BAB I PENDAHULUAN. dengan biodiversity (keanekaragaman hayati) terkaya di dunia. suatu tempat akan membentuk populasi. Populasi-populasi yang ada akan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dengan biodiversity (keanekaragaman hayati) terkaya di dunia. suatu tempat akan membentuk populasi. Populasi-populasi yang ada akan"

Transkripsi

1 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada posisi geostrategis sebagai negara kepulauan yang menjembatani dua samudra yaitu Pasifik dan Hindia dan dua benua yaitu Asia dan Australia. Selain itu, Indonesia berbatasan darat atau laut dengan 10 negara dan memiliki lebih dari 13 ribu pulau tersebar dari Sabang hingga Merauke yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan biodiversity (keanekaragaman hayati) terkaya di dunia. Alam Indonesia terkenal dengan kekayaan flora dan fauna yang tersebar diseluruh wilayahnya baik itu di darat maupun di laut. Keberadaan mereka sangat mempengaruhi kelangsungan hidup ekosistem yang ada di sekitarnya. Dengan kata lain makhluk hidup termasuk manusia mempunyai hubungan saling ketergantungan satu sama lain untuk mempertahankan hidupnya. Kumpulan makhluk hidup yang mendiami suatu tempat akan membentuk populasi. Populasi-populasi yang ada akan membentuk keanekaragaman hayati di suatu wilayah. Eksplorasi dan eksploitasi adalah cara yang dianjurkan untuk dapat menikmati kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di laut. Namun, memasuki era ekonomi global melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah daratan dan laut di bumi ini khususnya Indonesia tanpa dibarengi dengan pengawasan maka akan menjadi suatu kemudharatan. Salah satu contohnya adalah penangkapan dan

2 3 perdagangan hiu baik dilakukan secara legal maupun ilegal (melawan hukum). Kegiatan tersebut melibatkan banyak pihak mulai dari pemburu hingga eksportir bahkan dikoordinasikan perdagangannya antar negara. Nilai ekonomi yang menjanjikan dari perdagangan komoditi ini cenderung meningkatkan aktifitas penangkapan dan perdagangan satwa liar tersebut. Tujuan dilakukannya perdagangan satwa antara lain; 1) Dikonsumsi; 2) Pembuatan obat tradisional China; 3) Dijadikan satwa peliharaan; 4) Dijadikan hiasan; dan 5) Koleksi. Selama 30 tahun terakhir konsumsi akan sumber daya alam dari keanekaragaman hayati telah meningkat, contohnya 10 dari 25 perusahaan obat besar di dunia tahun 1997 memperoleh bahanbahan dari sumber keanekaragaman hayati termasuk dari tumbuhan dan satwa liar. 3 Berdasarkan data statistik tahunan FAO yang dilaporkan oleh Infofish Fishing Technology Digest for Asia Pasific, edisi Juli-September 2004, diketahui dari 25 negara peringkat atas penghasil ikan, udang, dan moluska (top 25 countries), 12 negara diantaranya adalah negara-negara di wilayah Asia. Indonesia dalam hal ini menempati urutan kelima sebagai produsen ikan terbesar setelah China, Peru, Amerika Serikat, dan Jepang dengan kecenderungan produksi yang meningkat dari ton pada tahun 1999 menjadi ton pada tahun 2001 atau rata-rata meningkat sekitar 7% pertahun. 4 Berdasarkan penelitian terdapat 200 spesies ikan hiu di perairan Indonesia. Keberadaan spesies ini juga 3 UNEP, 2002,Global Enviromental Outlooks 3, London: Earthscan, hlm Johanes Widodo dan Suadi, 2008, Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 1.

3 4 menjadi sumber pendapatan bagi nelayan karena dipicu oleh tingginya harga sirip hiu. Akibatnya tingkat eksploitasi hiu terbesar di Asia Tenggara terjadi di perairan Indonesia, dan penjualan pun terbesar di dunia. Pemanfaatan hiu di Indonesia telah dilakukan sejak zaman penjajahan yaitu dengan adanya ekspor hiu bersama dengan ekspor ikan asin. Hiu diburu oleh nelayan untuk dimanfaatkan daging, sirip, kulit, minyak hati dan bagian-bagian lainnya. Peningkatan keuntungan ekonomi yang didapat dari komoditi ini membuat spesies ini terancam punah. Dampak kegiatan pemanfaatan tersebut meningkat seiring meningkatnya kemajuan teknologi, peningkatan jumlah penduduk serta peningkatan ragam dan mutu kebutuhan. Hal ini terjadi karena terdorong oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kemudian berkembang menjadi suatu kegiatan yang bersifat komersial. Sehingga pemanfaatan hiu sebagai komoditas perdagangan hayati laut perlu dilakukan perlindungan. Mengingat ikan hiu merupakan ikan yang memiliki pertumbuhan yang lambat dan memerlukan waktu yang lama untuk mencapai usia dewasa dan untuk berkembangbiak. Saat ini penangkapan dan perdagangan ikan pari manta juga tidak sedikit, di mana ikan tersebut dimanfaatkan untuk dijadikan komoditas dalam memenuhi industri sup dan makanan lainnya yang berbasis hiu dan pari manta. Manta merupakan spesies dengan reproduksi sangat rendah. Pari dengan panjang 7-10 meter itu baru bereproduksi ketika

4 5 usiamenginjak 10 tahun. Dalam tiga tahun hanya sekali bereproduksi, itupun satu sampai dua anakan. Cara penangkapan hiu dan pari manta yaitu dengan melakukan pemotongan sirip (finning) baik yang masih muda maupun sudah dewasa. Indonesia adalah salah satu negara penangkap ikan hiu terbesar di dunia saat ini. Hal ini terungkap dalam laporan yang disampaikan oleh lembaga TRAFFIC (Trade Records Analiysis of Flora and Fauna in Commerce) yang melakukan pemantauan terhadap perdagangan satwa liar dunia. TRAFFIC adalah sebuah organsasi dengan jaringan internasional, yang menelusuri perdagangan satwa liar diseluruh dunia, dengan kantornya diberbagai kota. Pernyataan TRAFFIC ini keluar menyusul adanya permintaan dari Uni Eropa yang saat ini tengah menyusun upaya perlindungan bagi tujuh spesies hiu dan manta. 5 Perdagangan internasional untuk tumbuhan dan satwa liar termasuk ikan salah satu pengaturannya terdapat pada Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Tujuan dari CITES adalah untuk membangun sistem pengendalian perdagangan tumbuhan dan satwa liar serta produk-produknya secara internasional. Pengendalian tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa eksploitasi komersial secara tak terbatas terhadap sumber daya tumbuhan dan satwa 5 Jay Fajar, KKP Kembali Gagalkan Perdaganagan Ilegal Pari Manta, Mongabay. co.id, diakses pada tanggal 23 Maret 2015.

5 6 liar merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup suatu jenis. 6 Selain CITES sebagai instrumen internasional untuk menanggulangi perdagangan satwa liar, pada tahun 1992 telah lahir konvensi tentang keanekaragaman hayati CBD (Convention on Biological Diversity). Konvensi ini ditandatangani pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 dan mulai berlaku pada tanggal 29 Desember Adapun yang menjadi fokus dari konvensi ini adalah terpusat pada kehidupan berkelanjutan dari suatu ekosistem. CITES dan CBD adalah dua konvensi yang saling melengkapi dilihat dari fokus keduanya yaitu CITES tentang konservasi spesies sedangkan CBD konsen utamanya adalah ekosistem. Sehingga dalam hal ini keduanya dapat saling berhubungan karena suatu ekosistem dibentuk oleh kumpulan spesies yang hidup dan tinggal dalam waktu yang bersamaan di suatu habitat. 8 Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Perdagangan Internasional untuk spesies tumbuhan dan satwa liar atau CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) yang merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan 6 Syamsul Bahri Lubis, dkk, 2009, Guide Book Jenis-Jenis Ikan yang Dilindungi dan Masuk Dalam Appendix CITES Seri Pisces, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Jakarta, hlm Convention On Biological Diversity, Welcome To CBD Secretariat, Diakses 26 Juli R.B Martin, CITES and the CBD, dalam Jon Hutton, Barnabas Dickson, 2000, Endangered Species Threatened Convention: The Past, Present and Future of CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), Earthscan Publication Ltd, United Kingdom, hlm. 125.

6 7 internasional serta tindak eksploitasi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar, melalui Keputusan Presiden Nomor 43 tahun Kemudian, Indonesia juga melakukan ratifikasi terhadap CBD dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention OnBiological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Tabel 1.1 Daftar Hiu dan Pari Manta dalam Appendiks CITES Spesies Apendiks Effective Date Regulasi Nasional Cetorhinus maximus (Basking Shark/ hiupenjemur) Rhincodon typus ( Whale shark/hiu paus) Carcharodon carcharias ( Great whiteshark/ hiu putih besar) Pristidae spp. (sawfish/hiu gergaji, 7spesies) Lamna nasus (Porbeagle shark) II (CoP 12 Nov 2002) II (CoP 12 Nov 2002) II (CoP 13 Oktober 2004) I ( CoP 14 Juni 2007 II ( CoP 16 Maret 2013) 13/02/ /02/2003 Permen-KP No. 18 Tahun /01/2005 PP No. 7 Tahun /09/ /09/ Carcharinus longimanus (Oceanic whitetip shark) II ( CoP 16 Maret 2013) 14/09/ Sphyrnalewini (Scalloped Hammerhead/hiu martil) II ( CoP 16 Maret /09/ Sphyrna mokarran (Great Hammerheadshark/ hiu martil) Sphyrna zygaena ( Smooth Hammerheadshark/hiu maril) II ( CoP 16 Maret 2013 II ( CoP 16 Maret /09/ /09/2014 -

7 8 Manta birostris (Pari Manta Oseanik/Plampanagan) Manta alfredi (Pari Manta Karang/Sarangah Bulan) II ( CoP 16 Maret 2013 II ( CoP 16 Maret /09/2014 Kepmen-KP No 4 Tahun /09/2014 Kepmen-KP No 4 Tahun 2014 (Sumber : sumber diolah) Hiu dan pari manta menjadi spesies dilindungi dalam CITES yang pada umumnya masuk dalam Appendix II CITES. Adapun yang menjadi fokus Appendix II CITES berdasarkan pasal 2 ayat (a) menyatakan bahwa: (a) all species which although not necessarily now threatened with extinction may become so unless trade in specimens of such species is subject to strict regulation in order to avoid utilization incompatible with their survival; and (b) other species which must be subject to regulation in order that trade in specimens of certain species referred to in sub-paragraph (a) of this paragraph may be brought under effective control. Pada tanggal 11 Maret 2013 di Bangkok, Thailand dikeluarkan New Release tentang Sharks and Manta Rays Receive Protection Under CITES (Hiu dan Pari Manta dimasukan dalam perlindungan CITES). 9 Peran hiu dalam ekosistem laut sangatlah penting sehingga diperlukan komitmen berupa tindakan perlindungan oleh negara-negara diseluruh dunia. Saat ini telah banyak terjadi eksploitasi berlebihan karena menjadikan kedua spesies ikan ini sebagai komoditas perdagangan yang menguntungkan. Pentingnya peranan hiu dapat dilihat pada fungsinya yaitu sebagai predator teratas, hiu mengontrol populasi hewan laut dalam rantai makanan. Populasi hiu yang sehat dan beragam berperan penting untuk menyeimbangkan ekosistem laut, termasuk menjaga kelimpahan ikan-ikan 9 U.S Fish & Wildlife Service, New Release, Sharks and Manta Rays Receive Protection Under CITES, diakses pada tanggal 22 Mei 2015.

8 9 bernilai ekonomis lainnya yang dikonsumsi oleh manusia. Laporan TRRAFIC selama tahun menyebutkan bahwa Indonesia adalah penangkap hiu terbesar di dunia. Sebagian besar produk tersebut diekspor dalam bentuk sirip, minyak, dan kulit. Penangkapan besar-besaran ini diakibatkan oleh tingginya permintaan pasar terhadap produk hiu, sehingga dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem laut dan berdampak negatif bagi ketahanan pangan Indonesia. 10 Indonesia sebagai negara anggota dari CITES maka harus melakukan penindakan terhadap para pelaku yang tidak bertanggung jawab tersebut. Apalagi tindakan eksploitasi berlebihan pada hiu dan pari manta terjadi di wilayah perairan Indonesia. Sehingga sejak menyatakan keikutsertaannya dalam CITES artinya Indonesia telah siap untuk mengimplementasikan tujuan-tujuan yang terkandung di dalamnya. CITES sebagai hard law membawa Indonesia untuk terikat (consent to be bound), sehingga harusnya terdapat produk-produk legislasi yang mendukung komitmen Indonesia tersebut baik bersifat nasional maupun peraturan daerah masingmasing. B. Rumus an Masalah 1. Bagaimanakah perlindungan hukum Indonesia terhadap Hiu setelah ditetapkan menjadi spesies liar yang masuk dalam daftar Appendiks II CITES Tahun 2013? 10 WWF, Frequently Ask Question-#SOShark Campaign, diakses tanggal 25 Juli 2015.

9 10 2. Bagaimana peluang dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam hal konservasi setelah masuknya Hiu dalam daftar Appendiks II CITES Tahun 2013? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada di atas, maka penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap Hiu setelah ditetapkan menjadi spesies liar yang masuk dalam daftar Appendiks II CITES Tahun b. Untuk mengetahui peluang dan tantangan yang dihadapi Indonesia setelah masuknya Hiu dalam daftar Appendiks II CITES Tahun Tujuan Subyektif Untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan obyek penelitian ini dalam rangka penyususnan penulisan hukum untuk menyelesaikan Program S2 (Strata II) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan bagi penulis untuk mendalami bidang hukum yang berkaitan dengan implementasi CITES di Indonesia. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

10 11 Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, adanya penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi kajian ilmu hukum khususnya di bidang hukum lingkungan laut di Indonesia. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi khususnya dalam hukum laut di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang Perlindungan Hukum Terhadap Hiu Pasca Appendiks II CITES Tahun 2013 sebelumnya belum pernah dilakukan. Akan tetapi, terdapat beberapa penelitian dan penulisan hukum yang pernah dilakukan dengan menggunakan CITES menjadi tolok ukur. Adapun tulisan tersebut adalah : 1. The United States Enforcement of the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna adn Flora 11 Tulisan ini dibuat pada tahun 1990 oleh Meena Alagappan. Adapun yang menjadi poin pembahasan dari penelitian tersebut yang dilatar belakangi tentang perusakan habitat akan mengancam kelangsungan kehidupan dari hewan dan tumbuhan liar. Dalam hal ini perdagangan internasional adalah penyebab berkurangnya 11 Meena Alagappan, The United States Enforcement of the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna adn Flora, Vol. 10, Northwestern Journal of International Law & Business, 541 ( ).

11 12 keanekaragaman hayati dunia. Pasar global flora dan fauna liar sangat besar dan barang-barang yang diperdagangkan adalah barang yang sangat mewah seperti mantel yang terbuat dari kulit hewan dan ukiran yang terbuat dari gading. Berdasarkan hal tersebut maka implementasi CITES di Amerika Serikat belum dirasa penuh dikarenakan oleh tiga alasan yang menjadi tipok ulasan yaitu: a) Terdapat perbedaan bahasa tentang definisi dalam CITES dan Statuta Endangered Species Act (ESA); b) Badan administrasi Amerika Serikat tidak begitu tegas dalam melakukan penegakan hukum konvensi CITES; c) Pengadilan hanya mempunyai kekuasaan terbatas untuk mengkaji dan menentukan suatu agen termasuk dalam pelanggaran CITES. Sehingga dalam kesimpulannya penulis mengatakan bahwa ESA berperan dalam melakukan pencegahan dari para pelanggar konvensiberdasarkan legislasi yang digunakan. Dalam hal ini untuk mengurangi permasalahan serius berupa penghilangan keanekaragaman hayati dunia maka sangat dibutuhkan kedekatan CITES dengan ESA. Dalam hal administrasi penegakan CITES di Amerika Serikat penulis mengatakan untuk lebih fleksibel dan mempuyai peran judisial yang besar. Selanjutnya dengan memberikan perlindungan pada perdagangan internasional terhadap flora dan faun liar, makanya dibutuhkan pengaturan yang tepat untuk mengatur para pelaku eksploitasi yang digunakan untuk tujuan komersial. Sehingga

12 13 badan administrasi yang bertanggung jawab seperti CITES dan ESA haruslah lebih ketat dalam implementasi penegakan hukum dengan memberikan sanksi yang tinggi terhadap para pelanggar. Dalam hal ini badan judisal harus lebih berperan aktif untuk melakukan checks and balances dengan badan eksekutif, karena tanpa itu maka penegakan efektif konvensi secara penuh tidak akan terwujud. 2. Implementasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) Dalam Upaya Konservasi Penyu Di Indonesia 12 Tulisan ini dipublikasikan sejak tahun 2013 oleh Roby Yolis Pata dungan. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh populasi kekenam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia terancam punah yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana efektifitas implementasi CITES di Indonesia pasca ratifikasi. Sehingga dalam kesimpulan akhir penulis mengatakan bahwa implementasi CITES dalam upaya konservasi penyu di Indonesia, khususnya di Berau dan Bali merupakan proses penerapan serangkaian aturan yang muncul melalui sebuah perjanjian atau kesepakatan. Dimana Indonesia sebagai negara yg ikut meratifikasi kesepakatan tersebut, menerapkan kewajiban-kewajiban 12 Roby Yolis Pata dungan, 2013, Implementasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) Dalam Upaya Konservasi Penyu Di Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

13 14 CITES dengan mengadopsi sistem informasi, manajemen, serta unit pelaksanaan hukumnya, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI dan Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Indonesia sebagai negara anggota berkewajiban untuk menerapkan atau mengadopsi aturan-aturan dan hukum yang berlaku dalam kesepakatan CITES melalui peraturan domestik dan undang-undang di Indonesia. Implementasi CITES di Indonesia cukup berhasil, dilihat dari wujud adopsi aturan CITES di dalam peraturan-peraturan pemerintah Indonesia dan undang-undang yang diberlakukan di Indonesia terkait masalah pemanfaatan semua jenis penyu yang ada di Indonesia, khususnya di Berau Kalimantan Timur dan Serangan Bali. Selain itu keefektifan implementasi CITES dapat dilihat dari menurunnya tingkat pemanfaatan penyu di Indonesia yang tidak sesuai dengan aturanaturan yang berlaku. 3. Efektivitas CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) Dalam Mengatur Perdagangan Hiu Di Kawasan Coral Triangel (Implementasi Di Indonesia) 13 Tulisan ini mulai dipublikasikan padan tahun 2014 oleh Ollani Vabiola Bangun. Adapun yang menjadi pemicu lahirnya tulisan ini yaitu banyak terjadi kegiatan illegal fishing atau tindak kejahatan perdagangan satwa liar. Salah satunya adalah ikan hiu. Sedangkan diketahui sifat biologi spesies ini perkembangbiakannya lambat. Jika 13 Ollani Vabiola Bangun, 2014, Efektivitas CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) Dalam Mengatur Perdagangan Hiu Di Kawasan Coral Triangel (Implementasi Di Indonesia), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

14 15 kegiatan eksplorasi terjadi terus menerus tanpa ada pembatasan maka ini akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan kehidupan spesies ini dan keberlanjutan ekosistem laut. Selain itu hiu adalah satwa mamalia liar laut yang masuk dalam daftar perlindungan spesies CITES. Fokus tulisan ini adalah masalah pemanfaatan hiu di indonesia dihubungkan dengan implementasi CITES. Kesimpulannya penulis menjabarkan bahwa sulit untuk melakukan efektifitas CITES di Indonesia. Hal ini didorong oleh dari kemiskinan, banyaknya permintaan, perdagangan ilegal serta kurangnya kapabilitas dan kemampuan pemerintah dalam pelaksanaan aturan hukum dan pengumpulan data ilmiah membuat situasi Indonesia sulit dalam menerapkan aturan tersebut. Akan tetapi dalam implementasinya sudah cukup berhasil dilihat dari wujudnya yang tertera dalam peraturan-peraturan pemerintah Indonesia dan undangundnag yang diberlakukan di Indonesia. Namun, dalam masalah hiu Indonesia dinilai kurang efektif karena minimnya data ilmiah terkait penetapan kuota, illegal fishing, penangkapan berlebihan serta minimnya regulasi dan kontrol pemerintah dalam hal perdagangan dan pemanfatan hiu serta belum mengimplentasikan aturan kerjasama internasional dan regional terkait pemanfatan hiu dengan baik. Dari ketiga penelitian di atas yang menggunakan CITES sebagai tolok ukurnya maka demikian pula yang dilakukan oleh penulis. Namun, dalam hal ini penulis mengelaborasi implementasi dan

15 16 efektifitas CITES di Indonesia terbatas pada Appendiks II CITES yang lebih khususnya tentang masuknya hiu dan pari manta sebagai spesies liar yang dilindungi. Hal ini tentunya menjadi kajian yang menarik karena otoritas kementrian yang diberikan kewenangan terhadap keamanan dan kelestarian laut yaitu Kementrian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan menteri yang berhubungangan dengan kedua jenis spesies tersebut. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak pelanggaran yang dilakukan dengan mengeksploitasi secara berlebihan. Penulisan hukum ini oleh penulis dibuat untuk mendukung pernyataan penelitian sebelumnya, khususnya untuk penelitian yang berkaitan dengan Indonesia. Pengadopsian hukum CITES dalam hukum Indonesia sudah mengalami peningkatan yang dapat diidentifikasi dari beberapa peraturan yang telah disahkan. Namun, pengaturan secara mendetail bukan berarti sejalan dengan pelaksanaan yang memuaskan. Seperti halnya dengan negara lain, Indonesia juga memiliki kelemahan dalam implementasi pengaturan CITES yang disebabkan oleh berbagai faktor yaitu, ekonomi, sumber daya manusia, penegakan hukum dan ekologi.

IMPLEMENTASI CITES DI INDONESIA: TANTANGAN DAN PELUANG DALAM PENGELOLAAN HIU DAN PARI

IMPLEMENTASI CITES DI INDONESIA: TANTANGAN DAN PELUANG DALAM PENGELOLAAN HIU DAN PARI IMPLEMENTASI CITES DI INDONESIA: TANTANGAN DAN PELUANG DALAM PENGELOLAAN HIU DAN PARI SJupiter Efin Muttaqin, Sarminto Hadi Hollie Booth Benaya M Simeon Muhammad Ichsan Sofie Mardiah OUTLINE 1. PENDAHULUAN:

Lebih terperinci

Oleh A.A. Alit Mas Putri Dewanti Edward Thomas Lamury Hadjon Program Kekhususan Hukum Internasional ABSTRACT

Oleh A.A. Alit Mas Putri Dewanti Edward Thomas Lamury Hadjon Program Kekhususan Hukum Internasional ABSTRACT PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN SPESIES LANGKA BERDASARKAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (CITES) ABSTRACT Oleh A.A. Alit Mas Putri Dewanti Edward

Lebih terperinci

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal KEDUDUKAN CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) SEBAGAI SALAH SATU KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG LINGKUNGAN HIDUP YANG MENGATUR PERDAGANGAN SPESIES LANGKA Oleh Deby Dwika Andriana

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGENALAN SIRIP HIU APPENDIKS II CITES

PEDOMAN PENGENALAN SIRIP HIU APPENDIKS II CITES PEDOMAN PENGENALAN SIRIP HIU APPENDIKS II CITES Diterbitkan oleh: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Kontributor: Fahmi, M. Phil Drs. Dharmadi Referensi Utama: Identifying Sharks Fins : Oceanic

Lebih terperinci

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU (2013-2016) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom 20151060029 PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS PASCA SARJANA

Lebih terperinci

Nurlaili Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Nurlaili Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Permasalahan Sosial Budaya dalam Implementasi Peraturan tentang Perlindungan Spesies Hiu di Tanjung Luar, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Nurlaili Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PERMEN-KP/2018 TENTANG LARANGAN PENGELUARAN IKAN HIU KOBOI (Carcharhinus longimanus) DAN HIU MARTIL (Sphyrna spp.) DARI WILAYAH NEGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Tri Nurani Mahasiswa S1 Program Studi Biologi Universitas Jenderal Soedirman e-mail: tri3nurani@gmail.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang mempunyai

Lebih terperinci

Surat Terbuka untuk Restoran dan Hotel tentang Penyajian Menu Hidangan Alternatif Bebas Hiu

Surat Terbuka untuk Restoran dan Hotel tentang Penyajian Menu Hidangan Alternatif Bebas Hiu WWF-Indonesia GrahaSimatupang Tower 2 Unit C 7 th Flr. Jl. Letjen. TB. Simatupang Kav.38 - Jakarta 12540 Indonesia Tel: +62 21 782 9461 Fax: +62 21 782 9462 www.wwf.or.id No : 122/C&A/WWF-ID/02/2016 4

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN No. 1185, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun 2016-2026. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman purba (145-208 juta tahun yang lalu) atau

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom BERITA NEGARA No.289 2016 KEMEN-LHK. Konsevasi. Amorphophallus. Rencana Aksi. Tahun 2015-2025. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.72/MENLHK-SETJEN/2015 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.56/Menlhk/Kum.1/2016 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI MACAN TUTUL JAWA (PANTHERA PARDUS MELAS) TAHUN 2016 2026 DENGAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.844, 2012 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Ekspor. Barang Dilarang. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44/M-DAG/PER/7/2012 TENTANG BARANG DILARANG EKSPOR

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan daerah teritorial lautnya lebih luas daripada daerah teritorial daratnya yaitu kepulauan 2/3 wilayah di indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

apendiks.??? diatur. spesies yang terancam punah. terancam punah di dunia.

apendiks.??? diatur. spesies yang terancam punah. terancam punah di dunia. Cites CITES rutin mengadakan (Convention on sidang International dalam penentuan Endengered hewan-hewan Species of Wild yang Fauna and Apendiks dilarang Flora) yaitu untuk 1 adalah : jenis-jenis daftar

Lebih terperinci

Transnational Organized Crime (TOC)

Transnational Organized Crime (TOC) Hukum di Indonesia untuk Melindungi Satwa Liar Ani Mardiastuti aniipb@indo.net.id Fakultas Kehutanan IPB Transnational Organized Crime (TOC) Terorisme Penyelundupan senjata Narkoba Kejahatan dunia maya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini banyak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perbuatan manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk kesejahteraan umat manusia

Lebih terperinci

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Indonesia 2,3 & 5 Agustus, 2010 LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kebijakan dan Konvensi Internasional yang berdampak pada Perdagangan

Lebih terperinci

Transnational Organized Crime

Transnational Organized Crime WILDLIFE CRIME Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Transnasional Ani Mardiastuti aniipb@indo.net.id Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Transnational Organized Crime Terorisme Penyelundupan senjata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

Kota, Negara Tanggal, 2013

Kota, Negara Tanggal, 2013 Legalitas Pengeksporan Hasil Hasil--Hasil Hutan ke negara--negara Uni Eropa negara Eropa,, Australia dan Amerika Serikat Kota, Negara Tanggal, 2013 Gambaran Umum Acara Hari Ini Perkenalan dan Sambutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti kehidupan satwa terdapat di lautan. Terdapat berbagai macam mekanisme kehidupan untuk bertahan hidup di

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

BAB II REGULASI INTERNASIONAL DAN NASIONAL TERKAIT HIU

BAB II REGULASI INTERNASIONAL DAN NASIONAL TERKAIT HIU BAB II REGULASI INTERNASIONAL DAN NASIONAL TERKAIT HIU Dalam bab II ini peneliti menjabarkan beberapa regulasi internasional dan nasional terkait hiu. Bab ini juga dilengkapi dengan tabel rancangan indikator

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.22/MEN/2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi. Lebih dari sepertiga jenis paus

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse No.1959, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Jenis Invasif. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 TENTANG JENIS INVASIF

Lebih terperinci

Oleh : Ollani Vabiola Bangun Pembimbing: Indra Pahlawan, S.IP, M.Si

Oleh : Ollani Vabiola Bangun Pembimbing: Indra Pahlawan, S.IP, M.Si EFEKTIVITAS CITES ( CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA) DALAM MENGATUR PERDAGANGAN HIU DI KAWASAN CORAL TRIANGEL ( IMPLEMENTASI DI INDONESIA) Oleh : Ollani

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil dari Samudera Indonesia hingga Samudera Pasifik yang terdiri dari daratan dan lautan. Indonesia disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan hewani (satwa) yang bersama - sama dengan unsur

Lebih terperinci

IUCN Merupakan singkatan dari International Union for Conservation of Nature and Natural Resources sering juga disebut dengan World Conservation Union adalah sebuah organisasi internasional yang didedikasikan

Lebih terperinci

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati *

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 19 Januari 2016; disetujui: 26 Januari 2016 Indonesia merupakan negara yang kaya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan yang mencapai 5,8 juta km 2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ini membuat Indonesia memiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG AKSES PADA SUMBER DAYA GENETIK SPESIES LIAR DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN ATAS PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Raden Fini Rachmarafini Rachmat ( ) ABSTRAK

Raden Fini Rachmarafini Rachmat ( ) ABSTRAK PERBANDINGAN HUKUM ANTARA PENGATURAN PERLINDUNGAN SATWA LIAR YANG DILINDUNGI DI INDONESIA DAN DI AUSTRALIA DIKAITKAN DENGAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA

Lebih terperinci

8J~g>~Pl5~ ~ INSTRUKSI GUBERNUR PROVINSI OAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG

8J~g>~Pl5~ ~ INSTRUKSI GUBERNUR PROVINSI OAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG 8J~g>~Pl5~ ~ ~~~ INSTRUKSI GUBERNUR PROVINSI OAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 78 TAHUN 2014 TENTANG LARANGAN MENGKONSUMSIIKAN HIU DAN IKAN PARI MANTA SERTA PRODUK OLAHANNYA BAGI PEJABAT DAN PEGAWAI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

Mengekspor dalam Lasekap Hukum yang Bergeser LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS. Kota, Negara Tanggal, 2013

Mengekspor dalam Lasekap Hukum yang Bergeser LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS. Kota, Negara Tanggal, 2013 Mengekspor dalam Lasekap Hukum yang Bergeser LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kota, Negara Tanggal, 2013 Pelatihan untuk Para Pelatih Pengantar Sumber Daya Pelatihan untuk Para Pelatih - Sumber Daya Pelatihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara yang masuk ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyu hijau merupakan reptil yang hidup dilaut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh disepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.

Lebih terperinci

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SHARIF C. SUTARDJO

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SHARIF C. SUTARDJO KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Oleh: Rony Megawanto Kebijakan nasional kelautan dan perikanan Indonesia diawali dengan perjuangan kewilayahan pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,

Lebih terperinci

Pasal 4. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Pasal 4. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN PENGELUARAN IKAN HIU KOBOI (Carcharhinus longimanus) DAN HIU MARTIL (Sphyrna spp.) DARI WILAYAH NEGARA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana Lingkungan Hidup dan pelestarian alam dewasa ini merupakan salah satu isu penting di dunia Internasional. Namun pembahasan mengenai lingkungan cenderung berpusat

Lebih terperinci

KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI. Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI. Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Penggolongan Keanekaragaman Hayati 1. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu sp, baik diantara

Lebih terperinci

BAB IV PENYEBAB BELUM EFEKTIFNYA KEBIJAKAN NASIONAL INDONESIA TERKAIT HIU

BAB IV PENYEBAB BELUM EFEKTIFNYA KEBIJAKAN NASIONAL INDONESIA TERKAIT HIU BAB IV PENYEBAB BELUM EFEKTIFNYA KEBIJAKAN NASIONAL INDONESIA TERKAIT HIU Pada bab IV ini, penulis menjabarkan hasil temuan dari wawancara yang menjelaskan penyebab belum efektifnya regulasi nasional terkait

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hukum internasional subyek-subyek tersebut termasuk negara, organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hukum internasional subyek-subyek tersebut termasuk negara, organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subjek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban, menurut hukum pemegang hak dan kewajiban itu memiliki kemampuan untuk mengadakan hubunganhubungan hukum dengan sesama

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR UNTUK LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a.

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah

Lebih terperinci

KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DAERAH PENANGKAPAN HIU APPENDIX II CITES YANG DIDARATKAN DI NAMOSAIN NTT

KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DAERAH PENANGKAPAN HIU APPENDIX II CITES YANG DIDARATKAN DI NAMOSAIN NTT KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DAERAH PENANGKAPAN HIU APPENDIX II CITES YANG DIDARATKAN DI NAMOSAIN NTT Oleh: Sri Pratiwi Saraswati Dewi, Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Suko Wardono BPSPL Denpasar

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada wilayah segitiga terumbu karang (coral reef triangle) dunia. Posisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Illegal fishing merupakan masalah klasik yang sering dihadapi oleh negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak dulu. Namun hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44.

BAB I PENDAHULUAN. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Wacana lingkungan hidup dan pelestarian alam dewasa ini merupakan salah satu isu penting di dunia Internasional, tapi pembahasan mengenai lingkungan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang tiga per empat luas wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Panjang garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan kota pelajar dan kota budaya, selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal sebagai daerah pariwisata ini dibuktikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke Negara-Negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kota, Negara Tanggal, 2013

Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke Negara-Negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kota, Negara Tanggal, 2013 Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke Negara-Negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat Kota, Negara Tanggal, 2013 Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation/EUTR) Regulasi Kayu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun 2010 telah dicanangkan oleh PBB sebagai Tahun Internasional Biodiversity (keanekaragaman hayati) dengan tema Biodirvesity is life, Biodirvesity is Our

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

KONTRAK PERKULIAHAN. Nama mata kuliah : Konservasi Sumberdaya Perairan Kode mata kuliah : : Sri Nuryatin Hamzah, S.Kel, M.

KONTRAK PERKULIAHAN. Nama mata kuliah : Konservasi Sumberdaya Perairan Kode mata kuliah : : Sri Nuryatin Hamzah, S.Kel, M. KONTRAK PERKULIAHAN Nama mata kuliah : Konservasi Sumberdaya Perairan Kode mata kuliah : 633431373 Pengajar : Sri Nuryatin Hamzah, S.Kel, M.Si Semester : VII/2012-2013 Hari Pertemuan/Jam : Rabu/08,31-10.00

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

LANGKAH INDONESIA MENANGGAPI DICANTUMKANNYA HIU DALAM LAMPIRAN II CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES (CITES)

LANGKAH INDONESIA MENANGGAPI DICANTUMKANNYA HIU DALAM LAMPIRAN II CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES (CITES) LANGKAH INDONESIA MENANGGAPI DICANTUMKANNYA HIU DALAM LAMPIRAN II CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES (CITES) THE STEPS TAKEN BY INDONESIA TO RESPOND THE INCLUSION OF SHARKS IN APPENDIX

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Pertama-tama marilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1347, 2014 KEMENHUT. Satwa Buru. Musim Berburu. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/Menhut-II/2014 TENTANG PENETAPAN MUSIM

Lebih terperinci

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI g LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI A. Pendahuluan Sebagai lembaga konservasi,wwf Indonesia memiliki visi melestarikan

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci