Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronik di Jakarta. Wanda Gautami 1, Elisna Syahruddin 2

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronik di Jakarta. Wanda Gautami 1, Elisna Syahruddin 2"

Transkripsi

1 Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronik di Jakarta Wanda Gautami 1, Elisna Syahruddin 2 1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia wanda.gautami@yahoo.com Abstrak Penyakit respirasi merupakan masalah kesehatan dengan angka kejadian tinggi di Indonesia. Penyakit respirasi kronik seperti asma, pneumonia, tuberkulosis, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) juga merupakan penyebab mortalitas yang tinggi di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah terhadap prevalensi penyakit respirasi kronik yaitu PPOK, batuk kronik, tuberkulosis paru, asma, pneumonia, dan infeksi fungal pada penghuni rumah susun di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan alat ukur berupa kuesioner. Penelitian dilakukan terhadap 120 keluarga yang tinggal di rumah susun menengah kebawah di Jakarta pada tahun Variabel lingkungan yang diteliti meliputi ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, sarana sanitasi, suhu udara, dan kelembaban udara. Dari 120 keluarga, didapatkan 513 data penghuni rumah susun dengan prevalensi penyakit respirasi secara total sebesar 41,9%, secara rinci yaitu prevalensi tuberkulosis paru sebesar 7,6%, PPOK sebesar 1,8%, asma sebesar 1,0%, infeksi fungal sebesar 0,8%, pneumonia sebesar 0,2%, batuk kronik sebesar 0,6%, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebesar 32,9%. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara prevalensi penyakit respirasi kronik dengan ventilasi rumah susun (p=0,042), dan dengan pencahayaan dalam rumah susun (p=0,003). Penyakit respirasi kronik memiliki hubungan dengan keadaan lingkungan yaitu ventilasi dan pencahayaan pada penghuni rumah susun di Jakarta. Relationship between Environmental Condition of Flat and Prevalence of Chronic Respiration Disease in Jakarta Abstract Respiratory disease is one of the highest prevalence health problem in Indonesia. Chronic respiratory disease such as asthma, pneumonia, tuberculosis, and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) are the top leading cause of mortality in Indonesia. The objective of this study is to know the relationship between flat environmental condition and prevalence of chronic respiratory disease, which is COPD, chronic cough, tuberculosis, asthma, pneumonia, and fungal infection of flat occupiers in Jakarta. This study was an observational research using cross-sectional design. Data was obtained through questionnaire. This study was conducted on 120 families who live in lower middle flats in Jakarta on 2012 The environmental variables of this study specifically include ventilation area, natural lighting in the house, occupancy density, basic sanitation facilities, temperature, and humidity of the flats. From 120 family, 513 data of flat occupiers in Jakarta is obtained with the prevalence of respiratory disease in a total of 41.9%, specifically tuberculosis with prevalence of 7,6%, COPD with 1,8%, asthma with 1,0%, fungal infection with 0,8%, pneumonia with 0,2%, chronic cough with 0,6%, and acute respiratory infection with 32,9%. Significant relationship was obtained between prevalence of chronic respiratory disease and ventilation area (p=0,042), and also with natural lighting in the house (p=0,003). In conclusion, the ventilation area and natural lightning in the house are the environmental factors contributing for the prevalence of chronic respiratory disease of flat occupiers in Jakarta.

2 Keywords : Chronic respiratory disease, Environmental condition, Flat, Jakarta Pendahuluan Penyakit respirasi merupakan masalah kesehatan yang mendominasi di Indonesia. Salah satu penyakit respirasi yang memiliki angka prevalensi dan angka mortalitas tinggi yaitu Tuberkulosis (TB). World Health Organization (WHO) memperkirakan setidaknya delapan juta orang terserang TB dengan tiga juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya. Penyakit Tuberkulosis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia memiliki prevalensi TB sebesar 285 per penduduk dengan angka kematian yaitu sebesar 27 kematian per penduduk setiap tahunnya. Insidens TB pada tahun 2012 sendiri yaitu sebesar kasus. 1,2 Tidak hanya tuberkulosis paru, penyakit respirasi lainnya seperti penyakit paru obstruktif kronik, asma, dan pneumonia juga memiliki angka kejadian dan mortalitas yang tinggi di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Indonesia pada tahun 1992 mencatat bahwa penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab kematian tertinggi ke-empat di Indonesia. Data riskesdas 2007 didapatkan bahwa prevalensi asma di Indonesia mencapai 4.0%. Perlu menjadi perhatian juga bahwa pada tahun 2010, Riskesdas mencatat sebanyak kasus pneumonia pada anak dengan angka mortalitas mencapai 22.3%. 3,4 Studi ini dilakukan di rumah susun di Jakarta, secara khusus di rumah susun kelas menengah kebawah. Hal ini didasari oleh maraknya pembangunan rumah susun di Jakarta mengingat kurangnya lahan pemukiman di kota Jakarta, dengan jumlah penduduk yang sudah melebihi 10 juta penduduk pada tahun Rumah susun yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah kepadatan pemukiman, ternyata menyebabkan rendahnya kualitias lingkungan rumah susun di Jakarta. Sehingga muncul suatu pertanyaan, bagaimanakah prevalensi masalah kesehatan respirasi di rumah susun, dan bagaimana hubungannya dengan kondisi lingkungan di rumah susun di Jakarta. Masalah prevalensi penyakit respirasi kronik yang tinggi di Indonesia, dan lingkungan rumah di Jakarta yang padat dan kurang memenuhi syarat mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi penyakit respirasi kronik tersebut dan hubungannya dengan lingkungan tinggal responden, khususnya lingkungan rumah susun.

3 Penelitian ini dilakukan di Jakarta pada beberapa rumah susun untuk menilai kondisi lingkungan rumah susun dan hubungannya dengan prevalensi masalah kesehatan respirasi kronik tersebut. Tinjauan Teoritis Lingkungan didefinisikan WHO sebagai seluruh faktor fisik, kimiawi, dan biologis yang bersifat eksternal terhadap manusia. Kesehatan lingkungan meliputi faktor-faktor lingkungan yang berpotensi mempengaruhi kesehatan. Kesehatan lingkungan ditargetkan untuk mencegah penyakit dan menciptakan kesehatan lingkungan yang mendukung untuk terciptanya kesehatan. Faktor lingkungan sebagai faktor eksternal merupakan faktor yang berperan penting dalam terjadinya suatu penyakit. 6 Sirkulasi udara yang adekuat merupakan komponen utama dalam rumah yang diperlukan untuk menjaga sagar udara tetap bersih. Sirkulasi udara yang adekuat dapat diperoleh melalui kondisi ventilasi rumah. Ventilasi yang memenuhi syarat penghawaan rumah, yaitu luas ventilasi rumah >10% dari luas lantai, akan menyebabkan aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O 2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O 2 dan tingginya kadar CO 2 yang berbahaya bagi kesehatan respirasi. Ventilasi yang baik akan mengencerkan konsentrasi mikroorganisme patogen dan alergen penyebab penyakit respirasi, sehingga menurunkan penularan penyakit saluran pernapasan. Sementara itu, ventilasi yang buruk mengakibatkan pergantian udara yang tidak adekuat, sehingga udara menjadi kotor akan mikroorganisme patogen penyebab penyakit respirasi. 6,7 Selain ventilasi yang baik, pencahayaan alami juga diperlukan untuk menjaga kesehatan respirasi. Luas lubang pencahayaan alami rumah untuk masuknya sinar matahari yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai. Sinar matahari secara langsung yang masuk ke dalam ruangan mengandung sinar ultraviolet yang dapat membunuh berbagai jenis bakteri penyebab penyakit respirasi, misalnya bakteri M.tuberculosis penyebab tuberkulosis paru dan parasit tungau debu rumah yang merupakan alergen tersering asma Menjaga suhu dan kelembaban udara rumah sesuai syarat merupakan faktor penting dalam mencegah penyakit respirasi. Suhu udara yang baik untuk pemukiman berkisar antara 18 0 C 30 0 C, dan kelembaban udara yaitu berkisar antara 40% - 70%. Berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan kelembaban udara dengan kejadian penyakit

4 respirasi yaitu tuberkulosis paru. Suhu udara yang memenuhi syarat penting untuk mencegah faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan seperti penyakit respirasi. Disamping itu, kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko yang berperan dalam infeksi saluran pernapasan Selain faktor-faktor tersebut, studi ini juga mengemukakan hubungan antara kepadatan hunian dan sanitasi rumah dengan prevalensi penyakit respirasi. Kebutuhan ruang per orang adalah 9 m 2. Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan antara koloni bakteri dengan kepadatan penghuni. Tingginya jumlah mikroorganisme penyebab penyakit respirasi dalam rumah dengan kepadatan hunian yang tinggi akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit. Selain itu, sanitasi rumah yang buruk dapat meningkatkan insidens penyakit tertentu. 8,10,14 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian cross-sectional untuk mengetahui prevalensi masalah kesehatan respirasi dan hubungannya dengan kondisi lingungan penghuni rumah susun di Jakarta. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Januari 2013 di berbagai rumah susun di Jakarta. Dari 73 rumah susun yang terdapat di wilayah Jakarta, didapatkan sebanyak 44 rumah susun kelas menengah kebawah. Dari rumah susun tersebut, dipilih tiga rumah susun secara random. Rumah susun yang terpilih berasal dari kotamadya yang berbeda, yakni rumah susun Tanah Tinggi di wilayah Jakarta Pusat, rumah susun Tambora di wilayah Jakarta Barat, rumah susun Tanah Pasir Penjaringan di wilayah Jakarta Utara. Pada masing-masing rumah susun pemilihan rumah responden juga dilakukan secara simple random sampling. Penelitian dilakukan terhadap 120 keluarga yang menempati rumah susun. Pengumpulan data dilakukan secara langsung kepada responden secara door to door. Data diperoleh dari data primer melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner yang sudah divalidasi sebelumnya. Pertanyaan pada kuesioner mencakup data umum responden, data penyakit respirasi yang pernah diderita masing-masing anggota keluarga sebagai komponen variabel dependen, dan data kondisi lingkungan sebagai komponen variabel independen pada studi ini. Sebelum melakukan wawancara pada responden, informed consent terlebih dahulu diberikan. Kuesioner dibacakan oleh peneliti, dan responden boleh bertanya jika merasa tidak jelas. Jika

5 subjek tidak bersedia, maka peneliti memilih rumah dengan nomor selanjutnya. Setelah wawancara selesai, pengumpulan data dilanjutkan dengan pengukuran suhu udara dan kelembaban udara rumah. Penyakit respirasi pada penelitian ini didefinisikan sebagai Penyakit saluran pernapasan dan penyakit paru, yang mencakup penyakit respirasi obstruksi yaitu asma dan PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), batuk kronik, dan penyakit respirasi infeksi yaitu pneumonia, tuberkulosis paru, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan infeksi fungal. Penyakit respirasi yang didata hanya berdasarkan hasil diagnosis tenaga kesehatan. Penyakit repirasi yang mungkin diderita responden namun belum didiagnosis tenaga kesehatan, tidak tercakup dalam penelitian ini. Penelitian ini telah mendapatkan izin etik berupa persetujuan kajian etik penelitian oleh Modul Riset Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Data kemudian diolah menggunakan program SPSS 11.5 for Windows. Data deskriptif disajikan dalam bentuk persentase, dan data analitik berupa kategorik-kategorik yang menyatakan hubungan, diolah dengan uji Chi square. Apabila hasil analisis data kategorik-kategorik tidak memenuhi syarat uji Chi square, maka digunakan uji Fischer exact test. Data analitik kategorik numerik dengan sebaran normal akan dianalisis dengan uji T-independen, sedangkan data analitik dengan sebaran data tidak normal akan diuji dengan uji Mann-Whitney. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan terhadap 120 keluarga yang menempati rumah susun, dimana 120 responden memenuhi kriteria inklusi dan diwawancarai secara penuh. Dari 120 data rumah susun yang diperoleh, seluruh data memenuhi syarat untuk analisis. Dan dari 120 keluarga tersebut, diperoleh 513 data penghuni rumah susun. Dari 513 penghuni rumah susun, didapatkan prevalensi penderita penyakit respirasi pada penghuni rumah susun di Jakarta yaitu sebesar 41,9%. Penyakit respirasi yang termasuk pada penelitian ini yaitu Penyakit respirasi obstruksi yaitu asma dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), serta penyakit respirasi infeksi yaitu pneumonia, tuberkulosis paru, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dan infeksi fungal. Sementara itu, dengan mengeksklusi prevalensi infeksi saluran pernapasan akut, maka didapat prevalensi penyakit respirasi kronik pada penghuni rumah susun di Jakarta yaitu sebesar 11,3%.

6 Tabel 1. Gambaran prevalensi penyakit respirasi penduduk rumah susun di Jakarta Penyakit Respirasi Kategori Ya (%) Tidak (%) PPOK Batuk kronik Tuberkulosis paru Asma Pneumonia Infeksi jamur Infeksi saluran pernapasan akut 9 (1,8) 3 (0,6) 39 (7,6) 5 (1,0) 1 (0,2) 4 (0,8) 169 (32,9) 504 (98,2) 510 (99,4) 474 (92,4) 508 (99,0) 512 (99,8) 509 (99,2) 334 (67,1) Tabel 1 menunjukkan hasil gambaran prevalensi tiap penyakit respirasi, yang meliputi prevalensi PPOK, batuk kronik, TB paru, amsa, pneumonia, infeksi fungal, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Kejadian penyakit respirasi tersering yaitu infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan prevalensi 32,9% diikuti dengan prevalensi TB paru yang mencapai angka 7,6%. Prevalensi penyakit respirasi lainnya yaitu PPOK dengan 1,8%, asma dengan 1,0%, infeksi jamur dengan 0,8%, batuk kronik dengan 0,6%, dan pneumonia dengan 0,2%. Dari 120 rumah susun, 10% dari rumah susun tidak memiliki ventilasi yang baik, dan 8,3% diantaranya juga tidak memiliki lubang asap untuk sirkulasi di dapur. Sejumlah 25% dari keseluruhan rumah susun tidak memiliki lubang pencahayaan yang baik untuk masuknya sinar matahari ke dalam rumah. Rata-rata suhu udara dalam rumah susun didapatkan sebesar 31,6 C. Sebanyak 91,7% rumah susun memiliki suhu udara diatas 30 C yang melebihi batas normal suhu udara yang baik. Sementara itu, rata-rata kelembaban udara didapatkan sebesar 64,3%. Sebanyak 97,5% rumah susun memiliki kelembapan udara dalam batas normal yaitu 40-70%. Luas rumah susun dengan sebaran data tidak normal didapatkan median yaitu sebesar 18 m 2. Kepadatan penduduk juga dengan sebaran data tidak normal pada rumah susun di Jakarta yaitu dengan median 4,5 m 2 per orang, nilai kepadatan minimal sebesar 1,3 m 2 per orang, dan nilai kepadatan maksimal 18 m 2 per orang. Kebutuhan ruang yang baik dan memenuhi syarat adalah sebesar 9 m 2 per orang. Dari klasifikasi tersebut, diperoleh 90,9% kepadatan hunian

7 rumah susun di Jakarta tidak memenuhi syarat. Angka tersebut menunjukkan tingginya kepadatan hunian rumah susun di Jakarta. Seluruh rumah susun di Jakarta sudah memiliki akses terhadap sumber air minum yang baik, baik dari air kemasan maupun air ledeng. Dan seluruh rumah susun di Jakarta sudah memiliki jamban yang memenuhi kriteria jamban sehat. Dari segi jarak rumah dengan lokasi pembuangan limbah, didapatkan 32,5% rumah susun berjarak kurang dari 5 m dengan lokasi pembuangan limbah. Tabel 2. Hubungan antara faktor lingkungan dengan penyakit respirasi kronik pada anggota keluarga Variabel Penyakit respirasi kronik Ya Tidak Uji Kemaknaan P Ventilasi Memenuhi syarat (%) 31 (28,7) 77 (71,3) Fisher exact test 0,042 Tidak memenuhi syarat (%) 7 (58,3) 5 (41,7) Pencahayaan Memenuhi syarat (%) 22 (24,4) 68 (75,6) Chi square 0,03 Tidak memenuhi syarat (%) 16 (53,3) 14 (46,7) Kepadatan Memenuhi syarat (%) 1 (9,1) 10 (90,9) Fisher exact test 0,170 Tidak memenuhi syarat (%) 37 (33,94) 72 (66,06) Sarana sanitasi Memenuhi syarat (%) 29 (35,8) 52 (64,2) Chi square 0,160 Tidak memenuhi syarat (%) 9 (23,1) 30 (76,9) Tabel 2 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan berupa ventilasi dan pencahayaan rumah dengan prevalensi penyakit respirasi kronik yaitu PPOK, TB paru, batuk kronik, pneumonia, infeksi fungal, dan asma. Sementara itu, faktor kepadatan hunian dan sarana sanitasi tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan prevalensi penyakit respirasi kronik.

8 Tabel 3. Hubungan antara suhu udara dan kelembaban udara dengan prevalensi penyakit respirasi kronik pada anggota keluarga Variabel Penyakit respirasi kronik Nilai rerata Uji kemaknaan P Suhu udara Ya 31,576 C Tidak 31,624 C Uji T-independen 0,550 * Kelembaban udara Ya 64,539 % Tidak 64,238 % Uji T-independen 0,761 * Tabel 3 menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara suhu udara dan kelembaban udara dengan prevalensi penyakit respirasi kronik. Tidak terdapat perbedaan ratarata suhu udara yang signifikan antara rumah dengan anggota keluarga yang pernah menderita penyakit respirasi kronik dan rumah dengan anggota keluarga yang tidak pernah menderita penyakti respirasi kronik. Juga tidak terdapat perbedaan rata-rata kelembaban udara yang signifikan antara dua kelompok rumah susun tersebut. Pembahasan Prevalensi penyakit respirasi yaitu tuberkulosis paru (TB paru) pada penghuni rumah susun di Jakarta didapatkan sebesar 7,6%. Angka ini merupakan angka yang tinggi dibandingkan dengan Riskesdas pada tahun 2010 dimana prevalensi TB paru pada provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 1,03%. 1 Tingginya prevalensi TB paru penduduk rumah susun dibandingkan dengan di kota Jakarta pada umumnya, menunjukkan bahwa penduduk rumah susun lebih rentan terinfeksi TB paru. Selain itu, tingginya kesadaran masyarakat rumah susun akan tuberkulosis sebagai penyakit respirasi menyebabkan tingginya prevalensi tuberkulosis paru dibandingkan dengan prevalensi penyakit respirasi lainnya. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan prevalensi penyakit respirasi kronik masyarakat rumah susun, dengan nilai p= 0,042. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ruswanto, dkk. 10 menunjukkan hubungan ventilasi rumah sebagai faktor lingkungan dengan kasus tuberkulosis, dengan nilai p= 0,014. Kedua penelitian menggunakan standar yaitu ventilasi memenuhi syarat apabila luas ventilasi 10% luas lantai dan ventilasi tidak memenuhi syarat apabila luas ventilasi rumah < 10% dari luas lantai. Kedua hasil merujuk pada suatu hubungan yang bermakna bahwa penyakit respirasi kronik,

9 yaitu tuberkulosis memiliki hubungan dengan keadaaan ventilasi rumah, baik itu di Jakarta secara umum, maupun secara spesifik di rumah susun di Jakarta. Penelitian lainnya oleh Komang, dkk. 15 terhadap kasus penyakit tuberkulosis paru sebagai penyakit respirasi kronik menunjukkan hasil yang serupa, dimana sebagian besar (82%) dari penderita TB paru tersebut memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat. Andani, dkk. 16 melalui penelitiannya juga menyimpulkan bahwa risiko untuk menderita tuberkulosis paru sebesar lima kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat. Dari aspek penyakit respirasi kronik lainnya yaitu pneumonia, ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat juga berhubungan dengan kejadian pneumonia, seperti yang ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Yuwono, dkk. 17 Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan penyakit respirasi infeksi yaitu pneumonia dan tuberkulosis paru. Hal yang mendasarinya adalah luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat akan menciptakan suatu sirkulasi udara yang baik, sehingga memungkinkan bakteri-bakteri patogen penyebab penyakit respirasi infeksi tersebut tidak terkonsentrasi tinggi dalam rumah Polusi udara, misalnya asap rokok dalam ruangan merupakan salah satu faktor pencetus asma dan penyakit paru obstruktif lainnya. Polusi udara dalam ruangan disebabkan oleh ventilasi udara yang tidak baik, dan apabila terdapat sumber polusi dalam ruangan tersebut. Oemiyati, dkk. 18 dalam penelitiannya terhadap asma menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara polusi udara dalam rumah dengan prevalensi penderita asma. Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang sejalan dengan studi ini dimana didapatkan hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan penyakit respirasi kronik, termasuk didalamnya asma. Hal yang mendasarinya yaitu ventilasi yang baik akan menurunkan polusi udara berupa konsentrasi alergen maupun zat iritan lainnya yang dapat mencetuskan penyakit respirasi obstruktif seperti asma dan PPOK. Luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat penghawaan rumah, yaitu luas ventilasi rumah < 10 % dari luas lantai, akan mengakibatkan pergantian udara yang tidak adekuat, sehingga udara menjadi kotor akan mikroorganisme patogen penyebab penyakit respirasi. Di lain pihak, ventilasi yang baik akan mengencerkan konsentrasi mikroorganisme patogen dan alergen penyebab penyakit respirasi, sehingga menurunkan penularan penyakit saluran pernapasan. 6-7

10 Selain ventilasi, hasil studi ini juga menunjukkan adanya hubungan antara pencahayaan dengan prevalensi penyakit respirasi kronik, dengan nilai p= 0,03. Penelitian serupa oleh Ruswanto, dkk. 10 menunjukkan kesimpulan yang serupa bahwa terdapat hubungan antara kurangnya pencahayaan alami dalam rumah dengan angka kejadian sebagian besar penyakit respirasi kronik yaitu tuberkulosis paru. Penelitian lainnya oleh Andani, dkk. 16 menunjukkan bahwa risiko untuk menderita tuberkulosis Paru sembilan kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat kesehatan. Hal yang mendasari ialah pencahayaan alamiah yakni sinar matahari yang adekuat merupakan faktor yang penting dalam menunjang kesehatan respirasi, karena cahaya matahari dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman penyebab tuberkulosis paru yaitu Mycobacteium tuberculosis. Dari aspek penyakit respirasi kronik lain, sinar matahari juga dapat membunuh mikroorganisme pencetus penyakit respirasi obstruktif yaitu asma, misalnya akibat alergen yang dihasilkan oleh tungau debu rumah maupun mikroorganisme lainnya. Penelitian oleh Needham, dkk. 9 dan penelitian oleh Faraliana, dkk. 19 menunjukkan bahwa sinar ultraviolet dapat menghentikan siklus hidup tungau debu rumah sehingga dapat menghentikan produksi alergen pencetus asma. Studi ini juga menilai dari sudut pandang yang sama, dimana hubungan antara pencahayaan dengan penyakit repsirasi kronik berupa tuberkulosis paru, pneumonia, infeksi fungal, dan penyakit obtruktif paru pada penghuni rumah susun didasarkan pada sinar matahari langsung yang dapat membunuh berbagai mikroorganisme patogen penyebab maupun pencetus penyakit respirasi. 6 Berbeda dengan faktor ventilasi rumah dan faktor pencahayaan yang didapatkan memiliki hubungan bermakna dengan penyakit respirasi kronik, faktor kepadatan hunian menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan rumah dengan prevalensi penyakit respirasi kronik masyarakat rumah susun, dengan nilai p= 0,170. Kepadatan hunian rumah susun diperoleh dari hasil luas total rumah dengan jumlah penghuni dalam rumah susun tersebut. Kepadatan rumah dikatakan memenuhi syarat apabila kepadatan memiliki nilai 9 m 2 per orang. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Moha 20 memberikan hasil bahwa tidak ada pengaruh antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis paru di kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Gorontalo. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa banyak dari penghuni rumah lebih sering beraktivitas diluar rumah saat siang hari dan pulang hanya

11 waktu-waktu istirahat saja, sehingga tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis paru pada daerah tersebut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ruchban 21 juga memberikan hasil serupa dimana disimpulkan tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis paru. Disebutkan bahwa responden pada penelitian tersebut mempunyai pengetahuan yang baik dalam upaya pencegahan penyakit TB Paru, dimana pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Tidak didapatkannya hubungan bermakna antara variabel kepadatan hunian dengan prevalensi penyakit respirasi kronik pada penelitian ini disebabkan karena sebagian besar responden tinggal pada rumah dengan ukuran yang tidak jauh berbeda dan sebagian besar memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat. Adanya kesamaan keadaan kepadatan penghuni menyebabkan angka prevalensi penyakit respirasi kronik yang tidak dipengaruhi oleh kepadatan hunian, tetapi karena faktor lain. Penelitian ini menilai adanya prevalensi penyakit respirasi kronik pada anggota keluarga responden, akan tetapi penelitian ini tidak menilai frekuensi penularan antara anggota keluarga dalam hunian yang sama. Kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat akan meningkatkan kemungkinan penularan antara anggota penghuni rumah, namun tidak berkaitan dengan penularan antar rumah susun yang satu dengan rumah susun yang lain. Sehingga menurut penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan penyakit respirasi kronik. Hal yang dapat dipengaruhi oleh kepadatan hunian adalah penularan antar anggota keluarga, sehingga merupakan salah satu kekurangan dari penelitian ini karena tidak meneliti tentang hal tersebut. Selain dengan faktor kepadatan hunian, penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara ketersediaan sarana sanitasi berupa sarana air bersih, jamban keluarga, dan tempat pembuangan sampah dengan prevalensi penyakit respirasi kronik masyarakat rumah susun, dengan nilai p= 0,160. Sarana air bersih, jamban keluarga, dan tempat pembuangan sampah dapat memudahkan penularan penyakit infeksi yang memiliki vektor penularan berupa air seperti diare dan penyakit kulit, tetapi kurang menunjukkan hubungan dengan penularan penyakit respirasi infeksi yang memiliki vektor penularan berupa udara. Sarana sanitasi berupa ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban sehat, dan lokasi tempat pembuangan sampah yang jauh dari rumah merupakan hal yang penting untuk tercapainya rumah yang sehat. Akan tetapi menurut penelitian ini, sarana sanitasi tidak berhubungan

12 dengan prevalensi penyakit respitasi kronik seperti penyakit respirasi infeksi berupa pneumonia, tuberkulosis, dan penyakit paru obstruktif seperti asma dan PPOK, dikarenakan keseragaman keadaan sarana sanitasi rumah susun di Jakarta. Seluruh rumah susun di Jakarta sudah memiliki jamban keluarga yang sehat dan sudah memiliki sarana air bersih yang baik. Rumah susun di Jakarta memiliki tempat pembuangan sampah sementara di dekat bangunan rumah susun tersebut, sehingga jarak antara masing-masing rumah susun dengan tempat pembuangan sampah sementara tersebut tidak jauh berbeda. Selanjutnya terhadap faktor suhu udara, pada penelitian ini didapatkan nilai rerata suhu udara pada kelompok rumah dengan anggota keluarga menderita penyakit respirasi kronik tidak jauh berbeda dengan rerata kelompok rumah dengan anggota keluarga yang tidak menderita penyakit respirasi kronik, dengan nilai p=0,550. Sehingga pada penelitian ini didapat bahwa suhu udara dalam rumah tidak berhubungan dengan prevalensi penyakit respirasi kronik. Sebaran data suhu udara dalam rumah susun di Jakarta diperoleh normal, dengan rata-rata 31,6 C dan dengan standar deviasi 1,0 C. Hubungan antara suhu udara dengan prevalensi penyakit respirasi kronik pada penelitian ini tidak bermakna disebabkan karena adanya keseragaman suhu udara dalam rumah susun di Jakarta. Secara umum, sebagian besar kondisi rumah susun di Jakarta memiliki suhu udara yang tidak memenuhi syarat, yaitu 97,1 % dengan suhu udara dalam rumah >30 C. Kondisi suhu udara yang tinggi tersebut dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingginya prevalensi tuberkulosis paru di rumah susun Jakarta dibandingkan dengan prevalensi tuberkulosis paru di Jakarta secara umum. Demikian sehingga kekurangan dari penelitian ini adalah tidak membandingkan prevalensi tuberkulosis paru antara daerah dengan suhu lebih rendah di Jakarta dengan prevalensi tuberkulosis paru pada daerah dengan suhu yang lebih tinggi, misalnya di rumah susun. Disamping itu, pada penelitian ini juga didapatkan bahwa didapatkan nilai rerata kelembaban udara pada kelompok rumah dengan anggota keluarga menderita penyakit respirasi kronik tidak jauh berbeda dengan rerata kelembaban udara kelompok rumah dengan anggota keluarga yang tidak menderita penyakit respirasi kronik, dengan nilai p= 0,761. Sehingga, dapat disimpulkan pada penelitian ini bahwa kelembaban udara dalam rumah tidak berhubungan dengan prevalensi penyakit respirasi kronik. Kelembaban udara rumah susun pada penelitian ini memiliki sebaran normal dengan rata-rata 64,3%, dan dengan standar deviasi 3,2%.

13 Hasil penelitian mengenai hubungan antara kelembaban udara dengan prevalensi respirasi kronik tidak bermakna disebabkan karena keseragaman data kelembaban udara, dimana kelembaban udara pada rumah susun di Jakarta diperoleh sebanyak 97,5% memenuhi syarat, yaitu berkisar antara 40%-70%. Adanya kesamaan kelembaban udara dalam rumah susun di Jakarta menyebabkan prevalensi penyakit respirasi kronik yang tidak berhubungan dengan kelembaban udara, tetapi dapat berhubungan dengan faktor lainnya. Kesimpulan Prevalensi penyakit respirasi di rumah susun di Jakarta yaitu tuberkulosis paru 7,6%, PPOK 1,8%, asma 1,0%, infeksi fungal 0,8%, batuk kronik 0,6%, pneumonia 0,2%, dan infeksi saluran pernapasan akut 32,9%. Lingkungan rumah susun di Jakarta sebagian besar telah memenuhi syarat, sedangkan untuk pencahayaan, suhu udara, dan kepadatan hunian belum memenuhi syarat. Faktor lingkungan rumah susun yang menunjukkan adanya hubungan dengan prevalensi penyakit respirasi kronik yaitu ventilasi dan pencahayaan dalam rumah susun. Saran Prevalensi penyakit respirasi kronik dipengaruhi oleh faktor risiko lingkungan yaitu ventilasi dan pencahayaan dalam rumah. Untuk mengatasi hal ini, maka saran yang dapat disampaikan yaitu agar masyarakat rumah susun dianjurkan berperan aktif dalam menjaga kondisi lingkungan rumah, terutama ventilasi dan pencahayaan, yaitu dengan membuka jendela rumah untuk ventilasi secara periodik atau dengan menggunakan alat elektronik yang dapat menjaga ventilasi rumah, dan dengan membuka lubang pencahayaan untuk masuknya cahaya matahari secara rutin. Diharapkan juga agar pemerintah dapat memberi perhatian terhadap kondisi lingkungan rumah susun, yaitu dengan memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan rumah susun selanjutnya, juga dengan mengadakan penyuluhan terkait masalah kesehatan dan bagaimana mejaga kondisi lingkungan rumah yang baik untuk kesehatan.

14 Daftar Referensi 1. Sedyaningsih, E.R. (2010). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2. World Health Organisation. (2012). Global Health Observatory Data Repository: Tuberculosis. Accessed on November 24, 2012 from: 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Konsensus ASMA: Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Penulis. 4. Soendoro, T. (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007: Laporan Nasional Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 5. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2011). Jumlah penduduk provinsi DKI Jakarta. Accessed on November 24, 2012 from: 6. Prüss-Üstün, A., Corvalán, C. (2006). Preventing Disease Through Healthy Environment: Towards an Estimate of the Environmental Burden of Disease. World Health Organization. 7. Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. 8. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No.403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat. 9. Needham, G., Begg, C., Buchanan, S. (2006). Ultraviolet C exposure is fatal to american house dust mite eggs. The Journal of Allergy and Clinical Immunology, 117(2), S Ruswanto, B., Nurjazuli, Raharjo. M. (2012). Analisis spasial sebaran kasus tuberkulosis paru ditinjau dari faktor lingkungan dalam dan luar rumah di Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1). 11. Keman, S.(2003). Kesehatan perumahan dan lingkungan perumahan. Jurnal kesehatan lingkungan, 2(1), Keputusan Menteri Kesehatan No.829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. 13. Rylander, R., Megevand, Y. (2000). Environmental risk factors for respiratory infections. Archives of Environmental Health, 55(5), Chandra, B. (2006). Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

15 15. Komang, Ishak, H., Daud, A. (2010). Analisis spasial sebaran kasus tuberkulosis ditinjau dari faktor lingkungan dalam rumah di kabupaten Luwu utara. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. 16. Andani, H., Mahastuti, A. (2006). Hubungan kondisi rumah dengan penyakit TBC paru di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gubungkidul tahun Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. 17. Yuwono, T.A. (2008). Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di wilayah kerja puskesmas kawunganten kabupaten Cilacap. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. 18. Hapsari, D., Sari, P., Supraptini. (2008). Hubungan perilaku merokok, aktivitas fisik dan polusi udara indoor dengan penyakit asma pada usia 15 tahun (analisis data susenas 2004 & SKRT 2004). Media Litbang Kesehatan, 18(1), Faraliana, E., Azreen, N., Ming, H.T. (2012). Effect of germicidal UV-C light on eggs and adult house dustmites Dermatophagoides pteronyssinus and Dermatophagoides farinae. Asia Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 2(9), Moha, S.R. (2012). Pengaruh kondisi fisik rumah terhadap kejadian penyakit TB paru di Desa pinolosian, kabupaten Bolaang Mongondow Selatan tahun Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo. 21. Ruchban, N. (2012). Hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone. Public Health Journal. 1(1).

Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronis di Jakarta

Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronis di Jakarta Wanda Gautami, Elisna Syahruddin ejki Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronis di Jakarta Wanda Gautami, 1 Elisna Syahruddin 2 1 Program Studi Pendidikan Dokter,

Lebih terperinci

Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronis di Jakarta

Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronis di Jakarta dengan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronis di Jakarta Wanda Gautami, 1 Elisna Syahruddin 2 1 Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2 Departemen Pulmonologi

Lebih terperinci

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan Hubungan antara Polusi Udara Dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia Balita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama penyakit pada bayi usia 1-6 tahun. ISPA merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan pada orang dewasa,

Lebih terperinci

Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dengan Masalah Kesehatan Respirasi di Pemukiman Kumuh Jakarta

Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dengan Masalah Kesehatan Respirasi di Pemukiman Kumuh Jakarta 1 Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dengan Masalah Kesehatan Respirasi di Pemukiman Kumuh Jakarta Dina Faizah, Elisna Syahruddin Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN Mira Yunita 1, Adriana Palimbo 2, Rina Al-Kahfi 3 1 Mahasiswa, Prodi Ilmu

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan pada orang dewasa,

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado **Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado **Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAILANG KECAMATAN BUNAKEN KOTA MANADO TAHUN 2014 Merry M. Senduk*, Ricky C. Sondakh*,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Infeksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan.

BAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja Puskesmas

Lebih terperinci

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Candi Lama Kecamatan Candisari Kota Semarang) Esty Kurniasih, Suhartono, Nurjazuli Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Arah kebijaksanaan dalam bidang kesehatan yang diamanatkan dalam ketetapan MPR R.I No. IVMPR/1999 tentang GBHN 1999/2004 salah satunya adalah meningkatkan mutu sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia masih merupakan pembunuh utama balita di seluruh dunia, berdasarkan perkiraan WHO setiap tahun pneumonia membunuh balita sebanyak 1 juta sebelum ulang tahun

Lebih terperinci

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012 Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012 ABSTRAK Likyanto Karim. 2012. Hubungan Sanitasi Rumah Dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas) 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Geografi Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas) Puskesmas yang ada di Kabupeten Pohuwato, dimana

Lebih terperinci

ANALISA FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU Dhilah Harfadhilah* Nur Nasry Noor** I Nyoman Sunarka***

ANALISA FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU Dhilah Harfadhilah* Nur Nasry Noor** I Nyoman Sunarka*** ANALISA FAKT RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU Dhilah Harfadhilah* Nur Nasry Noor** I Nyoman Sunarka*** * Program Studi Pendidikan Dokter UHO ** Bagian Kimia Bahan Alam Prodi Farmasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian / lebih dari saluran nafas mulai hidung alveoli termasuk adneksanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan Nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan yang tercantum dalam Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis ( mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis bersifat tahan

Lebih terperinci

The Effect of House Environment on Pneumonia Incidence in Tambakrejo Health Center in Surabaya

The Effect of House Environment on Pneumonia Incidence in Tambakrejo Health Center in Surabaya PENGARUH KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMBAKREJO KECAMATAN SIMOKERTO SURABAYA The Effect of House Environment on Pneumonia Incidence in

Lebih terperinci

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014 HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA Herlina 1, Erris 2* 1 STIKes Prima Jambi 2 Politeknik Kesehatan Jambi Jurusan Kesehatan Lingkungan *Korespondensi penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan. kepada orang lain (Adnani & Mahastuti, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. setelah melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan. kepada orang lain (Adnani & Mahastuti, 2006). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah adalah tempat hunian atau berlindung dari pengaruh keadaan alam sekitarnya (hujan dan panas) serta merupakan tempat untuk beristirahat setelah melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) khususnya Pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan Balita. Pneumonia

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 JURNAL KEBIDANAN Vol 1, No 2, Juli 2015: 57-62 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 Ana Mariza

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi akut saluran pernafasan yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Penyakit ini merupakan infeksi serius yang dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah dasar fundamental bagi pembangunan manusia. Tanpa memandang status sosial semua orang menjadikan kesehatan sebagai prioritas utama dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Masalah Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Menurut anatomi, pneumonia pada anak dibedakan menjadi pneumonia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia sehat 2010 (RPKMIS), masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SIMPANG KIRI KOTA SUBULUSSALAM TAHUN 2012

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SIMPANG KIRI KOTA SUBULUSSALAM TAHUN 2012 HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SIMPANG KIRI KOTA SUBULUSSALAM TAHUN 22 Melisah Pitri Siregar 1, Wirsal Hasan 2, Taufik Ashar 3 1 Program Sarjana Fakultas

Lebih terperinci

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare Merry Tyas Anggraini 1, Dian Aviyanti 1, Djarum Mareta Saputri 1 1 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. ABSTRAK Latar Belakang : Perilaku hidup

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Wongkaditi

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Wongkaditi 29 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Wongkaditi Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo, yang terdiri dari

Lebih terperinci

Sri Marisya Setiarni, Adi Heru Sutomo, Widodo Hariyono Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Sri Marisya Setiarni, Adi Heru Sutomo, Widodo Hariyono Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta KES MAS ISSN : 1978-0575 HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN, STATUS EKONOMI DAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG DEWASA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUAN-TUAN KABUPATEN KETAPANG

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING KOTA MANADO

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING KOTA MANADO HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING KOTA MANADO May Liani S. Sinaga*, Joy A. M. Rattu*, Woodford B.S. Joseph* *Fakultas Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organisation) pada tahun 2014,

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organisation) pada tahun 2014, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Tuberkulosis adalah penyakit menular yang ditularkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, merupakan penyebab kematian terutama di negaranegara berkembang di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular kronis yang telah lama di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, bakteri ini mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini paling sering menyerang organ paru dengan sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan RI tahun 2005 2025 atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku masyarakat yang diharapkan dalam Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di dunia. Pneumonia diperkirakan membunuh sekitar 1,2 juta anak usia dibawah lima tahun (balita) dalam setiap tahunnya,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK Yumeina Gagarani 1,M S Anam 2,Nahwa Arkhaesi 2 1 Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum,

Lebih terperinci

DELI LILIA Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

DELI LILIA Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK Faktor-Faktor yang Barhubungan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Petugas Kebersihan dan Keindahan Kota Martapura Kabupaten OKU Timur Tahun 14 DELI LILIA Deli_lilia@ymail.com Dosen Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut laporan World Health Organitation tahun 2014, kasus penularan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut laporan World Health Organitation tahun 2014, kasus penularan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Menurut laporan World Health Organitation

Lebih terperinci

Pengaruh Luas Ventilasi terhadap Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo Tahun 2013 BAB I NASKAH PUBLIKASI

Pengaruh Luas Ventilasi terhadap Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo Tahun 2013 BAB I NASKAH PUBLIKASI Pengaruh Luas Ventilasi terhadap Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo Tahun 2013 BAB I NASKAH PUBLIKASI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian

BAB 1 PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit Tuberculosis Paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Tabumela Kecamatan Tilango

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Tabumela Kecamatan Tilango 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 10 hari

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO DENGAN PERILAKU KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI

FAKTOR RISIKO DENGAN PERILAKU KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI FAKTOR RISIKO DENGAN PERILAKU KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI (Studi Observasional di Wilayah Kerja Puskesmas Martapura Timur Kabupaten Banjar Tahun 2017) Elsa Mahdalena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. trakea bahkan paru-paru. ISPA sering di derita oleh anak anak, baik di negara

BAB I PENDAHULUAN UKDW. trakea bahkan paru-paru. ISPA sering di derita oleh anak anak, baik di negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu penyakit yang dialami siswa dimana merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di masyarakat adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju. Hal ini disebabkan karena masih tingginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly Observed Treatment Short-course

Lebih terperinci

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DI DALAM RUMAH TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS TALAGA KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2016 Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam

Lebih terperinci

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA BALITA DI DESA TALAWAAN ATAS DAN DESA KIMA BAJO KECAMATAN WORI KABUPATEN MINAHASA UTARA Ade Frits Supit

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Herdianti STIKES Harapan Ibu Jambi Korespondensi penulis :

PENDAHULUAN. Herdianti STIKES Harapan Ibu Jambi Korespondensi penulis : HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI SERTA PERAN KELUARGA TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN PENYAKIT TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PERAWATAN SUBAN KECAMATAN BATANG ASAM TAHUN 2015 Herdianti STIKES

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango. Wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone terdiri dari 9

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango. Wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone terdiri dari 9 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Puskesmas Kabila Bone merupakan salah satu puskesmas yang terletak di. Wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone terdiri dari 9 desa yaitu : Desa Bintalahe, Desa Botubarani, Desa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit infeksi kronis menular yang menjadi

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TB PARU DI RW 09 KELURAHAN JEMBATAN BESI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT TAHUN 2016

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TB PARU DI RW 09 KELURAHAN JEMBATAN BESI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT TAHUN 2016 FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TB PARU DI RW 09 KELURAHAN JEMBATAN BESI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT TAHUN 2016 Siti Nur Azyyati 1), Devi Angeliana Kusumaningtiar 1) 1) Kesehatan Masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar hampir di sebagian besar negara di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat,

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012 HUBUNGAN PENGETAHUAN, STATUS IMUNISASI DAN KEBERADAAN PEROKOK DALAM RUMAH DENGAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS PEUKAN BADA KABUPATEN ACEH BESAR AGUSSALIM 1 1 Tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Terutama

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Terutama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dapat menjadi media penularan penyakit. Terjadinya penyakit berbasis lingkungan disebabkan karena adanya interaksi antara manusia

Lebih terperinci

ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO Aan Sunani, Ratifah Academy Of Midwifery YLPP Purwokerto Program Study of D3 Nursing Poltekkes

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT KESEHATAN RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI DESA LABUHAN KECAMATAN LABUHAN BADAS KABUPATEN SUMBAWA

HUBUNGAN TINGKAT KESEHATAN RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI DESA LABUHAN KECAMATAN LABUHAN BADAS KABUPATEN SUMBAWA Aprinda D.S. dan Soedjajadi K., Hubungan Tingkat Kesehatan Rumah HUBUNGAN TINGKAT KESEHATAN RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI DESA LABUHAN KECAMATAN LABUHAN BADAS KABUPATEN SUMBAWA Association

Lebih terperinci

STUDI KOMPARASI BEBERAPA FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI DAERAH PANTAI DAN DAERAH PEGUNUNGAN

STUDI KOMPARASI BEBERAPA FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI DAERAH PANTAI DAN DAERAH PEGUNUNGAN STUDI KOMPARASI BEBERAPA FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI DAERAH PANTAI DAN DAERAH PEGUNUNGAN COMPARISON STUDY OF SEVERAL RISK FACTORS OF LUNG TUBERCULOSIS INCIDENCE IN COASTAL AREA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masuk dalam kategori penyakit infeksi yang bersifat kronik. TB menular langsung melalui udara yang tercemar basil Mycobakterium tuberculosis, sehingga

Lebih terperinci

GAMBARAN KONDISI FISIK RUMAH PASIEN PENDERITA PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TASIKMADU KARANGANYAR NASKAH PUBLIKASI

GAMBARAN KONDISI FISIK RUMAH PASIEN PENDERITA PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TASIKMADU KARANGANYAR NASKAH PUBLIKASI 1 GAMBARAN KONDISI FISIK RUMAH PASIEN PENDERITA PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TASIKMADU KARANGANYAR NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai derajat

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONDISI RUMAH SEHAT DENGAN FREKUENSI SESAK PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK

HUBUNGAN KONDISI RUMAH SEHAT DENGAN FREKUENSI SESAK PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK HUBUNGAN KONDISI RUMAH SEHAT DENGAN FREKUENSI SESAK PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK Abdul Muhith Dosen Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembagan laju penyakit di Indonesia dewasa ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. Perkembagan laju penyakit di Indonesia dewasa ini sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembagan laju penyakit di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan. Tanpa adanya usaha-usaha pengawasan dan pencegahan yang sangat cepat, usaha-usaha di bidang

Lebih terperinci

SKRIPSI. Penelitian Keperawatan Komunitas

SKRIPSI. Penelitian Keperawatan Komunitas SKRIPSI HUBUNGAN PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU PADA KELUARGA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LUBUK BUAYA PADANG TAHUN 2011 Penelitian Keperawatan

Lebih terperinci

GAMBARAN PRAKTIK PENCEGAHAN PENULARAN TB PARU DI KELUARGA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGWUNI I KABUPATEN PEKALONGAN ABSTRAK

GAMBARAN PRAKTIK PENCEGAHAN PENULARAN TB PARU DI KELUARGA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGWUNI I KABUPATEN PEKALONGAN ABSTRAK GAMBARAN PRAKTIK PENCEGAHAN PENULARAN TB PARU DI KELUARGA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGWUNI I KABUPATEN PEKALONGAN 1 Didin Mujahidin ABSTRAK Penularan utama TB Paru adalah bakteri yang terdapat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang ISPA (Inspeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi pula sebagai tempat tinggal serta digunakan untuk

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN SIKUMANA ABSTRAK

PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN SIKUMANA ABSTRAK Siprianus Singga, Albertus Ata Maran, PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN SIKUMANA 348 PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI

Lebih terperinci

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2) 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISPA merupakan Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di negara maju. Sebagai contoh di Singapura 11,9% (2001), Taiwan 11,9% (2007), Jepang 13% (2005)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis yang menyerang paru disebut tuberkulosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh sejenis mikroba atau jasad renik. Mikroba ini

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh sejenis mikroba atau jasad renik. Mikroba ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan terhadap penyakit menular masih tetap dirasakan, terutama oleh penduduk di negara yang sedang berkembang. Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), diare adalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), diare adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Sementara United Nations for Children and Funds

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan menurut UU No. 23 Tahun 1992 adalah keadaan sejahtera dari

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan menurut UU No. 23 Tahun 1992 adalah keadaan sejahtera dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan menurut UU No. 23 Tahun 1992 adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga Negara Indonesia, termasuk anak-anak. Setiap orang tua mengharapkan anaknya tumbuh dan berkembang secara sehat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa, Mycobacterium bovis serta Mycobacyerium avium, tetapi lebih sering disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Munculnya ancaman kesehatan dalam bentuk penyakit menular membuat langkah pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan sama sekali tidak boleh

Lebih terperinci

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN RUMAH DAN FAKTOR ANAK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI DESA WAY HUWI PUSKESMAS KARANG ANYAR KECAMATAN JATI AGUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN TAHUN 2012 Ernawati 1 dan Achmad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dan bersifat kronis serta bisa menyerang siapa saja (laki-laki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan masalah utama bidang kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru TB, dan lebih dari 2 juta orang meninggal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bolango dan waktu penelitian di laksanakan pada bulan Oktober sampai dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Bolango dan waktu penelitian di laksanakan pada bulan Oktober sampai dengan BAB III METODE PENELITIAN 1.1. Lokasi dan Waktu penelitian Lokasi penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Kabupaten Bone Bolango dan waktu penelitian di laksanakan pada bulan Oktober sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12-59 bulan (Kemenkes RI, 2015: 121). Pada usia ini, balita masih sangat rentan terhadap berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TB paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan prilaku masyarakat. Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit infeksi kronis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi dalam penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi dalam penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone BAB III METODE PEELITIA 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian Lokasi dalam penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango. Yang

Lebih terperinci

melebihi 40-70%, pencahayaan rumah secara alami atau buatan tidak dapat menerangi seluruh ruangan dan menyebabkan bakteri muncul dengan intensitas

melebihi 40-70%, pencahayaan rumah secara alami atau buatan tidak dapat menerangi seluruh ruangan dan menyebabkan bakteri muncul dengan intensitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis. Kuman Tuberkulosis dapat masuk ke dalam tubuh manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka kejadian ISPA Di Indonesia, pada balita adalah sekitar 10-20%

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka kejadian ISPA Di Indonesia, pada balita adalah sekitar 10-20% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dipengaruhi atau ditimbulkan oleh tiga hal yaitu adanya kuman (terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri,

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Oleh : Januariska Dwi Yanottama Anggitasari J

NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Oleh : Januariska Dwi Yanottama Anggitasari J PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN DIARE BALITA PADA KELOMPOK MASYARAKAT YANG SUDAH MEMILIKI JAMBAN KELUARGA DENGAN KELOMPOK MASYARAKAT YANG BELUM MEMILIKI JAMBAN KELUARGA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh : Januariska

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN ENYAKIT ISA ADA BALITA (Suatu enelitian Di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten ) SISKA RISTY YOLANDA ADAM DJAFAR NIM : 811409020

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN KEPADATAN HUNIAN DENGAN KEJADIAN ISPA NON PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI PINANG

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN KEPADATAN HUNIAN DENGAN KEJADIAN ISPA NON PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI PINANG HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN KEPADATAN HUNIAN DENGAN KEJADIAN NON PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI PINANG Evytrisna Kusuma Ningrum Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikategorikan high burden countries. Kasus baru Tuberkulosis di dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikategorikan high burden countries. Kasus baru Tuberkulosis di dunia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Situasi TB di dunia semakin memburuk, sebahagian besar negara di dunia yang dikategorikan high burden countries. Kasus baru Tuberkulosis di dunia mengalami peningkatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN DIARE DI DESA RANOWANGKO KECAMATAN TOMBARIRI KABUPATEN MINAHASA TAHUN

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN DIARE DI DESA RANOWANGKO KECAMATAN TOMBARIRI KABUPATEN MINAHASA TAHUN HUBUNGAN ANTARA PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN DIARE DI DESA RANOWANGKO KECAMATAN TOMBARIRI KABUPATEN MINAHASA TAHUN 2015 Klemens Waromi 1), Rahayu H. Akili 1), Paul A.T.

Lebih terperinci

SUMMARY GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA TBC PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAGIMANA KECAMATAN PAGIMANA KABUPATEN BANGGAI TAHUN 2012

SUMMARY GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA TBC PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAGIMANA KECAMATAN PAGIMANA KABUPATEN BANGGAI TAHUN 2012 SUMMARY GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA TBC PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAGIMANA KECAMATAN PAGIMANA KABUPATEN BANGGAI TAHUN 2012 NURHAYATI WADJAH 811408078 ABSTRAK Di Indonesia TBC merupakan masalah

Lebih terperinci