DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i INTISARI... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i INTISARI... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang..."

Transkripsi

1 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i INTISARI v ABSTRACT vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka Kerangka Teoritis Metode Penelitian Sistematika Penulisan BAB II. SETTING SOSIAL KULTURAL MANADO DAN KAUM GAY 2.1. Deskripsi Kota Manado Sebagai Lokasi Penelitian Komunitas Gay dan Strategi Gay Untuk Hadir Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Manado 2.3. Gay Sebagai Subjek dan Objek Penelitian: Latar Belakang Informan Penelitian vii

2 BAB III. PEMBENTUKAN ORIENTASI SEKSUAL GAY DI MANADO 3.1. Faktor Internal Lingkungan Keluarga Kelompok Sebaya Faktor Eksternal Pelecehan Seksual dan Sodomi Jejaring Sosial BAB IV. NEGOSIASI IDENTITAS SEKSUAL GAY DI MANADO Negosiasi Identitas Seksual Gay Dalam Keluarga Negosiasi Identitas Seksual Gay Dalam Masyarakat BAB V. PENUTUP Kesimpulan Refleksi Kritis DAFTAR PUSTAKA viii

3 DAFTAR TABEL Tabel 1. Deskripsi Informan Penelitian ix

4 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah identitas seksual sedang ramai dibicarakan dan dipersoalkan oleh para ilmuwan baik dalam kerangka studi sosiologi, psikologi ataupun medis. Dipertajam dengan adanya oposisi biner berdasarkan orientasi seksual, yaitu kaum heteroseks yang menyukai lawan jenis dan homoseks yang menyukai sesama jenis. Bagi masyarakat dengan kemapanan budaya heteroseks, binerisme tersebut berdampak pada tindakan ataupun praktik sosial masyarakat yang menyudutkan dan mendiskreditkan keberadaan kaum homoseks sehingga didiskualifikasi normalitasnya dalam membangun relasi dan berinteraksi dalam tataran sosial. Tanpa disadari terjadi kekakuan saat memandang keanekaragaman identitas seksual yang diaplikasikan dalam praktik sosial masyarakat dikarenakan dominasi dan superioritas kaum heteroseks. Kekakuan tersebut berimplikasi pada pihak yang memiliki identitas seksual sebagai kaum homoseks atau LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) menjadi terbungkam dan terus berada dalam jebakan sebagai devian atau penyimpang, serta tidak normal. Terlebih lagi berbagai wacana keilmuan khususnya dari para psikiatri yang menyebut mereka sebagai penyakit kejiwaan sampai kajian sosial budaya yang mengkategorikan mereka sebagai masalah sosial (social deviance atau dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan sosial). Berbagai hal tersebut membuat nilai kemanusiaan yang ada pada diri kaum LGBT digadaikan karena tidak dipandang sebagai manusia seutuhnya. Disebabkan oleh 1

5 identitas seksual yang berbeda dari kebanyakan orang yang dikuasai oleh budaya seksual heteroseks. Relevansi dari persoalan bagi kaum LGBT juga dikarenakan sebagian masyarakat memiliki nilai-nilai sosial (normatif) dan agama yang kuat, yang diproduksi bersama serta terlembagakan dalam kehidupan sosial masyarakat yang heteroseks. Nilai-nilai normatif menimbulkan suatu kuasa berdasarkan pengetahuan yang telah terlembagakan bahwa perilaku LGBT (homoseksualitas) itu merupakan penyimpangan. Pengertian pengetahuan masyarakat disini bertolak dari Peter Berger dan Thomas Luckman (2013:90) lewat pemikiran mereka mengenai masyarakat sebagai kenyataan obyektif, dimana pengetahuan yang secara sosial diobyektivasi dijadikan perangkat kebenaran secara umum mengenai kenyataan, sehingga setiap penyimpangan yang radikal dari tatanan kelembagaan tampak menjadi penyimpangan dari kenyataan. Bertitik tolak dari peristiwa yang terjadi pada beberapa negara di Amerika, Eropa dan Australia, tergadainya nilai kemanusiaan karena dipandang sebagai manusia yang menyimpang dan tekanan terhadap identitas seksual membuat para kaum homoseks mendorong gencarnya gerakan-gerakan pembebasan dan persamaan hak (mis: Gay Liberation). Seperti peristiwa kerusuhan yang terjadi di Stone Wall Inn 1, New York, Amerika Serikat sangat mempengaruhi pergerakan ataupun resistensi kaum homoseks (Oetomo, 2003; Beasley, 2005). Karena dalam peristiwa tersebut kaum homoseks yang biasanya tunduk dan membiarkan pihak kepolisian untuk membubarkan mereka dengan paksa secara tidak terduga 1. Stone Wall Inn adalah tempat berkumpulnya para kaum gay dan transgender di kota New York, Amerika Serikat. 2

6 melakukan perlawanan secara frontal. Disisi lain, berbagai acara festival atau parade jalanan yang dilakukan oleh para kaum homoseks (contohnya Mardi Gras, festival Lesbian dan Gay di Sydney, Australia) mendapat legalisasi dan perlindungan dari pemerintah lokal. Namun ternyata bila disinggung konteks sejarah di Indonesia kita dapat memandang identitas seksual kaum homoseks dengan sedikit melepas tekanan dan ancaman moral heteroseks yang sedang bergulir. Karena keberadaan kaum homoseks atau LGBT dalam konteks Indonesia ternyata hidup dalam berbagai tradisi budaya di daerah-daerah tertentu. Seperti adanya hubungan seksual antara warok dan gemblak yang notabene adalah sesama jenis laki-laki yang bersifat inklusif karena dipandang sebagai bagian dari ritual adat untuk mempertahankan kekuatan. Selain itu, kisah tokoh sakral Bissu pada masyarakat bugis kuno, tarian seudati yang dipandang memiliki kisah homoseks di dalamnya, dan berbagai ritus inisiasi di beberapa daerah yang terkesan sebagai bagian dari perilaku homoseksual. Kita juga harus mengetahui bahwa di Indonesia telah terbentuk berbagai komunitas LGBT seperti GAYa Nusantara (GN) Surabaya, Indonesian Gay Society (IGS) Yogyakarta, IPOOS/Gaya Betawi dan Chandra Kirana Jakarta, Gaya Dewata Denpasar, dan sebagainya (Oetomo, 2003; Kadir, 2007). Berbagai komunitas tersebut mengadakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) yang dilakukan secara teratur, serta memiliki berbagai program yang ditujukan untuk merealisasikan berbagai kepentingan kaum LGBT dan kaum tertindas 3

7 lainnya yang tidak dapat diakomodir secara legal oleh hukum ataupun lembaga pemerintah. Disisi lain, keberadaan kaum LGBT terdapat juga di Manado yang merupakan bagian daerah Provinsi Sulawesi Utara. Daerah yang terkenal dengan toleransi atas perbedaan yang selama ini menjadi nilai lebih dalam masyarakat Manado. Berbekal motto hidup yang selalu disandangkan dan dikonstruksi oleh masyarakat Manado yaitu Torang Samua Basudara menjadikan daerah ini terkenal dengan kerukunan yang begitu kental tanpa melihat perbedaan suku, agama atau ras. Hal itu pun menjadikan Manado dikenal dengan kota yang damai, aman dan tentram dikarenakan perbedaan tidak menjadi alasan untuk menimbulkan konflik ataupun kekerasan. Meski demikian, kehidupan kaum homoseks dalam hal ini kaum gay seringkali menjadi sisi sensitif yang sulit untuk disentuh dan dimunculkan sebagai bagian masyarakat Manado yang toleran. Hal tersebut mendorong persoalan identitas gay di Manado menjadi begitu menarik. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kaum LGBT khususnya kaum gay mulai terbuka keberadaannya di tengah kehidupan masyarakat Manado dengan keberadaan komunitas dan hadirnya ruang publik yang liberal (pusat hiburan, pusat perbelanjaan, dsb). Saat ini terdapat dua komunitas LGBT (komunitas homoseks) di Sulawesi Utara dimana hampir seluruh kegiatannya berpusat di Manado, yaitu GWL (Gema Warna Lentera) Kawanua dan SALUT (Sanubari Sulawesi Utara). Hal itu dapat menjadi penanda suatu bukti keberadaan kaum gay sebagai bagian masyarakat Manado. Komunitas gay pun hadir dengan warna 4

8 tersendiri, setiap komunitas memiliki program yang berbeda, berciri khas dan cukup terorganisir. Bukan hanya dari komunitas karena kaum gay dapat kita temui di berbagai pusat keramaian, yang juga berperan penting membuktikan keberadaan kaum gay di Manado. Seperti diketahui tidak semua kaum gay melibatkan diri dan tergabung dalam komunitas dengan berbagai alasan, seperti tidak ingin diketahui keluarga dan takut mencoreng nama baik keluarga. Sehingga di Manado, pusatpusat keramaian yang cenderung liberal menjadi ruang strategis bagi mereka untuk memperluas relasi sosial. Dalam kajian akademis pun, kaum gay di Manado kurang mendapat tempat untuk menjadi pokok pembahasan. Kalaupun ada seringkali hanya sebatas desas-desus publik yang berkembang secara tidak berdasar yang pada akhirnya menimbulkan justifikasi yang kabur terhadap orientasi seksual gay tersebut. Tidak dapat dipungkiri hal itu disebabkan kaum gay Manado secara umum masih tertekan dalam balutan stigma sosial. Sebagian juga masih malu atau takut untuk menampilkan secara terbuka identitas berdasarkan orientasi seksualnya. Kaum gay di Manado sendiri memang masih sulit dikenali bila dilihat oleh sebagian masyarakat yang tidak pernah terlibat langsung ataupun kurang berinteraksi dengan kaum gay. Namun, hal itu cukup beralasan karena sepertinya masih ada masyarakat Manado yang cenderung mengabaikan keberadaan kaum gay ataupun dengan naif-nya selalu membentuk identitas mereka sebagai ketidakwajaran seksual. Dari gambaran tersebut, terkesan perbedaan berdasarkan orientasi seksual masih menjadi masalah krusial yang begitu rumit untuk 5

9 dipecahkan. Oleh sebab itu, kaum gay diharuskan untuk mampu menegosiasikan identitas seksualnya di tengah masyarakat Manado yang heteroseks. Berakar dari permasalahan tersebut, peneliti terdorong untuk menjadi bagian dalam studi mengenai dinamika pembentukan identitas seksual gay di Manado. Khususnya mengkaji terbentuknya orientasi seksual gay dan negosiasi identitas seksual gay di tengah kehidupan masyarakat Manado yang heteroseks. Disebabkan masalah sosiologis terkait pembentukan orientasi seksual dan negosiasi identitas gay idealnya cenderung dinamis juga terkondisikan dengan realitas sosial masyarakat yang terus bertransformasi. Kaum gay pun dihadirkan bukan sebagai objek pasif yang terus diancam dengan justifikasi sebagai penyimpang, tetapi sebagai subjek aktif. Dalam artian kaum gay sebagai aktor sosial tentunya memiliki refleksi tersendiri terhadap dinamika pembentukan identitas seksualnya Rumusan Masalah Berdasarkan akar permasalahan diatas maka, peneliti memilih merumuskan beberapa pertanyaan yang menjadi acuan dalam melakukan penelitian ini; Bagaimana dinamika pembentukan orientasi seksual gay di Manado? Bagaimana negosiasi identitas seksual gay di Manado? 6

10 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu: Untuk melakukan studi seksualitas khususnya mengenai homoseksualitas (LGBT) yang lebih mendalam dan terarah. Dengan maksud mengkaji pembentukan orientasi seksual gay, melalui pengalaman subjektif gay sebagai aktor sosial Untuk mengungkap negosiasi identitas seksual gay secara subjektif di tengah kehidupan heteroseks masyarakat Manado Manfaat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat memberikan berbagai manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu : Secara teoritis: Penelitian ini dapat mengembangkan pengetahuan mengenai kajian yang berhubungan dengan identitas seksual subversif atau LGBT, khususnya identitas seksual gay. Serta, diharapkan dapat memperkaya kajian sosiologi yang berkaitan dengan dinamika pembentukan identitas seksual gay Secara praktis: Penelitian ini dapat menjadi dorongan bagi kaum gay agar dapat merefleksikan dinamika pembentukan orientasi seksual gay. Disamping itu, memberikan pengetahuan mengenai negosiasi identitas seksual gay di Manado. Juga bermanfaat bagi pemerintah, stakeholder, dan masyarakat 7

11 dalam memahami keberadaan gay dalam kehidupan sosial di Manado. Sekaligus, mengarahkan masyarakat untuk memberikan tindakan responsif yang sesuai terhadap keberadaan kaum LGBT, khususnya kaum gay Tinjauan Pustaka Individu atau kelompok yang homoseks atau penyuka sesama jenis dikarenakan hidup dalam lingkungan sosial masyarakat yang heteroseksual cenderung dipandang sebagai sebuah penyimpangan. Didukung oleh hasil penelitian Kadek Sri Juniantini yang menggambarkan kehidupan homoseksual di Kabupaten Bangli (Juniantini, 2008). Inti dari permasalahan yang ditekankan dalam penelitian ini mengenai kehidupan homoseks di Kabupaten Bangli yang dikatakan sebagai bentuk penyimpangan sosial disebabkan oleh ketidakberfungsian keluarga. Dari penelitian Juniantini dapat dilihat bahwa adanya ketergantungan diantara fungsi sebuah keluarga dengan seorang anggota keluarga yang menjadi atau berperilaku homoseks. Implikasinya, ketika keluarga kehilangan fungsi atau terjadi disfungsi maka memiliki peluang besar adanya anggota keluarga menjadi homoseks. Akan tetapi tanpa bermaksud untuk menjustifikasi, namun penelitian dari Kadek tersebut nampaknya cenderung begitu kaku dalam memotret kehidupan homoseks. Disebabkan tidak menutup kemungkinan terdapat faktor-faktor dari luar yang juga dapat mempengaruhi seseorang menjadi homoseks. Disamping itu, pandangannya mengenai kehidupan homoseks tersirat kekakuan dari heteronormativitas. 8

12 Dengan warna berbeda studi mengenai homoseksualitas khususnya lakilaki gay dilakukan oleh Ig Praptoraharjo, dimana perilaku homoseksual diangkat dan dikaji dalam bentuknya sebagai konstruksi sosial (Praptoraharjo, 1998). Maka konstruksi sosial perilaku homoseksual dilihat sebagai hasil dari motivasi yang terbentuk dari proses internalisasi terhadap konsep seksualitas melalui tahap sosialisasi. Digambarkan juga bahwa adanya komunitas homoseksual berfungsi sebagai pengantara (ataupun referensi) dalam mengenal identitas seksual sebagai homoseks. Permasalahan pun terjadi dikarenakan konstruksi sosial perilaku homoseksual bertentangan dengan masyarakat heteroseks pada umumnya menganggap perilaku homoseksual sebagai suatu penyakit, menyimpang dan diancam dengan berbagai sanksi sosial. Keberadaan kaum homoseksual pun diadaptasi dengan penolakan dari masyarakat umum, namun konstruksi sosial heteroseks tidak dapat mengubah pilihan kaum homoseks karena adanya kesadaran diri mereka yang tidak dapat melakukan perilaku heteroseksual pada umumnya. Selanjutnya studi mengenai homoseksualitas disajikan dalam wujud yang kontemporer, seperti tesis yang telah dipublikasi buah karya dari Moh Yasir Alimi yang mengkaji berbagai praktek diskursif bagi para pelaku homoseksual yang direpresentasikan oleh media massa di Indonesia pada masa transisi era Orde baru ke Reformasi khususnya yang terjadi tahun (Alimi, 2004). Dari gambarannya bahwa media massa Indonesia sangat kentara menyatakan tindakan homoseksualitas sebagai bentuk penyimpangan sosial. Ditekankan dengan 9

13 beragam praktek diskursif yang dilakukan oleh media membentuk pelaku homoseks sebagai the other dari masyarakat Indonesia yang mayoritasnya pelaku heteroseksual. Dominasi wacana heteroseksual yang mewajibkan kepemilikan identitas seksual diharuskan sesuai dengan perilaku seksual sekaligus sosialnya. Kendati hal itu menurut Alimi berimplikasi pada penentuan identitas warga negara yang diakui hanya perempuan dan laki-laki. Hal itu menunjukkan adanya diskursus nasionalitas yang mengesampingkan warga negara yang dikategorikan homoseks, khususnya para kaum waria. Pemberian identitas warga negara berdasarkan dua kelamin yang berlawanan membuat kaum waria menemui permasalahan dalam penentuan identitas seksual yang androgini sebagai warga negara. Walaupun penelitian ini lebih menekankan pada waria, tapi kita dapat melihat sebuah refleksi perlakuan negara terhadap kaum homoseks yang secara faktual masih jauh menyentuh kata humanis. Untuk menambah warna dalam penelitian mengenai homoseksualitas, ditarik juga penelitian oleh Anis Farida yang mengkaji komunitas homoseksual di Indonesia, tepatnya di kota Surabaya. Dalam penelitiannya, eksistensi komunitas homoseksual di Surabaya dijadikan sebagai entitas kekuasaan dalam upaya untuk persamaan hak dengan kaum heteroseksual, sekaligus mempertanyakan respon masyarakat Surabaya terhadap keberadaan komunitas homoseksual (Farida, 2003). Dari penelitiannya digambarkan bahwa diskriminasi pada kaum homoseksual terjadi tak lepas dari kekuasaan heteroseksual yang mayoritas dan memiliki penerimaan dari berbagai latar belakang masyarakat. 10

14 Sedangkan kaum homoseksual lebih terpinggirkan dikarenakan identitas seksualnya membuat mereka mendapat label menyimpang. Hal itu mengakibatkan kaum homoseksual tidak mendapat hak-hak selayaknya para kaum heteroseksual, seperti tidak dapat menjangkau berbagai pekerjaan dalam bidang vital. Hal itu memicu para kaum homoseksual untuk menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat dengan membentuk komunitas yang bernama GAYa Nusantara. Dari penelitian Anis Farida ternyata memiliki sisi yang menarik, digambarkannya para kaum homoseksual Surabaya memiliki suatu wadah khusus disebut dengan istilah tempat ngeber yang dijadikan sarana bagi kaum homoseks untuk membangun sosialisasi atau menjaring pertemanan. Mengacu pada berbagai hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa kaum homoseksual adalah pihak yang terintimidasi dengan hegemoni heteroseksual dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadikan mereka terus terkungkung dalam lingkaran stigma sosial, hukuman moral budaya heteroseks dan terperangkap dalam kegagalan menjalankan peran sebagai makhluk sosial yang (diharuskan) heteroseks. Dengan demikian, melalui penelitian ini persoalan terkait dinamika pembentukan identitas seksual gay diposisikan sebagai kajian yang penting, terlebih khusus pada pembentukan orientasi seksual gay dan negosiasi identitas seksual gay. Untuk menjadi salah satu acuan guna memahami problema kehidupan gay dalam kerangka ilmiah. Tentunya dengan melibatkan subjektivitas kaum gay melalui pengalaman mereka. Di tengah perkembangan studi mengenai seksualitas, khususnya masalah homoseksualitas di dalamnya yang cenderung 11

15 melakukan justifikasi secara langsung ataupun konstruksi sosial dititikberatkan pada budaya heteroseks Kerangka Teoritis Persoalan identitas menjadi wacana keilmuan yang menarik dan dinamis apalagi bila diafiliasikan dengan masalah lokalitas, etnisitas, bangsa, kelas sosial, gender, seksualitas, dan sebagainya. Merujuk pada definisinya, identitas merupakan kesadaran diri, menyangkut masalah kedirian, mengenai gambaran seperti apa dirinya itu, serta dihubungkannya dengan persamaaan dan perbedaan (Abercrombie, Hill dan Turner, 2010: 266). Identitas pun tidak hanya dapat dipandang bersifat esensial atau diperoleh sejak lahir namun terus-menerus dikonstruksi, dinegosiasikan, sehingga identitas menjadi begitu cair dan terfragmentasi. Kompleksitas identitas tersebut mendorong terbentuknya berbagai rangkaian konsep untuk menunjukkan dinamika dan refleksinya dalam masyarakat masa kini, terlebih khusus bila mengkaitkannya dengan identitas seksual subversif yang diperuntukkan bagi kaum gay. Dalam mengkaji dinamika pembentukan identitas seksual gay, studi ini dilakukan dengan mengikuti konsep George Herbert Mead. Dalam pembentukan identitas diri melibatkan proses sosial atau pengalaman disaat terlibat dalam lingkungan sosial, seperti yang ditekankan Mead (1934/1962: 140) sebagai berikut: The self, as that which can be an object to itself, is essentially a social structure, and it arises in social experience. After a self has arisen, it in a certain sense provides for itself its social experiences, and so we can 12

16 conceive of an absolutely solitary self. But it is impossible to conceive of a self arising outside of social experience. Dapat dipahami bahwa bagi Mead, diri (the self) adalah sebuah objek yang terstruktur secara sosial dan akan terus berkembang dalam pengalaman sosial. Sehingga dalam membentuk dirinya (identitas) seseorang tidak dapat terperangkap dalam sosok dirinya sendiri tanpa melibatkan lingkungan sosial atau kelompok/komunitas dalam masyarakat yang menjadi referensi (persamaan atau perbedaan) atas diri. Dalam gambaran dinamika pembentukan identitas ataupun konsep diri bagi Mead (dalam Horton dan Hunt, 1993; Ritzer dan Goodman, 2011) dilihat dalam tiga proses bertingkat yang dimulai dari masa kanak-kanak yaitu masa persiapan disebut juga tahap bermain (Play Stage) dimana anak-anak meniru perilaku orang dewasa tanpa pengertian yang nyata dan masih menjadi diri yang terbatas karena hanya dapat memainkan peran orang lain yang jelas. Berkembang pada tahap Permainan (Game Stage) ketika anak sudah memiliki pengertian perilaku tersebut, tetapi mengubah peran secara tidak teratur. Berbeda dengan tahap bermain, kalau dalam tahap bermain anak memainkan peran orang lain. Sedangkan dalam tahap permainan anak harus mengambil peran orang lain yang terlibat di dalam peran tersebut. Dari tahap permainan akan berkembang menjadi masa Generalisasi Orang Lain/Orang Lain Pada Umumnya (Generalized Other) yang merupakan tahap yang krusial. Dimana tahap ketika anak mampu mengevaluasi diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain pada umumnya. Kesadaran akan generalisasi orang lain ini berkembang melalui proses pengambilan peran dan permainan peran. 13

17 Secara lebih jelas juga dikembangkan dalam identifikasi Mead mengenai fase pembentukan diri dengan konsep I (saya subjek) dan Me (saya objek) melalui Ritzer dan Goodman (2007). Dimana menjadi sumber utama dan nilai penting yang ditempatkan dalam proses sosial, menjadikan I sebagai perwujudan diri untuk dikembangkan menjadi kepribadian definitif dan bagi Mead I mendominasi konsep diri dalam masyarakat modern. Sedangkan Me mengatur sikap diri dalam mengatasi atau menerima sekumpulan sikap dari orang lain. Dalam Me terkandung kesadaran akan tanggung jawab dalam kehidupan sosial, sehingga adanya Me dalam diri memungkinkan kontrol sosial akan diri. Digambarkan adanya proses dialektis antara diri sebagai subjek dan objek yang muncul dalam pengalaman sosial. Namun untuk lebih menekankan mengenai dinamika pembentukan identitas seksual, kita juga harus menyertakan pemikiran atau konsep pembentukan diri dari Sigmun Freud. Dengan sangat tajam dalam sisi psikoanalisisnya guna menyelidiki dinamika pembentukan identitas seksual yang dimulai dari masa infantile. Perkembangan seksual pada anak bagi Freud (dalam Cervon dan Pervin, 2011: ) terjadi dalam tahap perkembangan oral, anal dan phallic. Bagian terpenting yang menjadi acuan terkait penelitian ini adalah tahap phallic, dimana kegairahan dan ketegangan terfokus pada alat genital. Inilah masa terjadinya Oedipus Complex, masa disaat seorang laki-laki memandang sang ayah sebagai rival dalam memperebutkan kasih sayang ibu dan hal ini disebut dengan kecemasan kastrasi (castration anxiety). Dikarenakan anak laki-laki 14

18 mengembangkan keinginan untuk memiliki ibu, tetapi menjauh darinya, karena takut dikebiri oleh ayah yang dominan (O Donnell, 2009:88). Berdasarkan pemahaman dalam Oedipus Complex bahwa setiap anak laki-laki ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dalam fantasi dan menikahi ibunya. Sedangkan bagi wanita pada masa Phallic, dia akan mengalami perkembangan kecemburuan kepada lawan jenis atau biasa disebut dengan istilah kecemburuan penis (penis envy) karena anak perempuan secara sadar tidak memiliki penis dan bertolak kepada figur ayah sebagai penyempurnaan (O Donnell,2009). Namun masalah Oedipus Complex tidak hanya bergulat dengan kompetisi antara anak laki-laki dengan ayah tetapi dapat dijadikan proses identifikasi. Maka sebagai pemecahan dari Oedipus Complex, anak-anak mengidentifikasikan dirinya dengan orang tua yang sama jenis kelamin. Anak-anak dalam proses identifikasi mengambil kualitas atau contoh (model ideal) seseorang dalam hal ini orang tua berjenis kelamin yang sama untuk mereka sendiri dan menggabungkannya dalam fungsi mereka sendiri. Dampak dalam proses identifikasi menurut Freud akan terlihat dalam tahap latensi dimana tahap ini anak akan mengalami sebuah penurunan dalam dorongan dan minat seksual (Cervon dan Pervin, 2011). Inilah uraian tahap-tahap perkembangan dan persoalan identitas secara seksual dari Freud yang sangat penting untuk menjadi pegangan dalam melakukan studi mengenai dinamika pembentukan identitas seksual gay. Dari konsep Mead dan Freud terlihat bahwa terbentuknya kedirian seorang individu harus melalui proses dan pengalaman yang dilakukan terus-menerus dengan memiliki fase-fase atau tahap-tahap yang terus berubah. Setiap fase 15

19 memiliki gejolak tersendiri yang sangat penting, sejak masa kanak-kanak yang terjadi secara menyeluruh, mengandung juga pemahaman akan peran sebagai subjek dan objek. Dalam hal tersebut, kita melihat penekanan terhadap proses sosialisasi untuk membentuk sebuah konsep diri. Berdasarkan definisinya menurut Horton dan Hunt (1993), sosialisasi adalah suatu proses dengan mana seseorang menghayati atau menginternalisasi norma-norma kelompok dimana ia hidup sehingga timbullah konsep diri yang unik. Dengan kata lain sosialisasi diartikan sebagai proses mempelajari kebiasaan dan tata kelakuan untuk menjadi bagian dari suatu masyarakat, dimana sebagian besar adalah proses mempelajari perilaku peran. Jadi sama halnya dengan yang dikemukakan sebelumnya bahwa dalam pembentukan kedirian ataupun identitas diri (seksual), individu akan melewati beberapa fase untuk belajar mengenai perannya sesuai dengan posisinya dalam masyarakat. Dapat diartikan adanya suatu keterkaitan erat antara peran dan posisi (status) seorang individu dalam proses sosialisasi. Peran dapat diartikan paduan sifat dan pengharapan yang didefinisikan secara sosial atas berbagai macam posisi sosial (Abercrombie, Hill dan Turner, 2010). Maka peran dan status dalam Horton dan Hunt (1993), disebutkan bahwa peran sebagai perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memegang status tertentu. Sedangkan status diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam suatu kelompok, atau kedudukan suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain. Sedangkan proses sosialisasi adalah sebuah persiapan dan pembentukan kedirian yang dilakukan seorang individu baik 16

20 secara sadar atau tidak sadar. Individu belajar memainkan perannya disesuaikan dengan posisinya sebelum terjun ke dalam panggung sosial bersama pemeran yang lain. Hal ini berkaitan dengan konsep dramaturgi Erving Goffman. Representasi identitas Goffman dianalogikan dengan panggung teater dan drama, menyangkut pada kegiatan aktor yang melakukan berbagai tindakan atau penampilan rutin yang merupakan pola tindakan yang telah diatur dan ditetapkan yang akan terungkap dalam pertunjukkan. Penampilan aktor tersebut berwujud pada dua bidang penampilan yang dibedakan yaitu, panggung depan (front region) dan panggung belakang (back stage) (dalam Poloma, 1987: 234). Dari panggung depan pertunjukkan dilakukan dengan tindakan yang teratur yang ditampilkan dalam penampilan (appearance) dan gaya (manner), sedangkan panggung belakang (back stage) atau belakang layar dimana para aktor akan melepas tindakan yang diatur dalam panggung depan. Mengikuti logika Goffman, identitas dikelola, dapat dilepas dan dipakai oleh para aktor mengikuti berbagai tindakan yang akan ditampilkan. Hal itu pun dilakukan untuk mengatur keanekaragaman kesan dari partisipan atau penonton yang menyaksikan penampilan yang dibentuk dari pengelolaan identitas tersebut. Lebih lanjut menyangkut dinamika pembentukan identitas seksual gay dijelaskan dalam kerangka berpikir Goffman selanjutnya, bahwa adanya aspek penyajian diri yang problematis yang disebut sebagai stigma. Menurut Goffman (dalam Paloma, 1987) stigma menunjuk pada orang-orang yang memiliki cacat sehingga tidak menerima penerimaan sosial sepenuhnya. Jadi stigma ditempelkan 17

21 pada individu atau kelompok yang tidak mendapat penerimaan secara sosial. Dalam memutuskan stigma, struktur sosial dan kondisi dalam masyarakat sangat berperan. Stigma juga berlaku bagi kalangan homoseksual dalam studi ini kaum gay, seperti ditekankan oleh Pierre Bourdieu bahwa kaum homoseksual adalah korban dari bentuk khusus dominasi simbolik dan dicap dengan suatu stigma (Bourdieu, 2010). Mempersoalkan identitas gay (atau homoseksual) ditekankan lagi dengan mengacu pada diskursus seksualitas yang dikembangkan oleh Foucault (2008) dari gambarannya represi yang dilakukan oleh masyarakat Barat ala Victorian dalam memandang seks merangsang pembentukan berbagai diskursus mengenai seksualitas. Dimana seks sangat ditabukan dan disensor (sebagai bentuk pelarangan atau bentuk pendisiplinan tubuh yang seksual) dan berhasil melembagakan hubungan seksual pinggiran sebagai bentuk penyimpangan seksual. Sehingga berbagai diskursus mengenai seks dimodifikasi untuk memoles monogami heteroseksual dengan dilegalkannya dalam lembaga perkawinan, disisi lain mengaburkan keberadaan kaum homoseksual dan pelaku hubungan seksual lainnya. Praktek diskursus bagi Foucault tidak lepas dari adanya permainan antara relasi kekuasaan dan pengetahuan dalam menampilkan efek kebenaran (Foucault, 2012). Namun kekuasaan dibalik strategi diskursif tersebut tidaklah menindas dan terpusat, melainkan kekuasaan dalam bentuknya yang mikro dan produktif (tersebar). Hal itupun berdampak pada proses diskursus mengenai identitas homoseksualitas seperti gambaran Foucault yang terjadi pada abad ke-19. Bahwa 18

22 wacana dari psikiatri, yurisprudensi (hukum), dan kesusastraan mengenai homoseksualitas dan prilaku seksual lainnya yang dianggap menyimpang, memungkinkan adanya kontrol sosial yang ketat. Namun, disisi lain para kaum homoseksualitas dimungkinkan juga untuk membentuk wacana balasan, sebagai cara mereka berbicara tentang dirinya sendiri, untuk menuntut legalitas, dimana kaum homoseksual termasuk para gay cenderung dikaitkan dengan kategori menyimpang dan mendapat diskualifikasi (Foucault, 2008). Dari Judith Butler sebagai pemikir queer yang terkenal dan sering dijadikan referensi dalam membahas berbagai permasalahan gender dan seksualitas, termasuk di dalamnya identitas subversif. Kenneth Allan (2006) menggambarkan pemikiran Butler, dimana Butler mempermasalahkan materialisasi seks bukanlah hanya bertumpu pada persoalan biologis namun terbentuk dari kondisi historis hegemoni norma-norma heteroseksualitas. Hal itu berakibat pada penolakan terhadap adanya kemungkinan ketertarikan seksual yang cenderung terjadi diantara sesama jenis (homoseksual). Selanjutnya menimbulkan permasalahan dalam performativitas gender yang terus diregulasi berdasarkan konstruksi normatif heteroseks. Hal itupun berdampak pada kaum homoseksual yang terbentuk sebagai identitas subversif. Butler (1990) juga menekankan terbentuknya kategori seksual feminim dan maskulin, pria dan wanita hanya ada dalam matriks heteroseksual. Gambaran identitas seksual gay subversif selanjutnya mengacu pada salah satu pemikir queer yaitu Eve Kosofsky Sedgwick, dimana idenya terangkum dalam tulisannya The Epistemology of Closet. Sedgwick mempermasalahkan 19

23 batas atas oposisi biner antara homoseksualitas dan heteroseksualitas yang dihubungkannya pada pengakuan atas pengetahuan yang rahasia. Bagi Sedgwick (dalam Ritzer dan Smart, 2012) binarisme heteroseks dan homoseks mengorganisasi pengalaman dan pengetahuan orang tentang dunia, terutama bentuk-bentuk pengetahuan diri, pengungkapan diri, dan pembukaan rahasia diri. Jadi, bila Goffman menganalogikan konsep pengelolaan identitasnya dengan drama dan teater sehingga disebut sebagai dramaturgis, disisi lain Sedgwick (1990) menganalogikan identitas (termasuk juga budaya) kaum gay dengan closet. Merujuk pada sejarah, Sedgwick juga mengadopsi pemikiran Foucault khususnya pada masa pemerintahan Victorian dimana berbagai tekanan dari budaya masyarakat heteroseks yang homophobia, didukung juga oleh legalisasi tindakan dari sistem yuridis, serta ketakutan akan ajaran agama (menyangkut peristiwa murka Tuhan pada Sodom) membuat kaum gay selalu berusaha menutupi identitasnya, sehingga menjadi sebuah hal rahasia dan menakutkan untuk disingkap. Namun, logika closet tersebut menandakan adanya sebuah perlawanan penyingkapan diri kaum homoseks (kaum gay) akan keberadaan identitas dirinya (yang rahasia), yang tidak lepas juga dari berbagai gerakan pembebasan dan berbagai dukungan anti-homophobia. Sehingga pengungkapan diri tersebut berujung pada terbentuknya oposisi biner diantara kaum homoseks dan heteroseks, dimana pendefinisian antara kaum heteroseks (straight) dan homoseks/gay dalam terminologi gender dan seksualitas masih tumpang tindih (Sedgwick, 1990). 20

24 Berbagai pemikiran para ahli mengenai dinamika pembentukan kepribadian yang termasuk di dalamnya identitas seksual gay, layak menjadi sebuah konsep yang menuntun studi ini. Dikarenakan pertanyaan mengenai latar belakang pembentukan identitas seksual sebagai gay selalu menjadi bahan perdebatan dan terus diselidiki untuk mendapatkan sebuah gambaran yang jelas dan kredibel. Disertai juga berbagai permasalahan sosial yang sedang timbul dan bergulir di tengah masyarakat yang homophobia, atau kondisi sosial masyarakat yang mengalami ketegangan dikarenakan keberadaan kaum gay. Seperti kaum gay di Kota Manado, memang sebagian kaum gay tidak lagi terkungkung dalam closet dan mulai berani mengungkap identitas seksualnya sebagai gay juga tergabung dalam komunitas gay. Di lain pihak juga sebagian gay masih terus terkungkung dalam pergolakan diri disebabkan identitas seksualnya yang mengancam ditengah melakukan praktik sosial, namun dengan cara tersendiri menyingkap identitas seksualnya sebagai gay. Dari tinjauan teoritis ini, dibalik identitas seksual kaum gay pastinya memiliki berbagai pendorong, persoalan, hambatan maupun konsekuensi disaat bermain diatas panggung sosial yang dikuasai oleh pihak heteroseksual Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi homoseksualitas yang mengkaji dinamika pembentukan identitas seksual gay di Manado, yang meliputi dinamika pembentukan orientasi seksual dan negosiasi identitas seksual gay. Dalam 21

25 melakukan penelitian, peneliti mengunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Melakukan penelitian yang menggunakan metode penelitian kualitatif (mengacu pada Yin, 2011), maka peneliti berinteraksi secara langsung dengan kaum gay dan dengan seksama membentuk sebuah hubungan yang baik dengan mereka. Tentunya juga bermaksud memahami kehidupan keseharian mereka dan perspektif mereka yang tertuang dalam susunan kata-kata sebagai sarana pengungkapan berbagai ekspresi pribadi maupun sosial. Dimana uraian tersebut merupakan bentuk data paling kredibel dan bersifat holistik dalam penelitian ini. Penelitian ini pun menggunakan pendekatan fenomenologi, seperti yang dijelaskan oleh Titchen dan Hobson (2005) sebagai berikut: Phenomena can be directly researched by exploring human knowing, through accessing consciousness, and indirectly by investigating human being, through accessing the senses and shared background meanings and practices. Sehingga dalam melakukan penelitian, peneliti berusaha mengamati kehidupan kesehariannya, melihat secara mendalam dan berusaha memahami aspek inter-subjektivitas mereka. Melakukan interpretasi untuk mengungkap kesadaran akan pemaknaan diri mereka mengenai realitas sosial melalui berbagai pengalaman subjektif, khususnya yang berkaitan dengan dinamika pembentukan identitas seksual gay. Peneliti tidak membawa penelitian ini untuk mengkritik atau mencoba menghukum mereka sebagai bentuk penyimpangan seksual (sosial). Agar supaya kaum gay mampu dan berani untuk berbicara mengenai diri mereka sendiri, lewat pengalaman pribadi mereka. Pengetahuan dan refleksi diri yang 22

26 terbentuk berdasarkan pengalaman pribadi kaum gay mengambil andil besar dalam berbagai data primer yang di dapat dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini pun informan yang menjadi sumber data dipilih berdasarkan purposive sampling, artinya peneliti menentukan informan-informan yang diketahui secara pasti adalah seorang gay dari berbagai ciri khas ke-gay-an dan tentunya telah mengakui kepada peneliti adalah seorang gay. Sebagian informan tergabung dalam komunitas dan informan yang non-komunitas telah diketahui jelas oleh peneliti karena adanya interaksi yang intens dan pengakuan dari para informan tersebut. Dikarenakan mengangkat suatu isu sosial yang sensitif dan menyentuh bagian masyarakat yang selama ini tidak terjangkau (atau malahan diabaikan). Maka peneliti melakukan berbagai macam usaha dari pendekatan personal, kelompok/komunitas, sampai menggunakan gatekeeper untuk membangun jaringan dengan kaum gay di kota Manado. Selanjutnya untuk mendapatkan hasil penelitian yang lengkap, mendalam, kredibel dan bermakna, penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, yaitu dari bulan Agustus 2013 sampai bulan Januari tahun Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Manado, sebagai setting sosial kultural yang melatarbelakangi kehidupan sosial kaum gay. Memilih daerah Manado bukan tanpa alasan namun dikarenakan 2 (dua) hal, Pertama, Manado adalah pusat kegiatan sebagian besar masyarakat di 23

27 Sulawesi Utara selain sebagai ibukota provinsi. Hal itu dikarenakan kawasan di Manado didukung oleh sarana-prasarana perkotaan yang lebih lengkap dari wilayah lain di Sulawesi Utara. Seperti area pusat perbelanjaan, kafe-kafe atau restoran cepat saji, dan pusat hiburan lainnya yang menarik. Berbagai lokasi tersebut juga sering dijadikan sarana atau tempat berkumpulnya kaum gay ataupun komunitas gay. Maka mempermudah peneliti untuk mengenali dan menemui para lelaki yang memiliki orientasi seksual gay. Dimana mereka juga cenderung mengekspresikan identitas seksualnya lewat penampilan atau fashion. Kedua, nampaknya eksistensi kaum gay di Manado semakin terlihat meskipun belum secara keseluruhan dan frontal. Sehingga masyarakat mulai menyadari kehadiran kaum LGBT khususnya gay dengan respon yang beragam. Tetapi kajian ilmiah mengenai homoseksualitas di Manado masih minim menyebabkan masyarakat dan khususnya kaum gay tidak memiliki acuan yang jelas dalam menghadapi kondisi binerisme orientasi seksual dalam kehidupan sosial. Untuk itu, kajian dinamika pembentukan identitas seksual gay dianggap perlu dilakukan di Manado, sebagai eksplorasi ilmiah awal atas kehidupan gay di Manado Fokus Penelitian Penelitian ini pun memiliki beberapa fokus yang menjadi objek untuk diungkapkan secara mendalam dalam penelitian ini. Pertama, dinamika pembentukan orientasi seksual gay di Manado dengan berdasarkan pengalaman pribadi gay secara internal dan eksternal. Kedua, 24

28 berlanjut pada negosiasi identitas seksual gay di tengah lingkungan sosial masyarakat Manado yang heteroseks Sumber Data Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder yang dibedakan berdasarkan substansi darimana data tersebut berasal Data Primer Dalam penelitian ini, sumber data primer diambil dari para informan penelitian yang merupakan masyarakat Manado yang memiliki orientasi seksual gay. Karena kaum gay menjadi inti pokok untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika pembentukan identitas seksual gay di Manado. Informan dalam penelitian ini berjumlah 14 orang, yang terdiri dari 10 orang yang tidak tergabung dalam komunitas dan 4 orang yang tergabung dalam komunitas Data Sekunder Untuk melengkapi kelengkapan data dalam penelitian ini, maka peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang diambil dari wawancara dengan pengurus komunitas LGBT di Manado dan berbagai media elektronik/online dan berbagai dokumen acuan yang terkait dalam masalah penelitian Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan melalui metode: Studi Kepustakaan dan Media : 25

29 Dengan mengambil data dari buku-buku, laporan para ahli dan berbagai literatur yang berfungsi sebagai landasan teoritis dan referensi yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Seperti mengumpulkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sulawesi Utara dan kota Manado, komunitas SALUT dan GWL, beserta berbagai literatur yang dikumpulkan dari informasi yang tertuang dalam pemberitaan media khususnya media elektronik/online Observasi : Peneliti melakukan pengamatan secara langsung dengan mengunjungi beberapa tempat yang disenangi oleh kaum gay Manado yang biasanya dijadikan tempat berkumpul atau mengisi waktu luang, serta kantor sekretariat dari komunitas. Pengamatan juga dilakukan dengan terlibat dalam sebagian kegiatan keseharian kaum gay, seperti mengisi waktu luang bersama, diajak makan siang atau makan malam, menonton bioskop, berolahraga, berbelanja, dan menemani pacaran. Selain itu, pengamatan juga dilakukan peneliti dengan mengunjungi beberapa kegiatan yang sering diikuti kaum gay Manado seperti pemilihan dutaduta pariwisata dan kegiatan sosial keagamaan yang melibatkan komunitas gay Wawancara Mendalam (Indepth Interview) : Peneliti melakukan komunikasi (disertai dengan interaksi mendalam), berupa wawancara dengan informan yang ditetapkan dalam penelitian ini. Disaat melakukan wawancara mendalam, awalnya peneliti diharuskan untuk mendapatkan kepercayaan penuh dari informan. Karena sebagian informan masih merasa risih dan malu untuk menceritakan pengalamannya sebagai gay. Wawancara mendalam (indepth interview) ini dimaksudkan agar peneliti dapat 26

30 melakukan penggalian informasi secara rinci dan mendalam untuk membantu peneliti memahami berbagai problema terkait dinamika pembentukan identitas seksual gay di kota Manado. Sehingga peneliti mendengarkan berbagai cerita, pengetahuan dan pemahaman dari perspektif gay berdasarkan pengalaman mereka Teknik Analisis Data Pengolahan data dilakukan peneliti secara terus-menerus sejak awal sampai selesainya penelitian secara bersamaan. Berdasarkan dari berbagai data yang diperoleh peneliti disaat melakukan tinjauan pustaka, literatur dan media, observasi, dan wawancara mendalam yang berkaitan dengan dinamika pembentukan identitas seksual gay yang ada di Manado. Serta melakukan analisis data mengikuti metode analisis data dari Miles and Huberman (dalam Denzin & Lincoln, 2009) yaitu: Reduksi Data Dilakukan dengan cara, berbagai catatan yang dihasilkan dari lapangan oleh peneliti direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting. Kemudian dicari tema atau polanya yang terfokus pada pengalaman yang berperan dalam dinamika pembentukan identitas seksual gay Penyajian Data Selanjutnya peneliti melakukan display atau penyajian data, yang dimaksudkan untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian. Data-data yang diperoleh dan telah terfokus pada dinamika 27

31 pembentukan identitas seksual gay disajikan dalam penulisan yang rapi, mendalam dan sistematis. Karena telah diubah dari catatan lapangan yang disingkat dengan kode-kode tertentu. Dengan kata lain, hal ini merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu, yakni dibuat secara sistematis dan sederhana agar peneliti mudah untuk memahami, menginterpretasi, serta melihat makna dibalik berbagai makna subjektif (ataupun objektif) dari kaum gay yang menjadi informan Verifikasi Data Verifikasi data dalam penelitian ini dilakukan secara terus-menerus sepanjang proses penelitian berlangsung sejak awal dan selama proses pengumpulan data, peneliti melakukan verifikasi data yang dikumpulkan, yaitu mencari pola, tema, hubungan persamaan/perbedaan, hal-hal yang sering timbul yang berkaitan dengan masalah yang menjadi fokus penelitian dan sebagainya. Untuk memperoleh pengetahuan, makna ataupun pemahaman, serta berbagai motif (atau simbol) yang berkaitan dengan dinamika pembentukan identitas seksual gay Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab yang mencakup keseluruhan unsur-unsur teoritis, metodologis, dan temuan-temuan penelitian. Secara rinci kelima bab tersebut dibagi dan diberi judul tematis, sebagai berikut: Bab I adalah bagian Pendahuluan yang membahas latar belakang penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, dan metode penelitian. 28

32 Bab II adalah bagian yang mendeskripsikan setting sosial kultural Manado yang meliputi deskripsi Manado sebagai lokasi penelitian, keberadaan gay di Manado baik yang komunitas dan non-komunitas, dan latar belakang informan penelitian. Bab III dan Bab IV adalah bagian yang secara khusus dibuat untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu Bab III membahas mengenai dinamika pembentukan orientasi seksual gay di Manado berdasarkan faktor internal dan eksternal. Bab IV membahas mengenai negosiasi identitas seksual gay di Manado. Bab V adalah bagian penutup yang terdiri dari dua sub bab yaitu kesimpulan penelitian dan refleksi kritis. 29

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka. kesimpulan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka. kesimpulan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut : BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka kesimpulan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut : Pembentukan orientasi seksual gay di Manado tidak dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan McMullin (1992) (dikutip dalam Siahaan, 2009: 47) mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dan McMullin (1992) (dikutip dalam Siahaan, 2009: 47) mengungkapkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Homoseksual merupakan suatu realitas sosial yang semakin berkembang dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan homoseksual telah muncul seiring dengan sejarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog Jerman Karoly Maria Benkert. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang seksualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksualitas merupakan salah satu topik yang bersifat sensitif dan kompleks. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual

Lebih terperinci

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S1 Psikologi Diajukan oleh : ANDRI SUCI LESTARININGRUM F 100

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini.

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini. BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya kejadian persetubuhan antara ayah dengan anak kandungnya ditengah-tengah masyarakat dianggap tidak lazim oleh mereka. Keretakan dalam hubungan rumah tangga sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya

BAB I PENDAHULUAN. adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi dunia mempengaruhi banyak bidang kehidupan, salah satunya adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya media Eropa ke Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia orientasi seksual yang umum dan diakui oleh masyarakat kebanyakan adalah heteroseksual. Namun tidak dapat dipungkiri ada sebagian kecil dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh Indonesia, antara lain dengan adanya Peraturan Menteri Sosial No.8 / 2012 yang memasukan kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan, tereksploitasi, dan lain sebagainya. Perempuan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerima pesan atau yang biasa disebut dengan komunikan.manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penerima pesan atau yang biasa disebut dengan komunikan.manusia merupakan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator dengan menggunakan berbagai media dan sarana sehingga dapat diterima oleh sang penerima pesan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

SOSIOLOGI KOMUNIKASI. KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES INTERAKSI Rika Yessica Rahma,M.Ikom. Modul ke: Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Penyiaran

SOSIOLOGI KOMUNIKASI. KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES INTERAKSI Rika Yessica Rahma,M.Ikom. Modul ke: Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Penyiaran Modul ke: SOSIOLOGI KOMUNIKASI Fakultas Ilmu Komunikasi KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES INTERAKSI Rika Yessica Rahma,M.Ikom Program Studi Penyiaran www.mercubuana.ac.id PENGERTIAN INTERAKSI SOSIAL Interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial sekaligus menarik untuk didiskusikan. Di Indonesia sendiri, homoseksualitas sudah meranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak diciptakannya manusia pertama yang dikenal dengan Adam dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak diciptakannya manusia pertama yang dikenal dengan Adam dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diciptakannya manusia pertama yang dikenal dengan Adam dan Hawa, sejak saat itu pula orang mengetahui bahwa manusia diciptakan secara berpasang-pasangan.

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka Ada sebuah lagu klise yang sudah lama bergema di Indonesia. Wanita dijajah pria sejak dulu kala 1, begitu penggalan liriknya. Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. justru laris manis di pasaran meskipun main kucing-kuicingan dengan

BAB I PENDAHULUAN. justru laris manis di pasaran meskipun main kucing-kuicingan dengan 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wacana-wacana seksualitas yang ilmiah masih dianggap sebagai suatu kegiatan yang tidak penting dan menghabiskan waktu saja pada masa kini. Bebeda dengan novel

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki peran masing-masing serta mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

Sosialisasi sebagai proses belajar seorang individu merupakan salah. satu faktor yang mempengaruhi bagaimana keberlangsungan proses

Sosialisasi sebagai proses belajar seorang individu merupakan salah. satu faktor yang mempengaruhi bagaimana keberlangsungan proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sosialisasi sebagai proses belajar seorang individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bagaimana keberlangsungan proses kehidupan masyarakat, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksualitas merupakan rasa tertarik pada orang-orang berjenis kelamin sama baik secara perasaan ataupun secara erotik, dengan atau tanpa hubungan fisik. Disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sudah menjadi kodratnya manusia diciptakan berpasang-pasangan antara lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Sudah menjadi kodratnya manusia diciptakan berpasang-pasangan antara lakilaki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia mengakui setiap perbedaan yang ada pada diri manusia, baik itu perbedaan jenis kelamin, asal ras atau etnis, dan agama, yang pada dasarnya semua perbedaan itu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. permasalahan yang sangat kompleks dan dinamis sehingga penting untuk

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. permasalahan yang sangat kompleks dan dinamis sehingga penting untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Permasalahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan dinamis sehingga penting untuk mengkaji secara holistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Waria (wanita-pria) adalah laki laki yang secara fisik mereka adalah lakilaki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka merasa dirinya perempuan, dan berpenampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang

Lebih terperinci

2015 REKONSTRUKSI SOSIAL KEHIDUPAN KAUM WARIA DI KOTA CIMAHI

2015 REKONSTRUKSI SOSIAL KEHIDUPAN KAUM WARIA DI KOTA CIMAHI 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria adalah suatu fenomena yang semakin menjamur di Indonesia. Fenomena waria adalah sebuah fenomena yang dapat ditemui di hampir semua kota besar di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bukanlah fenomena baru di masyarakat Indonesia. Ternyata sejak zaman

BAB I PENDAHULUAN. bukanlah fenomena baru di masyarakat Indonesia. Ternyata sejak zaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual pada sesama jenis, baik itu gay maupun lesbian, bukanlah fenomena baru di masyarakat Indonesia. Ternyata sejak zaman dulu, praktik seksual sejenis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Orientasi Seksual a. Pengertian Orientasi Seksual Setiap individu memiliki suatu ketertarikan, baik secara fisik maupun emosional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi sesama manusia. Manusia membutuhkan manusia lainnya sebagai pemenuhan kebutuhan lahir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Presentasi Diri Ayam Kampus Di Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Presentasi Diri Ayam Kampus Di Yogyakarta BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Presentasi Diri Ayam Kampus Di Yogyakarta 1. Pengertian Presentasi Diri Pada dasarnya, setiap orang memiliki langkah-langkah khusus dalam mempresentasikan dirinya kepada orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni

Lebih terperinci

BAB II DRAMATURGI: ERVING GOFFMAN. yang namanya teori dramaturgi, Dramaturgi adalah teori yang

BAB II DRAMATURGI: ERVING GOFFMAN. yang namanya teori dramaturgi, Dramaturgi adalah teori yang BAB II DRAMATURGI: ERVING GOFFMAN A. Kerangka Teoritik Dalam ilmu sosiologi mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan yang namanya teori dramaturgi, Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang selalu membawa pengaruh positif dan negatif. Dampak perkembangan yang bersifat positif selalu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kaum muda yang notabene adalah generasi yang baru bertumbuh dewasa dan masih harus mencari orientasi hidup, tidak jarang menjadi korban dari dampak budaya virtual.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Fenomena Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) selalu menjadi persoalan isu kemarjinalan yang tidak pernah usai dibicarakan. Bahkan sampai saat ini mereka masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai, diakui, dan sebagainya.memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai, diakui, dan sebagainya.memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia membutuhkan manusia lain dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik itu kebutuhan biologis seperti makan dan minum maupun kebutuhan psikologis, seperti

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah elemen terpenting dalam kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu sendiri dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seorang pengarang akan mencoba menggambarkan realitas yang ada ke dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. seorang pengarang akan mencoba menggambarkan realitas yang ada ke dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari sebuah proses gejolak dan perasaan seorang pengarang terhadap realitas sosial yang merangsang kesadaran pribadinya. Dengan kedalaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini, kita dituntut untuk menjalani aktifitas hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini, kita dituntut untuk menjalani aktifitas hidup yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, kita dituntut untuk menjalani aktifitas hidup yang normal. Hal ini dilakukan, agar kita dapat diterima dalam masyarakat disekitar. Salah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan BAB V PENUTUP Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesimpulan dan saran sebagai penutup dari pendahuluan hingga analisa kritis yang ada dalam bab 4. 5.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya orang lain disekitarnya. Kebutuhan akan keberadaan orang lain disekitar kita

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah. tabel penelitian terdahulu yang penulis gunakan:

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah. tabel penelitian terdahulu yang penulis gunakan: 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian terdahulu sebagai perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah tabel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang

Lebih terperinci

BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN 137 BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Konsep mimpi Sigmund Freud. Mimpi adalah produk psikis yang dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis. Dengan menganalisis mimpi maka dapat mengetahui

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. komunikasi dalam HIMAG, (3) apa manfaat bergabung dengan HIMAG. Bab ini

BAB V KESIMPULAN. komunikasi dalam HIMAG, (3) apa manfaat bergabung dengan HIMAG. Bab ini BAB V KESIMPULAN Pada pemaparan dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, setidaknya ada tiga pertanyaan terkait pertanyaan besar tentang bagaimana cara HIMAG mewujudkan eksistensi identitas gay mereka di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hijab merupakan simbol komunikasi dan sebagai identitas bagi wanita,

BAB I PENDAHULUAN. Hijab merupakan simbol komunikasi dan sebagai identitas bagi wanita, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hijab merupakan simbol komunikasi dan sebagai identitas bagi wanita, sehingga wanita mudah dikenal melalui pesan penampilan atau hijab yang dikenakan. Melalui hijab,

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun keluarga melalui pernikahan lalu memiliki keturunan dan terkait dengan kecenderungan seksual

Lebih terperinci

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis.

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis. BAB 2. SEKSUALITAS Apa itu Seks dan Gender? Sebelum kita melangkah ke apa itu seksualitas, pertanyaan mengenai apa itu Seks dan Gender serta istilah lain yang berkaitan dengan nya sering sekali muncul.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu yang memiliki sebuah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu yang memiliki sebuah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu yang memiliki sebuah norma dan nilai sosial didalamnya yang tujuannya untuk menata keteraturan dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Koeswinarno (2004: 7-8) dalam bukunya Hidup Sebagai. layaknya perempuan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dari

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Koeswinarno (2004: 7-8) dalam bukunya Hidup Sebagai. layaknya perempuan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat kita cenderung berpikiran oposisi biner, yaitu hanya mengakui hal-hal yang sama sekali bertentangan, misalnya hitam dan putih, baik dan buruk, kaya dan miskin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia yang mengglobal ini, media massa telah menjadi alat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia yang mengglobal ini, media massa telah menjadi alat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia yang mengglobal ini, media massa telah menjadi alat perpanjangan alat indra. Melalui media massa, dapat diperoleh informasi tentang orang, benda atau tempat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Musik dangdut merupakan sebuah genre musik yang mengalami dinamika di setiap jamannya. Genre musik ini digemari oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Berkembangnya dangdut

Lebih terperinci

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM SEX EDUCATION Editor : Nurul Misbah, SKM ISU-ISU SEKSUALITAS : Pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dianggap sebagai hal yang tabu tidak pantas dibicarakan dalam komunitas umum bersifat pribadi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Pengaruh zaman yang memang tak terelakkan telah begitu kuat melanda negara-negara Barat di mana keterbukaan dan kebebasan menjadi ciri sekaligus aspirasi masyarakatnya.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk kehidupan

Lebih terperinci

UKDW BAB I : PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

UKDW BAB I : PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I : PENDAHULUAN I. Latar Belakang Keberagaman merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dipisahkan di dalam dunia. Terkadang keberagaman menghasilkan sesuatu yang indah, tetapi juga keberagaman dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumen, yaitu pada bagian sales product. Bagian ini terdiri dari beberapa divisi,

BAB I PENDAHULUAN. konsumen, yaitu pada bagian sales product. Bagian ini terdiri dari beberapa divisi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Pemasaran suatu produk memerlukan beberapa aktivitas yang melibatkan berbagai sumber daya. Sebagai fenomena yang berkembang saat ini, dalam pemasaran terdapat suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dewasa ini, fenomena homoseksualitas semakin marak. Bukan hanya di luar negeri, tetapi fenomena ini juga berlaku di Indonesia. Baik itu lesbian ataupun gay. Baik

Lebih terperinci

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL 1. Teori Asosiasi Diferensial (differential association Theory) Teori ini dikembangan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1930-an,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai individu yang kompleks memiliki orientasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai individu yang kompleks memiliki orientasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai individu yang kompleks memiliki orientasi seksual dalam kehidupannya dari kecil. Orientasi seksual ada beberapa jenis yaitu heteroseksual,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi massa merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa seperti surat kabar, majalah,

Lebih terperinci

berbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu

berbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu 63 BAB V PENUTUP 5.1. Pembahasan Identitas seksual adalah apa yang orang katakan mengenai kita berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual kita, kita benarkan dan percaya sebagai diri kita. Jika seorang

Lebih terperinci

2015 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK ANAK USIA DINI

2015 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK ANAK USIA DINI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa usia dini sering dikatakan sebagai masa keemasan atau golden age. Masa keemasan adalah masa dimana anak memiliki kemampuan penyerapan informasi yang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat pederitanya merasa bahwa identitas gendernya (sebagai laki-laki atau perempuan) tidak sesuai dengan anatomi biologisnya.

Lebih terperinci

Kuliah ke-8 Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana, Ph.D.

Kuliah ke-8 Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana, Ph.D. Kuliah ke-8 Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana, Ph.D. a.wardana@uny.ac.id Materi: Konsep Diri: Mengingat kembali Looking-glass self Cooley Tensi antara I dan Me Mead Interaksi Pelaku dan Audien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Keluarga pada dasarnya adalah suatu kelompok kecil yang berhubungan dan berinteraksi dengan individu sejak dilahirkan. Keluarga juga merupakan suatu kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil penelitian yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Adapun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dari ketiga subyek, mereka memiliki persamaan dan perbedaan dalam setiap aspek yang diteliti. Khususnya dalam penelitian mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah media audio visual yang memiliki peranan penting bagi perkembangan zaman di setiap negara. terlepas menjadi bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Pertama yaitu, Communication Privacy Management Gay dalam Menjaga Hubungan Antarpribadi dengan teman.

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Pertama yaitu, Communication Privacy Management Gay dalam Menjaga Hubungan Antarpribadi dengan teman. 122 BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Untuk memanajemen privasi komunikasinya, kaum gay memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengungkapkan mana wilayah privat dan mana wilayah publik dengan teman, pasangan

Lebih terperinci

Freud s Psychoanalytic Theories

Freud s Psychoanalytic Theories Modul ke: 02Fakultas Erna PSIKOLOGI Freud s Psychoanalytic Theories Multahada, S.HI., S.Psi., M.Si Program Studi Psikologi Freud (1856-1939) Pendekatan Dinamis Dinamakan juga : Energi psikis, energi dorongan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berusia diatas enam belas tahun berpendapat sama mengenai hubungan sesama jenis

BAB I PENDAHULUAN. yang berusia diatas enam belas tahun berpendapat sama mengenai hubungan sesama jenis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Homoseksual (Lesbian) merupakan masalah yang kompleks, menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia baik sosial maupun agama. Hawari (2009) menyatakan bahwa istilah

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Perspektif Pendekatan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran yang mendalam tentang kemampuan masyarakat pesisir memahami serta berpartisipasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. (unity), bersatunya bayi dengan ibunya, kembali pada the Real. Suatu kondisi

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. (unity), bersatunya bayi dengan ibunya, kembali pada the Real. Suatu kondisi BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Hasrat dan fantasi merupakan hal yang siginifikan dalam pemikiran Lacan. Melalui hasrat subjek mampu bertahan dengan ilusi kembali pada kondisi utuh (unity), bersatunya bayi

Lebih terperinci

BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD. interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan

BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD. interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan 33 BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD Kehidupan social itu sendiri tidak pernah terlepas dari adanya sebuah interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Seseorang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi 219 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi Islam di Indonesia dapat disimpulkan sebagai

Lebih terperinci

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

SOSIOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: SOSIOLOGI KOMUNIKASI TEORI-TEORI SOSIOLOGI KOMUNIKASI Fakultas Ilmu Komunikasi Rika Yessica Rahma,M.Ikom Program Studi Penyiaran www.mercubuana.ac.id TEORI TEORI SOSIOLOGI KOMUNIKASI TEORI STRUKTURAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Psikologi Tokoh Eko Prasetyo dalam Novel Jangan Ucapkan Cinta Karya

BAB II LANDASAN TEORI. Psikologi Tokoh Eko Prasetyo dalam Novel Jangan Ucapkan Cinta Karya BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian Sebelumnya Seperti beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya tergantung pada keunggulan teknologi, sarana dan prasarana, melainkan juga tergantung pada kualitas

Lebih terperinci

BAB V. PENUTUP. memiliki kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Hanya hak anak

BAB V. PENUTUP. memiliki kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Hanya hak anak BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan Sebagian besar hak-hak anak dalam kelima keluarga dalam penelitian ini memiliki kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Hanya hak anak untuk hidup dan hak anak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian tersebut maka digunakan metodologi penelitian sebagai berikut:

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian tersebut maka digunakan metodologi penelitian sebagai berikut: BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai pengalaman psikologis pada remaja yang mengalami perceraian orangtua. Untuk mengetahui hasil dari

Lebih terperinci