BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pemerintahan daerah diatur dalam bab tersendiri yaitu dalam Bab VI dengan judul Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, ketentuan mengenai hal itu termaktub dalam Pasal dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 pada Pasal 131 dan 132. Bahkan sejak sebelum kemerdekaan, sudah banyak pula peraturan yang dibuat untuk mengatur mengenai persoalan pemerintahan di daerah dan persoalan yang berkaitan dengan soal desentralisasi. 1 1 C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Cetakan ke III, (Jakarta: Rineke Cipta, 1991), hlm. 3. Sejak tahun 1903 sampai dengan sekarang, dapat dikemukakan berbagai peraturan seperti di bawah ini, yaitu : a. Decentralisatie Wet Tahun 1903; b. BestuurS H.ervorming Tahun 1922; c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945; d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah; e. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah-Daerah Indonesia Timur; f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; g. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah; h. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960; i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; j. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; k. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa; l. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun 1999 dan tahun 2000; m. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya; n. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya; o. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah hingga sekarang.

2 Salah satu pilihan kebijakan yang terkandung dalam berbagai peraturan mengenai pemerintahan daerah adalah kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah yang sejak dulu dianggap sebagai suatu yang niscaya. Penyelenggaraan desentralisasi itu sendiri dalam sejarah Indonesia bahkan telah berlangsung jauh sebelum Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juni Awalnya desentralisasi diatur dalam Regering Reglement (RR) 3 yang ditetapkan pada tahun Regering Reglement ini kemudian diganti dengan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands- Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS) tahun Setelah kemerdekaan, desentralisasi sebagai prinsip penyelenggaraan negara tercantum dalam berbagai ketentuan dasar, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945, Pasal UUD RIS Tahun 1949, dan Pasal 131 serta Pasal 132 UUDS Tahun Penjabarannya dituangkan dalam berbagai ketentuan undang-undang tentang pemerintahan daerah beserta peraturanperaturan pelaksanaannya sesuai dengan amanat undang-undang dasar. Perubahan yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah dipisahkannya secara tegas antara institusi kepala daerah/wakil kepala daerah dengan DPRD. Jika dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 diatur bahwa yang disebut pemerintah daerah adalah Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan DPRD sehingga DPRD dianggap sebagai lembaga eksekutif maka di dalam 2 G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Timun Mas NV, 1955), hlm Regering Reglement sebutan lazim dari Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie, Stbl No. 129 yang ditetapkan tanggal 2 September 1854.

3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak demikian halnya. Undang-undang itu secara tegas menyebutkan bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah yang terdiri dari kepala daerah/wakil kepala daerah beserta perangkat daerah. 4 Pemisahan secara tegas kedua institusi itu menandai dimulainya sistem pemerintahan daerah baru yang dipandang lebih demokratis terutama dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi kedudukan DPRD yang sejajar dan menjadi mitra pemerintahan daerah tetapi pada kenyataannya posisi DPRD sangat kuat karena mengawasi, menilai dan meminta pertanggungjawaban pemerintah daerah. Tugas dan wewenang DPRD sebagaimana diatur dalam Undnag-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah terpisah jelas dalam pemerintah daerah sehingga DPRD diharapkan dapat membawa aspirasi masyarakat dan memperjuangkan tuntutan dan kepentingan masyarakat. Peran yang selama ini tunduk pada dominasi pihak eksekutif berubah menjadi pihak yang mengawasi pemerintah daerah. 5 Kemudian kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk 4 Mirza Nasution, Perubahan Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, hlm Ibid., hlm. 21.

4 pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari rulling government yang terus bergerak menuju good governance dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil. 6 Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD) agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik. DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan-aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk memeras eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat justru melakukan tindakantindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu terjadinya korupsi secara kolektif oleh elite politik terutama anggota DPRD ini. 7 6 H.A. Kartiwa, Good Local Governance: Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel, (Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2006), hlm Ibid., hlm. 2.

5 Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip Check and Balances artinya adanya keseimbangan serta merta adanya pengawasan terus menerus terhadap kewenangan yang diberikannya. Dengan demikian anggota DPRD dapat dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut. Mekanisme Check and Balances memberikan peluang eksekutif untuk mengontrol legislatif. Walaupun harus diakui oleh DPRD (Legislatif) memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak memiliki akuntabilitas politik karena berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum yang dijalankan. Untuk itu kedepan perlu kiranya Kepala Daerah mempunyai keberanian untuk menolak suatu usulan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, misalnya kenaikan gaji yang tidak masuk masuk akal, permintaan tunjangan yang berlebihan, dan membebani anggaran daerah untuk kegiatan yang kurang penting. Mekanisme Check and Balances ini dapat meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat. 8 Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan perangkatperangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah sehari-hari. Sebagaimana hanya di pusat negara, perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pusat 8 Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain. Lihat, Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 227.

6 negara. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pusat negara di daerah dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara umum peran ini diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu 9 : 1. Regulator Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang termasuk urusanurusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan-urusan pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (tugas pembantuan); 2. Policy Making Merumuskan kebijakan pembangunan dan perencanaan programprogram pembangunan di daerahnya; 3. Budgeting Perencanaan angaran daerah (APBD). Kemudian dalam perannya sebagai badan perwakilan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melakukan kontrol efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Peran ini diwujudkan dalam fungsi-fungsi berikut 10 : 1. Representation Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD senantiasa berbicara atas nama rakyat ; 2. Advocation Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang sangat kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung banyak kepentingan atau tuntutan yang terkadang 9 H.A. Kartiwa, Good Local Governance, Ibid., hlm Ibid., hlm. 6.

7 berbenturan satu sama lain. Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari berbagai kepentingan tersebut. 3. Administrative Oversight Menilai atau menguji dan bila perlu berusaha mengubah tindakantindakan dari badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap lepas tangan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh masyarakat. Dalam kasus seperti ini, DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa : Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat 4 disebutkan bahwa : DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kemudian fungsi DPRD Kabupaten/Kota terdapat pada Pasal 41 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi : DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi 12 : 1. legislasi; 11 Lihat Agung Djojosoekarto, Dinamika Dan Kapasitas DPRD Dalam Tata Pemerintahan Demokratis, (Jakarta: Konrad Adeneur Stifrung, 2004), hlm Lihat Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lihat juga Bivitri Susanti, Binziad Kadafi dan Reny Rawasita Pasaribu, Struktur DPR Yang Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan, Jakarta, 2005, hlm. 5. Lihat juga dalam

8 2. anggaran; 3. pengawasan. Dalam penjelasan disebutkan lebih lanjut bahwa : Huruf a. yang dimaksud dengan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk membentuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota. Huruf b. yang dimaksud dengan fungsi anggaran adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota. Huruf c. yang dimaksud dengan fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan bupati/walikota serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan fungsi legislasi di atas, dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa peraturan daerah dan peraturan kepala daerah diartikan, yakni : Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah artinya prakarsa dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang tealah mencakup keuangan DPRD untuk dibahas bersama DPRD. Penguatan peran DPRD, baik dalam legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah sangat perlu dilakukan sebagaimana diperlihatkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menetapkan level DPRD sejajar dengan

9 pemerintah daerah bukan sebagai again atau subordinasi lembaga eksekutif sebagaimana ditampilkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sebelumnya. 13 Penguatan peran DPRD tersebut adalah suatu hal yang harus didukung dalam penataan ilmu pemerintahan masa kini sebagaimana upaya dalam menghindari sistem pemerintahan yang memberi tekanan kekuasaan. Kemudian dalam pelaksanaan fungsi legislasi pada DPRD dan dikaitkan dengan hubungannya dengan Pemerintah Daerah tentang pembuatan Perda sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (selanjutnya ditulis Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan 13 Majalah Ondihon, Volume 1 Nomor 2, Mei 2001, hlm. 14.

10 Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Perda hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif. 14 Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda. Dalam hal ajaran rumah tangga daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, bahkan dalam penjelasannya dikenal juga istilah urusan yang sifatnya concurrent. Pengelompokan urusan-urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun Konsekuensinya dari hal tersebut daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah 14 Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa Perda dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu Menteri Dalam Negeri bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, dan Gubernur Kepala Daerah bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974). Sedangkan pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Pengawasan ini berwujud penangguhan atau pembatalan Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 71).

11 menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat atau dengan kata lain disebut otonomi luas. 15 Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah pelaksanaannya diatur oleh Perda. Hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar. Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik. 16 Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. 17 Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang 15 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002), hlm Rudy Hendra Pakpahan, Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif, Tesis Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm

12 dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Apapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. 18 Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa : Pasal 136 Ayat (1) : Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Ayat (2) : Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Ayat (3) : Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Ayat (4) : Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 18 Ibid.

13 Menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal: 1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah. 3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan Daerah. 5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah. Sementara itu bila dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam hal pengawasan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah ada pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan pengawasan yakni 19 : 1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. 2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu), yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. 19 Untuk lebih jelas lihat dalam bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

14 Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku. Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 145 Ayat (1), yang menyatakan: Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Selanjutnya di dalam Ayat (2) disebutkan bahwa : Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Ketentuan Pasal 145 Ayat (2) tersebut di atas dapat menjadi masalah tersendiri bagi daerah, karena bisa saja pemerintah membatalkan Perda yang telah ditetapkan dan diberlakukan kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah harus berhati-hati dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan masyarakat banyak di daerahnya, sehingga Perda yang telah disahkan Pemerintah Daerah tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Selain itu akibat dari pengawasan pemerintah terhadap Perda sudah tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum yang mesti dipatuhi oleh daerah.

15 Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahanpermasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Kedudukan Hukum Eksekutif Daerah dan Legislatif Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia? 2. Bagaimanakah kedudukan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda? 3. Apa akibat hukum dari hubungan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia. 2. Untuk mengetahui kedudukan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda. 3. Untuk mengetahui akibat hukum dari hubungan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda.

16 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu : 1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan dengan kedudukan hukum eksekutif daerah (Pemerintah Daerah) dan legislatif daerah (DPRD) dalam pembuatan Peraturan Daerah. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah (executive daerah) maupun DPRD (legislative daerah) dalam hal kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam hal pembuatan Peraturan Daerah yang baik. E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas kedudukan hukum hubungan eksekutif dan legislatif daerah tentang pembuatan Peraturan Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah adalah dengan menggunakan pendekatan teori negara berdasar atas hukum (Rechtsstaat) sebagai grand theory yang didukung oleh midle theory Trias Politica untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai applied theory-nya.

17 Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrast) dengan konsep rule of man. 20 Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechtstaat) 21 ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. 22 Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental. 23 Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut. 24 Misalnya perkembangan dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris, raja pernah berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan negara (law-giver, the executor of the law, and the judge) dalam satu tangan. 25 Karena itu, sejarah 20 Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, (United Kingdom: Cambridge Univesity Press, 2004), hlm Disini tidak dibedakan antara konsep rule of law dan konsep rechtstaat. Untuk menelusuri perbedaan kedua konsep itu dapat dibaca, misalnya dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Lihat juga, Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 1-16, Lihat juga, Marjanne Termorshuizen Artz, The Concept of Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta. 22 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006), hlm Ni matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm Ibid., hlm. 74.

18 pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan kedalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut). 26 Berhubung dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik membagi kekuasaan secara vertikal dan horizontal. 27 Secara vertikal, kekuasaan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan antar tingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif. 28 Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali diungkapkan oleh John Locke dalam buku Two Treaties of Civil Government. Dalam buku tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. 29 Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam karyanya L Espirit des Lois (The 26 Mohd. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rieneke Cipta, 2001), hlm Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke-29, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm Ibid. 29 John Locke, Two Treaties of Civil Government, (London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960), hlm

19 Spirit of the Laws). Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undnag-undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya. 30 Konsepsi yang diajarkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica. Jika dibandingkan konsep pembagian kekuasaan Locke ( ) dan Montesquieu ( ), perbedaan mendasar pemikiran keduanya: Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif berdiri sendiri. 31 Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon. 32 Sementara pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktek ketatanegaraan Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga legislatif, yaitu House of Lord. Sedikit berbeda dengan Locke dan Montesquieu, van Vollenhoven membagi kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling; bestuur; rechtspraak; dan 30 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar.., Op.Cit., hlm Bandingkan dengan R. Kranenburg, Ilmu Negara, (Jakarta: Viva Studi, 1967), hlm Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Elsam, 1997), hlm Frans Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Model Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm

20 politie. Pembagian keempat kekuasaan negara itu kemudian dikenal dengan teori Catur Praja. 33 Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling adalah kekuasaan negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtspraak merupakan cabang kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi peradilan. Yang berbeda dengan teori Locke dan Montesquieu, Vollenhoven memunculkan politie sebagai cabang kekuasaan yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan bernegara. Kajian lebih jauh atas pendapat Locke, Montesquieu, Vollenhoven bukan pada perbedaan cabang kekuasaan negara tersebut. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa masalah ketatanegaraan semakin kompleks. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secara konvensional yang mengasumsikan hanya ada tiga cabang kekuasaan di suatu negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern. 34 Perkembangan hukum tata negara modern (modern constitutional theory) membuktikan, cabangcabang kekuasaan negara semakin berkembang dan pola hubungannya pun semakin complicated. 35 Kajian teoretis dalam cabang kekuasaan yang dikemukakan Locke, Montesquieu, dan Vollenhoven lebih kepada hubungan antarcabang kekuasaan tersebut, yaitu apakah masing-masing cabang kekuasaan negara tersebut terpisah 33 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm Denny Indrayana, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2, Juli-Desember, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hlm Bruce Akerman, The New Separation of Powers, The Harvard Law Review, Vol. 113.

21 antara cabang kekuasaan yang satu dengan lainnya, atau diantaranya masih punya hubungan untuk saling bekerja sama. Untuk melihat hubungan antara keduanya, dapat didalami dari teori pemisahan kekuasaan (separation of power), pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power), dan check and balances. Secara umum pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia dimaknai (separation of power) 36 dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu yang menyatakan, when the legislative and the executive powers are united in the same person, or in the some body of magistrate, there can be liberty. 37 Tidak terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang amat luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang dikutip dimaknai bahwa cabang-cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untuk membuktikan ketiga cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat yang 36 Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4 th edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm Ibid., hlm. 16.

22 mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktekkan secara murni 38 atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta, 39 tidak realistis dan jauh dari kenyataan. 40 Karena itu Jimly Asshiddiqie menyatakan 41 : Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieu jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kedua kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama yang lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances. Jika disimak secara cermat, Montesquieu tidak menyatakan bahwa antara cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya. Montesquieu lebih menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Namun secara umum dipahami, Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat di antara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja. Padahal, Montesquieu menghendaki agar fungsi satu cabang kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan negara yang lain. 38 Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 1998), hlm Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), hlm Jimly Asshidiqie, Perekembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm Ibid., hlm. 36.

23 Dengan banyaknya kritikan terhadap separation of power, teori Trias Politica dijelaskan dengan teori pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power). Teori ini digunakan oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik karena perkembangan praktik ketatanegaraan tidak mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Bahkan dalam pandangna John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian kekuasaan dengan separation of functions. 42 Pendapat Garvey dan Aleinikoff melihat bahwa dalam teori Trias Politica tidak mungkin memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak punya hubungan sama sekali. Setelah mendalami banyak literatur tentang pembatasan kekuasaan negara, Jimly Asshiddiqie menilai bahawa istilah-istilah separation of power, distribution of power/division of power sebenarnya mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Untuk menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan kawankawan yang menyatakan, the question whetherthe separation of power (i.e. the distribution of power of the various power of government among different organs). 43 Karena pendapat itu, Asshiddiqie mengatakan, Hood Phillips mengidentikkan kata separation of power dengan distribution of power. Oleh karena itu, kedua kata 42 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum..., Op.Cit., hlm Ibid.

24 tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya. 44 Tidak hanya itu, Peter L. Strauss cenderung mempersamakan distribution of power dengan check and balances. 45 Dalam tulisan The Place of Agencies in Government: Separation of Powrs and Fourth Branch Strauss menjelaskan : Unlike the separation of powers, the check and balances idea doesn t suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue. 46 Berdasarkan pendapat Peter L. Strauss tersebut check and balances dalam upaya menciptakan relasi konstitusional untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan 47 diantara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika dalam teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan lebih menggambarkan kejelasan posisi tiap cabang kekuasaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya, check and balances lebih menekankan kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antarcabang kekuasaan negara. Bagaimanapun, mekanisme check and balances hanya dapat dilaksanakan sepanjang punya pijakan konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara. 44 Ibid. 45 Ibid., hlm Ibid. 47 Bivitri Susanti, Hakim atau Legislator?, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006), hlm. 3.

25 Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the law- Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma dasar (grundnorm). 48 Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukumhukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia. 49 Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 48 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), hlm Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1993), hlm

26 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa. Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD. Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas 50 : 1. Norma Dasar (Fundamental Norms/Grundnorm/Basic Norm) 2. Norma Umum (General Norms) 3. Norma Konkret (Concrete Norms) Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara. 51 Hans Kelsen mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya regressus ini berhenti 50 Hans Kelsen, Op.Cit. 51 Ibid.

27 pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara presupposed, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. 52 Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. 53 Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah 54 : 1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945). 52 Ibid. 53 Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, (Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948), hlm Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.

28 2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. 3) Formell gesetz: Undang-Undang. 4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. 55 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. 56 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas Undang-undang yaitu 57 : 1. Undang-undang tidak berlaku surut 2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula 55 Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm Attamimi, Op Cit., hlm Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), hlm. 73.

29 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis) 4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriori derogat lex priori) 5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat 6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat) 7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya (Lex superiore derogat lex infiriore) Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas perundang-undangan yaitu 58 : 1. Asas tingkatan hirarkis 2. Undang-undang tak dapat diganggu gugat 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis) 4. Undang-undang tidak berlaku surut 5. Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat lex priori) 58 Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm. 43.

30 2. Konsepsi Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundangundangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data. 59 Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertianpengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. 60 Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini : 1. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara 59 Solly Lubis, Filsafat Ilmu Op.Cit., hlm Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 24.

31 Republik Indonesia Tahun Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu Pasal 1 Angka 2, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 53, TLN No yang diubah dengan diubah dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) 62 Pasal 1 Angka 3, Ibid. 63 Pasal 1 Angka 4, Ibid. 64 Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Op.Cit. 66 Pasal 1 Angka 8, Ibid.

KEDUDUKAN HUKUM KEPALA DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PEMBUATAN PERATURAN DAERAH MUHAMMAD ARJUNA AWAL PUTRA / D

KEDUDUKAN HUKUM KEPALA DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PEMBUATAN PERATURAN DAERAH MUHAMMAD ARJUNA AWAL PUTRA / D KEDUDUKAN HUKUM KEPALA DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PEMBUATAN PERATURAN DAERAH MUHAMMAD ARJUNA AWAL PUTRA / D 101 09 035 Abstrak Salah satu pilihan kebijakan yang terkandung dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. A. Gunawan Setiardja, Dialetika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

DAFTAR PUSTAKA. A. Gunawan Setiardja, Dialetika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku A. Gunawan Setiardja, Dialetika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990. A. Muktie Fadjar dalam Harian Kompas Edisi Rabu, 20 Pebruari

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL

LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 16/5/2007 SUB POKOK BAHASAN Memahami Macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD.

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD. Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 1. RAHMAT, S.H.,M.H 2. JUNINDRA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundangundangan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1998.

DAFTAR PUSTAKA. Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundangundangan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1998. DAFTAR PUSTAKA A. Buku A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10 th edition, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hlm. 223-224. Amiroeddin Syarief

Lebih terperinci

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan wacana yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat secara bersama-sama pada tahun 1998 membawa perubahan yang sangat luar biasa dalam kehidupan berbangsa

Lebih terperinci

1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum

1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum 1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum A. Bentuk negara (staats-vormen) B. Bentuk Pemerintahan (regeringsvormen) C.

Lebih terperinci

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya lorenly.nainggolan@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH ASAS HUKUM TATA NEGARA Riana Susmayanti, SH.MH SUMBER HTN Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara. Sumber hukum formil, (menurut Pasal7 UU No.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konteks pemerintahan yang demokratis kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu badan tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga. Tujuan dari dibagi-baginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai ketatanegaraan. 1 Berdirinya sebuah negara tidak lepas dari adanya konstitusi yang mendasarinya. Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pemerintah Daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, telah banyak membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem ketetanegaraan Indonesia. Sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri di luar

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri di luar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung merupakan hal yang relatif baru. Meskipun demikian ide

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah 137 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah Keberadaan produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945. Disampaikan dalam acara Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Pengurus dan Kader Penggerak Masyarakat Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang diselenggarakan oleh Mahkamah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Trias Politica (Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan) Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Paradigma baru pendidikan dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara

BAB I PENDAHULUAN. Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara independen, sebetulnya adalah konsekuensi logis dari redistribusi kekuasaan negara yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA SKRIPSI Oleh : RAMA PUTRA No. Mahasiswa : 03 410 270 Program Studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011 REPOSISI PERATURAN DESA DALAM KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 1 Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum 2 Pendahuluan Ada hal yang menarik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten yang mencerminkan peranan rakyat. Salah satunya adalah peranan lembaga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1

SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1 SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Oleh: Muchamad Ali Safa at 1 Persidangan MPR yang mulai dilakukan setelah pelantikkan ternyata berjalan cukup alot. Salah satu masalah yang mengemuka adalah komposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 1. Hal

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGAWASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT DISUSUN OLEH NAMA : RUDYANTO BP : 06940119

SKRIPSI PENGAWASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT DISUSUN OLEH NAMA : RUDYANTO BP : 06940119 SKRIPSI PENGAWASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT DISUSUN OLEH NAMA : RUDYANTO BP : 06940119 PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PROGRAM REGULER

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia Hierarki Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Mata Kuliah: Hukum Perundang-Undangan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 18 September 2007 Pokok Bahasan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintahan Daerah atau di negara-negara barat dikenal dengan Local Government dalam penyelenggaraan pemerintahannya memiliki otonomi yang didasarkan pada asas, sistem,

Lebih terperinci

Kedua, jumlah sarjana hukum masa awal kemerdekaan belum cukup untuk menjalankan tugas membanding undang-undang seperti yang dimaksud oleh Muhammad Yam

Kedua, jumlah sarjana hukum masa awal kemerdekaan belum cukup untuk menjalankan tugas membanding undang-undang seperti yang dimaksud oleh Muhammad Yam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung merupakan hal yang relatif baru. Meskipun demikian ide

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsep yang dianut adalah konsep negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Istilah sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan.

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta berbagai percobaan-percobaan yang diadaptasi oleh negara-negara di

BAB I PENDAHULUAN. serta berbagai percobaan-percobaan yang diadaptasi oleh negara-negara di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbincangan mengenai kekuasaan Presiden tidak dapat dilepaskan dari perdebatan yang telah berlangsung sejak lama seputar negara, sistem pemerintahan dan diskursus mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI Tahun 1945), Negara Indonesia ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis pada abad ke-18 (delapan belas), memunculkan gagasan dari para pakar hukum dan negarawan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan. kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

BAB III PENUTUP. dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan. kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. 82 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa selain bertujuan untuk menutup penyalahgunaan atau penyimpangan praktek

Lebih terperinci

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424,

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Perundang-undangan: DAFTAR PUSTAKA Adams. Wahiduddin, 2012, Proses Penyusunan Peraturan Daerah, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, AR. Suharyono, 2012, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan Peraturann Perundangundangan,

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 yang menyatakan,

Lebih terperinci

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Achmad Edi Subiyanto Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat subimk71@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Definisi tentang peran bisa diperoleh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1051) yang mengartikannya sebagai perangkat tingkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

PEMBAGIAN KEKUASAAN ( HORIZONTAL DAN VERTIKAL ) Maulana Mukhlis, S.Sos. M.IP. blog.unila.ac.id/maulana

PEMBAGIAN KEKUASAAN ( HORIZONTAL DAN VERTIKAL ) Maulana Mukhlis, S.Sos. M.IP. blog.unila.ac.id/maulana PEMBAGIAN KEKUASAAN ( HORIZONTAL DAN VERTIKAL ) Maulana Mukhlis, S.Sos. M.IP. blog.unila.ac.id/maulana Pengantar Pembagian Dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat Mencegah kesewenang-wenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Kewenangan pembatalan peraturan daerah Kewenangan pembatalan peraturan daerah Oleh : Dadang Gandhi, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: dadanggandhi@yahoo.co.id Abstrak Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG Oleh Epita Eridani I Made Dedy Priyanto Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK The House of Representatives is a real

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Peraturan Perundang-undangan Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk politik semestinya ditempatkan sebagai norma yang digali bersumber

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara 187 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara bentuk negara kesatuan Indonesia. Ditemukan 7 peluang yuridis terjadinya perubahan non-formal

Lebih terperinci

KAWAL DAN IMBANG (CHECKS AND BALANCES)

KAWAL DAN IMBANG (CHECKS AND BALANCES) KAWAL DAN IMBANG (CHECKS AND BALANCES) Checks (kawal, kendali): mekanisme kelembagaan yang mencegah penggunaan kekuasaan secara mutlak / absolut. Cara yang paling mudah ditempuh adalah dengan memisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya mengenai hak angket terdapat pada perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PRINSIP CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

PRINSIP CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, April 2016, Halaman 157-163 p-issn : 2086-2695, e-issn : 2527-4716 PRINSIP CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Sunarto Fakultas Ilmu Sosial

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Asshiddiqe, Jimly, Bagir Manan (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dan pembentukan institusi atau lembaga negara baru dalam sistem dan struktur ketatanegaraan merupakan hasil koreksi terhadap cara dan sistem kekuasaan negara

Lebih terperinci

STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH MUCHAMAD ALI SAFA AT

STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH MUCHAMAD ALI SAFA AT STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH MUCHAMAD ALI SAFA AT PASAL 18 UUD 1945 (3) Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN

BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN CIANJUR TAHUN 2014 A. Kode Etik Penyelenggara Pemilu Amandemen UUD 1945

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP; UUDS 1950 A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS) Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat awal kemerdekaan, para pendiri bangsa telah sepakat menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

Page 1 of 10 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci