PENANGANAN MASALAH KELAS DATA TIDAK SEIMBANG PADA PEMODELAN RISIKO HIV DI PAPUA EVLINA TRISIA SALSABELLA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENANGANAN MASALAH KELAS DATA TIDAK SEIMBANG PADA PEMODELAN RISIKO HIV DI PAPUA EVLINA TRISIA SALSABELLA"

Transkripsi

1 PENANGANAN MASALAH KELAS DATA TIDAK SEIMBANG PADA PEMODELAN RISIKO HIV DI PAPUA EVLINA TRISIA SALSABELLA DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penanganan Masalah Kelas Data Tidak Seimbang pada Pemodelan Risiko HIV di Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2017 Evlina Trisia Salsabella NIM G

4 ABSTRAK EVLINA TRISIA SALSABELLA. Penanganan Masalah Kelas Data Tidak Seimbang pada Pemodelan Risiko HIV di Papua. Dibimbing oleh BAGUS SARTONO dan AAM ALAMUDI. Synthetics Minority Oversampling and Undersampling Technique (SMOUTE) merupakan metode perbaikan dari Synthetic Minority Oversampling Technique (SMOTE) yang digunakan untuk menangani ketidakseimbangan kelas data. Perbedaan antara SMOUTE dan SMOTE terletak pada tahap awal undersampling yang dilakukan pada kelas mayoritas. SMOUTE mengawali undersampling dengan pengelompokan kelas mayoritas melalui algoritme k-rataan. Serupa dengan SMOTE, SMOUTE akan membangkitkan amatan buatan kelas minoritas untuk dapat menyeimbangkan jumlah amatan kelas mayoritas sehingga masalah ketidakseimbangan kelas dapat diatasi. Masalah kelas data tidak seimbang akan berakibat pada ketepatan klasifikasi kelas minoritas yang dihasilkan sehingga masalah ini perlu ditangani. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data Surveilans Terpadu HIV Perilaku 2006 (STHP-06) yang memiliki masalah ketidakseimbangan kelas dilihat dari jumlah responden positif HIV yang hanya sekitar 2.38% dari total seluruh responden yang berhasil diuji darahnya. Hasil klasifikasi dengan Pohon Klasifikasi C5.0 menunjukkan tidak ada satu pun amatan kelas minoritas yang berhasil diklasifikasi dengan benar. Peningkatan ketepatan klasifikasi kelas minoritas diperoleh dengan melakukan penanganan sebelum dilakukan klasifikasi dengan Pohon Klasifikasi C5.0. Hal ini disertai dengan penurunan ketepatan klasifikasi kelas mayoritas. Rataan ketepatan klasifikasi kelas minoritas terbaik diperoleh melalui penanganan SMOTE sebelum dilakukan klasifikasi. Kata kunci: Pohon Klasifikasi C5.0, SMOTE, SMOUTE

5 ABSTRACT EVLINA TRISIA SALSABELLA. Handling Imbalance Class Dataset Problem on HIV Risk Modelling in Papua. Supervised by BAGUS SARTONO and AAM ALAMUDI. Synthetics Minority Oversampling and Undersampling Technique (SMOUTE) is a modification of Synthetic Minority Oversampling Technique (SMOTE) to overcome imbalance class dataset problem better. The difference between SMOUTE and SMOTE lies on the way to do the undersampling step. In the SMOTE while uses simple random sampling, the SMOUTE methodology applies a stratified sampling where the strata were built by a k-means clustering. Then both SMOTE and SMOUTE will generate synthetic minority class observations to balance majority class observations. This imbalance class dataset problem has consequence on minority class classification performance so it should be handled. This research used Surveilans Terpadu HIV Perilaku 2006 (STHP-06) dataset that contains imbalance class dataset problem shown by number of HIV positive respondent that about 2.38% of total number of respondent. Without any pre-processing treatment on the imbalance, the C5.0 worked poorly so that none minority class observation is correctly classified. Minority class classification performance increases when handling method is applied before classifying. The best minority class classification performance is resulted by applying SMOTE before classifying. Keywords: decision tree C5.0, SMOTE, SMOUTE

6

7 PENANGANAN MASALAH KELAS DATA TIDAK SEIMBANG PADA PEMODELAN RISIKO HIV DI PAPUA EVLINA TRISIA SALSABELLA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Statistika pada Departemen Statistika DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

8

9

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala yang telah memberikan berkat dan rahmatnya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yan dipilih dalam penelitian ini adalah masalah kelas data tidak seimbang, dengan judul Penanganan Masalah Kelas Data Tidak Seimbang pada Pemodelan Risiko HIV di Papua. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Bagus Sartono dan Ir Aam Alamudi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukannya selama penelitian dan pembuatan karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Budi Santoso yang telah memberikan bantuan dalam proses memperoleh data. Di samping itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Kiki, Tazkia, Nadya, Nosi, dan Nazmi selaku teman bimbingan selama ini serta teman-teman Statistika 50 IPB atas semua bantuannya. Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua, saudara, dan segenap keluarga yang senantiasa memberikan doa dan dukungan dalam menyelesaikan kaya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2017 Evlina Trisia Salsabella

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 HIV/AIDS 2 Ketidakseimbangan Kelas Data 3 Synthetic Minority Oversampling Technique (SMOTE) 3 Synthetics Minority Oversampling and Undersampling Technique (SMOUTE) 4 Pohon Klasifikasi C5.0 5 Ketepatan Klasifikasi 6 METODE 7 Data 7 Metode Penelitian 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Gambaran Umum Data 10 Penanganan Kelas Data Tidak Seimbang 15 Pemilihan Metode Penanganan Terbaik 19 Peubah peubah Penting pada Model dengan Metode Penanganan Terbaik 23 SIMPULAN 24 SARAN 24 DAFTAR PUSTAKA 25 RIWAYAT HIDUP 27

12 DAFTAR TABEL 1 Confusion matrix 6 2 Daftar peubah penjelas 8 3 Persentase responden berdasarkan peubah yang digunakan 11 4 Proporsi responden positif HIV pada tiap kategori peubah penjelas 12 5 Komposisi pembagian data 15 6 Kinerja klasifikasi tanpa penanganan kelas data tidak seimbang 16 7 Komposisi data hasil SMOTE 17 8 Komposisi data hasil SMOUTE 17 9 Komposisi data hasil SMOUTE 2 tahap Perbandingan kinerja pohon klasifikasi berdasarkan akurasi terbaik Perbandingan kinerja pohon klasifikasi berdasarkan sensitivitas terbaik Perbandingan rataan kinerja klasifikasi C5.0 pada data uji 22 DAFTAR GAMBAR 1 Boxplot penghasilan per bulan (ribu) berdasarkan hasil tes HIV 14 2 Boxplot lama sekolah dan usia 15 3 Perbandingan oversampling 1 tahap dan 2 tahap 18 4 Boxplot kinerja klasifikasi berdasarkan metode penanganan 20 5 Diagram Pencar antara Akurasi dan Sensitivitas dengan Metode 21 6 Persentase Peubah yang Mengisi Urutan Tiga Besar Nilai Kepentingan Tertinggi 24 DAFTAR LAMPIRAN 1 Pohon Klasifikasi C5.0 metode SMOUTE dengan nilai sensitivitas tertinggi 26

13 PENDAHULUAN Latar Belakang AIDS yaitu singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemkes RI 2016). Fase awal seseorang menderita AIDS adalah ketika orang tersebut dinyatakan positif HIV. Para penderita HIV/AIDS akan mengalami penurunan daya tahan tubuh sehingga menyebabkan penderita mudah terserang penyakit lain. AIDS merupakan salah satu penyakit berbahaya yang masih belum ditemukan obatnya. Namun, dari tahun ke tahun jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat. Kasus HIV/AIDS di Indonesia ditemukan pertama kali pada tahun 1987 dan hingga saat ini sudah tersebar di 77 persen kabupaten/kota di seluruh provinsi Indonesia. Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit HIV/AIDS di Papua sudah sangat tinggi dan melampaui jumlah penderita di provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Kemkes RI diketahui bahwa prevalensi kasus HIV/AIDS di Papua merupakan yang tertinggi dibandingkan provinsi lainnya. Berdasarkan data tersebut diperoleh hasil bahwa dari masing-masing seratus ribu penduduk terdapat sekitar 758 penduduk provinsi Papua dan sekitar 494 penduduk provinsi Papua Barat dinyatakan positif HIV. Kondisi buruk seperti ini harus segera mendapatkan penanganan yang tepat baik dari pemerintah, tokoh masyarakat adat atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Pengambilan kebijakan atau keputusan yang tepat untuk mengatasi permasalahan di Papua ini perlu diawali dengan analisis yang tepat pula. Telah disebutkan sebelumnya bahwa dari masing-masing seratus ribu penduduk terdapat sekitar 758 penduduk provinsi Papua dan sekitar 494 penduduk provinsi Papua Barat yang dinyatakan positif HIV. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan kelas antara kelas penduduk positif HIV dan kelas penduduk negatif HIV dengan perbandingan sekitar 1:131 pada penduduk provinsi Papua dan 1:202 pada penduduk provinsi Papua Barat. Salah satu metode analisis yang dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap hasil prediksi HIV seorang penduduk yaitu Pohon Keputusan, khususnya yaitu Pohon Klasifikasi karena peubah respon yang digunakan berupa data kategorik biner yaitu positif HIV atau negatif HIV. Namun, adanya permasalahan ketidakseimbangan kelas ini mengharuskan dilakukannya suatu penanganan tertentu terhadap data tidak seimbang agar hasil klasifikasi lebih akurat yaitu dengan mengklasifikasikan individu ke dalam kelas secara benar. Oleh karena itu, dilakukan penanganan ketidakseimbangan kelas melalui Synthetic Minority Oversampling Technique (SMOTE) oleh Chawla et al. (2002) dan Synthetics Minority Overampling and Undersampling Technique (SMOUTE) oleh Songwattanasiri dan Sinapiromsaran (2010) sebelum analisis klasifikasi dengan Pohon Klasifikasi C5.0 dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan akurasi atau ketepatan klasifikasi yang diperoleh sehingga dapat diambil kebijakan atau keputusan yang tepat.

14 2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan kinerja Pohon Klasifikasi C5.0 pada data hasil tes HIV STHP-06 tanpa dan dengan dilakukan penanganan terhadap kelas data tidak seimbang serta mengidentifikasi peubah-peubah yang paling penting dalam model klasifikasi dengan metode penanganan terbaik yang dipilih. TINJAUAN PUSTAKA HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemkes RI 2016). Fase awal seseorang berisiko mengidap AIDS adalah ketika orang tersebut dinyatakan positif HIV. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P) Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah penderita positif HIV cenderung membentuk tren naik dari tahun ke tahun tercatat hingga tahun Data jumlah HIV positif yang ada di masyarakat dapat diperoleh melalui tiga metode, yaitu layanan Voluntary, Counseling, and Testing (VCT), sero survey, dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP). Data HIV positif yang digunakan pada penelitian ini adalah data hasil Surveilans Terpadu HIV - Perilaku (STHP) pada tahun 2006 yang diselenggarakan oleh BPS bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan. Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, transfusi darah, penggunaan jarum suntik bergantian (biasanya pada pengguna narkotika suntik), dan penularan dari ibu ke anak melalui air susu ibu (ASI). Penelitian ini berfokus pada faktor risiko penularan melalui hubungan seksual dengan memerhatikan faktor-faktor seperti umur saat pertama kali melakukan seks, penggunaan alat kontrasepsi dalam berhubungan seksual, perilaku seks berisiko, dan riwayat mengidap penyakit menular seksual. Pemilihan faktor risiko penularan melalui hubungan seksual sebagai fokus penelitian berdasarkan pada data Ditjen P2P yang menunjukkan bahwa lebih dari 90% penderita AIDS terlapor pada tahun 2015 tertular HIV melalui faktor hubungan seksual. Faktor lain yang akan dilihat pengaruhnya terhadap hasil tes HIV yaitu topografi wilayah tempat tinggal, jenis kelamin, suku bangsa, status perkawinan, penghasilan per bulan, pengetahuan tentang HIV, lama sekolah, dan usia. Berdasarkan Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan I Tahun 2016, prevalensi infeksi HIV terbesar di Indonesia terjadi pada dua provinsi paling timur Indonesia yaitu provinsi Papua dan Papua Barat. Diperkirakan pada masing-masing seratus ribu penduduk terdapat sekitar 758 orang positif HIV di provinsi Papua dan sekitar 494 orang dinyatakan positif HIV di provinsi Papua Barat. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada kasus penyebaran HIV di provinsi Papua dan Papua Barat.

15 3 Ketidakseimbangan Kelas Data Ketika suatu data terbagi menjadi dua atau lebih kelas dengan masingmasing kelas terdiri atas amatan-amatan dengan jumlah amatan yang berbeda cukup jauh antara satu kelas dengan kelas lainnya, maka data ini termasuk data kelas tidak seimbang. Terdapat kelas dengan jumlah amatan penyusun sangat banyak yang disebut kelas mayoritas, sebaliknya kelas minoritas merupakan kelas dengan jumlah amatan penyusun yang jauh lebih sedikit dibanding kelas mayoritas. Pada data dengan lebih dari dua kelas, biasanya satu kelas dengan jumlah amatan penyusun sedikit yang menjadi fokus penelitian dianggap sebagai kelas minoritas sedangkan kelas lain yang tersisa dianggap sebagai kelas mayoritas (Bunkhumpornpat et al. 2011). Kondisi ketidakseimbangan pada data ini akan menyebabkan masalah pada beberapa analisis yang mengasumsikan kondisi seimbang pada pengelompokan amatan-amatan penyusunnya. Salah satu analisis yang rentan terhadap kondisi kelas data tidak seimbang ini adalah analisis klasifikasi. Analisis klasifikasi akan menempatkan amatan ke dalam salah satu kelas berdasarkan peubah-peubah penjelas yang menyertainya. Adanya kondisi tidak seimbang pada data akan menurunkan keakuratan klasifikasi pada kelas minoritas disebabkan oleh terlalu sedikitnya amatan yang menyusun kelas tersebut. Namun kenyataannya pada banyak kasus, kelas minoritas inilah yang menjadi fokus penelitian yang dilakukan sehingga kesalahan analisis harus dihindari agar diperoleh hasil analisis yang tepat dan akurat. Upaya untuk mengatasi masalah kelas data tidak seimbang ini dapat dilakukan pada tingkat data atau pada tingkat algoritme (Han et al. 2005). Pada penelitian ini, data hasil tes HIV di provinsi Papua dan Papua Barat yang mengindikasikan adanya ketidakseimbangan kelas data akan ditangani dengan solusi tingkat data yaitu antara lain dengan metode Synthetic Minority Oversampling Technique (SMOTE) sebelum dilakukannya analisis klasifikasi dengan Pohon Klasifikasi C5.0. Dengan harapan tingkat akurasi pengklasifikasian pada kelas minoritas akan meningkat dibandingkan sebelum dilakukannya metode SMOTE ini. Synthetic Minority Oversampling Technique (SMOTE) Sesuai dengan namanya, SMOTE adalah salah satu teknik penambahan pengambilan amatan (oversampling) pada kelas minoritas dengan cara membangkitkan amatan buatan berdasarkan pada konsep t-tetangga terdekat untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan kelas pada data (Chawla et al. 2002). Penentuan jarak tetangga terdekat berbeda antara data numerik dan data kategorik. Pada data dengan semua peubah numerik, jarak terdekat dihitung dengan jarak Euclidean sesuai persamaan (1) berikut ini: ( ) ( ) ( ) ( ) (1) keterangan : ( ): jarak antara amatan x dan y : nilai peubah ke-i amatan x : nilai peubah ke-i amatan y : banyaknya peubah pada vektor x dan y

16 4 SMOTE untuk data yang terdiri atas peubah numerik dan kategorik dikenal dengan SMOTE-NC (SMOTE Nominal Continuous). Jarak terdekat dihitung dengan konsep jarak Euclidean dengan menggunakan nilai median dari simpangan baku semua peubah numerik kelas minoritas sebagai selisih nilai peubah kategorik. Setelah menghitung jarak terdekat, berikut prosedur pembangkitan data buatan dengan SMOTE. 1. Data Numerik i. Hitung selisih vektor amatan dari vektor t-tetangga terdekat ii. Kalikan hasil tahap 1.i dengan bilangan acak antara 0 dan 1 iii. Tambahkan hasil tahap 1.ii dengan vektor amatan sehingga diperoleh vektor amatan baru atau dapat dituliskan dengan persamaan (2) berikut ini: ( ) (2) keterangan : : vektor amatan baru : vektor amatan awal : vektor t-tetangga terdekat : bilangan acak seragam antara 0 dan 1 2. Data Kategorik i. Tentukan kategori amatan yang paling sering muncul (modus) antara vektor amatan dengan vektor t-tetangga terdekat. Jika terjadi kesamaan nilai maka pilih secara acak ii. Jadikan nilai tersebut sebagai amatan baru Persentase oversampling sebesar p% berarti dari setiap amatan kelas minoritas akan dibangkitkan amatan buatan sebanyak p%. Persentase undersampling sebesar q% berarti amatan kelas mayoritas yang dipilih sebanyak q% kali dari jumlah amatan minoritas buatan yang dibangkitkan. Synthetics Minority Oversampling and Undersampling Technique (SMOUTE) Serupa dengan SMOTE, SMOUTE merupakan salah satu teknik untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan kelas yang terjadi pada data. SMOUTE merupakan salah satu metode perbaikan dari SMOTE yang diusulkan oleh Songwattanasiri dan Sinapiromsaran (2010). Pada SMOTE yang diusulkan oleh Chawla et al. (2002) juga diterapkan undersampling atau pengurangan pengambilan amatan pada kelas mayoritas. Undersampling pada SMOTE dilakukan dengan membuang beberapa amatan pada kelas mayoritas secara acak sampai terjadi keseimbangan antara kelas mayoritas dengan kelas minoritas. Berbeda dengan SMOTE, undersampling pada SMOUTE melalui tahap pengelompokan amatan kelas mayoritas dengan algoritme k-rataan terlebih dahulu. Prosedur SMOUTE diawali dengan oversampling kelas minoritas sesuai SMOTE terlebih dahulu hingga diperoleh banyaknya amatan buatan yang diharapkan. Selanjutnya tahap undersampling diawali dengan pengelompokan kelas mayoritas dengan algoritme k-rataan. Undersampling dilakukan di masingmasing kelompok dengan perhitungan ukuran undersampling tiap kelompoknya sesuai persamaan (3) berikut ini: (3)

17 keterangan : : banyaknya amatan undersampling untuk kelompok ke-i : banyaknya amatan kelas mayoritas pada kelompok ke-i : banyaknya amatan kelas mayoritas untuk semua kelompok : banyaknya amatan undersampling yang ditentukan Setelah diperoleh ukuran undersampling setiap kelompok, tahap selanjutnya yaitu membuang beberapa amatan kelas mayoritas seperti yang dilakukan pada SMOTE hingga mencapai ukuran undersampling yang ditentukan. 5 Pohon Klasifikasi C5.0 Pohon Klasifikasi C5.0 merupakan pengembangan dari Pohon Klasifikasi C4.5 yang dikembangkan oleh Quinlan Ross (Patidar dan Tiwari 2013). Keistimewaan yang membedakan Pohon Klasifikasi C5.0 dari C4.5 adalah kemampuannya untuk memisahkan populasi menjadi lebih dari dua subpopulasi di tiap tahapnya (Tufféry 2011). Selain itu, komputasi C5.0 lebih cepat dan pohon keputusan yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan C4.5 (Pandya R dan Pandya J 2015). Sesuai dengan namanya, Pohon klasifikasi terdiri atas bagian-bagian utama seperti Simpul (node), Cabang (branch), dan Daun (leaf). Simpul terbagi menjadi beberapa jenis seperti Simpul Akar (root) yaitu simpul teratas pada susunan diagram pohon. Akar (root) ini hanya memiliki keluaran dan diisi oleh peubah penjelas yang paling berpengaruh terhadap model klasifikasi yang dilihat dari nilai information gain terbesar dibandingkan peubah penjelas lainnya. Selain Simpul Akar, terdapat pula yang dinamakan Simpul Internal yaitu simpul yang memiliki masukan dari Cabang Simpul lain dan juga memiliki keluaran. Simpul Internal ini diisi oleh peubah penjelas yang berpengaruh selanjutnya terhadap model klasifikasi. Cabang berisi hasil dari pengujian yang terjadi di Simpul yaitu berupa kategori dari peubah penjelas yang mengisi Simpul. Sedangkan Daun (leaf) merepresentasikan hasil akhir pengujian yaitu berupa kelas peubah respon. Berikut algoritme C Menghitung nilai Entropy Entropy adalah tingkat ketidakhomogenan himpunan data. ( ) ( ) (4) keterangan : = himpunan data = banyaknya kelas peubah respon = proporsi banyaknya data kelas peubah respon ke-i pada himpunan data 2. Menghitung nilai information gain Information gain adalah selisih dari nilai Entropy himpunan data awal dengan nilai rataan terboboti Entropy anak himpunan data yang dipilah peubah J. Berikut formulasi information gain sesuai persamaan (5) berikut ini: ( ) ( ) keterangan: = himpunan data = peubah penjelas = banyaknya kategori pada peubah penjelas J ( ) (5)

18 6 = banyaknya amatan pada himpunan data = banyaknya amatan pada himpunan data S = anak himpunan data yang berisi amatan-amatan dengan nilai peubah J = 3. Menentukan peubah penjelas dengan nilai information gain terbesar sebagai peubah pemisah yang memisahkan amatan menjadi anak himpunan data yang kemudian disebut Simpul 4. Mengulangi langkah 1 hingga 3 untuk melalukan percabangan selanjutnya 5. Percabangan dihentikan ketika setidaknya satu dari tiga kondisi di bawah ini terjadi a. Ketika peubah respon pada suatu Simpul telah homogen (hanya terdapat satu kelas peubah respon) b. Ketika semua peubah penjelas homogen c. Ketika jumlah amatan sebelum dilakukan pemisahan (split) terlalu sedikit 6. Melakukan pemangkasan (prune) untuk menghasilkan pohon yang sederhana. C5.0 menggunakan metode Pemangkasan Berbasis Galat (Error Based Pruning) sesuai persamaan (6) berikut ini: (6) keterangan: = tingkat galat pada Daun (error rate) = nilai kebalikan dari distribusi kumulatif normal baku dengan = 0.25 = perbandingan jumlah amatan yang salah dalam klasifikasi dengan jumlah keseluruhan amatan pada Daun = jumlah amatan pada Daun Peningkatan nilai ini akan mengakibatkan pembentukan pohon yang lebih besar. Pemangkasan dilakukan apabila nilai e pada Daun lebih besar dibandingkan Simpul Internal sebelum Daun (Adiangga 2015). Ketepatan Klasifikasi Keakuratan atau ketepatan klasifikasi diukur menggunakan confusion matrix sesuai Tabel 1 dengan menganggap kelas Positif HIV sebagai kelas positif dan kelas negatif HIV sebagai kelas negatif. Aktual Tabel 1 Confusion matrix Positif Prediksi Negatif Positif TP FN Negatif FP TN TP (True Positive) dan TN (True Negative) menunjukkan banyaknya amatan yang diprediksi secara tepat. FP (False Positive) menunjukkan banyaknya amatan kelas

19 negatif yang diprediksi sebagai kelas positif, hal sebaliknya disebut FN (False Negative). Ukuran keakuratan klasifikasi dapat dihitung antara lain dengan nilai akurasi, sensitivitas, dan spesifisitas sesuai persamaan (7), (8), dan (9). Akurasi (Accuracy) mengukur proporsi amatan yang diprediksikan secara tepat. Sensitivitas (Sensitivity) mengukur proporsi amatan positif HIV yang tepat diprediksikan sebagai kelas Positif HIV, sedangkan Spesifisitas (Specificity) mengukur proporsi amatan negatif HIV yang tepat diprediksikan sebagai kelas Negatif HIV. Selain ukuran keakuratan di atas, AUC (Area Under Curve) dari ROC (Receiver Operating Characteristic) juga akan digunakan untuk mengevaluasi ketepatan klasifikasi pada data tidak seimbang. AUC ini menunjukkan performa relatif dari TP dan FP. Sumbu-x menunjukkan nilai tingkat false positive (FP/(TN+FP)) dan sumbu-y menunjukkan nilai tingkat true positive (TP/(TP+FN)). Semakin mendekati nilai satu berarti semakin baik klasifikasi yang dilakukan. Titik amatan pada kurva ROC yang menunjukkan performa relatif TP dan FP diperoleh dengan mengubah nilai Cut-Off Point (COP) atau menghitung performa klasifikasi pada beberapa nilai COP. Titik potong atau Cut-Off Point (COP) adalah nilai batas antara hasil uji positif dan hasil uji negatif. 7 (7) (8) (9) METODE Data Penelitian ini menggunakan data hasil Surveilans Terpadu HIV Perilaku 2006 (STHP-06) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), dengan dukungan Bank Dunia dan FHI/ASA. Survei ini mencakup sepuluh kabupaten/kota di Tanah Papua dengan mengelompokkan Tanah Papua berdasarkan topografinya menjadi tiga, yaitu sebanyak tiga kabupaten di wilayah pegunungan, empat kabupaten/kota di wilayah pesisir mudah, dan tiga kabupaten di wilayah pesisir sulit. Pengelompokan ini selanjutnya digunakan sebagai strata. Teknik penarikan contoh yang digunakan yaitu penarikan contoh tiga tahap (Three Stage Stratified Sampling). Tahap pertama untuk memilih sampel kabupaten/kota, tahap kedua memilih blok sensus pada kabupaten/kota terpilih, dan tahap ketiga untuk memilih secara sistematik responden yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 25 responden berusia tahun di tiap blok sensus terpilih. Daftar responden diurutkan menurut jenis kelamin dan kelompok umur (15-24, 25-39, dan tahun). Jumlah responden yang memenuhi syarat sebanyak 6500 responden yang meliputi 260 blok sensus. Realisasi sampel responden yang berhasil dilakukan pengujian darah untuk mengetahui hasil tes HIV sebanyak 6223 responden. Namun, data

20 8 yang digunakan pada penelitian ini hanya terdiri atas 6217 responden. Pada data tersebut diketahui bahwa dari 6217 responden terdapat 148 responden yang hasil pengujian darahnya menunjukkan positif HIV. Dengan demikian, perbandingan antara jumlah responden positif HIV dan negatif HIV sekitar 1:41. Hal ini juga menunjukkan bahwa responden yang mengidap positif HIV hanya sekitar 2.38% dari total responden yang berhasil diuji darahnya. Oleh karena itu, data hasil STHP-06 ini termasuk data kelas tidak seimbang sehingga dapat diterapkan metode penanganan dengan harapan dapat meningkatkan ketepatan klasifikasinya. Peubah respon pada penelitian ini yaitu hasil tes HIV yang terdiri atas dua kategori yaitu 0 (negatif HIV) dan 1 (positif HIV). Sedangkan peubah penjelas yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas peubah numerik dan peubah kategorik sesuai Tabel 2. Tabel 2 Daftar peubah penjelas Peubah penjelas Keterangan Kategori X1 Umur seks pertama 0 = usia > 16 tahun 1 = usia 16 tahun X2 Penggunaan alat kontrasepsi 0 = menggunakan 1 = tidak menggunakan X3 Perilaku seks berisiko 0 = tidak; 1 = ya X4 Penyakit Menular Seksual (PMS) 0 = tidak ada PMS 1 = ada PMS X5 Topografi wilayah 1 = pesisir mudah 2 = pesisir sulit 3 = pegunungan X6 Jenis kelamin 1 = laki-laki 2 = perempuan X7 Suku bangsa 0 = non Papua;1 = Papua X8 Status perkawinan 1 = kawin resmi 2 = belum kawin 3 = cerai 4 = hidup bersama X9 Pengetahuan tentang HIV 0 = tahu 1 = tidak/kurang tahu X10 Penghasilan per bulan (ribu) Numerik X11 Lama sekolah (tahun) Numerik X12 Usia (tahun) Numerik Metode Penelitian Berikut tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini. 1. Melakukan eksplorasi terhadap data hasil STHP-06 untuk mengetahui gambaran umum data. 2. Membagi data secara acak menjadi dua bagian yaitu 80% sebagai data latih dan 20% sebagai data uji dengan proporsi kelas minoritas dan kelas mayoritas pada masing-masing bagian data relatif sama dengan proporsi awal.

21 3. Melakukan pengklasifikasian dengan Pohon Klasifikasi C5.0 dengan menggunakan data latih dan hitung kinerja klasifikasinya menggunakan data uji. Kinerja klasifikasi yang diukur meliputi akurasi, sensitivitas, spesifisitas, dan nilai AUC dari ROC. 4. Menerapkan penanganan kelas data tidak seimbang dengan SMOTE pada data latih. a. Tahap Oversampling i. Menentukan nilai t untuk t-tetangga terdekat yaitu t = 1. ii. Menentukan besar persentase oversampling yaitu sebesar 200%. iii. Menghitung jarak antar data kelas minoritas. iv. Menentukan 1-tetangga terdekat. v. Melakukan perhitungan untuk membangkitkan data buatan. b. Tahap Undersampling i. Menentukan besar persentase undersampling yaitu sebesar 150%. ii. Menyisihkan secara acak amatan kelas mayoritas sesuai jumlah pada i. iii. Menyimpan data hasil oversampling kelas minoritas dan hasil undersampling kelas mayoritas sebagai data latih baru. 5. Menerapkan penanganan kelas data tidak seimbang dengan SMOUTE pada data latih. a. Tahap oversampling seperti pada metode SMOTE b. Tahap Undersampling i. Tentukan ukuran undersampling yaitu sebesar 150% dari banyaknya amatan buatan kelas minoritas. ii. Melakukan pengelompokan kelas mayoritas dengan algoritme k-rataan menggunakan tiga peubah numerik dengan nilai k = 4. Jarak yang digunakan pada algoritme k-rataan adalah jarak Euclidean dengan dilakukan normalisasi terlebih dahulu pada data. iii. Menyisihkan secara acak amatan kelas mayoritas di tiap kelompok dengan ukuran undersampling sesuai persamaan (3). iv. Menyimpan data hasil oversampling kelas minoritas dan hasil undersampling kelas mayoritas sebagai data latih baru. 6. Menerapkan penanganan kelas data tidak seimbang dengan SMOUTE dua tahap pada data latih. a. Tahap oversampling dilakukan seperti pada metode SMOTE tetapi dilakukan sebanyak dua kali. Oversampling pertama dilakukan dengan persentase 100% dan oversampling kedua dilakukan dengan persentase 50%. b. Tahap undersampling seperti pada metode SMOUTE. 7. Melakukan pengklasifikasian kembali dengan Pohon Klasifikasi C5.0 dengan menggunakan data latih baru dan hitung kembali kinerja klasifikasinya dengan menggunakan data uji meliputi nilai akurasi, sensitivitas, spesifisitas, dan nilai AUC dari ROC. 8. Melakukan ulangan sebanyak 500 kali untuk tahap 4 hingga Membandingkan kinerja klasifikasi tanpa dan dengan diterapkannya penanganan kelas data tidak seimbang dan dipilih satu metode penanganan yang menghasilkan rataan kinerja klasifikasi terbaik. 10. Menentukan tiga peubah penjelas paling penting pada model klasifikasi dengan metode pananganan terbaik dan melakukan ulangan sebanyak 50 kali 9

22 10 untuk mengetahui peubah penjelas yang konsisten menjadi tiga peubah paling penting. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Data Tanah Papua terbagi menjadi dua provinsi yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, serta terdiri atas 29 kabupaten/kota. Pada Surveilans Terpadu HIV Perilaku tahun 2006 (STHP-06), Tanah Papua distratifikasikan berdasarkan topografi menjadi tiga strata, yaitu Daerah Pegunungan yang terdiri atas 6 kabupaten, Pesisir Mudah yang terdiri atas 10 kabupaten dan 2 kota, serta Pesisir Sulit yang terdiri atas 11 kabupaten. Penarikan contoh yang dilakukan menggunakan metode Three Stage Stratified. Tahap pertama penarikan contoh yaitu mengambil sepuluh kabupaten/kota yang mewakili ketiga strata tersebut sebagai sampel survei. Strata Daerah Pegunungan diwakili oleh 3 kabupaten yaitu Jayawijaya, Paniai, dan Pegunungan Bintang. Strata Pesisir Mudah diwakili oleh 4 kabupaten/kota yaitu Kota Sorong, Jayapura, Yapen, dan Kota Jayapura. Strata Pesisir Sulit diwakili oleh 3 kabupaten yaitu Teluk Bintuni, Sorong Selatan, dan Mappi. Tahap kedua penarikan contoh yaitu memilih blok sensus pada kabupaten/kota terpilih dengan komposisi sebanyak 70 blok sensus pada Daerah Pegunungan, 137 blok sensus pada Pesisir Mudah, dan 53 blok sensus pada Pesisir Sulit. Selanjutnya, tahap terakhir dari penarikan contoh yaitu memilih secara sistematik 25 penduduk berumur antara 15 hingga 49 tahun pada tiap blok sensus terpilih dengan daftar penduduk dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur (BPS dan DepKes 2007). Berdasarkan pada penarikan contoh tersebut, target sampel yang memenuhi syarat sebanyak 6500 responden. Namun, pada realisasinya hanya terdapat 6233 responden yang berhasil diuji darahnya dan pada penelitian ini hanya akan digunakan sebanyak 6217 responden. Berdasarkan data dari 6217 responden STHP-06 dapat diringkas karakteristiknya berdasarkan peubah yang digunakan sesuai Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa hanya sebesar 2.38% responden survei yang dinyatakan positif HIV. Hal inilah yang menyebabkan data hasil STHP-06 termasuk ke dalam data kelas tidak seimbang. Responden yang dinyatakan positif HIV selanjutnya dianggap sebagai kelas positif atau kelas minoritas yang menjadi pusat perhatian pada penelitian ini. Sedangkan, responden dengan hasil tes menunjukkan negatif HIV dianggap sebagai kelas negatif atau kelas mayoritas yang mana jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan responden yang dinyatakan positif HIV. Karakteristik lain dari responden survei STHP-06 ini antara lain sebagian besar responden yaitu sebanyak 85.46% responden melakukan seks pertama kali pada usia lebih dari 16 tahun. Artinya sekitar 15% atau sekitar 930 responden melakukan seks pertama kali saat masih di bawah umur. Selain itu, hampir seluruh responden menyatakan tidak menggunakan alat kontrasepsi dalam berhubungan seksual. Hanya sekitar 2.75% responden yang menyatakan menggunakan alat kontrasepsi dalam berhubungan seksual. Hal ini menunjukkan

23 bahwa sebagian besar masyarakat Tanah Papua tidak terbiasa menggunakan alat kontrasepsi dalam berhubungan seksual karena kurangnya akses yang ada. 11 Tabel 3 Persentase responden berdasarkan peubah yang digunakan Peubah Kategori Persentase (%) Hasil tes HIV Positif HIV 2.38 Negatif HIV Umur seks pertama Usia 16 tahun Usia > 16 tahun Penggunaan alat kontrasepsi Menggunakan 2.75 Tidak menggunakan Perilaku seks berisiko Ya Tidak Penyakit Menular Seksual Ada PMS 8.85 (PMS) Tidak ada PMS Topografi wilayah Pesisir mudah Pesisir sulit Pegunungan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Suku bangsa Papua Non Papua Status perkawinan Kawin resmi Belum kawin Cerai 2.70 Hidup bersama 3.52 Pengetahuan tentang HIV Tahu Tidak/kurang tahu Penghasilan per bulan Tidak berpendapatan Rp Rp Rp Rp Rp > Rp Lama sekolah Tidak bersekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi 7.01 Usia tahun tahun tahun 18.64

24 12 Jumlah responden yang memiliki perilaku seks berisiko tidak jauh berbeda dengan jumlah responden yang tidak memiliki perilaku seks berisiko. Berdasarkan Tabel 3 juga ditunjukkan bahwa hanya sekitar 8.85% responden menyatakan memiliki Penyakit Menular Seksual (PMS), sedangkan sisanya menyatakan tidak memiliki PMS. Ini berarti hanya sebagian kecil masyarakat Tanah Papua yang memiliki Penyakit Menular Seksual. Berdasarkan topografi wilayahnya, perbandingan jumlah responden dari Pesisir Mudah, Pesisir Sulit, dan Daerah Pegunungan yaitu sekitar 2 : 1 : 1. Lebih dari setengah jumlah responden berasal dari Pesisir Mudah. Jumlah responden cukup seimbang antara responden laki-laki dan responden perempuan. Berdasarkan suku bangsanya, responden bersuku bangsa Papua lebih banyak dibandingkan responden non Papua yaitu sebesar 68.97% responden merupakan suku Papua asli. Selain itu, sebesar 66.45% responden menyatakan sudah menikah, 27.33% responden menyatakan belum menikah, dan sisanya menyatakan sudah bercerai atau hidup bersama. Sedangkan berdasarkan pengetahuan terhadap HIV, sebagian besar masyarakat Tanah Papua masih belum mengetahui hal-hal mengenai HIV yaitu sebesar 69.31% responden. Hal selanjutnya yang cukup memprihatinkan yaitu sebesar 35.4% responden survei menyatakan tidak memiliki penghasilan, rata-rata penghasilan responden yaitu berkisar Rp per bulan, dan hanya sekitar 5.34% responden yang berpenghasilan lebih dari Rp tiap bulannya. Hal ini sama memprihatinkannya dengan lama masa sekolah yang dienyam responden. Terdapat sekitar 21.2% responden tidak pernah bersekolah, 26.89% responden hanya mengenyam pendidikan hingga SD, sekitar 44.89% responden mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah, dan sisanya sekitar 7.01% responden mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Jika dilihat dari sisi usia, responden paling banyak berada pada masa dewasa awal yaitu pada rentang usia 25 hingga 39 tahun, sedangkan pada rentang usai 40 hingga 49 tahun hanya sekitar 18.64% responden. Berikut Tabel 4 menunjukkan proporsi banyaknya responden positif HIV yang berpadanan dengan kategori peubah penjelas yang digunakan. Tabel 4 Proporsi responden positif HIV pada tiap kategori peubah penjelas Peubah Kategori Proporsi (%) Umur seks pertama Usia 16 tahun 3.21 Usia > 16 tahun 2.24 Penggunaan alat kontrasepsi Menggunakan 1.75 Tidak menggunakan 2.40 Perilaku seks berisiko * Ya 3.13 Tidak 1.78 Penyakit Menular Seksual Ada PMS 3.64 (PMS) * Tidak ada PMS 2.26 *perbedaan proporsi risiko positif HIV signifikan terhadap peubah pada taraf nyata 5% dengan menggunakan uji Chi-Square

25 Tabel 4 Proporsi responden positif HIV berdasarkan peubah yang digunakan (lanjutan) Peubah Kategori Proporsi (%) Topografi wilayah * Pesisir mudah 1.81 Pesisir sulit 3.13 Pegunungan 2.88 Jenis kelamin * Laki-laki 2.87 Perempuan 1.88 Suku bangsa * Papua 2.80 Non Papua 1.45 Status Perkawinan Kawin resmi 2.35 Belum kawin 2.53 Cerai 1.19 Hidup bersama 2.74 Pengetahuan tentang HIV * Tahu 1.57 Tidak/kurang tahu 2.74 *perbedaan proporsi risiko positif HIV signifikan terhadap peubah pada taraf nyata 5% dengan menggunakan uji Chi-Square 13 Berdasarkan Tabel 4, tanda bintang (*) pada beberapa peubah menunjukkan adanya asosiasi antara peubah tersebut dengan peubah respon yaitu berupa risiko HIV. Terdapat enam dari sembilan peubah yang dinyatakan memiliki perbedaan proporsi risiko positif HIV yang signifikan pada taraf nyata 5%. Berdasarkan tabel 4 dapat dikatakan bahwa responden yang memiliki perilaku seks berisiko atau memiliki Penyakit Menular Seksual (PMS) menghasilkan proporsi mengidap HIV positif yang lebih besar. Responden yang tinggal di daerah pesisir sulit atau di daerah pegunungan juga menunjukkan proporsi mengidap HIV positif lebih besar dibandingkan responden yang tinggal di daerah pesisir mudah. Proporsi responden laki-laki yang mengidap HIV positif juga lebih besar dibandingkan responden perempuan. Begitu pula proporsi pengidap HIV positif lebih besar merupakan responden suku Papua asli. Responden yang tidak/kurang tahu mengenai HIV pun menunjukkan proporsi mengidap HIV positif yang lebih besar. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai HIV memang sangat penting untuk dimiliki setiap masyarakat. Gambar 1 memperlihatkan sebaran penghasilan per bulan pada kelas responden negatif HIV dan kelas responden positif HIV. Dari gambar tersebut terlihat bahwa rata-rata penghasilan per bulan tidak jauh berbeda antara kelas responden negatif HIV dan kelas responden positif HIV yaitu berkisar Rp per bulan. Panjang kotak boxplot untuk kedua kelas juga tidak begitu berbeda terlihat lebih jelas pada boxplot skala logaritmik sesuai Gambar 1(b) dengan mengubah penghasilan Rp 0 menjadi Rp Hal ini menunjukkan bahwa 50% penghasilan responden yang berada di tengah sama untuk kedua kelas yaitu dengan nilai kuartil 1 adalah Rp 0 dan kuartil 3 adalah Rp

26 14 (a) skala linier (b) skala logaritmik Gambar 1 Boxplot penghasilan per bulan (ribu) berdasarkan hasil tes HIV Namun, perbedaan kedua boxplot Gambar 1 sangat terlihat pada banyaknya penghasilan per bulan yang dianggap sebagai pencilan. Kelas responden negatif HIV memiliki banyak sekali amatan pencilan sejalan dengan banyaknya amatan pada kelas ini yang mencapai 6069 amatan. Nilai penghasilan per bulan tertinggi pada kelas responden negatif HIV yaitu Rp Sebaliknya, pada kelas responden positif HIV amatan yang dianggap pencilan tidak terlalu banyak karena jumlah amatan pada kelas ini tergolong sedikit yaitu hanya 148 amatan. Nilai penghasilan per bulan tertinggi untuk kelas responden positif HIV ini hanya sebesar Rp Jadi, jika diperhatikan secara sekilas, responden dengan penghasilan lebih dari Rp per bulan dapat dikatakan bahwa responden tersebut adalah responden negatif HIV. Gambar 2(a) menunjukkan boxplot lama sekolah untuk kelas responden negatif HIV dan kelas responden positif HIV. Jika dilihat dari dua boxplot Gambar 2(a) dapat diketahui bahwa karakteristik lama sekolah untuk kedua kelas tidak jauh berbeda. Hal ini terlihat dari panjang kotak boxplot dan panjang garis whisker yang tidak berbeda jauh untuk kedua kelas. Namun, terlihat bahwa median kelas responden negatif HIV lebih besar dibandingkan median kelas responden positif HIV. Gambar 2(a) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin orang tersebut terhindar dari risiko HIV. Gambar 2(b) juga menunjukkan dua boxplot yang tidak berbeda jauh. Nilai minimum dan nilai maksimum untuk kedua boxplot sama yaitu 15 tahun dan 49 tahun sesuai dengan syarat usia responden survei yang telah ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV tidak memandang usia, baik muda maupun tua. Median dari kedua boxplot Gambar 2(b) juga menunjukkan nilai yang sama yaitu 29 tahun. Namun, terlihat bahwa panjang kotak boxplot untuk kelas responden negatif HIV lebih sempit dibanding boxplot kelas responden positif HIV. Hal ini menunjukkan bahwa usia responden positif HIV lebih beragam dibanding usia responden negatif HIV. Artinya HIV dapat menyerang siapa saja tanpa melihat usianya.

27 15 (a) Lama sekolah (b) Usia Gambar 2 Boxplot lama sekolah dan usia Penanganan Kelas Data Tidak Seimbang Ketidakseimbangan kelas pada data STHP-06 diperlihatkan dengan tidak sebandingnya persentase antara jumlah responden yang dinyatakan positif HIV dan jumlah responden yang dinyatakan negatif HIV. Pada Tabel 3 diperlihatkan bahwa terjadi ketidakseimbangan kelas data yaitu hanya sebesar 2.38% responden survei yang dinyatakan positif HIV sedangkan sisanya sebanyak 97.62% dinyatakan negatif HIV. Hal ini akan menimbulkan masalah ketika dilakukan analisis klasifikasi yaitu kecilnya nilai ketepatan klasifikasi untuk kelas responden positif HIV. Selanjutnya kelas responden positif HIV disebut kelas minoritas yang menjadi pusat perhatian dari penelitian ini, sedangkan kelas responden negatif HIV disebut kelas mayoritas. Pada penelitian ini data dibagi terlebih dahulu menjadi dua bagian yaitu 80% data latih dan 20% data uji dengan komposisi proporsi kelas yang relatif sama dengan data asli. Tabel 5 Komposisi pembagian data Kelas Data latih Data uji Minoritas 118 (2.37%) 30 (2.41%) Mayoritas 4855 (97.63%) 1214 (97.59%) Total 4973 (100.00%) 1244 (100.00%) Tahap selanjutnya yaitu melakukan pengklasifikasian data latih menggunakan Pohon Klasifikasi C5.0 untuk melihat kinerja klasifikasi pada kondisi kelas data tidak seimbang. Kinerja klasifikasi dilihat dengan membandingkan hasil prediksi pohon klasifikasi yang dihasilkan dengan data aktual pada data uji. Berikut kinerja klasifikasi Pohon Klasifikasi C5.0 sebelum dilakukan penanganan terhadap kelas data tidak seimbang.

28 16 Tabel 6 Kinerja klasifikasi tanpa penanganan kelas data tidak seimbang Kinerja klasifikasi Nilai Akurasi Sensitivitas Spesifisitas Tabel 6 menunjukkan kinerja klasifikasi Pohon Klasifikasi C5.0 pada data uji tanpa dilakukannya penanganan terhadap kelas data tidak seimbang. Terlihat bahwa akurasi dari Pohon Klasifikasi tersebut sangat tinggi yaitu artinya kesalahan klasifikasinya hanya sebesar Namun, jika dilihat lebih dalam yaitu pada nilai sensitivitas menunjukkan nilai yang sangat kecil yaitu 0 yang berarti tidak ada satupun amatan kelas minoritas yang berhasil diklasifikasikan secara benar. Jika diterapkan pada kasus maka tidak ada satupun responden positif HIV yang diklasifikasikan ke dalam kelas positif HIV. Hal inilah yang cukup berbahaya dalam pengambilan keputusan ke depannya. Walaupun di sisi lain spesifisitas bernilai sempurna yaitu 1 tetapi pusat perhatian pada penelitian ini adalah kelas minoritas sehingga diperlukan penanganan terhadap kelas data tidak seimbang agar kinerja klasifikasi yang dihasilkan lebih baik. Penanganan terhadap kelas data tidak seimbang pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa modifikasi metode Synthetic Minority Oversampling Technique (SMOTE) pada data latih dengan tujuan memperoleh model klasifikasi dengan kinerja terbaik. Metode pertama yang digunakan adalah SMOTE sesuai dengan Chawla et al. (2002). Pada metode ini akan dilakukan pembangkitan amatan kelas minoritas buatan (oversampling) dengan konsep t-tetangga terdekat dan juga akan dilakukan penarikan contoh secara acak amatan kelas mayoritas (undersampling). Penelitian ini menggunakan persentase oversampling sebesar 200% yang berarti pada setiap amatan kelas minoritas akan dibangkitkan dua amatan kelas minoritas buatan sehingga hasil akhir SMOTE ini memiliki tiga kali jumlah amatan kelas minoritas awal. Persentase oversampling sebesar 200% ini dipilih karena berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa semakin banyak amatan buatan yang dibangkitkan maka semakin kecil nilai sensitivitasnya sehingga dipilih persentase oversampling yang tidak terlalu besar. Sedangkan persentase undersampling yang digunakan adalah sebesar 150% dengan tujuan agar terjadi keseimbangan antara jumlah amatan kelas minoritas dan jumlah amatan kelas mayoritas. Semakin besar persentase undersampling akan menurunkan nilai sensitivitas yang dihasilkan pada data ini. Persentase undersampling sebesar 150% artinya amatan kelas mayoritas akan diambil secara acak sebanyak 1.5 kali dari banyaknya kelas minoritas yang dibangkitkan. Ukuran t untuk pembangkitan amatan kelas minoritas dengan konsep t-tetangga terdekat yang digunakan adalah t = 1 karena dikhawatirkan posisi amatan kelas minoritas sangat berbeda jauh satu sama lain sehingga hanya dipilih satu tetangga terdekat dalam membangkitkan amatan buatan dengan harapan amatan buatan tersebut memiliki karakteristik yang tidak berbeda jauh dari amatan acuannya.

29 17 Tabel 7 Komposisi data hasil SMOTE Kelas Data latih Data hasil SMOTE Minoritas 118 (2.37%) 354 (50%) Mayoritas 4855 (97.63%) 354 (50%) Total 4973 (100.00%) 708 (100%) Terlihat dari Tabel 7 bahwa setelah dilakukan SMOTE kondisi kelas data sudah seimbang yaitu dengan proporsi kelas minoritas 50% dan kelas mayoritas 50%. Metode penanganan kelas data tidak seimbang yang dilakukan selanjutnya adalah metode modifikasi dari SMOTE yaitu Synthetics Minority Oversampling and Undersampling Technique (SMOUTE) yang diajukan oleh Songwattanasiri dan Sinapiromsaran (2010). Perbedaan utama metode ini adalah pada tahap awal undersampling kelas mayoritas. Undersampling pada SMOUTE diawali dengan pengelompokan kelas mayoritas terlebih dahulu melalui algoritme k-rataan. Setelah kelas mayoritas dikelompokkan ke dalam k kelompok, undersampling dilakukan secara acak di masing-masing kelompok serupa dengan undersampling pada SMOTE. Persentase oversampling dan undersampling yang digunakan pada metode ini sama dengan yang digunakan pada metode SMOTE sebelumnya yaitu masing-masing 200% dan 150%. Sedangkan nilai k untuk algoritme k-rataan yang digunakan adalah k = 4 karena berdasarkan percobaan yang telah dilakukan k = 4 cenderung menghasilkan kinerja klasifikasi yang lebih baik untuk data STHP-06 ini. Tabel 8 Komposisi data hasil SMOUTE Kelas Data latih Data hasil SMOUTE Minoritas 118 (2.37%) 354 (50%) Mayoritas 4855 (97.63%) 354 (50%) Total 4973 (100.00%) 708 (100%) Metode SMOUTE ini kemudian dilakukan modifikasi pada bagian oversampling kelas minoritasnya. Bagian oversampling sesuai dengan oversampling yang dilakukan pada metode SMOTE tetapi oversampling ini dilakukan dalam dua tahap untuk menghasilkan komposisi akhir data yang sama dengan Tabel 7 dan Tabel 8. Ide dasar metode SMOUTE dua tahap ini adalah adanya dugaan bahwa amatan buatan yang dibangkitkan akan berbeda jika dibangkitkan dari gabungan amatan minoritas asli dan amatan minoritas buatan hasil oversampling tahap pertama dibandingkan dengan amatan buatan hasil pembangkitan oversampling satu tahap. Berikut ilustrasinya sesuai Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil amatan minoritas buatan yang dibangkitkan antara oversampling satu tahap dan oversampling dua tahap. Terlihat bahwa oversampling satu tahap dengan t = 1 untuk konsep t- tetangga terdekat akan membangkitkan amatan buatan selalu berada pada garis antara dua amatan kelas minoritas asli karena perbedaan hasil pembangkitan hanya berasal dari nilai acak yang digunakan. Sedangkan pada oversampling dua

30 18 tahap, amatan kelas minoritas buatan dapat terbentuk di luar garis lurus antara dua amatan minoritas asli karena pembangkitan amatan buatan pada tahap kedua telah menyertakan amatan minoritas buatan oversampling tahap satu sebagai amatan minoritas asli. Asli Sintetis Asli Sintetis1 Sintetis2 (a) Oversampling 1 Tahap (b) Oversampling 2 Tahap (b) Gambar 3 Perbandingan oversampling 1 tahap dan 2 tahap Pada tahap pertama dilakukan oversampling kelas minoritas dengan persentase 100% dan tahap kedua dilakukan oversampling kembali dengan persentase 50%. Setelah tahap kedua selesai akan diperoleh jumlah amatan kelas minoritas sesuai dengan Tabel 7 dan Tabel 8. Selanjutnya undersampling kelas mayoritas dilakukan serupa dengan undersampling pada metode SMOUTE sebelumnya. Berikut komposisi data hasil SMOUTE dua tahap sesuai Tabel 9. Tabel 9 Komposisi data hasil SMOUTE 2 tahap Data hasil SMOUTE Kelas Data latih Tahap 1 Tahap 2 Minoritas 118 (2.37%) 236 (4.64%) 354 (50%) Mayoritas 4855 (97.63%) 4855 (95.36%) 354 (50%) Tabel 9 menunjukkan komposisi data yang seimbang antara kelas minoritas dan kelas mayoritas setelah diterapkannya metode SMOUTE dua tahap dengan komposisi yang sama seperti dua metode sebelumnya. Dari ketiga metode penanganan terhadap kelas data tidak seimbang yang telah disebutkan, selanjutnya akan ditentukan metode penanganan yang menghasilkan model klasifikasi terbaik.

31 19 Pemilihan Metode Penanganan Terbaik Setelah dilakukan praproses yaitu penanganan terhadap kelas data tidak seimbang dan dilakukan kembali pengklasifikasian dengan Pohon Klasifikasi C5.0, diperoleh tiga rataan kinerja klasifikasi untuk ketiga metode penanganan kelas data tidak seimbang. Kinerja klasifikasi dihitung dengan membandingkan nilai peubah respon hasil prediksi dan peubah respon aktual dari data uji. Kinerja klasifikasi yang dibandingkan yaitu meliputi akurasi, sensitivitas, spesifisitas, dan nilai AUC dari ROC. Pengklasifikasian dengan Pohon Klasifikasi C5.0 dilakukan dengan ulangan sebanyak 500 kali pada masing-masing metode penanganan kelas tidak seimbang sehingga diperoleh sebaran kinerja klasifikasi untuk ketiga metode penanganan sesuai Gambar 4. Gambar 4(a) menunjukkan bahwa secara umum sebaran nilai akurasi untuk ketiga model klasifikasi hasil penanganan tidak berbeda jauh. Panjang kotak ketiga boxplot tersebut juga relatif sama. Namun, jika dilihat lebih detil maka diketahui bahwa posisi kotak boxplot dengan metode penanganan SMOUTE dua tahap relatif lebih tinggi dibandingkan kedua boxplot lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa 50% nilai akurasi yang berada di bagian tengah data pada metode SMOUTE dua tahap ini cenderung lebih baik walaupun masih terjadinya tumpang tindih (overlapping) dengan kedua boxplot lainnya. Nilai mimimum akurasi terjadi pada model klasifikasi dengan metode penanganan SMOTE yaitu sebesar sedangkan nilai maksimum akurasi terdapat pada model klasifikasi dengan metode penanganan SMOUTE dua tahap dengan nilai sebesar Boxplot pada Gambar 4(b) menunjukkan sebaran nilai sensitivitas model untuk ketiga metode penanganan. Dari Gambar 4(b) terlihat bahwa ketiga boxplot memiliki panjang kotak yang persis sama yaitu dengan nilai kuartil 1 sebesar , kuartil 2 (median) sebesar , dan kuartil 3 sebesar Hal ini berarti ketiga metode menghasilkan nilai sensitivitas yang tidak berbeda pada 50% data yang berada di bagian tengah data. Hal ini juga menunjukkan bahwa ketiga metode penanganan kelas tidak seimbang menghasilkan nilai sensitivitas yang relatif sama. Nilai sensitivitas minimum terdapat pada metode penanganan SMOTE yaitu sebesar sedangkan nilai tertinggi terdapat pada metode penanganan SMOUTE yaitu sebesar Serupa dengan Gambar 4(a), Gambar 4(c) menunjukkan sebaran nilai spesifisitas pada ketiga metode penanganan yang tidak berbeda jauh dilihat dari tinggi kotak boxplot yang relatif sama untuk ketiga metode. Namun, pada Gambar 4(c) terlihat bahwa posisi kotak boxplot dengan metode penanganan SMOUTE dua tahap relatif lebih tinggi dibandingkan kedua boxplot lainnya walaupun masih adanya tumpang tindih nilai dengan kedua boxplot lainnya. Posisi kotak boxplot yang lebih tinggi ini menunjukkan bahwa 50% nilai spesifisitas yang berada di bagian tengah data lebih baik pada metode penanganan SMOUTE dua tahap ini. Nilai minimum spesifisitas sebesar terjadi pada metode penanganan SMOTE sedangkan nilai maksimum spesifisitas sebesar terjadi pada metode penanganan SMOUTE dua tahap. Gambar 4(d) menunjukkan panjang kotak boxplot yang relatif sama untuk ketiga metode penanganan. Artinya sebaran 50% data AUC yang berada di bagian tengah data relatif sama untuk ketiga metode penanganan tersebut. Nilai minimum AUC sebesar dihasilkan oleh metode penanganan SMOTE sedangkan nilai

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

Penghitungan k-nn pada Adaptive Synthetic-Nominal (ADASYN-N) dan Adaptive Synthetic-kNN (ADASYN-kNN) untuk Data Nominal- Multi Kategori

Penghitungan k-nn pada Adaptive Synthetic-Nominal (ADASYN-N) dan Adaptive Synthetic-kNN (ADASYN-kNN) untuk Data Nominal- Multi Kategori Penghitungan k-nn pada Adaptive Synthetic-Nominal (ADASYN-N) dan Adaptive Synthetic-kNN (ADASYN-kNN) untuk Data Nominal- Multi Kategori Abstrak 1 Sri Rahayu, 2 Teguh Bharata Adji & 3 Noor Akhmad Setiawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh serta

Lebih terperinci

PERBANDINGAN MULTIVARIATE ADAPTIVE REGRESSION SPLINE (MARS) DAN POHON KLASIFIKASI C5.0 PADA DATA TIDAK SEIMBANG (Studi Kasus: Pekerja Anak di Jakarta)

PERBANDINGAN MULTIVARIATE ADAPTIVE REGRESSION SPLINE (MARS) DAN POHON KLASIFIKASI C5.0 PADA DATA TIDAK SEIMBANG (Studi Kasus: Pekerja Anak di Jakarta) PERBANDINGAN MULTIVARIATE ADAPTIVE REGRESSION SPLINE (MARS) DAN POHON KLASIFIKASI C5.0 PADA DATA TIDAK SEIMBANG (Studi Kasus: Pekerja Anak di Jakarta) DIMAS ADIANGGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sindrom kekebalan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) yang dapat menyerang siapa saja tanpa memandang jenis kelamin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Insidensi infeksi HIV-AIDS secara global cenderung semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut merusak sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) dan ditandai dengan imunosupresi berat yang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEKNIK SAMPLING DALAM RANDOM FOREST PADA KELAS IMBALANCED

PERBANDINGAN TEKNIK SAMPLING DALAM RANDOM FOREST PADA KELAS IMBALANCED PERBANDINGAN TEKNIK SAMPLING DALAM RANDOM FOREST PADA KELAS IMBALANCED Studi Kasus Perilaku Seksual Remaja di Indonesia Hasil SDKI 2012 Yogo Aryo Jatmiko 1, Septiadi Padmadisastra 2, Anna Chadidjah 3 Prodi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE POHON KEPUTUSAN DENGAN ALGORITME ITERATIVE DYCHOTOMISER 3 (ID3) PADA DATA PRODUKSI JAGUNG DI PULAU JAWA

PENERAPAN METODE POHON KEPUTUSAN DENGAN ALGORITME ITERATIVE DYCHOTOMISER 3 (ID3) PADA DATA PRODUKSI JAGUNG DI PULAU JAWA PENERAPAN METODE POHON KEPUTUSAN DENGAN ALGORITME ITERATIVE DYCHOTOMISER 3 (ID3) PADA DATA PRODUKSI JAGUNG DI PULAU JAWA Yasinta Agustyani, Yuliana Susanti, dan Vika Yugi Program Studi Matematika Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006 Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006 Hasil STHP Tahun 2006 di Tanah Papua Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Infeksi yang diakibatkan oleh virus HIV ini dapat menyebabkan defisiensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency

BAB I PENDAHULUAN. Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syindrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di dunia. Di tingkat global,

Lebih terperinci

Survei Terpadu Biologi & Perilaku (STBP) di Populasi Umum di Tanah Papua Mei 2014

Survei Terpadu Biologi & Perilaku (STBP) di Populasi Umum di Tanah Papua Mei 2014 Survei Terpadu Biologi & Perilaku (STBP) di Populasi Umum di Tanah Papua 213 6 Mei 214 Tujuan Mengetahui prevalensi HIV di Tanah Papua dan membandingkannya dengan hasil STBP 26 Mengetahui prevalensi Sifilis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek kesehatan pada akhir abad ke-20 yang merupakan bencana bagi manusia adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PENGETAHUAN DAN PERSEPSI PENDERITA HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG MORAWA KABUPATEN DELI SERDANG TENTANG PENYAKIT AIDS DAN KLINIK VCT TERHADAP TINGKAT PEMANFAATAN

Lebih terperinci

Universitas Sebelas Maret Bidikmisi Applicant s Classification using C4.5 Algorithm

Universitas Sebelas Maret Bidikmisi Applicant s Classification using C4.5 Algorithm Universitas Sebelas Maret Bidikmisi Applicant s Classification using C4.5 Algorithm Muh. Safri Juliardi Program Studi Informatika Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta juliardi@student.uns.ac.id

Lebih terperinci

ii

ii KLASIFIKASI PENDAFTAR BEASISWA BIDIKMISI UNIVERSITAS SEBELAS MARET MENGGUNAKAN ALGORITMA C4.5 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Strata Satu Program Studi Informatika Disusun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit

Lebih terperinci

ISSN: Yogyakarta, 27 Juli 2017 CITEE 2017

ISSN: Yogyakarta, 27 Juli 2017 CITEE 2017 Analisis Perbandingan Metode Over-Sampling Adaptive Synthetic-Nominal (ADASYN-N) dan Adaptive Synthetic-kNN (ADSYN-kNN) untuk Data dengan Fitur Nominal-Multi Categories Sri Rahayu 1, Teguh Bharata Adji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan Rubonucleat Acid (RNA) yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia dan menyebabkan Aqciured

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tubuh manusia dan akan menyerang sel-sel yang bekerja sebagai sistem kekebalan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tubuh manusia dan akan menyerang sel-sel yang bekerja sebagai sistem kekebalan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV merupakan suatu virus yang dapat menyebabkan penurunan kekebalan tubuh pada manusia. Virus ini akan memasuki tubuh manusia dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Data Training Data training adalah data yang digunakan untuk pembelajaran pada proses data mining atau proses pembentukan pohon keputusan.pada penelitian ini

Lebih terperinci

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH HIV/AIDS Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH 1 Pokok Bahasan Definisi HIV/AIDS Tanda dan gejala HIV/AIDS Kasus HIV/AIDS di Indonesia Cara penularan HIV/AIDS Program penanggulangan HIV/AIDS Cara menghindari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Hal ini dilihat dari prevalensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir tahun 2010 diperkirakan 34 juta orang. Dua pertiganya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masih terdapat banyak penyakit di dunia yang belum dapat diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang sebelumnya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Decision Tree Definisi Decision tree adalah sebuah diagram alir yang berbentuk seperti struktur pohon yang mana setiap internal node menyatakan pengujian terhadap suatu atribut,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab penyakit yang di

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab penyakit yang di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab penyakit yang di kenal sebagai AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). AIDS merupakan penyakit yang sangat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Dasar Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya yaitu untuk mengklasifikasikan kelayakan kredit calon debitur

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang dapat merusak sistem pertahanan tubuh manusia. Sejalan dengan berkembangnya proses infeksi, mekanisme pertahanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini salah satu aspek kesehatan yang menjadi bencana bagi manusia adalah penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human Immunodeficiency Virus)

Lebih terperinci

2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV/AIDS DI KELAS XI SMA YADIKA CICALENGKA

2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV/AIDS DI KELAS XI SMA YADIKA CICALENGKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan Juni 2012, kasus HIV/AIDS tersebar di 378 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu pendekatan untuk meningkatkan kemauan (willingness) dan. meningkatkan kesehatannya (Notoatdmodjo, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. suatu pendekatan untuk meningkatkan kemauan (willingness) dan. meningkatkan kesehatannya (Notoatdmodjo, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan kesehatan yang dikenal dengan promosi kesehatan adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan kemauan (willingness) dan kemampuan (ability) masyarakat untuk

Lebih terperinci

PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI

PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

PENERAPAN SYNTHETIC MINORITY OVERSAMPLING TECHNIQUE (SMOTE) TERHADAP DATA TIDAK SEIMBANG PADA PEMBUATAN MODEL KOMPOSISI JAMU

PENERAPAN SYNTHETIC MINORITY OVERSAMPLING TECHNIQUE (SMOTE) TERHADAP DATA TIDAK SEIMBANG PADA PEMBUATAN MODEL KOMPOSISI JAMU Xplore, 2013, Vol. 1(1):e9(1-6) c 2013 Departemen Statistika FMIPA IPB PENERAPAN SYNTHETIC MINORITY OVERSAMPLING TECHNIQUE (SMOTE) TERHADAP DATA TIDAK SEIMBANG PADA PEMBUATAN MODEL KOMPOSISI JAMU Rossi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap siswa di dalam kelas memiliki karakteristik diri yang berbeda beda, seperti : jujur, empati, sopan, menghargai dan sebagainya. Karakteristik diri tersebut berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi menurut International Cooperation Populatiom and Development (ICPD) 1994 adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan AIDS sungguh mengejutkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun dan menghancurkannya (Kurniawati, 2007). Acquired

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun dan menghancurkannya (Kurniawati, 2007). Acquired BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya (Kurniawati,

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PELANGGAN DENGAN ALGORITME POHON KEPUTUSAN DAN PELUANG PELANGGAN YANG MERESPONS PENAWARAN DENGAN REGRESI LOGISTIK

KLASIFIKASI PELANGGAN DENGAN ALGORITME POHON KEPUTUSAN DAN PELUANG PELANGGAN YANG MERESPONS PENAWARAN DENGAN REGRESI LOGISTIK KLASIFIKASI PELANGGAN DENGAN ALGORITME POHON KEPUTUSAN DAN PELUANG PELANGGAN YANG MERESPONS PENAWARAN DENGAN REGRESI LOGISTIK YUANDRI TRISAPUTRA & OKTARINA SAFAR NIDA (SIAP 16) Pendahuluan Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

PENJABAT BUPATI SEMARANG AMANAT PENJABAT BUPATI SEMARANG SELAKU KETUA KPA KABUPATEN SEMARANG DALAM RANGKA PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA TAHUN 2015

PENJABAT BUPATI SEMARANG AMANAT PENJABAT BUPATI SEMARANG SELAKU KETUA KPA KABUPATEN SEMARANG DALAM RANGKA PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA TAHUN 2015 PENJABAT BUPATI SEMARANG AMANAT PENJABAT BUPATI SEMARANG SELAKU KETUA KPA KABUPATEN SEMARANG DALAM RANGKA PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA TAHUN 2015 TANGGAL 1 DESEMBER 2015 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sentimen dari pengguna aplikasi android yang memberikan komentarnya pada fasilitas user review

Lebih terperinci

PENJABAT BUPATI SEMARANG AMANAT PENJABAT BUPATI SEMARANG SELAKU KETUA KPA KABUPATEN SEMARANG DALAM RANGKA PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA TAHUN 2015

PENJABAT BUPATI SEMARANG AMANAT PENJABAT BUPATI SEMARANG SELAKU KETUA KPA KABUPATEN SEMARANG DALAM RANGKA PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA TAHUN 2015 1 PENJABAT BUPATI SEMARANG AMANAT PENJABAT BUPATI SEMARANG SELAKU KETUA KPA KABUPATEN SEMARANG DALAM RANGKA PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA TAHUN 2015 TANGGAL 1 DESEMBER 2015 HUMAS DAN PROTOKOL SETDA KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan penyakit yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi HIV adalah melalui kontak seksual;

Lebih terperinci

KLASIFIKASI NASABAH ASURANSI JIWA MENGGUNAKAN ALGORITMA NAIVE BAYES BERBASIS BACKWARD ELIMINATION

KLASIFIKASI NASABAH ASURANSI JIWA MENGGUNAKAN ALGORITMA NAIVE BAYES BERBASIS BACKWARD ELIMINATION KLASIFIKASI NASABAH ASURANSI JIWA MENGGUNAKAN ALGORITMA NAIVE BAYES BERBASIS BACKWARD ELIMINATION Betrisandi betris.sin@gmail.com Universitas Ichsan Gorontalo Abstrak Pendapatan untuk perusahaan asuransi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga pengidap akan rentan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV merupakan famili retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia terutama limfosit (sel darah putih) dan penyakit AIDS adalah penyakit yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan jumlah kasus Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan jumlah kasus Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menurunkan kemampuan sistem imun ((Morgan dan Carole, 2009). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ALGORITME C4.5 DAN CART PADA DATA TIDAK SEIMBANG UNTUK KASUS PREDIKSI RISIKO KREDIT DEBITUR KARTU KREDIT DHIETA ANGGRAINI

PERBANDINGAN ALGORITME C4.5 DAN CART PADA DATA TIDAK SEIMBANG UNTUK KASUS PREDIKSI RISIKO KREDIT DEBITUR KARTU KREDIT DHIETA ANGGRAINI PERBANDINGAN ALGORITME C4.5 DAN CART PADA DATA TIDAK SEIMBANG UNTUK KASUS PREDIKSI RISIKO KREDIT DEBITUR KARTU KREDIT DHIETA ANGGRAINI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah Indonesia, berbeda dengan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar penduduknya berusia 10-24 tahun dan 90% diantaranya tinggal di negara berkembang (PBB, 2013). Hasil Sensus Penduduk tahun 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami pubertas dan mulai mencari jati diri mereka ingin menempuh jalan sendiri dan diperlakukan secara khusus. Disinilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Menyadarkan para wanita tuna susila tentang bahaya HIV/AIDS itu perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Hal ini penting karena para wanita tuna susila itu dapat

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) semakin meningkat dan

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN ANGKATAN 2010 TENTANG PERANAN KONDOM TERHADAP PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS Oleh: VINCENT 100100246 FAKULTAS KEDOKTERAN MEDAN 2013 ii TINGKAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi HIV&AIDS di Indonesia sudah berlangsung selama 15 tahun dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang memudahkan penularan virus penyakit

Lebih terperinci

Seminar Tugas Akhir. Analisis Klasifikasi Kesejahteraan Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur dengan Pendekatan CART ARCING. Surabaya, Juli 2011

Seminar Tugas Akhir. Analisis Klasifikasi Kesejahteraan Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur dengan Pendekatan CART ARCING. Surabaya, Juli 2011 Surabaya, Juli 2011 Seminar Tugas Akhir Analisis Klasifikasi Kesejahteraan Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur dengan Pendekatan CART ARCING Ibrahim Widyandono 1307 100 001 Pembimbing : Dr. Bambang Widjanarko

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Rohmaniah (2017) menganalisis model ambang hujan untuk peringatan dini pergerakan tanah di wilayah Indonesia menggunakan data curah hujan harian berbasis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome). Virus. ibu kepada janin yang dikandungnya. HIV bersifat carrier dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome). Virus. ibu kepada janin yang dikandungnya. HIV bersifat carrier dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sebuah retrovirus yang dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome). Virus ini ditularkan melalui kontak darah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya pembangunan fisik dan pertambahan penduduk di suatu kota dan perubahan sosial budaya yang tidak sesuai dan selaras, menimbulkan berbagai masalah antara

Lebih terperinci

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657X Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Siswa SMA Negeri 1 Bandung terhadap Penularan dan Pencegahan HIV/AIDS Tahun 2016 Relationship Between Knowledge

Lebih terperinci

2015 INTERAKSI SOSIAL ORANG D ENGAN HIV/AID S (OD HA) D ALAM PEMUD ARAN STIGMA

2015 INTERAKSI SOSIAL ORANG D ENGAN HIV/AID S (OD HA) D ALAM PEMUD ARAN STIGMA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya tidak akan terlepas dari sebuah interaksi. Interaksi yang berlangsung dapat mendorong para pelaku untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang mudah menular dan mematikan.

Lebih terperinci

METODE KLASIFIKASI DATA MINING DAN TEKNIK SAMPLING SMOTE MENANGANI CLASS IMBALANCE UNTUK SEGMENTASI CUSTOMER PADA INDUSTRI PERBANKAN

METODE KLASIFIKASI DATA MINING DAN TEKNIK SAMPLING SMOTE MENANGANI CLASS IMBALANCE UNTUK SEGMENTASI CUSTOMER PADA INDUSTRI PERBANKAN Metode Klasifikasi Data Mining dan Teknik Sampling Smote... METODE KLASIFIKASI DATA MINING DAN TEKNIK SAMPLING SMOTE MENANGANI CLASS IMBALANCE UNTUK SEGMENTASI CUSTOMER PADA INDUSTRI PERBANKAN Hairani

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Setiap tahapan di dalam penelitian ini akan ditunjukkan di dalam Tabel 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Setiap tahapan di dalam penelitian ini akan ditunjukkan di dalam Tabel 2. 6 tahap ini, pola yang telah ditemukan dipresentasikan ke pengguna dengan teknik visualisasi agar pengguna dapat memahaminya. Deskripsi aturan klasifikasi akan dipresentasikan dalam bentuk aturan logika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN SUMBER INFORMASI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA REMAJA KOMUNITAS ANAK JALANAN DI BANJARMASIN TAHUN 2016

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN SUMBER INFORMASI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA REMAJA KOMUNITAS ANAK JALANAN DI BANJARMASIN TAHUN 2016 HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN SUMBER INFORMASI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA REMAJA KOMUNITAS ANAK JALANAN DI BANJARMASIN TAHUN 2016 Noorhidayah 1, Asrinawaty 2, Perdana 3 1,2,3 Fakultas Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome,

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV/AIDS (Human Immuno deficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah yang mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMA TENTANG HIV/AIDS DI SMU NEGERI 1 WEDI KLATEN. Sri Handayani* ABSTRAK

PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMA TENTANG HIV/AIDS DI SMU NEGERI 1 WEDI KLATEN. Sri Handayani* ABSTRAK PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMA TENTANG HIV/AIDS DI SMU NEGERI 1 WEDI KLATEN Sri Handayani* ABSTRAK HIV/AIDS menduduki peringkat pertama di Indonesia terutama di Propinsi DKI Jakarta. Kasus HIV/AIDS sebagian

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci