuan untuk menangani bullying, maka guru cenderung menganggap wajar atau mengabaikan peristiwa bullying di sekolah. Melihat luasnya permasalahan mengenai penyimpangan perilaku seperti diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perilaku bullying. Hal yang demikian dikarenakan tindak kekerasan (bullying) dapat memberikan dampak yang negatif untuk jangka waktu yang pendek dan panjang. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian tentang Gambaran Pengetahuan Guru Tentang Perilaku Bullying di Sekolah Dasar Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. B. Rumusan Masalah Besarnya pengaruh terjadinya bullying di sekolah berdampak negatif pada siswa yang akan mengganggu proses belajar mengajar dan berdampak pada hasil belajar siswa. Komitmen dan pengetahuan guru menjadi faktor yang menentukan dalam penurunan kasus bullying. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana tingkat pengetahuan guru tentang perilaku bullying pada anak SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas?.
14 14 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui pengetahuan guru tentang perilaku bullying pada anak SD di Kelurahan Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan karakteristik guru SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. b. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang pengertian bullying pada anak SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. c. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang karakteristik bullying pada anak SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. d. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang bentuk bullying pada anak SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. e. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang penyebab bullying pada anak SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. f. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang dampak bullying pada anak SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. g. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang perilaku bullying pada anak SD di Kelurahan Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas.
15 15 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang permasalahan yang ada di sekolah, terutama terkait dengan berbagai macam perilaku bullying yang terjadi di sekolah dasar. 2. Bagi Guru Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi kepada guru mengenai berbagai perilaku bullying yang terjadi di kelas, agar guru dapat menganalisis berbagai kemungkinan solusi untuk mengatasi perilaku menyimpang siswa tersebut, serta mencegah terjadinya perilaku bullying yang terjadi di sekolah. 3. Bagi Instansi Terkait Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan mengenai perilaku bullying dan bahan pertimbangan untuk mengoptimalkan lembaga pendidikan sekolah dasar, khususnya melalui upaya guru dalam mengatasi perilaku bullying di sekolah. 4. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan dalam kegiatan ilmiah. Pengembangan keilmuan ini dengan meneliti apa saja perilaku bullying yang terjadi di sekolah.
16 16 E. Penelitian Terkait 1. Indawati, Ika (2016), judul Upaya guru kelas untuk mengatasi perilaku bullying pada siswa kelas IV di Sekolah Dasar Islam Lukman Hakim Pakisaji Malang. Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus. Hasil penelitian didapatkan bahwa upaya wali kelas dalam mengatasi mengatasi perilaku bullying pada siswa kelas IV yatiu, ketika ada permasalahan wali kelas memanggil siswa yang bersangkutan, memasukkan dalam catatan buku BK (Bimbingan Konseling), siswa yang memiliki permasalahan dipanggil satu-satu, memcari tahu masalah yang terjadi, mengklasifikasikan terlebih dahulu permasalahannya. Persamaan : Penelitian yang akan dilakukan juga tentang perilaku bullying yang mengutamakan pada pengetahuan guru. Perbedaan: Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus, sedangkan metode penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini menggunakan kuantitatif deskriptif pendekatan cross sectional (potong lintang). 2. Sitasari, Novendawati Wahyu (2016), judul Pengetahuan dan ketrampilan guru dalam menangani perilaku bullying. Metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain deskripsi korelasi dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan keterampilan dalam menangani bullying. Artinya bahwa
17 17 pengetahuan yang dimiliki guru tidak mempengaruhi keterampilan guru dalam menangani bullying. Ketika guru memiliki pengetahuan yang baik tidak selalu diikuti dengan keterampilan yang baik. Begitu juga ada guru yang memiliki keterampilan untuk menangani bullying yang baik, namun pengetahuannya terhadap bullying masih minim. Persamaan : Metode penelitian menggunakan kuantitatif deskriptif. Perbedaan: Variabel penelitian yang digunakan pengetahuan dan ketrampilan yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel, sedangkan variable penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui gambaran (mendeskripsikan). 3. Prayunika, Deva (2016), dengan judul Gambaran tingkat pengetahuan tentang bullying di SMP Negeri 11 dan SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Metode penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif cross sectional. Hasil penelitian bahwa responden SMP Negeri 11 Yogyakarta dan SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta memiliki pengetahuan tentang bullying baik. Persamaan : Metode penelitian menggunakan kuantitatif deskriptif. Perbedaan: Tempat, waktu, dan responden yang berbeda. 4. Setiani, Titis (2013), dengan judul Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap guru Taman Kanak-Kanak dengan tindakan bullying. Metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain deskripsi korelasi dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara
18 18 tingkat pengetahuan dan sikap guru TK dengan tindakan bullying. Analisis korelasi product moment diperoleh nilai sebesar rxy= 0,789 yang menunjukkan ada hubungan yang kuat antara pengetahuan dan sikap. Hasil uji hipotesis diperoleh nilai r hitung = 0,789 lebih besar dari r tabel= 0,361 yang berarti hipotesis diterima, di mana tingkat pengetahuan dan sikap memiliki hubungan yang positif dan signifikan. Persamaan : Metode penelitian menggunakan kuantitatif deskriptif. Perbedaan: Variabel penelitian yang digunakan pengetahuan dan sikap yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel, sedangkan variable penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui gambaran (mendeskripsikan). 5. Fajrin, Ahmad Nur (2013), judul Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku bullying pada remaja di SMK PGRI Semarang. Metode penelitian kuantitatif, desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan jenis studi korelasional. Pendekatan yang digunakan cross-sectional. Hasil penelitian didapatkan bahwa Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku bullying. Hasil analisa dengan p value = 0,001 (p < 0,05). Persamaan : Metode penelitian menggunakan kuantitatif deskriptif. Perbedaan : Tempat, waktu, dan responden yang berbeda.
BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying merupakan fenomena yang marak terjadi dewasa ini terutama di lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya baik di
Lebih terperinciBULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017
BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berita mengenai kekerasan anak di sekolah belakangan ini semakin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Berita mengenai kekerasan anak di sekolah belakangan ini semakin meningkat. Media massa seperti televisi, radio, dan koran ramai membicarakan masalah kekerasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang ditandai dengan perubahan-perubahan didalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada periode ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat pada saat sekarang ini, telah membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan. Pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHALUAN. berbuat benar, berani memikul risiko, berdisiplin, sabar, sikap nalar sikap
BAB I PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan yang mengembangkan perilaku, nilai, sikap atau karakter yang baik dalam bertindak dan berbuat sehingga memancarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara berulang-ulang dan dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bullying merupakan salah satu tindakan perilaku agresif yang disengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat menerima dan memberi pelajaran (http://www.sekolahdasar.net). Sekolah adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya yang cukup marak akhir-akhir ini adalah kasus kekerasan atau agresivitas baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah pada dasarnya merupakan lingkungan sosial yang berfungsi sebagai tempat bertemunya individu satu dengan yang lainnya dengan tujuan dan maksud yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah
Lebih terperinciBULLYING. I. Pendahuluan
BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kegiatan belajar dengan aman dan nyaman. Hal tersebut dapat terjadi, karena adanya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini kasus kekerasan di sekolah makin sering ditemui baik melalui informasi di media cetak maupun di layar televisi. Selain perkelahian antar pelajar,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. siswa atau murid di lingkungan sekolahnya. Masalah yang sering muncul
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sekolah menjadi lingkungan pada siswa atau murid dalam proses untuk berinteraksi sosial secara langsung dengan teman sebaya atau guru. Akan tetapi, sekarang ini banyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Masa anak usia sekolah merupakan masa dimana anak mulai mengalihkan perhatian dan hubungan dari keluarga ke teman-teman sebayanya. Pada masa sekolah anak lebih
Lebih terperinciINTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT
INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ukuran pencapaian sebuah bangsa yang diajukan oleh UNICEF adalah seberapa baik sebuah bangsa memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan
1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kekerasan bukanlah fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan siswa salah satunya adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan periode perkembangan yang sangat banyak mengalami krisis dalam perkembangannya. Masa ini sering juga disebut dengan masa transisi karena remaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu. Selain itu sekolah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu. Selain itu sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sadar berupaya melakukan perbaikan
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENGELOLAAN EMOSI DENGAN PERILAKU BULLYING SISWA KELAS VIII DI SMP NEGERI 1 KAUMANTULUNGAGUNG TAHUN PELAJARAN 2014/ 2015
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENGELOLAAN EMOSI DENGAN PERILAKU BULLYING SISWA KELAS VIII DI SMP NEGERI 1 KAUMANTULUNGAGUNG TAHUN PELAJARAN 2014/ 2015 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya
Lebih terperinciPENGARUH BULLYING TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 05 KEDIRI
PENGARUH BULLYING TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 05 KEDIRI SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orangtua. Fenomena yang sering terjadi di sekolah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap negara pasti memerlukan generasi penerus untuk menggantikan generasi lama. Bangsa yang memiliki generasi penerus akan tetap diakui keberadaannya, oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,
BAB I PENDAHULUAN Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat penelitian serta mengulas secara singkat mengenai prosedur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru dalam proses belajar dan mengajarkan siswa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan anak dan cara mendidik anak supaya anak dapat mencapai tahapan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan pendidikan anak. Orang tua harus memiliki pengetahuan tentang perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Adolescence (remaja) merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia, karena masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterikatan antarmanusia adalah wujud harfiah yang telah ditetapkan sebagai makhluk hidup. Hal demikian ditunjukkan dengan sifat ketergantungan antara satu individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengaruh antara pendidik dengan yang di didik (Sukmadinata, 2011).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah proses dengan metode-metode tertentu, sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara betingkahlaku yang sesuai dengan kebutuhan
Lebih terperinciBAB II TINJUAN PUSTAKA
BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying. 1. Pengertian bullying. Menurut Priyatna (2010), bullying merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku kepada korban yang terjadi secara berulang-ulang dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah remaja merupakan suatu masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan membawa kehancuran bagi remaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, dan mengabungkan diri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak pertengahan. Pada masa ini terjadi perubahan yang beragam pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu melanjutkan estafet pembangunan bangsa ini. Namun,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan lembaga utama yang memainkan peranan penting dalam mengembangkan peradaban. Maju mundurnya suatu peradaban tergantung pada pendidikan. Pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Begitu banyaknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Hampir setiap hari banyak ditemukan pemberitaan-pemberitaan mengenai perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi tersebut merupakan
Lebih terperinciSTUDI TENTANG UPAYA GURU BIMBINGAN KONSELING MENGATASI BULLYING NON VERBAL DI SEKOLAH PADA SISWA KELAS VII-5 MTsN NGRONGGOT TAHUN 2015/2016
STUDI TENTANG UPAYA GURU BIMBINGAN KONSELING MENGATASI BULLYING NON VERBAL DI SEKOLAH PADA SISWA KELAS VII-5 MTsN NGRONGGOT TAHUN 2015/2016 SKRIPSI Diajukan untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemahaman tentang pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang erat dalam proses sejarah kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam. Ia adalah
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah
Lebih terperinciABSTRAK USAHA USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG. atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh para para pelajar.
ABSTRAK USAHA USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG Ijime adalah gangguan yang berisi ejekan, penindasan, perendahan martabat, atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh para para pelajar.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor
Lebih terperincisaaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN
saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebab melalui pendidikan diharapkan dapat menghasilkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya pemberitaan di media massa terkait dengan tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, nampaknya semakin melegitimasi tuduhan miring soal gagalnya sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dalam masyarakat industri modern adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja berlangsung dari usia 10 atau 11 tahun sampai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang tidak hanya mengajarkan peserta didiknya pengetahuan secara kognitif akan tetapi juga mengajarkan kepada peserta didiknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu berbuat untuk hal yang lebih baik. Untuk mengubah prilaku menuju ke hal yang lebih baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bullying selalu terjadi bahkan sudah menjadi sebuah tradisi. Bullying
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bullying sudah lama terjadi tetapi permasalahan ini tetap saja menjadi topik yang masih hangat diperbincangkan dan belum menemukan titik terang. Keberadaan bullying
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat,
Lebih terperinciUKDW. Bab 1 Pendahuluan. 1. Latar Belakang
Bab 1 Pendahuluan 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap individu sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Menurut Erik
Lebih terperinciFAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI BANGSAL MELATI RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI BANGSAL MELATI RSUD TUGUREJO SEMARANG M. Fatkhul Mubin, Dessy Maria Hanum Staf Pengajar Prodi S1 Keperawatan FIKKES UNIMUS Abstraks
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Masa remaja merupakan tahap perkembangan individu yang ditandai dengan transisi atau peralihan antara masa anak dan dewasa, meliputi perubahan biologis, kognitif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk memberikan pengajaran kepada siswa atau murid di bawah pengawasan guru dan kepala sekolah. Di dalam sebuah institusi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini pendidikan bukan lagi diterjemahkan sebagai bentuk pembelajaran formal semata yang ditujukan untuk mengasah kemampuan berpikir. Pendidikan lebih diarahkan untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi dalam hidupnya. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus dapat melakukan penyesuaian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai suku, ras, adat istiadat, bahasa, budaya, agama, serta kepercayaan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras, adat istiadat, bahasa, budaya, agama, serta kepercayaan. Fenomena tersebut,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang
Lebih terperinciBAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.
BAB I RENCANA PENELITIAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu mengalami perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan mental memiliki arti penting dalam kehidupan seseorang, dengan mental yang sehat maka seseorang dapat melakukan aktifitas sebagai mahluk hidup. Kondisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (aggregate) dari semua kondisi yang berasal dari luar aggregate yang. perilaku manusia, atau kelompok masyarakat (Budioro, 2000).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum, lingkungan dapat diartikan sebagai himpunan (aggregate) dari semua kondisi yang berasal dari luar aggregate yang berpengaruh pada kehidupan dan perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG
BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG A. Analisis Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 3 Warungasem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik yang melibatkan remaja sebagai pelaku ataupun korban. Kekerasan yang sering terjadi adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, atau dengan cakupan yang lebih luas yaitu teman sebaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena di masyarakat khususnya bagi warga yang tinggal di perkotaan, aksiaksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia dalam kehidupannya. Kemajuan zaman memiliki nilai yang positif dalam kehidupan manusia, dimana pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah dan Masalah 1. Latar Belakang Pada hakekatnya manusia merupakan mahkluk sosial, sehingga tidak mungkin manusia mampu menjalani kehidupan sendiri tanpa melakukan
Lebih terperinci