BAB III PEMBAHASAN. berlabuh kapal milik pedagang Cina, Arab, India, Portugis, dan VOC Belanda

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PEMBAHASAN. berlabuh kapal milik pedagang Cina, Arab, India, Portugis, dan VOC Belanda"

Transkripsi

1 24 BAB III PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah Berdirinya Perusahaan Sebelum berubah menjadi Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Tanjung Emas, mulanya pelabuhan ini bernama Pelabuhan Semarang. Pelabuhan Semarang dulunya berawal dari Kali Semarang yang membelah kota Semarang dan bermuara di laut jawa. Pada tempo dulu, Kali Semarang memainkan peranan yang sangat penting karena berfungsi sebagai tempat berlabuh kapal milik pedagang Cina, Arab, India, Portugis, dan VOC Belanda yang melakukan kegiatan bongkar di Pelabuhan yang terletak di tepi kali Semarang. Berdasarkan catatan sejarah, pelabuhan laut Semarang mulai berfungsi pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan dinobatkannya Pandan Arang II sebagai Bupati Semarang yang pertama. Dengan demikian maka usia Pelabuhan Tanjung Emas telah mencapai 466 tahun, sama dengan usia Kota Semarang. Dalam perkembangannya, pelabuhan menjadi episentrum transaksi perdagangan barang. Pada jaman VOC, kapal-kapal dagang merapat di berbagai pelabuhan untuk mengangkut barang dagang. Pada tahun 1513 tercatat tiga tempat di Jawa Tengah ramai dikunjungi kapal milik pedagang, antara lain Losari, Tegal, dan Semarang. Perdagangan menjadi semakin ramai 24

2 25 setelah Terusan Suez dibuka tahun Kapal dari Eropa secara berduyungduyung menuju Nusantara, termasuk pelabuhan Semarang yang mulai berfungsi sejak 2 Mei Pada masa Hindia Belanda, pelabuhan merupakan prasarana umum yang dikelola oleh Jawatan Pelabuhan yang bernaung di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Institusi yang melaksanakan pelayanan di Pelabuhan disebut Haven Directie. Hal ini sesuai dengan Algemeene Haven Reglement (AHR) dan pertanggungjawaban keuangan diatur berdasarkan IBW. Pengawasan keselamatan kapal dan ketertiban Bandar Pelabuhan dilaksanakan oleh Syahbandar. Hal ini sesuai dengan ketentuan Reeden Reglement Loods Dient Ordonantie dan Loods Dient Voreedering. Setelah kemerdekaan hingga tahun 1950, pengelolaan pelabuhan dilaksanakan oleh jawatan pelabuhan. Pemerintah mulai menata ulang pengelolaan pelabuhan yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1951 tentang Peraturan Perbaikan Pelabuhan. Pimpinan pelabuhan disebut penguasa pelabuhan yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Perhubungan. Sejak tahun 1960, pengelola pelabuhan umum di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam kurun waktu berjalan, bentuknya telah mengalami beberapa perubahan yang disesuaikan dengan arah kebijakan pemerintah. Awal Pelita I, pemerintah merasa perlu untuk menata ulang pelabuhan. Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 1 Tahun 1969 yang menyatukan fungsi regulator dan operator dalam satu institusi yang disebut

3 26 Badan Pengusahaan Pelabuhan. Langkah pemerintah masih terus berlanjut yaitu dengan mengeluarkan berbagai regulasi dalam rangka menata dan meningkatkan peran pelabuhan. Dalam rangka itu, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 11 Tahun 1983 tentang Pembinaan Kepelabuhan dan PP Nomor Tahun 1983 tentang Perusahaan Umum Pelabuhan I-IV. Selama Pelita I-III, Pelabuhan dibiayai oleh pemerintah dari APBN. Akan tetapi, Pemerintah melihat Pelabuhan harus dikelola secara mandiri tanpa dibebani APBN. Untuk merealisasi komersialisasi pelabuhan, maka pengelola pelabuhan harus korporafisasi agar dapat secara fleksibel melaksanakan fungsinya. Hingga awal tahun 1980, pemerintah dalam hal Ditjen Perhubungan Laut melakukan studi pengembangan angkutan laut dan kepelabuhan dengan pendekatan pembentukan kebijakan Four Gateway Policy sebagai main-port, yaitu Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar. Hal ini sesuai dengan keputusan Internasional Shipping Conference yang menetapkan main-port. Berdasarkan hasil studi di atas, jumlah pelabuhan Perum Pelabuhan ditetapkan sebanyak empat perusahaan, yaitu Perum Pelabuhan I sampai dengan IV. Pada tahun 1991, Perum Pelabuhan III ditingkatkan menjadi PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) berdasarkan PP Nomor 58 Tahun Pemerintah mengharapkan dengan adanya perubahan ini PT Pelabuhan Indonesia (Persero) dapat meningkatkan peranannya sebagai corporate dalam

4 27 mengelola pelabuhan secara komersial. Pelabuhan Tanjung Emas berada di bawah PT Pelabuhan Indonesia III (Persero). Setelah kemerdekaan, Pelabuhan Semarang mengalami peningkatan yang signifkan. Arus kapal dan arus barang meningkat tajam. Padahal, bongkar muat dilakukan dengan sistim REDE sehingga kunjungan kapal pun harus dibatasi karena hanya kapal dengan bobot mati di bawah 3500 DWT yang dapat bersandar karena kedalaman alur dan kolam pelabuhan hanya -5 LWS serta fasilitas pelabuhan khusunya dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan masih sangat terbatas. Sebab itu, pemerintah mulai membangun dermaga pelabuhan Nusantara (Coaster) dan gudang lini I Nusantara pada tahun Akan tetapi, tantangan kembali mencuat mulai dari decade tahun 70-an, yang mana arus barang meningkat 10% setiap tahunnya. Sebab itu, pemerintah menyusun Master Plan Pengembangan Pelabuhan Semarang. Berdasarkan Master Plan tersebut, Pengembangan Pelabuhan Semarang dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu Tahap I, Tahap II, dan Tahap III. Pengembangan Pelabuhan Semarang Tahap I selesai dikerjakan dalam tiga tahun. Pada tanggal 23 November 1985, Presiden Soeharto meresmikan pengembangan tahap I sekaligus mengganti nama Pelabuhan Semarang menjadi Pelabuhan Tanjung Emas. Itulah masa keemasan Pelabuhan Tanjung Emas. Bila selama ini dekenal sebagai palabuhan REDE, maka sejak saat itu Pelabuhan Tanjung Emas telah memiliki fasilitas pelabuhan samudera yang mampu melayani kapal di atas DWT.

5 28 Pada tahun , dilakukan pengembangan tahap ke-ii. Dan pada tahun 1997, Menteri Perhubungan Ir. Giri Suseno meresmikan pengembangan tahap II. Sejak saat itu Pelabuhan Tanjung Emas memasuki era Konteinerisasi. Pelabuhan Tanjung Emas terletak sangat strategis yang mana pelabuhan ini diapit oleh dua pelabuhan besar yaitu Pelabuhan Tanjung Priok di sebelah barat dan Pelabuhan Tanjung Perak disebelah timur. Karena terletak di utara Kota Semarang, Pelabuhan Tanjung Emas berfungsi sebagai pintu gerbang perekonomian Jawa Tengah dan sekitarnya. Pelabuhan Tanjung Emas merupakan Gate Way Port wilayah hinterland Jawa Tengah yang wilayah primernya yaitu Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mencakup Cilacap, Kudus, Kendal, Klaten, Pekalongan, Tegal, Demak, Semarang, Surakarta, Cepu, Pati, Jepara, Probolinggo, dll. Bongkar muat petikemas dilayani oleh Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS), sedangkan Pelabuhan Tanjung Emas melayani bongkar muat komoditas non petikemas yang berasal dari Jawa Tengah dan DIY. 2. Informasi Umum Cabang Pelabuhan Tanjung Emas Semarang adalah Pelabuhan Kelas I di lingkungan PT Pelabuhan Indonesia III (Persero), dipimpin oleh General Manager yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Direksi PT Pelabuhan Indonesia III (Persero). Pelabuhan Tanjung Emas berlokasi di Pantai Utara Jawa Tengah di posisi geografi sampai dengan 110 Garis Bujur Timur dan Garis Lintang Selatan.

6 29 3. Visi Perusahaan Menjadi pelaku penyedia jasa kepelabuhan yang prima, berkomitmen memacu integrasi logistik nasional. 4. Misi Perusahaan a. Menjamin penyedia jasa pelayanan prima melampaui standar yang berlaku secara konsisten. b. Memacu kesinambungan daya saing industri nasional melalui biaya logistik yang kompetitif. c. Memenuhi harapan semua stake holders melalui prinsip kesetaraan dan taat kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). d. Menjadikan SDM yang kompeten, berkinerja handal, dan berbudi pekerti luhur. e. Mendukung perolehan devisa negara dengan memperlancar arus perdagangan. 5. Bisnis Usaha Berdasarkan UU Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 yang berlaku sejak 1 Mei 2011, PT Pelabuhan (BUP) yang menyediakan kegiatan pengusahaan jasa kepelabuhan meliputi usaha-usaha sebagai berikut: a. Menyediakan kolam pelabuhan dan perairan untuk lalu lintas tempat berlabuhnya kapal. b. Menyelenggarakan jasa-jasa yang berhubungan dengan pemanduan dan penundaan kapal.

7 30 c. Menyediakan dermaga dan fasilitas lain untuk bertambat, bongkar muat barang termasuk hewan, dan fasilitas naik turunnya penumpang. d. Menyediakan gudang dan tempat penimbunan barang, angkutan Bandar, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan. e. Menyediakan tanah untuk berbagai bahan bangunan dan lapangan, sehubungan dengan kepentingan kelancaran angkutan laut. f. Menyediakan listrik, bahan bakar minyak, air minum, dan instalasi limbah pembuangan. g. Menyelenggarakan jasa terminal, kegiatan konsolidasi, dan distribusi barang termasuk hewan. h. Menyelenggarakan usaha lain yang dapat menunjang tercapainya tujuan perusahaan. 6. Usaha Penunjang Disamping berbagai kegiatan usaha, perusahaan juga mengembangkan kegiatan usaha lain, diantaranya: a. Penyediaan perkantoran, kawasan industri, dan kawasan perdagangan. b. Penyediaan fasilitas penampungan limbah, depo petikemas, dan pergudangan. c. Kegiatan angkutan umum, perhotelan, pariwisata, pos, dan telekomunikasi, serta sarana lainnya. 7. Kegiatan Perusahaan Kegiatan PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) yang tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

8 31 a. Penyediaan dan atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat. b. Penyediaan dan atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih. c. Penyediaan dan atau pelayanan fasilitas naik-turun penumpang dan atau kendaraan. d. Penyediaan dan atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan petikemas. e. Penyediaan dan atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan. f. Penyediaan dan atau pelayanan jasa terminal petikemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro. g. Penyediaan dan atau pelayanan jasa bongkar muat barang. h. Penyediaan dan atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang. i. Penyediaan dan pelayanan jasa penundaan kapal. B. Pembahasan 1. Penerapan PSAK 13 Revisi 2011 terhadap Properti Investasi Perusahaan a. Pengakuan, Transfer, dan Klasifikasi Properti Investasi Perusahaan Aset tetap tanah dan bangunan yang siap digunakan, maka nilainya direklasifikasi ke dalam akun tanah dan bangunan pada kelompok aset tetap atau properti investasi. Jika aset tetap itu selain tanah dan bangunan yang siap digunakan, maka nilainya direklasifikasi ke dalam akun aset tetap. Pengklasifikasian ini sangat bergantung dari tujuan

9 32 digunakannya aset tetap oleh perusahaan, apakah untuk kegiatan operasional perusahaan atau untuk menghasilkan rental serta kenaikan nilai dari aset tersebut. Setiap aset harus diklasifikasikan secara benar dan sesuai dengan standar yang ada, sehingga tidak menimbulkan permasalahan lebih lanjut untuk ke depannya apabila akan diambil suatu keputusan oleh pihak tertentu. Kemungkinan yang dialami perusahaan karena mengakui asetnya sebagai aset tetap adalah sebagai berikut: 1) Penggunaan model historical cost menyebabkan tidak adanya penilaian kembali untuk mengetahui nilai wajar dari aset tersebut sehingga tidak ada pengakuan penambahan laba pada periode terjadinya. 2) Model historical cost baik pada aset tetap maupun properti investasi, menjadikan perusahaan berkewajiban untuk melakukan penyusutan untuk setiap periode. 3) Tidak spesifiknya akun untuk menggolongkan pendapatan yang diperoleh dari sewa properti tersebut, sehingga terjadi penggabungan pengklasifikasian pendapatan pada laporan laba rugi. 4) Pengukuran setelah pengakuan awal karena menggunakan model historical cost menyebabkan tidak spesifiknya nilai, akan tetapi hal ini akan lebih memudahkan dalam hal pengambilan keputusan dan sulit untuk diselewengkan. Pengakuan aset tanah dan bangunan sebagai aset tetap dilakukan perusahaan sampai terbentuknya PSAK 13 Revisi 2011 yang

10 33 mengharuskan setiap perusahaan yang memberlakukan sewa operasi terhadap asetnya harus mentransfer ke akun properti investasi. Di tahun 2011, belum ada perubahan yang terjadi karena belum diterapkannya PSAK 13 Revisi 2011 oleh perusahaan sehingga kebijakan akuntansi perusahaan tahun 2007 masih digunakan sebagai acuan. Neraca dan laporan laba rugi masih menunjukkan penggabungan aset tetap dan hasil dari berbagai jenis pendapatan sehingga belum ada spesifikasi akun untuk properti investasi. Di tahun 2012, terdapat transfer yang dilakukan perusahaan dengan memisahkan aset tetap tanah ke akun properti investasi-tanah pada neraca. Pemisahan ini dilakukan dengan mengklasifikasikan mana saja tanah yang digunakan untuk kegiatan operasional dan tanah yang digunakan untuk menghasilkan rental atau kenaikan dari nilai tanah tersebut, sehingga terjadi pengurangan nominal pada akun tanah perusahaan. Pada laporan laba rugi, perusahaan telah melakukan pemisahan terhadap akun pendapatan yang khusus untuk mencatat perolehan pendapatan dari rental properti investasi, walaupun masih menggunakan akun yang sama dengan tahun Perusahaan mengklasifikasikan aset tetapnya ke properti investasi berdasarkan dengan kebijakan akuntansi perusahaan dengan mengacu pada PSAK 13 revisi Aset tetap yang termasuk ke properti investasi sesuai dengan kebijakan akuntansi perusahaan adalah tanah, yang mana tanah pada perusahaan dibagi menjadi dua pengklasifikasiannya, yaitu

11 34 daratan dan perairan. Tanah yang dimiliki oleh perusahaan, dimasukkan ke dalam golongan properti investasi, karena memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Tanah merupakan aset perusahaan yang memiliki bentuk fisik berupa daratan, sehingga termasuk ke dalam definisi properti investasi di dalam PSAK 13 Revisi 2011 sebagai tanah. 2) Perusahaan sebagai pemilik tanah tidak menggunakan asetnya tersebut untuk memproduksi barang atau jasa, akan tetapi memberlakukan secara sewa operasi kepada konsumen atau pihak pengguna. Hal ini sesuai dengan kriteria properti investasi dalam PSAK 13 Revisi 2011, yang mana properti tersebut digunakan untuk menghasilkan rental. 3) Perusahaan pemilik tanah tidak menggunakan sendiri asetnya tersebut untuk tujuan administratif. Hal ini sesuai dengan kriteria properti investasi di dalam PSAK 13 Revisi 2011 yang mana properti tidak digunakan sendiri untuk tujuan administrasi perusahaan. 4) Arus kas sebagian besar berasal dari tanah dan tidak bergantung dengan aset lainnya. Pendapatan sewa yang dihasikan dari penyewaan tanah hanya bergantung dengan satu aset saja yaitu properti investasi tanah itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kriteria properti investasi dalam PSAK 13 Revisi 2011 yang mana arus kas yang dihasilkan sebagian besar tidak bergantung pada aset lain yang dimiliki perusahaan.

12 35 Di luar tanah yang digolongkan sebagai properti investasi oleh perusahaan, terdapat aset tetap lain yang diperlakukan sama dengan tanah, yaitu bangunan. Bangunan merupakan aset tetap perusahaan yang mana dimaksudkan oleh perusahaan juga untuk menghasilkan rental. Apabila membahas tentang kriteria bangunan yang diberlakukan perusahaan, seharusnya aset ini dimasukkan dalam properti investasi, bukan aset tetap. Akan tetapi, sesuai dengan kebijakan manajemen terhadap bangunan memutuskan bahwa bangunan tidak diklasifikasikan sebagai properti investasi. Ada beberapa kemungkinan sehingga bangunan tidak dimasukkan ke dalam golongan properti investasi, antara lain: 1) Pendapatan yang dihasilkan dari rental bangunan jumlahnya tidak material jika dibandingkan dengan hasil rental tanah, sehingga perusahaan menetapkan untuk mengklasifikasikan bangunan ke golongan aset tetap. 2) Adanya kebijakan penyusutan yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga perusahaan tidak menginginkan untuk berpindah ke model nilai wajar. Perpindahan ke model nilai wajar menyebabkan perusahaan tidak boleh untuk kembali berpindah ke model biaya. Model nilai wajar ini juga mengharuskan perusahaan untuk menilai properti investasinya setiap periode sehingga akan membutuhkan biaya dan waktu lebih dalam proses penilaian tersebut. 3) Sewa yang digunakan perusahaan kepada pengguna menggunakan model sewa pembiayaan, sehingga menjadikan kepemilikan aset bagi

13 36 pengguna apabila sewa telah diselesaikan kewajibannya. Dalam properti investasi, model yang digunakan untuk penyewaan oleh pengguna adalah sewa operasi. Pada tahun 2013, perusahaan telah menerapkan kebijakan dari PSAK 13 Revisi 2011 ini secara penuh untuk tanah. Perusahaan telah mentransfer tanah ke dalam akun properti investasi pada neraca yang sesuai dengan kebijakan manajemen dan PSAK, serta memisahkan penggolongan pendapatan sewa dari pendapatan lainnya yang tidak berhubungan dengan sewa di dalam laporan laba ruginya. Tanah masih diukur dengan menggunakan model biaya dan bangunan masih belum diklasifikasikan sebagai properti investasi, akan tetapi pengklasifikasian untuk akun tanah secara keseluruhan sudah memenuhi standar yang telah ditetapkan PSAK 13 Revisi b. Penyajian, Pengukuran, dan Pengungkapan Properti Investasi Perusahaan Properti investasi-tanah di dalam neraca mengalami perbedaan penyajian pada tahun 2012 dan 2013, yang mana masa peralihan standar akuntansi menjadikan manajemen belum menetapkan kebijakan akuntansi secara mutlak. Di tahun 2012, perusahaan mencatat akun properti investasi-tanah ke dalam golongan aktiva lancar. Penyajian ini tentu sangat berisiko karena penggolongan aktiva lancar ditujukan untuk akun yang dapat segera terkonversi menjadi kas, terjual, atau terpakai kurang dari satu periode operasi normal perusahaan. Penggolongan properti investasi oleh perusahaan ke dalam aktiva lancar tidak tepat, karena:

14 37 1) Properti investasi merupakan aktiva yang memiliki bentuk fisik yang digunakan untuk menghasilkan rental atau kenaikan nilai yang memiliki umur ekonomis lebih dari satu periode, sehingga tidak tepat jika dimasukkan pada golongan akun aktiva lancar. 2) Properti investasi merupakan hutang bagi perusahaan terhadap pengguna, karena pembayaran dilakukan di awal sebelum difungsikannya aset oleh pengguna, kecuali apabila timbul adanya kesepakatan khusus antara perusahaan dan pengguna. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kriteria piutang sehingga properti investasi tidak tepat dimasukkan ke dalam golongan akun aktiva lancar. 3) Properti investasi bukan merupakan barang dagangan atau barang siap jual dalam kegiatan sehari-hari perusahaan, karena properti investasi ditujukan untuk menghasilkan rental atau kenaikan nilai dari properti tersebut. Dari hal di atas, maka seharusnya properti investasi tidak digolongkan ke dalam jenis akun aktiva lancar, karena tidak memenuhi persyaratan dari aktiva tersebut. Di tahun 2013, perusahaan menyajikan akun properti investasi pada golongan investasi di neraca sehingga terjadi transfer akun properti investasi dari aktiva lancar ke investasi. Kebijakan akuntansi ini sangat tepat penggolongannya, karena memang properti investasi merupakan akun yang seharusnya digolongkan sebagai investasi perusahaan, bukan sebagai aktiva lancar dan juga aset tetap.

15 38 Properti investasi sesuai dengan PSAK 13 Revisi 2011 diukur dengan menggunakan metode nilai wajar, yang mana aset dinilai berdasarkan penilaian pada tanggal efektif oleh penilai independen. Akan tetapi oleh perusahaan, properti investasi tanah pada awalnya diukur sebesar biaya perolehan yang meliputi harga pembelian dan biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung. Setelah pengakuan awal, properti investasi dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Biaya perolehan meliputi biaya yang dapat diatribusikan langsung untuk memperoleh aset yang bersangkutan, sedangkan biaya setelah perolehan awal diakui dalam jumlah tercatat properti investasi tersebut atau diakui sebagai properti investasi tersendiri jika dan hanya jika besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan properti investasi tersebut akan mengalir ke perusahaan dan biaya perolehan aset dapat diukur secara andal. Pencatatan properti investasi dengan menggunakan harga perolehan ini seharusnya menimbulkan penyusutan pada properti tersebut. Akan tetapi, karena properti tersebut adalah tanah sehingga sesuai dengan kebijakan akuntansi keuangan perusahaan menjadikan penyusutan tidak diberlakukan. Metode nilai wajar digunakan oleh perusahaan pada saat terjadi pertukaran aset, yang mana pengukuran terhadap nilai aset pada saat sekarang sangat menentukan laba atau rugi dari perolehan aset yang dipertukarkan. Akan tetapi, apabila aset yang diterima dan yang

16 39 diserahkan tidak dapat diukur secara andal, maka biaya perolehannya diukur dengan jumlah tercatat aset yang diserahkan. Pengungkapan atas properti investasi yang dimiliki entitas perlu untuk dilakukan, agar memperjelas bagaimana perlakuan yang dilakukan entitas terhadap propertinya tersebut. Berikut beberapa hal yang diungkapkan perusahaan terkait properti investasinya di dalam laporan keuangan, antara lain: 1) Perusahaan mengungkapkan properti investasinya dengan menggunakan model biaya, sehingga aturan mengenai model nilai wajar tidak diungkapkan oleh perusahaan. 2) Untuk mengungkapkan properti investasi, perusahaan memisahkan mana properti yang digunakan sebagai kegiatan operasional dan properti yang digunakan untuk menghasilkan rental sehingga dapat dilakukan pembedaan terhadap properti tersebut. 3) Penghasilan rental yang diperoleh perusahaan dicatat dalam laporan laba rugi dan apabila terdapat laba dari penghentian atau pelepasan properti, maka dicatat dalam pos pendapatan lain-lain. 4) Biaya operasi langsung meliputi biaya pemeliharaan dan biaya perbaikan pada properti investasi yang menghasilkan rental atau tidak, diungkapkan dalam laporan laba rugi perusahaan. 5) Model biaya menjadikan perusahaan menerapkan penyusutan pada properti investasinya selain tanah dengan umur ekonomis yang telah

17 40 ditetapkan perusahaan. Metode yang digunakan adalah metode garis lurus yang dilakukan pembebanan penyusutan setiap bulannya. 2. Analisis Perolehan Pendapatan Pengusahaan Properti Tahun dan Tingkat Produktivitas Terhadap Total Pendapatan Bersih Adanya penerapan PSAK 13 Revisi 2011 secara bertahap dari tahun 2012 sampai 2013, kepentingan yang tidak menentu dari pelanggan, dan ditambah perjanjian pembayaran sewa yang disepakati oleh kedua belah pihak diluar ketentuan yang berlaku, menjadikan produktivitas dari pendapatan pengusahaan properti terus mengalami perubahan. Di bawah ini disajikan bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap produktivitas pendapatan pengusahaan properti sebelum dan setelah diterapkannya PSAK 13 Revisi Tabel III. 1 Perkembangan Target dan Realisasi Pendapatan Pengusahaan Properti Tahun Nama Akun Pendapatan Target Realisasi (Rp) (Rp) 2011 Pend. Pengusahaan TBAL Pend. Pengusahaan TBAL Pend. Pengusahaan Properti a Dari tabel di atas, diketahui bahwa akun untuk pendapatan pengusahaan properti beserta perolehan hasil yang dicapai di tahun ini masih disatukan dengan pendapatan pengusahaan air dan listrik, sehingga penamaannya pun merupakan singkatan dari pendapatan yang dihasilkan dari properti dan fasilitas tersebut, yaitu tanah, bangunan, air, dan listrik atau TBAL.

18 41 Hasil dari perolehan pendapatan di atas merupakan rincian dari berbagai pendapatan dan keterangannya adalah sebagai berikut: 1) Persewaan Tanah Produksi persewaan tanah yang terealisasi sama dengan target RKAP tahun 2011, yaitu Rp ,00 atau dibawah 7,28% dari target RKAP tahun 2011 yang dianggarkan sebesar Rp ,00. Jika dibandingkan dengan realisasi pendapatan tahun 2010 yang mencapai Rp ,00 maka mengalami peningkatan 12,41%. Hal ini disebabkan belum terealisasinya pembayaran penggunaan tanah oleh PT Janata Marina Indah, PT Sanur Marindo Shipyard, PT Sarana Bahtera Shipyard, dan sebagian tanah untuk tempat tinggal di kawasan Tegal. 2) Persewaan Perairan Produksi persewaan perairan yang terealisasi sama dengan target RKAP tahun 2011, yaitu Rp ,00 atau 18,88% di bawah target RKAP tahun 2011 yang dianggarkan sebesar Rp ,00. Jika dibandingkan dengan realisasi pendapatan tahun 2010 yang mencapai Rp ,00 maka mengalami penurunan sebesar 19,59%. Hal ini disebabkan masih dianggarkannya pendapatan penggunaan perairan An. PT Pertamina dengan NJOP tahun berjalan yang seharusnya tidak dianggarkan karena tarif penggunaan perairan Rp0,00.

19 42 3) Persewaan Bangunan Pendapatan sewa bangunan selama tahun 2011 terealisasi Rp ,00 atau di bawah anggaran RKAP sebesar Rp ,00 atau turun 49,03%. Dibandingkan realisasi pendapatan tahun 2010 yaitu Rp ,00 maka turun sebesar 33,20%. Hal ini disebabkan tidak terealisasinya penggunaan bangunan An. CV Karya Mitra Usaha Lautan, An. UPP tidak dikenakan (sesuai Surat Direksi PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) dan tidak terealisasinya sebagian penggunaan bangunan perkantoran di kawasan Tegal. 4) Pengusahaan Air Pendapatan tahun 2011 yang sebesar Rp ,00 jika dibandingkan dengan anggaran Rp ,00 maka di atas anggaran 10,93%. Dibandingkan realisasi pendapatan tahun 2010 sebesar Rp ,00 maka naik 5,35%. Tercapainya pendapatan sejalan dengan kenaikan produksi. 5) Pengusahaan Listrik Pendapatan selama tahun 2011 direalisasi sebesar Rp ,00 dibandingkan dengan anggaran sebesar Rp ,00 atau di atas anggaran sebesar 49%. Dibandingkan realisasi pendapatan tahun 2010 sebesar Rp ,00 maka naik sebesar 59.01%. Tercapainya produksi pengusahaan listrik pada tahun 2011 terhadap anggaran

20 43 karena adanya penambahan pemakaian listrik sehingga meningkatkan pendapatan. b Akibat perusahaan mulai menerapkan PSAK 13 Revisi 2011 di tahun ini, perusahaan mulai mengklasifikasikan pendapatan pengusahaan properti terpisah dari pendapatan pengusahaan fasilitas. Perusahaan masih menggunakan akun yang sama dengan akun tahun 2011, akan tetapi akun tersebut hanya memuat hasil atas perolehan rental properti saja. Pendapatan atas pengusahaan fasilitas dimuat pada akun baru yaitu pendapatan pengusahaan air dan listrik. Hal ini sangat berpengaruh pada perolehan atas hasil dari pengusahaan properti, yang mana terjadi penurunan target dan realisasi akibat dipisahkannya pengusahaan fasilitas dari akun TBAL. Keterangan perolehan pendapatan tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1) Persewaan Tanah Realisasi pendapatan selama tahun 2012 terealisasi sebesar Rp ,00. Jika dibandingkan dengan anggaran sebesar Rp ,00 maka di bawah anggaran sebesar 22,50%. Dibandingkan realisasi pendapatan tahun 2011 yang sebesar Rp ,00 maka mengalami penurunan sebesar 31,33%. Hal ini dikarenakan belum terealisasinya pembayaran penggunaan tanah An. PT Janata Marina Indah, PT Indonesia Power (masih dalam

21 44 proses kesepakatan tarif uang pemasukan), dan PT Sanur Marindo Shipyard Tegal. 2) Persewaan Perairan Realisasi produksi persewaan perairan yang terealisasi sama dengan target RKAP tahun 2012 tidak sejalan dengan realisasi pendapatan persewaan perairan yang sebesar Rp ,00 atau 0,83% di bawah target RKAP tahun 2012 yang dianggarkan Rp ,00. Jika dibandingkan dengan realisasi pendapatan tahun 2011 yang mencapai Rp ,00 maka mengalami penurunan 74,19%. Hal ini disebabkan nilai persewaan perairan Rp0,00 dan hanya menyisakan persewaan yang belum selesai masa kontrak. 3) Persewaan Bangunan Pendapatan selama tahun 2012 terealisasi sebesar Rp ,00 dibandingkan dengan anggaran sebesar Rp ,00 atau di atas anggaran sebesar 27,98%. Dibandingkan realisasi pendapatan tahun 2011 sebesar Rp ,00 atau naik sebesar 48,37%. Hal ini disebabkan terealisasinya pembayaran uang pemasukan penggunaan bangunan baru An. Bank BNI di Terminal Penumpang dan peningkatan pendapatan penggunaan bangunan An. Bank BNI karena kenaikan NJOP serta penggunaan bangunan di Pelabuhan Tegal. c Terjadi perubahan yang sangat signifikan di tahun ini, baik pada akun dan juga nominal pendapatan. Perusahaan telah mengganti nama akun

22 45 pendapatan pengusahaan TBAL untuk menspesifikasikan pendapatan pengusahaan properti dari jenis pendapatan lainnya, agar tidak terjadi pemahaman yang salah atas perolehan pendapatan dari sewa. Perolehan pendapatan sewa di tahun ini terjadi lonjakan yang cukup besar dari target yang ditetapkan, yang mana terdapat akumulasi pembayaran di tahun 2012 yang belum dibayarkan. Rincian keterangan perolehan pendapatan pengusahaan propertinya adalah sebagai berikut: 1) Persewaan Tanah Produksi persewaan tanah yang terealisasi tahun 2013 sama dengan target RKAP tahun 2013 sejalan dengan pendapatan persewaan tanah daratan yang terealisasi Rp ,00 atau 148,11% di atas target RKAP tahun 2013 yang dianggarkan Rp ,00. Hal ini disebabkan karena terealisasinya pembayaran uang pemasukan penggunaan tanah oleh PT Indonesia Power dan PT Janata Marina Indah. 2) Persewaan Perairan Realisasi pendapatan atas persewaan perairan tahun 2013 sebesar Rp ,00 atau 10% di bawah target RKAP tahun 2013 yang dianggarkan sebesar Rp ,00. Hal ini disebabkan anggaran pendapatan perairan belum dikeluarkan pajak (PPh 10%). 3) Persewaan Bangunan Realisasi pendapatan untuk persewaan bangunan tahun 2013 sebesar Rp ,00 atau 23,03% di bawah target RKAP tahun 2013

23 46 yang dianggarkan Rp ,00. Hal ini disebabkan belum teralisasinya penggunaan bangunan yang telah dianggarkan. Jika dibanding dengan realisasi pendapatan tahun 2012 sebesar Rp ,00 atau mengalami penurunan sebesar 11,20%. a. Efektivitas Seiring diterapkannya PSAK 13 Revisi 2011 yang diikuti dengan adanya perubahan kebijakan manajemen, maka hal tersebut sangat mempengaruhi perubahan target dan realisasi pendapatan pengusahaan properti yang terjadi setiap tahunnya. Hal ini menjadikan tingkat efektivitas yang ditunjukkan sangat bervariasi dari tahun 2011 sampai Berikut adalah rincian perhitungan tingkat efektivitas pendapatan pengusahaan properti, yaitu: 1) Tahun 2011 Efektivitas = = 94,81% Berdasarkan data di atas, maka diketahui tingkat efektivitas dari pendapatan pengusahaan properti tahun 2011 yang disatukan dengan pendapatan atas penggunaan fasilitas. Tingkat efektivitas dari pendapatan pengusahaan TBAL dapat dikategorikan efektif karena mendekati dari target anggaran yang telah ditetapkan sebesar 94,81%.

24 47 2) Tahun 2012 Efektivitas = = 78,71% Pada tahun 2012, terjadi penurunan perolehan pendapatan sebesar 16,10% dari tahun lalu dengan tingkat efektivitasnya sebesar 78,71% sehingga temasuk ke dalam kategori kurang efektif pada pendapatan sewa perusahaan. Hal ini dikarenakan belum terealisasinya pembayaran sewa di tahun ini dan juga akibat terjadi pemisahan atas pendapatan penggunaan fasilitas karena mulai diterapkannya PSAK 13 Revisi ) Tahun 2013 Efektivitas = = 244,18% Dan di tahun 2013, terjadi kenaikan signifikan yang melebihi target dari anggaran yang ditetapkan dengan tingkat efektivitas sebesar 244,18% sehingga masuk ke dalam kategori sangat efektif. Hal ini dikarenakan terealisasinya pembayaran sewa yang menjadi kewajiban pelanggan di tahun lalu yang nominalnya cukup besar. Perkembangan tingkat efektivitas pendapatan pengusahaan properti tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 atau sebelum dan sesudah diterapkannya PSAK 13 Revisi 2011 dapat dilihat pada tabel III.2 di bawah ini.

25 48 Tabel III. 2 Tingkat Efektivitas Pendapatan Pengusahaan Properti Tahun Perhitungan (Rp) Persentase (%) Ket 94,81% Efektif 78,71% 244,18% Kurang Efektif Sangat Efektif b. Kontribusi Pendapatan pengusahaan properti yang selalu mengalami perubahan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 dikarenakan diterapkannya PSAK 13 Revisi 2011 dan juga adanya kebijakan manajemen sangat berdampak pada ketidakstabilan tingkat kontribusi. Pendapatan atas sewa properti sebenarnya memiliki andil yang cukup besar apabila dikelola dan dimanfaatkan dengan maksimal, mengingat masih terdapat properti yang belum dimanfaatkan perusahaan. Berikut kontribusi yang ditunjukkan pendapatan sewa sebelum dan sesudah diterapkannya PSAK 13 Revisi 2011, antara lain: 1) Tahun 2011 Kontribusi = = 9,90% Dari data di atas, maka diketahui bahwa tingkat kontribusi pendapatan TBAL terhadap total pendapatan bersih perusahaan tahun 2011 adalah

26 49 sebesar 9,90%. Akun ini merupakan penyatuan antara pendapatan atas sewa properti dengan pendapatan atas penggunaan fasilitas karena belum diberlakukannya aturan terkait properti investasi. 2) Tahun Kontribusi =... = 5,38% Di tahun 2012, kontribusi yang ditunjukkan pendapatan TBAL hanya sebesar 5,38% sehingga terjadi penurunan kontribusi sebesar 4,52% dari total pendapatan bersih perusahaan. Hal ini dikarenakan belum terealisasinya seluruh pembayaran sewa di tahun ini dan juga terjadi pemisahan pendapatan atas penggunaan fasilitas yang walaupun nama akun masih menggunakan nama yang sama seperti pada tahun ) Tahun 2013 Kontribusi = = 15,98% Dan kontribusi pendapatan pengusahaan properti di tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat signifikan, yang mana kontribusi pendapatan pengusahaan properti menunjukkan persentase sebesar 15,98%, naik sebesar 10,60%. Hal ini dikarenakan terealisasinya pembayaran sewa tahun lalu yang jumlahnya cukup besar sehingga sangat berdampak pada perolehan pendapatan tahun ini.

27 50 Perkembangan tingkat kontribusi pendapatan pengusahaan properti tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 atau sebelum dan sesudah diterapkannya PSAK 13 Revisi 2011 dapat dilihat pada tabel III.3 di bawah ini. Tabel III. 3 Tingkat Kontribusi Pendapatan Pengusahaan Properti Tahun Total Pendapatan (Rp) Persentase (%) 9,90% 5,38% 15,98% C. Temuan 1. Dalam penggolongan properti investasi pada neraca, perusahaan tidak memasukkan bangunan ke dalam akun properti investasi di setiap tahunnya, padahal bangunan sudah memenuhi standar untuk diklasifikasikan sebagai properti investasi. Berikut kemungkinan yang menyebabkan perusahaan tidak memasukkan bangunan ke dalam properti investasi, antara lain: a. Pendapatan yang dihasilkan atas rental bangunan jumlahnya tidak material jika dibandingkan dengan hasil rental tanah. b. Adanya kebijakan penyusutan yang dilakukan oleh perusahaan. c. Sewa yang digunakan perusahaan kepada pengguna menggunakan model sewa pembiayaan.

28 51 2. Dalam pencatatan nilai dari properti investasi yang dimiliki, perusahaan masih menggunakan model biaya. Perusahaan seharusnya beralih ke model nilai wajar yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan PSAK 13 Revisi 2011 karena properti tanah dapat dinilai secara berkelanjutan. Berikut kemungkinan alasan perusahaan sehingga tidak beralih ke model nilai wajar, yaitu: a. Perusahaan menerapkan penyusutan terhadap properti yang dimilikinya, kecuali tanah. b. Adanya penilaian setiap tahun terhadap properti dianggap memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar. c. Adanya kebijakan manajemen pusat untuk tetap menggunakan model biaya, karena model nilai wajar rentan diselewengkan. 3. Perusahaan menggolongkan pendapatan pengusahaan propertinya meliputi hasil atas sewa properti investasi tanah dengan sewa atas aset tetap bangunan walaupun telah diterapkannya PSAK 13 Revisi 2011 sekalipun. Dan juga sempat terjadi penyatuan atas pendapatan fasilitas pada tahun 2011 sehingga membawa perubahan yang signifikan terkait diterapkannya PSAK 13 Revisi 2011 pada tahun 2012.

BAB II PROFIL PT.(PERSERO) PELABUHAN INDONESIA I BELAWAN

BAB II PROFIL PT.(PERSERO) PELABUHAN INDONESIA I BELAWAN BAB II PROFIL PT.(PERSERO) PELABUHAN INDONESIA I BELAWAN A. SEJARAH SINGKAT PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia I didirikan berdasarkan Perturan Pemerintah No. 56 tahun 1991 dengan akte Notaris Imas Fatimah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum PT Pelabuhan Indonesia III (Persero)

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Gambaran Umum PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) PT Pelabuhan Indonesia III (Persero), untuk selanjutnya disebut PT Pelindo III (Persero), adalah Badan Usaha Milik

Lebih terperinci

1 BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta memiliki 7 anak perusahaan.

1 BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta memiliki 7 anak perusahaan. 1 BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 1.1 Sejarah PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Kantor Pusat yang berkantor di Surabaya, mengelola 43 pelabuhan yang tersebar di 7 Propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah,

Lebih terperinci

PP 58/1991, PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PELABUHAN III MENJADI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO)

PP 58/1991, PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PELABUHAN III MENJADI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PP 58/1991, PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PELABUHAN III MENJADI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 58 TAHUN 1991 (58/1991) Tanggal: 19 OKTOBER 1991 (JAKARTA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, telah diatur

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70 TAHUN 1996 (70/1996) Tanggal : 4 DESEMBER 1996 (JAKARTA) Sumber : LN 1996/107; TLN PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II PROFIL PERUSAHAAN PT (Persero) PELABUHAN INDONESIA I MEDAN

BAB II PROFIL PERUSAHAAN PT (Persero) PELABUHAN INDONESIA I MEDAN BAB II PROFIL PERUSAHAAN PT (Persero) PELABUHAN INDONESIA I MEDAN A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah Singkat Perusahaan PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN A. Sejarah Perusahaan PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero) selanjutnya disingkat Pelindo IV merupakan bagian dari transformasi sebuah perusahaan yang dimiliki pemerintah,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 70-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2001 Perhubungan.Pelabuhan.Otonomi Daerah.Pemerintah Daerah.Tarif Pelayanan. (Penjelasan

Lebih terperinci

BAB II PROFIL DAN PROSES BISNIS PT PELINDO III (PERSERO) pendiriannya dituangkan dalam PP No.19 Tahun 1960.

BAB II PROFIL DAN PROSES BISNIS PT PELINDO III (PERSERO) pendiriannya dituangkan dalam PP No.19 Tahun 1960. BAB II PROFIL DAN PROSES BISNIS PT PELINDO III (PERSERO) 2.1 Sejarah Perusahaan Sejarah PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) terbagi menjadi beberapa fase penting berikut ini: 1. Perseroan pada awal berdirinya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

BAB II PT PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO)

BAB II PT PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BAB II PT PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) A. Sejarah Singkat PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) lahir melalui berbagai perubahan bentuk usaha dan status hukum pengusahaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR : 45 TAHUN : 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA CILEGON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. barang dari satu tempat ketempat lainnya yang diangkut melalui jalur transportasi

BAB I PENDAHULUAN. barang dari satu tempat ketempat lainnya yang diangkut melalui jalur transportasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pelabuhan merupakan tempat untuk melaksanakan kegiatan pemindahan barang dari satu tempat ketempat lainnya yang diangkut melalui jalur transportasi laut yang prosesnya

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM PT. (Persero) PELABUHAN INDONESIA I CABANG BELAWAN. A. Sejarah dan Perkembangan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I Cabang

BAB II. GAMBARAN UMUM PT. (Persero) PELABUHAN INDONESIA I CABANG BELAWAN. A. Sejarah dan Perkembangan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I Cabang BAB II GAMBARAN UMUM PT. (Persero) PELABUHAN INDONESIA I CABANG BELAWAN A. Sejarah dan Perkembangan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan

Lebih terperinci

Pesawat Polonia

Pesawat Polonia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara maritim sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia, tidak bisa dibantah bahwa pelabuhan menjadi cukup penting dalam membantu peningkatan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Sejarah PT Pelabuhan Indonesia III (Persero)

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Sejarah PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Gambaran Umum PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) 2.1.1 Sejarah PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) atau lebih dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pelabuhan merupakan tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENDIRIAN BADAN USAHA PELABUHAN PT. PELABUHAN TANJONG BATU BELITONG INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang perekonomian nasional, Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI ALOR, : a. bahwa pelabuhan mempunyai peran

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG K E P E L A B U H A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN USAHA PELABUHAN PELABUHAN BATAM INDONESIA (PT)

PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN USAHA PELABUHAN PELABUHAN BATAM INDONESIA (PT) PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN USAHA PELABUHAN PELABUHAN BATAM INDONESIA (PT) SALINAN OLEH : WALIKOTA BATAM NOMOR : 1 TAHUN 2013 TANGGAL : 22 JANUARI 2013 SUMBER

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada di Indonesia sangat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada di Indonesia sangat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada di Indonesia sangat berpengaruh dalam perkembangan dunia usaha dan masyarakat dalam menjalankan usahanya, karena

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB II PROFIL PERUSAHAAN

BAB II PROFIL PERUSAHAAN BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Singkat PT (Persero) Pelabuhan Indonesia Cabang Belawan Pada zaman Hindia Belanda, perusahaan Pelabuhan Belawan ini bernama HAVEN BEDRIJF" dan nama ini masih di pakai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial dan Non Komersial a. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial 1) Memiliki fasilitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1983 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PELABUHAN II PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1983 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PELABUHAN II PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1983 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PELABUHAN II PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelabuhan sebagai tumpuan tatanan kegiatan ekonomi dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PP 15/1992, PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN UMUM (PERUM) ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN MENJADI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO).

PP 15/1992, PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN UMUM (PERUM) ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN MENJADI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO). PP 15/1992, PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN UMUM (PERUM) ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN MENJADI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO). Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN UMUM (PERUM) ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN MENJADI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO). PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II PT PELABUHAN INDONESIA I ( PERSERO )

BAB II PT PELABUHAN INDONESIA I ( PERSERO ) BAB II PT PELABUHAN INDONESIA I ( PERSERO ) A. Sejarah Singkat PT Pelabuhan Indonesia I PT Pelabuhan Indonesia I (persero) berdiri pada awal massa penjajahan Belanda dengan nama perusahaan "Haven Bedrijf".

Lebih terperinci

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1867, 2016 KEMENHUB. Pelabuhan Laut. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 146 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI LEMBAGA/ INSTANSI A. SEJARAH

BAB III DESKRIPSI LEMBAGA/ INSTANSI A. SEJARAH BAB III DESKRIPSI LEMBAGA/ INSTANSI A. SEJARAH Sejarah PT PELINDO III (Persero) terbagi menjadi beberapa fase penting.perseroan pada awal berdirinya adalah sebuah Perusahaan Negara yang pendiriannya dituangkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PT PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) CABANG TANJUNG PERAK SURABAYA. 2.1 Gambaran Umum PT PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO)

BAB II GAMBARAN UMUM PT PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) CABANG TANJUNG PERAK SURABAYA. 2.1 Gambaran Umum PT PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) 6 BAB II GAMBARAN UMUM PT PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) CABANG TANJUNG PERAK SURABAYA 2.1 Gambaran Umum PT PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) 2.2.1. Sejarah PT PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) Tanjung

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah PT. Pelabuhan Indonesia III PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) pada awal berdirinya adalah sebuah Perusahaan Negara yang pendiriannya dituangkan dalam PP

Lebih terperinci

1 BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

1 BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 1.1 Sejarah PT Pelabuhan Indonesia III (Persero), untuk selanjutnya disebut PT Pelindo III (Persero), adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam sektor perhubungan.

Lebih terperinci

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN LAMPIRAN 1 i DAFTAR ISI 1. Ruang Lingkup 2. Acuan 3. Istilah dan Definisi 4. Persyaratan 4.1. Kriteria dan Variabel Penilaian Pelabuhan 4.2. Pengelompokan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah Berdirinya PT. Pelabuhan Indonesia III

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah Berdirinya PT. Pelabuhan Indonesia III BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Berdirinya PT. Pelabuhan Indonesia III PT. Pelabuhan Indonesia III pada awal berdirinya adalah sebuah Perusahaan Negara yang pendiriannya dituangkan dalam PP

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 09 TAHUN 2005 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Tata Kelola Pelabuhan Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 55 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Pelabuhan, pelabuhan merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam era globalisasi, dimana perusahaan menghadapi persaingan yang semakin ketat baik karena pesaing yang semakin bertambah, volume produk yang semakin meningkat,

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Indonesia terletak di wilayah Jawa Tengah, yaitu Pelabuhan Tanjung Emas

BAB I. Pendahuluan. Indonesia terletak di wilayah Jawa Tengah, yaitu Pelabuhan Tanjung Emas BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Salah satu pelabuhan besar di Indonesia yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia terletak di wilayah Jawa Tengah, yaitu Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Pelabuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan/maritim, sehingga peranan pelayaran sangat penting bagi kehidupaan sosial, ekonomi, pemerintahan, hankam dan sebagainya. Sarana

Lebih terperinci

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN,

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN, TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Asia dan Australia), jelas ini memberikan keuntungan bagi negara indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (Asia dan Australia), jelas ini memberikan keuntungan bagi negara indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia dari sudut pandang geografis terletak di daerah katulistiwa, terletak diantara dua samudra (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia),

Lebih terperinci

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2015 KEMENHUB. Penyelenggara Pelabuhan. Pelabuhan. Komersial. Peningkatan Fungsi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 23 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7 KOTA DUMAI LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI, Menimbang

Lebih terperinci

SUSUNAN DAN TATA KERJA KEPELABUHANAN DAN DAERAH PELAYARAN Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1969 Tanggal 18 Januari 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSUNAN DAN TATA KERJA KEPELABUHANAN DAN DAERAH PELAYARAN Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1969 Tanggal 18 Januari 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSUNAN DAN TATA KERJA KEPELABUHANAN DAN DAERAH PELAYARAN Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1969 Tanggal 18 Januari 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa masalah kepelabuhanan merupakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.44, 2012 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. PSAK. Politeknik. Ilmu Pelayaran. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 2 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN SISTEM AKUNTANSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Aset Tetap Sebelum membahas mengenai perlakuan akuntansi terhadap aset tetap, perlu kita ketahui terlebih dahulu beberapa teori mengenai aset tetap.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERMASALAHAN PADA PELABUHAN TANJUNG PRIOK Oleh : Tulus Hutagalung

PERMASALAHAN PADA PELABUHAN TANJUNG PRIOK Oleh : Tulus Hutagalung PERMASALAHAN PADA PELABUHAN TANJUNG PRIOK Oleh : Tulus Hutagalung A. PENDAHULUAN Setelah dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, arus kunjungan kapal ke Indonesia meningkat dengan drastis sehingga dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB II PT. PELABUHAN INDONESIA I BICT. memenuhi harapan pelanggan. Dengan luas area lebih dari 200 ribu m 2, kami siap

BAB II PT. PELABUHAN INDONESIA I BICT. memenuhi harapan pelanggan. Dengan luas area lebih dari 200 ribu m 2, kami siap BAB II PT. PELABUHAN INDONESIA I BICT A. SEJARAH RINGKAS Belawan Internasional Container Terminal disingkat BICT merupakan salah satu cabang pelaksana PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang berlokasi

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L No.394, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Terminal Khusus. Terminal untuk Kepentingan Sendiri. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persilangan rute perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persilangan rute perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan dua pertiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada lokasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang terutama dalam sektor perdagangan di mana setiap perusahaan dalam suatu negara menghadapi persaingan usaha yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PELABUHAN DI KOTA TANJUNGPINANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PELABUHAN DI KOTA TANJUNGPINANG PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PELABUHAN DI KOTA TANJUNGPINANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia, jasa kepelabuhanan merupakan hal strategis untuk kebutuhan logistik berbagai industri dan perpindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM ATAS PT MMS. Sejarah Singkat dan Perkembangan Perusahaan

BAB III GAMBARAN UMUM ATAS PT MMS. Sejarah Singkat dan Perkembangan Perusahaan BAB III GAMBARAN UMUM ATAS PT MMS III.1 Sejarah Singkat dan Perkembangan Perusahaan PT MMS didirikan di Jakarta berdasarkan Akta No.14 tanggal 4 Oktober 1989 dari Notaris Winnie Hadiprojo, SH., notaris

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara No.785, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Harga Jual. Jasa Kepelabuhan. Badan Usaha Pelabuhan. Penetapan. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 95 TAHUN 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan menempatkan eksploitasi laut sebagai primadona industri, baik dari segi

BAB I PENDAHULUAN. akan menempatkan eksploitasi laut sebagai primadona industri, baik dari segi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Hal ini berarti akan menempatkan eksploitasi laut sebagai primadona industri, baik dari segi kekayaan alam maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan Ekonomi dan Dunia Usaha dewasa ini terasa begitu. cepat hal ini ditandai dengan perubahan pandangan dalam berbagai hal

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan Ekonomi dan Dunia Usaha dewasa ini terasa begitu. cepat hal ini ditandai dengan perubahan pandangan dalam berbagai hal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan Ekonomi dan Dunia Usaha dewasa ini terasa begitu cepat hal ini ditandai dengan perubahan pandangan dalam berbagai hal seperti perkembangan ilmu

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Hal tersebut membuat negara Indonesia membutuhkan

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG BERJALAN

BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG BERJALAN BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG BERJALAN 3.1 Deskripsi Perusahaan 3.1.1 Sejarah Perusahaan Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua pertiga luas wilayahnya terdiri dari wilayah perairan dan terletak pada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 220, 2015 KEUANGAN. PPN. Jasa Kepelabuhanan. Perusahaan Angkutan Laut. Luar Negeri. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5742). PERATURAN

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. pendiriannya dituangkan dalam PP No.19 Tahun Pada kurun. Pemerintah Nomor 1 tahun 1969.

BAB III PEMBAHASAN. pendiriannya dituangkan dalam PP No.19 Tahun Pada kurun. Pemerintah Nomor 1 tahun 1969. BAB III PEMBAHASAN A. Profil PT Pelabuhan Indonesia III 1. Sejarah PT Pelindo III (Persero) Perseroan merupakan sebuah Perusahaan Negara yang pendiriannya dituangkan dalam PP No.19 Tahun 1960. Pada kurun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pelabuhan umum di Indonesia terdiri dari pelabuhan umum yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pelabuhan umum di Indonesia terdiri dari pelabuhan umum yang I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pelabuhan umum di Indonesia terdiri dari pelabuhan umum yang diusahakan (komersial) dan pelabuhan umum yang tidak diusahakan. Pengelolaan pelabuhan umum yang tidak diusahakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEPELABUHANAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT YANG MELAKUKAN KEGIATAN

Lebih terperinci

BAB II PT. PELABUHAN INDONESIA I BICT. berlokasi di Gabion, Belawan. Disini, PT. Pelabuhan Indonesia I ( Persero )

BAB II PT. PELABUHAN INDONESIA I BICT. berlokasi di Gabion, Belawan. Disini, PT. Pelabuhan Indonesia I ( Persero ) BAB II PT. PELABUHAN INDONESIA I BICT A. SEJARAH RINGKAS Belawan Internasional Container Terminal disingkat BICT merupakan salah satu cabang pelaksana PT. Pelabuhan Indonesia I ( Persero ) yang berlokasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEPELABUHANAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT YANG MELAKUKAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Membaca : 1. surat

Lebih terperinci

FUNGSI PELABUHAN P P NOMOR 69 TAHUN 2001 SIMPUL DALAM JARINGAN TRANSPORTASI; PINTU GERBANG KEGIATAN PEREKONOMIAN DAERAH, NASIONAL DAN INTERNASIONAL;

FUNGSI PELABUHAN P P NOMOR 69 TAHUN 2001 SIMPUL DALAM JARINGAN TRANSPORTASI; PINTU GERBANG KEGIATAN PEREKONOMIAN DAERAH, NASIONAL DAN INTERNASIONAL; FUNGSI PELABUHAN P P NOMOR 69 TAHUN 2001 SIMPUL DALAM JARINGAN TRANSPORTASI; PINTU GERBANG KEGIATAN PEREKONOMIAN DAERAH, NASIONAL DAN INTERNASIONAL; TEMPAT KEGIATAN ALIH MODA TRANSPORTASI; PENUNJANG KEGIATAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM NOMOR: KP 99 TAHUN 2017 NOMOR: 156/SPJ/KA/l 1/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN. PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARlMUN NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH KEPELABUHANAN

RANCANGAN. PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARlMUN NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH KEPELABUHANAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARlMUN NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARIMUN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

AUDITED 2016 AUDITED DEV TREND = 5-4/4 7 = 5/3

AUDITED 2016 AUDITED DEV TREND = 5-4/4 7 = 5/3 1 2 3 4 REALISASI RKAP REALISASI AKUN URAIAN TAHUN 2015 TAHUN TAHUN 2016 % AUDITED 2016 AUDITED DEV TREND 1 2 3 4 5 6 = 5-4/4 7 = 5/3 PENDAPATAN USAHA 70601101 PENDAPATAN LISTRIK 95,208,221,228 114,688,286,673

Lebih terperinci

1 Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Bab

1 Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Bab Bab 1 1 Pendahuluan Penanganan Kerusakan Dermaga Studi Kasus Dermaga A I Pelabuhan Palembang 1.1 Latar Belakang Pekerjaan terkait dengan bidang kepelabuhanan merupakan salah satu bidang kajian dalam Teknik

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN (OBJEK PENELITIAN) 2. 1 Sejarah Singkat Perusahaan PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero) adalah perusahaan jasa angkutan penyeberangan dan pengelolaan pelabuhan penyeberangan untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN USAHA MILIK DAERAH (BUMD) PERSEROAN TERBATAS (PT) TANAH LAUT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari ribuan pulau, maka untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari ribuan pulau, maka untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau, maka untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut mutlak diperlukan sarana dan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. CV Scala Mandiri akan memperoleh beberapa manfaat, antara lain: 1. Dapat menyusun laporan keuangannya sendiri.

BAB IV PEMBAHASAN. CV Scala Mandiri akan memperoleh beberapa manfaat, antara lain: 1. Dapat menyusun laporan keuangannya sendiri. BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Manfaat Implementasi SAK ETAP Dengan mengimplementasikan SAK ETAP di dalam laporan keuangannya, maka CV Scala Mandiri akan memperoleh beberapa manfaat, antara lain: 1. Dapat menyusun

Lebih terperinci

Analisis komparatif laporan arus kas pada PT.(persero) Pelabuhan Indonesia II cabang Cirebon periode Oleh : Rezky Amalia NIM : F

Analisis komparatif laporan arus kas pada PT.(persero) Pelabuhan Indonesia II cabang Cirebon periode Oleh : Rezky Amalia NIM : F Analisis komparatif laporan arus kas pada PT.(persero) Pelabuhan Indonesia II cabang Cirebon periode 2000-2002 Oleh : Rezky Amalia NIM : F 3300202 BAB I GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN A. Pendahuluan 1. Latar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan beberapa alat analisis, yaitu analisis Location Quetiont (LQ), analisis MRP serta Indeks Komposit. Kemudian untuk

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN. Perbandingan Perlakuan Akuntansi PT Aman Investama dengan

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN. Perbandingan Perlakuan Akuntansi PT Aman Investama dengan BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN IV.1 Perbandingan Perlakuan Akuntansi PT Aman Investama dengan Perlakuan Akuntansi SAK ETAP Setelah mendapatkan gambaran detail mengenai objek penelitian, yaitu PT Aman Investama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar dengan biaya rendah merupakan keungggulannya. selayaknya memiliki keunggulan di sektor maritim. Salah satu bagian penting

BAB I PENDAHULUAN. besar dengan biaya rendah merupakan keungggulannya. selayaknya memiliki keunggulan di sektor maritim. Salah satu bagian penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelayaran memiliki peran penting dalam perdagangan antar negara saat ini. Kemampuan kapal-kapal besar yang mampu mengangkut barang dalam jumlah besar dengan biaya

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN

I-1 BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara kepulauan, peranan pelayaran sangat penting bagi kehidupan ekonomi, sosial, pemerintahan, pertahanan/keamanan. Bidang kegiatan pelayaran

Lebih terperinci

Laporan Keuangan Laporan Posisi Keuangan 1 Laporan Aktivitas 2 Laporan Arus Kas 3 Catatan atas Laporan Keuangan 4-15

Laporan Keuangan Laporan Posisi Keuangan 1 Laporan Aktivitas 2 Laporan Arus Kas 3 Catatan atas Laporan Keuangan 4-15 UNIT PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN (PKBL) PT KAWASAN BERIKAT NUSANTARA (PERSERO) LAPORAN KEUANGAN Tanggal 31 Desember 2016 dan 2015 Untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut Beserta Laporan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1522,2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan Makassar. Sulawesi Selatan. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 92 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN PT. PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) SURABAYA 2.1. SEJARAH PT. PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) SURABAYA

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN PT. PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) SURABAYA 2.1. SEJARAH PT. PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) SURABAYA BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN PT. PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) SURABAYA 2.1. SEJARAH PT. PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) SURABAYA 2.1.1. SEJARAH PERUSAHAAN PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah suatu kerangka dalam prosedur pembuatan laporan keuangan

Lebih terperinci