LAPORAN Penelitian Individu Tahun 2016 KEBIJAKAN PERMODALAN DALAM USAHA KOPERASI (STUDI KASUS KOTA MALANG, JAWA TIMUR DAN KOTA SOLO, JAWA TENGAH )

Transkripsi

1 LAPORAN Penelitian Individu Tahun 2016 KEBIJAKAN PERMODALAN DALAM USAHA KOPERASI (STUDI KASUS KOTA MALANG, JAWA TIMUR DAN KOTA SOLO, JAWA TENGAH ) Oleh: Sahat Aditua Fandhitya Silalahi Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI

2 RINGKASAN EKSEKUTIF I. Pendahuluan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Pengejawantahan dari bentuk usaha bersama atas asas kekeluargaan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta adalah koperasi. Prinsip dasar dari asas kekeluargaan yang menjadi asas koperasi adalah penyatuan kekuatan perekonomian rakyat sehingga membentuk sebuah kesatuan entitas ekonomi yang kuat dan mampu memberikan dampak kepada masyarakat luas. Sebagai dampak ke dalam, entitas ekonomi tersebut tentunya harus mampu membawa peningkatan terhadap kesejahteraan anggotanya. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 28/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pendapat dari MK sebagian besar menyatakan bahwa semangat yang terkandung dalam UU No 17 Tahun 2012 lebih bersifat individualisme dan tidak mencerminkan semangat kekeluargaan sebagaimana tercantum dalam UUD Salah satu bagian yang dibatalkan oleh MK adalah terkait dengan modal koperasi. Ketentuan permodalan menurut MK tidak mencerminkan semangat kekeluargaan yang seharusnya menjadi prinsip dasar sebuah koperasi. Sedangkan pemberian kesempatan kepemilikan sertifikat modal koperasi memiliki potensi bahwa koperasi akan dikuasai oleh pemilik modal terbesar. Aspek lain dari permodalan koperasi adalah penggunaan dari Selisih Hasil Usaha (SHU), dimana pada ketentuan Pasal 78 ayat (2) UU No 17 Tahun 2

3 2012 tentang Perkoperasian melarang koperasi membagikan SHU yang berasal dari keuntungan transaksi dengan pihak di luar anggota koperasi. SHU ini menurut ketentuan UU tersebut harus ditahan sebagai tambahan modal untuk kegiatan koperasi periode tahun berikutnya. Ketentuan ini serupa dengan kebijakan laba ditahan (retained earnings) pada perseroan sehingga UU Perkoperasian dianggap lebih mengutamakan keuntungan dibandingkan kesejahteraan anggota. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah kebijakan penghimpunan dan penggunaan modal koperasi sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 yang dapat meningkatkan kinerja koperasi? II. Metodologi Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif di mana penelitian akan mengungkap dan menjelaskan temuan di lapangan dalam kaitannya dengan kebijakan penghimpunan dan penggunaan modal koperasi. Sumber data primer berasal dari wawancara dengan koperasi dan para pemangku kepentingan serta narasumber dari focus group discussion. Sumber data sekunder berasal dari studi literatur, baik buku, jurnal, surat kabar, maupun sumber dari media daring. Sedangkan daerah penelitian adalah Kota Malang, Provinsi Jawa Timur dan Kota Solo, Provinsi Jawa tengah. III. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini terungkap bahwa respon narasumber terhadap norma Pasal 66 UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang berbunyi salah satu modal koperasi adalah setoran pokok dan bukan simpanan pokok, sehingga dapat ditafsirkan bahwa setoran pokok merupakan setoran uang yang merupakan penyertaan modal dan tidak dapat diambil hingga keanggotaanya selesai, sebagian besar responden berupa pengurus koperasi 3

4 menyatakan belum mengimplementasikan pasal tersebut. Bahkan lebih jauh mereka belum paham implikasi hukum perbedaan antara setoran dan simpanan. Dengan demikian dalam praktek penghimpunan modal, banyak pengurus koperasi yang belum mengimplementasikan ketentuan UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian terkait penghimpunan modal tersebut. Seluruh responden pengurus koperasi mengakui bahwa mereka masih mengimplementasikan ketentuan setoran pokok yang merupakan bukti keanggotaan dari seseorang, dan merupakan setoran satu kali di awal. Namun pengurus mengakui bahwa setoran pokok tersebut tidak dapat diambil sebelum masa keanggotaan seseorang dalam koperasi berakhir. Pengurus juga mengimplementasikan kebijakan bahwa setoran pokok merupakan modal tetap koperasi dan sebisa mungkin tidak akan digunakan sebagai modal kerja atau dana yang disalurkan untuk kepentingan pendanaan anggota. Sebagian responden menyatakan bahwa simpanan pokok tersebut hanya dapat digunakan untuk melakukan pembelian aset tetap; sedangkan pembelian aset tetap tersebut harus dapat memberikan imbal hasil yang dapat meningkatkan modal atau kas koperasi. Mekanisme persetujuan penggunaan simpanan pokok harus melalui Rapat Anggota Tahunan dan dimasukkan dalam agenda luar biasa di luar agenda rutin berupa penyampaian pertanggungjawaban dan rencana kerja pengurus. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum ada ketentuan setoran pokok dalam UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, pengurus koperasi masih mengambil kebijakan sesuai dengan UU No 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang mengatur tentang simpanan pokok. Namun perlakuan simpanan pokok sama dengan setoran pokok dalam hal tidak dapat diambil sebelum masa keanggotaan seseorang dalam koperasi tersebut berakhir. Berkaitan dengan sertifikat modal koperasi, terdapat responden yang menyatakan bahwa sudah mengimplementasikan kebijakan serupa dalam hal penghimpunan dana eksternal (pihak ketiga). Terdapat bukti kepemilikan 4

5 yang menunjukkan besaran modal yang dipinjamkan kepada pihak koperasi namun tidak dikonversi menjadi porsi saham. Sebagai imbalannya, maka pengurus koperasi memberikan imbal hasil yang berupa persentase dari dana dan diberikan dalam jangka waktu pertahun. Dalam hal penggunaan modal, khususnya dalam pembagian SHU, responden dalam permasalahan ini cenderung bersifat netral terhadap masalah penggunaan SHU sebagai laba koperasi. Responden berpendapat bahwa SHU dapat kembali digunakan sebagai tambahan modal dalam hal pengurus dapat membuktikan bahwa tambahan modal tersebut akan bermanfaat bagi peningkatan keuntungan koperasi untuk tahun yang akan datang sehingga menambah jumlah SHU. Persetujuan SHU sebagai tambahan modal koperasi juga harus diambil melalui forum Rapat Anggota Tahunan dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. IV. Kesimpulan Kebijakan penghimpunan modal koperasi sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 yang dapat meningkatkan kinerja koperasi adalah kombinasi antara simpanan anggota dan penghimpunan modal dari pihak luar dengan ketentuan bahwa baik jumlah simpanan anggota atau modal dari pihak luar tidak mempengaruhi kekuatan suara dalam menentukan pendapat khususnya dalam Rapat Anggota Koperasi. Sedangkan kebijakan penggunaan modal koperasi dalam hal ini SHU yang dapat dimasukkan kembali sebagai tambahan modal dapat dilakukan sepanjang memberikan tambahan keuntungan bagi koperasi dan SHU bagi anggota untuk periode tahun berikutnya. Kebijakan ini harus memperoleh persetujuan anggota koperasi melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. 5