BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian penting dari proses pembangunan nasional yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan juga merupakan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia, dimana peningkatan kecakapan dan kemampuan individual diyakini sebagai faktor pendukung upaya manusia dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan, oleh karena itu kualitas pendidikan harus senantiasa ditingkatkan. Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian. Dalam menciptakan masyarakat yang cerdas dan di Era reformasi pemerintah melakukan beberapa perubahan dalam bidang kehidupan; politik, moneter, hankam, dan kebijakan mendasar lain. Lahirnya Undang undang No. 20 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang undang No. 25 tentang Perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Undang undang tersebut membawa konsekuensi terhadap bidang - bidang kewenangan daerah sehingga lebih otonom, termasuk di bidang pendidikan. Diundangkannya UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan 1

2 2 aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Desentralisasi pendidikan memberi peluang bagi kebijakan sekolah didaerah. Pembuatan kebijakan sekolah adalah inhern dengan otonomi kepala sekolah. Ketentuan otonomi daerah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk penyelenggaraan pendidikan. Bila sebelumnya pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang undang tersebut, kewenangan tersebut dialihkan ke pemerintah kota dan kabupaten. Berbagai program pemerintah yang dilaksanakan telah memberikan harapan bagi kelangsungan dan terkendalinya kualitas pendidikan Indonesia semasa krisis. Akan tetapi karena pengelolaannya yang terlalu kaku dan sentralistik, program itupun tidak banyak memberikan dampak positif, sehingga angka partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan tetap menurun. Diduga hal tersebut erat kaitannya dengan masalah manajemen. Dalam kaitan ini, muncullah salah satu pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Pemikiran ini dalam perjalananya disebut manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school based manajemen (SBM), yang telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan di beberapa negara maju, seperti Australia dan Amerika. Inti dari MBS adalah memberdayakan sekolah dengan segala perangkatnya. Inisiatif kearah pemberdayaan sekolah itu tidak akan berjalan tanpa adanya andil kuat masyarakat terhadap pendidikan. Dari sinilah diharapkan akan lahir sekolahsekolah yang mendongkrak kinerjanya, terutama dibidang peningkatan prestasi siswa. Tujuan utama MBS adalah pemberdayaan sekolah, yang kemudian fokus pada titik peningkatan prestasi belajar siswa sebagai tujuan utama implementasinya.

3 3 Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menutut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Tugas utama manajemen sekolah dapat dipastikan akan lebih menantang, itu sebabnya fokus manajemen sekolah adalah perubahan sistem organisasi, penekanan terhadap mengatasi masalah-masalah alamiah bersifat situasional dan berdampak luas. Terutama, kemampuan membuat kebijakan untuk pengembangan sekolah. Pengembangan sekolah selalu terkait dengan istilah inovasi. Sedangkan inovasi akan melahirkan kejutan karena ada perubahan dan pengembangan. 1 Tugas utama kepala sekolah berkaitan dengan manajemen yaitu tanggung jawab atas tugas-tugas yang harus dilaksanakan dengan operasional sekolah yang lancar. Dengan era otonomi daerah memberikan peluang kepada kepala sekolah sehingga semakin dirasakan banyak manfaatnya untuk membuat kebijakan pengembangan sekolah. Hal itu untuk mempercepat kemajuan masyarakat karena saat ini masyarakat membutuhkan banyak sekolah yang benar-benar berkualitas dalam bidang manajemen, program pengajaran, iklim, dan kepemimpinan sekolah. MBS Memberikan otonomi kepada sekolah yang meliputi pengelolaan akademik, pengelolaan sarana-prasarana, pengembangan staf, hubungan masyarakat, dan pengelolaan siswa. Hal-hal tersebut adalah upaya-upaya dalam rangka meningkatkan mutu lembaga pendidikan. Sejak tahun 1999 konsep MBS telah di diujicobakan di sekolah-sekolah di Indonesia. Saat ini telah banyak 1 Syafaruddin, Efektifitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), cet. 1, h.55

4 4 sekolah yang tidak sekedar melakukan uji coba melainkan melangkah pada tahapan pelaksanaan. Salah satu sekolah yang telah menerapkan MBS adalah SMP 10 Nopember Jakarta. Walupun sudah hampir 4 tahun (sejak tahun 2006) menerapkan MBS, nampaknya belum dapat dikatakan efektif sehingga belum mampu meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat diamati dari: (1) Manajemen di sekolah masih terdapat campur tangan yayasan yang lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan ataupun melakukan kebijakan-kebijakan. (2) Partisipasi masyarakat atau pihak yang berkepentingan (stakeholder) dan warga sekolah masih belum terlibat dalam pengambilan keputusan di sekolah tersebut. (3) Pemenuhan kebutuhan penunjang sekolah baik sarana maupun prasarana masih belum memadai, sehingga mutu pendidikan sulit untuk dicapai. Disamping itu terdapat beberapa hal positif yang telah dicapai terkait dengan Manajemen Berbasis Sekolah, diantaranya: renovasi gedung sekolah, pengadaan alat peraga atau alat-alat praktik IPA, dan renovasi sarana ibadah (Musholla). 2 Untuk dapat menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah SMP 10 Nopember Jakarta harus banyak melakukan perubahan-perubahan. Mulai dari job description (pembagian tugas) harus dilimpahkan kepada pihak yang telah diberi tanggung jawab, otonomi yang luas harus diberikan kepada kepala sekolah untuk melakukan manajerial yang baik. Kemudian masyarakat harus diikut sertakan dalam pengambilan keputusan, sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Pemenuhan sarana dan prasarana yang memadai jika menginginkan mutu pendidikan di SMP 10 Nopember semakin baik, ini merupakan salah satu tujuan terlahirnya Manajemen Berbasis Sekolah yang memberikan otonomi luas kepada sekolah mengenai kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan. 2 Observasi/pengamatan di SMP 10 Nopember Jakarta

5 5 Berdasarkan uraian penulis tertarik untuk meneliti dalam bentuk karya ilmiah dengan judul Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta. B. Masalah penelitian 1. Identifikasi Masalah Adapun permaslahan yang terjadi dalam pengimplementasian Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan Mutu Pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta sebagai berikut: a. Otonomi luas yang diberikan kepada kepala sekolah belum maksimal, masih terdapat campur tangan yayasan yang mendominasi dalam pengambilan keputusan. b. Minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan/kebijakan-kebijakan yang ditentukan sekolah serta dalam penyusunan maupun pelaksanaan program-program sekolah. c. Pemenuhan sarana dan prasarana sekolah masih kurang, dikarenakan semua pengelolaan keuangan diolah oleh yayasan dan memakan prosedur yang lama dalam pengurusan. d. Sulitnya melakukan peningkatan profesionalisme guru disebabkan minimnya dana dalam pelaksanaan seminar maupun workshop guru mata pelajaran. 2. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, diketahui banyak variable mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan di suatu sekolah, mengingat keterbatasan waktu,

6 6 tenaga, dan biaya, maka penelitian ini dibatasi pada masalah Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SMP 10 Nopember Jakarta yang mencakup otonomisasi kepala sekolah, partisipasi masyarakat, serta sarana dan prasarana. Sedangkan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Implementasi MBS di SMP 10 Nopember Jakarta. 3. Perumusan Masalah Dari latar belakang dan pembatasan masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta? b. Bagaimana efektifitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SMP 10 Nopember Jakarta? C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat bagi: 1. Lembaga pendidikan yang bersangkutan, sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang terkait dengan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. 2. Stakeholder, sebagai masukan dalam merencanakan dan mengevaluasi setiap program atau kebijakan. 3. Pembaca, dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan acuan serta studi perbandingan terhadap pengelolaan lembaga pendidikan terutama penerapan MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan.

7 7 4. Penulis, dapat memberikan pengetahuan menyeluruh serta nyata mengenai penerapan MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan.

8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Mutu Pendidikan 1. Pengertian Mutu Pendidikan Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata mutu berarti ukuran baik buruknya suatu benda, kadar, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dan sebagainya), kualitas. 1 Kualitas atau mutu adalah tingkat baik buruknya atau taraf atau derajat sesuatu. 2 Dari dua definisi tersebut mutu merupakan ukuran atau tingkat yang digunakan untuk menilai suatu barang maupun jasa. Josep M. Juran mendefinisikan kualitas itu sebagai kesesuaian untuk pemakaian, kualitas adalah terbebas dari kesalahan. 3 Pendapat tersebut menekankan bahwa sesuatu yang berkualitas itu merupakan hasil yang maksimal tanpa ada cacat atau kesalahan sedikitpun dan sesuai dengan tujuan. Sedangkan Goetsch dan Davis membuat definisi kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Definisi ini lebih luas karena mencakup elemen-elemen yang lebih komplek. Dari definisi tersebut terbagi menjadi beberapa elemen-elemen yaitu: a. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. b. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan. c. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah-ubah (misalnya saja, apa yang dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas dimasa yang akan datang). 4 Sallis mengajukan definisi mutu sebagai kepuasan terbaik dan tercapainya kebutuhan atau keinginan pelanggan. Terkait dengan itu Everard menyatakan bahwa mutu (quality) adalah mencapai apa yang diharapkan pelanggan. 1 Pusat pembiaan dan pengembangan bahasa, depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. 2, h Kualitas, Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 3, h Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management (TQM)-Edisi Revisi, (Yogyakarta: Andi, 2003), h.3 8

9 9 Sedangkan pelanggan sekolah mencakup orang tua, murid, pegawai, pemerintah yang kemudian memantau harapan dan kepuasan serta pencapaian dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Ukuran sesuatu itu dikatakan bermutu menurut Sallis dan Everard apabila pelanggan merasa puas dengan produk yang dihasilkan maka dapat dikatakan produk atau barang tersebut bermutu. Sedangkan Arcaro menyebutkan mutu adalah sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan. 5 Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada masukan, proses, maupun keluaran (hasilnya). Mutu masukan dapat dilihat dari beberapa sisi: 1) Kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha, dan siswa. 2) Memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana, sarana sekolah, dan lain-lain. 3) Memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa peragkat linak, seperti peraturan, struktur organisasi, dan deskripsi kerja. 4) Mutu masukan bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan, dan cita-cita. 6 Kemudian hal-hal yang termasuk dalam kerangka mutu proses pendidikan adalah derajat kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati, kepuasaan, dan lain-lain dari subjek selama memberikan dan menerima layanan jasa. Dan dalam "proses pendidikan" yang bermutu tersebut terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. 7 Manajemen sekolah dan dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam proses belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup 5 Syafarudin, Efektifitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, strategi, dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta:Rineka Cipta, 2008), Cet. 1, h Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 3, h B. Suryosubroto, Manajemen Pedidikan di Sekolah,( Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Cet. 1, h. 210

10 10 subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Sedangkan pada kerangka keluaran/hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Prestasi atau hasil pendidikan (student achievement) tersebut dapat berupa hasil test kemampuan akademis misalnya ulangan umum, Ujian Akhir Nasional (UAN) atau Ujian Akhir Seklah (UAS). Biasanya pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Keluaran/hasil pendidikan dikatakan bermutu dapat dilihat dari keunggulan ekstrakurikuler, misalnya saja peserta didik berprestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. 8 Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar) misalnya lulus UN (Ujian Nasional) dan US (Ujian Sekolah). 8 Suryosubroto, Manajemen Pedidikan..., h.210

11 11 Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. 9 Dalam hal ini Rencana Anggran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Mutu Pendidikan Menurut laporan Bank Dunia yang dikutip oleh Jalal dan Supriyadi, ada empat faktor yang diidentifikasi menjadi penghambat potensial mutu pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan dasar. Penghambat tersebut sebagai berikut: 1) Kompleksitas pengorganisasian pendidikan dasar antara depdiknas (bertanggung jawab dalam hal ini materi pendidikan, evaluasi buku teks dan kelayakan bahan-bahan ajar) dan Depdagri dalam bidang (ketenagaan, sumber daya material, dan sumber daya lainnya). 2) Praktik manajemen yang sentralistik pada tingkat SMP, pembiayaan dan perencanaan oleh pemerintah pusat yang melinatkan banyak departemen. 3) Praktik penganggaran yang terpecah dan kaku. Kompleksitas organisasi yang menyiapkan anggaran pembangunan menjadikan rumitnya pengelolaan pendidikan dasar. Badan Pendidikan Nasional (BAPPENAS), DepartemenPendidikan Nasional (DEPDIKNAS), dan Depdagri, termasuk Departemen Agama dalam menyiapkan anggaran pendidikan. 4) Manajemen sekolah yang tidak efektif. Sebagai pelaku utama, kepala sekolah banyak yang kurang mampu melakukan peningkatan mutu sekolahnya karena tidak dilengkapi dengan kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang baik. Pelatihan yang kurang dan rekruitmen kepala sekolah yang belum didasarkan atas kemampuan memimpin dan profesionalitas. 10 Faktor yang menyebabkan mutu pendidikan rendah terletak pada unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni saling tidak pada faktor kurikulum, sumber daya ketenagaan, sarana dan prasarana, manajemen sekolah, pembiayaan 9 Suryosubroto, Manajemen Pedidikan..., h Syafarudin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi, dan Aplikasi, (Jakarta: Grasindo, 2002), Cet.1, h. 12

12 12 pendidikan, dan kepemimpinan merupakan faktor yang dicermati. 11 Disamping itu, faktor eksternal berupa partisipasi politik rendah, ekonomi tak berpihak terhadap pendidikan, sosial budaya, rendahnya pemanfaatan sains dan teknologi, juga mempengaruhi mutu pendidikan. Untuk menghasilkan mutu yang baik dalam penerapan konsep manajemen berbasis sekolah menurut Fattah perlu memperhatikan aspek-aspek mutu yang harus dikendalikan secara komprehensih, yaitu: 1) Karakteristik mutu pendidikan, baik input, proses, maupun output, 2) Pembiayaan (cost), 3) Metode atau delivery system penyampaian bahan/materi pelajaran, 4) Pelayanan (service) kepada siswa dan orang tua/masyarakat. 12 Kepala sekolah dan guru perlu memahami konsep mutu dalam pendidikan sebagaimana dikemukakan. Setidaknya kepala sekolah harus menyusun visi, misi, strategi, dan tujuan sekolah dalam menjangkau masa depan. Kewenangan dan pengawasan dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah terutama terhadap kurikulum yang berbasis keperluan masyarakat adalah dimiliki sepenuhnya oleh kepala sekolah dan guru-guru. Strategi, peningkatan mutu sekolah dimulai dari perubahan manajemen sekolah yang operasional rutinitas kepada manajemen berbasis sekolah. Intinya adalah pembaharuan dalam konsep mutu, pembiayaan, metode dan pelayanan pendidikan terhadap pelanggan baik kepada murid, guru, orang tua, masyarakat, dan industri. Oleh karena itu disamping kepemimpinan yang kuat diperlukan peran serta masyarakat untuk peningkatan mutu sekolah. 3. Ciri-ciri sekolah bermutu Keberadaan mutu suatu lembaga pendidikan adalah paduan sifat-sifat layanan yang diberikan yang menyamai atau melebihi harapan serta kepuasan pelanggannya, baik yang tersurat maupun tersirat. Ini berarti lembaga itu harus memberi pelayanan kepada pihak-pihak yang ada di dalam atau menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan di lembaga itu, yaitu pengajar dan 11 Syafarudin, Manajemen Mutu..., h Syafarudin, Efektifitas Kebijakan..., h. 164

13 13 karyawan dan pihak-pihak yang bukan menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan itu (pelanggan eksternal), yaitu siswa, orang tua pemerintah dan masyarakat penyandang dana, dan pemakai lulusan. 13 Lembaga pendidikan bermutu adalah lembaga yang mampu memberi layanan yang sesuai atau melebihi harapan guru, karyawan, siswa, penyandang dana (orang tua, masyarakat dan pemerintah), dan pemakai lulusan (dunia kerja). Merujuk pada pemikiran Edward Sallis, Sudarwan Danim mengidentifikasi 13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu: a. Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. b. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul, dalam makna ada komitmen untuk bekerja secara benar dari awal. c. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya. d. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif. e. Sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrument untuk berbuat benar pada peristiwa berikutnya. f. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. g. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya. h. Sekolah mendorong yang dipandang memiliki kreatifitas, mampu menciptakan kualitas, dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas. i. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk arah kerja secara vertikal maupun horizontal. j. Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas. k. Sekolah memandang atau menempatkan kualitas yang telah tercapai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut. l. Sekolah memandang kualitas sebagai integral dari budaya kerja. m. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus-menerus sebagai suatu keharusan Penjaminan Mutu Pendidikan ( Danim, Visi Baru..., h. 55

14 14 4. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. 15 Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented (berorientasi pada masukan). Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat Suryosubroto, Manajemen Pedidikan..., h Suryosubroto, Manajemen Pedidikan..., h.204

15 15 Otonomi pendidikan merupakan suatu bentuk reformasi pendidikan yang perlu dijalankan dengan baik, tujuan utama reformasi pendidikan adalah membangun suatu system pendidikan yang lebih baik dan lebih maju dengan memberdayakan seoptimal mungkin potensi daerah dan partisipasi masyarakat. Para kepala sekolah sudah saatnya sebagai manajer sudah saatnya mengoptimalkan mutu kegiatan pembelajaran untuk memenuhi harapan pelanggan pendidikan. Para manajer pendidikan dituntut mencari dan menerapkan suatu strategi manajemen baru yang dapat mendorong perbaikan mutu disekolah. 17 Sehingga muncullah salah satu pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas, yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school based manajemen (SBM). Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. B. Manajemen Berbasis Sekolah 1. Pengertian Istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari shcool-based management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Menurut Fattah MBS diartikan sebagai pengalihan dalam pengambilan keputusan dari tingkat pusat sampai ke tingkat sekolah. Pemberian kewenangan dalam pengambilan keputusan dipandang sebagai otonomi di tingkat sekolah dalam pemanfaatan semua sumber daya (resources) sehingga sekolah mampu secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, memanfaatkan, 17 Syafarudin, Manajemen Mutu..., h. 20

16 16 mengendalikan, dan mempertanggung jawabkan (accountability) kepada setiap yang berkepentingan (stakeholder). 18 Definisi MBS menurut Fattah lebih memfokuskan mengenai otonomi (kewenangan) yang diberikan kepada sekolah, walau bagaimanapun sekolah yang mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sehingga lebih mudah dalam perencanaan untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan. Mengutip pendapat Mukhtar dan Suparto, Syafarudin mendefinisikan bahwa MBS adalah keseluruhan proses merencanakan, mengorganisasikan, mengembangkan dan mengendalikan seluruh pendukung/pengguna sekolah dan sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah khususnya dan tujuan pendidikan pada umumnya. 19 Pendapat ini lebih menekankan pada pelaksanaan implementasi MBS, dimana kunci dari keberhasilan itu sendiri terletak pada proses pelaksanaanya. Sedangkan menurut Mulyasa MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. 20 Kebijakan yang menawarkan otonomi pada sekolah dalam rangka meningkatkan mutu efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasikan keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa MBS adalah manajemen sekolah yang dilaksanakan dengan memberikan kewenangan kepada sekolah untuk memanfaatkan seluruh sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal. MBS secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta 18 Syafarudin., Efektifitas Kebijakan..., h Syafarudin., Efektifitas Kebijakan..., h E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-10, h.24

17 17 bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya peningkatan dapat didorong dan ditopang. 21 MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung ke kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat pendidikan. Menurut Mulyasa sedikitnya ada enam permasalahan yang harus diantisipasi dalam otonomi tersebut, yaitu kepentingan nasional, mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, perluasan dan pemerataan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas masyarakat. 22 Berdasarkan MBS maka tugas-tugas manajemen sekolah ditetapkan menurut karakteristik-karakteristik dan kebutuhan-kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu warga sekolah memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas penggunaan sumber daya sekolah guna memecahkan masalah sekolah dan menyelenggarakan aktivitas pendidikan yang efektif demi perkembangan jangka panjang sekolah. MBS diharapkan dapat membuat sekolah lebih mandiri, dengan memberdayakan otonomi yang diberikan dan mengambil keputusan secara partisipatif yang melibatkan warga sekolah dan pihak masyrakat yang dilayaninya (stakeholder). 23 Artinya MBS memberikan otonomi yang lebih luas kepada masing-masing sekolah secara individual dalam menjalankan program sekolahnya dan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Selain itu dalam menyelesaikan masalah dan dalam pengambilan keputusan harus melibatkan partisipasi setiap konstituen sekolah seperti siswa, guru, tenaga administrasi, orang tua, masyarakat lingkungan dan para tokoh masyarakat. 21 Ibtisam Abu Duhou, School Based Managemen,( Jakarta: Logos, 2002), Cet.1, h E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam konteks menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. 3, h Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Model Pengelolaan sekolah di era otonomi daerah, (Jakarta: Sagung Seto, 2007), Cet.1, h. 31

18 18 2. Tujuan dan Manfaat MBS Mengutip pendapat Permadi, Syafarudin memberikan asumsi dasar dari MBS adalah sekolah harus lebih bertanggung jawab (high responsibility) dan mempunyai kewenangan yang lebih (more outhority) dan dapat dituntut pertanggung jawaban oleh setiap yang berkepentingan. 24 Tujuan dari MBS adalah pemberian otonomi sekolah dan peningkatan partisipasi masyarakat yang tinggi untuk mencapai efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. MBS merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso, dan mikro. MBS bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. 25 Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumberdaya partisipasi mayarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang diberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas utama. 26 MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah. 24 Syafarudin., Efektifitas Kebijakan..., h Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h.26

19 19 3. Karakteristik MBS Karakteristik MBS dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan. 27 Sejalan dengan itu mengutip pendapat Saud, Mulyasa mengemukakan karakteristik dasar MBS antara lain: a) Pemberian Otonomi Luas Kepada Sekolah MBS memberikan otonomi luas kepada kepala sekolah, disertai dengan seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi tersebut pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan tenaga kependidikan guru agar lebih berkonsentrasi pada tugas utamanya. Kemudian melalui otonomi yang luas pula, sekolah dapat dengan meningkatkan kinerja tenaga kependidikan dengan menawarkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab bersama dalam pelaksanaan keputusan yang diambil secara proporsional dan secara professional. b) Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah. c) Kepemimpinan yang demokratis dan Profesional Guru-guru yang direkrut oleh sekolah adalah pendidik professional dalam bidangnya masing-masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja 27 Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h.29

20 20 professional yang disepakati bersama untuk memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran peserta didik. d) Team-Work yang kompak dan Transparan Dalam MBS, keberhasilan program-program sekolah didukung oleh kinerja team-work yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan pendidikan dan komite seklah misalnya, pihak-pihak yang terlibat bekerja sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan suatu sekolah yang dapat dibanggakan oleh semua pihak. Empat faktor penting yang perlu di perhatikan dalam implementasi MBS, yakni kekuasaan, pengetahuan dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan. Menurut Bailey terdapat Sembilan karakteristik manajemen berbasis sekolah dan karakteristik ideal sekolah abad ke-21, karakteristik tersebut antara lain: a) Adanya keragaman dalam pola penggajian guru b) Otonomi manajemen sekolah c) Pemberdayaan guru secara optimal d) Pengelolaan sekolah secara partisipatif e) Sistem yang didesentralisasikan f) Sekolah dengan pilihan atau otonomi sekolah dalam menentukan aneka pilihan g) Hubungan kemitraan (partnership) antara dunia bisnis dan dunia pendidikan h) Akses terbuka bagi sekolah untuk tumbuh relatif mandiri i) Pemasaran sekolah secara kompetitif. 28 Tabel 1 Depertemen Pendidikan Australia mengemukakan ciri-ciri MBS dalam bagan berikut: 29 Organisasi Sekolah Menyediakan manajemen Proses Belajar Mengajar Meningkatkan kualitas belajar siswa Sumber Daya Manusia Memberdayakan staf dan menempatkan Sumber daya dan Administrasi Mengidentifikasi sumber daya yang 28 Danim, Visi Baru..., h Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h. 30

21 21 organisasi kepemimpinan transpormasional dalam mencapai tujuan Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya sendiri Mengelola kegiatan operasional sekolah Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat terkait Menjamin akan terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab (akuntabel) kepada masyarakat dan pemerintah Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah Menyelenggarakan pengajaran yang efektif Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa Program pengembangan yang diperlukan siswa personel yang dapat melayani keperluan semua siswa Memilih staf yang memiliki wawasan manajemen berbasis sekolah Menyediakan kegiatan untuk mengembangkan profesi pada semua staf Menjamin kesejahteraan staf dan siswa Kesejahteraan staf dan siswa diperlukan dan dan mengalokasikan sumber daya tersebut sesuai dengan kehidupan Mengelola dana sekolah Menyediakan dukungan administrative Mengelola dan memelihara gedung dan sarana lainnya Memelihara gedung dan sarana lainnya 4. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan BPPN bekerjasama dengan Bank Dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatikan sehubungan dengan manajemen berbasis sekolah. Faktor-faktor tersebut antara lain 30 : a. Kewajiban Sekolah MBS menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan yang professional. seperti mengadakan pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan lainnya. 30 Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h.26

22 22 b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional. c. Peranan Orangtua dan Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam hal ini diperlukan, melalui dewan sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami serta mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan belajar-mengajar. d. Peranan Profesionalisme dan Manajerial Pelaksanaan MBS berpotensi meningkatkan gesekan peranan yang bersifat professional dan manajerial. Untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi harus memiliki dua sifat tersebut yaitu professional dan manajerial. e. Pengembangan Profesi Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan (sumber manusia) menerima pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif. Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan tenaga kependidikan untuk MBS. Merujuk pendapat Hallinger, Murphy, dan Hasanudin dalam Ibtisam Abu Duhou menunjuk MBS sebagai terdiri dari usaha-usaha untuk: mendesentralisasikan organisasi, manajemen, dan penyelenggaraan pendidikan; memberdayakan infrastruktur tersebut lebih dekat dengan para siswa di ruang kelas (yaitu para guru, orangtua, dan kepala sekolah), menciptakan peran dan tanggung jawab baru bagi para pelaku dalam sistem tersebut, dan mentransformasikan proses belajar-mengajar yang berkembang di ruang kelas Duhou, School Base..., h. 17

23 23 5. Komponen-komponen Manajemen Berbasis Sekolah Hal yang paling penting dalam implementasi manajemen berbasis sekolahadalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yaitu kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat, serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan. 32 Tetapi yang akan dibahas pada penelitian ini hanya membahas mengenai otonomi sekolah, manajemen sarana dan prasarana, dan parisipasi masyarakat. a. Otonomi Sekolah Sekolah pada saat ini menjadi unit strategis yang memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang harus dilakukannya sesuai dengan kebutuhan tanpa mengabaikan program nasional pendidikan secara menyeluruh. Diberlakukannya otonomi sekolah, personil sekolah telah terlibat secara aktif bahkan pro-aktif dalam menentukan berbagai kebijakan untuk kepentingan sekolah. Pimpinan sekolah harus mampu memberdayakan personel sekolah dalam proses pengembangan sekolah. Hesselbein menjelaskan lebih lanjut, para pemimpin harus mengusahakan, memperjuangkan, dan kemudian mendukung gagasangagasan baru. Pemberdayaan orang-orang untuk berinovasi bukan berarti memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melakukan sesuatu yang mereka inginkan, tetapi berinovasi adalah adanya pengakuan dan penerimaan gagasan-gagasan baru tersebut tentunya dalam kerangka pengembangan sekolah. 33 Otonomi sekolah secara terang-terangan membutuhkan kepala sekolah yang terampil memanfaatkan kecerdasan intelegensia manajerialnya (kecerdasan memimpin dan terampil mengelola organisasi, dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia) sehingga dengan seluruh perangkat yang dimiliki organisasi 32 Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h Syafarudin, Efektifitas Kebijakan..., h.133

24 24 dapat bersinergi dan dapat menuju pada pencapaian tujuan organisasi dan optimal. 34 b. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat Masyarakat merupakan partner sekolah dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran, Hubungan sekolah dengan masyarakat sebenarnya sudah didesentralisasikan tetapi dalam pelaksanaannya belum optimal. 35 Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain untuk (1) meningkatkan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak, (2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat, dan (3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah. Jika hubungan sekolah dengan masyarakat berjalan dengan harmonis, rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat untuk memajukan sekolah juaga akan baik dan tinggi. Agar tercipta hubungan dan kerjasama yang baik antara sekolah dengan masyarakat, masyarakat perlu mengetahui dan memiliki gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan. Gambaran tersebut dapat diinformasikan kepada masyarakat melalui laporan kepada orang tua murid, bulletin bulanan, penerbitan surat kabar, pameran sekolah, open house, kunjungan ke sekolah, kunjungan ke rumah murid, penjelasan oleh staf sekolah, murid, radio dan televisi, serta laporan tahunan. Kepala sekolah dituntut senantiasa berusaha membina dan meningkatkan hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Melalui hubungan yang harmonis tersebut, diaharapkan tercapai tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat, yaitu terlaksananya proses pensisikan disekolah secara produktif, efektif, dan efisien sehingga menghasilkan lulusan yang produktif dan berkualitas. c. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Ditinjau dari fungsi atau peranannya terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar, maka sarana pendidikan (sarana material) menurut Suharsimi 34 Amirudin siahaan, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), Cet. 1, h Mulyasa, Menjadi Kepala..., h. 22

25 25 dibedakan menjadi 3 macam, yaitu alat pengajaran, alat peraga, dan media pengajaran. Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah untuk pengajaran biologi, halam sekolah sebagai lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan. 36 Standar sarana dan prasarana telah diatur dalam standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal mengenai ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan informasi dan komunikasi. 37 Manajemen sarana dan prasarana bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventarisasi, dan penghapusan serta penataan. 6. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang professional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajarmengajar, serta dukungan masyarakat yang tinggi. 36 Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h Permen No. 19 Tahun 2005, Tentang Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Cipta Jaya, 2005). h.25

26 26 Kualifikasi sekolah bervariasi dari sekolah yang sangat maju sampai sekolah yang ketinggalan, sedangkan lokasi sekolah sangat bervariasi mulai dari daerah perkotaan sampai di daerah pedesaan. Demikian juga partisipasi masyarakat (orang tua) juga bervariasi mulai dari masyarakat yang partisipasinya tinggi bahkan masyarakat yang kurang bahkan tidak berpartisipasi sama sekali. Agar MBS terimplementasi dengan optimal, sekolah perlu dikelompokkan menurut tingkat kemampuan manajemen mereka. Pengelompokkan ini dimaksudkan untuk mempermudah pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan MBS. a. Pengelompokkan Sekolah Berdasarkan Kemampuan Manajemen Berdasarkan kondisi lokasi dan kualifikasi sekolah saat ini, kurang lebih akan ditemui tiga karakter sekolah, antara lain sekolah baik, sedang, dan kurang, yang tersebar dilokasi-lokasi maju, sedang, dan tertinggal. Kelompok-kelompok tersebut biasanya juga menggambarkan tingkat kemampuan manajemennya. Dengan adanya perbedaan manajemen tersebut sekolah-sekolah harus diperlakukan secara berbeda-beda, tergantung pada tingkat kemampuannya dalam menyerap sistem baru yang ditawarkan dalam MBS. 38 Dengan mempertimbangkan kemampuan sekolah, kewajiban dan kewenangan sekolah terhadap pelaksanaan MBS, pemerintah berkewajiban melakukan upaya-upaya maksimal bagi sekolah yang kemampuan manajemennya kurang untuk mempersiapkan pelaksanaan MBS. b. Pentahapan Pelaksanaan MBS Implementasi MBS adalah realisasi dari desentralisasi pendidikan yang memerlukan perubahan-perubahan mendasar terhadap aspek-aspek yang menyangkut keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana, dan partisipasi masyarakat. MBS diyakini akam dapat terimplementasi dengan 38 Sulaeman Hariadi, School Based Management, (Jakarta: Depdiknas DKI Jakarta, 2001), h. 17

