DESAIN PENGELOLAAN BUDIDAYA LAUT BERKELANJUTAN DI TELUK SALEH KABUPATEN SUMBAWA MUHAMMAD MARZUKI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DESAIN PENGELOLAAN BUDIDAYA LAUT BERKELANJUTAN DI TELUK SALEH KABUPATEN SUMBAWA MUHAMMAD MARZUKI"

Transkripsi

1 DESAIN PENGELOLAAN BUDIDAYA LAUT BERKELANJUTAN DI TELUK SALEH KABUPATEN SUMBAWA MUHAMMAD MARZUKI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juni 2013 Muhammad Marzuki NRP. P

3 i ABSTRACT MUHAMMAD MARZUKI Design of Sustainable Mariculture Management at Saleh Bay, Sumbawa District. Supervised by I WAYAN NURJAYA, ARI PURBAYANTO, SUGENG BUDIHARSONO, and EDDY SUPRIYONO. Mariculture activities have complex problems as they are related to the activities in the mainland. These mariculture activities will affect biophysical conditions and supporting capacity of water, social economic conditions, institutions and mariculture technology all of which are closely related to each other to form a complex system. The dynamics and complexities of problems currently confronted are dynamic process, realized as series of possible events expected to happen in the future. However, their occurence depends on current goverment policies. To support the implementation of government s policy to make Saleh Bay as a center for developing mariculture, we need multidimensional approach. This will allow the concept of sustainable development to be carried out to ensure the ecosystem preservation with due regard to the limitation of environmental capacity so that it can generate economic benefits to the people and regional economy continuously. The main objective of this research is to develop a design of sustainable mariculture management at Saleh Bay, district of Sumbawa. The specific objective of the research are: (1) to analyze the suitability of water for mariculture; (2) to analyze the capacity of water to support mariculture; (3) to analyze index and status of sustainability of mariculture management; and (4) to develop strategy for managing mariculture continuously. Some analytical tools used in this research were water suitability analysis, supporting capacity analysis, Multi Dimensional Scaling (MDS) analysis, and quantitative descriptive analysis. Water suitability area for seaweed culture is around ,19 ha. The area for culturing grouper based on KJA system is ,14 ha. The area for water s supporting capacity, based on water s capacity for seaweed is ,34 ha or around units. Meanwhile, the supporting area based on N-assimilation capacity approach for green seaweed is ,91 ha or units and for brown seaweed is ha atau units. The area of water s supporting capacity for mariculture based on water capacity for KJA system based-grouper culture is ,81 ha or around units. The supporting area based on total N supply-in-water approach is ,18 or units. Status for sustainability of mariculture management for seaweed cultivation based on longline system and for grouper culture based on KJA system at Saleh Bay, District of Sumbawa currently, according to multidimentional scale, can be categorized as less sustainable. For the short-term and medium term scenario, its status improves from less sustainable to sufficiently sustainable and in the long-run scenario, it will increase to very sustainable. While sustainability status for KJA mariculture management in the short and medium terms remains less sustainable, in the long-term scenario, its sustainability status increases from less sustainable to sufficiently sustainable. Key words: Design, management, mariculture, sustainability, Saleh Bay

4 ii RINGKASAN MUHAMMAD MARZUKI Desain Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA, ARI PURBAYANTO, SUGENG BUDIHARSONO, dan EDDY SUPRIYONO. Kabupaten Sumbawa memiliki potensi perairan budidaya laut sekiar 69% dari luasan potensi lahan budidaya laut di Nusa Tenggara Barat (Zamroni et al, 2007). Teluk Saleh merupakan perairan yang menjadi prioritas pengembangan budidaya laut. Potensi perairan Teluk Saleh menyumbangkan lebih dari 70 % potensi perairan budidaya laut Kabupaten Sumbawa. Dalam 5 tahun terakhir wilayah perairan ini menyumbangkan lebih dari 45 % produksi budidaya laut Kabupaten Sumbawa (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009). Budidaya laut merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja baru dan perolehan devisa negara (Mansyur, 2005). Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian daerah, maka pemerintah daerah menetapkan program prioritas yaitu peningkatan produksi perikanan di Teluk Saleh sebagai sentra produksi budidaya laut. Kegiatan budidaya laut di perairan teluk memiliki dinamika dan permasalahan yang kompleks terkait kegiatan di wilayah daratan dan kegiatan budidaya itu sendiri akan berpengaruh terhadap kondisi daya dukung perairan, kondisi sosial ekonomi, kelembagaan dan teknologi yang saling berhubungan membentuk sebuah sistem yang kompleks. Untuk mendukung implementasi kebijakan pemerintah menjadikan Teluk Saleh sebagai sentra produksi pengembangan budidaya laut, maka diperlukan suatu pendekatan yang bersifat multidimensi, sehingga konsep pembangunan berkelanjutan yang mampu menjamin kelestarian ekosistem dengan memperhatikan keterbatasan kapasitas lingkungan, sehingga mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan perekonomian daerah secara berkesinambungan. Tujuan utama penelitian ini adalah membangun desain pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) menganalisis kesesuaian perairan untuk budidaya laut; (2) menganalisis daya dukung perairan untuk budidaya laut; (3) menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut; dan (4) membangun strategi pengelolaan budidaya laut secara berkelanjutan. Beberapa alat analisis yang digunakan adalah Analisis Kesesuaian Perairan, Analisis Daya Dukung, Analisis Multi Dimensional Scaling (MDS), dan Analisis deskriptif kuantitatif. 1. Luas kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut seluas ,19 ha budidaya ikan kerapu sistem KJA adalah seluas ,14 ha. Luas daya dukung perairan berdasarkan kapasitas perairan untuk budidaya rumput laut seluas ,34 ha atau sebanyak unit. Sedangkan luas daya dukung berdasarkan pendekatan kapasitas asimilasi N untuk jenis rumput laut hijau

5 iii seluas ,91 ha atau unit dan untuk jenis rumput laut coklat seluas ha atau unit. Luas daya dukung perairan budidaya laut berdasarkan kapasitas perairan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA adalah seseluas ,81 ha atau sebanyak unit. Sedangkan luas daya dukung berdasarkan pendekatan pasokan total N diperairan adalah ,18 atau unit. Status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk budidaya rumput laut sistem long-line dan budidaya ikan kerapu sistem KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa saat ini secara multidimensi termasuk kategori Kurang Berkelanjutan, pada skenario jangka pendek dan menengah statusnya meningkat dari Kurang Berkelanjutan menjadi Cukup Berkelanjutan dan pada skenario jangka panjang meningkat menjadi Sangat Berkelanjutan. Sedangkan status keberlanjutan pengelolaan budidaya KJA pada skenario jangka pendek dan menengah tetap Kurang Berkelanjutan, sedangkan pada skenario jangka panjang status keberlajutan meningkat dari Kurang Berkelanjutan menjadi Cukup Berkelanjutan. Strategi pengelolaan budidaya laut ditentukan oleh peran atribut sensitif yang memberikan peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Adapun strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai keberlanjutan adalah peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan penerapan teknologi dan inovasi, peningkatan kualitas dan kompetensi SDM, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pembudidaya; peningkatan kualitas lingkungan dan pengendalian serta penanggulangan pencemaran. Kata kunci: Desain, pengelolaan, budidaya laut, berkelanjutan, Teluk Saleh

6 iv Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 v DESAIN PENGELOLAAN BUDIDAYA LAUT BERKELANJUTAN DI TELUK SALEH KABUPATEN SUMBAWA MUHAMMAD MARZUKI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

8 vi Penguji Luar Komisi: Pada Ujian Tertutup : Kamis, 16 Mei Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Pada Ujian Terbuka : Jumat, 07 Juni Dr. Ir. Heri Agus Purnomo, M.Sc Kepala Balai Besar Sosial Ekonomi Kementerian Kelautan dan Perikanan 2. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

9 vii Judul Disertasi Nama NRP : Desain Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa : Muhammad Marzuki : P Disetujui Komisi Pembimbing: Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Anggota Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc Anggota Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota Mengetahui: Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

10 viii DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... viii ix xiv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan (Novelty) II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Budidaya Laut Pengembangan Budidaya Rumput Laut Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Dampak Lingkungan Pengembangan Budidaya Laut Daya Dukung Lingkungan Perairan Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Budidaya Laut Multi Dimensional Scalling Penelitian Terdahulu III. METODA PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tahapan Penelitian Rancangan Penelitian Kesesuaian Perairan Budidaya Laut Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Daya Dukung Perairan MetodePengumpulan Data Metode Analisis Data Daya Dukung Budidaya Rumput Laut Daya Dukung Budidaya ikan kerapu Status Keberlanjutan Budidaya Laut Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Strategi Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan IV. KONDISI UMUM WILAYAH Kondisi Geografis... 77

11 ix 4.2. Iklim dan Cuaca Sungai Kondisi Oceanografi Kedalaman Perairan Pasang Surut Gelombang Arus Hidrodinamika Pola Arus Substrat Dasar Perairan Kondisi Kualitas Air Suhu Air Kecerahan Derajat Keasaman (ph) Salinitas Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Nitrat (NO2) Kondisi Eksisting Budidaya Air Payau Kondisi Eksisting Budidaya Laut Budidaya Rumput Laut Perkembangan Kegiatan Budidaya Rumput Laut Keragaan Usaha Budidaya Rumput Laut Bibit Rumput Laut Serangan Hama dan Penyakit Pascapanen dan Pengolahan Rumput Laut Rantai Pemasaran Rumput Laut Kondisi SDM dan Pemodalan Budidaya Rumput Laut Budidaya Ikan Kerapu Perkembangan Budidaya Ikan Kerapu Benih Ikan Kerapu Keragaan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Rantai Pemasaran Ikan Kerapu Kondisi SDM dan Pemodalan Budidaya Ikan Kerapu Sosial dan Ekonomi Penduduk Tenaga Kerja Pendidikan Penggunaan Lahan Daratan Pesisir V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Laut Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Ikan Kerapu Sistem KJA Daya Dukung Perairan Budidaya Laut Daya Dukung Perairan Budidaya Rumput Laut Daya Dukung Lahan Perairan untuk Budidaya Ikan

12 x Kerapu di KJA Status Keberlanjutan Pengelolaan Budidaya Laut Status Keberlanjutan Budidaya RumputLaut Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Status Keberlanjutan Multidimensi Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Faktor Pengungkit Status KeberlanjutanBudidaya Ikan Kerapu Sistem KJA Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Status Keberlanjutan Multidimensi Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Faktor Pengungkit Skenario Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan Strategi Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

13 xi DAFTAR TABEL 1. Parameter kualitas air untuk pertumbuhan optimal budidaya rumput laut Parameter kualitas air untuk pertumbuhan optimal budidaya rumput laut paramater, alat, metode dan tempat pengukuran data biofisik dan kualitas air Jenis data, sumber data dan metode pengumpulan data sekunder analisiskesesuaian perairan Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA Hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut dan budidaya ikan kerapu sistem KJA Parameter, satuan, metode pengumpulan data dan sumber data analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut Parameter, satuan, metode pengumpulan data dan sumber data analisis daya dukung perairan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA Jenis aktivitas penghasil limbah dan koefesien limbah bahan organik bersumber dari kegiatan anthropogenik Kategori status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu sistem KJA berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-Seaweed Luas wilayah administrasi kawasan Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa Sungai yang bermuara di kawasan Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa Hasil analisis oceanografi dan kualitas air di perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Luas tambak dan volume produksi tambak di Kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Perkembangan luas, volume produksi dan produktivitas tambak di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Tahun 2007 s/d Luas pemanfaatan perairan dan volume produksi rumput laut di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Perkembangan luas dan volume produksi rumput laut di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Tahun 2007 s/d Luas pemanfaatan perairan dan volume produksi ikan kerapu di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Perkembangan jumlah unit KJA dan volume produksi ikan kerapu

14 xii di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Jumlah penduduk di kecamatan kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Luas tanah sawah dan tanah kering di wilayah pesisir Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa tahun Luas perairan menurut kelas kesesuain perairan untuk budidaya rumput laut Luas kesesuaian, pemanfaatan dan potensi perairan untuk budidaya rumput laut per-kecamatan Luas perairan menurut kelas kesesuain perairan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA Luas kesesuaian, pemanfaatan dan potensi perairan untuk budidaya KJA Per-Kecamatan Daya dukung budidaya rumput laut berdasarkan kapasitas perairan Daya dukung perairan berdasarkan kapasitas perairan dan tingkat pemanfaatan per-kecamatan Daya dukung rumput laut berdasarkan kapasitas asimilasi N dan tingkat pemanfaatan Daya dukung rumput laut berdasarkan kapasitas asimilasi N dan tingkat pemanfaatan per-kecamatan Daya dukung ikan kerapu sistem KJA berdasarkan kapasitas perairan Daya dukung perairan berdasarkan kapasitas perairan dan tingkat pemanfaatan per-kecamatan Daya dukung perairan berdasarkan pendekatan pasokan total-n di Perairan dan tingkat pemanfaatan Daya dukung perairan berdasarkan pendekatan pasokan total-n di perairan dan tingkat pemanfaatan per-kecamatan Nilai indeks multidimensi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Insus Seaweed dengan analisis monte carlo Nilai stress dan koefisien deteminasi analisis Rap-Insus Seaweed dengan anlalisi monte carlo Faktor pengungkit masing-masing dimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai indeks multidimensi pengelolaan budidaya ikan kerapu sistem KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Insus Grouper dengan analisis monte carlo Nilai stress dan koefisien deteminasi analisis Rap-Insus Grouper dengan analisis monte carlo Faktor pengungkit masing-masing dimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Perubahan nilai skoring atribut kunci pada skenario 1 dan skenario 2 terhadap peningkatan status pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai indeks keberlanjutan kondosi eksisting, skenario 1, dan skenario 2 pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa.. 225

15 xiii 42. Perubahan nilai skoring atribut kunci pada skenario 1 dan skenario 2 terhadap peningkatan status pengelolaan budidaya ikan kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai indeks keberlanjutan kondosi eksisting, skenario 1, dan skenario 2 pengelolaan budidaya ikan kerapu sistem KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Kebijakan implementasi yang dilakukan pada atribut kunci dan indikator keberhasilan pada skenario 1 dan 2 terhadap peningkatan status pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Kebijakan implementasi yang dilakukan pada atribut kunci dan indikator keberhasilan pada skenario 1 dan 2 terhadap peningkatan status pengelolaan budidaya ikan kerapu sistem KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

16 xiv DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitian desain pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta lokasi penelitian Tahapan analisis untuk mencapai tujuan penelitian Peta stasiun sampling Tahapan analisis overlay Tata letak budidaya rumput laut sistem long line Tata letak budidaya ikan kerapu sistem KJA Tahapan analisis Rap-Insus-Seaweed menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish Peta wilayah administrasi kawasan pesisir Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa Banyaknya curah hujan dan hari hujan tahun 2010 di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta sungai-sungai bermuara di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta kedalaman perairan di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta sebaran kedalaman perairan di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Tipe pasang surut berdasarkan hasil pengukuran di wilayah perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta sebaran kecepatan arus di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Teluk Saleh saat kondisi perbani pada: A) Menjelang surut, (B) Surut, (C) Menjelang pasang, (D) Pasang Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Teluk Saleh saat kondisi purnama pada: A) Menjelang surut, (B) Surut, (C) Menjelang pasang, (D) Pasang Peta sebaran substrat perairan di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta sebaran suhu perairan di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta sebaran kecerahan perairan di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta sebaran ph perairan di Kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta sebaran substrat perairan di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta sebaran DO perairan di kawasan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Sistem perencanaan pemanenan dan pembibitan rumput laut di

17 Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Rumput laut jenis Euchema cottonii yang terserang penyekit ice-ice di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Rantai pemasaran rumput laut jenis Euchema cottonii di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Rantai pemasaran rumput laut jenis Euchema cottonii di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta penggunaan lahan daratan di Wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Peta kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut di perairan Teluk Saleh Peta kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu di perairan Teluk Saleh Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi kelembagaan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Diagram layang-layang (kite diagram) multidimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan budidaya ikan kerapu sistem KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan budidaya ikan kerapu sistem KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa xv

18 xvi 47 Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi kelembagaan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi Pengelolaan Budidaya Laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) Skala Keberlanjutan Diagram layang-layang (kite diagram) multidimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Diagram layang-layang (kite diagram) multidimensi pada kondisi eksisting, skenario 1 dan skenario 2 keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Diagram layang-layang (kite diagram) multidimensi pada kondisi eksisting, skenario 1 dan skenario 2 keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

19 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki peranan strategis dalam memenuhi permintaan komoditas perikanan dunia. Kebutuhan ikan dunia selama kurun waktu ( ) terjadi peningkatan sebesar 45%, dan diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dunia. Produksi perikanan Indonesia hingga tahun 2006 menempati posisi keempat dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC), Peru dan Amerika Serikat (FAO, 2009). Kebijakan pembangunan sektor perikanan saat ini, menjanjikan masa kejayaan dengan mengusung Visi Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar Dunia Pada Tahun 2015, dan Misi Mensejahterakan Masyarakat Kelautan dan Perikanan. Pencapaian visi dan misi tersebut, pemerintah mencanangkan kebijakan Industrialisasi Kelautan dan Perikanan melalui Program Minapolitan dan "Peningkatan Produksi Perikanan. Peningkatan produksi perikanan budidaya diprioritaskan dari hasil budidaya, baik budidaya air tawar, budidaya air payau dan budidaya laut. Produksi budidaya laut Indonesia Tahun 2001 sebesar ton meningkat menjadi ton pada Tahun Produksi tersebut terus mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan per tahun mencapai 79,51 % (JICA, 2009). Luas potensi perairan budidaya laut sebesar ha, hingga Tahun 2007 luas perairan yang telah dimanfaatkan hanya seluas ha (0,8%), sehingga masih terdapat perairan seluas ha yang potensial untuk dikembangkan budidaya laut. Laju pertumbuhan produksi perikanan nasional rata-rata mencapai 10,2% per tahun. Adapun pertumbuhan perikanan tangkap 21,93% per tahun, sementara pertumbuhan budidaya hanya 2,95% per tahun. Hal ini menunjukkan kecenderungan peningkatan produksi perikanan budidaya berpotensi melampaui perikanan tangkap karena perikanan budidaya memerlukan teknologi yang lebih mudah diaplikasikan, disamping itu itu, potensi perairan budidaya yang dimiliki Indonesia saat ini masih sangat besar. Jika dibandingkan dengan China yang saat ini sebagai Negara penghasil budidaya nomor satu dunia, Indonesia sebenarnya jauh lebih unggul dalam hal potensi perairan. Namun,

20 2 karena begitu totalnya pengembangan perikanan China, di 2008, produksi perikanan budidaya China mencapai 42 juta ton. Jauh melampaui Indonesia yang hanya berproduksi 3,89 juta ton di 2008 (Departemen Kelautan Perikanan, 2010). Provinsi NTB merupakan daerah yang secara geografis memiliki potensi perairan untuk pengembangan budidaya laut. Luas wilayah perairan potensial daerah ini mencapai ha, dan hingga tahun 2009 luas perairan yang telah dimanfaatkan baru seluas ha, diantaranya untuk pengembangan komodi tiram mutiara, abalone, kerang darah, teripang, rumput laut, ikan kerapu dan ikan kakap (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010). Produksi budidaya laut NTB menempati posisi terbesar keenam, dari total produksi perikanan nasional dengan volume produksi mencapai ton (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009). Kabupaten Sumbawa merupakan daerah yang memiliki potensi perairan budidaya laut terbesar di NTB. Luas potensi perairan budidaya lautnya diperkirakan lebih dari setengah luasan potensi perairan budidaya laut NTB (Zamroni et al. 2007). Namun luas potensi perairan yang dimiliki daerah ini belum diiringi dengan produksi tinggi. Hal ini tergambar dari produksi budidaya lautnya masih lebih rendah dari Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2005). Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir Kabupaten Sumbawa umumnya masih rendah, dicirikan dengan mata pencaharian sebagai nelayan tangkap bersifat subsisten dengan menggunakan perahu tanpa motor dan peralatan tangkap sederhana. Kehidupan nelayan semakin diperparah lagi dengan hasil yang diperoleh dari kegiatan penangkapan sangat tidak menentu bergantung pada musim. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, karena hanya menggantungkan pendapatan dari hasil penangkapan ikan yang sangat tidak menentu memicu mereka untuk melakukan praktek-praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak, potassium sianida, penambangan karang, dan lain-lain. Budidaya laut menjanjikan kontribusi besar terhadap peningkatan perekonomian daerah dan mampu meningkatkan pendapatan nelayan, karena sebagian besar komoditinya memiliki pangsa pasar ekspor dengan harga relatif

21 3 tinggi. Budidaya laut lebih memberikan kepastian bagi nelayan dibandingkan penangkapan yang sangat bergantung pada cuaca dan musim. Situasi ini memberikan justifikasi bahwa intervensi kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan peningkatan produksi melalui program budidaya laut sangat tepat. Kebijakan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun , dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan dan kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian daerah, pemerintah menetapkan program prioritas yaitu peningkatan produksi perikanan melalui pengembangan budidaya laut di Kabupaten Sumbawa. Seiring dengan kebijakan pemerintah Provinsi NTB, berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) dan RPJMD Kabupaten Sumbawa Tahun , untuk peningkatkan produksi perikanan ditetapkan zona pengembangan perikanan di Sumbawa bagian timur yaitu di wilayah perairan Teluk Saleh sebagai sentra produksi budidaya laut. Wilayah perairan Teluk Saleh memiliki lebih dari 70 % potensi perairan budidaya laut Kabupaten Sumbawa. Dalam lima tahun terakhir wilayah perairan ini menyumbangkan lebih dari 60 % produksi budidaya laut Kabupaten Sumbawa. Perairan Teluk Saleh potensial untuk pengembangan budidaya laut karena didukung oleh beberapa faktor yaitu : (1) memiliki garis pantai yang panjang; (2) memiliki banyak pulau-pulau kecil; (3) kondisi hidro-oseanografi seperti gelombang, arus dan kecerahan perairan sesuai untuk pertumbuhan komoditi budidaya laut (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009). Fakta lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah selama ini, hanya berorientasi pada peningkatan produksi tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan perairan, akan memberikan tekanan ekologis terhadap ekosistem perairan. Soemarwoto (1991) mengungkapkan bahwa permasalahan lingkungan itu timbul karena lingkungan itu tidak atau kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan mahluk hidup sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia. Mengingat Teluk Saleh juga merupakan badan air selain menampung limbah organik yang bersumber budidaya laut di perairan juga

22 4 menerima limbah organik dari kegiatan di lahan atas (upland) seperti budidaya tambak, pertanian, perkebunan, peternakan, pemukiman, pariwisata dan pertambangan akan berpengaruh terhadap kapasitas asimilasi dan daya dukung perairan. Oleh karenanya dalam kerangka untuk mendukung implementasi kebijakan pemerintah menjadikan Teluk Saleh sebagai sentra produksi pengembangan budidaya laut, maka diperlukan desain pengelolaan budidaya laut berkelanjutan yang mampu menjamin kelestarian ekosistem dengan memperhatikan keterbatasan kapasitas lingkungan, sehingga mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan perekonomian daerah secara berkesinambungan. Budidaya laut memiliki dinamika dan permasalahan yang kompleks terkait kegiatan di wilayah daratan dan budidaya itu sendiri akan berpengaruh terhadap kondisi biofisik dan daya dukung perairan, kondisi sosial ekonomi, kelembagaan dan teknologi budidaya yang saling berhubungan membentuk sebuah sistem yang kompleks. Dinamika dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi saat ini merupakan proses dinamis, disadari sebagai rangkaian kemungkinan kejadian yang diinginkan di masa datang, sangat tergantung dari kebijakan yang diambil saat ini Perumusan Masalah Produksi perikanan tangkap di Teluk Saleh dalam 10 tahun terakhir, cenderung menurun, disebabkan sumberdaya ikan telah mengalami tangkap lebih. Hal ini terlihat dari produksi perikanan tangkap di perairan pantai tahun 2008 sebesar ,8 ton dari potensi lestari sebesar ,3 ton per tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009). Menurunnya hasil tangkapan dan kegiatan penangkapan bergantung pada kondisi cuaca dan musim berdampak pada rendahnya penghasilan yang diperoleh dan kehidupan nelayan semakin terpuruk. Rendahnya hasil tangkapan ikan yang diperoleh selama ini, sebagai pemicu utama dilakukannya kegiatan penangkapan tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya akan merusak ekosistem perairan seperti terumbu karang.

23 5 Budidaya tambak udang dan bandeng secara intensif di Teluk Saleh telah berkembang pesat sejak tahun 1990-an. Pengembangan budidaya tambak saat ini dihadapkan pada permasalahan peningkatan konversi hutan mangrove akibat program ekstensifikasi tambak dan meningkatnya luas lahan terlantar sebagai akibat dari program intensifikasi untuk peningkatan produksi tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan perairan. Johnsen et al. (1993) mengatakan bahwa budidaya udang intensif telah terbukti menghasilkan limbah organik terutama dari sisa pakan, kotoran (feses) dan bahan-bahan terlarut yang dibuang ke lingkungan perairan secara signifikan mempengaruhi kualitas perairan. Pada kegiatan usaha budidaya udang intensif sebanyak 15 % dari pakan yang diberikan akan larut dalam air sebagai sisa pakan dan 20 % dikembalikan ke lingkungan perairan dalam bentuk feses (Primavera and Afud, 1994). Perikanan budidaya laut berkembang cukup pesat dalam sepuluh tahun terakhir, dan termasuk salah satu kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan penghasilan masyarakat, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan potensial bagi daerah. Seiring dengan kebijakan nasional untuk memacu peningkatan produksi melalui Program Industrialisasi Kelautan dan Perikanan menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar dunia pada Tahun 2015, memberikan harapan bagi berkembangnya budidaya laut dengan menitikberatkan pada pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Program nasional tersebut sinergi dengan program pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa untuk menjadikan Teluk Saleh sebagai sentra pengembangan budidaya laut sebagaimana tertuang dalam Renstra dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Kondisi eksisting produksi budidaya laut di Teluk Saleh menyumbangkan sekitar 61,49 % total produksi budidaya laut Kabupaten Sumbawa. Pada tahun 2006 budiaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di Keramba Jaring Apung (KJA) dilaksanakan oleh lebih dari 683 RTP, pada perairan seluas 3.940,08 ha, dengan volume produksi mencapai 6.703,60 ton. Potensi perairan yang telah dimanfaatkan untuk budidaya laut di perairan Teluk Saleh diperkirakan hanya sekitar 40 % dari total luas potensi. Artinya masih terdapat 60 % luas

24 6 perairan perairan yang masih dapat dikembangkan (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009). Belum optimalnya pemanfaatan perairan budidaya laut di Teluk Saleh, disebabkan karena kurang tersedianya data potensi kesesuaian perairan yang akurat berdasarkan kondisi biofisik, kualitas air untuk masing-masing komoditi. Budidaya laut yang berkembang pada perairan yang belum terpetakan kesesuaian pemanfaatannya cenderung tidak terkendali dan berdampak pada kerusakan ekosistem terumbu karang. Luas terumbu karang di Teluk Saleh diperkirakan mencapai 5.319,5 ha dan sebagian besar (75 %) kondisinya telah rusak. Kerusakan terumbu karang disebabkan karena penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan invasi budiaya laut dengan metode longline di atas areal pertumbuhan terumbu karang serta akibat jangkar budidaya laut. (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009). Beberapa penelitian tentang pemilihan lokasi berdasarkan kesesuaian perairan untuk budidaya laut di perairan Teluk Saleh telah dilakukan, diantaranya Utojo et al. (2004) dan Muis (2004). Secara umum penelitian pemilihan kesesuaian lokasi perairan untuk budidaya laut berdasarkan data penginderaan jauh (Landsat ETM+), untuk beberapa parameter biofisik perairan yang dapat terekam oleh citra satelit. Radiarta et al. (2003) penelitian penetuan kesesuaian lokasi perairan untuk budidaya laut sebaikya memadukan antara data inderaja, dan data lapangan terutama data tentang daya dukung lingkungan perairan. Permasalahan pengembangan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa adalah berpotensi menurunkan kualitas perairan dan kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan karena pengembangan budidaya laut yang hanya berorientasi pada peningkatan produksi, dan mengalokasikan input teknologi yang tidak ramah lingkungan untuk memaksimalkan keuntungan dalam jangka pendek tanpa memperhatikan kapasitas asimilasi dan daya dukung perairan. Pengembangan budidaya rumput laut yang sudah dilakukan oleh para pembudidaya di perairan Teluk Saleh telah mulai memberikan tekanan terhadap ekosistem lingkungan perairan sekitar. Dampak yang ditimbulkan yaitu terjadinya penutupan polip-polip hewan karang oleh limbah budidaya dan budidaya yang

25 7 dilakukan di atas hamparan terumbu karang sehingga terjadi penutupan cahaya yang masuk kedalam ekosistem terumbu karang (Nurfiani, 2003). Pengembangan budidaya ikan kerapu di KJA dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan akibat masukan bahan organik, terutama berasal dari sisa pakan dan feses yang membusuk. Akumulasi bahan organik di dasar perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan perairan disekitarnya (Beveridge, 1984). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa, budidaya ikan di KJA yang dilakukan secara intensif terbukti menghasilkan limbah budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan dan secara nyata dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir (Johnsen, et al. 1993; Stainford, 2002). Menurut Azwar et al. (2004) hanya sekitar % pakan yang diberikan dimanfaatkan oleh ikan melalui proses pencernaan untuk memperoleh energi yang tersimpan dalam jaringan ikan sebagai biomassa. Sisanya akan terbuang sebagai hasil ekskresi baik dalam bentuk terlarut maupun partikel organik yang terbuang ke dalam badan air dan mengalami proses pelarutan, sedimentasi, mineralisasi, dan dispersi. Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi dan hasil eksresi umumnya dicirikan oleh adanya peningkatan TSS, BOD dan COD dan kandungan N dan P, namun secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya nutrien dan bahan organik dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir (Barg, 1992). Kandungan bahan organik selain bersumber dari budidaya laut di perairan Teluk Saleh dan kegiatan di wilayah darat seperti budidaya tambak udang dan bandeng, limbah pemukiman, peternakan, pertanian dan perkebunan, limbah pariwisata dan limbah pertambangan juga ikut memberikan sumbangan terhadap akumulasi bahan organik yang masuk ke perairan. Peningkatan bahan organik dalam jumlah besar dapat meningkatkan kandungan nitrat dan phospat di perairan tersebut (Manik, 2003). Peningkatan konsentrasi nitrat dan phospat dalam suatu perairan yang melebihi kebutuhan normal organisme, merupakan pemicu terjadinya eutrofikasi sehingga menyebabkan terjadinya peledakan populasi fitoplankton (blooming) dan makro alga di wilayah perairan (Wardoyo, 1975). Jhonsen et al. (1993) pengkayaan bahan organik dapat menyebabkan penurunan

26 8 produktivitas budidaya dan meningkatkan mortalitas komoditas budidaya sebagai akibat dari perkembangan kondisi sedimen di bawah limbah budidaya dapat mempengaruhi kehidupan makrofauna benthik di bawah wadah budidaya. Dengan memperhatikan keterkaitan berbagai aspek permasalahan di atas, maka pertanyaan utama penelitian ini adalah Bagaimanakah Desain Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa?. Selanjutnya secara spesifik permasalahan, sebagai pertanyaan antara penelitian ini adalah: 1. Berapakah luas perairan yang sesuai untuk budidaya laut di Perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa? 2. Berapakah daya dukung perairan untuk budidaya laut di Perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa? 3. Bagaimanakah indeks dan status keberlanjutan setiap dimensi dan multidimensi pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa? 4. Bagaimanakah strategi pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun desain pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Secara spesifik tujuan antara dalam penelitian adalah untuk : 1. Menganalisis kesesuaian perairan untuk budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. 2. Menganalisis daya dukung perairan untuk budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa 3. Menghitung nilai indeks dan status keberlanjutan setiap dimensi dan multidimensi pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. 4. Merumuskan strategi pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa.

27 Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan daya dukung lingkungan perairan (Carraying Capacity). Khanna (1999) mengungkapkan bahwa daya dukung merupakan basis dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan termasuk perikanan berkelanjutan bertumpu pada tiga pilar yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap dimensi saling berhubungan dalam sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Berkelanjutan secara ekonomi mensyaratkan arti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat menciptaan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan serta konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Sedangkan berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, pertisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Roosa, 2008). Pengukuran daya dukung lingkungan didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukug bersifat dinamis selalu berubah sesuai dengan asupan teknologi dan manejemen. Savariades (2000) mengungkapkan bahwa daya dukung tidaklah tetap, namun berkembang sesuai dengan waktu, perkembangan serta dipengaruhi oleh teknik-teknik manajemen dan pengontrolan. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Secara terpadu pengertian daya dukung dapat diartikan sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan.

28 10 Perencanaan dan pengembangan budidaya laut berkelanjutan mensyaratkan informasi yang konfrehensif didukung oleh data kondisi biofisik perairan yang sesuai dengan daya dukung perairan, kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar, ketersediaan sarana dan prasarana, serta akses pasar untuk menopang produksi komoditas budidaya secara optimal (Khoram et al. 2006). Utojo et al. (2006) mengatakan bahwa keberhasilan usaha budidaya laut di awali dengan pemilihan kelayakan lokasi dan luas perairan budidaya, menentukan estimasi jumlah unit keramba atau rakit yang dapat ditampung di areal tersebut sesuai dengan daya dukung perairan untuk setiap komoditi budidaya yang akan dikembangkan. Penentuan kesesuaian perairan untuk masing-masing komoditi mengamanatkan memperhatikan konsep daya dukung perairan. Daya dukung perairan teluk ditentukan oleh kemampuan asimilasi atau kapasits lingkungan menerima limbah, kondisi oseanografi dan kondisi biofisik perairan. Penentuan daya dukung lingkungan perairan untuk pengembangan budidaya laut dapat digunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan yang mengacu pada hubungan kualitas air dengan limbah organik; (2) pendekatan yang mengacu pada kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan; dan (3) pendekatan berdasarkan kapasitas asimilasi perairan. Estimasi jumlah limbah (bahan organik) yang masuk ke perairan, baik yang bersumber dari kegiatan di perairan itu sendiri yaitu budidaya laut mapuan beban limbah yang bersumber dari kegiatan di daratan, seperti: budidaya tambak, limbah pemukiman, limbah peternakan dan limbah pertanian, limbah pariwisata dan limbah pertambangan sangat penting untuk menentukan kapasitas asimilasi di perairan Teluk Saleh dalam menampung kegiatan budidaya laut. Limbah organik yang menjadi parameter daya dukung lingkungan adalah phospat dan nitrogen. Nitrat merupakan unsur nutrien yang keberadaanya sebagian besar dipasok dari luar ekosistem perairan, sehingga N sering dinyatakan sebagai faktor pembatas bagi kehidupan produktivitas primer. Input N dari runoff yang berasal dari wilayah daratan (upland) dan dari kegiatan limbah budidaya laut merupakan pemasok utama N bagi perairan.

29 11 Pada kondisi pasokan N di perairan mencapai titik jenuh, dimana kapasitas asimilasi perairan tidak mampu mendegradasi beban N, maka akan memicu terjadinya eutrofikasi yang diikuti dengan proses deplesi oksigen. Pengkayaan bahan organik dan nutrien (hyernutrifikasi) di perairan akan memicu terjadinya blooming plankton dan pertumbuhan mikroalga yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan komoditi budidaya laut. Rendahnya kandungan oksigen akibat aktivitas mikroba dalam mengurai bahan organik dan blooming fitoplankton juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan komoditi budidaya laut. Oleh karenanya pasokan N sering menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan kriteria daya dukung lingkungan perairan bagi pengembangan budidaya laut. Dimensi sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan wilayah perairan untuk pengembangan budidaya laut harus menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitarnya guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Budidaya laut merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja baru dan perolehan devisa negara (Mansyur, 2005). Mira dan Reswati (2006) Usaha budidaya laut (rumput laut) di beberapa desa pesisir di Pulau Lombok telah menjadi usaha utama disamping sebagai nelayan dan petani berpindah karena telah nyata memberikan kehidupan lebih baik kepada petani dan mampu memberikan pendapatan berkesinambungan yang dapat diandalkan. Implimentasi pengelolaan budidaya laut keberlanjutan ialah kebijakan pemanfaatan yang berbasis daya dukung perairan dan didasarkan pada aspek keterpaduan wilayah dan dimensi. Keterpaduan antara wilayah perairan teluk dengan daerah daratan (upland), antara stakeholder dalam sistem tersebut dan antara berbagai dimensi seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan harus menjadi dasar dalam pengelolaan. Dengan demikian melalui desain pengelolaan yang dibangun atas dasar landasan tersebut maka pengelolaan budidaya laut diyakini dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakatnya secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1 berikut ini.

30 12 Budidaya Tambak Peningkatan Produksi Tambak Limbah Sisa Pakan & Feses Kegiatan di Daratan : 1. Limbah Pemukiman 2. Limbah Pertanian 3. Limbah Peternakan 4. Limbah Pariwisata 5. Limbah Pertambangan Peningkatan Bahan Organik di Perairan Budidaya Rumput Laut dan Ikan Kerapu di KJA Perubahan Lingkungan Perairan: 1. Persaingan O 2 Pengurai 2. Blooming Fitoplankton 3. Pertumbuhan Mikroalga Budidaya Laut di Teluk Saleh Tidak Berkelanjutan TIGA PILAR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Pertumbuhan Ekonomi Penggunaan SD & Investasi Efisien Ekonomi Ekologi Integritas Ekosistem Berbasis Daya Dukung Konservasi SD Budidaya Laut Bekelanjutan Sosial Pemerataan Hasil Pemberdayaan Masyarakay Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Budidaya Laut di Teluk Saleh Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Desain Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan Di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

31 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut: 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam implementasi kebijakan dan desain pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. 2. Sebagai bahan masukan kebijakan bagi pengelolaan potensi perairan budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. 3. Sebagai bahan pengembangan konsep dasar pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di perairan teluk 4. Sebagai bahan informasi dan acuan bagi pembudidaya dalam mengembangkan kegiatan budidaya laut berkelanjutan 1.6. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Budidaya laut yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk budidaya untu dua komoditi yaitu budidaya rumput laut sistem long line dan budidaya ikan kerapu di Keramba Jaring Apung (KJA) di wilayah perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. 2. Daya dukung perairan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: (a) daya dukung perairan berdasarkan kapasitas perairan untuk budidaya rumput laut sistem long line dan budidaya ikan kerapu di KJA; (b) daya dukung berdasarkan kapasitas asimilasi N rumput laut; (c) daya dukung berdasarkan total loading N budidaya ikan kerapu di KJA 3. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu musim yaitu musim barat (November-Februari) Kebaruan (Novelty) Sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik menyangkut, analisis kesesuaian perairan, analisis daya dukung perairan, analisis keberlanjutan, lokasi penelitian maupun metodologi penelitian. Dari penelitian-penelitian tersebut belum ada yang menganalisis secara multidimensi dalam pengelolaan budidaya laut secara berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten

32 14 Sumbawa. Adapun penelitian yang terkait yang telah dilakukan adalah : 1. Asbar (2004) melakukan penelitian tentang daya dukung wilayah pesisir untuk budidaya tambak di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Estimasi Daya dukung berdasarkan volume air laut penerima limbah, ketersediaan DO dan Kapasitas Asimilasi. 2. Raharjo (2003) melakukan penelitian tentang Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di Kepulauan Seribu (Studi Kasus Kelurahan Pulau Kelapa). 3. Rachmansyah (2004) Melakukan penelitian tentang analisis daya dukung perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru Sulawesi Selatan Bagi Pengembanga Budidaya Bandeng di KJA. 4. Muis (2004) melakukan penelitian tentang Studi Perencanaaqn Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Besar (Pendekatan Sistem). 5. Nurfiani (2003) melakukan penelitian tentang Kajian Pengembangan Budidaya Perikanan Pesisir dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu. Berdasarkan hasil kajian-kajian tersebut ditemukan kebaruan (novelty) baik dilihat dari segi pendekatan metode yang digunakan maupun hasil penelitian. - Dari aspek metodologi mengembangkan dari progam Rapfish G77 Alscal (VBA dan Excel) menjadi Program Simple Rap Insus Marine Culture Alglib (.net Windows Aplication) yang lebih mudah pengoperasiannya. - Dari aspek konsep penelitian ini menganalisis status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk dua komoditi yaitu rumput laut dan ikan kerapu di KJA secara multidimesi (ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi)

33 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Budidaya Laut Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan organisme perairan akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka memperoleh keuntungan (Shell and Lowell, 1993). Secara spasial budidaya laut dapat dilakukan di perairan laut dangkal dan laut dalam (Parker, 2002). Perkembangan teknologi saat ini budidaya laut terfokus pada perairan laut dangkal yang terlindung (protected shallow sea) seperti teluk, selat merupakan perairan karang dan biasanya berupa reef flat dan laguna. Tujuan budidaya laut adalah untuk memproduksi makanan, meningkatkan stok ikan di laut (stock enhaccement), memproduksi umpan untuk kegiatan penangkapan ikan atau menghasilkan ikan hias. Budidaya laut berkembang dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan produksi perikanan tangkap, sedangkan permintaan ikan semakin besar seiring dengan pertumbuhan populasi pertumbuhan populasi penduduk dunia yang semakin meningkat (Parker, 2002). Menurut DKP (2004) terdapat lima dasar pertimbangan dalam pengembangan budiaya laut antara lain : a. Orientasi Permintaan Pasar (market driven orinented). Pemilihan komoditas budidaya laut hendaknya berpijak pada keunggulan komparatif potensi sumberdaya masing-masing daerah, serta berorientasi pada permintaan pasar dan memperhatikan aspek-aspek pemasaran lainnya; b. Dapat dikelola secara ekonomis (managable). Besaran skala usaha budidaya laut diarahkan agar secara ekonomis mampu mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan sarana produksi, pelaksanaan proses produksi, pengolahan, pemasaran hasil dan pengelolaan lingkungan dalam suatu sistem yang mapan, sehingga menghasilkan sistem usaha yang berdaya saing dan berkelanjutan; c. Partisipasi masyarakat pembudidaya (participatory). Kawasan budidaya laut dibangun atas dasar kebersamaan ekonomi/kerjasama antar pembudidaya dalam kelompok/koperasi yang dikelola secara transparan, dapat

34 16 dipertanggungjawabkan dan adil, sehingga menghasilkan sistem usaha budidaya yang berkeadilan; d. Keterpaduan sistem usaha budidaya (integrated culture system). Pengembangan kawasan budidaya pada dasarnya dibangun melalui pendekatan akuabisnis secara utuh, terpadu dan berkelanjutan, baik pada intra maupun inter subsistem dalam sistem usaha budidaya; e. Kelengkapan sarana dan prasarana (infrasructure capacity). Ketersediaan sarana prasarana pendukung, seperti jalan penghubung, pelabuhan ekspor, listrik, telpon, dan fasilitas air bersih sangat mempengaruhi tingkat efisiensi dan evektifitas kawasan usaha budidaya yang dibangun Pengembangan Budidaya Rumput Laut Rumput laut merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang dipanen dari laut (Nontji, 1993). Morfologi rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun, walaupun sebenarnya berbeda (Aslan, 1998). Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut pertama kali dikenalkan oleh Bangsa Eropa dengan pola pemanfaatan secara tradisional yaitu sebagai bahan pangan (Nontji, 1993). Seiring dengan perkembangan teknologi mulai berkembang budidaya laut mengingat beragam manfaat yang dapat diperoleh diantaranya sebagai pupuk organik, bahan baku industri makanan dan kosmetik samapi ke obat-batan. Tiga jenis rumput laut bernilai ekonomi yang dikembangkan di Idonesia yaitu Gracillaria penghasil agar-agar, Eucheuma cottonii penghasil carrageenan dan Sargassum penghasil alginat (DKP, 2010). Di Teluk Saleh jenis rumput laut yang sedang dibudidayakan saat ini adalah jenis Euchema cottonii (Muis, 2004) Perhatian utama dalam budidaya rumput laut adalah memilih lokasi yang tepat dengan mengetahui daya dukung perairan. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1999) menyebutkan beberapa syarat pemilihan lokasi budidaya rumput laut antara lain : (1) lokasi budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan; (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar; (3) terkandung makanan untuk tumbuhnya rumput laut; (4) perairan harus bebas dari pencemaran industri maupun rumah tangga; (5) perairan harus terkondisi mudah menerapkan

35 17 budidaya; (6) mudah dijangkau sehingga biaya transportasi tidak terlalu besar; (7) dekat dengan sumber tenaga kerja. Wilayah perairan Teluk Saleh, secara umum memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut, karena perairan teluk yang terlindung dari hempasan gelombang dan ombak. Pertumbuhan optimal rumput laut harus didukung oleh kondisi kualitas air yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Secara rinci beberapa parameter kualitas air yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter kualitas air untuk pertumbuhan optimal budidaya rumput laut. Parameter Kisaran Optimal Sumber Kedalaman Perairan (m) 1-10 Radiarta et al. (2003) Kecerahan Perairan (m) > 3 Radiarta et al. (2003) Kecepatan Arus (cm/detik) Radiarta et al. (2003) ; DKP (2002) Salinitas Perairan (ppt) DKP (2002) Suhu Perairan ( o C) DKP (2002) Romimohtarto (2003 Material Dasar Perairan Berkarang DKP (2002) Oksigen Terlarut (mg/l) > 6 DKP (2002) ph 6,5-8,5 Romimohtarto, (2003) Nitrat (mg/l) 0,9-3,2 DKP (2002) 2.3. Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Teknologi Keramba Jaring Apung (KJA) adalah salah satu teknik budidaya yang cukup produktif dan intensif dengan konstruksi yang tersusun dari keramba-keramba jaring yang dipasang pada rakit terapung di perairan pantai (Sunyoto, 1994). Salah satu keuntungan budidaya ikan di KJA dibandingkan teknologi selain KJA yaitu, ikan dapat dipelihara dengan kepadatan tinggi tanpa khawatir akan kekurangan oksigen (Basyarie, 2001), hemat perairan, tidak memerlukan pengelolaan air yang khusus, sehingga dapat menekan input biaya produksi, mudah dipantau, unit usaha dapat diatur sesuai kemampuan modal (Pongsapan et al. 2001), jumlah dan mutu air selalu memadai, tidak perlu pengolahan tanah, pemangsa mudah dikendalikan dan mudah dipanen (Sunyoto, 1994).

36 18 Di Jepang budidaya ikan di KJA telah dimulai sejak tahun 1954 dengan membudidayakan ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata), selanjutnya teknologi ini berkembang dan menyebar sampai ke Malaysia, dimana pada tahun 1973 mulai dibudidayakan ikan kerapu jenis E. Salmoides dalam KJA. Di Indonesia teknologi KJA sudah dimulai tahun 1976 di daerah Kepulauan Riau dan sekitarnya, sedangkan di Teluk Banten teknologi KJA dimulai tahun 1979 (Basyarie, 2001) Wardana (1994) menyebutkan agar usaha budidaya ikan kerapu di KJA dapat berjalan dengan baik maka lokasi areal pembesaran ikan dimana KJA ditempatkan harus dikaji kesesuaiannya. Pemilihan lokasi yang tepat berkaitan erat dengan pertimbangan ekologis merupakan hal yang sangat menentukan mengingat kegagalan dalam pemilihan lokasi akan beresiko permanen dalam kegiatan produksi (Ismail et al. 1993). Menurut Pramono et al. (2005) beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penentuan lokasi budidaya ikan kerapu di KJA antara lain lokasi harus terhindar dari badai dan gelombang besar atau gelombang terus menerus, bebas dari bahan pencemaran yang menganggu kehidupan ikan, terhindar dari gangguan predator yang harus dihindari adalah hewan laut busa seperti ikan buntal dan ikan besar dan ganas yang dapat merusak KJA. Wilayah perairan Teluk Saleh, secara umum juga memenuhi syarat untuk lokasi budidaya ikan kerapu di KJA, karena perairan teluk yang terlindung dari hempasan gelombang dan ombak. Ikan kerapu di KJA akan tumbuh optimal pada kondisi kualitas perairan yang sesuai untuk pertumbuhan ikan kerapu. Secara rinci beberapa parameter kualitas air yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut disajikan pada Tabel 2.

37 19 Tabel 2. Parameter kualitas air untuk pertumbuhan optimal budidaya ikan kerapu di KJA. Parameter Kisaran Optimal Sumber Kecepatan Arus (cm/detik) Gufron dan Kordi (2005) ; DKP (2002) Kedalaman Perairan (m) DKP (2003) Radiarta et al. (2003) Material Dasar Perairan Berpasir dan Pecahan Radiarta et al. (2003) Karang Oksigen Terlarut (mg/l) < 6 Bakosurtanal (1996) ; Wibisono (2005) Kecerahan Perairan (m) > 5 DKP (2003) Radiarta et al. (2003) Suhu Perairan ( o C) DKP (2002) ; DKP (2003) ; Romimohtarto (2003) Salinitas Perairan (ppt) Radiarta et al. (2003) ; SNI : ph 6,5-8,5 Bakosurtanal (1996) ; Romimohtarto, (2003) Nitrat (mg/l) 0,9-3, Dampak Lingkungan Pengembangan Budidaya Laut Pengembangan budidaya rumput laut dampak yang paling terasa bagi ekosistem lingkungan perairan sekitar yaitu terjadinya penutupan polip-polip hewan karang oleh limbah budidaya rumput laut dan budidaya di atas perairan terumbu karang sehingga terjadi penutupan cahaya yang masuk kedalam perairan ekosistem terumbu karang (Nurfiani, 2003). Budidaya rumput laut dalam pengembangannya tanpa memperhatikan prinsip penataan ruang yang terpadu dan berkelanjutan dapat menimbulkan konflik pemanfaatan antar stakeholder sehubungan dengan fungsi perairan sebagai penyedia jasa transportasi, pariwisata dan lain-lain. Budidaya laut di KJA memerlukan perhatian dalam pengembangan yang tidak memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan hingga kerusakan ekosistem perairan di sekitarnya. Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan teluk adalah buangan limbah budidaya yang mengandung bahan organik dan nutrien dari sisa pakan dan feses yang terlarut dan mengendap di dasar perairan (Johnsen et al. 1993). Pengkayaan bahan organik dapat menyebabkan penurunan produktivitas budidaya dan meningkatkan mortalitas komoditas budidaya sebagai akibat dari kondisi sedimen di bawah wadah budidaya. Johnsen et al. (1993) dalam Rachmansyah (2004) mengatakan bahwa pengkayaan bahan organik dapat mempengaruhi kehidupan makrofauna benthic

38 20 disekitar lokasi budidaya, dicirikan oleh rendahnya keragaman spesies yang bersifat oportunistik. Beberapa jenis bahan organik dalam proses penguraiannya bisa menghasilkan gas-gas beracun, asam-asam organik disamping pelepasan unsur kimia. Slamet et al. (2009) mengungkapkan terdapat kecenderungan adanya tekanan ekologis pada area pengembangan budidaya laut yang ditandai oleh indeks diversitas makrozoobenthos yang rendah. Dampak lingkungan budidaya laut di KJA disebabkan oleh limbah yang dihasilkan berupa kotoran (feces) dari komoditas yang dibudidayakan dan sisa pakan yang membusuk yang secara langsung maupu tidak langsung berpengaruh terhadap kualitas lingkungan perairan di sekitarnya (Beveridge, 1984). Menurut Azwar et al. (2004) hanya sekitar % pakan yang diberikan diberikan untuk pertumbuhan dan sisanya yang tidak termakan berpotensi mencemari perairan. McDonald et al. 1996) mengungkapkan bahwa buangan limbah kegiatan perikanan (budidaya ikan keraou di KJA) mengandung konsentrasi tinggi bahan organik dan nutrien, dari sisa pakan dan feses, sisa produksi yang terlarut ke dalam perairan sehingga menjadi sumber pencemar pada lingkungan sekitarnya. Barg (1992) mengungkapkan bahwa amonia dapat berasal dari limbah budidaya laut berupa feses dan pakan yang tidak termakan yang terlepas ke lingkungan perairan. Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap biota dan toksisitas tersebut akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut. Biota laut khususnya ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan dapat menyebabkan sufokasi (kematian secara perlahan karena lemas) (Effendi, 2003). Menurut Manik (2003), bahwa padatan tersuspensi berasal dari proses erosi di daratan seperti daerah pertambakan dan muara sungai. Padatan tersuspensi merupakan penyebab kekeruhan air, tidak larut dan tidak dapat mengendap langsung (Fardiaz, 1992). Pada dasar perairan, padatan tersuspensi secara perlahan akan menutupi organisme bentos dan dapat mempengaruhi jaringjaring makanan (Canter dan Hill, 1979). Kandungan nitrat dalam perairan bersumber dari limbah industri, limbah domestik dan pertanian, hancuran bahan organik (Manik, 2003). Konsentrasi

39 21 nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan tumbuhan air (ganggang) apabila didukung oleh nutrien yang lainnya seperti fosfat (Alaerts dan Santika, 1987). Laju pergantian air oleh arus dan pasang surut berperan dalam proses pembuangan limbah dan memasok oksigen (Barg, 1992). Pengenceran atau penyebaran area dan sedimentasi dari pembuangan limbah dan dampaknya terhadap ekologi sekitar lokasi budidaya ditentukan oleh dinamika arus dan kedalaman badan air yang menerima beban limbah (Silvert, 1992; Buschman et al. 1996). Dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pengembangan perikanan budidaya tergantung pada praktek budidaya yang dilakukan, besarnya ukuran unit usaha, beban limbah alami maupun limbah budidaya yang dihasilkan, volume badan air, laju pergantian arus (flushing rate), dan karakteristik lain dari badan air (Phillips, 1985 dalam Corne and Whoriskey, 1993). Luas wilayah dampak pengkayaan nutrien dan bahan organik tergantung pada karakteristik produksi budidaya, kedalaman badan air, tofografi dasar perairan, keceparan arus, dan angin yang akan menentukan penyebaran pengendapan partikel, input organik per unit area, dan redistribusi limbah dasar (Barg, 1992; Silver, 1992) Daya Dukung Lingkungan Perairan Daya dukung merupakan suatu suatu konsep dalam mengekspresikan pembatasan dalam pemanfaatan dan pengendalian untuk menjaga kelestarian sumberdaya sehingga sumberdaya dapat dikelola secara berkelanjutan. Khanna (1999) mengungkapkan bahwa daya dukung merupakan basis dalam pembangunan berkelanjutan. Konsep daya dukung secara mendasar menurut Inglis et al. (2000) hubungan antara populasi dengan perubahan sumberdaya alam yang menopangnya. Asumsinya adalah ukuran populasi tidak lagi dapat ditopang oleh sumberdaya alam sehingga telah melampaui daya dukungnya. Pengukuran daya dukung lingkungan di dasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung suatu perairan merupakan keadaan yang sangat dinamis karena sangat dipengaruhi oleh variasi temporal dan spasial faktor-faktor biaotik dan abiotik dari ekosistem tersebut. Savariades (2000) mengungkapkan bahwa daya dukung tidaklah tetap, namun berkembang sesuai dengan waktu,

40 22 perkembangan serta dipengaruhi oleh teknik-teknik manajemen dan pengontrolan. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Secara terpadu pengertian daya dukung adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan. Turner (1988) mendefinisikan daya dukung perairan sebagai areal dimana populasi organisme akuatik akan ditunjang oleh kawasan atau volume perairan tanpa mengalami penurunan mutu. Sejalan dengan definisi tersebut Quano (1993) menyatakan daya dukung perairan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sebagai peruntukkannya. Menurut Poernomo (1997) daya dukung untuk lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (kimia, fisika, biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Telfor dan Robinson (2003) mendefinisikan daya dukung lingkungan perairan sebagai jumlah produksi budidaya perairan yang dapat ditopang oleh suatu lingkungan, dalam suatu kriteria yang didefinisikan. Setiap model daya dukung haruslah mencakup empat hal yaitu (1) apa yang menentukan produktivitas lingkungan; (2) organisme apa yang mengkonsumsi, memproduksi pakan dan limbah; (3) bagaimana lingkungan merespons asupan limbah; dan (4) berapa banyak perubahan diperkenankan. McKindsey et al. (2006) mengungkapkan bahwa dengan mengadopsi konsep daya dukung menurut Inglis et al. (2000) konsep daya dukung untuk budidaya laut dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) fungsi yaitu: (1) daya dukung fisik, merupakan luas maksimum areal perairan budidaya laut yang dapat diabsorbsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik suatu perairan; (2) daya dukung ekonomi, merupakan tingkat skala usaha budidaya laut yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan; (3) daya dukung ekologis, merupakan tingkat maksimum pemanfaatan suatu perairan yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas

41 23 ekologis; dan (4) daya dukung sosial, merupakan tingkat pengembangan budidaya yang dapat diterima oleh masyarakat tanpa memberikan dampak sosial bagi masyarakat. Berdasarkan batasan daya dukung dari berbagai sumber tidak ada definisi baku tentang daya dukung namun lebih difokuskan pada masalah yang mejadi tujuan kajian. Batasan daya dukung dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai kapasitas lingkungan perairan teluk untuk mendukung sejumlah biomassa komoditi budidaya laut untuk dapat tumbuh secara optimal berkelanjutan dalam lingkungan yang telah ditetapkan memenuhi persyaratan kesesuaian perairan untuk masing-masing komoditi. Berdasarkan batasan definisi tersebut potensi perairan dam kondisi biofisik lingkungan perairan serta beban limbah yang masuk ke dalam sistem perairan baik dari budidaya laut itu sendiri maupun sumbangan limbah dari kegiatan di lahan atas (Upland), menjadi peubah penentu penduga daya dukung. Estimasi daya dukung perairan untuk menunjang budidaya ikan laut di Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh dipelihara dalam luasan area yang ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Piper et al dalam Ali, 2003) Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada dekade ini menjadi suatu konsep pembangunan yang diterima oleh banyak Negara di dunia untuk menyelamatkan kehidupan dari kerusakan lingkungan. Konsep ini, semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun internasional. Konsep ini juga bersifat multidisiplin karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan meliputi: aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya dan politik. Saat ini keberlanjutan (sustainability) telah menjadi elemen inti (core element) bagi banyak kebijakan pemerintah di negara-negara di dunia dan lembaga-lembaga strategis lainnya (Ekins dan Simon, 2001). Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini berawal dari pertemuan konferensi internasional lingkungan hidup di Stockholm, Swedia tahun 1972.

42 24 Konferensi ini pertama kali dalam sejarah yang di gagas oleh PBB. Sepuluh tahun kemudian PBB kembali menggelar konferensi tentang lingkungan hidup dan pembangunan pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa ke sidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi ini menghasilkan laporan "Our Common Future" pada tahun 1987, yang memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan (Kay dan Alder, 1999; Beatly et al. 1994). Dalam dokumen itu terkadung definisi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainamble Development), yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak tetapi merupakan batas yang (fleksible) yang tergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam serta daya dukung alam (carrying capacity) untuk menerima dampak kegiatan manusia. Bond et al. (2001) menyatakan bahwa istilah keberlanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Selanjutnya Roderic et al. (1997) menyatakan bahwa keberlanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang dan adil, serta efisien dalam pengalokasian sumberdaya. Bedasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, FAO (1989), mendefinisikan Pembangunan Perikanan Berkelanjutan adalah Pengelolaan dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan perikanan berkelanjutan mengkonservasi perairan, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak

43 25 merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial. Konsep pembangunan diimplementasikan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberikan definisi tentang pembangunan berkelanjutan yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Rogers, Jalal dan Boyd (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial dan dimensi ekonomi. Dimensi ekologi artinya optimalisasi manfaat ekologis tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan sosial. Dimensi sosial maksudnya tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan ekologis. Sedangkan dimensi ekonomi artinya tidak mengabaikan dimensi ekologi dan sosial. Dengan demikian ketiga pilar tersebut harus digerakkan secara simultan dalam perencanaan dan implimentasi pembangunan. Munasinghe (1993) mengungkapkan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan termasuk perikanan berkelanjutan bertumpu pada tiga pilar yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap dimensi saling berhubungan dalam sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Ketiga dimensi tersebut yaitu: (1) dimensi ekonomi untuk melihat pengembangan sumberdaya manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang dan jasa pelayanan; (2) dimensi lingkungan difokuskan pada integritas sistem ekologi ; dan (3) dimensi sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok dan penguatan nilai serta institusi. Untuk mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle). Berdasarkan kerangka segitiga konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi dan sosial bersifat berkelanjutan

44 26 (Serageldin, 1996). Lebih lanjut Charles (2001) mengungkapkan konsep perikanan berkelanjutan mengandung dimensi keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi keberlanjutan komonitas, dan keberlanjutan kelembagaan. Terdapat tiga komponen kunci dalam sistem perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam yang mencakup ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia yang mencakup neayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (3) sistem pengelolaan perikanan yang mencakup perencanaan dan kebijakan perikanan, menajemen perikanan, pembangunan perikanan dan penelitian perikanan. Perencanaan pembangunan budidaya laut berkelanjutan membutuhkan informasi yang tepat tentang opsi penggunaan sumberdaya perairan, pilihan teknologi yang digunakan, perubahan struktur sistem, pola konsumsi, tingkat kualitas hidup yang diinginkan dan status lingkungan yang menjamin tereduksinya tekanan ekologis oleh berbagai proses ekonomi. Pada level wilayah, operasionalisasi skema tersebut membutuhkan proses identifikasi keterkaitan antara kapasitas sumberdaya, aktivitas pembangunan, kapasitas asimilasi, status lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas hidup yang diinginkan. Alder et al. (2002) mengatakan bahwa sampai sekarang masih terjadi diskusi yang hangat tentang istilah keberlanjutan (sustainability) dan bagaimana mengukurnya. Namun demikian secara umum terdapat satu kesepakatan bahwa keberlanjutan harus mencakup komponen ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika. (Antune and Santos, 1999; Costanza et al. 1999, gercia, Staples, and Chesson, 2000 dalam Alder et al. 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan juga dalat dilihat dalam konsep FAO Council dalam FAO (2001) sebagai pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dan perubahan orientasi teknologi dan kelembagaan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Keberlanjutan (sustainability) merupakan kata kunci bagi pembangunan perikanan di seluruh dunia yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyaraat perikanan itu sendiri (Charles, 2001; Fauzi dan Anna, 2002). Alder et al. menyatakan bahwa tantangan bagi pengelolaan perikanan

45 27 adalah menilai keberlanjutan sumberdaya tersebut dengan pendekatan yang bersifat multidisiplin yang mampu mengintegrasikan beberapa aspek yang beragam tersebut. Kerangka pendekatan hukum (legal framework) prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan sebenarnya telah terdapat dalam UNCLOS (1982) dan FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries, 1995 (FAO, 2001). Beberapa pertimbangan diperlukannya pembangunan berkelanjutan diantaranya meliputi: (1) Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan aktivitas pengolahannya harus di dasarkan pada ekosistem kelautan tertentu dam teridentifikasi dengan baik; (2) Memelihara daya dukung sumberdaya terhadap aktivitas pemanfaatan dalam jangka panjang (3) Menghidupi tenaga kerja dalam bidang perikanan dalam masyarakat yang lebih luas (4) Memelihara tingkat kesehatan dan kesatuan ekosistem kelautan untuk pemanfaatan yang lain, termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati, ilmu pengetahuan, nilai intristik dan kegunaan ekonomi lainnya Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Budidaya Laut Raes (1990) dalam Charles (2001) mendefinisikan pengelolaan perikanan berkelanjutan sebagai perubahan positif ekonomi dibidang perikanan dengan tidak mengorbankan sistem ekologi dan sistem sosial. Beberapa peneliti menguraikan keberlanjutan lebih rinci lagi dalam lima dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi kelembagaan dan dimensi etika (Fauzi dan Anna, 2002). Pada setiap dimensi dapat dipilih beberapa variabel atau atribut yang mewakili dimensi bersangkutan digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi memang sangat banyak, namun untuk memudahkan analisis selanjutnya maka sebaiknya dipilih atribut yang benar-benar kuat mewakili dimensi keberlanjutan dan tidak tumpang tindih dengan atribut yang lain serta mudah mendapatkan datanya. Berikut ini akan diuraikan lima dimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut dari berbagai definisi dan konsep tentang pembangunan perikanan berkelanjutan.

46 28 (1) Dimensi Ekologi Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Keberlanjutan ekologi terkait dengan mempertahankan integritas ekosistem, menjaga daya dukung lingkungan perairan, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem perairan menjadi perhatian utama. Dimensi ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya perairan untuk budidaya laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan. Atribut ekologis dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemaanfaatan sumberdaya perairan untuk budidaya laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem perairan tersebut, sehingga budidaya laut dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pemanfaatan perairan untuk budidaya laut yang melebihi daya dukung perairan akan berpengaruh terhadap ketidak berlanjutan kegiatan tersebut. (2) Dimensi Ekonomi Berkelanjutan secara ekonomi mensyaratkan arti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat menciptaan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapasitas, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Dimensi ekonomi meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan, harga dan struktur pasar. Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana budidaya laut berdampak secara ekonomis terhadap keberlanjutan kegiatan budidaya laut tersebut yang pada akhirnya akan berdampak pada keberlanjutan secara ekologis. Kegiatan budidaya laut yang menimbulkan kerugian secara ekonomis tentu tidak akan berlanjut dan mengandung potensi untuk merusak sumberdaya dan lingkungan sehingga juga mengancam keberlanjutan ekologis.

47 29 (3) Dimensi Sosial Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, pertisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi. Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan pemanfaatan sumbedaya perairan untuk budidaya laut berdampak terhadap keberlanjutan sosial komunitas setempat yang akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan (ekologi) merupakan aspek utama yang harus seimbang di dalam pembangunan berkelanjutan (Bengen dan Rizal, 2002). (4) Dimensi Kelembagaan Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, serta aturan dibuat atau dirumuskan. Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan; (2) Kecocokan (relevanse) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi; (3) Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturanaturan dapat ditegakkan. Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat kelembagaan beserta tingkat penegakan, kepatuhan yang dapat mendorong kberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perairan untuk budidaya laut. (5) Dimensi Teknologi Aspek teknologi yang digunakan dalam budidaya laut sangat bergantung pada jenis teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan yang akan memberikan dampak negative terhadap lingkungan perairan. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antara pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjsama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga

48 30 menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada saat pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga pada saat perencanaan, perumusan caracara pemanfaatan, dan pengelolaan. Atribut teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perairan untuk budidaya laut. Oakerson (1992), mengajukan dua alasan penting melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Sumberdaya perikanan termasuk perikanan budidaya laut memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan-benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya. Faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola. (2) Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu sesorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka.

49 Multidimensional Scalling Analisis skala multidimensi multidimensional scaling merupakan salah satu metode multivariate yang dapat menangani data yang non-metric. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space). Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa plotting titik obyek (posisi) di sepanjang sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre, 1983). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan multidimensioanal telah banyak digunakan untuk analisis ekologis. Pendekatan ini juga telah dikembangkan untuk analisis lingkungan dimana salah satu metode yang digunakan adalah metode multidimensioanal scaling (Nijkamp et al. 1980). Legendre dan Legendre (1983) menyebutkan bahwa semua metode ordinasi di dalam ruang yang diperkecil disebut secara umum sebagai metode analisis faktor mengingat semuanya didasarkan pada ekstraksi eigenvector atau faktor dari matrik asosiasi. Metode ordinasi ruang yang diperkecil selain multidimensional scaling antara lain adalah analisis komponen utama (pricipal component analysis), analisis koordinat utama (pricipal component analysis),dan analisis korespondensi (correspondence analysis). Multidimensional scaling berkaitan dengan permasalahan bahwa untuk sejumlah asosiasi ( distance, dissimilarity, similarity ) yang diamati antara setiap pasang N obyek (titik posisi), temukan sebuah wakil asosiasi dari obyekobyek tersebut dalam dimensi yang diperkecil sedemikian sehingga dugaan wakil asosiasi obyek-obyek ini (proximities) hampir sama dengan asosiasi awal (Johnson dan Wichern, 1988). Ketika asosiasi diukur dalam skala interval atau rasio (metrik) maka metodenya disebut metric multidimensional scaling dan jika data diukur dalam skala ordinal atau nominal (non metrik) maka metode analisisnya disebut non-metric multidimensional scaling. Metode non-metric

50 32 multidimensional scaling pertama kali dikembangkan oleh Shepard pada tahun 1962 kemudian dilanjutkan oleh Kruskal pada tahun 1964 (Legendre dan Legendre, 1983; Johnson dan Wichern, 1988). Metode multidimensional scaling yang dibicarakan disini adalah metode non-metric multidimensional scaling. Oleh karena itu untuk selanjutnya metode ini hanya akan disebutkan sebagai metode multidimensional scaling. Metode ini akan mencoba membuat representasi dissimilarity atau jarak antar obyek atau titik posisi dalam dimensi yang lebih kecil dengan tetap mempertahankan karakteristik jarak antar obyek tersebut seperti dalam dimensi banyak (multidimensi). Karakteristik jarak yang akan dipertahankan dalam hal ini bukan nilai nominal jarak tetapi urutan peringkat jarak. Hal ini karena jarak dari obyek yang diukur secara non-metrik tidak memenuhi persyaratan jarak yang metrik, yaitu : 1. Jika a = b, maka D (a,b) = 0; 2. Jika a b, maka D (a,b) > 0; 3. D (a,b) = D (b,a) ; 4. D (a,b) + D (b,c) D (a,c) Jarak yang diukur secara non-metrik dari data ordinal memenuhi syarat ke- 4 yang disebut sebagai triangle inequality axion. Selanjutnya penyimpangan karakteristik jarak setelah ordinasi dibandingkan dengan sebelum ordinasi diukur dalam sebutan stress yang merupakan yang merupakan % penyimpangan dari karakteristik awal. Makin kecil nilai stress berarti makin besar representasi jarak dapat dipertahankan pada analisis ordinasi dalam ruang yang diperkecil atau hasil analisis makin dapat dipercaya. Johnson dan Wichern (1988) memberikan kriteria bahwa stress = 10 % dianggap cukup sedang stress = 20 % dianggap kurang. Namun demikian RAPFISH menggunakan kriteria stress 25 % untuk dapat menerima hasil analisis multidimensional scaling. Nilai stress akan sangat dipengaruhi oleh dimensi akhir yang dibuat. Makin besar dimensi akhir yang dibuat makin kecil nilai stress.

51 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dan hasilnya adalah sebagai berikut : Raharjo (2003) melakukan penelitian tentang Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di Kepulauan Seribu (Studi Kasus Kelurahan Pulau Kelapa). Penelitian bertujuan untuk menentukan kebijakan pengelolaan budidaya laut berdasarkan potensi dan komoditinya melalui pendekatan multi criteria analysis yang mencakup aspek ekologi, ekonomi, sosial, geografi dan teknis. Penelitian dilakukan dengan tiga tahapan yaitu (1) analisis exixting condition budidaya laut dengan metode cost benefit analysis,; (2) analisis prioritas komoditi dengan metode multi criteria decesion making (MCDMA) dan metode data envelopment analysis (DEA); dan (3) analisis kebijakan dilakukan dengan menarik implikasi hasil penelitian pada dua tahap sebelumnya. Hasil cost benefit analysis terhadap kegiatan budidaya terdapat tiga jenis komoditas yang paling menguntungkan yaitu budidaya rumput laut, budidaya pembesaran ikan kerapu, dan budidaya teripang. Analisis MCDMA dan DEA menghasilkan prioritas pengembangan komoditi budidaya laut berturut-turut adalah rumput laut, ikan kerapu dan teripang. Kebijakan yang dapat diambil berdasarkan kajian multidimensi yaitu penataan kembali lokasi budidaya laut, pengembangan teknologi budidaya laut yang mencakup pembenihan, pembesaran, pakan dan pemerantasan penyakit. Nurfiani (2003) melakukan penelitian tentang Kajian Pengembangan Budidaya Perikanan Pesisir dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu. Penelitain bertujuan untuk mengkaji sejauhmana pemanfaatan wilayah pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu melalui pengembangan kegiatan budidaya perikanan pesisir berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat serta memberikan arahan pengembangan secara optimal dan berkelanjutan melalui pemilihan prioritas budidaya. Hasil analisis berdasarkan indikator kesejahteraan diperoleh bahwa terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan antara kelompok masyarakat pembudiaya dan non pembudidaya, sedangkan pada hasil analisis PCA terungkap bahwa setiap variabel pendapatan dan fasilitas rumah tanga merupakan variabel

52 34 yang menjelaskan adanya perbedaan karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir. Hasil analisis MCDM budiaya mutiara merupakan jenis usaha yang memiliki prioritas paling tinggi untuk dikembangkan. Muis (2004) melakukan penelitian tentang Studi Perencanaaqn Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Besar (Pendekatan Sistem). Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dan kendala sumberdaya baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan maupun sumberdaya sosial yang ada di wilayah penelitian dan merancang skenario perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan laut Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa melalui pendekatan sistem dinamik dengan memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal yang didasarkan kepada kebutuhan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan sistem dinamik. Hasil penelitian menyatakan bahwa pemenfaatan wilayah pesisir dan laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa masih memiliki peluang untuk dikembangkan terutama untuk kegiatan budidaya laut. Skenario yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu skenario progresif optimistik dengan persentase pemanfaatan lahan untuk kegiatan ekonomi sebesar 40 % dan konservasi lahan pesisir dan laut Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa sebesar 60 %.

53 35 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir dan laut Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Lokasi penelitian difokuskan pada empat Kecamatan yaitu Kecamatan Moyo Hulu, Kecamatan Lape, Kecamatan Plampang dan Kecamatan Empang (Gambar 2.) Penetuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling berdasarkan pertimbangan bahwa keempat kecamatan tersebut merupakan wilayah pesisir dan laut Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa dan terdapat kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Penelitian dilaksanakan selama 1 (satu) tahun terhitung mulai bulan Januari sampai Desember Gambar 2. Peta lokasi penelitian

54 Tahapan Penelitian Penelitian ini dirancang kedalam 7 (tujuh) tahapan untuk memudahkan pencapaian tujuan penelitian. Adapun ke-tujuh tahapan penelitian ini yaitu : 1. Tahap Persiapan, yaitu melakukan persiapan administrasi, dan persiapan lain untuk memudahkan pelaksanaan penelitian. 2. Tahap studi kepustakaan (desk study), yaitu melakukan kajian leteratur berupa jurnal, laporan penelitian untuk pengumpulan informasi yang relevan dengan pengelolaan budidaya laut di perairan teluk. 3. Tahap pengumpua data, yaitu melakukan pengumpulan data primer dan data sekunder melaui pengukuran lapangan, analisis laboratorium, penyebaran kuesioner, wawancara dan pendapat pakar. 4. Tahap menganalisis kesesuaian perairan budidaya laut, yaitu melakukan analisis kesesuaian perairan dengan metode pembobotan spasial GIS dan AHP. Hasil analisis pada tahap ini diperoleh peta komposit dan luas perairan yang sesuai untuk budidaya laut. 5. Tahap menganalisis daya dukung perairan budidaya laut, yaitu melakukan analisis daya dukung perairan berdasarkan hasil analisis kesesuaian perairan pada tahap 4 (empat). Analisis daya dukung berdasarkan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan berdasarkan kapasitas asimilasi perairan dan pendekatan pengaturan ruang perairan berdasarkan kapasitas perairan. Hasil analisis pada tahap ini adalah luas daya dukung perairan untuk budidaya laut berdasarkan kapasitas asimilasi perairan dan kapasitas perairan. 6. Tahap menghitung nilai indeks dan status keberlajutan pengelolaan budidaya laut, yaitu melakukan analisis keberlanjutan dengan metode MDS Rap Insus Seaweed dan Rap Insus Grouper dengan menggunakan atribut dan nilai skor atribut lima dimensi keberlajutan. Hasil analisis pada tahap ini adalah nilai indeks dan status keberlanjutan masing-masing dimensi, multidimesi dan atribut sensitif (leverage attribute) pengelolaan budidaya laut. 7. Tahap perumasan strategi pengelolaan budidaya laut berkelanjutan, yaitu menyusun skenario pengelolaan dan strategi pengelolaan budidaya laut berkelanjutan dengan menggunakan analisis keberlanjutan dengan metode MDS Rap Insus Seaweed dan Rap Insus Grouper dengan menggunakan

55 37 atribut sensitive pada masing-masing dimensi keberlajutan dan analisis diskriftif kuantitatif (Legendre dan Legendre, 1983). Hasil analisis pada tahap ini adalah perubahan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut berdasarkan scenario dan rumusan strategi serta program pengelolaan budidaya laut berkelajutan. Secara skematis tahapan penelitian untuk pencapaian tujuan penelitian desain pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 3 PERSIAPAN 1 STUDI KEPUSTAKAAN (DESK STUDY) 2 PENGUMPULAN DATA (PRIMER & SEKUNDER) 3 4 Kesesuaian Perairan Budidaya Laut ANALISIS KESESUAIAN (GIS & AHP) Peta Perairan Sesuai BL Luas Perairan Sesuai BL 5 Daya Dukung Perairan Budidaya Laut ANALISIS DAYA DUKUNG (KP, Kapasitas Asimilasi N & Total Loading N Luas Daya Dukung Perairan BL Jumlah Unit Daya Dukung BL 6 Nilai Indeks & Status Keberlanjutan Pengelolaan BL 7 Strategi Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan ANALISIS KEBERLANJUTAN (Rap Insus Seaweed & Grouper) Analisis Deskriptif Kuantitatif (Rap Insus Seaweed & Grouper) Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Masing-Masing Dimensi Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Mutidimensi Perubahan Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Strategi & Program Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan (Selesai) Gambar 3. Tahapan Analisis Untuk Mencapai Tujuan Penelitian

56 Rancangan Penelitian Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh data kondisi saat ini untuk membangun desain pengelolaan budidaya laut berkelanjutan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Penelitian ini dirancang berdasarkan pendekatan untuk dapat menjawab masing-masing tujuan dan mensistesis hasil dari masing-masing tujuan penelitian Kesesuaian Perairan Budidaya Laut Penentuan kesesuaian perairan dilakukan untuk mengetahui luas perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Metode penelitian kesesuaian perairan merupakan pendekatan spasial dengan melakukan pengukuran langsung parameter kualitas air di lapangan dan analisis di laboratorium. Pendekatan spasial bermaksud untuk mempresentasikan dan memodelkan aspek-aspek keruangan dari suatu fenomena (Prahasta, 2002). Kesesuaian perairan didasarkan pada kondisi kualitas air dan kondisi biofisik perairan serta penentuan komoditi prioritas menggunakan pendapat pakar. Berikut ini disajikan metode pengumpulan data dan metode analisis data Metode Pengumpulan Data a. Lokasi Sampling Penentuan titik pengamatan dirancang berdasarkan sistem informasi geografis (SIG) (Clark & Hosking, 1986; Burrough & McDonnell, 1998). Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling (Nasution, 2001), yang mengacu pada fisiografi lokasi, interpretasi peta batimetri, peta sebaran terumbu karang dan lamun, kondisi eksisting budidaya agar sedapat mungkin bisa mewakili atau menggambarkan keadaan perairan tersebut. Koordinat pengambilan sampel dicatat dengan bantuan Global Positioning System (GPS) dengan format (latitude ;longitude). Sampling dilakukan pada 16 (enam belas) stasiun yang terdiri dari: 5 stasiun di Kecamatan Empang, 3 stasiun di Kecamatan Plampang, 5 Stasiun di Kecamatan Lape, 3 stasiun di Kecamatan Moyo Hilir. Secara rinci lokasi stasiun pengambilan sampel disajikan pada Gambar 4. Sampling dilakukan pada musim barat (November-Februari) berkaitan dengan jumlah curah hujan yang tinggi dan

57 39 kemungkinan terjadiya pencampuran masa air vertikal dan upwelling (Nababan et al. 2009). Waktu sampling dilakukan pada pagi hari dengan pertimbangan belum adanya pengaruh sinar matahari dan belum terjadinya proses fotosintesis di perairan. b. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei. Parameter fisik kualitas air dilakukan dengan cara pengukuran langsung secara in-situ pada titik yang telah ditentukan. Selanjutnya untuk parameter kimia perairan dilakukan pengambilan sampel air untuk dianalisis di laboratorium Program Studi Perikanan Universitas Mataram. Pengumpulan data untuk penentuan komoditi prioritas menggunakan teknik pendapat pakar di bidang budidaya laut. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan metode desk study dari berbagai sumber, seperti: BPS, Instansi terkait, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi. Penentuan responden untuk survei pakar dilakukan dengan teknik secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih memiliki kepakaran dalam bidang budidaya rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang dijadikan responden adalah: (a) mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; (b) memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji; dan (c) memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji (Marimin, 2004). Jumlah responden pakar adalah sembilan responden terdiri atas unsur pemerintah, akademisi/peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM). c. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yakni data yang dikumpulkan melalui metode observasi dan pengukuran langsung terhadap obyek penelitian di lapangan. Data primer yang digunanakan untuk analisis kesesuaian perairan adalah data kondisi biofisik dan kualiatas air. Secara rinci parameter, alat dan metode pengukuran data biofisik dan kualitas air yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 3.

58

59 Gambar 4. Peta Stasiun Sampling 40 45

60

61 41 Data sekunder yang diperlukan dalam penentuan kesesuaian perairan adalah data dan peta batimetri, sebaran terumbu karang, peta sebaran lamun, peta zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Data sekunder bersumber dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa, Bappeda Provinsi NTB, Bappeda Kabupaten Sumbawa, Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian Provinsi NTB, Dinas Lingkungan Hidup dan Penanaman Modal Kabupaten Sumbawa, Universitas Mataram, Universitas Samawa. Secara lebih rinci jenis data, sumber data sekunder yang dikumpulkan untuk analisis kesesuaian perairan disajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Paramater, alat, metode dan tempat pengukuran data biofisik dan kualitas air No Parameter Unit/Satuan Alat Metode Parameter Fisik 1 Kedalaman perairan m Meteran In situ 2 Substrat dasar laut % Saringan In situ dan Lab. Bertingkat 3 Arus m/dt Curren meter In situ 4 Kecerahan m Secchi disk In situ 5 Suhu C Termometer In situ 6 Pasang surut m Papan Pasut In situ Parameter Kimia 6 Salinitas ppt Refraktometer In situ 7 DO ppm DO meter In situ 8 ph - ph meter In situ 9 Nitrat ppm Spektrofotometer Lab 11 Koordinat lapangan Lat/long GPS In situ Tabel 4. Jenis data, sumber data dan metode pengumpulan data sekunder analisis kesesuaian perairan No Jenis Data Sumber Data Metode Pengumpulan Data 1 Peta batimetri Peta LPI Bakosurtanal Survei instasional 2 Peta administrasi Peta RBI Bakosurtanal Survei instasional 3 Pasang surut Disidros Survei instasional 4 Terumbu karang Bappeda Kab. Sumbawa Survei instasional 5 Sebaran lamun Bappeda Kab. Sumbawa Survei instasional 5 Rencana zonasi Dinas Perikanan Prov. NTB Penelusuran dokumen

62 Metode Analisis Data Penentuan kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu di KJA dilakukan analisis pembobotan spasial GIS (Bonham dan Carter, 1994), dengan bantuan software Arc-invo versi dan Arc-view versi 3.2. Untuk mendapatkan kelas kesesuaian dilakukan penyusunan matrik kesesuaian perairan merupakan dasar dari analisis keruangan melalui skoring dan pembobotan. Hasil skoring dan pembobotan di evaluasi untuk memperoleh kelas kesesuaian yang menggambarkan tingkat kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Tingkat kesesuaian dibagi atas empat kelas (Bakosurtanal, 1996) yaitu : Kelas S1 : Sangat Sesuai = Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikan masukan atau tingkat perlakukan yang diberikan Kelas S2 : Sesuai = Daerah ini mempunyai pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakukan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan atau tingkat perlakuan yang diperlukan. Kelas S3 : Sesuai bersyarat = Daerah ini mempunyai pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas akan lebih meningkatkan masukan atau tingkatan perlakuan yang diperlukan. Kelas N : Tidak sesuai = Daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

63 43 Matrik kesesuaian perairan disusun melalui kajian pustaka dan diskusi pakar, sehingga diketahui variabel syarat yang dijadikan acuan dalam pemberian bobot. Karena itu, variabel yang dianggap penting dan dominan menjadi dasar pertimbangan pemberian bobot yang lebih besar dan variabel yang kurang dominan. Berikut ini adalah matrik kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu di KJA disajikan pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5. Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut Variabel Kisaran Angka Penilaian (A) Bobot (B) Skor (AXB) Sumber Kedalaman Perairan (m) Kecerahan Perairan (m) Kecepatan Arus (cm/detik) Salinitas Perairan (ppt) Suhu Perairan ( o C) Material Dasar Perairan Oksigen Terlarut (mg/l) < 1 dan > 15 > < dan < 10 dan > < 30 dan > < 20 dan > 30 Berkarang Pasir Pasir / Berlumpur > < 4 ph 6,5-8,5 4 6, 4 dan 8,5 9 < 4 dan > 9, Keterangan: 1. Angka Penilaian berdasarkan petunjuk KKP (2002) yaitu : Radiarta et al. (2003) Radiarta et al. (2003) Radiarta et al. (2003) ; DKP (2002) DKP (2002) DKP (2002) Romimohtarto (2003 DKP (2002) DKP (2002) Romimohtarto, (2003) 5 : Baik 3 : Sedang 1 : Kurang 2. Bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variable dominal (studi literature dan pendapat pakar 3. Skor adalah angka penilaian dikalikan dengan bobot

64 44 Tabel 6. Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA Variabel Kecepatan Arus (cm/detik) Kisaran Angka Penilaian (A) Bobot (B) Skor (AXB) Sumber & < 10 & > Kedalaman Perairan (m) Material Dasar Perairan Oksigen Terlarut (mg/l) Kecerahan Perairan (m) dan < 5 dan > 35 Berpasir dan Pecahan Karang Pasir Berlumpur Lumpur < > 4 > < 3 Suhu Perairan ( o C) dan < 25 dan > 32 Salinitas Perairan (ppt) < 20 dan > 35 ph 6,5-8,5 4 6, 4 dan 8,5 9 < 4 dan > 9,5 Keterangan: Gufron dan Kordi (2005) ; DKP (2002) DKP (2003) Radiarta et al. (2003) Radiarta et al. (2003) Bakosurtanal (1996) ; Wibisono (2005) DKP (2003) Radiarta et al. (2003) DKP (2002) ; DKP (2003) ; Romimohtarto (2003) Radiarta et al. (2003) ; SNI : Bakosurtanal (1996) ; Romimohtarto, (2003) 1. Angka Penilaian berdasarkan petunjuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (2002) yaitu : 5 : Baik 3 : Sedang 1 : Kurang 2. Bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variable dominan (studi literature dan pendapat pakar 3. Skor adalah angka penilaian dikalikan dengan bobot

65 45 Interval kelas kesesuaian perairan diperoleh berdasarkan metode Equal Interval (Prahasta, 2002), selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum tiap bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya yang kemudian dibagi jumlah kelas, kelas kesesuaian dibagi 4 yaitu sangat sesuai, sesuai, sesuai bersyarat dan tidak sesuai. Maka dapat dinyatakan dengan rumus di bawah ini: Selang kelas = Σ (Bi x Si) max Σ (Bi x Si) min 3 Kisaran nilai skor dan kelas kesesuaian hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut dan budidaya ikan kerapu di KJA di perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kisaran nilai skor dan kelas kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA 1) No Kisaran Nilai (Skor) 2) Tingkat Kesesuaian Hasil Evaluasi % S1 Sangat Sesuai % S2 Sesuai % S3 Sesuai bersyarat 4 < 65 % N Tidak sesuai Keterangan : 1) 2) : Rekomendasi DKP (2002) : Bakosurtanal (1996) Metode yang digunakan dalam menentukan kelas kesesuaian perairan adalah scoring atau pembobotan. Maksudnya, setiap parameter diperhitungkan dengan pembobotan yang berbeda. Bobot yang digunakan sangat tergantung dari percobaan atau pengalaman empiris yang telah dilakukan. Semakin banyak sudah diuji coba, semakin akuratlah metode scoring yang yang digunakan. Metode scoring menggunakan pembobotan untuk setiap kesesuaian suatu parameter. Tujuan dari pembobotan ini adalah untuk membedakan nilai pada tingkat kesesuaian agar bisa diperhitungkan dalam perhitungan akhir zonasi dengan menggunakan metode scoring. Tahapan berikutnya yang penting adalah proses overlay. Overlay adalah proses menumpukkan 2 atau lebih data pada cakupan lokasi yang sama agar diketahui kondisi beberapa parameter pada lokasi tersebut. Pada kesesuaian perairan overlay memiliki peran yang penting untuk mempertimbangkan

66 46 kelayakan suatu wilayah untuk tujuan tertentu. Setelah proses overlay, selanjutnya menghitung indeks overlay berdasarkan metode indeks Overlay Model (Bonham dan Carter,1994). Hasil overlay merupakan gabungan data spasial dan atribut dari suatu wilayah. Jadi, tidak hanya batas polygon tetapi juga atribut yang ada dalam polygon tersebut. Proses overlay biasanya hanya bisa menggunakan input dari dua layer. Apabila digunakan banyak layer, overlay dilakukan satu persatu pada layer tersebut. Tahapan analisis overlay untuk kesesuaian perairan untuk budidaya laut disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Tahapan analisis overlay Penamaan data hasil overlay juga harus sederhana tapi menggambarkan tahapan overlay. Diusulkan pemberian nama dengan penomoran. Sebagai contoh Ov_01, Ov_02 dan seterusnya. Hasil dari overlay tersebut adalah file Ov_01. Tahap berikutnya data Ov_01 di-overlay dengan data Salinity yang menghasilkan Ov_02. Hal ini dilakukan seterusnya sampai semua data sudah di-overlay. Perlu

67 47 diketahui bahwa overlay tidak harus dilakukan secara berurutan seperti yang terlihat pada gambar. Urutan yang lain akan memberikan hasil overlay yang sama. Apabila ada layer yang tidak ada, maka overlay dilakukan dengan layer yang tersedia. Tentu saja hal ini akan mengurangi jumlah overlay dan akan mengurangi kualitas dari hasil zonasi kesesuaian. Keterbatasan pada kelengkapan data perlu disampaikan ketika menyampaikan hasil dari zonasi kesesuaian Daya Dukung Perairan Penentuan daya dukung perairan untuk budidaya laut dilakukan untuk komoditi rumput laut dan budidaya ikan kerapu di KJA dilakukan untuk mengetahui luas perairan yang dapat didukung bagi pertumbuhan optimal komoditi yang dibudidayakan. Pendekatan yang dugunakan dalam menentukan daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan berdasarkan kapasitas perairan dan pendekatan berdasarkan kapasitas asimilasi nitrat. Selanjutnya penentuan daya dukug untuk budidaya ikan kerapu di KJA dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan berdasarkan kapasitas perairan dan pendekatan berdasarkan total loading N Metode Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui survei pengukuran di lapangan dan wawancara langsung dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner), wawancara mendalam (deep interview) dan peralatan visual. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui desk study dari berbagai sumber, seperti: BPS, Instansi terkait, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, publikasi ilmiah (buku, jurnal, disertasi, laporan hasil penelitian, prosiding, dan lain-lain). Penentuan responden dari dilakukan secara purposive random sampling (Walpole, 1995). Responden yang dipilih adalah petani rumput laut sebanyak 90 orang dan pembudidaya ikan kerapu di KJA sebanyak 4 perusahaan. Disamping itu, juga dilakukan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh informal maupun formal sebagai responden kunci.

68 48 b. Jenis Data Data primer yang digunanakan untuk analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dan budidaya ikan kerapu di KJA adalah data primer dan data sekunder. Secara rinci jenis data, metode pengumpulan data dan sumber data yang dibutuhkan disajikan pada Tabel 8 dan 9. Tabel 8. Paramater, satuan dan metode pengumpulan dan sumber data pada analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut No Parameter Satuan Metode Pengumpulan Data Sumber Data A. Pendekatan Kapasitas Perairan 1 Luas kesesuain perairan ha Analisis GIS Penelitian ini 2 Panjang unit budidaya m Wawancara Petani rumput laut 3 Lebar unit budidaya m Wawancara Petani rumput laut 4 Lebar sampan dan katir m Wawancara Petani rumput laut B. Pendekatan Kapasitas Asimilasi 1 Luas kesesuain perairan ha Analisis GIS Penelitian ini 2 Rata-rata kedalaman perairan m Interpretasi Peta Batimetri 3 Frekuensi pasang surut kali Analisis pasut Penelitian ini 4 Pasang tertinggi m Analisis pasut Penelitian ini 5 Surut terendah m Analisis pasut Penelitian ini 6 Baku mutu N mg/l Studi pustaka KepmenLH 7 Kemampuan penyerapan N mg/g berat Pong, 2007; Studi pustaka rumput laut jenis hijau kering/jam Herlinah Kemampuan penyerapan N mg/g berat Pong, 2007; Studi pustaka rumput laut jenis coklat kering/jam Herlinah Jumlah tali ris per unit buah Wawancara Petani rumput laut 10 Jumlah rumpun per tali ris buah Wawancara Petani rumput laut 11 Berat bibit per rumpun gr Wawancara Petani rumput laut

69 49 Tabel 9. Paramater, satuan dan metode pengumpulan dan sumber data pada analisis daya dukung perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA No Parameter Satuan Metode Pengumpulan Data Sumber Data A. Pendekatan Kapasitas Perairan 1 Luas Kesesuain Perairan ha Analisis GIS Penelitian ini 2 Panjang Unit Budidaya m Wawancara Petani rumput laut 3 Lebar Unit Budidaya m Wawancara Petani rumput laut 4 Lebar Sampan dan Katir m Wawancara Petani rumput laut B. Pendekatan Konsentrasi N di Perairan 1 Luas Kesesuain Perairan ha Analisis GIS Penelitian ini 2 Rata-rata Kedalaman Perairan m Interpretasi Peta Batimetri 3 Frekuensi Pasang Surut kali Analisis pasut Penelitian ini 4 Pasang Tertinggi m Analisis pasut Penelitian ini 5 Surut Terendah m Analisis pasut Penelitian ini 6 Panjang Petakan Per Unit KJA m Wawancara Pembudidaya 7 Lebar Petakan Per Unit KJA m Wawancara Pembudidaya 8 Kedalaman Petakan Per Unit KJA m Wawancara Pembudidaya 9 Padat Tebar Benih 3 ekor/m Wawancara Pembudidaya 10 Jumlah Petakan Per Unit KJA buah Wawancara Pembudidaya 11 Lama Pemeliharaan bulan Wawancara Pembudidaya 12 Jumlah Pakan yang diberikan kg Wawancara Pembudidaya 13 Kadar N dalam Pakan % Studi Pustaka Hasil Penelitian 14 Kadar P dalam Pakan % Studi Pustaka Hasil Penelitian 15 Jumlah Pakan yang dimakan kg Studi Pustaka Hasil Penelitian 16 Tingkat Kecernaan N Kerapu % Studi Pustaka Hasil Penelitian 17 Tingkat Kecernaan P Kerapu % Studi Pustaka Hasil Penelitian 18 N Tersimpan Dalam Daging % Studi Pustaka Hasil Penelitian 19 P Tersimpan Dalam Daging % Studi Pustaka Hasil Penelitian 20 Rata-Rata Bobot Bibit Ikan gr Wawancara Pembudidaya 21 Rata-Rata Bobot Ikan Saat Panen gr Wawancara Pembudidaya 22 N Baku Perairan Untuk Budidaya mg/l Studi Pustaka KepMen LH No 51 Tahun Jumlah Penduduk di Sekitar Teluk orang Studi Pustaka BPS 24 Jumlah Ternak Sapi ekor Studi Pustaka BPS 25 Jumlah Ternak Kambing ekor Studi Pustaka BPS 26 Jumlah Ternak Ayam ekor Studi Pustaka BPS 27 Produksi Tambak Udang ton/th Studi Pustaka DKP Sumbawa 28 Produksi Tambak Bandeng Ton/th Studi Pustaka DKP Sumbawa 29 Produksi Hatchrey Ekor/th Studi Pustaka DKP Sumbawa 30 Produksi Lahan Pertanian Ton/th Studi Pustaka Dinas Pertanian Sumbawa

70 Metode Analisis Data Daya Dukung Budidaya Rumput laut Analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kapasitas perairan dan pendekatan kapasitas asimilasi N. a. Pendekatan Kapasitas Perairan Penetuan daya dukung berdasarkan pendekatan kapasitas perairan disesuaikan dengan metode atau sistem budidaya yang diterapkan pada wilayah penelitian. Rauf (2007) mengungkapkan bahwa parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung berdasarkan kapasitas perairan adalah luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai berdasarkan analisis GIS, kapasitas perairan, luas unit budidaya dan daya dukung perairan untuk budidaya. Adapun tahapan dalam penentuan analisis daya dukung berdasarkan pendekatan kapasitas perairan budidaya rumput laut sistem long-line adalah sebagai berikut: 1. Penentuan Luas Perairan Sesuai (LPS RL ), Penentuan luas perairan yang sesuai didasarkan atas luas untuk kelas perairan yang sangat sesuai dan sesuai untuk budidaya rumput laut. Data luas dan kelas kesesuaian perairan diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dengan menggunakan analisis GIS dan AHP. Data kesesuaian perairan meliputi wilayah administrasi, luas perairan berdasarkan kelas kesesuaian. 2. Penentuan Kapasitas Perairan Rumput Laut (KPRL), Kapasitas perairan diartikan sebagai persentase perairan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut secara terus menerus yang secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak mengganggu ekosistem peraiaran. Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai (L2) dengan luas unit budidaya yang dikelola oleh masyarakat (L1) dibagi dengan luas perairan yang sesuai (L2) dikali 100%. Penentuan nilai kapasitas perairan dalam penelitian ini dianalisis dengan formula sebagai berikut:

71 51 KP RL = = Keterangan: L 2 L L 2 1 X 100 % (p2 x l2) (p1 x l1 (p2 x l2) X 100 % KP RL = Kapasitas Perairan (%) L1 = Luas unit budidaya yang dikelola (m 2 ) p1 = Panjang unit budidaya yang dikelola (m) l1 = Lebar unit budidaya yang dikelola (m) L2 = Luas unit budidaya yang sesuai (m 2 ) p2 = Panjang unit budidaya yang sesuai (m) = p1 + lebar sampan beserta katir penyeimbang l2 = Lebar unit budidaya yang sesuai (m) = l1 + lebar sampan beserta katir penyeimbang Untuk memberikan gambaran tentang luasan unit budidaya yang dikelola dan luasan unit budidaya yang sesuai sebagai dasar dalam menentukan daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut sistem long line secara detail disajikan pada Gambar m 65 m 75 m 65 m 65 m 10 m 75 m 10 m 65 m 10 m 65 m 65 m 65 m Gambar 6. Tata letak budidaya rumput laut sistem long line

72 52 3. Penentuan Daya Dukung Rumput Laut Berdasarkan Kapasitas Perairan (DD RL KP), Untuk menentukan daya dukung rumput laut berdasarkan kapasitas perairan ditentukan berdasarkan luas perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut sistem long line dikalikan dengan persentase kapasitas perairan. Secara rinci perhitungan daya dukung rumput laut berdasarkan kapasitas perairan dihitung dengan menggunakan formula sebagai beriut: DDRLKP = LPS RL x KP Keterangan: DD RL KP = Daya Dukung Perairan Budidaya Rumput Laut (ha) LPS RL = Luas Perairan Sesuai Budidaya Rumput Laut (ha) KP = Kapasitas Perairan (%) 4. Penentuan Luas Unit Budidaya Rumput Laut (LUB RL ), Untuk menentukan Luas Unit Budidaya Rumput Laut yang dimiliki oleh petani rumput laut di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: LUBRL = PUB RL x LUB RL Keterangan: LUB RL = Luas Unit Budidaya (ha) PUB RL = Panjang Unit Budidaya (m LUB RL = Lebar Unit Budidaya (m) 5. Penentuan Jumlah Unit Budidaya Rumput Laut (JUB RL KP), ditentukan berdasarkan luas daya dukung perairan dikalikan dengan luas rata-rata untuk satu unit budidaya rumput laut di wilayah penelitian. Jumlah unit budidaya rumput laut berdasarkan kapasitas perairan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan formula sebagai beriku:: JUB RL KP = Keterangan: DD RL KP LUB RL JUB RL KP = Jumlah Unit Budidaya Rumput Laut (unit) DDP RL KP = Daya Dukung Perairan Rumput Laut (ha) LUB RL = Luas Satu Unit Budidaya Rumput Laut (m 2 )

73 53 b. Pendekatan Kapasitas Asimilasi N Penetuan daya dukung berdasarkan pendekatan kapasitas asimilasi N ditentukan berdasarkan kemampuan penyerapan rumput laut terhadap beban limbah N. Kapasitas asimilasi didasarkan pada nilai baku mutu air laut N minimal (0.5 mg/l) dan maksimal (1.0 mg/l) untuk kegiatan budidaya (Kep Men LH Adapun tahapan dalam melakukan analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut berdasarkan pendekatan kapasitas asimilasi N di perairan adalah sebagai berikut: 1. Menghitung Volume Total Perairan (V Tot ), Untuk menentukan volume total perairan di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: VTot /hari : F x V pt V pt : (LPS x RKP) x pt Keterangan: V Tot/hari = Volume Total Perairan (m 3 ) F = Frakuensi Pasang Surut (kali) V pt = Volume Pasang Tertinggi(m 3 ) LPSRL = Luas Perairan Sesuai (ha) RKP = Rata-rata Kedalaman Perairan (m) pt = Pasang Tertinggi (cm) 2. Menghitung Flushing Time (FT), Untuk menentukan Flushing Time perairan di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: FT = D = V st Keterangan: 1 D (V pt V st ) F x V pt = (LPS x RKP) x st FT = Flushing Time

74 54 D = Laju Pengenceran (dilution), dapat dihitung dengan formula pergantian pasang yaitu V pt = Volume Pasang Tertinggi (m 3 ) Vst = Volume Surut Terendah (m 3 ) F = Frakuensi Pasang Surut (kali) LPS RL = Luas Perairan Sesuai (ha) RKP = Rata-rata Kedalaman Perairan (m) st = Surut Terendah (cm) 3. Mengitung Kapasitas Asimilasi Perairan (KAP). Untuk menentukan Kapasitas Asimilasi Perairan di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: KAP = (N BM ) x V Tot x FT) x 10 Keterangan: KAP = Kapasitas Asimilasi Perairan N BM = Baku Mutu N V tot = Volume perairan total FT = Flushing Time 4. Menghitung Kapasitas Asimilasi Rumput Laut (KA RL ), Untuk menentukan Kapasitas Asimilasi Rumput Laut di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: -6 KA RL = Keterangan: KAP KPN RL x 10 KA RL = Kapasitas Asimilasi Rumput Laut (ton) Rumput Laut Basah KAP = Kapasitas Asimilasi Perairan (tonn/hari) KPN RL = Kemampuan Penyerapan N Rumput Laut (ton N/gr RL Kering) 10 = Asumsi Rendemen 90 % 5. Menghitung Berat Rumput Laut (B RL ), Untuk menentukan berat rumput laut per hektar luasan budidaya di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: B RL = Keterangan: PUB RL x LUB RL x JTU x BB RL T

75 55 BB RL = Berat Rumput Laut (ton/ha) PUB RL = Panjang Unit Budidaya Rumput Laut (m) LUB RL = Lebar Unit Budidaya Rumput Laut (m) JTU = Jumlah Tali Ris Per Unit Budidaya Rumput Laut (buah) BB RL T = Berat Rumput Laut Per Tali Ris (kg) 6. Menghitung Daya Dukung Rumput Laut Berdasarkan Kapasitas Asimilasi N (DD RL AN), Untuk menentukan Daya Dukung Rumput Laut Berdasarkan Kapasitas Asimilasi N di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: DD RL AN = Keterangan: DD RL AN = KA RL = B RL = KA RL B RL Daya Dukung Rumput Laut Berdasarkan Kapasitas Asimilasi N (ha) Kapasitas Asimilasi Rumput Laut (ton) RL Basah Berat Rumput Laut (ton/ha) 7. Penentuan Jumlah Unit Budidaya (JUB RL AN), Untuk menentukan Jumlah Unit Budidaya Rumput Laut Berdasarkan Kapasitas Asimilasi N di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: JUB RL AN = Keterangan: DD RL AN LUB RL JUB RL AN = Jumlah Unit Budidaya Rumput Laut Asimilasi N (unit) DDP RL A N = Daya Dukung Perairan Rumput Laut Asimilasi N (ha) LUB RL = Luas Satu Unit Budidaya Rumput Laut (m 2 ) Daya Dukung Budidaya Ikan Kerapu Analisis daya dukung perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA di wilayah penelitian dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu: pendekatan kapasitas perairan dan pendekatan loading N.

76 56 a. Pendekatan Kapasitas Perairan Penetuan daya dukung berdasarkan pendekatan kapasitas perairan disesuaikan dengan metode atau sistem budidaya yang diterapkan pada wilayah penelitian. Rauf (2007) mengungkapkan bahwa parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung berdasarkan kapasitas perairan adalah luas perairan yang sangat sesuai dan sesuai untuk budidaya ikan kerapu di KJA di wilayah penelitian berdasarkan analisis GIS, kapasitas perairan, luas unit budidaya dan daya dukung perairan untuk budidaya. Adapun tahapan dalam penentuan analisis daya dukung berdasarkan pendekatan kapasitas perairan dengan metode atau sistem budidaya ikan kerapu di KJA adalah sebagai berikut: 1. Penentuan Luas Perairan Sesuai (LPS IKR ), Penentuan luas perairan yang sesuai didasarkan atas luas untuk kelas perairan yang sangat sesuai dan sesuai untuk budidaya ikan kerapu di KJA. Data luas dan kelas kesesuaian perairan diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dengan menggunakan analisis GIS. Data kesesuaian perairan meliputi wilayah administrasi, luas perairan berdasarkan kelas kesesuaian. 2. Penentuan Kapasitas Perairan Ikan Kerapu (KPIKR), Kapasitas perairan diartikan sebagai persentase perairan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya ikan kerapu di KJA secara terus menerus yang secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak mengganggu ekosistem peraiaran. Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai (L2) dengan luas unit budidaya yang dikelola oleh masyarakat (L1) dibagi dengan luas perairan yang sesuai (L2) dikali 100%. Penentuan nilai kapasitas perairan dalam penelitian ini dianalisis dengan formula sebagai berikut: KP IKR = = L 2 L L 2 1 X 100 % (p2 x l2) (p1 x l1 (p2 x l2) X 100 %

77 57 Keterangan: KP IKR = Kapasitas Perairan Budidaya Ikan Kerapu di KJA (%) L1 = Luas unit budidaya yang dikelola (m 2 ) p1 = Panjang unit budidaya yang dikelola (m) l1 = Lebar unit budidaya yang dikelola (m) L2 = Luas unit budidaya yang sesuai (m 2 ) p2 = Panjang unit budidaya yang sesuai (m) = p1 + lebar sampan beserta katir penyeimbang l2 = Lebar unit budidaya yang sesuai (m) = l1 + lebar sampan beserta katir penyeimbang Untuk memberikan gambaran tentang luasan unit budidaya yang dikelola dan luasan unit budidaya yang sesuai sebagai dasar dalam menentukan daya dukung perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA secara detail disajikan pada Gambar m 12 m 22 m 12 m 12 m 10 m 22 m 10 m 12 m 10 m 12 m 12 m 12 m Gambar 7. Tata letak budidaya ikan kerapu di KJA 3. Penentuan Daya Dukung Budidaya Ikan Kerapu di KJA Berdasarkan Kapasitas Perairan (DD IKR KP), Untuk menentukan daya dukung ikan kerapu di KJA berdasarkan kapasitas perairan ditentukan berdasarkan luas perairan yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu di KJA dikalikan dengan persentase kapasitas perairan. Secara rinci perhitungan daya dukung rumput laut berdasarkan kapasitas perairan dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

78 58 DD IKR KP = LPS IKR x KP Keterangan: DD IKR KP = Daya Dukung Perairan Budidaya Ikan Kerapu (ha) LPS RL = Luas Perairan Sesuai Budidaya Ikan Kerapu (ha) KP = Kapasitas Perairan (%) 4. Penentuan Luas Unit Budidaya Ikan Kerapu (LUB IKR ), Untuk menentukan Luas Unit Budidaya Ikan Kerapu yang dimiliki oleh pembudidaya ikan kerapu di wilayah penelitian dihitung dengan menggunakan formula berikut ini: LUBIKR = PUB IKR x LUB IKR Keterangan: LUB IKR = Luas Unit Budidaya (ha) PUB IKR = Panjang Unit Budidaya (m) LUB IKR = Lebar Unit Budidaya (m) 5. Penentuan Jumlah Unit Budidaya Ikan Kerapu (JUB IKR KP), ditentukan berdasarkan luas daya dukung perairan dikalikan dengan luas rata-rata untuk satu unit budidaya ikan kerapu di wilayah penelitian. Jumlah unit budidaya ikan kerapu berdasarkan kapasitas perairan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut: JUB IKR KP = Keterangan: DD IKR KP LUB IKR JUB IKR KP = Jumlah Unit KJA Budidaya Ikan Kerapu (unit) DDP IKR K P = Daya Dukung Perairan Ikan Kerapu di KJA (ha) LUB IKR = Luas Satu Unit KJA Budidaya Ikan Kerapu (m 2 ) b. Pendekatan Beban Limbah N (Loading Bahan Organik N) Penetuan daya dukung berdasarkan pendekatan beban limbah N dihitung berdasarkan beban limbah perairan yang bersumber dari budidaya ikan kerapu di

79 59 KJA dan beban limbah yang bersumber dari kegiatan anthropogenik di daerah upland. Adapun tahapan adalah sebagai berikut: 1. Pendugaan Beban Limbah Bahan Organik Budidaya Ikan kerapu (Internal Loading), Untuk menentukan loading total bahan organik dari budidaya ikan kerapu, mengacu pada formula Iwana (1991) dalam Barg (1992) adalah sebagai berikut: TO = TU + TFW Keterangan: TO = Total Output Partikel Bahan Organik (kg) TU = Total Pakan Tidak Termakan (kg) TFW = Total Limbah Feses dan Eksresi (kg) Penetuan Total Pakan Tidak Termakan (TU), dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut: TU = TF x UW Keterangan: TU = Total Pakan Tidak Termakan (kg) TF = Total Pakan Diberikan (kg) UW = Persentase Pakan Tidak Termakan (%) = Rasio Total Pakan Dimakan Terhadap Total Pakan Diberikan Penetuan Total Limbah Feses dan Eksresi (TFW), dihitung dengan menggunak formula sebagai berikut: TFW = F x TE Keterangan: TFW = Total Limbah Feses dan Eksresi (kg) F = Persentase Feses (%) = Rasio Total Feses Terhadap Total Pakan Dimakan TE = Total Pakan Dimakan Penetuan Total Total Pakan Dimakan (TE), dihitung dengan menggunak formula sebagai berikut: TE = TF - TU Keterangan: TE = Total Pakan Dimakan (kg) TF = Total Pakan Diberikan (kg) TU = Total Pakan Tidak Dimakan (kg)

80 60 2. Pendugaan Beban Limbah Bahan Organik Kegiatan Anthropogenik Daerah Up-land Upland (Eksternal Loading), Untuk menentukan loading total bahan organik yang bersumber dari kegiatan anthropogenik di daerah up-land, yang berasal dari aktivitas penduduk di sekitar perairan pesisir dilakukan berdasarkan pendekatan Rapid Assessment (Kositranata et al. 1989; Djajadiningrat dan Amir, 1993) mengacu pada formula sebagai berikut: BP = a x f Keterangan: BP = Beban Pencemaran (ton/th) a = Jumlah Unit Penghasil Limbah f = Faktor Konstanta Beban Limbah Organik Pendugaan kuantitatif beban limbah organik dari daratan (up-land), dalam penelitian ini bersumber dari beberapa aktivitas yaitu : (a) pemukiman; (b) peternakan; (c) pertanian dan perkebunan; dan (d) pertambakan. Secara rinci jenis limbah, faktor konstanta beban limbah organik masing-masing aktivitas disajikan pada Tabel 8 berikut ini. 3. Pendugaan Daya Dukung Perairan Untuk Budidaya Ikan Kerapu di KJA. Untuk menentukan Daya Dukung Perairan Untuk Budidaya Ikan Kerapu di KJA di wilayah penelitian, menggunakan pendekatan yang mengacu pada loading total Nitrogen dari limbah yang dihasilkan sistem budidaya dan aktivitas anthropogenik yang terbuang ke perairan. Limbah buangan dari aktivitas budidaya ikan kerapu dan aktivitas anthropogenik akan mengakibatkan pengkayaan nutrien (hypernutrifikasi) ke perairan teluk di wilayah penelitian. Level hypernutrifikasi ditentukan oleh volume badan air, laju pembilasan (flushing rate) dan fluktuasi pasang surut.

81 61 61 Tabel 10. Jenis aktivitas penghasil limbah dan koefisien limbah bahan organik bersumber dari kegiatan anthropogenik Jenis Aktivitas Jumlah Unit Aktivitas Koefesien Total N Total P Satuan Pustaka Limbah (kg/th) (kg/th) (a) (f) (axf) (axf) Rumah Tangga a. Limbah Padat orang 1.86 kgn/org/th 1 0,37 kgp/org /th 2 b. Sampah orang 4 kgn/org/th 3 1 kgp/org/th 3 c. Detergen orang 1 kgp/orang/th 3 Peternakan a. Sapi ekor 43,8 kgn/ekor/th 4 11,3 kgp/ekor/th 4 b. Kambing ekor 4 kgn/ekor/th 4 21,5 kgp/ekor/th 4 c. Ayam ekor 0,3 kgn/ekor/th 5 0,7 kgp/ekor/th 5 Akuakultur a. Tambak Udang ton 5,2 kgp/ton/th 6 4,7 kgn/ ton /th 6 b. Tambak Bandeng ton 2,9 kgn/ ton /th 2 2,6 kgp/ton/th 2 c. Hatchery ton 2,21 kgn/ jt ekor /th 9 0,05 kgp/ jt ekor /th 9 Pertanian Erosi Lahan Pertanian ton 1,68 kgp/ton 2 0,04 kgp/ ton 2 Sumber: 1). Sogreah (1974); 2). Padilla et al. (1997); 3). World Bank (1993); 4). WHO (1993); 5). Valiela et al. (1997); 6). Gonzales et al. (1996)

82 62 Secara rinci formula yang digunakan dalam perhitungan perhitungan nutrifikasi N dengan nutrient loading model yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Barg (1992), adalah sebagai berikut: N Ec = x F V Keterangan: Ec = Konsentrasi N dalam perairan (mg/l) N = Volume N Masuk Ke Perairan (N Budidaya dan Anthropogenik) V = Volume Perairan (m 3 ) F = Flushing Time (hari) Menghitung Flushing Time (FT), adalah waktu (jumlah hari) yang diperlukan limbah tinggal dalam badan air, sehingga lingkungan perairan menjadi bersih. Untuk menentukan Flushing Time perairan di wilayah penelitian dihitung dengan pendekatan tidal exchange method menggunakan formula berikut ini: 1 FT = D D = Laju Pengenceran (dilution), dapat dihitung dengan formula pergantian pasang yaitu D = (V h V l ) T x V h Keterangan: FT = Flushing Time V h = Volume Air Pada Saat Pasang Tertinggi (m 3 ) Vl = Volume Air Pada Saat Surut Terendah (m 3 ) T = Frakuensi Pasang Surut (kali) Menghitung Volume Badan Air Teluk (FT), Untuk menentukan Volume Badan Air Teluk di wilayah penelitian diukur pada saat pasang tertinggi MHWS (Mean High Water Spring), dan pada saat surut terendah MLWS (Mean Low Water Spring) dihitung menggunakan formula berikut ini:

83 63 V h = Vl = Vh - V l = Keterangan: A x h1 A x h0 Perubahan Volume Karena Efek Pasang Surut V h = Volume Air Pada Saat Pasang Tertinggi (m 3 ) Vl = Volume Air Pada Saat Surut Terendah (m 3 ) A = Luas Perairan Teluk (m 2 ) h1 Kedalaman Air Saat Pasang Tertinggi (m) h 0 Kedalaman Air Saat Surut Terendah (m) 4. Pendugaan Nilai Produksi Optimal Budidaya Ikan Kerapu sama dengan Jumlah Unit KJA Sesuai Daya Dukung Pendekatan Konsentrasi N (JUB KRP KN). Untuk menentukan Jumlah Unit KJA Sesuai Daya Dukung Pendekatan Konsentrasi N di wilayah penelitian, menggunakan pendekatan menghubungkan nilai N baku mutu perairan untuk budidaya berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Tahun 2004, dengan nilai konsentrasi N dalam air dengan menggunakan formula sebagai berikut: P = optkrp Keterangan: N BM Ec P = optkrp N BM = Ec Jumlah Unit KJA Sesuai Daya Dukung Pendekatan Konsentrasi N di Perairan (unit/ha) Nilai Baku Mutu N KepmenLH No. Tahun 2004 (mg/l) = Konsentrasi N dalam perairan (mg/l)

84 Status Keberlanjutan Pengelolaan Budidaya Laut Penentuan status keberlanjutan budidaya laut dalam penelitian ini dilakukan untuk komoditi budidaya rumput laut sistem long line dan budidaya ikan kerapu sistem KJA. Analisis keberlanjutan dilakukan untuk mengetahui nilai indeks dan status keberlanjutan dari masing-masing komoditi di wilayah penelitian berdasarkan pendekatan lima dimensi keberlanjutan yaitu: (a) dimensi ekologi; (b) dimensi ekonomi; (c) dimensi sosial-budaya; (d) dimensi teknologiinfrastruktur; dan (e) dimensi hukum-kelembagaan Metode Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan kuisioner terstruktur atau semi terstruktur. Pendapat para pakar dihimpun melalui wawancara mendalam (deep interview) atau focus group discussion (FGD). Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan metode desk study dari berbagai sumber, seperti: BPS, Instansi terkait, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, publikasi ilmiah (buku, jurnal, disertasi, laporan hasil penelitian, prosiding, dan lain-lain). b. Teknik Penentuan Responden Penentuan responden dari dilakukan secara purposive random sampling (Walpole, 1995). Responden yang dipilih adalah petani rumput laut yang berjumlah 90 orang dan pengusaha budidaya ikan kerapu di KJA sebanyak 4 perusahaan. Disamping itu, juga dilakukan wawancara mendalam dengan tokohtokoh informal maupun formal sebagai responden kunci. Penentuan responden untuk survei pakar dilakukan dengan teknik secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih memiliki kepakaran terhadap bidang sesuai dengan penelitian ini yaitu budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang dijadikan responden adalah: (a) mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; (b) memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji; dan (c) memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji (Marimin, 2004). Jumlah

85 65 responden pakar ialah sembilan responden terdiri atas unsur pemerintah, petani budidaya rumput laut, pengusaha budidaya ikan kerapu, pedagang pengumpul, pengusaha pengolahan rumput laut, akademisi, peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM). c. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer yakni data yang dikumpulkan melalui metode observasi dan pengukuran langsung terhadap obyek penelitian di lapangan. Data sekunder yakni melalui pengumpulan data dari instansi terkait dan pernah melakukan penelitian di wilayah penelitian. Jenis data dalam penelitian ini disesuaikan dengan hasil identifikasi masing-masing atribut dari kelima dimensi keberlanjutan yaitu: (a) dimensi ekologi; (b) dimensi ekonomi; (c) dimensi sosialbudaya; (d) dimensi teknologi-infrastruktur; dan (e) dimensi hukum-kelembagaan Metode Analisis Data Analisis keberlanjutan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA di wilayah kajian dilakukan dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu pendekatan dengan Rap-Insus-Seawed (Rapid Appraisal Indeks Sustainability of seaweed Management) dan Rap-Insus-Grouper (Rapid Appraisal Indeks Sustainability of Grouper Management) telah dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assessment Technique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh, 2001; Pitcher and Preikshot, 2001; Fauzi dan Anna, 2002). Metode MDS dalam penelitian ini mengembangkan dari Progam Rapfish G77 Alscal (VBA dan Excel) menjadi Program Simple Rap Insus Marine Culture Alglib (.net Windows Aplication) yang lebih mudah. Adapun tahapan analisis keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA laut adalah sebagai berikut:

86 66 a. Identifikasi dan Penentuan Atribut Lima Dimensi Keberlanjutan Tahap pertama dari analisis ini adalah melakukan review dan menentukan atribut dari kelima dimensi keberlanjutan pengelolaan rumput laut di lokasi penelitian. Penentuan atribut mempertimbangkan prinsip-prinsip sistem budidaya rumput laut berkelanjutan (FAO, 2009). Penentuaan atribut untuk masing-masing dimensi diperoleh melalui review literatur untuk masingmasing dimensi keberlanjutan yang relevan dengan penelitian ini seperti indikator dari Rapfish (Kavanagh, 2001); Tesfamichael dan Pitcher (2006); Charles (2000); Nikijuluw (2002) dan Arifin (2008), Alder et al. (2000), (Soekartawi, 2002), selanjutnya dilakukan wawancara mendalam dengan para pakar masing-masing dimensi untuk dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan atribut dalam penelitian ini. 1. Penentuan atribut untuk dimensi ekologi adalah atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Atribut dalam dimensi ekologi mencerminkan bagaimana kondisi biologi, gentika dan biofisik perairan dapat mendukung petumbuhan dan produksi, sehingga akan menopang keberlanjutan pengelolaan rumput laut 2. Penentuan atribut dimensi ekonomi atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Atribut dalam dimensi ekonomi mencerminkan bagaimana usaha budidaya rumput laut memberikan manfaat ekonomi secara mikro maupun makro sehingga akan menopang keberlanjutan pengelolaan berdampak terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA. 3. Penentuan atribut dimensi sosial atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan termasuk tatanan sosial di wilayah penelitian. Atribut dalam dimensi sosial-budaya mencerminkan bagaimana kegiatan sosial-budaya masyarakat setempat dapat menjamin keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA.

87 67 4. Penentuan atribut dimensi teknologi atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan. Atribut dalam dimensi teknologi dan infrastruktur mencerminkan teknologi yang diterapkan dan ketersediaan infrastruktur dapat mendukung atau menopang keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA. 5. Penentuan atribut dimensi kelembagaan atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan. Atribut dalam dimensi hukum dan kelembagaan mencerminkan ketersediaan perangkat hukum dan keberadaan kelembagaan yang mendukung atau menopang keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Identifikasi dan penetuan atribut akan menghasilkan atribut-atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Secara rinci hasil identifikasi dan penentuan atribut dari masing-masing dimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut disajikan pada Lampiran 1-5 dan untuk komoditi ikan kerapu di KJA disajikan pada Lampiran b. Proses Ordinasi Tahap ketiga dari analisis ini adalah melakukan proses ordinasi setelah pemberian setiap atribut dan dimensi. Melalui analisis MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu vertikal dan horisontal). Melalui metode rotasi sumbu maka posisi titik-titik tersebut dapat diproyeksikan pada garis mendatar dimana titik ekstrem buruk diberi nilai skor 0 % dan titik ekstrim baik diberi skor 100 %. MDS dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Objek atau titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain.

88 68 Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Posisi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim dan dapat dianalisis indeks keberlanjutan dengan melihat nilai persentase keberlanjutan pengelolaan pada garis horisontal tersebut. Proses ordinasi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA ini menggunakan perangkat lukan RAPFISH (Kavanagh, 2001). Proses ordinasi selanjutnya setelah titik acuan utama horizontal adalah (Susilo, 2003): 1 Membuat titik acuan utama lainnya yaitu titik tengah merupakan titik tengah baik dan titik tengah buruk. Dua titik tambahan ini akan menjadi acuan arah vertikal ( atas atau up dan bawah atau down ) dari ordinasi; 2 Membuat titik acuan tanbahan yang disebut dengan titik acuan jangkar (anchors) yang berguna untuk stabilizer dan menempatkan titik pada posisi yang tidak sama pada ruang multidimensi yang sama; 3 Melakukan standarisasi skor untuk setap atribut sehingga setiap atribut mempunyai bobot yang seragam dan perbedaan antar skala pengukuran dapat dihilangkan; 4 Meghitung jarak antar titil-titik acuan dengan metode Euclidean distance squared (seuclied); Alder et al. (2001) menyatakan bahwa titik ordinasi dengan mengkonfigurasikan jarak antar titik dalam t- dimensi yang mengacu pada jarak euclidien antar titik. Dalam ruang dua dimensi jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut: d 2 1 x2 + y1 y2 2 = x...(1) Sedangkan dalam n-dimensi jarak Euclidien dirumuskan sebagai berikut:

89 69 d x2 + y1 y2 + z1 2 + = x z...).(2) 5 Membuat ordinasi baik untuk seluruh dimensi dan seluruh atribut berdasarkan algoritme analisis MDS. Dalam analisis MDS, dimensi atribut yang semula sebanyak p direduksi menjadi 2 (dua) dimensi saja yang akan menjadi sumbu x dan sumbu y. Selanjutnya menghitung kembali jarak antara titik-titik acuan tetapi menggunakan dua dimensi; Dalam menilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA, masing-masing kategori yang terdiri atas beberapa atribut di skor. Skor secara umum dirangking antara 0 sampai 3. Hasil skor dimasukkan ke dalam tabel matrik dengan i baris yang mempresentasikan kategori pengelolaan budidaya rumput laut dan j kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data dalam matrik adalah data interval yang menunjukkan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay, 1991). Salah satu pendekatan untuk menormalkan data adalah dengan nilai Z (Alder et al. 2001). Z = (x- µ)/σ...(3) 6 Menghiting nilai stress (standarlize residual sum of square), dengan menggunakan nilai jarak pada saat dua dimensi dan hasil analisis regresi antara dua dimensi dengan nilai jarakk pada saat p dimensi (nilai harapan jarak pada saat dua dimensi). Analisis MDS berhenti jika nilai stress telah memenuhi persyaratan yang dikehendaki, dalam hal ini <0,20 atau jika stress tidak turun lagi di dalam iterasi. Kruskal dalam Johnson dan Wichern (1992) mengajukan sebuah ukuran luas secara geometris yang mempresentasikan kecocokan. Ukuran tersebut diistilahkan dengan stress. Stress didefinisikan sebagai : ( q) ( q) 2 ( d ik dik ) i< k ( q) [ ] dik Stres ( q) = 2.(4) i< k Stress

90 70 c. Proses Rotasi Tahap keempat dari analisis ini adalah proses rotasi dan proses flipping dilakukan agar posisi titik acuan utama buruk dan baik berada sejajar dengan sumbu x, sedangkan atas berada di atas sumbu x dan bawah berada di bawah sumbu x. Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrim buruk yang diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim yang baik diberi nilai skor 100%. Untuk menjamin tidak terjadinya kesalahan dalam posisi titik yang bersifat kebalikan cermin maka dilakukan proses flip untuk titik-titik tertentu yang mengalami kesalahan. Posisi status keberlanjutan yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim tersebut. Nilai ini merupakan indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah penelitian saat ini. d. Skala Indeks Keberlanjutan Tahap kelima adalah pembuatan skala indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA yang mempunyai selang Jika sistem yang dikaji mempunyai indeks >50 maka sistem tersebut dikategorikan berkelanjutan, dan sebaliknya jika nilainya <50, maka sistem tersebut dikategorikan belum berkelanjutan. Kategori status keberlanjutan pegelolaan budidaya rumput laut dapat juga di buat dalam empat kategori (Susilo, 2003). Dalam penelitian ini disusun empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar (0 100) seperti disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kategori status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu di KJA berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-Seaweed Indeks Kategori 24,9 Buruk 25 49,9 Kurang 50 74,9 Cukup > 75 Baik Sumber: Susilo (2003)

91 71 e. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap Insus-Seaweed dan Insus-Grouper di wilayah penelitian. Peran masing-masing atribut terhadap nilai indeks keberlanjutan dianalisis dengan attribute leveraging, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu x atau pada skala accountability. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut di dalam pembentukan nilai Insus- Seaweed dan Insus-Grouper pada skala keberlanjutan, atau semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan budidaya rumput laut. Atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan (sensitivitas) tinggi dari hasil analisis keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut ini, akan digunakan sebagai dasar penetapan atribut dalam analisis simulasi model dinamik (keberlanjutan) pengelolaan budidaya rumput laut berkelanjutan. f. Analisis Monte Carlo Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi pengelolaan ekosistem terumbu karang digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh (2001), analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal sebagai berikut: 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut. 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda. 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi). 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 5. Tingginya nilai stress hasil analisis Rap-Insus-Seaweed dan Rap- Insus-Grouper (nilai stress dapat diterima jika < 25%).

92 72 Secara skamatis, tahapan analisis Rap-Insus-Seaweed dan Rap-Insus- Grouper menggunakan metode MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish disajikan pada Gambar 8. Mulai Kondisi Pengelolaan Budidaya Laut ini Penentuan Atribut Sebagai Kriteria Penilaian MDS (Ordinasi Setiap Atribut) Penilaian (skor) Setiap Atribut Analisis Monte Carlo Analisis sensitivitas Analisis Keberlanjutan Gambar 8. Tahapan analisis Rap-Insus-Seaweed dan Rap-Insus-Grouper menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish 3.7. Strategi Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan Dalam rangka memformulasikan rekomendasi kebijakan yang dapat mendorong pengelolaan budidaya laut berkelanjutan, maka diperlukan strategi pengelolaan yang memperhatikan atribut-atribut sensitif terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya laut. Strategi pengelolaan, dimulai dengan mengurut prioritas dimensi dan atribut prioritas dalam setiap dimensi yang perlu diperbaiki. Untuk mengetahui prioritas yang perlu diperbaiki, maka dilakukan penentuan prioritas dimensi dengan melakukan pengurutan nilai dari indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi, kemudian dimensi yang memiliki nilai indeks lebih rendah dianggap sebagai dimensi yang harus dikelola atau diperbaiki Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka atribut-atribut dari ke lima dimensi selanjutnya disusun berdasarkan urutan prioritas dengan indikator nilai RMS. Prioritas urutan di mulai dari atribut yang memiliki nilai RMS yang paling besar.

93 73 Selanjutanya strategi yang dilakukan adalah interfensi terhadap masing-masing atribut yang disusun dalam tindakan berdasarkan prioritas jangka waktu, yaitu jangka pendek-menengah dan jangka panjang. Penentuan rentang waktu tersebut, untuk jangka pendek dan menengah adalah 1-5 tahun dan 6-10 tahun. Pertimbangan tersebut didasarkan kepada lamanya kepemimpinan dari kepala pemerintah daerah. Ketentuan perubahan atribut adalah untuk atribut yang diinterfensi sebagai prioritas jangka pendek-menengah, skor dari atribut yang diinterfensi meningkat satu skala dan 2 skala atau maksimal untuk prioritas jangka menengah. Interfensi atau perbaikan tersebut merupakan strategi yang akan dilakukan dalam bentuk kebijakan operasional yang mungkin bisa dilakukan dan disesuaikan dengan pertimbangan rasionalitas, ketersediaan biaya, ketersediaan SDM dan dapat dengan mudah untuk dilakukan. Selanjutnya hasil skoring dan penentuan jangka waktu pelaksanaan, akan dilakukan sekenario kebijakkan operasional dalam bentuk program jangka pendek dan menengah. Selanjutnya untuk masing-masing skenario tersebut dievaluasi perubahan indeks multidimensinya dengan menggunakan analisis Rapfish Strategi yang dilakukan adalah membuat skenario dalam bentuk kebijakan operasional yang dapat dilakukan pada jangka pendek. Adapun strategi yang dilakukan adalah intervensi dan perbaikan dalam upaya meningkatkan nilai skala pada atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi dari masing-masing dimensi. Pada skenario jangka menengah, strategi yang dilakukan adalah menyusun kebijakan yang dapat dioperasionalkan dalam jangka menengah, yaitu dengan melakukan interfensi dan perbaikan dalam upaya meningkatkan nilai skala pada atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi. Kebijakan operasional jangka menengah ini disusun atas dasar pertimbangan:1) tingkat kesulitan, 2) besaran anggaran dan 3) pembangunan dan proses membutuhkan waktu dan ruang.

94 74

95 Kondisi Geografis IV. KONDISI UMUM WILAYAH K awasan Teluk Saleh terletak di sebelah utara Pulau Sumbawa, Secara administrasi batas-batas Wilayah Teluk Saleh di Kabupaten adalah sebagai berikut : Sebeah Utara Sebelah Timur : Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa : Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu Sebelah Selatan : Kecamatan Plampang, Maronge, Empang, dan Tarano Kabupaten Sumbawa Sebelah Barat : Kecamatan Moyo Utara, Moyo Hilir, Lape Kabupaten Sumbawa Luas wilayah Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa seluas hektar. Secara administrasi terdapat 7 (tujuh) kecamatan dengan 24 desa pesisir. Secara rinci luas wilayah administrasi Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 9. Tabel 12. Luas wilayah administrasi di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa No Kecamatan Desa Pesisir Luas Wilayah (ha) 1 Moyo Hilir Olat Rawa Batu Bangka Labuhan Ijuk Moyo Utara Pungkit Kukin Baru Tahan 967 Penyaring Maronge Maronge Labuhan Sangoro Lape Labuhan Kuris Plampang Plampang Teluk Santong Brang Kolong Usar Sepayung Empang Boal Empang Atas Jotang Ongko Gapit Tarano Labuhan Bontong Labuhan Aji Labuhan Jambu Labuhan Pidang Luas Total Sumber: Kabupaten Sumbawa Dalam Angka (2013)

96 76 76 Gambar 9. Peta wilayah administrasi wilayah pesisir Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa

97 Iklim dan Cuaca Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa merupakan daerah yang beriklim tropis yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan yaitu bulan November sampai Mei dan musim kemarau pada bulan April sampai September. Suhu rata-rata pertahun mencapai 31 o C, suhu ini mengalami penurunan dengan meningkatnya ketinggian. Rata-rata suhu terendah pertahun adalah 24 o C. Pada tahun 2010 suhu maksimum mencapai 37,4 o C yang terjadi pada bulan Nopember dan suhu minimum 18,3 o C yang terjadi pada bulan Agustus. Rata-rata kelembaban udara tertinggi selama tahun 2010 mencapai 88% pada bulan Februari dan terendah mencapai 68% pada bulan Oktober. Kondisi iklim daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata yang terjadi sepanjang tahun 2010 sebanyak 151,53 mm/bulan dan hari hujan rata-rata sebanyak 169 hari, dengan curah hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 490,4 mm dan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember sebanyak 24 hari. Curah hujan tertinggi cenderung terjadi pada bulan Januari, Februari dan Desember dan terendah cenderung terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Banyaknya hari hujan tertinggi cenderung terjadi pada Januari, Mei dan Desember dan terendah cenderung terjadi pada Juni, Juli dan Agustus. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berhubungan dengan musim, yang ditunjukkan curah hujan dan hari hujan rendah cenderung terjadi pada bulan musim kemarau. Gambar 10. Banyakya curah hujan dan hari hujan tahun 2010 di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

98 78 Informasi tentang jumlah curah hujan, jumlah hari hujan dan pergeseran waktu curah hujan tertinggi yang merupakan prediksi dari hasil analisis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) wajib disampaikan pemerintah kepada pembudidaya agar mereka bisa mengantisipasi kondisi tersebut. Data curah hujan dan hari hujan yang akurat, diperlukan untuk budidaya laut seperti untuk menentukan jadwal tanam komoditi budidaya laut. Curah hujan dan hari hujan terkait erat dengan salinitas perairan, khususnya di perairan Teluk Saleh yang menjadi muara banyak sungai. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan salinitas perairan turun ke level yang tidak sesuai untuk pertumbuhan komoditi budidaya laut. Selain itu, musim hujan menyebabkan peningkaan dinamika laut yang ditunjukkan oleh arus kuat dan gelombang tinggi yang dapat menghambat pertumbuhan komoditi budidaya laut Sungai Sungai merupakan badan air permukaan (surface water body) yang dicirikan sebagai perairan mengalir (lotik) dimana arus air bersifat searah, dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Sungai mempunyai fungsi fisik, biologi dan kimiawi. Fungsi fisik sungai yang utama adalah menampung sementara curah hujan, mengalirkan air dan mengangkut sedimen hasil erosi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dan alurnya. Berdasarkan kondisi alirannya, sungai dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe aliran yaitu: a. Sungai tipe parennial, yaitu sungai yang memiliki aliran sepanjang tahun. b. Sungai tipe annual, yaitu sungai yang alirannya besar pada musim hujan akan tetapi pada musim kemarau sangat kecil sampai tidak ada aliran air. c. Sungai tipe intermitten, yaitu sungai yang alirannya hanya ada pada saat hujan, satu jam setelah hujan alirannya berhenti. Teluk Saleh merupakan muara bagi 15 sungai yang terdapat di Kabupaten Sumbawa. Aliran sungai tersebut sangat berperan dalam menentukan kondisi perairan. Aliran sungai dapat mempengaruhi salinitas perairan, sedimentasi, membawa aliran nutrien, bahan pencemar dan proses-proses dinamika pantai. Sungai-sungai yang bermuara sebagian besar merupakan sungai intermitten. Beberapa sungai lainnya bersifat annual dan parennial dimana sungai tipe ini berperan penting bagi pengairan lahan sawah. selama musim hujan. Sungai

99 79 parennial dan annual yang relatif besar bermuara di Teluk Saleh antara lain Brang Nangabangka di Desa Labuhan Kuris, Brang Maronge di Desa Maronge, Brang Nangabu dan Brang Nangali di Desa Teluk Santong. Secara rinci sungai-sungai yang bermuara di Teluk Saleh sebagaimana disajikan pada Tabel 13 dan Gambar Kondisi Oceanografi Kedalaman Perairan Kedalaman perairan merupakan faktor yang diperlukan dalam budidaya laut. Beberapa komoditi budidaya laut seperti rumput laut membutuhkan perairan yang tidak terlalu dalam dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu. Garis-garis kontur kedalaman atau model batimetri perairan Teluk Saleh diperoleh dengan menginterpolasikan titik-titik kedalaman yang tersebar pada lokasi dengan teknik triangulasi menggunakan interpolasi linear berdasarkan Peta Lingkungan Laut Nasional, Bakosurtanal (1996). Kedalaman maksimum perairan Teluk Saleh menurut Peta Lingkungan Laut Nasional mencapai 324 m. Secara umum, kondisi batimetri Teluk Saleh di wilayah Kabupaten Sumbawa relatif landai dan dangkal dibandingkan dengan kondisi perairan di wilayah Kabupaten Dompu yang lebih curam dan sangat dalam. Menurut Wibisono (2005) relief dasar laut mempengaruhi kedalaman suatu perairan. Model batimetri perairan Teluk Saleh pada wilayah perairan Kabupaten Sumbawa tidak memiliki pola keteraturan kedalaman. Hal ini disebabkan karena di wilayah ini terdapat banyak pulau kecil dan takad. Secara spasial model batimetri perairan Teluk Saleh disajikan pada Gambar 12. Budidaya rumput laut parameter kedalaman berkaitan dengan pembangunan instalasi budidaya, maupun keberlangsungan usaha. Pada saat yang sama, perairan yang terlalu dalam memungkinkan kemampuan penetrasi cahaya tidak maksimal. Semakin dalam suatu perairan akan semakin berkurang penetrasi cahaya. Sebaliknya perairan yang terlalu dangkal dapat menyebabkan bervariasinya suhu. Selanjutnya pada budiaya ikan kerapu di KJA parameter kedalaman perairan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya, akumulasi sisa pakan dan penempatan instalasi budidaya.

100 80 80 Gambar 11. Peta sungai-sungai bermuara di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

101 81 81 Tabel 13. Sungai yang bermuara di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa No Kecamatan Nama Sungai Muara Tipe 1. Moyo Hilir Kokar Prajak Teluk Prajak Intermitten Kokar Labuhan Ijuk Labuhan Ijuk Intermitten Kokar Senika Teluk Labuhan Ijuk Intermitten Kokar Songkong Teluk Labuhan Ijuk Annual 2. Lape Brang Nangabangka Labuhan Kuris Parennial 3. Maronge Kokar Aiteras Teluk Penyiki Intermitten Kokar Sampanbela Teluk Tanjung Dewa Intermitten Brang Maronge Maronge Parennial Brang Bera Maronge Parennial Brang Kolong Maronge Annual 4. Plampang Brang Nangabu Teluk Labutunuk Parennial Brang Nangagali Tanjung Nangagali Parennial 5. Tarano Brang Kubirkijang Teluk Gagak Annual Brang Boal Teluk Gagak Annual Brang Lementa Parang Annual Brang Kesaming Parang Intermitten Brang Jambu Labuhan Jambu Intermitten Brang Ketapang Ketapang Intermitten Brang Banga Banga Intermitten Brang Kunil Kunil Intermitten Brang Ode Teluk Kunil Intermitten Brang Pidang Pidang Intermitten Sumber: DKP NTB (2010)

102 82 82 Gambar 12. Peta kedalaman perairan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

103 83 Gambar 13. Peta sebaran kedalaman perairan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa 83

104 84 Hasil pengukuran kedalaman perairan pada lokasi sampling di Teluk Saleh berkisar antara 4-16 m. Kedalaman optimal budidaya rumput laut sistem long line berkisar antara 1-10 m (Radiarta et al. 2003). Sedangkan kedalaman optimal untuk budidaya ikan kerapu di KJA berkisar antara m (DKP, 2005; Radiarta et al. 2003). Kedalaman perairan di wilayah perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa memiliki kisaran nilai yang mendukung bagi budidaya laut, untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung. Secara rinci sebaran spasial kedalaman perairan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar Pasang Surut Pasang surut pada proses penentuan alokasi pemanfaatan ruang difungsikan sebagai salah satu parameter dalam evaluasi daya dukung perairan, untuk budidaya rumput laut dan keramba jaring apung. Untuk mengetahui sifat perairan Teluk Saleh dilakukan pengamatan pasang surut sebagai fenomena air laut yang dapat diamati sehari-hari. Hasil pengamatan dievaluasi dengan pendekatan harmonik air laut untuk mendapatkan konstanta harmonik barupa amplitudo (A) dan beda fase (g 0 ). Kemudian dianalisa untuk mendapatkan tipe pasang surut, kedudukan air laut terendah dan tertinggi yang mungkin terjadi, besar mean sea level (S 0 ), besar amplitudo dan beda fase setiap konstanta harmonik pasang surut yang merupakan sifat-sifat dari suatu perairan. Termasuk juga komponen pasang surut yang terbesar dan terkecil, tunggang air rata-rata dan waktu pasang surut purnama. Pengamatan pasang surut di Teluk Saleh dilakukan pada tanggal 1-15 Maret Data yang digunakan berupa data numerik yang disusun dalam tabel kedudukan tinggi air laut (dalam satuan sentimeter) tiap jam (24 jam) untuk 15 hari pengamatan dan sudah terkoreksi. Perhitungan dengan metode Admiralty, yaitu perhitungan untuk mencari harga amplitudo (A) dan beda fase (g 0 ) dari data pengamatan selama 15 piantan (hari pengamatan) dan mean sea level (S 0 ) yang sudah terkoreksi. Dari besaran amplitudo (A) dan beda fase (g 0 ) konstanta harmonik pasang surut air laut yang diperoleh, dapat dianalisis sifat-sifat perairan Teluk Saleh melalui karakter pasang surutnya, yaitu:

105 85 a. Tipe Pasang Surut Penentuan tipe pasut di Teluk Saleh dilakukan dengan pendekatan nilai F (Form-zahl) atau konstanta pasang surut (tidal constant). Nilai F diperoleh dengan menggunakan formula F pada kriteria counter yaitu : Berdasarkan hasil pengukuran pasang surut, amplitudo komponen pasang surut utama di perairan Teluk Saleh sebagai berikut : AM 2 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut Harian Ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh bulan) = 31,60 cm AS AK 2 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut Harian Ganda rata-rata yang dipengaruhi matahari) = 10,69 cm O1 1 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut Harian Tunggal rata-rata yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari = 23,29 cm (amplitudo dari anak gelombang pasang surut Harian Tunggal yang dipengaruhi oleh deklinasi matahari = 14,08 cm Dari nilai komponen pasang surut utama tersebut diperoleh nilai F (Form-zahl) atau konstanta pasang surut (tidal constant) sebesar 0,88 atau berada dalam kisaran 0,25 < F < 1,50 yang berarti tipe pasang surut campuran (mixed type) yang dominan ke Harian Ganda (mixed semi-diurnal). Interpretasi dari tipe pasut yaitu dalam sehari semalam terjadi dua kali pasang dan dua surut. Secara detail tipe pasut di Teluk Saleh berdasarkan hasil pengukuran disajikan pada Gambar 14. b. Kedudukan Air Laut Tertinggi dan Terendah Penentuan kedudukan air laut tertinggi dan terendah mengacu pada formula berikut ini. Mean High Water Spring (MHWS) = Z 0 + M 2 + S Mean High Water Neap Mean Low Water Spring Mean Low Water Neap (MHWN) = Z 0 + M 2 - S (MLWS) (MLWN) = Z 0 - M 2 + S = Z 0 - M 2 - S Nilai Z0 diperoleh dari perhitungan, yaitu: Z 0 = S

106 86 Gambar 14. Tipe pasang surut berdasarkan hasil pengukuran di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Dari konstanta harmonik pasang surut tersebut diperoleh nilai kedudukan air laut tertinggi dan terendah sebagai berikut : (MHWS) : Air laut tertinggi saat pasut purnama = 178,0 cm (MHWN) : Air laut tertinggi saat pasut mati = 156,7 cm (MLWS) : Air laut terendah saat pasut purnama = 114,9 cm (MLWN) : Air laut terendah saat pasut mati = 93,9 cm Gelombang Gelombang yang terjadi di Teluk Saleh merupakan gelombang yang dibangkitkan di dalam teluk. dan arah gelombang bervariasi sesuai angin musiman. Menurut Bappeda Kabupaten Sumbawa (2007), pada musim barat angin berhembus dari barat laut, sedangkan pada musim timur angin berhembus dari tenggara. Pada umumnya tinggi gelombang di sekitar pantai dan di tengah teluk berbeda besarannya pada kondisi kecepatan angin yang sama karena terdapat perbedaan panjang daerah pembangkitan gelombang. Untuk kecepatan angin yang kecil seperti 1 m/det, tinggi gelombang di perairan dekat pantai sekitar 10 cm, sedang di tengah teluk sekitar 15 cm. Pergerakan air dalam bentuk gelombang dan arus, merupakan faktor yang penting dalam budidaya laut Gelombang yang ketinggiannya melebihi dari persyaratan tumbuh rumput laut bisa merusak budidaya rumput laut dan

107 87 konstruksi unit budidaya kerapu. Tinggi gelombang yang sesuai untuk budidaya rumput laut dan budidaya ikan kerapu di KJA adalah m (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Aslan 1998; Efendi 2004; FAO 2009) Arus Arus yang terjadi di Teluk Saleh umumnya merupakan arus permukaan dimana bergeraknya massa air secara horisontal di permukaan akibat tiupan angin dan arus pasang surut yaitu bergeraknya massa air secara horisontal akibat gerak vertikal permukaan air laut karena proses pasang surut sebagai hasil interaksinya dengan batas-batas perairan. Arus pasang surut (tide induced current) di Teluk Saleh terjadi sesuai dengan tipe pasang surutnya yaitu arus menuju dalam teluk pada saat pasang dan arus menjauhi pantai pada saat air laut surut. Budidaya rumput laut sistem long line parameter kecepatan arus berkaitan dengan proses pertukaran dan pengangkutan unsur hara, transpor sedimen, sistem penjangkaran dan penempelan kotoran pada tallus rumput laut. Arus yang terlalu cepat akan mematahkan rumput laut dan merusak bentangan, sedangkan arus yang sangat lambat bisa menyebabkan rumput laut kekurangan nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan juga dapat menyebabkan kotoran dan organisme pengganggu (hama) gampang menempel. Budidaya ikan kerapu di KJA parameter kecepatan arus berkaitan dengan proses pertukaran oksigen dan sisa metabolisme, penyebaran plankton, dan transpor sedimen. Kecepatan arus juga berdampak langsung pada penempelan biofouling pada jaring dan rusaknya instalasi budidaya bahkan dapat menghanyutkannya. Hasil pengukuran arus pada lokasi sampling di Teluk Saleh berkisar antara 0,17-0,33 m/dt. Kecepatan arus untuk pertumbuhan optimal untuk budidaya rumput laut sistem long line berkisar antara 0,20-0,30 m/detik (DKP, 2002; Radiarta et al. 2003). Sedangkan kecapatan arus untuk budidaya ikan kerapu di KJA berkisar antara 0,20 0,50 m/detik (Gufron dan Kordi, 2005; DKP, 2002). Kecepatan arus di wilayah perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa memiliki kisaran nilai yang mendukung bagi budidaya laut, untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung. Secara spasial sebaran kecepatan arus di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 15.

108 88 88 Gambar 15. Peta sebaran kecepatan arus di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

109 Hidrodinamika Pola Arus Berdasarkan penelitian BRKP (2010) menunjukkan bahwa hasil simulasi arus yang dibangkitkan oleh pasut secara umum menunjukkan bahwa arus yang memasuki Teluk Saleh berasal dari Laut Flores yang terletak di sebelah utara Pulau Sumbawa. Massa air tersebut mengalir melewati dua selat yang masingmasing berada di sebelah barat daya dan timur Pulau Moyo. Simulasi hidrodinamika menunjukkan bahwa arus yang mengalir melewati Selat Batahai (Sebelah Timur P. Moyo) lebih dominan dibandingkan dengan Selat Saleh (Sebelah Barat Daya P. Moyo). Hal ini terjadi karena batimetri perairan di Selat Batahai lebih dalam, sedangkan batimetri perairan di Selat Saleh jauh lebih landai. Pertemuan dua arus utama yang berasal dari kedua selat tersebut mengakibatkan terbentuknya beberapa arus memutar (eddy) yang terkonsentrasi di bagian utara perairan, sehingga mengakibatkan perairan Teluk Saleh bagian utara jauh lebih dinamis dibandingkan bagian selatan perairan. Pola Arus Pasut Kondisi Perbani Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut Purnama (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut: a. Pola arus saat air menjelang surut menunjukkan bahwa arus bergerak memasuki Teluk Saleh dari kedua selat dengan kecepatan relatif rendah (0,5 1 m/detik), dimana arus yang masuk melewati Selat Batahai memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan arus yang masuk dari Selat Saleh. Gambar 17. (A) memperlihatkan beberapa eddy dengan diameter terbesar mencapai 1 km. Eddy ini terbentuk di zona pertemuan arus yang terletak tepat di sebelah selatan Pulau Moyo. Terlihat pula bahwa muka laut perairan bagian selatan Teluk Saleh memiliki elevasi yang lebih tinggi dibanding muka laut bagian utara. b. Saat air surut pada kondisi pasut Perbani Gambar 17. (B) memperlihatkan bahwa secara umum elevasi perairan Teluk Saleh bagian selatan lebih tinggi dibanding elevasi muka laut bagian utara. Hal ini menimbulkan arus bergerak keluar dari Teluk Saleh melalui kedua selat, dimana kecepatan arus yang melewati Selat Batahai lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan arus yang melewati Selat Saleh. Kecepatan arus di Teluk Saleh pun melemah,

110 90 sehingga eddy yang terbentuk baik pada saat menjelang surut kehilangan gaya penggeraknya yang mengakibatkan kecepatan dan diameter eddy berkurang. c. Saat air menjelang pasang pada kondisi pasut Perbani Gambar 17. (C) memperlihatkan bahwa secara umum elevasi muka laut perairan Teluk Saleh relatif lebih rendah dibandingkan perairan sekitarnya. Akibatnya timbul arus berkecepatan tinggi (~ 6 m/detik) yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai. Terlihat pula adanya arus berkecepatan lebih rendah yang meninggalkan Teluk Saleh melalui selat tersebut. Di bagian Selat Saleh, terdapat pula aliran arus yang meninggalkan Teluk Saleh dengan kecepatan yang lebih rendah dibandingkan kecepatan arus yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai. Kondisi arus ini mengakibatkan eddy melemah. d. Saat air pasang pada kondisi pasut Perbani Gambar 17. (D) memperlihatkan adanya aliran arus yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai dan meninggalkan Teluk Saleh melalui Selat Saleh. Elevasi muka air rata-rata meningkat dengan ketinggian yang hampir seragam di seluruh perairan Teluk Saleh dan eddy kembali terbentuk dengan baik Pola Arus Pasut Kondisi Purnama Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut Purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut: a. Pola arus saat air menjelang surut menunjukkan adanya arus berkecepatan tinggi (~10 m/detik) yang bergerak memasuki Teluk Saleh melewati Selat Batahai. Pada selat bagian barat terlihat adanya arus berkecepatan relatif rendah yang bergerak meninggalkan Teluk Saleh (~ 2 m/detik) Gambar 18. (A), memperlihatkan beberapa eddy dengan diameter terbesar mencapai 1 km. Eddy ini terbentuk di zona pertemuan arus yang terletak tepat di sebelah selatan Pulau Moyo. Terlihat pula bahwa elevasi muka laut perairan Teluk Saleh memiliki harga yang nyaris seragam (1 1,5 m), sementara pada daerah terbentuknya eddy timbul zona depresi yang memiliki elevasi lebih rendah dari perairan sekitarnya (0,5 1 m). b. Saat air surut pada kondisi pasut Purnama Gambar 18. (B), memperlihatkan bahwa secara umum elevasi perairan Teluk Saleh memiliki harga yang relatif

111 91 seragam. Hal ini mengakibatkan arus yang bergerak keluar dari Teluk Saleh melalui Selat Batahai dan arus yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai memiliki kecepatan yang rendah. c. Saat air menjelang pasang pada kondisi pasut Purnama Gambar 18. (C), memperlihatkan bahwa secara umum elevasi muka laut perairan Teluk Saleh relatif lebih rendah dibandingkan perairan sekitarnya. Akibatnya timbul arus berkecepatan tinggi (~10 m/detik) yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai. Terlihat pula adanya arus berkecepatan lebih rendah yang meninggalkan Teluk Saleh melalui selat tersebut. Di bagian Selat Saleh, terdapat pula aliran arus yang meninggalkan Teluk Saleh dengan kecepatan yang lebih rendah dibandingkan kecepatan arus yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai. Kondisi arus ini mengakibatkan eddy melemah. d. Saat air pasang pada kondisi pasut Purnama Gambar 18. (D), terlihat adanya aliran arus berkecepatan tinggi yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai dan arus berkecepatan lebih rendah yang meninggalkan Teluk Saleh melalui Selat Saleh. Elevasi muka air rata-rata meningkat dan eddy kembali terbentuk dengan baik, mengakibatkan timbulnya zona depresi yang memiliki elevasi lebih rendah dari perairan sekitarnya. Berbeda dari kondisi surutnya, zona depresi yang terbentuk pada saat pasang memiliki luasan yang lebih besar. Secara spasial pola arus pasang surut pada kondisi perbani dan purnama di wilayah perairan Teluk Saleh disajikan pada Gambar 16 dan 17.

112 92 92 ( A ) ( B ) ( C ) ( D ) Gambar 16. Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan perairan Teluk Saleh saat kondisi perbani pada: A) menjelang surut, (B) surut, (C) menjelang pasang, (D) pasang. sumber: BRKP (2010)

113 93 ( A ) ( B ) ( C ) ( D ) Gambar 17. Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan perairan Teluk Saleh saat kondisi purnama pada: A) menjelang surut, (B) surut, (C) menjelang pasang, (D) pasang. sumber: BRKP (2010) 93

114 Substrat Dasar Perairan Menurut Dahuri (2003) substrat perairan berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup perlindungan dari arus air dan tempat pengolahan serta pemasukan nutrien. Kehidupan biota sesuai dengan habitatnya, dimana pada substrat yang keras dihuni oleh hewan yang mampu melekat dan pada substrat yang lunak dihuni oleh organisme yang mampu membuat lubang (Odum, 1979). Jenis dan ukuran substrat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi bentos. Semakin halus tekstur tersebut semakin tinggi kemampuan untuk menjebak bahan organik (Nybakken, 1992). Substrat dasar suatu lokasi budidaya bervariasi dari bebatuan sampai lumpur berpengaruh terhadap instalasi budidaya, pertukaran air, penumpukan hasil metabolisme dan kotoran (Rejeki, 2001). Substrat dasar perairan berhubungan dengan kebiasaan hidup dan sifat fisiologis. Rumput laut membutuhkan dasar perairan yang relatif stabil (Dahuri, 2003). Sedangkan untuk ikan kerapu cocok pada substrat berpasir dan pecahan karang (Bakosurtanal, 1996 ; Radiarta et al. 2003). Berdasarkan hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa substrat perairan di wilayah penelitian terdiri atas lumpur hingga karang. Secara spasial sebaran substrat perairan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 18.

115 95 Gambar 18. Peta sebaran substrat perairan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa 95

116 Kondisi Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu faktor yang menentukan kesesuaian perairan untuk keberhasilan budidaya laut. Kualitas air dapat ditinjau melalui sifat fisik, kimia dan biologis air atau kesatuan dari sifat-sifat tersebut. Pengukuran beberapa parameter kunci kualitas air di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa dilakukan pada 16 titik stasiun pengukuran dan pengambilan sampel air. Secara rinci hasil pengukuran dan analisis laoratorium parameter kualitas air di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Tabel Suhu Air Suhu perairan berpengaruh terhadap fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme dan reproduksi. Sedangkan untuk budidaya ikan kerapu di KJA, suhu air mempunyai pengaruh terhadap proses metabolisme, dimana semakin tinggi suhu maka proses metabolisme semakin meningkat dan sebaliknya jika semakin rendah suhu, maka proses metabolisme akan terhambat. Radiarta et al. (2003) mengemukakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan rumput laut antara o C, dan memberikan laju pertumbuhan rata-rata 5 % perhari (Lee et al. 1999). Sedangkan untuk pertumbuhan dan pertumbuhan optimal budidaya ikan kerapu di KJA membutuhkan suhu berkisar ºC (DKP, 2003). Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan suhu air laut di Perairan Teluk Saleh berada pada kisaran suhu yang baik untuk budidaya laut yaitu suhu berkisar 30,3 33,2 o C. Secara spasial sebaran suhu perairan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar Kecerahan Kecerahan merupakan parameter kualitas air yang berhubungan dengan besarnya penetrasi cahaya kedalam perairan. Pada budidaya rumput laut parameter kecerahan berperan dalam proses fotosintesis oleh tallus membutuhkan sinar matahari. Sedangkan pada budidaya ikan kerapu di KJA kecerahan perairan berpengaruh terhadap kemampuan ikan kerapu di KJA untuk melihat dan mengambil makanan di perairan. Kecerahan perairan untuk pertumbuhan optimal rumput laut berada pada nilai kecerahan >3 m, sedangkan pada budidaya ikan kerapu di KJA pertumbuhan optimal berada pda nilai kecerahan >5 m (Radiarta et al. 2003). Berdasarkan hasil

117 97 pengukuran lapangan di wilayah penelitian menunjukkan bahwa kecerahan perairan berkisar antar 2-7 m, sehingga nilai parameter kecerahan perairan di Teluk Saleh berada pada kisaran pertumbuhan rumput laut dan ikan kerapu di KJA. Secara spasial sebaran kecerahan perairan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut (Luning, 1990). Pada budidaya ikan kerapu di KJA parameter ph berdampak proses biokimia perairan dan komunitas biologi perairan. Hasil pengukuran nilai ph di wilayah penelitian berkisar antara 7,0 8,4,. Nilai ph untuk pertumbuhan optimal rumput laut sistem long line dan budidaya ikan kerapu di KJA berkisar antara 6,5-8,5 (Romomihtarto, 2003). Secara spasial sebaran nilai ph perairan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar Salinitas Perubahan salinitas mencapai tingkat ekstrim pada budidaya rumput laut sistem long line dapat menyebabkan tallus pucat dan berwarna kuning. Menurut Choi et al. (2010) rumput laut akan mengalami pertumbuhan yang lambat, apabila salinitas terlalu rendah (kurang 15 ppt) atau terlalu tinggi (lebih 35 ppt) dari kisaran salinitas yang sesuai dengan syarat hidupnya hingga jangka waktu tertentu. Sedangkan perubahan salinitas yang ekstrim pada budidaya ikan kerapu di KJA dapat menyebabkan ikan menjadi stress sehingga akan menghambat pertumbuhan dan mudah terserang penyakit. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas di wilayah penelitian menunjukkan kadar salinitas berkisar antara ppt. Kisaran salinitas untuk pertumbuhan optimal rumput laut yaitu ppt (DKP, 2002). Sedangkan kisaran salinitas untuk pertumbuhan optimal ikan kerapu di KJA berkisar antara ppt Radiarta et al. 2005). Secara spasial sebaran nilai salinitas perairan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 22.

118 98 98 Gambar 19. Peta sebaran suhu perairan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

119 99 Gambar 20. Peta sebaran kecerahan perairan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa 99

120 Gambar 21. Peta sebaran ph perairan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa.

121 101 Gambar 22. Peta sebaran substrat perairan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa 101

122 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Tingkat kelarutan oksigen yang ada di lingkungan perairan merupakan faktor yang sangat penting dalam kualitas air. Oksigen terlarut dalam air bersumber dari difusi oksigen atmosfir dan hasil fotosintesis tumbuhan dalam air. Sedangkan pengurangan oksigen terlarut disebabkan karena digunakan oleh respirasi hewan dan tumbuhan, perombakan bahan-bahan organik secara biologis oleh mikroorganisme, reaksi kimia anorganik, serta hilang atau terlepaskan ke atmosfir. Pada budidaya rumput laut sistem long line parameter oksigen terlarut di perairan tidak berpengaruh terlalu besar karena rumput laut hanya membutuhkan oksigen pada kondisi tanpa cahaya. Pada budidaya ikan kerapu di KJA parameter oksigen terlarut berhubungan dengan proses respirasi dan berbagai proses metabolism. Pada budidaya rumput laut sistem long line kadar oksigen terlarut untuk pertumbuhan optimal > 6 ppm (DKP, 2002). Sedangkan untuk pertumbuhan optimal budidaya ikan kerapu di KJA memerlukan kadar oksigen terlarut > 6 ppm (Bakosurtanal, 1996; Wibisono, 2005). Berdasarkan hasil pengukuran oksigen terlarut di wilayah penelitian menunjukkan kandungan oksigen terlarut berkisar antara 4,1 7,1 mg/l. Secara spasial sebaran kandungan oksigen terlarut di wilayah penelitian disajikan pada Gambar Nitrat (NO 3 ) Parameter nitrat Pada budidaya rumput laut merupakan nutrien yang diperlukan bagi rumput laut dalam pembentukan protein maupun aktivitas metabolisme. Sedangkan pada budidaya ikan kerapu di KJA parameter nitrat tidak memiliki hubungan langsung dengan ikan kerapu karena merupakan nutrien yang diperlukan bagi fitoplankton. Budidaya rumput laut sistem long line dan budidaya ikan kerapu di KJA memerlukan nitrat berkisar antara 0,9-3,2 ppm (DKP, 2002; KLH, 2004). Berdasarkan hasil pengukuran nitrat di wilayah penelitian menunjukkan kandungan nitrat berkisar antara 0,33 0,75 mg/l. Secara rinci kandungan nitrat di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 14.

123 103 Gambar 23. Peta sebaran DO perairan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa 103

124 104 Tabel 14. Hasil pangukuran oceanografi dan kualitas air di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa No Stasiun BT Koordinat LS Kedalaman (m) Arus (cm/dt) Hasil Pengukuran Parameter Kecerahan (m) ph Salinitas (ppt) ST ' 44,12" E 8 25' 8,16" S ST ' 56,30" E 8 28' 35,90" S ST ' 49,30" E 8 28' 49,60" S ST ' 12,70" E 8 31' 20,00" S ST ' 10,17" E 8 32' 27,73" S ST ' 40,90" E 8 33' 52,90" S ST ' 45,70" E 8 34' 3,70" S ST ' 26,76" E 8 38' 49,46" S ST ' 5,32" E 8 41' 46,83" S ST ' 3,20" E 8 36' 23,80" S ST ' 12,90" E 8 39' 35,40" S ST ' 48,43" E 8 42' 39,53" S ST ' 5,90" E 8 42' 53,50" S ST ' 30,30" E 8 43' 13,90" S ST ' 27,80" E 8 43' 43,50" S ST ' 49,10" E 8 43' 50,10" S Sumber: Hasil Pengukuran (2011) DO (ppm) Suhu ( C) NO3 (mg/l) 104

125 Kondisi Eksisting Budidaya Air Payau Wilayah pesisir daratan di sekitar Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa sebagian telah dimanfaatkan untuk budidaya air payau. Budidaya air payau yang berkembang yaitu budidaya tambak untuk komoditi ikan bandeng (Chanos chanos, sp), udang vaname (Litopenaeus vannamei, sp), dan udang windu (Penaeus monodon, sp). Budidaya udang vaname dan udang windu dikelola oleh investor di Kecamatan Maronge, Kecamatan Plampang, dan Kecamatan Tarano. Budidaya tambak sistem monokultur (bandeng) maupun polikultur (bandeng dan udang windu) dikelola oleh masyarakat dengan menerapkan teknologi sederhana sistem tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan benur, di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa terdapat hatchery udang sebanyak 2 perusahaan yang terletak di Labuhan Jambu Kecamatan Tarano. Kapasitas produksi masing- masing Hatchery mencapai 5-25 juta ekor udang per tahun. Luas potensi areal untuk budidaya tambak di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa adalah Ha (61% dari luas potensi tambak Kabupaten Sumbawa), tersebar di 7 (tujuh) kecamatan. Dari luas areal tersebut hingga tahun 2011 telah dimanfaatan sekitar 1.744,85 Ha (28%), terdiri atas tambak bandeng seluas 922,50 ha dan 822,35 ha tambak udang. Volume produksi tambak bandeng sebesar 2.076,03 ton dan nilai produktivitas sebesar 2,25 ton/ha. Secara rinci luas tambak dan produksi tambak di Teluk Saleh pada tahun 2011 disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Luas tambak dan volume produksi tambak di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa No Kecamatan Luas Lahan (ha) Produksi (ton) T. Bandeng T. Udang Bandeng Udang 1 Moyo Hilir 25,00-56,25-2 Moyo Utara 185,50 132,90 417,78 418,23 3 Lape 378,00 20,00 850,50 29,63 4 Maronge 35,00 116,50 78, ,06 5 Plampang 171,00 381,00 384,75 8,.262,66 6 Empang 15,00 28,50 33,75 139,18 7 Tarano 113,00 143,45 254, ,91 Total Teluk Saleh 922,50 822, , ,67 Sumber: Hasil Analisis (2013)

126 106 Perkembangan budidaya tambak di Teluk Saleh berkembang pesat selama lima tahun terakhir (2007 s/d 2011). Luas lahan tambak untuk budidaya ikan bandeng dan udang meningkat sebesar 1,34 % pertahun dan peningkatan produksi sebesar 26,93 % pertahun serta peningkatan produktivitas sebesar 0,11 % pertahun. Secara rinci perkembangan luas, volume produksi dan produktivitas tambak di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa selama 5 tahun terakhir disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Perkembangan luas, volume produksi dan produktivitas tambak di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Tahun 2007 s/d 2011 Volume Produksi Tambak Tahun Luas Lahan Tambak (ton) Volume Produksi (ha) Bandeng Udang B dan U (ton) (B) (U) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,29 Sumber: Hasil Analisis (2013) 4.7. Kondisi Eksisting Budidaya Laut Berdasarkan karakteristik biofisik, perairan Teluk Saleh memiliki potensi perikanan budidaya laut yang relatif luas dan terdapat beberapa teluk atau lokasi yang terlindung oleh aksi gelombang besar dan arus kuat. Potensi laut untuk menunjang pengembangan perikanan budidaya terdapat di seluruh wilayah pesisir. Perairan pesisir Teluk Saleh sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung dan budidaya rumput laut Budidaya Rumput Laut Perkembangan Budidaya Rumput Laut Luas areal perairan yang telah dimanfaataatkan untuk budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa hingga Tahun 2011 adalah seluas 4.866,00 ha (68% dari luas areal pemanfaatan untuk budidaya rumput laut Kabupaten Sumbawa), tersebar di lima kecamatan. Volume produksi rumput laut basah untuk sebesar ,03 ton (72% dari luas areal pemanfaatan untuk total produksi

127 107 rumput laut Kabupaten Sumbawa) dan nilai produktivitas sebesar 13,53 ton/ha, sedangkan produktivitas rumput laut di Kabupaten Sumbawa sebesar 13,45 ton/ha. Secara rinci luas dan volume produksi rumput laut basah di Teluk Saleh pada tahun 2011 disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Luas pemanfaatan perairan dan volume produksi rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa No Kecamatan Jumlah Luas Pemanfaatan Volume Produksi RTP (ha) (ton) 1 Moyo Hilir Lape Maronge Plampang Tarano Total Teluk Saleh Sumber: Hasil Analisis (2013) Perkembangan budidaya rumput laut di Teluk Saleh berkembang pesat selama lima tahun terakhir (2007 s/d 2011). Luas pemanfaatan perairan untuk budidaya rumput laut rata-rata meningkat sebesar 288 ha/tahun dan peningkatan volume produksi rumput laut basah ton/tahun. Perkembangan jumlah RTP selama 5 tahun terakhir adalah sebesar 173 RTP/tahun. Secara rinci perkembangan luas dan volume produksi rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa selama 5 tahun terakhir disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Perkembangan luas dan volume produksi rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa tahun 2007 s/d 2011 No Tahun Jumlah Luas Pemanfatan Perairan Volume Produksi RTP (ha) (ton) Sumber: Hasil Analisis (2013) Keragaan Usaha Budidaya Rumput Laut Rumput laut memiliki manfaat sebagai sumber alginat dan karaginan yang banyak dimanfaatkan untuk industri makanan, kosmetik, farmasi, tekstik, kertas dan sebagainya. Rumput laut di pasaran lokal dan luar harganya cukup tinggi. Peluang pasar inilah yang menjadi salah satu pertimbangan penting bagi

128 108 masyarakat di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa untuk melakukan usaha budidaya rumput laut. Jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan masyarakat di Kabupaten Sumbawa salah satunya adalah Eucheuma cottonii. Rumput laut jenis ini memiliki kandungan karaginan kappa yang tinggi, berwarna hijau kekuningan, thallusnya berbentuk silinder dan bercabang, permukaan licin dan kenyal. Budidaya rumput laut di wilayah perairan Teluk Saleh menggunakan metode budidaya dengan sistem long line yang selama ini sudah dilakukan oleh masyarakat di sentra budidaya rumput laut. Wadah budidaya yang digunakan terdiri dari tali utama (tali induk) sebagai rangka sekaligus untuk memberikan bingkai dan membatasi unit budidaya atau kepemilikan unit budidaya. Tali ini dikonstruksi berbentuk segi empat dimana pada setiap sudutnya diberi jangkar dari pemberat yang berfungsi untuk menahan sistem unit budidaya pada posisi yang tetap. Tal ris berfungsi sebagai tempat pengikat bibit dan tali pengikat (tali anak) berfungsi untuk mengikat bibit pada tali ris. Pelampung besar dan pelampung kecil keduanya berfungsi untuk menjaga unit budidaya agar tetap terapung. Tali jangkar berfungsi untuk menggantungkan dan mengikat jangkar atau pemberat. Selama periode budidaya rumput laut dilakukan pemeliharaan dan pengontrolan. Pemeliharaan dilakukan pembersihan meliputi pembuangan kotoran atau sampah, pembersihan jenis lumut yang menempel pada tali ris. Sedangkan pengontrolan dilakukan untuk melakukan pencegahan dan mengusir jenis hama dan memastikan rumput laut tetap terendam air untuk menghindari terjadinya pemutihan (bleaching). Pemeliharaan rumput laut umumnya sekitar 45 hingga 60 hari atau disesuaikan dengan harga pasar yang sangat fluktuatif. Cara panen yang banyak dilakukan oleh pembudidaya adalah panen secara keseluruhan dengan cara diangkat langsung seluruh jaring yang ada rumput lautnya dan dimasukan ke perahu pengangkut. Pemasaran untuk rumput laut di lokasi tidak susah karena sudah ada pembeli yang biasa menampung hasil budidaya dari para pembudidaya walaupun struktur pasarnya monopolis yang berimplikasi terhadap harga yang terbentuk.

129 109 Secara umum keragaan informasi tentang metode budidaya sistem long line yang telah umum berjalan dimasyarakat yaitu antara lain : Panjang tali ris = 50 m Jarak antar tali ris = 1 m Jumlah tali ris per unit budidaya = 70 buah Luas per unit budidaya Jarak tanam (jarak ikat antar rumpun) Berat bibit per rumpun = 3500 m 2 = 20 cm = 120 gr (umur bibit hari) Rata-rata jumlah rumpun per tali ris = 250 Rumpun (100 cm/ 20 cm x 50) Kebutuhan bibit per tali ris = 30 kg (120 grx 250 rumpun) Kebutuhan bibit per unit = 2100 Kg (30 kg x 70 buah tali ris) Harga bibit = Rp/kg Lama pemeliharaan = 45 hari Peningkatan berat panen = 5 Kali (1 : 5 kg basah) Perbandingan berat basah: kering = 1:10 (1 kg basah = 0,1 kering) Harga rumput laut kering = Rp. 7000/kg Bibit Rumput Laut Selama ini bibit yang digunakan oleh masyarakat diperoleh dari hasil budidaya, bukan bibit unggul yang diseleksi terlebih dahulu. Pada musim tertentu dimana kualitas rumput turun, petani rumput laut tetap memanfaatkannya sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya sehingga kualitasnya kurang terjamin. Bibit yang dipakai dan dikembangkan oleh petani rumput laut sampai saat ini diperoleh dari hasil budidaya, bukan bibit unggul, sehingga, pada musim tertentu dimana kualitas rumput laut turun, mereka tetap memanfaatkannya sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya sehingga kualitasnya kurang terjamin. Bibit yang diperoleh dari hasil budidaya yaitu pengembangan secara vegetatif yaitu dengan menyisihkan thallus hasil budidaya milik sendiri yang secara genetik belum dapat ditelusuri asal usulnya sehingga cenderung memiliki kualitas rendah. Pembudidaya rumput laut memiliki perencanaan dalam pemanenan rumput laut dan pembibitan kembali dengan rumus umum yang dipegang oleh petani yaitu hasil panen dapat digunakan untuk pengeringan 2/3 bagian dan pembibitan kembali 1/3 bagian.

130 110 Hasil Panen (Jumlah Ris di Laut) Bibit Ditanam Kembali 1/3 = Bibit (Jumlah Ris Tetap) 2/3 = Dijual (Basah atau Kering) Gambar 24. Sistem perencanaan pemanenan dan pembibitan rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Dalam kondisi gagal panen, para petani rumput laut kesulitan dalam membibitkan kembali untuk siklus berikutnya karena rumput laut untuk dibibitkan tidak tersedia. Namun, para pembudiaya lain yang tidak terkena penyakit ice-ice akan membantu pembudidaya lainnya yang tidak memiliki bibit rumput laut. Pengembangan usaha budidaya rumput laut di wilayah penelitian masih menghadapi permasalahan pemenuhan kebutuhan bibit yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga. Kondisi tersebut, menyebabkan pembudidaya kesulitan mengembangkan usaha budidaya rumput laut untuk mengikuti musim tanam yang sesuai dan rendahnya produktivitas rumput laut Serangan Hama dan Penyakit Penyebab gagal panen rumput laut adalah penyakit ice-ice. Penyakit ini umumnya dipicu oleh perubahan lingkungan yang ekstrim (misalnya suhu, salinitas atau intensitas cahaya matahari). Perubahan yang ekstrim menyebabkan rumput laut menjadi stress, dalam kondisi stress rumput laut akan mengeluarkan senyawa organik yang merupakan media tumbuh yang sangat baik bagi bakteri pathogen yang berada disekitar rumput laut. Serangan hama pemangsa rumput laut menyebabkan luka pada thallus akibat pemangsaan dari ikan beronang dan penyu juga merupakan kondisi yang rentan bagi rumput laut untuk terinfeksi oleh bakteri pathogen. Akibatnya bakteri akan tumbuh dan berkembang dengan cepat pada thallus rumput laut dan menyebabkan warna rumput laut berubah menjadi kemerahan lalu kekuningan dan akhirnya menjadi warna putih menyerupai es (yang dalam bahasa Inggris disebut ice). Oleh karena itu penyakit rumput laut yang menyebabkan rumput laut

131 111 menjadi berwana putih, disebut sebagai penyakit ice-ice. Rumput laut yang terserang penyakit ice-ice disajikan pada Gambar 25. Gambar 25. Rumput laut jenis Euchema cottonii yang terserang penyekit ice-ice di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Pascapanen dan Pengolahan Rumput Laut Sampai saat ini hasil panen rumput laut di Kabupaten Sumbawa masih diproduksi dalam bentuk basah dan ataupun kering. Kualitas rumput laut kering yang dihasilkan masih rendah, belum sesuai dengan standarisasi dan sertifikasi mutu produk yang dihasilkan pembudidaya guna memperoleh jaminan penyerapan pasar. Pada beberapa lokasi budidaya di wilayah Teluk Saleh banyak dijumpai penanganan pascapanen yang belum sesuai standar penanganan pascapanen rumput laut seperti penjemuran langsung di tanah, kadar air di atas 40 % dan kadar garam lebih dari 5 %, sehingga menyebabkan rumput laut rusak pada saat penyimpanan dan transportasi. Ketersediaan sarana pergudangan untuk menampung rumput laut hasil panen sebelum dikirim ke pasar atau sebagai unit penyimpan untuk antisipasi panen raya dan harga rumput laut yang turun belum tersedia. Gudang penampungan dan penyimpanan rumput laut diperlukan untuk menjaga kualitas rumput laut sesuai standarisasi mutu produk rumput laut kering. Sarana pergudangan yang diperlukan di wilayah Teluk Saleh Kota Sumbawa adalah unit gudang penampungan di lima lokasi kecamatan dengan kapasitas tampung sekitar 100 ton dan juga terdapat unit gudang induk di Kabupaten Sumbawa Besar dengan kapasitas tampung sekitar 1000 ton.

132 112 Pengolahan rumput laut adalah sebuah proses hulu-hilir, antara produk rumput laut kering dengan industri pengguna rumput laut sebagai bahan baku terdapat proses pengolahan rumput laut menjadi karagenan baik karagenan murni (RC=Refines Carragenan) maupun karagenan semi murni (SRC= Semi Refines Carragenan). Kondisi saat ini di Kabupaten Sumbawa bahkan di Provinsi NTB belum terdapat pabrik pengolahan rumput laut menjadi SRC atau RC. Keberadaan pabrik pengolahan rumput laut menjadi SRC atau RC tentunya akan meningkatkan nilai tambah yang tinggi, sehingga dapat memberikan kepastian pemasaran hasil dan meningkatkan penerimaan pembudidaya Rantai Pemasaran Rumput Laut Berdasarkan hasil studi di lapangan, ditemukan dua jenis rantai pemasaran rumput laut di wilayah Teluk Saleh. Model rantai pemasaran diperoleh berdasarkan hasil penelusuran para pelaku usaha budidaya rumput laut. Pelaku usaha rumput laut di wilayah Teluk Saleh terdiri dari pelaku budidaya (petani rumput laut), pedagang pengumpul tingkat desa yang tersebar di 14 desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan yang tersebar di 5 kecamatan, pedagang pengumpul tingkat Kabupaten Sumbawa di Sumbawa Besar, pedagang pengumpul di tingkat provinsi di Kota Mataram, processor dan ekportir di Surabaya. Pedagang pengumpul di Kota Sumbawa besar ada yang langsung ke processor dan ekportir di Surabaya. Pembudidaya rumput laut di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa belum mampu menentukan harga jual hasil panen rumput laut. Bargaining Position pembudidaya masih sangat lemah, karena harga sepenuhnya ditentukan oleh pembeli dengan kriteria mutu rumput laut kering yang tidak transparan, sehingga menyebabkan hubungan antara pembudidaya dengan pedagang pengumpul seringkali tidak harmonis. Belum ada payung organisasi yang menaungi petani rumput laut yang dapat membantu dan mengkoordinir pemasaran rumput laut. Secara skematis rantai pemasaran rumput laut di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 26.

133 113 Pembeli Dalam Negeri Petani RL P pul Desa P pul Kec. P pul Kab. P pul Prov. Processor Eksportir Pembeli Luar Negeri Gambar 26.Rantai Pemasaran Rumput laut jenis Euchema cottonii di Wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Selain itu fluktuasi harga rumput laut juga berpengaruh terhadap kesejahteraan pembudidaya. Fluktuasi harga rumput laut kering cukup tinggi yang disebabkan oleh rendahnya hasil produksi atau juga karena spekulasi para pengumpul yang menentukan harga. Sapras (sarana prasarana) pasar rumput laut yang ada dan tersedia di Kabupaten Sumbawa sampai saat ini masih sangat terbatas. Belum ada dermaga pelabuhan untuk pendaratan hasil panen, belum ada kapal JT untuk mengangkut hasil panen, belum ada gudang yang ditempatkan di pelabuhan untuk menampung dan menunggu pengiriman hasil panen. Upaya promosi rumput laut di Kabupaten Sumbawa juga belum dilakukan sampai saat ini, baik melalui media radio, televisi ataupun internet. Informasi mengenai rumput laut di Kabupaten Sumbawa hanya beredar dari mulut ke mulut, sehingga para pelaku usaha rumput laut pada setiap rantai tidak saling mengenal Kondisi SDM dan Pemodalan Budidaya Rumput Laut Akses modal untuk usaha budidaya rumput laut di Wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa masih sangat rendah, karena pihak perbankan belum berpihak terhadap peningkatan usaha budidaya rumput laut. Sebagian besar pembudidaya masih memilih menggunakan modal sendiri atau meminjam ke saudara dibandingkan meminjam ke bank. Persyaratan agunan dan pengembalian kredit per bulan merupakan kendala bagi pembudidaya karena tidak pastinya hasil panen. Belum lagi tingkat suku bunga bank yang menurut pembudidaya cukup tinggi. Pembudidaya rumput laut di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa umumnya masyarakat yang mempunyai akses yang sangat terhadap perbankan

134 114 sehingga dibutuhkan regulasi kebijakan dalam pemberdayaan petani pembudidaya rumput laut. Keberadaan sumberdaya manusia pembudidaya rumput laut di Wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa umumnya masih memiliki pengetahuan, keterampilan dan penguasaan teknologi budidaya dan penanganan pascapanen rumput laut masih sangat terbatas. Pada beberapa usaha budidaya rumput laut seperti mengalami permasalahan dalam penyediaan tenaga kerja, karena beberapa orang yang pada awalnya berprofesi sebagai pembudidaya beralih profesi menjadi pedagang, penangkap ikan dan penambang. Rendahnya pendapatan pembudidaya dari hasil usaha budidaya rumput laut disebabkan karena kecilnya unit produksi yang dikelola oleh setiap pembudidaya sehingga pendapatan pembudidaya menjadi rendah dan beralih ke profesi lain. Untuk meningkatkan jumlah pembudidaya rumput laut di Wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa, maka harus ditentukan jumlah unit produksi minimum yang dimiliki setiap RTP, sehingga pendapatan yang diperoleh akan dapat menopang kesejahteraan dari usaha budidaya rumput laut Budidaya Ikan Kerapu Perkembangan Budidaya Ikan Kerapu Usaha budidaya kerapu di Kabupaten Sumbawa hingga Tahun 2011 pemanfaatan areal yang telah dilakukan hanya sekitar 260 ha, dengan volume produksi sebesar 231,46 ton. Jenis usaha budidaya kerapu di Kabupaten Sumbawa seluruhnya dilakukan oleh perusahaan swasta sebanyak 6 (enam) perusahaan. Luas areal perairan yang telah dimanfaataatkan untuk budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa hingga Tahun 2011 adalah seluas 46 ha (4% dari luas areal pemanfaatan untuk budidaya kerapu Kabupaten Sumbawa), tersebar di 3 (tiga) kecamatan. Volume produksi ikan kerapu sebesar 177 ton (76% dari total volume produksi ikan kerapu Kabupaten Sumbawa) dan nilai produktivitas sebesar 3,84 ton/ha. Secara rinci luas dan volume produksi ikan kerapu di Teluk Saleh pada tahun 2011 disajikan pada Tabel 19.

135 115 Tabel 19. Luas pemanfaatan perairan dan volume produksi ikan kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa No Kecamatan Jumlah Perusahaan Luas Pemanfaatan (ha) Jumlah Unit KJA Volume Produksi (ton) 1 Lape Maronge Tarano Total Teluk Saleh Sumber: Hasil Analisis (2013) Perkembangan budidaya ikan kerapu di Teluk Saleh selama lima tahun terakhir (2007 s/d 2011), mulai berkembang dalam 2 (dua) tahun terakhir. Jumlah unit KJA rata-rata meningkat sebesar 119 unit/tahun dan peningkatan volume produksi ikan kerapu sebesar 20 ton/tahun. Perkembangan jumlah serapan tenaga kerja selama lima tahun terakhir hanya meningkat 1 orang/tahun. Secara rinci perkembangan jumlah KJA dan volume ikan kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa selama 5 tahun terakhir disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Perkembangan jumlah unit KJA dan volume produksi ikan kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa No Tahun Jumlah Jumlah Jumlah Volume Produksi Perusahaan Tenaga Kerja Unit KJA (ton) Sumber: Hasil Analisis (2013) Benih Ikan Kerapu Usaha budidaya ikan kerapu harus ditopang oleh ketersedian benih baik secara kuantitas dan kualitas. Pengembangan usaha budidaya rumput laut di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa masih menghadapi permasalahan pemenuhan kebutuhan benih yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga. Kondisi tersebut, merupakan salah satu penyebab usaha budidaya ikan kerapu sulit berkembang. Selama ini benih yang digunakan oleh perusahaan pembudidaya ikan kerapu di wilayah Teluk Saleh sampai saat ini diperoleh dari hatchery milik UPT KKP seperti Balai Budiaya Laut (BBL) Lombok, Balai Besar

136 116 Riset Budidaya Laut Gondol, Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Karena jarak antara lokasi pembenihan dan daerah pembesaran relatif jauh, sehingga menyebabkan mutu benih rendah dan tingkat mortalitas benih relatif tinggi selama perjalanan Keragaan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Budidaya ikan kerapu di wilayah perairan Teluk Saleh merupakan jenis usaha yang sulit berkembang dan masih dalam tahap uji coba. KJA kerapu umumnya dilakukan oleh pengusaha yang bermodal besar. Budidaya ikan kerapu menggunakan metode budidaya dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) yang selama ini sudah dilakukan oleh perusahaan. Wadah budidaya terdiri dari rangka berbentuk segi empat berjumlah empat petak dengan ukuran masingmasing 3x3x4 m. Setiap petak dilengkapi dengan jaring berbentuk ½ lingkaran dan elips. Pelampung berfungsi untuk menjaga unit budidaya agar tetap terapung. Tali jangkar berfungsi untuk menggantungkan dan mengikat jangkar atau pemberat. Kegiatan produksi diawali dengan penebaran benih. Benih budidaya umumnya bersumber dari panti benih (hatchery) di Balai Budiaya Laut (BBL) Lombok, Balai Besar Riset Budidaya Laut Gondol, Balai Budidaya Air Payau Situbondo karena di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa belum terdapat hatchrery ikan kerapu. Selama pemeliharaan ikan diberi pakan berupa ikan rucah segar dengan frekuensi pemberian dilakukan 2-3 kali sehari. Perawatan wadah budidaya dilakukan untuk membersihkan jaring dari organisme penempel (biofouling), sedangkan pemantauan dilakukan sampling, sortasi dan penjarangan yang bertujuan menjaga ukuran ikan tetap seragam untuk menghindari sifat kanibalisme dari ikan kerapu. Pemanenan dilakukan setelah ikan yang dipelihara mencapai ukuran berat konsumsi sesuai permintaan pasar. Harga pasar di tingkat konsumen akhir di pasar lokal sebesar Rp per kilogram. Bahkan harga ini bisa lebih besar lagi di tingkat pasar luar. Jika mengacu pada informasi yang diperoleh dari lokasi survey dimana harga jualnya berkisar Rp hingga Rp per kilogram. Pemilik usaha budidaya umumnya investor luar daerah (Jakarta) dan menjual hasilnya di Jakarta bahkan diekspor ke luar negeri seperti ke Hongkong dan Taiwan.

137 Rantai Pemasaran Ikan Kerapu Berdasarkan hasil studi di lapangan, rantai pemasaran ikan kerapu hidup sangat pendek, karena pelaku pemasaran dari pengusaha pembudidaya langsung ke eksportir dan pembeli luar negeri. Pasar ekspor ikan kerapu hidup dari hasil budidaya di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa adalah Singapore dan Hongkong. Secara skematis rantai pemasaran ikan kerapu di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 27. Pelaku Hatchrey Pengusaha Budidaya Pengusaha Eksportir Pembeli Luar Negeri Gambar 27. Rantai pemasaran rumput laut jenis Euchema cottonii di Wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Kondisi SDM dan Pemodalan Budidaya Ikan Kerapu Usaha pembesaran ikan kerapu di KJA masih didominasi oleh para pemilik modal besar (investor), sementara pembudidaya ikan kerapu di KJA binaan pemerintah belum mampu mengembangkan usaha mereka karena keterbatasan modal dan kecilnya akses terhadap dunia perbankan. Akses modal untuk usaha budidaya ikan kerapu di wilayah Teluk Saleh Sumbawa masih sangat rendah, sehingga dibutuhkan regulasi kebijakan dalam pemberdayaan petani pembudidaya ikan kerapu. Keberadaan sumberdaya manusia pembudidaya ikan kerapu di KJA di wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa pada dasarnya serapan tenaga kerja rendah, karena setiap perusahaan hanya membutuhkan 1 (satu) teknisi yang memiliki keahlian dan pengalaman teknis budidaya ikan kerapu. Masyarakat setempat terlibat sebagai pekerja dimana dari 4 (empat) perusahaan yang ada hanya memperkerjakan 41 orang.

138 Sosial dan Ekonomi Penduduk Penduduk merupakan modal dasar yang memiliki peranan penting bagi pengelolaan budidaya laut. Disamping itu, penduduk juga dapat menjadi beban bagi sumberdaya apabila pemanfaatan tidak memperhatikan kemampuan daya dukung perairan. Jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa pada tahun 2009 secara keseluruhan berjumlah jiwa, sedangkan penduduk yang tinggal di desa pesisir berjumlah jiwa atau sekitar 42,11% dari total keseluruhan penduduk di Kabupaten Sumbawa. Secara lebih rinci jumlah penduduk di kecamatan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada tabel 21 berikut ini. Tabel 21. Jumlah penduduk per kecamatan di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa No Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Moyo Hilir Moyo Utara Maronge Lape Plampang Empang Tarano Total Keseluruhan Sumber: Bappeda Kabupaten Sumbawa (2011) Laju pertumbuhan penduduk dari tahun cenderung mengalami peningkatan yaitu dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,72 persen. Jika dilihat dari perkembangan penduduk pada Tahun , perkembangan yang terjadi bersifat konstan, dimana terjadi pertambahan penduduk linear pada setiap tahunnya. Hasil perhitungan menunjukkan proyeksi penduduk di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sumbawa pada akhir tahun perencanaan (2030) akan diperkirakan mengalami peningkatan, yaitu mencapai jumlah jiwa.

139 Tenaga Kerja Pengembangan ekonomi sektoral di suatu kawasan dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya alam maupun konsumsi sumberdaya alam dan produk-produk lainnya, salah satu pendukung penting adalah kesediaan tenaga kerja yang produktif. Tenaga kerja tersebut dapat dilihat dari angkatan kerja berdasarkan struktur umur penduduk yang tercermin dari angkatan kerjanya (KU tahun). Pada kelompok angkatan kerja ini terdapat juga penduduk kelompok usia sekolah dan kelompok ibu rumah tangga. Populasi penduduk pada seluruh kecamatan yang berada di Teluk Saleh (termasuk desa bukan pesisir) pada tahun 2008 berjumlah jiwa. Berdasarkan kelompok umur (KU), populasi paling banyak adalah penduduk balita (0-4 tahun) yaitu jiwa (13,12%). Penduduk usia sekolah (KU 5-24 tahun) berjumlah jiwa (7,43%). Sedangkan penduduk KU >65 tahun yang merupakan KU tidak berporudktif hanya berjumlah jiwa (3,32%). Pada seluruh desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan yang berada di Teluk Saleh, angkatan kerjanya (KU tahun) sebanyak jiwa atau 61,89% dibanding seluruh penduduk di Teluk Saleh. Jumlah angkatan kerja paling banyak di Teluk Saleh bermukim di Kecamatan Plampang (16,83%) dan Kecamatan Pekat (16,38%). Untuk lebih jelasnya, rincian jumlah angkatan kerja dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Sebagian besar angkatan kerja yang yang sudah bekerja dan semi menganggur memilih bekerja disektor pertanian sebagai petani, pekebun, peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan. Sebagian lainnya memilih menggeluti sektor jasa perdagangan, transportasi, guru, dan pegawai/karyawan. Tidak diperoleh data jumlah penduduk yang bekerja dari masing-masing sektor usaha tersebut. Sehingga tidak dapat dihitung dependency ratio di Teluk Saleh. Pada umumnya masyarakat di desa-desa pesisir Kabupaten Sumbawa bermata pencaharian di bidang pertanian (sekitar 50%). Jumlah rumah tangga di desa-desa pesisir yang bekerja di sektor perikanan sekitar 13,5% dari total rumah tangga. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor pertanian dan perikanan adalah sektor penting dalam perekonomian Kabupaten Sumbawa.

140 Pendidikan Jumlah penduduk yang banyak saja tidak dapat dijadikan sebagai jaminan suksesnya pembangunan sebuah wilayah. Peningkatan SDM selain sebagai obyek juga sebagai subyek yang sangat menentukan dalam pembangunan. Pemerintah sangat memahami hal itu, sehingga pendidikan menjadi prioritas dalam pembangunan bangsa. Tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan. Pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam mengisi pembangunan di sebuah wilayah. Jika dikaitkan dengan tenaga kerja maka pendidikan akan menghasilkan tenaga kerja yang bermutu, terampil, dan ahli yang akan mampu meningkatkan kinerja dan produktivitasnya, sehingga berdampak pada pendapatan tenaga kerja tersebut. Penduduk di pesisir Teluk Saleh telah memiliki sarana pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pendidikan dasar yang dimiliki adalah 80 SD/MIS yang tersebar di seluruh desa pesisir. Sedangkan pendidikan menengah berupa SLTP maupun MTs sebanyak 15 SLTP/MTs tersebar di 14 desa, dan 5 SLTA di 5 desa Penggunaan Lahan Daratan Pesisir Penggunaan lahan wilayah pesisir daratan di Kabupaten Sumbawa di setiap desa-desa pesisir pada umumnya digolongkan pada penggunaan lahan pertanian dan non pertanian. Lahan pertanian di desa-desa pesisir antara lain berupa sawah irigasi dan tadah hujan, tambak dan tegal/kebun. Sedangkan penggunaan lahan lainnya berupa hutan produksi, permukiman, dan lain-lain. Lahan daratan pesisir di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa sebagian besar merupakan lahan kritis, lahan semak belukar, padang rumput dan kawasan hutan. Wilayah dataran rendah yang diusahakan sebagai lahan pertanian relatif terbatas. Luas lahan sawah irigasi dan tadah hujan di wilayah pesisir Teluk Saleh hanya ha atau hanya 7,85% dari ha luas wilayah daratannya. Kegiatan pertanian lahan kering di Teluk Saleh mengusahakan berbagai jenis palawija seperti kedelai, kacang hijau, jagung, ubi kayu, kacang tanah dan beberapa jenis holtikultura.

141 121 Dilihat dari keseluruhan penggunaan lahan di wilayah pesisir, pada umumnya penggunaan lahan di desa-desa pesisir masih didominasi oleh penggunaan lahan hutan dan perkebunan, serta dimanfaatkan untuk lahan pertanian lahan basah (sawah). Selengkapnya mengenai penggunaan lahan di desa-desa pesisir Kabupaten Sumbawa dapat dilihat pada Tabel 22. Secara spasial penggunaan wilayah pesisir di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 28. Tabel 22. Luas tanah sawah dan tanah kering di wilayah pesisir Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Tahun 2010 No. Desa Pesisir Luas (Ha) Tanah Sawah Tanah Kering Jumlah 1 Kec. Moyo Hilir Olat Rawa Batu Bangka Labuhan Ijuk Moyo Utara Pungkit Kukin Baru Tahan Penyaring Kec. Lape Labuhan Kuris Kec. Maronge Maronge Labuhan Sangoro Kec. Plampang Plampang Teluk Santong Brang Kolong Usar Kec. Empang Boal Empang Atas Jotang Ongko Gapit Kec. Tarano Labuhan Bontong Labuhan Jambu Labuhan Aji Labuhan Pidang Sumber: KKP (2011)

142 Gambar 28. Peta penggunaan lahan daratan di Wilayah Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

143 123 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kesesuaian Perairan Untuk Budidaya Laut Proses penentuan lokasi budidaya laut pada wilayah perairan yang sesuai secara biofisik lingkungan dan kualitas perairan adalah faktor penting yang dapat menjamin kelangsungan budidaya laut. Pemilihan lokasi budidaya secara benar berdasarkan kesesuaian perairan sangat penting, karena berpengaruh terhadap keberlanjutan budidaya secara ekonomis. Ketersediaan alokasi ruang perairan untuk budidaya harus diterapkan dalam konteks pendekatan perencanaan terpadu untuk menghindari konflik kepentingan yang pada akhirnya akan berujung pada kerusakan lingkungan. (Pe rez et al. 2003). Penelitian ini menganalisis kesesuaian perairan budidaya laut untuk 2 (dua) komoditi yaitu: budidaya rumput laut sistem long line dan budidaya ikan kerapu di KJA. Penentuan kesesuaian wilayah perairan didasarkan pada kondisi oceanografi dan kualitas air di wilayah perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Teluk Saleh ditetapkan sebagai kawasan Strategis Provinsi untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan perikanan budidaya laut (RTRW Provinsi NTB, 2011). Penentuan lokasi budidaya laut telah mengacu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Teluk Saleh. Analisis kesesuaian perairan untuk pengembangan budidaya laut dilakukan pada zona pemanfaatan umum sub zona budidaya berdasarkan arahan pemanfaatan ruang wilayah perairan Teluk Saleh. Penilaian kesesuaian perairan sebagai faktor penentu didasarkan atas parameter fisika, kimia perairan. Secara fisika perairan didasarkan atas beberapa parameter kesesuaian yaitu: parameter fisik meliputi kedalaman, kecerahan, suhu, kecepatan arus, material dasar perairan dan salinitas. Parameter kimia perairan meliputi ph, oksigen terlarut. Bengen (2005) menyatakan bahwa proses penentuan kesesuaian perairan harus dilakukan dengan membandingkan kriteria faktor-faktor penentu kesesuaian perairan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dari masing-masing peta tematik dan pembobotan (scooring method) dengan Sistem Informasi Geografis (SIG).

144 Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Keberhasilan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor kondisi perairan, oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang optimal dari kegiatan tersebut hendaknya dipilih perairan yang sesuai seperti perairan yang cukup tenang dan terlindung dari pengaruh angin, gelombang dan arus yang kuat serta tingkat kecerahan perairan yang tinggi. Kondisi ini biasanya ditemukan pada perairan teluk yang agak tertutup atau di sekitar gugus pulau-pulau kecil (Puslitbangkan, 1991). Perairan Teluk Saleh di Kabupaten Sumbawa memiliki potensi sumberdaya perairan untuk pengembangan budidaya laut, salah satu diantaranya adalah budidaya rumput laut. Untuk mendukung budidaya tersebut, maka perlu dilakukan analisis kesesuaian perairan berdasarkan persyaratan sebagai indikator yang mendukung budidaya tersebut. Analisis kesesuaian perairan yang dilakukan, didasarkan atau parameter pembatas sesuai dengan pemanfaatannya ditinjau dari aspek ekologis. Penilaian kesesuaian perairan sebagai faktor penentu dalam pengembangan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa didasarkan atas beberapa parameter kesesuaian sebagai berikut: kecepatan arus, kedalaman, kecerahan, gelombang, ph, salinitas, substrat, keterlindungan dan suhu perairan. Dalam penelitian ini, penentuan kelas kesesuaian perairan didasarkan pada klasifikasi menurut FAO (1976), namun dengan pertimbangan perairan yang dievaluasi adalah perairan teluk, sehingga kelas kesesuaian di bagi kedalam 3 (tiga) kelas kesesuaian yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai bersyarat (S3) dan tidak sesuai (N) dengan nilai skor masing-masing 3, 2, dan 1 (DKP, 2002). Status perairan berdasarkan analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut, diperoleh luas perairan berdasarkan 4 (empat) kategori kelas kesesuaian perairan yaitu: luas perairan yang sangat sesuai (S1) seluas 7.689,51 ha atau 16,45 %, luas perairan yang sesuai (S2) seluas ha atau 32,46 %, luas perairan yang sesuai bersyarat (S3) seluas ,69 ha atau 38,10 % dan luas perairan yang tidak sesuai (N) seluas 6.072,50 ha atau 12,99 %. Secara rinci luas

145 125 perairan berdasarkan kelas kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut di Teluk Saleh disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Luas perairan menurut kelas kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut No Kelas Kesesuaian Luas Perairan (ha) (%) 1 Sangat Sesuai (S1) 7.689,51 16,45 2 Sesuai (S2) ,69 32,46 3 Sesuai Bersyarat (S3) ,69 38,10 4 Tidak Sesuai (N) 6.072,50 12,99 Sumber: Hasil Analisis (2013) Tabel di atas menunjukan bahwa wilayah perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa yang potensi untuk budidaya rumput laut adalah seluas ,19 ha (S1 dan S2). Luas wilayah perairan yang sudah dimanfaatkan hingga tahun 2010 adalah seluas ha atau tingkat pemanfaatan baru mencapai 21 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah perairan Teluk Saleh sangat prospek untuk dikembangkan karena masih memiliki potensi perairan yang belum dimanfaatkan sebesar 79 % atau seluas ha. Secara spasial luas perairan berdasarkan kelas kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut di perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 29. Luas wilayah perairan untuk budidaya rumput laut, apabila dirinci menurut administrasi kecamatan menunjukkan bahwa sebagian besar terdapat di Kecamatan Empang yaitu seluas ha (42 %). Tingkat pemanfaatan wilayah perairan hanya sebesar 12 %, sehingga masih terdapat ha wilayah perairan yang belum dimanfaatkan. Selanjutnya di Kecamatan Lape dan Kecamatan Plampang terdapat wilayah perairan yang sangat sesuai dan sesuai untuk budidaya rumput laut seluas 6326,18 ha (28 %) dan 5167,31 ha (23 %). Tingkat pemanfaatan wilayah perairan hanya sebesar 15 % dan 36 %, sehingga masih terdapat wilayah perairan yang belum dimanfaatkan seluas ha dan 3299 ha. Sedangkan di Kecamatan Moyo Hilir memiliki wilayah perairan yang paling sedikit yaitu seluas 1.696,30 ha (7 %) dan tingkat pemanfaatan paling tinggi yaitu sebesar 50 %, sehingga hanya terdapat 844 ha wilayah perairan yang belum dimanfaatkan. Secara rinci luas kesesuaian, pemanfaatan dan potensi perairan untuk budidaya rumput laut dirinci per-kecamatan disajikan pada Tabel 24.

146

147 Gambar 29. Peta kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut di Perairan Teluk Saleh

148

149 127 Tabel 24. Luas kesesuaian, pemanfaatan dan potensi perairan untuk budidaya rumput laut dirici perkecamatan No Kecamatan Kelas Sudah Belum Potensi Dimanfaatkan Dimanfaatkan Luas Luas Luas % % % (ha) (ha) (ha) 1 Empang S ,50 S , Jumlah 9.670,41 2 Moyo Hilir S1 - S , Jumlah 1.696,30 3 Lape S ,79 S , Jumlah 6.326,18 4 Plampang S1 729,21 S , Jumlah 5.167,31 Total Kesesuaian , Sumber: Hasil Analisis (2013) Berdasarkan analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut sistem long-line, menunjukkan bahwa di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa masih memiliki potensi perairan yang cukup luas untuk dimanfaatkan bagi peningkatan produksi rumput laut. Kondisi ini sejalan dengan kebijakan pemerintah menetapkan wilayah ini sebagai kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi dan sebagai sentra pengembangan perikanan budidaya melalui program PIJAR untuk mendukung industrialisasi perikanan budidaya, khususnya budidaya laut. Namum peningkatan produksi tersebut harus memperhatikan daya dukung lingkungan perairan. Sebab apabila daya dukung terlampaui maka budidaya rumput laut yang kini menjadi andalan masyarakat pesisir untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka tidak akan berkelanjutan Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Ikan Kerapu di KJA Penilaian kesesuaian perairan sebagai faktor penentu dalam pengembangan budidaya ikan kerapu di perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa didasarkan atas beberapa parameter kesesuaian sebagai berikut: kecepatan arus, kedalaman, kecerahan, ph, salinitas, substrat, DO dan suhu perairan. Dalam penelitian ini, penentuan kelas kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu sistem didasarkan pada klasifikasi menurut FAO (1976),

150 128 namun dengan pertimbangan perairan yang dievaluasi adalah perairan teluk, sehingga kelas kesesuaian dibagi kedalam 3 (tiga) kelas kesesuaian yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (S3) dengan nilai skor masing-masing 3, 2 dan 1 (DKP, 2002). Berdasarlan hasil analisis kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu maka diperoleh luas perairan berdasarkan kategori kesesuaian perairan yaitu: luas perairan yang sangat sesuai (S1) seluas ,48 ha atau 24,63 %, luas perairan yang sesuai (S2) seluas ,70 ha atau 34,90 % dan luas perairan yang sesuai bersyarat (S3) seluas 16.31,41 ha atau 96,47 % dan luas perairan yang tidak sesuai (S2+S2) seluas 2.609,70 ha atau 5,58 %. Secara rinci luas perairan berdasarkan kelas kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu di perairan Teluk Saleh disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Luas perairan menurut kelas kesesuain perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA No Kelas Kesesuaian Luas Perairan (ha) (%) 1 Sangat Sesuai (S1) ,48 24,63 2 Sesuai (S2) ,70 34,88 3 Sesuai Bersyarat (S3) ,41 34,90 4 Tidak Sesuai (N) 2.609,70 5,58 Sumber: Hasil Analisis (2013) Tabel di atas menunjukkan bahwa wilayah perairan di Teluk Saleh Kabupaten yang potensi untuk budidaya rumput laut adalah seluas ,14 ha (S1 dan S2). Luas wilayah perairan yang sudah dimanfaatkan hingga tahun 2010 hanya seluas 46 ha atau tingkat pemanfaatan sebesar 0,02%. Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah perairan Teluk Saleh sangat prospek untuk dikembangkan karena masih memiliki potensi perairan yang belum dimanfaatkan sebesar 99,08% atau seluas ha. Secara spasial luas perairan berdasarkan kelas kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu di perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 30.

151

152 156 Gambar 30. Peta kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu di Perairan Teluk Saleh 129

153

154 130 Luas wilayah perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA, apabila dirinci menurut administrasi kecamatan menunjukkan bahwa sebagian besar terdapat di Kecamatan Lape yaitu seluas ha (37 %). Tingkat pemanfaatan wilayah perairan masih sangat rendah hanya sebesar 0,001 %, sehingga masih terdapat ha wilayah perairan yang belum dimanfaatkan. Selanjutnya di Kecamatan Empang dan Kecamatan Plampang terdapat wilayah perairan yang sangat sesuai dan sesuai untuk budidaya ikan kerapu di KJA seluas ha (24 %) dan ha (29 %). Tingkat pemanfaatan wilayah perairan hanya sebesar 0,005 % dan 0,004 %, sehingga masih terdapat wilayah perairan yang belum dimanfaatkan seluas ha dan ha. Sedangkan di Kecamatan Moyo Hilir memiliki wilayah perairan paling rendah dan secara keseluruhan belum ada pemanfaatan yaitu seluas Secara rinci luas kesesuaian, pemanfaatan dan potensi perairan untuk budidaya rumput laut dirinci per-kecamatan disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Luas kesesuaian, pemanfaatan dan potensi perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA dirinci perkecamatan No Kecamatan Kelas Sudah Belum Potensi Dimanfaatkan Dimanfaatkan Luas Luas Luas % % % (ha) (ha) (ha) 1 Empang S1 900,88 S , Jumlah 6.647,20 2 Moyo Hilir S ,69 S , Jumlah 2.630,04 3 Lape S ,08 S , Jumlah ,87 4 Plampang S ,82 S , Jumlah 8.150,07 Total Kesesuaian , Sumber: Hasil Analisis (2013) Berdasarkan analisis kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA, menunjukkan bahwa di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa masih memiliki potensi perairan yang sangat luas untuk dimanfaatkan bagi peningkatan produksi ikan kerapu. Kondisi ini sejalan dengan kebijakan pemerintah menetapkan wilayah ini sebagai kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi

155 131 dan sebagai sentra pengembangan perikanan budidaya untuk mendukung industrialisasi perikanan budidaya, khususnya budidaya laut. Budidaya ikan kerapu di KJA di wilayah penelitian selama lima tahun terakhir belum berkembang, usaha ini membutuhkan modal cukup besar sehingga umumnya dilakukan oleh pengusaha pemilik modal besar. Kebijakan pemerintah daerah saat ini, kurang memprioritaskan pengembangan budidaya ikan kerapu dibandingkan dengan budidaya rumput laut yang diimplementasikan melalui program PIJAR. Rendahnya perhatian pemerintah untuk pengembangan komoditi ikan kerapu menyebabkan perkembangan usaha budidaya komoditi ini cenderung tidak berkembang dibandingkan dengan rumput laut. Namun di masa mendatang seiring dengan meningkatnya permintaan pasar dan ketertarikan pemodal berinvesatasi pada budidaya ikan kerapu dan di dukung oleh ketersediaan wilayah perairan yang sangat luas di wilayah penelitian, maka usaha budidaya harus memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan perairan untuk menjamin budidaya ikan secara ekonomi dapat berkelanjutan Daya Dukung Perairan Budidaya Laut Daya Dukung Perairan Budidaya Rumput Laut Budidaya rumput laut merupakan usaha yang sedang berkembang saat ini dan memiliki prospek baik untuk dikembangkan seiring dengan kebijakan pemerintah daerah dengan menetapkan rumput laut sebagai komoditas unggulan. Budidaya rumput laut diyakini dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah pesisir. Kebijakan pemerintah daerah saat ini menetapkan wilayah Teluk Saleh sebagai kawasan strategis bagi pertumbuhan ekonomi daerah melalui program PIJAR untuk peningkatan produksi rumput laut melalui budidaya rumput laut secara berkelanjutan. Keberlanjutan budidaya rumput laut secara ekologi mensyaratkan aspek kemampuan daya dukung lingkungan perairan. Konsep daya dukung yang dikembangkan dalam usaha budidaya rumput laut adalah konsep daya dukung ekologis dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi lainnya. Daya dukung ekologis, menurut Pigram (1993) dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan, berupa jumlah maupun yang diakomodasikan di dalamnya sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis kawasan tersebut.

156 132 Pengukuran daya dukung perairan didasarkan pada kapasitas maksimum lingkungan perairan untuk mendukung pertumbuhan optimal suatu organisme. Kemampuan daya dukung perairan mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rumput laut dari aspek ekologis. Apabila budidaya rumput laut telah melampaui kemampuan daya dukung perairan, maka akan mengakibtkan penurunan kualitas lingkungan untuk pertumbuhan optimal rumput laut. Penentuan daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui luas perairan yang dapat didukung oleh lingkungan perairan agar rumput laut yang dibudidayakan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di wilayah kajian dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu: (1) penentuan daya dukung berdasarkan kapasitas perairan; dan (2) penentuan daya dukung berdasarkan kapasitas asimilasi N di perairan. Berikut ini akan disajikan hasil analisis penentuan daya dukung perairan untuk masingmasing pendekatan yang digunakan dalam penentuan daya dukung parairan untuk budidaya rumput laut di wilayah penelitian tersebut. Pendekatan Kapasitas Perairan Penentuan daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut berdasarkan Kapasitas Perairan dipengaruhi oleh luas areal budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai) berdasarkan analisis GIS pada tujuan pertama dalam penelitian ini dan sistem budidaya rumput laut yang diterapkan di wilayah penelitian yaitu budidaya rumput laut sistem long-line. Perhitungan analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut berdasarkan kapasitas perairan secara rinci disajikan pada Lampiran. 11. Hasil analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut berdasarkan Kapasitas Perairan, diperoleh luas daya dukung perairan untuk kategori kesesuaian perairan sangat sesuai dan sesuai seluas ,34 ha atau unit. Secara rinci luas daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 27.

157 133 Tabel 27. Daya dukung budidaya rumput laut berdasarkan kapasitas perairan No Luas Perairan (ha) Kapasitas Perairan (%) Pemanfaatan Daya Dukung Perairan (ha) (ha) (unit) (Sudah) (Belum) 4.140, Sangat Sesuai (S1) 53, ,34 2 Sesuai (S2) 8.169, Jumlah 53, , ,34 Sumber: Hasil Analisis (2013) Tabel di atas menunjukkan bahwa luas perairan yang dapat didukung untuk budidaya rumput laut adalah seluas ,34 ha atau sebanyak unit budidaya. Luas wilayah perairan yang sudah dimanfaatkan hingga tahun 2010 adalah seluas ha atau tingkat pemanfaatan baru mencapai 39 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah perairan Teluk Saleh masih memiliki potensi perairan yang belum dimanfaatkan sebesar 61 % atau seluas ha atau unit. Jumlah unit budidaya yang dapat didukung bila dikonversikan ke dalam volume produksi dimana rata-rata volume produksi untuk satu unit budidaya sebesar 4,9 ton, maka potensi volume produksi rumput laut kering yang dapat diproduksi oleh wilayah perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa adalah sebesar ton per tahun. Daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa, apabila dirinci menurut administrasi kecamatan menunjukkan bahwa sebagian besar potensi perairan terdapat di Kecamatan Empang yaitu seluas ha (42 %). Tingkat pemanfaatan wilayah perairan hanya sebesar 22 %, sehingga masih terdapat ha wilayah perairan yang belum dimanfaatkan. Selanjutnya di Kecamatan Lape dan Kecamatan Plampang terdapat potensi perairan seluas 3.406,40 ha (28 %) dan 2.782,40 ha (23 %). Tingkat pemanfaatan wilayah perairan hanya sebesar 28 % dan 67 %, sehingga masih terdapat wilayah perairan yang belum dimanfaatkan seluas ha dan 914 ha. Sedangkan di Kecamatan Moyo Hilir memiliki wilayah perairan yang paling sedikit yaitu seluas 913 ha (7 %) dan tingkat pemanfaatan paling tinggi yaitu sebesar 80 %, sehingga hanya terdapat 61 ha wilayah perairan yang belum dimanfaatkan. Secara rinci daya dukung perairan laut berdasarkan kapasitas perairan dan tingkat pemanfaatan perairan untuk budiddaya rumput, perkecamatan disajikan pada Tabel 28.

158 134 Tabel 28. Daya dukung perairan berdasarkan kapasitas perairan dan tingkat pemanfaatan dirinci perkecamatan Sudah Belum Daya Dukung No Kecamatan Kelas Dimanfaatkan Dimanfaatkan (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) 1 Empang S , S , Jumlah 5.207, Moyo Hilir S1 - - S2 913, Jumlah 913, Lape S , S , Jumlah 3.406, Plampang S1 392, S , Jumlah 2.782, Total Kesesuaian , , , ,48 Sumber: Hasil Analisis (2013) Pendekatan Kapasitas Asimilasi N Penentuan daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut berdasarkan Kapasitas Asimilasi N dipengaruhi oleh jenis rumput laut yang dibudidayakan, luas areal budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai) berdasarkan analisis GIS pada tujuan pertama penelitian ini dan flushing time. Perhitungan analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut berdasarkan kapasitas asimilasi N di perairan Teluk Saleh secara rinci disajikan pada Lampiran 4. Hasil analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut berdasarkan Kapasitas Asimilasi N, diperoleh luas daya dukung perairan untuk jenis rumput laut hijau seluas ,91 ha atau unit dan daya dukung jenis rumput laut coklat seluas ,94 ha atau unit. Luas wilayah perairan yang sudah dimanfaatkan hingga tahun 2010 untuk budidaya rumput laut jenis hijau seluas ,91 ha unit, sedangkan untuk rumput laut jenis coklat seluas ,94 ha unit. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih terdapat potensi perairan yang belum dimanfaatkan untuk rumput laut jenis coklat seluas ,15 ha atau unit dan untuk rumput laut jenis hijau seluas ,21 ha atau unit. Secara rinci luas

159 135 daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 29. Selanjutnya apabila daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut berdasarkan kapasitas asimilasi N perairan dirinci menurut administrasi kecamatan menunjukkan sebagian besar potensi perairan terdapat di Kecamatan Empang yaitu untuk jenis rumput laut coklat seluas 7.149,50 ha atau unit dan rumput laut hijau seluas 8.982,02 ha atau unit. Untuk di Kecamatan Lape untuk jenis rumput laut hijau seluas 5.875,86 ha atau unit dan jenis rumput laut coklat seluas 4.677,06 ha atau unit, di Kecamatan Plampang terdapat potensi perairan untuk jenis rumput laut hijau seluas 4.799,48 ha atau unit dan daya dukung jenis rumput laut coklat seluas 3.820,28 ha atau 9795 unit. Sedangkan di Kecamatan Moyo Hilir memiliki potensi perairan yang paling sedikit yaitu untuk jenis rumput laut hijau seluas 1.575,55 ha atau unit dan daya dukung jenis rumput laut coklat seluas 1.254,10 ha atau unit. Secara rinci daya dukung perairan laut berdasarkan kapasitas perairan dan tingkat pemanfaatan perairan untuk budiddaya rumput, per-kecamatan disajikan pada Tabel 30.

160 136 Tabel 29. Daya dukung rumput laut berdasarkan kapasitas asimilasi N dan tingkat pemanfaatan No Luas Perairan (ha) Daya Dukung Sudah Dimanfaatkan Belum Dimanfaatkan RL Hijau RL Coklat RL Hijau RL Coklat RL Hijau RL Coklat (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (ha) (ha) (unit) (ha) (unit) 1 Sangat Sesuai (S1) 7.142, , Sesuai (S2) , , , , , , Jumlah , , , , , , Tabel 30. Daya dukung rumput laut berdasarkan kapasitas asimilasi N dan tingkat pemanfaatan dirinci perkecamatan No Kecamatan Daya Dukung Sudah Dimanfaatkan Belum Dimanfaatkan RL Hijau RL Coklat RL Hijau RL Coklat RL Coklat RL Hijau (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) 1 Empang S , , S , , , , , , Jumlah 8.982, , , , , , Moyo Hilir S S , , , , , , Jumlah 1.575, , , , , , Lape S , , S , , , , , , Jumlah 5.875, , , , , , Plampang S1 677, , S , , , , , , Jumlah 4.799, , , , , , Total Keseluruhan , , , , , ,

161 Daya Dukung Perairan untuk Budidaya Ikan Kerapu di KJA Budidaya ikan kerapu di KJA merupakan usaha yang perkembangannya lambat dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu di KJA. Namun di masa mendatang usaha budidaya ikan kerapu di KJA diyakini akan menjadi komoditi unggulan daerah. Penentuan daya dukung perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui luas perairan yang dapat didukung oleh lingkungan perairan agar budidaya ikan kerapu di KJA dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Analisis daya dukung perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA di wilayah kajian dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu: (1) penentuan daya dukung berdasarkan kapasitas perairan; dan (2) penentuan daya dukung yang mengacu pada pasokan total-n yang terbuang ke perairan. Pendekatan Kapasitas Perairan Penentuan daya dukung perairan untuk budidaya Kerapu berdasarkan Kapasitas Perairan dipengaruhi oleh luas areal budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai) berdasarkan analisis GIS pada tujuan pertama dalam penelitian ini dan sistem budidaya Kerapu yang diterapkan di wilayah penelitian yaitu budidaya kerapu di KJA. Perhitungan analisis daya dukung perairan untuk budidaya Kerapu berdasarkan kapasitas perairan secara rinci disajikan pada Lampiran 5. Hasil analisis daya dukung perairan untuk budidaya kerapu di KJA berdasarkan Kapasitas Perairan, diperoleh luas daya dukung perairan untuk kategori kesesuaian perairan sangat sesuai seluas 9.892,67 ha atau unit dan sesuai seluas ,14 ha atau unit. Secara rinci luas daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Daya dukung ikan kerapu di KJA berdasarkan kapasitas perairan No Luas Perairan (ha) Kapasitas Perairan (%) Daya Dukung Pemanfaatan Perairan (ha) (ha) (unit) (Sudah) (Belum) 9.892, ,81 1 Sangat Sesuai (S1) 85,94 2 Sesuai (S2) , Jumlah 85, , ,81 Sumber: Hasil Analisis (2013)

162 138 Tabel di atas menunjukkan bahwa luas perairan yang dapat didukung untuk budidaya kerapu adalah seluas ,81 ha atau sebanyak unit budidaya. Luas wilayah perairan yang sudah dimanfaatkan hingga tahun 2010 adalah seluas 46 ha atau tingkat pemanfaatan baru mencapai 0,19 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah perairan Teluk Saleh masih memiliki potensi perairan yang belum dimanfaatkan sebesar 619,81 % atau seluas ,81 ha atau unit. Jumlah unit budidaya yang dapat didukung bila dikonversikan ke dalam volume produksi dimana rata-rata volume produksi untuk satu unit budidaya sebesar 4,61 ton, maka potensi volume produksi kerapu yang dapat diproduksi oleh wilayah perairan Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa adalah sebesar ,43 ton per tahun. Daya dukung perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa, apabila dirinci menurut administrasi kecamatan menunjukkan bahwa sebagian besar potensi perairan terdapat di Kecamatan Empang yaitu seluas ha (23,90 %). Tingkat pemanfaatan wilayah perairan hanya sebesar 0,56 %, sehingga masih terdapat ha wilayah perairan yang belum dimanfaatkan. Selanjutnya di Kecamatan Lape dan Kecamatan Plampang terdapat potensi perairan seluas 8.926,21 ha (37,34 %) dan 7.003,96 ha (29,30 %). Tingkat pemanfaatan wilayah perairan hanya sebesar 0,12 % dan 0,04 %, sehingga masih terdapat wilayah perairan yang belum dimanfaatkan seluas 87,063 ha dan 68,369 ha. Sedangkan di Kecamatan Moyo Hilir memiliki wilayah perairan seluas 2.260,19 ha (9,46%) dimana potensi luas perairan tersebut masih belum termanfaatkan. Secara rinci daya dukung perairan laut berdasarkan kapasitas perairan dan tingkat pemanfaatan perairan untuk budidaya kerapu, per-kecamatan disajikan pada Tabel 32.

163 139 Tabel 32. Daya dukung perairan berdasarkan kapasitas perairan dan tingkat pemanfaatan dirinci perkecamatan Sudah Daya Dukung No Kecamatan Kelas Dimanfaatkan Belum Dimanfaatkan (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) 1 Empang S1 774, S , Jumlah 5.712, Moyo Hilir S ,16 S , Jumlah 2.260, Lape S ,21 S , Jumlah 8.926, Plampang S ,11 S , Jumlah 7.003, Total Kesesuaian , , ,67 Sumber: Hasil Analisis (2013) Pendekatan Pasokan Total-N di Perairan Pendekatan pasokan total N perairan dipakai untuk mengetahui pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan khususnya untuk budidaya ikan kerapu di KJA karena pendekatan ini memperhitungkan segi daya dukung lingkungan. Dalam penelitian ini, besarnya total N yang masuk ke perairan teluk dibatasi pada jumlah limbah N dari hasil budidaya kerapu dan total limbah N dari kegiatan antropogenik di daratan yang diestimasikan sebanyak 25 % nya masuk ke perairan teluk. Perhitungan jumlah limbah N dari budidaya kerapu di KJA disajikan pada Lampiran 14, sedangkan total limbah N dari kegiatan antropogenik disajikan pada Lampiran 15. Berdasarkan perhitungan dengan nutrient loading model dihasilkan nilai konsentrasi NO - 2 dalam perairan akibat masukan N limbah budidaya dan kegiatan antropogenik di daratan sebesar 0,036 mg/l. Nilai N ini selanjutnya dihubungkan dengan nilai NO - 2 baku mutu perairan untuk budidaya (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004) yaitu sebesar 0,3 mg/l dan 1 mg/l untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi budidaya yang dapat dicapai (P opt ). Dari hasil perhitungan diketahui bahwa produksi optimal yang dapat dicapai untuk setiap hektar perairan budidaya dengan baku mutu 0,3 mg/l adalah sebanyak 38,91 ton/ha, sedangkan untuk baku mutu 1 mg/l produksi optimal yang dapat dicapai adalah 354,63 ton/ha dimana kapasitas produksi untuk 1 (satu) unit budidaya adalah 4,61 ton dengan

164 140 masa pemeliharaan selama 8 bulan. Secara lebih rinci perhitungan jumlah unit budidaya per hektar berdasarkan daya dukung lingkungan dengan pendekatan pasokan total N di perairan serta produksi optimal yang dapat dicapai disajikan pada Lampiran 16. Luasan daya dukung lingkungan untuk budidaya kerapu di KJA berdasarkan kategori perairan sangat sesuai dengan baku mutu 0,3 mg/l adalah sebesar 1.399,66 ha, sedangkan luasan daya dukung untuk kategori perairan yang sesuai adalah sebesar 1.982,22 ha. Berdasarkan luasan tersebut, jumlah unit budidaya yang mampu didukung dari kategori perairan yang sangat sesuai sebanyak unit dan untuk kategori perairan yang sesuai sebanyak unit. Selanjutnya bila mengacu pada baku mutu 1 mg/l diperoleh luasan daya dukung lingkungan yang lebih besar yaitu 4.665,53 ha untuk kategori perairan sangat sesuai dan 6.607,39 ha untuk kategori perairan yang sesuai. Secara rinci besaran daya dukung lingkungan berdasarkan pendekatan pasokan Total-N di perairan dan tingkat pemanfaatan perairan untuk budidaya kerapu disajikan pada Tabel 33. Selanjutnya apabila daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA berdasarkan pendekatan pasokan Total-N di perairan dirinci menurut administrasi kecamatan menunjukkan sebagian besar potensi perairan terdapat di Kecamatan Lape yaitu seluas ha atau unit. Kecamatan dengan potensi perairan terkecil terdapat pada Kecamatan Moyo Hilir dengan luasan 319,78 ha atau hanya mampu mendukung sebanyak unit. Secara rinci daya dukung perairan laut berdasarkan pendekatan pasokan Total-N di perairan dan tingkat pemanfaatan perairan untuk budidaya kerapu, perkecamatan disajikan pada Tabel 34.

165 Tabel 33. Daya dukung perairan berdasarkan pendekatan pasokan total-n di perairan dan tingkat pemanfaatan No Sudah Daya Dukung Luas Perairan dimanfaatkan Belum Dimanfaatkan (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) Kelas Kesesuaian (ha) BM 0,3 mg/l BM 0,3 mg/l BM 1 mg/l BM 1 mg/l BM 0,3 mg/l BM 0,3 mg/l BM 1 mg/l BM 1 mg/l 1 Sangat Sesuai (S1) 11, , ,818 4, ,313 2 Sesuai (S2) 16, , ,737 6, , ,336 28,106 11, ,832 Jumlah 27, , , , , , ,106 11, ,832 Tabel 34. Daya dukung perairan berdasarkan pendekatan pasokan total-n di perairan dan tingkat pemanfaatan dirinci perkecamatan No Kecamatan Kelas 1 Empang 2 Moyo Hilir 3 Lape 4 Plampang BM 0,3 mg/l (ha) BM 0,3 mg/l (unit) Daya Dukung Sudah Dimanfaatkan Belum Dimanfaatkan BM 1 mg/l (ha) BM 1 mg/l (unit) S1 109, , S2 698,68 5., , (ha) (unit) BM 0,3 mg/l (ha) BM 0,3 mg/l (unit) BM 1 mg/l (ha) BM 1 mg/l (unit) , Jumlah 808, , , , S1 170, , S2 148, , , Jumlah 319, , , , S1 879, , S2 383, , , Jumlah 1.262, , , , S1 240, , S2 750, , , Jumlah 990, , , , Total Kesesuaian 3.381, , , , , Sumber: Hasil Analisis (2013)

166 Status Keberlanjutan Pengelolaan Budidaya Laut Status Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut dengan sistem long-line di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa dianalisis dengan metode multidimensional scalling menggunakan Rapid Appraisal - Index Sustainability of Seaweed (Rap-Insus-Seaweed). RAP Insus Seaweed merupakan modifikasi dari Rapfish (A Rapid Appraisal Technique for Fisheries) yang digunakan untuk menduga tingkat keberlanjutan pada perikanan tangkap dari berbagai dimensi. Rap-Insus-Seaweed menghasilkan nilai indeks dan status keberlanjutan masing-masing dimensi dan multidimensi pengelolaan budidaya rumput laut dengan sistem long-line di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Nilai tersebut ditentukan oleh nilai skoring dari masing-masing atribut pada setiap dimensi. Hasil identifikasi dan penentuan atribut diperoleh 48 atribut atau faktor yang mempunyai hubungan keterkaitan timbal balik yang dapat mempengaruhi setiap dimensi sistem pengelolaan budidaya rumput laut. Secara rinci nilai skoring masing-masing atribut untuk kelima dimensi keberlanjutan di sajikan pada Lampiran 9, 10, 11, 12 dan 13. Berikut ini akan diuraikan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa yang menggambarkan secara menyeluruh kondisi saat ini (existing condition) serta atribut yang sensitif (leverage attribute) dari masing-masing dimensi yang mempengaruhi nilai indeks status keberlanjutan untuk merumuskan skenario kebijakan dan strategi dalam pengelolaan budidaya rumput laut untuk memudahkan dalam perumusan kebijakan atau perencanaan program pada masa yang akan datang Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Hasil analisis Rap Insus Seaweed terhadap 8 (delapan) atribut berpengaruh pada dimensi ekologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 52,81. Nilai tersebut terletak antara 51,00-75,00 berarti Cukup Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan lebih dari 50 menunjukkan bahwa kondisi ekologi perairan tersebut cukup mendukung pengelolaan budidaya rumput

167 143 laut. Namun nilai indeks tersebut mendekati nilai indeks kurang berkelanjutan, sehingga apabila kondisi ekologi perairan tidak dikelola atau dibiarkan seperti saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 31. Gambar 31. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Berdasarkan analisis leverage terhadap 8 (delapan) atribut diperoleh 3 (tiga) atribut sensitive terhadap keberlanjutan dimensi ekologi yaitu: (1) Ancaman Terhadap kualitas Perairan (RMS-0,80); (2) Serangan Hama (RMS-0,73); dan (3) Serangan Penyakit (RMS-0,63). Perubahan terhadap ke-3 atribut ini akan berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi

168 144 ekologi. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 32. Gambar 32. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan (1) Ancaman Terhadap Kualitas Perairan Atribut Ancaman Terhadap Kualitas Perairan merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut pada dimensi ekologi, kerena tingginya ancaman terhadap kualitas perairan menyebabkan terganggunya ekosistem sehingga berpengaruh terhadap daya dukung perairan dan produktivitas perairan. Ancaman terhadap kualitas perairan di wilayah penelitian bersumber dari aktivitas penangkapan ikan secara destruktif dan kegiatan pembangunan di daerah up-land seperti limbah domestik, budidaya tambak, hatchery, aktivitas pelabuhan, pertanian, dan pertambangan.

169 145 (2) Serangan Hama Atribut Serangan Hama merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi ekologi, kerena biota pengganggu (hama) akan menyebabkan produksi rumput laut menurun. Hama yang sering menyerang rumput laut dikelompokkan berdasarkan ukurannya yaitu hama mikro (micro graze) dan hama makro (macro grazer). Hama mikro umumnya berukuran kurang dari 2 cm dan melekat pada thallus tanaman seperti larva bulu babi dan larva teripang sedangkan hama makro umumnya berukuran lebih dari 2 cm seperti ikan baronang (Siganus spp), penyu hijau (Chelonia midas), bulu babi (Diadema sp) dan bintang laut (Protoneostes) (Anggadireja et al. 2006). karena luka bekas gigitannya akan menyebabkan penyakit pada budidaya rumput laut (Anggradiarja et al. 2006; Yulianto, 2004; Nugraha dan Santoso, 2008). Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa bahwa hama yang sering menggaggu budidaya rumput laut di wilayah penelitian selama 5 tahun terakhir adalah ikan beronang karena merupakan habitat ikan beronang. Serangan hama ikan beronang dikategorikan masih sedang karena hanya pada musim tertentu, namun cukup merugikan pembudidaya. (3) Serangan Penyakit Atribut Serangan Penyakit merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi ekologi, karena penyakit yang biasa menyerang rumput laut ice-ice penularannya sangat cepat dalam waktu 1 minggu akan menyebabkan gagal panen (Yulianto, 2004). Rumput laut berpotensi meningkatkan taraf hidup petani rumput laut, Namun pada musim tertentu budidaya rumput laut mengalami masa yang kurang menguntungkan, karena diserang penyakit (Yulianto & Hatta, 1996; Undser, 2002; Sulu et al. 2003). Perubahan lingkungan yang mendadak sepeti, antara lain perubahan salinitas, suhu air, dan intensitas cahaya merupakan faktor utama yang akan memudahkan infeksi patogen dan memicu penyakit ice-ice (Imardjono et al. 1989; Hurtado dan Agbayani, 2000; Mintardjo, 1990; Kaas dan Perez, 1990; Largo et al. 1995; Nugraha dan Santoso, 2008). Perubahan salinitas akan

170 146 menyebabkan adanya turgor antara bagian dalam dan luar rumput laut (Luning, 1990). Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa penyakit ice-ice umumnya terjadi pada awal musim Barat atau pada pergantian musim Timur ke musim Barat (Oktober-April). Ice-ice merupakan penyakit dengan tingkat infeksi cukup tinggi di negara Asia (Philips, 1990) dan banyak menyerang rumput laut pada saat musim hujan (Oktober-April) (Doty, 1975; Doty, 1979; Mintardjo, 1990). Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa penyakit yang menyerang budidaya rumput laut di wilayah penelitian selama 5 tahun terakhir adalah peyakit ice-ice dengan tingkat serangan dikategorikan masih sedang karena hanya pada musim tertentu, namun cukup merugikan pembudidaya. Serangan penyakit di duga karena pengaruh musim dan penggunaan bibit rumput laut dengan mutu yang rendah karena membawa bibit penyakit atau daya tahan terhadap serangan penyakit sudah berkurang (Wantasen dan Tamrin, 2012) Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil analisis Rap Insus Seaweed terhadap 10 (sepuluh) atribut berpengaruh pada dimensi ekonomi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 51,29. Nilai tersebut terletak antara 51,00-75,00 berarti Cukup Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan lebih dari 50 menunjukkan bahwa kondisi ekonomi cukup mendukung pengelolaan budidaya rumput laut. Namun nilai indeks tersebut sangat mendekati nilai indeks kurang berkelanjutan, sehingga apabila secara ekonomi tidak dikelola atau dibiarkan seperti saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 33.

171 147 Gambar 33. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 (sepuluh) atribut dimensi ekonomi diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu: (1) Status Modal Usaha (RMS 1,38); (2) Fluktuasi Harga (RMS 1,85); (3) Efesiensi Rantai Pemasaran (RMS 1,96); dan (4) Nilai Tambah Komoditi (RMS 1,25). Perubahan terhadap ke-3 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 34.

172 148 Gambar 34. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan (1) Efisiensi Rantai Pemasaran Atribut Efisiensi Rantai Pemasaran merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi ekonomi, kerena rantai pemasaran yang tidak efisien akan menyebabkan rendahnya pendapatan atau keuntungan yang diperoleh oleh petani rumput laut. Berdasarkan hasil wawancara terhadap petani rumput laut menunjukkan bahwa sebagian besar 98 % responden di wilayah penelitian tidak memiliki jaringan terhadap saluran pemasaran, sehingga kondisi rendahnya akses ke saluran pemasaran akan berdampak pada semakin panjang rantai pemasaran dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap rendahnya harga beli rumput laut dari petani rumput laut.

173 149 (2) Fluktuasi Harga Berdasarkan hasil analisis perkembangan harga rumput laut selama 5 tahun terakhir menunjukkan harga rumput laut kering sangat fluktuatif dengan trend yang cenderung menurun. Fluktuasi harga rumput laut disebebkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) banyaknya para spekulan yang bermain dalam mempengaruhi harga rumput laut di tingkat petani rumput laut; (2) rumput laut di wilayah penelitian sebagian diekspor ke Singapore, Hongkong dan Cina (Budiani, 2012), sehingga harga jual rumput laut juga dipengaruhi oleh perkembangan pasar global, seperti perubahan biaya fiscal dan sejenisnya yang menyebabkan kenaikan biaya pengiriman sehingga berpengaruh terhadap harga ditingkat petani rumput laut; (3) apabila permintaan ekspor meningkat, maka harga rumput laut juga meningkat, demikian sebaliknya jika kondisi perekonomian menurun, maka daya beli rumput laut menurun dan berakibat harga di pasaran menjadi murah; (4) rumput laut yang diekspor masih dalam bentuk bahan baku sehingga menyebabkan posisi tawar rendah dan pengendali harga ditentukan oleh pabrik pengolah di luar negeri. (Setyaningsih et al. 2012). (3) Status Modal Usaha Atribut Status Modal Usaha merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi ekonomi, karena budidaya rumput laut harus di topang oleh ketersediaan dan status modal usaha. Status modal budidaya rumput laut di wilayah penelitian menunjukkan bahwa 82 % responden menyatakan modal usaha budidaya diperoleh dari Pinjaman Middleman. Selain rendahnya akses permodalan bagi para petani pembudidaya, persyaratan agunan dan pengembalian kredit per-bulan bila meminjam ke bank menjadi kendala utama bagi pembudidaya karena ketidakpastian hasil panen. Belum lagi tingkat suku bunga bank yang menurut pembudidaya cukup tinggi. Adanya permasalahan terkait akses permodalan inilah yang mendorong para petani untuk cenderung memilih meminjam modal kepada tengkulak sebagai modal usahanya. Permasalahan yang sering dihadapi oleh para pembudidaya terkait permodalan dimanfaatkan oleh para tengkulak

174 150 (middle man) untuk memberikan bantuan modal dengan ketentuan hasil panen pembudidaya harus dijual kepada pihak tengkulak sehingga memberikan keleluasaan kepada tengkulak untuk mengendalikan harga komoditi. (4) Nilai Tambah Komoditi Rumput laut hasil budidaya petani rumput laut di wilayah penelitian setelah dikeringkan langsung dijual ke pedagang pengumpul dan hanya dipasarkan dalam bentuk rumput laut kering (rawa material) dengan kualitas rendah, sehingga tidak memiliki nilai tambah. Produk rumput laut yang mempunyai nilai tambah tinggi dan potensial untuk dikembangkan di Indonesia termasuk wilayah penelitian antara lain adalah Alkali Trated Cottonii (ATC), Semi Refined Carragenan (SRC), Refined Carragenan (RC) (Kementerian Perindustrian, 2011). Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir. Selain dapat digunakan sebagai bahan makanan, minuman dan obat-obatan, beberapa hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, alginate dan karaginan merupakan senyawa yang cukup penting dalam industri (Istini, 1998). Sebagian besar rumput laut di Indonesia diekspor dalam bentuk kering (Suwandi, 1992). Bila ditinjau dari segi ekonomi, harga hasil olahan rumput laut seperti karaginan jauh lebih tinggi dari pada rumput laut kering. Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai tambah dari rumput laut dan mengurangi impor akan hasil-hasil olahannya, maka pengolahan rumput laut menjadi karaginan di dalam negeri perlu dikembangkan (Istini, 1998). Sebagai ilustrasi rumput laut kering yang dipasarkan selama ini nilai berkisar antara Rp sampai Rp /kg per kilogram, jika diolah menjadi ATC Chips maka harga yang diperoleh menjadi Rp /kg, Semi Refine Carrageenan (SRC), food grade bisa bernilai Rp /kg sampai Rp /kg. Jika diproses sampai Refine Carrageenan (RC) untuk non food grade menjadi Rp /kg dan untuk food grade Rp /kg.

175 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Hasil analisis Rap Insus Seaweed terhadap 10 (sepuluh) atribut berpengaruh pada dimensi sosial, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 47,02. Nilai tersebut terletak antara 26,00-50,00 berarti Kurang Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan lebih kurang dari 50 menunjukkan bahwa kondisi sosial masyarakat di wilayah penelitian kurang mendukung pengelolaan budidaya rumput laut. Apabila kondisi sosial masyarakat tidak dikelola atau dibiarkan seperti kondisi saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 35. Gambar 35. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

176 152 Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 (sepuluh) atribut dimensi sosial diperoleh 3 (tiga) atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial yaitu: (1) Tingkat Kemandirian (RMS-3,08); (2) Jumlah Petani (RMS- 2,37); dan (3) Tingkat Pendidikan Formal (RMS-3,37). Perubahan terhadap ke-3 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi sosial keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 36. (1) Tingkat Pendidikan Atribut Tingkat Pendidikan petani rumput laut merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi sosial, karena: (1) penguasaan teknologi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani rumput laut; (2) kemampuan untuk mendapatkan akses pasar seluas-luasnya; (3) kemampuan untuk memperoleh keterbukaan informasi fluktuasi harga; (4) kemampuan untuk memperoleh kemudahan akses permodalan; (5) kemampuan untuk pencegahan spekulan yang masuk dan perpanjangan rantai tataniaga; (6) leluasanya middle man dalam memanipulasi harga dan mengendalikan rantai tataniaga, serta sulitnya dilakukan upaya penguatan sistem kelembagaan di tingkat petani karena rendahnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan responden petani rumput laut di wilayah penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu sebanyak 79 % tingkat pendidikan responden adalah SD. Jika dipadukan dengan data Kecamatan Dalam Angka Tahun 2010 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rata-rata penduduk secara keseluruhan di wilayah penelitian menunjukkan adalah SMP, sehingga tingkat pendidikan formal petani rumput laut adalah Lebih Rendah dari tingkat pendidikan penduduk di wilayah penelitian. Tingkat pendidikan petani rumput laut baik formal maupun non formal akan mempengaruhi cara berfikir yang diterapkan pada usahanya yaitu dalam rasionalisasi usaha dan kemampuan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Sutarto (2008) mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap untuk kemampuan dalam mengadopsi teknologi.

177 153 (2) Tingkat Kemandirian Atribut Tingkat Kemandirian petani rumput laut merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi sosial, karena keberadaan petani rumput laut dipengaruhi oleh sistem dan tatanan kehidupan sosial dan budaya di lingkungan masyarakat. Petani rumput laut di wilayah penelitian memiliki ketergantungan terhadap punggawa (middleman) dalam bentuk modal, sarana prasarana produksi, penyediaan kebutuhan petani rumput laut dan pemasaran. Keberadaan punggawa (middleman) berperan sebagai pedagang pengumpul, sehingga seringkali melakukan permainan dalam penentuan kualitas rumput laut agar dapat membeli rumput laut dengan harga murah. Ketergantungan petani rumput laut terhadap punggawa sangat besar terutama dalam hal menjamin kebutuhan hidup sehari-hari. Pada saat petani rumput laut menghadapi masalah keuangan mereka akan meminjamkan kepada punggawa tanpa anggunan, proses cepat dan didasari atas kepercayaan. Konsekuensinya petani rumput laut harus menjual rumput laut kepada punggawa dengan harga yang ditetapkan. Dalam kondisi seperti ini otoritas penentuan harga berada di pihak punggawa sedangkan petani rumput laut hanya sebagai penerima harga. (3) Jumlah Petani Rumput Laut Atribut Jumlah Petani Rumput Laut merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi sosial, karena peningkatan jumlah petani rumput laut menunjukkan perkembangan budidaya rumput laut dalam memanfaatkan potensi perairan dan peningkatan produksi rumput laut dan penyerapan tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran. Hasil analisis tingkat perkembangan jumlah petani rumput laut selama 5 tahun terakhir menunjukan bahwa rata-rata peningkatan jumlah petani rumput laut hanya sebesar 2 % per tahun. Jika dibandingkan dengan luas potensi perairan yang belum dimanfaatkan dan tingkat pengangguran, maka tingkat perkembangan jumlah petan rumput laut masih rendah.

178 154 Gambar 36. Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Hasil analisis Rap Insus Seaweed terhadap 10 (sepuluh) atribut berpengaruh pada dimensi kelembagaan, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 32,38. Nilai tersebut terletak antara 26,00-50,00 berarti Kurang Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan lebih kurang dari 50 menunjukkan bahwa kondisi kelembagaan di wilayah penelitian kurang mendukung pengelolaan budidaya rumput laut. Apabila kondisi kelembagaan tidak dikelola atau dibiarkan seperti kondisi saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi kelembagaan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 37.

179 155 Gambar 37. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi kelembagaan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 atribut dimensi kelembagaan diperoleh lima atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi kelembagaan yaitu: (1) Kelembagaan Pembibitan (RMS-3,61); (2) Kelembagaan Pasar (RMS-3,05); (3) Kelembagaan Penjamin Mutu (RMS-2,76); (4) Dukungan dan Komitmen Pemda (RMS-1,82) dan Kelembagaan Penyuluh (RMS-1,70). Perubahan terhadap ke-5 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 38. (1) Kelembagaan Pembibitan Atribut Kelembagan Pembibitan merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi kelembagaan, karena kelembagaan pembibitan memiliki peranan dalam memberikan jaminan

180 156 pemenuhan kebutuhan bibit yang tepat mutu, tepat jumlah, tepat waktu dan tepat harga. Secara kelembagaan, pembibitan rumput laut di wilayah penelitian belum terdapat lembaga atau aturan main yang mengatur dan menjamin ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan bibit rumput laut. Lembaga yang terdapat di wilayah penelitian adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa yaitu Balai Benih Ikan Pantai (BBIP). Keberadaan BBIP selama ini, belum melakukan kegiatan penyediaan bibit rumput laut, namun lebih difokuskan pada kegiatan penyediaan benur. Selanjutnya keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan di Lombok Barat yaitu Balai Budidaya Laut (BBL) Sekotong, hingga saat ini masih dalam tahap pengembangan penelitian dan belum mampu memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan bibit yang tepat mutu, tepat jumlah, tepat waktu dan tepat harga. (2) Kelembagaan Pasar Atribut Kelembagan Pasar merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi kelembagaan, karena kelembagaan pasar memiliki peranan dalam memberikan jaminan sistem pemasaran, harga yang sesuai dan memperkecil margin pemasaran dengan memperpendek rantai pemasaran. Petani rumput laut dihadapkan pada permasalahan ketidak pastian sistem pemasaran dengan harga yang menguntungkan bagi petani rumput laut karena belum ada kelembagaan yang mengatur sistem pemasaran rumput laut di wilayah penelitian. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran rumput laut di wilayah penelitian terdiri dari pedagang pengumpul baik di tingkat desa maupun kecamatan, pedagang besar yang berlokasi di Kota Kabupaten Sumbawa serta eksportir atau pabrik pengolahan yang berada di Kota Mataram dan Surabaya.

181 157 (3) Kelembagaan Penjamin Mutu Atribut Kelembagan Penjamin Mutu merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi kelembagaan, karena kelembagan ini memiliki peranan dalam menjaga dan menjamin keseragaman mutu, kualitas dan standar rumput laut kering yang dihasilkan sebagai bahan baku (raw material) untuk industri pengolahan. Bahan baku rumput laut hasil budidaya di wilayah penelitian memiliki daya saing yang rendah karena belum terdapat kelembagaan yang dapat memberikan jaminan terhadap mutu dan kualitas rumput laut yang dihasilkan. Kelembagaan penjaminan mutu memiliki peranan penting dalam mengatur, menjaga dan memberikan jaminan terhadap mutu dan kualitas rumput laut yang dihasilkan oleh petani rumput laut sesuai dengan standarisasi bahan baku rumput laut yang dibutuhkan oleh industri pengolahan. (4) Dukungan dan Komitmen Pemerintah Daerah Atribut Dukungan dan Komitmen Pemeritah Daerah merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi kelembagaan, karena pengelolaan budidaya rumput laut tidak terlepas dari dukungan politik dan komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan rumput laut sebagai komiditi unggulan daerah. Dukungan permerintah daerah di wilayah penelitian tergolong masih rendah, dimana tergambar dari besarnya alokasi anggaran untuk program pemberdayaan, pembanguan infrastruktur terhadap komoditi rumput laut selama lima tahun terakhir relatif tidak ada peningkatan setiap tahunnya. Demikian juga dengan komitmen pemerintah daerah menjadikan rumput laut sebagai komoditi unggulan daerah melalui program PIJAR juga belum optimal untuk menjadikan rumput laut sebagai komoditi yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani rumput laut dan pendapatan daerah. (5) Kelembagaan Penyuluh Atribut Kelembagaan Penyuluh merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi kelembagaan, karena peran lembaga dan sumberdaya manusia penyuluh yang memiliki

182 158 kompetensi untuk mendampingi petani rumput laut dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Kondisi eksisting kelembagaan penyuluh di wilayah penelitian menunjukkan bahwa jumlah penyuluh perikanan (PNS) relatif kurang dibandingkan dengan areal kerja yang ditangani. Selain itu kompetensi penyuluh perikanan masih kurang berkaitan dengan pengembangan budidaya rumput laut. Hal ini dikarenakan kurangnya peningkatan kapasitas dan sarana dan prasarana penunjang. Jumlah dan kompetensi penyuluh perikanan (PNS) yang kurang tersebut menyebabkan para pelaku usaha perikanan, kesulitan mencari informasi tentang teknis budidaya maupun pemasaran. Gambar 38. Nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan 0 100

183 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Hasil analisis Rap Insus Seaweed Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa terhadap 9 (sembilan) atribut berpengaruh pada dimensi teknologi, diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi teknologi sebesar 41,62. Nilai tersebut terletak antara 25,00-49,9 berarti Kurang Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan kurang dari 50 menunjukkan kondisi teknologi wilayah perairan tersebut kurang mendukung pengelolaan budidaya rumput laut. Apabila kondisi teknologi perairan ini dibiarkan seperti saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain sehingga pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail hasil analisis nilai indeks status keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 39. Gambar 39. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

184 160 Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 (sepuluh) atribut dimensi teknologi diperoleh lima atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi teknologi yaitu: (1) Industri Pengolahan (RMS-3,35); (2) Ketersediaan Bibit (RMS-2,47); (3) Sarana Pengeringan (RMS-1,72); dan (4) Sarana Pergudangan (RMS-1,66); dan (5) Ketepatan Umur Panen (RMS-1,53). Perubahan terhadap ke-5 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 40. (1) Industri Pengolahan Atribut Industri Pengolahan Rumput Laut merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi teknologi karena di wilayah penelitian belum terdapat industri pengolahan rumput laut. Di Indonesia tahun 2009 hanya terdapat 13 industri pengolahan karagenan rumput laut yang menguasai pangsa pasar utama yaitu 2 (dua) industri RC, dan 11 industri SRC. Ketiga belas industri tersebut tersebar di Bekasi, Tangerang, Pasuruan, Malang, Klungkung, Makassar dan Takalar (Kementerian Perindusterian, 2011). Provinsi NTB sebagai wilayah penelitian ini belum terdapat industri pengolahan rumput laut. Keberadaan industri pengolahan rumput laut dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian yang pada akhirnya mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar untuk mengurangi masalah pengangguran secara signifikan. Peningkatan nilai tambah pada semua tingkatan rantai nilai dengan membangun sinergi antar pemangku kepentingan industri rumput laut yang diharapkan dapat memperkuat keterkaitan, produktivitas, kualitas, dan keberlanjutan pada semua tingkatan rantai nilai rumput laut. Menurut Kementerian Perindustrian (2011) berdasarkan produksi rumput laut daerah ini sangat layak untuk dibangun industri rumput laut berupa ATC Chip dengan kapasitas produksi minimal 2 ton per hari rumput laut kering.

185 161 (2) Ketersediaan Bibit Atribut Ketersediaa Bibit merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi teknologi, kerena berpengaruh terhadap produktivitas, ketahanan terhadap penyakit dan kualitas hasil penen dan. Bibit rumput laut yang telah mengalami penurunan kualitas cenderung memiliki produktivitas rendah, memiliki daya adaptasi yang rendah terhadap kondisi lingkungan ekstrim, rentan terhadap penyakit dan bahkan mengalami gagal panen akibat serangan penyakit (Santoso dan Nugraha, 2008). Bibit yang digunakan oleh petani rumput laut di wilayah penelitian saat ini diperoleh dari hasil pengembangan secara vegetative yaitu dengan menyisihkan thallus budidaya milik sendiri yang secara genetik belum dapat ditelusuri asal usulnya sehingga cenderung tidak berkualitas. Permasalahan rendahnya kualitas bibit rumput laut, belum tersedianya aturan teknis dan operasional berupa Standar Prosedur Operasional (SPO) atau SNI tentang kebun bibit rumput laut, kultur jaringan dan kualitas bibit. (3) Sarana Pengeringan Atribut Sarana Pengeringan merupakan atribut sensitif terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi teknologi, karena berpengaruh terhadap kualitas rumput laut kering (raw material) yang dihasilkan. Sarana pengeringan di wilayah penelitian kondisinya masih minim dan cenderung mengeringkan rumput laut dengan menjemur langsung di tanah sehingga menyebabkan rendahnya kualitas rumput laut kering yang dihasilkan. Kondisi ini disebabkan karena keterbatasan sarana penjemuran yang tersedia dan rendahnya pemahaman dan pengetahuan petani rumput laut terhadap sistem pengeringan rumput laut yang sesuai dengan standar. Sasongko et al. (2012) mengungkapkan bahwa rendahnya kualitas karagenan rumput laut disebabkan karena kurang tepatnya sistem pengeringan rumput laut. Keterbatasan sarana pengeringan rumput laut akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas dan kuantitas karagenan yang dihasilkan.

186 162 (4) Sarana Pergudangan Atribut Sarana Pergudangan merupakan atribut sensitif terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi teknologi, karena berfungsi sebagai tempat manampung atau menyimpan rumput laut kering untuk menjaga dan mempertahankan kualitas rumput laut kering serta memperoleh pembiayaan melalui mekanisme resi gudang. Penerapan sistem resi gudang sesuai dengan amanat UU No. 9 Tahun 2011 tentang Penerapan Sistem Resi Gudang. Sarana pergudangan di wilayah penelitian belum tersedia, sehingga petani rumput laut tidak memiliki posisi tawar terhadap harga jual karena rumput laut setelah dikeringkan langsung dijual ke pedagang perantara walaupun saat harga rumput laut sedang rendah. (5) Ketepatan Umur Panen Atribut Ketepatan Umur Panen merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan rumput laut pada dimensi ekologi, kerena untuk keberhasilan budidaya rumput laut, harus di dukung oleh ketersediaan bibit yang cukup dan tepat waktu. Petani pembudidaya rumput laut di wilayah penelitian mengalami kesulitan memperoleh bibit dalam jumlah sesuai dan tersedia pada saat musim tanam. Pada musim tertentu dimana kualitas rumput laut hasil budidaya turun karena terserang hama, penyakit atau terkena bencana alam, petani rumput laut kesulitan untuk memperoleh bibit untuk mengikuti musim tanam yang sesuai. Permasalahan pemenuhan kebutuhan bibit yang tepat waktu karena belum tersedia kebun bibit. Estimasi kebutuhan bibit rumput laut di wilayah penelitian sebesar 6,92 ton/ha. Mengacu pada kebutuhan bibit tersebut, dapat ditentukan kebutuhan bibit rumput laut unggul berkualitas untuk memenuhi kebutuhan bibit pada lokasi yang telah dimanfaatkan saat ini yaitu seluas ha diperkirakan sebesar untuk ton bibit. Untuk dapat memenuhi kebutuhan bibit tersebut maka dibutuhkan kebun bibit seluas 2,67 ha.

187 163 Gambar 40. Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan Status Keberlanjutan Multidimensi Hasil analisis Rap-Insus Seaweed Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa untuk lima dimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi sebagai berikut: a. Dimensi Ekologi sebesar 52,81 berarti Cukup Berkelanjutan (Indeks terletak antara 51,00 75,00) b. Dimensi Ekonomi sebesar 51,29 berarti Cukup Berkelanjutan (Indeks terletak antara 51,00 75,00) c. Dimensi Sosial sebesar 47,02 berarti Kurang Berkelanjutan (Indeks terletak antara 25,00-49,9) d. Dimensi Kelembagaan sebesar 32,38 berarti Kurang Berkelanjutan (Indeks terletak antara 25,00-49,9) e. Dimensi Teknologi sebesar sebesar 41,62 berarti Kurang Berkelanjutan (Indeks terletak antara 25,00-49,9)

188 164 Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa untuk ke-5 dimensi divisualisasikan dalam bentuk diagram layang (kite diagram). Secara visual nilai indek keberlanjutan yang ditunjukkan pada Gambar 41. Gambar 41. Diagram layang-layang (kite diagram) multidimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Perbaikan terhadap atribut yang memberikan nilai sensitif tinggi dan berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa harus dilakukan dan ditingkatkan, sehingga nilai indeks dan status keberlanjutan untuk menjustifikasi apakah ke lima dimensi tersebut tetap berkelanjutan atau tidak, menurut Budiharsono (2006) tidak bisa dilihat dengan melakukan rataan dari ke lima dimensi tersebut, akan tetapi harus dilakukan uji pair wise comparison yang diperoleh dari penilaian pakar di bidang pengelolaan budidaya rumput laut. Dengan demikian, maka masing-masing indeks tersebut diverifikasi oleh pakar, sehingga diperoleh skor tertimbang. Penentuan nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi dilakukan dengan

189 165 mengalikan nilai indeks setiap dimensi hasil analisis Rap-Insus Seaweed dengan penilaian bobot dimensi oleh pakar. Berdasarkan hasil pembobotan ke lima dimensi keberlanjutan, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 42,26 (terletak pada rentan 25,00-49,9), sehingga status pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh dikategorikan Kurang Berkelanjutan. Secara rinci nilai indeks multidimensi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Nilai indeks multidimensi pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Dimensi Nilai Bobot Tertimbang (%) Nilai Indeks Keberlanjutan Nilai Indeks Hasil Pembobotan Ekologi 29,24 52,81 15,31 Ekonomi 23,34 51,29 11,80 Sosial 21,46 47,02 9,87 Kelembagaan 15,14 32,38 4,84 Teknologi 10,82 41,62 4,99 Jumlah 100,00 46,82 Sumber: (Hasil Analisis, 2013) Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Uji validitas dengan analisis Monte Carlo, memperhatikan hasil analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa menunjukkan adanya selisih nilai rata-rata kedua analisis tersebut sangat kecil. Ini berarti bahwa model analisis MDS yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh. Perbedaan nilai yang sangat kecil ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil atau dihindari. Kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut. Variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi karena adanya opini yang berbeda relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, dan kesalahan dalam melakukan input data dan data yang hilang dapat dihindari (Fauzi et al. 2005). Analisis Monte Carlo ini juga dapat digunakan sebagai metoda simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Evaluasi

190 166 pengaruh galat (Error) acak dengan menggunakan analisis Monte Carlo bertujuan untuk mengetahui: (a) pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut, (b) pengaruh variasi pemberian skor, (c) stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, (d) kesalahan pemasukan atau hilangnya data (missing data), dan (e) nilai stress dapat diterima apabila <20%. Secara rinci hasil analisis Monte Carlo kelima dimensi disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Insus Seaweed dengan analisis monte carlo Dimensi Analisis MDS Analisis Monte Carlo Perbedaan (MDS- MC) Ekologi 52,81 52,55 0,26 Ekonomi 51,29 50,93 0,36 Sosial 47,02 46,76 0,26 Kelembagaan 32,38 32,93 0,55 Teknologi 41,62 41,72 0,10 Sumber: Hasil Analisis (2013) Uji Ketepatan Analisis MDS (goodness of fit). Dari hasil analisis Rap-Insus Seaweed Teluk Saleh diperoleh koefisien determinasi (R2) antara 94% -95% atau lebih besar dari 80% atau mendekati 100% berarti model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan (Kavanagh, 2001). Nilai stress antara 0,13 0,14 atau selisih nilai stres sebesar 0,01. Nilai determinasi ini mendekati nilai % dan nilai stress 0,13-0,14 lebih kecil dari 0,25 atau 25%, sehingga model analisis MDS yang diperoleh memiliki ketepatan yang tinggi (goodness of fit) untuk menilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh. Di dalam Rapfish, nilai stress dikatakan baik apabila nilainya di bawah 0,25, berarti nilai goodness of fit dalam MDS, yang menyatakan bahwa konfigurasi atribut dapat mencerminkan data asli nilai stress. Secara rinci nilai stress dan koefisien determinasi hasil analisis Rap-Insus pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh disajikan pada Tabel 37 berikut ini.

191 167 Tabel 37. Nilai stress dan koefisien deteminasi analisis Rap-Insus Seaweed dengan analisis monte carlo Dimensi Nilai indeks 2 Stress R keberlanjutan Iterasi Ekologi 52,81 0,13 0,94 2 Ekonomi 51,29 0,13 0,95 2 Sosial 47,02 0,13 0,95 2 Kelembagaan 32,38 0,14 0,95 2 Teknologi 41,62 0,14 0,94 2 Sumber: Hasil Analisis (2013) Faktor Pengungkit Hasil analisis Rap-Insus SEAWEED terhadap atribut kelima dimensi keberlanjutan dari 50 atribut yang dianalisis, maka diperoleh 19 atribut sensitif sebagai faktor pengungkit (leverage factor). Secara rinci faktor pengungkit masing-masing dimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Faktor pengungkit perdimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Dimensi Faktor Pengungkit (Leverage Factor) RMS Ekologi 1 Ancaman Terhadap Kualitas Perairan 0,80 2 Serangan Hama 0,73 3 Serangan Penyakit 0,63 Ekonomi 4 Efisiensi Rantai Pemasaran 1, Fluktuasi Harga Status Modal Usaha 1,85 1,38 7 Nilai Tambah Komoditi 1,19 Sosial 8 Tingkat Pendidikan 3,37 9 Tingkat Kemandirian 3,08 10 Jumlah Petani Rumput Laut 2,37 Kelembagaan 11 Kelembagaan Pembibitan 3,61 12 Kelembagaan Pasar 3,05 13 Kelembagaan Penjamin Mutu 2,76 14 Dukungan dan Komitmen Pemda 1,82 15 Kelembagaan Penyuluh 1,70 Teknologi 16 Industri Pengolahan 3,35 17 Ketersediaan Bibit 2, Sarana Pergudangan Sarana Pengeringan Ketepatan Umur Panen 1,66 1,66 1,53 Sumber: Hasil Analisis (2013)

192 168 Tebel di atas menunjukkan bahwa terdapat 19 atribut sebagai faktor pengungkit yang perubahannya dapat mempengaruhi secara sensitif terhadap peningkatan indeks keberlanjutan. Atribut sebagai faktor pengungkit ada yang perlu ditingkatkan kinerja dan sebagian yang lain perlu dipertahankan kinerja pengelolaannya, sehingga nilai indeks keberlanjutan ke depan dapat lebih ditingkatkan dan status keberlanjutan menjadi lebih baik. Untuk meningkatkan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh dari saat ini, maka perlu dilakukan intervensi terhadap atribut yang merupakan faktor kunci Status Keberlanjutan Budidaya Ikan Kerapu di KJA Status keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa dianalisis dengan metode multidimensional scalling menggunakan Rapid Appraisal - Index Sustainability of Grouper (Rap-Insus- Grouper). Rap-Insus-Grouper menghasilkan nilai indeks dan status keberlanjutan masing-masing dimensi dan multidimensi pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Nilai tersebut ditentukan oleh nilai skoring dari masing-masing atribut pada setiap dimensi. Hasil identifikasi dan penentuan atribut diperoleh 48 atribut atau faktor yang mempunyai hubungan keterkaitan timbal balik yang dapat mempengaruhi setiap dimensi sistem pengelolaan budidaya rumput laut. Secara rinci nilai skoring masing-masing atribut untuk kelima dimensi keberlanjutan di sajikan pada Lampiran 14, 15, 16, 17 dan 18. Berikut ini akan diuraikan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa yang menggambarkan secara menyeluruh kondisi saat ini (existing condition) serta atribut yang sensitif (leverage attribute) dari masing-masing dimensi yang mempengaruhi nilai indeks status keberlanjutan untuk merumuskan skenario kebijakan dan strategi dalam pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA untuk memudahkan dalam perumusan kebijakan atau perencanaan program pada masa yang akan datang.

193 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Hasil analisis Rap Insus-Grouper Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa terhadap 10 atribut berpengaruh pada dimensi ekologi, diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi sebesar 54,87. Nilai tersebut terletak antara 51,00 75,00 berarti Cukup Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan lebih dari 50 menunjukkan kondisi ekologi perairan tersebut cukup mendukung pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA, namun nilai indeks tersebut sangat mendekati kurang berkelanjutan, sehingga apabila kondisi ekologi perairan tidak dikelola atau dibiarkan seperti saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail hasil analisis nilai indeks status keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan budidaya ikan kerapu dengan di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 42. Gambar 42.Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

194 170 Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 atribut dimensi ekologi diperoleh 3 (tiga) atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekologi yaitu: (1) Ancaman Terhadap Kualitas Perairan (RMS-2,70); (2) Tingkat Sedimentasi (RMS-1,44); dan (3) Status Kesuburan Perairan (RMS-1,29). Perubahan terhadap ke-3 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indes keberlanjutan dimensi ekologi. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 43. Gambar 43.Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan (1) Ancaman Terhadap Kualitas Perairan Atribut Ancaman Terhadap Kualitas Perairan merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekologi, kerena ancaman terhadap kualitas perairan akan berpengaruh terhadap daya dukung perairan sehingga mengganggu sistem ekologi di perairan. Ancaman terhadap kualitas perairan di wilayah

195 171 penelitian bersumber dari aktivitas penangkapan ikan secara destruktif dan kegiatan pembangunan di daerah up-land seperti limbah domestik, budidaya tambak, hatchery, aktivitas pelabuhan, pertanian, dan pertambangan. Limbah kegiatan menurut Iswiasri dan Martono (2007) penambangan emas tradisional atau PETI (Penambang Emas Tanpa Izin) seringkali menyebabkan terjadinya pencemaran perairan, sehingga monitoring lingkungan mutlak dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan perairan. Kondisi eksisting di wilayah penelitian kegiatan penangkapan ikan secara destruktif sudah mulai berkurang namun ancaman tinggi dari kegiatan pertambangan liar di Olat Labaong Kecamatan Lape sejak Tahun 2011 yang tidak terkendali. Limbah kegiatan PETI tersebut semuanya di buang ke sungai yang bermuara di Teluk Saleh. (2) Tingkat Sedimentasi Atribut Tingkat Sedimentasi merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekologi, karena tingkat tingkat sedimentasi akan berpengaruh terhadap pencemaran dan kualitas perairan untuk budidaya ikan kerapu di KJA. Berdasarkan data Dinas Perikanan Provinsi NTB (2010) menunjukkan bahwa tingkat sedimentasi perairan diwilayah penelitian sebesar 28 mg/cm 2 /hari kategori Sedang hingga Berat. Walaupun kondisi saat ini tingkat sedimentasi masih kategori sedang hingga berat, namun kegiatan di daratan apabila tidak dikelola dengan baik berpotensi meningkatkan sedimentasi. Sedimen yang masuk ke perairan laut di Teluk Saleh dapat berasal dari erosi daratan yang masuk ke sungai dan erosi pantai. (3) Status Kesuburan Perairan Atribut Status Kesuburan Perairan merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekologi, kerena kesuburan perairan berpengaruh terhadap kualitas perairan untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan kerapu yang dibudidayakan. Status kesuburan perairan mengacu pada Hakanson dan Bryann (2008). Berdasarkan kandungan nitrat dan fosfat serta kelimpahan fitoplankton di wilayah penelitian, maka status kesuburan perairan termasuk

196 172 kategori Mesotrofic. Walapaun kondisi saat ini status kesuburan perairan saat ini mesotrofic, namun maraknya kegiatan di daratan apabila tidak dikelola dengan baik berpotensi menaikkan status kesuburan perairan ke level hypertrofic Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil analisis Rap Insus Grouper terhadap 10 (sepuluh) atribut berpengaruh pada dimensi ekonomi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 44,50. Nilai tersebut terletak antara 26,00-50,00 berarti Kurang Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan kurang dari 50 menunjukkan bahwa kondisi ekonomi kurang mendukung pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA, namun nilai indeks tersebut apabila secara ekonomi tidak dikelola atau dibiarkan seperti saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA disajikan pada Gambar 44. Gambar 44. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa

197 173 Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 (sepuluh) atribut dimensi ekonomi diperoleh lima atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu: (1) Kepemilikan KJA (RMS-7,26); (2) Transfer Keuntungan (RMS-4,59); (3) Penghasilan Buruh Budidaya (RMS-3,81); (4) Tingkat Subsidi (RMS-3,12);. Perubahan terhadap ke-4 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 45. Gambar 45.Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan (1) Kepemilikan KJA Atribut Kepemilikan KJA merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekonomi, kerena status kepemilikan modal antara orang lokal dan non lokal atau berasal dari luar daerah penelitian akan berpengaruh terhadap

198 174 pemanfaatan ekonomi yang diperoleh dari usaha budidaya. Usaha budidaya ikan kerapu di KJA di wilayah penelitian secara keseluruhan yaitu 4 (empat) perusahaan status kepemilikannya dimiliki oleh pengusaha berasal dari luar daerah. Kepemilikan KJA orang lokal melalui program bantuan (subsidi) dari pemerintah kabupaten dan provinsi tidak berkembang dan hanya berjalan selama masa program berlangsung. (2) Transfer Keuntungan Atribut Transfer Keuntungan merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekonomi, karena semakin besar keuntungan yang diperoleh oleh orang non lokal menunjukan bahwa usaha tersebut secara ekonomi kurang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Berdasarkan hasil evaluasi program bantuan pemerintah (subsidi) terhadap usaha budidaya ikan kerapu di KJA selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa bentuk bantuan diberikan kepada kelompok pembudidaya adalah mulai dari bagunan KJA, bibit dan pakan. Namun usaha budidaya tersebut hanya berjalan selama program berlangsung 1 (satu) periode usaha, selanjutnya setelah program berakhir usaha budidaya juga berhenti. Berdasarkan analisis ekonomi menunjukkan bahwa perolehan keuntungan lebih banyak diperoleh oleh orang luar dari karena ikan kerapu merupakan komoditas penting (ekspor), dan pemilik KJA serta teknisi budidaya berasal dari luar (3) Penghasilan Buruh Budidaya Atribut Penghasilan Buruh Budidaya merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekonomi, kerena usaha budidaya ikan kerapu secara ekonomi harus dapat meningkatkan pendapatan bagi buruh budidaya untuk meningatkan kesejahteraan mereka. Berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh oleh buruh pembudidaya sebesar Rp /bulan, sedangkan Upah minimum Kabupaten Sumbawa UMK Sumbawa berdasarkan SK Gubernur NTB No. 679 Tahun 2012 Tentang Penentapan UMK Sumbawa sebesar Rp dan Angka

199 175 Garis Kemiskinan Kabupaten Sumbawa sebesar Rp /bulan, sehingga rata-rata penghasilan relatif buruh budidaya < UMK Sumbawa namun lebih besar dari GKK. (4) Tingkat Subsidi Atribut Tingkat Subsidi merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekonomi, karena semakin besar tingkat subsidi menunjukkan bahwa secara ekonomi usaha budidaya ikan kerapu memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah. Berdasarkan hasil evaluasi program bantuan pemerintah (subsidi) terhadap usaha budidaya ikan kerapu di KJA selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa bentuk bantuan diberikan kepada kelompok pembudidaya adalah mulai dari bangunan KJA, bibit dan pakan, namun usaha budidaya tersebut hanya berjalan selama program berlangsung 1 (satu) periode usaha, selanjutnya setelah program berakhir usaha budidaya juga berhenti Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Hasil analisis Rap Insus-Grouper Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa terhadap 10 (sepuluh) atribut berpengaruh pada dimensi sosial, diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 28,32. Nilai tersebut terletak antara 26,00 50,00 berarti Kurang Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan kurang dari 50 menunjukkan kondisi sosial tersebut kurang mendukung pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Apabila kondisi sosial ini dibiarkan seperti saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Secara detail hasil analisis nilai indeks status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 46. Hasil analisis Rap Insus Grouper terhadap 10 (sepuluh) atribut berpengaruh pada dimensi sosial, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 28,32. Nilai tersebut terletak antara 26,00-50,00 berarti Kurang Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan lebih kurang dari 50 menunjukkan bahwa kondisi sosial masyarakat di wilayah penelitian kurang mendukung

200 176 pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Apabila kondisi sosial masyarakat tidak dikelola atau dibiarkan seperti kondisi saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 35. Gambar 46. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 (sepuluh) atribut dimensi sosial diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial yaitu: (1) Ketersediaan SDM Teknisi Budidaya (RMS 4,36); (2) Jumlah Pengusaha Budidaya (RMS 3,83); (3) Sosial Kapital (RMS 3,72); dan (4) Serapan Tenaga Kerja (RMS 3,44). Perubahan terhadap ke-4 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indes keberlanjutan dimensi sosial. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi sosial

201 177 keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 47. Gambar 47. Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan (1) Ketersediaan SDM Teknisi Budidaya Atribut Ketersediaan Teknisi Budidaya merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi sosial, karena keberhasilan usaha budidaya harus didukung oleh ketersediaan tenaga teknisi budidaya. Pelaku usaha budidaya ikan kerapu jarang menggunakan sumber daya manusia lulusan yang berasal institusi pendidikan yang berbasis kelautan dan perikanan di wilayah penelitian, atau dengan kata lain hanya sebagian kecil dari mereka yang memiliki kompetensi di bidang budidaya ikan kerapu Teknisi budidaya yang digunakan oleh pengusaha budidaya di datangkan dari Jawa Timur dan Lampung yang telah memiliki pengalaman di bidang budidaya ikan kerapu di KJA. Di wilayah penelitian telah tersedia SDM di

202 178 bidang Kelautan dan Perikanan, dihasilkan dari lulusan dari 5 Perguruan Tinggi (PT) penyelenggaran program studi budidaya perairan yaitu Universitas Mataram, Universitas Samawa, Universitas 45 Mataram, Universitas Cordova, dan Universitas Gunung Rinjani. Kelima PT tersebut rata-rata setiap tahunnya meluluskan sekitar 80 Sarjana Perikanan. Namun lulusan dari PT menurut pengusaha budidaya kurang memiliki kompetensi dan keahlian di bidang budidaya ikan kerapu. (2) Jumlah Pengusaha Budidaya Atribut Jumlah Pengusaha Budidaya merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi sosial, karena peningkatan jumlah pengusaha budidaya menunjukkan perkembangan budidaya dalam memanfaatkan potensi perairan dan peningkatan produksi rumput laut dan penyerapan tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran. Hasil analisis tingkat perkembangan jumlah pengusaha budidaya ikan kerapu di KJA selama 5 tahun terakhir menunjukan bahwa tahun 2006 jumlah pengusaha sebanyak 3 perusahaan dan tahun 2010 meningkat menjadi 4 perusahaan dengan luas budidaya seluas 46 ha, sehingga jumlah pengusaha budidaya ikan kerapu dikategorikan Tidak Berkembang. (3) Sosial Capital Atribut Sosial Capital merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi sosial, karena modal sosial yang dimiliki masyarakat di wilayah penelitian seperti pola hubungan masyarakat dan sosial networking dalam budidaya (individu, kerjasama satu keluarga, kerjasama kelompok dan kekompakan pembudidaya) akan berpengaruh terhadap keberlangsungan usaha budidaya ikan kerapu di KJA. Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat serta wawancara pakar mengungkapkan bahwa Sosial Capital Rendah ditunjukkan dimana orang lokal hanya berperan sebagai pekerja buruh budidaya secara individu dan sedikit interaksi dengan masyarakat karena keberadaan KJA berada di wilayah perairan dan mengikuti pola kerja

203 179 pengusaha budidaya bertanggung jawab untuk memeliharan ikan kerapu sejumlah unit KJA yang diberikan tanggung jawab untuk mengelolanya bersama teknisi budidaya. (4) Serapan Tenaga Kerja Atribut Ketersediaan Teknisi Budidaya merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi sosial, kerena semakin besar serapan tenaga kerja secara sosial merupakan lapangan kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran. Berdasarkan analisis serapan tenaga kerja budidaya ikan kerapu di KJA untuk 1 (satu) hektar hanya membutuhkan 1 orang tenaga teknisi dan 5-6 tenaga kerja buruh budidaya, sehingga serapan tenaga kerja untuk budidaya ikan kerapu di KJA dikategorikan Rendah Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Hasil analisis Rap Insus Seaweed terhadap 10 (sepuluh) atribut berpengaruh pada dimensi kelembagaan, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 23,41. Nilai tersebut terletak antara 0,00-25,00 berarti Tidak Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan lebih kurang dari 25 menunjukkan bahwa kondisi kelembagaan di wilayah penelitian belum mendukung pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Apabila kondisi kelembagaan tidak dikelola atau dibiarkan seperti kondisi saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi kelembagaan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 48.

204 180 Gambar 48. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Pengelolaan Budidaya Laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 atribut dimensi kelembagaan diperoleh lima atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi kelembagaan yaitu: (1) Dukungan dan Komitmen Pemda (RMS 3,35); (2) Koordinasi Antar Stakeholder (RMS 3,33); (3) Kelembagaan Pembudidaya (RMS 3,10); (4) Kelembagaan Pembenihan (RMS 3,05); dan (5) Kelembagaan Penyuluh (RMS 2,73). Perubahan terhadap ke-5 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indes keberlanjutan dimensi kelembagaan. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 49.

205 181 Gambar 49.Nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan (1) Dukungan dan Komitmen Pemda Atribut Dukungan dan Komitmen Pemda merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena dukungan kebijakan dan komitmen pemerintah akan sangat berperan dalam mengembankan usaha budidaya ikan kerapu sebagai komoditi unggulan daerah yang diimplementasikan dalam bentuk program bantuan (subsidi) berupa dukungan modal, kemudahan perizinan, dukungan infrastruktur pendukung dan lain-lain. Berdasarkan hasil observasi, evaluasi program pemerintah selama 5 tahun terakhir dan wawancara mendalam dengan pemerintah daerah menunjukkan bahwa rendahnya dukungan politik dan komitmen pemerintah terhadap budidaya ikan kerapu di KJA yang tercermin dari alokasi pendanaan dan program untuk kegiatan ini, Sehingga dukungan politik dan komitmen pemerintah daerah dikategorikan Sangat Rendah. Budidaya ikan kerapu

206 182 belum menjadi prioritas pengembangan dan bukan merupakan komoditi unggulan daerah ini, sehingga kurang mendapat dukungan dari program pemerintah. (2) Koordinasi Antar Stakeholder Atribut Koordinasi Antar Stakeholder merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena koordinasi dan kemitraan untuk mensinergikan kebijakan, program dan kepentingan dari stakeholder untuk mengembangkan budidaya ikan kerapu di KJA sebagai komoditas unggulan daerah. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa selama ini belum dilakukan koordinasi dan kemitraan untuk mensinergikan kebijakan, program dan kepentingan dari antar stakeholder. Mengacu pada Adriman (2012) dimodifikasi berdasarkan ketersediaan mekanisme koordinasi lintas sektor, sinergisitas dengan program CSR, maka koordinasi antar stakeholder untuk pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa dikategorikan Buruk. Kecenderungan selama ini stakeholder berjalan sendiri tanpa adanya sesuai kebijakan, program serta kepentingan masing-masing. (3) Kelembagaan Pembudidaya Atribut Kelembagaan Pembudidaya merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena untuk meningkatkan posisi tawar pembudidaya dan memudahkan koordinasi dan memperluas jaringan kerjasama maka keberadaan kelembagaan pembudidaya memegang peranan penting. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa belum ada kelembagaan pembudidaya baik berupa lembaga pembudidaya atau aturan main yang mengatur tentang pelaku pembudidaya. Mengacu pada Hidayanto (2012); Nazam (2012) dimodifikasi berdasarkan keberadaan kelompok pembudidaya dan peran kelompok pembudidaya dalam memenuhi kebutuhan anggotanya maka dikategorikan Tidak Ada Kelembagaan Pembudidaya. Berdasarkan hasil observasi lapangan,

207 183 wawancara terhadap responden pekerja budidaya dan wawancara tehadap instansi terkait menunjukkan bahwa di wilayah penelitian Tidak ada Kelompok Pembudidaya karena usaha budidaya ikan kerapu dilakukan oleh pengusaha berasal dari luar lokal. Pengusaha budidaya yang ada sebanyak 4 pengusaha belum membentuk kelembagaan berupa asosiasi atau bentuk lain begitupun dengan pekerja budidaya. (4) Kelembagaan Pembenihan Atribut Kelembagaan Pembenihan merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena untuk menjamin ketersediaan benih berkualitas, maka diperlukan kelembagaan pembenihan yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan benih pembudidaya. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa belum ada kelembagaan pembenihan baik berupa lembaga pembenihan atau aturan main yang mengatur tentang sistem jaminan ketersediaan benih. Lembaga pembenihan yang telah ada UPT Benih Ikan Pantai di Kabupaten Sumbawa yang hanya memproduksi benur dan BBL Sekotong selama ini hanya untuk kepentingan penelitian dan belum mampu menjamin ketersediaan benih ikan kerapu untuk budidaya di wilayah penelitian. (5) Kelambagaan Penyuluh Atribut Kelembagaan Penyuluh merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia pelaku usaha budidaya ikan kerapu maka harus di dukung oleh kelembagaan penyuluh dan ketersediaan sumberdaya penyuluh yang cukup serta memiliki kompetensi. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa keberadaan kelembagaan penyuluh selama ini belum efektif dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk mendampingi pelaku usaha untuk meningkatkan kapasitasnya. Hal ini disebabkan karena jumlah penyuluh perikanan (PNS) relatif kurang dibandingkan dengan areal kerja yang ditangani. Selain itu

208 184 kompetensi penyuluh perikanan masih kurang berkaitan dengan pengembangan budidaya ikan kerapu. Berdasarkan hasil observasi lapangan, wawancara terhadap responden pekerja budidaya dan wawancara terhadap lembaga penyuluh menunjukkan bahwa di wilayah penelitian terdapat lembaga penyuluh yaitu Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan (BP4K). Namun keberadaan penyuluh masih sangat kurang dan belum sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi di wilayah kerjanya, seperti penyuluh perikanan yang terdapat di wilayah penelitian memiliki latar belakang pendidikan non perikanan. Kelembagaan penyuluh dikategorikan Ada dan Kurang Efektif, karena <50 % pembudidaya mendapat pelayanan penyuluhan Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Hasil analisis Rap Insus Seaweed terhadap 9 (sembilan) atribut berpengaruh pada dimensi teknologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 32,24. Nilai tersebut terletak antara 26,00 50,00 berarti Kurang Berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan kurang dari 50 menunjukkan bahwa ketersediaan teknologi dan infrstruktur di wilayah penelitian kurang mendukung pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Apabila kondisi ketersediaan teknologi dan infrastruktur tidak ditingkatkan atau dibiarkan seperti kondisi saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi kelembagaan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 50.

209 185 Gambar 50. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Berdasarkan analisis leverage terhadap 9 (sembilan) atribut dimensi teknologi diperoleh lima atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi teknologi yaitu: (1) Ketersediaan Benih (RMS-4,41); (2) Penguasaan Teknologi Pembenihan (RMS-4,23); (3) Teknologi dan Informasi Pemasaran (RMS 4,21); (4) Penguasaan Teknologi Budidaya (RMS 3,27) dan (5) Ketersediaan Sarana Prasarana KJA (RMS 1,78). Perubahan terhadap ke-5 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 51.

210 186 Gambar 51. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS) skala keberlanjutan (1) Ketersediaan Benih Atribut Ketersediaan Benih merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekologi, kerena untuk keberhasilan budidaya ikan kerapu di KJA, harus didukung oleh ketersediaan benih ikan yang cukup dan tepat waktu. Perkembangan budidaya ikan kerapu di KJA harus didukung oleh ketersediaan benih yang berasal dari kegiatan pembenihan (hatchery) (De Sulva et al. 2007). Usaha budidaya ikan kerapu di wilayah penelitian seringkali kesulitan memperoleh benih, karena selama ini benih ikan kerapu didatangkan dari BBL Lombok, BBIP Gondol atau BBL Situbondo. Ketersediaan benih sangat bergantung pada keberhasilan pembenihan pada UPT KKP tersebut, karena di daerah ini belum terdapat UPR ikan kerapu seperti di Gondol dan Lampung.

211 187 (2) Penguasaan Teknologi Pembenihan Atribut Penguasaan Teknologi Pembenihan merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi teknologi, karena keberhasilan kegiatan pembenihan di masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, maka harus didukung oleh penguasaan dan penerapan teknologi pembenihan untuk menopang berdirinya hatchery skala rumah tangga atau Unit Pembenihan Rakyat (UPR) ikan kerapu. Penguasaaan teknologi pembenihan di wilayah penelitian menunjukkan bahwa dengan keterbatasan tingkat pendidikan masyarakat sehingga menyebabkan rendahnya penguasaan terhadap teknologi budidaya ikan kerapu untuk memanfaatkan potensi perairan. (3) Teknologi dan Informasi Pemasaran Atribut Teknologi dan Infromasi Pemasaran merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi teknologi, keberlangsungan usaha budidaya sangat ditentukan oleh akses terhadap pasar ekspor ikan kerapu seperti Singapore dan Hongkong. Keterbatasan teknologi dan akses informasi terhadap pemasaran ikan kerapu akan menyebabkan ketidakpastian pasar dan semakin rantai pemasaran tidak efisien. Kondisi infrastruktur teknologi dan informasi pemasaran di wilayah penelitian masih belum tersedia. Pengusaha budidaya ikan kerapu yang ada saat ini sangat tertutup dalam berbagi informasi pemasaran karena para pengusaha tersebut telah menjalin kerjasama dengan pihak pembeli dari Hongkong langsung ke lokasi budidaya dengan menggunakan transportasi kapal. (4) Penguasaan Teknologi Budidaya Atribut Penguasaan Teknologi Budidaya merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi teknologi, karena keberhasilan budidaya sangat ditentukan oleh penguasaan dan penerapan teknologi budidaya. Perkembangan budidaya ikan kerapu selama ini sulit berkembang disebabkan karena teknologi

212 188 budidaya ikan kerapu cukup rumit apabila dibandingkan dengan budidaya rumput laut. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa pelaku usaha budidaya ikan kerapu baik pemilik maupun tenaga kerja dan buruh pendidikannya bukan berasal dari institusi pendidikan yang berbasis kelautan dan perikanan. Peningkatan kapasitas sumber daya pelaku usaha perikanan sangat terbatas sehingga dengan keterbatasan tingkat pendidikan masyakarakat sehingga menyebabkan rendahnya penguasaan terhadap teknologi budidaya ikan kerapu untuk memanfaatkan potensi perairan. (5) Ketersediaan Sarana dan Prasarana KJA Atribut Ketersediaan Sarana dan Prasarana KJA merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi teknologi, karena perkembangan budidaya ikan kerapu di KJA harus di dukung kemudahan memperoleh sarana dan prasarana KJA. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa selama ini kurang tersedianya paket informasi dan teknologi tentang budidaya sehingga menyebabkan sulit berkembangnya budidaya ikan kerapu bila dibandingkan dengan budidaya rumput laut. Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara pengusaha budidaya dan wawancara pakar menunjukkan di wilayah penelitian kurang tersedia dan sulit memperoleh sarana dan prasarana KJA seperti waring, pelampung, pemberat, dan lainlain). Ketersediaan sarana prasaran KJA dikategorikan Kurang tersedia Status Keberlanjutan Multidimensi Hasil analisis Rap Insus-Grouper di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa untuk lima dimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi sebagai berikut: a. Dimensi Ekologi sebesar 54,87 berarti Cukup Berkelanjutan (Indeks terletak antara 51,00 75,00) b. Dimensi Ekonomi sebesar 44,50 berarti Kurang Berkelanjutan (Indeks terletak antara 26,00 50,00) c. Dimensi Sosial sebesar 28,32 berarti Kurang Berkelanjutan (Indeks terletak antara 26,00 50,00)

213 189 d. Dimensi Kelembagaan sebesar 23,41 berarti Tidak Berkelanjutan (Indeks terletak antara 0 25,00) e. Dimensi Teknologi sebesar 32,24 berarti Kurang Berkelanjutan (Indeks terletak antara 26,00 50,00) Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa untuk ke-5 dimensi divisualisasikan dalam bentuk diagram layang (kite diagram). Secara visual nilai indek keberlanjutan yang ditunjukkan pada Gambar 52. Gambar 52. Diagram layang-layang (kite diagram) multidimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Perbaikan terhadap atribut yang memberikan nilai sensitif tinggi dan berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa harus dilakukan dan ditingkatkan, sehingga nilai indeks dan status keberlanjutan. Untuk menjustifikasi apakah ke lima dimensi tersebut tetap berkelanjutan atau tidak. Menurut Budiharsono (2007) tidak bisa

214 190 dilihat dengan melakukan rataan dari ke lima dimensi tersebut, akan tetapi harus dilakukan uji pair wise comparison yang diperoleh dari penilaian pakar di bidang pengelolaan budidaya kerapu. Dengan demikian, maka masing-masing indeks tersebut diverifikasi oleh pakar, sehingga diperoleh skor tertimbang. Penentuan nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa dilakukan dengan mengalikan nilai indeks setiap dimensi hasil analisis Rap-Insus GROUPER dengan penilaian bobot dimensi oleh pakar. Tabel 39. Nilai indeks multidimensi pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Dimensi Bobot dimensi (%) Nilai indeks Nilai indeks hasil pembobotan Ekologi 23,34 54,87 15,91 Ekonomi 29,24 44,50 10,24 Sosial 15,14 28,32 5,95 Kelembagaan 10,82 23,41 3,51 Teknologi 21,46 32,24 3,87 Jumlah 100,00 39,47 Sumber: Hasil Analisis (2013) Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Uji validitas dengan analisis Monte Carlo, memperhatikan hasil analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa menunjukkan adanya selisih nilai rata-rata kedua analisis tersebut sangat kecil. Ini berarti bahwa model analisis MDS yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh. Perbedaan nilai yang sangat kecil ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil atau dihindari. Kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut. variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi karena adanya opini yang berbeda relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang. relatif stabil, dan kesalahan dalam melakukan input data dan data yang hilang dapat dihindari (Fauzi et al. 2005). Analisis Monte Carlo ini juga dapat digunakan sebagai metoda simulasi untuk

215 191 mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Kavanagh dan Pitcher. 2004). Evaluasi pengaruh galat (Error) acak dengan menggunakan analisis Monte Carlo bertujuan untuk mengetahui: (a) pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut, (b) pengaruh variasi pemberian skor, (c) stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, (d) kesalahan pemasukan atau hilangnya data (missing data), dan (e) nilai stress dapat diterima apabila <20%. Secara rinci hasil analisis Monte Carlo kelima dimensi disajikan pada Tabel 40. Tabel 40. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Insus Grouper dengan analisis monte carlo Dimensi Analisis MDS Analisis Monte Carlo Perbedaan (MDS- MC) Ekologi 54,87 52,55 0,67 Ekonomi 44,50 50,93 0,01 Sosial 28,32 46,76 1,22 Kelembagaan 23,41 32,93 0,81 Teknologi 32,24 41,72 1,09 Sumber: Hasil Analisis (2013) Uji Ketepatan Analisis MDS (goodness of fit). Dari hasil analisis Rap- Insus Grouper Teluk Saleh diperoleh koefisien determinasi (R2) antara 94% - 95% atau lebih besar dari 80% atau mendekati 100% berarti model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan (Kavanagh, 2001). Nilai stress antara 0,13 0,14 atau selisih nilai stres sebesar 0,01. Nilai determinasi ini mendekati nilai % dan nilai stress 0,13-0,14 lebih kecil dari 0,25 atau 25%, sehingga model analisis MDS yang diperoleh memiliki ketepatan yang tinggi (goodness of fit) untuk menilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh. Di dalam Rapfish, nilai stress dikatakan baik apabila nilainya di bawah 0,25 berarti nilai goodness of fit dalam MDS, yang menyatakan bahwa konfigurasi atribut dapat mencerminkan data asli nilai stress. Secara rinci Nilai Stress dan Koefisien Determinasi hasil analisis Rap-Insus pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh disajikan pada Tabel 41 berikut ini.

216 192 Tabel 41. Nilai stress dan koefisien deteminasi analisis Rap-Insus Grouper dengan analisis monte carlo Dimensi Nilai indeks 2 Stress R keberlanjutan Iterasi Ekologi 54,87 0,13 0,94 2 Ekonomi 44,50 0,13 0,95 2 Sosial 28,32 0,13 0,94 2 Kelembagaan 23,41 0,13 0,95 2 Teknologi 32,24 0,14 0,95 2 Sumber: Hasil Analsisis (2013) Faktor Pengungkit Hasil analisis Rap Insus-Grouper terhadap atribut kelima dimensi keberlanjutan dari 47 atribut yang dianalisis, maka diperoleh 21 atribut sensitif sebagai atribut pengungkit (leverage atribute). Secara rinci atribut pengungkit masing-masing dimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Tabel 42. Tabel 42. Faktor pengungkit perdimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Dimensi Faktor Pengungkit (Leverage Factor) RMS Ekologi 1 Ancaman Terhadap Kualitas Perairan 2,70 2 Tingkat Sedimentasi 1,44 3 Status Kesuburan Perairan 1,29 Ekonomi 4 Kepemilikan KJA 7,76 5 Transfer Keuntungan 4,59 6 Penghasilan Buruh Budidaya 3,81 7 Tingkat Subsidi 3,12 Sosial 8 Ketersediaan SDM Teknisi Budidaya 4,36 9 Jumlah Pengusaha Budidaya 3,83 10 Sosial Kapital 3,72 11 Ketersediaan Buruh Budidaya 3,33 Kelembagaan 12 Dukungan dan Komitmen Pemda 3,35 13 Koordinasi Antar Stakeholder 3,33 14 Kelembagaan Pembudidaya 3,10 15 Kelembagaan Pembenihan 3,05 16 Kelembagaan Penyuluh 2,73 Teknologi 17 Ketersediaan Benih 4,41 18 Penguasaan Teknologi Pembenihan 4,23 19 Teknologi Informasi dan Pemasaran 4,21 20 Penguasaan Teknologi Budidaya 3,27 21 Ketersediaan Sarana Prasarana KJA 1,78 Sumber: Hasil Analisis (2013) Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 21 atribut sebagai atribut pengungkit yang perubahannya dapat mempengaruhi secara sensitif terhadap

217 193 peningkatan indeks keberlanjutan. Atribut pengungkit ada yang perlu ditingkatkan kinerja dan sebagian yang lain perlu dipertahankan kinerja pengelolaannya, sehingga nilai indeks keberlanjutan dapat lebih ditingkatkan dan status keberlanjutan menjadi lebih baik. Untuk meningkatkan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh dari kondisi saat ini, maka perlu dilakukan intervensi terhadap atribut yang merupakan atribut kunci Skenario Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan Skenario pengelolaan budidaya laut dibangun berdasarkan atribut sensitive (leverage atribute) dari hasil analisis MDS (existing condition) dan diintervensi dengan kondisi yang mungkin terjadi di masa depan. Penyusnan skenario dalam penelitian ini diformulasikan menurut rentan waktu pelaksanaan yaitu: (1) Skenario 1: Jangka Pendek-Menengah (0 s/d 5 tahun) dan Skenario 2: Jangka Panjang (6 s/d 10 tahun). Penentuan rentang waktu tersebut didasarkan pada masa jabatan kepala daerah (Bupati dan Gubernur). Skenario pengelolaan budidaya laut berkelanjutan dilakukan melalui peningkatan nilai indeks keberlanjutan dilakukan melalui intervensi terhadap atribut sensitif dengan meningkatn nilai skor sebesar 1 atau 2 skala atau skala maksimal dalam bentuk kebijakan operasional yang mungkin dapat diimplemetasikan pada skenario 1 atau skenario 2, dengan pertimbangan rasionalitas, tingkat kemudahan pelaksanaan, kemampuan pendanaan dan ketersediaan SDM. Secara rinci perubahan nilai skoring atribut yang dapat diimplementasikan pada skenario 1 dan skenario 2 untuk peningkatan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut sistem long-line disajikan pada Tabel 43.

218 194 Tabel 43. Perubahan nilai skoring atribut kunci pada skenario 1 dan skenario 2 terhadap peningkatan nilai indeks dan status pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Atribut Pengungkit Dimensi Ekologi: Acaman Terhadap Kualitas Perairan Eksisting Nilai Skor Skenario 1 Skenario 2 Skala Serangan Penyakit Serangan Hama Dimensi Ekonomi Efesiensi Rantai Pemasaran Fluktuasi Harga Status Modal Usaha Nilai Tambah Komoditi Dimensi Sosial: Tingkat Pendidikan Tingkat Kemandirian Jumlah Petani Rumput Laut Dimensi Kelembagaan: Kelembagaan Pembibitan Kelembagaan Pasar Kelembagaan Penjamin Mutu Dukungan dan Komitmen Pemda Kelembagaan Penyuluh Dimensi Teknologi: Industri Pengolahan Ketersediaan Bibit Ketepatan Umur Panen Sarana Pengeringan Sarana Pergudangan Sumber: (Hasil Analisis, 2013) Hasil analisis Rap-Insus Seaweed terhadap atribut kunci yang telah dilakukan penambahan skor untuk melihat seberapa besar peningkatan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut pada skenario jangka pendek, menengah dan pada skenario jangka panjang dari kondisi saat ini. Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut pada skenario jangka pendek dan menengah meningkat dari 46,62 menjadi 63,45 dan nilai indeks keberlanjutan pada skenario jangka panjang meningkat menjadi 75,50, sehingga status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut pada skenario jangka

219 195 pendek dan menengah meningkat dari Kurang Berkelanjutan menjadi Cukup Berkelanjutan dan pada skenario jangkan panjang meningkat menjadi Sangat Berkelanjutan. Secara rinci nilai indeks keberlanjutan kelima dimensi pengelolaan budidaya rumput laut pada kondisi eksisting, skenario jangka pendek, menengah dan skenario jangka panjang disajikan pada pada Tabel 44. Tabel 44. Nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting, skenario 1, dan skenario 2 pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Dimensi Nilai Bobot Tertimbang (%) Nilai Indeks Keberrlanjutan Eksisting Skenario 1 Skenario 2 MDS Bobot MDS Bobot MDS Bobot Ekologi 29,24 52,81 15,31 57,19 22,15 74,43 24,97 Ekonomi 23,34 51,29 11,80 52,80 16,07 73,24 19,84 Sosial 21,46 47,02 9,87 55,45 11,64 61,47 8,99 Kelembagaan 15,14 32,38 4,84 47,00 7,06 58,09 7,69 Teknologi 10,82 41,62 4,99 44,59 6,52 59,47 9,47 Multidimensi 46,82 63,45 70,97 Sumber: (Hasil Analisis, 2013) Keberhasilan peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh dari kondisi saat ini untuk jangka pendek-menengah dan jangka panjang akan sangat bergantung dari komitmen yang kuat dari stakeholder terutama pemerintah sebagai fasilitator dan regulator dalam pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh. Namun demikian, diharapkan dengan tertanganinya atribut kunci ini akan mendorong terjadinya perbaikan atribut lain, sehingga indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut secara keseluruhan dapat meningkat. Secara detail posisi nilai indeks keberlanjutan ke-lima dimensi pengelolaan budidaya rumput laut pada kondisi eksisting, skenario jangka pendek, menengah dan skenario jangka panjang disajikan pada Gambar 53.

220 196 Gambar 53. Diagram layang-layang (kite diagram) multidimensi pada kondisi eksisting, skenario 1 dan skenario 2 keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Selanjutnya perubahan nilai skoring atribut yang dapat diimplementasikan pada skenario 1 dan skenario 2 untuk peningkatan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA disajikan pada Tabel 45.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP Cilacap merupakan salah satu wilayah yang berpotensi maju dalam bidang pengolahan budi daya perairan. Memelihara dan menangkap hewan atau tumbuhan perairan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan sekitar 18. 110 buah pulau, yang terbentang sepanjang 5.210 Km dari Timur ke Barat sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

Tabel. Potensi Areal Budidaya Laut Untuk Komoditas Kerang Mutiara & Abalone, Kerang Darah dan Tiram Serta Teripang Per Kab/kota Se- NTB

Tabel. Potensi Areal Budidaya Laut Untuk Komoditas Kerang Mutiara & Abalone, Kerang Darah dan Tiram Serta Teripang Per Kab/kota Se- NTB DATA STATISTIK PERIKANAN BUDIDAYA 1. Sumberdaya Perikanan Budidaya Laut Potensi sumber daya perikanan budidaya laut diprioritaskan untuk pengembangan komoditas yang memiliki nilai ekonomis, peluang ketersediaan

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA Iis Arsyad¹, Syaiful Darman dan Achmad Rizal² iis_arsyad@yahoo.co.id ¹Mahasiswa Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim, kurang lebih 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati dan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara yang memiliki penduduk yang padat, setidaknya mampu mendorong perekonomian Indonesia secara cepat, ditambah lagi dengan sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia Aquatic Science & Management, Vol. 1, No. 2, 188-192 (Oktober 2013) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00042

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya air merupakan salah satu sumberdaya alam yang menjadi prioritas dari lima area kunci hasil Konferensi Sedunia Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki luas sekitar enam juta mil persegi, 2/3 diantaranya berupa laut, dan 1/3 wilayahnya berupa daratan. Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai mencapai km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2

BAB I PENDAHULUAN. pantai mencapai km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai mencapai 104.000 km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2 (Pusat Data, Statistik dan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Garam merupakan komoditas vital yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi maupun untuk kegiatan industri. Permintaan garam terus meningkat seiring

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan Indonesia termasuk dalam kategori terbesar di dunia karena memiliki wilayah yang sebagian besar berupa perairan. Indonesia memiliki potensi lahan

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci