BAB I PENDAHULUAN. perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Dalam

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Dalam hal penyedia lapangan pekerjaan, perkebunan kakao berhasil menyerap tenaga kerja sampai sekitar 900 ribu kepala keluarga pada tahun 2002 (Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, 2005). Kakao juga penyumbang devisa terbesar ke tiga di sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet dengan nilai sebesar US $ 1,2 milyard pada tahun 2010 (FAO,2014). Devisa kakao sebesar itu dihasilkan dari produk biji kakaoindonesia yang mampu mencapai lebih dari 400 ribu ton pada tahun 2010 (FAO, 2014). Produksi tersebut dihasilkan dari lahan perkebunan kakao seluas lebih dari 1,6 juta hektar lahan, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan luas perkebunan kakao terbesar kedua di dunia di bawah Pantai Gading (FAO, 2014). Meskipun Indonesia memiliki perkebunan kakao terluas kedua di dunia, namun produktivitas perkebunan kakao per hektar di Indonesia tergolong rendah (Asrul et al., 2011). Dibandingkan dengan negara lain, pada tahun 2012, Indonesia menempati urutan ke tujuh belas dengan total produksi per hektar lahan hanya sekitar 540 kg. Angka tersebut hampir lebih dari seperlima produktivitas 1

2 2 negara Guatemala dan Thailand yang mencapai lebih dari 2,6 ton per hektar (FAO, 2014; Gambar 1.1) Produksi Kakao (Hg/ha) Negara Gambar 1.1 Negara dengan produktivitas kakao per hektar terbesar di dunia dari tahun yang menempatkan Indonesia di urutan ke-17 (tanda panah; FAO, 2014) Salah satu penyebab utama rendahnya produktivitas kakao di Indonesia adalah kualitas bibit yang kurang baik (Goenadi, 2005). Pada saat ini para petani memperoleh bibit kakao secara generatif atau melalui biji. Keuntungan perbanyakan kakao secara generatif adalah dapat dihasilkan bibit yang banyak dengan pertumbuhan yang seragam serta memiliki perakaran yang kuat (Harmanto, 2001). Namun, bibit tanaman hasil perbanyakan generatif memiliki sifat genetik yang bervariasi (Maximova et al., 2002). Hal ini disebabkan kakao merupakan tanaman yang melakukan penyerbukan silang (cross pollination)

3 3 sehingga jika dua individu kakao yang memiliki sifat berbeda bersilang maka keturunan yang diperolehpun bervariasi (Li et al., 1998). Alternatif lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit yang seragam secara genetik adalah dengan cara perbanyakan bibit secara vegetatifseperti stek, cangkok, okulasi dan sambung pucuk (Winarsih et al ). Dengan teknik tersebut, bibit yang dihasilkan memiliki sifat yang seragam dan sama dengan induknya. Namun, teknik tersebut hanya mampu menghasilkan bibit dengan jumlah yang terbatas, memerlukan banyak tenaga kerja untuk perawatan, biaya yang cukup mahal, serta tanaman yang dihasilkan akan tumbuh mejadi tanaman yang menyerupai semak sehingga produktivitasnya rendah (Li et al., 1998). Salah satu teknik pembibitan yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak, secara genetik bersifat seragam, serta memiliki perakaran yang kuat adalah melaluiteknik kultur jaringan khususnya embriogenesis somatik (Wahyudi et al., 2008). Embriogenesis somatik merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman secara klonal yang memungkinkan sekumpulan sel untuk berpoliferasi, multiplikasi, membentuk embrio somatik melalui kultur jaringan dan berdiferensiasi membentuk tanaman sempurna (Santos et al., 2005). Bibit yang dihasilkan dari teknik embriogenesis somatik memiliki sifat seperti bibit yang dihasilkan dari biji namun memiliki keunggulan berupa sifat genetika yang seragam dan sama dengan induknya (Park & Klimaszewska, 2003; Santos et al., 2005; Masseret et al., 2008). Sistem perakaran yang dihasilkan dari teknik

4 4 embriogenesis somatik juga kuat seperti tanaman yang berasal dari biji (Paulin & Garzon, 2008). Banyak tanaman berhasil diperbanyak menggunakan teknik embriogenesis somatik seperti pada tanaman kacang tanah (Arachis hipogaea, L.; Srilestari, 2005), kopi arabika (Coffea Arabica, L.; Priyono, 1993), rotan (Calamus manan, Miq; Gunawan & Wiendi, 1992), kedelai (Glycine max, L.; Ratnadewi et al., 1996), jahe (Zingiber officinale, Roscoe; Abdillah, 2013), teh (Camellia sinensis, L.; Tahardi et al., 2003), jambu mete (Anacardium occidentale, L.; Mariska, 1996), cendana (Santalum album, L.; Sukmadjaja, 2005), dan lada liar (Piper nigrum, L.; Husni et al., 1997). Pada tanaman kakao, teknik embriogenesis somatik juga telah dicobakan untuk digunakan dalam produksi bibit. Namun demikian, tingkat keberhasilan teknik embriogenesis somatik masih relatif rendah sehingga tanaman kakao digolongkan ke dalam tanaman yang sulit diperbanyak secara in vitro (recalcitrant). Banyak upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan embriogenesis kakao seperti pemilihan eksplan yang bervariasi seperti bagian bunga (Li et al., 1998; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010), embrio buah muda (Dinarti, 1991), maupun kotiledon (Chantrapradist & Kamnoon, 1995; Omokolo et al., 1997). Di antara berbagai jenis eksplan tersebut, eksplan bunga memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik 1-100% (Li et al., 1998) dibandingkan dengan eksplan embrio buah muda yaitu antara 0 73,3% (Dinarti, 1991) dan eksplan kotiledon yaitu 0% (Chantrapradist & Kamnoon, 1995;

5 5 Omokolo et al., 1997). Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan eksplan bagian bunga untuk menginduksi pembentukan embrio somatik. Tingkat keberhasilan embriogenesis somatik kakao sangat bervariasi mulai dari 1 sampai 100% tergantung genotipe yang digunakan (Li et al., 1998). Kakao dengan genotip Sca 6-1 berhasil diperbanyak dengan tingkat keberhasilan 100% (Liet al., 1998), tetapi genotip yang lain seperti R 43 dan R 106 belum berhasil diperbanyak dengan menggunakan teknik embrogenesis somatik (Alemanno et al., 1996). Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, upaya aplikasi teknik embriogenesis somatik untuk produksi bibit kakao juga telah dilakukan dengan menggunakan eksplan bagian bunga (staminodia dan petala) dari kultivar criollo Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kalus dapat terinduksi dari seluruh eksplan yang ditanam (100 %), tetapi tingkat keberhasilan induksi embrio somatik masih sangat rendah, kurang dari 2% (Hilyatunnisa, 2013; Purwasih, 2013; Rahayu, 2013).Di antara ketiga penelitian tersebut, Purwasih (2013) berhasil menginduksi embrio somatik sebanyak 1%dari eksplan staminodia yang dipelihara pada medium DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) dengan penambahan 6- benzilaminopurin (BAP) pada konsentrasi M. Salah satu faktor yang diduga menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan embriogenesis somatik kakao disamping faktor genetika adalah belum ditemukannya macam dan konsentrasi vitamin yang tepat untuk ditambahkan ke dalam medium tanam. Vitamin merupakan senyawa penting yang berfungsi sebagai perantara dalam reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel

6 6 (Abrahamian & Kantharajah, 2011). Vitamin dibutuhkan oleh tumbuhan dalam jumlah yang rendah, akan tetapi jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Pada embriogenesis somatik, penambahan vitamin dengan macam dan konsentrasi yang tepat terbukti berpengaruh terhadap keberhasilan induksi embrio. Hal ini terbukti pada kacang tanah (Srilestari, 2005), penambahan vitamin B 5 (Gamborg, 1968) ke dalam medium tanam mampu menghasilkan embrio somatik lebih banyak dibandingkan dengan penambahan vitamin MS (Murashige dan Skoog, 1962). Pada tanaman kopi arabika, penambahan vitamin B 5 ke dalam medium tanam mampu menghasilkan embrio somatik lebih banyak dibandingkan dengan vitamin SH (Simões-Costa et al., 2010). Pada tanaman purwoceng terbukti penambahan vitamin MS ke dalam medium tanam mampu meningkatkan pertumbuhan akar rambut lebih banyak dibandingkan dengan penambahan vitamin B 5 dan vitamin DKW (Rohimatun & Darwati, 2011). Upaya pemilihan vitamin yang tepat guna menginduksi pembentukan embrio somatik pada kakao juga telah dilaporkan. Penambahan vitamin B 5 ke dalam medium dasar DKW terbukti mampu mempercepat terbentuknya embrio somatik kakao dibandingkan dengan penambahan vitamin DKW ke dalam medium tanam tersebut (Muller, 2013). Uji penambahan beberapa jenis vitamin ke dalam medium dasar DKW pada kultivar criollo belum pernah dilaporkan 7 sehingga dalam penelitian ini dilaporkan tentang uji tersebut guna merangsang pembentukan embrio somatik kultivar criollo.

7 7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yaitu: 1. Bagaimana pengaruh penambahan BAP dan vitamin dengan komposisi yang bervariasi ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi embrio somatik kakao (Theobroma cacao L.). 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji pengaruh penambahan BAP dan vitamin dengan komposisi yang bervariasi ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi embrio somatik kakao (Theobroma cacao L.). 1.4 Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi Ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan informasi dalam rangka pengembangan penelitian kultur jaringan tumbuhan khususnya kultur embrio somatik kakao (Theobroma cacao L.) sehingga dapat meningkatkan keberhasilan dalam penyediaan bibit kakao yang berkualitas. 2. Bagi Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto Sebagai tambahan referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam kultur embriogenesis somatik kakao pada penelitian berikutnya, sehingga diharapkan akan memunculkan penelitian yang lebih baik.

8 8 3. Bagi penulis Menambah pengetahuan, pengalaman dan ilmu kepada penulis tentang kultur jaringan pada umumnya dan cara dalam mengatasi salah satu hambatan dalam kultur embrio somatik kakao pada khususnya.