Pemberian Pembebasan Bersyarat Sebagai Prinsip Sistem Pemasyarakatan Dalam Melakukan Pembinaan Terhadap Narapidana. Kasman Siburian.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pemberian Pembebasan Bersyarat Sebagai Prinsip Sistem Pemasyarakatan Dalam Melakukan Pembinaan Terhadap Narapidana. Kasman Siburian."

Transkripsi

1

2 Pemberian Pembebasan Bersyarat Sebagai Prinsip Sistem Pemasyarakatan Dalam Melakukan Pembinaan Terhadap Narapidana Kasman Siburian Abstrak Pemasyarakatan merupakan suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara narapidana dengan masyarakat. Kegiatan di dalam lembaga pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Setelah bebas dari hukuman warga binaan di lembaga pemasyarakatan dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sedia kala. Pemberian pembebasan bersyarat memberi hak kepada narapidana untuk menjalani hukuman di luar lembaga pemasyarakatan. Syaratnya hukuman yang dikenakan lebih dari sembilan bulan, sudah menjalani 2/3 masa hukuman dan berkelakuan baik selama dalam masa pembinaan. Kata Kunci : Pembebasan Bersyarat, Prinsip Sistem Pemasyarakatan, Pembinaan Terhadap Narapidana Abstract Correctional is a coaching system against offenders of justice which aims to achieve social reintegration or the restoration of the unity of the relationship between inmates and the community. Activity in prisons is not just to punish or to keep prisoners but includes a coaching process that inmates realized the error and improve themselves and not to repeat the criminal act has ever done. Once free from the punishment of inmates in correctional institutions can be received by the public and the environment and can be normal life as usual. Granting parole entitle inmates to serve a sentence outside the penitentiary. The requirement imposed penalties of more than nine months, had undergone 2/3 of the sentences and good behavior during the period of coaching. Keywords: Parole, Correctional Systems Principles, Guidance Against Prisoners ISSN

3 Pendahuluan Negara Indonesia merupakan negara hukum yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Konsekuensi negara hukum, tentunya setiap perbuatan maupun tingkah laku, baik secara individu, maupun secara kolektif, harus berdasarkan atas hukum. Di samping Indonesia negara hukum maka seluruh gerak bangsa, masyarakat dan Negara Indonesia ditujukan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Agar mencapai tujuan itu perlu manusia yang berkualitas, namun faktanya kejahatan tetap terjadi, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dihukum demi ketentraman dalam masyarakat dan sebagainya. Manusia yang dihukum bukan dalam arti dijadikan sebagai orang buangan tetapi merupakan manusia yang mempunyai hak-haknya sehingga ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan untuk dibina, sesuai dengan tujuan pembinaan narapidana pada umumnya. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) bahwa pemikiran mengenai fungsi pemidanaan di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak lagi sekedar penjeraan tetapi merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan, yang disebut sebagai sistem pemasyarakatan. 1 Dewasa ini yang disebut sebagai Lapas adalah suatu lembaga yang dahulu dikenal dengan rumah penjara, yakni tempat dimana orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidanapidana tertentu oleh hakim itu harus menjalankan pidana. 2 Perubahan nama rumah penjara menjadi nama lapas mempunyai hubungan erat untuk menjadikan lapas bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana melainkan juga sebagai tempat membina dan mendidik terpidana agar mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan lapas. Menurut Sahardjo, untuk memperlakukan narapidana diperlukan sistem pemasyarakatan bahwa ; tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. dari pengayom itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara... Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan melainkan pidana kehilangan kemerdekaan.. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat. 3 Ide Sahardjo, kemudian dirumuskan dalam konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang, Bandung dalam sepuluh prinsip pembinaan narapidana dan bimbingan bagi narapidana. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dalam pembinaan adalah : 1. Orang yang tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat 1 Lihat dalam Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, hlm Sistem pemasyarakatan yang diterapkan di Indonesia terkadang suatu cita-cita besar pembinaan masyarakat yang diberikan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sistem ini diharapkan tidak saja mempermudah reintegrasi narapidana dengan masyarakat tetapi menjadikannya warga masyarakat seutuhnya yang mempunyai ciir-ciri sebagai berikut : 1. tidak akan menjadi pelanggar hukum lagi 2. Menjadi anggota masyarakat yang berguna, aktif, dan produktif, 3. Berbahagia di dunia dan di akhirat. 2 P.A.F. Lamintang 1990, Hukum Penitensier Indonesia,, Armico, Bandung, hlm Sahardjo, Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan Pada Tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, Universitas Indonesia, hlm. 8. ISSN

4 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara 3. Rasa tobat tidak dapatlah dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaaan yang dberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara 7. Bimbingan dan didirikan harus berdasarkan asas pancasila 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. 4 Kesepuluh prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana lebih dikenal sebagai sepuluh prinsip pemasyarakatan. Prinsip pemasyarakatan mengajarkan bahwa narapidana adalah orang yang tersesat karena itu harus diayomi dan diberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat. Pembinaan narapidana adalah upaya untuk mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat jadi tidak selayaknya dalam sistem pemasyarakatan masih ada kemungkinan seorang narapidana tidak dapat kembali ke masyarakat Menurut Petrus Irwan dan Pandapotan Simorangkir, narapidana adalah orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. 5 Tobat tidak dapat dic apai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Memahami hal ini jelas bahwa pembinaan narapidana tidak dilakukan dengan kekerasan melainkan dengan cara-cara manusiawi yang menghargai hak-hak narapidana. Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan dan sistem penyelenggaraannnya, program pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan Pembimbingan warga binaan oleh Balai Pemasyarakatan ditekankan pada kegiatan pembinaan kemandirian. 6 Pemberian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat, sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan ketrampilan agar narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab (Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan). Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, mendidik, dan membimbing narapidana dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pidana dan dapat kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi lagi perbuatannya adalah pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri. 7 Dalam hal seorang narapidana yang sedang menjalani masa pidana telah dijatuhkan berdasarkan perbuatan pidana yang telah dilakukannya dapat bebas sebelum masa pidana yang telah dijatuhkan tersebut berakhir. Pembebasan tersebut dapat diberikan apabila seorang narapidana dalam menjalani pidana tersebut menunjukkan sikap baik dan menjalani 4 C.I. Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, hlm Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lapas Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, hlm C. I Harsono, Op. Cit, hlm. 36 ISSN

5 pembinaan yang diberikan di dalam maupun di luar Lapas. 8 Pembebasan yang diberikan tersebut dapat berupa pemberian remisi, pemberian cuti mengunjungi keluarga, pemberian cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan lain sebagainya sesuai yang diatur dalam Pasal 14 UU Pemasyarakatan tentang hak-hak narapidana. Oleh karenan itu diadakanlah pembebasan bersyarat sebagai salah satu upaya pembinaan narapidana di Lapas. 9 Menurut Penjelasan Pasal 14 UU Pemasyarakatan pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan. Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana agar narapidana dapat langsung menyesuaikan dirinya dengan kehidupan masyarakat sebelum mengakhiri masa pidananya. Narapidana yang berada dalam Lapas dan sudah menjalani masa pidananya selama dua pertiga dari masa pidananya atau sekurang-kurangnya sembilan bulan maka Tim Pengamat Pemasyarakatan mengadakan sidang. Apabila dalam pengamatan dan penilaian Ti Pengamat Pemasyarakatan narapidana tersebut memenuhi persyaratan dan memungkinkan untuk memasuki tahap akhir menjalani pidana maka narapidana tersebut diusulkan mendapat pembebasan bersyarat. Keputusan untuk memberikan pembebasan bersyarat dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM setelah mendengar pendapat Penuntut Umumu dan Pejabat Lapas yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjara. Wewenang pemberian pembebasan bersyarat ada pada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan berbagai syarat administratif yang harus dipenuhi oleh narapidana. 10 Pihak lapas yang mengusulkan pada Menteri Hukum dan HAM seorang narapidana yang telah berkelakuan baik selama pembinaan dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) untuk memberikan keputusan pembebasan bersyarat yang didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain : 1. Sifat tindak pidana yang dilakukannya 2. Pribadi dan riwayat hidup narapidana 3. Kelakuan narapidana selama masa pembinaan 4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan setelah ia dibebaskan 5. Penerimaan masyarakat dimana ia akan bertempat tinggal. Tujuan Pembinaan Narapidana Perkembangan tujuan pembinaan narapidana berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan. Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakikat hidup yang tumbuh di dalam masyarakat. Membiarkan seseorang dipidana, menjalani pidana, tanpa memberikan pembinaan, tidak akan merubah narapidana. Menurut Sahardjo, tujuan pembinaan adalah untuk pemasyarakatan. Jadi yang menjadi narapidana tidak lagi dibuat jera, tetapi dibina untuk kemudian dimasyarakatkan. 8 Lihat Marlina, Op. Cit, hlm. 127, Selama di lapas, warga binaan pemasyarakatan tetap memperoleh hakhaknya yang lain seperti layaknya manusia. Dengan kata lain, hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawata kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi. 9 Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan pemasyarakatan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan warga binaan pemasyarakatan dalam undang-undangn ini ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum, Dwija Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, hlm P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, 2010, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm ISSN

6 Tujuan ini sebagaimana dikutip oleh C.I Harsono yang menyebutkan bahwa tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan dapat dibagi dalam 3 (tiga) hal yaitu : 1. Setelah keluarnya dari Lapas tidak lagi melakukan tindak pidana 2. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif, dan kreatif dalam membangun bangsa dan negara 3. Mempu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Bagaimanapun juga narapidana adalah manusia yang masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan ke arah perkembangan yang positif, yang mampu merubah seseorang untuk menjadi yang lebih produktif, untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjalani pidana. potensi ini akan sangat berguna bagi narapidana, melalui tangan para pembina narapidana yang mempunyai itikat baik, dedikasi tinggi, semangat tinggi dalam memberikan motivasi bagi perubahan diri narapidana dalam mencapai hari esok yang lebih cerah. 11 Pidana penjara pada dasarnya mempunyai sifat dan landasan yang sama dengan hukum pidana, yaitu mempunyai peran untuk menjamin keamanan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat. Menjamin keamanan dalam arti, hukum pidana memberikan batasan-batasan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat,, berikut sanksi yang bersifat paksaan istimewa. Dengan batasan tersebut masyarakat akan merasa aman, tentram dan dapat melakukan segala aktivitas kehidupan sepanjang tidak melanggar batasan yang ada. Pada awalnya pidana penjara merupakan balas dendam atas masyarakat yang dirugikan oleh pelaku tindak pidana. pembasalan oleh masyarakat merupakan pelanggaran atas rasa kesusilaan yang terdapat dalam masyarakat, maka pemberian balas dendam atau pembalasan tersebut diambil alih oleh penguasa atau pemuka masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya aturan dan hukum atas masyarakat tumbuh menjadi hukum pidana. sedangkan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana diambil alih oleh negara, dalam hal ini kekuasaan kehakiman. Penjatuhan pidana atau pemidanaan dipandang sebagai upaya melindungi masyarakat agar masyarakat terlindung dari tindak pidana oleh penjahat, namun demikian pidana masih dipandang sebagai upaya untuk memusnahkan masyarakat dari tindak pidana, karena terpidana dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Pemidanaan berarti upaya dari negara untuk memelihara kebutuhan dan kepentingan umum, yaitu kebutuhan dan kepentingan para warga negara secara bersama-sama atau sendiri-sendiri yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh warga negara itu sendiri. Jadi jika seorang warga negara dirugikan oleh orang lain, maka kebutuhan dan kepentingannya diwakili oleh negara. Selain itu adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lapas tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam Lapas bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. 12 Dengan demikian apabila warga binaan di Lapas kelak bebas dari hukuman, dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi pemidanaan tidak 11 Ibid, hlm Lihat dalam Widodo dan Wiwik Utami, 2014, Hukum Pidana & Penologi, Rekonstruksi Model Pembinaan Berbasis Kompetensi Bagi Terpidana Cybercrime, Aswaja Pressiondo, Yogyakarta, hlm. 36, selama dalam lembaga pemasyarakatan narapidana harus diperlakukan manusiawi melalui program-program pembinaan dan latihan kerja yang sistemik, terarah dan terukur. ISSN

7 lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan yang ada di dalam Lapas. Sistem Pembinaan Narapidana Pembinaan narapidana dilaksanakan dengan berbagai sistem pembinaan pemasyarakatan. Sistem pembinaan pemasyarakatan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan dengan tujuan agar secara efektif dan efisien dapat diterima oleh narapidana, baik perubahan dalam pola berpikir, bertindak atau dalam tingkah laku. Penyampaian materi pembinaan bukan hanya dilakukan asal disampaikan atau dengan kata lain berdasarkan kemauan pembawa materi, tetapi harus juga diperhatikan sampai seberapa jauh kesiapan para narapidana dalam menerima materi pembinaan. Departemen Hukum dan HAM sebagai payung hukum sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pembinaan kepada narapidana agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana. pembinaan yang diberikan kepada narapidana dengan harapan setelah narapidana keluar dari Lapas dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan, serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara. Sistem pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan pembinaan yang dilakukan terhadap kebanyakan orang pada umumnya. Pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana memiliki spesifikasi tertentu dan harus dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip pembinaan diberikan pada saat narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat (7) narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. Dalam hal ini terpidana kehilangan kemerdekaan tetapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Setelah sistem pembinaan telah berjalan selama 2/3 (dua pertiga) masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. pada tahap ini kepada narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Sistem pembinaan terhadap narapidana tersebut telah ditentukan dalam Pasal 5 UU Pemasyarakatan yaitu berdasarkan atas asas : 1. Pengayoman 2. Persamaan, perlakuan, dan pelayanan 3. Pendidikan 4. Pembimbingan 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia 6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan 7. Terjaminannya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Syarat-Syarat Pembebasan Bersyarat Prosedur pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada narapidana selama berada di dalam penjara apabila ia dapat menunjukkan tingkah laku yang baik, patuh terhadap peraturan yang berlaku di dalam penjara, bekerja rajin, dan sebagainya. Adapun syarat-syarat pembebasan bersyarat berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pasal 6 menentukan : ISSN

8 1. Persyaratan substantif yang harus dipenuhi oleh narapidana dan anak pidana adalah : a. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana dan anak pidana yang bersangkutan e. Berkelakuan baik selama menjalani dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin untuk : 1. Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6 bulan terakhir 2. Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas sekurang-kurangnya dalam waktu 9 bulan terakhir 3. Cuti bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 bulan terakhir. f. Masa pidana yang telah dijalani untuk : 1. Asimilasi ½ dari masa pidananya 2. Pembebasan bersyarat, 2/3 dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 bulan 3. Cuti menjelang bebas, 2/3 dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir lama 6 bulan 4. Cuti bersyarat 2/3 dari masa pidananya dan jangka waktu cuti paling lama 3 bulan dengan ketentuan apabila selama menjalani cuti melakukan tindak pidana baru maka selama di luar lembaga pemasyarakatan tidak dihitung sebagai masa menjalani pidana 2. Persyaratan substantif sebagaimana harus dipenuhi oleh anak negara adalah : a. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas pelanggaran yang dilakukan b. Telah menunjukkan budi pekerti dan moral yang positif c. Berhasil mengikuti program pendidikan dan pelatihan dengan tekun dan bersemangat d. Masyarakat dapat menerima program pembinaan anak negara yang bersangkutan e. Berkelakuan baik f. Masa pendidikan yang telah dijalani di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) anak untuk : 1. Asimilasi sekurang-kurangnya 6 bulan 2. Pembebasan bersyarat sekurang-kurangnya 1 tahun. Pasal 7 menentukan : Persyaratan administratif harus dipenuhi oleh narapidana atau anak didik pemasyarakatan adalah : a. Kutipan putusan hakim b. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dibuat oleh wali pemasyarakatan c. Surat pemberitahuan ke Kejaksanaan Negeri tentang rencana pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat terhadap narapidana dan anak didik narapidana yang bersangkutan d. Salinan register f (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana dan anak didik pemasyarakatan selama menjalani masa pidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rumah Tahanan Negara). e. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana seperti grasi, remisi dan lainlain dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rumah Tahanan Negara ISSN

9 f. Surat Pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana dan anak didik pemasyarakatan seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah, atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah serendah-rendahnya Lurah atau kepala desa g. Bagi narapidana atau anak pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan : 1. Surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat Negara orang asing yang bersangkutan bahwa narapidana dan anak didik pemasyarakatan tidak melarikan diri atau menaati syarat-syarat selama menjalani asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas atau cuti bersyarat. 2. Surat keterangan dari Kepala kantor imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan. Tujuan Pembebasan Bersyarat Pembebasan Bersyarat 13 merupakan salah satu bentuk pembinaan untuk narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidana yang telah dijalankan. Adapun maksud dan tujuan pembebasan bersyarat berdasarkan Pasal 6 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PK Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah : 1. Maksud dari pembebasan bersyarat adalah sebagai salah satu upaya untuk: a. Memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat b. Memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam menyelenggarakan pemasyarakatan 2. Tujuan Pembebasan Bersyarat adalah : a. Membangkitkan motivasi atau mendorong pada diri narapidana ke arah pencapaian tujuan pemasyarakatan b. Memberikan kesempatan pada narapidana untuk meningkatkan pendidikan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri sendiri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana c. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam menyelenggarakan pemasyarakatan. P.A.F. Lamintang mengatakan bahwa tujuan dari diadakannya pembebasan bersyarat 14 kepada narapidana adalah semata-mata untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada terpidana yang selama melaksanakan hukumannya berkelakuan baik dan telah melakukan masa hukumannya sebanyak 2/3 dari masa hukuan yang diberikan hakim kepadanya. 15 Pembinaan Yang Diberikan Oleh Lembaga Pemasyarakatan Kepada Narapidana yang Menjalani Pembebasan Bersyarat Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana yang menjalani pembebasan bersyarat pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang dilakukan melalui pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga binaan pemasyarakatan khususnya narapidana dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar terpidana setelah menjalani pidana dan pembinaan dapat menjadi warga masyarakat yang baik. 13 Menurut Roeslan Saleh yang dikutif oleh Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 66. Pelepasan Bersyarat tidak mungkin diadakan terhadap pidana penjara seumur hidup karena dua pertiga dari seumur hidup tidak dapat diperhitungkan. Jika terhadap terpidana seumur hidup akan dikenakan pelepasan bersyaraat maka pidana seumur hidup yang dijatuhkan pada terpidana diubah dengan grasi menjadi pidana penjara sementara waktu. 14 Tujuan pembebasan bersyarat tidak lain menggantikan pembinaan narapidana yang bersifat institusional menjadi pembinaan di dalam masyarakat pada saat yang tepat dan di dalam keadaan yang benar-benar menguntungkan, Tolib Setiadi, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier, Alfabeta, Bandung, hlm P.A. F. Lamintang, 1990, Hukum Penitensier Indonesia, Cetakan Ketiga, Armico, Bandung, hlm. 250 ISSN

10 Pada dasarnya arah pengayoman, pembinaan, dan bimbingan yang dilakukan petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan pemasyarakatan agar tujuan permohonan dapat tercapai sesuai Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.02.PK Tahun 1990 tentang Pola pembinaan Narapidana atau Tahanan. Adapun ruang lingkup tahapan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dapat dibagi dalam dua bidang : 1. Pembinaan kepribadian meliputi: a. Pembinaan kesadaran beragama. Pembinaan kesadaran beragama perlu diberikan kepada narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan sehingga menyadari akibatakibat dari perbuatan yang dilakukannya b. Pembinaan kesadaran bernegara. Pembinaan kesadaran bernegara bertujuan untuk menyadarkan narapidana sehingga dapt menjadi warga negara yang baik dan berbakti kepada negara c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan). Pembinaan intelektual dapat diperoleh dari pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal diselenggarakan oleh pemerintah dan pendidikan non formal diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan baik melalui kursus, latihan keterampilan dan sebagainya, sehingga pengetahuan dan kemampuan berpikir narapidana semakin meningkat dan dapat menunjang kegiatan positif selama masa pembinaan. d. Pembinaan kesadaran hukum. Pembinaan kesadaran hukum dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi, sehingga sebagai anggota masyarakat, narapidana menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, kepastian hukum dan perilaku yang taat kepada hukum. e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat. Pembinaan mengintegrasikan diri juga dikatakan pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan, yang bertujuan agar bekas narapidana mudah diterima kembali oleh masyarakat pada saat menjalani pembebasan bersyarat. 2. Pembinaan kemandirian meliputi : a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri. Misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga, reparasi mesin b. Keterampilan untuk mendukungt usaha-usaha kecil. Misalnya pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi, contoh mengolah rotan menjadi perabot rumah tangga c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing. Dalam hal ini diusahakan pengembangan bakat, seperti narapidana yang memiliki kemampuan bidang seni, maka diusahakan mengembangkan bakatnya sekaligus dijadikan usaha mencari nafkah. Tahap pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu : 1. Tahap Awal. Tahap awal ini dikenal dengan tahap maximum security yaitu dimulai sejak yang bersangktuan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 dari masa pidana. pengawasan pada tahap ini cukup ketat, meliputi : a. Masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama sebulan b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal ISSN

11 e. Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) berdasarkan data dari pembina pemasyarakatan, pengamat pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan dan wali narapidana. 2. Tahap Lanjutan Tahap lanjutan dikenal dengan nama tahap minimum security. Terbagi atas duat tahapan: a. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidana b. Tahap lanjutan kedua, yaitu sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidana. Pembinaan tahap lanjutan meliputi : a. Perencanaan program pembinaan lanjutan b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan c. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan d. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. 3. Tahap Akhir Tahap akhir dikenal dengan tahap asimilasi. Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurannya 9 bulan maka pembinaan dalam tahap ini dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana yagn meliputi : a. Perencanaan program integrasi b. Pelaksanaan program integrasi c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir Proses pembinaan diperluas dengan berasimilasi dengan masyarakat lain : a. Ikut beribadah sesama masyarakat luar b. Berolah raga dengan masyarakat c. Mengikuti pendidikan di sekolah d. Bekerja di luar seperti bekerja pada tempat latihan milik lembaga pemasyarakatan, perusahaan swasta, tempat latihan industri. e. Mendapatkan cuti menjelang bebas dan cuti mengunjungi keluarga. Pada tahap ini bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan bagian bimbingan kemasyarakatan dan perawatan yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan. Narapidana tidak dibiarkan menganggur selama masa pidana. Sistem pemasyarakatan memandang sifat pemberian pekerjaan adalah pembinaan dengan melatih bekerja bagi narapidana agar setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat menerapkan kepandaiannya sebagai bekal hidup dan diharapkan tidak melakukan lagi tindak pidana dan narapidana yang bekerja berhak mendapat upah atau premi. Pada tahap ini diberikan pembebasan bersyarat dengan ketentuan sudah melewati 2/3 dari masa pidananya dan sekurang-kurangnya telah menjalani sembilan bulan dari masa hukumannya. Hal tersebut haruslah dalam tahap pengawasan oleh : a. Kejaksaaan b. Pembimbingan c. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Tidak semua narapidana yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman memperoleh pembebasan bersyarat. Ada syarat yang harus dipenuhi misalnya, narapidana berkelakuan baik, sudah harus menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang dilakukannya. Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menunjukkan budi pekerti yang baik, mengikuit kegiatan pembinaan dengan tekun, selama masa pembinaan tidak pernah terkena hukuman disiplin. ISSN

12 Penilaian terhadap perilaku narapidana selama di dalam lembaga pemasyarakatan dipantau oleh petugas yang memberikan penilaian terhadap narapidana itu sendiri yaitu Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). TPP ditunjuk oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan jabatan yang menunjukkan sebagati Tim Pengamat Pemasyarakatan. Selain itu juga narapidana harus memenuhi syarat lain berupa kelengkapan substantif dan administrasi yang harus ada dalam usulan tersebut. Pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana tentunya mempunyai tujuan yang baik, terutama narapidana itu sendiri. Pemberian pembebasan bersyarat bertujuan agar narapidana dapat menyadari kesalahan dan masyarakat menerima kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat, berguna dan bertanggung jawab. R. Soesilo menyatakan bahwa tujuan dari pada pembebasan bersyarat ini sama dengan penjatuhan bersyarat tersebut dalam Pasal 14a KUH Pidana, yaitu suatu pendidikan bagi terhukum yang diberikan kesempatan untuk memperbaikinya. 16 Kesimpulan Bahwa pembinaan narapidana yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan kepada narapidana yang menjalani pembebasan bersyarat dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang dilakukan dengan upaya pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat jika sudah menjalani 2/3 dari masa pidananya, minimal telah menjalani 9 bulan masa pembinaan di lembaga pembinaan. Jadi narapidana memiliki hak mendapatkan pemberian pembebasan bersyarat apabila ia dijatuhi hukuman pidana dengan masa sedikitnya 1 tahun lebih 2 bulan dan berkelakuan baik selama ada pada masa pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan. Tujuan pemberian pembebasan bersyarat adalah rehabilitasi terhadap pelanggar hukum tanpa mempergunakan lembaga pemasyarakatan tetapi dengan cara narapidana tersebut dikembalikan ke dalam status sosialnya semula disertai dengan bimbingan dan pengawasan oleh pihak balai pemasyarakatan yang berada dalam lembaga pemasyarakatan. Daftar Pustaka C.I. Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta Dwija Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung , 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lapas Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta P.A. F. Lamintang, 1990, Hukum Penitensier Indonesia, Cetakan Ketiga, Armico, Bandung P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, 2010, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 16 R. Soesilo, 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Beserta Komentarnya, Politea, Bogor. ISSN

13 R. Soesilo, 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Beserta Komentarnya, Politea, Bogor. Tolib Setiadi, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier, Alfabeta, Bandung Widodo dan Wiwik Utami, 2014, Hukum Pidana & Penologi, Rekonstruksi Model Pembinaan Berbasis Kompetensi Bagi Terpidana Cybercrime, Aswaja Pressiondo, Yogyakarta Republik Indonesia,, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan , Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan , Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02.PK Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan , Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PK Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas , Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. ISSN

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembinaan Narapidana Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai suatu sistem perlakuan bagi narapidana baik di pembinaan. Pembinaan adalah segala

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil BAB II URAIAN TEORITIS Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial

Lebih terperinci

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari Sriwulan_@yahoo.co.id Abstraksi Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Pro dan kontra terkait pidana mati masih terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di Indonesia yang baru melakukan eksekusi

Lebih terperinci

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN. No.M.2.Pk Th 2007

BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN. No.M.2.Pk Th 2007 BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN No.M.2.Pk.04-10 Th 2007 A. Pembebasan Bersyarat Pembebasan bersyarat menurut PERMEN No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007 pasal 1 ayat 2 adalah proses pembinaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pemerintahan suatu negara pasti diatur mengenai hukum dan pemberian sanksi atas pelanggaran hukum tersebut. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu unit pelaksana tekhnis dari jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai tugas pokok melaksanakan

Lebih terperinci

Efektivitas Pelepasan Bersyarat Dalam Pembinaan Narapidana

Efektivitas Pelepasan Bersyarat Dalam Pembinaan Narapidana Efektivitas Pelepasan Bersyarat Dalam Pembinaan Narapidana Oleh Suyanto ABSTRAK Narapidana adalah anggota masyarakat, berasal dari masyarakat, merugikan masyarakat, tetapi juga karena sedikit banyak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan makmur berasaskan Pancasila. Dalam usaha-usahanya Negara menjumpai banyak rintangan dan

Lebih terperinci

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan. 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan dan kewajiban bertanggungjawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, aliran neo-klasik, dan aliran modern menandai babak baru dalam wacana hukum pidana. Pergeseran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Pemasyarakatan lahir di Bandung dalam konferensi jawatan kepenjaraan para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini dicetuskan oleh DR.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memandang narapidana sebagai individu anggota

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah kepenjaraan 1 di Hindia Belanda dimulai tahun 1872 dengan berlakunya wetboekvan strafrescht de inlanders in Nederlandsch Indie (Kitab Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur masyarakat itu, kaidah hukum itu berlaku untuk seluruh masyarakat. Kehidupan manusia di dalam pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab negara yang dalam hal ini diemban oleh lembaga-lembaga. 1) Kepolisian yang mengurusi proses penyidikan;

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab negara yang dalam hal ini diemban oleh lembaga-lembaga. 1) Kepolisian yang mengurusi proses penyidikan; 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum sebagaimana yang tertuang di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum,

Lebih terperinci

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN UU 12/1995, PEMASYARAKATAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (1) menyebutkan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN UMUM Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

Lebih terperinci

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan ini terdapat jelas di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hasil amandemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Dalam penelitian tesis ini diperlukan kerangka konsep yang merupakan definisi operasional dari istilah - istilah yang dipergunakan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan

BAB II PEMBAHASAN. Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan BAB II PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Pemberian Asimilasi Di Rutan Salatiga Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan bermasyarakat agar dapat hidup dan bergaul dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pembaharuan sistem secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembinaan 1. Pengertian Pembinaan Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan, mulai dikenal pada tahun 1964 ketika dalam Konferensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMBERIAN CUTI BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA KEROBOKAN DENPASAR

PELAKSANAAN PEMBERIAN CUTI BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA KEROBOKAN DENPASAR PELAKSANAAN PEMBERIAN CUTI BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA KEROBOKAN DENPASAR Oleh I Kadek Niko Suardi Ida Bagus Surya Dharma Jaya Sagung Putri M.E Purwani Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga BAB III Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasayarakatan Anak Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

EFEKTIVITAS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI EFEKTIVITAS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa sistem pembinaan narapidana yang dilakukan oleh Negara Indonesia mengacu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat dan semakin memudahkan kehidupan manusia, namun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS LEMBAGA PEMASYARAKATAN. A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana

BAB II TINJAUAN YURIDIS LEMBAGA PEMASYARAKATAN. A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana BAB II TINJAUAN YURIDIS LEMBAGA PEMASYARAKATAN A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Hukum tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka kalau membahas mengenai hukum maka tidak terlepas membicarakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tujuan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tujuan Pidana 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tujuan Pidana 1. Pengertian Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana Indonesia pidana penjara diatur sebagai salah satu bentuk pidana pokok berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terpidana

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D 101 10 002 ABSTRAK Dalam Hukum Pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan,

Lebih terperinci

HAK ANAK DIDIK SEBAGAI WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN MENURUT UU NO. 12 TAHUN Oleh : Refly Mintalangi 2

HAK ANAK DIDIK SEBAGAI WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN MENURUT UU NO. 12 TAHUN Oleh : Refly Mintalangi 2 HAK ANAK DIDIK SEBAGAI WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN MENURUT UU NO. 12 TAHUN 1995 1 Oleh : Refly Mintalangi 2 A B S T R A K Kejahatan adalah suatu kenyataan sosial yang mengganggu kehidupan manusia dan yang

Lebih terperinci

Kata kunci: Lembaga Pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat, Warga Binaan, Resosialisasi

Kata kunci: Lembaga Pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat, Warga Binaan, Resosialisasi PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI WARGA BINAAN DALAM UPAYA RESOSIALISASI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A DENPASAR Oleh Marbui Haidi Partogi Ida Bagus Surya Darmajaya I Made Walesa Putra Jurusan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan. mereka yang telah melanggar peraturan tersebut 1

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan. mereka yang telah melanggar peraturan tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis pidana yaitu pidana penjara. Menurut P.A.F. Lamintang pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadapan modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi,

Lebih terperinci

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan Handar Subhandi Bakhtiar http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-dan-sejarah-singkat.html Konsep tentang pelaksanaan pidana penjara di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan menjadi penopang bagi keberlangsungan bangsa tersebut. Untuk mewujudkan masa depan bangsa yang cerah, diperlukan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai pelaku tindak pidana, proses hukum pertama yang akan dijalani adalah proses penyelidikan. Seseorang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. maupun hukum positif, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Bersyarat sudah berjalan cukup baik dan telah berjalan sesuai dengan

BAB III PENUTUP. maupun hukum positif, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Bersyarat sudah berjalan cukup baik dan telah berjalan sesuai dengan 54 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap kendala Balai Pemasyarakatan Klas I Yogyakarta dalam mendampingi Klien Pemasyarakatan yang memperoleh Pembebasan Bersyarat dengan

Lebih terperinci

Kata Kunci : Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Pembinaan

Kata Kunci : Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Pembinaan PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR Oleh I Gede Ardian Paramandika I Ketut Mertha Gede Made Swardhana Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TEORI MENGENAI WARGA BINAAN, SISTEM PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN TEORI KRIMINOLOGI. 1. Pengertian Warga Binaan Pemasyarakatan

BAB II TEORI MENGENAI WARGA BINAAN, SISTEM PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN TEORI KRIMINOLOGI. 1. Pengertian Warga Binaan Pemasyarakatan BAB II TEORI MENGENAI WARGA BINAAN, SISTEM PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN TEORI KRIMINOLOGI A. Warga Binaan Pemasyarakatan 1. Pengertian Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 1 Undang Undang nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi penegak hukum, merupakan muara dari peradilan pidana yang menjatuhkan pidana penjara kepada para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUHAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi

BAB I PENDAHULUHAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi BAB I PENDAHULUHAN A. Latar belakang permasalahan Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB TEBO

KAJIAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB TEBO KAJIAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB TEBO Oleh : Paryadi Abdul Bari Azed Said Abdullah ABSTRAK Sistem pemasyarakatan yang

Lebih terperinci

: : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM

: : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM JURNAL PENULISAN HUKUM / SKRIPSI REALISASI HAK NARAPIDANAA UNTUK MENDAPATKAN PEMBEBASAN BERSYARAT DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA YOGYAKARTA Diajukan oleh : NORMAN NUGROHO O TANGKETASIK Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENGAJUAN DAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DAN KENDALANYA

BAB III PROSES PENGAJUAN DAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DAN KENDALANYA BAB III PROSES PENGAJUAN DAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DAN KENDALANYA 3.1. Filosofi Pemberian Remisi. Pemberian remisi ini tentu adalah berkah yang luar biasa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan BB I PENDHULUN. Latar Belakang Masalah Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana bersikap, bertutur kata dan mempelajari perkembangan sains yang

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana bersikap, bertutur kata dan mempelajari perkembangan sains yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, da-n semua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Persepsi Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Sejak manusia itu dilahirkan pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Rumah Tahanan Negara

BAB II TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Rumah Tahanan Negara 9 BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Rumah Tahanan Negara 1. Pengertian Rumah Tahanan Negara Lembaga Pemasyarakatan menurut Romli Atmasasmita, Rumah Penjara sebagai tempat pelaksanaan pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan (WBP), baik yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1995, yang didalamnya juga mencamtumkan 10 prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum, dengan memberikan perlindungan terhadap segenap warga negara. Bukti Negara Indonesia memberikan perlindungan bagi setiap

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai pengurangan masa pidana (remisi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam usahanya, Negara menjumpai banyak rintangan serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejahatan dewasa ini menunjukan tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Hal ini dapat diketahui melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik serta sumber-sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

Lebih terperinci

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA Oleh : Hendra Rusliyadi Pembimbing : IGN Dharma Laksana Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract:

Lebih terperinci

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG 61 BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN A. Pengertian

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba No.404, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Narapidana. Pembinaan. Izin Keluar. Syarat. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem hukum negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana, tetapi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistem pemasyarakatan di Indonesia merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemasyarakatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa dalam kehidupannya terikat oleh aturan aturan tertentu. Secara

BAB I PENDAHULUAN. bahwa dalam kehidupannya terikat oleh aturan aturan tertentu. Secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam kehidupan sehari hari pada awalnya manusia tidak menyadari bahwa dalam kehidupannya terikat oleh aturan aturan tertentu. Secara formal kadang kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tempat bagi pelaku tindak pidana yang dahulu dikenal dengan sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP). Hal itu dikarenakan perlakuan

Lebih terperinci

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Masyarakat terdiri dari kumpulan individu maupun kelompok yang mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam melakukan proses

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

BAB II PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan BAB II PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemasyarakatan di Indonesia. (Lapas) di Indonesia telah beralih fungsi. Jika pada awal

BAB I PENDAHULUAN. pemasyarakatan di Indonesia. (Lapas) di Indonesia telah beralih fungsi. Jika pada awal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci