BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronis (GGK) akhir-akhir ini semakin banyak terjadi,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronis (GGK) akhir-akhir ini semakin banyak terjadi,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronis (GGK) akhir-akhir ini semakin banyak terjadi, berdasarkan data dari Annual Data Report of the US Renal Data System (USRDS) tahun 2015 di Amerika Serikat pada akhir desember 2013 terdapat kasus GGK, diperkirakan sekitar per juta penduduk AS menderita GGK. Jumlah kasus GGK terus meningkat dari tahun 2010, dengan peningkatan sekitar kasus per tahun (USRDS, 2015 a ). Di Indonesia berdasarkan data dari Pusat Data dan lnformasi (PDI) Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013 secara nasional 0,2% penduduk Indonesia menderita gagal ginjal kronis (Kemenkes, 2013). GGK berhubungan signifikan dengan peningkatan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian), dan banyak pasien yang mengalami berbagai masalah dalam pengobatan GGK. Berbagai masalah yang timbul dalam pengobatan GGK dapat disebabkan oleh berbagai komplikasi yang menyertainya, sesuai dengan National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) tahun 2002 komplikasi yang terjadi diantaranya anemia, hipertensi, diabetes melitus, gangguan elektrolit, asidosis, penyakit dan gangguan tulang akibat gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, serta neuropati (KDOQI, 2002). Salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah anemia, yang bisa terjadi pada awal GGK dan menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien. 1

2 2 Anemia dapat mempercepat progresivitas GGK bahkan menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskuler (Weiner dkk., 2005). Menurut KDOQI 2006 anemia terjadi apabila kadar Hb< 13,5 g/dl pada laki-laki dan <12,0 g/dl pada perempuan. Bedasarkan penelitian National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) by the National Institutes of Health and the Prevalence of Anemia in Early Renal Insufficiency (PAERI) menyebutkan insiden anemia terjadi >70% pada GGK (Lankhorst, 2010). Penyebab terjadinya anemia pada pasien dengan GGK bersifat multifaktorial, dan penyebab paling banyak diketahui adalah kurangnya produksi hormon eritropoetin yang mana sering terjadi bersamaan dengan kurangnya zat besi. Terjadinya kegagalan ginjal berkontribusi besar menyebabkan terjadinya kekurangan eritropoetin sehingga meningkatkan anemia (Lankhorst, 2010). Sebelum hormon Recombinant Human Erythropoietin (r-huepo) ditemukan, pasien GGK dengan anemia harus melakukan transfusi darah, sehingga berisiko terkenanya virus hepatitis dan HIV, komplikasi hemosiderosis, depresi sumsum tulang, hidrasi berlebih, dan meningkatkan sensitasi terhadap Human Leucocyte Antigen (HLA) serta harus menggunakan suplemen besi dalam jumlah banyak (Lankhorst, 2010 ; KDIGO, 2012). Sejak dipublikasikan pertama kali Recombinant Human Erythropoietin (r-huepo) diakhir tahun 1980-an, Erythropoietin Stimulating Agent (ESA) menjadi obat utama dalam pengobatan anemia pada pasien GGK, dan menurunkan penggunaan transfusi darah dan komplikasi yang disebabkan akibat transfusi darah (Pisioni dkk., 2004). Terapi menggunakan epoetin dapat meningkatkan fungsi kardiovaskular, meningkatkan

3 3 energi dan menurunkan angka rawat inap, sehingga secara otomatis dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (Ajuria dkk., 2005). Penggunaan epoetin di Indonesia terus meningkat pada pasien GGK dari tahun 2008 sampai tahun 2012, hal ini menunjukkan bahwa efikasi penggunaan epoetin sebagai obat anemia semakin dipercaya dalam mengatasi anemia akibat gagal ginjal (PERNEFRI, 2012). Terapi dengan epoetin dimulai pada kadar Hb <10 g/dl, dimana target Hb pada terapi epoetin adalah g/dl. Penggunaan epoetin tidak direkomendasikan jika kadar Hb >13 g/dl, karena tidak menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang bermakna secara klinis karena risiko hipertensi, trombosis vaskular meningkat dan angka total akibat penyakit kardiovaskular lebih tinggi (PERNEFRI, 2012). Epoetin yang paling banyak digunakan adalah epoetin jenis alfa dan beta, tidak ada perbedaan antara epoetin alfa dan juga beta baik dalam hal efikasi, keamanan, farmakokinetik dan farmakodinamiknya (Lankhorst, 2010). Penggunaan epoetin dapat secara subkutan ataupun intravena, namun diketahui jika penggunaan epoetin secara subkutan bioavaibilitasnya lebih besar 30% dari intravena karena waktu paruhnya yang lebih lama dibandingkan pemberian secara intravena (PERNEFRI, 2012 ; Lankhorst, 2010). Terapi epoetin dilaporkan juga mempunyai efek samping, efek samping yang terjadi segera setelah penggunaan epoetin yang pernah dilaporkan terjadi adalah flu-like symptom yang akan mereda 24 jam setelah pemberian. Efek samping lain yang pernah terjadi diantaranya adalah peningkatan tekanan darah, trombosis, reaksi alergi, kejang, hiperkalemia dan trombositosis (Ng dkk., 2003 ;

4 4 Casati, 1987). Selain efek samping, interaksi akibat penggunaan epoetin juga pernah dilaporkan terjadi, diantaranya adalah interaksi dengan obat Angiotensin-II Receptor Blocker (ARB), ACE-Inhibitor (ACE-I), steroid, Nonsteroidal antiinflammatory drug (NSAID), lenalidomide, thalidomide, kalsineurin inhibitor yaitu tacrolimus, ciclosporin (Baxter, 2010 a ). Efek samping akibat penggunaan epoetin lebih banyak dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani dialisis (Gahart & Adrienne, 2014). Komplikasi dan penggunaan obat yang beragam pada pasien GGK membuka peluang besar untuk terjadinya efek samping dan interaksi epoetin, untuk itu perlu dilakukan evaluasi penggunaan epoetin dengan melihat kejadian efek samping serta interaksi penggunaannya. Pengkajian terhadap efek samping dan interaksi akibat penggunaan epoetin dapat dijadikan sebagai salah satu cara meminimalkan risiko dalam pengobatan anemia pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis (Tan & Prayitno, 2003). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah gambaran penggunaan epoetin yang digunakan dalam mengobati anemia pada pasien gagal ginjal kronis di Unit Hemodialisis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Bagaimanakah kejadian efek samping dan interaksi epoetin di Unit Hemodialisis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

5 5 C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran penggunaan epoetin yang digunakan di Unit Hemodialisis RSUP Dr. SardjitoYogyakarta. 2. Mengetahui kejadian efek samping dan interaksi obat dalam penggunaan epoetin di Unit Hemodialisis RSUP Dr. SardjitoYogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi rumah sakit : a. Sebagai informasi tentang bagaimana penggunaan epoetin yang efektif dan aman bagi pasien. b. Sebagai masukan dalam upaya peningkatan kualitas pengobatan anemia pada pasien GGK. 2. Bagi pemerintah dan institusi : a. Memperkaya data dan informasi tentang penggunaan epoetin. b. Sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia pada umumnya dan peningkatan pelayanan kefarmasian pada khususnya. 3. Bagi peneliti : Meningkatkan pengetahuan akan dunia kesehatan dan farmasi sekaligus sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh.

6 6 E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Ginjal Kronis a. Definisi Gagal ginjal merupakan tahap akhir dari Penyakit Ginjal Kronis (PGK), adalah kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara progresif dan terjadi selama beberapa bulan hingga tahun dan ditandai dengan penggantian bertahap arsitektur ginjal normal dengan fibrosis interstisial (Dipiro, 2008). Menurut KDIGO-2012 PGK adalah terjadinya kerusakan pada ginjal yang berlangsung 3 bulan, kerusakan ginjal ditandai dengan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus serta terjadinya abnormalitas struktur atau fungsi ginjal (KDIGO, 2012). b. Etiologi Penurunan fungsi nefron terjadi akibat dari gangguan dan penyakit primer pada ginjal, komplikasi sekunder yang bersifat sistemik (seperti diabetes melitus dan hipertensi), atau kerusakan akut pada ginjal yang bersifat irreversibel. Pada tahun 2008 penyebab terjadinya End State Renal Disease (ESRD) di Amerika adalah diabetes melitus (44%), hipertensi (28%), dan chronic glomerulonephritis (7%), sisanya penyakit lain yang berkontribusi terjadinya PGK adalah penyakit ginjal polikistik, malformasi congenital dari ginjal, nephrolithiasis, interstitial nephritis, renal artery stenosis, renal carcinoma, and human immunodeficiency virus associated nephropathy (Alldredge dkk., 2012).

7 7 c. Faktor Risiko Menurut National Kidney Foundation (NKF) K/DOQI tahun 2002, ada empat faktor yang mempengaruhi terjadinya GGK dan memperparah GGK yaitu: 1) Susceptibility adalah faktor yang meningkatkan risiko terjadinya GGK, seperti lanjut usia, riwayat keluarga yang mempunyai penyakit ginjal, penurunan massa ginjal, bayi lahir dengan berat badan rendah, RAS atau etnik, serta rendahnya pendidikan dan pendapatan. 2) Initiation adalah faktor yang secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal, misalnya penyakit diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran urinari, batu ginjal, ketoksikan obat. 3) Progression adalah faktor yang menyebabkan memburuknya kerusakan ginjal dan mempercepat penurunan fungsi ginjal, misalnya tingginya kadar proteinuria, tekanan darah tinggi, tidak terkontrolnya gula darah pada pasien diabetes, merokok. 4) End-stage adalah faktor yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada gagal ginjal, misalnya dialisis dengan dosis rendah (Kt/V), temporary vascular acces, anemia, low serum albumin level, late referral (KDOQI, 2002) d. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis Berdasarkan nilai GFR, National Kidney Foundation mengklasifikasikan PGK ke dalam 5 stadium yang menggambarkan fungsi ginjal, dapat dilihat pada Tabel I. Gagal Ginjal Kronis merupakan penyakit ginjal kronis tahap akhir, dimana kerusakan ginjal sudah total.

8 8 Tabel I. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis (K/DOQI, 2002) Stadium Deskripsi GFR (ml/min/1,73 m 2 ) 1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau dengan peningkatan GFR 90 2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR Penurunan GFR sedang Penurunan GFR berat Gagal ginjal < 15 e. Patofisiologi Kerusakan struktur ginjal tergantung pada penyakit utama yang mempengaruhi ginjal, progresivitas kerusakan ginjal akan berakhir pada kerusakan parenkim ginjal yang permanen dan End Stage Renal Disease (ESRD) seperti Gambar 1. Jalur utama yang menyebabkan kerusakan ginjal adalah hilangnya massa ginjal, hipertensi pada kapiler glomerular, proteinuria, hipertrofi nefron menyebabkan hilangnya fungsi dan massa nefron, kemudian berkembang menjadi hipertensi intraglomerular, yang menginisiasi pengeluaran angiotensin II, menyebabkan vasokontriksi pada arteri aferen dan eferen, sehingga meningkatkan tekanan didalam kapiler glomerular dan konsekuensinya meningkatkan fraksi filtrasi, dengan meningkatnya tekanan kapiler intraglomerular merusak fungsi membran glomerular dalam melakukan filtrasi sehingga meningkatkan sekresi albumin di urin dan sampai menyebabkan proteinuria. Adanya protein di dalam tubular ginjal mengaktifkan sel tubular ginjal untuk meregulasi terjadinya inflamasi dan sitokin vasoaktif, agen inflamasi seperti sitokin menjadi penyebab terbentuknya fibrosis and renal scarring, dan akhirnya menyebabkan hilangnya fungsi nefron (Dipiro, 2008).

9 9 Inisiasi kerusakan patogenik Kerusakan glomerular Diabetes Melitus Berkurangnya area filtrasi Aterio Sklerosis Pembentukan hasil akhir proses glikogen Adaptasi perubahan hemodinamik Hiperlipydemia Peningkatan aliran darah glomerular Peningkatan tekanan kapiler glomerular Hipertensi Sistemik Kerusakan epitel Kerusakan endotel Kerusakan mesangial Hipertropi glomerular Proses detachmel fokal pada epitel Proteinuri Pelebaran mesangial Deposisi hialin pada glomerular Penyumbatan mikrotrombus pada kapiler glomerulus Glomerosklerosis Pembentukan mikroaneurisme PERKEMBANGAN PENYAKIT GINJAL Gambar 1. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis (Joy dkk., 2008) f. Manifestasi Klinik Gejala gagal ginjal terlihat jelas yaitu berupa gejala uremia (lelah, lemah, nafas pendek, pusing, mual muntah, pendarahan, dan kehilangan nafsu makan) edema, perubahan output urin (volume dan konsistensi), urin berbusa (indikasi ada protein), abdominal distension, timbul rasa gatal (itching), intoleran dingin, kenaikan berat badan, dan peripheral neuropathies. Tanda terjadinya PGK dapat dilihat dari empat hal yaitu pada :

10 10 1) Cardiovascular pulmonary ditandai dengan adanya edema, memburuknya hipertensi, hipertrofi ventrikal kiri, aritmia, hyperhomocysteinemia, and dislipidemia. 2) Gastrointestinal ditandai dengan adanya Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), penurunan berat badan. 3) Endokrin ditandai dengan adanya hiperparatiroid sekunder, penurunan vitamin D aktivasi, penurunan beta2 microglobulin, dan gout. 4) Hematologi ditandai dengan adanya anemia pada GGK, defisiensi besi, dan pendarahan. 5) Cairan dan elektrolit ditandai dengan adanya hiper atau hiponatremia, hiperkalemia, dan asidosis metabolisme (Dipiro, 2008). g. Komplikasi Komplikasi spesifik terhadap penyakit ginjal kronis mulai berkembang pada tahap 3 (egfr <60 ml/minute/1,73 m 2 ). Komplikasi yang tidak segera disadari dan tidak ditanggulangi dapat memperburuk kondisi pasien, yang pada akhirnya menyebabkan kebutuhan terapi dengan dialisis (Alldredge dkk., 2012). Menurut KDOQI 2002 komplikasi yang terjadi adalah hipertensi, diabetes melitus, anemia, penyakit tulang (renal osteodystrophy), gangguan metabolisme kalsium dan fosfor (hiperparatiroid sekunder), neuropati, gangguan nutrisi (malnutrisi), abnormalitas cairan dan elektrolit, asidosis metabolit (KDOQI,2002). h. Komorbid Komorbid adalah kondisi lain selain penyakit utama (gagal ginjal kronis). Ada tiga tipe komorbid pada penyakit ginjal kronis:

11 11 1) Penyakit yang sebabkan GGK, adalah penyakit yang memperparah GGK yaitu tekanan darah tinggi, diabetes melitus, penyumbatan pada saluran urinari. 2) Penyakit yang tidak berhubungan langsung dengan GGK, adalah penyakit yang dapat memperburuk kondisi pasien namun tidak langsung mempengaruhi fungsi ginjal, yaitu penyakit paru obstruksi kronik, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), penyakit degeneratif, penyakit alzheimer. 3) Penyakit kardiovaskular adalah penyakit utama yang pengaruhnya sangat kompleks terhadap perkembangan GGK, sehingga perlu dicegah karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas yaitu arteriosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, penyakit pheriperal vascular, hipertrofi ventrikal kiri, gagal jantung (KDOQI, 2002). 2. Anemia a. Definisi Anemia adalah penyakit yang dikarakterisasi dengan terjadinya penurunan kadar Hb atau volume sel darah, sehingga menurunkan kapasitas pembawaan oksigen oleh darah (Dipiro, 2008). Menurut World Health Organization (WHO), anemia adalah keadaan jumlah sel darah merah yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologi tubuh (WHO, 2011 ; Dipiro, 2008). Tingkat keparahan anemia dapat diketahui berdasarkan data kadar Hb sesuai dengan Tabel II.

12 12 Tabel II. Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia (g/l) (WHO, 2011) Anemia Populasi Bukan Anemia Ringan Sedang Berat Anak usia 6-59 bulan Anak usia 5-11 tahun Anak usia tahun Wanita hamil usia 15 tahun Wanita tidak hamil usia 15 tahun Laki-laki usia 15 tahun b. Manifestasi Klinik Gejala dan tanda bervariasi sesuai dengan tingkat penurunan dari sel darah merahnya dan lamanya kejadian anemia. Kejadian anemia bisa bersifat akut atau kronis, untuk anemia yang bersifat kronis gejalanya bisa bersifat asimptomatik (Alldredge dkk., 2012). Gejala yang muncul misalnya penurunan kemampuan dalam beraktifitas, kelelahan, pusing, iritabilitas, lemah, palpitasi, vertigo, nafas pendek, nyeri dada, gejala gangguan neurologi jika terjadi defisiensi vitamin B12. Tanda yang muncul misalnya takikardi, pucat, penurunan konsentrasi, peningkatan intensitas beberapa cardiac valvular murmurs, penurunan vibratory sense atau cara berjalan yang abnormal akibat defisiensi vitamin B12 (Dipiro, 2008). Pasien dengan anemia hemolisis akan terlihat sedikit jaundice (kekuningan) akibat pelepasan bilirubin. Gejala dari hemorrhage (pendarahan) bisa berupa petechiae, ecchymoses, hematomas, epistaksis, pendarahan gusi, dan adanya darah pada urin atau feses (Alldredge dkk., 2012).

13 13 c. Macam-macam Anemia 1) Iron Deficiency Anemia (IDA), dikarakteristik dengan penurunan level ferritin (tanda yang paling sensitif) dan serum Fe, penurunan saturasi transferrin, Hb dan Hct. Total binding capacity (TIBC) meningkat. Berdasarkan morfologi sel darah merahnya termasuk pada anemia hyprochromic dan microcyrtic. Kebanyakan pasien dengan IDA ini dapat diterapi dengan pemberian suplemen ferrous (FE+2) sulfate secara oral, terapi suplemen besi secara parenteral digunakan hanya untuk pasien dengan keadaan tertentu. 2) Anemia akibat defisiensi vitamin B12, adalah macrocytic anemia, yang terjadi akibat asupan yang inadekuat, penurunan absorpsi, atau pemanfaatan vitamin B12 yang inadekuat. Anemia disebabkan oleh kekurangan faktor intrinsik, menyebabkan penurunan vitamin B12 dan jumlah retikulosit yang relatif rendah. Gejala neurologi sering dijumpai dan bisa menjadi irreversible jika defisiensi vitamin B12 tidak segera di atasi. Oral atau parenteral terapi bisa digunakan untuk mengatasi defisiensi vitamin B12. 3) Anemia akibat defisiensi asam folat, adalah macrocytic anemia, yang terjadi akibat asupan yang inadekuat, penurunan absorpsi, hyperutilization, atau pemanfaatan yang inadekuat. Terapi dilakukan secara peroral, bahkan pada pasien dengan masalah absorpsi (Dipiro, 2008). Jika defisiensi vitamin B12 dan folat berlangsung terus-menerus, maka akan terjadi gangguan pada sintesis DNA, maturasi terhenti, sehingga proses

14 14 eritropoesis inaktif dan berkembang menjadi anemia macrocytic (KDOQI, 2006). 4) Anemia Chronic Disease (ACD) adalah anemia yang berhubungan dengan penyakit kronis dikarakteristik dengan abnormalnya distribusi besi, penurunan lama hidup dari sel darah merah dan lemahnya respon eritropoetin. ACD adalah penyebab kedua paling banyak terjadinya anemia setelah IDA dan prevalensi rawat inap pasien pun lebih banyak dibandingkan IDA (Weiss dkk., 2005). Terjadinya ACD dihubungkan dengan terjadinya infeksi atau proses inflamasi, kerusakan jaringan dan kondisi yang berhubungan dengan pelepasan proinflamasi sitokin (Weiss dkk., 2005). Tes laboratorium untuk membedakan ADI dan ADC dapat dilihat pada Tabel III. Tabel III. Perbedaan Anemia ACD/ADI (Weiss dkk., 2005) Nilai Tes Laboratorium ACD IDA ACD-IDA Besi Transferin / normal Transferin Saturation Ferritin / normal / normal Soluble Transferin Receptor normal / normal Keterangan : ACD : Anemia Chronic Disease ADI : Iron Deficiency Anemia : terjadi penurunan dari nilai normal : terjadi kenaikan dari nilai normal 3. Anemia pada Gagal Ginjal Kronis a. Patofisiologi Anemia pada GGK Anemia renal adalah anemia pada GGK yang terutama disebabkan penurunan kapasitas produksi eritropoietin. Beberapa faktor lain yang berkontribusi untuk terjadinya anemia renal termasuk defisiensi besi, umur eritrosit yang memendek, hiperparatiroid sekunder, dan infeksi-inflamasi

15 15 (PERNEFRI, 2011). Ginjal memproduksi 90% eritropoetin, dan sisanya diproduksi oleh hati (Alldredge dkk., 2012). Eritropoetin diproduksi sel peritubular capillary endothelial yang ada pada ginjal, Hypoxia Inducible Factor (HIF) diproduksi oleh ginjal dan juga jaringan lain apabila terjadinya hipoksia pada jaringan yang kemudian menstimulasi produksi eritropoetin. Kemudian eritropoetin akan berikatan dengan reseptornya sel erythroid progenitor di sumsum tulang, yaitu Burst-forming Units (BFU-E) and Colony-forming Units (CFU-E). Dengan terikatnya eritropoetin ke reseptor, sel erythroid progenitor mengalami diferensiasi menjadi retikulosit dan sel darah merah yang dimediasi oleh fas antigen (Lankhorst, 2010). Inflamasi adalah gangguan paling umum yang terjadi pada pasien GGK, yang akan mempengaruhi proses eritropoesis pada periode awal erythropoietindependent period dan kemudian iron-dependent period. Inflammatory cytokines menghambat produksi eritropoetin, yang secara langsung merusak pertumbuhan awal dari eritroblast, dan tidak adanya eriropoietin akan menginisiasi kerusakan immature eritroblast (De Maria dkk., 1999). Inflammatory cytokines juga menginduksi produksi hepcidin yang dihasilkan hati yang menghambat produksi sel darah merah dengan menurunkan absorpsi zat besi di saluran cerna yang berguna untuk membentuk eritroblast, sehingga juga mengganggu produksi sel darah merah (Andrews, 2004). Masa hidup sel darah merah pada pasien GGK juga berkurang normalnya masa hidup sel darah merah adalah 120 hari namun pada pasien GGK masa hidup sel darah merah hanya hari. Pada kondisi normal sumsum tulang akan

16 16 secara signifikan menaikkan produksi sel darah merah dan mengkoreksi pendeknya masa hidup sel darah merah, namun aksi ini pada pasien dengan GGK menjadi lemah karena terjadinya kekurangan eritropoetin (Lankhorst, 2010). b. Tatalaksana Terapi Anemia GGK menggunakan ESA Tatalaksana terapi anemia pasien GGK menurut PENEFRI 2011 dapat dilihat pada Gambar 2. 1) Terapi ESA dimulai pada kadar Hb <10 g/dl, dengan syarat pemberian ESA yaitu : a) Tidak ada anemia defisiensi besi absolut yaitu Saturasi Transferin (ST) <20% dan Ferritin Serum (FS) <100 ng/ml (PGK-nonD dan PGK-PD), <200 ng/ml (PGK_HD). Bila didapatkan anemia defisiensi besi absolut, harus dikoreksi terlebih dahulu. b) Tidak ada infeksi berat 2) Terapi ESA fase koreksi Tujuannya adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb tercapai. a) Terapi ESA dianjurkan untuk diberikan secara subkutan. b) Dosis ESA dapat dengan : Epoetin alfa dan beta : dimulai dengan IU 2x seminggu atau unit/kbbb/minggu subkutan. Continuous Erythropoiesis Receptor Activator (CERA) dapat diberikan 0,6 µg/kgbb atau µg setiap 2 minggu. c) Target respon yang diharapkan: Hb naik sekitar 0,5 1,5 g/dl dalam 4 minggu. Monitor Hb tiap 4 minggu.

17 17 Hb <10 g/dl Status Besi ST >50%\ ST 20% dan FS >500 ng/dl ST <20% Anemia Defisiensi Besi Cukup Anemia Fungsional Defisiensi Besi Fungsional Anemia Defisiensi Besi Absolut Tunda ESA Terapi Besi Fase koreksi Terapi ESA fase koreksi Epoetin α atau Epoetin beta: IU, 2x seminggu atau IU/kgBB/minggu C.E.R.A: 0,6 µg/kgbb atau µg setiap 2 minggu Target Respon Hb 0,5 1,5 g/dl dalam 4 minggu Tercapai Pertahankan dosis ESA sampai target Hb tercapai (Hb g/dl) Tercapai Belum tercapai Dosis 25% tiap 4 minggu Belum Cari penyebab respon ESA tidak adekuat Hb g/dl atau Hb 1,5 g/dl dalam 4 minggu Dosis 25% Melebihi target Evaluasi 1 bulan Hb >13 g/dl STOP ESA Dosis ESA fase pemeliharaan Epoetin ɑ dan beta: IU/minggu CERA: sama dengan dosis fase koreksi dalam 1 bulan diberikan setiap 4 minggu Keterangan: Terapi besi tidak diberikan Diberikan terapi besi fase koreksi, ESA ditunda sementara ESA diberikan bersamaan dengan terapi besi fase pemeliharaan Gambar 2. Algoritma Terapi ESA (PENEFRI, 2011)

18 18 d) Bila target respon tercapai: pertahankan dosis ESA sampai target Hb tercapai (10-12 g/dl). e) Bila taget respon belum tercapai naikkan dosis 25% f) Bila Hb naik >1,5 g/dl dalam 4 minggu atau Hb mencapai g/dl turunkan dosis 25%. Bila Hb >13 g/dl, dihentikan pemberian ESA g) Monitoring status besi : Selama terapi ESA monitor status besi, berikan suplemen besi sesuai. 3) Terapi ESA fase pemeliharaan : dilakukan bila target Hb sudah tercapai (Hb g/dl). a) Dosis epoetin poetin alfa dan beta : dimulai dengan IU/minggu atau dosis Continuous Erythropoiesis Receptor Activator (CERA) sama dengan fase koreksi dengan interval pemberian setiap 4 minggu. b) Monitor Hb setiap bulan dan periksa status besi secara berkala. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai >12 g/dl maka dosis ESA diturunkan 25% (PERNEFRI, 2011). 4. Erythropoietin Stimulating Agent (ESA) a. Definisi dan Kegunaan ESA Eritropoetin untuk kegunaan klinik diproduksi melalui teknologi rekombinan DNA, disebut dengan nama epoetin. RhuEpo mempunyai efek farmakologi yang sama dengan eritropoetin endogen (Sweetman, 2009). Epoetin alfa, beta, delta dan zeta, darbepoetin alfa, Continuous Erythropoietin Receptor Activator (CERA) digunakan untuk manajemen anemia pada pasien yang

19 19 mengalami GGK dengan dialisis dan predialisis, yang menurunkan penggunaan transfusi darah. (Sweetman, 2009 ; Anonim, 2009 a ; Anonim, 2009 b ; Anonim, 2006). b. Jenis ESA Preparat ESA yang beredar di Indonesia : epoetin alfa, epoetin beta, ESA alfa biosimilar, Continuous Erythropoietin Receptor Activator (CERA) (PENEFRI, 2011). Epoetin alfa, epoetin beta adalah eritropoetin rekombinan dari manusia yang berasal dari kloning gen eritropoetin manusia, memiliki 165 sekuen asam amino yang sama yang membedakan hanyalah susunan glycosylatenya dan memiliki waktu paruh singkat (Sweetman, 2009 ; PENEFRI, 2011). Epoetin alfa biosimilar adalah produk bio-teknologi non original dengan proses kompleks maka tidak persis sama dengan produk asli, oleh karena itu digunakan istilah biosimilar (PENEFRI, 2011). Continuous Erythropoietin Receptor Activator (CERA), merupakan pegylated epoetin beta mempunyai waktu paruh yang lebih panjang (sekitar 130 jam) sehingga dapat diberikan setiap 2 minggu sekali atau sebulan sekali secara subkutan atau intravena (Anonim, 2009 b ; PENEFRI, 2011). c. Mekanisme ESA Menginduksi eritropoiesis dengan menstimulasi pembelahan dan diferensiasi dari sel pregnitor, menginduksi pelepasan retikulosit dari sumsum tulang ke dalam aliran darah, dimana retikulosit akan menjadi eritrosit. Efek tergantung dosisnya. Peningkatan jumlah retikulosit diikuti dengan peningkatan level hematokrit dan hemoglobin (Anonim, 2009 a ; Anonim, 2006).

20 20 d. Peringatan dan Perhatian dalam Penggunaan ESA 1) Terapi dengan epoetin berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskuler atau neurologi pada pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK). Harus digunakan secara hati-hati, hindari peningkatan Hb >13 g/dl dalam 2 minggu periode, dan target Hb tidak boleh lebih dari 12 g/dl (Anonim, 2006). 2) Perlu perhatian dan kewaspadaan lebih penggunaan epoetin pada pasien dengan hipertensi berat (hati-hati pada pemberian ESA pada hipertensi berat (180/110 mmhg), riwayat kejang, trombositosis, kerusakan hati kronis, penyakit iskemik pada pembuluh darah, atau pasien dengan kanker dan tumor tekanan darah harus dikontrol selama terapi. Peningkatan hematokrit kemungkinan dapat menyebabkan kekambuhan hipertensi dan kejang. 3) ESA dapat diberikan secara subkutan maupun intravena, namun pemberian subkutan lebih dianjurkan. Hal ini disebabkan karena pemberian subkutan dapat menghemat kebutuhan ESA sampai 30% karena waktu paruh yang lebih panjang (PENEFRI, 2011; Sweetman, 2009). 4) Dalam manajemen anemia GGK, pemberian ESA subkutan dapat dilakukan sebelum, saat atau setelah HD selesai (PENEFRI, 2011). 5) Tidak direkomendasikan untuk mengkoreksi anemia akut atau pengganti dari transfusi. e. Efek Samping ESA Menurut Drug Information Handbook (DIH) edisi 17 tahun 2009 efek samping akibat penggunaan epoetin dibagi menjadi 3 kategori yaitu : 1) Efek samping dengan persentase kejadian >10% dapat dilihat pada tabel X.

21 21 Tabel IV. Efek Samping ESA dengan persentase kejadian >10% (Anonim, 2009 b ) No Efek samping Persentase kejadian (%) 1 Kardiovaskuler Hipertensi 5 24 thrombotic/vascular events (coronary artery 23 bypass graft surgery Udem 6 17 Deep vein thrombosis Sistem saraf pusat Demam Pusing < 7 21 Insomnia Sakit kepala Dermatologi Pruritis Nyeri kulit 4 18 Rash < 16 4 Gastrointestinal Mual Konstipasi Muntah 8 29 Diare 9 21 Dispepsia Sakit ditempat injeksi Neuromuskular dan skeletal Nyeri sendi 11 Paresthesia 11 2) Efek samping dengan persetanse kejadian 1 10 % Efek samping pada sistem saraf pusat yaitu seizure (1 3 %), efek lokal yaitu clotted vascular access (7%). 3) Efek samping dengan persentase kejadian <1% Efek samping dengan persentase kejadian <1% adalah efek samping yang masih berupa laporan kasus diantaranya reaksi alergi, flu-like syndrome, hiperkalemia, reaksi hipersensitivitas, hipertensi encephalopathy, trombosis mikrovaskuler, Myocardial Infark (MI), nyeri otot, netralisasi antibodi, emboli paru, pure red cell aplasia (PRCA), trombosis pada vena renal, trombosis pada pembuluh arteri retina mata, takikardi, temporal vein thrombosis,

22 22 thrombophlebitis, trombosis, Transient Ischaemic Attack (TIA) stroke ringan, urtikaria (Anonim, 2009 b ). f. Interaksi dalam Penggunaan ESA Beberapa obat yang dapat menimbulkan interaksi jika digunakan secara bersamaan dengan epoetin adalah androgen, darbepoetin alfa, epoetin alfa, desmopressin probenecid, amphotericin B, suplemen besi, lenalidomide, thalidomide, NSAID, steroid, kalsineurin inhibitor yaitu tacrolimus, ciclosporin, ACE-I, angiotensin II reseptor antagonis (Mozayani & Raymon, 2004 ; Baxter, 2010 a ; Baxter, 2010 b ; Karalliedde, 2010 ; Schiffl, 1999 ; Sweetman, 2009). 5. Efek Samping dan Interaksi Obat a. Efek Samping Obat Efek samping obat adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik (BPOM, 2012). Efek samping obat menurut National Centres Participating in the WHO International Drug Monitoring Proggrame tahun 1991, adalah efek produk farmasetika yang tidak dikehendaki dan terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia yang berkaitan dengan pemakaian farmakologi dari obat (Edwards, 2001). Efek samping dibagi dua yaitu reaksi tipe A dan reaksi tipe B (Barone & Desantis, 2000). Ciri-ciri dari reaksi efek samping obat dapat dilihat pada Tabel V.

23 23 Tabel V. Ciri-ciri Efek Samping Obat (Prest dkk., 2003) Tipe A (ESO- Efek Samping Obat) Dapat diramalkan (dari pengetahuan farmakologinya) Tergantung Dosis Morbiditas tinggi Mortalitas rendah Dapat ditangani dengan pengurangan dosis Angka kejadian tinggi Tipe B (reaksi alergi, idosinkratis, imunologik, karsinogenik, teratogenik) Tidak dapat diramalkan (melibatkan mekanisme imunologik atau mekanisme yang belum diketahui) Jarang tergantung dosis Morbiditas rendah Mortalitas tinggi Dapat ditangani hanya dengan penghentian pengobatan Angka kejadian rendah (tidak dapat ditemukan sampai obat dipasarkan dalam waktu lama Faktor yang mempengaruhi terjadinya efek samping obat diantaranya adalah: 1) Onset dari reaksi Respon abnormal terhadap obat dapat terjadi segera setelah penggunaan obat atau dapat terjadi dengan jangka waktu tertentu setelah penggunaan obat. Tingkat risiko terjadinya efek samping bervariasi tergantung terhadap tipe reaksi dan lamanya pemakaian obat. 2) Dosis yang digunakan Beberapa obat efeknya tergantung dosis pemberian, namun karena setiap individu berbeda respon farmakokinetiknya terhadap obat, sehingga dosis pun terkadang tergantung dari pasiennya. Pengobatan yang salah juga dapat mempengaruhi terjadinya kesalahan dalam dosis pemberian obat. 3) Umur Efek samping umumnya banyak terjadi pada pediatri dan geriatri, dikarenakan fungsi organnya yang terbatas dan eliminasi obat yang lebih lama pada geriatri dan bayi yang baru lahir. Perubahan distribusi juga menimbulkan respon yang berbeda. Kesensitivitasan reseptor dan perubahan

24 24 homeostasis juga mempengaruhi terjadinya efek samping. Pada usia pediatri dan geriatri biasanya digunakan dosis yang lebih rendah. 4) Penyakit Adanya penyakit juga dapat merubah farmakokinetik obat, atau merubah sensitivitas reseptor terhadap obat sehingga meningkatkan terjadinya efek samping. Terutama penyakit yang terjadi pada organ ekskresi (hati dan ginjal), yang dapat meningkatkan terjadinya efek samping karena lambatnya obat dieliminasi dari tubuh. Dalam kondisi seperti ini biasanya obat yang digunakan adalah obat yang eliminasinya melalui salah satu organ agar tidak memperparah keadaan ginjal atau hati. 5) Polifarmasi Insiden terjadinya efek samping meningkat jumlahnya dengan banyaknya jumlah obat yang digunakan. Adanya penambahan pemakaian obat-obat lain seperti obat herbal ataupun suplemen juga perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya efek samping. Insiden terjadinya efek samping meningkat jumlahnya dengan banyaknya jumlah obat yang digunakan. Studi pada sebuah rumah sakit menemukan bahwa kemungkinan efek samping untuk muncul adalah sebanyak 7% pada pasien yang menggunakan bat, dan sebanyak 40% pada penggunaan obat (Baxter, 2010 a ). 6) Jenis Kelamin Lebih banyak efek samping terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Kemungkinan hormon seks yang mempengaruhi predisposisi obat.

25 25 7) Riwayat alergi atau reaksi tertentu terhadap obat Pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat alergi terhadap obat biasanya memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadinya efek samping, karena secara genetikal terjadi perbedaan jumlah dari IgE. 8) Genetik dan etnik Faktor keturunan bisa memberikan respon yang abnormal tehadap obat yang dapat meningkatkan efek samping, baik karena perbedaan respon farmakokinetiknya maupun perbedaan reseptor dalam merespon (Edward, 1997). b. Interaksi Obat Interaksi obat adalah terjadinya respon obat yang berubah pada pasien karena adanya obat lain, makanan, minuman, atau beberapa bahan kimia lain yang ada di lingkungan (Stockley dkk., 2001). Interaksi obat semakin besar kemungkinan kejadiannya apabila seseorang pasien diberikan dua atau lebih obat (polifarmasi), efek dari masing-masing obat dapat saling mengganggu dan bisa juga timbul efek samping yang tidak diinginkan (Tan & Rahardja, 2002 ; Rowland & Towzer, 1995). Mekanisme terjadinya interaksi obat dapat dibedakan menjadi interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik : 1) Interaksi farmakokinetik Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi lewat pengaruh proses farmakokinetik, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (interaksi ADME).

26 26 2) Interaksi farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek suatu obat diubah oleh adanya obat lain pada tempat aksinya. Bisa melalui mekanisme kompetisi langsung di reseptor tertentu, tapi bisa juga saling mempengaruhi secara tidak langsung lewat mekanisme fisiologis tertentu (Baxter, 2010 a ). Ada tiga kategori untuk menilai signifikan dari interaksi obat yaitu : 1) Aksi : kategori ini menjelaskan apakah perlu tindakan tertentu untuk mengatasi interaksi yang terjadi. Kategori ini berkisar dari dihindari sampai tidak ada tindakan yang diperlukan. 2) Keparahan : kategori ini menjelaskan kemungkinan yang terjadi jika interaksi tidak dikendalikan. Kategori ini berkisar antara parah sampai tidak terekspektasi 3) Bukti : kategori ini menjelaskan bukti yang melatarbelakangi terjadinya interaksi. Kategori ini berkisar antara ekstensif sampai teoritis (Baxter, 2010 b ). Berdasarkan kategori penentuan signifikansi interaksi obat, signifikansi interaksi obat dikelompokkan menjadi 4 peringkat sesuai dengan Tabel VI.

27 27 Tabel VI. Peringkat Signifikansi Interaksi Obat (Baxter, 2010 b ) Signifikansi interaksi Keterangan Interaksi yang memiliki hasil yang mengancam jiwa, atau di mana penggunaan bersamaan merupakan kontraindikasi. Interaksi di mana penggunaan bersamaan dapat mengakibatkan reaksi yang signifikan berbahaya kepada pasien dan perlu penyesuaian dosis atau monitoring yang ketat. Interaksi dimana ada beberapa keraguan tentang hasil interaksi obat. Karena itu mungkin perlu untuk memberi tahu pasien tentang kemungkinan terjadinya efek samping akibat interaksi obat, dan / atau mempertimbangkan untuk monitoring. Interaksi yang tidak dianggap signifikan secara klinis, atau dimana tidak ada interaksi terjadi F. Kerangka Konsep Pasien GGK dengan anemia Terapi menggunakan epoetin Evaluasi penggunaan epoetin: 1. Efek samping 2. Interaksi obat G. Keterangan Empiris Dengan dilakukan penelitian ini dapat diketahui gambaran penggunaan epoetin dan kejadian efek samping serta interaksi epoetin dalam pengobatan anemia pada pasien GGK di Unit Hemodialiasis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM BAB 1 PENDAHULUAN Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu masalah kesehatan yang serius di dunia. Hal ini dikarena penyakit ginjal dapat menyebabkan kematian, kecacatan serta penurunan kualitas hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) yang menjalani hemodialisa pada umumnya mengalami anemia. Anemia pada pasien GGK terjadi terutama karena kekurangan erytropoietin.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah suatu penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel akibat suatu proses patofisiologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik adalah anemia (Suwitra, 2014). Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat menimbulkan komplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit ginjal kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Menurut (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Penyakit ini diperkirakan telah menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit ginjal kronik adalah salah satu penyakit dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika

Lebih terperinci

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Oleh: PIGUR AGUS MARWANTO J 500 060 047 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu permasalahan dibidang nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali tanpa keluhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian dan cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia (Guyton & Hall, 1997). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal (Fored, 2003). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ginjal punya peran penting sebagai organ pengekresi dan non ekresi, sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia pada Penyakit Kronis Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien dengan PGK. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin (Buttarello et al. 2010). Namun anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik hampir selalu bersifat asimtomatik pada stadium awal. Definisi dari penyakit ginjal kronik yang paling diterima adalah dari Kidney Disease:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara-negara yang sedang berkembang, penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, kanker dan depresi akan menjadi penyebab utama kematian dan disabilitas. Hasil

Lebih terperinci

oleh K/DOQI sebagai suatu keadaan dengan nilai GFR kurang dari 60 ml/men/1,73 m 2, selama lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

oleh K/DOQI sebagai suatu keadaan dengan nilai GFR kurang dari 60 ml/men/1,73 m 2, selama lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Ginjal mempunyai fungsi mengatur keseimbangan air dalam tubuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan lambat. PGK umumnya

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap

Lebih terperinci

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK BAB 1 PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyakit yang berpotensi fatal dan dapat menyebabkan pasien mengalami penurunan kualitas hidup baik kecacatan maupun kematian. Pada penyakit ginjal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron ginjal, mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi di dunia ini. Jumlah penderita PGK juga semakin meningkat seiring dengan gaya hidup saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan darah di atas nilai nomal. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada

Lebih terperinci

menunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan

menunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan salah satu penyakit dengan penyebab multifaktorial, dapat dikarenakan reaksi patologis dan fisiologis yang bisa muncul sebagai konsekuensi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostatic dengan mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan National Kidney Foundation penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan dengan kelainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didefenisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa

BAB I PENDAHULUAN. didefenisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagal ginjal merupakan suatu kondisi dimana fungsi ginjal mengalami penurunan, sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan filtrasi sisa metabolisme tubuh dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus pada dasarnya merupakan kelainan kronis pada homeostasis glukosa yang ditandai dengan beberapa hal yaitu peninggian kadar gula darah, kelainan dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit ini diperkirakan menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global dan prevalensinya hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi derajat kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan 140 mmhg dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini mampu

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini mampu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini mampu merubah gaya hidup manusia yang semakin konsumtif dan menyukai sesuatu yang cepat, praktis serta ekonomis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau yang sering disebut juga dengan gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan pada ginjal yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan dunia hingga saat ini, karena jumlah penderita terus meningkat serta menimbulkan morbiditas dan

Lebih terperinci

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis reguler

BAB I PENDAHULUAN. Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis reguler 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis reguler memiliki risiko mengalami kejadian kardiovaskular yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri, mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit,

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap akhir atau gagal ginjal terminal. Richard Bright pada tahun 1800 menggambarkan beberapa pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara berkembang meskipun frekuensinya lebih rendah di negara-negara maju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk mengatasinya. Gagal ginjal

Lebih terperinci

BAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar

BAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar 1 BAB I.PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar albumin dalam urin. Gagal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut data statistik WHO (World Health Organization) penyakit kardiovaskular mengalami pertumbuhan, diprediksi pada tahun 2020 penyakit kronis akan mencapai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Dengan prevalensi 15% di negara berkembang, dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronik atau CKD (Chronic Kidney Disease) merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel (Wilson, 2005) yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dengan etiologi yang beragam. Setiap penyakit yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan progresif, kadang sampai bertahun-tahun, dengan pasien sering tidak

BAB I PENDAHULUAN. dan progresif, kadang sampai bertahun-tahun, dengan pasien sering tidak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Chronic Kidney Disease adalah kondisi ireversibel di mana fungsi ginjal menurun dari waktu ke waktu. CKD biasanya berkembang secara perlahan dan progresif, kadang sampai

Lebih terperinci

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh MONITORING EFEKTIVITAS TERAPI DAN EFEK-EFEK TIDAK DIINGINKAN DARI PENGGUNAAN DIURETIK DAN KOMBINASINYA PADA PASIEN HIPERTENSI POLIKLINIK KHUSUS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG SKRIPSI SARJANA FARMASI Oleh YUANITA

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh orang di seluruh dunia. DM didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik kronis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari sama dengan tiga bulan, berdasarkan kelainan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Angka kejadian penyakit ginjal kronik,

Lebih terperinci

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik Latar Belakang Masalah Gagal ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit ini diperkirakan menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global dan prevalensinya hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan kemakmuran di negara berkembang banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel. Pada suatu derajat tertentu, penyakit ini membutuhkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga retroperitonium. Secara anatomi ginjal terletak dibelakang abdomen atas dan di kedua sisi kolumna

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI Diajukan Oleh : ARLIS WICAK KUSUMO J 500060025

Lebih terperinci

BAB 1 I. PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

BAB 1 I. PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena BAB 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multipel. Semua upaya mencegah gagal ginjal amat penting. Dengan demikian,

BAB I PENDAHULUAN. multipel. Semua upaya mencegah gagal ginjal amat penting. Dengan demikian, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Karena ginjal memiiki peran vital dalam mempertahankan homeostasis, gagal ginjal menyebabkan efek sistemik multipel. Semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. progresif dan lambat, serta berlangsung dalam beberapa tahun. Gagal ginjal

BAB I PENDAHULUAN. progresif dan lambat, serta berlangsung dalam beberapa tahun. Gagal ginjal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, serta berlangsung dalam beberapa tahun. Gagal ginjal kronik terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk mempertahankan stabilitas volume, komposisi elektrolit, dan osmolaritas cairan ekstraseluler. Salah satu fungsi penting

Lebih terperinci

darah. Kerusakan glomerulus menyebabkan protein (albumin) dapat melewati glomerulus sehingga ditemukan dalam urin yang disebut mikroalbuminuria (Ritz

darah. Kerusakan glomerulus menyebabkan protein (albumin) dapat melewati glomerulus sehingga ditemukan dalam urin yang disebut mikroalbuminuria (Ritz BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang umum di negara berkembang, secara khusus bagi masyarakat Indonesia. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal adalah salah satu organ utama sitem kemih atau uriner (tractus urinarius) yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme dari dalam tubuh. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini disebabkan oleh demam dimana terdapat kenaikan suhu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prevalensi hipertensi di negara berkembang sekitar 80% penduduk mengidap hipertensi. Prevalensi hipertensi di Indonesia pada tahun 2007 adalah 32,2% dan prevalensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran preterm, dan intrauterine growth restriction (IUGR) (Sibai, 2005;

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran preterm, dan intrauterine growth restriction (IUGR) (Sibai, 2005; BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Preeklamsia sangat berhubungan dengan 5-7% morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal di seluruh dunia. Preeklamsia juga merupakan penyebab 15-20% mortalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hipertensi atau darah tinggi adalah suatu kelainan asimptomatis (tanpa gejala) yang ditandai dengan hasil pengukuran tekanan darah yang tinggi dalam waktu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada pemeriksaan berulang (PERKI, 2015). Hipertensi. menjadi berkurang (Karyadi, 2002).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada pemeriksaan berulang (PERKI, 2015). Hipertensi. menjadi berkurang (Karyadi, 2002). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Hipertensi 1. Definisi Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah melebihi 140/90 mmhg pada pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka kematian, membaiknya status gizi, dan Usia Harapan Hidup. (1) Penyakit degeneratif adalah salah

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1.5 Manfaat Penelitian 1. Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan dengan memberikan informasi bahwa ada hubungan antara kadar serum ferritin terhadap gangguan pertumbuhan pada talasemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat,

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK a. Definisi Anemia World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Adanya kelainan struktural atau fungsional pada ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut sebagai gagal ginjal kronis (Tanto, et al, 2014). Di Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ginjal merupakan organ penting dalam mengatur kadar cairan dalam tubuh, keseimbangan elektrolit, dan pembuangan sisa metabolit dan obat dari dalam tubuh. Kerusakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkena gagal ginjal kronik (Lonkhorst dan Wish, 2010). Insiden penyakit GGK

BAB I PENDAHULUAN. terkena gagal ginjal kronik (Lonkhorst dan Wish, 2010). Insiden penyakit GGK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di seluruh dunia penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan. Di Amerika serikat, insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat. Kurang lebih 26 juta orang

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA A. KONSEP MEDIK 1. Pengertian Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar darah Hemoglobin (Hb) atau hematokrit di bawah normal. (Brunner & Suddarth, 2000:

Lebih terperinci