27 27 optimal setidaknya melalui tiga tahap, yaitu jangka pendek (tahun pertama sampai dengan tahun ketiga), jangka menengah (tahun keempat sampai tahun keenam), dan jangka panjang (setelah tahun keenam). 39 Pelaksanaan jangka pendek diprioritaskan pada kegiatan-kegiatan yang tidak memerlukan perubahan mendasar terhadap tiga aspek-aspek pendidikan. Strategi ini bersifat sosialisasi MBS terhadap masyarakat dan sekolah, pelatihan terhadap sumber daya manusia yang akan melaksanakan MBS, dan mengalokasikan block grant langsung ke sekolah sebagai praktek pengelolaan keuangan dengan prinsip MBS. Apabila sekolah telah memahami hak dan kewajiban masing-masing, secara mendasar tentang aspek-aspek pendidikan dapat dilakukan sebagai jangka menengah dan jangka panjang. Merujuk pendapat Fattah, Mulyasa membagi implementasi MBS menjadi tiga tahapan, yaitu sosialisasi, piloting, dan desiminasi. Tahap sosialisasi merupakan tahap penting mengingat luasnya wilayah nusantara. Masyarakat harus dapat beradabtasi lebih baik dengan perubahanperubahan baru, sehingga pencapaian tujuan perubahan tersebut menjadi leih efektif. Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep MBS tidak mengandung resiko, efektifitas model uji coba memerlukan persyaratan dasar, yaitu akseptabilitas (adanya penerimaan dari para tenaga kependidikan sebagai pelaksana dan tanggung jawab pendidikan disekolah), akuntabilitas (atinya program MBS harus dapat dipertanggung jawabkan, baik secara konsep, operasional, maupun pendanaannya), reflikabilitas (artinya model-model MBS diuji-cobakan dapat direflikasi di sekolah lain sehingga perlakuan yang diberikan kepada sekolah uji-coba dapat dilaksanakan disekolah lain), dan sustainabilitas (artinya program tersebut dapat dijaga kesinambungannya setelah uji coba dilaksanakan). Dan tahap selanjutnya tahap desiminasi merupakan tahapan 39 Hariadi, School Based..., h. 19

28 28 memasyarakatkan model MBS yang telah diujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara efektif dan efisien. 40 c. Perangkat Pelaksanaan MBS Dalam mengimplementasikan MBS diperlukan adanya pedomanpedoman sebagai pendukung serta untuk menjamin terlaksananya MBS yang mengakomodasi kepentingan otonomi sekolah, kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Dalam pelaksanaannya MBS memerlukan seperangkat peraturan dan pedoman-pedoman yang digunakan sebagai pedoman perencanaan, monitoring dan evaluasi, dan laporan pelaksanaan. Dalam rencana sekolah merupakan perencanaan sekolah untuk jangka waktu tertentu, yang disusun oleh sekolah sendiri, yang bervisi dan misi sekolah, tujuan sekolah, dan prioritas-prioritas yang akan dicapai, serta strategi-strategi yang digunakan untuk mencapainya Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h Hariadi, School Based..., h.22

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang- undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa nuansa pembaharuan

Lebih terperinci

Seminar Internasional, ISSN Peran LPTK Dalam Pengembangan Pendidikan Vokasi di Indonesia

Seminar Internasional, ISSN Peran LPTK Dalam Pengembangan Pendidikan Vokasi di Indonesia PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN KEJURUAN MELALUI PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH SCHOOL BASED MANAGEMENT Oleh: Altje Tombokan Fakultas Teknik Universitas Negeri Manado ABSTRAK Manajemen berbasis sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut

Lebih terperinci

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Manajeman Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN MASA KINI. DR. H. Ma mur Sutisna WD, M.M.Pd Dosen FKIP Universitas Subang ABSTRAK

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN MASA KINI. DR. H. Ma mur Sutisna WD, M.M.Pd Dosen FKIP Universitas Subang ABSTRAK MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN MASA KINI DR. H. Ma mur Sutisna WD, M.M.Pd Dosen FKIP Universitas Subang ABSTRAK Banyak masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

Lebih terperinci

Manajemen Mutu Pendidikan

Manajemen Mutu Pendidikan Manajemen Mutu Pendidikan Pengertian Mutu Kata Mutu berasal dari bahasa inggris, Quality yang berarti kualitas. Dengan hal ini, mutu berarti merupakan sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dimensi dalam kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya, dan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dimensi dalam kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan terus menjadi topik yang diperbincangkan oleh banyak pihak. Pendidikan seperti magnet yang sangat kuat karena dapat menarik berbagai dimensi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya pendidikan tergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya pendidikan tergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu aspek yang berperan penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Visi reformasi pembangunan dalam upaya menyelamatkan kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah terwujudnya masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan bertujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang positif bagi

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan bertujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang positif bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan masalah yang pundamental dalam pembangunan suatu bangsa dan bertujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang positif bagi siswa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan globalisasi yang semakin terbuka. Sejalan tantangan kehidupan global,

BAB I PENDAHULUAN. dan globalisasi yang semakin terbuka. Sejalan tantangan kehidupan global, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan menghadapi dua tuntutan yaitu tuntutan dari masyarakat dan tuntutan dunia usaha. Hal yang menjadi tuntutan yaitu tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reformasi diindikasikan dengan adanya perombakan di segala bidang kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. reformasi diindikasikan dengan adanya perombakan di segala bidang kehidupan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era reformasi yang sedang berjalan atau bahkan sudah memasuki pasca reformasi diindikasikan dengan adanya perombakan di segala bidang kehidupan, politik, moneter, pertahanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia pada saat ini berada di bawah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina dalam hal pengembangan sumber daya manusia. Hal ini terlihat dari Human

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inovasi yang berdampak pada meningkatnya kinerja sekolah. seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa

BAB I PENDAHULUAN. inovasi yang berdampak pada meningkatnya kinerja sekolah. seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya sekolah yang kuat merupakan suatu kekuatan yang dapat menyatukan tujuan, menciptakan motivasi, komitmen dan loyalitas seluruh warga sekolah, serta memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peningkatan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia akan terwujud dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan nasional saat ini sedang mengalami berbagai perubahan yang cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

Penerapan MBS, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Konteks

Penerapan MBS, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber. Pada kenyataannya, pendidikan bukanlah suatu upaya yang sederhana, melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat. Salah satu bentuk perkembangan ilmu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat. Salah satu bentuk perkembangan ilmu pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pendidikan dan pengajaran, terus berkembang dengan pesat. Salah satu bentuk perkembangan ilmu pendidikan dan pengajaran

Lebih terperinci

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat Naskah Soal Ujian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Petunjuk: Naskah soal terdiri atas 7 halaman. Anda tidak diperkenankan membuka buku / catatan dan membawa kalkulator (karena soal yang diberikan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), cet. 1, hlm Rohiat, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), cet. 1, hlm Rohiat, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa kita adalah persoalan mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai usaha telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan, baik secara pendidikan formal, non formal maupun

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan, baik secara pendidikan formal, non formal maupun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya peningkatan Sumber daya Manusia salah satunya dilakukan melalui pendidikan, baik secara pendidikan formal, non formal maupun informal. Pendidikan yang

Lebih terperinci

SEJARAH MBS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

SEJARAH MBS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA SEJARAH MBS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Disampaikan pada Seminar Nasional di Cianjur Pada Tanggal 21 Mei 2009 Oleh : Asep Suryana, M.Pd. UNIERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009 A. Pendahuluan Secara teoritis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya manusia tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan atau proses

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya manusia tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan atau proses 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sumber daya manusia merupakan elemen utama organisasi dibandingkan dengan elemen lain seperti modal, teknologi, dan uang sebab manusia itu sendiri yang

Lebih terperinci

PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH

PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH ( Studi pada SD Negeri Sobokerto 1 dan MI Al-Islam Ngesrep 1 ) TESIS Oleh : Nama : Retnaning Winastuti NIM : Q.100030109 Program Studi : Magister Manajemen Pendidikan Konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD Negeri Wirosari sekolah yang unggul, kreatif, inovatif, kompetitif dan religius. Sedangkan misinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini tantangan yang dihadapi lembaga-lembaga pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini tantangan yang dihadapi lembaga-lembaga pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia (SDM), yaitu tenaga terdidik yang mampu menjawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, sehat, jujur, berakhlak mulia, berkarakter, dan memiliki kepedulian sosial

Lebih terperinci

(Bandung: RosdaKarya, cet. 7, 2002), h Mulyasa, Manajemen Berbasis Madrasah: Konsep, Strategi dan Implementasi

(Bandung: RosdaKarya, cet. 7, 2002), h Mulyasa, Manajemen Berbasis Madrasah: Konsep, Strategi dan Implementasi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tatanan kehidupan masyarakat yang semraut (chaos) merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Mulyasa (2006:3) perwujudan masyarakat yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Mulyasa (2006:3) perwujudan masyarakat yang berkualitas 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Telah muncul kesadaran pada diri banyak orang, bahwa pembangunan pendidikan merupakan peristiwa yang tidak akan pernah selesai selagi peradaban manusia masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukan merupakan tugas yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukan merupakan tugas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukan merupakan tugas yang mudah, karena sumber daya manusia yang berkualitas bukan hanya dilihat dari penguasaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam penguasaan materi maupun metode pembelajaran selalu

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam penguasaan materi maupun metode pembelajaran selalu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam dunia pendidikan saat ini, peningkatan kualitas pembelajaran baik dalam penguasaan materi maupun metode pembelajaran selalu diupayakan. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional.

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional. Penataan sumber daya manusia

Lebih terperinci

KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH

KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH Kompetensi Kepribadian 1. Memiliki integritas kepribadian yang kuat sebagai pemimpin : Selalu konsisten dalam berfikir, bersikap, berucap, dan berbuat dalam setiap melaksanakan

Lebih terperinci

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Bahan Diklat Teknis Manajemen Kepala Sekolah SMP di Lingkungan Provinsi Jawa Barat Oleh: Cicih Sutarsih, M.Pd UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Desember 2006 KONSEP DASAR MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Mutu Pendidikan Mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia pendidikan, dimana dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat startegis dalam menentukan arah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional karena merupakan salah satu penentu kemajuan bagi suatu negara (Sagala, 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pentingnya peningkatan kualitas pendidikan sebagai prasyarat mempercepat terwujudnya suatu masyarakat yang demokratis, pendidikan yang berkualitas tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan manfaatnya menurut para pengelola pendidikan membuat suatu

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan manfaatnya menurut para pengelola pendidikan membuat suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan dan merupakan wahana untuk memanusiakan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan yang sempurna.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan faktor yang secara signifikan mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu pembangunan pendidikan memerlukan

Lebih terperinci

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Tjondro Indrasutanto Abstrak. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 RENCANA STRATEGIS Istilah strategy berasal dari kata Yunani strategos dengan kata jamak strategi. Strategos berarti jenderal tetapi dalam Yunani kuno sering berarti perwira

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada mutu output pengajarannya. Bila seluruh guru menunjukkan. pemimpin pengajaran yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan.

BAB I PENDAHULUAN. pada mutu output pengajarannya. Bila seluruh guru menunjukkan. pemimpin pengajaran yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manajemen pembelajaran merupakan salah satu faktor dan indikator terpenting dalam pendidikan karena sekolah merupakan tempat pembelajaran. Dalam proses belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh banyak pihak, baik dilakukan oleh pemerintah maupun

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh banyak pihak, baik dilakukan oleh pemerintah maupun 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Dewasa ini berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh banyak pihak, baik dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Upaya-upaya tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di Indonesia, pendidikan merupakan kebutuhan setiap warga negara agar memperoleh pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi kewenangan ke tingkat sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi kewenangan ke tingkat sekolah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pendidikan dalam otonomi daerah mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini tercermin dalam pola pengelolaan sekolah yang dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan berhubungan dengan proses penyelenggaraan pendidikan, sumber daya manusia

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang berlaku

B A B I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang berlaku 1 B A B I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang berlaku mulai tahun 2001, berusaha

Lebih terperinci

Pelita V diusahakan untuk berubah ke laju peningkatan pemerataan rendah tapi

Pelita V diusahakan untuk berubah ke laju peningkatan pemerataan rendah tapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesadaran pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan saat ini semakin tinggi, hal ini tentu terkait dengan tantangan abad ke-21 terhadap dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdidik yang mampu menjawab tantangan-tantangan yang. masa mengisyaratkan bahwa secara keseluruhan mutu SDM Indonesia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. terdidik yang mampu menjawab tantangan-tantangan yang. masa mengisyaratkan bahwa secara keseluruhan mutu SDM Indonesia saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia (SDM), yaitu tenaga terdidik yang mampu menjawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan desentralisasi tata kelola sistem pendidikan dasar dan menengah sebagai bagian dari pengalihan tanggung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kependidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis

BAB I PENDAHULUAN. kependidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi yang ditandai dengan persaingan yang ketat dalam semua aspek kehidupan, memberi pengaruh terhadap tuntutan akan kualitas sumber daya manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap unit usaha atau organisasi merupakan sebuah sistem, yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap unit usaha atau organisasi merupakan sebuah sistem, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap unit usaha atau organisasi merupakan sebuah sistem, yang terdiri dari berbagai macam komponen yang saling mendukung dalam rangka mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG RENCANA PERKULIAHAN 1. Nama Mata Kuliah 2. Kode / SKS 3. Mata Kuliah Prasyarat 4. Semester 5. Fakultas / Jurusan 6. Dosen / Asisten : Manajemen Mutu Terpadu (MMT) : ADM 505 / 2 : - Teori Sistem (ADM 537)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hampir semua aspek kehidupan manusia. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu

BAB I PENDAHULUAN. hampir semua aspek kehidupan manusia. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Laporan terbaru United Nation Development Programme (UNDP) tahun 2013 menyatakan, Indeks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen

Lebih terperinci

SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) Al Darmono Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Manajemen Berbasis Sekolah merupakan penyerasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang dianut pemangku kebijakan. Kurikulum memiliki. kedudukan yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang dianut pemangku kebijakan. Kurikulum memiliki. kedudukan yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum menjadi komponen acuan oleh setiap satuan pendidikan. Kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, selain itu juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan atau Kurikulum Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan atau Kurikulum Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional kita telah beberapa kali mengalami pembaharuan kurikulum, mulai dari Kurikulum 1994 sampai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau Kurikulum

Lebih terperinci

MATERI KULIAH MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH. By: Estuhono, S.Pd, M.Pd

MATERI KULIAH MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH. By: Estuhono, S.Pd, M.Pd MATERI KULIAH MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH By: Estuhono, S.Pd, M.Pd Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Estuhono, S.Pd, M.Pd Latar Belakang Muncul MBS 1. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI PADA SMA NEGERI 1 SRAGEN DAN SMA NEGERI 1 GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN TESIS. Disusun oleh : AGUS SUHONO

IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI PADA SMA NEGERI 1 SRAGEN DAN SMA NEGERI 1 GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN TESIS. Disusun oleh : AGUS SUHONO IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI PADA SMA NEGERI 1 SRAGEN DAN SMA NEGERI 1 GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN TESIS Disusun oleh : AGUS SUHONO N I M. : Q 100040102 Program Studi : Magister Manajemen Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses reformasi yang sedang bergulir, membawa perubahan yang sangat mendasar pada tatanan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikeluarkannya UU No 22 tahun

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH PADA ERA GLOBALISASI. Paningkat Siburian. Abstrak

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH PADA ERA GLOBALISASI. Paningkat Siburian. Abstrak 30 PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH PADA ERA GLOBALISASI Paningkat Siburian Abstrak Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu model pengelolaan sekolah yang memberdayakan semua pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan di manapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu bentuk investasi sumber daya manusia ( SDM ) yang lebih penting dari investasi modal fisik. Pendidikan memberikan sumbangan yang amat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu wadah yang sangat penting agar warga negara Indonesia dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu wadah yang sangat penting agar warga negara Indonesia dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Madrasah Tsanawiyah selaku lembaga pendidikan formal yang bertujuan menyiapkan para peserta didik (siswa), untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 berdampak ke hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu dampak dari adanya reformasi adalah perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah dan Penegasan Judul. berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah dan Penegasan Judul. berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah dan Penegasan Judul Pendidikan merupakan pondasi utama dalam pengembangan peradaban. Sejak adanya manusia maka sejak saat itu pula pendidikan itu ada. 1 Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia yang berkualitas. Dalam undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia yang berkualitas. Dalam undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peranan kunci dalam pengembangan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Dalam undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, BAB II Pasal 3 tentang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB II KERANGKA TEORITIS BAB II KERANGKA TEORITIS A. Kepemimpinan Siagian (2002) mengemukakan bahwa kepemimpinan memainkan peranan yang dominan, krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang merupakan salah satu pilar pendidikan yaitu masyarakat, karena kegiatannya berlangsung di lingkungan masyarakat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Menurut Suryadi (2011: 2) warga negara berhak memperoleh pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Menurut Suryadi (2011: 2) warga negara berhak memperoleh pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu bangsa. Melalui pendidikan setiap peserta didik difasilitasi, dibimbing

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Manajemen Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional (2001), mendiskripsikan bahwa dalam paradigma baru manajemen manajemen pendidikan menegaskan fungsi-fungsi pendidikan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Oleh karena itu setiap tenaga

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Oleh karena itu setiap tenaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kinerja mengajar guru merupakan komponen paling utama dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Oleh karena itu setiap tenaga pendidik, terutama guru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini terjadi perubahan dalam sistem pengelolaan sekolah, termasuk Sekolah Dasar. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, terjadi desentralisasi pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agar dapat menemukan pendidikan yang bermutu dan dapat meningkatkan. dalam seluruh aktifitas bidang-bidang tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Agar dapat menemukan pendidikan yang bermutu dan dapat meningkatkan. dalam seluruh aktifitas bidang-bidang tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan fondasi yang sangat penting dan esensial bagi keunggulan suatu bangsa. Pendidikan tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan oleh siapapun terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Seutuhnya (Integrated School Development) disingkat SID. dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Seutuhnya (Integrated School Development) disingkat SID. dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui pendidikan pemberdayaan dan kemandirian sekolah dalam mengelola institusinya, telah dilakukan Depdiknas sejak lama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Oleh karena, itu bagi sebuah bangsa

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Oleh karena, itu bagi sebuah bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kualitas pendidikan harus menjadi prioritas utama bagi sebuah bangsa, karena pembangunan sebuah bangsa tidak terlepas dari sebuah pendidikan yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era desentralisasi, pendidikan ini ditekankan pada kebijakan setiap sekolah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal ini dapat dikatakan sebagai implementasi

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN, PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA

IMPLEMENTASI MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN, PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA Surahyo IMPLEMENTASI MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN, PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA Surahyo STIT Muh. Kendal surrahyoisti@gmail.com Abstrak: Implementasi Total Quality Manajement di sekolah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia menuju ke kehidupan yang lebih baik. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutu pendidikan berkaitan erat dengan proses pendidikan. Tanpa proses pelayanan pendidikan yang bermutu tidak mungkin diperoleh produk layanan yang bermutu. Banyak

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Total Quality Management dalam Pendidikan Karakteristik sekolah bermutu terpadu merupakan bagian dari prinsip Total Quality Management atau Manajemen Mutu Terpadu. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Upaya penyelenggaraan pendidikan formal yang berkualitas sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Upaya penyelenggaraan pendidikan formal yang berkualitas sangat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Upaya penyelenggaraan pendidikan formal yang berkualitas sangat berkaitan erat dengan kejelian dan ketepatan dalam mengidentifikasi, memformulasi, mengemas,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Total Quality Management (TQM) sistematis terhadap perencanaan dan manajemen aktivitas. TQM dapat diterapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Total Quality Management (TQM) sistematis terhadap perencanaan dan manajemen aktivitas. TQM dapat diterapkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Total Quality Management (TQM) 1. Pengertian Total Quality Management (TQM) Total Quality Management (TQM) merupakan suatu bukti pendekatan sistematis terhadap perencanaan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan pada satuan pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. M, telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor

BAB I PENDAHULUAN. M, telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dalam bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke 20 M, telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan. Dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dalam bahasa aslinya yakni skhole, scola, scholae atau schola

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dalam bahasa aslinya yakni skhole, scola, scholae atau schola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah dalam bahasa aslinya yakni skhole, scola, scholae atau schola yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Pada jaman dahulu orang orang Yunani memakai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara. Begitu

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara. Begitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Oleh sebab itu hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan dianggap sebagai sebagai suatu investasi yang paling berharga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan dianggap sebagai sebagai suatu investasi yang paling berharga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan dianggap sebagai sebagai suatu investasi yang paling berharga dalam bentuk peningkatan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa. Seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah menimbulkan persaingan dalam berbagai bidang, yang menuntut masyarakat Indonesia untuk

Lebih terperinci