SUMBER PENDAPATAN KERAJAAN BALI KUNA PADA MASA RAJA JAYAPANGUS BERDASARKAN DATA PRASASTI. Aditya Revianur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SUMBER PENDAPATAN KERAJAAN BALI KUNA PADA MASA RAJA JAYAPANGUS BERDASARKAN DATA PRASASTI. Aditya Revianur"

Transkripsi

1 SUMBER PENDAPATAN KERAJAAN BALI KUNA PADA MASA RAJA JAYAPANGUS BERDASARKAN DATA PRASASTI Aditya Revianur Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya,, Kampus UI, Depok Abstrak Sumber pendapatan kerajaan Bali Kuna pada masa pemerintahan Raja Jayapangus didapatkan dari sumber data berupa prasasti. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus dijumpai bermacam-macam sumber pendapatan kerajaan yang disebut dengan dṛwya haji. Bermacammacam dṛwya haji tersebut dibayarkan pada bulan-bulan tertentu dengan disertai besaran nilai pembayaran dṛwya haji. ANCIENT BALINESE ROYAL REVENUE SOURCES DURING THE REIGN OF KING JAYAPANGUS FROM DATA SOURCES SUCH AS INSCRIPTIONS Ancient Balinese royal revenue sources during the reign of King Jayapangus is obtained from data sources such as inscriptions. In the inscriptions issued by King Jayapangus, it s found various sources of kingdom income called dṛwya haji. The assortment of the dṛwya haji paid in certain months, accompanied by payment of the value of dṛwya haji. From the King Jayapangus inscriptions, we know that there are various sources of kingdom income. Keywords: dṛwya haji, King Jayapangus, ancient Bali. Latar Belakang Bukti mengenai kehidupan masa silam salah satunya bisa ditelusuri dari bukti tertulis yang disebut prasasti 1. Sebuah prasasti yang lengkap terdiri atas bagian seruan pembukaan berupa seruan hormat untuk dewa, unsur penanggalan, nama raja atau pejabat yang memberikan perintah, nama pejabat tinggi yang mengiringi, meneruskan, dan menerima perintah, peristiwa pokok, sambhandha, alasan atau sebab musabab suatu desa atau daerah dijadikan sima, upacara penetapan sima, 1 Prasasti adalah sumber kesejarahan dari masa lampau yang tertulis pada batu atau logam dan sebagian besar prasasti yang terdapat di Indonesia dan dikeluarkan oleh raja yang memerintah di kepulauan nusantara sejak abad ke 5 Masehi (Boechari, 2007: 48-49). daftar para saksi atau pejabat tinggi yang menghadiri upacara penetapan sima, sumpah atau kutukan bagi yang melanggar ketentuan yang ditetapkan dan penutup (Djafar, 1991: 46). Struktur dalam prasasti lengkap tersebut dapat dijadikan rujukan bagi temuan prasasti yang ditemukan dalam keadaan tidak lengkap. Prasasti sebagai sumber kesejarahan pada masa lampau merupakan bukti tertulis yang dapat menggambarkan berbagai aspek masyarakat kehidupan masa lampau seperti keadaan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dalam bagian isi prasasti terkadang disebutkan mengenai sumber pendapatan kerajaan. Sumber pendapatan suatu pemerintah antara lain dapat berupa kekayaan alam, retribusi, kontribusi, bea, cukai, denda 1

2 2 dan pajak (Nurmantu, 2005: 4). Sumber pendapatan pada masa lalu yang dapat disebut sebagai kekayaan alam adalah berupa pajak tanah/hasil bumi. Bea dan cukai merujuk pada keterkaitan dalam unsur perdagangan, dan usaha kerajinan serta denda-denda atas segala pidana yang dijatuhkan di dalam sidang pengadilan termasuk pada retribusi, denda, pajak, dan kontribusi. Sumber pendapatan kerajaan yang diperoleh dari partisipasi masyarakat tersebut ditujukan untuk mendukung distribusi fungsi suatu pemerintahan sebagai pihak yang mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pada masa lalu, semua sumber pendapatan kerajaan itu disebut dengan istilah dṛwya haji yang secara harfiah memiliki pengertian milik raja, keterangan mengenai sumber pendapatan kerajaan atau dṛwya haji dapat dijumpai dalam prasasti yang menyebutkan status daerah sima 2 (Boechari, 1981: 67). Petugas penarik pajak pada masa jawa kuna disebut dengan maǹīlāla dṛwya haji. Peristilahan maǹīlāla dṛwya haji merujuk pada petugas yang mendapatkan upah dari raja atau mengabdikan diri kepada raja. Hubungan yang dekat tersebut membuat maǹīlāla dṛwya haji kemungkinan besar tinggal di lingkungan tempat tinggal raja atau rajyan atau kraton (Sedyawati, 1985: 342). Pada prasasti dari masa Bali kuna dapat dijumpai penyebutan mengenai dṛwya haji yang bermacam-macam jumlahnya. 2 Anugerah raja kepada seseorang yang telah berjasa dalam bentuk tanah perdikan, atau untuk pemeliharaan suatu bangunan suci (Boechari, 2007; 57) Berbagai jenis sumber pendapatan kerajaan tersebut diatur oleh raja dengan sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan penduduk. Selain itu juga disebutkan bahwa pada masa Bali kuna raja berhak atas tanah dan ladang begitu pula hutan (Goris, 1948: 17). Berbagai macam dṛwya haji tersebut dapat digolongkan menjadi kekayaan alam, retribusi, kontribusi, bea, cukai, denda dan pajak. Dalam dṛwya haji turut pula disertai perbedaan dalam satuan nilai pembayarannya. Jumlah dṛwya haji yang harus dibayarkan oleh masyarakat kerajaan Bali kuna tersebut dapat terlihat dari bagian isi prasasti yang menyebutkan dṛwya haji disertai oleh satuan māšāka, suwarna, sāga, kūpang, 3 dan sakat jaga 4. Selain satuan tersebut juga terdapat rot yang berarti sejumlah uang pembelian untuk membebaskan pajak yang harus dibayarkan kepada pejabat pemungut pajak (Goris, 1954: 298). Satuan nilai tersebut sangat berguna dalam perkiraan besaran pendapatan kerajaan yang akan didapatkan setiap tahunnya. Salah satu raja di kepulauan Nusantara yang banyak mengeluarkan 3 Māšāka merupakan satuan ukuran mata uang emas yang digunakan sebagai alat pertukaran pada masa Bali dan Jawa kuna. Selain māšāka terdapat juga satuan lain yang kerap kali dijumpai dalam prasasti yaitu suwarna, sāga, dan kūpang. Setiap satuan ukuran mata uang tersebut antara lain, kati=16 suwarna, 1 suwarna=16 masaka, 1 masaka= 4 kupang, 1 kupang=4 piling. Ukuran berat dari masing- masing satuan tersebut meliputi 1 kati= 2,60207 kg. 1 suwarna=0,38601 kg, 1 masaka=0, kg, 1 kupang=0, kg, 1 piling=0, kg (Stutterheim, 1940: 31). 4 Sakat jaga dapat diartikan sebagai sukat yang merupakan ukuran kapasitas seperti beras, minyak, bawang merah, dll atau pajak/restribusi (Zoetmulder, 1995: 1137). Sedangkan jaga bisa diartikan juga sebagai siap, berjaga- jaga, persediaan cadangan (Mardiwarsito, 1981: 246). Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa sakat jaga kemungkinan merupakan sejenis ukuran untuk pembayaran pajak (Tarawiguna, 2008: 263).

3 3 prasasti adalah Raja Jayapangus. Raja Jayapangus merupakan salah satu raja yang memegang kekuasaan di kerajaan Balidwipamandala dengan tujuh negara bawahan atau sapta nagara. Berita mengenai raja Jayapangus didapatkan dari data prasasti Mantring A berangka tahun 1099 Śaka/1177 Masehi yang merupakan prasasti tertua yang menyebutkan perihal raja Jayapangus. Dari prasasti Mantring A yang telah disebutkan di awal, dapat diketahui bahwa pemerintahan Raja Jayapangus merupakan kelanjutan dari Raja Ragajaya yang terakhir kali mengeluarkan prasasti pada 1077 Saka/1155 Masehi. Jarak rentang waktu antara pemerintahan raja Ragajaya dan Jayapangus sekitar dua puluh dua tahun. Selain berita mengenai raja Jayapangus yang tercantum dalam prasasti juga disebutkan berita mengenainya dalam kitab lontar Usana Bali. Dalam kitab Usana Bali yang ditulis pada abad ke-16 Masehi disebutkan bahwa Raja Jayapangus merupakan penerus tahta Raja Jayakasunu yang beristana di Balingkang (Tarawiguna, 2008: 13-15). Berdasarkan bukti prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus didapatkan informasi jika dia memerintah selama empat tahun yaitu dari tahun 1099 Śaka/1177 Masehi hingga 1103 Śaka/ 1181 Masehi. Sampai saat ini telah ditemukan tidak kurang dari empat puluh empat prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus, namun dua prasasti lainnya yaitu prasasti no. 641 Batur, Pura Desa dan no. 665 Dausa, Bukit Indrakila sampai kini belum ditemukan bukti teks transliterasinya (Tarawiguna, 2004: 33). Prasasti-prasasti raja Jayapangus pada umumnya ditulis menjadi enam baris setiap lembar logam, tetapi hanya prasasti dari Mantring yang ditulis sampai 7 baris setiap lembar logam (Goris, 1948: 11). Prasastiprasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan prasastiprasasti yang dikeluarkan oleh raja lainnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dari jumlah empat puluh dua prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus diketahui ada sembilan prasasti yang lengkap memuat bagian pembukaan, bagian isi dan penutup, kemudian delapan belas prasasti hanya berisi bagian pembukaan dan bagian isi atau sebagian dari isi karena lempengan prasasti yang memuat bagian lainnya hilang. Pada tiga prasasti lainnya hanya mencantumkan bagian sebagian dari isi dan bagian penutup, dan dua belas lainnya hanya terdiri dari bagian atau sebagian dari daftar isi dan bagian penutup atau bahkan tanpa penutup dari prasasti. Hal yang terakhir lebih disebabkan karena lempengan prasasti tersebut hilang dan belum diketemukan kembali pada masa sekarang. Adapun lima belas prasasti lainnya yang tidak memuat bagian pembukaan tersebut diperkirakan berasal dari pemerintahan raja Jayapangus dengan menimbang pada kesamaan atau kemiripan bentuk aksara, bahasa yang dipergunakan, dan kesamaan nama-nama jabatan (Tarawiguna, 2004: 38). Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus, terdapat keistimewaan tersendiri pada bagian isi yang menyebutkan mengenai dṛwya haji jika dibandingkan dengan prasasti yang berasal dari raja-raja

4 4 Bali lainnya. Hal tersebut lebih dikarenakan undang-undang mengenai penetapan dṛwya haji pada prasasti-prasasti masa raja Jayapangus terjadi pada hari, bulan dan tahun yang bersamaan yaitu hari rabu, bulan Srawana, dan tahun 1103 Śaka. Prasasti raja Jayapangus yang memiliki kesamaan hari, bulan dan tahun tersebut dikarenakan undang-undang penetapan pendapatan kerajaan wajib ditaati oleh rakyat pada hari, bulan, dan tahun yang sama tersebut. Alasan dari diterbitkannya prasasti raja Jayapangus adalah perselisihan antara sebuah desa dengan petugas kerajaan yang bertugas memungut pajak terlalu keras, atau melebihi dari yang telah ditetapkan sebelumnya (Goris, 1948: 15). Pada prasasti sima, biasanya setelah penduduk desa melapor kepada raja, desa tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar pajakpajak tertentu dan para petugas pajak tertentu dilarang memasuki desa swatantra tersebut (Hardiati, Endang Sri, 2009: 377). Jika mencermati alasan dari raja Jayapangus menerbitkan kembali prasasti mengenai penghasilan kerajaan dan usaha mengakhiri konflik antara pejabat penarik pajak dan rakyat maka dapat terlihat jika raja memiliki kemauan keras dalam membina keharmonisan antara kawula atau rakyat dan gusti atau pejabat kerajaan. Berdasarkan empat puluh dua prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus didapatkan dua puluh satu prasasti yang menyebutkan dṛwya haji. Menurut penelitian awal yang dilakukan, prasasti-prasasti Jayapangus yang mencantumkan dṛwya haji tersebut dikeluarkan dalam hari, tanggal dan tahun yang sama. Prasasti sebanyak itu tentu tidak mungkin ditulis dalam waktu satu hari. Pendapat awal yang diajukan adalah sangat mungkin sekali jika penetapan prasasti Jayapangus tersebut penetapannya dimulai pada tanggal dan tahun yang sama. Hal tersebut kemungkinan merupakan sebuah keputusan Raja Jayapangus bahwa dṛwya haji mulai berlaku sejak tanggal dan tahun tersebut. Keterangan-keterangan di dalam bagian prasasti jika diteliti dengan seksama dapat memberikan gambaran mengenai kondisi dari struktur kerajaan, birokrasi, kemasyarakatan, perekonomian, agama, dan adat istiadat masyarakat Indonesia kuna (Boechari, 2007: 69). Hal tersebut diharapkan juga terjadi dalam prasasti yang dikeluarkan Jayapangus. Sehingga dari penelitian ketentuan dṛwya haji yang ada dalam dua puluh satu prasasti masa pemerintahan Raja Jayapangus diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keadaan perekonomian maupun kemasyarakatan pada zaman Bali Kuna abad ke-12 Masehi. Rumusan Masalah Apa saja sumber pendapatan kerajaan Bali Kuna zaman raja Jayapangus Siapa pejabat yang berkenaan dengan mekanisme penarikan pajak tersebut? Bagaimana mekanisme sistem perpajakan di masa Bali Kuno zaman raja Jayapangus?

5 5 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginformasikan hasil pendapatan kerajaan Bali kuna masa pemerintahan raja Jayapangus. Hal tersebut sangat penting dilakukan karena raja Jayapangus mengeluarkan prasasti dalam waktu yang bersamaan dengan disertai oleh dṛwya haji yang harus dibayarkan oleh masyarakatnya. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai sistem pajak di Bali Kuna zaman raja Jayapangus berdasarkan sumber data prasasti berjumlah dua puluh satu prasasti yang mencantumkan dṛwya haji pada bagian isi. Riwayat Penelitian Penelitian yang pernah dilakukan mengenai prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus diantaranya dilakukan oleh I.G.N Tarawiguna dalam Himpunan Prasasti- Prasasti Bali Masa Pemerintahan Raja Jayapangus, I.G.N. Tarawiguna dkk dalam Terjemahan Prasasti-Prasasti Bali Abad XII Ke Dalam Bahasa Indonesia, R. Goris dalam Prasasti Bali I dan II, Semadi Astra dalam Jaman Pemerintahan Maharaja Jayapangus di Bali (1178 M-1184 M) dan Ni Ketut Puji Astiti dalam Upaya Penanggulangan Penyelewengan Pajak Pada Masa Pemerintahan Raja Jayapangus: Sebuah Kajian Epigrafis. Hal yang membedakan penelitian ini dengan sebelumnya yang dilakukan oleh Ni Ketut Puji Astiti Laksmi adalah dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian yang menghasilkan penggolongan dṛwya haji pada masa pemerintahan raja Jayapangus dengan berdasarkan kajian terhadap bukti tertulis berupa prasasti. Ruang Lingkup Penelitian Untuk lebih memfokuskan penelitian, pembatasan mengenai objek yang akan dibahas yaitu berdasarkan data tekstual sebagai data utama yaitu hasil alih aksara dari prasasti-prasasti masa raja Jayapangus yang dilakukan oleh I.G.N Tarawiguna. Pembacaan ulang terhadap prasasti tidak mungkin dilakukan karena dalam membaca ulang prasasti, hal tersebut terkendala oleh upacara-upacara yang menjadi hambatan utama dalam penelitian karena menguras ruang, waktu dan pendanaan. Data tekstual yang berupa hasil alih aksara tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sesuai ejaan yang disempurnakan pada bagian isi prasasti yang menyebutkan dan menjelaskan dṛwya haji kerajaan Bali Kuna masa pemerintahan raja Jayapangus. Metode Penelitian Penelitian dṛwya haji atau sumber pendapatan kerajaan Bali masa raja Jayapangus berdasarkan kajian arkeologi sejarah karena sumber utama dari penelitian ini adalah data prasasti. Pendekatan sejarah digunakan untuk mengetahui isi dari data prasasti yang telah dialihaksarakan untuk kemudian dilakukan analisis teks. Hasil alih aksara dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus yang mencantumkan sumber pendapatan kerajaan atau dṛwya haji digunakan sebagai data primer. Data primer berupa prasasti Bali masa raja Jayapangus yang dijadikan acuan dalam penelitian telah dialihaksarakan terlebih dahulu oleh

6 6 Tarawiguna. Pembacaan ulang terhadap prasasti Bali masa raja Jayapangus tidak dilakukan karena mengalami kendala seperti membutuhkan upacara keagamaan terlebih dahulu yang dapat mengganggu penelitian dalam ruang lingkup waktu dan biaya. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang antara lain meliputi tahapan observasi atau pengumpulan data, analisis atau pengolahan data, dan interpretasi atau penafsiran data. Pada tahapan observasi atau pengumpulan data, penelitian dikhususkan pada prasasti masa raja Jayapangus yang menyebutkan dṛwya haji. Pada tahapan pengumpulan data juga dilakukan inventarisasi prasasti raja Jayapangus yang memuat bagian angka tahun dan bagian prasasti yang memuat mengenai pendapatan kerajaan. Inventarisasi tersebut dimaksudkan untuk mencatat dan mengetahui keberadaan prasasti pada masa sekarang dan bagian dalam prasasti yang menyebutkan dṛwya haji. Selain itu, pada tahapan inventarisasi prasasti juga dilakukan pencatatan terhadap nomor kode prasasti, nama prasasti, angka tahun dan nama karaman atau desa yang termuat dalam prasasti tersebut. Setelah data terkumpul maka tahapan selanjutnya adalah analisis atau pengolahan data. Pada tahapan analisis data, cara yang digunakan adalah dengan melakukan klasifikasi. Klasifikasi bukanlah tahapan akhir tetapi suatu teknik atau cara untuk mencapai ketepatan dari hasil data yang dikumpulkan dan harus didukung oleh data yang berbeda-beda. Hal utama dari perbedaan tersebut diperoleh dalam kriteria yang telah dipilih berdasarkan pertimbangan penggolongan tertentu (Rouse, 1960: 313). Pada penelitian ini untuk memudahkan analisis terhadap dṛwya haji akan dilakukan juga proses klasifikasi. Klasifikasi dilakukan dengan cara membagi jenis dṛwya haji menjadi bagian golongan kekayaan alam, pajak, iuran, ahli waris, buathaji atau restribusi dan denda. Setelah itu akan dilakukan penggolongan serupa dengan melakukan pemilahan atas bagian kekayaan alam, pajak, iuran, ahli waris, buathaji atau restribusi dan denda yang disebutkan dalam prasasti. Setelah tahapan analisis atau pengolahan data selesai dilakukan, maka tahapan yang selanjutnya dilakukan adalah penafsiran terhadap data-data dalam prasasti yang telah diklasifikasikan. Dari dua puluh satu prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus diharapkan banyak didapatkan keterangan mengenai penggolongan, waktu penarikan, tempat pernarikan dan pejabat penarik dṛwya haji pada masa zaman pemerintahan Raja Jayapangus. Selain itu diharapkan pula diperoleh keterangan mengenai mekanisme penarikan dṛwya haji yang akhirnya dapat menambah pendapatan Kerajaan Bali Kuna di masa pemerintahan Raja Jayapangus. Pada dua puluh satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus juga disebutkan mengenai nama tempat-tempat tertentu yang menjadi lokasi pembayaran dṛwya haji. Nama-nama tempat tertentu tersebut juga akan ditelusuri keberadaannya untuk mengetahui jangkauan pembayaran dṛwya haji oleh penduduk Bali

7 7 kuna masa pemerintahan Raja Jayapangus. Kemungkinan besar toponimi nama tempattempat tersebut dapat ditelusuri keberadaannya pada masa kini. Setelah dilakukan penafsiran data, bagian selanjutnya adalah kesimpulan. Data yang telah diteliti pada tahapan-tahapan Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian yang digunakan adalah hasil alih aksara dari prasasti-prasasti raja Jayapangus yang memuat dṛwya haji dan bagian lain yang memuat ketentuan pendapatan kerajaan yang berjumlah dua puluh satu prasasti. Sebanyak dua puluh satu prasasti tersebut dikeluarkan pada tahun yang sama atau 1103 Saka/1181 sebelumnya yang berawal dari tahapan observasi atau pengumpulan data, untuk kemudian disarikan menjadi kesimpulan akhir. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan jawaban mengenai permasalahan penelitian yang menyangkut dṛwya haji pada masa raja Jayapangus. Masehi. Berikut dua puluh satu prasasti tersebut; Prasasti Kediri, Batunya B, Prasasti Dalung, Tonja, Batur Pura Abang, Bwahan D, Sukawana B, Pengotan C.I, Cempaga A, Serai B, Malat Gede, Selat A, Penida Kaja, Nongan B = Landih B, Bugbug, Sembiran, Bulian A, Kerobokan, Bengkala, Mayungan, Bwahan E. Konsep Pendapatan Pemerintah Negara dapat membangun wilayah dan mengusahakan kesejahteraan rakyat salah satunya berdasarkan pendapatan yang dikumpulkan dari rakyatnya. Pendapatan yang berasal dari rakyat tersebut dapat dipergunakan untuk menunjang kepentingan negara. Berdasarkan jenisnya terdapat delapan macam sumber pendapatan pemerintah atau negara yang berasal dari kekayaan alam, retribusi, royalti, kontribusi, bea, cukai, denda dan pajak (Nurmantu, 2005: 4). Pendapatan negara yang berasal dari kekayaan alam merupakan hasil penjualan produk alam suatu daerah ke daerah lain. Hasil penjualan tersebut dapat menjadi pemasukan bagi suatu daerah. Selanjutnya yang dimaksud dengan retribusi adalah pungutan yang dilakukan pemerintah atas rakyat. Kontribusi juga merupakan bentuk pungutan yang dilakukan pemerintah kepada sejumlah penduduk yang telah menggunakan fasilitas milik pemerintah. Denda merupakan ketentuan pemerintah bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam undang-undang (Nurmantu, 2005: 5). Pada masa lalu masyarakat yang hidup di Indonesia masa sekarang telah mengenal adanya denda. Hal tersebut ditemukan dari data epigrafi yang menjelaskan mengenai ketentuan denda. Prasasti yang pertama kali menyebutkan denda adalah prasasti Sangsang di zaman Jawa kuno. Prasasti tersebut berangka tahun 829 Saka/907 Masehi. Pada masa tersebut denda dijatuhkan atas segala tindak pidana dan perdata yang merupakan sumber pemasukan kerajaan. Istilah untuk menyebut hal ini pada masa tersebut adalah sukhadukha (Boechari, 1986: 161). Denda

8 2 pada masa lalu dibayarkan dengan besaran nilai alat tukar berupa uang. Sementara itu, pajak jika dilihat dari arah arusnya, ketika arah datangnya pajak berasal dari wajib pajak maka disebut dengan iuran. Jika pajak berasal dari arah kegiatan yang dilakukan pemerintah maka pajak tersebut disebut dengan pungutan. Dalam berbagai literatur penyebutan pajak sebagai pungutan lebih ditekankan kepada pajak sebagai bentuk iuran (Nurmantu, 2005: 14). Pajak sebagai iuran adalah iuran rakyat kepada kas negara yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan jasa timbal atau tegen prestasi, yang langsung dapat ditunjukkan dan dirasakan serta digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berkaitan dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan (Brotodihardjo, 1989: 2). Terkait penggolongannya, pajak dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pajak langsung dan tidak langung. Secara ekonomis suatu pajak disebut sebagai pajak langsung apabila beban pajaknya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain misalnya pajak profesi seseorang. Sementara pajak dapat disebut sebagai pajak tidak langung jika beban pajaknya dapat dilimpahkan, baik seluruhnya atau sebagian kepada pihak lain misalnya pajak penjualan atau pertambahan nilai (Nurmantu, 2005: 58-59). Mengenai pemungutan sumber penghasilan pemerintah termasuk pajak, pada mulanya dipungut berdasarkan kepentingan individu dalam hal ini penduduk terhadap negara. Individu tersebut membutuhkan atau memiliki kepentingan tertentu terhadap adanya perlindungan dan keamanan dari negara. Terkait hal itu maka individu tersebut harus membayarkan sesuatu dalam bentuk hasil kekayaan alam atau uang kepada negara (Brotodihardjo, 1989: 30). Negara sendiri memiliki kewenangan untuk memungut pajak karena penduduk mendapatkan manfaat tertentu dari adanya negara. Negara memiliki kewenangan untuk memaksakan pembayaran pajak karena setiap masyarakat memiliki kontribusi untuk menunjang pemerintahan sebagai bentuk tanggung jawab. Secara berturut-turut proporsi dari pendapatan masyarakat berasal dari perlindungan negara (Smith, 1977: 1103). Selain itu, pajak yang dibayarkan seseorang juga harus jelas dan tidak dapat ditawar oleh pembayarnya. Ketentuan tersebut jika diperhatikan lebih lanjut akan meliputi empat hal yaitu kepastian siapa wajib pajak, kepastian tentang objek pajak sampai pada besaran nilai yang harus dibayarkan, kepastian tentang waktu pajak tersebut harus dibayar dan kepastian tentang ke mana pajak tersebut harus dibayar (Nurmantu, 2005:83, Smith, 1977: 1104). Sehingga dapat dikatakan jika tata cara pembayaran pajak setidaknya harus mencantumkan ketentuan mengenai pembayar pajak, objek pajak, waktu pembayarannya pajak dan petugas yang berkepentingan menerima pajak. Negara, dalam kaitan ini pemerintah untuk mendapatkan penghasilan dari rakyatnya dituntut memperhatikan saat-saat yang paling baik pembayar pajak agar memenuhi kewajibannya (Smith, 1977: 1104). Contoh klasik mengenai hal ini ialah

9 3 ketentuan pajak atas sawah hendaknya disebutkan saat petani baru saja memanen hasil sawahnya. Pasalnya saat waktu tersebut petani memiliki kemapuan untuk membayarkan pajak dari hasil penjualan panen. Selain itu, negara dalam memungut pajak juga ditekankan untuk bersifat efisien. Hal ini berkaitan dengan pemungutan pajak dilakukan dengan sehemat-hematnya, jangan sampai mengeluarkan biaya yang justru lebih tinggi dari pajak yang dipungut (Smith, 1977: ). Pajak merupakan unsur penting dalam pembiayaan negara selain pendapatan melalui ekspor. Hal tersebut lebih dikarenakan pajak berfungsi sebagai budgetair yaitu fungsi di mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke dalam kas pemerintah berdasarkan perundangundangan yang berlaku. Penghasilan kerajaan-kerajaan kuna di Jawa dan Bali pada masa lalu salah satunya berasal dari pajak. Pajak yang menjadi sumber pendapatan kerajaan kuna tersebut meliputi pajak tanah atau hasil bumi, pajak perdagangan atau penjualan dan pajak usaha kerajinan serta denda-denda yang dijatuhkan dalam setiap pengadilan (Boechari, 1981: 67). Pada masa Bali Kuna zaman pemerintahan Raja Jayapangus, sebanyak dua puluh satu prasasti Raja Jayapangus menyebutkan mengenai ketentuan pembayaran pajak atau dṛwya haji. Pada masa Bali kuna raja berhak atas tanah dan ladang begitu pula hutan (Goris, 1948: 17). Dalam dṛwya haji turut pula disertai perbedaan dalam satuan nilai pembayarannya. Jumlah dṛwya haji yang harus dibayarkan oleh masyarakat kerajaan Bali kuna tersebut dapat terlihat dari bagian isi prasasti yang menyebutkan dṛwya haji disertai oleh satuan māšāka, suwarna, sāga, kūpang, dan sakat jaga. Selain satuan tersebut juga terdapat rot yang berarti sejumlah uang pembelian untuk membebaskan pajak yang harus dibayarkan kepada pejabat pemungut pajak (Goris, 1954: 298). Satuan nilai tersebut sangat berguna dalam perkiraan besaran pendapatan kerajaan yang akan didapatkan setiap tahunnya. Pemerintahan Raja Jayapangus Keberadaan Raja Jayapangus sebagai salah satu penguasa dalam kronologi sejarah Bali kuna dapat ditelusuri dari dua jenis sumber tertulis yaitu prasasti dan kitab Usana Bali. Raja Jayapangus sampai kini mengeluarkan prasasti sebayak 44 buah yang 43 diantaranya berangka tahun 1103 Śaka/1181 Masehi. Prasasti Raja Jayapangus yang dikeluarkan pada 1103 Śaka/1181 Masehi memiliki sistem unsur pertanggalan yang sama yaitu 1103 srawanamasa, tithi nawami, suklapaksa, mawulu pahing, hari Buda, wuku wayang (Goris, 1948: 11). Prasasti tertua yang menyebutkan Raja Jayapangus adalah Mantring A yang berangka tahun 1099 Śaka/1177 Masehi dengan unsur pertanggalan bulan Posya, hari ke-13 Krsnapaksa, wurukung, Umanis, hari Buda dan wuku Prangbakat. Prasasti-prasasti tersebut menjelaskan jika Raja Jayapangus adalah penguasa tunggal seluruh wilayah Bali yang

10 4 terdiri atas tujuh negara bawahan. Pada masa Raja Jayapangus berkuasa, terlihat bahwa di wilayah Bali Kuna terdiri dari tujuh kerajaan kecil yang dipersatukannya (Astra, 1977: 76). Selain itu, data prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus menunjukkan bahwa dirinya memerintah setelah Raja Ragajaya yang hanya mengeluarkan satu prasasti berangka tahun 1077 Śaka/1155 Masehi. Jika ditilik dari jarak antara Raja Ragajaya dan Raja Jayapangus terdapat masa kosong selama 22 tahun. Masa kosong tersebut berarti belum ditemukan prasasti lainnya yang dapat menjelaskan keadaan Bali Kuna sejak prasasti terakhir Ragajaya dikeluarkan hingga Jayapangus menerbitkan prasasti Mantring A. Rujukan lain yang menyebut keberadaan Raja Jayapangus adalah uraian kitab lontar Usana Bali yang ditulis tiga abad setelah masa kekuasaannya. Kitab Usana Bali itu menyebutkan bahwa Raja Jayapangus merupakan pengganti Raja Jayakasunu yang bertahta di Balingkang (Tarawiguna, 2008:14). Sumber kitab Usana Bali juga menjelaskan Raja Jayapangus memerintah paling dahulu. Raja Jayapangus menurut Usana Bali digantikan oleh beberapa raja yaitu Raja Daitya, Raja Mayadanawa, Raja Ken Angrok, Baginda Dalem Mur, Sang Ratu jumheng ring Batu Henggong dan Sang Ratu jumheng ring Sagading. Pusat kerajaan dalam kitab tersebut diketahui telah mengalami setidaknya tiga kali pergantian secara berturut-turut yaitu di Balingkang, Bedahulu dan Samplangan (Astra, 1977: 31). Hal yang diungkapkan oleh kitab tersebut terkait Raja Jayapangus berbeda dengan yang terdapat dalam data epirafi. Pada data epigrafi jika ditilik dari kronologi raja yang mengeluarkan prasasti disebutkan bahwa Raja Jayapangus merupakan kelanjutan dari Raja Ragajaya, bukan Raja Jayakasunu atau raja yang paling terdahulu. Menurut data prasasti, setelah tahun 1103 Śaka/1181 Masehi belum ditemukan prasasti yang menyebutkan kembali raja Jayapangus. Hal tersebut bertahan hingga Raja Eka Jaya Lancana yang bergelar Sri Maharaja Haji Ekajaya Lancana naik tahta didampingi ibunya Sri Maharaja Arjayadengjaya Ketana pada tahun 1122 Śaka/1200 Masehi. Naik tahtanya Raja Eka Jaya Lancana ditandai dengan diterbitkannya prasasti Kintamani E dan terakhir Kintamani F. Diterbitkannya kedua prasasti yang berangka tahun 1122 Śaka/1200 Masehi ini berselang sekitar 19 tahun dengan Prasasti Raja Jayapangus terahir yang berangka tahun 1103 Śaka/1181 Masehi (Tarawiguna, 2008: 15). Raja Eka Jaya Lancana melalui data prasasti tersebut diketahui sebagai pengganti Raja Jayapangus meskipun terdapat waktu kosong selama 17 tahun. Menurut data prasasti yang dikeluarkannya Raja Jayapangus diketahui dirinya memerintah hanya selama empat tahun yaitu mulai diterbitkannya prasasti Mantring A di tahun 1099 Śaka/1177 Masehi sampai 1103 Śaka/1181 Masehi. Selama kurun waktu tersebut, terdapat empat variasi abhiseka Jayapangus atau gelar seseorang diangkat sebagai raja yaitu Śri Maharaja Haji Jayapangus, Śri Maharaja Haji Jayapangus Arkajalancana, Sri Maharaja Jayapangus Arkajacihna, dan Śri Maharaja Haji Jayapangus

11 5 Arkajacihnarddhanariswarisanasni (Astra, 1977: 52). Variasi dalam hal abhiseka dapat dikatakan legalisasi raja Jayapangus dalam pucuk pemerintahan mengalami perkembangan. Pada prasasti Mantring A berangka tahun 1099 Śaka/1177 Masehi disebutkan abhiseka Jayapangus adalah Śri Maharaja Haji Jayapangus yang tidak mengandung unsur Arkaja, Lancana dan Cihna. Prasasti Mantring A juga menyebutkan raja Jayapangus dalam memerintah tidak disertai oleh kedua permasurinya yaitu Śri Paramesywari Induja Ketana dan Śri Mahadewi Sasangkaja Lancana/Cihna. Sementara dalam prasasti lainnya yang berangka tahun 1103 Śaka/1181 Masehi menyebutkan Jayapangus memerintah didampingi kedua permaisurinya dan abhisekanya bertambah dengan unsur Arkajalancana, Arkajacihna atau Arkajacihnarddhanariswari (Astra, 1977: 52, Tarawiguna, 2008: 14-15). Adanya variasi tersebut membuka beberapa kemungkinan yang salah satunya adalah pada saat awal memerintah kedudukan Jayapangus sebagai penguasa kerajaan Bali Kuna belum kuat sehingga tidak mencantumkan unsur Arkaja, Lancana dan Cihna. Raja Jayapangus untuk menguatkan kedudukannya di mata masyarakat Bali kuna tentu mencurahkan segala kemampuannya. Kedudukan Jayapangus mulai kuat setidaknya baru tercapai pada tahun 1103 Śaka/1181 Masehi saat memerintah bersama kedua ratunya. Terlebih lagi, abhhiseka Raja Jayapangus diketahui mengandung unsur Lancana/Cihna yang merupakan penggalan nama permaisurinya yaitu Śri Mahadewi Sasangkaja Lancana/Cihna. Abhiseka raja Jayapangus tersebut juga membuktikan bahwa dirinya adalah titisan dewa. Penambahan abhiseka dengan unsur arkaja memiliki pengertian titisan Surya atau dewa matahari. Penyebutan gelar arkaja dengan disertai gelar kedua permaisurinya berunsur induja/sasangkaja yang berarti putri bulan maka dapat dikatakan bahwa pasangan tersebut adalah suami istri ideal. Pasalnya, hal itu dapat ditafsirkan melambangkan Surya atau dewa matahari disertai dengan Ratih atau dewi bulan. Penyebutan gelar sebagai titisan dewa matahari tersebut dimaksudkan Raja Jayapangus mewakili sifat Surya yang dapat menjadi pelindung rakyatnya (Tarawiguna, 2004: 20). Sementara, penyebutan gelar induja tersebut bukan hal baru dari periode kekuasaan penguasa kerajaan bali kuna. Pada masa 70 tahun sebelum Raja Jayapangus memerintah terdapat seorang ratu yang bergelar Sakala Indukirana Isana Gunadharma Laksmdara Wijayottunggadewi. Unsur kata Indukirana berarti cahaya bulan purnama, sementara sakala adalah titisan. Sehingga ratu tersebut dapat diartikan sebagai titisan sinar bulan purnama. Masyarakat Bali sejak dahulu hingga kini mempercayai bahwa gelar indu adalah Ratih dan hal tersebut dimaksudkan bahwa ratu atau permaisuri yang bergelar tersebut diharapkan membawa kedamaian di kehidupan masyarakat (Goris, 1948: 9-10, Tarawiguna, 2008: 23). Hal tersebut didukung pula oleh sambhandha prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus. Secara keseluruhan

12 6 sambhandha prasasti itu menyebut adanya penyelesaian secara menyeluruh mengenai persoalan masyarakat Kerajaan Bali Kuna. Pada semua sambhandha prasasti di tahun 1103 Śaka/1181 Masehi itu terlihat raja Jayapangus menyelesaikan persoalan konflik pungutan dṛwya haji atau sumber pendapatan kerajaan antara rakyat, terutama golongan waisya atau pedagang dan pejabat sang admak akmitan apigajih. Usaha dari Raja Jayapangus untuk menyelesaikan masalah dṛwya haji antara masyarakat dan pejabat pemungut pajak sudah telihat dari prasasti Mantring A yang hanya ditemukan bagian sambhandha-nya. Pada bagian sambhandha prasasti Mantring A tersebut Raja Jayapangus mengatur kembali permasalahan dṛwya haji di desa Katulikup dan membebaskan aturan yang diberikan oleh raja terdahulu untuk memberikan kemakmuran. Raja Jayapangus dalam prasasti Mantring A tersebut juga mulai menyelidiki permasalahan antara masyarakat dan petugas pemungut pajak (Tarawiguna, 2008: 137). Maka kalau memang demikian adanya berarti Raja Jayapangus setidaknya selama empat tahun terhitung dari dikeluarkannya prasasti Mantring A bekerja keras menyelesaikan permasalahan pajak di kerajaannya. Selain itu, dapat dikatakan di saat prasasti Manring A dikeluarkan belum beristri sehingga sebagai raja yang masih muda memerintah mengalami tantangan dalam pemerintahan. Terlebih lagi kalau persoalan tersebut merupakan warisan dari raja sebelumnya (Astra, 1977: 54-55). Selisih antara Raja Jayapangus dan pemimpin sebelumnya yaitu Raja Ragajaya jika ditilik dari data epigrafi adalah selama 22 tahun. Raja Jayapangus dalam menyelesaikan masalah dṛwya haji tersebut diketahui meninjau ulang keputusan yang telah ditetapkan raja sebelumnya, Ragajaya. Raja Jayapangus dalam prasastinya juga memberikan keringanan pembayaran dṛwya haji. Keringanan tersebut adalah memberikan hak swatantra atau lebih dikenal dengan sima pada prasasti Jawa Kuna. Pada umumnya prasasti yang menetapkan suatu daerah sebagai sima berisi anugerah raja kepada seseorang yang telah berjasa kepada kerajaan atau anugerah untuk suatu bangunan suci (Boechari, 2007: 51). Hasil pungutan drwya haji di cakupan wilayah swatantra tersebut tidak lagi dibayarkan kepada pemerintah pusat melainkan dikelola secara mandiri oleh daerah. Akan tetapi, Raja Jayapangus membatasi ketentuan drwya haji yang dikelola oleh daerah dan mewajibkannya tetap diserahkan kepada pemerintah pusat. Hal tersebut disebabkan dṛwya haji merupakan salah satu pendapatan kerajaan yang cukup besar bagi kas kerajaan. Sehingga, ketentuan dengan pembatasan dṛwya haji yang diserahkan ke kerajaan dan dikelola secara mandiri lebih dimaksudkan untuk menjaga kestabilan pemasukan kerajaan, meskipun daerah tersebut telah ditetapkan sebagai sima (Astiti Laksmi, 2012: 730). Selain itu, raja Jayapangus juga menetapkan kembali dṛwya haji yang telah disahkan di masa pemerintahan raja sebelumnya. Penetapan kembali itu difungsikan untuk mengukuhkan kembali kewajiban masyarakat dalam hal pembayaran dṛwya haji kepada

13 7 kerajaan. Dalam menetapkan kembali dṛwya haji tersebut, Raja Jayapangus berpedoman pada kitab hukum Hindu Manawakamandaka. Sementara pemerintahan kerajaan Bali Kuna sebelum masa Raja Jayapangus yaitu Ratu Sakalendukirana ( Saka), Raja Jayasakti ( Saka), dan Raja Ragajaya (1077 Saka) berpedoman pada kitab hukum Hindu Uttara Widdhi Balawan dan Rajawacana atau Raja Niti (Ginarsa, 1974: 1). Kitab hukum Hindu Bhatara Widdhi Balawan, Rajawacana, dan Manawakamandaka kemungkinan besar mempunyai sumber yang sama yaitu kitab Manawadharmasastra yang berasal dari India. Kitab Manawadharmasastra memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kitab-kitab yang berbahasa Jawa Kuna hingga masa Kerajaan Majapahit. Kenyataan dari pengaruh Manawakamandaka di masa Kerajaan Majapahit terlihat dari dua versi kitab tersebut yaitu Manudharmasastra atau Manupadesa dan Usana. Kitab Manadharmasastra tersebut sudah tentu sangat berpengaruh di masa Kerajaan Bali Kuna termasuk bagi Raja Jayapangus dalam menjalankan roda pemerintahannya (Semadi Astra, 1977: 86). Selain kitab hukum Hindu manawakamandaka, Raja Jayapangus menerapkan pula ajaran Buddha yaitu dasasila dan pancasiksa. Dasasila adalah sepuluh perbuatan yang harus dilaksanakan oleh segenap pejabat di cakupan wilayah kerajaannya yaitu ahimsa atau tidak membunuh, brahmacarya atau mempratikkan ajaran suci, satya atau jujur dalam menjalankan tugas, awyawajarika atau tidak ikut campur dalam masalah perdagangan, astainya atau tidak mencuri, krodha atau tidak sewenang-wenang, gurusususa atau patuh pada guru, sosa atau menjaga jasmani dan rohani, aharalaghawa atau tidak berlebihan dalam makanan dan apramada atau tidak lalai dalam tugas, selalu memperhatikan kepentingan negara dan tidak mabuk (Tarawiguna, 2008: 32-33) Sementara pancasiksa adalah raja sebagai pemimpin memiliki lima jenis keterampilan untuk melaksanakan tugasnya yaitu terampil dalam bidang militer, kesenian, pertanian, perekonomian dan pengobatan. Penerapan kitab hukum manawakamandaka, dasasila, dan pancasiksa tersebut dalam prakteknya sudah tentu disesuaikan dengan tradisi atau adat istiadat yang telah mengakar pada saat itu (Tarawiguna, 2004: 31-32). Penyelesaian konflik antara masyarakat dan pejabat pemungut pajak dalam hal dṛwya haji dengan mengacu kitab hukum manawakamandaka, dasasila, dan pancasiksa tentu diharapkan Raja Jayapangus tidak merugikan rakyatnya dan memenuhi asas keadilan. Sumber Pendapatan Kerajaan Bali Kuna Masa Raja Jayapangus dan Pengelolanya Pada masa pemerintahan Raja Jayapangus dṛwya haji dapat digolongkan dalam bentuk pajak, denda, iuran, buat haji 5 dan kekayaan alam. Pajak dapat digolongkan 5 Persembahan kepada raja dapat berupa tenaga kerja atau persembahan yang lain, disebut juga dengan gawai. Gawai ini sering dinyatakan dengan jumlah orang namun ada kalanya dengan sejumlah uang (Boechari, 2012: 292). Buat Haji atau Gawai pada masa pemerintahan Raja Jayapangus dinilai dari sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh penduduk desa.

14 8 lagi menjadi jenis pajak profesi dan pajak kepemilikan. Profesi yang dikenai pajak pada masa pemerintahan Jayapangus terdapat 12 yaitu dukun, pemburu, peternak unggas, penjual tali, pengurus padi-padian, pengurus gunung, tukang atau pengrajin, pemimpin para saksi, petugas pemelihara unggas, pengrajin besi, pengrajin besi yang membuat senjata, penyayi dan penabuh gamelan. Profesi yang dikenai pajak tersebut tentunya merupakan profesi yang memiliki peranan di tengah masyarakat. Sehingga, ketentuan perbaikan drwya haji juga mencantumkan pajak 12 profesi tersebut. Pajak kepemilikan pada masa pemerintahan Raja Jayapangus dapat digolongkan menjadi pajak kepemilikan benda bergerak dan tidak bergerak. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus terdapat enam macam pajak kepemilikan barang bergerak yaitu emas, kain, alat musik, binatang ternak, dan batu mulia. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus terdapat tiga macam pajak kepemilikan tidak bergerak yaitu sawah dan sewa tanah, sewa tempat di pasar dan sewa di tempat tertentu. Selanjutnya, pajak kepemilikan tidak bergerak tersebut dapat digolongkan lagi menjadi kepemilikan tetap dan sewa/sementara. Pajak kepemilikan tetap mengatur penduduk yang memiliki sawah. Sementara, pajak kepemilikan sewa mengatur bagi penduduk yang menyewa sawah, lapak di pasar dan tempat di daerah lain desa. Pemasukan kas kerajaan yang berasal dari iuran dan denda didapatkan dari ketentuan pungutan peraturan pernikahan, kependudukan, transportasi dan kemasyarakatan. Sementara itu pendapatan yang berasal dari buat haji digolongkan menjadi jenis pekerjaan untuk raja atau membayar uang dalam jumlah tertentu sebagai pengganti pekerjaan tersebut. Sedangkan pendapatan yang khusus seputar denda dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu denda kelalaian dan pidana. Sementara itu pendapatan kerajaan yang berasal dari hasil alam bertujuan untuk mengumpulkan hasil bumi yang didapatkan oleh penduduk di wilayah kerajaan. Pembayar pajak, denda, iuran, buat haji, ahli waris dan kekayaan alam adalah penduduk desa. Selain penduduk desa pada buat haji disebutkan golongan bangsawan, tentara atau rakryan juga membayarkan pungutan karena bertugas menjaga tempat perburuan milik raja. Pada bagian denda disebutkan bahwa pejabat Caksu Wruh wajib membayarkan sejumlah uang jika terbukti lalai dalam tugasnya. Pejabat penarik dan/atau pengelola dṛwya haji pada prasasti raja Jayapangus tercatat sebanyak dua puluh satu. Para pejabat pemungut atau pengelola drwya haji tersebut adalah Sang Admakakmitanapigajih, Samgat, Nayaka, Kahulu Kasuwakan, Kabayan Gosti, Sang Atunasan Pasinjang, Senapati Danda, Caksu Wruh, Paramadhyastha, Sang Anumpwani, Batara Hanar, Mapanji Hariprabhu, Hulu Wunkukan, Sanghyang Silihdiri, Sang Manangkalik, Manumbul, Rakryan Amali, Tandaga wilang, Patata, Pasanggayebus, dan Lapuhan. Pejabat tersebut sebagian adalah pejabat birokrasi yang berada di tingkat pusat dan daerah atau desa. Sistem Penarikan Dṛwya Haji

15 9 Mekanisme pembayaran dṛwya haji saat Raja Jayapangus memerintah dilakukan setiap waktu-waktu tertentu. Waktu pembayaran dṛwya haji dapat digolongkan menjadi dua yaitu periodik dan insidental. Pembayaran dṛwya haji yang dilaksanakan pada waktu periodik terjadi setiap bulan cetra, magha, jyesta, wesaka, phalguna, kartika, dan asuji yang kadang disertai hari pembayaran dṛwya haji. Waktu dṛwya haji periodik lainnya dibayarkan setiap tahun berkaitan dengan pembayaran dṛwya haji hanya dibayarkan sekali setiap tahun tanpa disebut bulannya. Sedangkan, waktu pembayaran dṛwya haji yang dilakukan insidental terjadi saat adanya momentum kejadian tertentu seperti panen, bencana, upacara suci tertentu dan orang meninggal. Adanya perbedaan waktu yang terdapat dalam ketentuan dṛwya haji pada masa prasasti raja Jayapangus berdasarkan penggolongan penarikan dṛwya haji secara periodik dan insidental memperlihatkan bahwa proses penarikan dṛwya haji dilakukan pada waktu yang berbeda di setiap jenisnya. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh empat sebab yang bersumber dari penelitian terhadap dua puluh satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus, yaitu; 1. Raja Jayapangus membagi jumlah dṛwya haji yang banyak berdasarkan waktu penarikan. 2. Pembiayaan keperluan menjalankan roda pemerintahan setiap bulan. 3. Efisiensi penarikan dṛwya haji. 4. Manifestasi Raja Jayapangus sebagai titisan dewa Surya. Sebab dari kebijakan Raja Jayapangus untuk mensiasati penarikan dṛwya haji karena dalam prasastinya ada banyak jenis dṛwya haji yang wajib dibayarkan penduduk. Sehingga, Jayapangus terlihat berusaha membagi jumlah dṛwya haji tersebut berdasarkan waktu penarikan. Sebagai contoh adalah penarikan dṛwya haji jenis pajak kepemilikan emas yang dibayarkan setiap hari atau tanggal tertentu di bulan Magha. Hal tersebut juga ditemukan pada pajak profesi dukun yang wajib dibayarkan setiap hari ketiga di bulan Cetra. Hal tersebut sekaligus menjadi bagian dari kontrol kekuasaan raja atas rakyatnya. Sebab pendapatan kerajaan pada masa tersebut berasal dari segala sesuatu yang menjadi milik raja sehingga penduduk diwajibkan membayarkan dṛwya haji di waktu-waktu tertentu. Penyebab kedua yaitu perbedaan waktu penarikan dṛwya haji untuk terus membiayai keperluan menjalankan roda pemerintahan di setiap tahunnya karena dalam setahun terdapat tujuh bulan masa penarikan dṛwya haji dari penduduk. Hal tersebut ditambah dengan penarikan dṛwya haji yang dilakukan setiap tahun atau dalam peristiwa tertentu. Kemungkinan besar penarikan dṛwya haji berdasarkan dengan adanya peristiwa tertentu dimaksudkan sebagai cadangan pemasukan kerajaan dari sektor dṛwya haji. Hal tersebut diperkuat dengan penarikan dṛwya haji pada peristiwa tertentu tidak disertai dengan waktu yang pasti. Sehingga tidak dapat digambarkan

16 10 perkiraan dalam setahun sebuah kerajaan akan mendapatkan jumlah nominal tertentu dari hasil pemasukan penarikan dṛwya haji dari penduduknya. Penyebab ketiga adalah perbedaan penarikan dṛwya haji sebagai bentuk efisiensi karena ketentuan dṛwya haji itu memuat batas waktu penarikannya. Efisiensi tersebut bertujuan untuk meminimalisir pengeluaran yang dikeluarkan oleh kas kerajaan dalam membiayai penarikan dṛwya haji. Perbedaan waktu penarikan dṛwya haji tersebut sudah tentu memperhatikan aspek efisiensi agar pengeluaran dalam penarikan dṛwya haji tidak lebih besar dari penarikan dṛwya haji dari penduduk. Raja Jayapangus untuk mensiasati efisiensi tersebut menggunakan pola setiap bulan terdapat dua sampai tiga waktu sekaligus untuk menarik drwya haji dari rakyatnya. Hal tersebut juga untuk memperingan kewajiban rakyat dalam pembayar dṛwya haji. Terakhir, manifestasi Raja Jayapangus sebagai dewa Surya merujuk pada nama abhiseka atau gelar raja yang digunakan dalam dua puluh satu prasastinya yang memuat ketentuan dṛwya haji. Pada dua puluh satu prasastinya terdapat tiga variasi abhiseka Sri Maharaja Haji Jayapangus yang mengandung unsur arkaja yang dapat diartikan sebagai titisan Surya atau dewa matahari (Astra, 1977: 52). Penyebutan gelar sebagai titisan dewa matahari tersebut dimaksudkan Raja Jayapangus mewakili sifat Surya yang dapat setiap saat dapat menyinari kehidupan rakyatnya baik lahir maupun batin (Tarawiguna, 2008: 22). Selain hal tersebut, abhiseka Raja Jayapangus merujuk pada konsep astabrata yang berasal dari India yang menjelaskan raja harus memiliki sifat delapan orang penjaga mata angin yang pada intinya menjelaskan seorang raja wajib berbudi luhur, adil, bijaksana dan pemurah (Boechari, 2012: 270). Konsep astabrata yang mewakili Raja Jayapangus adalah sifat dewa Surya yang menurut Kakawin Ramayana disebutkan selalu mengisap air tiada hentinya dengan perlahan-lahan. Hal tersebut merujuk pada sikap seorang raja dalam mengambil sesuatu hasil tidak diperbolehkan tergesa-gesa (Boechari, 2012: 537). Hasil tersebut yang ditarik dengan perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa adalah setiap jenis dṛwya haji yang diperoleh dari penduduk kerajaan. Sehingga dapat dikatakan adanya perbedaan dalam pembagian waktu penarikan dṛwya haji tersebut memperlihatkan bahwa raja Jayapangus berusaha untuk melaksanakan konsep astabrata dengan baik dan bijaksana agar rakyat yang dipimpinnya tidak menanggung penderitaan. Hal tersebut dikarenakan jumlah jenis dṛwya haji yang wajib dipenuhi oleh penduduk yang berdiam di wilayah kerajaannya sangatlah banyak. Besaran nominal pembayaran dṛwya haji mengacu pada satuan mata uang masaka, suwarna, saga dan kupang. Sementara satuan untuk mengukur hasil bumi adalah le, kisa dan sukat untuk beras, panggangang untuk udang, pepes dan periuk untuk ikan tawar, gunja untuk ikan asin, pikul untuk bawang merah dan butir untuk telur itik.

17 11 Adanya ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dṛwya haji yang wajib dibayarkan penduduk Bali kuna masa pemerintahan raja Jayapangus berbentuk mata uang dan kekayaan alam. Hal tersebut memperlihatkan bahwa alat tukar berupa mata uang telah lazim digunakan pada masa Bali kuna zaman pemerintahan Raja Jayapangus. Pada ketentuan dṛwya haji yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus terdapat perbedaan besaran nominal setiap jenis dṛwya haji. Pada dṛwya haji yang berkaitan dengan pernikahan terdapat lima variasi dalam hal besaran nominal yang harus dibayarkan penduduk. Sementara itu pada ketentuan pajak profesi permasalahan ketidaksamaan besaran nominal dṛwya haji yang dibayarkan oleh penduduk kembali muncul. Pajak profesi dukun di desa Landih memiliki perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang harus dibayarkan dengan profesi serupa di desa Batwan. Perbedaan dalam hal besaran nominal dṛwya haji juga ditemui kembali pada pajak kepemilikan emas. Pada pajak kepemilikan emas tersebut terdapat enam variasi besaran nominal dṛwya haji yang harus dibayarkan oleh pemilik emas. Hal tersebut juga berlaku pada pajak kepemilikan kain yang mencantumkan ketidaksamaan dalam setiap besaran nominal dṛwya haji yang dibayarakan oleh pemilik kain. Pemilik kain di desa Banu Bwah dikenai besaran nominal pajak kepemilikan tertinggi jika dibandingkan dengan pemilik kain di desa Jhuharan, Kintamani, Bugbug, Buyan Sanding Tamblingan, dan Buwahan. Besaran nominal dṛwya haji yang berkaitan dengan pajak kepemilikan alat musik diketahui juga terdapat variasinya. Pada pajak kepemilikan alat musik gamelan terdapat enam variasi besaran nominal dṛwya haji. Hal tersebut juga berlaku pada kepemilikan alat musik calung yang memuat perbedaan besaran nominal yang harus dibayarkan pemilik calung di desa Buwahan dan Buru Sri Mukha, Buru Bayung Tngah Padang dan Bunar. Perbedaan besaran nominal drwya haji tidak hanya ditemukan hal pernikahan, pajak profesi dan kepemilikan. Namun juga ditemukan perbedaan besaran nominal dalam dṛwya haji terkait dengan peraturan kependudukan penduduk desa yang meninggal dunia. Pada peraturan kependudukan penduduk desa yang meninggal dunia terdapat tiga besaran nominal yang berbeda. Besaran nominal dṛwya haji yang ditemukan dalam buat haji juga memuat hal yang saling berbeda satu sama lain. Pada jenis buat haji ditemukan enam besaran nominal yang berbeda. Tabel 1.26 Variasi Perbedaan Besaran Nominal Pembayaran Dṛwya haji No. Jenis Dṛwya haji Jumlah Variasi Perbedaan Besaran Nominal 1. Pernikahan 5 2. Pajak Profesi Dukun 2 3. Pajak Kepemilikan Emas 6 4. Pajak Kepemilikan Kain 6

18 12 5. Pajak Kepemilikan Alat 8 Musik Gamelan dan Calung 6. Kependudukan 3 7. Buat Haji atau Gotong 6 Royong Berdasarkan tabel variasi perbedaan besaran nominal pembayaran dṛwya haji diketahui bahwa jenis dṛwya haji yang menyebutkan mengenai ketentuan pernikahan terdapat lima variasi perbedaan besaran nominal. Dṛwya haji yang menyebutkan mengenai ketentuan pernikahan terdapat dalam sebelas prasasti yaitu Bwahan D, Sukawana B, Bugbug, Dalung, Bengkala, Mayungan, Penida Kaja, Selat A, Bulian A, Krobokan dan Bwahan E. Sementara variasi perbedaan besaran nominal pembayaran dṛwya haji pajak profesi dukun berjumlah dua yang terdapat dalam prasasti Landih B- Nongan B dan Batunya. Variasi perbedaan besaran nominal pembayaran dṛwya haji paling banyak ditemui pada jenis pajak kepemilikan yang terdapat dalam prasasti Prasasti Sukawana B, Bwahan D, Sukawana B, Landih B-Nongan B, Bugbug, Cempaga A, Dalung, Bengkala, Batur Pura Abang, Kediri, Selat A, Batunya, Bulian A, Krobokan, Serai B, dan Bwahan E. Pajak kepemilikan tersebut dapat digolongkan lagi menjadi pajak pemilikan emas, kain dan alat musik. Pajak kepemilikan emas diatur dalam prasasti Sembiran C, Bwahan D, Sukawana B, Bugbug, Dalung, Bengkala, Kediri, Selat A, Batunya dan Bwahan E. Pada pajak kepemilikan emas tersebut terdapat enam variasi besaran nominal pembayaran dṛwya haji. Pajak kepemilikan kain diatur dalam prasasti Bwahan D, Sukawana B, Bugbug, Bulian A, Krobokan dan Bwahan E. Terdapat enam variasi perbedaan besaran nominal pada kategori pajak kepemilikan jenis kain. Sementara, pajak kepemilikan alat musik mencatat adanya delapan variasi perbedaan besaran nominal. Pajak kepemilikan alat musik disebut dalam prasasti Landih B- Nongan B, Bugbug, Cempaga A, Bulian A, Serai B dan Bwahan E. Pada tabel juga dapat dilihat bahwa dṛwya haji terkait kependudukan menyebutkan adanya tiga variasi perbedaan besaran nominal pembayaran drwya haji. Ketentuan dṛwya haji kependudukan disebutkan dalam prasasti Bugbug, Bengkala, Selat A, Batunya, Pengotan C1, Bulian A, Krobokan, Bwahan E dan Malat Gede. Sedangkan, berdasarkan tabel tersebut juga dapat diketahui adanya variasi perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang termasuk dalam buat haji. Pada buat haji tersebut terdapat enam variasi perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang wajib dibayarkan dari sejumlah sepuluh prasasti yaitu Sukawana B, Landih B-Nongan B, Bugbug, Cempaga A, Penida Kaja, Batur Pura Abang, Serai B, Tonja dan Bwahan E. Perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang ditetapkan oleh Raja Jayapangus bukannya tanpa sebab. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dalam tiga sebab yang menjadi latar belakang adanya perbedaan besaran nominal dṛwya

BAB I PENDAHULUAN. Media tulis prasasti terdiri atas beberapa jenis antara lain :

BAB I PENDAHULUAN. Media tulis prasasti terdiri atas beberapa jenis antara lain : 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prasasti adalah suatu putusan resmi yang di dalamnya memuat sajak untuk memuji raja, atas karunia yang diberikan kepada bawahannya, agar hak tersebut sah dan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian Sabung ayam merupakan tradisi pertarungan antara dua ayam jantan pada suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

PERANAN RELIGI DALAM PEMERINTAHAN RAJA JAYAPANGUS (Berdasarkan Data Prasasti) Ni Luh Gede Ayu Febriyanthi Program Studi Arkeologi.

PERANAN RELIGI DALAM PEMERINTAHAN RAJA JAYAPANGUS (Berdasarkan Data Prasasti) Ni Luh Gede Ayu Febriyanthi Program Studi Arkeologi. 1 PERANAN RELIGI DALAM PEMERINTAHAN RAJA JAYAPANGUS (Berdasarkan Data Prasasti) Ni Luh Gede Ayu Febriyanthi Program Studi Arkeologi Abstrak Most of the inscriptions issued by the kings of ancient Bali

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian ini menggunakan beberapa pustaka yang dijadikan sebagai acuan dan pedoman di dalam melakukan sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ilmiah tentang peninggalan masa lalu manusia. Di dalam ilmu arkeologi terdapat subsub

BAB I PENDAHULUAN. ilmiah tentang peninggalan masa lalu manusia. Di dalam ilmu arkeologi terdapat subsub BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Rekonstruksi kehidupan masa lalu manusia merupakan pekerjaan yang tidak putus bagi akademisi dan peneliti dari disiplin arkeologi. Arkeologi melakukan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 Undang-undang Nomor 22 Tahun

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu panas bumi.htm

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu panas bumi.htm Page 1 of 16 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa panas bumi adalah sumber daya alam

Lebih terperinci

PRASASTI MAYUNGAN DI DESA PAKRAMAN MAYUNGAN, DESA ANTAPAN, KECAMATAN BATURITI, KABUPATEN TABANAN

PRASASTI MAYUNGAN DI DESA PAKRAMAN MAYUNGAN, DESA ANTAPAN, KECAMATAN BATURITI, KABUPATEN TABANAN 1 PRASASTI MAYUNGAN DI DESA PAKRAMAN MAYUNGAN, DESA ANTAPAN, KECAMATAN BATURITI, KABUPATEN TABANAN Ida Ayu Wayan Prihandari Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Abstract This study

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 56 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 56 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 56 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PANAS BUMI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 51, Pasal 56, dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka Undang-undang

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG ORGAN DAN KEPEGAWAIAN PERUSAHAAN DAERAH PASAR KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG ORGAN DAN KEPEGAWAIAN PERUSAHAAN DAERAH PASAR KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG ORGAN DAN KEPEGAWAIAN PERUSAHAAN DAERAH PASAR KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat

Lebih terperinci

David J. Stuart Fox, penulis buku Pura Besakih; Pura, Agama,

David J. Stuart Fox, penulis buku Pura Besakih; Pura, Agama, IDG Windhu Sancaya Pura Besakih: Di antara Legenda dan Sejarah Penguasa Bali IDG Windhu Sancaya* Judul buku : Pura Besakih; Pura, Agama, dan Masyarakat Bali Penulis : David J. Stuart Fox Penerjemah: Ida

Lebih terperinci

ABSTRAK PRASASTI KINTAMANI E KAJIAN EPIGRAFI

ABSTRAK PRASASTI KINTAMANI E KAJIAN EPIGRAFI ABSTRAK PRASASTI KINTAMANI E KAJIAN EPIGRAFI Penelitian prasasti di Kintamani telah dilakukan oleh berbagai pihak, namun penelitian tersebut hanya sebatas alih aksara dan penjelasan singkat. Penelitian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa untuk optimalisasi sumber pendapatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

Pengantar Perpajakan MINGGU 1

Pengantar Perpajakan MINGGU 1 Pengantar Perpajakan MINGGU 1 Romawi Kuno, 167 SM TRIBUTUM Inggris, 1799 secara eksplisit diatur dalam uu sbg income tax AS, di New Plymouth, 1643, Massachusetts 1646, uu pajak federal 1861 Indonesia,

Lebih terperinci

SISTEM PEMBAGIAN HAK WARIS PADA MASA BALI KUNO ABAD IX XII MASEHI. Abstrak

SISTEM PEMBAGIAN HAK WARIS PADA MASA BALI KUNO ABAD IX XII MASEHI. Abstrak 1 SISTEM PEMBAGIAN HAK WARIS PADA MASA BALI KUNO ABAD IX XII MASEHI I MADE HENDY LILA WINARTA Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Abstrak Inheritance is a gift from the ancestors through

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa panas bumi adalah sumber daya alam yang dapat

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Sumber: LN 1960/2; TLN NO. 1924 Tentang: PERJANJIAN BAGI HASIL Indeks: HASIL.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DAN PERANGKAT DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DAN PERANGKAT DESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 51, Pasal 56, dan

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011 PEMERINTAH KABUPATEN ROKAN HILIR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH diperbanyak oleh : BAGIAN HUKUM DAN HAM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR PEMERINTAH

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya telah diatur pelaksanaan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh,

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya telah diatur pelaksanaan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila yang di dalamnya telah diatur pelaksanaan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh, terpadu,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa Retribusi Pelayanan Pasar merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi Pajak Definisi pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: Pajak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

BAB II LANDASAN TEORI. dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pajak Pajak menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5) BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan kewajiban setiap orang yang berada di suatu negara dan yang berada di seluruh dunia, oleh karena itu pajak merupakan suatu permasalahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6). BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pajak Pada Umumnya II.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pajak 2.1.1.1. Definisi Pajak Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak itu sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS 1 (satu) bulan ~ Notaris tidak membuat akta Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan Notaris tidak membuat akta, Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya menyampaikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa Pajak Sarang Burung Walet merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa

Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=74007&lokasi=lokal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa Retribusi Daerah merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka terwujudnya penyelenggaraan pemerintah desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat, memiliki wilayah (daerah) tertentu, adanya rakyat yang hidup teratur,

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat, memiliki wilayah (daerah) tertentu, adanya rakyat yang hidup teratur, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan sistem desentralisasi, adanya pemerintahan yang berdaulat, memiliki

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA ` BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa pendapatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG PAJAK RESTORAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG PAJAK RESTORAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 51, Pasal 56, dan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN- KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PAJAK REKLAME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Beberapa artefak yang ditemukan di Indonesia pada awal Masehi memperlihatkan unsur-unsur kebudayaan India sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa India telah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 04 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT (PD. BPR) BANK PASAR KABUPATEN TEGAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 04 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT (PD. BPR) BANK PASAR KABUPATEN TEGAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 04 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT (PD. BPR) BANK PASAR KABUPATEN TEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEGAL, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 19 TAHUN 2003 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT BANK PASAR KULON PROGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K O T A L H O K S E U M A W E

LEMBARAN DAERAH K O T A L H O K S E U M A W E LEMBARAN DAERAH K O T A L H O K S E U M A W E NOMOR : TAHUN 2007 SERI : QANUN KOTA LHOKSEUMAWE NOMOR : 04 TAHUN 2007 T E N T A N G PAJAK PENERANGAN JALAN BISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 60 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 60 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 60 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH ANEKA USAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa tempat khusus

Lebih terperinci

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pengaturan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2015 T E N T A N G

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2015 T E N T A N G - 1 - GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2015 T E N T A N G RENCANA BAGI HASIL PENERIMAAN PAJAK PEMERINTAH PROVINSI UNTUK KABUPATEN/KOTA DALAM PROVINSI JAMBI ANGGARAN MURNI 2015 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BUPATI JEMBRANA,

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BUPATI JEMBRANA, BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 Peraturan Menteri

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA DI KABUPATEN TANAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 811 TAHUN : 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA Menimbang : DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 17 TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 17 TAHUN BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : bahwa untuk memenuhi maksud pada Pasal 67 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN 1 PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 2 TAHUN 2011 T E N T A N G RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang :

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN DAERAH AGRO SELAPARANG KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang : a. bahwa Pajak Air Tanah merupakan sumber pendapatan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2009 T ENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2009 T ENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2009 T ENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa Pajak Penerangan Jalan merupakan salah

Lebih terperinci

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap MATRIKS PERBANDINGAN PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA GORONTALO, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. bahwa Pajak Penerangan Jalan merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DESA TANJUNGSARI KECAMATAN SUKAHAJI KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 05 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DESA TANJUNGSARI KECAMATAN SUKAHAJI KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 05 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN DESA TANJUNGSARI KECAMATAN SUKAHAJI KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 05 TAHUN 2016 TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DESA TANJUNGSARI KECAMATAN SUKAHAJI KABUPATEN MAJALENGKA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN DAERAH PASAR SELAPARANG KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH Menimbang : Mengingat : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan :

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN

Lebih terperinci