BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Kereta monorel. digunakan sebagai alat transportasi kota khususnya di kota-kota metropolitan dunia.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Kereta monorel. digunakan sebagai alat transportasi kota khususnya di kota-kota metropolitan dunia."

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monorel Monorel atau Rel Kecil Monorail atau Monorel yang memiliki arti satu rel adalah sebuah metro atau rel dengan jalur yang terdiri dari rel tunggal. Sementara kereta biasa atau konvensional memiliki dua rel paralel. Rel kereta monorel sendiri terbuat dari beton dan untuk roda keretanya terbuat dari karet, sehingga suara kereta api monorel tidak akan sebising kereta api konvensional. Tidak hanya itu, dalam monorel biasanya jalur keretanya ditempatkan di atas tiang-tiang, jadi monorel tidak akan memakan atau mempersempit jalur jalanan lainnya. Gambar 2.1 Kereta monorel Rel kereta Monorel ini hanya terdiri dari satu batang besi. Letak kereta api Monorel didesain menggantung pada rel atau di atas rel. Karena efisien, biasanya digunakan sebagai alat transportasi kota khususnya di kota-kota metropolitan dunia. Kecepatan operasi Monorel terletak diatas lalu lintas kendaraan, kecepatan rata-rata 50- I - 1

2 70 km/jammonorel mampu menampung beberapa penumpang dengan jumlah tidak sedikit. Kapasitas standar transportasi Monorel dengan empat kereta berkisar antara 200 dan 400 penumpang (duduk dan berdiri). Saat ini sudah banyak negara di dunia yang menggunakan sistem jalur kereta api monorel, sebut saja seperti di Jepang, Malaysia, Singapura, Cina, Korea Selatan, Belgia, Jerman, Italia, Russia, Irlandia, Inggris, Amerika Serikat dan juga Brazil Tipe-Tipe Monorel Menurut jenisnya, monorel terdapat dua tipe : a. Tipe Suspended Tipe suspended adalah tipe monorel dimana kereta bergantung dan melaju di bawah rel. Dalam tipe jenis ini, keretanya menggantung karena jalur relnya berada diatas atau dengan kata lain lebih mirip dengan kereta gantung. Gambar 2.2 Jenis sarana kereta api monorel tipe Suspended II - 2

3 Gambar 2.3 Monorel tipe Suspended di Kota Chiba, Jepang b. Tipe Straddle-beam Tipe straddle-beam ini adalah tipe monorel dimana kereta berjalan diatas rel. Tipe straddle-beam ini memiliki konsep yang sama dengan kereta biasa, dimana kereta berjalan diatas jalur rel. Gambar 2.4 Jenis sarana kereta api monorel tipe Straddle-beam II - 3

4 Gambar 2.5 Monorel tipe Straddle-Beam di Las Vegas, Amerika Serikat Kelebihan Monorel Penggunaan monorel sebagai alat transportasi massal alternatif ini memiliki beberapa keuntungan, di antaranya : a. Membutuhkan ruang yang kecil baik ruang vertikal maupun horizontal. Lebar yang diperlukan adalah selebar kereta dan karena dibuat di atas jalan, hanya membutuhkan ruang untuk tiang penyangga. b. Terlihat lebih "ringan" daripada kereta konvensional dengan rel terelevasi dan hanya menutupi sebagian kecil langit. c. Tidak bising karena menggunakan roda karet yang berjalan di beton. d. Bisa menanjak, menurun, dan berbelok lebih cepat dibanding kereta biasa. e. Lebih aman karena dengan kereta yang memegang rel, risiko terguling jauh lebih kecil. Resiko menabrak pejalan kaki pun sangat minim. f. Lebih murah untuk dibangun dan dirawat dibanding kereta bawah tanah. g. Mengenai biaya perawatan dan pembangunan, kereta monorel jauh lebih murah dibandingkan dengan kerea konvenional. II - 4

5 2.2 Parameter Konsep Standar Sarana Pada prose penyusunan standar sarana maka perlu kita pahami beberapa pengertian dan batasan yang menjadi acuan di dalam penulisan studi antara lain: 1. Parameter teknis adalah ketentuan teknis yang menjadi standar spesifikasi teknis prasarana atau sarana perkretaapian. (Sumber PP 56 tahun 2009) Sehingga yang dimaksud dengan kosep standar sarana adalah persyaratan teknis, yaitu ketentuan teknis yang menjadi standar spesifikasi teknis sarana perkretaapian. 2. Spesifikasi teknis adalah, persyaratan umum, ukuran, kinerja, dan gambar teknis sarana perkretaapian. (sumber: PP 56 tahun 2009) 3. Persyaratan teknis sarana perkretaapian meliputi sistem komponen, konstruksi, dan kinerja. (hasil analisa konsultan) 4. Sistem komponen, konstruksi, dan kinerja setiap sarana perkretaapian dirinci dalam spesifikasi teknis. (hasil analisa konsultan) 5. Spesifikasi teknis harus sesuia stanandar spesifikasi teknis. 6. Setiap sarana perkretaapian wajib memenuhi persyartan teknis sesuai jenis sarana perkretaapian. Definisi dan Persyaratan Teknis Konstruksi dan Komponen a. Rangka dasar Rangka dasar adalah rakitan baja yang terdiri atas penyangga badan, balok ujung, balok samping, balok melintang, dan penyangga peralatan bawah lantai. Persyaratan teknis: II - 5

6 1) Terbuat dari baja karbon atau material lain yang memiliki kekuatan dan kekakuan tinggi terhadap pembebanan tanpa terjadi deformasi tetap; 2) Konstruks tahan benturan, menyatu atau terpisah dengan badan; 3) Mampu menahan seluruh bebab dan getaran, dan 4) Tahan terhadap korosi. b. Badan Badan adalah suatu susunan konstruksi las yang terdiri dari komponenkomponen utama seperti atap, dinding samping, dinding ujung. Persyaratan teknis: 1) Terbuat dari baja atau material lain yang memiliki kekuatan dan kekakuan tinggi; 2) Konstruksi tahan benturan; 3) Tahan terhadap korosi dan cuaca; dan 4) Mampu meredam kebisingan. c. Bogie Bogie adalah susunan perangkat roda, rangka, dan sistem suspensi sebagai suatu kesatuan terstruktur yang mendukung sarana perkretaapian saat berjalan diatas rel. Persyaratan teknis: 1) Terbuat dari baja yang memiliki kekuatan dan kekauan tinggi terhadap pembebanan tanpa deformasi tetap; 2) Konstruksi tahan pembebanan; 3) Mampu memberikan kualitas pengendaraan yang baik; dan 4) Mampu meredam getaran. II - 6

7 d. Peralatan Perangkai Peralatan perangkai adalah peralatan yang menghubungkan sarana perkretaapian satu dengan sarana perkretaapian yang lainnya. Persyaratan teknis: 1) Terbuat dari baja atau material lain; 2) Mampu meneruskan daya sesuai peruntukan; dan 3) Mampu menahan dan meredam benturan. e. Peralatan Pengereman Peralatan pengereman adalah suatu peralatan yang digunakan untuk mengurangi kecepatan dan menghentikan sarana perkretaapian. Persyartan teknis: 1) Mampu mengendalikan kecepatan; 2) Mampu berhenti dalam keadaan normal dan darurat pada jarak pengereman yang sesuai dengan ketentuan operasi; dan 3) Mampu menyesuaikan tingkat kecepatan dan beban. f. Peralatan Keselamatan Peralatan keselamatan adalah suatu perlengkapan atau alat yang digunakan untuk keperluan darurat, seperti tabung tabung pemadam kebakaran, rem darurat, palu. Persyaratan teknis: 1) Sesuai dengan peruntukannya; dan 2) Mudah dalma pengoprasian. II - 7

8 g. Kabin Masinis Kabin masinis adalah ruang/tempat masinis bekerja/melakukan aktivitas pengendalian. Persyaratan teknis: 1) Mampu menampung masinis dan asisten masisnis; 2) Memiliki ruang gerak bagi masinis dan asisten masinis; 3) Mampu meredam kebisingan; 4) Mampu melindungi masinis dan asisten masinis dari gas buang sarana perkretaapian yang mengguankan motor diesel. h. Peralatan Penerus Daya Peralatan penerus daya adalah suatu alat yang digunakan untukmeneruskan tenaga penggerak ke roda. Persyaratan teknis: 1) Mampu meneruskan daya dengan baik; 2) Rasio daya per berat sesuai dengan gaya traksi yang ditentukan; 3) Dimensi sesuai dengan ruang yang tersedia; dan 4) Tahan terhadap kebocoran. i. Peralatan Penggerak Peraltan penggerak adalah paralatan yang digunakan sebagai tenaga penggerak. Persyartan teknis: 1) Menghasilakan gaya traksi yang cukup untuk menarik atau mendorong; 2) Dapat memakai bahan bakar fosil, gas, atau listrik; dan II - 8

9 3) Emisi gas buang dan kebisingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. j. Peralatan Pengendalian Peraltan pengendalian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengendalikan akselerasi dan desklerasi. Persyaatan teknis: 1) Mampu dikendalikan dari kabin masinis; dan 2) Mampu mengendalikan pergerakan maju mundur. k. Peralatan Penghalau Rintangan Peralatan penghalu rintangan adalah suatu alat yang digunakan untuk menghalau benda atau material yang menghalau jalan rel. Persyartan teknis: 1) Konstruksi kuat dan kokoh; dan 2) Mampu menahan benturan. 2.3 Pemilihan Trase Dalam merencanakan jalan baru, menarik trase jalan adalah hal yang pertama dilakukan. Trase jalan atau sering disebut sumbu jalan yaitu berupa garis-garis lurus saling berhubungan yang terdapat pada peta topografi suatu muka tanah dalam perencanaan jalan baru. Biasanya terdapat beberapa trase jalan yang dibuat, sehingga pada akhirnya dipilih salah satu trase yang dapat memenuhi syarat suatu perencanaan jalan. Trase jalan digunakan sebagai acuan membentuk lengkung jalan hingga perkerasan jalan. Ada beberapa cara untuk memilih trase yang dapat memenuhi syarat bahwa suatu jalan layak digunakan, terutama jalan yang dibangun di area pegunungan dan hutan. II - 9

10 a. Trase diusahakan jalur terpendek. Hal yang paling diutamakan perencana adalah jalan yang ekonomis. Ekonomis maksudnya suatu jalan dapat dibangun dengan kualitas bagus dan harga yang terjangkau. Maka dengan merencanakan trase yang pendek biaya dalam pembangunan jalan relatif kecil. b. Tidak terlalu curam. Salah satu syarat dalam merencanakan jalan adalah memberikan kenyamanan bagi pengguna jalan (si pengemudi). Jalan yang terlalu curam akan membuat kendaraan menjadi berat akibat adanya gaya sentrifugal. Sehingga pengguna jalan tidak lagi menemukan kanyamanan saat menggunkan jalan tersebut. c. Sudut luar (Sudut tangen) tidak terlalu besar. Sudut luar dalam menarik trase jalan akan sangat mempengaruhi keadaan jalan setelah dibangun. Perencana jalan diharapkan mampu merencanakan jalan dengan tikungan yang kurang dari 90 derajat. Agar tikungan yang terbentuk tidak terlalu tajam, sehingga aman bagi pengguna jalan. d. Penentuan Kecepatan rencana pada jalan yang akan dibuat juga menjadi acuan untuk merencanakan trase jalan beserta tikungan-tikungannya. Semakin besar kecepatan rencana yang direncanakan, maka sudut luar yang direncanakan semakin kecil e. Galian dan timbunan. Galian (cut) dan timbunan (fill) merupakan hal yang juga sangat diperhatikan dalam merencanakan jalan. Biasanya dalam merencanakan jalan, besar timbuan dan galian telah ditentukan terlebih dahulu. Agar biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan suatu bangunan jalan tidak lebih besar dari yang tersedia. Perencana jalan harus II - 10

11 merencanakan trase jalan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi galian dan timbuanan yang terlalu besar. Caranya dengan menarik garis trase pada elevasi muka tanah yang tidak terlalu jauh perbedaan ketinggian antara awal dengan akhir. Yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan trase: Panjang Jalur Rencana. Pilih jalur terpendek Elevasi Permukaan Jalur Sudut Luar Daerah Pemukiman Pilih kondisi elevasi yang mendekati sama Pilih tikungan yang tidak terlalu tajam Pilih trase yang seminimal mungkin melintasi lokasi pemukian II - 11

12 2.4 Persyaratan Teknis Monorel Tabel 2.1 Hasil Analisa Persyartan Teknis Monorel Ruang Lingkup Standar No Sarana 1 Persyaratan Umum Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber Setiap pengadaan sarana kereta api monorel harus didasarkan pada: a. persyaratan teknis dan standar spesifikasi teknis yang telah ditentukan; b. kebutuhan operasional; c. pelestarian fungsi Iingkungan hidup; dan d. mengutamakan produksi dalam negeri. Pengadaan monorel dari dalam negeri mengutamakan material yang telah memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia. Pengadaan monorel atau pembuatan komponen serta perakitan, seluruhnya atau sebagian yang dibuat di dalam negeri maupun di luar negeri, harus dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang telah mempunyai sertifikat internasional. Spesifikasi teknis monorel dibuat dengan memperhatikan: a) ruang batas sarana kereta api monorel; b) lebar jalan rei; c) kelengkungan jalan rei; d) landai penentu maksimum; e) beban gandar; f) jumlah gandar; g) jenis sarana kereta api monorel; h) kecepatan operasional; Draft Peraturan Konsep Standar Spesifikasi Teknis Sarana Perkeretaapian Monorel. Hasil studi lapangan dan literatur II - 12

13 No Ruang Lingkup Standar Sarana Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber i) perkembangan teknologi sarana kereta api monorel; dan Ruang batas sarana, lebar jalan rel, kelengkungan jalan rei, landai penentu maksimum, dan beban gandar, sesuai dengan desain prasarana perkereta api monorel. 2 Konstruksi Badan Badan, dirancang sebagai konstruksi yang ringan dan mempunyai kekuatan serta kekuatan tinggi terhadap pembebanan tanpa terjadi deformasi tetap. Pembebanan terhadap badan terdiri atas: a) Beban kompresi longitudinal minimum 400 kn, merupakan beban statis yang dikenakan pada rangka dasar atau badan, diperhitungkan bersama atau tanpa beban vertikal; b) beban vertikal diperhitungkan berdasarkan formula sebagai berikut: Pv = k(p1+p2) Pv = beban vertikal k = 1,1 (koefisien dinamis) P1 = berat badan kereta siap operasi P2 = jumlah penumpang x 75 kg jumlah penumpang = jumlah tempat duduk + jumlah penumpang berdiri jumlah penumpang berdiri tiap 1m2 diperhitungkan sesuai rencana peruntukan II - 13

14 No Ruang Lingkup Standar Sarana Bogie Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber (termasuk luas dari tempat duduk yang bisa dilipat) c) tegangan yang terjadi pada beban maksimum pada titik kritis konstruksi badan monorel, untuk tegangan tarik maupun tegangan geser maksimum 75% tegangan mulur bahan. Badan, terdiri dari: Ruang Penumpang, dan kabin masinis atau ruang penumpang tanpa kabin masinis. Kabin masinis harus memenuhi persyaratan: a) memiliki ruang bebas pandang kedepan; b) kaca depan kabin mampu menahan benturan sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kendaraan bermotor; dan terdapat ujung depan rangkaian Monorel saat dioprasikan. Bogie, merupakan susunan perangkat roda, rangka, dan sistem suspensi sebagai suatu kesatuan konstruksi yang mendukung sarana perkeretaapian saat berjalan diatas rel lengkung atau lurus, untuk kestabilan dan kenyamanan. Bodie harus memenuhi persyaratan: memiliki kekuatan serta kekuatan tinggi terhadap pembebanan II - 14

15 No Ruang Lingkup Standar Sarana 3 Komponen Pengumpula n Arus Propulsi Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber vertikal, lateral dan longitudinal pada titik keritis tanpa terjadi deformasi tetap; dirancang aman untuk dioprasikan minimum 110% dari kecepatan desain; dan memberikan kualitas pengendaraan 2,5 (metode E.Sperling J.L Koffman) pada kecepatan maksimum operasi. Pengumpulan arus pada monorel diambil dari rel ketiga (Thrid rail). a) Peralatan penggerak Peralatan penggerak, merupakan peralatan yang digunakan sebagai penggerak Monorel dengan memanfaatkan listrik. Peralatan penggerak harus memenuhi persyaratan: mampu mengatur/menghasilka n arus listrik sesuai kebutuhan traksi; besarnya arus Iistrik yang diterima dari luar sesuai dengan kemampuan penangkap daya; dilengkapi dengan pemutus arus Iistrik (circuit breaker); tidak menimbulkan gangguan elektromagnetik terhadap peralatan prasarana II - 15

16 No Ruang Lingkup Standar Sarana Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber perkeretaapian monorel; dan kebisingan eksternal atau internal dan emisi gas buang mengikuti peraturan tentang lingkungan hidup di Indonesia. b) Penerus daya Penerus daya, merupakan alat yang digunakan untuk meneruskan tenaga penggerak ke roda Penerus daya, harus memenuhi persyaratan: mampu menyalurkan daya sesuai dengan kebutuhan traksi; dan mampu meneruskan daya dalam dua arah dengan kemampuan sama. Penangkap daya, harus memenuhi persyaratan: posisi alat penangkap daya disesuaikan dengan kondisi sistem daya listrik disesuiakan dengan kondisi sistem daya listrik; dan tekanan kontak ratarata serendah mungkin dengan memeperhatikan kualitas pengumpuln arus tinggi; pemutus arus listrik, harus memenuhi persyartan; II - 16

17 No Ruang Lingkup Standar Sarana Perangkat Roda Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber c) sesuai dengna besaranya daya listrik yang digunakan; memutus arus listrik secara otomatis jika terjadi hubungan singkat (Short circuit) dan/atau beban lebih. Perangkat roda, merupakan komponen monorel yang mengalami kontak langsung dengan penampang permukaan rel, antara lain dapat berupa : Roda penggerak (load tire); Roda penggerak, berfungsi sebagai penggerak atau traksi Monorel Roda penuntun (guide tire); Roda penuntun, berfungsi sebagai penuntun gerakan Monorel; Roda penyeimbang (stabilizing tire) Roda penyeimbang, berfungsi sebagai penyeimbang dan penyetabil saat melewati tikungan. Perangkat roda, harus memenuhi persyartan: mampu menerima beban maksimum dan aman saat melewati jalan rei lurus dan jalan rei lengkung; mampu meneruskan traksi tanpa terjadi slip; jika roda terbuat dari bahan karet yang diisi udara tekan, roda dilengkapi dengan II - 17

18 No Ruang Lingkup Standar Sarana Peralatan pengereman Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber pengaman apabila terjadi kebocoran atau berkurangnya tekanan udara sehingga dapat dioperasikan sampai stasiun terdekat; Perangakat roda untuk suspended monorel harus memenuhi persyartan: mampu menerima beban maksimum dan aman saat melewati jalan rei lurus dan jalan rei lengkung; mampu meneruskan traksi tanpa terjadi slip; jika roda terbuat dari bahan karet yang diisi udara tekan, roda dilengkapi dengan pengaman apabila terjadi kebocoran atau berkurangnya tekanan udara sehingga dapat dioperasikan sampai stasiun terdekat; a) Rem pelayanan; Rem pelayanan, dioperasikan untuk mengendalikan kecepatan atau menghentikan monorel sesuai tingkat kecepatan. Rem pelayanan, harus memenuhi persyaratan: 1) gaya pengereman memperhitungkan jarak, kecepatan maksimum dan landai penentu maksimum; 2) mampu menghentikan sarana kereta api monorel dalam kondisi pengereman normal maupun pengereman darurat II - 18

19 No Ruang Lingkup Standar Sarana Peralatan perangkai Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber sesuai dengan kecepatan operasi; dan 3) bekerja secara otomatis menghentikan sarana kereta api monorel pada kondisi sistem rem gagal bekerja (fail safe). Fail safe, merupakan suatu sistem dan/atau perangkat yang mengaktifakan pengereman pada saat pengoprasian Monorel jika terjadi kegagalan yang mengakibatkan terganggunya sistem pengereman. b) Rem parkir Rem parkir, diopreasikan untuk menahan Monorel pada saat parkir. Rem parkir, harus mampu menahan Monorel pada saat berhenti di emplasmen dan tempat perawatan. Perangaki merupakan peralatan yang menghubungkan antar monorel, Perangkai, dapat berupa: a) Perangkai mekanik Perangkai mekanik, merupakan alat untuk merangakai antara badan Monorel. Perangaki mekanik harus memenuhi persyaratan: mampu meneruskan gaya maksimum yang II - 19

20 No Ruang Lingkup Standar Sarana Peredam benturan Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber terjadi untuk tarik atau tekan sesuai desain; dan elastis terhadap gerakan Monorel sesuai kondisi jalan rel. Perangkai pneumatik atau hidrolik b) Perangkai pneumatik atau hidrolik, merupakan alat untuk menyalurkan udara atau fluida melalui pipa antara Monorel. Perangkai pneumatik atau hidrolik, harus memenuhi persyaratan: mampu menyalurkan udara atau fluida sesuai dengan tekanan yang dibutuhkan; dan elastis terhadap gerakan Monorel sesuai kondisi jalan rel. c) Perangkai elektrik Perangkai elektrik, merupakan alat untuk meneruskan arus Iistrik antar monorel. Perangkai elektrik, harus memenuhi persyaratan: mampu menghantarkan arus listrik dengan stabil; memiliki nilai tahanan sesuai dengan tegangan yang digunakan; mampu meneruskan arus Iistrik dengan aman; dan elastis terhadap gerakan Monorel Peredam benturan berfungsi untuk mengurangi damapak benteran antara badan Monorel, yang terpisah atau II - 20

21 No Ruang Lingkup Standar Sarana 4 Peralatan penunjang Pintu dan jendela Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber menyatu dengan perangkai mekanik. Peredam benturan, harus memenuhi persyaratan: kekuatan redam memperhitungkan berat dan kecepatan oprasional Monorel; dan mampu mengurangi gaya impak tanpa terjadi deformasi tetap. pintu dirancang mampu menahan beban minimum 1,9 kn/m2; lebar dan tinggi pintu dan ukuran jendela sesuai dengan kebutuhan untuk kenyamanan; pintu mengakomodir kebutuhan penyandang cacat atau pengguna kursi roda; kaca pintu atau jendela mampu menahan benturan sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kendaraan bermotor; dilengkapi sensor otomatis untuk deteksi benda yang menghalangi saat akan menutup dan sensor pintu terhubung dengan pusat operasi monorel; dan apabila pintu juga difungsikan sebagai pintu darurat, pengaturan mekanisme pintu harus mengikuti persyaratan pintu darurat. Pengendali Pengendali, merupakan peralatan yang digunakan II - 21

22 No Ruang Lingkup Standar Sarana Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber untuk mengendalikan akselerasi dan deselerasi. a. Pengatur daya; Pengatur daya, merupakan tuas pengatur traksi secara bertahap dari rendah sampai tinggi dan sebaliknya. b. Pengatur pengereman; Pengatur pengereman, merupakan perangkat pengatur kecepatan dengan sistem pengereman secara bertahap dan pengereman darurat. Pengatur daya dan Pengatur pengereman, harus memenuhi persyaratan: memiliki tuas pengendali pergerakan; dilengkapi alat proteksi operasional; mudah dioprasikan dari tempat duduk masinis; dan nyaman digunakan dan ergonomis Pengendali dapat difungsikan menjadi suatu perangkat yang terintegrasi dalam sistem oprasional Monorel terpusat sesuai dengan kebutuhan. Perangkat kontrol, harus memenuhi persyaratan: dilengkapi alat proteksi oprasional; dan mudah dioprasikan. II - 22

23 No Ruang Lingkup Standar Sarana Indikator Kinerja Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber Indikator kinerja, berfungsi sebagai alat pemantau kinerja peralatan sarana kereta api monorel dalam kabin masinis. Alat pemantau, antara lain terdiri atas: indikator lampu, berfungsi untuk memantau bekerjanya lampu ruang penumpang; indikator pengendali pintu, berfungsi untuk memantau mekanisme kerja pintu; dan indikator kecepatan (speedometer), berfungsi untuk memantau kecepatan monorel. Apabila sarana kereta api monorel terintegrasi dalam suatu sistem operasional terpusat maka alat pemantau menggunakan monitor display (LCD). Lampu a) Lampu sorot dan/atau lampu tanda Lampu sorot dan/atau lampu tanda, merupakan lampu yang digunkan sebagai lampu penerangan dan/atau sebagai lampu tanda yang diletakkan pada bagian luar Monorel. Lampu sorot dan/atau lampu tanda, diatur sesuai kebutuhan operasional untuk penggunaan: Warna cahaya; Kuat cahaya; dan Jumlah lampu. b) Lampu ruang. II - 23

24 No Ruang Lingkup Standar Sarana Pengaturan Sirkulasi Udara Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber Lampu ruang, merupakan lampu yang digunakan sebagai penerangan pada ruang penumpang dan ruang awak sarana perkertaapian. Lampu ruang, harus memenuhi persyaratan: Kuat cahaya lampu ruang penumpang minimum 300 lux dan memberikan penerangan yang merata; Lampua ruang awak perkeretaapian disesuaikan dengan kebtuhan untuk kenyamanan bekerja; Titik lampu disesuaikan dengan kebutuhan; dan Tersedia lampu darurat (emergency lamp) dan bekerja secara otomatis. a) Pengatur temperatur udara (AC); Pengatur temperatur udara (AC), harus memenuhi persyaratan: menggunakan pengatur temperatur udara (AC) sesuai peruntukannya; bekerja pada temperatur (22-26)oC; menyediakan udara segar (fresh air) minimum 8 m3/jam untuk setiap penumpang; kelembaban relatif (60-70) %; dan menggunakan refrigerant sesuai II - 24

25 No Ruang Lingkup Standar Sarana Informasi Penumpang Cermin dan/atau kamera Tempat Duduk Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber dengan peraturan tentang Iingkungan hidup di Indonesia. b) Kipas angin (fan) Kipas angin (fan), harus memenuhi persyaratan: kecepatan aliran udara maksimum 0,5 m/det; dan mampu mengatur keseimbangan udara di dalam ruang. a) media audio; b) media video. Media, harus memenuhi persyaratan: media audio dapat didengar dengan jelas; media video atau visual mudah dilihat atau dibaca dan jelas. Cermin dan/atau kamera, harus memnuhi persyaratan: mampu menampilakn aktifitas naik-turun penumpang; dan mampu bekerja pada berbagai kondisi cuaca. Tempat duduk, harus memenuhi persyaratan: mampu menahan beban pada rangka bawah minimum 1 kn tiap satu tempat duduk tiap penumpang; ergonomis dengan diberi sandaran; bahan tempat duduk dan sandaran tahan rambatan api; dan tempat duduk masinis dapat diatur maju mundur, naik turun dan berputar. II - 25

26 No Ruang Lingkup Standar Sarana Pegangan Tangan 5 Peralatan Keselamatan Alat Siaga Alat Evakuasi Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber Pegangan tangan (hand rail), harus memenuhi persyaratan: mampu menerima beban statis minimum 0,017 kn setiap 10 mm yang bekerja pada sudut konis 45 vertikal kearah bawah; pegangan dan sambungannya bebas dari sudut tajam; dan dirancang untuk kenyamanan penumpang berdiri. Alat Siaga (warning device), digunakan sebagai alat bantu peringatan atau kewaspadaan kepada awak sarana perkeretaapian selama mengoprasikan Monorel, harus memnuhi persyaratan: bekerja berdasarkan interval waktu; memberikan peringatan dini berupa suara; dan bekerja dengan pengaktifan pengereman darurat secara otomatis. a) Tangga Spiral; Tangga Spiral, merupakan tangga tabung untuk menurunkan penumpang, harus memenuhi persyaratan: Minimum 1 (unit) untuk setiap ruang penumpang; Tangga bebrbentuk spiral; Kekuatan tangga harus memperhitungkan besarnya beban yang diterima; dan Diameter tangga minimum 1500 mm. II - 26

27 No Ruang Lingkup Standar Sarana Pintu Darurat Pemadam Api Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber b) Jembatan Jembatan, digunakan sebagai jembatan evakuasi anatara Monorel, harus memenuhi persyaratan: Minimum 1 (unit) untuk setiap ruang penumpang; Kekuatan jembatan harus memperhitungkan besarnya beban yang diterima; dan Diameter tangga minimum 750 mm. Pintu darurat, merupakan pintu yang digunakan pada saat kondisi darurat, harus memenuhi persyaratan: minimum 1 (satu) unit untuk setiap dinding samping ruang penumpang; tersedia pada setiap ujung rangkaian sarana kereta api monorel; mudah dioperasikan secara manual; dan tinggi dan lebar pintu minimum (1500 x 750) mm. Pemadam api (fire extinguisher), sebagai alat bantu pemadam api ringan, harus memenuhi persyaratan: minimum 1 (satu) unit untuk setiap ruang penumpang dan ruang kabin masinis dengan kapasitas 3-5 kg; jenis bahan pemadam menggunakan bubuk kimia (dry chemical powder) atau jenis lain sesuai dengan peraturan penggunaan alat II - 27

28 No Ruang Lingkup Standar Sarana Detektor Asap Tuas/Tomb ol Darurat Persyaratan Teknis Usulan Justifikasi Sumber pemadam api di Indonesia; dan diberi tanda khusus untuk penempatannya dan mudah dijangkau. Detektor asap (smoke detector), sebagai alat bantu deteksi asap dalam ruang penumpang dan ruang kabin masinis yang diproteksi atau tertutup,harus memenuhi persyaratan: bekerja secara otomatis dengan memberikan peringatan dini berupa suara; jumlah detektor asap disesuaikan luas ruang penumpang dan ruang kabin masinis; dan detektor asap bekerja sesuai dengan peraturan penggunaan alat pemadam api di Indonesia. Tuas atau tombol tanda darurat (buzzery), sebagai alat pemberi tanda darurat, harus memenuhi persyaratan: minimum 1 (satu) unit untuk setiap ruang penumpang; terhubung dengan kabin masinis atau ruang operator; mengeluarkan bunyi atau tanda khusus pada saat dioperasikan dan dapat dilengkapi alat komunikasi verbal dua arah; dan tuas atau tombol diberi warna khusus dan petunjuk penggunaan. Sumber: Badan Penelitian dan Pengembang Perhubungan Pusat Penelitian dan Pengembang Perhubungan Darat dan Perkeretaapian, Kementrian Perhubungan. II - 28

29 2.5 Perencanaan Geometrik Jalan Definisi Dan Kriteria Perencanaan Geometrik Jalan Rel Alinemen jalan rel merupakan arah dan posisi sumbu rel yang terdiri dari bagian lurus, alinemen horisontal dan alinemen vertikal. Kriteria perencanaan alinemen yang baik mempertimbangkan beberapa faktor berikut ini : a. Fungsi Jalan Rel Alinemen jalan rel harus memenuhi tujuan dari penggunaannya. Secara umum jalan tersebut berfungsi sebagai pelayanan transportasi/pergerakan orang atau barang yang menghubungkan tempat-tempat pusat kegiatan. b. Keselamatan Jalan rel dirancang untuk menghindari adanya kecelakaan, baik keselamtan yang terjadi pada lalu lintas kereta api dan interaksi terhadap jalan raya. c. Ekonomi Jalan rel dibangun dengan mempertimbangkan biaya pembangunan, pemeliharaan dan operasi, manfaat dari pembangunan jalan rel baik secara makro maupun mikro. d. Aspek Lingkungan Pembangunan jalan rel harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan selain nilai estetika yang dipertimbangkan. Dampak lingkungan yang terjadi meliputi longsor, banjir, kerusakan hutan, dll. II - 29

30 2.5.2 Ketentuan Umum Perencanaan Geometrik Jalan Rel a. Standar Jalan Rel Segala ketentuan yang berkaitan dengan jenis komponen jalan rel di dalam perencanaan geometrik jalan rel tertuang dalam Tabel Klasifikasi Jalan Rel PD.10 tahun Ketentuan tersebut diantaranya: kelas jalan, daya lintas/angkut, kecepatan maksimum, tipe rel, jenis bantalan dan jarak, jenis penambat rel dan struktur balasnya. b. Kecepatan dan Beban Gandar Dalam ketentuan PD 10 tahun 1986, terdapat beberapa tipe kecepatan yang digunakan dalam perencanaan, yaitu : 1. Kecepatan Rencana Kecepatan rencana adalah kecepatan yang digunakan untuk merencanakan konstruksi jalan rel. Adapun beberapa bentuk kecepatan rencana digunakan untuk : a) Untuk perencanaan struktur jalan rel Vrencana = 1,25 Vmaksimum... (2.1) b) Untuk perencanaan jari jari lengkung lingkaran dan peralihan Vrencana = V maksimum... (2.2) c) Untuk perencanaan peninggian peralihan dimana : Vrencana = c Σn i v i Σn i... (2.3) II - 30

31 c = 1,25 Ni = Jumlah kereta api yang lewat Vi = Kecepatan operasi 2. Kecepatan Maksimum Kecepatan maksimum adalah kecepatan tertinggi yang diijinkan untuk operasi suatu rangkaian kereta pada lintas tertentu. Ketentuan pembagian kecepatan maksimum dlam perencanaan geometrik dapat dilihat pada Tabel Klasifikasi Jalan Rel. 3. Kecepatan Operasi tertentu. Kecepatan operasi adalah kecepatan rata-rata kereta api pada petak jalan 4. Kecepatan Komersial Kecepatan komersial adalah kecepatan rata-rata kereta api sebagai hasil pembagian jarak tempuh dengan waktu tempuh. Beban gandar maksimum yang dapat diterima oleh struktur jalan rel di Indonesia untuk semua kelas jalan adalah 18 ton (PD. No. 10 tahun 1986). c. Daya Angkut Lintas Daya angkut lintas (T) adalah jumlah angkutan anggapan yang melewati suatu lintas dalam jangka waktu satu tahun. T = 360 S TE... (2.4) TE = Tp + ( Kb Tb ) + ( K1 T1 )... (2.5) II - 31

32 dimana, TE Tp Tb T1 S = tonase ekivalen (ton/hari) = tonase penumpang dan kereta harian = tonase barang dan gerbong harian = tonase lokomotif harian = koefisien yang besarnya tergantung kualitas lintas = 1,1 untuk lintas dengan kereta penumpang dengan V maksimum 120 km/jam = 1,0 untuk lintas tanpa kereta penumpang K1 = Koefisien yang besarnya 1,4 Kb = Koefisien yang besarnya tergantung pada beban gandar (1,5 untuk gandar < 18 ton dan 1,3 untuk gandar > 18 ton). d. Ruang Bebas dan Ruang Bangun 1. Definisi Ruang Bebas Ruang di atas sepur yang senantiasa harus bebas dari segala rintangan dan benda penghalang, ruang ini disediakan untuk lalu lintas rangkaian kereta api. Ruang Bangun Ruang disisi sepur yang senantiasa harus bebas dari segala bangunan seperti tiang semboyan, tiang listrik dan pagar. Ruang bangun diukur dari sumbu sepur pada tinggi 1 meter sampai 3,55 meter. II - 32

33 2. Untuk Jalur Tunggal Menurut R-10, batas ruang untuk jalur lurus dan lengkung dibedakan sebagai berikut : a) Batas ruang bebas untuk jalur lurus dan lengkung dengan jarijari lebih b) besar dari 3000 m. c) Untuk lengkung dengan jari-jari 300 sampai dengan 3000 m. d) Untuk lengkung dengan jari-jari kurang dari 300 m. Menurut JNR, batas ruang untuk jalur lurus dan lengkung dibedakan sebagai berikut : a) Batas ruang bebas untuk jalur lurus dan lengkung dengan jarijari lebih besar dari 1100 m. b) Untuk lengkung dengan jari-jari kurang dari 1000 m, lebar dari ruang bebas bertambah besar sesuai dengan jari-jarinya yang ditunjukkan dengan hubungan : M = 22,5 R... (2.6) c) Untuk lengkung dengan jari-jari kurang dari 300 m. Pada bagian bawah dari ruang bebas di stasiun disesuaikan dengan tinggi peron yang terdiri dari : a) Untuk Penumpang : i. Peron tinggi, dengan ukuran tinggi 1000 mm di atas kepala rel (elevasi 0.00) II - 33

34 ii. Peron rendah, dengan ukuran tinggi 200 mm di atas kepala rel (elevasi 0.00) b) Untuk Barang : Tinggi peron 1000 mm di atas kepala rel (elevasi 0.00). i. Untuk Kereta Listrik : Kereta listrik disediakan ruang bebas untuk memsang saluran-saluran kawat listrik beserta tiang pendukungnya dan pantograph listrik di kereta. ii. Untuk Kereta Listrik : Ruang bebas didasarkan pada ukuran gerbong peti kemas standar ISO dengan ukuran standard height. Standar ini digunakan karena banyak Negara yang menggunakannya dan cenderung untuk dipakai pada masa yang panjang. 3. Untuk Jalur Ganda Alinemen Horisontal Jarak antara sumbu untuk jalur lurus dan lengkung sebesar 4,00 m. a. Lengkung Peralihan Lengkung peralihan ditetapkan untuk mengeliminasi perubahan gaya sentrifugal sedemikian rupa sehingga penumpang di dalam kereta terjamin kenyaman dan keamanannya. Panjang lengkung peralihan merupakan fungsi dari perubahan gaya sentrifugal per satuan waktu, kecepatan dan jari-jari lengkung. Perubahan gaya sentrifugal = gaya m.a =... (2.7) waktu t II - 34

35 m.a t = m.a t L V... (2.8) L = V3. t... (2.9) a. R jika: a maksimum = 0,0478 g... (2.10) (g = percepatan gravitasi = 9.81 m/dtk2) h = 5,95 V2 R... (2.11) dan dikonversi pada satuan praktis maka : Lh = 0,01 h V... (2.12) dimana, Lh = panjang minimum lengkung peralihan (m) h = peninggian pada rel luar di lengkung (mm) V = kecepatan rencana untuk lengkung peralihan (km/jam) R = jari-jari lengkung (m) b. Peninggian Rel Peninggian rel diperlukan untuk mengimbangi timbulnya gaya sentrifugal pada kereta saat memasuki suatu lengkung horisontal. Gaya sentrifugal tersebut mengakibatkan kereta cenderung terlempar ke luar dari lengkung. Besarnya gaya sentrifugal sebanding dengan massa dan kuadrat kecepatan kereta api, dan berbanding terbalik dengan jari-jari lengkung horizontal. Salah satu cara untuk membantu mereduksi gaya sentrifugal yang membebani kereta api adalah meninggikan rel luar secara relative terhadap rel bagian dalam di lengkung horizontal. II - 35

36 1. Peninggian rel minimum Peninggian rel minimum didasarkan pada gaya maksimum yang mampu dipikul oleh rel dan kenyamanan bagi penumpang. Persamaan dasar : Gaya Sentrifugal = Gaya Berat + Komponen Rel mv 2 R cos = G. sin + H. cos... (2.13) Gsin α = [ GV2 gr H] cos α... (2.14) Gtan α = [ GV2 gr H]... (2.15) jika tan α = h... (2.16) W dan, H = m. a = G a... (2.17) g maka : a = V2 g h... (2.18) R W dimana a = percepatan sentrifugal (m/detik2) h = WV2 gr Wa g... (2.19) Jika : W = 1120 mm, g = 9,81 m/detik 2, dan a = 0,0478 g (m/detik 2 ), maka : h min = 8,8V2 R 53,5 (dalam satuan mm)... (2.20) II - 36

37 2. Peninggian rel normal Peninggian rel normal didasarkan pada gaya maksimum yang mampu dipikul oleh gaya berat kereta api dan konstruksi rel tidak memikul gaya sentrifugal. Persamaan dasar : Gaya Sentrifugal = Gaya Berat Gsin α = mv2 R cos α... (2.21) Gsin α = GV2 gr cos α... (2.22) tan α = V2... (2.23) gr jika: tan α = h W... (2.24) mv 2 R cos α = Gsin α... (2.25) h = WV2 gr... (2.26) Dengan memasukkan satuan praktis : W = jarak diantara kedua titik kontak roda dan rel = 1120 mm R = jari-jari lengkung horizontal (m) V = kecepatan rencana (km/jam) h = peniggian rel pada lengkung horizontal (mm) g = percepatan gravitasi (9,81 m/detik2) maka : II - 37

38 h normal = 8,8V2 (dalam mm)... (2.27) R Dalam perhitungan peninggian digunakan kecepatan kereta api terbesar (V maksimum) yang melewati suatu lintas dengan jari-jari R sebagai suatu hubungan persamaan : V = 4,3 R... (2.28) jika h = k V2 R... (2.29) dan untuk V = 4,3 R, digunakan penginggian rel, h = 110 mm, maka : (4,3 R)2 110 = k R... (2.30) k = 5,95 Jadi peninggian rel normal ditentukan sebagai : h normal = 5,95 V2 R (dalam mm)... (2.31) 3. Peninggian rel maksimum Peninggian rel maksimum berdasarkan stabilitas kereta api pada saat berhenti dibagian lengkung, digunakan faktor keamanan (safety factor, SF) = 3,0 sehingga kemiringan maksimum dibatasi sampai 10 % atau h maksimum = 110 mm. dalam) : Ditinjau seluruh Momen Gaya Berat terhadap titik 0 (di dasar rel bagian II - 38

39 SF x G. sin x y = G. cos x W 2... (2.32) tan α = W SF x 2 x y dan tan α = V2 gr... (2.33) maka h W = W SF x 2 x y... (2.34) SF = W h maksimum x 2 x y... (2.35) Jika : y = 1700 mm (jarak titik berat gerbong/kereta terhadap titik 0) W = 1120 mm (= 1067 mm + e) SF = 3,325 maka : h maksimum = 110 mm... (2.36) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peninggian rel rencana/disain harus memenuhi syarat : h minimum < h normal < h maksimum... (2.37) nilai h rencana dibulatkan menjadi bilangan kelipatan 5 mm diatasnya. c. Lengkung S Lengkung S terjadi bila lengkung dari suatu lintas berbeda arah lengkungnya dan terletak bersambungan. Kedua lengkung harus dipisahkan oleh bagian lurus minimal 20 meter di luar lengkung peralihan. d. Alur Perhitungan Lengkung Horisontal II - 39

40 1. Menghitung Panjang Lengkung θs = 90 x Ls π x R... (2.38) θc = s 2θs... (2.39) Lc = θc 360 o x 2πR... (2.40) L = 2Ls + Lc... (2.41) 2. Menghitung Xc, Yc, k dan P Xc = Ls Ls3 40 x R 2... (2.41) Yc = Ls2... (2.42) 6 x R P = Yc R(1 cos θs)... (2.43) k = Xc R sin θs... (2.44) 3. Menghitung Tt dan Et Tt = (R + p)tg s 2 + k... (2.45) Et = (R + p)sec s 2 R... (2.46) II - 40

41 4. Menggambar proyeksi lengkung horizontal : Alinemen Vertikal Gambar 2.6 Proyeksi lengkung horisontal a. Pengelompokan Lintas Beberapa batas landai yang diijinkan disesuaikan dengan jenis kereta api, jika digunakan lokomotif adhesi maka landai maksimum yang diperkenankan 40, dan jika digunakan lokomotif bergigi, maka kelandaian maksimum dapat mencapai Sementara itu, pada beberapa negara pengelompokan lintas, didasarkan pada besarnya kelandaian pada kondisi medan sebagaimana disebutkan sebagai berikut : o Medan dengan lintas dasar jika kelandaiannya o Medan dengan lintas pegunungan jika kelandaiannya lebih dari10 Untuk emplasemen, kelandaian maksimum ditentukan berdasarkan koefisien tahanan mula pada kereta atau gerbong dengan memakai tumpuan rol (roller bearing). Sehingga pada landai tersebut kereta atau gerbong dalam keadaan II - 41

42 seimbang atau diam. Tahanan mula ini berkisar antara 1,5 2,5 kg/ton. Berdasarkan ketentuan di atas, PD. No.10 tahun 1986 mengelompokkan lintas berdasarkan kelandaian sebagaimana dijelaskan sebagai berikut : 1. Lintas Datar : Lintas Pegunungan : Lintas dengan Rel Gigi : Landai pada Emplasmen : 0 1,5. b. Jari-jari Minimum Lengkung Alinemen vertikal merupakan proyeksi sumbu jalan rel pada bidang vertikal melalui sumbu jalan rel itu tersebut. Alimenen vertikal terdiri dari garis lurus dengan atau tanpa kelandaian dan lengkung vertikal yang berupa busur lingkaran, sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.5. Besar jari-jari minimum lengkung bergantung pada besar kecepatan rencana seperti dalam tabel jari-jari lengkung vertikal PD 10 tahun 1986, sebagaimana tertera berikut ini : Untuk V rencana > 100 km/jam, digunakan Rmin = 8000 m Untuk V rencana hingga 100 km/jam, digunakan Rmin = 6000 m Lengkung vertikal diusahakan dalam perencanaannya tidak berimpit atau bertumpangan dengan lengkung horizontal. c. Letak Titik Lengkung dan Jarak Maksimum Proyeksi Titik Sumbu ke Lengkung Vertikal II - 42

43 Panjang lengkung vertikal berupa busur lingkaran yang menghubungkan dua kelandaian lintas yang berbeda dan ditentukan berdasarkan besarnya jari-jari lengkung vertikal dan perbedaan kelandaian. Rumus Dasar Lengkung : d2 y = 1... (2.47) dx 2 R Gambar 2.7 Skematik lengkung vertikal Dimana : R : jari-jari lengkung peralihan x : panjang lengkung peralihan A : titik tekuk lengkung vertikal Y : perbedaan landai Dari persamaan 2.47, diperoleh bahwa : dy dx = x R + c 1... (2.48) Jika x = 0, maka dy dx = 0 dan c 1 = 0... (2.49) II - 43

44 Y = x2 2R + c 2... (2.50) Jika x = 0, maka Y = 0 dan C2 = 0... (2.51) Letak titik A (titik tekuk lengkung vertikal, lihat Gambar 2.47), diperoleh : Diberikan : x = l... (2.52) dy dx = l R, l dan = φ R... (2.53) Xm = OA = 1/2 l... (2.54) Xm = R φ... (2.55) 2 Y = x2, dan l = φ R... (2.56) 2R Jika : Y = Ym dan X = Xm = OA = ½ l, maka : Ym = 1 4 l2 = φ2 R 2 2R 8R... (2.57) Ym = R 8 φ2... (2.58) Menggunakan Persamaan 2.55 dan 2.58, selanjutnya dengan R yang ditentukan untuk berbagai harga kecepatan dan perbedaan kelandaian, maka dapat dihitung dimensi lengkung peralihan Xm dan Ym. II - 44

45 d. Lanadai Curam (Sk) Pada kondisi khusus sering terdapat lintas dengan kelandaian yang lebih besar dari landai penentu (Sm) dengan alasan ekonomis untuk perancangan terutama pada daerah pegunungan. Dengan demikian diperlukan disain khusus untuk menentukan kelandaian tersebut yang dikenali sebagai landai curam (Sk) dengan panjang lendai yang harus memenuhi rumus pendekatan sebagai berikut : 1 Gambar 2.8 Skematik perencanaan panjang landai curam 2 m. Va2 1 2 m. Vb2 = G(Sk Sm). l... (2.59) 1 G 2 g. (Va2 Vb 2 ) = G(Sk Sm). l... (2.60) l = (Va2 Vb 2 )... (2.61) 2g (Sk Sm) dimana, Va Vb = kecepatan awal di kaki landai curam (m/detik) = kecepatan akhir di puncak landai curam (m/detik) Sk = besar landai curam ( ) Sm = besar landai penentu ( ) l = panjang landai curam (m) II - 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkotaan yang konstruksinya ringan dan bisa berjalan bersama lalu lintas lain atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkotaan yang konstruksinya ringan dan bisa berjalan bersama lalu lintas lain atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Light Rail Transit (LRT) Kereta api ringan dikenal juga sebagai LRT sebagai singkatan Light Rail Transit adalah salah satu sistem Kereta Api Penumpang yang beroperasi dikawasan

Lebih terperinci

BAB X PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL

BAB X PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL BAB X PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL 1. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan mampu : 1. Mengetahui kriteria yang perlu diperhatikan untuk merencanakan

Lebih terperinci

KULIAH PRASARANA TRANSPORTASI PERTEMUAN KE-8 PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL

KULIAH PRASARANA TRANSPORTASI PERTEMUAN KE-8 PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL KULIAH PASAANA TANSPOTASI PETEMUAN KE-8 PEENCANAAN GEOMETIK JALAN EL 1. Standar Jalan el A. KETENTUAN UMUM Segala ketentuan yang berkaitan dengan jenis komponen jalan rel di dalam perencanaan geometrik

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 44 TAHUN 2010 STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS PERALATAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA a. bahwa dalam Pasal 197 Peraturan

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa berdasarkan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian belum diatur ketentuan mengenai standar spesifikasi teknis

Lebih terperinci

2016, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086); 4. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun

2016, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086); 4. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun No.1956, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Sarana Perkeretaaoian. Spesifikasi Teknis Lokomotif. Standar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 153 TAHUN 2016

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 40 TAHUN 2010 a. bahwa dalam Pasal 197 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian telah

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 41 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS KERETA YANG DITARIK LOKOMOTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. melalui tahapan tahapan kegiatan pelaksanaan pekerjaan berikut :

BAB III METODE PENELITIAN. melalui tahapan tahapan kegiatan pelaksanaan pekerjaan berikut : BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Langkah Kerja Metodologi yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini akan dipaparkan melalui tahapan tahapan kegiatan pelaksanaan pekerjaan berikut : MULAI DATA KONSTRUKSI

Lebih terperinci

, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1739, 2015 KEMENHUB. Kereta. Kecepatan Normal. Spesifikasi Teknis. Standar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 175 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010 MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS GERBONG a. bahwa dalam Pasal 197 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 42 TAHUN 2010 a. bahwa dalam Pasal 197 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian telah

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anshory, Irfan Perencanaan Struktur Jalan Rel Rantau Prapat Duri II. Tugas Akhir Di Jurasan Teknik Sipil FTSP ITS.

DAFTAR PUSTAKA. Anshory, Irfan Perencanaan Struktur Jalan Rel Rantau Prapat Duri II. Tugas Akhir Di Jurasan Teknik Sipil FTSP ITS. Tugas Akhir DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA Anshory, Irfan. 2009. Perencanaan Struktur Jalan Rel Rantau Prapat Duri II. Tugas Akhir Di Jurasan Teknik Sipil FTSP ITS. Banks, J.H. 2002. Introduction to Transportation

Lebih terperinci

Geometri Jalan Rel. Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

Geometri Jalan Rel. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Geometri Jalan Rel Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Geometri Jalan Rel Meliputi bentuk dan ukuran jalan rel, pada arah memanjang-melebar, yang meliputi lebar sepur, kelandaian, lengkung horizontal dan vertikal,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Tujuan utama dilakukannya analisis interaksi sistem ini oleh para

BAB III LANDASAN TEORI. Tujuan utama dilakukannya analisis interaksi sistem ini oleh para BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Interaksi Sistem Kegiatan Dan Jaringan Tujuan utama dilakukannya analisis interaksi sistem ini oleh para perencana transportasi adalah sebagai berikut: 1. Memahami cara kerja

Lebih terperinci

REKAYASA JALAN REL. MODUL 8 ketentuan umum jalan rel PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

REKAYASA JALAN REL. MODUL 8 ketentuan umum jalan rel PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL REKAYASA JALAN REL MODUL 8 ketentuan umum jalan rel OUTPUT : Mahasiswa dapat menjelaskan persyaratan umum dalam desain jalan rel Mahasiswa dapat menjelaskan beberapa pengertian kecepatan kereta api terkait

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan jalur tepi di sepanjang jalan tol CAWANG CIBUBUR dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan jalur tepi di sepanjang jalan tol CAWANG CIBUBUR dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Khusus Pembangunan jalur dan stasiun Light Rail Transit akan dilaksanakan menggunakan jalur tepi di sepanjang jalan tol CAWANG CIBUBUR dengan jalur layang (Elevated) dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian atau studi yang direncanakan berada di jalur kereta api Lintas Muara Enim Lahat, yaitu dimulai dari Stasiun Muara Enim (Km 396+232) sampai

Lebih terperinci

TUGAS PERENCANAAN JALAN REL

TUGAS PERENCANAAN JALAN REL TUGAS PERENCANAAN JALAN REL Pebriani Safitri 21010113120049 Ridho Fauzan Aziz 210101131200050 Niken Suci Untari 21010113120104 Aryo Bimantoro 21010113120115 BAB I Pendahuluan Latar Belakang Maksud Tujuan

Lebih terperinci

KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANANNYA. Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANANNYA. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANANNYA Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Struktur Jalan Rel Struktur Atas Struktur Bawah Struktur jalan rel adalah struktur elastis dengan pola distribusi beban yang rumit

Lebih terperinci

KAJIAN GEOMETRIK JALUR GANDA DARI KM SAMPAI DENGAN KM ANTARA CIGANEA SUKATANI LINTAS BANDUNG JAKARTA

KAJIAN GEOMETRIK JALUR GANDA DARI KM SAMPAI DENGAN KM ANTARA CIGANEA SUKATANI LINTAS BANDUNG JAKARTA KAJIAN GEOMETRIK JALUR GANDA DARI KM 109+635 SAMPAI DENGAN KM 116+871 ANTARA CIGANEA SUKATANI LINTAS BANDUNG JAKARTA DOUBLE TRACK GEOMETRIC INVESTIGATION FROM KM 109+635 UNTIL KM 116+870 BETWEEN CIGANEA

Lebih terperinci

REKAYASA JALAN REL. Modul 2 : GERAK DINAMIK JALAN REL PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

REKAYASA JALAN REL. Modul 2 : GERAK DINAMIK JALAN REL PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL REKAYASA JALAN REL Modul 2 : GERAK DINAMIK JALAN REL OUTPUT : Mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik pergerakan lokomotif Mahasiswa dapat menjelaskan keterkaitan gaya tarik lokomotif dengan kelandaian

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan bentuk Tata Letak Jalur pada Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan bentuk Tata Letak Jalur pada Stasiun BAB III LANDASAN TEORI A. Jenis jenis dan bentuk Tata Letak Jalur pada Stasiun Menurut (Utomo 2009), pada tata letak jalur stasiun (emplasemen) yang terdiri dari jalan jalan rel yang tersusun dari sedemikian

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun BAB III LANDASAN TEORI A. Jenis jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun Tata letak jalur stasiun terdiri atas jalan jalan rel yang tersusun sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya. Penggambaran skema

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL ANTARA BANYUWANGI-SITUBONDO- PROBOLINGGO

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL ANTARA BANYUWANGI-SITUBONDO- PROBOLINGGO PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL ANTARA BANYUWANGI-SITUBONDO- PROBOLINGGO Oleh, RIFCHI SULISTIA ROSADI 3109100066 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY Studi Penyusunan Konsep Standar di Bidang Sarana Transportasi Perkeretaapian

EXECUTIVE SUMMARY Studi Penyusunan Konsep Standar di Bidang Sarana Transportasi Perkeretaapian EXECUTIVE SUMMARY STUDI PENYUSUNAN KONSEP STANDAR DI BIDANG SARANA PERKERETAAPIAN 0 DAFTAR ISI 1. KATA PENGANTAR... 3 2. GAMBARAN UMUM SINGKAT... 4 2.1 Alasan Kegiatan Dilaksanakan... 5 2.2 Kegiatan Yang

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL KERETA API TRASE KOTA PINANG- MENGGALA STA STA PADA RUAS RANTAU PRAPAT DURI II PROVINSI RIAU

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL KERETA API TRASE KOTA PINANG- MENGGALA STA STA PADA RUAS RANTAU PRAPAT DURI II PROVINSI RIAU PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL KERETA API TRASE KOTA PINANG- MENGGALA STA 104+000- STA 147+200 PADA RUAS RANTAU PRAPAT DURI II PROVINSI RIAU Vicho Pebiandi 3106 100 052 Dosen Pembimbing Ir. Wahyu Herijanto,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Klasifikasi dan Fungsi Jalan 3.1.1 Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan Menurut Bina Marga (1997), fungsi jalan terdiri dari : a. jalan arteri : jalan yang melayani angkutan utama

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.422, 2015 KEMENHUB. Keselamatan. Perkeretaapian. Standar. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 24 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR KESELAMATAN PERKERETAAPIAN

Lebih terperinci

REKAYASA JALAN REL MODUL 3 : KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANANNYA PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

REKAYASA JALAN REL MODUL 3 : KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANANNYA PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL REKAYASA JALAN REL MODUL 3 : KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANANNYA OUTPUT : Mahasiswa dapat menjelaskan komponen struktur jalan rel dan kualitas rel yang baik berdasarkan standar yang berlaku di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 38 BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum Pada tahap kegiatan desain teknis ini, akan dilakukan analisis dan perhitungan lanjut yang lebih komprehensif dan mendalam yang ditujukan untuk melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL PEENCANAAN GEOMETI JALAN EL Dasar prencanaan Geometri jalan rel: Kecepatan rencana dan ukuran kereta/lok yang akan melewatinya dengan memperhatikan faktor keamanan, kenyamanan, ekonomi dan keserasian dengan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Struktur Jalan Rel Struktur jalan rel merupakan suatu konstruksi yang direncanakan sebagai prasarana atau infrastruktur perjalanan kereta api. Konsep struktur jalan rel adalah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum Desain konstruksi jalur rel kereta api harus direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis, dengan harapan mampu memberikan desain yang optimal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Rancangan Tata Letak Jalur Stasiun Lahat

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Rancangan Tata Letak Jalur Stasiun Lahat BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Rancangan Tata Letak Jalur Stasiun Lahat 1. Kondisi Eksisting Stasiun Lahat Stasiun Lahat merupakan stasiun yang berada di Jl. Mayor Ruslan, Kelurahan Pasar Baru,

Lebih terperinci

BAB III STRUKTUR JALAN REL

BAB III STRUKTUR JALAN REL BAB III STRUKTUR JALAN REL 1. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan mampu : 1. Mengetahui definisi, fungsi, letak dan klasifikasi struktur jalan rel dan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Pengertian Geometrik Jalan Raya Geometrik merupakan membangun badan jalan raya diatas permukaan tanah baik secara vertikal maupun horizontal dengan asumsi bahwa permukaan tanah

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun Berdasarkan Peraturan Menteri No. 33 Tahun 2011 tentang Jenis, Kelas dan Kegiatan di Stasiun Kereta Api, menjelaskan bahwa jalur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB II TINJAUAN OBJEK 18 BAB II TINJAUAN OBJEK 2.1. Tinjauan Umum Stasiun Kereta Api Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 dan 43 Tahun 2011, perkeretaapian terdiri dari sarana dan prasarana, sumber daya manusia, norma,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN B. RUMUSAN MASALAH A. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN B. RUMUSAN MASALAH A. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Transportasi memiliki peran sangat penting dalam memajukan sebuah negara, dimana transportasi berfungsi sebagai penggerak perekonomian suatu wilayah, penyedia interaksi sosoial,

Lebih terperinci

berlaku yang memenuhi syarat teknis jalur kereta api. PENDAHULUAN

berlaku yang memenuhi syarat teknis jalur kereta api. PENDAHULUAN 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang harus didukung dari berbagai proses pembangunan. Dengan perkembangan pembangunan yang baik akan meningkatkkan perekonomian

Lebih terperinci

PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API DARI STASIUN PEKALONGAN KE STASIUN TEGAL

PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API DARI STASIUN PEKALONGAN KE STASIUN TEGAL TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API DARI STASIUN PEKALONGAN KE STASIUN TEGAL Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana (S-1) pada Jurusan Teknik Sipil

Lebih terperinci

Perencanaan Jalur Ganda Kereta Api Surabaya -Krian

Perencanaan Jalur Ganda Kereta Api Surabaya -Krian Perencanaan Jalur Ganda Kereta Api Surabaya - Krian DISUSUN OLEH ARIA DWIPA SUKMANA 3109100012 DOSEN PEMBIMBING BUDI RAHARDJO, ST, MT. JUDUL TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API SURABAYA - KRIAN

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum Pada tahap kegiatan desain teknis ini, akan dilakukan analisis dan perhitungan lanjut yang lebih komprehensif dan mendalam yang ditujukan untuk melakukan desain

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Perancangan Interior yang Ergonomis Perancangan interior yang ergonomis adalah sebagai berikut : Kursi Depan Tinggi alas duduk : 280 mm Lebar alas duduk

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN KONSTRUKSI BAGIAN ATAS JALAN REL DALAM KEGIATAN REVITALISASI JALUR KERETA API LUBUK ALUNG-KAYU TANAM (KM 39,699-KM 60,038)

ANALISIS KELAYAKAN KONSTRUKSI BAGIAN ATAS JALAN REL DALAM KEGIATAN REVITALISASI JALUR KERETA API LUBUK ALUNG-KAYU TANAM (KM 39,699-KM 60,038) ANALISIS KELAYAKAN KONSTRUKSI BAGIAN ATAS JALAN REL DALAM KEGIATAN REVITALISASI JALUR KERETA API LUBUK ALUNG-KAYU TANAM (KM 39,699-KM 60,038) Wilton Wahab 1 * dan Sicilia Afriyani 2 1 Jurusan Teknik Sipil,

Lebih terperinci

MODUL 12 WESEL 1. PENGANTAR

MODUL 12 WESEL 1. PENGANTAR MODUL 12 WESEL 1. PENGANTAR Telah disebutkan bahwa pada jalan rel perpindahan jalur dilakukan melalui peralatan khusus yang dikenal sebagai wesel. Apabila dua jalan rel yang terletak pada satu bidang saling

Lebih terperinci

REKAYASA JALAN REL. MODUL 5 : Bantalan PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

REKAYASA JALAN REL. MODUL 5 : Bantalan PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL REKAYASA JALAN REL MODUL 5 : Bantalan OUTPUT : Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi bantalan dalam konstruksi jalan rel Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan tipe bantalan serta penggunaan yang tepat sesuai

Lebih terperinci

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN JENIS DAN TARIF ATAS JENIS

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun Dalam merancang tata letak jalur kereta api di stasiun harus disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi di lapangan,

Lebih terperinci

PEMILIHAN LOKASI JEMBATAN

PEMILIHAN LOKASI JEMBATAN PEMILIHAN LOKASI JEMBATAN 1. DIPILIH LINTASAN YANG SEMPIT DAN STABIL. ALIRAN AIR YANG LURUS 3. TEBING TEPIAN YANG CUKUP TINGGI DAN STABIL 4. KONDISI TANAH DASAR YANG BAIK 5. SUMBU SUNGAI DAN SUMBU JEMBATAN

Lebih terperinci

RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MINISTER FOR TRANSPORTATION REPUBLIC OF INDONESIA STANDAR, TAT A CARA PENGUJIAN DAN SERTIFIKASI KELAIKAN GERBONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA a. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API SURABAYA - KRIAN

PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API SURABAYA - KRIAN JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (014) 1-5 1 PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API SURABAYA - KRIAN Aria Dwipa Sukmana, Budi Rahardjo Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut

Lebih terperinci

WESEL (SWITCH) Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

WESEL (SWITCH) Nursyamsu Hidayat, Ph.D. WESEL (SWITCH) Nursyamsu Hidayat, Ph.D. 1 Fungsi Wesel Wesel merupakan pertemuan antara beberapa jalur (sepur), dapat berupa sepur yang bercabang atau persilangan antara 2 sepur. Fungsi wesel adalah untuk

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API

P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API I. UMUM Perkeretaapian merupakan salah satu moda transportasi yang memiliki

Lebih terperinci

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN 3.1. Kendaraan Rencana Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil dari kelompoknya. Dalam perencanaan geometrik jalan, ukuran lebar kendaraan rencana

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. STRUKTUR JALAN REL Struktur jalan rel merupakan suatu konstruksi yang direncanakan sebagai prasarana atau infrastruktur perjalanan kereta api. Konsep struktur jalan rel adalah

Lebih terperinci

Lengkung lingkaran untuk berbagai kecepatan rencana besar jari-jari minimum yang diijinkan ditinjau dari:

Lengkung lingkaran untuk berbagai kecepatan rencana besar jari-jari minimum yang diijinkan ditinjau dari: Lengkung Horisontal Lengkung lingkaran untuk berbagai kecepatan rencana besar jari-jari minimum yang diijinkan ditinjau dari: 1. Gaya sentrifugal diimbangi sepenunya ole gaya berat. G. Sin α C. Cos α C.

Lebih terperinci

1. BAB III LANDASAN TEORI. A. Struktur Jalan Rel

1. BAB III LANDASAN TEORI. A. Struktur Jalan Rel 1. BAB III LANDASAN TEORI A. Struktur Jalan Rel Kereta api dalam menjalankan fungsinya sebagai saran transportasi bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya berjalan di atas jalan rel. Untuk menjaga supaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.2. JENIS PEMBANGUNAN JALAN REL

BAB I PENDAHULUAN 1.2. JENIS PEMBANGUNAN JALAN REL BAB I PENDAHULUAN 1.1. PERENCANAAN JALAN REL Lintas kereta api direncanakan untuk melewatkan berbagai jumlah angkutan barang dan atau penumpang dalam suatu jangka waktu tertentu. Perencanaan konstruksi

Lebih terperinci

REKAYASA JALAN REL MODUL 6 WESEL DAN PERSILANGAN PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

REKAYASA JALAN REL MODUL 6 WESEL DAN PERSILANGAN PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL REKAYASA JALAN REL MODUL 6 WESEL DAN PERSILANGAN OUTPUT : Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi dan jenis wesel yang umum digunakan di Indonesia Mahasiswa dapat menjelaskan standar pembuatan bagan wesel dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Perancangan Tata Letak Jalur di Stasiun Betung

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Perancangan Tata Letak Jalur di Stasiun Betung BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perancangan Tata Letak Jalur di Stasiun Betung Perancangan tata letak jalur kereta api (KA) Stasiun Betung tidak lepas dari gambaran umum lokasi penelitian berdasaran

Lebih terperinci

SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I

SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I Pertemuan ke-12 Materi Perkuliahan : Sistem penanggulangan bahaya kebakaran 1 (Sistem deteksi kebakaran, fire alarm, fire escape) SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I Kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan

Lebih terperinci

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter perencanaan yang akan dibicarakan dalam bab ini, seperti kendaraan rencana, kecepatan rencana,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Selaras dengan visi perkeretaapian Indonesia sebagaimana tertuang dalam blue print pembangunan transportasi perkeretaapian adalah 1 : mewujudkan terselenggaranya

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG

PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG Oleh : AGUS BUDI SANTOSO JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SAMARINDA ABSTRAK Perencanaan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun BAB III LANDASAN TEORI A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun Tata letak jalur stasiun atau emplasemen adalah konfigurasi jalur untuk suatu tujuan tertentu, yaitu menyusun kereta atau gerbong

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR 3.1 Flowchart Perencanaan Pembuatan Mesin Pemotong Umbi Proses Perancangan mesin pemotong umbi seperti yang terlihat pada gambar 3.1 berikut ini: Mulai mm Studi Literatur

Lebih terperinci

Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. 1 Mengikat rel, sehingga lebar sepur terjaga Meneruskan beban dari rel ke lapisan balas Menumpu batang rel agar tidak melengkung ke bawah saat dilewati rangkaian KA 2 Kayu Beton

Lebih terperinci

ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN Alinemen Horizontal Alinemen Horizontal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada bidang yang horizontal (Denah). Alinemen Horizontal terdiri dari bagian lurus dan lengkung.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. TINJAUAN UMUM Pada tahap kegiatan desain teknis ini, akan dilakukan analisis dan perhitungan lanjut yang lebih komprehensif dan mendalam yang ditujukan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Kondisi Stasiun Eksisting Stasiun Cicalengka merupakan stasiun yang berada pada lintas layanan Cicalengka-Nagreg-Lebakjero, terletak

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No 60 Tahun 2012 tentang persyaratan teknis jalur kereta api, persyaratan tata letak, tata

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Tabel 3.1. Kelas jalan rel lebar jalan rel 1067 mm

BAB III LANDASAN TEORI. Tabel 3.1. Kelas jalan rel lebar jalan rel 1067 mm A. Struktur Jalan el BAB III LANDASAN TEOI Struktur jalan rel adalah suatu kontruksi jalan sebagai prasarana atau inrastruktur dalam struktur perjalanan kereta api, seperti yang tertuang pada Peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Umum Abutmen merupakan bangunan yang berfungsi untuk mendukung bangunan atas dan juga sebagai penahan tanah. Adapun fungsi abutmen ini antara lain : Sebagai perletakan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBEBANAN PADA STRUKTUR JALAN REL

BAB IV PEMBEBANAN PADA STRUKTUR JALAN REL BAB IV PEMBEBANAN PADA STRUKTUR JALAN REL 1. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan mampu : 1. Mengetahui prinsip pembebanan yang bekerja pada struktur jalan

Lebih terperinci

BAB I KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANAN NYA

BAB I KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANAN NYA BAB I KOMPONEN STRUKTUR JALAN DAN PEMBEBANAN NYA 1.1 STRUKTUR JALAN Struktur jalan rel adalah struktur elastis, dengan pola distribusi beban yang cukup rumit, sebagai gambaran adalah tegangan kontak antara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di zaman yang semakin maju ini, transportasi menjadi hal vital dalam kehidupan manusia. Kesuksesan bertransportasi sangatlah dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. TINJAUAN UMUM Pada tahap kegiatan desain teknis ini, akan dilakukan analisis dan perhitungan lanjut yang lebih komprehensif dan mendalam yang ditujukan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB 3 LANDASAN TEORI. perencanaan underpass yang dikerjakan dalam tugas akhir ini. Perencanaan

BAB 3 LANDASAN TEORI. perencanaan underpass yang dikerjakan dalam tugas akhir ini. Perencanaan BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1. Geometrik Lalu Lintas Perencanan geometrik lalu lintas merupakan salah satu hal penting dalam perencanaan underpass yang dikerjakan dalam tugas akhir ini. Perencanaan geometrik

Lebih terperinci

BEBAN JEMBATAN AKSI KOMBINASI

BEBAN JEMBATAN AKSI KOMBINASI BEBAN JEMBATAN AKSI TETAP AKSI LALU LINTAS AKSI LINGKUNGAN AKSI LAINNYA AKSI KOMBINASI FAKTOR BEBAN SEMUA BEBAN HARUS DIKALIKAN DENGAN FAKTOR BEBAN YANG TERDIRI DARI : -FAKTOR BEBAN KERJA -FAKTOR BEBAN

Lebih terperinci

STANDAR, TATA CARA PENGUJIAN DAN SERTIFIKASI KELAIKAN LOKOMOTIF RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STANDAR, TATA CARA PENGUJIAN DAN SERTIFIKASI KELAIKAN LOKOMOTIF RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MNSTER FOR TRANSPORTATON REPUBLC OF NDONESA STANDAR, TATA CARA PENGUJAN DAN SERTFKAS KELAKAN LOKOMOTF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan

Lebih terperinci

*35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 69/1998, PRASARANA DAN SARANA KERETA API *35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sejalan dengan perkembangan teknologi automotif, metal, elektronik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sejalan dengan perkembangan teknologi automotif, metal, elektronik dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Angkutan Kereta Api Transportasi darat mulai dikembangkan dengan teknologi penggerak (sarana) sederhana berupa roda, yang selanjutnya dihasilkan beberapa tipe dan ukuran. Sejalan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keberlangsungan hidup manusia. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. keberlangsungan hidup manusia. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan transportasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktifitas

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI 24 BAB III LANDASAN TEORI A. Alinyemen Horisontal Jalan Raya Alinemen horisontal atau trase suatu jalan adalah proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang kertas yang terdiri dari garis lurus dan garis lengkung.

Lebih terperinci

JURNAL TUGAS AKHIR PERHITUNGAN STRUKTUR BETON BERTULANG PADA PEMBANGUNAN GEDUNG PERKULIAHAN FAPERTA UNIVERSITAS MULAWARMAN

JURNAL TUGAS AKHIR PERHITUNGAN STRUKTUR BETON BERTULANG PADA PEMBANGUNAN GEDUNG PERKULIAHAN FAPERTA UNIVERSITAS MULAWARMAN JURNAL TUGAS AKHIR PERHITUNGAN STRUKTUR BETON BERTULANG PADA PEMBANGUNAN GEDUNG PERKULIAHAN FAPERTA UNIVERSITAS MULAWARMAN Diajukan oleh : ABDUL MUIS 09.11.1001.7311.046 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Bangunan Gedung SNI pasal

BAB III LANDASAN TEORI. Bangunan Gedung SNI pasal BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Analisis Penopang 3.1.1. Batas Kelangsingan Batas kelangsingan untuk batang yang direncanakan terhadap tekan dan tarik dicari dengan persamaan dari Tata Cara Perencanaan Struktur

Lebih terperinci

PENGARUH GEOMETRIK JALAN REL TERHADAP BATAS KECEPATAN MAKSIMAL KERETA API

PENGARUH GEOMETRIK JALAN REL TERHADAP BATAS KECEPATAN MAKSIMAL KERETA API PENGARUH GEOMETRIK JALAN REL TERHADAP BATAS KECEPATAN MAKSIMAL KERETA API 1. Samun Haris 2. Toto Hendrianto Program Studi Teknik Sipil, Sekolah Tinggi Teknologi Mandala Jl. Soekarno Hatta No. 597 Bandung,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. c) Untuk mencari torsi dapat dirumuskan sebagai berikut:

BAB II DASAR TEORI. c) Untuk mencari torsi dapat dirumuskan sebagai berikut: BAB II DASAR TEORI 2.1 Daya Penggerak Secara umum daya diartikan sebagai suatu kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah kerja, yang dinyatakan dalam satuan Watt ataupun HP. Penentuan besar daya

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Seiring dengan visi perkeretaapian Indonesia sebagaimana tertuang dalam blue print pembangunan transportasi perkeretaapian adalah 1 : mewujudkan terselenggaranya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian

Lebih terperinci

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN Penampang melintang jalan adalah potongan melintang tegak lurus sumbu jalan, yang memperlihatkan bagian bagian jalan. Penampang melintang jalan yang akan digunakan harus

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Perlintasan Sebidang

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Perlintasan Sebidang BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Perlintasan Sebidang Jalan Tata Bumi Selatan ialah jalan kelas III, dengan fungsi jalan lokal sekunder yang menghubungkan antara kegiatan nasional dengan pusat kegiatan

Lebih terperinci

STANDAR, TATA CARA PENGUJIAN DAN SERTIFIKASI KELAIKAN KERETA DENGAN PENGGERAK

STANDAR, TATA CARA PENGUJIAN DAN SERTIFIKASI KELAIKAN KERETA DENGAN PENGGERAK MINISTER FOR TRANSPORTATION REPUBLIC OF INDONESIA STANDAR, TATA CARA PENGUJIAN DAN SERTIFIKASI KELAIKAN KERETA DENGAN PENGGERAK SENDIRI a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan

Lebih terperinci